relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada … · dari komisi pembimbing dan belum diajukan...
TRANSCRIPT
RELASI SUAMI-ISTRI DAN KUALITAS PERKAWINAN
PADA KELUARGA PETANI
NURUL IZMAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Relasi Suami-Istri dan
Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Nurul Izmah
I24100021
ABSTRAK
NURUL IZMAH. Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga
Petani. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI.
Kualitas perkawinan dapat dilihat dengan mengukur dimensi kebahagiaan
perkawinan dan kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan keluarga petani,
menganalisis tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan, dan menganalisis
pengaruh relasi suami-istri dan kualitas perkawinan. Desain penelitian ini adalah
cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Petir, Kecamatan
Darmaga, Kabupaten Bogor selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai
dengan bulan Juni 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani
dengan status pekerjaan suami atau istri atau keduanya sebagai petani. Penelitian
ini melibatkan 35 keluarga yang dipilih secara acak dari 85 keluarga dengan istri
sebagai responden. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan dianalisis
secara deskriptif dan inferensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa realsi
suami-istri berhubungan positif signifikan dengan kualitas perkawinan. Tipologi
relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani paling banyak
berada pada tipe 2 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi.
Kata kunci: keluarga petani, relasi suami-istri, kualitas perkawinan
ABSTRACT
NURUL IZMAH. Husband-Wife Relationships and Marital Quality of Farmer
Families. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.
Marital quality can be measured by dimensions of marital happiness and marital
satisfaction. This study aims to identify husband-wife relationships and marital
quality, to analyze husband-wife relationship and the marital quality, and to
analyze typology husband-wife relationships and marital quality of farmer
families. This study was used a cross-sectional study design. Research location
was at Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor during three months,
April until June 2014. The population in this study was the farmer families with a
husband or wife or both as a farmer. The study involved 35 families by a simple
random sampling method from 85 families with the wife as the respondent. The
data were collected by interview and analyzed by descriptive and inferential. The
results showed that husband-wife relationships correlated to marital quality.
Typology husband-wife relationship and marital quality in farmer families most in
type 2 that is higher husband-wife relationships and higher marital quality.
Keywords: farmer families, husband-wife relationship, marital quality
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
RELASI SUAMI-ISTRI DAN KUALITAS PERKAWINAN
PADA KELUARGA PETANI
NURUL IZMAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani
Nama : Nurul Izmah
NIM : I24100021
Disetujui oleh
Dr Ir Herien Puspitawati M Sc M Sc
Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Ujang Sumarwan MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan
judul “Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani”. Karya
ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk
menyelesaikan program sarjana (S1) Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam
penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah membimbing dan memberikan saran serta arahan dalam proses
penyusunan karya ilmiah sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
2. Seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan
banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis.
3. Orang tua, kakak, dan saudara-saudara atas doa dan dukungan yang sangat
besar dalam proses penyelesaian proposal ini.
4. Teman-teman seperjuangan penulis dalam penelitian ini (Danisya Primasari,
Dwi Puspita Sari, dan Ilma Permadani) yang memberikan semangat dan
saling menguatkan. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh sahabat penulis (Mardiana, Wa Ode Sofia ZA, Ridha Vivianti SA,
dan teman-teman IKK 47) dan teman-teman kostan Wisma Pelangi (kiky,
ara, lidya, dian, dan eka) serta Kakak Salsabilah Khotibatunnisa dan mbak
Vivi yang selalu membantu saya ketika mengalami kesulitan dan selalu
memberikan semangat dan dukungannya.
5. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam penyusunan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Nurul Izmah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 4
KERANGKA PEMIKIRAN 10
METODE PENELITIAN 13
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 13
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh 13
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 14
Pengolahan dan Analisis Data 15
Definisi Operasional 17
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Hasil 17
Pembahasan 28
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 33RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL
1 Variabel, skala data, dan pengkategorian 15 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori usia suami dan istri 183 Sebaran contoh berdasarakan kategori tingkat pendidikan
suami dan istri 19 4 Sebaran contoh berdasarkan tipe petani 1ф 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga 206 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi
perlakuan suami terhadap istri 217 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi
perlakuan istri terhadap suami 21 8 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi
komunikasi suami-istri 23
9 Sebaran contoh berdasarkan kategori relasi suami-istri 23
10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas perkawinan 24
11 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas perakawinan 2412 Sebaran tipologi pasangan perkawinan 2613 Hasil uji korelasi suami-istri dengan kualitas perkawinan 27 14 Pengaruh karakteristik dan relasi suami-istri terhadap
kualitas perkawinan 28
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga,
relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan 13 2 Kerangka penarikan contoh 14 3 Diagram Kartesius 16 4 Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan 25
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian 342 Penelitian terdahulu 35 3 Kronologi pengambilan data 38 4 Data kualitatif arti keluarga 395 Daftar responden berdasarkan tipologi relasi suami-istri
dan kualitas perkawinan
6 Matriks korelasi pearson karakteristik keluarga, relasi
suami-istri, dan kualitas perkawinan 42
40
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keluarga merupakan unit sosial dengan dua atau lebih individu dari
kelompok usia yang berbeda dan sifat-sifat karakteristik memutuskan untuk
tinggal bersama di bawah satu atap, berbagi hak dan tanggung jawab. Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendefiniskan keluarga
sejahtera sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah,
mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan
seimbang antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
Perkawinan merupakan salah satu cara dalam mengekspresikan rasa cinta
untuk seseorang yang ingin menghabiskan waktu bersama selama hidupnya. Di
Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, yang dikenal
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjalinnya ikatan
lahir dan ikatan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina
keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.
Sebagian besar mata pencaharian keluarga di Indonesia merupakan petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyatakan penurunan rumah tangga
petani dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga
pada 2013. Mayoritas petani yang berkurang itu beralih profesi ke sektor lain,
seperti perdagangan atau perindustrian. Semakin maju suatu bangsa, tren
penduduknya memang bergeser dari sektor usaha pangan yang primer ke sektor
jasa yang lebih sekunder. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah
angkatan kerja Indonesia berjumlah 107,7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang
bekerja sebagai buruh sebanyak 34,7 juta jiwa dan sebanyak 26,13 juta rumah
tangga bekerja dalam sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat,
sekitar 36,5 persen (41,20 juta orang) dari 112,80 juta penduduk yang bekerja
pada Februari 2012 menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, baik sebagai
petani maupun buruh tani.
Komunikasi dalam keluarga sangat penting sehingga banyak persoalan
dalam masyarakat selalu dihubungkan dengan komunikasi dalam keluarga.
Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menjadi semakin
melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga terutama komunikasi
suami-istri sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya
dari pengaruh pihak luar. Data Pengadilan Agama Kota Bogor yang dilaporkan
oleh Republika Online, angka kasus perceraian terus meningkat tiap tahun. Pada
tahun 2011, tercatat 1.109 kasus perkara pengajuan perceraian. Dari jumlah
tersebut, 83 persen diantaranya telah diputuskan. Angka ini meningkat drastis dari
data 2010 yang hanya mencatat 896 kasus dengan 792 diantaranya dikabulkan.
2
Perceraian yang terjadi pun tidak lagi didominasi oleh talak yang diajukan pihak
suami, namun juga diimbangi gugat cerai yang diajukan pihak istri. Pada tahun
2010, angka gugat cerai mencapai 268 kasus. Sementara pada tahun 2011,
angkanya meningkat menjadi 280 kasus. Sebagian besar kasus perceraian yang
terjadi disebabkan karena faktor ekonomi.
Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat
memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga
dapat menjaga kelestarian perkawinan. Kualitas perkawinan yang mencerminkan
harmonisasi pasangan suami dan istri merupakan salah satu faktor yang mencegah
adanya perceraian (Puspitawati 2012). Banyak penelitian yang meneliti interaksi,
tapi belum banyak meneliti tentang relasi suami-istri yang dikaitkan dengan
kualitas perkawinan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai relasi
suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani.
Perumusan Masalah
Jawa Barat merupakan sebuah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di
Indonesia. Menurut data sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 237.641.326 dan Jawa Barat
dengan jumlah penduduknya sebesar 43.053.700 atau 18,12 persen menempati
posisi teratas dalam jumlah penduduk dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara
faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai
petani dan buruh tani. Salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor
pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala
usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang
dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Sehingga kesejahteraan pun sulit
dicapai keluarga.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah petani gurem hasil Sensus
Pertanian tahun 2013 (ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai
rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah
hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta
rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga pertanian
(petani) pengguna lahan. Angka ini menunjukkan penurunan jumlah petani gurem
sebesar 4,77 juta rumah tangga atau sekitar 25,07 persen bila dibandingkan
dengan kondisi pada sepuluh tahun yang lalu.
Selama ini, perkembangan jumlah petani gurem dianggap sebagai
representasi perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Karena itu, penurunan
jumlah petani gurem sebanyak 4,77 rumah tangga ini boleh jadi merupakan
petunjuk bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian. Bahwa
ada jutaan petani yang berhasil melepaskan diri dari belenggu kemiskinan selama
satu dasawarsa terakhir.
Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat
memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga
dapat menjaga kelestarian perkawinan. Angka perceraian di Indonesia terus
meningkat. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah agung (MA)
mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga
3
70 persen. Pada tahun 2010 tingkat pereraian di Indonesia mengalami peningkatan
30 persen dari tahun sebelumnya. Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Bogor.
Berdasarkan data dari Pengadilan (PA) Cibinong, kurun waktu Januari hingga
Mei 2013, terdapat 1.216 kasus. Pada bulan Mei 2013, sebanyak 284 kasus sudah
diputus cerai, sedangkan 594 kasus lainnya masih dalam proses. Sedangkan pada
2012, ada 2.942 kasus yang diterima oleh Pengadilan Agama. Dari jumlah
tersebut, perkara yang diputus sebanyak 2.758 kasus. Salah satu faktor yang
mencegah terjadinya perceraian antara suami istri adalah kualitas perkawinan
yang mencerminkan harmonisasi pasangan suami dan istri tersebut (Puspitawati
2012).
Komunikasi merupakan pusat cara kedua pasangan untuk hidup harmonis
satu sama lain (Sadarjoen 2005 dalam Altaira dan Nashori 2008). Menurut Olson
dan Defrain (2003) dalam Altaira dan Nashori (2008) komunikasi merupakan
kunci kesuksesan suatu hubungan, sehingga kemampuan dan kemauan untuk
berkomunikasi menjadi salah satu faktor terpenting dalam memelihara kepuasan
suatu hubungan (kepuasan perkawinan). Penelitian Setioningsih (2011)
menunjukkan bahwa semakin lemah komunikasi dan kelekatan emosi suami-istri
maka semakin menurun kualitas perkawinan yang dirasakan pasangan. Oleh sebab
itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai:
1. Bagaimana relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga
petani?
2. Bagaimana tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada
keluarga petani?
3. Bagaimana pengaruh relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan pada
keluarga petani?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relasi suami-istri
dan kualitas perkawinan pada keluarga petani.
Tujuan khusus 1. Menganalisis relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga
petani.
2. Menganalisis tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan keluarga
petani.
3. Menganalisis pengaruh relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Bagi peneliti; mengasah kompetensi dalam studi ilmu keluarga dan
mengaplikasikan teori yang telah diperoleh saat perkuliahan.
2. Bagi masyarakat; memberikan informasi mengenai relasi suami-istri dan
kualitas perkawinan pada keluarga petani.
3. Bagi pemerintah; sebagai referensi untuk membuat kebijakan terkait
meningkatkan kualitas perkawinan pada keluarga petani.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktur Fungsional
Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori terkemuka yang
menjelaskan bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana keluarga bekerja, dan
bagaimana hubungan keluarga dengan masyarakat luas dan anggotanya sendiri.
Teori ini perluasan dari sosiologi dan antropologi, disiplin ilmu fokus pada
masyarakat daripada individu. Teori struktural fungsional pada keluarga melihat 3
aspek, antara lain: fungsi keluarga untuk masyarakat, apa persyaratan fungsional
uang dilakukan oleh anggotanya untuk kelangsungan hidup keluarga, dan apa
kebutuhan pertemuan keluarga untuk setiap anggota keluarga (Strong dan
DeVault 1986).
Penganut pandangan teori struktur fungsional melihat sistem sosial sebagai
suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial
meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang
terorganisir. Asumsi dasar dalam teori struktur fungsional menurut Klein dan
White (1996) adalah: (1) masyarakat selalu mencari titik keseimbangan, (2)
masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi, (3)
untuk memenuhi kebutuhan dasar, fungsi-fungsi harus dijalankan, dan (4) untuk
memenuhi semua ini, harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya suatu
kesimbangan atau homeostatik. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh
keluarga menurut Levy dalam Puspitawati (2012) agar dapat berfungsi, yaitu
meliputi: (1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus
dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi
relasi antaranggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi
barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4)
alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5)
alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi
maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga
dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Keluarga
Definisi Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial dimana dua atau lebih individu dari
kelompok usia yang berbeda dan sifat-sifat karakteristik memutuskan untuk
tinggal bersama di bawah satu atap, berbagi hak dan tanggung jawab (Knox
1985). Menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan
kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan
interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU
Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landi 1989; Day et al.
1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996). Keluarga dijabarkan
sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang
menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal
5
balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi
oleh aturan-aturan di dalam keluarga (Megawangi 1994 dalam Puspitawati 2012).
Salah satu definisi keluarga adalah kelompok sosial yang dicirikan dengan adanya
tempat tinggal bersama (suami dan istri hidup bersama), kerjasama dalam hal
ekonomi (pasangan suami istri berbagi uang atau sumber daya dan pekerjaan), dan
melakukan hubungan seksual (suami dan istri memiliki atau mengadopsi anak).
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Pasal 1). Dengan demikian,
pembentukan keluarga harus melalui ikatan perkawinan yang merupakan “kontrak
sosial dan spiritual/ibadah” yang merubah status masing-masing individu yang
independen (mandiri) menjadi hubungan yang inter-dependent atau saling
ketergantungan dengan dasar kemandirian tertentu.
Keluarga Petani
Praktik pertanian utama di Indonesia yang diwariskan dari leluhur
menggunakan pranoto mongso atau tata cara bertani yang mana petani diajarkan
membaca tanda-tanda alam untuk menentukan waktu dimulainya aktivitas
pertanian. Pranoto mongso menggambarkan indegenous knowledge yang dapat
menjaga keseimbangan alam dan menjawab tantangan alam di masa depan
(Puspitawati 2013). Berikut ini sepuluh ciri-ciri utama dalam struktur masyarakat
pertanian:
1. Pola tingkah laku saling mencurigakan dan saling tidak mempercayai
pergaulan sesama orang.
2. Pola tingkah laku tidak merespons hal-hal baru, termasuk terhadap pelaku
pembaharu atau orang-orang yang membawa dan melaksanakan ide tersebut.
3. Muncul kepercayaan bahwa perubahan keadaan seseorang terjadi karena
sudah dianggap takdir bagi dirinya.
4. Tingkat aspirasi untuk mengembangkan usaha atau kemajuan terlalu rendah.
5. Pandangan ke masa depan terlalu sempit sehingga tidak ada gairah untuk
maju.
6. Terdapat pola sikap mumpung, contohnya pemborosan sumber daya atau
tidak terdapat usaha untuk menyisihkan sebagian hasil agar dapat digunakan
di kemudian hari.
7. Terdapat ikatan keluarga yang kuat sehingga muncul anggapan bahwa
struktur sosial bergantung kepada keluarga.
8. Terdapat sikap ketergantungan pada pemerintah sehingga menimbulkan
anggapan bahwa sebagian besar persoalan hidup harus ditangani pemerintah.
9. Orientasi ke dalam yang terlalu kuat, sehingga pelaku dalam masyarakat
pertanian kurang memiliki wawasan, tidak memiliki pola hubungan sosial
yang kosmopolit, mobilitas horizontal rendah, serta kurang memiliki akses
terhadap media massa.
6
10. Ketidakmampuan menempatkan diri pada peranan orang lain, termasuk pada
orang-orang yang membawa pembaharuan dan melaksanakan hal-hal yang
baru.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat masyarakat pertanian pada
dasarnya pasif, statis, dan tertutup terhadap inovasi pembaharuan. Warga
masyarakat yang dinamis cenderung mengembangkan dirinya dalam kerja di luar
sektor pertanian (Roger 1962). Ditambah lagi bahwa sektor pertanian dianggap
sebagai wadah simpanan cadangan untuk angkatan kerja.
Relasi Suami-Istri
Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus
didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang
diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua
pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga
menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role
taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia
berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga terjadi
dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas (boundaries)
tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2012).
Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding
(hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang
jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi lainnya. Faktor dalam
menjalin good relationship (Hybels dan Weaver 2004) antara lain: verbal skills,
emotional expressiveness, conversational focus, nonverbal analysis,
conversational encouragement, care and appreciation, dan commitment.
Verbal skill bukan hanya dalam komunikasi verbal saja akan tetapi dalam
menggunakan ungkapan, memahami bahasa, dan kemampuan dalam berbahasa
juga termasuk dalam verbal skills. Pasangan good relationship harus mempunyai
percakapan yang berkelanjutan dalam hubungan itu sendiri. Menurut Carry
Barbor (2001) dalam Hybel dan Weaver (2004), komunikasi dan perlakuan yang
baik antar pasangan akan membantu dalam menjalin hubungan yang bertahan
lama.
Kemampuan perempuan dalam verbal skill lebih baik dibandingkan dengan
laki-laki karena perkembangan bahasa anak perempuan lebih cepat. Hal ini
membuat perempuan lebih unggul menterjemahkan perasaan mereka dalam kata-
kata. Emotional expressiveness merupakan hal yang penting jika ingin menjalin
relasi yang sukses.
Faktor ketiga untuk meningkatkan hubungan pasangan adalah pilih apa yang
ingin dikatakan. Laki-laki kurang tertarik membicarakan tentang perasaan dan
hubungan personal mereka dibandingkan dengan perempuan. Faktor selanjutnya
adalah kemampuan nonverbal analysis. Nonverbal analysis merupakan kemapuan
dalam membaca situasi. Hasil penelitian menyatakan perempuan lebih baik
daripada laki-laki dalam mengartikan emosi yang tergambar dari wajah aneh
seseorang. Sehingga laki-laki harus meningkatkan kemampuan dalam membaca
7
gerakan nonverbal. Seringkali, laki-laki mendengarkan yang lain tanpa melihat
bagaimana perasaan orang tersebut.
Interaksi Suami dan Istri
Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting
dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi
tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open
and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat dan
tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi
terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan
orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi
yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara
positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah
memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan
mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self-
Disclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa
elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain tentang
ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure. Penelitian
Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum
berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Kualitas Perkawinan
Definisi Perkawinan
Definisi perkawinan diatur dalam hukum Indonesia, Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 Bab 1, perkawinan adalah ikatam lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan seabgai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahgia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Strong dan DeVault (1986)
perkawinan adalah persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang melakukan ritual publik (yang artinya pernikahan mereka diakui secara
sosial), kerjasama dalam hal ekonomi (pasangan suami istri berbagi uang atau
sumber daya dan pekerjaan), dan melakukan hubungan seksual (suami dan istri
memiliki atau mengadopsi anak). Jika mereka punya anak, anak mereka berstatus
sah secara hukum.
Perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang dewasa berbeda jenis
kelamin yang mempunyai hubungan dan komitmen hukum satu sama lain di
bawah undang-undang negara mana mereka berada. Kebanyakan perkawinan
melibatkan pengumuman publik dan upacara umum. Semua itu diperlukan surat
nikah, yang disediakan untuk pelimpahan kepemilikan dan keturunan yang sah
(Knox 1985).
Berkaitan dengan tingkat kebahagiaan perkawinan, terdapat tujuh tipologi
pasangan perkawinan (Olson 1981), yaitu:
1. Perkawinan pasangan tanpa vitalitas yang dicirikan dengan kondisi
perkawinan yang labil dan pasnagan yang tidak meras puas dengan
perkawinannya. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda,
8
masih memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang
„berantakan‟.
2. Perkawinan pasangan finansial yang dicirikan dengan kondisi banyak konflik
tidak terselesaikan, dan pasangan tidak merasa puas dengan komunikasi
dalam perkawinan dan tidak puas dengan kepribadian masing-masing
individu. Pasangan tipe ini lebih mempriotaskan karier daripada kleuarga dan
uang (finansial) menjadi sangat penting dalam kehidupan keluarga di atas
esensi makna berkeluarga.
3. Perkawinan pasangan konflik yang dicirikan dengan kondisi tidak puas dalam
berbagai aspek misalnya seksual, kepribadian pasangan, komunikasi, dan
pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Pasangan tipe ini selalu diwarnai
dengan konflik sehingga mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti
memfokuskan pada hobi atau ritual keagamaan.
4. Perkawinan pasangan tradisonal yang dicirikan dengan kondisi perkawinan
yang stabil dengan pencapaian kepuasan dalam banyak aspek kehidupan
keluarga, tetapi masih memiliki banyak aspek kehidupan keluarga, tetapi
masih memiliki masalh serius dalam aspek komunikasi dan seksual.
Kebahagiaan pasangn tipe ini lebih didasari atas aspek tradisional religius dan
hubungan yang baik antara kedekatan kerabat atau keluarga besar dan teman-
teman.
5. Perkawinan pasangan seimbang yang dicirikan dengan kepuasan yang cukup
baik dalam komunikasi dan resolusi konflik karena pasangan ini lebih
memprioritakan keluarga dibandingkan dengan aspek lain, memiliki kepuasan
yang setara antara suami istri dalam aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan
anak, dan seksualitas.
6. Perkawinan pasangan harmonis yang dicirikan dengan kepuasan perkawinan
yang diwujudkan dengan ekspresi kasih sayang, dan kepuasan seksual.
7. Perkawinan pasangan penuh vitalitas yang dicirikan dengan tingkat kepuasan
yang tinggi didasari atas pasangan suami istri harmonis dalam menjalin
hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, komunikasi
yang baik, mencari solusi dari konflik, kepuasan secara seksual maupun
secara finansial.
Definisi kualitas perkawinan
Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat
memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga
dapat menjaga kelestarian perkawinan. Kualitas perkawinan yang mencerminkan
harmonisasi pasangan suami dan istri merupakan salah satu faktor yang mencegah
adanya perceraian. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa
keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang
sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang
ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1). Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas
perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan
perkawinan.
Definisi kualitas perkawinan dapat dijelaskan secara garis besar sebagai
berikut:
9
1. Kebahagiaan adalah keadaan subjektif pikiran, perasaan, kondisi dan
pengalaman personal.
2. Konsep dimensi kualitas perkawinan berkaitan dengan penyesuaian dan
keharmonisan sebagai proses untuk mencapai satu tujuan perkawinan, yaitu
kebahagaian dalam kehidupan perkawinan (marital happiness in marriage).
a. Jadi perkawinan yang bahagia adalah perkawinan yang dilandasi dengan
cinta (sebagai objek) dapat membuat orang merasakan kenikmatan (joy)
terhadap apa yang diraihnya, tapi dengan tidak mengabaikan apa yang
telah menjadi kebutuhan dasar manusia dalam rangka memenuhi
kepuasannya.
b. Kemampuan untuk menghasilkan perasaan bahagia pada masing-masing
individu suami istri berbeda tergantung pada kapasitas individu dalam
menyesuaikan dan perasan empati serta kematangan sosial.
c. Penyesuaian suami dan istri tergantung pada kemampuan dan keefektifak
komunikasi antara keduanya dalam melakukan peran instrumental atau
ekspresif, dalam menyesuaiakan perilaku seksual dan dalam
menyesuaikan prinsip-prinsip hidup.
Keberhasilan suatu perkawinan dicerminkan dari bertahannya suatu
keluarga memelihara komitmen bersama, kebahagiaan yang dirasakan oleh
pasangan suami istri, kepuasan suami istri dalam perkawinan, kesesuaian
hubungan seksual antara suami istri, kesesuaian perkawinan dengan berbagai
kondisi dan keadaan keluarga, dan integrasi diantara pasangan suami istri. Hal ini
menandakan bahwa kualitas perkawinan merupakan kesamaan keseluruhan
perasaan yang dirasakan oleh pasangan, bukan kepuasan yang hanya dirasakan
oleh sebagian dari pasangan tersebut atau perseorangan (Burgess dan Locke 1960
dalam Puspitawati 2012). Faktor lingkungan seperti dukungan teman dan tetangga
di sekitar tempat tinggal dapat membantu dalam memelihara tingginya kualitas
perkawinan (Kammeyer 1987).
Kebahagiaan perkawinan
Kualitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri
adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan yang
setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar, menginginkan
hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta, saling
menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu luang
bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan untuk
memberi dan menerima (Zastrow dan Kirsht 1987 dalam Setioningsih 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah:
1. Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama
konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan
finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955).
2. Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan,
seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan.
Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari
pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus
menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar dari
benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955)
10
menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan
cenderung baik.
3. Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan
kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan
curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam dirinya.
Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu seseorang
memahami orang lain dan menerima kebutuhannya.
4. Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya
komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok
yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang
bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985
dalam Setioningsih 2010).
5. Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual,
pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan
rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988) dalam
Setioningsih (2010) mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di
bawah 20 tahun mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding
dengan mereka yang menikah di atas 20 tahun.
Kepuasaan perkawinan
Duvall dan Miller (1989) dalam Setioningsih (2010), kepuasan perkawinan
meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling
percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan
terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan
bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan
penghasilan yang memadai.
Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah: (1) Status
pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan, (2) Kepuasan terhadap pekerjaan,
(3) Kesehatan mental dan fisik, (4) Besarnya kebersamaan untuk menghabiskan
waktu luang dalam aktifitas, (5) Komunikasi verbal dan non verbal yang baik, (6)
Mengekspresikan afeksi, (7) Adanya saling percaya antar pasangan, (8) Adanya
perasaan nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam pernikahan dan
adanya peran yang fleksibel (Rice 1983).
KERANGKA PEMIKIRAN
Teori struktural fungsional memandang sistem sosial sebagai suatu sistem
yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial meliputi
bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir.
Menurut William F. Ogburn dan Talcott Parsons dalam Puspitawati (2012)
pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial
yang kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi dalam struktur
sebuah sistem.
Keluarga terdiri atas ayah, ibu, anak, dan mungkin kakek atau nenek, adalah
satu kesatuan yang tinggal dalam satu rumah dan memiliki visi dan misi bersama.
Keluarga tidak jauh beda dengan organisasi, setiap anggota keluarga memiliki
11
peran yang sangat penting. Untuk menyelaraskan tugas-tugas antar anggota
keluarga tersebut, diperlukan komunikasi antara anggota keluarga yang satu
dengan yang lain. Komunikasi dalam keluarga memiliki peran yang sangat
penting. Komunikasi merupakan elemen terpenting yang dapat menentukan
kualitas perkawinan. Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan
yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri
sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Perkawinan yang berkualitas
menjamin kehidupan perkawinan yang bahagia dan memuaskan yang menjadi
harapan dan idaman pada setiap pasangan sejak awal terjadinya sebuah
pernikahan. Kualitas perkawinan terdiri atas dua dimensi yakni kebahagiaan
perkawinan dan kepuasaan perkawinan (Conger dan Elder 1994). Kualitas
perkawinan merupakan komposit dari kebahagiaan perkawinan dan kepuasan
perkawinan.
Keberhasilan suatu perkawinan dicerminkan dari bertahannya suatu
keluarga memelihara komitmen bersama, kebahagiaan yang dirasakan oleh
pasangan suami istri, kepuasan suami istri dalam perkawinan, kesesuaian
hubungan seksual antara suami istri, kesesuaian perkawinan dengan berbagai
kondisi dan keadaan keluarga, dan integrasi diantara pasangan suami istri. Hal ini
menandakan bahwa kualitas perkawinan merupakan kesamaan keseluruhan
perasaan yang dirasakan oleh pasangan, bukan kepuasan yang hanya dirasakan
oleh sebagian dari pasangan tersebut atau perseorangan (Burgess dan Locke
1960). Faktor lingkungan seperti dukungan teman dan tetangga di sekitar tempat
tinggal dapat membantu dalam memelihara tingginya kualitas perkawinan
(Kammeyer 1987). Rice (1983) menyebutkan faktor yang mempengaruhi
kepuasan perkawinan antara lain status pekerjaan, tingkat pendidikan dan
pendapatan.
Davidson et al. dalam Kammeyer (1987) menyatakan bahwa kedekatan
suami dan istri dapat memberikan efek terhadap hubungan perkawinan.
Rendahnya kedekatan suami dan istri akan menimbulkan masalah untuk pasangan
diantaranya menipisnya perasaan lekat terhadap pasangan dan pada akhirnya akan
berdampak pada hubungan perkawinan (Setioningsih 2011). Burke dan Weir
(1975) menemukan bahwa relasi suami-istri berpengaruh signifikan terhadap
kualitas perkawinan.
Ket
eran
gan
:
= D
itel
iti
= T
idak
dit
elit
i
= H
ubun
gan
yan
g d
itel
iti
= H
ubun
gan
yan
g t
idak
dit
elit
i
Gam
bar
1 K
eran
gk
a pem
ikir
an h
ubungan
kar
akte
rist
ik k
eluar
ga,
re
lasi
suam
i dan
ist
ri, d
an k
ual
itas
per
kaw
inan
Kar
akte
rist
ik k
elu
arga
-B
esar
kel
uar
ga
-P
end
apat
an k
elu
arga
Rel
asi
Suam
i
dan
Ist
ri
Kual
itas
per
kaw
inan
-K
ebah
agia
n p
erkaw
inan
-K
epuas
an p
erkaw
inan
K
eutu
han
Inte
raksi
suam
i-
istr
i
Kom
unik
asi
suam
i-is
tri
Kar
akte
rist
ik i
stri
-U
sia
istr
i
-L
ama
Pen
did
ikan
ist
ri
Kar
akte
rist
ik s
uam
i
-U
sia
suam
i
-L
ama
pen
did
ikan
su
ami
12
13
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan subsampling dari penelitian Strategi Nasional
(Stranas) yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc dengan judul
“Analisis Gender tentang Strategi Hidup Keluarga, Investasi, dan Kualitas Anak
dalam Mencapai Target Millenium Development Goals (MDGs) pada Petani
Dataran Tinggi”. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study, yaitu dengan
mengobservasi banyak orang dalam satu periode waktu tertentu saja dan tidak
berkelanjutan. Data cross-sectional study mencakup karakteristik keluarga petani,
komunikasi suami-istri keluarga petani dan tingkat kualitas perkawinan keluarga
petani. Metode yang digunakan adalah survei dengan menggunakan kuesioner
sebagai pengumpul data primer.
Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive atau sengaja di Desa Petir,
Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan pertimbangan Jawa
Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan
provinsi lainnya dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai
dengan bulan Juni 2014.
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga petani yang memiliki
anak SD kelas 3 hingga kelas 5 di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten
Bogor. Penelitian ini mengambil contoh sebanyak 35 keluarga dengan status
pekerjaan suami atau istri atau keduanya sebagai petani. Penarikan contoh
dilakukan dengan teknik probability sampling teknik simple random sampling
dari 85 keluarga. Untuk lebih jelas mengenai tahap pengambilan contoh disajikan
Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Kerangka penarikan contoh
Purposive
Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah
penduduk terbanyak di Indonesia (BPS 2010).
Purposive
Pada tahun 2010 penduduk di Jawa Barat yang
terbanyak di Kabupaten Bogor yaitu 4,8 juta jiwa.
Purposive
Berdasarkan data luas lahan
Simple random sampling
Berdasarkan keluarga petani dengan suami-istri
lengkap dari data Stranas
Jawa Barat
Kabupaten Bogor
Kecamatan Dramaga
Desa Petir
n = 35 keluarga petani
Purposive
Berdasarkan data siswa kelas 3, 4, dan 5 dengan
orang tua sebagai petani
14
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari responden seperti karakteristik suami, karakteristik istri dan
karakteristik keluarga yang meliputi usia, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan
keluarga, dan jumlah anggota keluarga; relasi suami-istri; serta kualitas
perkawinan. Kualitas perkawinan diukur berdasarkan kepuasan dan kebahagiaan
perkawinan menurut persepsi istri dalam menilai kehidupan perkawinan. Data
primer diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan alat bantu kuesioner
yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan berbagai penelitian serupa terdahulu dan berdasarkan konsep teoritis.
Data sekunder diperoleh dari data siswa/siswi sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 di
Desa Petir.
Validitas menunjukkan sejauh mana nilai/ukuran yang diperoleh benar-
benar menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Dengan kata lain, validitas
adalah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen atau kuesioner
dapat dikatakan valid jika instrumen atau kuesioner tersebut memiliki ketepatan
dan kecermatan dalam melakukan fungsi ukurnya. Realibilitas merupakan indeks
yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Realibilitas adalah konsistensi tes dalam mengukur apa yang
seharusnya diukur.
Variabel relasi suami-istri diukur dengan menggunakan instrumen
terstruktur yang terdiri dari 31 item pertanyaan (Cronbach’s α 0,663 dengan
validitas isi 0,365-0,639) dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert, skor
1 untuk jawaban tidak pernah, skor 2 untuk jawaban kadang-kadang, skor 3 untuk
jawaban cukup sering, dan skor 4 untuk jawaban sering. Untuk pertanyaan negatif
diberikan skor terbalik yaitu skor 4 untuk jawaban tidak pernah, skor 3 untuk
jawaban kadang-kadang, skor 2 untuk jawaban cukup sering, dan skor 1 untuk
jawaban sering. Kuesioner relasi suami-istri diadopsi dan dimodifikasi dari
konsep Boehi et al. (1997) dan Knox (1985).
Variabel kualitas perkawinan diukur dengan menggunakan instrumen
terstruktur terdiri dari dimensi kepuasan 2 item pertanyaan dan dimensi
kebahagiaan 4 item pertanyaan (Cronbach’s α 0,958 dengan validitas isi 0,741-
0,968) dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert, skor 1 untuk jawaban
tidak bahagia/tidak puas, skor 2 untuk jawaban sedikit bahagia/sedikit puas, skor
3 untuk jawaban cukup bahagia/cukup puas, dan skor 4 untuk jawaban sangat
bahagia/sangat puas. Kuesioner kualitas perkawinan diadopsi dan dimodifikasi
dari konsep Fincham dan Bradbury (1987) dan Conger dan Elder (1994). Secara
rinci, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
15
No. Variabel Skala
Data Kategori Data α
1 Karakteristik keluarga
- Usia istri (tahun)
- Usia suami (tahun)
- Pekerjaan istri
- Pekerjaan suami
- Lama pendidikan istri (tahun)
- Lama pendidikan suami (tahun)
- Pendapatan keluarga (Rp/bulan)
- Besar keluarga (orang)
Rasio
Rasio
Nominal
Nominal
Rasio
Rasio
Rasio
Rasio
Hurlock (1980)
1= Dewasa
awal (18-40
tahun)
2= Dewasa
madya (41-60
tahun)
Hurlock (1980)
1= Dewasa
awal (18-40
tahun)
2= Dewasa
madya (41-60
tahun)
BKKBN
(1998)
1= kecil (≤4
orang)
2= sedang (5-6
orang)
3= besar ((≥7
orang)
2 Relasi suami-istri
diadopsi dan dimodifikasi dari konsep Boehi
et al. (1997) dan Knox (1985)
Ordinal 1= Rendah
(≤75,0)
2= Tinggi
(>75,0)
0,663
3 Kualitas perkawinan
diadopsi dan dimodifikasi dari konsep
Fincham dan Bradbury (1987) dan Conger
dan Elder (1994)
- Kepuasan perkawinan
- Kebahagiaan perkawinan
Ordinal
Ordinal
1= Rendah
(≤75,0)
2= Tinggi
(>75,0)
0,958
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah melalui proses coding, entry,
editing, scoring, dan analisis data. Data akan dianalisis secara statistik deskriptif
dan inferensia dengan menggunakan program Microsoft Excel dan Statistical
Package for Social Sciences (SPSS).
Analisis deskriptif (rata-rata, nilai minimum dan maksimum, serta
persentase) dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga, relasi suami-
istri, dan kualitas perkawinan. Analisis deskriptif akan disajikan dalam bentuk
tabulasi silang (cross tabulation). Sementara untuk analisis inferensia, pengolahan
data juga menggunakan uji korelasi dan uji regresi linear berganda. Jumlah
Tabel 1 Variabel, skala data, dan pengkategorian
16
pertanyaan yang berbeda pada setiap dimensi variabel dikompositkan dengan
mentransformasi skor yang telah didapatkan menjadi skor indeks. Indeks
persentase pada variabel relasi suami-istri dan kualitas perkawinan dihitung
dengan rumus:
Variabel relasi suami-istri skor minimum yang didapat 31 dan skor
maksimum yang didapat 124. Variabel kualitas perkawinan skor minimum yang
didapat 6 dan skor maksimum yang didapat 24. Hasil transformasi tersebut
dikategorikan dengan menggunakan cut off. Cut off untuk variabel relasi suami-
istri dan kualitas perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Rendah : ≤ 75%
b. Tinggi : > 75%
Variabel relasi suami-istri dan kualitas perkawinan disajikan dalam bentuk
tipologi. Data tersebut ditampilkan dalam empat bagian Diagram Kartesius yang
menunjukkan Tipe 1 adalah pencapaian relasi suami-istri rendah dan kualitas
perkawinan tinggi, Tipe 2 adalah pencapaian relasi suami-istri tinggi dan kualitas
perkawinan tinggi, Tipe 3 adalah pencapaian relasi suami-istri tinggi dan kualitas
perkawinan rendah, serta Tipe 4 adalah pencapaian relasi suami-istri rendah dan
kualitas perkawinan rendah. Berikut ini gambar diagram Kartesius:
Gambar 3 Diagram Kartesius
Uji regresi linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh antara
variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian uji regresi linier
berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakterisktik contoh, relasi
suami-istri, dan kualitas perkawinan. Model regresi didefinisikan dengan
persamaan sebagai berikut:
Yi = α + β1 X1 + β2 X2+ β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + e
Keterangan:
Yi : Kualitas perkawinan
α : Konstanta regresi
β : Koefisien regresi
Tipe 1 Tipe 2
Tipe 4 Tipe 3
Y
X
17
X1 : Usia suami (tahun)
X2 : Lama pendidikan suami (tahun)
X3 : Lama pendidikan istri (tahun)
X4 : Besar keluarga (orang)
X5 : Pendapatan per bulan (rupiah)
X6 : Relasi suami-istri
Definisi Operasional
Keluarga petani adalah keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai petani, baik
pemilik lahan, penggarap lahan, maupun buruh tani; dan menghabiskan
waktunya di ladang atau sawah.
Karakteristik responden adalah ciri khas yang dimiliki responden meliputi usia,
lama pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan per bulan.
Usia adalah usia istri dan suami dalam tahun.
Lama pendidikan adalah lama pendidikan formal yang ditempuh responden
dalam tahun.
Pendapatan per bulan adalah jumlah pemasukan keluarga baik dari suami atau
dari istri.
Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang tinggal dalam satu atap dan
memiliki ikatan keluarga yang disatukan oleh ikatan darah atau perkawinan.
Relasi suami-istri adalah hubungan timbal balik antara suami dan istri yang
saling mempengaruhi diukur dengan beberapa komponen sebagai berikut
perlakuan suami terhadap istri, perlakuan istri terhadap suami, dan
komunikasi suami-istri.
Kualitas perkawinan adalah ukuran berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan
menurut persepsi istri dalam menilai rasa bahagia atau rasa puas istri
terhadap suami dan rasa bahagia atau rasa puas dan bersyukur istri terhadap
perkawinannya dengan suami.
Kepuasan perkawinan adalah kepuasan yang dirasakan oleh istri yang bersifat
relatif dan subyektif yang diukur berdasarkan rasa puas istri terhadap suami
dan rasa puas dan bersyukur istri terhadap perkawinannya dengan suami.
Kebahagiaan perkawinan adalah kebahagiaan yang dirasakan oleh istri yang
bersifat relatif dan subyektif yang diukur berdasarkan rasa bahagia istri
terhadap suami dan rasa bahagia dan bersyukur istri terhadap
perkawinannya dengan suami.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat merupakan daerah yang
memiliki luas wilayah sebesar 24,06 Km2 dengan jumlah penduduk 94 825 jiwa
dan rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Dramaga adalah sebanyak
18
3 941 jiwa/Km2. Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter
di atas permukaan laut dan merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu rata-
rata 250C – 30
0C. Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 desa yaitu Desa Purwasari,
Petir, Sukadamai, Sukawening, Neglasari, Sinarsari, Ciherang, Dramaga,
Babakan, dan Cikarawang. Secara geografis Kecamatan Dramaga berbatasan
dengan sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah barat dengan
Kecamatan Ciampea, sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat/kotamadya
Bogor, dan sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas. Berdasarkan
potensi desa tahun 2012, jumlah pegawai desa di Kecamatan Dramaga sebanyak
77 orang yang terdiri atas 1 orang golongan i, 9 orang golongan ii dan 67 orang
non golongan. Pertanian merupakan salah satu mata pencaharian penduduk di
Kecamatan Dramaga. Salah satu komoditinya adalah padi sawah. Pada tahun
2012, luas panennya mencapai 1 377 ha dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,1
ton/ha. Selain padi sawah, komoditi lainnya adalah tanaman palwija berupa
jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah. Tanaman palawija yang paling
banyak produksi adalah ubi jalar.
Desa Petir merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Dramaga
dengan luas wilayah 4,50 Km2. Jumlah penduduk di Desa Petir pada tahun 2012
sebanyak 12 964 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 6 374 jiwa dan penduduk
perempuan 6 590 jiwa. Luas panen di Desa Petir adalah 194 ha dengan rata-rata
hasil panen sebesar 6,02 ton/ha. Desa Petir memiliki sarana pendidikan sekolah
dasar sebanyak 6 sekolah. Di bidang kesehatan, Desa Petir memiliki 1 Puskesmas,
11 Posyandu, 1 pos KB, dan 1 balai pengobatan. Mayoritas penduduk desa Petir
beragama Islam, sehingga sarana beribadah yang tersedia hanya masjid dan
musholah. Jumlah masjid yang ada berjumlah 21 dan musholah berjumlah 17.
Karakteristik Keluarga Responden
Menurut Hurlock (1980), usia dewasa dibagi menjadi tiga kategori yaitu
dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Usia dewasa awal dimulai dari
rentang usia 18 sampai 40 tahun sedangkan dewasa madya berada pada usia 41-60
tahun dan dewasa akhir berada pada usia 61 tahun ke atas. Hasil pada Tabel 2
menunjukkan bahwa lebih dari separuh usia suami (54,3%) berada pada dewasa
madya dan sisanya (45,7%) berada pada dewasa awal. Dalam hal yang sama rata-
rata usia suami 42,86 tahun dan berdasarkan kategori usia berada pada usia
dewasa madya. Lebih dari separuh responden (65,7%) usia suami berada pada
dewasa awal dan sisanya (34,3%) berada pada usia dewasa awal. Rata-rata usia
istri 37,06 tahun dan berdasarkan kategori usia berada pada usia dewasa awal.
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori usia suami dan istri
Kategori Suami Istri
n % n %
Dewasa awal (18-40 tahun) 16 45,7 23 65,7
Dewasa madya (41-60 tahun) 19 54,3 12 34,3
Total 35 100,0 35 100,0
Min – maks (tahun) 25 - 60 24 – 50
Rataan ± SD (tahun) 42,86 ± 8,66 37,06 ± 7,33
19
Hasil penelitian ini menunjukkan masih ada istri yang tidak sekolah.
Tingkat pendidikan suami bervariasi mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga
Perguruan Tinggi. Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata lama pendidikan
suami 5,89 tahun dan rata-rata tingkat pendidikan istri 5,42 tahun. Persentase
terbesar tingkat pendidikan suami adalah Sekolah Dasar sedangkan persentase
terkecil yaitu tidak sekolah, Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan
Tinggi. Persentase terbesar tingkat pendidikan istri adalah Sekolah Dasar
sedangkan persentase terkecil yaitu tidak sekolah bahkan tidak ada istri yang
memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Pendidikan
Tinggi.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pendidikan suami dan
istri
Kategori Suami Istri
n % n %
Tidak sekolah (0 tahun) 0 0,0 2 5,7
SD (1-6 tahun) 30 85,7 28 80,0
SMP (7-9 tahun) 2 5,7 5 14,3
SMA (10-12 tahun) 2 5,7 0 0,0
Perguruan Tinggi 1 2,9 0 0,0
Total 35 100,0 35 100,0
Min – maks (tahun) 2 – 16 0 – 9
Rataan ± SD (tahun) 5,89 ± 2,94 5,42 ± 2,26
Populasi penelitian ini adalah keluarga petani. Keluarga petani merupakan
keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai petani baik suami atau istri atau
keduanya. Sehingga pekerjaan dikelompokkan ke dalam empat kategori yaitu
petani pemilik, petani penyewa, buruh tani, dan bukan petani berdasarkan
pekerjaan suami. Hasil penelitian pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir
setengah responden merupakan buruh tani. Satu dari empat suami bekerja sebagai
petani penyewa dan satu dari tiga (31,4%) suami bekerja sebagai petani pemilik.
Satu dari lima istri bekerja sebagai petani dan masih banyak (62,9%) istri yang
tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Keluarga
petani menganggap bahwa istri bertugas mengurus rumah, menyiapkan makanan,
dan mengasuh anak saja. Tugas mencari uang atau yang menafkahi anggota
keluarga adalah suami. Sisanya (17,1%) istri bekerja selain petani seperti buruh di
pabrik.
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tipe petani
Kategori n %
Petani pemilik 11 31,4
Petani penyewa 9 25,7
Buruh tani 14 40,0
Bukan petani 1 2,9
Total 35 100,0
Besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang),
keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Tabel 5 menunjukkan
20
bahwa jumlah anggota keluarga responden berkisar antara empat sampai delapan
orang. Lebih dari separuh responden (57,1%) berada pada kategori keluarga
sedang. Rata-rata besar keluarga responden adalah lima orang dan berdasarkan
kategorinya merupakan tipe keluarga sedang. Rata-rata pendapatan keluarga
responden adalah Rp2 293 500,00 per bulan dengan rentang pendapatan keluarga
sebesar Rp400 000,00 per bulan hingga Rp9 900 000,00 per bulan.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga
Kategori n %
Keluarga kecil (≤4 orang) 9 25,7
Keluarga sedang (5-6 orang) 20 57,1
Keluarga besar (≥7 orang) 6 17,1
Total 35
Min-maks (orang) 4 – 8
Rataan±SD (orang) 5,00 ± 1,13
Relasi suami-istri
Relasi suami-istri merupakan hubungan timbal balik antara suami dan istri
yang saling mempengaruhi. Relasi suami-istri atau hubungan suami-istri ini
sebaiknya bukanlah hubungan “atasan dengan bawahan” atau “majikan dan
buruh” ataupun orang nomor satu (pemimpin) dan orang belakang (orang dapur),
tetapi merupakan hubungan pribadi-pribadi yang menyatu dalam satu wadah
kesatuan yang utuh, yang dilandasi oleh saling membutuhkan, melindungi,
melengkapi, dan menyayangi satu dengan yang lain untuk sama-sama
bertanggung jawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha
Esa (Puspitawati 2012).
Hasil penelitian Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden
mengaku suami kadang-kadang marah pada istrinya. Sebagian besar istri mengaku
suami mereka tidak pernah mencaci maki, membentak, maupun memukul. Hanya
sedikit suami yang sering marah, mencaci maki dan membentak istrinya. Hanya
sedikit pula istri yang sering marah pada suami. Meskipun kadang-kadang suami
marah dan bertengkar, sebagian besar suami juga peduli, menyayangi, dan
menghargai satu sama lain. Suami hanya kadang-kadang saja membantu
pekerjaan istri.
21
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan
suami terhadap istri (n=35)
No. Pernyataan 1 2 3 4
Mean Modus (%) (%) (%) (%)
1 Suami marah pada istri 28,6 65,7 0,0 5,7 1,8 2
2 Suami peduli pada istri 0,0 0,0 25,7 74,3 3,7 4
3 Suami mencaci maki istri 88,6 2,9 5,7 2,9 1,2 1
4 Suami membentak istri 54,3 40,0 0,0 5,7 1,5 1
5 Suami sangat menyayangi dengan
mesra pada istri
0,0 5,7 37,1 57,1 3,5 4
6 Suami sangat menghargai istri 0,0 0,0 31,4 68,6 3,7 4
7 Suami membantu pekerjaan istri 28,6 28,6 25,7 17,1 2,3 2
8 Suami memukul istri 97,1 2,9 0,0 0,0 1,0 1
9 Suami bertengkar dengan istri 37,1 60,0 2,9 0,0 1,7 2
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Hasil penelitian yang ditunjukkan Tabel 7 memperlihatkan lebih dari
setengahnya istri kadang-kadang marah terhadap suami. Lebih dari setengahnya
istri juga mengaku tidak pernah mencaci maki atau membentak suami. Seluruh
istri mengaku tidak pernah memukul suami. Istri cukup sering membantu
pekerjaan suami. Lebih dari setengahnya istri peduli terhadap suaminya dan
sangat menyayangi dengan mesra suami.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan
istri terhadap suami (n=35)
No. Pernyataan 1 2 3 4
Mean Modus (%) (%) (%) (%)
1 Istri marah pada suami 28,6 60,0 8,6 2,9 1,9 2
2 Istri peduli pada suami 0,0 2,9 28,6 68,6 3,7 4
3 Istri mencaci maki suami 97,1 0,0 2,9 0,0 1,1 1
4 Istri membentak suami 68,6 28,6 2,9 0,0 1,3 1
5 Istri sangat menyayangi dengan
mesra suami
0,0 2,9 34,3 62,9 3,6 4
6 Istri menghargai suami 0,0 0,0 31,4 68,6 3,7 4
7 Istri membantu pekerjaan suami 14,3 31,4 31,4 22,9 2,6 3
8 Istri memukul suami 100,0 0,0 0,0 0,0 1,0 1
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Hasil penelitian pada Tabel 8 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh
tidak pernah memiliki masalah cara berkomunikasi dengan suami. Hanya sedikit
yang cukup sering memiliki masalah cara berkomunikasi dengan suami. Sebagian
besar pasangan suami-istri sering melakukan komunikasi bersama dan sedikit
yang kadang-kadang berkomunikasi bersama suami. Lebih dari setengah contoh
selalu berusaha membicarakan masalah yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga. Selain itu, sebagian besar pasangan suami-istri ini juga membicarakan
masa depan anak-anak. Separuh contoh sering konflik ketika membicarakan
masalah keuangan akan tetapi sebagian besar contoh tidak pernah bertengkar
karena masalah pendidikan anak dan pekerjaan. Menurut Barbor (2001) dalam
22
Hybel dan Weaver (2004), komunikasi dan perlakuan yang baik antar pasangan
akan membantu dalam menjalin hubungan yang bertahan lama.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi komunikasi
suami-istri (n=35)
No. Pernyataan 1 2 3 4
Mean Modus (%) (%) (%) (%)
1 Masalah cara berkomunikasi dengan
suami 91,4 5,7 2,9 0,0 3,6 1
2 Saya dan suami berusaha
berkomunikasi untuk membicarakan
masalah anak
65,7 0,0 5,7 28,6 2,2 1
3 Saya dan suami berusaha
berkomunikasi membicarakan masalah
yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga
5,7 2,9 25,7 65,7 3,3 4
4 Saya dan suami sering konflik ketika
membicarakan masalah keuangan
14,3 8,6 25,7 51,4 3,3 4
5 Saya selalu membicarakan dengan
suami bagaimana masa depan anak-
anak
31,4 22,9 8,6 37,1 1,1 4
6 Saya selalu mendoakan suami apabila
sedang pergi bekerja
2,9 0,0 22,9 74,3 1,9 4
7 Saya dan suami sering konflik ketika
membicarakan masalah pendidikan
anak-anak
51,4 20,0 25,7 2,9 3,5 1
8 Berdebat atau bertengkar dengan
suami karena masalah pekerjaan 82,9 14,3 2,9 0,0 1,1 1
9 Bertengkar dengan suami karena
masalah keuangan 71,4 25,7 2,9 0,0 2,5 1
10 Bertengkar dengan suami karena
masalah anak-anak 80,0 17,1 2,9 0,0 3,7 1
11 Berkomunikasi secara bersama antara
suami dan anda
2,9 5,7 20,0 71,4 1,8 4
12 Berdiskusi dalam mengalokasikan
sumberdaya keuangan antara suami
dan anda
51,4 0,0 22,9 25,7 1,2 1
13 Saling pengertian dan bekerjasama
dalam berbagai hal antara suami dan
anda
0,0 2,9 62,9 34,3 1,3 3
14 Pengambilan keputusan secara
bersama antara suami dan anda
2,9 5,7 48,6 42,9 1,2 3
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Secara umum dapat disimpulkan bahwa relasi suami-istri yang baik sebagai
berikut:
a. Suami peduli, menghargai, menyayangi, dan membantu pekerjaan istri, begitu
pula sebaliknya istri peduli, menghargai, menyayangi, dan membantu
pekerjaan suami.
23
b. Suami tidak berbuat kasar pada istrinya, seperti marah, membentak,
memukul, dan mencaci maki. Begitu pula sebaliknya, istri tidak berbuat kasar
pada suami.
c. Saling terbuka. Suami dan istri membicarakan bersama-sama dalam
menyelesaikan masalah keluarga, keuangan, atau anak tanpa menimbulkan
konflik.
d. Suami dan istri membicarakan bersama bagaimana masa depan anak-anak.
e. Suami dan istri berdiskusi dalam mengalokasikan sumberdaya keuangan
keluarga.
f. Suami dan istri saling pengertian dan bekerja sama dalam berbagai hal.
Pada penelitian ini relasi suami-istri dibagi menjadi tiga dimensi yaitu
perlakuan suami terhadap istri, perlakuan istri terhadap suami, dan komunikasi
suami-istri. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (65,7%)
mempunyai relasi suami-istri yang berada pada kategori tinggi sehingga
komunikasi yang terjalin pada pasangan suami-istri semakin baik dan tidak timbul
konflik. Sebanyak 34,3 persen responden mempunyai relasi suami-istri masih
berada pada ketegori rendah. Dari ketiga dimensi relasi suami istri, lebih dari
setengahnya komunikasi suami-istri masih tergolong rendah.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori relasi suami-istri dan
dimensinya (n=35)
Dimensi
Kategori Min-maks
(skor 0-
100)
Rataan±SD
(skor 0-
100)
Rendah (≤75,0)
Tinggi
(>75,0)
n % n %
Perlakuan suami terhadap
istri
10 27,8 25 69,4 56-100 81,27±11,4
6
Perlakuan istri terhadap
suami
10 27,8 25 69,4 54-100 84,64±9,73
Komunikasi suami-istri 21 58,3 14 38,9 45-97 72,24±12,48
Relasi suami-istri 12 34,3 23 65,7 65-93 78,06±16,99
Kualitas Perkawinan
Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat
memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga
dapat menjaga kelestarian perkawinan. Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas
perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan
perkawinan. Kualitas perkawinan merupakan komposit skor kebahagiaan
perkawinan dan kepuasan perkawinan. Perbedaannya adalah kebahagiaan
perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan
berdasarkan pada evaluasi kognitif. Kualitas perkawinan dalam penelitian ini
bersifat subjektif dan individual. Penilaian berdasarkan sudut pandang istri dari
keluarga petani. Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (68,6%)
responden mengaku merasa sangat bahagia dengan suami serta merasa sangat
bahagia dan bersyukur dengan perkawinan mereka. Hanya 2,9 persen yang
mengaku merasa sedikit bahagia dengan suami serta merasa sedikit bahagia dan
24
bersyukur dengan perkawinan mereka. Lebih dari setengah responden mengaku
merasa sangat puas dengan perkawinan mereka. Hanya sedikit responden yang
merasa sedikit puas dengan perkawinan mereka.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas perkawinan (n=35)
No Pernyataan 1
(%)
2
(%)
3
(%)
4
(%) Mean Modus
Kebahagiaan Perkawinan
1 Saya merasa bahagia dengan suami 0,0 2,9 28,6 68,6 3,7 4
2 Saya merasa bahagia dan bersyukur
dengan perkawinan saya
0,0 2,9 28,6 68,6 3,7 4
Kepuasan Perkawinan
3 Saya merasa puas dengan suami
saya
0,0 5,7 28,6 65,7 3,6 4
4 Saya merasa puas dan bersyukur
dengan perkawinan saya
0,0 2,9 31,4 65,7 3,6 4
5 Hubungan komunikasi antara suami
dan anda
0,0 5,7 25,7 68,6 3,6 4
6 Hubungan seksual antara suami dan
anda
0,0 2,9 25,7 71,4 3,7 4
Keterangan : 1= tidak bahagia/tidak puas; 2=sedikit bahagia/sedikit puas; 3=cukup bahgia/cukup
puas; 4=sangat bahagia/sangat puas
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 11 memperlihatkan hampir
tiga perempat responden (71,4%) memiliki kualitas perkawinan tinggi dan sisanya
berada pada kategori rendah (28,6%). Hal ini dapat diartikan bahwa hampir tiga
perempat responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinan mereka.
Semakin tinggi skor kualitas perkawinan maka semakin merasa bahagia dan puas.
Kualitas perkawinan penelitian berada pada kategori tinggi, artinya responden
penelitian ini merasakan bahwa hubungan perkawinan antara responden dengan
suami responden sudah baik sehingga merasa bahagia dan puas dengan
perkawinan. Kualitas perkawinan responden tergambarkan dari tingkat kepuasan
dan kebahagiaan responden terhadap perkawinan dengan suaminya. Lebih dari
setengah responden baik dimensi kebahagiaan perkawinan maupun kepuasan
perkawinan berada pada kategori tinggi (Tabel 11).
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas perkawinan dan
dimensinya (n=35)
Dimensi
Kategori Min-maks
(skor 0-
100)
Rataan±SD
(skor 0-
100)
Rendah (≤75,0)
Tinggi (>75,0)
n % n %
Kebahagiaan
perkawinan
11 31,4 24 68,6 33-100 88,37±18,24
Kepuasaan perkawinan 10 28,6 25 71,4 41-100 87,69±17,16
Kualitas perkawinan 10 28,6 25 71,4 38-100 88,09±16,99
25
Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
Tipologi pasangan perkawinan merupakan karakteristik atau ciri-ciri
pasangan perkawinan (suami-istri) dalam menilai kebahagiaan dan kepuasan.
Menurut Olson (1981) terdapat 7 tipologi pasangan perkawinan berdasarkan
tingkat kebahagiaan perkawinan yaitu perkawinan pasangan tanpa vitalitas,
perkawinan pasangan finansial, perkawinan pasangan konflik, perkawinan
pasangan tradisional, perkawinan pasangan seimbang, perkawinan pasangan
harmonis, dan perkawinan pasangan penuh vitalitas. Tipologi relasi suami-istri
dan kualitas perkawinan mengacu bentuk tipologi McCubbin dan McCubbin
(1987) dalam Farhood (2004) model T-Double ABCX dari family adjusment and
adaptation.
Gambar 4 Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
Data Tabel 12 menunjukkan sebaran tipologi pasangan perkawinan
berdasarkan kualitas perkawinan dan relasi suami-istri yang digambarkan juga
pada Gambar 4. Tipe 1 menunjukkan pencapaian relasi suami-istri rendah dan
kualitas perkawinan tinggi. Tipe 2 menunjukkan pencapaian relasi suami-istri
tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Tipe 3 menunjukkan pencapaian relasi
suami-istri tinggi namun kualitas perkawinan rendah. Tipe 4 menunjukkan
pencapaiaan relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan juga rendah.
Hasil penelitian pada Tabel 12 menunjukkan lebih dari setengah responden
(51,4%) tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani
ini berada pada tipe 2 dengan pencapaian ikatan relasi suami-istri tinggi dan
kualitas perkawinan tinggi. Pada tipe ini pasangan suami-istri merasa bahagia
dengan perkawinan mereka dan merasa puas dengan perkawinan mereka.
Pasangan suami-istri dapat menerima kebiasaan dan kepribadian pasangan
mereka. Sehingga pasangan suami-istri ini memiliki interaksi yang baik. Pasangan
suami-istri berusaha berkomunikasi secara bersama dan komunikasi yang terjalin
dua arah. Suami dan istri membicarakan bersama-sama dalam menyelesaikan
masalah keluarga, keuangan, atau anak tanpa menimbulkan konflik. Berdasarkan
Tipe 1
Tipe 4 Tipe 3
Tipe 2
26
karakteristik keluarga, pada tipe 2 ini memiliki pendapatan di bawah rata-rata,
perbedaan usia pasangan, dan pasangan memiliki tingkat pendidikan yang sama.
Ciri-ciri tersebut serupa dengan tipologi pasangan perkawinan menurut Olson
yaitu tipologi pasangan perkawinan pasangan penuh vitalitas.
Satu dari lima responden berada pada kategori tipe 1 yaitu relasi suami-istri
rendah dan kualitas perkawinan tinggi (Tabel 12). Relasi suami-istri rendah
artinya keluarga ini memiliki hubungan antara suami dan istrinya cenderung tidak
baik. Perlakuan suami terhadap istri kurang baik seperti sering marah, kurang
peduli, jarang membantu pekerjaan istri, dan kurang menghargai. Begitu pula
perlakuan istri terhadap suami yang kurang baik. Meskipun keluarga pada tipe ini
memiliki relasi suami-istri cenderung kurang baik namun pasangan ini tetap
merasa bahagia dengan perkawinan mereka. Keluarga tipe 1 merupakan keluarga
petani yang menggarap lahan sendiri dan memiliki pendapatan di atas rata-rata.
Perbedaan jarak usia suami dan istri tidak jauh. Keluarga pada tipe ini bersifat
rentan karena memiliki relasi suami-istri yang kurang baik.
Tabel 12 menunjukkan bahwa satu dari tujuh responden berada pada
kategori tipe 3 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan rendah.
Keluarga pada tipe 3 ini merupakan keluarga yang memiliki relasi suami-istri
yang baik seperti komunikasi yang terjadi antara suami-istri lancar, dapat
menyelesaikan konflik dan masalah yang dihadapi bersama. Walau demikian
pasangan suami istri ini cenderung tidak bahagia dengan perkawinan mereka.
Keluarga pada tipe 3 ini memiliki pendapatan di atas rata-rata dan istri ikut
mencari uang atau bekerja di luar rumah untuk membantu keuangan keluarga.
Moen et al. (2001) menemukan bahwa pekerjaan pasangan berhubungan dengan
kualitas perkawinan.
Hanya sedikit (14,3%) responden berada pada tipe 4 yaitu pencapaian
kualitas perkawinan rendah dan relasi suami-istri rendah (Tabel 12). Pada tipe ini
pasangan suami-istri tidak merasa puas atau tidak merasa bahagia dengan
perkawinan mereka dan relasi yang terjalin antara pasangan suami-istri ini pun
tidak berjalan baik. Pasangan suami-istri ini memiliki kesulitan dalam menjalin
komunikasi dan penyelesaian masalah dalam hubungan mereka. keluarga pada
tipe ini memiliki keluarga yang besar dan masih memiliki anak usia sekolah,
pendapatan rendah atau di bawah rata-rata serta usia suami yang sudah tua.
Tabel 12 Sebaran tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
Tipe* Relasi suami-istri Kualitas perkawinan n %
1 Rendah Tinggi 7 20,0
2 Tinggi Tinggi 18 51,4
3 Tinggi Rendah 5 14,3
4 Rendah Rendah 5 14,3
Total 35 100,0 Keterangan : * = secara detil tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan disajikan pada
Lampiran 5
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa relasi suami-istri berhubungan
positif sangat signifikan dengan kualitas perkawinan (r=0,468, p<0,001). Hal ini
berarti semakin tinggi skor relasi suami-istri maka semakin tinggi juga skor
kualitas perkawinan. Usia suami berhubungan negatif signifikan dengan kualitas
27
perkawinan (r=0,416, p<0,05) yang artinya semakin muda usia suami maka
semakin tinggi skor kualitas perkawinan. Karakteristik keluarga tidak
berhubungan dengan kualitas perkawinan. Menurut Onsy dan Amer (2013)
menunjukkan bahwa karakteristik keluarga tidak berhubungan signifikan dengan
kualitas perkawinan.
Tabel 13 Hasil uji korelasi relasi suami-istri dengan kualitas perkawinan
Variabel Relasi suami-istri Kualitas perkawinan
Pearson correlation Pearson correlation
Usia suami 0,005 -0,416*
Usia istri -0,130 -0,210
Lama pendidikan suami 0,009 -0,017
Lama pendidikan istri -0,065 -0,091
Besar keluarga 0,018 -0,149
Pendapatan keluarga per bulan -0,172 0,002
Relasi suami-istri 1,000 0,468**
keterangan : *=signifikan pada p<0,05; **= signifikan pada p<0,01; secara detil matriks korelasi
disajikan di Lampiran 6
Hasil analisis regresi linier berganda yang ditunjukkan pada Tabel 14
memiliki nilai Adjusted R2 sebesar 0,291. Artinya usia suami, lama pendidikan
suami, lama pendidikan istri, besar keluarga, pendapatan per bulan dan relasi
suami-istri dapat mempengaruhi kualitas perkawinan sebesar 29,1 persen dan
sisanya (70,9%) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam model ini.
Umur suami berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas perkawinan (β = -
0,471). Hal ini berarti setiap kenaikan satu tahun usia suami akan menurunkan
kualitas perkawinan sebesar 0,471. Relasi suami-istri berpengaruh positif
signifikan terhadap kualitas perkawinan (β=0,469) poin. Hal ini berarti setiap
kenaikan satu skor relasi suami-istri akan menaikkan skor kualitas perkawinan
sebesar 0,469 poin.
Hasil penelitian menunjukkan besar keluarga tidak berhubungan signifikan
dengan kualitas perkawinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Allendorf
dan Ghimire (2012) menyatakan bahwa kasta, pekerjaan, usia saat menikah, dan
jumlah anak memiliki sedikit atau tidak ada hubungan dengan kualitas
perkawinan. Jumlah anak dapat menentukkan besar keluarga. Penelitian lain juga
menyatakan bahwa sosial-demografi (umur, jenis kelamin, lama pendidikan) dan
karakteristik keluarga (pendapatan keluarga, tahun menikah, dan jumlah anak)
tidak berhubungan signifikan dengan kualitas perkawinan (Onsy dan Amer 2013).
Hasil penelitian menyatakan bahwa relasi suami-istri berpengaruh positif
signifikan terhadap kualitas perkawinan. Hasil penelitian ini mendukung dari
pernyataan Burke dan Weir (1975) yang menemukan bahwa relasi suami-istri
berpengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan
28
Tabel 14 Pengaruh karakteristik dan relasi suami-istri terhadap kualitas
perkawinan
Variabel B β Sig.
Konstanta 43,361 0,190
Umur suami (tahun) -0,927 -0,471 0,013 *
Lama pendidikan suami (tahun) -0,186 -0,032 0,846
Lama pendidikan istri (tahun) -0,781 -0,104 0,541
Besar keluarga (orang) 1,032 0,067 0,721
Pendapatan per bulan (rupiah) 2,823x10-7
0,035 0,820
Relasi suami-istri 1,002 0,469 0,004 **
F 3,321
R2
0,416
Adjusted R2
0,291
Sig. 0,013
Keterangan: *signifikan p<0,05; **signifikan p<0,01
Pembahasan
Para ahli (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985;
Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996)
mengungkapkan bahwa pengertian keluarga adalah sebagai unit sosial-ekonomi
terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi,
merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang
mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan adopsi (Puspitawati 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah
keluarga petani. Keluarga petani merupakan keluarga yang memiliki pekerjaan
sebagai petani, baik pemilik lahan, penggarap lahan, maupun buruh tani; dan
menghabiskan waktunya di ladang atau sawah. Keluarga ini sangat
mengutamakan pekerjaan bertani, pekerjaan-pekerjaan yang lain dirasa kurang
sesuai dengan dirinya. Keluarga petani merupakan masyarakat tradisonal yang
masih memegang nilai-nilai tradisional dan bersifat morfostatik. Sistem
morfostatik secara harfiah berarti bentuk yang tetap atau stabil, bersifat mekanis
dan relatif tertutup. Keluarga memiliki batasan-batasan yang kaku dan menerima
input-input baru yang terbatas dengan kondisi tertentu.
Di dalam keluarga, suami-istri memegang peranan penting dalam
mewujudkan keluarga sejahtera secara bersama. Upaya tersebut dilakukan dengan
mengadakan hubungan yang baik dengan keluarga lingkungan sendiri atau di luar
lingkungan keluarga. Relasi suami-istri sebagai permulaan bagi relasi yang lain
dan memberikan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.
Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya
disamakan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Ismail
2008). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki
pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan,
kesenangan, dan kesukaan. Menurut Olson dan Olson (2000) terdapat sepuluh
aspek yang membedakan pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu
komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik,
kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan
keyakinan spiritual.
29
Hasil penelitian menyatakan bahwa relasi suami-istri berpengaruh positif
signifikan terhadap kualitas perkawinan. Kenaikan skor relasi suami istri akan
meningkatkan juga skor kualitas perkawinan. Relasi suami-istri merupakan
hubungan interpersonal. Salah satu motif dalam mencari hubungan interpersonal
adalah kebahagiaan dan kasih sayang (Kammeyer 1987).
Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan tipe 2 dicirikan dengan
pencapaian ikatan relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi.
Menurut Lavee dan Olson (1993) tipologi pasangan perkawinan yang dicirikan
dengan tingkat kepuasan yang tinggi didasari atas pasangan suami istri harmonis
dalam menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi,
komunikasi yang baik, mencari solusi dari konflik, kepuasan secara seksual
maupun secara finansial merupakan ciri-ciri dari perkawinan pasangan penuh
vitalitas.
Keterbatasan penelitian ini adalah responden dalam pengukuran variabel
kualitas perkawinan. Responden yang ditanya hanya pada istri saja. Sehingga
perlu penelitian lanjutan dengan suami sebagai responden untuk mengukur
kualitas perkawinan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara umum, arti keluarga bagi istri petani di Desa Petir adalah segalanya
yang diutamakan dan harta yang paling berharga. Rata-rata usia suami pada
keluarga petani di Desa Petir berada pada kategori dewasa madya dan rata-rata
usia istri berada pada kategori dewasa awal. Rata-rata tingkat pendidikan keluarga
petani baik suami maupun istri hanya mencapai Sekolah Dasar. Penghasilan per
bulan keluarga petani berada pada rentang Rp400 000 hingga Rp9 900 000
dengan rata-rata besar keluarga berjumlah lima orang. Sebagian besar relasi yang
terjalin antara suami dan istri pada keluarga petani di Desa Petir tergolong tinggi
dan sebagian besar kualitas perkawinan yang dirasakan istri tergolong tinggi.
Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani ini
sebagian besar berada pada tipe 2 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas
perkawinan tinggi. Dilihat dari tipologi pasangan perkawinan menurut Olson,
maka tipe 1 termasuk tipologi perkawinan pasangan tradisional, tipe 2 termasuk
tipologi perkawinan pasangan penuh vitalitas, tipe 3 termasuk tipologi perkawinan
pasangan konflik, dan tipe 4 termasuk tipologi perkawinan pasangan tanpa
vitalitas.
Relasi suami-istri berhubungan positif signifikan dengan kualitas
perkawinan. Artinya semakin tinggi skor relasi suami-istri maka akan semakin
tinggi juga skor kualitas perkawinan.
Saran
Keluarga yang berada pada tipologi tipe 1, tipe 3, dan tipe 4 perlu adanya
perhatian lebih untuk meningkatkan relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
30
sehingga dapat menjaga keutuhan keluarga. Relasi suami-istri yang baik dapat
diciptakan dari perlakuan antar suami- istri, serta suami-istri menjalin komunikasi
yang baik. Suami dan istri harus mampu mengatur waktu dan berinteraksi dengan
baik serta dapat berbagi tugas dalam menjalankan perannya masing-masing secara
adil dan seimbang, karena semua urusan rumah tangga, baik aspek produktif,
domestik, dan sosial kemasyarakatan, serta kekerabatan merupakan urusan
bersama dan tanggung jawab bersama suami-istri. Sebaiknya pemerintah dapat
memberikan kebijakan yang dapat mendukung keluarga petani sehingga keluarga
petani dapat meningkatkan kualitas perkawinan dan menjaga keutuhan keluarga.
Selanjutnya diperlukan pengembangan penelitian yang lain hingga memperoleh
model yang baik atau faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980,
1990, 1995, 2000, dan 2010 [internet].
http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12
¬ab=1 (diakses tanggal 14 April 2014).
Allendrof K. 2012. Determinants of marital quality in an arranged marriage
society. Population Study Center Research Report 12-758
Altaira E, Nashori F. 2008. Hubungan antara kualitas komunikasi dengan
kepuasan dalam perkawinan istri [skripsi]. Fakultas Psikologi dan Ilmu
Sosial Budaya. Universitas Islam Indonesia.
Bodenmann G, Pihet S, Kayser K. 2006. The relationship between dyadic coping
and marital quality a 2-year longitudinal study. Journal of Family
Psychology. 20(3): 485-493.
Bookwala J. 2005. The role of marital quality in physical health during the mature
yaers. Journal of Aging and Health. 17: 85-104.
Burke RJ, Weir T. 1975. The husband-wife relationship: how significant in career
and life succes?. Business Quarterly. 40(3): 62-67.
Conger RD, Elder GH. 1994. Families in Troubled Times: Adapting to Change in
Rural America. New York(USA): Aldine De Gruyter.
Duvall EM, Miller BC. 1985. Marriage and Family Development. New
York(USA): The Macmillan Company.
Farhood LF. 2004. The impact of low stress on the health of Lebanese families.
Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal.
18(2/3).
Fincham FD, Beach SRH. 2007. Forgiveness and marital quality: precursor or
consequence in well-established relationships?. Journal of Positive
Psychology.
Fincham FD, Bradbury TN. 1987. The assessment of marital quality: a
reevalution. Journal of Marriage and the Family. 49(11): 797-809.
Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Erlangga. Hybels S, Weaver RL II. 2004. Communicating Effectively: seventh edition. New
York (USA): McGraw-Hill.
31
Ismail R. 2008. Kajian dimentions of marital quality: memahami konsep, metode
penelitian, dan beberapa kajian kepustakaan dalam sosiologi keluarga.
Jurnal Harmoni Sosial. 2(2): 88-99.
Johnson DR, Booth A. 1998. Marital quality: a product of the dyadic environment
or individual factors?. Social forces. 76(3): 883-904.
Kammeyer KCW. 1987. Marriage and Family: A foundation for personal
desicisions. The United States of America: Allyn and Bacon, Inc.
Klein DM, White JM. 1996. Family Theories. California: Sage Publications.
Knox D. 1985. Choises In Relationships: An Introduction To Marriage And The
Family. United States of America: West Publishing Co.
Koerner AF, Fitzpatrick MA. 2003. Handbook of Family Communication:
Communication in Intact Famillies. USA: Lawrence Erlbaum Associates.
Landis JT, Landis MG. 1955. Personal Adjusment Marriage and Family Living
(second edition). United State of America: Prentice-Hall, Inc.
Lavee Y, Olson DH. 1993. Seven types of marriage: emperical typology based on
ENRICH. Journal of Marital and Family Therapy. 19(4): 325-340.
Ledermann T, Bodenmann G, Rudaz M, Bradbury TN. 2010. Stress,
communication, and marital quality in couples. Family Relation. 59: 195-
206.
Moen P, Kim JE, Hofmeister H. 2001. Couples‟ Work/Retirement Transitions,
Gender, and Marital Quality. Social Psychology Quarterly. 64(1): 55-71.
Noller P, Feeney JA. 2003. Handbook of Family Communication: Studying
Family Communication: Multiple Methods and Multiple Sources. USA:
Lawrence Erlbaum Associates.
Olson DH. 1981. Family Typologies: Bridging family research and family
therapy. In E.E. Filsinger & R.A. Lewis (Eds.), Assesing Marriage: New
Behavioral Approaches. Beverly Hills (CA): Sage.
Onsy E, Amer MM. 2013. Attitudes toward seeking couples counseling among
egyptian couple: towards a deeper understanding of common marital
conflicts and marital satisfaction. Procedia-Social and Behavioral Sciences.
140: 470-475.
Proulx CM, Helms HM, Buehler C. 2007. Marital quality and personal well-
being: a meta-analysis. Journal of Marriage and Family. 69: 579-593.
Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.
Bogor(ID): PT IPB Press.
Puspitawati H. 2013. Ekologi Keluarga: Konsep dan Lingkungan. Bogor(ID): PT
IPB Press.
Rice FP. 1983. Contemporary Marriage. The United States of America: Allyn and
Bacon, Inc.
Sadeghi MS, Mazaheri MA, Motabi DF, Zahedi K. 2012. Marital interaction in
iranian couple: examining the role of culture. Journal of Comparative
Family Studies. 43: 281-298.
Schmitt M, Kliegel M, Shapiro A. 2007. Marital interaction in middle and old
age: a predictor of marital satisfaction?. Journal Aging and Human
Development. 65(4): 283-300.
Septiana VS. 2011. Pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan
keluarga dari suku yang sama dan berbeda [skripsi]. Fakultas Ekologi
Manusia. Institut Pertanian Bogor.
32
Setioningsih SS. 2010. Analisis fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga
terhadap kualits perkawinan dan kondisi anak pada keluarga tenaga kerja
wanita (TKW) [skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian
Bogor.
Strong B, DeVault. 1986. The Marriage and Family Experience. The United
States of America: West Publishing Co.
Umberson D, Williams K. 2005. Marital quality, health, and aging: gender
equity?. The Journal of Gerontology. 60B: 109-112.
Veskhi SK, Botlani S, Shahsiah M, Sharifi E. 2012. The effect of sex education
on marital quality improvement in couple of Qom. Interdisiplinary Journal
of Contemporary Research in Business. 4(7).
LAMPIRAN
34
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Desa Petir
35
Lampiran 2 Penelitian terdahulu
Relasi Suami-Istri
Definisi/Konsep
Berdasarkan hasil penelitian kepada 576 pasangan, hal-hal yang mempererat
hubungan pasangan antara lain: tidak merubah perilaku pasangan, percaya pada
pasangan, menunjukkan rasa kasih sayang setiap hari, dan saling mengerti dan
memahami. Menurut Strong dan DeVault (1986) Strongest bond: love,
attacment, loyalty, or guilt.
Cuber dan Harroff (1968) menemukan dua marriage relationship antara lain
vital marrriage relationship dan total marriage relationship.
Karena perempuan mungkin sedikit berbeda dengan laki-laki untuk
mengadopsi gaya dismissive dalam merespon kesulitan hubungan dan sering
merasa lebih berorientasi pada relasi dibandingkan laki-laki serta lebih merasa
(terpaksa) bertanggung jawab dalam mengatasi kesulitan dalam hubungan,
salah satu berharap lebih banyak saling mempengaruhi antara memaafkan dan
kualitas perkawinan (Fincham dan Beach 2007).
Faktor-faktor
Faktor dalam menjalin good relationship (Hybels dan Weaver 2004) antara
lain: verbal skills, emotional expressiveness, conversational focus, nonverbal
analysis, conversational encouragement, care and appreciation, dan
commitment.
Peneliti terdahulu
Hubungan stress rendah dan komunikasi yang positif merupakan hal penting
dalam relasi (Ledermann et al. 2010).
Menurut Burke dan Weir (1975) menemukan bahwa relasi suami-istri
berpengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan.
Dimensi
Kualitas dan relasi pasangan terbentuk berdasarkan empat unsur dasar yaitu
hubungan emosional, hubungan kognitif, hubungan ekonomi, dan hubungan
seksual (Veskhi et al. 2012).
Kualitas Perkawinan
Definisi/konsep
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa keluarga berkualitas adalah
keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan
sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan
ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Pasal 1).
Kepribadian individu memainkan peran penting dalam stabilitas kualitas
perkawinan (Johnson and Booth 1998).
36
Perkawinan yang berkualitas menjamin kehidupan perkawinan yang bahagia
dan memuaskan yang menjadi harapan dan idaman pada setiap pasangan sejak
awal terjadinya sebuah pernikahan, kepuasan perkawinan sebagai perasaan
subjektif bagi suami atau istri, misalnya bagi suami berarti terpenuhinya
perasaan dihargai, kesetiaan dan perjanjian terhadap masa depan dari hubungan
tersebut, sedangkan bagi istri berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional
komunikasi dan terbinanya kedekatan (Duvall dan Miller 1985).
Faktor-faktor
Index kualitas perkawinan berpengaruh terhadap kesehatan fisik (Bookwala
2005).
Gaya insecure attachment berpengaruh signifikan dengan kualitas perkawinan
sedangkan secure attachment tidak berpengaruh terhadap kulaitas perkawinan
(Hollist dan Miller 2005)
Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah: (1) Status pekerjaan,
tingkat pendidikan dan pendapatan, (2) Kepuasan terhadap pekerjaan, (3)
Kesehatan mental dan fisik, (4) Besarnya kebersamaan untuk menghabiskan
waktu luang dalam aktifitas, (5) Komunikasi verbal dan non verbal yang baik,
(6) Mengekspresikan afeksi, (7) Adanya saling percaya antar pasangan, (8)
Adanya perasaan nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam
pernikahan dan adanya peran yang fleksibel (Rice 1983).
Dyadic coping berhubungan positif dengan kualitas perkawinan dengan dua
mekanisme: yang pertama mengurangi dampak negatif dari stress dalam
perkawinan dan yang kedua menguatkan rasa “we—ness”. (Bodenmann et al.
2006).
Dengan perbedaan usia dan gender dalam status sosial-ekonomi, personality,
interaksi perkawinan sebagai prediktor kepuasan perkawinan (Schmitt et al.
2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pada suami ataupun istri, ditemukan
korelasi signifikan antara memaafkan dan kualitas perkawinan (Fincham dan
Beach 2007).
Penelitian terdahulu
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kepuasan perkawinan memiliki kurva
lengkung dimana menjadi tinggi saat awal perkawinan, lalu menurun saat
mempunyai anak dan meningkat lagi saat anak pertama memasuki usia remaja
(Schram 1979).
Survei pada tahun 1973 menunjukkan 93 persen ibu berusia 40 hingga 49 tahun
merasa sangat bahagia dengan perkawinannya dibandingkan dengan ibu yang
masih mengasuh anak hanya 57 persen yang merasa sangat bahagia. Sejalan
dengan penelitian National Opinion Research Center 1973, bahwa ibu yang
berusia 50-59 tahun merasa sangat bahagia. Orang tua merasa mempunyai
tekanan finansial yang lebih berat saat memiliki anak usia sekolah.
37
Secara khusus, pria yang bersekolah lagi, mereka yang berpartisipasi dalam
pemilihan pasangan mereka, dan mereka yang telah menikah lagi memiliki
tingkat yang lebih tinggi kualitas perkawinan. Sebaliknya, kasta, pekerjaan,
usia saat menikah, dan jumlah anak memiliki sedikit atau tidak ada hubungan
dengan kualitas perkawinan. Namun, sementara kita mengidentifikasi penentu
utama kualitas perkawinan dalam konteks ini, sebagian besar variasi dalam
kualitas perkawinan tetap tidak terjelaskan (Allendorf and Ghimire 2012).
Kualitas pernikahan yang buruk merugikan mempengaruhi lintasan kesehatan
fisik dari waktu ke waktu dan bahwa efek samping ini adalah sama untuk pria
dan wanita (Umberson dan Williams 2005).
Transisi pensiunan berhubungan dengan penurunan kualitas perkawinan bagi
suami dan istri. Istri yang masih bekerja dan suami sudah pensiun memiliki
konflik perkawinan lebih tinggi (Moen et al. 2001).
Beberapa variabel memoderasi hubungan antara kualitas perkawinan dan
kesejahteraan pribadi, termasuk jenis kelamin, durasi perkawinan peserta,
sumber pengukuran, pengumpulan data tahun, dan variabel dependen (Proulx
et al. 2007).
Stres sehari-hari memainkan peran sentral untuk memahami perselisihan
perkawinan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa stres sehari-hari
berasal dalam hubungan tampaknya menjadi karakteristik yang sangat penting
dari hubungan intim karena tiga alasan. Pertama, hubungan stres sehari-hari
tampaknya memediasi pengaruh stres eksternal harian pada fungsi perkawinan.
Kedua, hubungan stres sehari-hari cenderung mempengaruhi kualitas
perkawinan kedua sendiri dan komunikasi perkawinan mitra dan Akhirnya,
bukti menunjukkan bahwa hubungan stres sehari-hari mempengaruhi kualitas
perkawinan tidak hanya secara tidak langsung melalui komunikasi perkawinan,
tetapi juga secara langsung (Ledermann et al. 2010).
Ada hubungan positif sangat signifikan antara kualitas komunikasi dengan
kepuasan istri dalam perkawinan (Altaira dan Nashori 2008).
Dimensi
Kepuasan perkawinan adalah evaluasi sejauh mana masing-masing pasangan
perkawinan merasa menerima dari perasaan, sikap, layanan, dan barang yang
dibutuhkan pasangan (Rice 1983).
Kualitas perkawinan diukur dengan lima dimensi, yang terdiri dari: kepuasan,
komunikasi, kebersamaan, masalah, dan perbedaan pendapat (Allendorf and
Ghimire 2012).
Jenis kelamin, pendidikan, pilihan pasangan, dan durasi perkawinan muncul
sebagai penentu yang paling penting dari dimensi-dimensi kualitas perkawinan.
Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi
yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan.
Dimensi dari kualitas perkawinan: marital satisfaction, sexual satisfaction,
marital commitment, marital adjusment, conflict, dan sexual intimacy (Veskhi
et al. 2012).
Nilai-nilai dan evaluasi hidup berubah selama reaksi yang terjadi dalam hidup
dan pengalaman. Hidup berkualitas yaitu dengan kebahagiaan, kepuasan,
kesenangan, dan kemampuan dalam mengatasi masalah (Veskhi et al. 2012)
38
Lampiran 3 Kronologi pengambilan data
Awalnya penelitian ini berlokasi di Kelurahan Situ Gede dan Desa
Cikarawang. Di Kelurahan Situ Gede terdapat 5 sekolah dasar, yaitu SDN Situ
Gede 1, SDN Situ Gede 2, SDN Situ Gede 3, SDN Situ Gede 4, dan SDN Situ
Gede 5. Sementara di Desa Cikarawang terdapat 4 sekolah dasar yaitu SDN
Cangkrang, SDN Carangpulang 1, SDN Carangpulang 2, dan SDN Babakan
Dramaga 2.
Setelah melakukan survei untuk mengetahui jumlah anak kelas 4 dan 5 yang
orang tua atau bisa salah satunya bapak/ibu bekerja sebagai
petani/penggarap/buruh tani, ternyata jumlah anak tidak mencukupi. Setiap
sekolah (SD) hanya ada satu sampai empat orang yang berstatus sebagai anak
petani. Oleh sebab itu, lokasi penelitian ini dipindahkan ke desa Petir, kecamatan
Darmaga, Kabupaten Bogor dengan pertimbangan jumlah anak petani di desa
tersebut lebih banyak dari lokasi sebelumnya dan memenuhi syarat penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu contoh yang digunakan
dalam penelitian merupakan populasi yang ada. Penelitian ini melibatkan empat
SD di desa petir yaitu SD Negeri 1 Petir, SD Negeri 2 Petir, SD Negeri 3 Petir,
dan SD Negeri 4 Petir. Berdasakan data yang diperoleh dari setiap SD di desa
Petir, jumlah anak petani di kelas 4 dan 5 berjumlah 113 responden terdiri dari 53
laki-laki dan 60 perempuan. Dengan rincian dari setiap sekolah sebagai berikut:
No. Sekolah Jumlah
Total Laki-laki Perempuan
1 SDN 1 Petir 14 19 33
2 SDN 2 Petir 10 5 15
3 SDN 3 Petir 6 7 13
4 SDN 4 Petir 22 30 52
JUMLAH 52 61 113
Setelah ditanyakan langsung kepada responden baik anak atau kepada
ibunya, banyak responden yang gugur atau tidak sesuai dengan kriteria penelitian.
Hampir setengah responden sudah beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh
serabutan yang lain misalnya buruh bangunan, kuli panggul di pasar, sopir
angkutan umum, dan pedagang. Jumlah responden yang gugur dari SDN 1 Petir
sebanyak 20 anak, SDN 2 Petir sebanyak 2 anak, SDN 3 Petir sebanyak 2 anak,
dan SDN 4 Petir sebanyak 32 anak. Sehingga responden yang tersisa dari kelas 4
dan 5 berjumlah 57 anak. Jumlah responden masih kurang. Oleh sebab itu, untuk
menambah jumlah responden peneliti menambahkan anak petani yang duduk di
kelas 3. Jumlah anak petani di kelas 3 dari semua SD di desa petir 28 responden
dengan total anak petani dari kelas 3 sampai 5 berjumlah 85 responden yang
terdiri dari 38 anak laki-laki dan 47 anak perempuan.
39
Lampiran 4 Data kualitatif arti keluarga
Nores Arti keluarga
121 Tempat kumpul dan berlindung
122 Bahagia dan harmonis
125 Keluarga tempat berbagi suka dan duka
126 Keluarga itu tempat untuk mencurahkan kebahagiaan, harta yang tak ternilai
128 Senang dan bahagia
129 Segalanya
130 Keluarga itu rumah tangga
132 Harta yang berharga
133 Keluarga itu kebahagiaan saya
134 Keluarga itu penting, segalannya buat saya
136 Tempat mendidik anak
137 Bahagia
142 Segalanya, saling mendukung dalam kebersamaan
145 Segalanya
148 Keluarga itu sebuah anugerah
150 Keluarga merupakan tanggung jawab yang harus dijaga
155 Kebahagiaan
156 Berkah
158 Keluarga itu paling penting
164 Keluarga itu segalanya
165 Keluarga itu kebahagiaan untuk saya
168 Tempat berlindung dan sumber kebahagiaan
170 Keluarga itu penting
171 Harta yang berharga
172 Segalanya
179 Harta yang berharga
181 Harta yang berharga
182 Segalanya
185 Segalanya, susah senang bareng keluarga
188 Tempat kumpul-kumpul
191 Tempat berkumpul
193 Harta yang paling berharga
194 Tempat berbagi suka duka
203 Segalanya
206 Bahagia punya anak
Dari data di atas ditemukan arti keluarga menurut istri pada keluarga petani
di Desa Petir adalah sebagai berikut:
a. Harta yang paling berharga
b. Hal yang paling penting
c. Segalanya
d. Sumber kebahagiaan
e. Tempat mendidik anak-anak
f. Tempat berlindung
g. Tempat berbagi suka dan duka
40
Lampiran 5 Daftar responden berdasarkan tipologi relasi suami-istri dan
kualitas perkawinan
Nores Relasi suami-istri Kualitas perkawinan Tipologi
(1,2,3,4)** Nilai Kategori* Nilai Kategori*
121 72,04 R 100 T 1 122 73,12 R 100 T 1 125 88,17 T 100 T 2 126 65,59 R 33,33 R 4 128 77,42 T 66,67 R 3 129 66,67 R 66,67 R 4 130 75,27 T 66,67 R 3 132 79,57 T 100 T 2 133 69,89 R 66,67 R 4 134 82,80 T 66,67 R 3 136 73,12 R 100 T 1 137 67,74 R 66,67 R 4 142 79,57 T 100 T 2 145 77,42 T 100 T 2 148 92,47 T 100 T 2 150 80,65 T 100 T 2 155 70,97 R 100 T 1 156 79,57 T 66,67 R 3 158 80,65 T 100 T 2 164 66,67 R 100 T 1 165 86,02 T 100 T 2 168 70,97 R 100 T 1 170 81,72 T 100 T 2 171 72,04 R 100 T 1 172 78,49 T 100 T 2 179 82,80 T 100 T 2 181 83,87 T 100 T 2 182 77,42 T 66,67 R 3 185 81,72 T 100 T 2 188 69,89 R 66,67 R 4 191 75,27 T 66,67 R 3 193 83,87 T 100 T 2 194 93,55 T 100 T 2 203 92,47 T 100 T 2 206 82,80 T 100 T 2
Keterangan: * = R: Rendah ≤75 (skor 0-100), T: Tinggi > 75 (skor 0-100)
** = Tipe 1: Relasi suami-istri rendah kualitas perkawinan tinggi, Tipe 2: Relasi
suami istri tinggi kualitas perkawinan tinggi, Tipe 3: Relasi suami istri rendah
kualitas perkawinan rendah, Tipe 4: Relasi suami istri rendah kualitas
perkawinan rendah
Total: Tipe 1, n= 7 (20,0%) Tipe 2, n= 18 (51,4%)
Tipe 3, n= 5 (14,3%)
Tipe 4, n= 5 (14,3%)
41
Lampiran 6 Matriks korelasi pearson karakteristik keluarga, relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan
Variabel umur suami lama pendidikan
suami umur istri
lama pendidikan
istri besar keluarga
pendapatan
keluarga per bulan relasi suami-istri
kualitas
perkawinan
umur suami 1
lama pendidikan suami -0,082 1
umur istri 0,804** -0,224 1
lama pendidikan istri -0,159 0,370* -0,512** 1
besar keluarga 0,544** 0,075 0,547** 0,306 1
pendapatan keluarga
per bulan -0,109 0,159 -0,025 0,018 0,054 1
relasi suami-istri 0,005 0,009 -0,130 -0,065 0,018 -0,172 1
kualitas perkawinan -0,416* -0,017 -0,210 -0,091 -0,149 0,002 0,468** 1
** nyata pada taraf 0,01 (2-tailed).
* nyata pada taraf 0,05 (2-tailed).
42
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Serang pada tanggal 3 Mei 1992 dari pasangan Marsyim dan
Hujaenah. Penulis adalah putri ke tiga dari tiga bersaudara. Tahun 2004-2007
penulis menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Cilegon
kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 KS Cilegon
dan lulus SMA pada tahun 2010. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur PMDK di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas
Ekologi Manusia pada tahun 2010.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berorganisasi. Penulis
menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen
(HIMAIKO) Divisi Child Development Club tahun 2012-2013. Penulis juga aktif
dalam beberapa kepanitiaan seperti menjadi Bendahara Masa Perkenalan
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (MPD IKK) tahun 2012, staff Divisi
Konsumsi dan Dana Usaha Family and Consumer Day tahun 2012, staff Divisi
Desain, Dekorasi dan Dokumentasi (3D) Family and Consumer Day tahun 2013,
dan staff Divisi Dana Usaha Hari Keluarga tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Profesi selama kurang lebih dua bulan di Desa Curug
Muncar, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Selain itu, penulis
juga pernah menjadi relawan Peduli Kelud selama sepuluh hari di bulan Maret
2014 di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.