analisis hubungan variabel pembangunan jasa … · dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam...
TRANSCRIPT
ANALISIS HUBUNGAN VARIABEL PEMBANGUNAN JASA
FINANSIAL DAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI ASEAN+6 MENUJU MEA 2015
LAURA CITA FEBRIANTY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan
Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi ASEAN+6 Menuju MEA 2015, adalah benar karya saya dengan arahan
dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 02 April 2014
Laura Cita Febrianty
NIM H14100138
ABSTRAK
LAURA CITA FEBRIANTY. Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa
Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju
MEA 2015. Dibimbing oleh TANTI NOVIANTI
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mengagendakan arus bebas
barang, jasa serta sumber daya manusia diantara negara-negara anggota. Oleh
sebab itu di tengah kerjasama ASEAN+6, penting untuk diteliti lebih lanjut
kesiapan pembangunan sektor jasa khususnya jasa finansial negara-negara
ASEAN+6 dalam menghadapi MEA 2015 mendatang. Penelitian ini menganalisis
hubungan antara variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dengan menggunakan metode data panel statis
dan keunggulan komparatif sektor jasa finansial ASEAN+6 dengan menggunakan
metode RCA (Revealed Comparative Advantage). Hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel Kredit Domestik Perbankan (DCBS), Jumlah Uang Beredar (M2),
dan Perdagangan (TRADE) paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
negara maju ASEAN+6, sedangkan DCBS, Pengeluaran pemerintah (GOV), dan
TRADE paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi negara berkembang
ASEAN+6. Keunggulan komparatif sektor jasa finansial terbaik dimiliki
Singapura, dimana Indonesia masih belum menunjukkan keunggulan komparatif
yang optimal.
Kata kunci: MEA 2015, Pembangunan Finansial, ASEAN+6, Data Panel, RCA
ABSTRACT
LAURA CITA FEBRIANTY. Analysis of The Relationship Among Financial
Service Development Variables and Trade to Economic Growth of ASEAN+6
Toward AEC 2015. Supervised by TANTI NOVIANTI
ASEAN Economic Community 2015 scheduled free flow of goods,
services and human resources among its member countries. Therefore, in the
presence of economic cooperation of ASEAN+6, it is important to investigate
further the readiness of the services sector especially financial sector among
ASEAN+6 members toward AEC 2015. This research attempts to analyze the
relationship among financial development variables and trade to the economic
growth of ASEAN+6 using panels static data and the comparative advantage of
the financial service sector ASEAN+6 using RCA (Revealed Comparative
Advantage). The results shows that the variables such as Domestic Credit
Provided by Banking Sector (DCBS), Broad Money (M2), and Trade strongly
affect to economic growth of ASEAN+6’s developed countries, otherwise DCBS,
Government Expenditure (GOV) and Trade strongly affect to economic growth of
ASEAN+6’s developing countries. The best comparative advantage of financial
service sector owned by Singapore, while Indonesia has not shown the optimal
comparative advantage.
Keywords : AEC 2015 , Financial Development , ASEAN +6 , Panel Data, RCA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS HUBUNGAN VARIABEL PEMBANGUNAN JASA
FINANSIAL DAN PERDAGANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI ASEAN+6 MENUJU MEA 2015
LAURA CITA FEBRIANTY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa Finansial dan
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju
MEA 2015
Nama : Laura Cita Febrianty
NIM : H14100138
Disetujui oleh
Dr Tanti Novianti, S.P., M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa,
sebab atas segala karunia-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian
dilaksanakan sejak bulan November 2013 dan berhasil rampung pada Febuari
2014 dengan judul penelitian, “Analisis Hubungan Variabel Pembangunan Jasa
Finansial dan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6 Menuju
MEA 2015”, untuk konsentrasi bidang perdagangan dan industri. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Tanti Novianti selaku dosen pembimbing, yang
telah banyak memberikan saran, masukan dan pencerahan yang berharga bagi
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily
Dwi Arsyianti, M.Si selaku perwakilan Komdik atas kritik dan saran berharga
yang telah diberikan. Di samping itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan juga
kepada asisten dosen pengajar MK. Ekonometrika FEM IPB yakni Ibu Heni, serta
kepada segenap tim konsultasi ekonometrika lainnya yakni Mbak Maya Wulan
dan Mbak Rina Hartini, yang telah membantu memberikan pencerahan, konsultasi,
serta solusi terkait pemodelan skripsi. Ungkapan terima kasih juga tak lupa
penulis sampaikan kepada Ayah tercinta, (Alm).Ir.Walden Simanjuntak, Ibu
terkasih, Jusliani Simamora SH, Adik tersayang David Lawrence serta seluruh
keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan penuh yang telah
diberikan bagi penulis selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
segenap dosen dan staf/karyawan Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB atas
segala ilmu, bimbingan serta pelayanan akademis yang telah diberikan. Penulis
tak lupa berterimakasih kepada rekan-rekan Departemen Ilmu Ekonomi Angkatan
47, segenap staf dan pengurus HIPOTESA periode 2011-2012 dan 2012-2013,
serta segenap sahabat-sahabat pelayanan bersama PMK IPB untuk kebersamaan
yang indah selama kurang lebih tiga setengah tahun ke belakang. Terimakasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu bimbingan skripsi penulis, Dian
Pertiwi Wardhani, Arti Ilhami, Rahayu Aisyah Prayitno, Ramos Martinus dan
Pangrio Nurjaya yang telah saling mendukung satu sama lain selama masa
penyusunan skripsi. Tak lupa penulis juga berterimakasih kepada sahabat-sahabat
penulis yakni Yola Juwita Silalahi, Efita Meylina Situmorang, Novia La Prima,
Vina Oktrina Simanjuntak serta Yohanita Ratna Marissa Hutabarat yang telah
memberi banyak tawa, canda, dan dukungan serta telah menjadi sahabat terbaik
penulis selama masa kuliah. Penulis juga berterimakasih atas segala dukungan dan
semangat dari seluruh sahabat-sahabat penulis baik sahabat karib sejak SMP,
SMA, dan rekan-rekan pemuda Gereja HKBP Ps.Rebo yang juga turut
mendukung dan memberi warna pada hari-hari penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang ekonomi.
Bogor, 02 April 2014
Laura Cita Febrianty
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 7
Tujuan Penelitian 11
Manfaat Penelitian 11
Ruang Lingkup Penelitian 11
TINJAUAN PUSTAKA 12
Kerangka Pemikiran 22
Hipotesis 24
METODE PENELITIAN 24
Jenis dan Sumber Data 24
Metode Analisis 25
Revealed Comparative Advantage (RCA) 26
Data Panel Statis 26
HASIL DAN PEMBAHASAN 36
Kondisi Umum Sektor Jasa Keuangan di Indonesia dan Pasar ASEAN+6 36
Daya Saing dan Keunggulan Komparatif Sektor Jasa Finansial ASEAN+6 47
Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi 49
SIMPULAN DAN SARAN 56
Simpulan 56
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 61
RIWAYAT HIDUP 69
DAFTAR TABEL
1 Share Nilai Tambah Sektor Jasa ASEAN+6 Tahun 1990 dan 2010 (%) 5 2 Indikator Perekonomian Makro Indonesia dan Beberapa Negara
ASEAN+6 Tahun 2001-2008 (%) 7 3 Rangkuman Metode dan Variabel dalam Penelitian Terdahulu 18 4 Variabel, Proksi, Jenis Variabel dan Sumber 25 5 Jumlah Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 38 6 Fasilitas Kredit yang diberikan Kepada Korporasi Menurut Jenis
Kredit (per-Agustus 2013) 39
7 Indeks Pembangunan Finansial ASEAN+6 Tahun 2011 41
8 Indeks RCA untuk Ekspor Jasa Finansial dan Asuransi Negara-Negara
ASEAN+6 Tahun 2005-2012 48 9 Perbandingan Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok
Negara ASEAN+6 51
DAFTAR GAMBAR
1 Ekspor Indonesia ke ASEAN+6 Tahun 2011 2 2 Jasa Finansial dan Asuransi (% terhadap ekspor jasa komersial)
ASEAN+6 Tahun 2005-2012 4 3 Jasa Finansial dan Asuransi (% terhadap impor jasa komersial)
ASEAN+6 Tahun 2005-2012 4 4 Share Total Tenaga Kerja pada sektor jasa dan bisnis keuangan
ASEAN+6 Tahun 2007 6 5 Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (Intra-ASEAN)
Tahun 2004-2012 9
6 Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (non-ASEAN)
Tahun 2004-2012 10
7 Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif 17
8 Kerangka Pemikiran 23 9 Alur Analisis Data Panel 27
10 Komposisi Aset Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 37
11 Perkembangan Pertumbuhan Uang Beredar,Dana,Kredit dan PDB (% of
yoy) Indonesia Tahun 2013 38
12 Komposisi Kredit Sektor Rumahtangga Menurut Jenisnya (per-Juni
2013) 40 13 Komposisi Aset Lembaga Keuangan Singapura Tahun 2013 42 14 Pertumbuhan GDP Perkapita ASEAN+6 (intra-ASEAN) Tahun 2004-
2012 42
15 Pertumbuhan GDP Perkapita Negara-Negara Mitra Kerjasama
ASEAN+6 Tahun 2004-2012 43 16 Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau DCBS (%of GDP)
ASEAN+6 Tahun 1960-2011 44 17 Kredit Domestik untuk Sektor Swasta atau DCPS (%of GDP)
ASEAN+6 Tahun 1960-2011 45
18 Jumlah Uang Beredar (M2) (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 45
19 Simpanan Domestik Kotor atau GDS (%of GDP) ASEAN+6 Tahun
1960-2011 46
DAFTAR LAMPIRAN
1 Model 1. Seluruh Negara ASEAN+6-Statistik Deskriptif Variabel 61 2 Hasil Uji Hausman 61 3 Hasil Uji Normalitas 61 4 Korelasi Antar Variabel 62 5 Hasil Estimasi Model FEM Data Panel 62 6 Hasil Estimasi Model REM Data Panel 63
7 Model 2. Negara Maju ASEAN+6- Statistik Deskriptif Variabel 64 8 Hasil Uji Normalitas 64 9 Hasil Estimasi Model FEM Data Panel 64
10 Efek Individu 65 11 Model 3. Negara Berkembang ASEAN+6-Statistik Deskriptif Variabel 66 12 Hasil Uji Normalitas 66 13 Hasil Estimasi Model FEM Data Panel 66 14 Efek Individu 67
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisis Utang Eropa dan Krisis Amerika yang sempat terjadi beberapa
waktu lalu telah melemahkan perekonomian Eropa, Amerika, bahkan dunia.
Dampak negatif yang timbul akibat krisis tersebut masih dirasakan hingga saat ini.
Perekonomian Eropa terus mengalami tren perlambatan. Demikian halnya dengan
Amerika Serikat, yang perekonomiannya masih belum benar-benar pulih akibat
hantaman krisis lalu. Implikasinya bagi perekonomian dunia adalah mulai
bergeraknya pusat gravitasi ekonomi dunia, dengan kecepatan tinggi menuju ke
kawasan Asia (Kemenko Perekonomian 2013). Melemahnya perekonomian Eropa
dan Amerika, membuka peluang bagi Asia untuk maju menjadi kekuatan ekonomi
baru yang didukung salah satunya oleh jumlah populasi manusia yang besar dan
prediksi meningkatnya golongan menengah di kawasan Asia. Oleh sebab itu,
kerjasama ekonomi regional menjadi suatu isu penting yang harus direalisasikan
di Asia secara umum dan Asia Tenggara secara khusus, agar mampu menciptakan
kekuatan ekonomi baru dunia.
Saat ini, kawasan ekonomi regional ASEAN (Association of South East
Asia Nations) mulai menuju realisasi suatu komunitas bersama ASEAN (ASEAN
Community). ASEAN Community ini mencakup tiga pilar utama yakni ASEAN
Security Community (ASC), ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) dan
ASEAN Economic Community (AEC) (ISEAS 2004). ASEAN Economic
Community (AEC) atau biasa disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) dicanangkan untuk direalisasikan pada akhir tahun 2015 mendatang
dengan agenda utama menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis
produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga
kerja terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Empat pilar MEA Blueprint
mencakup pasar tunggal dan basis produksi regional, kawasan berdaya saing
tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi merata, dan integrasi dengan
perekonomian dunia (Kemenko Perekonomian 2013).
Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar,
perdagangan internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk
lain dari pertukaran ekonomi dan sosial (Maretha 2012). Keberadaan integrasi
ekonomi dan perdagangan mampu menciptakan keuntungan ekonomis bagi
negara-negara yang terlibat di dalamnya. Menurut Achsani (2008), integrasi
ekonomi ASEAN mampu menciptakan pasar yang sangat besar dengan jumlah
perdangangan dan jumlah produk domestik bruto lebih dari 720 miliar dollar dan
737 miliar dollar per tahun. Keberadaan kawasan kerjasama ekonomi dan
perdagangan ASEAN+6 yang mencakup kerjasama ekonomi dengan enam negara
Asia lain yakni Jepang, Korea Selatan, Cina, India, Australia dan New Zealand,
semakin memantangkan kesiapan ASEAN dalam pencanangan MEA 2015.
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) atau biasa dikenal
sebagai kawasan kerjasama ASEAN+6 terbentuk pada tanggal 15 Januari 2007 di
Cebu, Filipina. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negara-negara
ASEAN dan enam negara mitra lainnya yakni Australia, China, India, Jepang,
Korea Selatan, dan New Zealand. Penambahan enam negara mitra kerjasama
2
tersebut, diharapkan dapat membuat ASEAN Economic Community menjadi
single market yang lebih besar, mengingat bahwa populasi CEPEA besarnya 49,6
persen dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari populasi EU (CEPEA
Report 2008).
Berdasarkan informasi pada Gambar 1, dapat dianalisis bahwa pada tahun
2011, ASEAN+6 adalah pasar tujuan ekspor yang penting bagi Indonesia karena
mampu mendominasi permintaan ekspor produk Indonesia hingga 66 persen, jauh
lebih besar daripada ekspor ke wilayah EU27, Amerika Serikat dan lainnya,
terutama dalam perdagangan barang mentah. Demikian halnya dengan performa
impor pada tahun yang sama, 68 persen volume impor Indonesia didominasi oleh
aliran perdagangan dari ASEAN+6 disusul oleh EU27 sebesar 7 persen, Amerika
Serikat 6 persen, Arab Saudi 3 persen dan lainnya sebesar 16 persen, terutama
untuk impor barang modal (Kemenko Perekonomian 2013).
Dalam rangka persiapan menuju realisasi pasar tunggal ASEAN 2015
mendatang, selain aliran bebas barang, modal, investasi dan tenaga kerja terdidik,
aliran bebas jasa juga termasuk dalam elemen penting yang akan menyokong
kesuksesan MEA 2015. Selain itu, stabilitas perekonomian juga dibutuhkan oleh
negara-negara anggota intra-ASEAN dan ASEAN+6 sebagai salah satu prasarat
penting dalam mendukung keberlangsungan kerjasama ekonomi di kawasan
ekonomi ASEAN dalam rangka mencapai MEA 2015. Stabilitas tersebut dapat
diukur dari perkembangan pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan,
dan perkembangan kegiatan perdagangan internasional (Mukhlis 2011).
Kestabilan perekonomian yang diikuti dengan kinerja perekonomian yang
positif membutuhkan peran sektor keuangan yang semakin berkembang. Sektor
keuangan yang semakin berkembang akan dapat mendorong kegiatan ekonomi
dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi dan dalam upaya untuk merespon
permintaan pasar terhadap output yang ada. Dalam hal ini menurut McKinnon
(1973), sektor keuangan merupakan faktor penting dalam proses akumulasi modal
yang direfleksikan dalam bentuk tabungan, investasi dan produktifitasnya.
Tinjauan secara empiris menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran
Gambar 1. Ekspor Indonesia ke ASEAN+6 Tahun 2011 Sumber : SEADI USAID (2012)
3
penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.Studi Mattoo,
Rathindran dan Subramanian dalam Kemenkeu (2012), dengan studi kasus 60
negara menemukan bukti ekonometrik yang kuat bahwa keterbukaan sektor jasa
keuangan memengaruhi secara positif kinerja pertumbuhan ekonomi jangka
panjang. Korelasi positif antara pembangunan jasa keuangan dan pertumbuhan
ekonomi diharapkan mampu meningkatkan performa ekonomi agregat suatu
negara, sehingga tidak hanya mampu meningkatkan persentase pertumbuhan
ekonomi tahunan dan peningkatan iklim investasi semata, namun juga mampu
menyentuh peningkatan penyerapan tenaga kerja, peningkatan GDP perkapita,
penurunan jumlah pengangguran dan kemiskinan, yang pada akhirnya mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Selain itu, terdapat pula keterkaitan antara perdagangan internasional dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pemahaman teori klasik dalam bidang
perdagangan internasional mengarahkan pada suatu teori bahwa perdagangan
internasional akan dapat mendorong kegiatan ekonomi suatu negara. Dengan
semakin terbukanya perekonomian suatu negara, maka akan semakin membuka
peluang setiap negara untuk dapat melakukan kegiatan perdagangan
internasionalnya. Peran perdagangan internasional terhadap perekonomian dapat
dilihat dari persamaan dalam model perekonomian terbuka yang dikemukakan
oleh Keynes, yakni Y=C+I+G+(XM). Y menunjukkan besarnya output yang
dihasilkan oleh perekonomian, C menunjukkan besarnya konsumsi masyarakat, I
menunjukkan besarnya investasi, G menunjukkan besarnya pengeluaran
pemerintah, X menunjukkan besarnya ekspor dan M menunjukkan besarnya impor.
Selisih X dan M ini biasa disebut sebagai Net Export (NX). Kontribusi
perdagangan internasional dapat dijelaskan oleh seberapa besar NX yang
diperoleh dalam kegiatannya. Semakin besar nilai NX suatu negara maka akan
berkorelasi langsung terhadap peningkatan output perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi. Disamping itu, peranan perdagangan internasional dalam
pertumbuhan ekonomi dapat juga dijelaskan dengan adanya multiplier
perdagangan internasional. Multiplier perdagangan ini menjelaskan seberapa besar
perubahan pendapatan nasional sebagai akibat dari adanya perubahan dari
kegiatan perdagangan internasional (Mukhlis 2011).
Sektor jasa kian memegang peranan penting dalam perekonomian dunia
abad ke-21 ini. Sektor jasa merepresentasikan 2/3 produksi dunia, 2/3 output
dunia, 3/5 investasi asing langsung dan menguasai hampir 50 persen perdagangan
dunia melalui sistem cross border (SEADI 2013). GATS-WTO membagi sektor
jasa ke dalam 12 sektor jasa utama yakni jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa
konstruksi, jasa distribusi, jasa pendidikan, jasa lingkungan, jasa keuangan, jasa
kesehatan dan layanan sosial, jasa pariwisata,jasa rekreasi/kultural, jasa
transportasi dan jasa lainnya (APEC 2013). Dalam rangka pembentukan ASEAN
sebagai sebuah basis produksi dan pasar tunggal (MEA), maka liberalisasi sektor
jasa keuangan menjadi suatu langkah strategis. Khusus pada sektor keuangan dan
moneter, liberalisasi jasa keuangan menjadi salah satu langkah terpenting dalam
pelaksanaan peta jalan integrasi keuangan ASEAN atau yang lebih dikenal dengan
singkatan RIA-Fin (Roadmap for Monetary and Financial Integration of ASEAN)
(Kemenkeu 2012)
.
4
Dalam kawasan kerjasama ekonomi ASEAN+6 performa ekspor dan
impor produk jasa keuangan dan asuransi masih cenderung divergen (pola
menyebar). Berdasarkan data pada Gambar 2 dan Gambar 3, dapat dianalisis
bahwa Singapura dan India masih mendominasi ekspor jasa finansial dan asuransi
jauh di atas negara-negara ASEAN+6 lainnya, termasuk Indonesia. Sedangkan
Cina, India dan Indonesia masih menjadi negara pengimpor dominan produk jasa
finansial dan asuransi pada rentang tahun 2005 hingga 2012 lalu.
Gambar 3. Jasa Finansial dan Asuransi ( % terhadap impor jasa komersial)
ASEAN+6 Tahun 2005-2012 Sumber : World Development Indicator (WDI 2014)
Gambar 2. Jasa Finansial dan Asuransi ( % terhadap ekspor jasa komersial)
ASEAN+6 Tahun 2005-2012 Sumber : World Development Indicator (WDI 2014)
5
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dianalisis bahwa seluruh sektor jasa
secara umum memiliki tren share nilai tambah yang kian meningkat. Secara
khusus, jasa komunikasi, keuangan dan bisnis di Indonesia menunjukkan
performa share nilai tambah yang meningkat secara positif dibandingkan sektor-
sektor jasa lainnya dalam rentang bandingan satu dekade yakni pada tahun 1990
(6.5%) dan 2010 (meningkat hingga 7.8%). Sejalan dengan itu, secara umum jasa
komunikasi, keuangan dan bisnis antara tahun 1990 dan 2010 di negara-negara
ASEAN+6 lainnya yang diwakili negara-negara ASEAN plus Cina, Jepang, Korea
Selatan dan India juga menunjukkan tren kenaikan share nilai tambah sektor jasa
komunikasi, keuangan dan bisnis antara tahun 1990 dan 2010 yang cukup
signifikan. Hal ini membuktikan bahwa jasa keuangan dengan keberadaan produk-
produk turunan finansial yang diperjualbelikan dalam pasar uang maupun pasar
modal, merupakan salah satu sektor strategis bernilai tambah tinggi. Intensitas
performa sektor jasa keuangan yang semakin maksimal, dapat dengan cepat
mampu meningkatkan perputaran uang serta pertumbuhan ekonomi lebih
signifikan dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya.
Tak hanya itu, berdasarkan share total tenaga kerja pada sektor jasa bisnis
dan keuangan seperti pada Gambar 4, menunjukkan bahwa share total tenaga
kerja pada sektor jasa bisnis dan keuangan terbilang cukup tinggi, dengan share
lebih besar dari 5 persen. Share total tenaga kerja pada sektor jasa bisnis dan
keuangan Indonesia mencapai 8 persen, sedangkan Korea Selatan, Cina (PRC)
dan India yang merupakan negara-negara maju di kawasan Asia dan merupakan
bagian dari kerjasama ekonomi ASEAN+6, justru memiliki share total tenaga
kerja pada sektor jasa dan keuangan yang bahkan lebih besar yaitu di atas 10
persen.
Tabel 1. Share Nilai Tambah Sektor Jasa ASEAN+6 Tahun 1990 dan 2010 (dalam %)
Sumber : Outlook 2012 Update – Asian Development Bank (2012), (diolah)
6
Gambar 4. Share Total Tenaga Kerja Pada Sektor Jasa Bisnis dan Keuangan
ASEAN+6 Tahun 2007 Sumber : Outlook 2012 Update – Asian Development Bank (2012), (diolah)
Berdasarkan penjelasan dua gambar di atas, terlihat bahwa baik di Indonesia
maupun ASEAN+6, sektor jasa keuangan memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi suatu negara baik dalam kontribusi sebagai pencipta nilai
tambah perekonomian yang besar serta penyerap tenaga kerja yang juga besar.
Terlebih bagi negara sedang berkembang, perkembangan sektor jasa keuangan
dinilai dapat menjadi alternatif penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yang saat ini
ditopang bersama dengan pertumbuhan kinerja sektor industri manufaktur,
perdagangan non-migas primer dan sektor jasa lainnya.
Mengingat pentingnya peranan pembangunan jasa finansial terhadap
pertumbuhan ekonomi dalam kerangka kerjasama ASEAN+6, menarik pula untuk
diteliti lebih lanjut mengenai daya saing atau keunggulan komparatif ekspor
produk jasa finansial dan asuransi di kawasan kerjasama ekonomi dan
perdagangan ASEAN+6. Analisis tersebut akan menggambarkan sejauh mana jasa
keuangan tiap-tiap negara anggota ASEAN+6 mampu memenuhi kebutuhan
finansial domestik maupun internasional, melalui kegiatan ekspor jasa finansial
dan asuransi. Keunggulan komparatif atas sektor jasa keuangan yang semakin
baik turut menggambarkan kondisi pembangunan finansial yang prima pada suatu
negara dan berimplikasi pada kesiapan liberalisasi finansial yang lebih matang
menjelang MEA 2015 mendatang.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, kajian terkait
hubungan pembangunan sektor jasa keuangan dan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan. Kajian ini penting dilakukan untuk
menganalisis sejauh mana pembangunan sektor jasa keuangan serta perdagangan
di ASEAN+6 mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut
baik untuk negara-negara maju (High Income) dan negara-negara berkembang
(Low-Middle Income) dalam kawasan ASEAN+6, sehingga kebijakan-kebijakan
terkait pembangunan jasa finansial yang relevan di ASEAN+6 dapat dirumuskan,
guna mematangkan persiapan menuju MEA 2015 mendatang.
0 5 10 15 20 25
Indonesia
Malaysia
Singapura
Filipina
Thailand
Cina
Korea Selatan
India
Persen(%)
7
Perumusan Masalah
Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan beberapa negara ASEAN+6,
mengalami perkembangan yang cukup siginifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah dapat mendorong
adanya ekspansi pada sumber daya ekonomi dan kegiatan ekonomi produktif
lainnya. Pergerakan ekonomi yang positif ini diikuti dengan kegiatan perdagangan
internasional yang semakin meluas. Seiring dengan implementasi AFTA, APEC
dan kerjasama ekonomi regional lainnya menjelang MEA 2015, arus lalu lintas
perdagangan barang dan jasa menjadi semakin terbuka. Masing-masing negara
akan menerapkan strategi usahanya yang dapat meningkatkan daya saing dan
keberlanjutan produk dan jasa yang dihasilkannya (Mukhlis 2011)
Tabel 2. Indikator Perekonomian Makro Indonesia dan Beberapa Negara
ASEAN+6 Tahun 2001-2008 (%)
Sumber : Asian Development Bank (2013) , (diolah)
Negara Tahun Pertumbuhan
Ekonomi
Financial
Development
Keterbukaan
Perekonomian
Indonesia
Malaysia
Cina
Jepang
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
3.6
4.5
4.8
5.0
5.7
5.5
6.3
6.0
0.5
5.4
5.8
6.8
5.3
5.6
6.3
4.8
8.3
9.1
10
10.1
11.3
12.7
14.2
9.6
0.4
0.3
1.7
2.4
1.3
1.7
2.2
-1.0
51
48
47
45
43
41.4
41.8
38
133
131.2
132
131
123.8
127
125
121
144
153
162
158
160
159
151.8
151.3
132.8
137
206.3
206
206.7
204.7
203.8
210.1
233
243
256
271
293
312
340
363
50570
55392
58011
60775
66015
71344
79672
87157
435
465
497
515
608
766
977
1108
68968
70075
70488
73747
74814
70778
68102
66470
8
Namun, gemerlap pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perdagangan
internasional tesebut tidak selalu diikuti dengan perkembangan dalam sektor
keuangan (financial development). Berdasarkan Tabel 2, pada periode waktu
2001-2008 terdapat penurunan dalam angka financial development di Indonesia
dan Malaysia, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada Jepang dan Cina.
Perkembangannya, pada tahun 2008 angka financial development di Indonesia
dan Malaysia cenderung terus turun dibandingkan tahun 2001, dimana angka
financial development Indonesia merupakan yang terendah. Penurunan angka
financial development ini mengandung arti bahwa tingkat monetisasi yang terjadi
dalam perekonomian nasional mengalami penurunan. Dengan kata lain, hal
tersebut mencerminkan terjadinya pendangkalan sektor keuangan (financial
indeepening) di Indonesia dan Malaysia. Hal ini dapat terjadi oleh beberapa hal
seperti ; instrumen keuangan di sektor keuangan terbatas (baik jumlah maupun
jenisnya), insentif yang diberikan sektor keuangan kecil dibandingkan dengan
insentif dari sektor lainnya, instrumen keuangan di negara lain lebih profitable,
dan kurang adanya kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan dalam
negeri (Mukhlis 2011).
Mengingat begitu pentingnya peranan sektor jasa keuangan dalam
memengaruhi kondisi pertumbuhan ekonomi dan performa agregat ekonomi
Indonesia, maka kendala ini harus segera diatasi bersama. Menurut Hassan et
al.(2010), terdapat berbagai macam indikator ukuran yang telah digunakan dalam
berbagai literatur terdahulu, sebagai proksi untuk tingkat pembangunan finansial.
Salah satu yang dapat digunakan adalah penggunaan variabel Simpanan Domestik
Kotor, Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan, Kredit Domestik untuk Sektor
Swasta dan Jumlah Uang Beredar (M2) sebagai variabel indikator pembangunan
finansial. Variabel pembangunan finansial tersebut juga bersama dengan variabel
indikator sektor riil seperti Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi,
akan dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih khusus, melalui Kredit
Domestik oleh Sektor Perbankan akan dijelaskan tingkat ketergantungan
pembiayaan perekonomian terhadap sektor perbankan. Sedangkan Kredit
Domestik untuk Sektor Swasta akan menggambarkan sejauh mana kredit
pinjaman domestik dialokasikan untuk investasi domestik guna meningkatkan
derajat pembangunan finansial suatu negara. Simpanan Domestik Kotor dan M2
juga berimplikasi positif terhadap pembangunan finansial dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara dan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang
berlaku, sebagai insentif peningkatan tabungan dan jumlah uang beredar.
Secara umum, pola perekonomian ASEAN+6 masih berbeda-beda dan
kompleks karena merupakan kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan yang
terdiri atas dua kelompok negara baik yang sudah maju (High Income), maupun
yang masih berkembang (Low-Middle Income). Berdasarkan data pertumbuhan
GDP pada Gambar 5 dan Gambar 6, dapat dianalisis bahwa pola pertumbuhan
GDP negara-negara ASEAN+6 masih cukup bervariasi dan cenderung divergen
(pola menyebar). Beberapa negara memiliki pertumbuhan GDP tinggi, namun
sebagian lain justru memiliki pertumbuhan GDP rendah. Berdasarkan informasi
pada Gambar 5, dapat dianalisis bahwa tingkat pertumbuhan GDP Singapura
tercatat sebagai yang tertinggi dan mencapai puncaknya pada tahun 2010. Pada
periode tahun 2011 dan seterusnya, tren pertumbuhan GDP Singapura cenderung
9
terus turun. Secara umum perekonomian negara-negara ASEAN mengalami
pelemahan bersamaan pada tahun 2009 akibat dampak krisis hutang Eropa.
Namun Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki performa
perekonomian yang stabil pada saat itu dan mampu melalui gejolak krisis dengan
baik. Indonesia juga mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan GDP stabil
hingga 2012. Brunei Darussalam tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan
GDP terendah dibandingkan negara-negara intra-ASEAN lainnya pada periode
tahun 2004-2012 ini.
Berdasarkan data informasi pada Gambar 6, dapat dianalisis bahwa
tingkat pertumbuhan GDP Cina dan India relatif lebih tinggi dibandingkan negara-
negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya. Krisis hutang Eropa 2009, tidak
berdampak signifikan bagi perekonomian Cina dan India, namun cukup
melemahkan perekonomian Jepang pada saat itu. Berdasarkan gambaran yang
telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk pasar intra-ASEAN
sendiri, tren pertumbuhan GDP antar negara masih bervariasi dan fluktuatif.
Sedangkan untuk negara-negara non-ASEAN mitra kerjasama ASEAN+6 didapat
pola dan tren pertumbuhan GDP yang hampir sama dan mulai menuju
konvergenitas atau penyamaan level pada tahun 2012.
Gambar 5. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (Intra-ASEAN)
Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014) , (diolah)
10
Tantangan yang dikhawatirkan muncul adalah terjadinya pola substitusi
dan bukan komplementer pada penggunaan produk jasa keuangan antar negara
yang terlibat dalam pasar ASEAN+6, sehingga keterlibatan negara-negara yang
belum optimal performa sektor keuangannya justru akan semakin memperburuk
kondisi ekonomi negara tersebut. Kondisi ini pada akhirnya akan menimbulkan
persaingan diantara golongan negara-negara berkembang ASEAN+6 dengan
golongan negara-negara maju ASEAN+6, untuk memperebutkan pangsa pasar di
kawasan ASEAN+6. Oleh sebab itu, selain meneliti mengenai sejauh apa variabel
pembangunan finansial sebagai indikator pembangunan finansial, dan
perdagangan mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara-negara
ASEAN+6, perlu juga dianalisis kondisi keunggulan komparatif atau daya saing
ekspor jasa finansial antar negara-negara ASEAN+6. Negara-negara tertentu yang
dominan menguasai pasar ekspor produk jasa finansial dan asuransi misalnya,
dapat mendominasi pasar keuangan ASEAN+6 dan meninggalkan negara-negara
lain dengan senjang yang jauh tertinggal di belakangnya. Dengan demikian,
referensi kebijakan keuangan yang relevan dapat dirumuskan berdasarkan hasil
analisis tersebut.
Berdasarkan uraian singkat di atas, terdapat beberapa permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian, yaitu :
1. Bagaimana kondisi umum sektor jasa keuangan Indonesia dan
negara-negara anggota ASEAN+6?
2. Bagaimana keunggulan komparatif sektor jasa finansial Indonesia
dan negara-negara ASEAN+6 ?
3. Bagaimana hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan
perdagangan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh
negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6 dan golongan
negara berkembang ASEAN+6 menuju MEA 2015?
Gambar 6. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-Negara ASEAN+6 (non-ASEAN)
Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014) , (diolah)
11
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan kondisi umum sektor jasa keuangan Indonesia dan
negara-negara anggota ASEAN+6.
2. Menganalisis keunggulan komparatif sektor jasa finansial Indonesia
dan negara-negara ASEAN+6.
3. Menganalisis hubungan variabel pembangunan finansial dan
perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi seluruh negara
ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6 dan golongan negara
berkembang ASEAN+6 menuju MEA 2015.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pihak-pihak terkait, yakni pemerintah, praktisi jasa keuangan (bank dan lembaga
non-bank) ,dan masyarakat serta akademisi. Manfaat tersebut antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber
informasi ilmiah dan salah satu referensi bagi pemerintah dalam
perumusan kebijakan terkait pembangunan jasa keuangan dan
perdagangan menuju MEA 2015, dengan pengkoordinasian segenap
badan terkait.
2. Bagi praktisi jasa keuangan, seperti lembaga perbankan dan non-
perbankan serta pihak swasta, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi untuk dapat merumuskan kebijakan yang lebih
mendukung kinerja sektor keuangan dalam rangka peningkatan
performa ekonomi nasional pada kerangka kerjasama ekonomi
ASEAN+6 menuju MEA 2015.
3. Bagi masyarakat dan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sumber informasi ilmiah yang dapat memperluas
pengetahuan ekonomi pembaca, serta dapat dijadikan acuan bagi
penelitian lebih lanjut terkait pembangunan finansial ASEAN+6.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel
pembangunan jasa finansial yakni variabel GDS, DCBS, DCPS dan M2 serta
perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi seluruh negara ASEAN+6, golongan
negara maju ASEAN+6 dan golongan negara berkembang ASEAN+6 pada
periode 2000-2012. Sedangkan untuk analisis daya saing dan komparatif RCA,
dikarenakan keterbatasan data maka rentang waktu yang digunakan adalah tahun
2005-2012 untuk objek penelitian seluruh negara ASEAN+6. Negara-Negara
kawasan ASEAN+6 yang dijadikan objek penelitian meliputi Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, lalu Jepang, Cina, Korea
Selatan serta India, Australia dan Selandia Baru. Ketersediaan data yang tidak
lengkap untuk variabel-variabel yang dibutuhkan dalam penelitian, menyebabkan
Kamboja (Cambodia), Myanmar, Laos, dan Vietnam (CMLV Countries) tidak
12
dimasukkan dalam analisis penelitian ini, sehingga dalam penelitian ini, intra-
ASEAN hanya diwakili enam negara (ASEAN-4).
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
Komunitas ASEAN atau ASEAN Community dibentuk oleh negara-negara
anggota ASEAN sebagai bentuk solidaritas yang dibangun untuk memenuhi
tujuan regional. Pembentukan komunitas ASEAN ini akan tetap menjunjung
identitas nasional dan bersamaan dengan itu juga dapat meningkatkan identitas
regional (ISEAS 2004). Melaui ASEAN Community ini, partisipasi negara-negara
ASEAN dapat terus meningkat secara efektif di area integrasi perdagangan yang
lebih luas lagi. ASEAN Community juga dibentuk guna mencapai visi ASEAN
2020, yakni mencapai kawasan ASEAN yang stabil, makmur, berdaya saing
tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan tingkat kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi yang menurun (KTT ASEAN, Kuala Lumpur, Des 1997).
Berdasarkan hasil Bali Concord II pada KTT ASEAN di Bali tahun 2003,
dihasilkan tiga pilar dalam rangka mewujudkan visi ASEAN 2020 yakni dengan
pembentukan (ISEAS 2004):
(1) ASEAN Economic Community
(2) ASEAN Security Community, dan
(3) ASEAN Socio-Cultural Community
Selain itu, para Pemimpin ASEAN juga mensahkan Roadmap for an ASEAN
Community 2009-2015 pada 1 Maret 2009 di Hua Hin-Cha Am, Thailand, yang
menghasilkan 3 (tiga) cetak-biru Masyarakat ASEAN, yakni : (1) Politik-
Keamanan, (2) Ekonomi, dan (3) Sosial-Budaya.
ASEAN Economic Community atau biasa disebut sebagai Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), merupakan bagian dari ASEAN Community. Pertemuan
Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan Agustus 2006 di Kuala
Lumpur, Malaysia sepakat untuk mengembangkan MEA Blueprint yang
merupakan panduan untuk terbentuknya MEA. MEA Blueprint direalisasikan
dalam empat fase waktu yakni 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015.
MEA Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai
MEA 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan
komitmen dalam MEA Blueprint tersebut. Blueprint ini memuat empat bagian
utama yakni (Kemendag 2012) :
1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan
elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja, terdidik dan
aliran modal yang lebih bebas.
2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerce.
3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa
13
integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar,
Laos, Vietnam), dan
4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan
perekonomian global denganelemen pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta
dalam jejaring produksi global.
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan
penyempuraan teori keunggulan absolut dari Adam Smith. Teori keunggulan
absolut dari Adam Smith memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah
dimungkinkannya terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling
memiliki keunggulan absolut berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor.
Hal ini dapat meningkatkan kemakmuran negara (Oktaviani dan Novianti 2009).
Namun, kelemahan dari teori keunggulan absolut ini adalah meyakini bahwa
ketika hanya ada satu negara yang memiliki keunggulan absolut dalam
perdagangan maka perdagangan internasional tidak akan terjadi sebab tidak
adanya keuntungan melalui mekanisme perdagangan yang demikian. Kelemahan
inilah yang disempurnakan dalam teori keunggulan komparatif David Ricardo
baik secara cost comparative (labor efficiency) maupun production comparative
(labor productivity).
Teori keunggulan komparatif David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun
suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis
komoditas bila dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan dapat tetap
berlangsung selama rasio harga antar negara masih berbeda bila dibandingkan
dengan tidak adanya perdagangan. Dalam teori ini walaupun suatu negara tidak
memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi, tetap dimungkinkan terjadinya
perdagangan antar negara, asalkan tercipta spesialisasi produksi atas komoditas
tertentu yang merupakan keunggulan komparatif negara tersebut. Dengan
demikian, kegiatan ekspor atas produk yang diproduksi relatif lebih efisien dapat
tetap digiatkan, dan impor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif
kurang/tidak efisien tetap dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan dalam
negeri. Selanjutnya manfaat perdagangan dapat ditingkatkan.
Pembangunan Finansial
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keuangan diartikan sebagai
pengetahuan teori dan praktik mengenai keuangan yang mencakup uang, kredit,
perbankan, sekuritas, investasi, valuta asing, penjaminan emisi, kepialangan, trust
dan sebagainya. Menurut Dr. Insukindro, MA dalam Hermasyah (2011), sistem
keuangan pada umumnya merupakan suatu kesatuan sistem yang dibentuk dari
semua lembaga keuangan yang ada dan yang kegiatan utamanya di bidang
keuangan adalah menarik dana dari dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Keberadaan sistem keuangan ini diharapkan dapat melaksanakan fungsinya
sebagai lembaga perantara keuangan dan lembaga transmisi yang mampu
menjembatani mereka yang kelebihan dana dan kekurangan dana, serta
memperlancar transaksi ekonomi. Lebih lanjut, menurut Dr. Insukindro, MA
14
bahwa di Indonesia sistem keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sistem moneter dan lembaga keuangan lainnya. Sistem moneter terdiri atas
otoritas moneter dan sistem Bank Umum. Menurut Prof. Dr. Anwar Nasution, SE
dalam Hermansyah (2011), terdapat beberapa prasyarat untuk menciptakan
kondisi sektor keuangan yang sehat dan stabil yakni adanya lembaga keuangan
yang sehat yang mampu memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan atau
bantuan pihak luar, adanya pasar keuangan yang stabil, sehat dan transparan
sehingga mampu membangun keyakinan pelaku pasar untuk bertransaksi secara
aktif, dan yang terakhir adanya lembaga pengaturan dan pengawasan yang
kompeten sehingga mampu memformulasikan kebijakan yang konsisten,
integrated, forward looking, dan cost effective, serta dapat mempertahankan
tingkat kompetisi yang sehat dan mampu mendukung inovasi pasar uang.
Pembangunan finansial adalah suatu syarat penting untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang baik, walaupun juga memang bukan merupakan
syarat cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang mantap (steady state) di
negara-negara berkembang (Hassan 2010). Pembangunan finansial juga sering
disebut sebagai pendalaman finansial (financial deepening). Pendalaman
keuangan menurut Shaw dalam Mukhlis (2011), merupakan akumulasi dari
aktiva-aktiva keuangan yang lebih cepat dari pada akumulasi kekayaan yang
bukan keuangan. Pendalaman keuangan ditunjukkan oleh semakin besarnya rasio
antar jumlah uang beredar (M2) dengan PDB. Sebaliknya semakin kecil rasio
antar jumlah uang beredar (M2) dengan PDB menunjukkan pendangkalan
keuangan (financial indeepening) di suatu negara. Pendalaman keuangan
menunjukkan sistem keuangan yang semakin efisien dalam memobilisasi dana
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini dapat mendorong
peningkatan dalam perekonomian nasional melalui kegiatan konsumsi, produksi,
dan investasi (Mukhlis 2011). Selain itu pendalaman keuangan juga
menggambarkan variasi produk jasa keuangan yang makin beragam dan
penurunan peluang terjadinya risiko-risiko perbankan.
Terdapat beberapa variabel tertentu yang mampu menggambarkan sejauh
apa kondisi pembangunan finansial suatu negara, atau dengan kata lain, variabel-
variabel ini merupakan indikator pembangunan finansial suatu negara. Beberapa
penelitian seperti yang dikutip dalam Hassan et al.(2010) dan Mukhlis (2011)
menggunakan variabel-variabel seperti Simpanan Kotor Domestik atau GDS
(Gross Domestic Savings), Kredit Domestik meliputi Rasio kredit domestik
seperti DCBS (Domestic Credit provided by the Banking Sector) dan DCPS
(Domestic Credit provided by the Private Sector) serta M2 yakni jumlah uang
beredar dalam arti luas, sebagai proksi variabel pembangunan finansial.
Pengertian kredit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau
pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
Kredit digolongkan dalam sepuluh jenis klasifikasi yakni :
1. Berdasarkan penggolongan jangka waktu (Kredit jangka
pendek,menengah dan panjang)
2. Berdasarkan dokumentasi (Kredit dengan dan tanpa perjanjian
tertulis)
15
3. Berdasarkan bidang ekonomi (Kredit untuk sektor pertanian,
pertambangan, perindustrian, listrik, gas, konstruksi dan lain
sebagainya)
4. Berdasarkan tujuan penggunaan (Kredit konsumtif dan kredit
produktif. Kredit produktif meliputi kredit investasi, kredit modal
kerja dan kredit likuiditas)
5. Berdasarkan objek yang ditransfer (Kredit uang dan bukan uang)
6. Berdasarkan waktu pencairan (Tunai atau tidak tunai)
7. Berdasarkan cara penarikan
8. Berdasarkan pihak kreditur (Kredit terorganisasi dan tak
terorganisasi)
9. Berdasarkan asal negara kreditur (Kredit domestik dan kredit luar
negeri)
10. Berdasarkan jumlah kreditur (Kredit tunggal dan sindikasi)
Tujuan kredit adalah untuk memperoleh hasil keuntungan dari bunga
kredit yang dibebankan kepada debitur sesuai dengan ketentuan yang
diperjanjikan/ prosedural. Secara umum, tujuan kredit di bank dapat dipaparkan
sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan nasabah dalam persediaan uang tunai pada saat ini
b. Mempertahankan standar perkreditan yang layak
c. Mengevaluasi berbagai kesempatan usaha yang baru, dan
d. Mendatangkan keuntungan bagi bank dan pada saat yang sama
menyediakan likuiditas yang memadai.
Sedangkan tujuan penyaluran kredit bagi nasabah adalah untuk membantu
nasabah meningkatkan volume usahanya melalui modal kerja dan sedapat
mungkin berupaya menghindari timbulnya kredit macet. Atas dasar pemikiran
tersebut di atas maka pemilihan sektor-sektor usaha yang produktif dan cepat
menghasilkan likuiditas tentunya akan diproritaskan. Pemberian kredit kepada
nasabah juga harus memenuhi prinsip kepercayaan dan kehati-hatian
(Hermansyah 2011), agar tingkat risiko dari kredit atau pinjaman yang diberikan
dapat diminimalisir.
Menurut World Development Indicator (2014), Kredit Domestik oleh
Sektor Perbankan meliputi seluruh kredit yang disalurkan perbankan ke seluruh
sektor basis kotor, dengan pengecualian terhadap kredit untuk pemerintah pusat,
dimana sektor perbankan meliputi otoritas moneter dan deposito. Sedangkan,
Kredit Domestik untuk Sektor Swasta adalah sumber pendanaan finansial yang
disediakan untuk keperluan sektor swasta melalui pinjaman, pembelanjaan
sekuritas non-equity, kredit perdagangan dan akun penerimaan lain. Untuk
beberapa negara, kredit untuk wirausaha umum juga termasuk bagian kredit ini.
Jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) atau Broad Money, didefinisikan
sebagai hasil penjumlahan M1 (uang kartal+uang giral) dan uang kuasi (deposito
berjangka, tabungan, dan giro valas) serta surat berharga berjangka kurang dari
satu tahun. Sedangkan simpanan kotor domestik didefinisikan sebagai sisa akhir
dari pengurangan GDP dan pengeluaran konsumsi akhir (total konsumsi). Peranan
kredit domestik dalam suatu perekonomian sangat penting. Jika kredit domestik
16
meningkat, hal ini secara otomatis akan meningkatkan jumlah uang beredar yang
selanjutnya akan memengaruhi perekonomian secara makro (Marissa 2004).
Dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi, berbagai studi empiris
terdahulu menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara GDS, DCBS,
DCPS dan M3 terhadap pertumbuhan ekonomi terutama di negara-negara
berkembang non-ASEAN (Hassan et al.2010). Hal ini membuktikan bahwa
terdapat hubungan positif yang kuat antara pembangunan jasa finansial dan
pertumbuhan ekonomi.
Mekanisme Transmisi Moneter
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan
makro melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha
tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya
peningkatan output keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui
mekanisme transmisi untuk menggeser permintaan agregat, sehingga akan
mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah
Uang Beredar) atau M2 bersifat ekspansif, sedangkan penurunan JUB bersifat
kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan agregat sebagai reaksi atas
kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan investasi dan perubahan JUB
akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada pengeluaran untuk investasi.
Ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif
dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dapat memengaruhi
pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter berpengaruh lebih besar serta
dapat diperkirakan memiliki efek yang lebih cepat (Maretha 2012).
Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan
menjadi dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif.
Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah
jumlah uang beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Dari Gambar 7
dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (MS1) dan tingkat suku bunga adalah
kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga yang peka terhadap pengeluaran
adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1 dan produk domestik bruto
adalah (Y1).
Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva
permintaan uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1)
menetukan tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka
tingkat suku bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1),
AE1 (R1) dan Y1.
Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight
money policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan
instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open
Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib
(Reserve Requirement Ratio), Himbauan Moral (Moral Persuasion).
17
Gambar 7. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif
Teori Pertumbuhan Endogen
Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (New
Growth Theory) yang menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi
yang berasal dari luar (eksogen). Model pertumbuhan endogen mempunyai
kemiripan struktural dengan teori pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam
hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini
berupaya untuk menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat
(Increasing Return to Scale) dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-
beda antarnegara. Teori ini menjelaskan bahwa tabungan dan investasi dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mankiw 2002). Teori
pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) dirintis oleh Romer (1986)
dan Lucas (1989). Teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih
menyeluruh dan meyakinkan mengenai hubungan antara perdagangan
internasional dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang (Maretha 2012).
Secara spesifik, teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan
bahwa asumsi pengembalian modal konstan lebih bermanfaat jika K (capital)
diasumsikan secara lebih luas dimana ilmu pengetahuan diperhitungkan sebagai
bagian dari K (capital). Dengan memperhitungkan ilmu pengetahuan sebagai
bagian dari modal maka asumsi pengembalian modal konstan menjadi deskripsi
yang lebih mengesankan tentang pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Mankiw
2002). Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh
negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah
berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer
(complementary investments) dalam sumber daya manusia (pendidikan),
infrastruktur, atau riset dan pengembangan (Maretha 2012).
18
Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman judul, penulis, tujuan, metode, variabel dan
kesimpulan dalam beberapa penelitian terdahulu terkait hubungan pembangunan
jasa finansial dan pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan bagi penulis.
Rangkuman metode dan variabel dalam penelitian terdahulu disajikan dalam
Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rangkuman Metode dan Variabel dalam Penelitian Terdahulu
Judul dan
Penulis
Tujuan Metode Variabel Kesimpulan
The Role of
Financial System in
Development
(1998)
Oleh Joseph
Stiglitz
Financial
Intermediation and
Growth: Causality
and Causes (1999)
oleh Ross Levine,
Norman Loayza,
dan Thorsten Beck
Finance and
Growth: Theory
And
Evidence(2005)
oleh Ross Levine
Mengkritisi
hubungan antara
sistem finansial
dan
makroekonomi
Mengevaluasi
pengaruh
komponen
eksogen
intermediasi
finansial terhadap
pertumbuhan
ekonomi dan
menganalisis
sejauh mana
perbedaan standar
akuntansi
finansial
antarnegara
memengaruhi
pembangunan
finansial
Menganalisis,dan
mengkritisi
hubungan antara
sistem operasi
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi
Studi
komparatif
berbagai
penelitian-
Model
mikro dan
makro
Business
Cycle
Panel
Dinamis,
GMM,
Analisis
Sensitivitas
Studi
Komparatif
berbagai
penelitian.
Ekuitas, Pinjaman
Bank jangka
pendek, Obligasi,
investasi
Indikator
pembangunan
intermediasi
finansial,yaitu :
Kewajiban lancar
(+)
Kredit swasta(+),
FDI (-)
Surat berharga
bank sentral (+).
Indikator
Akuntansi:
CREDITOR,
ENFORCE dan
ACCOUNT.
Pertumbuhan GDP
Perkapita Riil ,
Kredit Swasta,
Pertumbuhan
produktivitas,
Pertumbuhan
modal perkapita
Sistem keuangan
merupakan faktor
penting dalam
memengaruhi
pembangunan.
Peningkatan kinerja
sistem keuangan
dapat meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi dan
mengurangi peluang
krisis.
Terdapat hubungan
positif antara
komponen eksogen
intermediasi
finansial terhadap
pertumbuhan
ekonomi. Perbedaan
standar akuntansi
finansial justru
membantu performa
finansial yang juga
berbeda-
beda,sehingga juga
dapat meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi, bagi
negara dengan
sistem hukum dan
akuntansi yang baik.
Terdapat hubungan
positif yang kuat
antara sistem
keuangan dan
pertumbuhan
ekonomi jangka
panjang.Selain itu
19
The Determinants
of International
Financial
Integration
Revisited : The
Role of Networks
and Geographic
Neutrality (2009)
oleh Ivan Arribas ,
Francisco Perez
dan Emili Tortosa-
Ausina
Financial
Development and
Economic Growth :
New Evidence from
Panel Data (2010)
oleh M.Kabir
Hassan,Benito
Sanchez, dan Jung
Suk Yu
Financial
Development and
Economic Growth
in The
Organization of
Islamic Conference
Countries (2010)
oleh M.Kabir
Hassan,Benito
Sanchez, dan Jung
Menganalisis
faktor-faktor yang
menyebabkan
timbulnya
integrasi finansial
yang asimetris
pada sektor
perbankan
Menganalisis
hubungan antara
pembangunan
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi di
negara
berkembang dan
negara maju
OECD.
Menganalisis
hubungan antara
pembangunan
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi di
negara
berkembang islam
(OIC Countries)
Analisis
Jaringan
dan Konsep
Netralitas
Geografi
(Analisis
parametris-
non
parametris)
Data Panel
Statis,
Granger
Causality
Test, VAR
Data Panel
Statis,
Granger
Causality
Test, VAR
Kovariat Integrasi
Perdagangan
(DTO,DDTC,DTI),
Perubahan CPI
(PICH), BANK50,
DEPOSITS,
MKTCAP,FIN10,
FIN1050
GDP Perkapita(+),
GDS(+),DCBS(+),
DCPS(+),M3(+),
TRADE(+),
Inflasi(-)
Pengeluaran
Pemerintah(-)
GDP Perkapita (+),
GDS (-),
DCBS(+),
DCPS(+),
M3(+),
PRIV(Kredit untuk
sektor swasta oleh
sektor
perbankan)(+),
Inflasi (-)
politik,legal kultural
bahkan faktor
geografis ikut
memengaruhi
sistem finansial
sehingga perlu
untuk
diperhitungkan
dalam menganalisis
hubungan
pertumbuhan
ekonomi dan sistem
keuangan.
Integrasi dan
keterbukaan
perdagangan tidak
sama.
Teori integrasi
finansial dalam
sektor perbankan
seringkali jauh lebih
luas dan kompleks
sehingga teori yang
berlaku seringkali
tidak sesuai dengan
realitas. Hal ini
berlaku baik di
Negara Maju
maupun di Negara
Berkembang.
Terdapat hubungan
positif jangka
panjang yang kuat
antara pembangunan
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi
Terdapat hubungan
positif antara
pertumbuhan
ekonomi dan
pembangunan
finansial pada
negara-negara OIC.
20
Suk Yu
Kausalitas Dinamis
Antara Financial
Development ,
Liberalisasi
Perdagangan dan
Pertumbuhan
Ekonomi di
Indonesia dalam
menyongsong
pemberlakuan
ASEAN Economic
Community (2011)
oleh Imam Mukhlis
Dampak Kebijakan
Fiskal, Kebijakan
Moneter dan
Keterbukaan
Perdagangan
Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi : Studi
Komparatif
Negara-Negara
ASEAN+6 (2012)
oleh Vevi Retno
Maretha
Financial
Openness and
Growth : 2000-
2011(2013) oleh
Amy Kennedy
.
Menganalisis
peranan
pembangunan
finansial, dan
keterbukaan
perdagangan
dalam
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
Membahas
hubungan
kebijakan
fiskal,moneter
dan keterbukaan
perdagangan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi negara-
negara maju dan
berkembang
dalam kerangka
ASEAN+6
Menganalisis
hubungan
keterbukaan
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi pada
periode tahun
2000-2011 di 34
negara maju.
Granger
Causality
Test, ADF
Test dan
Kointegrasi
Panel
Dinamis,
GMM
Data Panel
Statis
TRADE(+),
Pengeluaran
Pemerintah (-)
Rasio kredit
domestik dengan
PDB (+), M2 (+),
dan Keterbukaan
perdagangan (+)
Pengeluaran
Pemerintah(-),
Keterbukaan
Perdagangan(+),
dan M2(+)
Pertumbuhan GDP
tahunan (+),
Keterbukaan
finansial (+), Stock
of Traded(+),Stock
of turnover(+),
Kredit swasta(-),
Partisipasi tenaga
kerja(+),
Modal (+),Ekspor
(+) dan total
populasi (+)
Dalam jangka
panjang terdapat
hubungan dinamis
antara financial
development,
keterbukaan
perdagangan
internasional dan
pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Sedangkan dalam
jangka pendek
terdapat kausalitas
dua arah antara
pertumbuhan
ekonomi dengan
financial
development.
Kebijakan ekspansi
fiskal berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
ekonomi negara
berkembang
sedangkan kebijakan
ekspansi moneter
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
ekonomi negara
maju.
Terdapat hubungan
positif antara
keterbukaan
finansial dan
pertumbuhan
ekonomi. Untuk
kasus negara maju
keterbukaan
finansial harus tetap
dijaga tanpa
kontrol/restriksi
berlebih untuk
mencapai
pertumbuhan
21
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dibandingkan
penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini tidak hanya secara umum akan
menganalisis pengaruh keterbukaan finansial terhadap pertumbuhan ekonomi
menggunakan metode analisis ekonometrika yakni data panel statis, seperti yang
telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, namun lebih fokus pada
sejauh mana kondisi pembangunan finansial suatu negara yang direpresentasikan
oleh variabel kredit domestik oleh perbankan atau Domestic Credit provided by
Banking Sector (DCBS) , kredit domestik untuk sektor swasta atau Domestic
Credit to Private Sector (DCPS), jumlah uang beredar (M2), simpanan kotor
domestik atau Gross Domestic Savings (GDS), serta kondisi sektor riil yang
direpresentasikan oleh variabel perdagangan, pengeluaran pemerintah dan inflasi,
mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada periode terbaru yakni tahun
2000 hingga 2012.
Selain itu, pembeda penelitian ini dibandingkan penelitian-penelitian
sebelumnya terletak pada objek penelitian yang merupakan sebuah kawasan
kerjasama ekonomi dan perdagangan yang kompleks yakni ASEAN+6 yang
terdiri atas negara-negara Asia Tenggara plus enam negara mitra kerjasama Asia
dan non-Asia lainnya. Pada penelitian ini secara spesifik akan dianalisis hubungan
variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi
untuk seluruh negara ASEAN+6, golongan negara maju ASEAN+6, dan golongan
negara berkembang ASEAN+6.
Selain itu, metode analisis kuantitatif pada penelitian ini yang
menggunakan metode data panel statis, cukup fokus pada interpretasi nilai
individual heterogeneity atau keragaman individu masing-masing cross section.
Melalui interpretasi terhadap nilai keragaman individu tersebut, dapat dianalisis
besaran pertumbuhan ekonomi suatu negara tanpa memperhitungkan pengaruh
variabel bebas lainnya dalam model. Terdapat pula salah satu pembeda yang
menarik lainnya, yakni pemberlakuan estimasi pada satu nilai taraf nyata, yakni
pada taraf nyata konsisten di 5 persen. Pada penelitian sejenis sebelumnya,
digunakan taraf nyata tak konsisten dari level 5 persen, 10 persen, hingga 15
persen. Penelitian dengan taraf nyata konsisten dengan nilai yang lebih rendah,
menghasilkan pemodelan yang lebih akurat dan konsisten.
Selain itu, perhitungan analisis RCA (Revealed Comparative Advantage)
untuk menganalisis daya saing atau keunggulan komparatif dalam perdagangan
jasa finansial di pasar ASEAN+6 untuk masing-masing negara anggota yang
terlibat, juga merupakan pembeda penelitian ini dibandingkan penelitian
sebelumnya yang relatif cukup jarang menganalisis keunggulan komparatif sektor
jasa finansial.
ekonomi yang
maksimal,dengan
tetap menjaga
ketahanan finansial
domestik untuk
setiap bentuk-bentuk
cross border
transaction.
22
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang
bermanfaat bagi pemerintah dan segenap pihak yang berkepentingan agar mampu
meningkatkan performa sektor jasa keuangan ataupun sektor riil dalam rangka
memaksimumkan manfaat perdagangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
dan meningkatkan kesiapan serta daya saing Indonesia dan negara-negara
ASEAN+6 lainnya menuju MEA 2015.
Kerangka Pemikiran
Penelitian Hassan et al.(2010) yang dijadikan acuan dalam penelitian ini
menggunakan metode data panel statis, Granger Causality Test dan VAR untuk
menganalisis hubungan antara pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi
untuk kelompok negara low-middle income OECD dan negara-negara high income
OECD. Berbeda dengan itu, penelitian ini menganalisis kesiapan kondisi
liberalisasi dan pembangunan jasa finansial di negara-negara yang terlibat dalam
kerjasama ASEAN+6 dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara anggota ASEAN+6 ini kemudian dikelompokkan atas dua
golongan yakni golongan negara maju (High Income) dan berkembang (Low-
Middle Income). Pada dasarnya, terdapat perbedaan karakteristik antara negara
maju dan negara berkembang karena sistem yang berbeda diantara keduanya.
Perlakuan antara negara maju dan negara berkembang tidak dapat disamakan
karena adanya perbedaan yang mendasar tersebut. Negara maju dan negara
berkembang memiliki perbedaan dalam sektor riil maupun sektor keuangan,
sehingga dalam analisis hubungan variabel pembangunan jasa finansial dan
pertumbuhan ekonomi, kelompok negara maju dan berkembang ASEAN+6 harus
dianalisis secara terpisah. Golongan negara-negara maju ASEAN+6 terdiri atas
Singapura, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, New Zealand dan
Australia. Sedangkan golongan negara-negara berkembang ASEAN+6 terdiri atas
Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Cina dan India.
Untuk menganalisis hubungan tersebut maka dibutuhkan variabel-variabel
yang mampu menggambarkan kondisi pembangunan finansial suatu negara serta
variabel yang mampu menggambarkan bagaimana kondisi sektor riil, terutama
perdagangan dalam kerjasama ASEAN+6 tersebut. Variabel pembangunan
finansial yang digunakan dalam penelitian ini meliputi DCBS, DCPS, M2, dan
GDS sedangkan variabel yang menggambarkan kondisi sektor riil dalam
penelitian adalah TRADE, GOV.EXPENDITURE (GOV), dan INFLATION
(INF).
Pola hubungan antar variabel-variabel bebas tersebut terhadap
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel terikatnya, akan diestimasi menggunakan
model kuantitatif ekonometrik yakni data panel statis. Signifikansi, besaran dan
tanda koefisien akan menggambarkan hubungan tiap variabel bebas terhadap
variabel terikatnya. Sedangkan keragaman individu tiap negara akan menjelaskan
besaran pertumbuhan ekonomi tiap negara dengan tanpa adanya pengaruh dari
variabel bebas lainnya.
Selain itu metode analisis pada penelitian ini juga dilengkapi dengan
penghitungan nilai RCA (Revealed Comparative Advantage), guna menganalisis
daya saing dan keunggulan komparatif tiap-tiap negara anggota ASEAN+6 dalam
perdagangan jasa finansial di pasar ASEAN+6.
23
Hasil ilmiah model estimasi diharapkan dapat menjadi acuan pemerintah
dalam merumuskan alternatif kebijakan yang tepat dalam rangka peningkatan
performa dan kualitas sektor jasa keuangan Indonesia dan ASEAN+6, serta
sekaligus meningkatkan daya saing sektor jasa keuangan menuju MEA 2015
mendatang.
Keterangan :
terdiri atas
memengaruhi
alat analisis
Gambar 8. Kerangka Pemikiran
24
Hipotesis
Berdasarkan pemaparan dalam tinjauan pustaka ini, maka hipotesis awal
yang dapat ditarik dari penelitian terkait analisis hubungan variabel pembangunan
jasa finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebagai
berikut :
1. Terdapat hubungan jangka panjang yang positif antara pembangunan
finansial dan pertumbuhan ekonomi.
2. GDP Perkapita berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
negara maju dan berlaku sebaliknya pada negara berkembang.
3. Kredit domestik oleh sektor perbankan berhubungan positif terhadap
pertumbuhan ekonomi .
4. Kredit domestik untuk sektor swasta berhubungan positif terhadap
pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan berlaku sebaliknya pada
negara maju.
5. M2 atau jumlah uang beredar berhubungan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
6. Simpanan kotor domestik berhubungan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
7. Performa ekspor dan impor dalam perdagangan berhubungan positif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
8. Pengeluaran pemerintah berhubungan positif terhadap pertumbuhan
ekonomi negara berkembang dan berlaku sebaliknya pada negara maju.
9. Inflasi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan jenis
data panel atau longitudinal data. Data panel merupakan gabungan data jenis deret
waktu (time series) dan data jenis kerat lintang (cross section). Penelitian ini
menggunakan tiga belas data deret waktu untuk periode tahun 2000-2012 dan
menggunakan dua belas data kerat lintang untuk observasi negara objek penelitian
ASEAN+6 yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei
Darussalam, dan ditambah dengan enam negara mitra kerjasama lain yakni Jepang,
Korea Selatan, Cina, Australia, Selandia Baru dan India. Kamboja (Cambodia),
Myanmar, Laos dan Vietnam (CMLV Countries) tidak masuk dalam ranah
penelitian dikarenakan kesulitan akses data.
Data diperoleh dari berbagai sumber dan literatur. Data untuk metode data
panel statis diperoleh dari World Development Indicators (WDI) dan International
Monetary Finance (IMF). Sedangkan data untuk pengolahan RCA diperoleh dari
World Development Indicators (Current US$). Selebihnya untuk keperluan
kelengkapan analisis deskriptif data dihimpun dari berbagai jurnal dan literatur
terkait serta dari beberapa sumber seperti Asian Development Bank (ADB)
25
Outlook, ASEAN Statistical Yearbook 2013, SEADI, ISEAS, Indeks Mundi, APEC,
Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kemenko Perekonomian, BAPPENAS
dan Bank Indonesia.
Melalui metode data panel statis dalam penelitian ini, digunakan delapan
variabel bebas untuk menganalisis variabel terikat yakni pertumbuhan ekonomi
(GROWTH). Variabel dan proksi data dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Variabel, Proksi, Jenis Variabel, dan Sumber
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan dua metode analisis sekaligus yakni metode
kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan dengan penjabaran
data-data ekonomi ASEAN+6 dengan analisis deskriptif terkait fenomena
ekonomi di dalamnya, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan secara matematis-
statistik dengan pemodelan ekonometrik data panel statis dan perhitungan indeks
RCA (Revealed Comparative Advantage). Perhitungan kuantitatif RCA dilakukan
dengan bantuan program aplikasi Micrososft Excel 2007, sedangkan pemodelan
data panel statis dilakukan dengan bantuan program aplikasi Microsoft Excel 2007
dan E-Views 6.0 pada taraf nyata konsisten 5 persen.
26
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Indeks RCA atau biasa dikenal sebagai indeks Balassa adalah indikator
yang dapat menggambarkan keunggulan komparatif atau tingkat daya saing
industri dan perdagangan suatu negara di pasar global. Indeks RCA menunjukkan
keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara pada suatu
komoditas terhadap dunia. Kinerja ekspor produk dari suatu negara diukur dengan
menghitung pangsa nilai ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara
dibandingkan dengan pangsa nilai produk tersebut dalam perdagangan dunia
(Kemendag 2014). Secara matematis, Indeks RCA dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Keterangan:
Xij = nilai ekspor komoditas i dari negara j (US$)
Xj = nilai total ekspor dari negara j (US$)
Xiw = nilai ekspor komoditi i dari pasar w (US$)
Xw = nilai ekspor total dunia (US$)
Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih
besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di
atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu
(1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditis tersebut tergolong rendah, di
bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat
keunggulan komparatifnya.
Data Panel Statis
Analisis hubungan variabel pembangunan finansial dan perdagangan
terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis ekonometrik data panel statis, seperti mengacu
pada Hassan et al. (2010) untuk dua judul penelitian yang berbeda. Metode data
panel memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat mengontrol heterogenitas
individu, menyajikan data yang lebih informatif, variatif, memiliki kolinearitas
antar variabel yang rendah, dan memiliki derajat kebebasan yang tinggi sehingga
lebih efisien, baik digunakan untuk mempelajari dinamika penyesuaian (dynamics
of change), lebih mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat
diukur oleh data time series murni atau cross section murni, dapat merumuskan
dan menguji model yang lebih kompleks dan analisis pada level mikro dapat
meminimisasi atau menghilangkan bias yang terjadi akibat agregasi data ke level
makro (Baltagi 2005). Langkah analisis data panel yang dilakukan terdiri atas
perumusan model, pemilihan metode estimasi, uji kriteria, dan analisis hasil
estimasi. Alur analisis data panel disajikan pada Gambar 9.
27
Perumusan Model
Perumusan model analisis pengaruh hubungan variabel pembangunan
finansial,perdagangan dan pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada model penelitian yang digunakan Hassan et
al.(2010) untuk dua penelitiannya terkait hubungan pembangunan finansial dan
pertumbuhan ekonomi baik di negara-negara maju dan berkembang OECD dan
negara-negara OIC. Model hubungan variabel pembangunan finansial,
perdagangan dan pertumbuhan ekonomi tersebut dirumuskan sebagai berikut :
GROWTHit = f(Qit,FINit,GDSit,TRADEit,GOVit,INFit)
dengan :
GROWTHit = Pertumbuhan Ekonomi
Qit = GDP Perkapita
FINit = Variabel Pembangunan Finansial ( DCBS ,DCPS, M2 )
GDSit = Simpanan Kotor Domestik
TRADEit = Perdagangan
GOVit = Pengeluaran Pemerintah
INFit = Inflasi
Gambar 9. Alur Analisis Data Panel
28
Model di atas dibuat untuk mengidentifikasi hubungan delapan variabel bebas
terhadap satu variabel terikat. Variabel terikat GROWTH dan variabel-variabel
bebas lain yakni variabel Q dan variabel pembangunan finansial (FIN) seperti
GDS, serta variabel indikator kinerja sektor riil seperti GOV dan INF langsung
dapat diolah karena data baik dari WDI dan IMF yang didapat, sudah dalam
bentuk persen. Sedangkan Variabel indepen pembangunan finansial lain seperti
DCBS, DCPS, dan M2 harus diolah dalam bentuk logaritma natural terlebih dulu,
sebelum diproses lebih lanjut. Sementara untuk variabel bebas TRADE, sebelum
diolah lebih lanjut variabel tersebut harus dikalkulasikan secara khusus, dengan
penjelasan sebagai berikut :
Perdagangan (TRADE)
Variabel ini diolah dengan menjumlahkan persentase perubahan volume
ekspor dan impor barang dan jasa di setiap negara berdasarkan data persentase
perubahan volume ekspor dan impor barang dan jasa yang bersumber dari
International Monetary Fund (IMF).
TRADE = Volume of Exports goods and services,Percent change + Volume of
Imports goods and services,Percent change
Maka persamaan yang digunakan dalam estimasi pertumbuhan ekonomi pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
GROWTHit = βᴏQit+ βıLN_DCBSit+ β2LN_DCPSit+ β3LN_M2it + β4GDSit + β5TRADEit
+ β6GOVit + β7INFit + ɛit
Asumsi Dasar BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian, jenis dan uji ekonometrik
pada model data panel statis, perlu dijabarkan secara khusus mengenai kriteria
pemenuhan asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) bagi model regresi
yang baik. Analisis model regresi linier memerlukan dipenuhinya berbagai asumsi
agar model dapat digunakan sebagai alat prediksi yang baik. Berbagai masalah
yang sering dijumpai dalam analisis regresi adalah Heteroskedastisitas,
Autokorelasi, dan Multikolineritas.
Heteroskedastisitas
Metode OLS baik model regresi sederhana maupun berganda
mengasumsikan bahwa variabel gangguan (uᵢ) mempunyai rata-rata nol atau E(uᵢ)
= 0, mempunyai varian yang konstan atau Var (uᵢ) = σ² dan variabel gangguan
tidak saling berhubungan antara satu observasi dengan observasi lainnya atau Cov
(uᵢ , uj ) = 0.
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam model OLS adalah varian
bersifat homoskedastisitas atau Var (uᵢ) = σ². Dalam kenyataannya seringkali
varian variabel gangguan adalah tidak konstan atau disebut dengan
heteroskedastisitas. Data cross-sectional cenderung untuk bersifat heteroskedastik
karena pengamatan dilakukan pada individu yang berbeda pada saat yang sama.
Berikut adalah dampak Heteroskedastisitas terhadap OLS :
29
1. Estimator metode OLS masih linier
2. Estimator metode OLS masih tidak bias
3. Namun estimator metode OLS tidak lagi mempunyai varian yang
menimum dan terbaik (no longer best)
4. Variansi dan taksiran lebih besar
5. Uji t dan F kurang akurat
6. Interval kepercayaan sangat besar
7. Kesimpulan yang kita ambil dapat salah
Autokorelasi
Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota
observasi satu dengan observasi yang lain yang berlainan waktu. Dalam kaitannya
dengan asumsi metode OLS, autokorelasi merupakan korelasi antara satu variabel
gangguan dengan variabel gangguan yang lain. Sedangkan salah satu asumsi
penting metode OLS berkaitan dengan variabel gangguan adalah tidak adanya
hubungan antara variabel gangguan satu dengan variabel gangguan yang lain.
Tidak adanya serial korelasi antara variabel gangguan ini sebelumnya dinyatakan:
Tidak ada korelasi bila E ( uᵢ, uj) = 0 ; i ≠ j
Jika Ada autokorelasi bila E ( uᵢ, uj ) ≠ 0 ; i ≠ j
Autokorelasi dapat berbentuk autokorelasi positif dan autokorelasi negatif.
Dalam analisis runtut waktu, lebih besar kemungkinan terjadi autokorelasi positif,
karena variabel yang dianalisis biasanya mengandung kecenderungan meningkat,
misalnya IHSG dan Kurs. Autokorelasi terjadi karena beberapa sebab. Menurut
Gujarati (2006), beberapa penyebab autokorelasi adalah:
1. Data mengandung pergerakan naik turun secara musiman, misalnya IHSG
kadang meningkat dan kadang menurun
2. Kekeliruhan memanipulasi data, misalnya data tahunan dijadikan data
kuartalan dengan membagi empat
3. Data runtut waktu,yang meskipun bila dianalis dengan model yt = a +
bXt+et karena datanya bersifat runtut, maka berlaku juga yt-1 = a + bXt-1 +
e t-1
4. Data yang dianalisis tidak bersifat stationer. Dengan demikian akan terjadi
hubungan antara data sekarang dan data periode sebelumnya.
Apabila data yang kita analisis mengandung autokorelasi, maka estimator
yang kita dapatkan memiliki karakteristik berikut ini:
a. Estimator metode kuadrat terkecil masih linier
b. Estimator metode kuadrat terkecil masih tidak bias
c. Estimator metode kuadrat terkecil tidak mempunyai varian yang minimum (no
longer best)
30
Seperti halnya pengaruh heteroskedastisitas, autokorelasi juga akan
menyebabkan estimator hanya LUE, tidak lagi BLUE.
Multikolinearitas
Salah satu asumsi yang digunakan dalam metode OLS adalah tidak ada
hubungan linier antara variabel bebas. Adanya hubungan antara variabel bebas
dalam satu regresi disebut dengan multikolinearitas. Multikolinearitas terjadi
hanya pada persamaan regresi berganda.
Ada kolinieritas antara Xı dan X2:X1 = γ X2 atau X2= γˉ¹Xı
Xı = X2 + X3 ( terjadi perfect multicollinearity)
X2 = 4 X1 (perfect multicollinearity )
X3 = 4 X1 + bilangan random (tidak perfect multicollinearity)
Jika dua variabel bebas atau lebih saling memengaruhi, masih bisa
menggunakan metode OLS untuk mengestimasi koefisien persamaan regresi
dalam mendapatkan estimator yang BLUE. Estimator yang BLUE tidak
memerlukan asumsi terbebas dari masalah Multikolinearitas. Estimator BLUE
hanya berhubungan dengan asumsi tentang variabel gangguan. Ada dua asumsi
penting tentang variabel gangguan yang memengaruhi sifat dari estimator yang
BLUE.
1. Varian dari variabel gangguan adalah tetap atau konstan
(homoskedastisitas)
2. Tidak adanya korelasi atau hubungan antara variable gangguan satu
observasi dengan variabel gangguan observasi yang lain atau sering
disebut tidak ada masalah autokorelasi
Jika variabel gangguan tidak memenuhi kedua asumsi variabel gangguan
tersebut, maka estimator yang kita dapatkan dalam metode OLS tidak lagi
mengandung sifat BLUE. Adanya Multikolinearitas masih menghasilkan
estimator yang BLUE, tetapi menyebabkan suatu model mempunyai varian yang
besar. Berikut adalah akibat adanya multikolinieritas pada model regresi :
1. Variansi besar (dan taksiran OLS)
2. Interval kepercayaan lebar (variansi besar SE besar Interval
kepercayaan lebar)
3. t rasio tidak signifikan,
4. R² tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t.
Dengan demikian, asumsi dasar BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)
harus dipenuhi terlebih dulu sebelum melakukan pemodelan dengan data panel
statis agar mampu menghasilkan estimasi yang baik secara ekonomi dan statistik.
31
Pemilihan Model Estimasi
Menurut Gujarati (2003), data panel (pooled data atau longitudinal data)
merupakan gabungan antara data cross section dan data time series, sehingga
dalam data panel jumlah observasi merupakan hasil kali observasi deret waktu
(t>1) dengan observasi kerat lintang (n>1). Menurut Firdaus (2012), model data
panel yang baik sebaiknya memiliki nilai derajat bebas (db) yang lebih besar dari
dua puluh lima (db>25). Model data panel dengan db<25 dianggap belum
representatif untuk menghasilkan estimasi data panel yang baik, sehingga perlu
dilakukan penambahan jumlah data cross section (n) dan data time series (t),
untuk meningkatkan derajat bebas pada model. Berikut adalah rumus perhitungan
derajat bebas (degree of freedom) untuk pemodelan data panel.
db = n-k-1
dimana:
n = jumlah data panel (nxt)
k = jumlah variabel bebas
Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu
terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Jika setiap unit cross
section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut balanced
panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section,
maka disebut unbalanced panel. Menurut Firdaus (2012), Micro Panel atau
perhitungan panel mikro dilakukan pada kecenderungan jumlah n besar dan t kecil,
untuk estimasi ekonometrika industri dan rumahtangga. Sebaliknya, Macro panel
atau perhitungan panel makro dilakukan pada kecenderungan n kecil dan t besar
untuk analisis fenomena ekonomi advanced dan emerging market misalnya untuk
PPP (Purchasing Power Parity), GNI dan lain sebagainya yang sebagai contoh,
banyak bersumber di World Development Indicator. Sedangkan bila n dan t sama-
sama besar biasanya digunakan untuk kasus produksi serta ekspor-impor produk
pertanian. Keuntungan menggunakan teknik panel data menurut Baltagi (1995)
adalah sebagai berikut :
(1) Dapat mengendalikan heterogenitas individu
(2) Dengan mengkombinasikan observasi berdasarkan deret waktu dan kerat
lintang, maka data panel memberikan informasi yang lebih lengkap,
bervariasi, kolienaritas antar variabel menjadi berkurang, serta
memperbesar derajat kebebasan, sehingga lebih efisien
(3) Dapat meneliti karakteristik individu yang mencerminkan dinamika
antarwaktu dari masing-masing variabel bebas, sehingga analisis lebih
komprehensif dan mencakup hal-hal yang mendekati realitas
(4) Data panel dapat digunakan dalam membangun dan menguji model
perilaku yang lebih kompleks.
Disamping memiliki keuntungan, model data panel juga memiliki beberapa
kekurangan (Baltagi, 1995), yaitu:
32
(1) Masalah koleksi data dan efisien
(2) Kemungkinan distorsi dari kesalahan pengukuran
(3) Dimensi seri waktu yang lebih pendek
Model estimasi data panel pada dasarnya terbagi atas dua jenis yakni
model data panel statis dan model data panel dinamis yang identik dengan
pendekatan GMM (Generalized Method of Moments). Model data panel statis
secara lebih khusus, menurut Gujarati (2006), terdiri atas tiga pendekatan yakni
Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) atau LSDV dan Random
Effect Model (REM). Pendekatan PLS kurang ideal digunakan dalam pemodelan
data panel statis, sehingga seringkali pemilihan alternatif model data panel statis
terbaik mengacu hanya pada FEM dan REM. Berikut akan dijabarkan mengenai
pendekatan FEM dan REM pada model data panel statis.
- Pendekatan Model Efek Tetap (Fixed Effect)
Metode fixed effect digunakan ketika antara efek individu dan variabel
penjelas memiliki korelasi dengan variabel Xit atau memiliki pola yang sifatnya
tidak acak. Metode ini mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang
dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section
dan time series. Untuk memungkinkan adanya perubahan intersep ini, dapat
ditambahkan variabel dummy (D) ke dalam model yang selanjutnya akan diduga
dengan model OLS (Ordinary Least Square). Model yang digunakan adalah:
Yit= ƩaiDi + ßXit +ɛit
Estimasi metode fixed effect dapat dilakukan dengan tanpa pembobot
(noweighted) atau dengan pembobot (cross section weight) yang biasa disebut
General Least Square (GLS). Tujuan dilakukan pembobotan adalah untuk
mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati 2006). Metode ini
mampu menangkap keragaman individu dengan sangat baik dibandingkan dengan
alternatif pemodelan data panel statis lain.
- Pendekatan Model Efek Acak (Random Effect)
Dalam metode random effect atau error component model, parameter yang
berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error.
Persamaan umum dalam model random effect yaitu :
Yit= ai + ßXit +ɛit
ɛit = uit + Vit + Wit
Dimana : uit ~ N (0,δu²) = komponen cross section error
Vit ~ N (0,δv²) = komponen time series error
Wit ~ N (0, δw²) = komponen combinations error
Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah error secara individual tidak
saling berkorelasi, begitu pula dengan error kombinasinya.
33
Untuk menentukan model pendekatan yang terbaik dalam data panel statis,
perlu dilakukan uji ekonometrika tertentu yakni dengan menggunakan Uji Chow,
Uji Hausman, dan Uji LM (Breusch – Pagan). Beberapa peneliti tidak melakukan
Uji Chow dalam penentuan model data panel statis, melainkan langsung mengacu
pada hasil Uji Hausman untuk memilih model terbaik antara FEM dan REM. Uji
Hausman dijelaskan sebagai berikut.
Uji Hausman
Uji Hausmann merupakan pengujian statistik untuk dasar pemilihan
menggunakan model fixed effect atau model random effect. Pengujian ini akukan
dengan hipotesis berikut:
H0: Random Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Dasar penolakan hipotesis nol adalah dengan menggunakan nilai statistic
Hausmann dan membandingkannya dengan Chi-Square. Jika nilai statistik-H
lebih ar dari X² (k), maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0,
hingga model yang digunakan adalah fixed effect, begitu pula sebaliknya. Nilai
statistik-H didapat dari persamaan berikut:
H = (ßREM– ßFEM) (MFEM – M X²(k)
Dimana: ß = vektor statistik variabel random effect
ßREM = vektor statistik variabel fixed effect
MFEM = matriks kovarians untuk dugaan model fixed effect
MREM = matriks kovarians untuk dugaan model random effect
k = derajat bebas
Kriteria Uji
Setelah menemukan model estimasi data panel yang paling tepat
berdasarkan uji ekonometrika seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
selanjutnya akan dilakukan tiga uji kriteria terhadap parameter tersebut, yakni uji
statistik, uji konometrika, dan uji ekonomi.
-Uji Statistik
Uji Statistik digunakan untuk menganalisis kesesuaian model regresi yang
diperoleh. Uji statistik terdiri atas nilai koefisien determinasi, uji-F, dan uji-T.
Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk mengukur seberapa besar
keseluruhan variabel bebas yang digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan
keragaman variabel terikat. Nilai R² berkisar 0< R²<1, dimana semakin mendekati
satu, maka model semakin baik.
Uji-F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas yang
digunakan secara bersama-sama signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat.
Hipotesis pengujian yang digunakan adalah:
H0 : ß1= ß2= ........... = ßk = 0
34
H1 : minimal ada satu ßk ≠ 0
Jika F-statistic > F α(k-1,nt-n-k) atau Prob(F-statistic) < taraf nyata (α),
maka tolak H0, yang berarti dengan tingkat kepercayaan 1-α dapat disimpulkan
bahwa variabel bebas yang digunakan di dalam model secara bersama-sama
signifikan memengaruhi variabel terikat, begitu pula sebaliknya.
Uji-t digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Hipotesis pengujiannya
adalah:
H0 : ß = 0
H1 : ßk ≠ 0
Jika nilai t-statistic > t α/2(nt-k-1), maka tolak H0, yang berarti dengan
tingkat kepercayaan 1-α dapat disimpulkan bahwa variabel bebas ke-k secara
parsial memengaruhi variabel terikat, begitu pula sebaliknya.
-Uji Ekonometrika ,
Uji Ekonometrika dilakukan untuk memastikan model estimasi regresi
linear yang dihasilkan bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).
Estimator yang bersifat BLUE adalah estimator yang merupakan fungsi linear atas
sebuah variabel terikat yang stokastik, estimator tidak bias atau nilai ekspektasi
sesuai dengan nilai sebenarnya, dan estimator memiliki varians yang minimum
sehingga bersifat efisien. Untuk memastikan estimator bersifat BLUE, maka harus
dilakukan uji asumsi yang memastikan estimator menyebar normal dan bebas dari
masalah heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas (Gujarati 2006).
Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term
mendekati distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji
Jarque Bera dengan hipotesis berikut:
H0: a = 0 (error term terdistribusi normal)
H1: a ≠ 0 (error term tidak terdistribusi normal)
Jika nilai Jarque Bera < x² df2 atau probabilitas (p-value) > taraf nyata (α), maka
terima H0 yang berarti residual eror (error term) terdistribusi normal.
Uji asumsi homoskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah varians
setiap unsur error adalah suatu angka konstan yang sama dengan δ² atau
var(uᵢ =δ².Jika uji asumsi terpenuhi, maka hasil estimasi terbebas dari masalah
heteroskedastisitas, yakni varians error tidak konstan. Jika nilai Sum Square Resid
pada Weighted Statistics lebih kecil dari Sum Square Resid pada Unweighted
Statistics maka tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
Uji asumsi autokorelasi dilakukan untuk memastikan tidak terjadi korelasi
antar error dari periode waktu (time series) yang berbeda. Suatu model dapat
dikatakan terbebas dari masalah autokorelasi jika nilai statistik Durbin-Watson
(DW) terletak di area non-autokorelasi, yaitu diantara dua nilai titik kritis batas
atas (dU) dan batas bawah (dL). Selang nilai DW-Stat (d) dan keputusannya adalah
sebagai berikut (Gujarati 2006) :
35
Secara manual, perhitungan uji Durbin Watson dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus :
d = 2-2(r)
Dimana, r = koefisien korelasi pearson ( -1 ≤ r ≤ 1 ) dan d = DW-Stat ( 0 ≤ d ≤ 4 ).
Pada saat r = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi
Pada saat r = 1, d = 0, artinya ada korelasi positif
Pada saat r = -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif
Berdasarkan hasil perhitungan DW-Stat baik secara manual maupun berdasarkan
hasil output perhitungan software ekonometrik, dapat disimpulkan ada tidaknya
masalah autokorelasi dalam model berdasarkan kriteria uji Durbin-Watson sebagai
berikut :
Jika nilai d berada antara 0 sampai 1,10 Tolak Ho, berarti ada
autokorelasi positif
Jika nilai d berada antara 1,10 sampai 1,54 Tidak dapat diputuskan
Jika nilai d berada antara 1,54 sampai 2,46 Tidak menolak Ho, berarti
tidak ada autokorelasi
Jika nilai d berada antara 2,46 sampai 2,90 Tidak dapat diputuskan
Jika nilai d berada antara 2,90 sampai 4 Tolak Ho, berarti ada
autokorelasi negatif .
Uji multikolinearitas dilakukan untuk memastikan tidak terdapat hubungan
linier antar variabel bebas. Indikasi terjadinya multikolinearitas adalah jika
koefisien parameter dari t-statistik banyak yang tidak signifikan sementara F
statistiknya signifikan. Selain itu, indikasi adanya multikolinearitas juga dapat
diidentifikasi dengan melakukan Correlation-Test atau Uji Klein pada variabel-
variabel penelitian. Masalah ini dapat diatasi dengan cara menghilangkan variabel
yang tidak signifikan, mentransformasikan data, dan menambah variabel. Namun
dalam metode data panel, pelanggaran asumsi multikolinearitas tidak
menyebabkan model menjadi tidak BLUE.
- Uji Ekonomi
Uji ekonomi dilakukan dengan mencocokan tanda dan besaran koefisien
dalam model dengan teori ekonomi. Jika tanda dan besaran hasil estimasi sesuai
dengan teori ekonomi mengenai pengaruh variabel-variabel bebas terhadap
variabel terikatnya, maka model dapat dikatakan baik secara ekonomi.
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Sektor Jasa Keuangan di Indonesia dan Pasar ASEAN+6
Arus Bebas Jasa (Free Flows of Services), termasuk Jasa Keuangan di
dalamnya, telah dicanangkan oleh para pemimpin negara-negara ASEAN sebagai
salah satu pilar utama dari pembentukan satu pasar tunggal dan basis produksi di
kawasan Asia Tenggara, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN
Economic Community (AEC). Percepatan pembentukan MEA dari tahun 2020
menjadi 2015 menjadi suatu tantangan yang harus ditangani sebaik mungkin
dalam upaya mengejar target liberalisasi finansial dalam tenggat waktu yang
ditentukan (Kemenkeu 2012).
Menuju MEA 2015, Pemerintah Indonesia dan segenap pihak terkait telah
berupaya meningkatkan kinerja sektor finansial di Indonesia. Bank Indonesia (BI),
Kementerian Keuangan (KEMENKEU), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Badan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) merupakan pihak-pihak yang andil
besar dalam mengelola kerangka Sistem dan Kebijakan Perbankan di Indonesia,
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), dan Kerangka Kebijakan Macroprudential di
tanah air baik mencakup ranah sistem perbankan maupun non-perbankan. Setelah
berdirinya Superbody Nations Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka per-31
Desember 2012 Otoritas Lembaga Keuangan Non Bank yang semula dipegang
BAPEPAM-LK serta Otoritas Lembaga Keuangan Bank yang semula dipegang
oleh Bank Indonesia, per-31 Desember 2013 lalu telah diserahkan menjadi bagian
dari wewenang OJK. Dengan demikian pengawasan pasar modal dan pasar uang
perbankan dan non-perbankan secara keseluruhan akan menjadi bagian dari
wewenang OJK sebagai Non-Systemically Important Institution secara
microprudential, dimana Bank Indonesia sebagai Systemically Important
Institution, tetap menjalankan peranannya sebagai otoritas moneter dan
memegang fungsi macroprudential (Pusat Riset dan Edukasi BI 2013).
Koordinasi antara badan-badan pemerintah terkait berupaya untuk
meningkatkan kinerja sektor finansial Indonesia melalui beberapa upaya
diantaranya adalah penetapan Basel III untuk sektor perbankan, menggalakkan
inklusi finansial (financial inclusion) atau perluasan akses jasa keuangan bagi
semua segmen populasi agar mampu membuka peluang keuangan dan usaha kecil
(BAPPENAS 2013), mengelola inovasi sistem pembayaran baik dengan
branchless banking, mobile payment dan e-money, serta mengupayakan
pembentukan cross border banking atau transaksi internasional lembaga
keuangan (Pusat Riset dan Edukasi BI 2013). BAPPENAS secara khusus
mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Sektor
Keuangan 2010-2014 dengan menjadikan inklusi finansial sebagai fokus utama
dalam RPJM tersebut (BAPPENAS 2013). RPJM tersebut mencakup tiga hal
utama yakni:
1. Meningkatkan ketahanan sektor keuangan.
– Koordinasi otoritas Fiskal – Moneter.
– Penyiapan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan.
2. Mempercepat fungsi intermediasi dan penyaluran dana masyarakat.
37
– Memperluas produk jasa keuangan.
– Diversifikasi sumber pendanaan (IIF, IIGF.)
3. Meningkatkan akses terhadap lembaga jasa keuangan terutama kepada
masyarakat miskin.
Secara umum sektor keuangan Indonesia masih sangat didominasi oleh
kontribusi dominan dari sektor perbankan di atas kontribusi sektor non-perbankan,
walau sempat menurun pada semester I 2013 lalu. Pangsa pasar industri
perbankan semester I 2013 sebesar 77,9 persen, sempat menurun tipis
dibandingkan dengan pangsa semester II 2012 sebesar 78,3 persen. Penurunan
pangsa ini terjadi terutama karena mulai meningkatnya aset lembaga keuangan
non bank seperti perusahaan pembiayaan, asuransi, perusahaan modal ventura dan
pegadaian. Ke depan, peran lembaga keuangan bukan bank di Indonesia
diharapkan dapat semakin meningkat melalui upaya financial deepening dengan
semakin meningkatnya minat masyarakat Indonesia terhadap produk-produk
keuangan di luar produk perbankan (BI 2013).
Berdasarkan diagram komposisi aset lembaga keuangan Indonesia yang
disajikan dalam Gambar 10, dapat dianalisis bahwa komposisi aset lembaga
keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor perbankan hingga mencapai aset
77.9 persen, asuransi mencapai 10.8 persen dan perusahaan pembiayaan mencapai
6.8 persen. Masih tingginya dominansi sitem perbankan dalam sistem keuangan
Indonesia inilah yang menyebabkan stabilitas institusi perbankan menjadi bagian
yang sangat penting dalam penilaian stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan (BI 2013).
Berdasarkan informasi pada Tabel 5, walaupun aset lembaga keuangan
dimiliki secara dominan oleh sektor perbankan, asuransi dan perusahaan
pembiayaan namun jumlah unit lembaga keuangan di Indonesia justru
didominansi oleh Bank Perkreditan Rakyat, Dana Pensiun dan lembaga non-
perbankan lainnya yang notabene tidak mendominasi kepemilikan aset lembaga
keuangan secara maksimal.
Gambar 10. Komposisi Aset Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (2013)
38
Berdasarkan data dan informasi pada Gambar 11, dapat terlihat bahwa
pada sektor keuangan Indonesia terdapat tren pertumbuhan PDB, jumlah uang
beredar (M2), Dana, serta Kredit cenderung terus mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan kondisinya pada 2011 dan 2012. Pelemahan output ekonomi
domestik akibat guncangan isu dan realisasi tapering off dan pelemahan nilai
tukar, menyebabkan beberapa komponen penentu jumlah uang beredar (M2) ikut
melemah.
Pelemahan M2 disebabkan oleh penurunan kredit tagihan perusahaan dan
rumahtangga, pelemahan laju pertumbuhan kredit kegiatan produksi, pelemahan
daya beli masyarakat, perlambatan pangsa total kredit perbankan dan
pertumbuhan negatif aktiva luar negeri bersih. Kenaikan suku bunga dana sebagai
respon kebijakan moneter kontraktif BI tetap tak mampu meningkatkan volume
penghimpunan dana masyarakat, akibat pelemahan output ekonomi. Peningkatan
suku bunga dana juga tidak direspon positif oleh suku bunga kredit (BI 2013).
Gambar 11. Perkembangan Pertumbuhan Uang Beredar, Dana, Kredit dan
PDB (%;yoy) Indonesia Tahun 2013 Sumber : Bank Indonesia (2013)
Tabel 5. Jumlah Lembaga Keuangan Indonesia Tahun 2013 Lembaga Keuangan Jumlah Lembaga Keuangan
Perbankan
BPR
Asuransi
Dana Pensiun
Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan Modal Ventura
Perusahaan Penjamin
Manager Investasi
Pegadaian
120
1.640
139
268
197
89
7
73
1
Sumber : Bank Indonesia dan OJK (2013)
39
Walau tren pertumbuhan kredit domestik Indonesia memang cenderung
turun, namun aliran dana kredit perbankan tetap diusahakan menyentuh seluruh
sektor usaha baik korporasi maupun rumahtangga. Seperti yang tercantum dalam
UU No.13/1968 tentang Bank Sentral, Bank Indonesia mempunyai tugas pokok
“ membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan
nilai rupiah; Mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat”. Tugas
pokok inilah yang selanjutnya direalisasikan melalui penetapan berbagai
kebijakan perbankan di bidang perkreditan yang dicanangkan oleh Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral (BI 2008). Sebagian besar kredit perbankan yang
disalurkan kepada korporasi, disalurkan dalam bentuk modal kerja dan investasi.
Kredit kepada korporasi dalam bentuk modal kerja mencapai 64,3 persen. Dari
total kredit, kredit yang disalurkan kepada korporasi sebesar Rp.1.660,5 triliun,
dimanfaatkan untuk keperluan modal kerja sebesar Rp.1.068,5 triliun, kegiatan
investasi sebesar Rp.550 triliun dan keperluan konsumsi sebesar Rp42,1 triliun.
Sedangkan menurut data dalam BI (2013), apabila dilihat dari sektor ekonomi,
kredit korporasi lebih banyak digunakan antara lain pada sektor Perindustrian
(27,1%), sektor jasa-jasa (24,6%) dan sektor Perdagangan, hotel, restoran (17,6%).
Selain menyalurkan kredit kepada sektor korporasi, kredit domestik
perbankan Indonesia juga disalurkan ke sektor rumahtangga. Pada Gambar 12,
terlihat bahwa dari sisi penggunaan, sebagian besar kredit kepada sektor rumah
tangga dialokasikan untuk kredit perumahan (43.64%), diikuti oleh kredit
multiguna (37.15%), dan kredit kendaraan (15.22%). Sejalan dengan perlambatan
pertumbuhan kredit secara keseluruhan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan
di atas, perlambatan pertumbuhan juga terjadi pada seluruh jenis kredit rumah
tangga, bahkan pertumbuhan negatif terjadi pada kredit kendaraan (dari 15,81%
menjadi -8,17%) dan kredit pembelian peralatan rumah tangga (seperti furnitur,
televisi, alat elektronik, komputer, alat komunikasi dan peralatan rumah tangga
lainnya) yaitu dari 50,76 persen menjadi -50,97 persen (BI 2013).
Tabel 6. Fasilitas Kredit yang Diberikan Kepada Korporasi Menurut Jenis Kredit
(per-Agustus 2013)
Sumber : Sistem Informasi Debitur per Agustus 2013, Bank Indonesia (2013)
40
Sebagai upaya untuk mendukung pencapaian dalam MEA Blueprint,
sektor jasa keuangan ASEAN terus berbenah. Fokus kerja sama ASEAN masih
dititikberatkan pada upaya pencapaian MEA 2015 khususnya pencapaian
Roadmap for Monetary and Financial Integration (RIA-Fin). Perkembangan
pembahasan terkait pencapaian RIA-Fin antara lain mencakup bahasan financial
services liberalisation, capital account liberalisation, serta capital market
development.
Dalam area financial services liberalisation, fokus utama kerja sama
adalah pada upaya sektor keuangan untuk menyelesaikan putaran perundingan
ASEAN Framework Agreement of Services (AFAS) yang ke-6 untuk mencapai
target penandatanganan Protokol AFAS pada 2014 oleh seluruh Menteri
Keuangan ASEAN. Lebih lanjut, upaya integrasi di sektor jasa keuangan, baik
perbankan, asuransi, maupun pasar modal terus dilakukan melalui forum negosiasi
di bawah naungan AFAS, baik intra-ASEAN maupun ASEAN dengan negara-
negara mitra dialog (BI 2013).
Dalam area capital account liberalization serta capital market
development, telah disusun sebuah heat map yang dapat menggambarkan kondisi
keterbukaan rezim aliran modal masing-masing negara dalam rangka pencapaian
freer capital mobility guna mendukung perdagangan dan investasi intra kawasan
serta promosi pasar kawasan dengan ekonomi global. Namun demikian seiring
dengan terbukanya rezim aliran modal suatu negara, kemampuan untuk
menerapkan kebijakan aliran modal menjadi terbatas. Terkait dengan hal tersebut,
negara-negara anggota ASEAN, telah menyepakati perlunya sebuah policy
dialogue mengenai safeguard measures guna mengidentifikasi risiko
makroekonomi dan stabilitas keuangan yang dihadapi (BI 2013).
Pada kawasan kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN+6 terdapat
kondisi umum sektor jasa keuangan yang cukup kompleks karena melibatkan
Gambar 12. Komposisi Kredit Sektor Rumahtangga Menurut Jenisnya
(per-Juni2013) Sumber : Laporan Bulanan Bank Umum, Bank Indonesia (2013)
41
negara-negara dengan performa perekonomian yang berbeda-beda. Beberapa
negara maju memiliki kondisi jasa keuangan yang jauh lebih baik meninggalkan
beberapa negara berkembang. Berikut dalam Tabel 7 ditampilkan skor indeks dan
peringkat Indeks Pembangunan Finansial Tahun 2011 untuk negara-negara
ASEAN+6. Perhitungan nilai Indeks Pembangunan Finansial didasarkan atas
tujuh pilar perhitungan yakni lingkungan institusional, lingkungan bisnis,
stabilitas keuangan, jasa keuangan perbankan, jasa keuangan non-perbankan,
pasar keuangan dan akses keuangan (WEF 2011). Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut, Singapura memiliki skor indeks terbesar dan menjadi salah satu negara
berperingkat teratas dalam pemeringkatan indeks pembangunan finansial dunia,
diikuti oleh Australia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan dan Indonesia pada posisi
terendah.
Tabel 7. Indeks Pembangunan Finansial ASEAN+6 Tahun 2011
Negara Ranking 2011 Skor Indeks 2011
(1-7)
Singapura
Australia
Jepang
Malaysia
Korea Selatan
Cina
Thailand
India
Filipina
Indonesia
4
5
8
16
18
19
35
36
44
51
4.97
4.93
4.71
4.24
4.13
4.12
3.32
3.29
3.13
2.92 Sumber : The Financial Development Report WEF (2011)
Tidak jauh berbeda dengan kondisi komposisi aset lembaga keuangan
Indonesia, pada pasar ASEAN+6 representatif oleh Singapura, pasar keuangan di
negara tersebut masih didominasi oleh lembaga keuangan perbankan. Sebesar
68.2 persen kepemilikan aset dikuasai oleh lembaga perbankan, kemudian diikuti
dengan kepemilikan 26.6 persen aset oleh institusi intermediasi keuangan non-
perbankan, serta kepemilikan 4.8 persen aset perusahaan asuransi dan 0.4 persen
perusahaan keuangan lain. Institusi intermediasi keuangan non-perbankan
mencakup kepemilikan aset pada usaha pendanaan investasi (22.1%), hedging
(3.2%), aset broker-dealer (1%) dan lain sebagainya seperti tertera pada Gambar
13. Dominansi perbankan terjadi pada pasar keuangan Singapura dan Indonesia,
namun ruang gerak bagi lembaga keuangan non-perbankan di Singapura terbilang
lebih luas dan mampu memaksimalkan layanan jasa keuangan untuk produk
turunan finansial seperti investasi dan hedging, berbeda halnya dengan Indonesia
yang belum banyak mengembangkan produk turunan finansial pada pasar
keuangannya.
42
Gambar 13. Komposisi Aset Lembaga Keuangan Singapura Tahun 2013 Sumber : Financial Stability Review MAS (2013)
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pada pasar ASEAN+6
didapakan pola pertumbuhan GDP perkapita yang masih mengalami tren yang
fluktuatif baik pada kondisi pertumbuhan GDP perkapita intra-ASEAN maupun
pada negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya. Pertumbuhan GDP Per
kapita di kawasan intra-ASEAN masih cenderung divergen atau memiliki pola
yang berbeda dan menyebar antarnegara. Pada tahun 2010, Singapura sempat
mencapai puncak pertumbuhan GDP Perkapita di kawasan intra-ASEAN, namun
setelah periode itu, pertumbuhan GDP Perkapita Singapura terus turun.
Pertumbuhan GDP Perkapita Indonesia justru relatif stabil dari tahun 2004 hingga
2012, bahkan cenderung meningkat di tahun 2012.
Gambar 14. Pertumbuhan GDP Perkapita ASEAN+6 (Intra-ASEAN)
Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014), (diolah).
43
Berbeda dengan itu, pola pertumbuhan GDP Perkapita pada negara-negara
mitra kerjasama ASEAN+6 memang tetap fluktuatif namun cenderung mengarah
pada pola konvergen atau penyamaan level, terutama saat memasuki tahun 2012.
Cina dan India sebagai kekuatan ekonomi baru Asia mendominasi tingkat
pertumbuhan GDP Perkapita di atas rata-rata negara mitra kerjasama ASEAN+6
lainnya. Data dan informasi grafis disajikan dalam Gambar 15.
Gambar 15. Pertumbuhan GDP Perkapita Negara-Negara Mitra Kerjasama
ASEAN+6 Tahun 2004-2012 Sumber : World Development Indicator (2014), (diolah)
Variabel pembangunan finansial yang merupakan indikator pembangunan
finansial suatu negara seperti yang digunakan dalam penelitian Hassan et al.
(2010), meliputi variabel kredit domestik oleh sektor perbankan, kredit domestik
untuk sektor swasta, jumlah uang beredar (M2) dan simpanan kotor domestik.
Berdasarkan data dan informasi grafis pada gambar-gambar di bawah ini dapat
dianalisis kondisi pembangunan finansial negara-negara ASEAN+6 dari tahun
1960 hingga 2011.
Berdasarkan data dan informasi grafis pada Gambar 16, dapat dianalisis pola
dan kondisi Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic Credit
provided by Banking Sector (DCBS) pada negara-negara anggota ASEAN+6.
Sejak tahun 1960 hingga 2011. DCBS memiliki tren pertumbuhan yang kian
meningkat bersamaan dengan peningkatan pembangunan sistem finansial di dunia.
Dari tahun 1960 hingga 2011 dapat dianalisis bahwa posisi DCBS Jepang selalu
dominan dan lebih tinggi proporsinya dibandingkan negara-negara ASEAN+6
lainnya, bahkan cenderung kian meningkat pada tahun 2011. Berkebalikan dengan
itu, Brunei Darussalam justru menunjukkan performa DCBS yang kian menurun
pada tahun 2011. Artinya dalam pasar ASEAN+6, Jepang merupakan negara yang
memiliki performa pasar keuangan perbankan yang cukup baik dengan proporsi
ketersediaan kredit domestik perbankan terbesar di antara negara lain.
44
Gambar 16. Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic Credit
Provided by Banking Sector (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Tak berbeda jauh dengan tren DCBS sebelumnya, kondisi dan posisi kredit
domestik untuk sektor swasta atau Domestic Credit to Private Sector (DCPS) di
pasar ASEAN+6 juga menunjukkan pola yang sama. Sejak tahun 1960 hingga
2011 tren DCPS di negara-negara ASEAN+6 kian meningkat secara lebih pesat
dibandingkan DCBS bersamaan dengan era pembangunan finansial dunia. Sama
seperti pada DCBS sebelumnya, Jepang masih merupakan negara yang dominan
dalam kepemilikan dan performa DCPS terbesar dan terbaik di antara negara-
negara ASEAN+6 lainnya. Berkebalikan dengan itu, Indonesia, Filipina dan
Brunei justru memiliki performa DCPS yang relatif rendah dibandingkan negara-
negara ASEAN+6 lainnya. Artinya, dalam pasar ASEAN+6, Jepang merupakan
negara yang memiliki insentif besar terhadap pengembangan sektor swasta dan
usaha, dengan proporsi pembiayaan sektor swasta dan usaha terbesar. Sedangkan
Indonesia, Filipina dan Brunei Darussalam justru tidak demikian. Data grafis
dapat dilihat pada Gambar 17.
Demikian halnya dengan kondisi jumlah uang beredar (M2), sejak tahun
1960 hingga 2011, tren peredaran M2 di negara-negara anggota ASEAN+6 kian
meningkat seiring perkembangan pembangunan jasa finansial di dunia. Jepang
masih mendominasi tingkat perputaran jumlah uang beredar di ASEAN+6
kemudian diikuti dengan Cina dan Malaysia. Sedangkan Indonesia justru memiliki
performa M2 yang relatif rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN+6
lainnya.
45
Artinya, pertumbuhan jumlah uang beredar dan perputaran uang beredar, baik
melalui peningkatan volume perdagangan dan investasi yang begitu besar, terjadi
pada negara Jepang, Cina dan Malaysia. Data dan informasi grafis disajikan dalam
Gambar 18.
Gambar 18.Jumlah Uang Beredar (M2) (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
Simpanan kotor domestik atau Gross Domestic Savings (GDS) sebagai
variabel indikator pembangunan finansial terakhir dalam penelitian ini juga
dianalisis berdasarkan Gambar 19, sejak tahun 1960 hingga 2011. Berbeda dengan
Gambar 17. Kredit Domestik untuk Sektor Swasta atau Domestic Credit to Private
Sector (% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
46
pola dan tren yang terjadi pada DCBS, DCPS, dan M2 sebelumnya, sejak tahun
1960 hingga 2011, tren GDS memang terus naik namun dalam porsi yang sangat
kecil dan lambat. Selain Jepang dan Cina dengan tingkat GDS yang kian tumbuh
pesat, negara-negara ASEAN+6 lainnya memiliki proporsi GDS yang naik sangat
lambat dan cenderung statis. Secara umum, negara berkembang memiliki proporsi
GDS yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kontrol kredit dan represi
finansial yang seringkali terjadi di negara berkembang yang berimplikasi pada
suku bunga simpanan yang tak kompetitif di negara berkembang, sehingga tidak
mampu meningkatkan insentif simpanan di negara tersebut. Proporsi GDS
Indonesia bahkan akan semakin melemah akibat munculnya kebijakan
pengurangan volume simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) Indonesia, sebagai akibat dari penetapan suku bunga bank tertentu yang
berada di atas LPS rate (MetroTV 2014). Negara-negara ASEAN+6 lain pada
umumnya mulai menunjukkan peningkatan performa GDS di era tahun 1996 ke
atas secara lambat hingga tahun 2011. Dibandingkan Jepang, GDS Cina
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dan dominan sejak tahun 1996
hingga mencapai level GDS tertinggi pada tahun 2011. GDS sebagai salah satu
variabel pembangunan finansial erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Semakin besar proporsi kepemilikan GDS suatu negara akan berimplikasi pada
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di negara tersebut.
Demikian gambaran mengenai kondisi umum jasa keuangan Indonesia dan
ASEAN+6. Secara umum sektor keuangan di Indonesia masih sangat didominansi
oleh sektor perbankan dengan pertumbuhan kredit, dana dan jumlah uang beredar
(M2) yang cenderung turun, dimana pembiayaan kredit korporasi banyak
dialokasikan untuk pembiayaan kerja dan investasi sedangkan kredit rumahtangga
Gambar 19. Simpanan Domestik Kotor atau Gross Domestic Savings (GDS)
(% of GDP) ASEAN+6 Tahun 1960-2011 Sumber : Indeks Mundi (2014), (diolah)
47
paling besar dialokasikan untuk pembiayaan perumahan, multiguna dan kendaraan.
Pada pasar ASEAN+6, pertumbuhan GDP Perkapita di negara-negara intra-
ASEAN cenderung divergen (pola menyebar) sedangkan pada negara-negara
mitra kerjasama ASEAN+6, justru didapatkan pertumbuhan GDP Perkapita yang
cenderung konvergen. Berdasarkan analisis terhadap variabel indikator
pembangunan finansial yakni DCBS, DCPS, M2, dan GDS didapatkan fakta
bahwa Jepang dan Cina memiliki pembangunan finansial yang sangat baik dan
berada di atas rata-rata negara-negara ASEAN+6 lainnya, walaupun tidak
menguasai ekspor produk finansial secara masif seperti pada kasus Singapura.
Daya Saing dan Keunggulan Komparatif Sektor Jasa Finansial ASEAN+6
Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage)
merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo.
Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan
komparatif antarnegara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak
dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya, sehingga efisiensi dalam
produksi dapat tercapai dan keuntungan perdagangan yang di dapat lebih
maksimal. Menurut teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat
meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut
melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas
dan efisiensi tinggi, kemudian melakukan kegiatan ekspor atas komoditi yang
unggul secara komparatif itu bagi negara tersebut. Sebaliknya, negara yang tidak
memiliki keunggulan komparatif untuk suatu komoditas, disarankan untuk lebih
mengoptimalkan ekspor dalam komoditas lain yang memiliki keunggulan
komparatif lebih tinggi (Oktaviani dan Novianti 2009).
RCA (Revealed Comparative Advantage) merupakan metode yang paling
sering digunakan untuk mengukur daya saing kinerja ekspor suatu negara atas
komoditi tertentu. RCA juga mampu menggambarkan keunggulan komparatif
suatu negara terhadap negara lain, atas perdagangan suatu jenis komoditi. Berikut
Tabel 8 menjelaskan nilai indeks RCA sektor jasa finansial dan asuransi di
kawasan kerjasama ASEAN+6.
Hasil perhitungan indeks RCA dikalkulasikan secara manual berdasarkan
data WDI 2014. Jasa finansial dan asuransi yang diperhitungkan dalam model
RCA ini meliputi asuransi pengiriman barang ekspor dan asuransi langsung lain
seperti asuransi jiwa, jasa intermediasi keuangan seperti komisi, transaksi valuta
asing, dan jasa perantara, serta layanan tambahan seperti jasa operasional pasar
keuangan dan regulasi (WDI 2014). Perhitungan RCA hanya dilakukan pada
rentang tahun 2005 hingga 2012 dikarenakan ketidaktersediaan data ekspor jasa
finansial dan asuransi pada tahun 2000 hingga 2004.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks RCA, untuk kasus Indonesia dapat
dianalisis bahwa sejak tahun 2005 hingga 2011 nilai indeks RCA Indonesia
cenderung terus turun dan belum pernah mencapai nilai aman dimana RCA > 1,
dengan nilai rata-rata RCA yakni 0.12. Implikasinya adalah performa ekspor
produk turunan finansial dan asuransi di Indonesia masih lemah, bila
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN+6 lainnya dalam analisis.
48
Hal ini terjadi sebagai akibat menurunnya proporsi kredit domestik dan
jumlah uang beredar di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir akibat
guncangan eksternal perekonomian. Selain itu, sektor jasa keuangan di Indonesia
yang masih didominansi transaksi pasar uang, terutama sektor perbankan juga
belum mampu membuka peluang bagi produk-produk jasa keuangan non-
perbankan lain untuk dapat tumbuh, sehingga berdampak pada daya saing ekspor
produk finansial dan asuransi Indonesia yang masih terbilang lemah. Sejauh ini,
Indonesia masih berfokus pada pembangunan finansial domestik dan belum
mampu berorientasi pada peningkatan ekspor produk finansial dan peningkatan
daya saing secara global dengan pasar finansial luar negeri.
Hampir sejalan dengan itu, Malaysia dan Filipina juga mengalami kondisi
yang kurang lebih sama dengan Indonesia. Indeks RCA atau daya saing ekspor
produk jasa finansial dan asuransi Malaysia dan Filipina masih terbilang rendah
dengan nilai rata-rata indeks RCA < 1 yakni 0.11 untuk kedua negara. Sejak tahun
2005 hingga 2012, Indeks RCA Filipina dan Malaysia cenderung fluktuatif.
Thailand, Brunei, dan Cina justru menunjukkan besaran rata- rata indeks
RCA yang sangat kecil yakni 0.07 untuk Thailand dan Brunei serta 0.06 untuk
Cina. Besaran indeks RCA Thailand, Brunei dan Cina sejak tahun 2005 hingga
2012, cenderung fluktuatif. Nilai indeks RCA yang rendah untuk ketiga negara
menggambarkan keunggulan komparatif dan daya saing ekspor yang rendah atas
produk finansial dan asuransi di ketiga negara tersebut. Dibandingkan Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand dan Cina, Indonesia memiliki keunggulan komparatif
yang lebih baik dalam ekspor produk jasa finansial dan asuransi.
Bila dibandingkan dengan keunggulan komparatif Indonesia atas ekspor
produk jasa finansial dan asuransi, Australia, New Zealand, Jepang dan Korea
Selatan lebih unggul. Rata-rata besaran indeks RCA untuk masing-masing negara
mencapai 0.52, 0.47, 0.44, dan 0.37 lebih tinggi daripada rataan RCA Indonesia.
Namun untuk masing-masing negara sejak tahun 2005 hingga 2012, didapatkan
kecenderungan penurunan besaran indeks RCA. Menurut Zulaiha dalam Dewi
(2013), keunggulan komparatif bersifat dinamis, dimana jika suatu negara tidak
mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara-negara lain, tingkat
keunggulan komparatifnya dapat menurun. Faktor-faktor yang dapat mengubah
Tabel 8. Indeks RCA untuk Ekspor Jasa Finansial dan Asuransi Negara-Negara
ASEAN+6 Tahun 2005-2012
Sumber : World Development Indicator 2014 , (diolah)
Keterangan : n/a menunjukkan data tidak tersedia
49
kondisi keunggulan komparatif suatu negara adalah kondisi ekonomi dunia,
lingkungan domestik, dan teknologi.
Diantara keduabelas negara-negara representatif ASEAN+6, indeks RCA
yang menggambarkan keunggulan komparatif tertinggi dalam ekspor jasa
finansial dan asuransi adalah Singapura dengan rataan indeks RCA mencapai
1.62 dan India dengan rataan indeks RCA mencapai 0.96. Besaran indeks RCA
untuk kedua negara sejak tahun 2005 hingga 2012 cenderung stabil dan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Singapura menjadi satu-satunya negara dengan
nilai RCA > 1 atau dapat diklasifikasikan sebagai negara dengan keunggulan
komparatif tinggi dalam perdagangan jasa finansial dan asuransi dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN+6 lainnya. Singapura merupakan negara
pendapatan tinggi yang memiliki pembangunan industri sektor jasa keuangan
yang jauh lebih maju dan pesat dibandingkan negara-negara ASEAN pada
umumnya. Sedangkan India merupakan negara Asia Selatan yang kini menjadi
negara ekonomi besar Asia yang baru, setelah Cina.
Pada pasar ASEAN+6, Indonesia merupakan negara ketujuh dengan
besaran indeks rataan RCA tertinggi setelah Singapura, India, Australia, New
Zealand, Jepang dan Korea Selatan. Tak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan
pembangunan finansial di kawasan intra-ASEAN sangat tinggi, terutama diantara
Singapura dan lima negara ASEAN lainnya. Walaupun tak mudah menyamai
pembangunan finansial Singapura di kawasan intra-ASEAN maupun dengan
negara-negara mitra kerjasama ASEAN+6 lainnya, namun Indonesia masih
memiliki peluang untuk terus meningkatkan performa jasa finansial baik di tingkat
domestik maupun tingkat regional.
Dalam persiapan menjelang liberalisasi jasa finansial dalam MEA 2015
mendatang, waktu yang kurang dari dua tahun ini harus dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh Indonesia untuk mampu meningkatkan daya saing jasa finansialnya
secara internal maupun eksternal diantara negara-negara ASEAN+6 lainnya.
Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan Perdagangan Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian ini menganalisis hubungan GDP Perkapita, variabel
pembangunan finansial yakni DCBS, DCPS, M2, dan GDS serta variabel sektor
riil yakni Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi terhadap pertumbuhan
ekonomi negara-negara ASEAN+6 dengan menggunakan metode ekonometrik
data panel statis pada taraf nyata konsisten lima persen untuk tiga model, yakni
Model 1 (Seluruh Negara ASEAN+6), Model 2 (Negara Maju) dan Model 3
(Negara Berkembang). Penelitian ini menjadikan kawasan kerjasama ASEAN+6
sebagai objek penelitian, dengan total 12 negara estimasi (n=12) dalam rentang
tahun 2000 hingga 2012 (t=13), sehingga total data dalam penelitian ini mencapai
156 data (nxt=156). Pada Model 1 (Seluruh negara ASEAN+6), derajat bebas (db)
data penelitian mencapai db=147 dan memenuhi syarat db>25, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data panel pada penelitian yang digunakan sangat relevan dan
baik untuk dimodelkan lebih lanjut.
Pada dasarnya, terdapat perbedaan karakteristik antara negara maju dan
negara berkembang karena sistem yang berbeda diantara keduanya. Negara maju
dan negara berkembang memiliki perbedaan dalam sektor riil maupun sektor
50
keuangan, sehingga dalam analisis hubungan variabel pembangunan jasa finansial
dan pertumbuhan ekonomi, kelompok negara maju dan berkembang ASEAN+6
harus dianalisis secara terpisah. Berdasarkan penggolongan tingkat pendapatan
yang merujuk pada definisi WDI (2014), maka keduabelas negara ASEAN+6
dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok negara maju (High Income Countries)
yakni negara-negara dengan GNI Perkapita mencapai 38,412 dolar dan kelompok
negara berkembang (Low-Middle Income Countries) yakni negara-negara dengan
GNI Perkapita mencapai 3,815 dolar. Kelompok negara maju (High Income
Countries ) terdiri dari enam negara yakni Singapura, Brunei Darussalam, Jepang,
Korea Selatan, New Zealand dan Australia. Sedangkan kelompok negara
berkembang (Low-Middle Income Countries) terdiri atas enam negara yakni
Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, China dan India. Derajat bebas (db) untuk
Model 2 (Negara Maju) dan Model 3 (Negara Berkembang) mencapai db=69 dan
masih memenuhi syarat layak pemodelan panel statis dimana db>25.
Pada Model 1, estimasi dilakukan dengan terlebih dulu memilih model
pendekatan data panel statis terbaik antara REM (Random Effect Model) dan FEM
(Fixed Effect Model) dengan melakukan Uji Hausman. Hasil uji menunjukkan
nilai probabilitas sebesar 0.0470 yang bernilai lebih kecil dari taraf nyata (α) 5
persen. Dengan demikian maka secara ekonometrik cukup bukti untuk menolak
Ho. Hasil akhir pemilihan model terbaik berdasarkan Uji Hausman (data
terlampir), konsisten mengarah pada keputusan penggunaan metode pendekatan
data panel statis terbaik adalah dengan metode FEM. Pada Model 2 dan Model 3
Uji Hausman tidak dapat dilakukan sebab REM tidak dapat dianalisis dalam
model. Hal ini terjadi karena jumlah cross section (n) dalam Model 2 dan 3 lebih
kecil dari jumlah variabel bebas, sehingga pemilihan model panel terbaik
mengarah langsung pada model FEM.
Secara umum berdasarkan hasil estimasi pada ketiga model dapat
disimpulkan bahwa model tersebut telah memenuhi kriteria Goodness of Fit. Pada
Model 1, Model 2 dan Model 3 secara berturut-turut terdapat nilai koefisien
determinansi (R-squared) sebesar 0.999728, 0.921122, dan 0.833494.
Berdasarkan nilai tersebut, pada Model 1 didefinisikan bahwa sekitar 99,97 persen
keragaman pengaruh variabel pembangunan finansial dan perdagangan terhadap
pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan
0.000272 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Sedangkan pada
Model 2 didefinisikan bahwa sekitar 92,11 persen keragaman pengaruh variabel
pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara
maju ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 0.078878 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Kemudian pada Model 3
didefinisikan bahwa sekitar 83,34 persen keragaman pengaruh variabel
pembangunan finansial dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara
berkembang ASEAN+6 dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 0.166506 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Faktor-faktor lain yang mungkin
memengaruhi hubungan pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi antara
lain adalah politik, legal kultural, standar dan hukum akuntansi masing-masing
negara bahkan faktor geografis (Levine 2005). Selain itu, nilai probabilitas (F-
statistik) pada ketiga model adalah 0.000000, dimana nilai tersebut lebih kecil dari
taraf nyata (α) 5%. Maka dengan tingkat kepercayaan 95%, dapat disimpulkan
bahwa GDP Perkapita, DCBS, DCPS, M2, GDS, Perdagangan, Pengeluaran
51
Pemerintah dan Inflasi secara bersama-sama signifikan memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Signifikansi pada setiap variabel bebas dalam model juga
baik. Tanda koefisien variabel pada model juga secara umum sesuai dengan teori
ekonomi yang berlaku.
Selain itu, pemenuhan asumsi BLUE pada ketiga model juga telah
dipenuhi. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 9 dan lampiran, didapatkan nilai
Durbin-Watson stat yang berada pada nilai rentang bebas autokorelasi untuk
ketiga model. Ketiga model juga telah bebas masalah heteroskedasitas (Sum
Square Resid Weighted < Sum Square Resid Unweighted). Selain itu, eror pada
ketiga model juga telah terdistribusi normal seperti telah diuji dalam uji
normalitas (terlampir).
Tabel 9. Perbandingan Hubungan Variabel Pembangunan Finansial dan
Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok
Negara ASEAN+6 Variabel Bebas Model 1 (Seluruh
Negara ASEAN+6)
Model 2 (Negara
Maju di ASEAN+6)
Model 3 (Negara
Berkembang di
ASEAN+6)
Q
LN_DCBS
LN_DCPS
LN_M2
GDS
TRADE
GOV
INF
R-squared
Prob (F-Statistic)
Durbin-Watson Stat
[-6.70E-05]
(0.0000)*
[0.212728]
(0.0137)*
[-3.758937]
(0.0000)*
[0.654257]
(0.0000)*
[6.93E-12]
(0.0000)*
[0.099963]
(0.0000)*
[-0.094732]
(0.0000)*
[-0.061840]
(0.0000)*
0.999728
0.000000
2.212628
[-7.67E-05]
(0.0026)*
[1.342159]
(0.0380)*
[-4.172936]
(0.0013)*
[0.497404]
(0.0086)*
[7.82E-12]
(0.0419)*
[0.141677]
(0.0000)*
[-0.084231]
(0.0002)*
[-0.140875]
(0.0009)*
0.921122
0.000000
2.330546
[0.000261]
(0.2969)
[4.446616]
(0.0010)*
[0.058806]
(0.9763)
[-0.543877]
(0.5081)
[7.30E-12]
(0.0387)*
[0.056557]
(0.0000)*
[0.564432]
(0.0017)*
[-0.052876]
(0.4620)
0.833494
0.000000
2.164198
Keterangan : […] nilai koefisien
(…) nilai probabilitas
(*) signifikan pada taraf nyata lima persen
Berdasarkan tanda dan signifikansi variabel bebas pertama dalam model
yakni GDP Perkapita (Q) dapat dianalisis bahwa pada Model 1, pertumbuhan
ekonomi (pertumbuhan GDP Perkapita tahunan) signifikan dipengaruhi oleh
tingkat GDP Perkapita di negara-negara anggota ASEAN+6. Pada hasil estimasi
Model 1, didapatkan hasil bahwa kenaikan 1 persen pada GDP Perkapita
ASEAN+6 akan menyebabkan penurunan persen pada pertumbuhan
ekonomi tahun berlaku, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 2, GDP Perkapita
juga signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dimana kenaikan 1 persen
pada GDP Perkapita negara-negara maju ASEAN+6 akan menyebabkan
52
penurunan persen pada pertumbuhan ekonomi tahun berlaku, ceteris
paribus. Pada Model 3, GDP perkapita justru tidak signifikan memengaruhi
pertumbuhan ekonomi negara berkembang ASEAN+6. Dengan besaran koefisien
yang demikian, dapat diartikan bahwa perubahan GDP Perkapita memberikan
pengaruh negatif yang relatif rendah pada perubahan pola pertumbuhan ekonomi
di kawasan kerjasama ASEAN+6. Hasil estimasi ini sesuai dengan teori yang
berlaku. Menurut Bakaert et al. dalam Hassan (2010), tingkat GDP Perkapita yang
rendah berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan
asumsi tergantung pada variabel lain. Sebagian besar negara dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (negara berkembang) cenderung memiliki
tingkat GDP Perkapita yang rendah, Sebaliknya negara maju yang telah mencapai
kondisi pertumbuhan ekonomi mapan (Steady State) cenderung memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan level GDP Perkapita masyarakatnya
yang tinggi. Sehingga hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan level GDP
Perkapita suatu negara tergantung pada kondisi perekonomian negara tersebut.
Variabel bebas yang dianalisis selanjutnya adalah variabel pembangunan
finansial pertama yakni Kredit Domestik oleh Sektor Perbankan atau Domestic
Credit Provided by Banking Sector (DCBS). Pada Model 1, variabel DCBS
signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan ekonomi ASEAN+6.
Tanda positif pada koefisien variabel ini menunjukkan adanya hubungan positif
antara tingkat DCBS atau kredit domestik perbankan dengan pertumbuhan
ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Pada Model 1, kenaikan 1 persen pada
DCBS atau kredit domestik perbankan di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.21 persen, ceteris
paribus. Hal yang sama juga ditemukan pada Model 2 dan Model 3, dimana
DCBS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada Model 2, kenaikan 1
persen pada DCBS atau kredit domestik perbankan di negara-negara maju
ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1.34
persen, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 3 kenaikan 1 persen pada DCBS
atau kredit domestik perbankan di negara-negara berkembang ASEAN+6, akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 4.44 persen, ceteris
paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil temuan Levine (2005), Hassan et
al. (2010) untuk dua penelitian sejenis yang dilakukannya, Mukhlis (2011), serta
Marissa (2004), bahwa memang terdapat hubungan positif yang kuat antara kredit
domestik terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Levine dalam Hassan (2010),
tingkat DCBS yang semakin tinggi berimplikasi pada derajat ketergantungan yang
lebih tinggi lagi terhadap pendanaan sektor perbankan di suatu negara. Atau
dengan kata lain, tingkat DCBS yang lebih tinggi juga berimplikasi pada derajat
pembangunan finansial yang lebih tinggi, karena bank lebih mampu untuk
menyediakan pendanaan finansial dengan lebih maksimal. Hasil estimasi tersebut
menunjukkan bahwa kredit domestik perbankan di ASEAN+6 berpengaruh cukup
besar dalam pembangunan kondisi finansial masing-masing negara hingga
berdampak pada peningkatan jumlah uang beredar (M2) dan akhirnya mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Variabel bebas selanjutnya dalam model adalah Kredit Domestik untuk
Sektor Swasta atau Domestic Credit to Private Sector (DCPS). Berdasarkan hasil
estimasi Model 1, variabel DCPS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi
di kawasan ekonomi ASEAN+6. Pada Model 1, kenaikan 1 persen pada DCPS
53
atau kredit domestik swasta di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 3.75 persen, ceteris paribus. Pada
Model 2, DCPS juga signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan
interpretasi koefisien bahwa kenaikan 1 persen pada DCPS atau kredit domestik
swasta di negara-negara maju ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar 4.17 persen, ceteris paribus. Sedangkan pada
Model 3, DCPS tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6.
Hasil estimasi terkait DCPS ini sejalan dengan hasil penelitian Kennedy (2013)
dan Hassan et al. (2010) untuk beberapa studi kasus negara berpenghasilan tinggi
(High Income). Berdasarkan teori, rasio DCPS yang semakin tinggi tidak hanya
mengindikasikan tingkat investasi domestik yang semakin tinggi, tetapi juga
mengindikasikan kondisi sistem pembangunan finansial yang semakin matang.
Menurut Levine (2005), sistem keuangan yang mengalokasikan lebih banyak
kredit ke sektor swasta lebih mungkin untuk terlibat dalam upaya meneliti atau
menyelidiki perusahaan peminjam, meningkatkan pengendalian perusahaan,
menyediakan kontrol manajemen risiko, memfasilitasi transaksi, dan memobilisasi
tabungan, yang mana memerlukan derajat tingkat pembangunan keuangan yang
lebih tinggi. Hasil estimasi dalam kasus ASEAN+6 ini berbeda dengan teori yang
berlaku dimana seharusnya terdapat hubungan positif antara DCPS atau Kredit
Domestik Sektor Swasta dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam Hassan et al.
(2010), kondisi ini diyakini terjadi akibat kondisi jasa keuangan di kawasan
ASEAN+6 dan negara-negara maju ASEAN+6 lebih condong ke arah pasar
keuangan (perbankan) daripada pengembangan pasar modal. Diyakini pula bahwa
proksi ukur yang digunakan mungkin tidak sesuai untuk mengukur pembangunan
finansial untuk kasus negara-negara maju. Tidak semua indikator pembangunan
finansial mampu mengukur performa pembangunan finansial dengan kekuatan
yang sama. Menurut Aribas et al.(2009), integrasi finansial seringkali jauh lebih
kompleks, sehingga teori yang berlaku tidak sesuai realitas.
Variabel pembangunan finansial selanjutnya yang diestimasi dalam
model adalah Jumlah Uang Beredar atau M2. Pada Model 1 dan 2, variabel M2
signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tanda positif pada koefisien
variabel M2 menandakan adanya korelasi positif antara M2 dan pertumbuhan
ekonomi. Kenaikan 1 persen pada M2 atau jumlah uang beredar di kawasan
kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.65 persen, ceteris paribus pada Model 1, dan mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.49 persen, ceteris paribus pada Model 2 (negara
maju). Sedangkan M2 justru tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi
pada Model 3 (negara berkembang). Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil
penelitian Maretha (2012) dan Mukhlis (2011), dimana M2 memiliki hubungan
korelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan sekaligus membuktikan
bahwa M2 adalah proksi pembangunan finansial yang membenarkan hipotesis
adanya hubungan positif yang kuat antara pembangunan finansial dan
pertumbuhan ekonomi. Jumlah Uang Beredar didefinisikan sebagai jumlah uang
untuk kebutuhan transaksi ditambah dengan uang kuasi. Peningkatan aliran kredit
domestik dan simpanan pada suku bunga kredit dan suku bunga tabungan yang
kompetitif di suatu negara, akan mengindikasikan peningkatan M2 di suatu negara.
Hal ini akan berdampak pada peningkatan total output agregat perekonomian dan
peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
54
Variabel pembangunan finansial terakhir yang dianalisis dalam model
adalah Simpanan Kotor Domestik atau Gross Domestic Savings (GDS). Pada
ketiga model, variabel GDS signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada
Model 1, kenaikan 1 persen pada GDS atau simpanan kotor domestik di kawasan
kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar persen, ceteris paribus. Sedangkan pada Model 2, kenaikan 1
persen pada GDS di negara-negara maju ASEAN+6, akan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar persen, ceteris paribus.
Kemudian pada Model 3, kenaikan 1 persen pada GDS di negara-negara
berkembang ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil
penelitian Marissa (2004), serta Hassan et al.(2010) untuk dua penelitiannya yang
berbeda dengan studi kasus negara-negara OECD dan OIC. Walaupun pengaruh
peningkatan pertumbuhan ekonomi akibat peningkatan GDS tidak terlalu besar di
ASEAN+6, namun hasil estimasi ini mampu membenarkan adanya hubungan
jangka panjang dan positif antara tabungan atau simpanan dan pertumbuhan
ekonomi seperti prediksi Pagano dalam Hassan (2010). Tingkat simpanan
domestik yang tinggi berimplikasi pada volume investasi yang semakin tinggi
sehingga mampu menunjang pembangunan finansial suatu negara. Suku bunga riil
positif dalam hal ini dibutuhkan untuk menstimulasi simpanan dan investasi serta
meningkatkan jumlah uang beredar sehingga tercapai pembangunan finansial dan
pertumbuhan ekonomi yang mantap.
Variabel bebas lainnya yang dibahas dalam model adalah variabel
indikator performa sektor riil yang pertama yakni perdagangan (TRADE).
Variabel bebas TRADE signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam
ketiga model. Kenaikan 1 persen pada TRADE atau perdagangan di kawasan
kerjasama ASEAN+6 akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.099 persen pada Model 1, 0.141 persen pada Model 2 (negara maju),
dan 0.056 persen pada Model 3 (negara berkembang), ceteris paribus. Hasil
estimasi ini sesuai dengan teori yang berlaku dan sejalan dengan hasil penelitian
Hassan et al. (2010), Mukhlis (2011), dan Maretha (2012). Peningkatan dalam
jumlah ekspor mengindikasikan adanya permintaan luar negeri terhadap barang
domestik yang meningkat. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah
output perekonomian yang diproduksi, peningkatan investasi dan peningkatan
penggunaan input faktor produksi. Penambahan dalam output perekonomian akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, ekspor juga
menghasilkan devisa yang dihitung sebagai pendapatan negara. Dari sisi impor,
dengan berlandaskan diri pada teori keunggulan komparatif, seharusnya negara-
negara tertentu yang tak efisien berproduksi dalam satu jenis jasa atau komoditi
lebih baik mengimpor dari negara lain yang berspesialisasi di bidang tersebut.
Sebaliknya, untuk meredam ketergantungan impor, negara tersebut harus mampu
meningkatkan performa ekspor jasa atau komoditi yang mampu dispesialisasikan
sebaik mungkin oleh negara tersebut. Dengan demikian perdagangan akan
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi (engine of growth) yang sangat
memengaruhi pertumbuhan ekonomi, perputaran uang dan bisnis serta
pembangunan finansial suatu negara.
Selanjutnya, variabel indikator sektor riil yang akan dianalisis dalam
model adalah pengeluaran pemerintah atau Government Expenditure (GOV).
55
Variabel pengeluaran pemerintah atau GOV berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi pada ketiga model. Kenaikan 1 persen pada GOV atau
pengeluaran pemerintah di kawasan kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.094 persen pada Model 1, dan 0.084
persen pada Model 2 (negara maju), ceteris paribus. Pada Model 3, kenaikan 1
persen pada GOV atau pengeluaran pemerintah di negara-negara berkembang
ASEAN+6, akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.564
persen, ceteris paribus. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil penelitian Permata
(2011), Maretha (2012) dan Hassan et al.(2010). Pendekatan model IS-LM
menjelaskan bahwa pengeluaran pemerintah bersama-sama dengan pengeluaran
konsumsi dan investasi membentuk pengeluaran yang direncanakan (Mankiw,
2002). Pengeluaran pemerintah menunjukkan dampak yang berbeda dalam
hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi baik di negara maju dan negara
berkembang (Permata 2011). Pada negara-negara maju ditemukan korelasi negatif
antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Di negara maju sistem
perekonomian pasar bebas lebih dominan, dimana semua aspek kegiatan ekonomi
dialihkan ke pihak swasta dan bukan didominasi oleh pemerintah. Sistem
perekonomian pasar bebas di negara maju didukung dengan masyarakat yang
produktif, sehingga masyarakat memiliki daya saing yang tinggi dan tidak
menimbulkan ketimpangan standar kehidupan antar masyarakat. Pada pola
masyarakat seperti ini, pengeluaran pemerintah secara langsung untuk pendanaan
proyek produktif tidak lagi banyak berperan dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Pengeluaran pemerintah pada negara maju cenderung dialokasikan
untuk dana jaminan sosial guna meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan
masyarakat dan bukan lagi fokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Berbeda dengan itu, pada negara berkembang didapatkan hubungan positif antara
pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah
masih sangat dibutuhkan di negara berkembang. Banyaknya kegagalan sistem
pasar di negara berkembang mengharuskan pemerintah untuk mengambil
kebijakan mengatasi kegagalan pasar. Barang publik yang dibutuhkan negara
berkembang tidak efektif apabila disediakan oleh sektor swasta. Selain itu,
peningkatan pendapatan masyarakat di negara berkembang masih tergantung pada
kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga peran pemerintah
menjadi sangat produktif di negara berkembang. Hal tersebut menyebabkan
pengeluaran pemerintah menjadi faktor penting dan produktif bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Variabel bebas terakhir yang diestimasi dalam model adalah variabel
inflasi atau inflation (INF). Inflasi merupakan variabel indikator sektor riil yang
juga dimasukkan dalam model untuk mengontrol distorsi harga (Hassan et al.
2010). Pada Model 1 dan Model 2, inflasi berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Kenaikan 1 persen pada INF atau inflasi di kawasan
kerjasama ASEAN+6, akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.06 persen pada Model 1 dan 0.140 persen pada Model 2, ceteris paribus.
Sedangkan pada Model 3, inflasi tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Sejalan dengan dua penelitian Hassan et al. (2010) lainnya, inflasi yang
merupakan fenomena kenaikan harga barang secara umum merupakan fenomena
yang akan melemahkan minat konsumsi produktif, simpanan dan investasi di
56
suatu negara, sehingga akan berdampak pada pelemahan perputaran uang, jumlah
uang beredar, pembangunan finansial dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Berdasarkan ulasan hasil estimasi model di atas dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan positif antara pembangunan jasa finansial terhadap
pertumbuhan ekonomi sesuai dengan teori yang berlaku pada penelitian Stiglitz
(1998), Levine (2005), Hassan et al. (2010), Mukhlis (2011), dan Kennedy (2013).
Variabel pembangunan finansial yang dijadikan proksi pembangunan finansial
pada pemodelan ini yakni DCBS, M2, dan GDS berpengaruh signifikan dan
berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel indikator
sektor riil yakni perdagangan juga, berpengaruh signifikan positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dimana inflasi justru berpengaruh negatif.
Untuk melakukan analisis secara khusus mengenai dampak kerjasama
ASEAN+6 terhadap pertumbuhan ekonomi untuk setiap individu negara anggota
ASEAN+6 dalam model, maka perlu dilakukan interpretasi terhadap nilai
keragaman individu atau individual heterogeneity dalam model data panel statis
tersebut (data terlampir). Efek individu menggambarkan besar pengaruh
pertumbuhan ekonomi untuk masing-masing negara bila variabel bebas lain
dianggap konstan atau tidak berpengaruh. Pada Model 2 (negara maju), tanpa
pengaruh dari variabel bebas lainnya (GDP Perkapita, DCBS, DCPS, M2, GDS,
Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi), besar pertumbuhan ekonomi
Singapura adalah sebesar (2.075841+ 3.001262) atau sebesar 5.077103, kemudian
diikuti dengan New Zealand sebesar (1.480787+ 3.001262) atau sebesar 4.482049,
Brunei Darussalam sebesar (0.369994+ 3.001262) atau sebesar 3.371256,
Australia sebesar (-0.302618+ 3.001262) atau sebesar 2.698644, Jepang sebesar
(-1.039329+ 3.001262) atau sebesar 1.961933, dan Korea Selatan sebesar(-
2.584674 + 3.001262) atau sebesar 0.416588. Sedangkan pada Model 3 (negara
berkembang), tanpa pengaruh dari variabel bebas lainnya (GDP Perkapita, DCBS,
DCPS, M2, GDS, Perdagangan, Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi), besar
pertumbuhan ekonomi Cina adalah sebesar (8.343142+45.35304) atau sebesar
53.696182, Thailand sebesar (1.134146 +45.35304 ) atau sebesar 46.487186,
Malaysia sebesar (-1.292534+45.35304) atau sebesar 44.060506, Indonesia
dengan nilai sebesar (-1.871397 +45.35304) atau sebesar 43.481646, India
sebesar (-2.178377 +45.35304) atau sebesar 43.174663, dan terakhir Filipina
sebesar (-4.134980 +45.35304) atau sebesar 41.21806.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kondisi umum sektor
jasa keuangan di Indonesia masih didominasi oleh sektor pasar uang - perbankan,
dimana sektor non-perbankan masih belum beroperasi secara efisien. Dalam
beberapa tahun terakhir juga diketahui bahwa pertumbuhan GDP, jumlah uang
beredar dan kredit di Indonesia kian turun akibat isu dan realisasi tapering off dan
pelemahan nilai tukar. Di tengah kondisi pertumbuhan kredit yang menurun,
proporsi pembiayaan terhadap kredit modal kerja terhadap korporasi di Indonesia
adalah tetap yang paling besar, dimana pengalokasian kredit rumahtangga terbesar
57
dialirkan pada sektor kredit perumahan, multiguna, dan kendaraan. Pada pasar
ASEAN+6 representatif Singapura, diketahui bahwa lembaga keuangan
perbankan masih mendominasi pasar uang Singapura dimana sektor non-
perbankan cukup bersaing. Terdapat tingkat pertumbuhan GDP perkapita yang
divergen (pola menyebar) antar negara anggota ASEAN+6, dengan proporsi
DCBS, DCPS, M2, dan GDS yang terus meningkat dengan arah dan kecepatan
yang berbeda dari tahun ke tahun.
Keunggulan komparatif sektor jasa finansial dan asuransi Indonesia masih
belum optimal. Pada pasar ASEAN+6 sendiri, keunggulan komparatif Indonesia
cukup tertinggal karena hanya menempati posisi ke-7 dari 12 negara dalam
analisis. Singapura memiliki keunggulan komparatif atas jasa finansial terbaik
dengan performa ekspor jasa finansial dan asuransi tertinggi di kawasan kerjasama
ASEAN+6.
Pada analisis Model 1 (seluruh negara ASEAN+6) dan Model 2 (negara
maju ASEAN+6), seluruh variabel bebas dalam model signifikan memengaruhi
pertumbuhan ekonomi. M2 dan Kredit Domestik Perbankan merupakan variabel
pembangunan finansial yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
ASEAN+6 dan golongan negara maju ASEAN+6, bersama-sama dengan
Simpanan Kotor Domestik dan variabel sektor riil perdagangan. Pada Model 3
(negara berkembang ASEAN+6), variabel pembangunan finansial Kredit
Domestik Perbankan dan Simpanan Kotor Domestik serta variabel sektor riil
perdagangan, dan pengeluaran pemerintah signifikan memengaruhi pertumbuhan
ekonomi dimana Kredit Domestik Perbankan, pengeluaran pemerintah dan
perdagangan merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi negara berkembang ASEAN+6. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan positif antara pembangunan finansial dan pertumbuhan
ekonomi.
Saran
Berdasarkan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya ,
maka saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah Indonesia dan segenap badan terkait diharapkan mampu
meningkatkan performa sektor jasa finansial non-perbankan. Sosialisasi
dan edukasi terkait jasa layanan keuangan non-perbankan dan perbankan
kepada seluruh lapisan masyarakat, penganekaragaman produk non-
perbankan serta perbankan yang diciptakan dengan tetap memperhatikan
kemudahan akses oleh seluruh lapisan masyarakat dan pengurangan
hambatan birokrasi dalam proses registrasi dalam layanan jasa keuangan
non-perbankan dan perbankan, merupakan langkah-langkah yang dapat
diambil untuk memaksimalkan potensi jasa keuangan, khususnya pada
sektor non-perbankan tanah air.
2. Penganekaragaman produk finansial dan asuransi di pasar ASEAN+6, baik
oleh lembaga keuangan perbankan maupun non-perbankan harus terus
ditingkatkan. Tentu saja dengan dibarengi dengan birokrasi yang tak
berbelit dan jaminan hukum yang jelas, sehingga mampu meminimalisir
risiko keuangan. Secara khusus di Indonesia, upaya ini harus terus
58
dilakukan untuk meningkatkan kesiapan liberalisasi jasa keuangan
Indonesia pra-MEA 2015, juga sekaligus dapat meningkatkan performa
ekspor produk jasa keuangan Indonesia sehingga akhirnya mampu
meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan jasa finansial di
kawasan ASEAN+6 .
3. Upaya peningkatkan performa pembangunan finansial dan pertumbuhan
ekonomi negara-negara anggota ASEAN+6 berbeda-beda tergantung pada
kondisi perekonomian negara tersebut. Untuk golongan negara maju
ASEAN+6, upaya pengoptimalan M2, Kredit Domestik Perbankan,
Simpanan Kotor Domestik, dan perdagangan diharapkan mampu
memaksimalkan pertumbuhan ekonomi dan kesiapan jasa finansial yang
menjelang MEA 2015. Sedangkan pada golongan negara berkembang
termasuk Indonesia, upaya pengoptimalan Kredit Domestik Perbankan,
pengeluaran pemerintah dan perdagangan diharapkan mampu
memaksimalkan kesiapan jasa finansial menuju MEA 2015.
4. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kondisi pembangunan jasa
finansial di kawasan internal ASEAN yang melibatkan seluruh negara
anggota ASEAN tanpa kecuali, sehingga gambaran kondisi kesiapan dan
daya saing ASEAN dalam menghadapi liberalisasi finansial MEA 2015
dapat lebih jelas.
5. Ke depan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut yang meneliti hubungan
pembangunan finansial terhadap pembukaan lapangan kerja,
pengangguran dan bahkan bila mungkin dikaitkan dengan kemiskinan,
dalam kerangka liberalisasi pertukaran tenaga kerja profesional MEA 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Achsani NA. 2008. Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman.
Bogor (ID) : Brighten Institute.
Arribas I, Perez F, Ausina ET. 2009. The Determinants of International Financial
Integration Revisited : The Role of Networks and Geographic Neutrality.
MPRA.22-24. doi:18717.
Baltagi B. 1995. Econometric Analysis of Panel Data. Englan (GB): John
Wiley&Sons.Ltd.
Baltagi B. 2005. Econometric Analysis of Panel Data Third Edition. Englan (GB):
John Wiley&Sons.Ltd.
Bank Indonesia. 2008. Meraih Sukses Bisnis dengan Dukungan Pembiayaan
Perbankan. Jakarta (ID) : PPM.
Dewi AS. 2013. Analisis Daya Saing dan Permintaan Pariwisata Indonesia di
Pasar ASEAN [skripsi]. Bogor (ID) : IPB.
Firdaus M. 2012. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor (ID) : IPB Press .
Gujarati D. 2003. Basic Econometrics Fourth Edition. New York (US) :
McGraw-Hill.
Gujarati D. 2006. Essentials of Econometrics Third Edition. United States
Military Academy, West Point (US): McGraw-Hill International Edition.
59
Hassan MK, Sanchez B, Suk-Yu J. 2010. Financial Development and economic
growth : New Evidence from Panel Data. The Quarterly Review of Economics
and Finance Elsevier. 88-95. doi: 10.1016/j.qref.2010.09.001.
Hassan MK, Sanchez B, Suk-Yu J. 2010. Financial Development and economic
growth in The Organization of Islamic Conference Countries. JKAU Islamic
Econ. 24 (1).149-157. doi:10.4197/Islec 24-1.6.
Hermansyah. 2011. Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta
(ID) : Kencana.
Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). 2004. Towards Realizing An
ASEAN Community-A Brief Report on the ASEAN Community Roundtable.
Singapore (SG) : ISEAS Publications.
Kementerian Keuangan. 2012. Laporan Hasil Kajian – Liberalisasi Jasa Keuangan
Indonesia Dalam Menghadapi Paket Ke-6 Perundingan Liberalisasi Jasa
Keuangan ASEAN. Jakarta (ID) : Kemenkeu.
Kementerian Koordinator Perekonomian. 2013. Tinjauan Persiapan Menuju
ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Jakarta (ID) : Kemenko
Perekonomian.
Kennedy A. 2013.Financial Opennes and Growth : 2000-2010. Papperdine Policy
Review. 6 (4).13-20. doi: 5-27-2013.
Levine R, Loayza N, Beck T. 1995. Financial Intermediation and Growth :
Causality and Causes. Journal of Monetary Economics Elsevier. 53-63.
doi:S0304-3932(00)00017-9.
Levine R. 2005. Finance and Growth : Theory and Evidence. Elsevier Science.
IA (1).921-923. doi:10.1016/S1574-0684(05)01012-9.
Mankiw NG. 2002. Macroeconomics. Fifth Edition. New York (US): RR
Donneley&Sons.
Maretha VR. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan
Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif
Negara-Negara ASEAN+6 [skripsi]. Bogor (ID) : IPB.
Marissa S. 2004. Analisis Kredit Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia Periode 1983-2002 [skripsi]. Bogor (ID) : IPB.
McKinnon R. 1973. Money and Capital in Economic Development . Washington
DC (US): The Brooking Institution.
Muchlis I. 2011. Kausalitas Dinamis Antara Financial Development, Liberalisasi
Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Dalam Menyongsong
Pemberlakuan ASEAN Economic Community. Universitas Negeri
Malang.1(1):3-5.
Oktaviani R, Novianti T. 2009. Teori Pedagangan Internasional dan Aplikasinya
di Indonesia Bagian I. Bogor (ID) : Departemen Ilmu Ekonomi IPB.
Permata DR. 2011. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi di
Kawasan ASEAN+6: Pendekatan Data Panel [skripsi]. Bogor (ID) : IPB.
Stiglitz J. 1998. The Role of the Financial System in Development. World Bank
Proceeding. 1(1):13-15
[APEC]. 2013. APEC Workshop on Measuring Services Trade – Statistical
Capacity Buliding and Networking. Medan(ID): APEC Secretariat.
[Asian Development Bank]. 2013. Key Indicators for Asia and The Pacific 2013.
Jakarta : ADB Secretariat.
60
[Asian Development Bank]. 2012. Outlook 2012 Update. Jakarta : ADB
Secretariat.
[Asian Development Bank]. 2011. Outlook 2011 Update. Jakarta : ADB
Secretariat.
[Bank Indonesia]. 2013. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama
Internasional Triwulan III 2013. Jakarta : BI.
[Bank Indonesia]. 2013. Perkembangan Uang Beredar (M2), Dana, Kredit, Serta
Suku Bunga Perbankan November 2013. Jakarta : BI.
[Bank Indonesia]. 2013. Kajian Stabilitas Keuangan No.21 September 2013.
Jakarta : BI.
[BAPPENAS]. 2013. Financial Inclusion di Indonesia. Jakarta : BAPPENAS.
[CEPEA]. 2008. CEPEA Report. Cebu : CEPEA Secretariat.
[Indeks Mundi]. 2014. Financial Sectors Indicators. Diakses melalui
http://www.indexmundi.com/facts/topics/financial-sector.
[International Monetary Fund]. 2014. IMF Data and Statistics. Diakses melalui
https://www.imf.org/external/data.htm.
[Monetary Authority of Singapore]. 2013. Financial Stability Review December
2013. Singapore : MAS.
[SEADI USAID]. 2012. Indonesia and The ASEAN Framework for Regional
Economic Cooperation . US : Nathan Associates Inc.
[Universitas Indonesia]. 2010. Pengolahan Data Panel. Jakarta : Laboratorium
Komputasi FEUI.
[World Bank]. 2014. World Development Indicators. Diakses melalui
http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators.
[World Economic Forum]. 2011. Insight Report-The Financial Development
Report 2011. USA : WEF.
Kementerian Perdagangan. 2014. 01 Febuari. Definisi RCA. Website Resmi
Kementrian Perdagangan [internet]. [diunduh 2014 Febuari 01]. Tersedia pada
http://www.kemendag.go.id/addon/rca/index.php?isi=2.
Rudolf DW. 2014. 29 Januari. GDS Relatif Turun. Metronews. Economics and
Finance [internet]. [diunduh 2014 Febuari 01]. Tersedia pada
http://www.metrotvnews.com/metronews/ekonomi/40.
61
LAMPIRAN
MODEL 1. SELURUH NEGARA ASEAN+6
Lampiran 1. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 2. Hasil Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 15.690529 8 0.0470
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas
0
4
8
12
16
20
-3 -2 -1 0 1 2
Series: Standardized Residuals
Sample 2000 2012
Observations 156
Mean -2.38e-16
Median 0.103479
Maximum 2.129504
Minimum -2.813254
Std. Dev. 0.958721
Skewness -0.388398
Kurtosis 2.941221
Jarque-Bera 3.944643
Probability 0.139133
62
Lampiran 4. Korelasi antar Variabel
Lampiran 5. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel
Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 02/13/14 Time: 14:13
Sample: 2000 2012
Periods included: 13
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 156
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Q -6.70E-05 2.00E-06 -33.55522 0.0000
LN_DCBS 0.212728 0.085154 2.498163 0.0137
LN_DCPS -3.758937 0.090401 -41.58072 0.0000
LN_M2 0.654257 0.007692 85.05893 0.0000
GDS 6.93E-12 3.38E-13 20.48876 0.0000
TRADE 0.099963 0.000492 202.9989 0.0000
GOV -0.094732 0.000245 -386.7220 0.0000
INF -0.061840 0.001555 -39.75654 0.0000
C 0.375654 0.171491 2.190514 0.0302 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.999728 Mean dependent var -14.62639
Adjusted R-squared 0.999690 S.D. dependent var 59.38483
S.E. of regression 1.023502 Sum squared resid 142.4678
F-statistic 26278.42 Durbin-Watson stat 2.212628
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.747231 Mean dependent var 3.226607
Sum squared resid 443.4638 Durbin-Watson stat 2.097552
63
Lampiran 6. Hasil Estimasi Model REM (Random Effect Model ) Data Panel
Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 02/13/14 Time: 14:18
Sample: 2000 2012
Periods included: 13
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 156
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Q -5.18E-05 1.86E-05 -2.786785 0.0060
LN_DCBS -0.115153 0.771386 -0.149280 0.8815
LN_DCPS 0.039763 0.816431 0.048703 0.9612
LN_M2 0.049986 0.090120 0.554668 0.5800
GDS 3.22E-12 2.17E-12 1.482794 0.1403
TRADE 0.101975 0.009373 10.87934 0.0000
GOV -0.148644 0.056758 -2.618901 0.0097
INF -0.071517 0.074573 -0.959019 0.3391
C 3.793145 1.607575 2.359544 0.0196 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 1.109223 0.2741
Idiosyncratic random 1.804899 0.7259 Weighted Statistics R-squared 0.506453 Mean dependent var 1.327257
Adjusted R-squared 0.479594 S.D. dependent var 2.566581
S.E. of regression 1.851511 Sum squared resid 503.9294
F-statistic 18.85553 Durbin-Watson stat 1.947594
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.605984 Mean dependent var 3.226607
Sum squared resid 691.2697 Durbin-Watson stat 1.419778
64
MODEL 2. NEGARA MAJU ASEAN+6 (HIGH INCOME COUNTRIES)
Lampiran 7. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 8. Hasil Uji Normalitas
Lampiran 9. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel
Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 04/09/14 Time: 15:43
Sample: 2000 2012
Periods included: 13
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 78
Linear estimation after one-step weighting matrix
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Q -7.67E-05 2.44E-05 -3.140580 0.0026
0
2
4
6
8
10
12
-2 -1 0 1 2
Series: Standardized Residuals
Sample 2000 2012
Observations 78
Mean -1.14e-17
Median 0.005574
Maximum 2.522785
Minimum -2.278166
Std. Dev. 0.970301
Skewness 0.001565
Kurtosis 2.683932
Jarque-Bera 0.324703
Probability 0.850142
65
LN_DCBS 1.342159 0.633564 2.118429 0.0380
LN_DCPS -4.172936 1.239174 -3.367515 0.0013
LN_M2 0.497404 0.183368 2.712603 0.0086
GDS 7.82E-12 3.77E-12 2.076299 0.0419
TRADE 0.141677 0.004641 30.52777 0.0000
GOV -0.084231 0.021693 -3.882789 0.0002
INF -0.140875 0.040441 -3.483422 0.0009
C 3.001262 1.270574 2.362130 0.0212 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.921122 Mean dependent var 2.126914
Adjusted R-squared 0.905100 S.D. dependent var 4.083152
S.E. of regression 1.064295 Sum squared resid 72.49429
F-statistic 57.49099 Durbin-Watson stat 2.330546
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.713439 Mean dependent var 1.744958
Sum squared resid 192.1353 Durbin-Watson stat 2.072747
Lampiran 10.Efek Individu
CROSSID Effect
1 SINGAPURA 2.075841
2 BRUNEI 0.369994
3 JEPANG -1.039329
4 KORSEL -2.584674
5 NEW Z 1.480787
6 AUSTRALIA -0.302618
66
MODEL 3. NEGARA BERKEMBANG ASEAN+6 (LOW-MIDDLE INCOME
COUNTRIES)
Lampiran 11. Statistik Deskriptif Variabel
Lampiran 12. Hasil Uji Normalitas
Lampiran 13. Hasil Estimasi Model FEM (Fixed Effect Model ) Data Panel
Dependent Variable: GROWTH
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 04/09/14 Time: 20:21
Sample: 2000 2012
Periods included: 13
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 78
Linear estimation after one-step weighting matrix
White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Q 0.000261 0.000248 1.051577 0.2969
0
2
4
6
8
10
12
14
-2 -1 0 1 2
Series: Standardized Residuals
Sample 2000 2012
Observations 78
Mean 1.14e-17
Median 0.035385
Maximum 2.482811
Minimum -2.454355
Std. Dev. 0.970619
Skewness -0.205875
Kurtosis 3.165052
Jarque-Bera 0.639537
Probability 0.726317
67
LN_DCBS 4.446616 1.294796 3.434221 0.0010
LN_DCPS 0.058806 1.973084 0.029804 0.9763
LN_M2 -0.543877 0.817290 -0.665463 0.5081
GDS 7.30E-12 3.46E-12 2.111360 0.0387
TRADE 0.056557 0.009642 5.865508 0.0000
GOV 0.564432 0.172593 3.270307 0.0017
INF -0.052876 0.071450 -0.740046 0.4620
C 45.35304 25.40368 1.785294 0.0790 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.833494 Mean dependent var 2.824667
Adjusted R-squared 0.799672 S.D. dependent var 2.624663
S.E. of regression 1.064643 Sum squared resid 72.54180
F-statistic 24.64380 Durbin-Watson stat 2.164198
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.751928 Mean dependent var 4.708256
Sum squared resid 183.9381 Durbin-Watson stat 2.156990
Lampiran 14. Efek Individu
CROSSID Effect
1 INDONESIA -1.871397
2 MALAYSIA -1.292534
3 FILIPINA -4.134980
4 THAILAND 1.134146
5 CINA 8.343142
6 INDIA -2.178377
68
69
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Laura Cita Febrianty Simanjuntak. Lahir di Bogor,
08 Febuari 1992 dan merupakan putri pertama dari (Alm) Ir. Walden Simanjuntak
dan Jusliani Farida Simamora SH. Penulis adalah anak pertama dari dua
bersaudara dari adik bernama David Lawrence. Penulis mengawali pendidikan di
SDN 05 Pagi Pekayon Jakarta Timur pada tahun 1998 hingga 2004. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 91 Jakarta Timur pada tahun
2004 hingga 2007. Lalu pada tahun 2007 hingga 2010, penulis melanjutkan studi
menengah atas di SMA Negeri 99 Jakarta Timur. Pada tahun 2010 penulis
melanjutkan studi program sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan melalui jalur SNMPTN Tertulis.
Selama masa kuliah penulis aktif terlibat dalam kegiatan organisasi
mahasiswa. Penulis merupakan anggota Komisi Kesenian - Persekutuan
Mahasiswa Kristen IPB (PMK IPB), staff Divisi D’Bussiness and Corporation
Troops (DISTRO) – Himpunan Profesi Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan (HIPOTESA) periode 2011-2012, dan sempat menjadi Kepala
Bidang Perdagangan dan Industri Divisi Discussion and Analysis (DNA) -
HIPOTESA periode 2012-2013. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan
yakni menjadi staff Divisi LKTI dalam perhelatan HIPOTESA Exihibition in
Revolution (9TH
HIPOTEX-R), menjadi staff Divisi Acara Seminar KEENESIAN
dan Lomba LKTI Economic Championship (ECHAMP) Divisi DNA HIPOTESA,
serta beberapa kali berkesempatan menjadi moderator dalam sesi presentasi 9th
HIPOTEX-R serta dalam Seminar KEENESIAN DNA HIPOTESA. Penulis juga
aktif menyanyi dalam berbagai acara di dalam dan luar kampus serta pernah
menjadi mentor Bina Mapres Departemen PPSDM-BEM FEM tahun 2013.
Selama masa kuliah, penulis juga mengukir beberapa prestasi. Penulis
termasuk dalam sepuluh besar Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Ekonomi
2013. Penulis juga merupakan Asisten Pengajar MK Ekonomi Umum sejak tahun
2012 hingga 2013. Penulis juga pernah meraih Juara I Lomba LKTI Economic
Championship (ECHAMP) IPB 2012, meraih Juara II Lomba Artikel Ilmiah
Nasional ISMKMI Universitas Airlangga 2012, serta menjadi juara III dalam
Lomba Vocal Group se-Kota Bogor Yayasan Kasih Bangsa. Penulis juga
merupakan ketua tim Program Kreativitas Mahasiswa - Bidang Penelitian (PKM-
P) didanai DIKTI 2013, peserta lomba esai nasional POLITIK CERIA BEM-FEM
IPB dan lomba esai nasional SAYEMBARA ESAI IRSAN NOOR tentang
Otonomi Daerah pada tahun 2013 serta merupakan penerima beasiswa Penunjang
Prestasi Akademik (PPA) hingga lulus.