komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata dalam ... · dalam bentuk apa pun kepada perguruan...

69
KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Upload: hoangnga

Post on 03-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR

WISATA DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG

API PURBA NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG

KIDUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi

Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

R. Restama Gustar Hastosaptyadhan

I 352114011

RINGKASAN

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Komunikasi

Partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh

SUMARDJO dan DWI SADONO

Salah satu keunikan objek wisata gunung api purba di Gunung Kidul

terletak di Desa Nglanggeran yang terdiri dari material vulkanik tua,

geologis sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Komunikasi partisipatif

memiliki prinsip komunikasi horizontal untuk mendorong partisipasi

masyarakat melalui dialog. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dimulai

dengan proses dialog oleh orang-orang muda yang memiliki visi yang sama

dalam mengembangkan potensi alami gunung api purba Nglanggeran.

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. menjelaskan komunikasi partisipatif

dari Pokdarwis; 2. menganalisis hubungan antara karakteristik individu,

kredibilitas fasilitator, dukungan kelembagaan dan komunikasi partisipatif;

dan 3. menganalisis hubungan antara komunikasi partisipatif dari Pokdarwis

dan pengelolaan gunung api purba Nglanggeran.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Studi ini menyimpulkan bahwa: 1) Pokdarwis dapat menerima informasi

baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan sangat termotivasi. Kejujuran,

keahlian, daya tarik dan keakraban fasilitator dapat mendukung pengelolaan

pariwisata yang lebih baik. Modal, sarana dan prasarana cukup untuk

mendukung kegiatan pengelolaan wisata; 2) Ada hubungan yang signifikan

dan positif antara karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dukungan

kelembagaan dan komunikasi partisipatif dan 3) Ada hubungan yang

signifikan dan positif antara manajemen pariwisata dan komunikasi

partisipatif.

Kata kunci: komunikasi, partisipatif, fasilitator, pokdarwis , gunung api

purba, gunung kidul

SUMMARY

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN. 2016. Participatory

Communication of Pokdarwis in the Management of Nglanggeran Ancient

Volcano Tourism, Gunung Kidul District, Yogyakarta Special Region

Province. Supervised by SUMARDJO and DWI SADONO.

One of the uniqueness ancient volcano attractions in Gunung Kidul is

located in the village of Nglanggeran which composed of old volcanic

material, geologically very unique and high scientific value. Participatory

communication has the principle of horizontal communication to encourage

community participation through dialogue. Tourism Awareness Formation

Group (Pokdarwis) begins with the dialogue process by young people who

have a common vision in developing the natural potential Nglanggeran

ancient volcano. The purposes of this study are: 1. Describe the

participatory communication of Pokdarwis; 2. Analyze the relationship

between individual characteristics, the credibility of the facilitator, the

institutional support and participatory communication; and 3. Analyze the

relationship between participatory communication of Pokdarwis and the

management of Nglanggeran ancient volcano.

This study used quantitative and qualitative approaches. The study

conclude that :1) Pokdarwis able to receive new information properly,

higher knowledge, and highly motivated. Honesty, expertise, attractiveness

and familiarity of facilitators able to support better tourism management.

Capital, facilities and infrastructures have sufficiently enough to support

tourist management activities; 2) There is significant and positive

relationship between individual characteristics, facilitator's credibility,

institutional support and the participatory communication and 3) There is

significant and positive relationship between tourism management and

participatory communication.

Key Words : participatory communication, pokdarwis, facilitator, ancient

volcano, Gunung Kidul

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI PARTISIPATIF KELOMPOK SADAR WISATA

DALAM PENGELOLAAN WISATA GUNUNG API PURBA

NGLANGGERAN, KABUPATEN GUNUNG KIDUL,

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

R. RESTAMA GUSTAR HASTOSAPTYADHAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

Pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sarwititi Sarworasodjo, MS

Judul : Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata Dalam

Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Nama : R. Restama Gustar Hastosaptyadhan

NIM : I 352114011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS

Ketua

Dr. Ir. Dwi Sadono, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 1 Februari 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga tesis penelitan ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipiih dalam proposal penelitian ini yaitu Komunikasi Partisipatif Kelompok

Sadar Wisata Dalam Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba, Nglanggeran,

Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS dan Dr.

Ir. Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, masukan berupa

teori serta waktu dengan penuh kesabaran membimbing penulis hingga dapat

menghasilkan sebuah tulisan yang lebih baik selama pembuatan tesis penelitian

ini. Kepada rekan-rekan sejawat atas dukungan yang diberikan (KMP angkatan

genap 2011) dan angkatan 2012.

Akhir kata penulis ucapkan mohon maaf jika ada kesalahan dan

kekurangan, sesungguhnya kesalahan dan kekurangan ada pada penulis,

kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

R. Restama Gustar Hastosaptyadhan

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR TABEL xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

PerumusanMasalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Komunikasi Partisipatif 5

Kelompok Sosial 9

Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata 9

Kredibilitas Fasilitator 12

Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan

Berbasis Masyarakat 13

Hasil Penelitian Terdahulu 13

Kerangka Penelitian 17

Hipotesis Penelitian 19

METODE PENELITIAN 20

Desain Penelitian 20

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Populasi dan Sampel Penelitian 20

Data dan Instrumen Penelitian 20

Teknik Pengumpulan Data 21

Definisi Operasional 22

Validitas Instrumentasi 22

Reliabilitas Instrumentasi 24

Analisis Data 25

HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 26

Kelompok Sadar Wisata 27

Karakteristik Individu Pokdarwis 29

Kredibilitas Fasilitator 32

Dukungan Kelembagaan 35

Komunikasi Partisipatif 37

Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran 39

Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Komunikasi

Partisipatif Pokdarwis 42

Hubungan antara Kredibilitas Fasilitator dengan Komunikasi

Partisipatif Pokdarwis 44

Hubungan antara Dukungan Kelembagaan dengan Komunikasi

Partisipatif Pokdarwis 46

Hubungan antara Pengelolaan Wisata dengan Komunikasi

Partisipatif Pokdarwis 47

KESIMPULAN 49

SARAN 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 53

RIWAYAT HIDUP 57

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik individu 21

2 Kredibilitas fasilitator 21

3 Dukungan kelembagaan 22

4 Komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata 22

5 Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran 22

6 Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis 30

7 Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis 33

8 Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis 35

9 Jumlah dan persentase komunikasi partisipatif Pokdarwis 37

10 Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi 38

partisipatif Pokdarwis

11 Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi 39

partisipatif

12 Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi 40

partisipatif Pokdarwis

13 Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi 41

partisipatif Pokdarwis

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka berpikir penelitian komunikasi partisipatif 16

kelompok sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung

Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan sumber

daya alam dan bentang alam yang melimpah dan tinggi nilainya. Kekayaan

tersebut menjadi modal penting bagi pembangunan bangsa Indonesia dan akan

punah apabila tidak dikelola secara optimal baik oleh Pemerintah maupun

masyarakat. Di samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk yang

kaya akan keberagaman suku, budaya, agama dan sejarah. Kedua potensi tersebut

apabila dikelola secara baik dan benar disertai upaya-upaya pelestariannya, dapat

mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat.

Selaras dengan visi, misi dan program aksi untuk mewujudkan Indonesia

yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, maka pemerintah telah menetapkan

Jalan Perubahan yang disebut Nawa Cita. Sesuai Nawa Cita ke-7 yaitu

Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis

ekonomi domestik, maka upaya pengembangan usaha lokal merupakan bagian

kekuatan pendorong pembangunan ekonomi bangsa. Pengembangan ekonomi

lokal dapat berperan dalam mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi dan

peningkatan pendapatan masyarakat, serta mampu menyediakan peluang lapangan

kerja. Masyarakat perlu difasilitasi oleh Pemerintah agar mempunyai jiwa

wirausaha, tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Fasilitas ini dapat berupa

peningkatan kapasitas usaha, pendampingan dan bantuan permodalan sehingga

masyarakat yang sebelumnya hanya menerima bantuan sosial dapat berkembang

menjadi pelaku usaha mikro yang pada waktunya bisa mandiri bahkan dapat

membantu masyarakat di sekitarnya dalam pengembangan ekonomi lokal yang

dapat berdampak pada meningkatnya perekonomian regional dan nasional untuk

mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan dari Tri Sakti.

Kekayaan alam dan keberagaman bangsa Indonesia menyimpan banyak

potensi sekaligus peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia

agar lebih bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan

kearifan lokal, oleh karena itu pemerintah memiliki peranan penting dalam

menggali potensi dan membuat kebijakan terhadap pengembangan

kepariwisataan, sehingga masyarakat lokal meningkat kesadarannya untuk

menggali potensi dan bergerak membangun desa dan kawasan perdesaan serta

kota.

Menurut BPS (2015) Kabupaten Gunungkidul yang memiliki luas wilayah

1.485,36 Km2 dengan 18 kecamatan dan 144 desa dan kelurahan merupakan

kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sedang giat

mengembangkan potensi pariwisata. Pada umumnya masyarakat menganggap

bahwa Kabupaten Gunungkidul adalah kabupaten miskin, rawan kekeringan dan

tidak banyak memiliki tempat wisata yang khas. Namun seiring dengan

perkembangan pembangunan dan kemajuan masyarakat, kabupaten tersebut

mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan pariwisata yang

merupakan perpaduan yang harmonis antara kekayaan alam, kebudayaan

tradisional, dan cara hidup masyarakatnya.

Salah satu obyek wisata di Kabupaten Gunung Kidul yang banyak

dikunjungi wisatawan karena keunikannya adalah Gunung Api Purba yang

terletak di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk pada ketinggian 200-700 m dpl

dengan jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari melalui perjalanan darat. Adapun

Litologi lokasi ini tersusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya

memiliki keindahan yang secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi.

Dari hasil penelitian dan referensi yang ada, dinyatakan gunung Nglanggeran

adalah gunung berapi purba.

Pada tahun 2007 berkembang ide kreatif para pemuda Desa Nglanggeran

yang mulai membenahi dan menata lokasi ekowisata Gunung Api Purba

Nglanggeran secara swadaya dengan membangun jalur pendakian, fasilitas MCK

(Mandi, Cuci, Kakus), serta gubuk-gubuk peristirahatan pendakian. Pada saat

mengembangkan lokasi tersebut para pemuda ini membuat wadah organisasi yang

bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri dari unsur Karang

Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan

pemilik rumah singgah (homestay). Pada Tahun 2009, Pokdarwis telah

mengantarkan desanya menjadi juara Desa Wisata se-Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat

melalui pengembangan desa wisata telah dilakukan oleh masyarakat lokal yaitu

Pokdarwis Nglanggeran yang telah mampu mengangkat potensi lokal menjadi

potensi regional bahkan selanjutnya dapat diangkat menjadi potensi nasional.

Komunikasi partisipatif merupakan paradigma komunikasi pembangunan

yang memiliki prinsip komunikasi horisontal untuk mendorong partisipasi

masyarakat melalui dialog. Masyarakat lokal diajak berpartisipasi dalam

mengidentifikasi kebutuhan dan tindakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan

pembangunannya melalui dialog dengan stakeholder lainnya yang terlibat dalam

proses pembangunan (Bessette 2007). Proses dialog dalam komunikasi partisipatif

bersifat dinamis, interaksional dan transformatif. Dialog terjadi antar individu,

kelompok dan institusi dengan pihak lainnya baik individu maupun kolektif,

untuk mewujudkan potensi mereka dan meraih kesejahteraan hidupnya (Singhal

2001).

Dialog merupakan hal yang paling penting dalam komunikasi partisipatif

pada sebuah komunitas/kelompok sosial. Dagron (2008) menambahkan bahwa

dialog merupakan kunci dari komunikasi partisipatif dalam pembangunan, jika

ingin melibatkan masyarakat sipil dalam pembangunan maka adanya dialog tidak

bisa dihindarkan, begitu juga jika sebuah organisasi pembangunan ingin

membangun hubungan dengan pemerintah dan masyarakat sosial, maka dialog

merupakan hal yang paling penting dilakukan dalam tingkat komunitas/kelompok.

Dalam dialog terjadi sharing knowledge dan pengalaman dengan para stakeholder

untuk mengidentifikasi masalah, menganalisis dan menetapkan solusi atas

permasalahan yang terjadi serta mengevaluasi (Tufte&Mefalopulos 2009). Tidak

akan ada kelompok tanpa adanya dialog di dalamnya, begitu pula sebaliknya tidak

ada dialog bila tidak terbentuk kelompok. Proses dialog sendiri dimaknai dengan

pembentukan makna dan menyampaikan nilai sosial antara individu yang saling

bertukar informasi. Hal tersebut menandakan bahwa dialog selalu diawali dengan

proses komunikasi dalam diri individu (intrapersonal) sebelum menyampaikan

ide/aspirasinya ke anggota kelompok yang lain maupun komunikator

pembangunan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku (Rahim

2004).

Pembentukan Pokdarwis diawali dengan proses dialog oleh kalangan muda

yang mempunyai kesamaan visi dalam mengembangkan potensi alam gunung api

purba Nglanggeran yang pada akhirnya berhasil membawa kelompok lain secara

partisipatif berperan dalam mengelola kawasan wisata tersebut. Keberhasilan ini

perlu dikaji sehingga diketahui bahwa komunikasi partisipatif berperan membawa

keberhasilan Pokdarwis dalam mengelola kawasan Wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran. Demikian pula dengan komunikasi partispatif yang dikembangkan

sehingga anggota Pokdarwis mempunyai peran yang sama dalam wujud

kepedulian dan keinginan untuk maju dan berkembang dengan memanfaatkan

potensi lokal yang ada sehingga dapat menjadi faktor kemajuan daerah wisata ini.

Perumusan Masalah

Pengelolaan kawasan wisata Gunung api purba diinisiasi dengan

pembentukan desa wisata dalam PNPM Mandiri Pariwisata oleh Kementerian

Pariwisata tahun 2011. Prinsip-prinsip PNPM Mandiri seperti yang disebutkan

pada pasal 4 UU No 6/2014 tentang Desa bahwa pengaturan Desa salah satunya

bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa

untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Hal ini

dibuktikan bahwa melalui komunikasi partisipatif telah dibentuk kelompok sadar

wisata (Pokdarwis) yang sangat berperan dalam pengelolaan kawasan wisata ini,

namun demikian perlu dikaji lebih jauh permasalahan yang dihadapi Pokdarwis

ini sehingga diharapkan dapat tetap berkelanjutan perannya pada waktu yang akan

datang. Beberapa penelitian terdahulu seperti Saputra (2011), Mulyasari (2009),

Muchlis (2009), dan Satriani (2011) memiliki sumber referensi yang berbeda, dan

fokus obyek penelitiannya juga berbeda sesuai dengan sudut pandang masing-

masing peneliti. Penelitian terdahulu tersebut tidak membahas hingga pengelolaan

wisata. Penelitian ini menganalisis tentang fasilitator yang juga merupakan

kelompok sosial masyarakat dengan nama kelompok sadar wisata (Pokdarwis),

dan peran komunikasi partisipatif juga dianalisis hubungannya dengan

pengelolaan wisata. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penelitian

mengenai komunikasi partisipatif Kelompok Sadar Wisata dalam pengelolaan

wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi penting untuk diteliti.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam pengelolaan lokasi wisata Gunung Api Purba ini adalah :

(1) Bagaimanakah komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok sadar

wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?

(2) Bagaimana hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas

fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif

dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ?

(3) Bagaimana hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar

wisata yang dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran ?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan kajian tentang peran

komunikasi partisipatif dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

(1) Mendeskripsikan komunikasi partisipatif yang terjadi pada kelompok

sadar wisata dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

(2) Menganalisis hubungan antara karakteristik individu, kredibilitas

fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif

dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

(3) Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar

yang wisata dapat berperan dalam pengelolaan wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran.

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian sejenis

atau penelitian lanjutan dalam pengkajian komunikasi partisipatif untuk

mendukung pengelolaan potensi wisata dan menjadi bahan pertimbangan dalam

penyusunan rekomendasi kebijakan bagi instansi terkait baik di daerah maupun di

pusat.

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Partisipatif

Selama ini pogram pembangunan kerap ditentukan sendiri oleh pemerintah

pusat (top-down), sehingga tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat hingga

tingkat bawah (grassroot). Aliran komunikasi yang searah dan cenderung top-

down ini memaksa masyarakat hanya menjadi pihak penerima pasif, dan

mengesampingkan hak mereka untuk berpartisipasi, bersuara maupun

berpendapat. Freire (1972) mengistilahkan ketidakmampuan masyarakat untuk

menyuarakan aspirasi dan permasalahan yang dihadapi dengan istilah voiceless

people.

Keterlibatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam setiap kegiatan

pembangunan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan

pembangunan (McPhail 2009). Srampickal (2006) menambahkan dibutuhkan

partisipasi aktif dari grassroot untuk melancarkan jalannya pembangunan.

Semua partisipasi merupakan hasil dari adanya komunikasi, namun tidak

semua komunikasi berbentuk partisipatif (Singhal 2001). Partisipasi masyarakat

bisa diraih dengan menggunakan komunikasi horisontal yang berlangsung dua

arah. Proses komunikasi partisipatif juga menekankan pada kemampuan anggota

komunitas agar mampu menyampaikan aspirasinya serta berbagi informasi yang

lebih dikenal dengan istilah voice. Komunikasi partisipatif menjunjung tinggi

adanya voice sebagai hak asasi dari seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses

pembangunan (Warnock et al. 2007).

Aspirasi atau voice dalam komunikasi partisipasi menekankan pada hak

seluruh individu untuk didengar, berbicara, dan kemungkinan bagi tiap individu

berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dalam menentukan

kehidupannya (Warnock et al. 2007; McPhail 2009). Bentuk partisipasi

masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya adalah dengan berkontribusi pada

setiap proses komunikasi, diantaranya adalah menyampaikan pandangan,

berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, bertindak dalam pencarian informasi.

Konsep action-reflection-action sebagai bahan yang penting dalam

komunikasi partisipatif bukan hanya merefleksikan masalah, tetapi juga

mengumpulkan tindakan dengan mencoba mengumpulkan gerakan dari masalah

yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep

ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah

kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam

kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang

dihadapi. McKee et al. (2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa

memiliki, kompetensi dan komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan

adanya collective action dan kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota

komunitas dengan organisasi dalam konteks sosial. Intervensi komunikasi

pembangunan dalam collective action pada level kelompok tergantung pada

kegiatan komunikasi di dalamnya, termasuk adanya dialog, identifikasi masalah

dan solusinya, berbagi informasi, negosiasi, persetujuan, bergabung dalam proses

pengelolaan, dan proses pertanggungjawaban yang sama dalam komunitas

(Warnock et al. 2007). Berdasarkan hal tersebut, komunikasi partisipatif dalam

penelitian ini dimaknai sebagai bentuk partisipasi anggota kelompok dalam

menjalankan proses komunikasi (voice, dialog dan refleksi aksi) pada kegiatan

pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Salah satu perbedaan yang paling mendasar dari kelompok adalah

karakteristiknya. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang melekat pada

sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang berhubungan

dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa diasumsikan bahwa

karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat dalam kelompok tersebut.

Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok satu dengan yang lainnya

(Suharno 2009). Syam et al (2000) menyebutkan bahwa karakteristik pada kelompok

tani yang mendasar adalah umur kelompok, aktifitas keanggotaan kelompok dan luas

areal usaha tani. Tidak jarang program pembangunan harus mengelola beberapa

kelompok sekaligus, yang tentu saja karakteristik kelompok satu dan lainnya berbeda.

Perbedaan itulah yang kemudian difasilitasi oleh komunikator pembangunan melalui

dialog untuk membangun konsensus sesuai dengan masalah dan kebutuhan masing-

masing kelompok. Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi

semua pihak dalam program pembangunan. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif

lebih tepat digunakan dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999),

pendekatan tersebut lebih memungkinkan terjadi integrasi antara kepentingan

nasional dengan kepentingan masyarakat dan potensi dan permasalahan lingkungan

setempat. Pendekatan partisipatif lebih menempatkan martabat manusia secara layak,

keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya lebih dikenali

dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadi partisipasi yang lebih luas.

Partisipasi masyarakat pada kenyataannya berawal atau dilandasi dengan

adanya kebersamaan (togetherness, commonality). Kebersamaan dalam mengartikan

atau mempersepsikan sesuatu (misalnya masalah atau kesulitan) yang penting bagi

masyarakat bersangkutan. Kebersamaan dalam cara-cara memecahkan masalah.

Kebersamaan dalam melaksanakan keputusan-keputusan untuk masalah yang

dirasakan. Model partisipasi masyarakat telah bergeser dari yang sebelumnya terfokus

pada penerima manfaat atau kelompok terabaikan (sebagaimana yang diterapkan

dalam banyak proses pembangunan), ke bentuk pelibatan warga yang lebih luas di

bidang-bidang yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung (Sumarto

2003). Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang

menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang

muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah

wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan.Individu adalah

wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk

perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005).

Pemikiran inti dari model komunikasi partisipatif adalah bahwa dalam proses

pembicaraan dapat dimungkinkan dan diperhitungkan timbulnya ide-ide baru pada

waktu komunikasi sedang berlangsung. Jika dalam model linier titik berat pada

pesan-pesan yang telah dipersiapkan dulu, dalam model partisipasi ini ada satu

cerminan situasi komunikasi yang sebenarnya, sehingga dengan jelas dapat dilihat

apakah pihak-pihak yang berkomunikasi telah berhasil saling mempengaruhi atau

tidak, dapat dilihat akibat dari pesan yang telah dikirim. Model ini juga

memperlihatkan situasi interaktif antara pihak-pihak yang berkomunikasi dan dapat

berlangsung dalam bentuk komunikasi antar pribadi dan kelompok (Sulistyowati et

al. 2005).

Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang

terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan

formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong

kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas

orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam

pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk

pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3)

pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi

melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan

(5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru

yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan

masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena

masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan

mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para

ahli”.

White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka,

sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif

situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan

apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi

tersebut. Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses

dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan

individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara

penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.

Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan

sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama

dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan

informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog

adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver)

pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada

makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan

menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi

hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang 12 memiliki hak yang

sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan

ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah

suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga

menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam

konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan

dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi

pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana

situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian

kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi

(Habermas 1990).

Paradigma komunikasi partisipatif ditandai dengan terakomodasinya aspirasi

pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat) dalam program pembangunan

wilayah setempat. Oleh karena itu, pendekatan partisipatif lebih tepat digunakan

dalam era globalisasi, karena menurut Sumardjo (1999), pendekatan tersebut lebih

memungkinkan terjalin integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan

masyarakat dan potensi (dan permasalahan) lingkungan setempat. Pendekatan

tersebut lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan

masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali

dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih

luas.

Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan kolektif

memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari beberapa orang,

namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan dan kelalaian mereka

membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan kemampuan uantuk

menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka. Mereka tetap saja tenggelam

dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan jawaban semacam itu praktis tidak

mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang tersisihkan, tak berdaya, yang

kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga kemudian memunculkan satu

kebudayaan yang dikenal dengan nama “kebudayaan bisu” atau “cultures of silence”.

Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani bicara

untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang sesungguhnya. Walau

upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek pendidikan, namun dampaknya

secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi ikhtiar pembangunan nasional.

Komunikasi partisipatif memiliki kegiatan dialog yang menyaratkan bahwa orang-

orang yang terlibat di dalamnya berada dalam level yang sama, berbicara dalam

frekuensi yang sama tentang sesuatu hal yang dihadapi. Tatkala seseorang merasa

lebih pintar dari orang lain dari anak-anak itu dan memaksakan pendapatnya maka

yang terjadi adalah proses transfer sebagaimana yang kerap terjadi dalam pendidikan

formal. Model komunikasi partisipatif, di sisi lain mengubah pandangan dalam

kerangka keragaman. Ini menekankan pentingnya identitas budaya masyarakat lokal

dan demokratisasi dan partisipasi di semua tingkat-internasional, nasional, lokal dan

individu. Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk

“membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan

menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk

mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini

dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan

daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne

1979 diacu dalam Nasdian 2003). Harus diakui bahwa selama ini, peran serta

masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di

pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi

ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program;

masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan

harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi

menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).

Kelompok Sosial

Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuan manusia

yang hidup bersama, karena adanya hubungan di antara mereka. Hubungan

tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling

mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong (Soekanto

2006:104).

Kelompok sosial walaupun jumlahnya sedikit tetapi ada, dan umumya

dibentuk untuk urusan-urusan ritual seperti kematian, pelestarian adat dan untuk

urusan yang berhubungan dengan ritual peribadatan suatu agama. Di luar ritual,

kelompok sosial untuk kepentingan ekonomi sifatnya marginal tetapi sarat

dengan nilai-nilai yang bettentangan dengan nilai-nilai universal yang senantiasa

memberikan bobot pada peningkatan produktivitas, nilai tambah, kompetisi,

efisiensi, kebebasan dan persamaan. Kelompok teresebut berkembang atas dasar

beraktivitas bersama bukan beraktivitas sama-sama untuk mengubah nasib dan

kekayaan material untuk hari esok yang lebih baik.

Teori sosiologi senantiasa membedakan dua jenis kelompok sosial. Pertama,

apa yang disebut kelompok primer yaitu suatu wadah tempat berhimpunnya satu

atau lebih individu yang memiliki hubungan personal antar mereka yang sangat

dekat dan pola interaksi sesamanya biasanya sangat informal. Pada kelompok

primer ini hampir semua persoalan didiskusikan walau tanpa arah dan

penyelesaian tertentu yang jelas, serta tidak ada rahasia antar anggota kelompok.

Keanggotaan kelompok ini biasanya homogeny dari suatu garis keturunan,

kepercayaan, pertemanan, informal dan sejenisnya. Wujud pembentukan

kelompok ini biasanya mulai dari keluarga, perkumpulan sesame teman-teman

dekat, kelompok garis keturunan dan sejenisnya. Kedua, yaitu kelompok sekunder

yang didalamnya berimpun sekelompok orang dengan spesialisasi tertent atau

memiliki tujuan-tujuan khusus organisasi dan dengan pembagian tugas, untuk

para pengurus dan anggotanya, secara jelas yang merefleksikan peran mereka

untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Hubungan interpersonal

dalam kelompok ini relative terbatas dan frekuensi pertemuan antar anggota

kelompok biasaya tidak berlangsung secara terus menerus. Pada kelompok yang

disebut terakhir, dalam wujud kekiniannya merupakan bentuk organisasi modern

yang bersifat lebih formal.

Komunikasi Partisipatif dalam Kelompok Sadar Wisata

Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan

seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Masyarakat adalah salah satu

unsur penting pemangku kepentingan untuk bersama-sama dengan Pemerintah

dan kalangan usaha/swasta bersinergi melaksanakan dan mendukung

pembangunan kepariwisataan, oleh karena itu pembangunan kepariwisataan harus

memperhatikan posisi, potensi dan peran masyarakat baik sebagai subjek atau

pelaku maupun penerima manfaat pengembangan, karena dukungan masyarakat

turut menentukan keberhasilan jangka panjang pengembangan kepariwisataan.

Dukungan masyarakat dapat diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat

akan arti penting pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan

pengkondisian untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok

Sadar Wisata (Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat

yang memiliki peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan

di daerahnya. Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina

sehingga dapat berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi

masyarakat untuk mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi

tumbuh dan berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi

pariwisata.

Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa Peningkatan

peran masyarakat dalam pembangunan kepariwisataan memerlukan berbagai

upaya pemberdayaan (empowerment), agar masyarakat dapat berperan lebih aktif

dan optimal serta sekaligus menerima manfaat positif dari kegiatan pembangunan

yang dilaksanakan untuk peningkatan kesejahteraannya. Pemberdayaan

Masyarakat dalam konteks pembangunan kepariwisataan dapat didefinisikan

sebagai:“Upaya penguatan dan peningkatan kapasitas, peran dan inisiatif

masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan, untuk dapat berpartisipasi

dan berperan aktif sebagai subjek atau pelaku maupun sebagai penerima manfaat

dalam pengembangan kepariwisataan secara berkelanjutan”. Renstra Dit.

Pemberdayaan Masyarakat (2010). Definisi tersebut menegaskan posisi penting

masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yaitu masyarakat sebagai subjek atau

pelaku pembangunan, dan masyarakat sebagai penerima manfaat pembangunan.

Masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti, bahwa

masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam proses

perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan pemangku

kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta. Dalam

fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan tanggung

jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan

kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat,

mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat

ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk

meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang

bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu

aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat

diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan

berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan

kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta

Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal

di sekitar destinasi pariwisata.

Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai bentuk kesadaran

masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut, yaitu:

a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan

rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk

mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam

slogan Sapta Pesona.

b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku

wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata,

sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam

mengenal dan mencintai tanah air.

Sapta pesona, sebagaimana disinggung di atas adalah : “7 (tujuh) unsur

pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang kondusif dan

ideal bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang

mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung”. Ketujuh unsur Sapta

Pesona yang dimaksud di atas adalah : 1. Aman, 2. Tertib, 3. Bersih, 4. Sejuk, 5.

Indah, 6. Ramah,7. Kenangan.

Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam pengembangan

kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:

(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi.

(2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif.

(3) Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang pendapatan, serta dampak

ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.

Sadar Wisata dan Sapta Pesona sebagai unsur penting dalam mendukung

pengembangan destinasi pariwisata tentu tidak dapat terwujud secara otomatis

tanpa adanya langkah dan upaya-upaya untuk merintis, menumbuhkan,

mengembangkan dan melaksanakan secara konsisten di destinasi pariwisata. Oleh

karena itu, perlu ditumbuhkan peran serta masyarakat secara aktif dalam

mengembangkan Sadar Wisata dan Sapta Pesona bersama-sama dengan

pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam hal ini Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) atau kelompok penggerak pariwisata sebagai bentuk kelembagaan

informal yang dibentuk anggota masyarakat (khususnya yang memiliki

kepedulian dalam mengembangkan kepariwisataan di daerahnya), merupakan

salah satu unsur pemangku kepentingan dalam masyarakat yang memilki

keterkaitan dan peran penting dalam mengembangkan dan mewujudkan Sadar

Wisata dan Sapta Pesona di daerahnya.

Kelompok sadar wisata, selanjutnya disebut dengan Pokdarwis, adalah

kelembagaan di tingkat masyarakat yang anggotanya terdiri dari para pelaku

kepariwisataan yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab serta berperan

sebagai penggerak dalam mendukung terciptanya iklim kondusif bagi tumbuh dan

berkembangnya kepariwisataan serta terwujudnya Sapta Pesona dalam

meningkatkan pembangunan daerah melalui kepariwisataan dan manfaatkannya

bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Pokdarwis ini merupakan kelompok

swadaya dan swakarsa masyarakat yang dalam aktivitas sosialnya berupaya untuk:

(1) Meningkatkan pemahaman kepariwisataan.

(2) Meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan

kepariwisataan.

(3) Meningkatkan nilai manfaat kepariwisataan bagi masyarakat/anggota

Pokdarwis.

(4) Mensukseskan pembangunan kepariwisataan.

Kredibilitas Fasilitator

Komunikasi akan efektif bila komunikan mengalami proses internalisasi,

jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut.

Komunikan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat jika pesan yang

disampaikan memiliki rasionalitas yang dapat diterima. DeVito (1997) memahami

kredibilitas komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan orang lain

(komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan

komunikator. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini

mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator

karena akan mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan program-

program pemberdayaan. Tidak ada situasi komunikasi dimana kredibilitas tidak

mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut DeVito (1997)

mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas : (1) Kompetensi,

mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh

komunikator; (2) Karakter, mengacu pada itikad dan perhatian komunikator

kepada khalayak dan (3) Kharisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan

komunikator.

Belch (2001) mengatakan bahwa seorang komunikator atau sumber yang

kredibel sangat penting bila audiens memiliki sikap yang negatif terhadap produk,

jasa, perusahaan atau isu yang tengah diangkat. Hal ini dikarenakan komunikator

atau sumber yang kredibel dapat menghambat konter argumen dari audien.

(1). Keahlian

Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman

disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan

Belch (2001), keahlian adalah tingkatan dimana seorang komunikator

dipresepsikan sebagai orang yang dapat memberikan penilaian yang

benar dan tegas.

(2). Kejujuran

Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat komunikator dalam

mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar.Jujur

atau tidaknya sumber bergantung pada persepsi audiens tentang

motivasinya dalam menyampaikan sebuah informasi. Menurut Belch

dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki

kepentingan pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau

institusi, maka ia menjadi kurang persuasi dibanding orang yang

dianggap tidak memiliki motif pribadi apapun.

(3). Daya tarik

Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga

berbagai sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya

kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan sebagainya.

Seorang fasilitator memiliki nilai tambah berupa kekaguman dari

banyak orang. Penampilan seseorang dalam berkomunikasi akan

mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam kaitan

dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada

kontak pertama antara sumber dan penerima pesan.

(4). Keakraban

Aspek ini merujuk pada pengetahuan tentang sumber yang dimiliki

audien melalui terpaan media massa. Keakraban sering diabaikan oleh

institusi karena mereka lebih memperhatikan aspek kesamaan dan daya

tarik sumber (Belch dan Belch 2001).

Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan

masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat

berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini

bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.Oleh karena itu,

tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang

“generalist” (Nasdian 2003).

Desa Wisata dengan Kawasan Ekowisata Berwawasan Lingkungan Berbasis

Masyarakat

Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan

pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal

bersama masyarakat yaitu:

(1) Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya): memperdulikan daya

dukung lingkungan, pelestarian SDA dan budaya masyarakat,

menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan dan

meningkatkan kenyamanan pengunjung, menyusun dan implementasi

mekanisme monitoring untuk mengurangi ancaman kerusakan dari

kegiatan pariwisata, menyusun tata kelola pengunjung

(2) Prinsip Ramah Masyarakat: menggunakan konsep partisipatif dan

perencanaan dari bawah, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan

implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat

terbesar dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme

distribusi keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme

investasi pariwisata yang memprioritaskan peluang untuk warga desa

(3) Prinsip Ramah Wisatawan: pelibatan masyarakat sebagai pelaku wisata,

program pelatihan untuk meningkatkan SDM insan wisata, menciptakan

kenyamanan pengunjung dengan menerapkan SOP pengelola soal

kebersihan kesehatan keamanan, monitoring kepuasan pengunjung dan

juga kepuasan masyarakat

Hasil Penelitian Terdahulu

Komunikasi partisipasi adalah salah satu model komunikasi program

pembangunan yang melekat pada pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian

terdahulu menjelaskan bahwa komunikasi partisipasi memiliki pengaruh terhadap

kelangsungan dalam sebuah program.

Saputra (2011) meneliti mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (kasus PNPM Mandiri di kota Bandar

Lampung). tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan karakteristik, peran

dan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator (2) menganalisis hubungan

karakteristik fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif fasilitator, (3)

menganalisis hubungan peran fasilitator dengan perilaku komunikasi partisipatif

fasilitator di PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian ini

adalah, jumlah terbesar peran fasilitator, yaitu untuk peran fasilitatif berada pada

tingkatan sedang. Jumlah terbesar karakteristik fasilitator yaitu untuk pengetahuan

non teknis berada pada tingkatan sedang, pendidikan nonformal dan pengetahuan

teknis berada pada tingkatan tinggi, namun pengalaman berada pada tingkatan

rendah. Pada perilaku komunikasi partisipatif, seluruh jumlah terbesar fasilitator

untuk pemberian akses, dialog penyelesaian tugas kelompok, dialog pemeliharaan

kelompok, dan refleksi aksi berada pada tingkatan yang tinggi. Karakteristik

fasilitator yang meliputi pengalaman, pengetahuan nonteknis, pengetahuan teknis,

dan pendidikan nonformal memiliki hubungan terhadap perilaku komunikasi

partisipatif fasilitator. Peran fasilitatif fasilitator juga memiliki hubungan terhadap

perilaku komunikasi partisipatif fasilitator.

Mulyasari (2009) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif Warga Pada

Bengkulu Regional Development Project (BRDP). Penelitian ini bertujuan untuk:

a) Menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi dalam proses kegiatan

BRDP, b) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi partisipatif

antara warga dan agen pendamping (fasilitator) dalam kegiatan BRDP, dan c)

Menganalisis tingkat kepuasan yang dirasakan warga sebagai dampak dari

komunikasi partisipatif dalam kegiatan BRDP. Komunikasi partisipatif warga

pada tahap perencanaan berhubungan nyata dengan peubah kemampuan.

Kemampuan yang rendah menyebabkan komunikasi partisipatif yang diharapkan

dapat berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat dilaksanakan dengan

baik. Kemampuan yang rendah mengakibatkan rendahnya kemauan warga untuk

dapat berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri

dan keberanian untukmemberikan pertanyaan, masukan atau pendapat kepada

pengurus UPKD, sedangkan pengurus UPKD telah memberikan kesempatan dan

memotivasi warga agar dapat berpartisipasi. Komunikasi partisipatif warga pada

tahap pelaksanaan juga berhubungan nyata dengan peubah kemampuan. Pengurus

UPKD telah memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat memberikan

pertanyaan, pendapat dan saran terkait dengan kegiatan BRDP di Desa Pondok

Kubang. Tetapi dengan rendahnya pendidikan, pengalaman, dan modal yang

dimiliki oleh warga maka warga merasa tidak memiliki kemampuan untuk

berpartisipasi pada kegiatan BRDP. Kemampuan yang rendah menyebabkan

kemauan mereka untuk berpartisipasi juga semakin tidak ada. Mereka hanya bisa

menjadi pendengar pasif dan komunikasi partisipatif yang diharapkan dapat

berjalan antara pengurus UPKD dan warga tidak dapat berjalan dengan baik

Muchlis (2009) meneliti tentang Analisis Komunikasi Partisipatif dalam

Program Pemberdayaan Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah

dalam PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten

Batang Hari. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator

dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator

menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses

komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas

PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Berbagai musyawarah

dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan

penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini

ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM

MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak

ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.

Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari

perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan

kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas

PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM

MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu

partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk

mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait

dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa

agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman

oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi,

sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Dialog

sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah

dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan

memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk

didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah

“pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah

bukan musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan

oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku

PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan

mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari

proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan

menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak

hanya sebagai objek komunikasi.

Satriani (2011) meneliti tentang Komunikasi Partisipatif pada Program Pos

Pemberdayaan Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan

Bogor Barat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran pendamping,

perangkat kelurahan dan tokoh masyarakat dalam kegiatan Posdaya, menganalisis

komunikasi partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya, menganalisis

dampak komunikasi partisipatif dalam kegiatan Posdaya bagi masyarakat serta

menganalisis respons masyarakat terhadap kehadiran Posdaya. Komunikasi

partisipatif yang terjadi dalam kegiatan Posdaya Kenanga meliputi meliputi akses,

heteroglasia, poliponi, dialog dan karnaval. Kader di Posdaya Kenanga memiliki

akses yang sama untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi

serta pengambilan keputusan. Akses yang terlihat di Posdaya Kenanga adalah

semua kader diundang untuk menghadiri rapat rencana kerja Posdaya Kenanga

dan rapat evaluasi. Konsep heteroglasia terlihat dari latar belakang pendidikan,

pekerjaan, usia yang berbeda serta kesetaraan gender. Memiliki keberagaman

kader, meningkatkan saling menghargai sesama kader. Poliponi terjadi karena

keterbukaan dalam penyampaian suara memberikan hak yang sama kepada kader

tanpa ada penekanan atas pandangan kader yang satu dengan pandangan yang

lain. Interupsi dalam rapat merupakan bentuk tidak adanya intervensi atau

penekanan dan pemaksaan dalam menyampaikan pendapat maupun saran.

Mengutarakan jawaban, pendapat, masukan, kritik serta ide antara kader dan

pendamping tidak ada pembatas, antara kader dan pendamping sejajar sehingga

tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Dialog dalam

menyelesaikan atau mengatasi hambatan atau kendala dilakukan untuk mencari

kesepakatan antara sesama kader. Melalui dialog terjadi saling menghargai dan

saling memiliki kegiatan dalam Posdaya Kenanga sehingga menimbulkan rasa

tanggung jawab sesama kader untuk menyelesaikan permasalahan. Konsep

karnaval pada Posdaya Kenanga dilakukan oleh bidang kesehatan, ekonomi, dan

lingkungan.

Berdasarkan beberapa referensi dari penelitian terdahulu, maka diperoleh

sintesa bahwa perbedaan konsep penelitian dari berbagai penelitian terdahulu

disebabkan oleh sumber referensi yang digunakan peneliti, fokus obyek

penelitiannya serta sudut pandang dari masing-masing peneliti. Keadaan tersebut

melahirkan banyak variasi hasil penelitian tentang komunikasi partisipatif pada

program pembangunan. Peneliti menyimpulkan dari berbagai variasi hasil

penelitian terdahulu bahwa komunikasi partisipatif merupakan komunikasi dua

arah yang dilakukan dengan menggunakan dialog untuk menampung aspirasi dan

merefleksikannya dalam tindakan nyata. Kegiatan tersebut difasilitasi oleh

komunikator pembangunan dalam wadah kelompok, tetapi dalam penelitian

terdahulu belum ada yang menjadikan kelompok sebagai responden. Peneliti

melihat bahwa komunikasi partisipatif yang terjadi yaitu dialog, aspirasi dan

refleksi-aksi merupakan proses komunikasi yang terjadi dalam kelompok dan sulit

untuk melihat proses komunikasi tersebut bila hanya melihat dari persepsi

masing-masing anggota kelompok. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini

menggunakan kelompok sebagai responden untuk melihat proses komunikasi

partisipatif (dialog, voice dan refleksi-aksi) secara utuh. Kelompok sadar wisata

yang ada di Nglanggeran dan kelompok dalan penelitian terdahulu bersumber dari

program yang berbeda-beda, sehingga karakteristik masing-masing kelompokpun

berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka karakteristik kelompok perlu dianalisis

dalam hubungannya dengan komunikasi partisipatif yang berjalan.

Kerangka Penelitian

Komunikasi partisipatif adalah bentuk komunikasi pada suatu kegiatan

yang berdasar kepada keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan

pelaksanaanya. Tahapan komunikasi partisipatif diawali dengan penggalian ide,

perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pengawasan. Komunikasi

partisipatif oleh kelompok sadar wisata dipengaruhi oleh karakteristik individu,

kredibilitas fasilitator, dan dukungan kelembagaan. Karakteristik individu

merupakan ciri-ciri yang melekat pada seseorang terdiri dari umur, pendidikan,

pekerjaan, dan motivasi. Kredibilitas fasilitator merupakan suatu tingkat

kepercayaan sampai sejauh mana fasilitator dapat dipercaya oleh responden.

Tingkat kepercayaan ini penting karena pada umumnya orang lebih dulu melihat

siapa yang membawa pesan sebelum akhirnya dapat menerima pesan yang akan

disampaikan. Kredibilitas fasilitator terdiri dari kejujuran, keahlian, daya tarik,

dan keakraban.

Dukungan kelembagaan merupakan suatu upaya memenuhi kebutuhan

yang diberikan oleh pihak yang berhubungan langsung terhadap kegiatan

komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata. Dukungan kelembagaan ini

meliputi modal, sarana, dan prasarana.

Komunikasi partisipatif dilaksanakan oleh kelompok sadar wisata

(Pokdarwis). Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) terdiri dari Karang Taruna

Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, kelompok tani, ibu-ibu PKK, dan pemilik

rumah singgah, memiliki tujuan yang sama dalam pengelolaan wisata Gunung

Api Purba Nglanggeran. Komunikasi partisipatif memiliki prinsip yaitu adanya

sebuah dialog, aspirasi, serta aksi dan refleksi dari suatu kegiatan. Dialog

merupakan bentuk proses komunikasi yang terjadi antara partisipan sebagai

pelaku kegiatan dalam sebuah program dengan ciri memberikan hak yang sama

dalam memberikan suara dalam pertemuan tersebut, saling menghormati dan

menghargai pendapat dalam sebuah forum kegiatan. Aspirasi adalah ide-ide

masyarakat yang tergali serta kehendak masyarakat yang diangkat dalam ruang

pertemuan. Aksi dan refleksi adalah bentuk kegiatan yang dilakukan yang

merupakan aksi komunikatif yang dilakukan pada program sehingga memiliki

komitmen yang sama dalam pelaksanaannya.

Proses komunikasi partisipatif oleh kelompok sadar wisata diduga

menentukan keberhasilan dalam upaya pengelolaan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran. Upaya pengelolaanya adalah prinsip ramah lingkungan (alam dan

budaya), ramah masyarakat, dan ramah wisatawan. Pendekatan komunikasi

partisipatif dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan,

diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat untuk

mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera. Kerangka berpikir

penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata

dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,

Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(Y1) Komunikasi Partisipatif

Kelompok Sadar Wisata

Y1.1. Dialog

Y1.2. Aspirasi

Y1.3. Aksi dan refleksi

(X1) Karakteristik

Individu

X1.1. Umur

X1.2.Tingkat

Pendidikan

X1.3. Motivasi

(Y2) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran

Y2.1. Prinsip ramah lingkungan (alam dan budaya )

Y2.2. Tingkat keramahan masyarakat

Y2.3. Tingkat keramahan wisatawan

(X2) Kredibilitas

Fasilitator

X2.1. Tingkat Kejujuran

X2.2. Tingkat Keahlian

X2.3. Daya Tarik

X2.4. Keakraban

(X3) Dukungan

Kelembagaan

X3.1. Modal

X3.2. Sarana

X3.3. Prasarana

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka disusun

hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

(1) : Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu, kredibilitas

fasilitator, dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif

kelompok sadar wisata.

(2) : Terdapat hubungan nyata antara komunikasi partisipatif kelompok sadar

wisata dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Pendekatan kuantitatif didesain menggunakan deskriptif yang bertujuan untuk

merangkum berbagai kondisi situasi ataupun berbagai variabel yang timbul di

tempat penelitian. Jenis penelitian deskriptif bersifat korelasional yaitu

menjelaskan dan mempelajari hubungan dua variabel atau lebih yang dinyatakan

dengan derajat hubungan variabel dalam satu indeks yang dinamakan koefisien

korelasi (Sugiyono 2011). Pendekatan kualitatif digunakan untuk menangkap dan

mendeskripsikan realita di lapangan yang bisa melengkapi data dari pendekatan

kuantitatif.

Penelitian ini mempunyai tujuan menganalisis dan mendeskripsikan

hubungan antara variabel penelitian. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari

variabel terikat dan variabel bebas. Variabel terikat adalah komunikasi partisipatif

dalam pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, sedangkan variabel

bebas terdiri dari karakteristik individu, kredibilitas fasilitator, dan dukungan

kelembagaan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,

Desa Nglanggeran, Provinsi DI Yogyakarta mulai Desember – Januari 2016.

Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi

penelitian tersebut merupakan tempat wisata yang berdiri atas aspirasi dan usaha

dari kelompok sadar wisata Desa Nglanggeran. Disamping itu wisata Gunung Api

Nglanggeran merupakan wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta dan

banyak dikunjungi wisatawan karena keunikannya. Aspirasi dan partisipasi

masyarakat di Desa Nglanggeran dalam mengelola tempat wisata menjadi hal

yang menarik untuk diteliti khususnya dalam aspek komunikasi partisipatif.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh warga yang aktif tergabung

dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran. Pengambilan

data dilakukan dengan cara Purposive sampling. Teknik Purposive sampling

merupakan proses pengambilan sampel dengan menentukan kriteria tertentu

berdasarkan tujuan – tujuan dilakukan penelitian asalkan tidak menyimpang dari

ciri – ciri sampel yang ditetapkan. Kriteria yang ditentukan antara lain: tingkat

keaktifan anggota berdasarkan persentase kehadiran dalam setiap kegiatan.

Jumlah responden yang diambil sebagai sampel ditentukan berdasarkan rumus

Slovin dengan tingkat kesalahan 5% diperoleh perhitungan sebagai berikut:

n : Jumlah sampel

N: Jumlah Populasi

e : Batas Toleransi Kesalahan

2)05,0(761

76

n = 63,8655 = 64 orang

Dari anggota Pokdarwis sebanyak 76 orang yang berada di Desa

Nglanggeran, didapatkan sampel penelitian minimal sebanyak 64 orang yang

dapat dijadikan responden.

Penelitian ini diperkuat dengan data kualitatif yang diambil dari informan,

informan terdiri dari tokoh desa, dan masyarakat sekitar yang tidak termasuk

kedalam kelompok sadar wisata namun memiliki pengetahuan yang cukup

informatif dalam memberikan data.

Data dan Instrumen Penelitian

Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden. Data

primer dalam penelitian ini meliputi :

(1) Karakteristik individu yang terdiri dari umur, pendidikan, pekerjaan, dan

motivasi.

(2) Kredibilitas fasilitator terdiri dari tingkat kejujuran, tingkat keahlian,

daya tarik, keakraban.

(3) Dukungan kelembagaan terdiri dari modal, sarana dan prasarana.

(4) Komunikasi partisipatif kelompok sadar wisata terdiri dari dialog,

aspirasi, aksi dan refleksi.

(5) Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran terdiri dari prinsip

ramah lingkungan (alam dan budaya), ramah masyarakat, ramah

wisatawan.

Selain dari data kuisioner, juga data sekunder dalam penelitian ini diperoleh

dari literatur dan dokumen-dokumen yang telah diarsipkan dan berhubungan

dengan penelitian seperti profil Pokdarwis, dan profil Desa.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

menggunakan metode :

(1) Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi melalui

berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah, surat kabar dan

sumber bacaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

(2) Studi lapangan yang terdiri dari :

a) Wawancara yaitu mengadakan tanya jawab dengan masyarakat

setempat dan kelompok sadar wisata sebagai pengelola yang

berhubungan dengan penelitian ini

b) Oberservasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung pada

subyek penelitian untuk menguji kebenaran jawaban responden pada

kuesioner

c) Dokumentasi yaitu mengadakan penelitian terhadap data-data yang

telah didokumentasikan

Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini

seperti ditunjukan pada Tabel 1-5.

Tabel 1. Karakteristik individu (X1)

Tabel 2. Kredibilitas Fasilitator (X2)

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Umur Usia responden hidup pada waktu penelitian

dilaksanakan, yang

diukur dalam satuan tahun dengan

pembulatan ke ulang

tahun terdekat

1. Diukur berdasarkan lama hidup responden sejak

dilahirkan hingga penelitan

berlangsung

1. Muda ( 15 – 25 ) 2. Dewasa ( 26 – 45 )

3. Tua ( 46 - 60 )

2. Tingkat

Pendidikan

Tingkatan responden

dalam menempuh

sekolah dari awal hingga penelitian

berlangsung

1. Diukur berdasarkan

tingkatan pendidikan formal

dari jenjang awal sampai jenjang pendidikan terakhir

1. Rendah ( Tidak Sekolah )

2. Sedang ( SD – SMP )

3. Tinggi ( SMA – Sarjana)

3. Motivasi Dorongan yang timbul

dari diri responden untuk aktif mengikuti

kelompok sadar wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat

kekuatan keinginan bergabung dalam kelompok

sadar wisata

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Kejujuran Tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh

fasilitator

1. Diukur berdasarkan kemampuan fasilitator

dalam berbicara apa adanya,

keterbukaan informasi, memegang amanah

1. Rendah 2. Sedang

3. Tinggi

2. Keahlian Kemampuan yang

dimiliki oleh fasilitator baik dari pengetahuan,

keterampilan, dan

pengalaman dalam bidang pengelolaan

wisata

1. Penilaian responden yang

memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai

tentang desa wisata

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

3. Daya Tarik Kemampuan sifat dan

karakter fasilitator yang diminati oleh responden

mencakup kemampuan

intelektual, kepribadian, gaya hidup dan lainnya

1. Diukur berdasarkan tingkat

minat responden terhadap fasilitator

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

4. Keakraban Kemampuan fasilitator

dalam bersosialisasi dengan responden

1. Diukur berdasarkan tingkat

kedekatan fasilitator dengan responden dalam

berinteraksi

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

Tabel 3. Dukungan Kelembagaan (X3)

Tabel 4. Komunikasi Partisipatif Kelompok Sadar Wisata (Y1)

Tabel 5. Pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran (Y2)

Validitas Instrumentasi

Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai

dengan tujuan penelitian. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh validitas

instrumen yang baik dilakukan dengan konsultasi dengan ahli yang menguasai materi

pertanyaan yang ditanyakan, dan pertanyaan diuji coba dengan peserta yang memiliki

karakteristik yang sama pada daerah lain yang akan diambil sampel. Suatu instrumen

dikatakan layak untuk digunakan dalam pengukuran apabila telah memenuhi syarat

dalam validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan). Untuk keperluan uji

validitas dan reliabilitas dilakukan uji coba terhadap Kelompok Karang Taruna di

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Modal Dana yang menjadi awalan dalam

membetuk kelompok

sadar wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat kecukupan dana dalam

mendukung berlangsungnya

kegiatan wisata

1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi

3. Sangat Tercukupi

2. Sarana Segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai

alat dalam mencapai

maksud atau tujuan.

1. Diukur berdasarkan ketersediaan alat

1. Tidak Tercukupi 2. Tercukupi

3. Sangat Tercukupi

3. Prasarana Segala sesuatu yang

merupakan penunjang

utama terselenggaranya suatu proses.

1. Diukur berdasarkan akses

pendukung di Desa Wisata 1. Tidak Tercukupi

2. Tercukupi

3. Sangat Tercukupi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Dialog Keaktifan responden

dalam bertukar pendapat untuk

merefleksikan masalah

dan kebutuhan di Desa wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat

keaktifan responden untuk berpendapat dalam setiap

pertemuan kelompok

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

2. Aspirasi Kemampuan anggota

dalam menyampaikan

ide maupun pendapat dalam setiap pertemuan

dan kegiatan

1. Diukur berdasarkan tingkat

keaktifan responden dalam

mengungkapkan ide pendapat

1. Rendah

2. Sedang

3. Tinggi

3. Aksi dan refleksi Kemampuan responden dalam bekerjasama dan

melakukan tindakan

kolektif lainnya

2. Diukur berdasarkan tingkat keaktifan anggota dalam

bentuk tindakan kolektif

(gotong royong, kerja bakti, pertemuan kelompok)

1. Rendah 2. Sedang

3. Tinggi

No. Indikator Definisi Operasional Parameter Indikator

1. Prinsip ramah

lingkungan ( alam dan budaya )

Kesadaran anggota

dalam menerapkan rasa cinta kepada lokasi desa

wisata

1. Diukur berdasarkan tingkat

rasa mencintai lingkungan

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

2. Tingkat

keramahan masyarakat

Penerimaan masyarakat

dalam bersosialisasi antara sesama

penduduk

1. Tingkat penerimaan

responden dalam menciptakan kerukunan antar masyarakat

desa

1. Rendah

2. Sedang 3. Tinggi

3. Tingkat keramahan

wisatawan

Penerimaan masyarakat dalam bersosialisasi

dengan pengunjung

wisata

1. Tingkat penerimaan responden dalam menciptakan

kenyamanan pengunjung

1. Rendah 2. Sedang

3. Tinggi

desa wisata Goa Pindul Gunung Kidul Yogyakarta. Kelompok tersebut dipilih

berdasarkan kemiripan karakteristik dengan desa wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran. Responden yang dilakukan uji coba terdiri dari 10 responden. Dalam

penelitian ini, uji validitas yang digunakan adalah korelasi produk momen (product

moment correlation).

Reliabilitas Instrumentasi

Reliabilitas menunjukkan kepercayaan suatu alat pengumpul data karena

instrumen tersebut sudah baik (Arikunto 2005). Reliabilitas (keterandalan) instrumen

dilakukan dengan cara uji kuesioner. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat

keterandalan instrumen kuesioner dengan cara mengoptimalkan keragaman kesalahan

dengan mengungkapkan pertanyaan secara tepat, memberikan pertanyaan pendukung

dengan satu pertanyaan yang sama dan mutunya, serta memberikan petunjuk

pengisisan kuesioner secara tepat dan jelas. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur

yang maksimal maka akan dilakukan penyempurnaan instrumen melalui pengujian

dengan menggunakan rumus Cronbach Alpha (Riduan 2004) sebagai berikut :

))(1(

)1)((11

Stk

Sikr

keterangan :

r11 = nilai reliabillitas

k = jumlah item

Ʃsi = jumlah varian skors

St = Varian total

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS versi 21

terhadap seluruh instrumen terhadap 64 responden mendapatkan angka 0,574 seperti

yang tersaji pada Tabel 1. Artinya alat ukur yang digunakan untuk mengambil data di

lapangan adalah cukup reliabel. Kuesioner yang diberikan kepada 64 responden

berisikan semua pertanyaan yang diharapkan dapat mendapatkan dan menggali

informasi dari responden sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan. Setelah

mengadakan uji validitas terhadap masing-masing pertanyaan dalam kuesioner,

hasilnya adalah valid. Pengujian reliabilitas dengan menggunakan uji Cronbach

Alpha untuk menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak, yakni dengan

skala 0 sampai dengan 1. Interpretasi reliabilitas instrumen adalah sebagai berikut :

(1). Nilai alpha Cronbach 0,00 – 0,20 = kurang reliabel/diabaikan

(2). Nilai alpha Cronbach 0,21 – 0,40 = agak reliabel

(3). Nilai alpha Cronbach 0,41 – 0,60 = cukup reliabel

(4). Nilai alpha Cronbach 0,61 – 0,80 = reliabel

(5). Nilai alpha Cronbach 0,81 – 1,00 = sangat reliabel (Arikunto 2005)

Dari nilai Tabel 1 terlihat bahwa nilai Cronbach Alpha dari semua peubah lebih besar

dari 0,5 Ini berarti bahwa semua peubah yang digunakan pada kuesioner cukup

reliabel.

Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan inferensial.

Analisis statistik deskriptif menggunakan frekuensi dan persentase untuk

menganalisis deskripsi dari variabel karakteristik individu, kredibilitas fasilitator,

dukungan kelembagaan, komunikasi partisipatif, dan pengelolaan wisata Gunung

Api Purba Nglanggeran. Analisis inferensial yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis korelasi rank Spearman. Korelasi rank Spearman digunakan untuk

menganalisis hubungan antar variabel yang memiliki data ordinal dengan ordinal.

Rumus koefisien rank Spearman adalah sebagai berikut:

)1(

61

2

2

NN

drho

Keterangan:

Rs (rho) : Koefisien korelasi rank Spearman

1 : Bilangan konstan

6 : Bilangan konstan

d :Perbedaan antara pasangan jenjang

Σ : Sigma atau jumlah

N : Jumlah individu dalam sampel

Analisis kualitatif dilakukan sejak dari pengumpulan data di lapangan,

berupa observasi dan wawancara mendalam. Analisis data yang dilakukan

meliputi mereduksi data, meyajikan data dan membuat kesimpulan. Proses

mereduksi data dimulai dengan memilih dan menyederhanakan data dengan

merangkum data yang penting sesuai dengan fokus penelitian maupun yang

menguatkan data kuantitatif. Langkah selanjutnya, data yang telah direduksi dan

dipilih berdasarkan kategorinya disajikan dalam bentuk kalimat kutipan maupun

kalimat yang tertera dalam interpretasi data kuantitatif. Data kualitatif di sini

berfungsi untuk menguatkan data dan memberikan penjelasan lebih mendalam

pada data kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7o 46’- 8o 09’ Lintang

Selatan dan 110o 21’ - 110o 50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten

Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Kabupaten

Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Indonesia di sebelah selatan

dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di sebelah barat. Luas

wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km2 yang meliputi 18

kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan

terluas dengan luas sekitar 108,39 Km2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten

Gunungkidul.

Kabupaten Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa, yaitu

Kecamatan Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Tepus, Tanjungsari,

Rongkop, Girisubo, Semanu, Ponjong, Karangmojo, Wonosari, Playen, Patuk,

Gedangsari, Nglipar, Ngawen dan Semin. Dari 144 desa, 16 desa masuk

klasifikasi Swasembada dan 128 desa masih Swadaya. Jumlah penduduk

Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 berdasarkan hasil Estimasi Sensus Penduduk

2010, berjumlah 698.825 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa,

dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 81.493

jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada

penduduk laki-laki, yang tercermin dari angka rasio jenis kelamin 93,63.

Penduduk Usia Kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur 15 tahun ke

atas. Penduduk Usia Kerja terdiri dari Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan

Kerja. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja adalah penduduk yang

bekerja atau yang sedang mencari pekerjaan, sedangkan Bukan Angkatan Kerja

adalah mereka yang bersekolah, mengurus rumahtangga atau melakukan kegiatan

lainnya. Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten

Gunungkidul bekerja sebagai pekerja keluarga sekitar 28,14 persen dari jumlah

penduduk yang bekerja, sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap

masih sangat sedikit yaitu hanya sekitar 2,05 persen. Berdasarkan data Dinas

Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gunungkidul, jumlah pencari

kerja pendaftar baru di Kabupaten Gunungkidul tahun 2014 sebanyak 2.219 orang

atau mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni hampir mencapai 44

persen bila dibandingkan dengan tahun 2013.

Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di kawasan Baturagung di bagian

utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara 200-700 mdpl, tepatnya

di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk dengan luas 72,04 km2 yang memiliki

jarak tempuh 22 km dari kota Wonosari. Wilayah Desa Nglanggeran memiliki

luas 762,0990 ha dengan tata guna lahan sebagian besar digunakan untuk lahan

pertanian, perkebunan, ladang dan pekarangan. Pola pemilikan tanah tersebut

didominasi oleh tanah kas desa. Kawasan ini merupakan kawasan yang litologinya

disusun oleh material vulkanik tua dan bentang alamnya memiliki keindahan dan

secara geologi sangat unik dan bernilai ilmiah tinggi. Memiliki geografis lereng

dan kemiringan lahan curam (BPS 2015). Jarak Desa Nglanggeran dari ibukota

kecamatan adalah 4 km, 20 km dari ibukota kabupaten dan berjarak 25 km dari

ibukota propinsi.

Batas administratif Nglanggeran adalah:

1. Sebelah Utara : Desa Ngoro – oro

2. Sebelah Timur : Desa Nglegi

3. Sebelah Selatan : Desa Putat

4. Sebelah Barat : Desa Salam

Desa Nglanggeran terdiri dari 5 dusun/pedukuhan yaitu Dusun Karangsari,

Dusun Doga, Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan dan Dusun

Gunungbutak. Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Doga.

Terdapat potensi pariwisata di Desa Nglanggeran yaitu adanya Gunung

Nglanggeran dan kini lebih dikenal dengan sebutan Gunung Api Purba. Secara

fisiografi Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di Zona Pegunungan Selatan

Jawa Tengah-Jawa Timur (Van Bemmelen 1949) atau tepatnya di Sub Zona

Pegunungan Baturagung (Baturagung Range) dengan ketinggian 700 meter dari

permukaan laut dan kemiringan lerengnya curam-terjal (>45%). Gunung

Nglanggeran berdasarkan sejarah geologinya merupakan gunung api purba yang

berumur tersier (Oligo- Miosen) atau 0,6 – 70 juta tahun yang lalu. Material

batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis

andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuan yang ditemukan di Gunung

Nglanggeran antara lain breksi andesit, tufa dan lava bantal. Singkapan batuan

vulkanik klastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat

ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung

tersebut menjadi lokasi tipe (type location) dan diberi nama Formasi Geologi

Nglanggeran.

Beberapa bukti lapangan yang menunjukkan bahwa dahulu pernah ada

aktivitas vulkanis adalah banyaknya batuan sedimen vulkank klastik seperti

batuan breksi andesit, tufa dan adanya aliran lava andesit di Gunung

Nglanggeran. Bentuk kawah Gunung Api Purba Nglanggeran dapat ditemukan di

puncak Gunung Nglanggeran.

Selain potensi gunung api purbanya, di Kawasan Gunung Api Purba

Nglanggeran juga dijumpai fauna dan flora langka, seperti tanaman tremas

(tanaman obat yang hanya hidup dikawasan ekowisata Gunung Api Purba), kera

ekor panjang serta di sekitar Gunung Api Purba berkembang kegiatan seni dan

budaya lokal seperti bersih desa dll. Dengan adanya potensi tersebut di Desa

Nglanggeran juga pengembangan desa wisata.

Kelompok Sadar Wisata

Ada beberapa peranan yang dilakukan oleh fasilitator dalam pemberdayaan

masyarakat. Pada suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan

sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari

satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda, oleh karena itu tampak jelas

peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”.

(Nasdian 2003). Pokdarwis Nglanggeran merupakan organisasi pengelola dan

juga sebagai fasilitator program Pemerintah. Cikal bakal berdiri berasal dari

Karang Taruna Bukit Putra Mandiri pada tahun 1999 di Desa Nglanggeran, Patuk,

Gunungkidul yang mulai merintis kawasan wisata. Terjadi regenerasi Karang

Taruna pada tahun 2006 setelah gempa dan lebih aktif dalam pengembangan

kegiatan kepariwisataan. Terjadi perkembangan signifikan, sehingga perlu adanya

wadah khusus, dan akhirnya pada tahun 2007 bermunculan ide kreatif para

pemuda Desa Nglanggeran yang mulai membenahi dan menata kawasan

ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran secara swadaya dengan membangun

jalur pendakian, fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus), serta gubuk-gubuk

peristirahatan pendakian. Upaya mengembangkan kawasan tersebut mereka

membuat wadah yang bernama Pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdiri

dari unsur Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, Pemerintah Desa, tokoh

masyarakat, kelompok tani, ibu-ibu PKK, maupun pemilik homestay, pedagang,

dan unsur pemuda sebagai motor penggeraknya. Kegiatan yang dilakukan

meliputi kegiatan-kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi produktif, pariwisata dan

seni budaya, lingkungan hidup, kepemudaan, humas dan kemitraan yang ada di

Desa Nglanggeran. Pokdarwis memiliki visi menjadi desa wisata unggulan

dengan kawasan ekowisata berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat.

Misi dari Pokdarwis adalah melindungi lingkungan di kawasan ekowisata Gunung

Api Purba, baik kebudayaan, flora, fauna, dan juga keunikan batuannya.

Melibatkan masyarakat sebagai pelaku dan pengelola desa wisata dan kawasan

ekowisata, meningkatkan lama tinggal wisatawan di Kabupaten Gunungkidul, dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pokdarwis merupakan fasilitator program pemerintah dan selalu melibatkan

masyarakat sebagai pelaku kegiatan pariwisata, kelompok tani sebagai

narasumber pelatihan pertanian, kelompok PKK sebagai penyedia kuliner dan

paket belajar olahan kuliner, kelompok homestay sebagai penyedia penginapan,

kelompok kesenian sebagai penyambut tamu dan paket belajar kesenian, pemuda

sebagai pemandu wisata dan pengelola desa wisata bersama Pokdarwis, dan

kegiatan masyarakat ini didukung dengan baik oleh pemerintah desa dan dinas-

dinas terkait.

Pokdarwis merupakan pengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran,

mereka membuat konsep pengembangan menjadi dua yaitu Desa Wisata

Nglanggeran dan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba, dan hingga kini mereka

yang secara langsung ikut mengelola kawasan ini sekitar 99 orang, dengan jumlah

homestay sekitar 79 buah dan sebagai tim inti berkisar 14 orang. Pada kawasan ini

terdapat dua daya tarik unggulan yaitu Gunung Api Purba dan Embung Kebun

Buah Nglanggeran. Ada tiga dusun inti (pendukung utama) yang terdekat dengan

keberadaan Gunung Api Purba, yakni Nglanggeran Wetan, Nglanggeran Kulon,

dan Gunung Butak.

Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki daya tarik wisata seperti:

(1) Daya Tarik Alam yang terdiri dari Gunung Api Purba dan panorama alam

yang indah serta area pertanian dan persawahan di Desa Nglanggeran.

Adanya Kawasan Embung (waduk mini) diatas bukit seluas 0,34 Ha untuk

pengairan kebun buah seluas 20 Ha dengan pemandangan yang sangat

indah.

(2) Daya Tarik Budaya seperti upacara adat kirab budaya rasulan, atraksi

kesenian jathilan, dan upacara adat masyarakat. Acara tersebut diadakan

rutin sehingga dapat juga menambah keakraban masyarakat. Kehidupan

masyarakat desa dengan aktivitas gotong royong dan ramah, budaya

kenduri, karawitan serta beberapa adat lokal yang masih terjaga.

(3) Daya Tarik Kerajinan seperti kerajinan kayu berupa topeng dan gelang.

Kerajinan tersebut dapat disaksikan langsung proses pembuatannya oleh

wisatawan, dan sekaligus wisatawan dapat belajar untuk membuatnya.

Adanya paket belajar membuat kerajinan yaitu batik topeng. Paket belajar

banyak diminati oleh wisatawan asing, dan wisatawan lokal seperti pelajar.

(4) Daya Tarik Kuliner makanan khas dodol kakao dan Brownis Singkong.

Adanya workshop pengolahan bagi wisatawan yang digunakan sebagai

paket pendidikan pembuatan dodol kakao dan brownis singkong.

(5) Daya Tarik Buatan seperti wahana permainan outbond, flying fox,

Embung (waduk mini), paket pendidikan alam (bertani, budidaya kakao,

paket cinta lingkungan).

Karakteristik Individu Pokdarwis

Individu yang terpilih menjadi sampel penelitian adalah seluruh warga yang

tergabung dalam kelompok sadar wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Karakteristik individu sampel penelitian yang diamati meliputi umur,tingkat

pendidikan, dan motivasi. Umur merupakan usia responden hidup pada saat

penelitian dilaksanakan, yang diukur dalam satuan tahun dengan pembulatan ke

ulang tahun terdekat. Umur responden pada penelitian ini memiliki kisaran dibagi

menjadi tiga kategori yaitu muda 15-25 tahun, dewasa 26-45 tahun, dan tua 46-60

tahun. Pada Tabel 6 tersebut dapat dilihat bahwa kategori muda memiliki 20,3

persen, kategori dewasa 45,3 persen, dan tua 34,4 persen. Rusli (1995)

menyatakan bahwa usia produktif berkisar antara 15-65 tahun, maka 99 persen

responden tergolong produktif. Hal ini berarti individu yang berada pada umur

produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi, sehingga

diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan. Dari Tabel tersebut

kategori dewasa memiliki jumlah terbanyak sebesar 45,3 persen dan termasuk

dalam umur produktif dalam bekerja, sehingga diharapkan bahwa Pokdarwis

dapat aktif dalam mengelola wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Peran golongan dewasa seperti ibu-ibu PKK untuk ikut serta terlibat dalam

kenyataan di lapangan sangat penting terutama untuk penyedia kuliner, paket

belajar cara membuat olahan kuliner,dan penyedia penginapan bagi turis. Wanita

di wisata Gunung Api Purba Nglanggeran mampu menjadi bagian penting dari

pengelolaan, tidak seperti dulu yang hanya berdiam di rumah dan tidak memiliki

penghasilan, tapi kini dengan mereka terlibat dalam Pokdarwis dapat menambah

penghasilan bagi keluarga. Hal tersebut diungkapkan oleh responden ibu S 40

tahun sebagai berikut:

” Turis di sini sangat suka keaslian wisatanya mas, mereka justru

menikmati jadi bagian orang desa sini apa adanya. Saya masakin aja

makanan apa adanya seperti apa yang biasa saya masak dan ternyata

mereka suka, tapi saya gak masak yang pedas soalnya takut mereka

gak terbiasa perutnya. Biasanya saya buatkan sayur lodeh, singkong

rebus, tempe goreng, dan kacang rebus “

Tingkat Pendidikan Menurut Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1

ayat 1 menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tingkat

pendidikan adalah tingkatan responden dalam menempuh sekolah dari awal

hingga penelitian berlangsung. Penelitian ini membagi tiga kategori yaitu rendah

(tidak sekolah), sedang (SD-SMP), dan tinggi (SMA-Sarjana). Dari Tabel 6 dapat

dilihat bahwa terdapat 1,6 persen pendidikan rendah, 42,2 persen pendidikan

sedang, dan 56,2 persen kategori tinggi. Adanya 1,6 persen berpendidikan rendah

berasal dari responden yang memiliki umur tua dan memang tidak sekolah sejak

muda. Pengertian pendidikan menurut Hasbullah (2006) menyatakan bahwa

pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina

kepribadiannya sesuai nilai-nilai kebudayaan dan masyarakat. Lebih lanjut

Hasbullah (2006) menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dijalankan

oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai

tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.Tingkat

pendidikan semakin tinggi akan membuat seseorang semakin memiliki banyak

pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha

untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan dapat

membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan cara berpikir ilmiah sehingga

diharapkan petani dapat melakukan proses belajar mengambil keputusan. Tingkat

pendidikan tinggi sebesar 56,2 persen membuat Pokdarwis mampu menerima

informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin tinggi, dan

diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera.

Motivasi merupakan dorongan yang timbul dari diri responden untuk aktif

mengikuti kelompok sadar wisata. Motivasi dikategorikan menjadi 3 yaitu lemah,

sedang, dan kuat. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa sejumlah 17,2 persen

mempunyai motivasi rendah, 34,4 persen sedang, dan 48,4 persen tinggi.

Sebagian besar Pokdarwis memiliki motivasi yang tinggi yaitu 48,4 persen

disebabkan rasa kebersamaan yang tinggi untuk memajukan pengelolaan

Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi juga menunjang keaktifan anggota dalam

setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis memiliki motivasi awal bersama

yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda Karang Taruna Bukit Putra Mandiri.

Menurut narasumber S umur 36 tahun mengungkapkan bahwa:

“ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain

mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena

pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di

kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa

lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikit-

sedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian,

mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk

berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar

lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi

fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk

promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika

kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka

cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang

kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu

yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak

dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran”

Tabel 6 . Jumlah dan persentase karakteristik individu Pokdarwis Karakteristik kelompok Jumlah Responden Persentase (%)

Umur

Muda ( 15 – 25 ) 13 20,3

Dewasa ( 26 – 45 ) 29 45,3

Tua ( 46 - 60 ) 22 34,4

Jumlah 64 100

Tingkat Pendidikan

Rendah ( Tidak Sekolah ) 1 1,6

Sedang ( SD – SMP ) 27 42,2

Tinggi ( SMA – Sarjana) 36 56,2

Jumlah 64 100

Motivasi

Rendah 11 17,2

Sedang 22 34,4

Tinggi 31 48,4

Jumlah 64 100

Kredibilitas Fasilitator

Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat

dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan

mempengaruhi keberhasilan Pokdarwis untuk menjalankan program-program

pengelolaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat

variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Deskripsi mengenai

kredibilitas fasilitator dapat dilihat pada Tabel 7.

Kejujuran adalah tingkat kepercayaan terhadap niat fasilitator dalam

mengkomunikasikan penilaian yang dianggapnya paling benar. Menurut Belch

dan Belch (2001) jika audiens merasa sumber bias atau memiliki kepentingan

pribadi atau uang ketika menyampaikan suatu produk atau institusi, maka ia

menjadi kurang persuasi dibanding orang yang dianggap tidak memiliki motif

pribadi apapun. Berdasarkan hasil Tabel 7, maka diketahui bahwa kejujuran

sedang sebesar 54.7 persen dan kejujuran tinggi sebesar 45.3 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa peran fasilitator dalam menyampaikan informasi, dan

amanah sesuai dengan program dan pelaksanaannya dilakukan secara terbuka

sehingga anggota Pokdarwis akan lebih banyak mendapatkan informasi dan

semakin kuat rasa percaya dengan fasilitator.

Tabel 7. Jumlah dan persentase kredibilitas fasilitator Pokdarwis Kredibilitas Fasilitator Jumlah Responden Persentase

Kejujuran

Rendah 0 0

Sedang 35 54,7

Tinggi 29 45,3

Jumlah 64 100

Keahlian

Rendah 0 0

Sedang 19 29,7

Tinggi 45 70,3

Jumlah 64 100

Daya Tarik

Rendah 0 0

Sedang 17 26,6

Tinggi 47 73,4

Jumlah 64 100

Keakraban

Rendah 0 0

Sedang 21 32,8

Tinggi 43 67,2

Jumlah 64 100

Seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman

disebut sebagai orang yang memiliki keahlian. Menurut Belch dan Belch (2001),

keahlian adalah tingkatan dimana seorang fasilitator dipersepsikan sebagai orang

yang dapat memberikan penilaian yang benar dan tegas. Dapat dilihat dari Tabel

7, keahlian tinggi sebesar 70.3 persen dan sedang 29.7 persen. Menurut responden

fasilitator sangat mengetahui banyak tentang seluk-beluk wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang baik

antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga

mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu

menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Daya tarik bukan dilihat dari kecantikan fisik saja melainkan juga berbagai

sifat dan karakter yang dimiliki oleh fasilitator, misalnya kemampuan intelektual,

kepribadian, gaya hidup dan sebagainya. Seorang fasilitator memiliki nilai tambah

berupa kekaguman dari banyak orang. Penampilan seseorang dalam

berkomunikasi akan mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Dalam

kaitan dengan kredibilitas sumber pesan, pengaruh penampilan terutama pada

kontak pertama antara sumber dan penerima pesan. Daya tarik fasilitator akan

berpengaruh pada keberhasilan penyampaian program kepada anggota Pokdarwis.

Sebagian besar fasilitator mempunyai daya tarik tinggi yaitu sebesar 73.4 persen

dan sedang 26.6persen. Narasumber S umur 36 tahun menyatakan:

“ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak

muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos

yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat

diri dengan baik. Ketika kami ajak untuk bergabung di Karang

Taruna Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya

menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik

dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan

menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk

selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya

hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga

semakin berkesan dengan Pokdarwis”

Keakraban merupakan kemampuan fasilitator dalam bersosialisasi dengan

responden. Keakraban fasilitator dengan responden dengan tingkat yang tinggi

sebesar 67.2 persen dan tingkatan sedang sebesar 32.8 persen. Keakraban yang

tinggi disebabkan karena memang fasilitator berasal dari masyarakat lokal

setempat yang sudah saling mengenal. Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak

berbicara untuk saling berbagi cerita ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan

gotong-royong masyarakat desa.

Pokdarwis sebagai fasilitator yang memiliki kredibilitas baik dibuktikan

dengan mendapat berbagai penghargaan seperti:

(1) Piagam Karang Taruna Bukit Putra Mandiri yang didapat dari Gubernur

DIY sebagai juara pertama penyelamat lingkungan dalam rangka seleksi

Kalpataru 2009. Dari Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan

(KAPEDAL) sebagai juara pertama lomba lingkungan hidup tingkat

Kabupaten Gunungkidul tahun 2009 kategori penyelamat lingkungan

pada tanggal 21-23 April 2009.

(2) Piagam Dinas Pariwisata DIY mendapat juara harapan II pada acara

lomba Desa Wisata se-Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009. Desa

Nglanggeran sebagai desa Wisata dengan keunikan alam pada lomba

Desa Wisata se-DIY pada Tahun 2009

(3) Piagam Penghargaan dari Bupati Gunungkidul yang menyatakan Karang

Taruna Bukit Putra Mandiri Desa Nglanggeran sebagai juara pertama

pada lomba Penghijauan Swadaya Tingkat Kabupaten Gunungkidul

tahun 2001.

(4) Piagam Penghargaan dari Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta

yang diberikan Kepada Karang Taruna Bukit Putra Mandiri sebagai

juara kedua (II) karang taruna berprestasi tingkat Provinsi DIY Tahun

2009 dan 2012.

(5) Penghargaan dari Blogdetik & Telkom yang diberikan kepada salah satu

pengelola Blog Gunung Api Purba yang menjadi juara II lomba Festival

Blog tahun 2010 tingkat Nasional dengan jumlah peserta 1.026 orang.

(6) Penghargaan dari Kementrian Pemuda dan Olahraga RI yang diberikan

kepada salah satu pemuda pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api

Purba (Sugeng Handoko) menjadi pemuda pelopor bidang senibudaya

dan pariwisata Tahun 2011 tingkat nasional.

(7) Penghargaan dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang

diberikan kepada pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba

sebagai finalis dalam acara Cipta Award 2011 dalam pengelolaan Daya

Tarik WIsata Alam berwawasan Lingkungan Tingkat Nasional.

(8) Penghargaan dari Java Promo yang diberikan kepada Pengelola

Kawasan EKowisata Gunung Api Purba sebagai juara II lomba Desa

Wisata oleh Java Promo.

(9) Penghargaan dari Kementrian BUMN yang diberikan kepada salah satu

kelompok pemuda pengelola wisata sebagai Social Entrepreneur Lomba

Mandiri Bersama Mandiri yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri

Tahun 2012.

(10) Penghargaan dari BKSDA D.I. Yogyakarta yang diberikan kepada salah

satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara I Kader

Konservasi Tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2013

(11) Penghargaan dari Kementrian Kehutanan RI yang diberikan kepada

salah satu anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara harapan

III Kader Konservasi Tingkat Nasional Tahun 2013

(12) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang

diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II

Pokdawis Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2013

(13) Penghargaan dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang

diberikan kepada Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sebagai juara II

Desa Penerima PNPM Pariwisata Berprestasi Tingkat Nasional Tahun

2013

(14) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu

anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai juara II Lomba Menulis

1001 Jejak PNPM Mandiri Tingkat Nasional Tahun 2014

(15) Penghargaan dari Kemenkokesra RI yang diberikan kepada salah satu

anggota Pokdarwis (Sugeng Handoko) sebagai Penghargaan dari

Kemenkokesra sebagai Pelaku PNPM Mandiri Terbaik Tahun 2014

Dukungan Kelembagaan

Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang berhubungan

langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Dukungan

kelembagaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah diharapkan dapat

berperan dalam pengembangan wisata ini. Jumlah dan dukungan kelembagaan

Pokdarwis yang terdiri dari modal, sarana dan prasarana dapat disajikan pada

Tabel 8.

Dukungan kelembagaan dari aspek modal dan sarana menunjukkan

kecenderungan hasil yang sama yaitu masyarakat merasakan cukup dengan

kondisi yang ada namun tentunya tetap ingin melakukan perbaikan dan

pengembangan dikemudian hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Sejumlah

59.4 persen responden merasakan bahwa modal awal untuk pembentukan

Pokdarwis cukup, namun sejumlah 40.6 persen responden menyatakan sangat

cukup. Seiring dengan perkembangan waktu, maka modal juga harus berkembang

karena akan banyak hal yang memerlukan biaya. Permodalan dapat diperoleh

dengan kerjasama dengan pihak lain atau memperluas jejaring termasuk dengan

Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 atau setelah 4 tahun berdiri, Pokdarwis

mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian Pariwisata. Kondisi

sarana telah dirasakan cukup oleh responden sebesar 54.7 persen dan sangat

cukup sebesar 31.2 persen. Saat ini kondisi sarana telah dapat mendukung

kegiatan Pokdarwis, namun diperlukan upaya penambahan sarana lagi untuk

mendukung bertambahnya jumlah pengunjung, sehingga memerlukan fasilitas

data dan informasi yang lebih lengkap lagi termasuk lampu penerangan jalur

pendakian, jaringan internet, kamera keamanan (cctv). Lampu penerangan

diperlukan pada jalur-jalur pendakian karena wisatawan ada yang menyukai untuk

melakukan pendakian pada malam hari. Narasumber S umur 36 tahun

menyatakan:

“ Di sini masih kurang penerangan terutama di jalur pendakian yang

posisinya terjal dan sulit dijangkau, tapi bukan berarti gak ada

wisatawan yang tetap ingin naik ke puncak gunung. Wisatawan ada

yang suka naik ke puncak malam karena bisa melihat keindahan

bintang, dan biasanya mereka berkemah rame-rame semalaman untuk

menanti keindahan matahari terbit dan foto-foto “

Jaringan internet diperlukan untuk mengakses informasi, mempermudah

komunikasi bagi masyarakat Desa Nglanggeran dengan masyarakat daerah lain,

dan bisa juga untuk terus mempromosikan wisata Gunung Api Purba. Narasumber

S umur 36 tahun menyatakan:

“ Penting banget mas internet supaya kita bisa terus belajar mendapat

informasi yang semakin banyak. Biasanya kita menggunakan internet

dengan handphone atau modem, tapi kadang sinyalnya susah dan

lambat. Pengennya sih ada internet gratis yang bisa diakses seluruh

warga Nglanggeran biar pada melek teknologi dan jadi pada pinter “.

Kamera keamanan (cctv) diperlukan untuk sebagai alat pengawasan dan

bukti apabila terjadi tindak kriminal seperti vandalism. Narasumber S umur 36

menyatakan:

” Tindak kriminal di sini biasanya coret-coret batunya mas, dan itu

sangat nyebelin. Pernah suatu saat ada sekelompok anak-anak smp,

mereka rame-rame nyoret tembok batunya sini, ketangkep sama

pengelola dan langsung kita sidang sama warga sini, kita laporkan ke

wartawan juga biar dimuat di koran dan akhirnya mereka kita denda

empat juta rupiah yang tujuannya agar mereka kapok dan juga jadi

pelajaran bagi orang lain yang mau berusaha merusak keindahan

alam sini “.

Permodalan dapat diperoleh dengan kerjasama dengan pihak lain atau

memperluas jejaring termasuk dengan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2011 dan

2012, Pokdarwis mendapatkan bantuan PNPM Pariwisata dari Kementerian

Pariwisata. Adapun program yang dilaksanakan ditahun pertama (tahun 2011)

antara lain : (1) pelatihan pengelolaan home stay, (2) pelatihan penataan

pedagang, (3) pembuatan warung relokasi pedagang, (4) Pembuatan arena flying

fox. Selanjutnya tahap kedua (tahun 2012) digunakan untuk : (1) pelatihan

pemandu outbond (2) pelatihan kuliner (3) pelatihan manajemen obyek daya tarik

wisata (4) pelatihan kesenian tradisional dan pengadaan seragam kesenian (5)

pembuatan MCK taraf wisatawan asing. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden diketahui pula bahwa kondisi prasarana sudah dinyatakan cukup oleh

sebesar 36.0 persen dan lebih banyak responden sebesar 64.0 persen yang

menyatakan sangat cukup. Hal ini sejalan dengan program Pemerintah Daerah

Gunung Kidul yang sedang giat membangun jaringan infrastruktur baik jalan,

jembatan juga saluran air sehingga gunung kidul yang sebelumnya dikenal dengan

daerah tandus, saat ini sudah lebih mudah memperoleh air yang sangat diperlukan

dalam pengembangan wisata terutama untuk toilet dan rumah ibadah (masjid dan

musholla). Mengingat lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran tidak

terlepas dari Pemerintahan Desa Nglanggeran, maka Pokdarwis perlu melakukan

kerjasama dengan Pemerintahan Desa sehingga sesuai dengan amanat Undang-

undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menjelaskan tentang kewenangan

desa yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hal asal

usul, adat istiadat dan nilai-nilai budaya masyarakat. Ini berdampak pada

keleluasaan desa untuk memandirikan desa menjadi lokasi yang berpotensi

sehingga mampu meningkatkan pendapatan desa, mempercepat pembangunan

ekonomi desa dan pemerataan sumber daya manusia. Oleh karena itu, kapasitas

kelembagaan desa harus mampu menciptakan organisasi yang tepat guna untuk

memecahkan masalah pada tingkat lokal dalam hal kelembagaan pengembangan

desa wisata (Iriansyah, 2011). Dalam pengembangannya, lokasi wisata ini dapat

memanfaatkan Dana Desa (DD) dari APBN atau Alokasi Dana Desa (ADD) dari

Kab. Gunung Kidul.

Tabel 8. Jumlah dan persentase dukungan kelembagaan Pokdarwis Dukungan Kelembagaan Jumlah Responden Persentase (%)

Modal

Tidak Cukup 0 0

Cukup 38 59,4

Sangat Cukup 26 40,6

Jumlah 64 100

Sarana

Tidak Cukup 9 14,1

Cukup 35 54,7

Sangat Cukup 20 31,2

Jumlah 64 100

Prasarana

Tidak Cukup 0 0

Cukup 23 36,0

Sangat Cukup 41 64,0

Jumlah 64 100

Komunikasi Partisipatif

Pembangunan kepariwisataan memerlukan dukungan dan keterlibatan

seluruh pemangku kepentingan di bidang pariwisata. Dukungan masyarakat dapat

diperoleh melalui penanaman kesadaran masyarakat akan arti penting

pengembangan kepariwisataan, untuk itu dibutuhkan proses dan pengkondisian

untuk mewujudkan masyarakat yang sadar wisata. Kelompok Sadar Wisata

(Pokdarwis) merupakan salah satu komponen dalam masyarakat yang memiliki

peran dan kontribusi penting dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya.

Keberadaan Pokdarwis tersebut perlu terus didukung dan dibina sehingga dapat

berperan lebih efektif dalam turut menggerakkan partisipasi masyarakat untuk

mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi tumbuh dan

berkembangnya kegiatan kepariwisataan di sekitar destinasi pariwisata. Dalam

upaya melakukan analisis terhadap komunikasi partisipatif Pokdarwis hasilnya

seperti disaikan pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, maka komunikasi partisipatif

Pokdarwis memiliki kecenderungan hasil yang sama antara dialog, aspirasi dan

aksi refleksi. Dialog dicirikan dengan keaktifan anggota Pokdarwis dalam

bertukar pendapat untuk mereflesikan masalah dan kebutuhan wisata. Sejumlah

64.7 persen responden menyatakan bahwa dialog dengan tingkat sedang, 35

persen dengan tingkat tinggi. White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif

sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu,

memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan

pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi

dan bertindak atas situasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dialog sudah cukup

dilakukan, responden sudah nyaman dengan komunikasi yang dibangun oleh

ketua dan pengurus Pokdarwis meskipun perlu peningkatan ke depannya, Dari

aspek aspirasi, maka aspirasi anggota sudah diberikan wadah dengan sangat baik,

mengingat 60.8 persen menyatakan aspirasi sedang dan 39.2 persen aspirasi

tinggi, hal ini berarti bahwa sudah tersedia sarana aspirasi anggota untuk

melakukan diskusi seperti rembug warga. Keterlibatan partisipasi seluruh anggota

masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan memegang peranan penting

dalam menentukan keberhasilan pembangunan (McPhail 2009). McKee et al.

(2008) menjelaskan bahwa untuk memunculkan rasa memiliki, kompetensi dan

komitmen pada sebuah kelompok adalah dengan adanya collective action dan

kontrol berdasarkan partisipasi antara anggota komunitas dengan organisasi dalam

konteks sosial. Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa

memiliki yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para

anggota ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak

hanya menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan

Pokdarwis.

Keterlibatan anggota perlu terus ditingkatkan agar terdapat rasa memiliki

yang tinggi. Penyampaian aspirasi memberikan pemahaman bahwa para anggota

ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan Pokdarwis, sehingga tidak hanya

menjadi kewajiban pengurus saja untuk mengembangkan kelembagaan

Pokdarwis. Dalam menarik wisatawan agar lebih banyak berkunjung ke

Nglanggeran maka perlu dilakukan upaya-upaya pengembanagn lokasi tersebut

melalui peran aktif para pengelola dan anggota Pokdarwis seperti perbaikan dan

pengembangan sarana dan prasarana serta lingkungan wisata. Responden

menyatakan bahwa aksi refleksi sedang 67.2 persen dan tinggi 32.8 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar anggota masih menganggap bahwa aksi

refleksi sebaiknya dilakukan namun belum menjadi prioritas. Kemajuan dari

setiap tindakan sebaiknya mellaui refleksi atats kegiatan yang telah dilakukan

sehingga dapat diketahui kendala dan permasalahan untuk dilakukan perbaikan ke

depan.

Tabel 9. Sebaran responden menurut komunikasi partisipatif Pokdarwis di

Nglanggeran 2015 Komunikasi Partisipatif

Pokdarwis

Jumlah Responden Persentase (%)

Dialog

Rendah 0 0

Sedang 41 64,7

Tinggi 23 35,3

Jumlah 64 100

Aspirasi

Rendah 0 0

Sedang 39 60,8

Tinggi 25 39,2

Jumlah 64 100

Aksi Refleksi

Rendah 0 0

Sedang 43 67,2

Tinggi 21 32,8

Jumlah 64 100

Pengelolaan Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran

Kelompok sadar wisata di Nglanggeran memiliki arah pengembangan

pengelolaan wisata yang akan dilakukan sesuai dengan konsep rintisan awal

bersama masyarakat. Pengelolaan tersebut terdiri prinsip ramah lingkungan (alam

dan budaya), prinsip ramah masyarakat, dan prinsip ramah wisatawan. Jumlah dan

pengelolaan wisata yang terdiri dari prinsip ramah lingkungan, tingkat keramahan

masyarakat, dan tingkat keramahan wisatawan disajikan pada Tabel 10. WWF

Indonesia (2009) menyatakan sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat

ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak

merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap

lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap

sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat

yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Namun agar ekowisata

tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana

masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan

usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan

ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Ekowisata

dihargai dan dkembangkan sebagai salah satu program usaha yang sekaligus bisa

menjadi strategi konservasi dan dapat membuka alternatif ekonomi bagi

masyarakat. Dengan pola ekowisata, masyarakat dapat memanfaatkan keindahan

alam yang masih utuh, budaya, dan sejarah setempat tanpa merusak atau menjual

isinya.. Berdasarkan hasil Tabel 10, maka diketahui bahwa 57,8 persen ramah

lingkungan sangat cukup. Hal ini menujukkan bahwa Pokdarwis melakukan

pelestarian SDA dengan cara seperti: menanam pohon, pengolahan sampah.

Pokdarwis juga menyusun dan melakukan implementasi mekanisme pengawasan

untuk mengurangi ancaman kerusakan dari kegiatan pariwisata, menyusun tata

kelola pengunjung, menerapkan zonasi kawasan untuk meminimalkan kerusakan

wisata dari tindakan kriminal seperti vandalism.

Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata

yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat

setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan

segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan

usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut

didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang

alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata,

sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis

masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di

kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata

berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat

setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari

jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual

kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian

lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu

menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh

akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Adanya pola ekowisata berbasis

masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata

sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari

perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu,

pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah,

dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan

dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-

masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat menurut

WWF Indonesia (2009) adalah:

(1) Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan

kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan

organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)

(2) Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh

masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan

pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi

masyarakat)

(3) Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi

wisata (nilai ekonomi dan edukasi)

(4) Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)

(5) Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi

tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee)

untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).

Berdasarkan hasil Tabel 10, diketahui bahwa sebesar 54,7 persen ramah

masyarakat sangat cukup. Hal ini menunjukkan bahwa Pokdarwis menggunakan

konsep partisipatif dan melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan

implementasi, masyarakat desa sebagai pelaku dan penerima manfaat terbesar

dalam pengembangan pariwisata desa, menyusun mekanisme distribusi

keuntungan dari kegiatan pariwisata, menyusun mekanisme investasi pariwisata

yang memprioritaskan peluang untuk warga desa. Pokdarwis menerapkan upaya

pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat untuk menjaga Desa

Nglanggeran agar tidak dimiliki oleh orang luar Desa Nglanggeran dan tetap

memberikan manfaat hasil pengelolaan wisata terhadap warga asli. Narasumber S

umur 36 tahun menyatakan:

” Seluruh kegiatan investasi pihak luar Desa Nglanggeran tidak kami

perbolehkan mas, karena kami hanya ingin Nglanggeran ini maju dan

manfaatnya dirasakan sendiri oleh warga sini. Waktu itu ada yang

ingin membuat hotel, tapi kami tolak dan wisatawan yang ingin

menginap kami persilahkan untuk menginap di homestay. Kalo kita

memperbolehkan pihak luar untuk masuk ke Nglanggeran kami takut

nanti malah kami tidak bisa bersaing dan malah tidak

mensejahterakan warga asli di sini.”

Pokdarwis menjadikan homestay pilihan utama untuk penginapan di wisata

Gunung Api Purba Nglanggeran. Pemilihan menggunakan homestay didasari atas

rasa ingin melestarikan budaya kegiatan sehari-hari masyarakat yang bisa

dinikmati oleh wisatawan yang ingin merasakan seperti menjadi warga asli

Nglanggeran. Selain menjadi wisata budaya yang menarik, dapat memberikan

tambahan ekonomi terhadap masyarakat. Narasumber S umur 36 tahun

menyatakan:

“ Warga yang menyediakan homestay diberikan kursus bahasa

Inggris agar bisa berkomunikasi dengan wisatawan asing. Wisatawan

senang bisa merasakan seolah-olah hidup menjadi warga

Nglanggeran. Biaya untuk menginap sekitar seratus dua puluh ribu

rupiah sudah termasuk makan sebanyak tiga kali dalam sehari dan

pilihannya makanan sederhana saja ala masyarakat Desa sini.”

Pemandu wisata Gunung Api Purba Nglanggeran ini merupakan Pokdarwis

yang rata-rata masih muda dan kemampuan untuk interpretasi informasi yang ada

menjadi upaya Pokdarwis untuk terus bisa ditingkatkan lebih baik lagi.

Narasumber S umur 29 tahun menyatakan:

“Pemandu wisata di sini biasanya anak-anak muda dan masih pada

enerjik untuk naik turun gunung setiap memandu. Mereka mendapat

gaji bulanan dari Pokdarwis tapi biasanya ada yang dapat tip, dan

bisa menjadi tambahan buat mereka.”

Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada

wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap

kebudayaan lokal. Upaya pendekatan ekowisata, pusat Informasi menjadi hal yang

penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai

dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap

tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan

acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Berdasarkan hasil Tabel 10,

diketahui bahwa sebesar 65,6 persen ramah wisatawan sangat cukup. Hal ini

menunjukkan bahwa pengunjung tampak menikmati pelayanan yang tersedia, dan

ingin berulang kembali mengunjungi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Pokdarwis melakukan program pelatihan untuk meningkatkan SDM pengelola

untuk menciptakan kenyamanan pengunjung, menerapkan SOP pengelola soal

kebersihan kesehatan keamanan, pengawasan kepuasan pengunjung dan juga

kepuasan masyarakat. Narasumer S umur 28 tahun menyatakan :

”Pokdarwis diberikan pelatihan tata cara pengelolaan dan

mengenalkan potensi yang ada di Nglanggeran sehingga nanti kalo

ada wisatawan yang nanya kami bisa memberikan informasi dengan

baik dan semuanya seragam mas”

Tabel 10. Jumlah dan pengelolan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran

oleh Pokdarwis 2015 Pengelolaan Lingkungan Jumlah Responden Persentase (%)

Ramah Lingkungan

Tidak Cukup 0 0

Cukup 27 42,2

Sangat Cukup 37 57,8

Jumlah 64 100

Ramah Masyarakat

Tidak Cukup 0 0

Cukup 29 45,3

Sangat Cukup 35 54,7

Jumlah 64 100

Ramah Wisatawan

Tidak Cukup 0 0

Cukup 22 34,4

Sangat Cukup 42 65,6

Jumlah 64 100

Hubungan antara karakteristik individu dengan komunikasi partisipatif

Pokdarwis

Karakteristik individu merupakan ciri khas yang melekat dalam individu dan telah

menjadi pola kebiasaan dalam individu itu sendiri. Karakteristik individu dalam

penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan dan motivasi. Adapun yang

menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,

aspirasi dan aksi refleksi. Karakteristik merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang

melekat pada sesuatu baik itu benda, orang maupun makhluk hidup lainnya, yang

berhubungan dengan berbagai aspek kehidupannya (Mardikanto 1993). Bisa

diasumsikan bahwa karaktersitik kelompok merupakan ciri-ciri yang melekat

dalam kelompok tersebut. Ciri-ciri tersebut menjadi pembeda antara kelompok

satu dengan yang lainnya (Suharno 2009).Terdapat hubungan sangat nyata dan

positif antara karakteristik individu dengan dengan komunikasi partisipatif

Pokdarwis. Dari data Tabel 11, terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara

tingkat pendidikan dengan komunikasi partisipatif. Hal tersebut bermakna bahwa

komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh tingkat pendidikan anggota

Pokdarwis. Menurut Freire (1972) semua orang baik secara individual dan

kolektif memiliki hak untuk berbicara. Berbicara bukan hak istimewa dari

beberapa orang, namun hak setiap manusia. Freire menyadari bahwa kebodohan

dan kelalaian mereka membuat mereka menjadi tidak memiliki keberanian dan

kemampuan uantuk menjawab realitas-realitas kongkret dari dunia mereka.

Mereka tetap saja tenggelam dalam suatu keadaan di mana kesadaran kritis dan

jawaban semacam itu praktis tidak mungkin. Mereka merupakan masyarakat yang

tersisihkan, tak berdaya, yang kemudian menjadi tidak berani berbicara sehingga

kemudian memunculkan satu kebudayaan yang dikenal dengan nama kebudayaan

bisu. Budaya bisu akan bisa diubah menjadi budaya kritis, di mana orang berani

bicara untuk memperjuangkan hak hidupnya menjadi manusia yang

sesungguhnya. Walau upayanya tersebut tampaknya “hanya” dalam aspek

pendidikan, namun dampaknya secara cukup kuat dan signifikan mempengaruhi

ikhtiar pembangunan nasional. Tingkat pendidikan tinggi membuat Pokdarwis

mampu menerima informasi baru dengan baik, pengetahuan akan sesuatu semakin

tinggi, dan diharapkan mampu memiliki tingkatan hidup yang lebih sejahtera.

Motor penggerak dari kegiatan pengelolaan wisata ini adalah pemuda yang rata-

rata memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (SMA – Sarjana), sedangkan

anggota Pokdarwis yang dewasa dan tua rata-rata hanyalah lulusan SD – SMP.

Tingkat pendidikan yang tinggi yang dimiliki oleh pengelola wisata akan

membuat Pokdarwis dalam membuat kegiatan semakin terencana baik karena

didukung oleh dialog anggota yang terbuka, kebebasan penyampaian aspirasi

berupa ide gagasan dari setiap anggota, dan rutin menginisiasi pertemuan

kelompok untuk membahas kelangsungan pengelolaan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran.

Komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang

menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespon setiap stimulus yang

muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah

wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakan. Individu

adalah wujud dinamis yang menjadi subjek dalam setiap perilaku yang diperankan

termasuk perilaku komunikasi (Hamijoyo 2005). Tabel 11 menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara motivasi dengan

komunikasi partisipatif Pokdarwis. Adanya motivasi yang tinggi menunjang

keaktifan anggota dalam setiap agenda kegiatan rutin bersama. Pokdarwis

memiliki motivasi awal bersama yang kuat dimulai dari ide kreatif pemuda

Karang Taruna Bukit Putra Mandiri. Menurut narasumber S umur 36 tahun

sebagai pengelola mengungkapkan bahwa:

“ Dulu kita sewaktu awal memulai pengelolaan wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran ini banyak sekali yang mencibir bahwa ngapain

mengelola gunung batu, memangnya mau makan dari batu? karena

pada umumnya anak muda di desa ini ingin keren dengan bekerja di

kota yang lebih menjanjikan, dan penduduk yang ingin tinggal di desa

lebih suka untuk menjadi petani saja. Pada awalnya kami sedikit-

sedikit dengan uang seadanya kami buat semacam jalur pendakian,

mck, gubuk tempat peristirahatan dan mulai ada yang datang untuk

berwisata. Pengunjung yang datang kami ambil tarif parkir sebesar

lima ratus rupiah, dan uangnya kami gunakan untuk terus melengkapi

fasilitas. Berawal dari mulut kemulut dan terus kami upayakan untuk

promosi lama-lama kami bisa mendatangkan wisatawan, dan ketika

kami berhasil bisa mendapatkan penghasilan dari wisata ini maka

cibiran orang-orang yang mengatakan kami makan dari batu memang

kami buktikan bahwa kami memang makan dari hasil mengelola batu

yang tidak bernilai tapi kini sudah dapat menghidupi orang banyak

dari wisata Gunung Api Purba Nglanggeran”

Tabel 11. Nilai koefisien hubungan antara karakteristik individu dengan

komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015

Karakteristik

individu Komunikasi partisipatif

r Sig.

Umur

.216 .087

Tingkat

pendidikan

.381** .002

Motivasi

.582** .000

Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01

Hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan komunikasi partisipatif

Pokdarwis

Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauh mana fasilitator dapat

dipercaya oleh Pokdarwis. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan

mempengaruhi anggota komunitas untuk menjalankan program-program

pemberdayaan. Analisis terhadap kredibilitas fasilitator ditunjukan melalui empat

variabel yaitu kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban. Adapun yang

menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,

aspirasi dan aksi refleksi. Kredibilitas fasilitator berhubungan sangat nyata dan

positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 12.

Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi partisipasi yang tinggi didukung oleh

kredibilitas fasilitator. Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saputra

(2011), Mulyasari (2009), Muchlis (2009), dan Satriani (2011) mengindikasikan

fakta bahwa ketidakmampuan penyuluh dalam membangun hubungan

dikarenakan jarangnya mengunjungi kelompok sasaran, melemahkan keinginan

masyarakat untuk berdiskusi, dan mempersempit pemberian kesempatan aspirasi

dari masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan masyarakat kurang percaya dan

cenderung enggan untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang mereka miliki

dengan orang lain yang dirasa kurang dikenalnya. Kejujuran yang tinggi oleh

fasilitator akan membuat keterbukaan informasi, transparansi dana bantuan, dan

kejelasan pembagian tugas anggota Pokdarwis sesuai program dan pelaksanaanya

yang dapat menambah kuat rasa percaya anggota Pokdarwis terhadap fasilitator.

Keahlian fasilitator yang tinggi karena mengetahui seluk-beluk wisata Gunung

Api Purba Nglanggeran dengan baik. Fasilitator juga menjadi penghubung yang

baik antara Pokdarwis dengan pemerintah maupun pihak lainnya. Fasilitator juga

mampu dengan baik memberikan solusi masalah dan menjadi pihak yang mampu

menangani apabila terjadi konflik pada wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Daya tarik dapat dilihat dari kemampuan intelektual, kepribadian, gaya hidup dan

sebagainya. Daya tarik fasilitator akan berpengaruh pada keberhasilan

penyampaian program kepada anggota Pokdarwis, karena fasilitator

mencerminkan sosok yang cerdas, sopan, rapih, dan sederhana sehingga mampu

menjadi panutan dalam Pokdarwis. Narasumber S umur 36 tahun sebagai

pengelola menyatakan:

“ Daya tarik pengelola Pokdarwis penting, karena dulu anak-anak

muda di sini penampilannya terkesan seperti berandalan dengan kaos

yang lusuh, rambut dicat warna terang, dan terkesan tidak merawat

diri dengan baik. Ketika kami aak untuk bergabung di Karang Taruna

Bukit Putra Mandiri terus kami beritahu dan terus berupaya

menyadarkan masyarakat, lama kelamaan mereka semakin baik

dalam bernampilan, berubah drastis menjadi sosok yang ramah dan

menyenangkan bagi masyarakat. Kami juga selalu berupaya untuk

selalu menjadi panutan yang baik, terus menjaga kesederhanaan gaya

hidup kami, sehingga masyarakat ikut nyaman dan wisatawan juga

semakin berkesan dengan Pokdarwis”

Keakraban yang tinggi akan mendukung berjalannya suasana komunikasi

partisipatif yang kekeluargaan dan nyaman. Keakraban yang tinggi disebabkan

fasilitator berasal dari masyarakat setempat yang sudah saling mengenal.

Fasilitator kerap saling menyapa, mengajak berbicara untuk saling berbagi cerita

ataupun informasi, dan aktif dalam kegiatan gotong-royong masyarakat desa.

Kelompok yang tingkat self efficacy rendah, cenderung malu untuk berpartisipasi

dalam setiap kegiatan komunikasi, karena mereka merasa tidak mempunyai

kemampuan untuk bertukar gagasan dalam bermusyawarah (Muchlis 2009). Self

efficacy bisa terbentuk karena adanya diskusi yang melibatkan anggota Pokdarwis

dan menghargai setiap gagasan yang disampaikan oleh anggota Pokdarwis.

Pokdarwis dalam hal ini telah mampu mendorong anggota untuk meningkatkan

self efficacy nya melalui dialog baik ketika di dalam pertemuan maupun di luar

pertemuan.

Tabel 12. Nilai koefisien hubungan antara kredibilitas fasilitator dengan

komunikasi partisipatif di Nglanggeran 2015

Kredibilitas fasilitator Komunikasi partisipatif

r Sig.

Kejujuran .685** .000

Keahlian .554** .000

Daya tarik .625** .000

Keakraban .660** .000

Kredibilitas Fasilitator .753** .000

Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01

Hubungan antara dukungan kelembagaan dengan komunikasi partisipatif

Pokdarwis

Dukungan kelembagaan adalah dukungan dari pihak lain yang

berhubungan langsung dengan pengelolaan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran. Dukungan kelembagaan baik dari pemerintah maupun non

pemerintah diharapkan dapat berperan dalam pengembangan wisata ini. Adapun

yang menjadi indikator komunikasi partisipatif dalam penelitian ini adalah dialog,

aspirasi dan aksi refleksi. Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan

bahwa masyarakat sebagai subyek atau pelaku pembangunan, mengandung arti,

bahwa masyarakat menjadi pelaku penting yang harus terlibat secara aktif dalam

proses perencanaan dan pengembangan kepariwisataan, bersama-sama dengan

pemangku kepentingan terkait lainnya baik dari pemerintah maupun swasta.

Dalam fungsinya sebagai subjek atau pelaku masyarakat memiliki peran dan

tanggung jawab untuk bersama-sama mendorong keberhasilan pengembangan

kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat sebagai penerima manfaat,

mengandung arti, bahwa masyarakat diharapkan dapat memperoleh nilai manfaat

ekonomi yang berarti dari pengembangan kegiatan kepariwisataan untuk

meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat yang

bersangkutan. Dalam kerangka pembangunan kepariwisataan tersebut, salah satu

aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat

diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan

berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Dukungan kelembagaan

berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis

yang disajikan pada Tabel 13. Hal tersebut bermakna bahwa komunikasi

partisipasi yang tinggi membuat dukungan kelembagaan menjadi lebih baik.

Pokdarwis aktif berdialog, menyampaikan aspirasi dengan berbagai pihak

sehingga bisa mendapatkan modal untuk membangun sarana, dan prasarana

wisata yang dibutuhkan, serta secara sukarela bergotong-royong mengelola lokasi

wisata untuk membuat nyaman wisatawan.

Tabel 13. Nilai koefisien hubungan antara dukungan kelembagaan dengan

komunikasi partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015

Dukungan kelembagaan Komunikasi partisipatif

r Sig.

Modal

.405** .001

Sarana

.492** .000

Prasarana

.544** .000

Dukungan

Kelembagaan

.646** .000

Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01

Hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi partisipatif

Pokdarwis

Pedoman Kelompok Sadar Wisata (2012) menyatakan bahwa salah satu

aspek mendasar bagi keberhasilan pembangunan kepariwisataan adalah dapat

diciptakannya lingkungan dan suasana kondusif yang mendorong tumbuh dan

berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat. Iklim atau lingkungan

kondusif tersebut terutama dikaitkan dengan perwujudan Sadar Wisata dan Sapta

Pesona yang dikembangkan secara konsisten di kalangan masyarakat yang tinggal

di sekitar destinasi pariwisata. Sadar wisata dalam hal ini digambarkan sebagai

bentuk kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam 2 (dua) hal berikut,

yaitu:

(a) Masyarakat menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai tuan

rumah (host) yang baik bagi tamu atau wisatawan yang berkunjung untuk

mewujudkan lingkungan dan suasana yang kondusif sebagaimana tertuang dalam

slogan Sapta Pesona.

(b) Masyarakat menyadari hak dan kebutuhannya untuk menjadi pelaku

wisata atau wisatawan untuk melakukan perjalanan ke suatu daerah tujuan wisata,

sebagai wujud kebutuhan dasar untuk berekreasi maupun khususnya dalam

mengenal dan mencintai tanah air. Meningkatnya lapangan pekerjaan dan peluang

pendapatan, serta dampak ekonomi multi ganda pariwisata bagi masyarakat.

Pengelolaan wisata berhubungan sangat nyata dan positif dengan komunikasi

partisipatif Pokdarwis yang disajikan pada Tabel 14. Hal tersebut bermakna

bahwa komunikasi partisipatif yang tinggi dapat mendukung pengelolaan wisata

dengan baik. Sapta pesona adalah tujuh unsur pesona yang harus diwujudkan bagi

terciptanya lingkungan yang kondusif dan ideal bagi berkembangnya kegiatan

kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan

untuk berkunjung.. Terwujudnya ketujuh unsur Sapta Pesona dalam

pengembangan kepariwisataan di daerah akan bermuara pada:

(1) Meningkatnya minat kunjungan wisatawan ke destinasi

(2) Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan yang prospektif

Dialog yang aktif, penyampaian aspirasi yang baik dan aksi refleksi sukarela

akan mewujudkan pengelolaan wisata yang ramah lingkungan melalui penanaman

pohon, pengelolaan sampah, penerapan zonasi kawasan, dan pengendalian

perusakan fisik (vandalism). Keterlibatan Pokdarwis dalam pengelolaan wisata

membuat masyarakat dapat merasakan manfaat, keuntungan, serta menerima

perencanaan dan implementasi kegiatan. Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran

memenuhi kriteria Ketujuh unsur Sapta Pesona yang terdiri dari: (1). Aman, (2).

Tertib, (3). Bersih, (4). Sejuk, (5). Indah, (6). Ramah, (7). Kenangan. Pokdarwis

mampu memberikan pelayanan yang baik, meningkatkan pelayanan, dan

membuat pengunjung merasa nyaman sehingga berulang kali mengunjungi lokasi

wisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Tabel 14. Nilai koefisien hubungan antara pengelolaan wisata dengan komunikasi

partisipatif Pokdarwis di Nglanggeran 2015

Komunikasi partisipatif Pengelolaan wisata

r Sig.

Dialog

.411** .001

Aspirasi

.620** .000

Aksi

.468** .000

Komunikasi Partisipatif

.648** .000

Ket: ** Berhubungan signifikan pada taraf 0,01

KESIMPULAN

(1) Pokdarwis memiliki pengetahuan yang baik untuk bisa dapat menjalankan

kegiatan, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk aktif terlibat dalam

setiap kegiatan rutin. Kejujuran, keahlian, daya tarik dan keakraban

Pokdarwis yang tinggi mampu mendukung kegiatan dengan baik karena

masyarakat percaya dan ikut bersama-sama bertanggung jawab.

Komunikasi partisipatif dapat memberikan solusi permasalahan modal,

sarana dan prasarana, dengan terus berupaya memaksimalkan potensi SDA

dan keterlibatan SDM Desa Nglanggeran agar dapat kreatif untuk

menciptakan ekonomi masyarakat yang mandiri.

(2) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara karakteristik individu,

kredibilitas fasilitator dan dukungan kelembagaan dengan komunikasi

partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif melalui Pokdarwis

merupakan elemen penting dalam perumusan rencana pembangunan agar

mampu meningkatkan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa ikut

bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran yang berbasis masyarakat.

(3) Terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara pengelolaan wisata

dengan komunikasi partisipatif Pokdarwis. Komunikasi partisipatif wisata

Gunung Api Purba Nglanggeran berbasis masyarakat mengakui hak

masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang

mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Wisata Gunung Api

Purba Nglanggeran berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan

kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana

penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee

pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan. Wisata

Gunung Api Purba Nglanggeran membawa dampak positif terhadap

pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya

diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar

penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

SARAN

Perlu diidentifikasi lebih lanjut lagi fasilitator lokal untuk memajukan

Desa Nglanggeran, sehingga Pokdarwis Nglanggeran akan lebih banyak anggota

yang memiliki dedikasi dan integritas tinggi dalam pengelolaan wisata Gunung

Api Purba Nglanggeran serta menjadi inspirasi untuk pengelolaan wisata di

daerah lain. Masyarakat boleh menjadi lebih berpeluang banyak menikmati

keberadaan potensi sumberdaya wisata alam yang sejalan dengan meningkatnya

partisipasi mereka dalam Pokdarwis. Pemberdayaan Pokdarwis perlu terus

dikembangkan sejalan dengan perkembangan wisata Gunung Api Purba

Nglanggeran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta (ID): Rineka Cipta.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015. Gunungkidul dalam

Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul,

Wonosari.

Belch 2001. Advertising and Promotion: An Integrated Marketing

Communication Perspective. New York (US): ..3 Hill Companies.

Berlo DK. 1960. The Process of Communication An Introduction To Theory and

Practice. New York (US): Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Bessette G. 2007. Facilitating Dialogue, Learning and Participation in Natural

Resource Management. Di dalam Acunzo M editor. Communication

and Sustainable Development; 2004 Sep; Roma, Italia. Roma (IT):

Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication

Division, FAO.

Cahyanto PG. 2007. Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam Pelaksanaan Prima

Tani di Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Pontianak [Tesis].

Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dagron GA. 2008. Vertical Mind Versus Horizontal Cultures : An Overview of

Participatory Process and Experience. Servaes, editor. New Delhi

(IN) : Sage Publication.

DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi kelima, Jakarta (ID):

Profesional Books.

Freire P. 1972. Pedagogy of the Opressed.Jakarta(ID): LP3ES.

Freire P. 1984. Pendidikan, Pembebasan, dan Perubahan Sosial. Penerjemah

Mien Joebhaar dan Dick Hartono. PT Sangkala Pulsar. Jakarta Freire

Habermas J. 1990. Discourse Ethics: notes on a program of philosophical

justification. The Communicative Ethics Controversy. Cambridge

(NY): MIT Pr.

Hamijoyo SS. 2005. Komunikasi Partisipatoris. Pemikiran dan Implementasi

Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Bandung (ID):

Humaniora.

Hasbullah J. 2006. Social Capital : Menuju Keunggulan Budaya Manusia

Indonesia. Jakarta : MR-United Press.

Iriansyah AA.2011. Kapasitas Kelembagaan Desa dalam Mengembangkan Desa

Wisata (Studi Di Desa Seloreo Kecamatan Dau Kabupaten Malang.

Jurnal Universitas Brawijaya.

Mardikanto T. 2001. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID):

Sebelas Maret University Press.

Mardikanto T. 2010. Komunikasi Pembangunan; Acuan Bagi Akademisi, Praktisi,

dan Peminat Komunikasi Pembangunan. Surakarta(ID): UNS press.

Mefalopulos P. 2003. Theory and Practice of Participatory Communication: The

case of the FAO Project “Communication for Development in

Southern Africa” [disertation]. Texas at Austin: Presented to the

Faculty of the Graduate School, The University of Texas at Austin.

McKee N, Manoncourt E, Yoon CS, Carnegie R. 2008. Involving People,

Evolving Behaviour The UNICEF Experience. Servaes J, editor. New

Delhi (IN): Sage Publication.

McPhail T. 2009. Development Communication Reframing the Role of the Media.

Mc Phail, editor. West Sussex (UK): Blackwell Publishing.

Muchlis F. 2009. Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan

Masyarakat: Studi kasus pada Implementasi Musyawarah dalam

PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk, Kecamatan Pemayung,

Kabupaten Batang Hari [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Mulyasari G. 2009. Komunikasi Partisipatif Warga Pada Bengkulu Regional

Development Project (BRDP) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

Nasdian 2003. Pengembangan Masyarakat (Community Development). Bogor:

Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia.

Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian-IPB.

Putnam RD. 1995. Bowling alone: America's declining social capital. Journal of

Democracy Vol. 6 (1995) 1, 64-78

Rahim SA. 2004. Participatory Development Communication as a Dialogical

Process dalam White SA 2004. Participatory Communication

Working for Change and Development. New Delhi: Sage Publication

India Pvt Ltd.

Riduan E.M. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung (ID): Alfabeta.

Rusli S. 1995. Pengantar Kependudukan. Jakarta (ID): Universitas Indonesia

Press.

Saputra Y. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Komunikasi

Partisipatif Fasilitator (Kasus PNPM Mandiri di Kota Bandar

Lampung) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Satriani I. 2011. Komunikasi Partisipatif pada Program Pos Pemberdayaan

Keluarga: Studi kasus di RW 05 Kelurahan Situgede, Kecamatan

Bogor Barat [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Servaes J. 2002. Communication For Development: Oneworld, Multiplecultures.

Second Printing. New Jersy (NY): Hampton Pr.

Singhal A. 2001. Facilitating Community participation Through Communication.

New York (US): UNICEF.

Slamet M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh

Ida Yustina & Ajat Sudradjat. Bogor (ID) : IPB Press.

Soekanto S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Srampickal JS. 2006. Development and participatory communication. Journal of

Communication Research Trends. 2 (25): 1-32.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung (ID):

Alfabeta.

Suharno MI. 2009. Hubungan Karakteristik dan Pengelolaan Kelompok Tani

Berumur Panjang dengan Keragaannya di Kabupaten Indramayu.

[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sulistyowati F, Setyowati Y, Wuryantoro T. 2005. Komunikasi Pemberdayaan.

Yogyakarta (ID): APMD.

Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju

Pengembangan Kemandirian Petani Kasus di Provinsi Jawa Barat.

[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sumarto. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta (ID): Yayasan

Obor Indonesia.

Syahyuti. 2008. Peran modal sosial (Social Capital) dalam perdagangan hasil

pertanian. (The Role Social Capital In Agricultural Trade). Jurnal

Forum Penelitian Agro Ekonomi. 26(1): 32-43.

Syam A, Syukur M, Ilham N, Sumedi. 2000. Baseline survei program

pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan

kesejahteraan petani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

Ekonomi Pertanian. 1-12.

Tufte T, Mefalopulos P. 2009. Participatory Communication A Practical Guide.

Washington DC (US) : The World Bank.

Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 pasal 1 ayat 1

Warnock K, Schoemaker E, Wilson M. 2007. The Case for Communication in

Sustainable Development. London (UK) : Panos London.

White AS. 2004. Participatory Communcation Working for Change and

Development. India (IN): Sage Publication Pvt.

Wibowo A. 2007. Menumbuhkembangkan modal sosial dalam pengembangan

partisipasi masyarakat. M'POWER NO 5 Vol 5. Maret 2007. hal 16-

23

LAMPIRAN

Profil Singkat Kelompok Masyarakat

1. Kelompok Penyedia Kulier (Kelompok PKK) “Purba Rasa”

Ketua : Bu Surini

Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan,

Gunungbutak

Jumlah : 55 orang ( dengan berbagai keahlian pengrajin makanan)

2. Kelompok Tani “Kumpul Makaryo”

Ketua : Hadi Purwanto

Lokasi : tersebar lima dusun di Desa Nglanggeran

Jumlah : minimal 100 anggota aktif

3. Kelompok Home Stay “Purba Wisma”

Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan

Jumah : 79 rumah

4. Kelompok Pengrajin

Lokasi : Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan,

Gunungbutak

Jumlah : 3 kelompok pengrajin

5. Kelompok Pedagang

Lokasi :Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba

Nglanggeran

Jumlah : 16 orang

Gambar 2. Peta lokasi Kabupaten Gunung Kidul

Gambar 3. Peta lokasi wisata Gunung Api Purba Nglanggeran

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu, pada tanggal 16 Mei 1987. Penulis

merupakan putra tunggal dari pasangan Bapak Agus Tridoso dan Ibu Pamuji

Lestari. Pendidikan Sarjana telah ditempuh pada Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan di Institut Pertanian Bogor, sejak tahun 2005, dan lulus pada

tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Program Studi

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Selama mengikuti Sekolah Pascasarana, penulis merupakan ketua kelas

angkatan genap 2011. Penulis aktif menjadi wiraswasta.