analisis fatwa mui no. 116/dsn-mui/ix/2017 dan pbi no....
TRANSCRIPT
ANALISIS FATWA MUI NO. 116/DSN-MUI/IX/2017
DAN PBI NO. 20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH
DITINJAU DARI PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SAHAL MUZAKI
NIM: 11140460000101
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2018M
AN,d T, I S { S tr.-A'T'\\i A M TJ I NO. 1 I 6/T} SN- NT{.JI/TV2O I 7
U,.TN I,I}I NO. 2Ol6iI,B[/2$18 .I. En.TANO UAN(; TiLEKTRONI.K SY,4.RIAI{
D TTINJ A T-I i} A ti. I I' E.R. SP E K'T' I F- M A Q.,1.\ I I } A S 1'- S T'A R I'.4 T {
Diajukan Kepada fiakuitas Syariah dan l{ukunr untuk fule.menuhi Salah Satt-r
Persvaratau fulemperoieh Gelar Sarlana Ilukum (S IJ.)
Oieh
Sthal S{rrzaki
N {tu}. I I 1,{046f}00(itCF i
NIP. 1 958 11 191986031001
FROGRAM sTUr) [ Ftt,] I<ut{ EKON o RfI s YA.n EAIJ (}{I l ARI A LA H }
FAF{ E. i L.',E.t S SYA}ttrAH *Ar,{ Ef{iq{ilrRf
c-ih' FVH E{$ ETAS tr S.[-Aft,rs i\ g{i trEt E
:t YAF{f F E{EEAYAT'E it'-!-- ''i"
$ E
.FA KAR'['A
i4"$(-} H/2(}r8 IVF
Ili l-lawah Perrbt nrbin.'
i_u\f 8.il1 P ilN C I,t sr\ IL{N
,',i.r'rlr:;j l-.cliLrLjirl ",Airaijsis Frrr,\\'a r\,1l,rl No. I l6,D.SN-\.li-ll,,i-\-,10i7 Da, Iri_ri
.No'20/tjiPI31,t2()18 l-eiliartu Uan-s Elcktronik Sr,ariah DitinjaLr ciari l,erspektif i\!rr1u.;iri4s1.,9t,r,,','r71'i", 1,21ng dituii:; olelr Sahal N,fuz_aki. NINl l1l.l0.+60000101. re]ah cliLrjikandalarn sidang skrittsi Pad:iJurnat.05 cktober 2018 Skripsi ini telah clilerirra setrasaisaiah satu sIaI":li lllrl il. lll-illpert,i.'h,le'Jar Sarllna ]lLrkunr (S.lI) ltaiili prograrr
Str_rCi
ilukuri-i llkoncmi S_r.ririal-i il,4uarnalaij Fakuitas S,r,ariah clan IJLrkunr I Lriversitlis islaiirNe gen
-S 1.ar-.i 1' H i cl a r, a'r Lr I I tr jr -l ai.:arta
-lakarta. 05 Oktobe r 201 l!
Panitia Sidang:
1. Ketua :r.t\{. Hasan Aii. N4..A.
NIP. 1975120120050r I 00t
2. Sekretaris : Dr. Abdurauf. Lc. N{.A.NIP 197_31215 200501 1 002
3. Pc-.nrburbinc Drs. IIamiC Farihi. \{.,,\.NIl, i.r_{Nlll(, jououu I uUI
PengLrji I Dr f'.]rl.uutlu lq_clq._! iJ.- i\,{ \NIP. t97_i0102 100312 I 001
clan i Iukult
Pcrrrrji II
LE}IBAR PERNYATAAI\
D en-9an ini saya nrenyatakan'b ahr,va :
2
l. Skripsi ini merr-rpal<arr hasil karya asll saya yalg diajukan untuk rnenrenuhi
salah satu pe.r'syaratan memperoleh gelal Sarjana Hukurn (S.H) di Univelsitas
Islam Negeri (UN) S.valif Hidayatullah Jakar-ta.
Semua surnber yang saya gunakan dalam penlrlisan ini telah saya canturnkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syalif H idayatul 1ah .Ia.kar ta.
Jika dikernuclian hari terbukti bahr,r'a l<arva irri br-Lkan hasil karya saya bersedia
rlenerirla sanksi ,vang berlaku cli Ur-riversitas Islam Negeri runtf) Syarif
Hidayatullah Jrkarla.
Ciputat, 0l N'Iuharam 14.10 H
ABSTRAK
SAHAL MUZAKI. NIM 11140460000101. Analisis Fatwa MUI No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 Dan PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik Syariah Ditinjau
Dari Perspektif Maqasid Asy-Syari‟ah Program studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439 H / 2018 M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana metode perumusan
dalam suatu fatwa dan bagaimana Hukum uang elektronik syariah dalam Fatwa MUI
No. 116/DSN-MUI/IX/2017 dan PBI No. 20/6/PBI/2018 menurut konsep Maqasid
Asy-Syariah serta menganalisis fatwa uang elektronik syariah apakah terdapat
kerancuan atau ketidakjelasan dalam fatwa. pada penelitian ini digunakan data primer
penelitian kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif
dan data sekunder yang mendukung penelitian ini. Sedangkan untuk metode analisis,
penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa DSN-MUI dalam merumuskan
fatwa uang elektronik syariah adalah dengan mengali sumber-sumber hukum Islam
yang disepakati yaitu al-Qur‟an dan Hadits selain itu DSN-MUI juga mengunakan
kaidah-kaidah fikih, pendapat-pendapat sahabat dan ulama yang nantinya dijadikan
sandaran dalam merumuskan hukum uang elektronik syariah. Semua itu berpatokan
dengan adanya relevansi antara masalah yang diteliti dengan kehidupan pada saat ini
lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara‟ dan ada beberapa
hal yang dalam ketetapan Fatwa MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 yang perlu
ditinjau ulang karena akan menimbulkan kerancuan dan ketidakjelasan seperti Co-
Branding, Server Based atau Chip Based, Registered dan Unregistered.
Secara umum uang elektronik syariah yang tunduk terhadap ketentuan-
ketentuan fatwa dan peraturan Bank Indonesia sesuai dengan prinsip Maqasid Asy-
syariah, Maqasid Asy-syariah sendiri dapat diartikan sebagai tujuan yang
dikehendaki dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia dan
menolak suatu kemudharatan. Dalam hal Maqasid Asy-syariah yang dimaksud adalah
hifzumaal pada tingkatan hajiyat yaitu memelihara harta dari بل yaitu إظبعة ان
menyianyiakan harta dalam hal ini uang elektronik dan agar terhindar dari riba fadhl.
Berkaitan dengan pengunaan uang elektronik yang Registered dan Unregistered harus
ditinjau kembali karena dinilai belum sesuai dengan prinsip Maqasid Asy-Syariah
dalam menjaga harta pada tingkatan hajiyat dan dapat dikategorikan terlarang atau
haram.
Kata Kunci: Uang Elektronik, Maqasid Asy-Syariah., DSN-MUI
Pembimbing : Drs H Hamid Farihi, MA
NIP. 195811191986031001
Daftar Pustaka : 1975-2018
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil‟alamiin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, penguasa alam semesta, Tuhan yang maha pengasih dan penyayang.
Shalawat serta Salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga,
Sahabat dan para pengikutnya.
Berkat Curahan rahmat dan HidayahNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi
dengan Judul “ANALISIS FATWA NO. 116/DSN-MUI/IX/2017 DAN PBI NO.
20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH DITINJAU DARI
PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI‟AH” yang diajukan demi memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1).
Dalam penyelesaian Skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis
sehingga skripsi ini dapat selsesai tepat pada waktunya. Degan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan terima kasih sebagai bentuk pengahargaan yang tidak
terlukiskan kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidyatullah Jakarta.
2. AM. Hasan Ali , M.A. selaku Ketua Program Studi Muamalat dan Dr. Abdurrauf,
M.A, selaku Sekertaris Prodi Studi Muamalat.
3. Drs H Hamid Farihi, M.A. selaku dosen Pembimbing, terima kasih atas
kesediaannya memberikan waktu kepada penulis untuk membimbing dan
mengarahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Nurul Hadayani, M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik, Terimakasih atas
bimbingan dan nasehat akademik selama masa pekuliahan penulis
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis memperoleh berbagai
informasi dan referensi sehingga skripsi dapat terselesaikan.
vi
6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda H Nasuha, HM, S.E dan Ibunda Hj.Murtamah
atas segala Motivasi, Bantuan Moril dan Materil serta doa dan kasih saying yang
selalu diberikan kepada penulis.
7. Terima kasih kepada untuk abang saya Faisal Murthado, Fauzi Romdhoni dan
kakak saya Emi Suhaimi yang selalu menjadi motivasi saya dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Nita Rahmawati Ulfah orang tercinta yang selalu membantu memberikan
motivasi dan semangat serta menghibur sampai selesainya skripsi ini
9. terima kasih untuk sahabat-sahabat saya tercinta Muhammad Rizki, Daffa albari
Naufal, Muhammad Farhan, Jihan Ardiansyah, Nopal shidqi, Venny
Andrianingtias, Nabila Yudia, Musyarofah dan sahabat Native C serta Wacaners
yang sudah menemani dari semester awal hingga sekarang, canda, tawa, bahagia
sedih, senang, kita lalui bersama dan selalu memberikan semangat kepada penulis
selama masa mengerjakan skripsi.
10. temen seperjuangan, ulfatun Mardiyah, yang selalu membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
11. Terima kasih kepada Temen-temen KKN Amoeba, atas kebersamaan, kenangaan
dan pengalaman berharga bersama kalian.
12. Terima kasih untuk Rekan-rekan mahasiswa IMQN yang telah memberikan
dukungan dan semangat kepada saya
Semoga semua jasa baik yang diberikan kepada peneliti mendapatkan balasan
yang lebih berarti dari Allah SWT, peneliti menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dalan penyusunan skripsi ini, karenanya kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan. semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua kalangan
terutama bagi peneliti sendiri. Aamiin Yaa Robbal „Alamiin.
Jakarta, 10 September 2018
Sahal Muzaki
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Batasan Masalah & Rumusan Masalah ...................................... 4
1. Identifikasi Masalah .................................................................................................. 4
2. Batasan Masalah ....................................................................................................... 5
3. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
1. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 5
2. Manfaat Penelitian .................................................................................................... 6
D. Review Studi Terdahulu ............................................................................................... 6
E. Metode Penelitian ......................................................................................................... 8
1. Jenis penelitian .......................................................................................................... 9
2. Jenis data dan sumber data ........................................................................................ 9
3. Teknik pengumpulan data ......................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................................................. 10
BAB II KAJIAN UMUM MENGENAI UANG ELEKTRONIK SYARIAH DAN
MAQASID SYARIAH ............................................................................................................ 12
1. Uang Elektronik ...................................................................................................... 12
2. Uang Elektronik Syariah ......................................................................................... 22
3. Maqasid Syariah ..................................................................................................... 31
BAB III PROFIL DSN DAN BI ........................................................................................... 39
A. Dewan Syariah Nasional ............................................................................................. 39
1. Profil DSN .............................................................................................................. 39
2. Sekilas tentang DSN MUI ...................................................................................... 40
3. Tugas dan Wewenang ............................................................................................. 41
4. Metode Perumusan Fatwa ....................................................................................... 43
B. Bank Indonesia ........................................................................................................... 45
viii
1. Profil Bank Indonesia ............................................................................................. 45
2. Status dan Kedudukan ............................................................................................ 46
3. Pengaturan dan Pengawasan ................................................................................... 47
BAB IV ANALISIS FATWA MUI NO. 116/DSN-MUI/IX/2017 DAN PBI NO.
20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH DITINJAU DARI
PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH ........................................................................ 48
A. Istinbat hukum yang digunakan DSN-MUI dalam merumuskan Fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 ...................................................................................................................... 48
B. Hukum uang elektronik syariah dalam Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 dan PBI
No. 20/6/PBI/2018 Perspektif Maqasid Asy-Syariah ......................................................... 53
BAB V PENUTUP ................................................................................................................ 60
A. KESIMPULAN ........................................................................................................... 60
B. SARAN ....................................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan zaman menuntut perkembangan teknologi dan informasi di
masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi dimana masyarakat dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan sistem teknologi dan informasi yang semakin
berkembang. Saat ini kegiatan ekonomi memanfaatkan kecanggihan teknologi
yang dapat mempermudah masyarakat seperti transaksi jual beli online, transfer
uang, pembayaran tagihan kebutuhan rumah tangga, seperti telepon, listrik, air
atau pembayaran tagihan kartu kredit atau debit yang dikeluarkan oleh Bank.1
Maraknya transaksi non tunai pada sekarang ini membuat masayarakat
beralih dari transaksi manual yang mengunakan uang tunai beralih mengunakan
non-tunai atau uang elektronik. Pesatnya perkembangan teknologi dan keinginan
untuk memberikan nilai tambah pada nasabah membuat bergesernya sistem
pelayanan Bank. Bank dalam melakukan kegiatan usaha atau memberikan
layanan kepada nasabah, telah berevolusi dari model konvensional face to face
dan didasarkan pada paper document ke model lyanan dengan model non face to
face dan digital.2
Perkembangan sistem pembayaran yang berbasis elektronik telah
memberikan dampak munculnya inovasi-inovasi baru dalam sistem pembayaran
yang diharapkan dapat memberikan kemudahan, fleksibilitas, efisiensi dan
kesederhanaan dalam melakukan transaksi. Oleh karena itu, Bank Indonesia
mengadaptasi suatu alat pembayaran yang dapat mengakomodasi aspek-aspek
tersebut, yang dikenal dengan uang elektronik.
1 Sekar Salma Salsabila, Eksistensi Kartu Kredit dengan adanya Electronic Money
(E-Money) sebagai Alat Pembayaran yang Sah, Jurnal Privat Law Vol: 6 No: 1 2018. h. 24
` 2 Rachmadi Usman, Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran Jurnal
Yuridika Volume 32 No. 1, Januari 2017, h.135
2
Pengunaan uang elektronik sebagai alternatif transaksi pembayaran non-
cash merupakan solusi terbaik untuk pengurangan tingkat pertumbuhan
pengunaan uang cash. Uang elektronik menawarkan transaksi yang nyaman dan
lebih cepat jika dibandingkan dengan uang cash. Khusus untuk transaksi yang
bernilai kecil, sebab dengan mengunakan uang elektronik transaksi tersebut dapat
dilakukan dengan mudah dan murah serta keamanan dan kecepatan dalam
bertransaksi antara konsumen dan pedagang.3 Di sisi lain, perkembanagan
ekonomi yang semakin pesat membuat Bank-Bank mengeluarkan produk-produk
baru nya untuk menarik sebanyak mungkin jumlah nasabah diantaranya dengan
uang elektronik ataupun pada financial teknologi. Sebagai alternatif alat
pembayaran non-cash yang dapat berfungsi seperti uang sebagai alat pembayaran
yang dapat mempermudah dan menjangkau masyarakat luas.4
Uang elektronik pada dasarnya sama seperti uang biasa karena memiliki
fungsi sebagai alat pembayaran atas transaksi jual beli barang. Dalam perspektif
syariah hukum uang elektronik adalah halal. Kehalalan ini berlandaskan kaidah,
setiap transaksi dalam muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya, maka saat itu hukumnya berubah menjadi haram.5
Berbicara tentang uang elektronik begitu erat kaitanya dengan harta, karena uang
itu pada dasarnya merupakan harta benda manusia. Harta merupakan salah satu
kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana manusia tidak akan bisa terpisah
darinya. Allah SWT berfiman dalam QS. Al-Kahf (18): 46 yang srtinya: “Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang
kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik
untuk menjadi harapan”. Menjaga harta merupakan salah satu unsur penting
dalam Maqasid Syarī‟ah yang berkaitan dengan kemaslahatan dalam harta.6
3 Sri Hidayati, DKK, Operasional E-money, (Jakarta : BI, 2006), h. 1
4 Abdul Wahab Ibrahim Abu sulaiman, Banking Cards Syariah Kartu Kredit dan Debit dalam
Perfektif Fiqih, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 ), h. 9 5 M. Akhyar, E Money Dalam Pandangan Islam http://biasyaumifatimah.com/2017/10/31/e-
money-dalam-pandangan-Islam/ diakses pada tgl 20 Januari 2018 pada pukul 22.00 WIB 6 Ika Yunia Fauzia, Prinsip dasar Ekonomi Islam (prespektif maqashid al-syariah), (Jakarta:
Prenadamedia Grup 2014) cet 1 h. 12-13
3
Menurut Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, dalam memelihara atau menjaga
harta ada tiga syarat penting yang harus diperhatikan, yakni: 1) Mensyaratkan
bahwa harta dikumpulkan harus dengan cara yang halal, artinya tidak didapatkan
dengan cara mencuri, menipu, dan lain sebagainya; 2) Harta digunakan untuk
hal-hal yang halal; 3) dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan
masyarakat tempat dia hidup. Setelah ketiga syarat terpenuhi barulah seseorang
dapat menikmati hartanya dengan sepenuh hati, namun tanpa adanya pemborosan
karena pemborosan merupakan hal berbanding terbalik dengan hifdzul mal.
Bahwa dalam penggunaan uang elektronik dapat meminimalisir bahkan
menghilangkan kemadharatan, karena bertransaksi dengan uang elektronik waktu
transaksi akan lebih cepat sehingga kemadharatan seperti antrian panjang yang
biasanya terjadi di jalan tol atau di tempat perbelanjaan dapat dihindari, dengan
uang elektronik transaksi akan terasa lebih mudah, dan dengan uang elektronik
kita tidak perlu repot-repot menyiapkan uang tunai yang pas atau menyiapkan
uang receh dalam transaksi jual beli.7
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia mendorong lembaga
keuangan Konvesiaonal untuk megakomodasi sistem syariah, khusunya di
bidang perBankan ataupun pada lembaga keuangan lainnya seperti asuransi,
pengadaian, pasar modal, koperasi dan lain-lain semuanya merasa tidak lengkap
jika tidak membuka sistem syariah. tidak terkecuali pada transaksi elektronik
syariah, karena sejatinya perBankan konvesioanal telah mengeluarkan produk-
produk uang elektronik konvesional sehingga menimbulkan ketakutan karena
tidak berprinsip syariah. maka dari itu perBankan syariah mengeluarkan produk-
produk uang elektronik berbasis dan berprinsip syariah.8
Uang elektonik merupakan solusi terbaik untuk transaksi di era modern
seperti ini kehadirannya dapat mempermudah dalam bertransaksi dan lebih cepat.
Hadirnya fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 membuat semua produk-produk
perBankan yang mengeluarkan produk atau aplikasi uang elektronik syariah
7 Afif Muamar dan Ari Salman Alparisi, Electronic Money (E-money) dalam Perspektif
Maqashid Syariah, Journal of Islamic Economics Lariba (2017). vol. 3, issue 2: h. 80-81 8 M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia 2007), h. 22
4
harus tunduk dan patuh terhadap fatwa tersebut. Maka dari itu saya tertarik untuk
meneliti fatwa 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah dan PBI
No. 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik tersebut lebih dalam yang ditinjau
dari perspektif Maqasid Asy-Syariah. apakah kehadiran uang elektronik syariah
membawa kemaslahatan atau kemudharatan serta bagaimana metode istinbat
hukum yang digunakan DSN-MUI dalam merumuskan uang elektronik syariah
tersebut. Melihat berbagai macam problem yang terjadi, maka peneliti tertarik
untuk mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul
“ANALISIS FATWA NO. 116/DSN-MUI/IX/2017 DAN PBI NO.
20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH DITINJAU
DARI PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH”
B. Identifikasi Masalah, Batasan Masalah & Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Perkembangan era globalisasi dan kemajuan teknologi membuat
manusia berpikir untuk memudahkan dalam bertransaksi disektor ekonomi.
Uang kartal yang digunakan sebagai alat tukar pada zaman sekarang dikira
kurang praktis dan menyulitkan dalam tranksaksi pembayaran sehingga perlu
ada solusi dalam memudahkan bertranksasi di saat sekarang ini. Berbicara
tentang uang elektronik begitu erat kaitanya dengan harta, karena uang itu
pada dasarnya merupakan harta benda manusia. Menjaga harta merupakan
salah satu unsur penting dalam Maqasid Syarī‟ah yang berkaitan dengan
kemaslahatan dalam harta. Hadirnya fatwa tentang uang elektonik menjadi
bentuk wujud dari keseriusan dalam membangun kemaslahatan dalam harta.
Pada sisi lain kehadiran uang elektronik syariah dan fatwanya tidak mustahil
dengan bermunculan masalah-masalah seputar uang elektronik syariah
diantaranya:
a. Apakah praktek uang elektronik syariah telah sesuai dengan prinsip-
prinsip Maqasid asy-Syariah
5
b. Hadirnya uang elektronik syariah apakah dapat memberikan kemaslahatan
dalam harta
c. Bagaimana istinbat hukum yang digunakan dalam fatwa uang elektronik
syariah
d. Uang elektonik syariah apakah dapat menjadi solusi terhadap kemudahan
dalam transaksi perekonomian Islam
e. Bagaimana Akad-akad pada uang elektronik syariah
2. Batasan Masalah
Dalam mempermudah pembahasan dan penelitian maka di sini penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas dan
terarah serta sesuai dengan harapan yang diinginkan penulis. Pada penelitian
ini penulis hanya akan membahas pada Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017
Tentang Uang Elektronik Syariah Ditinjau Dari Perspektif Maqasid Asy-
Syari‟ah.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah
dipaparkan diatas, maka penulis menarik perumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana istinbat hukum yang digunakan DSN-MUI dalam merumuskan
Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017?
b. Bagaimana hukum uang elektronik syariah dalam Fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 dan PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik
perspektif Maqasid Asy-Syariah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
6
a. Untuk mengetahui istinbat hukum yang digunakan DSN-MUI dalam
merumuskan Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017
b. Untuk mengetahui hukum uang elektronik syariah dalam Fatwa No.
116/DSN-MUI/IX/2017 dan PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang uang
elektronik perspektif Maqasid Asy-Syariah
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Bagi Penulis: penelitian ini dapat menambah tingkat wawasan dan
pengembangan ilmu pengetahuan secara teoritis dan praktis.
Sehingga dapat membuka wacana berfikir analitis kritis terhadap
masalah yang diangkat.
b. Bagi Pembaca: sebagai tolak ukur terhadap penelitian-penelitian
selanjutnya baikpun penilaian pelayanan yang berjalan saat ini di
perguruan tinggi. Serta hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
sarana diagnosis dalam mencari sebab masalah atau kegagalan yang
terjadi di dalam sistem pelayanan.
D. Review Studi Terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini penulis akan
menyertakan beberapa kajian literature yang membahas mengenai Analisis
Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah
Ditinjau dari Perspektif Maqasid Asy-Syari‟ah yang menggunakan metode
kualitatif antara lain penelitian yang dilakukan oleh Asep Saiful Bahri
(2010), Aris Rusdiyanto (2017), Rifqy Tazkiyatul Rohmah (2016),
Muhammad Radiansyah (2016), dan Afif Muamar (2017).
Asep Saiful Bahri (2010) Dalam skripsi yang berjudul “Konsep Uang
Elektronik dan Peluang Implementasi nya pada PerBankan Syariah (Studi
Kritis Terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
Tentang Uang Elektronik)” menemukan bagaimana implementasi yang
7
telah diatur oleh Bank Indonesia tentang uang elektronik perlu mendapat
kajian tentang prinsip syariah baik akad, maupun prinsip-prinsip syariah
yang diutamakan dalam transaksi uang elektronik, sehingga memberi
gambaran apabila uang tersebut diterbitkan oleh perBankan syariah.9
Aris Rusdiyanto (2017) Dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan
Prinsip Syariah Terhadap Produk E-money Bank Syariah Mandiri”
tersebut menemukan bagaimana konsep akad, skema transaksi dan
pencampuran dana pada produk E-money Bank Syariah Mandiri. Apakah
semua produk tersebut sudah sesuai dengan produk syariah atau belum.
Untuk menghasil produk syariah yang lebih baik. 10
Rifqy Tazkiyatul Rohmah (2016) Dalam tesis yang berjudul
“Transaksi Uang Elektronik Ditinjau dari Hukum Bisnis Syariah”
menemukan bagaiamana uang elektonik yang di tinjau dari hukum bisnis
Islam. Dan bagaiamana pengaruh pengunaan dari uang elektronik
Registered dan pengunaan uang elektronik Unregistered dalam kehidupan
masyarakat jika dilihat dari teori uang dan teori hifz al-mal yang ada
dalam kajian hukum Islam 11
Muhammad Radiansyah (2016) Dalam tesis yang berjudul “Analisis
Persepsi Masyarakat Muslim terhadap Penggunaan Alat Pembayaran Non
Tunai Di Kota Medan” menemukan tentang sudut pandang ilmu ekonomi
studi mengenai sistem pembayaran non tunai sangat menarik. Melihat
banyaknya manfaat yang diperoleh dari pengguna alat pembayaran non
tunai (e-payment) dan ada juga masalah yang ditimbulkan dari
9 Asep Saiful Bahri. “Konsep Uang Elektronik dan Peluang Implementasi nya
PadaPerBankan Syariah (Studi Kritis Terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
Tentang Uang Elektronik” Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2010 10
Aris Rusdiyanto, “Tinjauan Prinsip Syariah Terhadap Produk E-money Bank Syariah
Mandiri” Skripsi S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2017 11 Rifqy Tazkiyatul Rohmah. “Transaksi Uang Elektronik Di Tinjau dari Hukum Bisnis
Syariah” Tesis S2 Pasca Sarja UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2016
8
penggunaan pembayaran non tunai di Kota Medan. Dan bagaimana
persepsi masyarakat muslim medan terhadap alat pembayaran non tunai.12
Afif Muamar (2017) Dalam jurnal yang berjudul “Elektronic Money
(E-money) dalam Perspektif Maqasid Asy-Syari‟ah” menemukan
bagaiamana kesusaian uang elektronik dengan Maqasid Asy-Syari‟ah.
Apakah uang elektonik tersebut telah sesuai dengan syariat Islam atau
tidak. Kesesuaian ini didapat dengan terpenuhinya prinsip memelihara
harta dan kemaslahatan. 13
Indikator pembeda Dalam peneltian saya yaitu membahas tentang
analisi Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 uang elektronik syariah ditinjau
dari Perspektif Maqasid Asy-Syari‟ah. Jadi didalan skripsi saya
menjelaskan preskpktif Maqasid Asy-Syari‟ah terhadap uang elektronik
syariah dalam Fatwa dan PBI No. 20/6/PBI/2018 serta bagaimana metode
istinbat hukum yang digunakan dalam DSN-MUI dalam merumuskan
Fatwa uang elektronik syariah.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu proses yang panjang untuk mengali
sesuatu yang belum pernah dibahas sebelumnya. Berawal dari sebuah
masalah yang timbul maka akan menghasilkan sebuah pertanyaan yang
menarik untuk diteliti, selanjutnya berkembang menjadi gagasan, teori,
konsep, pemilihan metode yang sesuai dan seterusnya.14
Adapun disini
penulis mengunakan metode penelitian sebagai berikut:
12 Muhammad Radiansyah. “Analisis Persepsi Masyarakat Muslim Terhadap Penggunaan
Alat Pembayaran Non Tunai Di Kota Medan” Tesis S2 Pogram Pascasarjana, Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara, Medan. 2016 13
Afif Muamar, Elektronic Money (E-money) dalam Perspektif Maqasid Asy-
Syari‟ah, Jurnal Of Islamic Economics Lariba (Volume 3, Issue 2, Tahun 2017) 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), Cet. ke-, h.20
9
1. Jenis penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis penelitian kualitatif yang merujuk pada data yang bersifat
normatif yang sangat erat hubungannya dengan data-data yang bersifat
kepustakaan dengan bertujuan untuk membuat analisa terhadap obyek
yang diteliti. Pada penelitian ini akan menganalisis Fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah yang Ditinjau Dari
Perspektif Maqasid Asy-Syari‟ah”
2. Jenis data dan sumber data
Jenis data yang dipilih oleh penulis dalam penyusunan penelitian
ini mengunakan dua jenis sumber data yaitu:
a. Data Primer
Pada data primer ini diperoleh secara langsung dari sebuah obyek
yang akan diteliti. Data ini diperoleh secara lansung dari buku-buku yang
berkaitan dengan Fatwa DSN MUI, Uang Elektronik maupun Maqasid
Asy Syariah.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh dari yang bukan data-data utama
seperti buku-buku Fatwa DSN MUI, Uang Elektronik maupun Maqasid
Asy Syariah, melainkan diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya
dengan pembahasan ini secara tidak langsung. 15
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (library reseach) yaitu
dengan membaca literatur yang berkaitan dengan penelitian baik
bersumber dari buku-buk, jurnal, skripsi terdahulu, artikel dan sumber-
sumber lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.16
15
Saifuddin Azwar, MetodePenelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet. Ke 1-, h. 91 16
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian; suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), Cet. ke-12, h. 32
10
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Adapun sistematika
penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, identifikasi, batasan, dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metodelogi penelitian hukum dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II KAJIAN UMUM MENGENAI UANG ELEKTRONIK SYARIAH
DAN MAQASID SYARIAH
Bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan pengertian uang
elektronik konvensional, uang elektronik syariah, maqasid syariah,
dasar hukum, akad-akad pada uang elektronik syariah, tujuan dan
kerangka pada maqasid syariah, teori-teori yang akan penulis gunakan
untuk menganalis dan penelitian terdahulu.
BAB III PROFIL DEWAN SYARIAH NASIONAL DAN BANK
INDONESIA
Bab ini berisi profil dewan syariah nasional menjelaskan sejarah, latar
belakang, tugas, wewenang, dan metode perumusan fatwa. Pada bab
ini menjelaskan juga profil Bank Indonesia, status, kedudukan,
pengaturan dan pengawasan.
BAB IV ANALISIS FATWA MUI NO. 116/DSN-MUI/IX/2017 DAN PBI
NO. 20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH
DITINJAU DARI PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH
Bab ini membahas mengenai Bagaimana Istinbat hukum yang
digunakan DSN-MUI dalam Merumuskan Fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 dan Bagaimana hukum uang elektronik syariah dalam
Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 dan PBI No. 20/6/PBI/2018
11
tentang uang elektronik menurut konsep Maqasid Asy-Syariah semuan
ini untuk menjawab latar belakang penelitian yang didasari kepada isi
dari bab II.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Substansi dari kesimpulan adalah
hasil analisis dari yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya yang
berkaitan dengan rumusan masalah yang dibuat secara ringkas. Saran
berisi rekomendasi yang bersifat konstruktif solutif atas hasil
penelitian hukum yang telah dilakukan, sehingga diharapkan memiliki
nilai guna dan manfaat secara luas
12
BAB II
KAJIAN UMUM MENGENAI UANG ELEKTRONIK SYARIAH DAN
MAQASID SYARIAH
1. Uang Elektronik
a. Pengertian Uang
Untuk bisa mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan uang,
kita harus bisa memberikan pengertian atau definisi serta fungsi dari uang itu.
Uang selalu kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang
bisa diterima oleh umum sebagai alat pembayaran dan sebagai alat tukar-
menukar.17
Dari sudut pandang ekonom, uang (money) merupakan stok asset-aset
yang digunakan untuk transaksi. Uang adalah sesuatu yang diterima atau
dipercaya masyarakat sebagai alat pembayaran atau transaksi. Karena itu uang
dapat berbentuk apa saja, tetapi tidak berarti segala sesuatu itu adalah uang.
Misal kita mengenal uang kertas sebagai transaksi, tetapi tidak semua kertas
itu adalah uang.
Bukan karena harga kertasnya yang sangat murah, melainkan karena
tidak diterima atau dipercaya oleh masyarakat umum sebagai alat
pembayaran. Kita pernah mendengar di zaman dahulu uang emas atau dinar
yang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah dan tinggi nilainya. Di
zaman modern ini, walaupun harga emas tetap masih tinggi, uang logam emas
tidak lagi digunakan sebagai alat transaksi, karena kedudukannya telah
digantikan oleh bentuk-bentuk uang yang lain.
1) Uang fiat (fiat money atau taken money)
Uang fiat adalah komoditas yang diterima sebagai uang, namun nilai
nominalnya jauh lebih besar dari nilai komoditas itu sendiri (nilai intrinsiknya
atau intrinsic value-nya) contoh paling mudah adalah uang kertas Rp.
17
Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013),
Cet. Ke-2, h. 44
13
100.000,00 yang anda terima. Nilai nominal uang kertas tersebut adalah jauh
lebih tinggi dari nilai kertasnya. Tetapi mengapa masyarakat menerima bahwa
selembar kertas yang nilainya tidak seberapa tersebut dapat digunakan untuk
berbelanja senilai Rp.100.000,00? Karena pemerintah telah menetapkannya
berdasarkan keputusan resmi, sehingga masyarakat menjadi percaya.
2) Uang Komoditas (Commodity Money)
Uang komoditas adalah uang yang nilainya sebesar nilai komoditas itu
sendiri. Contohnya, pada masa lalu nilai sekeping uang perunggu adalah lebih
kecil dari nilai satu keeping uang perak, tetapi satu keeping uang perak
nilainya lebih kecil dari nilai satu keeping uang emas, sebab nilai perunggu
lebih murah dari perak, sedangkan perak lebih murah dari emas. 18
Dalam sistem perekonomian mana pun, fungsi utama uang adalah
sebagai alat tukar (medium of exchange). Dalam sistem perekonomian
kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender)
melainkan juga sebagai komoditas. Menurut sistem kapitalis, uang juga dapat
diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the spot maupun secara tangguh.
Lebih jauh, dengan cara pandang demikian, maka uang juga dapat disewakan
(leasing).
Dalam Islam, apa pun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya
hanyalah sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa
diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan.
Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak
diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri,
melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain sehingga kebutuhan
manusia dapat terpenuhi. Ini lah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa
“emas dan perak hanyalah logam yang di dalam substansinya (zatnya itu
sendiri) tidak ada manfaatnya atau tujuan-tujuannya”. Menurut al-Ghazali
hakikat dan fungsi uang ibarat cermin ia tidak memiliki warna namun bisa
18
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikro dan makro
ekonomi) edisi ketiga, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2008), h.
317-318
14
mencerminkan semua warna Penjelasan imam Ghazali sunguh sangatlah luar
biasa cemerlangnya, dan sangat mendahului zamannya.19
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa “uang
sebagai alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh
adat yang berlaku (urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus
terbatas pada emas dan perak”. Pada umumnya, para ulama dan ilmuan sosial
Islam menyepakati fungsi uang sebagai alat tukar saja. Deretan ulama ternama
seperti Imam Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ar-
Raghib al-Ashbahani, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, dan Ibnu Abidin dengan
jelas menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Bahkan Ibnu
Qayyim mengecam sistem ekonomi yang menjadikan focus (mata uang logam
dari kuningan atau logam) sebagai komoditas biasa yang bisa diperjualbelikan
dengan kelebihan untuk mendapatkan keuntungan. Seharusnya mata uang itu
bersifat tetap, nilainya tidak naik turun.20
Menurut fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 menjelaskan Naqd (uang)
adalah:
Segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara
umum. Apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun media tersebut.
Naqd juga dapat diartikan sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh
masyarakat. Baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari
bahan lainnya dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas.21
Jadi bahwasan uang merupakan alat untuk bertransaksi yang sah dan diakui
oleh Pemerintah. Uang dapat digunakan untuk berbagai macam tranksaksi
baik pembayaran ataupun lainnya.22
Jadi bahwasan uang merupakan alat untuk bertransaksi yang sah dan
diakui oleh Pemerintah. Uang dapat digunakan untuk berbagai macam
tranksaksi baik pembayaran ataupun lainnya.
19
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam (tinjauan Teoritis dan Praktis),
(Jakarta: Kencana,2010), Cet. Ke-1, h. 12-14 20
Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam (tinjauan Teoritis dan Praktis),
(Jakarta: Kencana,2010), Cet. Ke-1, h. 12-14 21
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 6-7. 22
Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuang, h. 44-49
15
Ada beberapa fungsi uang yang penting kita pahami selain sebagai alat
tukar menukar dalam pembayaran dan sebagainya, fungsi uang dibagi menjadi
empat fungsi, antara lain:
1) Uang sebagai alat tukar menukar
2) Uang sebagai kesatuan hitung
3) Uang sebagai penimbun kekayaan
4) Uang sebagai stadar pembayaran berjangka atau standar pencicilan
utang.23
b. Pengertian Uang Elektronik
Perkembangan uang elektronik membuat ramai masyarakat Indonesia,
kehadirannya menjadi segala solusi terhadap hal-hal yang kurang dalam kartal
atau uang tunai, jadi uang Uang elektronik merupakan alat pembayaran yang
berbentuk elektronik yang nilai uangnya sesuai dengan nilai uang yang
disetorkan kepada penerbit atau agen-agen penerbit yang kemudian nilai uang
tersebut dimasukan dalam media elektronik yang berupa chip atau media
server.24 Berdasarkan definisi European Central Bank, e-money merupakan
sebuah nilai uang yang disimpan secara elektronik ke dalam sebuah alat yang
dapat digunakan untuk melakukan pembayaran kepada pihak selain penerbit
uang tanpa perlu melibatkan akun Bank dalam transaksi, dan bertindak
sebagai instrumen yang bersifat prabayar. Menurut Fungsi e-money
merupakan nilai uang yang disimpan secara elektronik ke dalam alat seperti
kartu chip atau hard drive di dalam komputer atau server, direpresentasikan
dengan klaim pada penerbit, dan diterbitkan dengan sejumlah dana yang
digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran yang dilakukan kepada
pihak selain penerbit uang elektronik. 25
23
Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan, h. 44-49 24
Afif Muamar dan Ari Salman Alparisi, Electronic money (E-money) dalam perspektif
maqashid syariah, (Journal of Islamic Economics Lariba 2017), vol. 3, issue 2, h. 76-77 25
Kirana Widyastuti, Tantangan Dan Hambatan Implementasi Produk Uang Elektronik Di
Indonesia: Studi Kasus Pt Xyz, Jurnal Sistem Informasi (Journal of Information Systems 2017, h. 40
16
Istilah E-money mengikuti trend yang diciptakan oleh new economy
yang berintikan dunia internet, seperti e-business, e-commerce, e-trade dan
yang lainnya. Dapat dikatakan pula yang dimaksud dengan E-money adalah
uang yang tidak berwujud secara fisik melaikan berwujud informasi
elektronik. Misalnya, yang sudah lazim dewasa ini (terutama untuk level
menengah atas), karyawan tetap menerima gaji sebagai imbalan atas kerjanya.
Namun, imbalan itu tidak lagi berwujud dalam segepok uang, melainkan
hanya bukti transfer dari rekening perusahaan ke rekenin karyawan. Implikasi
dari munculnya E-money adalah:
1) Mengurangi eksploitasi sumber daya alam paling tidak penggunaan
kertas dan logam untuk membuat uang jadi berkurang.
2) Menghindari pemalsuan uang (meski akan timbul resiko baru yang belum
terbayangkan)
3) Mempercepat penyatuan mata uang dunia
4) Jika implikasi ketiga terjadi, dunia tidak direpotkan lagi oleh liarnya
fluktuasi nilai tukar atar mata uang. 26
Contoh uang Elektronik:
Berdasarkan Peraturan BI nomor 11/12/PBI/ 2009 tentang uang
elektronik uang elektronik (electronic money) adalah:
Alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a.
diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang
kepada penerbit; b. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media
seperti server atau chip; c. digunakan sebagai alat pembayaran kepada
26
Sawidji Widoatmodjo, New Business Model (Strategi Ampuh Menangani Bisnis Abad Ke 21),
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005), Cet. Ke-1, h. 212.
17
pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut; dan d.
nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perBankan27.
Menurut ketentuan fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 menjelaskan
uang elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang memenuhi
unsur-unsur berikut:
a) diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit
b) jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang
teregristrasi.
c) Jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai perBankan
d) Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut. 28
Berdasarkan medianya uang elektronik dibagi menjadi dua: uang
elektronik yang nilai uangnya selain dicatat pada media elektronik yang
dikelola oleh penerbit juga dicatat dalam media elektronik yang dikelola oleh
pemegang dan uang elektronik yang nilai uang elektroniknya hanya dicatat
pada media elektronik yang dikelola oleh penerbit. Berdasarkan masa
berlakunya uang elektronik dibedakan menjadi dua: Reloadable adalah uang
elektronik yang dapat dilakukan Top up atau pengisian ulang, dan Disposable
uang elektronik yang tidak dapat diisi ulang Berdasarkan jangkauan
penggunaanya uang elektronik dibedakan menjadi dua: Single-Purpose
adalah uang elektronik yang hanya dapat digunakan untuk transaksi
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari satu jenis transaksi ekonomi,
27
Peraturan BI nomor 11/12/PBI/ 2009 tentang uang elektronik 28
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 7
18
dan Multi-Purpose adalah uang elektronik yang dapat digunakan untuk
berbagai jenis transaksi ekonomi. 29
Sedangakan menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/8/PBI/2014 Tentang Perubahan atas peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektonik (electronic money) menjelaskan
dalam Pasal 1A butir 1, bahwa berdasarkan pecatatan data identitas
pemegang, uang elektronik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Uang elektronik yang data identitasnya pemegangnya terdaftar dan
tercatat pada penerbit (registered)
2) Uang elektronik yang data identitas pemegangnya tidak terdaftar dan
tidak tercatat pada penerbit (unregistered)30
Sejarah E-money mulai menggeliat di Indonesia sejak 2009 yakni mulai
munculnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 yang
menjadi payung hukum penerbitan emoney. Bank maupun non Bank
diperbolehkan menerbitkan E-money setelah mendapatkan izin BI selaku
regulator sistem pembayaran. Pada saat ini, terdapat 17 penerbit E-money,
yang sembilan diantaranya adalah Bank. Meski demikian, penggunaan E-
money masih belum membudaya di kalangan masyarakat sehingga volume
transaksi masih sangat jauh di bawah potensinya. Walaupun demikian,
faktanya, baik dari jumlah instrumen, volume maupun nominal transaksi, uang
elektronik di Indonesia tercatat memiliki pertumbuhan yang cukup signifikan
sepanjang tiga tahun terakhir.31
Dari instrumen E-money yang beredar per Februari 2014, transaksinya
mencapai 36,81 juta, lebih besar dari posisi akhir 2012 yang sebesar 21,87 juta
atau jumlah pada akhir 2011 yang masih 14,30 juta. Selain menggenjot
29
Afif Muamar dan Ari Salman Alparisi, Electronic money (E-money) dalam perspektif
maqashid syariah, Journal of Islamic Economics Lariba. Vol. 2017, 3, (2017): h. 76-77 30
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 Tentang Uang Elektonik (electronic money) 31
Jahja Setiaatmadja, E-money Your Money‛, The Finance Magazine, Edisi 1, Tahun 1, Mei
2014, h. 131.
19
transaksi E-money berbasis kartu, transaksi E-money berformat mobile phone
dan internet account yang umumnya diterbitkan oleh institusi non Bank juga
berpotensi kian tumbuh. 32
Berkembangnya format E-money ini diharapkan akan memacu
penggunaan transaksi non tunai di kalangan masyarakat. Volume transaksi E-
money sepanjang 2013 mencapai 137,90 juta atau tumbuh 36,00% dari tahun
sebelumnya dan dari sisi nominal transaksi sebesar Rp2,90 triliun atau
meningkat 48,97% dari periode 2012. Berdasarkan Statistik sistem
pembayaran Bank Indonesia, hingg Desember 2017 jumlah uang elektronik
mencapai 90 juta instrument. Jumlah tersebut menurun dari posiso 113 juta
pada November. Tetapi, jika dibadingkan dengan desember 2016 yang
sebanyak 51 juta jumlah tersebut meningkat hamper dua kali lipat. Dari sisi
transaksi, nominal per Desember 2017 mencapai Rp. 11,5 Triliun atau tumbuh
64% dibandingkan Desember 2016 yang senilai Rp. 70,6 Triliun. Pertumbuhan
tersebut meningkat dua kali lipat jika dibandingkan pertumbuhan dari 2015 ke
2016 yang sebesar 33,7%.
Pertumbuhan pesat juga terlihat dari infrastruktur uang elektronik. Pada
desember 2016 jumlah mesin pembaca masih sebanyak 374.861 buah. Namun,
pada akhir 2017 jumlah melonjak menjadi 691.331 buah. Beberapa factor
meningkatnya penggunaan uang elektronik di Indonesia adalah kewajiban
pembayaran tol nontunai dan berkembangnya transportasi online serta
pesatnya jual beli secara online. Saat ini terdapat 27 penerbit uang elektronik di
Indonesia. Penertbit didominasi oleh Bank dan Perusahaan Telekomunikasi.
uang elektronik adalah alat pembayaran yang berbentuk elektronik yang nilai
uangnya sesuai dengan nilai uang yang disetorkan kepada penerbit atau agen-
agen penerbit yang kemudian nilai uang tersebut dimasukan dalam media
elektronik yang berupa chip atau media server.33
32
Jahja Setiaatmadja, E-money Your Money‛, The Finance Magazine, Edisi 1, Tahun 1, Mei
2014, h. 131. 33
https://bisnis.tempo.co/read/1061730/tumbuh-64-persen-bi-transaksi-uang-elektronik-rp-115-t-
di-2017, didownload pada hari Kamis, 29 Maret 2018 pukul 21.00 WIB.
20
Jadi uang elektronik merupakan alat transaksi keuangan yang berbasis
elektronik atau digital dan berbentuk kartu yang mana nilai uang di catat dan
dikelola oleh penerbit. Jumlah uang yang kita setorkan sesuai dengan catatan
yang ada pada uang elektronik yang kita miliki. Dan uang elektronik tersebut
dapat digunakan untuk berbagai macam transaksi pembayaran yang mana
antara penerbit dan pedangan (merchant) saling berkerja sama dalam transaksi
elektronik.
c. Dasar hukum uang elektronik
Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/debit) serta
Uang Elektronik diatur dalam sejumlah regulasi Peraturan Bank Indonesia
selanjutnya disebut PBI, sebagai berikut:
1) PBI Nomor 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
2) PBI Nomor 7/5/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
3) PBI Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan Atas PBI Nomor
7/5/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu
4) PBI Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB)
5) PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
6) PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
7) PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu
8) PBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan atas PBI Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
21
9) PBI Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas PBI Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
10) PBI PBI Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga atas PBI
Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/kartu debit)
dan Uang Elektronik (E-money) juga diatur di dalam sejumlah Surat Edaran
Bank Indonesia (SE BI), yaitu:
1) SE BI Nomor 7/59/DASP/2005 tentang Tata Cara Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
2) SE BI Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah
dan Kehati-hatian serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
3) SE BI Nomor 7/61/DASP/2005 tentang Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
4) SE BI Nomor 8/18/DASP/2006 tentang Perubahan atas SE BI Nomor
7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-
hatian serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
5) SE BI Nomor 10/04/UKMI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
6) SE BI Nomor 10/07/DASP/2008 tentang Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
7) SE BI Nomor 10/20/DASP/2008 tentang Perubahan Kedua atas SE BI
Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan
Kehati-hatian serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
8) SE BI Nomor 11/10/DASP/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
9) SE BI Nomor 11/11/DASP/2009 tentang uang elektronik (Electronic
Money)
22
10) SE BI Nomor 13/22/DASP/2011 tentang Implementasi Teknologi Chip
dan Penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada Kartu ATM
dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan Di Indonesia
11) SE BI Nomor 16/11/DKSP tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik
12) SE BI Nomor 16/12/DPAU tentang Penyelenggaraan Layanan
Keuangan Digital34
Dasar hukum uang elektronik juga tercantum, dalam UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik yang mana di
dalamnya mengatur bagaimana pelaksanaan transaksi elektronik dan semua
itu tercantum pada Bab V tentang Transaksi Elektronik.35 Selanjutnya
peraturan Menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat No.
16/PRT/M/2017 tentang transaksi tol no tunai di jalan tol dimana pengunaan
uang elektronik merupakan salah satu bentuk teknologi dalam transaksi tol
non tunai dijalan tol.36
2. Uang Elektronik Syariah
a. Prespektif Syariah tentang Uang Elektronik
Menurut fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 uang elektronik syariah
adalah uang elektronik yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Pengertian
uang elektronik syariah tidak jauh berbeda dengan uang elektronik
konvesional akan tetapi pada praktek dan akadnya berbeda dengan
konvesioanal dan tetunya terhidar dari hal-hal yang dilarang agama.37
Dalam
34
http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ Haikal Ramadhan, Aminah dan Suradi
Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi Ditinjau
Dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/Pbi/2014 Tentang Uang Elektronik (E-money), Jurnal
Diponegoro Law Review Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 hlm 7-9 di akses pada Minggu tanggal 1
april 2018 pukul 21.43 35
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik 36
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat No. 16/PRT/M/2017 Tentang
Transaksi Tol Non Tunai Di Jalan Tol. 37
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. .7
23
perspektif syariah hukum uang elektronik adalah halal, kehalalan ini
berlandaskan kaidah; setiap transaksi dalam muamalah pada dasarnya
diperbolehkan kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya, maka saat itu
hukumnya berubah menjadi haram. Oleh karena itu uang elektronik harus
memenuhi kriteria dan ketetentuan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Walau E-money sudah disahkan melalui screening halal MUI dan Fatwa
Dewan Syariah Nasional, tetap yang dibutuhkan adalah kebijakan dan
penghematan dalam menggunakannya, agar tidak boros & menyebabkan
kerugian di lain hari. Prinsip-prinsip Syariah dalam Transaksi Uang
Elektronik Tidak Mengandung Maysir (unsur perjudian, untung-untungan
atau spekulatif yang tinggi). Tidak Menimbulkan Riba yang berbentuk
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-
meminjam dan pengalihan harta secara batil. Transaksi uang elektronik
merupakan transaksi tukar-menukar/jual beli barang ribawi, yaitu antara nilai
uang tunai dengan nilai uang elektronik dalam bentuk Rupiah.
Uang elektronik pada dasarnya digunakan sebagai alat pembayaran
ritail/mikro, Agar terhindar dari Israf (pengeluaran yang berlebihan) dalam
konsumsi dilakukan pembatasan jumlah nilai uang elektronik serta batas
paling banyak total nilai transaksi uang elektronik dalam periode tertentu.
Tidak Digunakan untuk Transaksi objek Haram dan Maksiat Uang elektronik
sebagai alat pembayaran dengan menggunakan prinsip Syariah, uang
elektronik tidak boleh digunakan untuk pembayaran transaksi objek haram
dan maksiat, yaitu barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau
digunakan menurut hukum Islam.38
Uang elektronik syariah harus terhidar dari :
1. Pertukaran nilai uang tunai dengan nilai pada E-money Syariah harus
sama jumlahnya karena jika tidak maka tergolong ke dalam riba al-fadl.
Riba al-fadl (tambahan) atas salah satu dua barang yg dipertukarkan
38
Yuli Utami dan Ayief Fathurrahman, Implikasi E-money Terhadap Kesejahteraan di Indonesia
Menurut Perspektif Islam, (Yogyakarta: Penelitian Dosen Muda Prodi Ilmu Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah 2017), h. 9
24
dalam pertukaran barang ribawi sejenis. Contohnya saldo E-Money
Syariah sebesar Rp. 100.000,00 tidak boleh dijual seharga Rp. 95.000,00
ataupun Rp. 110.000,00. Jadi hanya boleh dibeli pada nilai yang sama
yakni Rp. 100.000,00.
2. Pertukaran nilai uang tunai dengan nilai pada E-money Syariah juga
harus dilakukan secara tunai, jika tidak maka tergolong riba al-nasiah.
Riba al-nasiah adalah penundaan penyerahan salah satu dua barang yang
dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis. Misalnya pada
saat pemegang kartu E-money Syariah melakukan refund/redeem nilai
uang elektronik dengan nilai uang tunai kepada penerbit, maka penerbit
harus memenuhi hak tagih tersebut dengan tepat waktu tanpa melakukan
penangguhan pembayaran.
3. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan). Uang elektronik
pada dasarnya digunakan sebagai alat pembayaran ritail/mikro, agar
terhindar dari israf (pengeluaran yang berlebihan) dalam konsumsi
dilakukan pembatasan jumlah nilai uang elektronik serta batas paling
banyak total nilai transaksi uang elektronik dalam periode tertentu.
4. Tidak digunakan untuk transaksi objek haram dan maksiat uang
elektronik sebagai alat pembayaran dengan menggunakan prinsip syariah,
uang elektronik tidak boleh digunakan untuk pembayaran transaksi objek
haram dan maksiat, yaitu barang atau fasilitas yang dilarang
dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.39
b. Akad-akad pada uang elektronik syariah
Menurut ketentuan fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah menjelaskan akad-akad yang dapat digunakan pada uang
elektronik syariah antara lain akad Wadiah, Qardh, Ijarah, Jualah, Wakalah
39
http://biasyaumifatimah.com/2017/10/31/e-money-dalam-pandangan-Islam/ diakses pada hari
Minggu, 1 April 2018 pukul 17.25 WIB
25
bil Ujrah dan Hiwalah. Berikut penjelasan akad-akad yang terdapat pada uang
elektronik syariah:
1) Akad Wadiah
Kata al-wadi‟ah berarti menempatkan sesuatu yang ditempatkan
bukan pada pemiliknya untuk dipelihara.40 Dalam Bahasa Indonesia wadi‟ah
berarti “titipan”. Wadiah adalah akad (aqad) atau kontrak antara dua pihak,
yaitu anatara pemilik barang dan kustodian dari barang tersebut. Barang
tersebut dapat berupa apa saja yang berharga atau memiiki nilai.41 Al-Wadiah
merupakan prinsip simpanan Murni dari pihak yang menyimpan atau
menitipkan kepada pihak yang menerima titipan untuk dimanfaatkan atau
tidak dimanfaatkan seusai dengan ketentuan. Titipan harus dijaga dan
dipelihara oleh pihak yang menerima titipan, dan titipan ini dapat diambil
sewaktu-waktu pada saat dibutuhkan oleh pihak yang menitipkannya.
Wadi‟ah dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Wadi‟ah Yad Amanah (trustee
safe custody) dan Wadi‟ah Yad Dhamana (guarantee safe custody). 42
Menurut Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah Akad wadi‟ah adalah:
Akad penitipan uang dari pemegang uang elktronik kepadaa penerbit
dengan ketentuan pemegang uang elektronik dapat mengambil/ menarik/
menggunakan kapan saja sesuai kesepakatan. Secara umum, wadi‟ah adalah
titipan murni dari pihak penitip yang mempunyai barang/aset kepada pihak
penyimpan yang diberi amanah/ kepercayaan, baik individu maupun badan
hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian,
keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan
menghendaki.43
2) Akad Qardh
40
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. Ke-2, h. 244 41
Sutan Remy Sjahdeini, PerBankan Syariah (produk-produk dan aspek hukumnya), (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1, h. 351 42
Ismail, MBA, PerBankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), Ed. 1, Cet.
Ke-1, h. 59 43
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 42
26
Kata qardh berasal dari kata arab qiradh yang berarti “memotong”
disebut qardh karena terjadi pemotongan sebagian dari kekayaan peminjam
(lender) dengan memberikan pinjaman (loan) kepada penerima pinjaman
(borrower)44 Al-Qard merupakan pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali sesuai dengan jumlah uang yang
dipinjamkan, tanpa adanya tambahan atau imbalan yang diminta oleh Bank
syariah. 45
Menurut Syafi‟I Antonio dalam buku nya menjelaskan bahwasannya
al-Qardh adalah “pemberian harta kepada orang lainyang dapat ditagih atau
diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam literature fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam akad saling
tolong menolong dan bukan transaksi komersial”. 46
Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
عه د قدزج ع قحسض نسد يثه إن قسض نه ان عط بل انر ان انقسض
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid)
kepada penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya
(muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.47
Menurut Fatwa DSN-MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh
menjelaskan bahwa al-qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada
nasabah (muqtaridh) yang memerlukan48 dan fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah Akad qardh adalah akad
pinjaman dari pemegang uang elektronik kepada penerbit dengan ketentuan
bahwa penerbit wajib mengembalikan uang yang diterimanya kepada
44
Sutan Remy Sjahdeini, PerBankan Syariah (produk-produk dan aspek hukumnya), h. 342 45
Ismail, MBA, PerBankan Syariah, h. 212 46
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah (dari teori ke praktik), (Jakarta: Gema Insani,
2001), Cet. Ke-1, h. 131 47
Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), Cet. Ke-3, juz 3, h. 128 48
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa DSN-MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-
Qardh (Jakarta: DSN, 2001), h. 2
27
pemegang kapan saja sesuai dengan kesepakatan.49 Serta dalam POJK
Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan syariah
menjelaskan bahwasannya qardh adalah pinjam meminjam dana (dana
talangan) tanpa imbalan dengan kewajiban pihak meminjam mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 50
3) Akad Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-
„iwadh/pengantian, dari sebab itulah ats-tsawabu dalam konteks pahala
dinamai juga al-Ajru atau upah. Lafal al-ijarah dalam Bahasa arab berarti
upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-
menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. 51
Adapun secara terminologi, para ulama fiqh berbeda pendapatnya
antara lain:
a) Menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi
untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian
b) Menurut ulama Syafi‟iyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi
terhadap suatu manfaatyang. dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh
dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.
c) Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan
dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.
Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu
benda disebut ijara ain, seperti sewa menyewa rumah untuk ditempat.
Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang
disebut ijarah ad-Dzimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik
skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqh disebut
al-ijarah.
49
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 8. 50
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan syariah 51
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 244
28
Al-ijarah dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk
upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam
Islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau boleh
bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟
berdasarkan ayat al-Qur‟an, hadis-hadis Nabi dan ketetapan ijma Ulama.52
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan ijarah, yang dimaksudkan dengan ijarah adalah pemindahan
hak pakai atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri.53 Serta menurut Fatwa No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah Akad ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu
tertentu dengan pembayaran atau upah.54 Bahawasan ijarah merupakan
akad sewa menyewa yang mengalihkan hak manfaat atas asset tersebut
dan dibatasi dengan jangka waktu tertentu.
4) Akad Jualah
Secara etimologi, ju‟alah berarti upah, hadiah, atau komisi. Secara syara‟,
menurut Sayyid Sabiq ju‟alah ialah:
فعة عه عقد ي نب ظ حص
“Sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat
dapat diperoleh.”
Sedangkan secara terminologi, ju‟alah adalah suatu iltizam (tanggung
jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan/upah tertentu terhadap orang
yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti
dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
52
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kecana prenada media grup, 2012) , Cet.
Ke-2, h. 277 53
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
Ijarah, (Jakarta: DSN, 2000), h. 3-4. 54
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 9.
29
Jualah merupakan perjanjian (kontrak) penugasan pekerjaan antara
seseorang pemberi tugas, yang disebut ja‟il, yang meningkatkan diri untuk
memberikan imabalan (ju‟al) kepada orang lain (penerima tugas) karena
bersedia atau lebih berhasil melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh
ja‟il. Jualah diperkenankan menurut al-Qur‟an dan as-sunnah/al-hadits.55
Menurut fatwa DSN-MUI No. 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Jualah
menjelaskan bahwasan nya ju‟alah adalah janji atau komitmen (iltizan) untuk
memberikan imbalan (reward/‟iwadh/ju‟l) tertentu atas pencapaian hasil
(natijah) yang ditentukan dari hasil pekerjaan56
. Dan menurut fatwa No.
116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah dan dalam POJK
Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan syariah
Akad ju‟alah adalah akad untuk memberikan imbalaan (reward/‟iwadh/ju‟l)
tertentu atas pencapaaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan.57
5) Akad Wakalah Bil Ujrah
Wakalah atau wikalah secara Bahasa bermakna perlindungan (Al-
Hafidz), pencukupan (Al-Kifayah), tanggungan (Ad-Dhaman), atau
pendelegasian (At-Tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa
atau mewakilkan.58 bahwasannya wakalah adalah seseorang yang
menyerahkan urusan nya kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu,
perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.59
55
Sutan Remy Sjahdeini, PerBankan Syariah (produk-produk dan aspek hukumnya), h. 358 56
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, fatwa DSN-MUI No. 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang
Jualah (Jakarta: DSN, 2007), h. 4 57
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan syariah dan Dewan
Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah,
(Jakarta: DSN, 2017) h. 9. 58
Rachmad Syafei, fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Pustakan Setia, 2010), h. 125 59
Hendi Suhaendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2002), h.232
30
Sementara ujroh dalam pelaksanaan wakalah adalah imbalan (fee) yang
diberikan dari pihak yang diwakilkan kepada yang mewakilkan.60
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad
Wakalah Bil Ujrah pada asuransi syariah dan reasuransi syariah menjelaskan
bahwasannya Wakalah Bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian
ujrah (fee). Dan dalam fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah Akad wakalah bi al-ujurah adalaah akad wakalah dengan
imbalan (ujrah). 61dan dalam POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang
penyelengaraan usaha pembiayaan syariah menjelaskan bahwasannya
wakalah bi al-ujurah adalah wakalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah).62
jadi bahwasan wakalah bi ujrah adalah akad yang mewakilkan kepada
sesorang dengan imbalan jasa atau ujroh.
6) Akad Hiwalah
Hiwalah merupakan pengalihan hutang atau pemindahan hutang
secara terminologi, Ibnu Abidin, Ulama mazhab Hanafi, mendefinisikan
hiwalah ialah merupakan pemindahan kewajiban membayar hutang dari yang
berhutang (Al-Muhil) kepada orang yang berhutang lainya (al-muhal alaih).
Menurut Jumhur ulama, hiwalah adalah akad yang menghendaki pemindahan
pengalihan hutang dari tangung jawab seseorang kepada tangung jawab orang
lain.63 Pada dasarnya definisi yang dikemukan oleh ulama Hanafiyah dan
jumhur ulama fiqh diatas sekalipun berbeda secara tekstual, tetapi secara
subtansial mengandung pengertian yang sama, yaitu pemindahan hak
menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak
memberi hutang.64
60
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang
Akad Wakalah Bil Ujroh pada Asuransi Syari‟ah dan reasuransi syariah (Jakarta: DSN, 2006) h. 7 61
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 9. 62
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan syariah 63
Azharudin Lathif, fiqh Muamalat (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) Cet. Ke.1, h. 158-159 64
Hasrun Haroen, Fiqh Muamalat, h. 222
31
Jadi bahwasannya hiwalah merupakan pengalihan hutang dari pihak
pertama yang memiliki hutang dengan pihak kedua dialihkan kepada pihak
ketiga dan semuanya itu harus atas dasar ridho atau sepakat antara ketiga
pihak tersebut.
3. Maqasid Syariah
a. Pengertian Maqasid Syariah
Untuk mengetahui secara jelas makna dari Maqasid Asy-Syariah
perlu kita definisikan terlebih dahulu istilah tersebut. Secara Bahasa
(lughowi), Maqasid Asy-Syariah terdiri dari dua kata, yaitu Maqasid dan
Asy-Syariah. Maqasid adalah bentuk jamak dari Maqasid yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Sedangkan Asy-Syariah secara Bahasa berarti
jalan menuju air. Air adalah pokok kehidupan. Dengan demikian, berjalan
menuju sumber air ini dapat dimaknai jalan menuju kearah sumber pokok
kehidupan.
Dari pengertian diatas Maqasid Asy-Syariah dapat diartikan tujuan
atau maksud dari diturunkannya syariat kepada seorang muslim. Semua
kewajiban manusia (taklif) bersumber dari syari‟at yang diturunkan oleh
Allah SWT. adalah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia
itu sendiri. Tidak ada syariat yang diturunkan oleh Allah SWT tanpa
adanya suatu tujuan. Syariat yang tidak memiliki tujuan sama saja
membeBankan seusatu tanpa dapat dilaksanakan.65 Maqasid Asy-Syariah
bearti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum
Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Q ur‟an dan Sunnah
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. 66
Kandungan Maqasid Asy-Syariah adalah kemaslahatan, al-Syartibi
mengatakan bahwa Maqasid Asy-Syariah dalam arti kemaslahatan
terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan. Artinya apabila
65
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jakarta; Ar-Ruzz Media, 2016) cet. IV h. 154 66
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) h 233.
32
terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara
jelas dimensi kemasalahatannya, dapat dianalisis melalui Maqasid Asy-
Syariah yang dilihat dari ruh syariat dan tujuan umum dari agama Islam
yang hanif. Al qur‟an sebagai sumber ajaran agama Islam memberikan
pondasi yang penting yakni prinsip membentuk kemaslahatan manusia
terhadap syariat. Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam kitabnya beliau
mengatakan bahwa asas dari syariat adalah untuk kemaslahatan hidup
manusia dalam kehidupan sekarang (dunia) dan kehidupan yang akan
dating (akhirat) 67
b. Dasar Maqasid Syariah
Kalau kita mencermati ayat-ayat Allah dalam Al-Qur‟an banyak
sekali yang dapat menunjukkan bahwa hukum-hukum yang diturunkan
oleh Allah melalui Al-Qur‟an mengandung kemaslahatan (kebaikan) bagi
manusia sebagai pihak yang berkewajiban melaksanakan syari‟at ini.
Dalam arti, dibeBankannya syari‟at kepada manusia adalah dalam rangka
untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Dalam surah Thaha (20): 2 Allah berfirman:
نحشق ك انقسآ زنب عه يب أ
"Kami tidak menurunkan Al-Qur‟an ini kepadamu agar kamu
menjadi susah."
Ayat ini hendak mengatakan bahwa Al-Qur‟an diturunkan oleh
Allah Swt, tidak menjadikan hidup manusia menjadi susah, tetapi
diturunkan dengan segenap solusi terhadap permasalahan hidup manusia.
Dalam ayat yang lain (QS. An-Nahl [16]: 89) Allah berfirman:
سه بشس نه ة زح دا ء جببب نكم ش ك انكحب نب عه ز
67
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 1996) cet. 1 h. 68
33
"Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur‟an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri."
Jika kita melihat sejarah nabi-nabi terdahulu, dapat juga diambil
pelajaran bawhwa setiap nabi yang diturunkan oleh Allah dengan
seperangkat risalahnya (baik dalam bentuk kitab suci maupun mushaf-
mushaf) merupakan solusi yang ditawarkan oleh Allah kepada setiap
permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia. Apabila umat nabi
tersebut mengikuti risalah yang dibawa oleh nabinya, ia akan menemukan
kemudahan dalam hidupnya. Sebaliknya, apabila umat tidak
mengendalikan risalah nabinya, akan mengalami penderitaan dalam
hidupnya. Hal semacam ini dapat dilihat dalam sirah Nabi Ibrahim, a.s,
Nabi Isa, a.s, Nabi Musa, a.s, Nabi Muhammad Saw, dan nabi-nabi yang
lainnya.68
c. Tujuan Maqasid Syariah
Imam al-syatibi dalam kitab al-muwafaqat berkata sekali-kali
tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik
didunia maupun diakhirat dan dalam rangka mencegah kemafsadatan yang
akan menimpah mereka.
Tujuan umum dari hukum syariat adalah untuk merealisasikan
kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan
menghindari mudharat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan utama dari
hukum Islam adalah kemaslahatan yang hakiki yang berorientasi kepada
terpeliharanya lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal dan keturunan.
Dengan terpeliharanya kelima perkara tersebut menjadi manusia dapat
menjalankan kehidupan yang mulia.
68
. Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, h. 155
34
Menurut Imam Syatibi, kemaslahatan yang akan diwujudkan oleh
hukum Islam dari kelima perkara diatas memiliki tiga peringkat kebutuhan
yang terdiri dari kebutuhan daruriyat, hajiyat, tahsiniyat. Hukum Islam
bertujuan untuk memelihara dan melestarikan kebutuhan manusia dalam
semua peringkat baik dalam peringkat daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, jika tiga peringkat kebutuhan diatas
masing-masing daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat telah terpenuhi secara
sempurna berarti telah terealisasi kemaslahatan manusia yang merupakan
tujuan hukum syariat.69
Berdasarkan penjelasan-penjelasan dalam pembahasan
sebelumnya, dapat dipahami bahwa tujuan Allah SWT. Mensyari‟atkan
hukum-NYA adalah dalam rangka memelihara kemaslahatan umat
manusia sekaligus untuk, menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di
akhirat. Tujuan tersebut bisa di capai dengan taklif, yang pelaksanaannya
sangat tergantung pada pemahaman terhadap Al-Qur‟an dan hadits. Dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat,
berdasarkan penelitian para ahli ushu fiqh, ada lima unsur pokok yang
harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Seorang akan memperoleh kemaslahatan
manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut. Sebaliknya,
ia akan mendapatkan mafsadat apabila ia tidak dapat memeliharanya
dengan baik.70
d. Kerangka Maqasid Asy-Syariah
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan
di dunia dan di akhirat, para ahli ushul fiqih meneliti dan menetapkan ada
lima unsur pokok yang harus diperhatikan. Kelima pokok tersebut
bersumber dari al-Qur‟an dan merupakan tujuan syari‟ah (Maqashid Al-
69
Sapiudin Shidiq, “Ushul Fiqh”, (Jakarta; Kencana, 2011) cet. 1 h. 225-227 70
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, h. 156
35
Syari‟ah) kelima pokok tersebut merupakan suatu hal yang harus selalu
dijaga dalam kehidupan ini. Kelima pokok tersebut merupakan bagian dari
dlaruriyat, yang apabila tidak terpenuhi dalam kehidupan ini ma akan
membawa kerusakan bagi manusia.
Untuk mengetahui lebih jelasnya tentang kelima hal tersebut, lebih
jelas lagi al-Syathibi membagi maqashid al-syari‟ah menjadi dlaruriyah
hajiyah dan tahsiniyah.
1) Dlaruriyah
Dlaruriyah adalah penegakan kemaslahatan agama dan dunia.
Artinya, ketika dlauriyah hilang maka kemaslahatan dunia dan-bahkan-
akhirat juga akan hilang dan yang akan muncul justru kerusakan dan
bahkan musnahnya kehidupan. Dlaruriyah juga merupakan keadaan
dimana ssuatu kebutuhan wajib untuk dipenuhi dengan segera, jika
diabadikan maka akan menimbulkan suatu bahaya yang beresiko pada
rusaknya kehidupan manusia. Dlaruriyah menunjukan kebutuhan dasar
ataupun primer yang harus selalu ada dalam kehidupan manusia.
Dlaluriyah di dalam syari‟ah merupakan sesuatu yang paling asasih
dibandingkan dengan hajiyah dan tahsiniyah. Apabila dlaruriyah tidak
bisa dipenuhi, maka berakibat akan rusak dan cacatnya hajiyah dan
tahsiniyah. Tapi jika hajiyah dan tahsiniyah tidak bisa dipenuhi, maka
tidak akan mengakibatkan rusak dan cacatnya dlaruriyah. Jadi, tahsiniyah
dijaga untuk membantu hajiyah, dan hajiyah dijaga untuk membantu
dlaruriyah.
Selanjutnya, dlaruriyah terbagi menjadi lima poin yang biasa
dikenal dengan al-kulliyat al-khamsah, yaitu: (1) penjagaan terhadap
agama (hifz al-din), (2) penjagaan terhadap jiwa (hifz al-nafs), (3)
penjagaan terhadap akal (hifz al-aql), (4) penjagaan terhadaap keturunan
(hifz al-nasl), dan (5) penjagaan terhadap harta benda (hifz al-mal).
Apabila kelima hal diatas dapat terwujud, maka akan tercapaai
suatu kehidupan yang mulia dan sejahtera di dunia dan akhirat, atau dalam
36
ekonomi Islam biasa dikenal dengan falah. Tercukupinya kebutuhan
masyarkat akan memberikan dampak yang disebut mashlahah, karena
kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh
masing-masing individu dalaam masyarakat. Apabila salah satu dari
kelima hal tersebut tidak terpenuhi dengan baik, maka kehidupan di dunia
juga tidak akan bisa berjalan dengan sempurna dan terleih lagi akan
berdampak negatif bagi kelangsungan hidup seseorang.
2) Hajiyat
Sementara itu, tahapan kedua dari maqashid al-syari‟ah adalah
hajiyat yang didefinisikan sebagai “hal-hal yang dibutuhkan untuk
mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat
menyebabkan bahaya dan ancaman, yaitu jika sesuatu yang mestinya ada
menjadi tidak ada” dapat ditambahkan, “bahaya yang muncul jika hajiyah
tidak ada tidak akan menimpa seseorang, dan kerusakan yang diakibatkan
tidak mengganggu kemaslahatan umum” hajiyah juga dimaknai dengan
keadaan dimana jika suatu kebutuhan dapaat terpenuhi, maka akan bisa
menambah value kehidupan manusia. Hal tersebut bisa menambah
efesiensi, efektivitas, dan value added (nilai taambah) bagi aktivitas
manusia. Hajiyat juga dimaknai dengan pemenuhan kebutuhan skunder
ataupun sebagai pelengkap dan penunjang kehidupan manusia.
3) Tahsiniyah
Tahapan terakhir maqashis al-syari‟ah adalah tahsiniyah, yang
pengertiannya adalah “melakukan kebiasaan yang baik dan menghindari
yang buruk sesuai dengan apa telah diketahui oleh akal sehat. “seseorang
ketika menginjak keadaan tahsiniyah berarti telah mencapai keadaan,
dimana ia bisa memenuhi suatu kebutuhan yang bisa meningkatkan
kepuasan dalam hidupnya. Meskipun kemungkinan besar tidak menambah
efisiensi, efektivitas, dan nilai tambah bagi aktivitas manusia. Tahsiniyat
37
juga biasa dikenali dengan kebutuhan tersier, atau identic dengan
kebutuhan yang bersifat mendekati kemewahan. 71
Pada hakikatnya, baik kelompok dharuriyat, hajiyat maupun
tahsiniyyat dimaksudkan untuk memelihara dan mewujudkan kelima
pokok diatas. Hanya saja, peringkat kepentingannya berbeda satu sama
lain kebutuhan pertama dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer, yang
mana apabila lima pokok itu diabaikan maka akan berakibat terancamnya
eksistensi kelima pokok itu. Pada kebutuhan kedua dapat diakatan sebagai
kebutuhan sekunder, apabila kelima pokok tersebut diabaikan maka tidak
sampai mengacam eksistensi akan tetapi hanya mempersempit dan
mempersulit kehidupan manusia. Yang terakhir kebutuhan ketiga pada
kebutuhan ini erat kaitannya dengan upaya menjaga etiket sesuai dengan
kepatutan dan tidak akan mempersempit bahkan mengacam eksistensi
kelima pokok tersebut jadi kebutuhan ketiga ini hanya sebagai
pelengkap.72
Dalam hal Uang Eleketronik Maqasid Asy-syariah yang dimaksud
adalah hifzumaal pada tingkatan hajjiyat yaitu memelihara harta dari إظبعة
بل yaitu menyianyiakan harta dalam hal ini uang elektronik dan agar ان
terhindar dari riba fadhl. Menjaga Harta (Hifdzul Maal) pada tingkatan
hajiyat, Islam membolehkan bagi siapa saja untuk memiliki harta
kekayaan berdasarkan ketentuan syariat. Islam juga telah menetapkan hak
bagi orang-orang faqir dalam harta orang-orang kaya serta mengharamkan
mengambil harta orang lain tanpa haq. Penjagaan Islam terhadap harta
adalah dengan pengharaman pencurian, perampokan atau aktivitas yang
mengambil harta orang lain tanpa haq, serta memberikan sanksi terhadap
pelakunya.
71
Ika Yunia Fauzia & abdul Kadir Riyadi, Prinsip Ekonomi Islam (Perspektif Maqasid al-
Syariah), (Jakarta: Kencana, 2014) cet. 1 h. 65-66. 72
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, cet. IV h. 164
38
Islam juga telah menerapkan beberapa trik dan cara untuk
menjadikan harta menjadi harta yang baik halal dengan cara di buat
aturan-aturan infestasi yang baik dan menguntungkan hal itu terbukti
dengan adanya aturan-aturan dalam bai‟ (transaksi jual beli), syirkah
(modal bersama atau koperasi), ijaroh (sewa), rohn (gadai), qirodh (tanam
modal), dan lain-lain.
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat sebagai
berikut:
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata
cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara
yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli
tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan
menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.73
73
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 131
39
BAB III
PROFIL DSN DAN BI
A. Dewan Syariah Nasional
1. Profil DSN
Sebagai tindak lanjut dari SK Direksi BI telah dikeluarkan Keputusan
MUI No. Kep-754/MUI/II/1999 tentang pembentukan Dewan Syariah
Nasional (DSN). Bahwasan DSN merupakan otoritas tertinggi dalam
pembentukan fatwa mengenai keseuaian produk dan jasa lembaga keuangan
dengan ketetuan dan prinsip syariah. DSN merupakan bagian dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan
nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor-
sektor keuangan pada khususnya. Anggota DSN terdiri dari ulama-ulama,
praktisi, dan pakar bidang-bidang terkait perekonomian dan syariah
muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat Oleh MUI untuk masa bakti
4 tahun. Ada 4 tugas pokok DSN MUI menurut SK MUI No. Kep.
754/II/1999:
a. Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian
b. Mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan keuangan
c. Mengeluarkan fatwa atas produk keuangan syariah
d. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Maka dari itu DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai
kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk, dan jasa
keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia. 74
74
Andrian Sutedi, PerBankan Syariah (Tijauan & beberapa segi hukum), (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2009) cet 1 h. 147-148
40
2. Sekilas tentang DSN MUI
a. Sejarah Berdirinya:
1) Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari‟ah yang diselenggarakan
MUI Pusat pada tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta merekomendasikan
perlunya sebuah lembaga yang menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah (LKS).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan
2) rapat Tim Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tanggal
14 Oktober 1997.
3) Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999
tertanggal 10 Februari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari‟ah
Nasional MUI.
4) Dewan Pimpinan MUI mengadakan acara ta‟aruf dengan Pengurus
DSN-MUI tanggal 15 Februari 1999 di Hotel Indonesia, Jakarta.
5) Pengurus DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan Rapat Pleno I
DSN-MUI tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan mengesahkan
Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI.
b. Latar Belakang:
1) Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai
masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam
bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan
tuntunan syariat Islam
2) Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan koordinasi
para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan
masalah ekonomi/keuangan. Berbagai masalah/kasus yang
memerlukan fatwa akan ditampung dan dibahas bersama agar
diperoleh kesamaan pandangan dalam penanganannya oleh masing-
masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ada di lembaga
keuangan syariah
41
3) Untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi
dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan berperan secara proaktif
dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis
dalam bidang ekonomi dan keuangan
Visi:
Memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi
masyarakat.
Misi:
Menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga
keuangan/bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa.
3. Tugas dan Wewenang
a. Tugas:
1) Menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa LKS, LBS,
dan LPS lainnya;
2) Mengawasi penerapan fatwa melalui DPS di LKS, LBS, dan LPS
lainnya;
3) Membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan
fatwa tertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat
diimplementasikan di LKS, LBS, dan LPS lainnya;
4) Mengeluarkan Surat Edaran (Ta‟limat) kepada LKS, LBS, dan LPS
lainnya;
5) Memberikan rekomendasi calon anggota dan/atau mencabut
rekomendasi anggota DPS pada LKS, LBS, dan LPS lainnya;
6) Memberikan Rekomendasi Calon ASPM dan/atau mencabut
Rekomendasi ASPM;
7) Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atau Keselarasan Syariah
bagi produk dan ketentuan yang diterbitkan oleh Otoritas terkait;
8) Menerbitkan Pernyataan Kesesuaian Syariah atas sistem, kegiatan,
produk, dan jasa di LKS, LBS, dan LPS lainnya;
42
9) Menerbitkan Sertifikat Kesesuaian Syariah bagi LBS dan LPS lainnya
yang memerlukan;
10) Menyelenggarakan Program Sertifikasi Keahlian Syariah bagi LKS,
LBS, dan LPS lainnya;
11) Melakukan sosialisasi dan edukasi dalam rangka meningkatkan
literasi keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah; dan
12) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
b. Wewenang:
1) Memberikan peringatan kepada LKS, LBS, dan LPS lainnya untuk
menghentikan penyimpangan dari fatwa yang diterbitkan oleh DSN-
MUI;
2) Merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil
tindakan apabila peringatan tidak diindahkan;
3) Membekukan dan/atau membatalkan sertifikat Syariah bagi LKS,
LBS, dan LPS lainnya yang melakukan pelanggaran;
4) Menyetujui atau menolak permohonan LKS, LBS, dan LPS lainnya
mengenai usul penggantian dan/atau pemberhentian DPS pada
lembaga yang bersangkutan;
5) Merekomendasikan kepada pihak terkait untuk
menumbuhkembangkan usaha bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi
syariah; dan
6) Menjalin kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam
maupun luar negeri untuk menumbuhkembangkan usaha bidang
keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. 75
75
https://dsnmui.or.id/, “sekilas DSN MUI” , diakses pada tanggal 30 Juli 2018 pada pukul
20.00 WIB
43
4. Metode Perumusan Fatwa
Fatwa-fatwa DSN-MUI ditetapkan dan diputuskan dengan mekanisme
dan tata cara yang tidak umum. Sehingga ada beberapa orang yang gagal
faham terhadap fatwa DSN-MUI. Meskipun demikian, para ulama di DSN-
MUI sangat bertanggungjawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-
MUI tersebut dikeluarkan berdasarkan aturan dan metodologi penetapan fatwa
yang diatur dalam syariah Islamiyah. Memang agak sulit memahami fatwa-
fatwa DSN-MUI hanya dengan menggunakan keilmuan standar. Karena
banyak dari fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut yang mempergunakan Solusi
Hukum Islam (makharij fiqhiyah) sebagai landasannya. Setidaknya ada 4
(empat) solusi Fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa DSN-
MUI; yaitu al-Taysîr al-Manhaji, Tafriq al-Halal „An al-Haram, I‟adah al-
Nadhar, dan Tahqiq al-Manath. Penetapan sebuah fatwa dilakukan secara
kolektif oleh suatu lembaga yang disebut Komisi Fatwa. Penetapan fatwa
harus didasarkan pada Al-Qur‟an, Hadist, Ijma‟, Qiyas dan dalil lain yang
mu‟tabar. 76
Ada banyak tahapan yang perlu dilalui sebelum sebuah fatwa
ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa itu bisa dibuat karena
amanah perundang-undangan, bisa pula atas permintaan masyarakat atau
untuk menjawab suatu masalah yang ramai diperbincangkan di masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Organisasi MUI tentang Pedoman Penetapan
Fatwa MUI ada 8 tahapan secara garis besar yang harus dilalui.
1) Sebelum fatwa ditetapkan, MUI melakukan kajian komprehensif guna
memperoleh deskripsi utuh tentang masalah yang sedang dipantau.
Tahapan ini disebuttashawwur al-masalah. Selain kajian, tim juga
membuat rumusan masalah, termasuk dampak sosial keagamaan yang
ditimbulkan dan titik kritis dari beragam aspek hukum (syariah) yang
berhubungan dengan masalah.
76
Andi Fariana, Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Islam di
Indonesia, h. 99-100
44
2) Menelusuri kembali dan menelaah pandangan fuqaha (ahli fikih) mujtahid
masa lalu, pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu‟tabar, telaah
atas fatwa terkait, dan mencari pandangan-pandangan para ahli fikih
terkait masalah yang akan difatwakan.
3) Menugaskan anggota Komisi Fatwa atau ahli yang memiliki kompetensi
di bidang masalah yang akan difatwakan untuk membuat makalah atau
analisis. Jika yang dibahas sangat penting, pembahasan bisa melibatkan
beberapa Komisi lain. Misalnya, Sikap Keagamaan MUI dalam kasus
Ahok diputuskan bukan hanya Komisi Fatwa, sehingga kedudukannya pun
lebih tinggi dari fatwa.
4) Jika telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma‟lum min al din bi al-
dlarurah), maka Komisi Fatwa akan menetapkan fatwa dengan
menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya. Adakalanya masalah
yang ditanyakan sudah jelas jawabannya dalam syariah.
5) Mendiskusikan dan mencari titik temu jika ternyata ada perbedaan
pendapat (masail khilafiyah) di kalangan ulama mazhab. Hasil titik temu
pendapat akan sangat menentukan. Ada metode tertentu yang bisa
ditempuh untuk mencapai titik temu, atau jika tidak tercapai titik temu.
Penetapan fatwa yang didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu
di antara pendapat dapat melalui metode al-jam‟u wa al-taufiq. Sedangkan
jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih
melalui metode muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqih muqaran.
6) Ijtihad kolektif di antara para anggota Komisi Fatwa jika ternyata tidak
ditemukan pendapat hukum di kalangan mazhab atau ulama yang
mu‟tabar. Metode penetapan pendapat itu lazim disebut bayani dan ta‟lili
(qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, dan sad al-dzaraa‟i), serta metode penetapan
hukum (manhaj) yang dipedomani para ulama mazhab.
7) Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta rapat, dan
tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang
45
adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen
masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengalamannya, sebaiknya
mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar
dari perbedaan pendapat (al-khuuruj min al-khilaaf).
8) Penetapan fatwa senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan hukum
oleh syariat serta mempertimbangkan kemaslahatan umum serta tujuan
penetapan hukum (maqashid al-syariah)77
B. Bank Indonesia
1. Profil Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah Bank sentral Republik Indonesia. Bank ini
memiliki nama lain De Javasche Bank yang dipergunakan pada masa Hindia
Belanda. Sebagai Bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini
mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uangterhadap barang dan
jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Untuk mencapai tujuan
tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya.
Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
mengatur dan mengawasi perBankan di Indonesia. 78
Ketiganya perlu
diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat
dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi
perBankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam
mengatur dan mengawasi perBankan tetap berlaku, namun difokuskan pada
aspek makroprudensial sistem perBankan secara makro BI juga menjadi satu-
satunya lembaga yang memiliki hak untuk mengedarkan uang di Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh Dewan
77
HM. Asrorun Ni ‟am Sholeh, Pedoman Dan Prosedur Penetapan Fatwa, Sekretaris Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2017 78
Hasibuan Malayu S.P. Dasar-Dasar PerBankan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001) h. 3
46
Gubernur. Sejak 2013, Agus Martowardojo menjabat sebagai Gubernur BI
menggantikan Darmin Nasution.
2. Status dan Kedudukan
a. Lembaga negara yang independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika
sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia,
dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini
memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara
tegas diatur dalam undang-undang ini.79
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri
pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban
untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar
Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas
moneter secara lebih efektif dan efisien.
b. Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun
badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan
hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan
hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat
seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai
79
Darwan Rahardjo, Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES
Indonesia), 1995, hl 291.
47
badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama
sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
3. Pengaturan dan Pengawasan
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perBankan, Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan
pengawasan atas Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan tugas ini,
Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perBankan
dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan
dan mencabut izin usaha Bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor Bank, memberikan
persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank, serta memberikan izin
kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Di bidang
pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak
langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan
secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak
langsung dilakukan melalui penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan
yang disampaikan oleh Bank.80
80
https://www.bi.go.id/id/Default.aspx Profil Bank Indonesia di akses dari situs resmi Bank
Indonesia pada tanggal 1 September 2018 pada pukul 20.00 WIB
48
48
BAB IV
ANALISIS FATWA MUI NO. 116/DSN-MUI/IX/2017 DAN PBI NO.
20/6/PBI/2018 TENTANG UANG ELEKTRONIK SYARIAH DITINJAU DARI
PERSPEKTIF MAQASID ASY-SYARI’AH
A. Istinbat hukum yang digunakan DSN-MUI dalam merumuskan Fatwa No.
116/DSN-MUI/IX/2017
Metode Istinbat hukum merupakan upaya untuk menarik hukum dari Al-
Qur‟an dan Sunnah dengan jalan Ijtihad.81
Metode istinbat hukum yang
digunakan DSN-MUI dalam merumuskan fatwa tentang uang elektronik
syariah adalah dengan mengali sumber hukum Islam, yakni al-Qur‟an,
Hadist, kaidah fikih dan pendapat ulama. Hal ini sesuai dengan pedoman
penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Adapun sumber hukum
tersebut:
1) Firman Allah SWT:
a) Q.S An-Nisa‟ (4): 58:
هب... ا األيب بت ان ا جؤد هللا بيسكى أ ا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya….”
b) Q.S Al-Ma‟idah (5): 1:
د ... ا ببنعق ف ا أ آي ب انر بأ
“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu…”
2) Hadits Nabi SAW:
a) Hadits Nabi riwayat muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa‟I, dan Ibn
Majah, dengan teks Muslim dari „Ubadah bin Shamit:
81
Mu‟in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), h. 2
49
س س ببنح انح س ع س ببنش ع انش انبس ببنبس ة ة ببنفع انفع انرب ببنرب
، فبذا ، دا بد اء اء بس ، س ثم هح يثل ب هح ببن ان األصبف اخحهفث ر
. دا بد ف شئحى إذا كب ا ك ع فب
“(Jual beli/pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya‟ir dengan sya‟ir, kurma dengan kurma,
dan garam dengan garam (disyaratkan harus dalam ukuran yang) sama
(jika yang dipertukarkan) satu jenis dan (harus) secara tunai. Jika
jenisnya berbeda, juAllah sekehendakmu jika dilakukan secaraa
tunai.”
b) Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa‟id al-Khudri:
عا انرب ببنرب ال ي عا لجب ل جب ا بععب عه بعط ، ل جشف ثم ثل ب
ب غبئبب ببجز . عا ي لجب ا بععبعه بعط ، ل جشف ثم يثل ب زق ال ان
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama
(ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian
yang lain: janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama
(ukurannya) dan janganlah menambahkan sebagian atas yang lain:
dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai
dengan yang tunai.”
3) Kaidah Fikih:
ى . م عه انححس دل دن ببحة إل أ عب يل ت ال األصم ف ان
“Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali
ada dalil yang mengharaamkannya atau meiadakaan kebolehan.”
سز زال انع
“Segala dharar (bahayaa/kerugian) harus dihilangkan.”
صهحة غ ببن يبو عه انسعة ي ف ال جصس
50
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mengikuti kepada
kemaslahatan (masyarakat).”
محكمللاأ ةف ث صل ح تالم اوجد م ين
“Di mana terdapat kemaslahataan, di sana terdapat hukum Allah.”
4) Pendapat Sahabat dan Ulama
1. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, sebagaimana Tafsir al-Shan'any,
Jilid 3, hal 93:
Umar bin Khattab berkata "Aku berkeinginan membuat uang dirham
dari kulit unta", lalu dikatakan kepadanya "kalau begitu, tidak akan
ada lagi unta", lalu Umar mengurungkan niatnya"
2. Pendapat Imam Malik, dalam kitab Al-Mudawanah al-Kubra, Jilid 3,
Hal. 90:
"Andaikan masyarakat membolehkan uang dibuat dari kulit dan
dijadikan sebagai alat tukar, pasti saya melarang uang kulit itu
ditukar dengan emas dan perak secara tidak tunai"
3. Pendapat Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, Jilid 8, hal.477:
"Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan boleh digunakan
sebagai alat bayar, dan tidak terdapat satu nash pun yang
menyatakan bahwa uang harus terbuat dari emas dan perak"
4. Pendapat Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu' al-Fatawa, Jilid 19,
hal.251:
"Adapun dinar dan dirham, maka tidak ada batasan secava alami
maupun secara syar'i, tapi rujukannya adalah pada kebiasaan
('adah) dan kesepakatan. Hal itu karena pada dasarnya tujuan
orang (dalam penggunaan dinar dan dirham) tidak berhubungan
dengan substansinya, tetapi tujuannya adalah agar dinar dan
dirham menjadi standar bagi objek transaksi yang mereka lakukan.
51
Fisik dinar dan dirham tidaklah dimaksudkan (bukan tujuan),
tetapi hanya sebagai sarana untuk melakukan transaksi dengannya.
Oleh karena itu, dinar dan dirham (hanya) berfungsi sebagai
tsaman (harga, standar nilai). Berbeda dengan harta yang lain
(barang),' barang dimaksudkan untuk dimanfaatkan fisiknya. Oleh
karena itu, barang harus diukur dengan perkara-perkara (ukuran-
ukuran) yang bersifat alami atau syar'i. Sarana semata yang fisik
maupun bentuknya bukan merupakan tujuan boleh digunakan
untuk mencapai tujuan, seperti apa pun bentuknya. "
5. Uang -yang dalam literatur fiqh disebut dengan tsaman atau nuqud
fiamak dari naqd)- didefinisikan oleh para ulama, antara lain, sebagai
berikut:
"Naqd (uang) adalah segala sesuatu yang menjadi media
pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam
kondisi seperti apa pun media tersebut." (Abdullah bin Sulaiman
al-Mani', Buhut,s ./i al-Iqtishad al-Islami, Mekah: al-Maktab al-
Islami. 1996, h. 178)
"Naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh
masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak
maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga
keuangan pemegang otoritas." (Muhammad Rawas Qal'ah h. al-
Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirahfi Dhau' al-Fiqh wa al-
Sytari'ah, Beirut: Dar al-Nafa'is, 1999, h.23).82
Jadi bahwasan praktek uang elektronik syariah itu diperbolehkan
atau dihalalkan selama tidak ada unsur-unsur yang dilarang seperti Riba,
Gharar, Maysir, Tadlis, Riswah, israf dan uang elektronik tersebut tidak
82
Dewan Syarah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang
Elektronik Syariah, (Jakarta: DSN, 2017) h. 1-5.
52
dibelanjakan untuk hal-hal yang diharamkan. Uang elektronik dapat di
katakan haram ketika ada dalil yang mengharamkan selama itu tidak ada
makan uang elektronik halal.
Metode istibant hukum yang digunakan DSN-MUI dalam
merumuskan fatwa uang elektronik syariah adalah dengan mengali
sumber-sumber hukum Islam yang disepakti yaitu al-qur‟an dan Hadits
selain itu DSN-MUI juga mengunakan kaidah-kaidah fikih, pendapat-
pendapat sahabat dan ulama. Kaidah fikih ini menjelaskan dua kaidah
yaitu adat dan kemaslahatan. Kaidah adat bisa dilihat dari kebiasaan
masyarakat mengunakan uang elektronik. Kebiasaan inilah yang menjadi
faktor akan pembentukan sebuah hukum dan pada kaidah kemaslahatan
dapat dilihat dari kemudahan yang didapat dalam menggunakan uang
elektronik sehingga ini menjadi alasan dalam perumusan fatwa uang
elektronik syariah. Yang nantinya dijadikan sandaran dalam merumuskan
hukum uang elektronik syariah. Tentu saja semua itu berpatokan dengan
adanya relevansi antara masalah yang diteliti dengan kehidupan pada saat
ini, lebih mendekati pada kemudahan yang ditetapkan pada hukum Islam
dan juga lebih memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud
syara', kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
Selain itu juga harus diketahui dalam kaidah fikih, pada dasarnya
semua bentuk muamalah itu boleh asalkan tidak ada dalil yang
mengharamkan. Menurut penulis, DSN dalam merumuskan fatwa uang
elektronik ini tentu memperhatikan unsur maslahah mursalah karena
dalam maslahah mursalah mengambil manfaat (maslahat) dan menolak
kemudharatan dalam memelihara tujuan-tujuan syara‟. Ini dapat dilihat
dari kemudahan uang elektronik dalam bertransaksi dibandingkan dengan
uang cash atau tunai.
53
B. Hukum uang elektronik syariah dalam Fatwa No. 116/DSN-MUI/IX/2017
dan PBI No. 20/6/PBI/2018 Perspektif Maqasid Asy-Syariah
Perkembangan Uang Elektronik yang semakin pesat membuat
masyarakat beralih dari pembayaran tunai kearah pembayaran non tunai.
Menurut masyarakat model konvesional face to face pada paper dokumen
kurang memberikan kemudahan, fleksibelitas, efisiensi dan kesederhanaan
dalam melakukan transaksi. Maka dari itu masyarakat mulai beralih
kemodel layanan non face to face dan digital karena layanan ini memiliki
kelebihan yang jauh tidak dimiliki oleh model konvesional. Dengan
adanya uang elektronik dalam bertransaksi merasa nyaman dan lebih cepat
dibandingkan dengan pembayaran secara cash
Hadirnya uang elekronik yang diterbitkan oleh Bank-Bank atau
lembaga keuangan yang konvesional menimbulkan ketakutan terhadap
masyarakat muslim di Indonesia karena tidak berprinsip secara syariah
maka dari itu perBankan-perBankan syariah mulai mengeluarkan produk-
produk uang elektronik berbasis dan berprinsip syariah. uang elektronik
syariah adalah halal. Kehalalan ini berlandaskan kaidah, setiap transaksi
dalam bermuamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil yang
mengaharamkan, maka saat itu hukumnya menjadi haram.
Dengan hadirnya fatwa terbaru tentang uang elektronik syariah
No. 116/ DSN-MUI/IX/2017 membuat kontruksi-kontruksi dasar dalam
uang elektronik syariah semakin jelas dan di dalam fatwa tersebut juga
mengatur larangan-larangan, batasan-batasan yang tidak boleh ada dalam
praktek uang elektronik syariah serta berharap adanya fatwa dapat
menjawab hal-hal dasar dan teknis sehingga menjadikan produk-produk
uang elekteronik syariah berada dalam ketentuan syariat Islam. Dapat
disimpulkan tujuan utama dari syariat adalah kemaslahatan manusia.
Kewajiban syariah adalah memperhatikan Maqasid Asy-Syariah dimana ia
memiliki tujuan untuk memberikan kemaslahatan terhadap manusia.
54
Setelah kehadiran Fatwa tentang uang elektronik syariah No. 116/
DSN-MUI/IX/2017 pada awal tahun 2018 Bank Indonesia terus bebenah
dan memperbarui segala peraturan mengenai uang elektronik terutama
dari segi peraturan, tepat pada tanggal 07 Mei 2018 Bank Indonesia
penerbitkan peraturan tentang Uang elektronik No. 20/6/PBI/2018.
Kehadiran peraturan terbaru tersebut membuat peraturan-peraturan yang
lama tidak dapat berlaku kembali. Perturan Bank Indonesia ini diharapkan
menjadi payung hukum terhadap praktek transaksi uang elektronik yang
semakin berkembang diindonesia. Di dalam PBI yang terbaru ini
dirasakan sudah cukup jelas dan berkuatan hukum tetap karena di
dalamnya telah mengatur segala aspek yang berkaitan dengan transaksi
uang elektronik mulai dari ketentuan umum, prinsip, ruang lingkup,
keamanan, pemprosesan transaksi, larangan-larang, perlindungan
konsumen dan lain-lain yang berkaitan dengan uang elektronik.
Tidak hanya secara konvesional yang dibahasa dalam PBI tersebut
akan tetapi pada pasal 77 menjelaskan bahwa penyelengara uang
elektornik oleh Bank syariah atau lembaga syariah lainnya berdasarkan
prinsip syariah harus tunduk dan patuh terhadap peraturan Bank Indonesia
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Maka dari itu
kehadiran fatwa dan perturan Bank Indonesia membuat jelas dan kuat
akan segala ketentuan dan aturan-aturan yang berlaku pada uang
elektronik terutama untuk masyarakat muslim yang mengunakan uang
elektronik syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Kehadiran kedua regulasi baik peraturan Bank Indonesia dan fatwa
uang elektronik syariah merupakan wujud dari keseriusan pemerintah
untuk terus mengembangakan transksi uang elektronik diindonesia. Uang
elektronik merupakan solusi untuk memberikan kemaslahatan dan
menghilangkan kemudharatan akan tetapi harus sesuai dengan prinsip-
prinsip yang ada dalam peraturan Bank Indonesia dan ketetapan fatwa
uang elektronik uang syariah, yang terpenting harus sesuai dengan prinsip
55
Maqasid Asy-Syariah dalam menjaga harta pada tingkatan hajiyat. Yang
mana ketika berbicara uang elektronik erat kaitannya dengan harta, karena
uang itu pada dasarnya merupakan harta benda manusia harta merupakan
salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan
terpisah darinya.
Dalam hal uang elektronik Maqasid Asy-syariah yang dimaksud
adalah hifzumaal pada tingkatan hajiyat yaitu memelihara harta dari إظبعة
بل yaitu menyianyiakan harta dalam hal ini uang elektronik dan agar ان
terhindar dari riba fadhl. Menjaga harta merupakan unsur terpenting dalam
Maqasid Asy-Syariah yang berkaitan dengan kemaslahatan harta. Ada 3
syarat yang harus diperhatikan dalam menjaga harta pada tingkatan
hajiyat. Pertama, harta yang dikumpulkan harus dengan cara yang halal,
kedua, harta yang digunakan untuk hal-hal yang halal, ketiga dari harta ini
harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat sekitar. Jika ketiga syarat
tersebut terpenuhi barulah seseorang dapat menikmati hartanya dengan
sepenuh hati. Namun tanpa adanya pemborosan karena pemborosan
merupakan hal yang berbading terbalik dalam menjaga harta.
Kesuaian uang elektronik dengan prinsip Maqasid Asy-Syariah
dalam menjaga harta pada tingkatan hajiyat dapat memperhatikan hal-hal
berikut:
Pertama keamanan, dalam uang elektronik keamanan harus
menjadi perhatian karena di dalam fatwa menjelaskan bahwa jika media
uang elektronik hilang maka nominal uang yang ada dipenerbit tidak
boleh hilang. Uang elektronik itu disebut dengan Registered karena uang
elektronik ini dilindungi dengan sistem keamanan yang lengkap berupa
PIN atau fingerprint yang dapat menjaga uang elektronik dari segala
macam kejahatan atau kelalaian. Akan tetapi perlu diingat pada uang
elektronik Unregistered biasanya tidak dilengkapi dengan PIN atau
fingerprint. Pengunaan uang elektronik dengan Registered juga perlu
diperhatikan karena pada kenyataannya uang elektronik Registered tidak
56
mengunakan PIN hanya terdaftar saja, sehingga ini juga memicu
terjadinya pencurian karena ketika kartu hilang maka uang tersebut juga
hilang dan dapat dimanfaatkan orang lain karena tidak dilengkapi dengan
PIN
Kedua kehalalan, dalam hal ini kehalalan menjadi hal yang utama
dalam uang elektronik karena di dalam fatwa uang elektronik menjelaskan
bahwa dalam uang elektronik harus terhindar dari transaksi Ribawi,
gharar, maysir, tadlis, risywah, Israf dan transaksi atas obyek yang haram
atau maksiat. Karena jika tidak diperhatikan akan menimbulkan hal-hal
yang dilarang sehingga keharaman akan merubah status hukumnya.
Ketiga Tabzir, tabzir atau pemborosan juga harus diperhatikan
dalam menjaga harta untuk uang elektronik. Karena jika tidak dibatasin
secara maksimal akan menimbulkan pemborosan atau pengeluaran yang
berlebihan 83
Dalam Maqasid Asy-Syariah tujuan utamanya adalah
kemaslahatan, dalam uang elektronik ada beberapa keunggulan yang
mendatangkan kemaslahatan:
1. Dalam uang elektronik transaksi lebih cepat karena waktu yang
dibutuhkan dalam bertransaksi tidak memakan waktu yang lama.
2. Transaksi lebih mudah karena dilakukan secara online. Kita sebagai
penguna uang elektronik tidak perlu repot-repot untuk dating ke Bank
atau ke kantor
3. Efisiensi, transaksi dengan uang elektronik akan terasa lebih cepat dan
nyaman karena pemegang kartu tidak bersusah payah untuk membawa
uang tunai dalam jumlah besar. Tidak perlu menyiapkan uang pas
dalam berbelanja atau bertransaksi lain. Selain itu dalam uang
elektronik kesalahan dalam menghitung kembalian dalam suatu
transaksi tidak akan terjadi. Hal ini membuktikan bahwa pengunaan
83
Afif Muamar dan Ari Salman Alparisi, Electronic money (E-money) dalam perspektif
maqashid syariah, h. 80-81
57
uang elektronik dapat meminimalisir bahkan menghilangkan
kemudharatan yang terjadi akiibat pengunaan uang tunai.
Adanya fatwa tentang uang elektronik syariah dan peraturan Bank
Indonesia No. 20/6/PBI/2018 menjadikan bukti keseriusan terhadap
fenomena uang elektronik, terutama uang elektronik syariah. Kehadiran
fatwa uang elektronik syariah masih perlu ditinjau ulang karena dalam
fatwa tersebut masih belum begitu detail. Ada beberapa point yang harus
diberi penjelasan dalam fatwa tersebut:
Pertama, prihal posisi dalam fatwa tersebut, apakah fatwa tersebut
hanya ditujukan pada penerbit atau juga Co-Branding. Karena dalam
fatwa tersebut hanya menjelaskan antara penerbit dengan pemegang kartu
dan antara penerbit dengan penyeleggaraan uang elektronik dan agen
layanan keuangan digital. Belum membahas prihal uang elektronik yang
mengunakan Co-Branding. Karena pada prateknya masih banyak lembaga
keuangan syariah yang mengunkan Co-Branding dengan lembaga-
lembaga keuangan konvesional atas uang elektroniknya. Maka dari perlu
dijelaskan mekanisme difatwa jika terjadi hal tersebut.
Kedua, tidak dijelaskan jenis-jenis uang elektronik seperti server
based atau chip based karena keduanya memiliki perbedaan yang satu
berbasis kartu dan yang satu lagi berbasis server. Harus dijelaskan agar
tidak ada kerancuan, karena tentunya keduanya memiliki perbedaan yang
jelas. Di dalam fatwa sendiri tidak ada penjelasan prihal ini, padahal pada
prakteknya sudah ada uang elektronik syariah yang mengunkana atau
berbasis server based dan chip based.
Ketiga dalam fatwa juga tidak dijelaskan secara detail tentang
Registered dan Unregistered karena dalam fatwa tercantum bahwa uang
elektronik yang hilang maka nominal uang pada penerbit tidak hilang. Dan
pada praktek nya tidak seperti itu jika kartu hilang makan nominal hilang.
Dan semua ini bisa tergambar jelas jika uang elektronik Registered dan
Unregistered dijelaskan dalam ketentuan fatwa.
58
Meskipun ada beberapa point yang sudah terjawab pada Peraturan
Bank Indonesia yang keluar pada tanggal 07 Mei 2018 akan tetapi perlu
kiranya agar fatwa uang elektronik menjelaskan kembali point yang
penulis sebutkan diatas. Semua ini dilakukan agar tidak terdapat
kesalahpahaman dan apa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI bukan
hanya untuk mendukung fatwa sebelumnya, akan tetapi juga untuk
kemaslahatan umat khususnya warga negara Indonesia agar tidak
melanggar hukum dan syariat Islam.
Dengan demikian terbukti bahwa uang elektronik syariah menurut
ketentuan peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 dan ketetapan
fatwa tentang uang elektronik syariah No. 116/ DSN-MUI/IX/2017
mendatangkan kemasalahatan. Karena bertransaksi dengan uang
elektronik waktu transaksi akan lebih cepat sehingga kemudharatan seperti
antrian panjang yang biasa terjadi dijalan tol atau tempat perbelanjaan
dapat dihindari. Dengan uang elektronik transaksi akan terasa lebih
mudah, dan dengan uang elektronik kita tidak perlu repot-repot
menyiapkan uang pas atau uang receh dalam berbelanja.
Akan tetapi, pengunaan uang elektronik Registered dan
Unregistered harus ditinjau kembali, karena pada prakteknya kedua jenis
tersebut juga dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip menjaga
harta pada tingkatan hajiyat dan dapat mendatangkan kemudharatan,
disebabkan karena:
1) Pada penguna uang elektronik Registered juga dapat menimbulkan
kemudharatan karena pada prakteknya uang elektronik yang
Registered tidak dilengkapi dengan PIN hanya terdaftar saja, sehingga
ketika hilang dan uang elektronik tersebut ditemukan seseorang maka
cukup beresiko untuk dipergunakan oleh orang lain karena tidak
terdapat PIN pengaman sebelum kita melaporkan atau memblokir
uang elektronik tersebut.
59
2) Pada pengunaan Unregistered harus dihindari, karena cukup jelas
yaitu tidak terdaftar dan tidak terdapat PIN pengaman sehingga jika
terjadi kehilangan atau kerusakan maka nominal uang pun akan hilang
dan dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Jika ini terjadi maka uang elektronik tersebut baik Registered dan
Unregistered dinilai belum sesuai dengan prinsip-prinsip menjaga
harta dalam tingkat hajiyat (Maqasid Asy-Syariah) dan dapat
dikategorikan terlarang atau haram. Karena masih menimbulkan
kemudharatan walaupun syarat-syarat yang lain telah terpenuhi sesuai
dengan kaidah fiqh yang menyatakan:
صبنح و عه جهب ان فبسد يقد دزء ان
Artinya menghindari kerugian harus didahulukan ketimbang
mengejar keuntungan.
60
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Metode istinbat hukum dalam Fatwa MUI No. 116/DSN-
MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah adalah dengan mengali
sumber-sumber hukum Islam yang disepakati yaitu Al-Qur‟an dan Hadits
selain itu DSN-MUI juga mengunakan kaidah-kaidah fikih, pendapat-
pendapat sahabat dan ulama yang nantinya dijadikan sandaran dalam
merumuskan hukum uang elektronik syariah. Tentu saja semua itu
berpatokan dengan adanya relevansi antara masalah yang diteliti dengan
kehidupan pada saat ini, lebih mendekati pada kemudahan yang ditetapkan
pada hukum Islam dan juga lebih memprioritaskan untuk merealisasikan
maksud-maksud syara‟, yaitu mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan.
Secara umum uang elektronik syariah yang tunduk terhadap
ketentuan-ketentuan fatwa dan peraturan Bank Indonesia No.
20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik sesuai dengan prinsip atau
perspektif Maqasid Asy-syariah. Dalam hal ini Maqasid Asy-syariah yang
dimaksud adalah hifzumaal pada tingkatan hajiyat yaitu memelihara harta
dari بل yaitu menyianyiakan harta dalam hal ini uang elektronik إظبعة ان
dan agar terhindar dari riba fadhl. Karena di dalam uang elektronik syariah
semestinya: (1) Terhindar dari hal-hal yang dilarang oleh syariat Islam, (2)
Tidak menimbulkan pengeluaran yang berlebihan, (3) Aman dan
mencegah dari penyalagunaan apabila dicuri atau hilang.
Kemudian, kesesuaian uang elektronik ini didukung dengan
kemaslahatan yang terkandung dalam uang elektronik seperti kemudahan
akses, efektifitas dalam penggunaan uang elektronik serta kecepatan dalam
bertransaksi. Berkaitan dengan pengunaan uang elektronik yang
Registered dan Unregistered itu harus ditinjau kembali, karena dinilai
61
belum sesuai dengan prinsip Maqasid Asy-Syariah dalam menjaga harta
pada tingkatan hajiyat. Pada prakteknya uang elektronik yang registered
meskipun terdaftar tapi tidak dilengkapi pengaman berupa PIN dan pada
unregistered juga tidak terdaftar dan tidak dilengkapi PIN sehingga
menimbulkan kerugian bagi penguna uang elektronik jika terjadi
kehilangan, karena nominal uang dapat di manfaatkan atau dapat hilang
dan ini dapat dikategorikan terlarang atau haram karena masih
menimbulkan kemadharatan walaupun syarat-syarat yang lain telah
terpenuhi.
Dalam ketetapan Fatwa MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang
uang elektronik syariah. Ada beberapa hal atau point yang perlu ditinjau
ulang karena masih belum begitu detail dan perlu diberikan penjelasan
kembali seperti Co-Branding, Server Based atau Chip Based, registered
dan Unregistered karena ketiga hal tersebut tidak dijelaskan secara detail
di dalam ketetapan Fatwa MUI MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang
uang elektronik syariah. Meskipun ada beberapa hal yang sudah terjawab
pada Peraturan Bank Indonesia yang keluar pada tanggal 07 Mei 2018
akan tetapi perlu kiranya agar fatwa uang elektronik menjelaskan kembali
yang penulis sebutkan diatas. Semua ini dilakukan agar tidak terjadi
kesalahpahaman dan apa yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI bukan
hanya untuk mendukung fatwa sebelumnya, akan tetapi juga untuk
kemaslahatan umat khususnya warga negara Indonesia agar tidak
melanggar hukum dan syariat Islam.
B. SARAN
1. Bagi DSN-MUI untuk meninjau ulang fatwa mengenai uang elektronik
syariah agar lebih jelas apa yang dimaksud dalam fatwa tersebut.
karena dalam fatwa tersebut ada beberapa point yang perlu diperjelas
dan dipertegas. Agar dikemudian hari apa yang telah dikeluarkan oleh
DSN-MUI bukan hanya untuk mendukung fatwa sebelumnya, akan
62
tetapi juga untuk kemaslahatan umat khususnya warga negara
Indonesia agar tidak melanggar syariat.
2. Bagi Penerbit uang elektronik syariah diharapkan tunduk dan patuh
terhadap apa yang telah ditetapkan fatwa dan peraturan yang berlaku.
Apabila penerbit uang elektronik syariah tidak tunduk dengan
ketentuan dan ketetapan fatwa berarti produk tersebut tidak sesuai
dengan syariat dan tentunya tidak ada kemaslahatan di dalamnya.
Karena Kemaslahatan merupakan tujuan utama dalam syariat.
3. Bagi Pembaca, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang lebih
terperinci berkenaan dengan fatwa No.116/DSN-MUI/IX/2017 tentang
uang elektronik syariah dan peraturan Bank Indonesia No.
20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik yang ditinjau dari prinsip
Maqasid Asy-Syariah yang belum sempat penulis jelaskan seperti
perlindungan hukum terhadap pemegang kartu ataupun kesesuain
praktek uang elektronik syariah terhadap regulasi-regulasi yang
berlaku.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Thamrin. Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013
Akhyar, M. E-MoneDalam Pandangan Islam http://biasyaumifatimah.com /2017
/10/31/ e-money-dalam-pandangan-Islam/ diakses pada tgl 20 Januari 2018
pada pukul 22.00 WIB
Arifin Hamid, M. Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia
2007
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian; suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002, Cet. ke-12
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
Asymuni Rahman, Mu‟in, Ushul Fiqh II, Jakarta: Departemen Agama, 1986
Azwar, Saifuddin. MetodePenelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Bakri, Asfari Jaya konsep Maqasid Syari’ah menurut Asy-syatibi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa DSN-MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001
Tentang Al-Qardh Jakarta: DSN, 2001
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan Ijarah, Jakarta: DSN, 2000
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, fatwa DSN-MUI No. 62/DSN-MUI/XII/2007
Tentang Jualah Jakarta: DSN, 2007
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006
tentang Akad Wakalah Bil Ujroh pada Asuransi Syari’ah dan reasuransi
syariah Jakarta: DSN, 2006
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Efendi, Satria Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005 Fatwa DSN MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Uang Elektronik Syariah.
64
Hidayati, Sri. DKK, Operasional E-money, Jakarta: BI, 2006
Huda Nurul dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam (tinjauan Teoritis
dan Praktis), Jakarta: Kencana, 2010.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Hendi Suhaendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2002.
Http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/ Haikal Ramadhan, Aminah dan
Suradi Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Uang Elektronik
Dalam Melakukan Transaksi Ditinjau Dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/8/Pbi/2014 Tentang Uang Elektronik (E-money), Jurnal
Diponegoro Law Review Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 hlm 7-9 di akses
pada Minggu tanggal 1 april 2018 pukul 21.43
Https://bisnis.tempo.co/read/1061730/tumbuh-64-persen-bi-transaksi-uang-elektronik-
rp-115-t-di-2017, Transaksi Uang Elektronik, didownload pada hari
Kamis, 29 Maret 2018 pukul 21.00 WIB.
https://www.bi.go.id/id/Default.aspx Profil Bank Indonesia di akses dari situs resmi
Bank Indonesia pada tanggal 1 September 2018 pada pukul 20.00 WIB
Ismail, PerBankan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011
Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syariah Menurut Al-Syatibi Jakarta; Raja
Grafindo Persada, 1996
Lathif, Azharudin fiqh Muamalat Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005
Ni ‟am Sholeh, HM. Asrorun, Pedoman Dan Prosedur Penetapan Fatwa, Sekretaris
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2017
Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar PerBankan, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Mas‟ud, Khalid. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 2016
Muamar, Afif. Electronic Money (E-money) dalam Perspektif Maqashid Syariah,
Journal of Islamic Economics Lariba (2017). vol. 3, issue 2
Muhammad, Aspek Hukum Dalam Muamalat Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
65
Peraturan BI nomor 11/12/PBI/ 2009 tentang uang elektronik
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 Tentang Uang Elektonik
(electronic money)
POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang penyelengaraan usaha pembiayaan
syariah.
Radiansyah, Muhammad. “Analisis Persepsi Masyarakat Muslim Terhadap
Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Di Kota Medan” Tesis S2
Pogram Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan.
2016
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikro dan
makro ekonomi) Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2008
Rahardjo, Darwan Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES
Indonesia), 1995, hl 291.
Rahman Ghazaly, Abdul Fiqh Muamalat, Jakarta: Kecana prenada media grup, 2012
Remy Sjahdeini, Sutan, PerBankan Syariah (produk-produk dan aspek hukumnya),
Jakarta: Prenada Media Grup, 2014
Rusdiyanto, Aris. “Tinjauan Prinsip Syariah Terhadap Produk E-Money Bank
Syariah Mandiri” Skripsi S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. 2017
Sabiq, Sayid Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1977
Saiful Bahri, Asep. “Konsep Uang Elektronik dan Peluang Implementasi nya
PadaPerBankan Syariah (Studi Kritis Terhadap Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik” Skripsi S1
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010
Salma Salsabila, Sekar. Eksistensi Kartu Kredit dengan adanya Electronic Money (E-
Money) sebagai Alat Pembayaran yang Sah, Jurnal Privat Law Vol: 6 No: 1 2018.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2016
Setiaatmadja, Jahja E-money Your Money‛, The Finance Magazine, Edisi 1, Tahun
1, Mei 2014
66
Syafi‟I Antonio, Muhammad, Bank Syariah (dari teori ke praktik), Jakarta: Gema
Insani, 2001
Syafei, Rachmad fiqh Mu’amalah, Jakarta: Pustakan Setia, 2010
Tazkiyatul Rohmah, S.H.I, Rifqy. “Transaksi Uang Elektronik Di Tinjau dari
Hukum Bisnis Syariah” Tesis S2 Pasca Sarja UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta. 2016
Usman, Rachmadi. Jurnal Karakteristik Uang Elektronik Dalam Sistem Pembayaran
Volume 32 No. 1, Januari 2017. http://e-journal.unair.ac.id/ index.php/ YDK/
index under a Creative diakses pada 19 Januari 2018 pada pukul 13.00 WIB
Utami, Yuli dan Ayief Fathurrahman, Implikasi E-money Terhadap Kesejahteraan
di Indonesia Menurut Perspektif Islam, Yogyakarta: Penelitian Dosen
Muda Prodi Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah 2017
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009, Tentang Uang
Elektronik
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat No. 16/PRT/M/2017
Tentang Transaksi Tol Non Tunai Di Jalan Tol.
Wahab Ibrahim Abu sulaiman, Abdul. Bankin Cards Syariah kartu kredit dan debit
dalam perfektif Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Wahyudi, Irfan Efektifitas “ Pengawasan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada
Bank Tabungan Negara Syariah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Widoatmodjo, Sawidji. New Business Model (Strategi Ampuh Menangani Bisnis
Abad Ke 21), Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2005
Widyastuti, Kirana. Tantangan Dan Hambatan Implementasi Produk Uang
Elektronik Di Indonesia: Studi Kasus Pt Xyz, Jurnal Sistem Informasi
Journal of Information Systems 2017
Yunia Fauzia, Ika. Prinsip dasar Ekonomi Islam (Prespektif Maqashid Al-
Syariah), Jakarta: Prenadamedia Grup 2014.
67
LAMPIRAN-LAMPIRAN
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85