aliran gafatar dan fatwa sesat mui analisis fatwa...
TRANSCRIPT
ALIRAN GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI
“Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)”
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Muhammad Rizal Rizqi Faisal NIM. : 1111043100003
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
ABSTRAK
Muhammad Rizal Rizqi Faisal, 1111043100003 , GAFATAR DANFATWA SESAT MUI “Analisis Fatwa Majlis Ulama Indonesia Nomor 06Tahun 2016. Perbandingan Mazhab dan Hukum Tentang Aliran GerakanFajar Nusantara (GAFATAR)”. Fakultas Syari’ah dan Hukum. UniversitasIslam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyakmasalah dalam urusan keagamaan. Negara ini begitu sensitif terhadap isu-isu yang berhubungan dengan agama.Tidak hanya konflik antar agama,konflik internal dalam satu agama pun kadang masih terjadi di negara ini.Seperti dalam agama Islam, adanya kasus sunni-syiah, selain itu jugamuncul kasus tereksposnya kelompok Gerakan Fajar Nusantara(GAFATAR) pada bulan Februari tahun 2015. Kasus tersebut telahmempengaruhi kehidupan sosial yang ada, Mulai timbul keresahan dalammasyarakat yang membuat orang-orang yang awam menjadi bingung,mereka tidak tau mana yang benar dan mana yang salah. Dengandemikian atas keresahan tersebut, lembaga agama Islam terbesar, yaituMajlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa untuk meghilangkankeresahan yang terjadi di masyarakat. Berkaitan dengan kasus terakhir diatas yaitu kasus GAFATAR, MUI menyatakan dalam fatwanya bahwakelompok gafatar adalah aliran yang sesat.Terkait fatwa tersebut timbulpertanyaan, Bagaimana kriteria sesat menyesatkan menurut MUI danhukum Islam secara umum?Bagaimana kajian fiqh mengenai dalil-dalilyang digunakan MUI dalam penetapan fatwa gafatar?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahuipenjelasan kriteria sesat menyesatkan menurut Majelis Ulama Indonesiadan Hukum Islam. Untuk mengetahui kajian fiqh dalil-dalil yang digunakanMajelis Ulama Indoesia dalam menetapkan fatwa Nomor: 06 Tahun 2016tentang Gafatar.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitiankualitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian dilengkapidengankajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematisdan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuatinformasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yangakan dilakukan.Kata kunci: Fatwa, MUI, Gafatar.
Daftar Pustaka: Tahun 1965 s.d Tahun 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada allah swt. dialah
sumber tempat bersandar, dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas, rahman
dan rahim tetap menghiasi namanya. sehingga penulis diberikan kekuatan fisik,
mental serta psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ALIRAN
GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI “Analisis Fatwa Majelis Ulama
Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang Aliran Gerakan Fajar Nusantara
(Gafatar)”
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para
keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya, yang telah membuka pintu keimanan
yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup manusia dan pencerahan atas
kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah pembelajaran bagi
umat manusia hingga akhir zaman.
Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai gelar
Sarjana Syariah (S1) pada program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selama proses perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sehingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum
3. Ibu Hj. Siti Hana Lc, M.A. Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab
dan Hukum.
4. Bapak Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. Dan Bapak H. Qosim Arsyadani,
MA. dosen pembimbing skripsi ini yang telah meluangkan waktu,
memberikan masukan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.
5. Bapak dan ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan
pikirannya untuk mendidik penulis.
6. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang jug
memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam
penulisan skripsi.
7. Orang tua penulis Ayahanda Didin Dim Yati dan Ibunda Rossadah tercinta
yang selalu penulis hormati dan sayangi yang selalu mencurahkan kasih
sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat serta doa
demi kesuksesan penulis. Semoga Allah selalu memberikan rahman dan
rahimnya kepada mereka, aamiin.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan penulis kelas PMF angkatan 2011.
9. Seluruh santri Pon-Pes Dar el-Hikam, Ciputat Tangerang Selatan.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak baik berupa moril maupun
materil penulis panjatkan doa semoga Allah SWT. membalasnya dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal shaleh yang tidak pernah
surut mengalir pahalanya, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan semua pihak. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Jakarta, 26 Desember 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................... iii
ABSTRAK.................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR................................................................................................ v
DAFTAR ISI............................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah....................................................6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.............................................................7
D. Metode Penelitian..................................................................................8
E. Study Review Terdahulu......................................................................10
F. Sistematika Penulisan Skripsi..............................................................11
BAB II ALIRAN SESAT DAN FATWA MUI
A. Eksistensi MUI sebagai Mufti............................................................. 12
1. Definisi Fatwa.................................................................................12
2. Apakah MUI Memenuhi Kriteria Sebagai Mufti............................14
B. Teori Kebebasan Ekspresi Beragama.................................................. 18
C. Aliran Sesat Dalam Islam ................................................................... 20
1. Definisi Aliran Sesat.................................................................... 20
2. Kriteria Aliran sesat..................................................................... 21
D. Proses Fatwa MUI Tentang Aliran GAFATAR................................ 23
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)
A. Sejarah dan Status Kelembagaan MUI............................................... 27
B. Metode Penetapan Fatwa MUI.......................................................... 33
C. Sejarah dan Ajaran Gafatar................................................................. 41
D. Prosedur Penetapan Fatwa ................................................................. 47
BAB IV ANALISIS KRITERIA SESAT DAN DALIL-DALIL FATWA
GAFATAR MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
A. Analisis Kriteria Aliran Sesat Menurut MUI...................................... 48
B. Analisis Kajian Fiqh Mengenai Dalil-Dalil yang Digunakan MUI
Dalam Penetapan Fatwa Gafatar.………………………………........ 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 71
B. Saran ................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 73
LAMPIRAN ............................................................................................................. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara hukum yang segala aspek kehidupannya
diatur dalam peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Adapun peraturan yang tertulis berbentuk undang-undang, sedangkan
yang tidak tertulis berbentuk hukum adat yang sampai sekarang masih
berlaku di beberapa daerah. Ada berbagai macam aspek kehidupan yang
diatur antara lain aspek ekonomi, politik, hukum, dan sosial.
Merinci kepada aspek sosial yang pada hakikatnya adalah kehidupan
bermasyarakat, yaitu interaksi gafatar antar individu dan lembaga.
Hubungan timbal balik antara satu orang kepada orang lainnya dan
lembaga satu dengan lembaga lainnya. Namun, perlu di pahami bahwa
interaksi tersebut tidak boleh mengganggu hak-hak dasar yang telah
dimiliki oleh manusia sejak lahir, atau yang disebut dengan hak asasi
manusia.1 Dan Indonesia dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah
mengatur berbagai macam hak asasi manusia yang harus dilindungi.
Dari sekian banyak hak asasi manusia ada salah satu hak asasi yang
sangat penting keberadaannya yaitu hak beragama. Dalam undang-
undang dasar pasal 28 dijelaskan bahwa setiap individu berhak meyakini
agama masing-masing. Dengan demikian, setiap orang yang beragama
harus dilindungi keberadaannya berdasarkan aturannya. Setiap orang yang
beragama harus saling menghormati meskipun berbeda keyakinan.
Namun, undang-undang yang ada tidak menunjukkan fungsi
prefentifnya, yaitu tidak mencegah dan mengantisipasi adanya
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi kemudian. Terbukti dengan begitu
banyaknya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama, baik itu
1Heri Herdiyanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, Dan AktifBerwaganegara, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 15.
2
persoalan internal dalam satu agama maupun persoalan antar lintas
agama. Sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta; Aliansi Nasional Bhineka
Tunggal Ika2 menyebut Yogyakarta semakin kehilangan semangat
toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah menjadi catatan
buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini. Koordinator Aliansi
Nasional Bhineka Tunggal Ika, Agnes Dwi Rusjiyati, mengatakan kasus
intoleransi pada 2015 hinngga Maret 2016 paling b anyak terjadi di
Kabupaten Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat
ibadah, pelanggaran aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan
tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus.3 Masih banyak
lagi kasus-kasus lainnya yang terjadi di beberapa daerah.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak
masalah dalam urusan keagamaan. Negara ini begitu sensitif terhadap isu
-isu yang berhubungan dengan agama, sebagai gambaran bahwa negara
Indonesia mengakui adanya lima agama resmi. Namun demikian, menurut
Menteri Agama masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Suryadharma Ali, menilai wajar masih adanya konflik-konflik antar agama
yang terjadi di tanah air ini. Meski demikian, ia tetap melihat tingkat
toleransi antar umat beragama di Indonesia lebih baik dibandingkan
dengan negara-negara lainnya di dunia.4
Perlu diingat, bukan hanya konflik antar agama saja yang terjadi di
Indonesia, konflik internal dalam satu agama pun kadang masih terjadi di
negara ini. Sebagai contoh, pada tahun 2012 terjadi konflik antara sunni-
2 Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika adalah aliansi keberagaman kebudayaandan kepercayaan, yang bekerja untuk mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negarabangsa yang beragam dan menjunjung konstitusi.
3 Shinta Maharani, Kasus Intoleransi Di Yogyakarta tinggi, arikel diakses pada 11maret 2016, www.tempo.com
4Sabrina Asril, “Menteri Agama: Konflik Beragama Wajar, Yang Tak Wajar “tukangkompor”, artikel diakses pada 17 juli 2013 www.kompas.com
3
syiah di Madura.5 Kedua kelompok tersebut merupakan bagian dari
sejarah agama Islam. Konflik yang terjadi di Sampang tersebut,
merupakan konflik yang masuk kategori ekstrim, karena dalam konflik
tersebut telah menewaskan beberapa orang dan yang lainnya terluka.
Dengan kata lain, konflik ini bukan lagi konflik berbeda pendapat, tetapi
sudah mencapai konflik fisik yang telah menimbulkan kematian. Selain
kasus sunni-syiah, peristiwa lainnya muncul, seperti yang terjadi pada
bulan februari tahun 2015, yaitu tereksposnya kelompok Gerakan Fajar
Nusantara (GAFATAR).
Menurut Ken Setiawan (mantan pengikut MUI sekaligus pendiri situs
NII crisis center) mengungkapkan bahwa organisasi bernama Gerakan
Fajar Nusantara atau GAFATAR merupakan suatu bentuk pecahan dari
Negara Islam Indonesia (NII). Ken mengatakan bahwa selepas
dibubarkannya NII dibentuk suatu organisasi yang bernama al-Qiyadah
Islamiyyah di bawah pimpinan Ahmad Musadeq. Beberapa waktu
kemudian, Ahmad Musadeq ditahan oleh pihak kepolisian dengan tuduhan
telah menistakan agama selama 2,5 tahun. Hal ini merupakan bentuk
pelanggaran penodaan agama didasarkan pada pasal Penetapan Presiden
Republik Indonesia No 1 tahun 1965 Jo. pasal 156 butir a Kitab Undang
Hukum Pidana (KUHP) setelah bebasnya Musadeq dari penjara, kemudian
dirinya kembali mendirikan sebuah komunitas bernama Milah Abraham.
Komunitas yang didirikan Ahmad Musadeq selepas terbebas dari
penjara tersebut ternyata juga dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
lantaran dianggap sesat dan keluar dari jalur syariat Islam. Ini berdasarkan
salah satu ayat dalam al-Qur’an surat an-Nissa ayat 115 yang berbunyi:
ام هلون نينمؤملا ليبس ريغ عبتيو ىدهلا هل نيبت ام دعب نم لوسرلا ققاشي نمو
اريصم تءاسو منهج هلصنو ىلوت
5Zuhairi Misrawi, “Konflik Sunni-Syiah di Madura?”, artikel diakses pada 28 agustus2012, www.sindonews.com
4
Artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaranbaginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kamibiarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] danKami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruktempat kembali.
Tak henti sampai disitu, Musadeq akhirnya membentuk lagi sebuah
organisasi bernama gafatar pada tahun 2011. Kali ini gafatar banyak
diterima oleh masyarakat lantaran beberapa kegiatan yang dilakukan
organisasi tersebut dinilai positif dikarenakan lebih bersifat sosial.6
Namun pada akhirnya, kelompok gafatar tersebut senasib dengan
kelompok-kelompok yang sebelumnya.
Dari kasus keagamaan tersebut, tentunya mempengaruhi kehidupan
sosial yang ada, khususnya di daerah dimana kasus tersebut terjadi. Mulai
timbul keresahan dalam masyarakat dengan kasus terebut, akan
membuat orang-orang yang awam menjadi bingung, mereka tidak tau
mana yang benar dan mana yang salah. Maka atas keresahan tersebut,
lembaga agama islam terbesar, yaitu Majlis Ulama Indonesia menjalankan
tugasnya, dengan mengeluarkan fatwa yang akan mengurangi atau
meghilangkan keresahan yang terjadi di masyarakat. Berkaitan dengan
kasus terakhir di atas yaitu kasus gafatar, MUI menyatakan dalam
fatwanya bahwa kelompok gafatar adalah aliran yang sesat.
Aliran sesat ditinjau dari bahasa terdiri dari dua kata yaitu aliran dan
sesat. Kata aliran berasal dari kata alir yang berarti kata aliran adalah
sesuatu yang mengalir (tentang hawa, air, listrik, dan sebagainya); sungai
kecil, selokan, saluran untuk benda air yang mengalir (seperti pipa air);
gerakan maju zat air (fluida), misal gas, uap atau cairan secara
6 Fadli. “asal usul gafatar ternyata tidak jauh berbeda dengan nii”. artikel diaksespada 13 januari 2016 dari www.jelasberita.com.
5
berkesinambungan.7 Arti kata sesat adalah salah jalan, tidak melalui jalan
yang benar, keliru, berbuat yang tidak senonoh, menyimpang dari
kebenaran.8 Pengertian aliran sesat apabila dikaitkan arti katanya dapat
dimaknakan sebagai suatu gerakan yang berkesinambungan (terus
menerus) yang menyimpang dari kebenaran.
Berdasarkan paparan di atas, penulis memfokuskan pembahasan
kepada fatwa MUI NOMOR 6 TAHUN 2016 Tentang Gafatar. Dalam hal ini,
penulis akan menganalisis dalil-dalil yang digunakan MUI dalam
menetapkan fatwa tersebut menurut kajian fiqh. Selanjutnya akan
menganalisis kriteria-kriteria sesat yang dijadikan patokan MUI menurut
ulama-ulama islam. Dengan demikian penulis memberikan judul terhadap
penelitian ini sebagai berikut:
ALIRAN GAFATAR DAN FATWA SESAT MUI “Analisis FatwaMajelis
Ulama Indonesia No.06 Tahun 2016 Tentang Aliran Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar)”
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
A. Apa definisi aliran Gafatar?
B. Pokok-pokok pemikiran aliran Gafatar?
C. Apa yang menyebabkak aliran Gafatar dinyatakan sesat oleh MUI?
D. Apakah yang menjadi pertimbangan MUI sehingga menyatakan
Gafatar sebagai aliran sesat dan dilarang berkembang di
Indonesia?
7 Departemen Pendidikan Naisonal, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia,(jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 42.
8 Departemen Pendidikan Naisonal, Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia, hal.1337.
6
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis
merumuskan pokok permasalahan skripsi ini adalah kajian fiqih
mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa
GAFATAR. Pokok permasalahan di atas diurai dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. apa sajakah faktor yang menjadi kriteria aliran atau sekte dianggap
sesat menyesatkan menurut MUI dan hukum Islam?
b. Apa sajakah dalil-dalil yang digunakan MUI dalam penetapan fatwa
sesat aliran gafatar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan
dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam
merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang
telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui penjelasan kriteria sesat menyesatkan menurut
Majelis Ulama Indonesia dan Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui kajian fiqh dalil-dalil yang digunakan Majelis
Ulama Indoesia dalam menetapkan fatwa Nomor: 06 Tahun 2016
tentang Gafatar.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Manfaat Akademis:
Adapun tujuan penelitian bagi dunia akademis yaitu:
1) Memberikan pengetahuan dan informasi tentang kriteria sesat
menurut MUI dan Hukum Islam.
7
2) Menambah khazanah keilmuan di bidang aqidah dan fikih
terkait ajaran sesat yang menyesatkan.
b. Manfaat Masyarakat:
Adapun manfaat dari penelitian ini untuk masyarakat yaitu:
1) Memberikan pemahaman tentang kriteria aliran-aliran sesat.
2) Memberikan masukan agar masyarakat lebih waspada dan
berhati-hati dalam menerima organisasi yang
mengatasnamakan agama Islam di lingkungan mereka.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari
realita atas peristiwa yang berlangsung di lapangan. Apa yang di
hadapi dalam penelitian adalah sosial kehidupan sehari-hari.
Penelitian seperti berupaya memandang apa yang sedang terjadi
dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang diperoleh
di dalamnya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh peneliti selama
dilapangan termasuk dalam suatu posisi yang berdasarkan kasus,
yang mengarahkan perhatian pada spesifikasi kasus-kasus tertentu.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian adalah cara pandang yang digunakan
dalam melihat permasalahan penelitian. penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif untuk menganalisis isi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor : 06 Tahun 2016 Tentang Fatwa Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar).
menurut Sugiyono, metodologi kualitatif merupakan metode
9 Burhan Bungin¸Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2001), cet. 3, hal. 82.
8
penelitian yang naturalistik karena digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiyah (natural setting) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan
hasil penelitian lebih menekankan maknna daripada generalisasi.10
sehingga pendekatan ini, peneliti dapat menafsirkan makna pada teks
berita dengan menguraikan cara bagaimana media mengkontruksikan
berita tersebut.
oleh karena itu, karena fokusnya pendekatan penelitian ini adalah
interpretatif dan naturalistik terhadap pokok kajiannya, maka dalam
menggunakan penelitian kualitatif, peneliti berusaha melakukan studi
gejala dalam keadaan alamiah. penelitian kualitatif juga berusaha
membentuk pengertian terhadap fenomena sesuai dengan makna
yang lazim digunakan oleh subjek penelitian.11
3. Sumber Data
Dalam penelitian hukum empirik, data primer diperoleh langsung
dari data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara dengan
subjek penelitian. Di dalam penelitian ini, digunakan pula data
sekunder yang memiliki kekuatan mengikat yang dibedakan dalam
beberapa macam:
a. Bahan hukum primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam skripsi ini adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor :
10 Sugiyono, Metodologi Penelitian Kualitatif dan R&D, (Bandung:: Alfabeta, 2013).h. 8-9
11 Jamroni dan Suhaimi, Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UINJakarta Press, 2006), h. 28.
9
06 Tahun 2016 Tentang Fatwa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
b. Bahan hukum sekunder yaitu: berupa buku-buku, makalah seminar,
jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, situs, testimony,
koran maupun blog, karya ilmiyah berita berita dimedia massa dan
lainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “buku pedoman penulisanskripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri SyarifHidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN jakarta tahun2016/2017.”
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah
dipahami dan diinformasikan kepada orang lain.
Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran
yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam
penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan metode
deskriptif analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan
suatu permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara
jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
E. Review Study Terdahulu
1. Skripsi milik Acep Mulingki Oktadi Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Bengkulu yang berjudul “ANALISIS POLA PEMBINAANTERHADAP ALIRAN ISLAM SESAT AMANAT KEAGUNGAN ILAHI DI
10
ARGAMAKMUR BENGKULU UTARA”.Dalam skripsi ini, penelitian bertujuan untuk mengetahui pola
pembinaan terhadap aliran Islam Amanat Keagungan Ilhai di Arga
makmur Bengkulu Utara dan untuk mengetahui faktor-faktor
penghambat pembinaan terhadap aliran Islam Amanat Keaguangan
Ilahi di Argamakmur Bengkulu Utara. Sangat berbeda dengan
pembahasan skripsi yang saya kerjakan, yang akan menjelaskan
beberapa kajian fiqh dalam dalil-dalil yang digunakan majelis ulama
indonesia untuk menetapkan fatwa nomor 06 tahun 2016 tentang
gerakan fajar nusantara. Dan kesamaannya ialah pembahasan seputar
aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam.
2. Skripsi milik Anggelia Felia Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
“STRATEGI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA PEKANBARUDALAM MENGANTISIPASI BERKEMBANGNYA ALIRAN-ALIRANSESAT”.
skripsi ini, penelitian bertujuan untuk mengetahui cara Majelis
Ulama Indonesia dalam upaya mengantisipasi berkembangnya aliran-
aliran sesat yang ada di Indonesia. Sangat berbeda dengan
pembahasan skripsi yang saya kerjakan, yang akan menjelaskan
beberapa kajian fiqh dalam dalil-dalil yang digunakan majelis ulama
indonesia untuk menetapkan fatwa nomor 06 tahun 2016 tentang
gerakan fajar nusantara. Dan kesamaannya ialah pembahasan seputar
aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, Pembagian kedalam
beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan
pembahasan terhadap isi penulisan ini, dengan tehnik penulisan mengacu
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
11
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan perincian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan penulisan serta library research, studi pustaka dan
sistematika penulisan. Dengan berangkat dari pendahuluan kita
sudah mengetahui garis besar penelitian Bab pertama ini adalah
sebagai pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang
dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam
bab V, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORITIS MENGENAI FATWA
Bab II ini membahas tentang tinjauan umum mengenai fatwa
dalam kajian fiqh, yang meliputi pengertian fatwa, kedudukan
fatwa, syarat-syarat fatwa dan metode pembuatan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)
Bab III ini membahas tentang gambaran umum mengenai Majelis
Ulama Indonesia (MUI), yang meliputi sejarah dan status
kelembagaan MUI, metode penetapan fatwa MUI, daN Sejarah
terbentuk dan Ajaran Gafatar.
BAB IV ANALISIS KRITERIA SESAT DAN DALIL-DALIL FATWA GAFATAR
MENURUT MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
Bab IV ini membahas tentang analisis kriteria sesat menyesatkan
menurut MUI dan Hukum Islam secara Umum dan Analisis Kajian
Fikih mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam Penetapan
Fatwa Nomor: 06 Tahun 2016 Tentang GERAKAN FAJAR
12
NUSANTARA (GAFATAR).
BAB V PENUTUP
Dalam Bab V ini penulis mengakhiri penulisan ini dengan
memberikan beberapa kesimpulan dan juga menyampaikan
beberapa saran yang berhubungan dengan kajian penulisan.
BAB II
ALIRAN SESAT DAN FATWA MUI
A. Eksistensi MUI sebagai Mufti
1. Definisi Fatwa
Fatwa bagi sebagian orang sebagai sebuah ketentuan yang harus
dijalankan juga sebagai anjuran. Fatwa berasal dari bahasa Arab aftaa-
yufti,yang secara sederhana berarti memberi keputusan.1 Fatwa adalah
jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah
hukum. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang di buat dengan
gampang, atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar.2 Fatwa
secara etimologi (bahasa) ialah:
3المسائل الشرعیةاوالقانونیة الجواب عما یشكل من
Artinya: “Jawaban dari permasalahan-permasalahan syariah dan hukum”
Fatwa secara terminologis berarti penjelasan hukum syar’i dalam menjawab
suatu persoalan yang diajukan seseorang, baik penjelasannya jelas (terang) atau
tidak jelas (ragu-ragu) baik penjelasan itu mengarah pada kepentingan pribadi
atau kepentingan masyarakat.4
Menurut Khalil Ahmad, sebagai mana di kutif oleh Fuad Thohari, terkadang
fatwa dibaca al-futya. Bentuk plural al-fatwa adalah al-afta’. Sebagai contoh, jika
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyah, 2010), h. 308.
2 Ahyar A. Gayo, “kedudukan Fatwa MUI Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi
Syariah”, Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI, 2011, h.13.
3 Ahmad Mukhtar Umar, Mu’jam al-Lughah al-Arabiyya al-Mu’ashirah, (Kairo: ‘Alim al-
Kutub, 2008), juz III, h. 1672. 4 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA’I, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia,
2012), h 58.
12
13
si fulan adalah seorang mujtahid yang dihadapkan pada persoalan seseorang yang
menikah tanpa wali, kemudian si fulan memikirkannya dengan menggunakan dalil
syar’i atau dengan istinbath (penetapan) hukum, kemudian mengambil
kesimpulan bahwa tidak sah nikah tanpa wali, kesimpulan ini disebut fatwa. Fulan
yang berfatwa disebut mufti dan orang yang meminta fatwa disebut mustafti.5
Fatwa dapat didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum Islam
yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat.6 Fatwa biasanya cenderung
dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang
dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis,
tetapi minimal fatwa itu responsif. Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-
Qur’an dan al-Sunnah dalam menerangkan hukum-hukum syara’, ajaran-
ajarannya, dan arahan-arahannya.
Fatwa yang dimaksudkan untuk mencari jawaban dari suatu masalah telah
diatur didalam surat An-Nisa ayat 127:
مى ٱل ب في یت یفتیكم فیھن وما یتلى علیكم في ٱلكت تي ال ویستفتونك في ٱلنساء قل ٱہلل نساء ٱل
مى تؤتونھن ما ك ن وأن تقوموا للیت تب لھن وترغبون أن تنكحوھن وٱلمستضعفین من ٱلولد
كان بھۦ علیما . بٱلقسط وما تفعلوا من خیر فإن ٱہلل
Artinya:. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang
kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak
yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya. (Q.S An-Nisa: 4: 127)
5 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA’I, h. 59. 6 Ensiklopedia Hukum Islam jilid I, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, h.326.
14
2. Apakah MUI Memenuhi Kriteria Sebagai Mufti
Untuk menetapkan hukum Islam, seorang mufti harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan ulama. mengutip dari buku Fuad thahari menurut
Ibnu Qoyyim secara khusus, syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mufti
antara lain:7
a. Memahami Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang terkait (ulum Al-Qur’an)
b. Mengetahui sebab-sebab turunya ayat- ayat Al-Qur’an dan sebab- sebab
keluarnya hadis
c. Mengetahui ayat Al-Qur’an yang nasikhah (ayat yang menghapus) dan ayat
Al-Qur’an yang mansukhah (ayat yang dihapus)
d. Mengetahui secara persis ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat musytabihat (
samar )
e. Mengetahui secara detail penta’wilan Al-Qur’an dan penafsirannya secara
valid dan akurat
f. Mengetahui secara mendetail tentang hadis-hadis Rasulullah S.A.W.
g. Mengetahui ayat-ayat Makiyah ( ayat-ayat yang diturunkan kepada
Rasulullah S.A W. Sebelum hijrah ke Madinah, kendatipun tidak turun di
Mekah ) dan Madaniyah ( ayat-ayat yang turun sesudah hijrah kendatipun
tidak turun di Madinah )
h. Mengetahui ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu Fikih,
Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah, dan ilmu lain yang
menunjang dalam menetapkan fatwa.
i. Mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (mashlahah al-
‘ammah)
j. Harus terhindar dari sikap tercela dan mengutamakan kepentingan ilmiah.
7 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’I, h.62.
15
Dari rumusan syarat-syarat yang berbeda yang disampaikan oleh beragam
pakar ushul fiqh, syarat mufti itu dikelompokkan pada empat kelompok sebagai
berikut:8
1. Syarat umum. Karena ia menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan
hukum syara’ dan pelaksanaannya, maka ia harus seorang mukalaf yaitu
muslim, dewasa dan sempurna akalanya.
2. Syarat keilmuan: yaitu bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan untuk
berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat sebagaiman syarat
yang berlaku bagi seseorang mujtahid antara lain mengetahui secara baik
dalil-dalil sam’i mengetahui secara baik dalil-dalil aqli.
3. Syarat kepribadian: yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut
dari seseorang mufti karena ia secara langsung akan menjadi ikutan bagi
umat dalam beragama. Dua syarat ini bahkan tidak dituntut dari seseorang
mujtahid karena tugasnya hanya meneliti dan menggali.
4. Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang oleh
al-Amidi di uraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk
membidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang (sakinah) dan
berkecukupan. Ditambahkan sifat oleh Imam Ahmad menurut yang
dinukilkan oleh Ibn al-Qoyyim yaitu: mempunyai niat dan itikad yang baik,
kuat pendirian dan dikenal di tengah umat. Al-Asnawi secara umum
mengemukakan syarat mufti, yaitu sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku
pada seorang perawi hadis karena dalam tugas-tugasnya memberi
penjelasan sama dengan tugas perawi.
Begitu pentingnya posisi mufti, hampir seluruh kitab Ushul Fiqih
membicarakan dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan
persyaratan ketat yang harus dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan
fatwa) maka dengan demikian fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber
ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan
bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk
8Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, ( Jakarta: Kencana 2014 ), h. 486.
16
hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai
kekuatan untuk mengikat.9 Secara prinsipil dan beberapa hal yang telah diuraikan
diatas bahwa Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting
mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak. Walaupun secara
substansi bahwa fatwa memiliki otoritas hanya sebatas dalam rangka responsif,
proaktif, dan antisipatif yang sifatnya tidak mengikat namun tidak mengurangi
keluhurannya dalam rangka menjalankan dan menunaikan tanggung jawab serta
tugasnya demi melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan
agama Islam menuju kehidupan umat manusia yang berada pada jalan lurus dan
garis yang benar.
Jika diamati fatwa-fatwa MUI memberi kesan pada masarakat bahwa MUI
tidak professional dan tidak banyak mengetahui persoalan-persoalan
perkembangan keislaman di masyarakat. Selain itu juga terkesan MUI tidak
mendalam pengusaannya tentang ilmu-ilmu keislaman.
Buktinya banyak ulama dan tokoh masyarakat yang mampu membantah
fatwa MUI dengan argument-argumen yang mematahkan. Ditambah lagi fatwa-
fatw MUI tidk dapat mengcover ormas-ormas (NU, Muhammadiya, dll), Misalnya
yang terjadi pada fatwa haram rokok bagi anak-anak dan wanita hamil. Juga
tentang fatwa haramnya golput.
Jika fatwa-fatwa MUI memberi kesan bahwa ulama dan kiyai yang ada di
MUI tidak professional atau belum memenuhi syarat sebagai ulama dan mujtahid,
ini akan membahayakan kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.
Beberapa pertanyaan dan keraguan tentang MUI:
1. Sudahkah ulama yg bertugas di MUI memenuhi syarat sebagai mufti atau
mujtahid? Jika belum, tentu fatwanya tidak sah, alias tidak sah diikuti.
2. Sudahkah ulama di MUI itu diuji secara professional oleh ulama atau
mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid? Jika belum, mengapa
mereka berani mengeluarkan fatwa yang memberi kesan “urun-rembuk”.
9 Ija Suntana, Daya Ikat Fatwa, (Bandung: Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009), h. 3.
17
Yakni tidak menunjukkan sebagai seorang mufti yang benar berani
bertanggung jawab atas fatwanya kelak di hadapan Allah swt.
3. Mengapa di MUI belum ada forum Mujtahid yang layak untuk menguji para
calon mujtahid yang akan bertugas di MUI? Jika belum ada, mengapa mereka
tidak diuji di negeri muslim yg telah memiliki mujtahid seperi Mesir dan
Iran?
4. Dalam sepengetahuan seorang Prof. DR dalam bidang ilmu tafsir, apalagi
lulusan SI dan S2, belum pasti memenuhi syarat sebagai mujtahid, kecuali
telah lulus diuji oleh seorang mujtahid atau beberapa mujtahid dalam bidang
hukum Islam.
5. Lebih fatal lagi jika ulama atau kiyai di MUI mengeluarkan fatwa
berdasarkan pesan sponsor, atau mengikuti kebijakan pemerintah yang tidak
paham ajaran Islam. Dan lebih bahaya lagi jika fatwa MUI mengikuti
kepentingan politisi. Seperti mengharamkan Golput. Apa dasarnya dalam Al-
Qur’an dan hadis? Yang jelas dan qath’i dalilnya adalah kita haram mematuhi
penguasa zalim dan ulama su’ (ulama yang buruk mentalnya).
6. Supaya lebih professional, bagaimana kalau calon-calon ulama dan kiyai yg
akan bertugas di MUI diuji secara formal kemampuan dan pengusaannya
tentang ilmu-ilmu keislaman, juga moral dan pribadinya? Supaya tidak
membingungkan dan membinasakan umat dan masyarakat. Sungguh akan
lebih berbahaya jika seorang ulama di MUI diangkat berdasarkan
kedekatannya dengan penguasa. Bukan berdasarkan ketinggian ilmunya dan
kemuliaan akhlaknya.10
10 Muhammad Dainuri, MUI Dalam tinjauan Proporsional dan Profesional, http://daeeleea.blogspot.co.id/2013/06/mui-proporsional-dan-profesional.html (Diakses:15-03-18 Jam: 15:20
18
B. Teori Kebebasan Ekspresi Beragama
agama-agama resmi di Indonesia dijamin keberadaanya oleh negara
dengan adanya regulasi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau penodaan Agama. namun anehnya masih
ada beberapa kelompok yang ingin menghapuskan sebagian atau keseluruhan dan
isi undang-undang tersebut. seperti misalnya Musdah Mulia bersama 7 LSM yang
pernah mengajukan Judicial Review terkait Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965
tersebut, sehingga kemudian menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Salah satu dasar gugatannya diantaranya adanya ketidakpastian hukum, sehingga
dianggap menjadi alat penekan kelompokk mayoritas untuk memaksakan
kebenaran kepada kelompok minoritas. Anggapan tersebut terlihat aneh, adanya
jaminan perlindungan agama resmi malah dianggap alat penekan kelompok
tertentu terhadap kelompok lainnya. Padahal negara Indonesia notabene negara
multikultural yang memilik ragam, budaya, bangsa, bahasa dan agama telah rukun
dan damai dibawah naungan Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Menurut Yayan Sopyan, masyarakat diberikan hak dan kebebasan untuk
memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing
sesuai dengan kepercayaanya, sebagaimana tertuang dalam amanat konstitusi,
selain itu negara pun turut bertanggung jawab dalam meningkatkan ketakwaan
dan menuntun warganya untuk berprilaku mulia. Karenanya bila ada wacana
kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat termasuk didalamnya
kebebasan untuk menyiarkan keyakinan dan pemahaman keagamaan yang
“menyimpang” dan bertentangan dengan “mainstream” keyakinan dan
pemahaman keagamaan pada umumnya, hal itulah pada dasarnya yang
merupakan bentuk pelanggaran hak konstitusional warga negara. Para pemohon
dalam pengajuan uji materi UU No. 1/PNPS/1965 berdalih dengan
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hal kebebasan berasgama
dan berkeyakinan. sehingga hal tersebut tanpa sadar malah melupakan hak asasi
pemeluk agama resmi yang diakui negara. Hal tersebut diulas Sodikin dalam
makalahnya sebagai berikut: “Realitas menunjukkan berbagai peristiwa yang
19
mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bidang keagamaan yang
belakangan ini muncul. Hak kebebasan beragama ini dijadikan alasan untuk
secara bebasa menganut kepercayaan sendiri tanpa juga memperatikan hak
beragama orang lain.”
Secara sederhana seolah perlindungan agama resmi dan pelanggaran aliran
kepercayaan baru bertentangan dengan Hak Asasi Manusia untuk berekspresi
dengan berkeyakinan, sehingga kemudian dianggap bertentangan dengan hak
konstitusional warga negara. Artinya kelompok pemohon dalam uji materi
undang-undang ini ingin memberikan ruang bebas seluas-luasnya kepada seluruh
warga negara Indonesia untuk memeluk agama, keyakinan dan kepercayaan apa
saja walaupun bertentangan dengan agama resmi yang diakui negara. Sehingga
kebebasan yang diberikan akan menghilangkan perlindungan atas kemurnian
agama resmi yang sudah ada. maka kemudian memungkinkan munculnya
sempalan-sempalan aliran yang mirip dengan agama Islam, agama Katolik, agama
Kristen, agama Hindu, agama Budha, dan agama Konghucu. Bila hal ini dibiarkan
tidak menutup kemungkinan agama resmi yang sudah diakui negara tadi akan
pudar keasliannya, dan secara tidak langsung hak konstitusional warga negara
untuk memeluk agamanya akan terlanggar.
Menurut penulis, pemahaman akan Hak Asasi Manusia dalam memeluk
agama yang diusung oleh kelompok pemohon uji materi UU No.1/PNPS/1965
tidaklah relevan dalam konteks keindonesiaan. Karena filosofi dari HAM itu
sendiri tidak lain memberikan kewajiban kepada seseorang untuk menghormati
hak asasi orang lain. Artinya ada kewajiban menghormati agama yang sudah ada
diatas tuntutan hak untuk membuat inovasi agama baru. Pengakuan adanya hak
asasi pada seseorang berarti mengakui adanya kewajiban yang harus dilakukan
terhadap orang lain artinya adanya kewajiban asasi semua orang untuk
menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian,
hubungan antara hak dan kewajiban adalah resiprokal yang harmonis, karena
pengakuan hak pada pada pihak tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain.11
11 Nuraahim Yunus, “Hak Konstitutional Warga Negara Dalam Beragama”. (Surat Kabar ADALAH) 01 Januari 2017
20
C. Aliran Sesat Dan Fatwa
1. Definisi Aliran Sesat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sesat memiliki arti tidak
melalui jalan yang benar; salah jalan atau menyimpang dari kebenaran
(tentang agama dan sebagainya). Sedangkan menyesatkan berarti membawa
kejalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan).12 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa sesat adalah usaha untuk mempengaruhi orang untuk
menyimpang dari kebenaran atau menuju jalan yang salah.
Sesat dalam bahasa arab disebut dengan dhalal atau dhalalah. Al-
Qurthubi, menyatakan bahwa asal dari kata dhalal atau al-ghaybubah
(tersembunyi/gaib). Menurut Al-Alusi dan Abu Hilal al-‘Askari, asal dari
dhalal adalah al-halak (rusak). Kemudian Al-Baghawi menggabungkan
keduanya bahwa asal dari dhalal adalah al-halak wa al-ghaybubah (rusak dan
tersembunyi). Al-Qurthubi mengatakan bahwa dhalal hakikatnya adalah pergi
meninggalkan kebenaran, diambil dari tersesatnya jalan, yaitu menyimpang
dari jalan yang seharusnya.13
Dhalal secara mutlak mencangkup orang yang tersesat dari petunjuk, baik
sengaja maupun karena kejahilan, dan tentu saja ia akan mendapatkan adzab.
Penyebab kesesatan adalah karena kejahilan (bodoh atau tidak tahu tentang
ajaran agama), lalu orang jahil itu mengikuti leluhurnya atau oorang-orang
yang dikasihinya sehingga ia menyimpang dari jalan yang lurus karena
kejahilannya terhadap perintah dan larangan Allah sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau bisa juga karena hanya mengikuti
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sesat, http://kbbi.web.id/sesat. Diakses pada 21 Mei 2016, pukul 18.51 WIB. 13 Yahya Abdurrahman, Sesat (Dhalal), http://hizbuh-tahrir.or.id/2008/08/01/sesat-dhalal/. Diakses pada 21 Mei 2106, Pukul 19.18 WIB.
21
nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga ia berpaling dari menuntut ilmu
syari’ dan mengetahui kebenaran.14
Al-Jili mengatakan bahwa jalan sesat adalah jalan yang ditempuh berbagai
pemeluk agama dan keyakinan selain umat nabi Muhammad Saw. Tetapi
keyakinan mereka telah dinodai oleh sikap politeistik dan ateistik, sehingga
mereka terpecah-belah dan tersesat. Dengan demikian Al-Jili dengan tegas
menyampaikan bahwa jalan Muhammad adalah jalan yang lurus, jalan yang
menyampaikan kepasa kebahagian sejati tanpa ada kesulitan sedikitpun.15
2. Kriteria Aliran Sesat
untuk menilai suatu aliran dikategorikan sesat atau tidak dalam pandangan
islam maka harus dilihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Quran
maupun sunnah.16 secara umum ajaran Islam dapat digolongkan dalam dua
kelompok, yaitu Ushul yang merupakan ajaran pokok yang mencakup aqidah
dan ibadah serta furu’ yang merupakan rincian dari ajaran pokok yang juga
mencakup aqidah dan ibadah.
secara metodologis suatu ajaran dapat dikatakan sesat jika menyimpang
dari ajaran pokok yang bersumber dari al-Quran dan sunnah . contohnya
adalah pengingkaran terhadap hari akhir dan kenabian Nabi Muhammad
SAW sebagai penutup para nabi. sedangkan perbedaan dalam rincian-rincian
ajaran (Furu) tidak dianggap sebagai sebuah kesesatan, melainkan hanya
dipandang sebagai perbedaan pendapat dalam hal aqidah dinamakan aliran.
sedangkan perbedaan pendapat dalam hal fiqih disebut mazhab.
majelis ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan 10 (sepuluh)
kriteria untuk menilai suatu aliran kepercayaan dipandang sebagai aliran sesat
atau tidak. jika suatu aliran kepercayaan dipandang sebagai aliran sesat atau
14 Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, (Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010) h.7-8 15 Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama: Pandangan Sufistik Ibn Arabi, Rumi dan Al-Jili, (Jakarta; PT. Mijan Publika, 2011) h.302-303. 16 Yulkarnain. Harahap, Jurnal“Aliran sesat dalam perspektif hukum pidana islam dan Hukum pidana nasional” H.03
22
tidak. jika suatu aliran terdapat salah satu atau lebih dari 10 kriteria tersebut,
maka aliran tersebut sudah dapat dikatakan sebagai suatu aliran sesat.
pertama, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam. Kedua,
meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan
Hadits. ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran. Keempat,
mengingkari otentisitas dan kebenaran isi al-Quran. Kelima, melakukan
penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Keenam,
mengingkari kedudukan Hadits sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh,
menghina, melecehkan atau merendahkan para nabi dan rasul. kedelapan,
mengingkari nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. kesembilan, mengubah
pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke
baitullah, shalat wajib tidak 5 waktu. kesepuluh, mengkafiri sesama muslim
hanya karena bukan termasuk kelompoknya.17
disamping itu, ada beberapa indikator untuk menilai suatu aliran
keagamaan dipandang sesat. pertama, mengingkari kekadiman Allah SWT.
Kedua, mendustakan salah seorang Rasulullah. ketiga, mengingkari sunah
rasul. keempat, mengingkari mabi muhammad adalah nabi terakhir, dengan
kata lain meyakini adanya nabi sesudah nabi Muhammad SAW. Kelima,
memiliki aqidah yang bertentangan denga al-Quran dan hadits yang telah
disepakati oleh para ulama (ijma).
secara teknis di Indonesia, pihak yang mempunyai otoritas untuk
menyatakan bahwa suatu aliran termasuk sesat adalah pemerintah melalui
bakorpakem setelah ada penelitian mendalam tentang sejauh mana
kesesatannya. adapun proses untuk menyatakan sesat adalah. pertama,
penelitian dilapangan oleh Departemen Agama, hal ini untuk melihat apakah
suatu aliran menunjukan indikasi meresahkan masyarakat dan menodai
agama, kemudian, Kedua, melakukaan koordinasi dengan instansi terkait
yaitu kejaksaan, polda dan mendagri. jika bakorpakem sudah menyatakan
sesat, maka kanwil depag melalui para penyuluh agama akan berusaha
17 Sigit Pranowo, “Sepuluh kriteria aliran sesat”, http://www.eramuslim.com//ustadz-menjawab/aqidah/10-kriteria-aliran-sesat.htm. (diakses: 04 april 2018)
23
membina mereka untuk bertaubat dan kembali pada ajaran yang benar.
terhadap para pengikut aliran sesat, tidak boleh ada aksi anarkis mereka
karena hal tersebut akan menimbulkan hal yang tidak baik.18
sesat tidaknya suatu aliran bermula dari fatwa yang dikeluarkan MUI.
kekuatan suatu fatwa tergantung pada kredibelitas lembaga yang
mengeluarkan fatwa. Fatwa dapat dianggap sebagai sebuah pendapat hukum
jika fatwa tersebut dikeluarkan oleh orang atau lembaga yang kredibel maka
fatwa tersebut tidak dapat diabaika. Diindonesia MUI merupakan forum
ulama, cendikiawan dan pemimpin umat islam dari 46 ormas islam, sehingga
gaung dari fatwa MUI cukup besar bahkan berskala nasional.
D. Proses Fatwa MUI Tentang Aliran GAFATAR
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) adalah sebuah ajaran atau aliran sesat. Ketua Umum MUI
KH. ma’aruf Amin menyampaikan fatwa tersebut dalam konferensi pers di kantor
MUI jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, hari Rabu.
Yang meyakini paham dan ajaran keagamaan Gafatar adalah Murtad, dan
wajib bertaubat. Ajaran Gafatar telah menggabungkan beberapa agama di
antaranya Islam, Yahudi, Nasrani, yang itu dinilai telah melecehkan. KH. Ma’aruf
Amin meminta pemerintah wajib melarang penyebaran aliran Gafatar serta setiap
paham dan keyakinan serupa. Selain itu melakukan penindakan hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemimpin Gafatar t
terus menyebarkan aliran dan ajaran keagamaannya.
Seluruh umat Islam di seluruh Indonesia juga di minta memperkeruh
kondisi itu dengan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum. Untuk itu
segala kerugian terhadap aset yang dibakar dan dirampas agar dipulangkan
kembali atau diganti.
18 Yulkarnain. Harahap, Jurnal“Aliran sesat dalam perspektif hukum pidana islam dan Hukum pidana nasional” H.05
24
Fatwa tersebut dikeluarkan setelah MUI melakukan pertemuan bersama
dengan perwakilan dari daerah di seluruh Indonesia dan juga pertemuan dengan
Kejaksaan Agung. Setelah melalui proses tersebut maka MUI menetapkan Gafatar
sebagai organisasi atau ajaran yang menyesatkan dan tidak diperkenankan untuk
berdiri kembali.
Dalam jumpa Pers Ketua Umum didampingi oleh Ketua Bidang Fatwa
MUI Khuzaemah T. Yanggo, Ketua Komisi Fatwa Hasanuddin, dan Sekkretaris
Komisi Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh.19
Vonis sesat MUI itu dapat dipandang sebagai perwujudan dari peran MUI
sendiri, disamping sebagai pelanjut dari tradisi takfir yang telah terjadi di Sejarah
Pemikiran Islam yang cukup awal. Di dalam Muqaddimah Pedoman Dasar
Majelis Ulama Indonesia menyadari keberadaannya sebagai ahli waris para nabi
(warasatul anbiya’), pelayan umat (khadimul ummah), dan penerus misi yang
diemban Rasulullah Muhammad Saw. Selanjutnya , dijelaskan bahwa sebagai
warasatul anbiya’, Ulama Indonesia menyadari bahwa merupakan suatu
kewajiban bersama (fardlun jama’iy) untuk menegakkan kebeneran dan keadilan
dengan cara yang baik dan terpuji. Kemudian, diungkapkan pula bahwa Ulama
Indonesia menyadari peran dan fungsinya sebagai pemimpin umat yang harus
lebih ditingkatkan, sehingga mampu mengarahkan dan mengawal umat Islam
dalam menanamkan Aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan
ibadat, menuntun umat dalam mengembangkan akhlakul karimah agar terwujud
masyarakat yang berkualitas (khair ummah). Bila dikaitkan dengan persoalan
fatwa tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi MUI ini. Di samping berkaitan
dengan peran dan funsi MUI itu, pemberian fatwa terhadap umat juga
berhubungan dengan tekad MUI untuk tidak membiarkan umat dalam
kebingungan.
Di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia disebutkan bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan
19 Yan Chrisna Dwi Atmaja, MUI Menetapkan Fatwa Gafatar Sesat, www.satuharapan.com diakses pada Rabu, 03 Februari 2016. 13.13 WIB.
25
membiarkan umat dalam kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi
maupun secara syar’i. Tekad ini dilanjutkan dengan klaim MUI sebagai pengayom
umat dan sebagai lembaga yang paling kompeten dan paling dipercaya.
Dinyatakan di dalam Muqaddimah Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa
bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para
ulama, zu’ama, dan cendikiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh
muslim Indonesia adalah lembaga yang paling berkompeten bagi pemecahan dan
menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi
masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat
maupun dari pemerintah.20
sejalan dengan klaimnya itu di Bab IV yang mengatur tentang
“Kewenangan dan Wilayah Fatwa” dinyatakan di Pasal 1 bahwa MUI berwenang
menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama
masalah hukum fikih dan masalah aqidash yang menyangkut kebenaran dan
kemurnian keimanan umat Islam Indonesia.21
Dengan demikian, MUI berkepentingan dengan kebenaran beragama,
kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan Islam Indonesia. Dari sinilah MUI
merasa berkewajiabn mengawal atau menjaga umat agar tetap pada jalur
kebeneran beragama, kebenaran aqidah dan kemurnian keimanan. Atas dasar
inilah MUI akan selalu memberikan fatwa (jawaban atau penjelasan) di setiap ada
persoalan baru yang muncul, baik yang yang berkenaan dengan persoalan i’tiqadi
maupun syar’i, persoalan akhlak maupun hukum. Apalagi kalau persoalan
keagamaan yang muncul itu berkaitan dengan masalah penyimpangan atau
penyelewengan agama, maka MUI akan segera meresponnya walaupun tidak
diminta.22
20 Dr. Hm. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, jakarta: Sekretaris Majelis Ulama Indonesia,2010, h.3-4. 21 Dr. Hm. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, jakarta: Sekretaris Majelis Ulama Indonesia,2010, h.7
26
Klaim MUI sebagai lembaga yang berkompeten dan berwenang memang
mengindikasikan suatu klaim diri bahwa paham MUI lah yang benar atau MUI lah
yang berkompeten dan berwenang menetapkan kebenaran beragama di Indonesia.
Dengan sepuluh kriteria aliran sesat yang telah di tetapkan oleh MUI, maka segala
bentuk paham dan praktek keagamaan yang memenuhi salah satu unsur itu tidak
lagi dipandang sebagai bentuk perbedaan, tapi ditetapkan sebagai bentuk
penyimpangan dan penyelewengan yang sesat dan menyesatkan.
22Di Pedoman Dasar Majeslis Ulama Indonesia Bab III tentang “Sifat dan Fungsi” Pasal 4 mengenai “Fungsi” dinyatakan bahwa MUI merupakan pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
BAB III
GAMBARAN UMUM MAJLIS ULAMA INDONESIA
A. Sejarah dan Status Kelembagaan Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 26 Juli 1975 M atau
17 Rajab 1375 H di Jakarta berdasarkan Pedoman Dasar 2005 pada Bab I 162
pasal 1 ayat (2).1 Bermula dari konferensi para ulama di Jakarta yang
diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam bentukan pemerintah pada waktu KH.
M. Dahlan sebagai Menteri Agama, tanggal 30 September s.d. 4 Oktober 1970,
pada waktu itu diajukan saran untuk memajukan kesatuan kaum muslimin dalam
kegiaan sosial dengan membentuk sebuah majelis para ulama Indonesia yang
diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa.2
Tahun 1974 diadakan lokakarya nasional Persatuan Dakwah Nasional,
Dakwah Muslim Indoensia, presiden pada waktu itu Soeharto menyarankan
perlunya sebuah badan nasional bagi para ulama untuk mewakili kaum muslimin
dalam sebuah wadah pertemuan antar umar beragama. Pada tanggal 24 Mei 1975
ketika presiden Soeharto menerima delegasi Dewan Masjid Indonesia, ia
menekankan kembali perlunya dibentuk Majelis Ulama Indonesia dengan alasan
agar kaum muslimin bersatu dan sadar bahwa permasalahan bangsa harus
diselesaikan dengan turut sertanya ulama. Menteri Dalam Negeri Amin Machmut
juga menganjurkan daerah-daerah agar membentuk Majelis Ulama dan hasilnya
Mei 1975 sebanyak 26 propinsi telah membentuk Majelis Ulama daerah.3
Pada tanggal 1 Juli 1975 pemerintahan Soeharto melalui Departemen
Agama mengumumkan penunjukkan sebuah panitia persiapan pembentukan
Majelis Ulama tingkat Nasional, dengan ketua H. Sudirman, penasehat Dr.
1 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, (Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005), h. 31.
2 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), h. 66. 3 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h. 55.
27
28
Hamka, KH. Abdullah Syafi'i dan KH. Syukri Ghazali. Pada muktamar nasional
ulama tanggal 21-27 Juli 1975 dengan akhir muktamar disepakati "Piagam
Pembentukan MUI" dengan ditanda tangani 66 orang peserta dan mengumumkan
terbentuknya Majelis Ulama Indonesia, dengan ketua umum pertama yaitu Dr. H.
Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dipanggil Buya Hamka.4 Tanda
berdirinya MUI diabadikan dalam bentuk penandatanganan Piagam Pembentukan
MUI terdiri dari; 3 orang ulama, 26 orang ketua MUI dari se-Indoensia, 10 orang
ulama dari unsur organisasi Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani
Islam AD, AU, AL dan Polri, serta 13 orang ulama yang hadir dari sebagai
pribadi. Kesepuluh Ormas Islam tersebut adalah: NU (KH. M. Dahlan),
Muhammadiyah (Ir. H. Basit Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi'I Wirakusumah),
Perti (H. Nurhasan Ibnu Hajar), Al-Wasliyah (Anas Tanjung), Mathla'ul Anwar
(KH. Saleh Su'aidi), GUPPI (KH. S. Qudratullah), PDI (H. Sukarsono), DMI
(KH. Hasyim Adnan), Al-Itthiadiyah (H. Zaenal Arifin Abbas).5
Sebagai organisasi sosial keagamaan MUI telah menetapkan visinya sebagai
berikut: Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan yang baik, memperoleh ridha dan ampunan Allah swt (baldah
tayyibah wa rabbun gafur) menuju masyarakat berkualitas (khairu al-'ummah)
demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin ('izzul al-Islam wa al-
muslim) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi
dari rahmat bagi seluruh alam (rahmah li al-'alamin).6 Disamping visi, ditetapkan
pula misi untuk mencapai sasaran visi tersebut, yaitu:7
1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan
menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah al-hasanah), sehingga mampu
4 Rusjd Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981), h. 68.
5 Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001), h. 41.
. 6 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia
Tahun 2005, h. 21. 7 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia
Tahun 2005, h. 21.
29
mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk
aqidah Islamiyah, serta menjalankan syariat Islamiyah.
2. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi mungkar dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyakat berkualitas
{khairu al-'ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.
3. Mengembangkan ukhuwwah al-Islamiyyah dan bekersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Peran utama MUI yang akan dilakukan berdasarkan pedoman yang telah
ditetapkan dalam Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama
Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 yaitu:8
1. Sebagai ahli waris tugas para Nabi (warasah al-anbiya) yang menyebarkan
ajaran Islam, terwujudnya kehidupan Islami, dan memperjuangkan
perubahan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) dalam memberi fatwa diminta atau tidak
diminta, mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi umat yang beragam
aliran dan organisasi keagamaan.
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ra'iy wa khadim al- 'ummah)
dimana melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi dan
tuntutan dalam bimbigan dan fatwa keagamaan.
4. Sebagai Penegak Amar Makruf Nahyi Munkar dengan menegaskan
kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan penuh
hikmah dan istiqamah. Pejuang dakwah (mujtahid da'wah) dengan
berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa
menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu al- 'ummah)
sejalan dengan ajaran Islam.
5. Sebagai pelopor gerakan pembaharuan {al- tajdid) yaitu gerakan
pembaharuan pemikiran Islam.
8 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, h. 24-26.
30
6. Sebagai Pelopor Gerakan Islah adalah sebagai juru damai terhadap
perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Menempuh jalan al-jam'u wa al-
taufiq (penggabungan dan pengkompromi/persesuaian) dan tarjih (mencari
hukum yang tebih kuat), sehingga terpelihara persaudaraan (ukhuwwah)
umat Islam Indonesia.
Disamping peran yang telah digariskan, MUI juga menetapkan fungsinya
pada Pedoman Dasar 2005-2010, antara lain:9
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
dalam mengaomi umat dan mengmebangkan kehidupan yang Islami
2. Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zu'ama' dan cendekiawan muslim
untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang
ukhuwwah al-Islamiyyah
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan kosultasi
antar umat beragama
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.
Dengan kesungguhan ikhtiar, ketakwaan dan permohonan ampun kepada
Allah swt. MUI bermaksud turut serta dalam memajukan umat Islam, bangsa dan
negara Indonesia di bawah naungan ridha dan ampunan Allah, sehingga
terwujdnya negara baldah tayyibah wa rabbun gafur.10
Berdirinya komisi fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya
lembaga MUI itu sendiri, dimana MUI itu dibentuk untuk memajukan kesatuan
kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis para
ulama Indonesia yang diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa.11
Komisi fatwa ada sejak ditetapkannya susunan kepengurusan MUI pusat
dengan ketua pertama Buya Hamka, dan ketua komisi pertama adalah Syukri
9 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, h. 32.
10 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, h. 92.
11 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia
Tahun 2005, h. 92.
31
Ghozali. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa
mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat. Tahun
1975 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena baru saja dibentuk, kemudian baru
pada 1976 sampai dengan 1984 MUI mengeluarkan fatwanya. Tahun 1985 sampai
dengan 1986 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena MUI ingin menghindari
pengeluaran fatwa terlampu banyak dan adanya kritik habis-habisan dalam
fatwanya tentang adu tinju yang dilarang oleh agama Islam, masyarakat
beranggapan MUI tidak perlu menanggapi hal ini.12
Sifat khusus dari tugas MUI adalah memberi nasihat, karena itu MUI tidak
boleh melakukan program praktis, dan hal ini disampaikan sejak awal oleh
Presiden Soeharto pada Konferensi Nasional Pertama para ulama tanggal 21 Juli
1975, bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program praktis seperti
menyelenggarakan madrasah, masjid, rumah sakit dan lainnya, karena ada
organisasi Islam lain yang telah mengelolanya, disamping itu MUI juga dilarang
berpolitik praktis, karena ada partai politik seperti PPP dan PDI, serta Golkar.13
MUI dalam pedoman dasarnya melaksanakan tugas dalam memberi fatwa
dan nasihat, baik kepada pemerintah ataupun kaum muslim mengenai persolan
keagamaan dan kebangsaan, sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan
Musyawarah Alim Ulama I di Istana Merdeka tanggal 21 Juli 1975 bahwa
diharapkan MUI berperan sebagai pemberi fatwa dalam mengatasi perbedaan
pendapat dalam menjalankan ibadah14 dan MUI juga diharapkan menggalakkan
persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara pemerintah
dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam permusyawaratan
antargolongan agama.15
12 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, h. 79.
13 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama, h. 324.
14 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama,
h. 320. 15 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h. 63.
32
Pada waktu berdiri hingga tahun 1986, MUI tidak membuat pedoman
berfatwa, yang mengakibatkan ketidakseragaman dalam mengeluarkan fatwa,
misalnya antara pusat dan daerah, sebagai contoh MUI Sumatera Barat
membolehkan peternakan kodok yang bersidang pada 21 Juli 1984, sementara
MUI Nusa Tenggara Barat mengharamkan peternakan kodok. Melihat gejala itu,
maka MUI pusat melakukan sidang pada 12 Nopember 1984 dengan kesimpulan
bahwa berternak kodok boleh atas dasar mazhab Maliki dan memakannya
dilarang atas dasar mazhab Syafi'i.16
Pada tanggal 30 Januari 1986 MUI pusat mengeluarkan buku pedoman rinci
untuk berfatwa dan MUI bertanggung jawab untuk mengeluarkan fatwa atas
masalah kaum muslimin dan kebangsaan. MUI daerah apabila ingin berfatwa
harus berkonsultasi dengan MUI pusat sebelum mengeluarkan fatwanya. Buku
pedoman itu juga mengatur bahwa komisi fatwa tidak boleh mengeluarkan fatwa
tanpa adanya tanda tangan ketua umum MUI setempat.17
Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-VI/MUI/VII/2005
tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28
Juli 2005 M, berdasarkan salah satu fungsi MUI sebagai pemberi fatwa kepada
umat Islam dan pemeintah, baik diminta maupun tidak diminta, sehingga secara
kesejarahan komisi fatwa sebagai perangkat organisasi terpenting dalam Majelis
Ulama Indonesia.18
16 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h.85-86.
17 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, h.87. 18 Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001), h. 46.
33
B. Metode Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Hasil sidang pleno MUI pada 18 Januari 1986 menetapkan dasar-dasar
berfatwa di lingkungan MUI, yaitu:
1. Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah
rasul yang mu'tabarah,19 serta tidak bertentangan dengan kemasalahatan
umat.
2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul, keputusan Fatwa
hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’', qiyas dan mu'tabar serta dalil-
dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih al mursalah, dan sadd al-
zari'ah.
3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-
pendapat para ahli hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan
fatwanya.
Selain itu juga ditetapkan prosedur penetapan fatwa sebagai berikut:
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu
dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus
sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya qat'i hendaklah komisi
menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah
diketahui ada nas-nya dari Alquran dan sunnah.. Dalam masalah yang
terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil
Tarjih, (pendapat yang terkuat) setelah memperhatikan fiqih muqaranah
(perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah usul fiqih muqaranah
yang berhubungan dengan usaha mencari pendapat yang terkuat. MUI
19pembatasan akses dimaksud di atas ditegaskan dalam hasil keputusan Munas Alim Ulama NU 1993 di situbondo. Berasarkan keputusan Munas tesebut, yang dimaksud al-kutub al-mu’tabarah adalah kitab-kitab empat mazhab. Dalam perumusan tersebut tampak bahwa klasifikasi al-kutub al-mu’tabarah lebih ditekankan pada persoalan fikih. Rumusan yang lebih luas diputuskan dalam Munas Bndar Lampung yang menegaskan bahwa Kitab al-mutabarah adalah kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wal jama’ah.
34
dalam menetapkan fatwa melakukan pendekatan dengan tiga cara.yaitu:
Pertama, pendekatan dengan menggunakan dalil yang jelas , yaitu
berpegang pada dalil Alqur'an dan hadis, sehingga fatwa yang dilakukan
apabila telah jelas hukumnya (al-Ahkam al- Qat'iyah) disampaikan
sebagaimana adanya. Kedua, pendekatan qawli, yaitu jawabannya dicukupi
oleh pendapat (qawl) dalam al-kitab al-mu'tabarah apabila terjadi
perubahan sosial maka dilakukan telaah ulang terhadap qawl tersebut. Dan
ketiga, pendekatan manhaji, yaitu dilakukan degan ijtihad jama'iy (ijtihad
kolektif).20
Komisi fatwa MUI melakukan ijtihad jika terjadi khilafiyah di kalangan
mazhab dengan cara:
a) Al-Jam'u wa al-Taufiq,
Apabila seorang Mujtahid tidak menemukan jalan untuk mentarjih
salah satu dari dua dalil yang berlawanan, hendaklah berusaha untuk
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut (Al-Jam'u wa
al-Taufiq). Yakni mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang
lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi.21 Berlainan dengan tarjih,
dalam taufiq ini, kedua dalil yang berlawanan itu diberlakukan semua.
Penggunaan metode al-jam'u wa al-taufiq yaitu mengalihkan makna dari
setiap dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan
lagi.
Cara men-jama' dan men-taufiq dua buah dalil yang nampak
berlawanan dengan cara:22
1) Men-ta’wil salah satu dalil sehingga tidak berlawanan dengan nas lain
dan
20 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h.217.
21 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h,
477. 22 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h,
477.
35
2) Salah satu dalil – dalil yang dijadikan takhsish terhadap dalil yang lain.
Contoh, men-ta'wil salah satu dalil sehingga tidak berlawanan dengan
dalil lain, hadis Abu Hurairah r.a:
23)رواه البخارى(ال ھامة وال صفر العدوى والطیرة و
Artinya:"Bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada penularan,
ramalan jelek, penyusupan (reinkarnasi), roh (orang yang meninggal
kepada burung hantu) dan tidak ada bencana bulan safar. "(HR. Bukhari).
Hadis di atas menegaskan tidak ada penularan penyakit, karena
bencana itu sudah ada takdirnya sekalipun ia berkumpul dengan orang yang
sakit. Akan tetapi kalau diperhatikan dengan hadis:
)رواه البخارى( وفر من المجذوم كم تفر من االسدArtinya:"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari
singa dan seterusnya. " (HR. Bukhari).
Kandungan hadis ini terkesan adanya penularan peyakit. Dilakukanlah
jama' dan taufiq dengan men-ta'wil arti "la 'adwa" pada hadis pertama
dengan "Penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi yang
menularkannya secara hakiki adalah Allah swt. dengan sebab adanya
percampuran antara si sakit dengan si sehat melalui media-media yang
berbeda-beda satu sama lain.
23 Abu Abdullah Muhammad, Sahih Bukhariy, nomor hadis 5707, (Beirut: Dar al-Fikri,
1996), jilid 7, h.22.
36
b) Penggunaan ilhaq
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan
mazhab, yang memberikan makna bahwa salah satu metode fatwa MUI
adalah menggunakan ilhaq,24
Ilhaqi yaitu pendapat hukum yang ada di kalangan mazhab, dengan
cara menyamakan sesuatu masalah yang terjadi dengan kasus yang ada
padanya dalam al-kutub al-mu'tabarah. Penggunaan ilhaqi ini dipertegas
oleh Imam 'Abdurrahman bin Ziyad, bahwa:25
ین العراقى رحم هللا إلحاق حمن ابن زیاد نقال عن الشیخ زین الد وقال اإلمام عبد الر
بنظائرھا أولي من إختراع حكم لھا مستقل المسائل Artinya: "al-Imam 'Abdurrahman bin Ziyad melansir pendapat Syaikh
Zainiddin al-lraqiy bahwa (ilhaq al-masail binaza’iriha.) menyamakan
suatu masalah yang terjadi dengan kasus padananya dalam al-kutub al-
mu'tabarah dengan memperhatikan argumentasinya adalah lebih baik dari
pada membuat-buat hukum.”
c) Melakukan ijtihad jam’i (kolektif)
Langkah berikutnya adalah melakukan ijtihad jam'i (kolektif) dengan
menggunakan:
1) Metode bayani dengan cara memperhatikan pemakaian al-uslub (gaya
bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukkan lafaz nas kepada artinya,26
atau pendekatan qawa'id al-lugawiyah,27 meliputi: dilalah lafziyah,
24 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Propinsi. KalSel dan Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke I, h. 223.
25 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika Kontemporer
(Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Propinsi. KalSel dan Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke I, h. 223.
26 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h.
179. 27 Muhammad Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, h. 188.
37
mafhum al- mukhalafah, dilalah nas yang jelas, dilalah nas yang
kurang ielas, lafaz musytarak, lafaz 'am dan lafaz khas.
2) Metode ta’lili dengan mengandalkan penalaran, meliputi qiyasi,
istihsani, ilhaqi. Qiyasi yaitu menghubungkan atau memberlakukan
ketentuan hukum, sesuatu persoalan yang sudah ada ketetapanya di
dalam nas kepada persoalan baru yang tidak disebutkan oleh nas,
karena keduanya mempunya kesamaan 'illat, Istihsani yaitu
meninggalkan qiyas yang nyata (jalliy) untuk menjalankan qiyas yang
tidak nyata (samar-samar /khafiy) atau meninggalkan hukum kulli
untuk menjalankan hukum istisna'i (pengecualian) disebakan ada dalil
yang menurut akal/logika membenarkannya, atau mencari alternatif
terbaik terhadap dua dalil.28 Ilhaqi adalah mengeluarkan hukum dari
'ibarah pendapat para ulama atau menetapkan hukum pada
permasalahan yang bersifat kulli (umum), karena telah ditetapkan
hukum pada sebagian besar masalah yang bersifat juz’i (khusus).29
3) Metode Istislahi adalah metode yang digunakan untuk mencari dan
menemukan maslahah mursalah (asas manfaat dan mudarat),30
sedangkan maslahah mursalah berarti kemaslahatan yang tidak
disyariatkan oleh syari' hukum untuk ditetapkan.31 Maslahah mursalah
ialah kemaslahatan yang tidak didukung oleh nas syar'i tertentu.
Istislahi ini diperkenalkan oleh Imam haramain al-Juwaini (w. 478 H)
dalam kitab al-Burhan, dan oleh Imam al-Gazalli digunakan kata ini
28 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunah wal jama'ah dalam Persepsi dan Tradisi NU,
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 71. 29 Imam Yahya, Fiqih Sosial NU: Dari Tradisionalis Menuju Kontekstualis, dalam M.
Imdadun Rahmat (Ed), Kritik Nalar NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa'il, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), Cet. Ke-I, h. 54.
30 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam, al Ghazali Mashlahah Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. Ke-1, h. 65.
31 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Halimuddin SH, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005), Cet. Ke-5, h. 98. Anang Haris Hilmawan, H.80.
38
dalam kitab al-Mustasfa. Tiga syarat diterimanya istislahi/maslahah
mursalah menurut Muhammad Abu Zahra, yaitu persesuaian antara
sumber pokok maslahah tujuan syariat (maqasid al-syari 'ah), harus
masuk akal, dan dapat menghilangkan kesulitan (raf’u haraj lazim),32
firman Allah Swt. QS. Al-hajj (22): 78:
لة ین من حرج م حق جھادهۦ ھو ٱجتبٮكم وما جعل علیكم في ٱلد ھدوا في ٱہلل وج
سول شھیدا علیكم ذا لیكون ٱلر ٮكم ٱلمسلمین من قبل وفي ھ ھیم ھو سم أبیكم إبر
ھو وتكونوا كوة وٱعتصموا بٱہلل لوة وءاتوا ٱلز شھداء على ٱلناس فأقیموا ٱلص
.مولٮكم فنعم ٱلمولى ونعم ٱلنصیر Artinya: "Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar- benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu
sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya
kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik- baik Penolong. "
d) Sadd al-zari'ah
Sadd al-zari'ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju
kepada/perantara (wasilah) perbuatan yang terlarang.33 Contohnya fatwa
MUI tentang Perdukunan dan Peramalan adalah haram dengan alasan
perbuatan itu membawa syirik, dosa besar.
32 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t.), h. 427-428. 33 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman., Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami, h.
347.
39
Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi,
sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:34
1. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan.
2. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan.
3. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya
lebih banyak.
e) Maslahah 'ammah
Yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua
orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan
umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah
yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang
banyak.35
Fatwa MUI Senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (maslahah
'ammah) atau kepentingan umum. Kemaslahatan yang dicari itu adalah
sebenarnya bukan hanya dugaan semata, untuk orang banyak bukan untuk
kelompok atau pribadi, tidak bertentangan dengan nas, ijma’ atau qiyas.36
Kriteria maslahat yang ada hubungan dengan maqasid al-syari’ah MUI
menetapkan bahwa kemaslahatan adalah tercapainya tujuan syariat yang
diwujudkan terpelihaanya kebutuhan primer (al-daruriyat al-khamsah)
yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Apabila metode fatwa itu
telah dijalankan dan menghasilkan ijtihad jam’iy (kolektif) yang berupa
ijtihad dilakukan dalam sidang pleno MUI atas usulan komisi fatwa yang
membawa konsep fatwa. Hasil sidang pleno inilah yang disebut dengan
ijtihad kolektif dalam setiap surat keputusan fatwa MUI setelah itu di-
34 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h.197. 35 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 155. 36 Muhammad Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, h. 119.
40
tanfiz-kan dan diberi nomor serta ditandatangani oleh ketua umum,
sekretaris umum dan ketua komisi fatwa MUI.37
Fatwa merupakan pekerjaan yang berat dan beresiko, karena fatwa itu
dipertanggung jawabkan kepada Allah Swt. dan dipedomani oleh
masyarakat. Salah satu tokoh komisi fatwa, Ibrahim Hoesin, menyatakan
persyarat seorang mufti, yakni mendalami hukum Islam dan dalil-dalilnya,
memiliki integritas moral yang kuat sehingga fatwa itu netral, berdasarkan
kemaslahatan. Fatwa MUI dilandasi oleh: Alqur'an QS. Al-Nahl (16): 116
ٱلكذب إن وال تقولوا ذا حرام لتفتروا على ٱہلل ل وھ ذا حل لما تصف ألسنتكم ٱلكذب ھ
ٱلكذب ال یفلحون .ٱلذین یفترون على ٱہللArtinya: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”
Dan dari 'Umar bin Khattab berkata:
38ناراجرؤكم على الفتیاأ ؤكم على ال
Artinya: "Orang yang paling berani diantara kamu dalam berfatwa adalah
orang yang paling berani masuk neraka"
Memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat,
sejalan dengan tujuan syariat (maqasid al-syari'ah) yaitu membawa kepada
kemaslahatan umat, mendahulukan dalil qat'i daripada maslahat non-syariat
yang berdasarkan pertimbagan akal, lapangan ijtihad hanya pada dalil
zanniy masalah fiqh dipilih yang lebih membawa kepada kemaslahatan dan
37 www.mui.or.id. Diakses 30 Oktober 2015. 38 Yusuf Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh As’ad
Yasin, (Jakarta: Gema Isani Press, 1977),Cet. Ke I, h. 16.
41
melakukan ijtihad jam'iy yang bebas namun tetap terikat kepada kaidah
ijtihad/istinbat yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab.39
C. Prosedur Pemberian Fatwa
Berdasarkan Peraturan Organisasi MUI tentang Pedoman Penetapan Fatwa
MUI ada 8 tahapan secara garis besar yang harus dilalui.40
1. Sebelum fatwa ditetapkan, MUI melakukan kajian komprenhensif guna
memperoleh deskripsi utuh tentang masalah yang sedang dipantau.
Tahapan ini disebut tashawwur al-masalah. selain kajian, tim juga
membuat rumusan masalah, termasuk dampak sosial keagamaan yang
ditimbulkan dan titik kritis dari beragam aspek hukum (syariah) yang
berhubung dengan masalah.
2. menelusuri kembali dan menelaah pandangan fuqaha (ahli fikih) mujtahid
masa lalu, pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar, telaah
atas fatwa terkait, dan mencari pandangan-pandangan para ahli fikih
terkait masalah yang difatwakan.
3. menugaskan anggota Komisi Fatwa atau ahli yang memiliki kompetensi di
bidang masalah yang akan difatwakan untuk membuat makalah atau
analisis. Jika yang dibahas sangat penting, pembahasan bisa melibatkan
beberapa Komisi lain.
4. Jika telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lum min al din bi al-
dlarurah), maka Komisi Fatwa dengan menyamapaikan hukum
sebagaimana apa adanya. Adakalanya masalah yang ditanyakan sudah
jelas jawabannya dalam syariah.
39 Yusuf Qaradhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Isani Press, 1997), Cet. Ke I, h. 16.
40 Dr. Hm. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa, sekretaris Komisi Fatwa MUI.
42
5. Mendiskusikan dan mencari titik temu jika ternyata ada perbedaan
pendapat (masail khilafiyah) di kalangan ulama mazhab. Hasil titik temu
pendapat akan sangat menentukan. Ada metode tertentu yang bisa
ditempuh untuk mencapai titik temu. Penetapan fatwa yang didasarkan
pada hasil pencapaian titik temu di antara pendapat dapat melalaui metode
al-jam’u al-taufiq. Sedangkan jika tidak tercapai titik temu, penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah
(perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih muqaran.
6. Ijtihad kolektif di antara para anggota Komisi Fatwa jika ternyata tidak
ditemukan pendapat hukum di kalangan mazhab atau ulama yang
mu’tabar. Metode penetapan pendapat itu lazim disebut bayani dan ta’lili
(qiyas, istihsaniy, ilhaqiy, dan sad ad-dzariyah), serta metode penetapan
hukum (manhaj) yang dipedomani para ulama mazhab.
7. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta rapat, dan
tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang
adanya perbedaan pendapat tersebut disertai penjelasan dalam hal
pengalamannya, sebaiknya mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath)
serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat. (al-khuruj min al-
khilaaf).
8. Penetapan fatwa senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan hukum
oleh syariat serta mempertimbangkan kemaslahatan umum serta tujuan
penetapan hukum (maqashid al-syariah).
D. Sejarah dan Ajaran Gafatar
Gafatar ini adalah nama atau baju baru dari Al-Qiyadah Al-Islamiyyah dan
KOMAR (Komunitas Millah Abraham), setelah “nabi” Ahmad Moshaddeq
ditangkap dan divonis oleh pengadilan Negeri Jakarta dengan hukuman penjara 4
(empat) tahun. Ahmad Moshaddeq menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 29
Oktober 2007 dan dijatuhkan vonis penjara 4 (empat tahun) pada 23 April 2008.
Setelah Ahmad Moshaddeq dipenjara, akhirnya para pengikut Al-Qiyadah Al-
43
Islamiyyah merubah nama kelompok mereka dari Al-Qiyadah Al-Islamiyyah
menjadi Millah Abraham. Dengan demikian, mereka bisa tetap bergerak dan
mengembangkan fahamnya di seluruh Indonesia. Mereka hanya merubah
namanya saja akan tetapi ajarannya masih tetap sesat, karena mengikuti ajaran
“nabi” Ahmad Moshaddeq.41
Ajaran dan faham yang dibawa oleh Ahmad Moshaddeq dengan
organisasinya yang bernama Komunitas Millah Abraham inibanyak berkembang
di wilayah NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Dikarenakan ajarannya banyak
meresahkan masyarakat Aceh, maka MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama)
meneliti dan mengkaji buku-buku Millah Abraham ini, sehingga MPU mendesak
Gubernur Aceh untuk mengeluarkan SK yang berisi larangan untuk ajaran Millah
Abraham di seluruh wilayah Aceh karena dianggap sesat dan menyesatkan.
Akhirnya, keluarlah SK gubernur Aceh No.9 tahun 2011 yang berisi larangan
untuk Millah Abraham diseluruh Aceh.42
Setelah dilarang di Aceh, akhirnya mereka berganti nama (baju) lagi dari
Millah Abraham menjadi Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). Gafatar ini didirikan
pada tanggal 14 Agustus 2011 dan dideklarasikan pada tanggal 21 Januari 2012 di
gedung JIEXPO Kemayoran Jakarta Pusat dengan Ketua Umumnya Mahful Muis
Tumanurung (mengaku sebagai lulusan UIN Ciputat) dan wakil Ketua Umumnya
Ir. Wahyu Sanjaya. Dengan nama baru ini, mereka melakukan kegiatan sosial di
mana-mana seperti baksos, kerja bakti, donor darah dan lain-lain di seluruh
propinsi Indonesia.43
Inti dari gerakan Gafatar ini adalah ussaha untuk menyatukan tiga agama,
yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka mengatakan bahwa seluruh agama yang
41 M. Amin Djamaluddin, Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap Umat Islam, (Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016) , h. 1.
42 M. Amin Djamaluddin, Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap Umat
Islam, (Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016) , h. 2. 43 M. Amin Djamaluddin, Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap Umat
Islam, (Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016) , h. 3.
44
tiga ini adalah dijamin masuk surga dan merupakan agama yang benar karena
bersumber dari satu orang nabi, yaitu Nabi Ibrahim AS.
Padahal di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hanya Islam lah satu-satunya
agama yang diridhai oleh Allah SWT, karena ajaran Islam masih murni dan tidak
tercampuri oleh ajaran manusia. Allah SWT berfirman didalam Surat Ali Imran
ayat 19:
ب إال من بعد ما جاءھم ٱل م وما ٱختلف ٱلذین أوتوا ٱلكت سل ٱإل ین عند ٱہلل ا بینھم إن ٱلد علم بغی
سریع ٱلحساب ٴ ومن یكفر ب فإن ٱہلل ت ٱہلل .ایArtinya : “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam, tiada berselisih orang-
orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah dating pengetahuan kepada
mereka, karena kedengkian ( yang ada ) di antara mereka. Barang siapa yang
kafir terhadap ayat-ayat Allah semoga cepat hisab-Nya.”
Sedangkan ajaran Taurat dan Injil sudah tercampur oleh kebatilan.
Bagaimana mungkin bisa disejajarkan dengan Islam. Di dalam keyakinan Gafatar
yang sama persis dengan ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, Ahmad Moshaddeq
masih mengajarkan ajaran dan doktrin yang sama dengan Al-Qiyadah Al-
Islamiyyah kepada seeluruh anggota Gafatar. Ajaran dan doktrin tersebut dapat
ditemui di dalam buku pegangan mereka, di antaraanya kami kutipkan sebagai
berikut :44
1. Rasulullah Muhammad SAW telah berakhir masa tugasnya sampai dengan
tahun 1400H.
2. Allah SWT telah mengutus rasul baru yaitu Ahmad Moshaddeq yang
menamakan dirinya “Rasul Al-Masih Al-Maw’ud”.
3. Dua kalimat syahadat: ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAAH WA
ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLAH diganti dengan
syahadat baru yang berbunyi ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAAH WA
44 M. Amin Djamaluddin, Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap Umat Islam, (Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016) , h. 4.
45
ASYHADU ANNA AL-MASIH MAW’UUDA RASUULLAH.45 Kitab sucinya
masih menggunakan Al-Qur’an, tetapi mereka berkeyakinan bahwa Al-
Qur’an sekarang hanya tulisan (bacaan)-nya yang tertinggal, sedangkan jiwa
(ruhnya) sudah hilang sejak 1300 (seribu tiga ratus) tahun yang lalu.
4. Kitab sucinya masih menggunakan Al’Qur’an, tetapi mereka berkeyakinan
bahwa Al’Qur’an sekarang hanya tulisan (bacaan)-nya yang tertinggal,
sedangkan jiwa (ruhnya) sudah hilang sejak 1300 tahun yang lalu.
5. Rasul Al-Masih Al-Maw’ud (Ahmad Moshaddeq) diutus oleh Allah SWT
untuk mengembalikan jiwa (ruh) Al-Qur’an yang telah hilang tersebut dalam
dada setiap muslim, agar hidup jiwanya. Cara kerja Al-Masih Al-Maw’ud
sama persis dengan Muhammad, karena petunjuk dan pedomannya juga
sama yaitu Al-Qur’an.
6. “Bila seseorang melakukan ibadah tanpa mengikuti Rasul setelah
Muhammad, yaitu Al-Masih Al-Maw’ud, maka tidak akan diterima
ibadahnya”. Rasul Al-Masih Al-Maw’ud mewajibkan setiap pengikutnya
untuk MITSAQ (bai’at) sebagai bukti telah mengikuti rasul baru Al-Masih
Al-Maw’ud.
7. Rasul Al-Masih Al-Maw’ud mewajibkan setiap pengiktnya untuk MITSAQ
(bai’at) sebagai bukti telah mengikuti rasul baru Al-Masih Al-Maw’ud.
8. “Untuk menjadi saksi bahwa Al-masih Al-Maw’ud sebagai rasul Allah,
maka mu’min harus berani mempertanggung-jawabkannya kepada manusia,
bahwa dia sebagai saksi tentang kedudukan Al-Masih Al-Maw’ud sebagai
rasul Allah di abad ini, seperti yang dinubuwatkan oleh Al-Qur’an dan
hadist Muhammad tentang Al-Masih yang akan datang setelah periode
Muhammad Rasulullah.”
9. Iman kepada Al-Masih Al-Maw’ud sebagai rasul Allah adalah kewajiban
mengikuti bimbingan dan tuntunan arah jalan yang akan ditempuh oleh Al-
Masih Al-Maw’ud yang berepedoman kepada ayat Al-Qur’an sebagai
shirothol mustaqiem yang yang diminta oleh semua orang, yang baik oleh
Bani Isroil maupun Bani Ismail, yaitu jalan yang lurus atau jalan kebenaran.
45 Siraj, Binayah Roin, Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, (Jakarta: 2 November 2006), hal.10.
46
Jadi Al-Masih Al-Maw’ud akan menggunakan menggunakan Al-Qur’an
sebagai shiroth, dan semua orang yang beriman harus mengikuti Al-Masih
Al-Maw’ud, karena Al-Masih Al-Maw’ud adalah orang yang diberikan ilmu
tentang Al-Qur’an (wahyu) oleh Allah. Dia akan memimpin manusia dengan
tuntunan Al-Qur’an yang difahaminya secara konsekuen dan konsisten.
10. Setelah mendapatkan Rahul Qudus yang diturunkan oleh al-masih Al-
maw’ud kepada kami, dengan dipermaklumkan kepada kepada seluruh
ummat manusia dari segala bangsa,suku,ras dan segenap orang yang
membaca kitab ini,bahwa kami orang yang telah bersaksi bahwasanya Al-
Masih Al-Maw’ud adalah rasul Allah, sebagaimana yang telah
dinubuwahkan oleh Al-Qur’an di dalam surat Al Jumma’ah ayat 2 dan 3
sebagai berikut:
ی یھم ویعلمھم ھو ٱلذي بعث في ٱألم تھۦ ویزك نھم یتلوا علیھم ءای ب ن رسوال م ٱلكت
بین ل م ا یلحقوا بھم وھو ٱلعزیز .وٱلحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضل وءاخرین منھم لم
.ٱلحكیم
Artinya: “Dialah yang membangkitkan dari bangsa yang ummi seorang
Rasul diantara mereka,yang membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hukmah.
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesehatan yang
nyata. Dan (juga) kepada bangsa yang lain dari mereka yang berhubungan
dengan mereka. Dan Dial lah Yang Maha Perkasa Dan Maha
Bijaksana”(QS. 63/2,3).
11. Shalat lima waktu tidak wajib karena saat sekarang sudah kembali menjadi
periode Makkah karena tidak berlakunya hukum Islam (Al-Qur’an dan Al-
Hadist).
47
12. Yang wajib adalah qiyamul lail (shalat malam) dan shalat waktu terbit
matahari dan waktu terbenamnya matahari seperti yang dilakukan oleh
Rasul Muhammad SAW sewaktu periode Makkah.
13. Orang Islam di luar kelompok mereka di anggap kafir/jahiliyyah.
14. Anggota mereka yang lalai mengerjakan shalat malam dikenakan bayar
kafarat (tebus dosa) dan besar kafarat tersebut tergantung dari ketetapan atas
mereka.
15. Wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki Nasrani.
16. Bertasbih diartikan dengan “Sibuk berjuang melaksanakan intruksi Allah
sebersih-bersihnya.”
17. Kalau ingin berbicara khusus dengan “Rasulullah” maka harus
mengeluarkan shodaqoh sebelum pembicaraan itu.46
46 M. Amin Djamaluddin, Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap Umat Islam, (Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016) , h.6.
BAB IV
ANALISIS KRITERIA SESAT DAN DALIL-DALIL FATWA GAFATAR
MENURUT MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI)
A. Analisis Kriteria Aliran Sesat Menurut MUI
Paham dan aliran yang tidak sesuai dengan ajaran Rasululah terus
berkembang dan mulai merasuk ke dalam sistem kekuasaan dan pemerintahan di
Indonesia tanpa disadari sebagaian besar umat Islam. Maka dari itu pada tanggal 6
November 2007 Majlis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 kriteria
aliran atau paham yang menyimpang dari ajaran Islam sebagai pedoman yang
harus diperhatikan oleh umat Islam. 10 kriteria yang dimaksud antara lain:
1. Mengingkari salah satu dari rukun Iman dan Islam
Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dilisan, amalan dengan
aggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang
dengan mela kukan maksiat. Rukun iman itu sendiri terdiri pada 6 perkara
yaitu:1
1) Iman kepada Allah
2) Iman kepada malaikat-malaikat-Nya
3) Iman kepada kitab-kitab-Nya
4) Iman kepada Rasul-Nya
5) Iman kepada hari akhir
6) Iman kepada takdir baik dan buruk dari Allah Swt
1 Salim Bin Sumair Al Hadhramiy, Matan Safinatun Najah, (Beirut: Maktabah Ar Razin, 2011), h. 2.
48
49
Rasulullah SAW Bersabda:
عنھما قال صلى هللا علیھ وسلم : عن ابن عمر، رضي هللا بني " قال رسول هللا
: اإلسالم على خمس دا رسول هللا وأن محم الة، شھادة أن ال إلھ إال هللا ، وإقام الص
، وصوم رمضان كاة، والحج )متفق علیھ و اللفظ للبخاري (وإیتاء الزArtinya: “Rasulullah Saw bersabda: Islam didirikan atas lima perkara:
bersaksi bawa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa
ramadhan”(HR Muttafaq ‘Alaih dan Lafadz milik al-Bukhari)
Sedangkan rukun Islam lima tindakan dasar dalam Islam, dianggap
sebagai pondasi wajib bagi orang-orang beriman dan merupakan dasar dari
kehidupan seorang muslim adapun rukun Islam yang 5 itu adalah:2
1) Syahadat
2) Shalat
3) Zakat
4) Puasa
5) Haji ke baitullah bagi yang mampu
Maka siapa saja yang mengingkari salah satu rukun Iman atau Islam
sudah dipastikan dia telah sesat dan ajaran yang dia bawa tidak boleh
diikuti.
2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an
dan sunnah.
Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah
ayat 48 ;
2 Syaikh Salim Bin Sumair Al Hadhramiy, Matan Safinatun Najah, h.1.
50
قا لما بین یدیھ من ٱلك ب بٱلحق مصد ب ومھیمنا علیھ فٱحكم بینھم بما وأنزلنا إلیك ٱلكت ت
ا جاءك من ٱلحق لكل جعلنا منكم شرعة ومنھاج وال تتبع أھواءھم عم ا ولو أنزل ٱہلل
كن لیبلو حدة ول ة و لجعلكم أم شاء ٱہلل ت إلى ٱہلل كم في ما ءاتٮكم فٱستبقوا ٱلخیر
.مرجعكم جمیعا فینبئكم بما كنتم فیھ تختلفون
Artinya:. Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali
kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu. ( QS. Al-Miadah : 48).
Kriteria sesat MUI ke 2 adalah “ meyakini atau mengikuti akidah yang
tidak sesuai dengan dalil syar’I”. kata syar’I ( berasal dari kata syara’a
yasyra’u syar’an makna aslinya mengarahkan, jalan yang terang menuju ke
sumber air) artinya menurut syariat. Sebagaimana direangkan dalam ayat
suci Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 48 di atas segala sesuatu yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dan beliau
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian berupa nash-nash
atau teks-teks yang termaktub dalam Qur’an Suci dan Sunnah atau Hadis
Nabi.
Menurut istilah, aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak
ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Jadi aqidah
Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Swt
51
dengan segala pelaksanaan kewajiban-kewajiban, bertauhid kepada dan taat
kepada-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, takdir baik dan
buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-
prinsip agama (Ushuluddin). 3
Objek kajian aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagi ilmu, sesuai
dengan konsep ahlu al-Sunnah wa jama’ah meliputi topik-topik: Tauhid,
iman, Islam, masalah-masalah yang menyangkut ghaib, kenabian, takdir,
berita-berita yang telah berlalu maupun yang akan datang, dasar-dasar
hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan,
termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa wal bida’ (pengikut hawa
nafsu dan ahli bid’ah) semua aliran dan sekte yang menyesatkan serta sikap
terhadap mereka.4
Jika ada sebuah pertanyaan mengenai apakah aqidah Islam sesuai
dengan al-Qur’an? Sudah jelas aqidah Islam telah sesuai dengan apa yang
tedapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. maka siapa saja yang telah
melenceng dari aqidah shahihah yang telah dibangun diatas kitabullah dan
sunnah Rasulullah maka mereka telah sesat dari jalan kebenaran.
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an.
إال وحیا أو من وراي حجاب أو یرسل رسوال فیوحي وما كان لبشر أن یكلمھ ٱہلل
.بإذنھۦ ما یشاء إنھۥ علي حكیم Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Qs. Ash-shura 51).
3 Nashir Ibn Abdul Karim al-‘Aql, Buhuuts fii’Aqiidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Daarul ‘Ashiimah cet II tahun 1419 H, h. 11-12.
4 Dr Nashir Ibn Abdul Karim al-‘Aql, Buhuuts fii’Aqiidah Ahli Sunnah wal Jama’ah,
Daarul ‘Ashiimah cet II tahun 1419 H, h. 12-14.
52
Termasuk dalam hal ini adalah meyakini ada Nabi dan Rasul baru
setalah rasulullah. Itu saja sudah menunjukan sebuah kelompok tersebut
sesat, apalagi meyakinkan ada wahyu yang diturunkan setelah rasulullah
wafat. Sering dengar kana da nabi-nabi palsu yang bermunculan, bukan
hanya di Indonesia, tapi juga di dunia.5 Sebagaimana firman Allah di dalam
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 :
م دینا سل ٱلیوم أكملت لكم دینكم وأتممت علیكم نعمتي ورضیت لكم ٱإلArtinya: pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, dan
telah aku cukupkan kepadamu nikmat-KU, dan telah aku ridhai Islam
sebagai agama bagimu…” ( QS. Al-Maidah: 3)
Seperti Gafatar yang meyakini Ahmad Moshadeq sebagai Nabi bagi
mereka.
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Hijr ayat 9 :
فظون كر وإنا لھۥ لح لنا ٱلذ .إنا نحن نزArtinya: Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (Al-Qur’an)
dan Kami pula yang menjadi penjaganya” (QS Al-Hijr : 9).
ada yang beranggapan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya
“mumtadz tsaqafi” hanya teks sejarah, teks kebahasaan, dan teks manusia
“nasshun tarikhiyyun lughawiyyun basyariyyun”. Karena ini adalah produk
budaya, maka harus berubah-ubah disesuaikan dengan perubahan zaman.
Mudah saja untuk mengenal kesalahan argumentasi terburu-buru seperti
yang telah disebutkan diatas.
5 www.hujjahnu.com Muhammad Makruf Khozin,di akses pada 25 januari 2103.
53
Kesalahan pertama adalah kekeliruan dalam memahami al-Qur’an.
Mereka (orientalis) seharusnya tahu bahwa pada prinsipnya al-Qur’an itu
bukanlah tulisan tapi bacaan. Baik itu proses penyampaiannya,
pengajarannya, dan periwayatannya, semua dilakukan melalui lisan dan
hafalan, bukan melalui tulisan. Tulisan hanyalah sebagai penunjang.
Sebagai contoh kita pasti sangat mudah membaca surah al-Fatihah,
walaupun tidak terdapat harakat bahkan titik sekalipun. Ini berarti bahwa
inti al-Qur’an adalah hafalan/lafaz bukan pada tulisan. Sehingga kemudian
al-Qur’an tidak bisa dianggap sebagai dokumen tertulis atau teks.
Melainkan sebagai hafalan yang dibaca dan bukan tulisan.
Kekeliruan yang kedua adalah kesalahpahaman pada sejarah kodifikasi
al-Qur’an. Sejarah telah mencatat bahwa kodifikasi al-Qur’an sudah
dimulai dan dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw, sampai kepada
khalifah Utsman. Tidak sedikit orang mengingkari fakta sejarah itu. Al-
Qur’an bukan lahir dari manuskrip, tetapi sebaliknya manuskriplah yang
lahir dari al-Qur’an.
Sedangkan kesalahan yang ketiga adalah pengingkaran terhadap
otentitas al-Qur’an yang muncul dari kesalahpahaman dalam memahami
rasm dan qiraat. Tulisan atau khat memang mengalami perkembangan
dalam sejarahnya, meskipun demikian rasm Utsmani tidak memiliki
masalah sama sekali, karena saat kaum muslimin generasi awal belajar al-
Qur’an, mereka menggunakan metode hafalan atau dengan cara menghafal
secara langsung, bukan membaca tulisan, seperti yang terjadi pada zaman
sekarang. Disamping itu kesalahan juga muncul ketika orang menganggap
rasm menjadi penyebab munculnya berbagai macam qiraat, padahal qiraat
sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya rasm.6
5. Melakukan penafsiran al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah
tafsir.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Imran ayat 7 :
6Sadzali, Otentitas Wahyu, artikel ini diakses pada 13 September 2014 dari http//sadzalikecil.blogspot.co.id
54
ا ٱلذین ھو ٱلذي أنزل علی ت فأم بھ ب وأخر متش ت ھن أم ٱلكت حكم ت م ب منھ ءای ك ٱلكت
بھ منھ ٱبتغاء ٱلفتنة وٱبتغاء تأویلھۦ وما یعلم تأویلھۥ إال في قلوبھم زیغ فیتبعون ما تش ٱہلل
أولوا ٱأل ن عند ربنا وما یذكر إال سخون في ٱلعلم یقولون ءامنا بھۦ كل م ب وٱلر .لب
Artinya: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al
qur´an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta´wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta´wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS Al-Imran : 7)
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw
sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan dimana pun, memiliki
berbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut antara lain, susunan
bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oeh siapapun yang memahami
bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-
beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana redaksi yang diucapkan atau
ditulis, tidak dapat diijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik
redaksi tersebut. Hal ini lah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman
penafsiran. Dalam hal al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara
umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta
memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya tidak jarang
55
berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang
maksud firman-firman Allah.7
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang
paling mengetahui maksud firman-firman Allah menyatakan bahwa tafsir
terdiri dari empat bagian;
1) Yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab
berdasarkan pengetahuan bahasa mereka
2) Yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya
3) Yang tidak diketahui oleh ulama dan;
4) Yang tidak diketahui kecuali oleh Allah8
Terdapat beberapa kaidah yang terkait dengan al-Qur’an di antaranya
adalah:9
1. al-Qur’an merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehiingga
seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu
kepada kaidah umum yang dikandung al-Qur’an.
2. Untuk memahami kandungan al-Qur’an, mjtahid harus mengetahui
secara baik sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an (asbab an-nuzul),
karena ayat-ayat al-Qur’an itu diturunkan secara bertahap sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat ketika itu.
3. Dalam memahami kandungan hukum dalam al-Qur’an, mujtahid juga
dituntut untuk memhami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik
yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan, karena tidak
memahami hal ini akan membawa kepada kerancuan dalam memhami
al-Qur’an.
Bagi mereka yangg tidak memenuhi persyaratan diatas, tidak
dibenarkan untuk menafsirkan al-Qur’an. Untuk itu ada dua hal penting
yang harus di garisbawahi yaitu:10
7Muhammad Husain al-Zahabity, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-Kutub al-Haditsah, mesir 1961, jilid 1 h. 59.
8Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Al-Halabiy, mesir, 1975 jilid 11 h. 164 9 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h.71-73.
56
1. Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan
dengan tafsir ayat al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-
syarat diatas, tidak berarti dilarang untuk menyampaikan uraian tafsir
selama uraian yang dikemukakan berdasarkan pemahaman para ahli
tafsir yang telah memenuhi syarat.
2. Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran
adalah:
a. Subjektivitas sorang mufassir
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah
c. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat
d. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan)
ayat
e. Tidak memperhatikan konteks, baik asbabun al-nuzul, hubungan
antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat
f. Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa
peembicaran ditujukan.
Melihat begitu mendalam dan sistematisnya dalam memahami al-
Qur’an dengan adanya berbagai persyaratan penafsiran terhadap al-Qur’an
sebagaimana yang telah disebutkan, maka tidaklah mengherankan bila al-
Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan menempati posisi sentral bukan
saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman tetapi
juga merupakan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat
belas abad sejarah pergerakan umat ini.11
10 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan), Mizan, Bandung, 1994 h. 78-79.
11Dr. M. Quraish Shiab, Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan), Mizan, Bandung, 1994 h. 79.
57
6. Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam.
Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qura’an surat Al-Hasyr:
شدید العقاب إن هللا سول فخذوه وما نھاكم عنھ فانتھوا واتقوا هللا .وما آتاكم الرartinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.’’ ( Q.S. Al-
Hasyr:7)
Ayat ini menegaskan bahwa Hadis Rasulullah adalah sebuah sumber
hukum dalam Islam, selain itu hadis juga sebagai penjelas dari Al-Qur’an.
Baik hadis tersebut diriwayatkan secara massal (mutawatir), atau
perorangan (ahad), dengan catatan hadis tersebut berstatus sahih. Sementara
hadis dhaif diperbolehkan dalam hal-hal keutamaan beramal shaleh.12
7. Menghina, melecehkan, dan atau meerendahkan para nabi dan rasul.
Nabi dan rasul merupakan manusia-manusia yang dipilih Allah.
mereka dibedakan dengan makhluk lain terutama manusia yang lain. hal ini
yang ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 57 sebagai
berikut:13
نیا واآلخرة وأعد لھم عذابا مھی في الد ورسولھ لعنھم هللا ناإن الذین یؤذون هللاArtinya: sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya
Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan
baginya siksa yang menghinakan. (Qs. Al-Ahzab (33): 57)
Berdasarkan ayat tersebut Allah menciptakan manusia kemudian
memilih diantara mereka untuk dijadikan nabi atau rasul sebagai panutan
bagi masing-masing umatnya. dengan terpilihnya beberapa manusia
12 www.hujjahnu.com Muhammad Makruf Khozin, di akses pada 25 januari 2103. 13 umar sulaiman al-Asqor, Rasul dan Risalah, (riyadh: international Islamic Publishing
House, 2008), h. 275.
58
tersebut maka itu mengisyaratkan bahwa mereka merupakan manusia yang
berbeda dan diberikan keutamaan lebih dari yang lain. hal ini dibuktikan
dengan ayat al-Qur’an sebagai berikut:
تنا آتیناھا إبراھیم على قومھ نرفع درجات من نشاء إن ربك حكیم علیم وتلك حج
یتھ داوود ووھبنا لھ إسحاق ویعقوب كال ھدینا ونوحا ھدینا من ) 83( قبل ومن ذر
وزكریا ) 84(وسلیمان وأیوب ویوسف وموسى وھارون وكذلك نجزي المحسنین
الحین وإسماعیل والیسع ویونس ولوطا ) 85(ویحیى وعیسى وإلیاس كل من الص
لنا على العالمین وكال . فض
Artinya: Dan Itulah hujjah kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa
derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.84. Dan kami Telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub
kepadanya. kepada keduanya masing-masing Telah kami beri petunjuk;
dan kepada Nuh sebelum itu (juga) Telah kami beri petunjuk, dan kepada
sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf,
Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik.85. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya
termasuk orang-orang yang shaleh.86. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan
Luth. masing-masing kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya),
(QS. Al-An’am: 83-86).
Dengan demikian tidak layak bagi manusia biasa untuk menghina,
melecehkan atau merendahkan manusia-manusia pilihan Allah SWT.
mereka yang melakukan demikian telah ditetapkan sebagai ciri kesesatan
oleh ulama pada umumnya dan MUI khususnya.
8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir
59
bagi mereka yang mengingkari nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul
terakhir, maka mereka termasuk orang yang sesat. kesesatan juga ditujukan
bagi mereka yang mengaku sebagai utusan Allah setelah nabi Muhammad:
ثنا أنس بن مالك، قال علیھ وسلم : حد صلى هللا ة قد :قال رسول هللا سالة والنبو إن الر
)رواه احمد و الترمذي(انقطعت فال رسول بعدي وال نبي Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya kerasulan dan
kenabian telah terhenti. Oleh karena itu tidak ada lagi rasul dan nabi
sesudahku”(HR. Ahmad dan Tirmidzi)
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang
telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji ke baitullah, shalat wajib 5 waktu
tidak wajib dll. Sebagaimana firman Allah SWT surat Al- Maidah:3
سالم دینا الیوم أكملت لكم دینكم وأتممت علیكم نعمتي ورضیت لكم اإلArtinya: Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-Ridhai Islam itu
jadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maidah:3)
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan
muslim hanya karena bukan dari kelompoknya. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW:
إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بھا احدھما Artinya: “apabila seorang mengkafirkan saudaranya, maka ucapannya itu
benar-benar kembali kepada salah satunya” (HR. Bukhari)
60
Dan sabda Nabi Muhammad SAW:
كفواعن اھل الإلھ إالهللا ال تكفرھم بذنب فمن كفر اھل الإلھ إالهللا فھو إلى الكفر
أقرب Artinya: “Menghindarlah dari umat Islam yang mengucapkan kalimat
tauhid Tiada Tuhan selain Allah’, jangan kau hukumi kafir lantaran
mereka melakukan sebuah dosa. Barangsiapa yang mengkafirkan mereka,
maka dia lebih dekat dengan kekufuran”. (HR. Tabrani dalam kitab al-
Mu’jam al-Kabir No.12912 dari Ibnu Umar).
Begitu jelasnya kriteria yang dikeluarkan oleh majlis ulama Indonesia,
namun masih saja ada orang yang berusaha memanfaatkan kebodohan masyarakat
dengan mengaburkannya dan menggantinya dengan kriteria yang justru malah
sesat. Misalnya ada yang mengatakan kepada masyarakat bahwa kriteria faham
dan aliran sesat adalah faham atau aliran yang menyimpang dari ordo-ordo
keagamaan yang ada dimasyarakat.
B. Analisis mengenai dalil-dalil yang digunakan MUI dalam penetapan Fatwa
Gafatar
Adapun dalam penetapan fatwa ini, Majlis Ulama Indonesia (MUI)
mengkaji beberapa dalil yang ditimbang sehingga dapat disimpulkan dalam fatwa
ini. beberapa dalil tersebut terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an, sunnah, dan juga
kaidah fiqhiyyah. Berikut beberapa penjelasan mengenai dalil-dalil tersebut:
1. Al-Qur’an
a. Firman Allah yang menegaskan keharusan memahami dan
menjalankan ajaran agama dengan jalan yang ittiba’ (mengikuti)
aturan-aturan agama yang telah ditetapkan antara lain:
61
لكم ق بكم عن سبیلھۦ ذ بل فتفر طي مستقیما فٱتبعوه وال تتبعوا ٱلس ذا صر وأن ھ
ٮكم بھۦ لعلكم تتقون ۱٥۳وص
Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu
yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa” (Q.S Al-An’am (6) 153)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia
menafsirkan ayat ini bahwa Allah menyuruh kaum Mukminin bersatu
dan melarang mereka bercerai-cerai dan berselisih. Allah
memberitahukan kepada mereka bahwa binasanya orang-orang
terdahuslu ialah karena berbangga-bangga dan bermusuhan soal agama
Allah. Penafsiran semacam ini dikemukakan pula oleh Mujahid dan
ulama lain yang tidak hanya seorang.14
Ad-Darimi Abu Muhammad meriwayatkan dalam Musnad-nya
dengan sanad shahih, bahwa Affan memberitahukan kepada kami,
Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami, Ashim bin Bahdalah
menceritakan kepda kami, dari Abu Wa’il, dari Abdullah bin Mas’ud
dia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW mengukir kepada kami
sebuah garis, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah,
‘Setelah itu beliau membuat garis di sebelah kanan beliau dan dua
garis di sebelah kiri beliau. Lantas beliau meletakkan tangan beliau
pada garis yang ada di tengah dan bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.
Jalan-jalan tersebut sifatnya umum, yaitu jalan orang-orang
Yahudi, Nasrani, Majusi, seluruh aliran, ahli bid’ah dan kesesatan,
para pengikut hawa nafsu, yang terlalu berlebihan dalam perdebatan
14 Tafsir Ibn Abbas, Tanwirul Miqbas min, Bairut, Libanon, 1412.
62
dan terlalu menjerumus dalam ilmu kalam. Ini semua adalah jalan yang
akan mengantarkan pada jalan ketergelinciran dan keyakinan yang
buruk. Ini adalah ucapan Ibnu Athiyyah.15
Menurut Al Qurthubi, riwayat tersebut shahih. Ath-Thabari dalam
Adb An-Nufus berkata: Muhammad bin Abdul A’la Ash-Shan’ani
menceritakan kepda kami, dia berkata: Muhammad bin Tsaur
menceritakan kepada kami dari Ma’mar, dari Abban, bahwa seseorang
pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “Apakah yang dimaksud dengan
jalan yang lurus itu?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Nabi Muhammad SA
telah meninggalakan kita berada di bawah jalan tersebut, sedangkan
ujungnya adalah surga. Pada bagian kanannya terdapat beberapa
bagian jalan, demikian pula pada sebelah kirinya. Kemudian, mereka
menyerukan kepada orang-orang yang berjalan di hadapan mereka
bahwa siapa saja yang mengambil jalan tersebut maka perjalanannya
akan berakhir ke neraka. Dan, siapa saja yang mengambil jalan ini
maka perjalanannya akan berakhir ke surga. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Pelajarilah ilmu pengetahuan
sebelum ilmu itu diangkat. Ilmu itu diangkat dengan memfatwakan
ulama. Ingatlah, hendaknya kalian menghindari sikap berlebihan dan
bid’ah serta menjadi orang-orang yang pertama (mempelajari ilmu).”16
Oleh karena itu, orang yang menempuh jalan kecelakaan maka dia
akan celaka. Sedangkan orang yang menempuh jalan keselamatan dan
berepgang teguh pada jalan yang lurus, serta Sunnah Rasulullah SAW
seperti yang ditempuh oleh kaum salaf, maka dia akan selamat. Jalan
tersebut layaknya perniagaan yang mengutungkan. Para imam hadist
meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata Rasulullah bersabda:
15Abu Abdullah Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Riyadh: Dar ‘alim Kutub, 2003, juz 7, h.137.
16 Abdullah ibn Abdurrahman al-Darimi, Musnad al-Darimi, Riyadh: Dar al Mughni, 2000,
h. 96.
63
ما امرتكم بھ فخذؤه وما نھاكم عنھ فا نتھواArtinya: “Apa saja yang aku perintahkan untuk dilakukan maka
laksanakanlah dan apa saja yang aku larang maka tinggalkanlah.”
Ibnu majah dan yang lainnya meriwayatkan dari Iradh bin Syariah,
dia berkata, Rasulullah SAW pernah menasihati kamu hingga
membuat mata yang melihatnya berlinang dan hati menjadi bergetar.
Kami kemudian bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah nasihat
perpisahan, apa pesanmu bagi kamu?’ Beliau bersabda, ‘Aku telah
meninggalkan kalian dalam keadaan putih bersih. Waktu malam
seperti waktu siang. Tidak ada orang yang menyeleweng
sepeninggalanku melainkan dia akan binasa. Siapa di antara kalian
masih hidup, maka dia akan melihat banyaknya perselisihan. Oleh
karena itu, kalian hendaknya tetap pada pengetahuan kalian beberapa
Sunnahku dan Sunnah para Khulafa rasyidin sepeninggalku. Kalian
hendaknya menghindari bid’ah (menciptakan atau mengada-adakan
ajaran baru). Karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat. Kalian
hendaknya taat (kepada pemimpin), meski dia hanya seorang budak
Habasyah (budak hitam. Sesungguhnya seorang mukmin itu seperti
unta jinak, jika dia patuh maka dia akan tunduk.’17
b. Firman Allah SWT yang menegaskan larangan mencampuradukkan
yang hak dengan yang batil, antara lain:
طل وتكتموا ٱلحق وأنتم تعلمون وال تلبسوا ٱلحق بٱلبArtinya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui.
17 HR. Ibnu Majah dalam muqaddimah, bab: Mengikuti Sunnah Khulafa Rasyiddin (1/6, no.43) dan At-Tirmidzi secara makna dalam pembahasan tentang ilmu, bab: Mengikuti Sunnah dan Menghindari Bid’ah (5/44-45,no. 2676). At-Tirmidzi berkata, “Hadist ini hasa shahih.”
64
Al Mutsanna bin Ibrahim menceritakan kepadaku, dia berkata: Adam
Al Asqalani menceritakan kepada kami dari Rabi’ bin Anas, dari dari Abu
Aliyah, tentang firman Allah, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang
hak dengan yang bathil, “ dia berkata: Janganlah kalian mencampur
kebenaran dengan kebatilan, dan sampaikanlah kebenaran tentang
Muhammad SAW kepada orang-orang.18
Al Qasim menceritakan kepada kami, dia berkat: Hajjaj menceritakan
kepadaku dari Ibnu Juraij, dari Mujahid, dia berkata: Kalian
menyembunyikan kenabian Muhammad, padahal kalian mengetahui
(kebenarannya) dan mendapatinya termaktub dalam Kitab Suci kalian,
yaitu Taurat dan Injil.19
Jadi, penakwilan ayat ini adalah: wahai para Ahli Kitab, janganlah
kalian mengaburkan kebenaran tentang kenabian Muhammad dan
ajarannya atas sekalian manusia, dengan mengatakan bahwa dia diutus
kepada sebagian manusia, dengan mengatakan bahwa dia diutus kepada
sebagian manusia tanpa sebagian yang lain, padahal kalian mengetahui
bahwa dia diutus kepada semua manusia. Dengan demikian, kalian telah
mencampur adukkan dengan kedustaan, menyembunyikan apa yang kalian
ketahui dari Kitab Suci kalian, bahwa dia seorang nabi dan rasul yang
diutus kepada seluruh manusia, dia adalah Rasul-Ku dan aapa yang
diajarkannya datang dari-Ku. Kalian juga telah mengetahui bahwa
sumpah-Ku atas kalian yang telah termaktub dalam Kitab Suci kalian
adalah hendaknya kalian mengimaninya dan membenarkan ajarannya.20
18 Abi Hatim al-Razi, Tafsir al -Qur’an al–Adzim , Saudi : Maktabah al-Asyriya, tt. Juz I, h. 98.
19 Abi Hatim al-Razi, Tafsir al -Qur’an al–Adzim , Saudi : Maktabah al-Asyriya, tt. Juz I,
h.99. 20 Abu Ja’far at-Thabarri Jami’ al-Bayan, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, Juz 3, h.128.
65
2. Sunnah
Ada beberapa hadist yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa
mengenai Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR), antara lain sebagai
berikut:
ثنا عاصم ثنا أبى حد بن معاذ حد ثنا عبید هللا -حد د بن زید بن عبد هللا وھو ابن محم
قا -بن عمر عن أبیھ قال قال عبد هللا بنى « -صلى هللا علیھ وسلم-ل رسول هللا
الة دا عبده ورسولھ وإقام الص وأن محم اإلسالم على خمس شھادة أن ال إلھ إال هللا
كاة وحج البیت وصوم رمضان 21)رواه مسلم( وإیتاء الز
Artinya : Rasulullah SAW bersabda: Islam dengan atas lima perkara:
bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selai Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan sholat, membayar zakat, haji dan puasa
Ramadhan.”
Hadis ini mengandung penjelasan bahwa:22
1. Rasulullah SAW menyamakan Islam dengan bangunan yang kokoh dan
tegak di atas tiang-tiang yang kuat.
2. Pernyataan tentang keesaan Allah SWT dan keberadaan-Nya
membenarkan kenabian Muhammad SAW, merupakan hal yang paling
mendasar dibanding rukun-rukun yang lainnya.
3. Selalu menegakkan shalat dan menunaikannya secara sempurna dengan
syarat rukunnya, adab-adabnya dan sunah-sunahnya aar dapat
memberikah buahnya dalalm diri seorang muslim yaitu meninggalkan
21 Abu Husein Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim, ( Beirut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.t.) h.34.
22 Muhyyiddin Yahya al-Nawawi, Arbain Nawawiyah, ( Riyadh: Maktab Dakwah 2010 )
h.15.
66
perbuatan keji dan mungkar karena shalat mencegah dari seseorang dari
perbuatan keji dan mungkar.
4. Wajib mengeluarkan zakat dari harta orang kaya yang sudah terpenuhi
syarat-syarat zakat lalu memberikannya kepada orang-orang fakir dan
yang membutuhkan.
5. Wajibnya menunaikan ibadah haji dan puasa (Ramadhan) bagi stiap
muslim.
6. Adanya keterkaitan rukun Islam satu sama lain. Siapa yang
mengingkarinya maka dia bukan seorang muslim berdasarkan ijma.
از عن أبى ثنا شعبة عن فرات القز د بن جعفر حد ثنا محم ار حد د بن بش ثنا محم حد
صلى هللا علیھ -خمس سنین فسمعتھ یحدث عن النبى قاعدت أبا ھریرة : ال حازم ق
وإنھ ال نبى كانت بنو إسرائیل تسوسھم األنبیاء كلما ھلك نبى خلفھ نبى :قال -وسلم
23)رواه مسلم( .بعدى
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
dahulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap seorang Nabi
meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Dan sesungguhnya tiadak ada
Nabi setelah aku.”
Dalam konteks hadis yang dinukil dari Abu Hurairah tersebu, Imam
Nawawi dalam kitab Riyadus Sholihin menjelaskan bahwa dalam hadis
tersebut, Nabi telah memberitakan perihal mengenai Bani Israil yang ketika
itu telah di utus para Nabi pada mereka untuk memimpin dan memperbaiki
keadaan mereka. Apabila ada Nabi yang meninggal maka akan ada Nabi
selanjutnya. Dan Rasulullah SAW mengatakan tidak akan ada Nabi setelah
aku. Hal ini membuktikan bahwasannya Nabi Muhammad SAW adalah
23 Abu Husein Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim, ( Beirut: Daar al-Afaq al-Jadidah, t.t.) h.17.
67
penutup para Nabi. Berdasarkan dalil dan ijma para ulama sebagaimana
Allah SWT berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 40:
بكل وخاتم النبیین وكان هللا كن رسول هللا د أبا أحد من رجالكم ول .شيء علیما ما كان محم
Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al- Ahzab 40. )
Dengan demikian barang siapa mengaku atau berpura-pura sebagai
Nabi setelah Nabi Muhammad SAW maka orang tersebut dikatakan kafir,
murtad dan diwajibkan membunuhnya.Dan apabila orang yang
membenarkan dan meyakinkan bahwasannya ia mengakui orang tersebut
sebagai Nabi maka orang tersebut telah berbohong dan murtad. Maka wajib
bagi dia untuk di bunuh kecuali ia bertaubat.24
Pembuktian bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir juga
dijelaskan dalam hadis yang di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi sebagai
berikut:
ثنا عبد الواحد یعني ثنا عفان بن مسلم حد عفراني حد د الز ثنا الحسن بن محم ابن حد
ثنا أنس بن مالك قال ثنا المختار بن فلفل حد عل : زیاد حد صلى هللا یھ قال رسول هللا
ة قد انقطعت فال رسول بعدي سالة والنبو )25 الترمذي رواه (.وسلم إن الر
Artinya : Rasulullah SAW besabda sesungguhnya kerasulan dan kenabian
telah terhenti. Oleh kareana itu tidak ada lagi Rasul dan Nabi sesudahku.
24 Abu Zakariya Muhyddin Yahya Nawawi, Riyadus Sholihin, ( Surabaya Daar al-Al’im, tt. ) h. 314.
25 Abu Isa Muhammad al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Beirut Daar al-Arabi al-Islami,
1998.) h. 118.
68
3. Qaidah Ushul:
الضرر یزالArtinya: “Dharar (bahaya) harus dihilangkan”
Pengertiannya adalah suatu kerusakan harus dihilangkan. Dengan kata
lain kaidah ini menunjukan bahwa kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam
agama Islam. Adapun dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan ini
menimpa seseorang, keduanya menjadi lain. Kedua menjadi lain bahkan
bisa dianggap sebagai sebagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya
Allah Swt, karena segala sesuatu bagi Allah Swt.26
Kaidah tersebut diatas sering diungkapkan dengan apa yang ada di
dalam hadits nabi:
27ال ضرار وال ضرار
Artinya: “tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan”
Berdasarkan hasil wawancara dengan Prof. Dr. Hj. Huzaemah T.
Yanggo, MA. Dari qaidah fiqhiyah tersebut, beliau menjelaskan
bahwasannya bahaya yang harus dihilangkan karena merusak atau merubah
aqidah islam. Dan bahaya khusus harus dicegah sebelum terjadinya bahaya
umum , maka MUI mengambil keputusan tegas dengan membuat fatwa
tentang gafatar karena telah merusak aqidah syariat islam. Di dalam
maqasid syariah yang terdiri dari hifdzu dzin yaitu menjaga agama yang
sebenarnya. Tidak boleh mencampur adukkan agama dengan agama yang
lainnya yang sudah tercamtum dan termaktubkan di dalam alquran surat al
Baqarah ayat 42:
26Ibnu Nuzaim al-Hanafiyah al-Abidin Ibn Ibrahim, al-Asybah wa al-Nadzair cet, Damaskus: Dar al-Fikr 1402 H/1983 M.
27 Imam Jalaluddin, Abdurrohman As-Suyuti, Al Asybah wa al nadzhoir fi qowai’di wa furu’fiqhis Syafi’iyah ( Beirut: Dar al-Fikr )1983 M.
69
.وال تلبسوا الحق بالباطل وتكتموا الحق وأنتم تعلمون Artinya: Janganlah kamu campur-adukkan antara kebenaran dan
kebatilan, dan kamu sembunyikan yang benar padahal kamu
mengetahuinya.
Maksudnya ialah mencampur adukkan agama islam yahudi dan
nasrani maka gafatar merupakan aliran sesat menyesatkan dengan merubah
dan menafsirkan ayat-ayat alqur’an yang tidak sesuai dengan kaedah
tafsir.28
28 Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, pada tanggal 22 Desember 2016.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan dari penjelasan – penjelasan sub bab
diatas dan literature yang berkaitan dengan pembahasan penulis dan untuk
mengakhiri pembahasan skripsi ini, maka penulis menrujuk beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Bahwa gafatar yang menyatakan diri sebagai salah satu aliran sekte dalam
agama Islam, memiliki aturan hukum sendiri dalam keyakinan dan ibadah
yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam secara umum seperti:
keyakinan tentang adanya rasul baru yakni Ahmad Musadeq,
pengingkaran terhadap perintah shalah, puasa ramadhan dan haji, serta
mencampuradukan (sinkretisme) antara ajaran Islam, Yahudi dan Nasrani
dengan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tidak sesuai dengan kaidah tafsir.
kemudian sesuai fatwa MUI Nomor. 06 Tahun 2016 Gafatar ditetapkan
sebagai aliran sesat berdasarkan dalil-dalil yang tertera dalam fatwa.
2. Adapun dalil-dalil yang digunakan MUI bersumber dari al-Quran, Sunnah
dan Qaidah Ushul yang keseluruhan membahas mengenai ajaran aqidah
islam dan membuktikan bahwa apa yang menjadi ajaran aliran
GAFATAR adalah sesat. Dengan demikian, aliran tersebut patut
dibubarkan dan dikembalikan kepada ajaran islam yang sesuai dengan al-
Qur’an dan Sunnah.
B. SARAN.
1. Gafatar adalah Organisasi yang illegal di Indonesia dan tidak sesuai
ajaran agama yang diakui di Indonesia khususnya agama Islam maka
menurut penulis pemerintah harus berperan dengan cara membubarkan
70
71
GAFATAR kemudian para pengikutnya diarahkan agar mendapatkan
kehidupan yang normal kembali dalam masyarakat yang madani.
2. MUI sebagai organisasi perkumpulan para ulama Indonesia harus
bertindak cepat dalam menangani masalah kesesatan dalam kehidupan
beragama yang terjadi di Indonesia sebelum menyebar ke lingkup
masyarakat yang lebih luas. Untuk menghindari adanya kejadian serupa
MUI harus lebih giat mendidik masyarakat dengan ajaran-ajaran islam
yang benar sehingga ajaran yang menyimpang tidak dapat mempengaruhi
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abbas, Abdullah, Tanwirul Miqbas min, Bairut, Libanon, 1992. Al-Nawawi, Abi Zakariya Yahya,Adab al-Fatwa wa al-Mufti, wa al-Mustafti,
Damaskus: Daar al-Fikr, 1988. Al Hadhramiy, Salim bin Sumair,Matan Safinatun Najah, Beirut: Maktabah Ar
Razin, 2011. Al Hadhramiy, Syaikh Salim Bin Sumair,Matan Safinatun Najah, Daarul Minhaj,
2009. al-‘Aql, Dr Nashir Ibn Abdul Karim, Buhuuts fii’Aqiidah Ahli Sunnah wal
Jama’ah, Daarul ‘Ashiimah, 1998. al-Asqor, umar sulaiman,Rasul dan Risalah, Riyadh: international Islamic
Publishing House, 2008. al-Buhuti, Mansur bin Yunus,Syarah al-Muntaha, Beirut:Alim al-Kutub, 1996. Al-Darimi, Abdullah ibn Abdurrahman, Musnad al-Darimi, Riyadh: Dar al
Mughni, 2000. Ali Syariati, Ali,Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Bandung: Mizan, 1992. Al-Jauziah, Ibnu Qayym,I’lam al-Muwaqi’un, Beirut: Daar al-Jalil, 1973. al-Naisaburi,Abu Husein, Muslim Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Afaq al-
Jadidah, t.t. al-Naisaburi,Abu Husein, Muslim Shahih Muslim, Beirut: Daar al-Afaq al-
Jadidah, t.t. al-Nawawi, Muhyyiddin Yahya,Arbain Nawawiyah, Riyadh: Maktab Dakwah
2010.
72
73
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad,al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Riyadh: Dar ‘alim Kutub, 2003.
al-Razi,Abu Hatim,Tafsir al -Qur’an al–Adzim , Saudi : Maktabah al-Asyriya, t.t. al-Suyuti,Abdurrahman Jalaludin,al-Durr al-Matsur, Beirut, Dar al-Fikr, 1993. al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad al-Jami’ al-Kabir, Beirut Daar al-Arabi al-
Islami, 1998. al-Zahabity, Muhammad Husain,Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir: Dar al-Kutub
al-Haditsah, 1961. Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir: Al-Halabiy, 1975. Amin, Ma’ruf,Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008. Asy-Syaukani,Muhammad,Fathul Qadir , Beirut: Dar al-Fikr, t.t. at-Thabarri, Abu Ja’far,Jami’ al-Bayan, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. at-Thabarri, Abu Ja’far,Jami’ al-Bayan, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif,Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001. Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Djamaluddin, M. Amin,Mewaspadai GAFATAR, Gerakan Pemurtadan Terhadap
Umat Islam, Jakarta : Lembaga Penenelitian Pengkajian Islam, 2016. Ensiklopedia Hukum Islam jilid I, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, 2001. Fatah, Rohadi Abd, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, Yogyakarta:
Bumi Aksara, 1991. Gayo, Ahyar A, “kedudukan Fatwa MUI Dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan
Ekonomi Syariah”, Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI, 2011.
74
Hamka, Rusjd,Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1981. Hasan, Muhammad Tholhah,Ahlussunah wal jama'ah dalam Persepsi dan Tradisi
NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, pada tanggal
22 Desember 2016. Hasyim, Umar,Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para
Ulama, Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998. Heri Herdiyanto dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, Dan Aktif
Berwaganegara, Jakarta: Erlangga, 2010. Hooker, M. B,Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj.
Iding Rosyidin Hasan, Jakarta: Teraju, 2003. Ibrahim, Ibnu Nuzaim,al-Asybah wa al-Nadzair cet, Damaskus: Dar al-Fikr, 1983. Katsir, Ismail Ibn,Tafsir Al-Qur’anak Al-azhim, Beirut: Dar Thayyibah Lin Nasyr
Wat Tauzi, 1999. Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, Bandung: Pustaka
Setia, 2001. Khallaf, Abdul Wahab,Ilmu Ushul Fikih, Terj. Halimuddin SH, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005. Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan Comdes Kalimantan, 2007.
Mudzhar, Muhammad Atho,Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.
Muhammad, Abu Abdullah,Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikri, 1996.
75
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islami,Bandung: al-ma’arif, 1993.
Nawawi, Abu Zakariya Muhyddin Yahya,Riyadus Sholihin, Surabaya Daar al-
Al’im, t.t. Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007. Qardhawi, Yusuf,Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh
As’ad Yasin, Jakarta: Gema Isani Press, 1977. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an (fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan), Bandung: Mizan, 1994. Shihab, M. Quraisy,Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, Jakarta: Mizan, 1999. Siraj, Binayah Roin, Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, Jakarta: TP, 2006. Suntana, Ija,Daya Ikat Fatwa, Bandung: Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung, 2009. Suratmaputra, Ahmad Munif,Filsafat Hukum Islam, al Ghazali Mashlahah
Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Syarifuddin, Amir,Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana 2014. Syukur, Muhamad Asywadie,Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Surabaya:
PT BINA ILMU,1990. Thohari, Fuad,Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA’I, Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia,2012. Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama
Indonesia Tahun 2005, Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005. Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001.
76
Umar, Ahmad Mukhtar,Mu’jam al-Lughah al-Arabiyya al-Mu’ashirah, Kairo: ‘Alim al-Kutub, 2008.
Khozin, Muhammad Makruf, www.hujjahnu.com25 januari 2103. Yahya, Abu Zakariya al-Farra, Ma’ani al-Qur’an, Mesir: Dar al-Masyriah, t.t. Yahya, Imam,Fiqih Sosial NU: Dari Tradisionalis Menuju Kontekstualis, dalam
M. Imdadun Rahmat (Ed), Kritik Nalar NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa'il, Jakarta: Lakpesdam, 2002.
Yunus, Muhammad,Kamus Arab Indonesia,Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa
Dzurriyah, 2010. Zahra, Muhammad Abu,Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikri, t.t.
B. INTERNET Asril, Sabrina,“Menteri Agama: Konflik Beragama Wajar, Yang Tak Wajar
“tukang kompor””, artikel diakses pada 17 juli 2013 www.kompas.com Fadli. “asal usul gafatar ternyata tidak jauh berbeda dengan nii”. artikel diakses
pada 13 januari 2016 dari www.jelasberita.com Maharani, Shinta,Kasus Intoleransi Di Yogyakarta tinggi, artikel diakses pada 11
maret 2016, www.tempo.com Misrawi, Zuhairi,“Konflik Sunni-Syiah di Madura?”, artikel diakses pada 28
agustus 2012, www.sindonews.com Sadzali, Otentitas Wahyu, artikel ini diakses pada 13 September 2014 dari
http//sadzalikecil.blogspot.co.id www.mui.or.id. Diakses 30 Oktober 2015.
FATWA FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 6 Tahun 2016
Tentang
ALIRAN GERAKAN FAJAR NUSANTARA (GAFATAR)
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG : a. bahwa di tengah masyarakat telah berkembang organisasi bernama Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang bergerak di bidang sosial, namun pada faktanya mengajarkan keyakinan dan pemahaman keagamaan yang meresahkan masyarakat muslim;
b. bahwa di antara keyakinan dan pemahaman keagamaan yang meresahkan tersebut berasal dari ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah dan millah Abraham, yakni menyakini adanya pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Ahmad Musadeq alias Abdus Salam Messi sebagai mesias dan juru selamat; mengingkari kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan haji; serta mencampuradukkan pokok-pokok ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir;
c. bahwa aliran ini berkembang di beberapa daerah yang kemudian menimbulkan keresahan masyarakat, sehingga sebagian organisasi, lembaga termasuk Kejaksaan Agung RI mengajukan permintaan fatwa tentang masalah tersebut;
d. bahwa oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang aliran GAFATAR guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT : 1. Al-Quran :
a. Firman Allah SWT yang menegaskan soal perintah tunduk dan patuh dalam hal beragama serta ajaran Islam merupakan ajaran yang hanif, antara lain:
أسلمت لرب العالمين إذ قال له ربه أسلم قال
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk
patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam". (QS. Al-Baqarah [2]:131)
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 2
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
ين عند الله اإلسالم وما اخت لف ال ذين أوتوا الكتاب إال من ب عد ما إن الدن هم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب جاءهم العلم ب غيا ب ي
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang
telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang
ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya. (QS. Ali Imran [3]:19)
ومن أحسن دينا مم ن أسلم وجهه هلل وهو محسن وات بع مل ة إب راهيم حنيفا وات خذ الله إب راهيم خليال
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada
orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus ? Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS. Al-Nisa’ [4]:
125)
يفا مسلما وما كان من ما كان إب راهيم ي هوديا وال نصرانيا ولكن كان حن المشركين
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula)
seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang
lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.
(QS. Ali ‘Imran [3]:67)
b. Firman Allah SWT yang menegaskan keharusan memahami dan menjalankan ajaran agama dengan jalan ittiba’ (mengikuti) aturan-aturan agama yang telah ditetapkan, antara lain:
والت ت بعوا السبل ف ت فر ق بكم عن سبيله ذالكم وأن هذا صراطي مستقيما فات بعوه وص اكم به لعل كم ت ت قون
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan- jalan (yang lain), karena jalan- jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al- An’am [6]: 153)
ر سبيل المؤمنين ن وله ومن يشاقق الر سول من ب عد مات ب ي ن له الهدى وي ت بع غي مات ول ى ونصله جهن م وسآءت مصيرا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 3
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
orang- orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,dan Jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali.” (QS. An- Nisa [2]: 115)
قل أطيعوا اهلل والر سول فإن ت ول وا فإن اهلل ال يحب الكافرين
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang kafir”. (QS. Ali- Imran [3]: 32)
c. Firman Allah SWT yang menjelaskan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, antara lain:
ول اهلل وخاتم الن بيين م اكان محم د أبآ أحد من رجالكم ولكن ر س
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 40)
d. Firman Allah SWT yang menegaskan larangan mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain:
وال ت لبسوا الحق بالباطل وتكتموا الحق وأنتم ت علمون
”Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]:42)
e. Firman Allah SWT yang menjelaskan soal kemurtadan dan hukumannya, antara lain:
ومن ي رتدد منكم عن دينه ف يمت وهو كافر فأولئك أصحاب الن ار هم فيها خالدون
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia- sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
f. Firman Allah SWT yang memerintahkan taubat atas kesalahan yang dilakukan, antara lain:
فر لهم م ا قد سلف وإن ي عودوا ف قد مضت سن ة قل لل ذين كفروا إن ينت هوا ي غ األو لين
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu ". (QS. Al-Anfaal [8]: 38)
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 4
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
يا أي ها ال ذين آمنوا توبوا إلى الل ه ت وبة نصوحا عسى ربكم أن يكفر عنكم سيئاتكم ويدخلكم جن ات تجري من تحتها األن هار
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, (QS. Al-Tahrim[66]:8)
إن ما الت وبة على الل ه لل ذين ي عملون السوء بجهالة ثم ي توبون من قريب فأولئك حكيما ي توب الل ه عليهم وكان الل ه عليما
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Nisa[4]:17)
ين ون فصل اآليات لقوم فإن تابوا وأقاموا الص الة وآت وا الز كاة فإخوانكم في الد ي علمون
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (QS. Al-Anfaal [9]:11)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
هما ابن عمر عن بني صل ى الل ه عليه وسل م قال قال رسول الل ه رضي الل ه عن سالم على خمس شهادة أن ال إله إال الل ه وأن رسول الل ه وإقام الص الة محم دا اإل
(متفق عليه واللفظ للبخاري)وإيتاء الز كاة والحج وصوم رمضان
“Rasulullah SAW bersabda: Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan sholat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan.”
كان " : قال رسول اهلل صل ى الل ه عليه وسل م ، قال : عن أبي هريرة رضي اهلل عنه قال . " ...ب نو إسرائيل تسوسهم األنبياء كل ما هلك نبي خلفه نبي ، وإن ه ال نبي ب عدي
(يهمتفق عل)"Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi, setiap seorang nabi meninggal,
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 5
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
maka digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku…."
اهلل صلى اهلل عليه وسلم إن الرسالة والنبوة قد قال رسول : حدثنا أنس بن مالك قال (رواه أحمد والترمذي)انقطعت فال رسول بعدي وال نبي
"Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terhenti. Oleh karena itu, tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku…."
3. Ijma’ Ulama mengenai kekafiran orang yang mengingkari keimanan bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir.
4. Qaidah Ushul :
ي زال الض رر “Dharar (bahaya) harus dihilangkan.”
درء المفاسد مقد م على جلب المصالح “Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
ي تحم ل الض رر الخاص لدفع الض رر العام “Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
من وط بالمصلحة تصرف اإلمام على الر عي ة “Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN : 1. Surat dari Kejaksaan Agung RI Nomor B-165/D.2/Dsp.2/01/2016 tanggal 29 Januari 2016 perihal Permohonan Fatwa MUI tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR)
2. Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2007 tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang menyatakan sebagai sesat dan menyesatkan;
3. Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh Nomor 02 Tahun 2011 tentang Analisa/Kajian Kegiatan Pengrusakan Aqidah/Pemurtadan/Penistaan Agama Islam di Kota Banda Aceh yang melakukan pengkajian tentang aliran Millata Abraham;
4. Fatwa MUI Maluku Utara Nomor 11 Tahun 2015 Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR);
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 6
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
5. Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 01 Tahun 2015 tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR);
6. Fatwa MUI Kalimantan Barat Nomor 01/MUI-Kalimantan Barat/I/2016 tentang Ajaran Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR);
7. Keputusan Rapat Kerja Nasional MUI Tahun 2007 tentang Kriteria Aliran Sesat;
8. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 tanggal 7 – 10 Juni 2015 tentang Kriteria Pengkafiran (Dhawabith at-Takfir)
9. Hasil Pengkajian dari Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI tentang aliran Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) yang disampaikan pada tanggal 28 dan 30 Januari 2016, yang antara lain sebagai berikut:
a. GAFATAR merupakan metamorphosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Komunitas Millah Abraham.
b. Paham keagamaan GAFATAR sama dengan paham keagamaan Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Komunitas Millah Ibraham;
c. GAFATAR menyebarkan keyakinan dan pemahaman keagamaan: (i) adanya pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai mesias dan juru selamat, yaitu Ahmad Musadeq alias Abdus Salam Messi yang hakikatnya nabi akhir zaman setelah nabi Muhammad saw; (ii) mengingkari kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan haji; (iii) mencampuradukkan (sinkretisme) antara ajaran Islam, Yahudi dan Nasrani dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir.
10. Pandangan, saran, dan pendapat yang berkembang dalam Rapat Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia bersama Komisi Fatwa MUI dan Komisi Pengkajian dan Penelitian pada 2 Februari 2016.
11. Penjelasan dari Kejaksaan Agung RI pada forum tabayun (klarifikasi) dalam Rapat Komisi Fatwa MUI serta Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI pada 2 Februari 2016, yang pada intinya menyatakan bahwa organisasi GAFATAR semula bergerak di bidang sosial, namun dalam perkembangannya mengajarkan aliran keagamaan yang merupakan metamorfosis dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah serta aliran Millah Abraham.
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 7
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
12. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 30 Januari 2016 dan 3 Februari 2016.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG ALIRAN GERAKAN FAJAR NUSANTARA (GAFATAR)
Pertama : Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Aliran GAFATAR (Gerakan Fajar Nusantara) adalah sebuah aliran keagamaan yang menempatkan Ahmad Moshaddeq sebagai Guru Spiritual dengan meyakini dan mengajarkan ajaran antara lain; (i) adanya pembawa risalah dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai mesias dan juru selamat, yaitu Ahmad Moshaddeq alias Abdus Salam Messi yang hakikatnya nabi setelah nabi Muhammad saw; (ii) belum mewajibkan shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan haji.
2. Millah Abraham adalah pemahaman dan keyakinan GAFATAR yang mencampuradukkan ajaran Islam, Nasrani, dan Yahudi dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan kaidah tafsir;
3. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah adalah aliran yang berkembang dengan dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq yang mengajarkan ajaran keagamaan, antara lain; (i) adanya syahadat baru, yang berbunyi: “Asyhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna masih al- Mau’ud Rasul Allah”; (2) adanya nabi/rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, dan (3) belum mewajibkan shalat, puasa dan haji.
4. Murtad adalah orang yang telah keluar dari ajaran agama
Islam. Kedua : Ketentuan Hukum
1. Aliran GAFATAR adalah sesat dan menyesatkan, karena:
a. merupakan metamorfosis dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang sudah difatwakan sesat melalui Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2007
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 8
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
b. mengajarkan paham dan keyakinan Millah Abraham, yang sesat menyesatkan karena mencampuradukkan ajaran Islam, Nasrani, dan Yahudi dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tidak sesuai dengan kaedah tafsir.
2. Setiap muslim pengikut aliran GAFATAR dikelompokkan sebagai berikut :
a. yang meyakini faham dan ajaran keagamaan GAFATAR adalah murtad (keluar dari Islam), wajib bertaubat dan segera kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haq).
b. yang mengikuti kegiatan sosial tetapi tidak meyakini ajaran keagamaannya tidak murtad, tetapi wajib keluar dari komunitas GAFATAR untuk mencegah (sadd al-dzari’ah) tertular/terpapar ajaran yang menyimpang.
3. Pemerintah wajib melarang penyebaran aliran GAFATAR serta setiap paham dan keyakinan yang serupa, dan melakukan penindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pimpinan GAFATAR yang terus menyebarkan keyakinan dan ajaran keagamaannya.
4. Pemerintah wajib melakukan rehabilitasi dan pembinaan secara terus menerus terhadap pengikut, anggota dan pengurus eks GAFATAR.
Ketiga : Rekomendasi
1. Para Ulama agar memberikan pembinaan dan pembimbingan terhadap para pengurus, pengikut, dan simpatisan eks GAFATAR supaya kembali kepada ajaran Islam (al-ruju’ ila al-haq) serta mengingatkan umat Islam untuk mempertinggi kewaspadaannya agar tidak terpengaruh oleh aliran sesat.
2. Pemerintah diminta untuk tetap menjamin hak keperdataan dari para pengikut, anggota dan pengurus GAFATAR, termasuk hak kepemilikan atas aset dan properti.
3. Masyarakat dan umat Islam dihimbau dapat menerima kembali para pengikut, anggota dan pengurus GAFATAR yang mau bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam agar dapat kembali menjadi bagian dari umat Islam dengan mengedepankan semangat ukhuwwah Islamiyah (persaudaran seagama), ukhuwwah wathaniyah (persudaraan kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan).
4. Masyarakat agar senantiasa mengawasi penyebaran ajaran menyimpang dan melaporkan kepada yang berwenang, serta tidak melakukan langkah-langkah anarkis.
Fatwa tentang Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR) 9
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Keempat : Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Rabi’ul Akhir 1437 H 03 Februari 2016 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA