pluralisme agama (fatwa mui menurut ahmad

106
PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD SYAFI’I MA’ARIF) SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah) Oleh YONA MULYA KASIH 1316.015 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI TAHUN 2020 M/1441 H

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

SYAFI’I MA’ARIF)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Pada Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah)

Oleh

YONA MULYA KASIH

1316.015

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)

FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) BUKITTINGGI

TAHUN 2020 M/1441 H

Page 2: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

ii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Yona Mulya Kasih

NIM : 1316.015

Tempat/Tanggal Lahir : Dalam Koto/14 November 1997

Program Studi : Hukum Tata Negara (Siyasah)

Fakultas : Syariah

Judul skripsi :Pluralisme Agama (Fatwa MUI Menurut Ahmad

Syafi‟i Ma‟arif

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulis

dengan judul di atas adalah benar asli karya penulis. Apabila di kemudian hari

terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses

sesuai hukum yang berlaku dan gelar kesarjanaan penulis dicopot hingga batas

waktu yang tidak ditentukan. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan

sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, 10 Juli 2020

Yang menyatakan

Materei 6000

Yona Mulya Kasih

NIM 1316015

Page 3: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

iii

Page 4: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT.

Karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat beserta salam tiada hentinya penulis sampaikan kepada Nabi

Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah

satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum

Tatanegara (Siyasah) di Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menemukan beberapa kesulitan dalam

menyusun skripsi ini, Alhamdulillah berkat bantuan dan do‟a dari berbagai pihak,

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis berharap setelah

menyelesaikan perkuliahan ini, penulis diberi kesempatan untuk membanggakan

orang yang penulis sayang, orang yang penulis cintai, dan semoga Allah jadikan

ilmu yang penulis dapatkan selama kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bukittinggi ini menjadi berkah dan berguna selama kehidupan penulis.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Ibu Rektor IAIN Bukittinggi dan Bapak Wakil Rektor IAIN Bukittinggi yang

telah memberikan fasilitas kepada penulis untuk menuntut ilmu di Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Page 5: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

v

2. Bapak Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah yang telah memberikan

kemudahan kepada penulis untuk segala urusan mengenai keperluan

akademik.

3. Kepada Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah), yakni Bapak

Helfi, M.Ag, yang telah memberikan nasehat dan arahan serta bantuan dalam

kelancaran penulis untuk mendalami Program Studi Hukum Tatanegara

(Siyasah).

4. Bapak Dr. Saiful Amin M.Ag selaku pembimbing yang telah memberikan

arahan, petunjuk serta memberikan bimbingannya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sekaligus dosen penasehat akademik

(PA) penulis, juga telah memberikan arahan-arahan kepada penulis, semenjak

penulis duduk di bangku perkuliahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bukittinggi.

5. Bapak dan Ibuk dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang

telah memberikan ilmunya yang akan menjadi bakat bagi penulis dimasa yang

akan datang.

6. Bapak dan ibuk beserta jajaran perpustakaan Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bukittinggi yang telah memberi izin kepada penulis melakukan

penelitian.

7. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tatanegara yang

telah memberikan pembelajaran dana pengalaman kepada penulis.

Page 6: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

vi

8. Kepada keluarga besar Hukum Tatanegara angakatan 2016 yang telah sama-

sama berjuang dengan penulis semasa kuliah dan telah memberikan motivasi

kepada penulis.

9. Keluarga besar KKN angkatan 2019 yang selalu memberi arahan dan

dukungan kepada penulis.

10. Kepada sahabat tercinta Nike Karmila, Rima Zainap, Rici Putri Sari dan

Wahyuni Yuliandari (R2NAY) yang selalu memotivasi, mendampingi dan

mensuport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan baik itu program studi Hukum Tatanegara

(Siyasah), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ-HTN) periode 2017-2018,

Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS-HTN) periode 2018-2019, serta

teman-teman kos yang selalu mensuport penulis dan mengajarkan penulis

banyak hal yang bermanfaat.

Penulis berdo‟a kepada Allah SWT semoga jasa-jasa dari semua pihak

tersebut baik yang namanya tersebut maupun tidak, semoga Allah SWT membalas

dengan pahala yang berlipat ganda, Amin. Dan bagi pembaca, penulis mohon

maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini dan

penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang kontruktif dan sehat, agar

tulisan penulis menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Bukittinggi, 17 Juli 2020

Penulis

Yona Mulya Kasih

NIM. 1316015

Page 7: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

vii

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI iii

PERNYATAAN ORISINALITAS iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang…………………………………….……....…………...... 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………....……..…... 6

C. Penjelasan Judul…………………………..……..………..…………..… 7

D. Tujuan dan Penggunaan Penulisan………………………...……………. 8

E. Metode Penelitian…………………………..……………....................... 9

F. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………………. 11

G. Sistematika Penulisan………………………………….………………. 13

BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

A. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟arif…………………..... 15

B. Pendidikan dan Aktifitas Sosial Ahmad Syafi‟i Ma‟arif…………….... 22

C. Karya-karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif………….…………………...…... 29

Page 8: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

viii

BAB III PENDAPAT PEMUKA AGAMA ISLAM INDONESIA TENTANG

PLURALISME AGAMA

A. Pengertian Pluralisme Agama………………………………...……….. 38

B. Sejarah dan Perkembangan Pluralisme Agama……………...……...… 41

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme Agama……………...……..… 52

BAB IV FATWA MUI DAN PENDAPAT AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

TENTANG PLURALISME AGAMA

A. Fatwa MUI Mengenai Pluralisme Agama………………..………….... 61

B. Pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Tentang Pluralisme Agama………... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………..…………………………….. 85

B. Saran…………………………………………………………………… 87

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 9: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah pluralisme agama masih sering disalah pahami atau mengandung

pengertian yang kabur, meskipun terminologi ini sangat popular dan tampak

sangat disambut hangat secara Universal. Hal ini dapat dilihat dari semakin

menjamurnya kajian Internasional, khususnya setelah konsili vatikan II. Sungguh

sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak bahkan langka, yang mencoba

mendefiniskan pluralisme agama itu. Seakan wacana pluralisme agama sudah

disepakati secara konsesus dan final, dan untuk itu taken for granted. Karena

pengaruhnya yang luas, istilah ini memerlukan pendefinisian yang jelas dan tegas

baik dari arti segi liberalnya maupun dari segi konteks dimana ia banyak

digunakan.1

Dalam teologi masing-masing agama yang berbeda-beda bahkan mungkin

saling bertentangan yang diyakini sepenuhnya oleh masing-masing penganutnya

harus pula dihormati.2

Indonesia adalah sebuah bangsa dengan komposisi etnis yang sangat

beragam. Begitu pula dengan ras, agama, aliran, kepercayaan, bahasa, adat

istiadat, orientasi kultur kedaerahan, serta pandangan hidupnya. Dengan kata lain

bangsa Indonesia memiliki potensi, watak, karakter, hobi, tingkat pendidikan,

warna kulit, status ekonomi, kelas sosial, pangkat dan kedudukan, varian

1Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet pertama,

hal 11 2 Ibid

Page 10: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

2

keberagamaan, cita-cita, perspektif, orientasi hidup, loyalitas organisasi,

kecendrungan dan afiliasi ideologis yang berbeda-beda. Setiap kategori sosial

memiliki budaya internal sendiri yang unik, sehingga berbeda dengan

kecenderungan budaya internal kategori sosial yang lain. Dari segi kultural

maupun struktural, fenomena tersebut mencerminkan adanya tingkat keragaman

yang tinggi. Tingginya pluralisme bangsa Indonesia, membuat potensi konflik dan

perpecahan serta kesalahpahaman juga memiliki eskalasi yang cenderung tinggi.3

Kemajemukan bangsa Indonesia, juga disebabkan hampir semua agama-

agama besar, yakni Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan

Konghucu hidup di negeri ini. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga sendiri dari

beragam suku, etnis, budaya dan bahasa. Bentuk negara kepulauan, juga

menyebabkan penghayatan dan pengamalan keagamaan bangsa ini unik di

bandingkan dengan bahasa-bahasa lain.4

Fenomena semacam ini, di satu sisi merupakan modal dasar yang dapat

memperkaya dinamika keagamaan yang positif, tetapi kenyataan seringkali

membuktikan bahwa berbagai konflik yang muncul ke permukaan, dipicu oleh

beragam perbedaan tersebut. Goresan bukti historis membuktikan bahwa umat

berlainan agama sering bertikai dan terlibat konflik. Perbedaan etnik dan

kepemelukan terhadap agama, sering dijadikan sebagai alat ampuh yang dapat

memicu konflik dan perpecahan.5

3Ibid

4M. Irfan Riyadi dan Basuki, Membangun Inklusivisme Paham Keagamaan, (Ponogoro:

STAIN Ponogoro Press, 2009) hal 1 5Umi Sumbulah, dkk, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan

Antarumat Beragama, (UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI): Jalan Gajayana 50 Malang,

2013) hal 2

Page 11: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

3

Sedangkan menurut pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai

pluralisme adalah dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya

tidak bisa dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama

demokrasi, kendati di mata Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang

tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Untuk

penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan ini, buya Ma‟arif mengutip

penjelasan dari Machasin, dimana Machasin memberikan penjelasan yang

proporsional terkait kebebasan tersebut menurutnya (Machasin):6

“Kebebasan itu bukan tak terbatas sama sekali. Manusia hanya bebas

melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariah, yakni yang didalamnya

ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Tidak semua

aspek dalam kehidupannya dapat dikuasainya. Oleh karena itu, ia pun

bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam

melakukan atau tidak melakukannya”.7

Dalam sebuah acara peluncuran buku “Muhammadiyah Gerakan

Pembaruan” di Gedung Joeang, Jumat (23/4/2010), buya Ma‟arif mengatakan

“pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui

kemajemukan. Nanti katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas

dikitlah”.8 Ungkap pria yang kerap disapa buya itu.

9 Begitu ungkapannya pada

kesempatan tersebut. Dengan demikian, apabila agama dipahami secara benar dan

6Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet pertama

109 dan 214 7Ibid (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’I Ma’arif, tahun

2012) 8Sumber: http://guruilmu.wordpress.com dalam menduduki-pluralisme-agama-pemikiran-

ahmad-syafi‟i-ma‟arif/ (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i

Ma’arif, tahun 2012) 9Zaenal Arifin, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),

Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, 2011

Page 12: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

4

cerdas, pasti mendorong pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis,

bukan budaya saling mengunci pintu.10

Dalam pembelaannya terhadap pluralisme, buya berharap agar Majelis

Ulama Indonesia (MUI) mau meninjau ulang faktanya terkait pengharaman

pluralisme agama. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam yang

berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. “pluralisme adalah

kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme”. Pandangan miring para

ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di

Indonesia. “Banyak ulama yang tidak paham (pluralisme), tapi langsung

menghukum,” dia mengatakan Islam adalah agama yang bersumber dari Tuhan.

“Kalau manusia tidak mampu menjaga Islam, Allah yang menjaga, “ucap pendiri

Ma‟arif Institute tersebut”.11

Dengan segala kerendahan hati dan santunnya buya tidak menyalahkan

MUI, tapi ia menyarankan agar MUI mau meninjau ulang fatwanya terkait

pengharaman pluralisme tersebut. Setelah ditinjau ia katakan boleh jadi MUI

semakin menguatkan pengharamannya atau justru mencabut fatwanya tersebut.

Apapun itu yang penting keputusan tersebut didasari dari sumber yang kuat dan

jiwa beragama yang sehat dan cerdas. Mengenai pluralisme keagamaan terdapat

dalil yang menyebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :

10

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Mencari Autentisitas, 2014, hal 30 (Jurnal Mukhriza Arif,

Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, tahun 2012 11

Zaenal Arifin, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),

Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, tahun 2011

Page 13: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

5

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (islam), sesungguhnya

telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang

sesat barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada

Allah, sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang sangat kuat

yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui. (Q.S Al-Baqarah ayat 256)

Ayat ini berarti Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam beragama

Allah juga menegaskan dalam Q.S Yunus 10:99 yang berbunyi:

Artinya : “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang

yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

semuanya?”. (Q.S Yunus Ayat 99)

Ayat ini secara tegas mengatakan bahwa seandainya Allah hendak

menjadikan manusia seluruhnya muslim, Allah pasti bisa, tapi Allah tidak

berkehendak, sebab jikalau semua orang dimuka bumi ini menjadi muslim,

mereka tetap berkelahi dan berbeda pendapat. Oleh karena itu Allah menciptakan

manusia berpuak-puak, bersuku-suku dan berbagai macam ras untuk saling

mengenal dan membangun kerjasama atas dasar kebaikan12

.

Sedangkan menurut Fatwa MUI No 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang

pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang menyatakan bahwa

12

Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, (Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 2018) cet ke 2 hal 173

Page 14: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

6

pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada

bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.13

Paham pluralisme agama, khususnya sangat membahayakan aqidah umat

sehingga bisa menyebabkan mereka kufur terhadap kebenaran agama yang

dipeluknya. Kalau diibaratkan penyakit, paham pluralisme agama seperti virus hiv

(Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan rusaknya atau melemahnya

sistem kekebalan tubuh manusia sehingga rentan terhadap penyakit. Makin lama

penderita virus ini makin banyak dan semakin banyak pula yang meninggal

karenanya. Begitu juga dengan paham pluralisme agama yang sedang

dikembangkan di Indonesia, akan memperlemah keyakinan pemeluknya akan

kebenaran agama yang terjangkit olehnya dan semakin banyak pula yang akan

gugur agamanya.14

Jadi berdasarkan penjelasan dan latar belakang diatas penulis tertarik

melakukan penelitian dan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul

“Pluralisme Agama (Fatwa MUI Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah

yang akan di bahas yaitu :

1. Kenapa MUI mengharamkan pluralisme sedangkan Ahmad Syafi‟i mendukung

pluralisme agama?

2. Apa yang membedakan pendapat MUI dengan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

tentang pluralisme agama?

13

Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005. 14

Jurnal Fatwa MUI Tentang Pluralismme Agama Nomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005

Page 15: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

7

C. Penjelasan Judul

Untuk menghidari kekeliruan dalam memahami judul skripsi ini maka

penulis merasa perlu menjelaskan kata-kata yang dapat meragukan pembaca.

Pluralisme: Menurut kamus bahasa Inggris pluralisme artinya

jamak atau lebih dari satu.15

Pluralisme adalah suatu

gagasan bahwa agama besar di dunia.

Pandangan John Hick tentang pluralisme adalah suatu

gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan

persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan

secara bertepatan merupakan respon yang beragam

terhadap yang real atau Yang Maha Agung dari dalam

pranata kultural manusia yang berpariasi dan bahwa

tranformmasi wujud manusia dari pemutusan diri

menuju pemutusan hakikat terjadi secara nyata dalam

setiap masing-masing pranata kultural manusia

tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati sampai

pada batas yang sama.16

Agama: Adalah sistem sosial yang berupa kepercayaan dan

praktek yang bersifat mengikat manusia pada kekuatan-

kekuatan non empiris untuk mencapai keselamatan dan

berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup ini.17

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik

Indonesia. Ia pernah menjabat Ketua Umum Pengurus

Pusat Muhammadiyah Presiden World Conference on

Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Ma’arif

Institute, dan juga dikenal sebagai sorang tokoh yang

mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi.

15

Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Elevent Edition

(Masssachussets: Merriam-Webster, Incorparated, 2003), 955. (Jurnal tulisan Muhammad Qorib,

Pluralisme Buya Suafi’I Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Bangsa, (Yogyakarta: Jl.

Raya Pleret KM 2, 2019), hal 34 16

John Hick, Pandangan John Hick Tentang Pluralisme,(Yogyakarta: Institut DIAN,

2015) hal 34 17

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet pertama,

hal 1

Page 16: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

8

Sikapnya yang plural, kritis dan bersahaja telah

memposisikannya sebagai "Bapak Bangsa".18

Jadi dari beberapa penjelasan istilah yang terdapat dalam judul yang

penulis kemukakan di atas, dapat dipahami bahwa maksud judul “Pluralisme

Agama (Fatwa MUI menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif)” adalah penulis ingin

melihat dan meneliti pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai Fatwa MUI

tentang pluralisme agama.19

D. Tujuan dan Penggunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan masalah di atas maka pembahasan dalam skripsi ini

bertujuan untuk :

a. Untuk mengetahui alasan MUI mengharamkan pluralisme agama.

b. Untuk mengetaui alasan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mendukung pluralisme

agama.

c. Untuk mengetahui perbedaan pendapat MUI dengan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

mengenai pluralisme agama.

2. Kegunaan Penulisan

a. Untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Hukum pada

program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Bukittinggi.

b. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi masyarakat, insan akademis

dan lain-lain, khususnya di bidang Syari‟ah.

18

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Krisis Arab Dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta :PT

Bintang Pustaka, 2018) hal 114 19

Huhammad Amin Suma, Op., Cit., hal 71

Page 17: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

9

c. Untuk mengetahui pendapat MUI dan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai

pluralisme agama.

E. Metode Penelitian

Setiap penulisan selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang paling

akurat, yang menjadi tujuan penelitian itu. Untuk mencapai suatu penelitian

tersebut diperlukan metode. Metode dalam sebuah penelitian adalah sebuah cara

atau proses untuk menemukan sesuatu data secara akurat dalam sebuah penelitian.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library

research), yaitu penelitian yang menggunakan fasilitas pustaka seperti buku-buku,

kitab dan lain-lain. Oleh karena itu dalam penelitian ini yang disajikan adalah

berbagai sumber dari perpustakaan mengenai permasalahan yang akan diteliti,

yakni mengenai Pluralisme Agama (Fatwa MUI menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif).

2. Sumber Data

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian keperpustakaan,

maka teknik pengumpulan data yang ditempuh adalah dengan meneliti dan

mengumpulkan pendapat sarjana dan para tokoh serta ulama dalam buku-buku,

kitab-kitab dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang

penulis angkatkan.

a. Sumber primer

Data primer adalah data penelitian langsung pada subjek sebagai sumber

informasi yang diteliti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah buku-

buku Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005. Ahmad Syafi‟i

Page 18: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

10

Ma‟arif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Democracy Project,

2012).

b. Sumber Sekunder

Data sekunder adalah data yang mendukung atau sebagai data tambahan

bagi data pimer. Sebagai kerangka teori untuk melakukan analisa terhadap konsep

yang sudah ada sebagaimana dideskripsikan dalam prularisme menurut Ahmad

Syafi‟i Ma‟arif. Maka penulis mencari dan memakai ide dan buku-buku yang

mempunyai siknifikansi dalam bidang kajian sebagaimana diangkat oleh penulis,

baik buku ataupun kitab tersebut berupa buku-buku mengenai pluralisme agama.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah analisis kualitatif

deskriptif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terdapat dalam

pluralisme agama menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Sebagai data sekunder dalam

penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengannya, diantaranya Tariq

Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i Ma’arif, (Jakarta: Jln. Kemang Raya No.16,

2015). Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif Kelompok

Gema Insani, 2006), cet 2. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta:

Perspektif, 2005), cet 1. Umi Sumbulah dan Nurjanah, Pluralisme Agama (UIN

Maliki Press (Anggota IKAPI), Jalan Gajaya 50 Malang, 2013). Abd. Moqsith

Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, (Yogyakarta: Kab Sleman Depok).

Zainuddin, Pluralisme Agama, (Malang: UIN Maliki Press). Muhammad Qorib,

Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang Guru Banngsa ,

(Yogyakarta: Jl. Raya Pleret KM 2, 2019).

Page 19: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

11

F. Tinjauan Kepustakaan

Untuk menghindari adanya asumsi plagiasi, berikut ini penulis akan

memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan

penelitian yang akan penulis lakukan. Ada beberapa penelitian yang membahas

tentang pluralisme agama.

Pertama, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Fitri Fauziah/1314002

tahun 2018 Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari‟ah Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, dengan judul “Pluralisme Agama Dalam

Pandangan Islam (Studi Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor:

7/MUNASVII/MUI/II/2005)”. Fokus penelitian ini adalah hukum pluralisme

agama yang mana dalam skripsi ini dijelaskan bahwa MUI menentang adanya

paham pluralisme agama. Hal tersebut karena pluralisme agama dianggap sebagai

suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama dan kebenaran setiap

agama relatif. Setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya sajalah yang

benar sedangkan agama yang lain salah.

Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Dewi Rahma Yuli/1315032 tahun 2019

program Studi Hukum Tata Negara Islam (Siyasah) Fakultas Syari‟ah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, dengan judul “Pemikiran Politik Syafi’i

Ma’arif Tentang Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Fokus penelitian

ini adalah pemikiran mengenai Islam dan Pancasila memunculkan banyak

perdebatan dikalangan tokoh-tokoh Islam termasuk Ahmad Syafi‟i Ma‟arif. Hal

ini sangat menarik untuk dibahas tentang bagaimana pandangan Syafi‟i Ma‟arif

Page 20: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

12

tentang hubungan Islam dan Pancasila sebagai dasar negara dan apa saja

persamaan dan perbedaan dengan tokoh muslim lain.

Setelah penelitian kepustakaan penulis lakukan, diproleh hasil pemikiran

politik Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang hubungan Islam dan pancasila sebagai

dasar sebagai dasar Negara, bahwa hubungan Islam dan pancasila sangat erat,

karena adanya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan dan saling

melengkapi. Islam tidak dapat berkembang dan efektif dalam masyarakat tanpa

bantuan bantuan negara pancasila sebagai alat kekuasaan untuk “memaksa”.

Begitupun sebaliknya pancasila tanpa adanya bimbingan Islam akan mengalami

kekurangan etika dan moral, dan dengan panduan Islam, pancasila juga dapat

berkembang dalam bimbingan etika.

Ketiga, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Fadlan Barakah/ 08720014

tahun 2012 program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul “Pandangan

Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam Kontek Keindonesiaan Dan

Kemanusiaan”. Penelitian ini sendiri merupakan studi tokoh dengan fokus utama

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sebagai subjek penelitian. Penelitian ini merupakan

penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan cara menelaah karya-karya Ahmad

Syafi‟i Ma‟arif dengan pendekatan sosiologi pengetahuan. Penelitian ini bertujuan

untuk menggali pandangan Syafi‟i Ma‟arif tentang pluralisme agama yang terjadi

di Indonesia. Dipilihnya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif karena beliau merupakan tokoh

nasional yang berasal dari Muhammadiyah, serta pernah menjabat sebagai Ketua

Umumnya. Selain itu dari segi keilmuan, karya-karya yang dihasilkan oleh Guru

Page 21: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

13

Besar Ilmu Sejarah ini banyak mengupas pluralisme agama. Dari penelitian ini

dapat didapati bahwa, fokus penelitian ini adalah bahwa berdasarkan keilmuan dan

pengalaman hidupnya, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif adalah seorang yang berpaham

inklusif dalam menyikapi pluralisme agama. Syafi‟i Ma‟arif mengakui pluralisme

agama sesuai dengan realitas sejarah Indonesia. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

mensyaratkan untuk hidup berdampingan antar umat beragama harus memiliki

rasa lapang dada yang besar dengan segala perbedaan yang ada. Sebagai warga

Muhammadiyah, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sangat toleran terhadap segala bentuk

perbedaan, termasuk dalam perbedaan agama. Pluralisme menurut Syafi‟i Ma‟arif

digunakan sebagai alat untuk menjalin persatuan dan harmonisasi antar umat

beragama di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan memuat uraian dalam bentuk deskriptif yang

menggambarkan alur logis dari bangunan bahasa skripsi mulai dari bab

pendahuluan sampai penutup.

BAB I Pendahuluan. Pada bab ini penulis akan menguraikan latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, penjelasan

judul, metode penelitian, kajian keperpustakaan, sistematika penulisan.

BAB II Biografi. Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang kelahiran

dan masa kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟rif, pendidikan dan aktifitas social dan karya-

karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif.

Page 22: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

14

BAB III Pluralisme Agama. Pada bab ini penulis akan menjelaskan

tentang pengertian pluralisme agama, sejarah dan perkembangan dan pendapat

para ahli tentang pluralisme agama

BAB IV Fatwa MUI dan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang

puralisme agama. Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai dasar pengharaman

pluralisme agama dalam fatwa MUI dan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang

pluralisme agama.

BAB V Penutup. Memuat kesimpulan yang merupakan rumusan singkat

sebagai jawaban atas permasalahan yang ada dalam penelitian juga penulis akan

memasukkan beberapa masukan dan saran.

Page 23: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

15

BAB II

BIOGRAFI AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

A. Kelahiran dan Masa Kecil Ahmad Syafi’i Ma’arif

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif lahir di Sumpur Kudus pada tanggal 31 Mei 1935

dari pasangan Ma‟rifah Rauf (ayah) yang lahir tahun 1900 dan meninggal pada

tahun 1955, sedangkan Fathiyah (ibu) yang lahir tahun 1905 dan meninggal pada

tahun 1937 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara.20

Ayahnya adalah tokoh

yang terpandang di kampungnya. Ia berstatus sebagai kepala suku Melayu dengan

gelar Datuak Rajo Malayu dan sebagai Kepala Nagari (1936-1945) Sumpur

Kudus. Masyarakat Minang dikenal berkarakter egaliter, namun di antara suku-

suku itu, Chaniago adalah suku yang paling egaliter. Fathiyah, ibu Syafi‟i Ma‟arif,

berasal dari suku tersebut.21

Ayah dan ibu Syafi‟i Ma‟arif berprofesi sebagai

pedagang gambir dan karet. Dapat diduga, selain terpengaruh oleh pendidikan

Barat yang memang egaliter, sikap Syafi‟i Ma‟arif yang egaliter bisa saja dibentuk

oleh kultur Minang itu. Dugaan ini diperkuat oleh tesis Mrazek yang menjelaskan

bahwa masyarakat Minang bercirikan dua hal, yaitu: pertama, dinamisme, dan

kedua, anti-prokialisme. Yang pertama ditandai dengan jiwa merantau,22

20

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Fathiyah wafat saat Ma‟rifah berusia 18

tahun, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006)

hal 42 21

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik

Kisar, vii dan 4) 22

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Lihat Tsuyosi Kato, Adat Minangkabau

dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)

Page 24: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

16

sedangkan yang kedua melahirkan jiwa bebas yang kosmpolit.23

Meskipun lahir di

wilayah pedesaan, secara ideologis, Syafi‟i Ma‟arif dibesarkan dalam nuansa

maritim yang dinamis dan independen. Karakter inilah yang kelak mewarnai

gagasan-gagasan yang ia gulirkan.

Keluarga Ahmad Syafi‟i Ma‟arif merupakan keluarga terhormat, ayahnya

sebagai kepala Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Melayu yang di

jabatnya sampai wafat. Secara kategori elit di kampung, tempat masyarakat

mengadu tentang berbagai masalah, tidak hanya satu yang berkaitan dengan

masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Ilmu agama

ayahnya diperoleh dari membaca. Ayahnya cerdas dan itu di akui oleh semua

orang dan Syafi‟i Ma‟arif sendiri sering melihat betapa hormatnya masyarakat

kepada ayahnya, masyarakat yang datang selalu sopan kepada ayahnya.24

Ayah Syafi‟i Ma‟arif bersaudara seayah-seibu (Abd Rauf dan Bilam)

berjumlah tujuh; Ma‟rifah, Karimah, Siti Daiyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin

Rauf dan Ahmad. Karimah dan Ahmad sudah wafat disaat umurnya masih muda,

Saidina Hasan wafat di rumah sakit Sawah Lunto dalam usia sekitar 32 tahun.

Sedangkan ayah Syafi‟i Ma‟arif wafat pada 5 Oktober 1995, dimakamkan di Tapi

Selo, tanah persukuan orang Melayu.25

Sementara ibu Ma‟arif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun

1905 dan beliau wafat waktu Syafi‟i Ma‟rif berusia 18 bulan. Ahmad Syafi‟i

23

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,

xi) 24

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hal 5 25

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009), hal 66

Page 25: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

17

Ma‟arif tidak bisa membayangkan wajah dan senyum ibunya. Ahmad Syafi‟i

Ma‟arif tidak pernah melihat foto ibunya, ini menjadi sulit baginya untuk

membayangkan wajah ibunya. Ibunya wafat pada usia sekitar 32 tahun. Banyak

orang yang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafi‟i Ma‟arif tidak

pernah mengenal wajah ibunya.26

Setelah ibunya meninggal Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dititipkan pada bibinya

Bainah (dipanggil etek), sekitar 500 meter dari tempat kelahirannya. Ayah Syafi‟i

Ma‟arif tampakya sengaja menitipkan anaknya dirumah adiknya sendiri agar

dapat diawasi dari dekat sebelum pergi merantau, selama 16 tahun Ma‟arif hidup

bersama bibi dan pamannya.27

Ibunya adalah seorang penunggang kuda menempuh perjalanan jauh.

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menceritakan “selagi sehat kabarnya ibuku kalau

bepergian biasa naik kuda dengan memakai selendang sarung bugis yang

diselempangkan dibahunya, suatu kebiasaan yang tidak lazim dikampungnya.

Sebagai isteri yang terkemuka ditingkat nagari masyarakat dapat memakluminya.

Alangkah anggunnya ibuku berada di atas punggung kuda”.28

Budaya perempuan naik kuda, berarti bahwa posisi perempuan di

kampung Syafi‟i Ma‟arif terhormat, tidak kalah juga dengan kaum pria dan

sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilineal, kaum perempuan secara teori

26

Jurnal Fajrul Amalia Arrohmawati, Pemikiran Pendidikan Pluralisme Keagamaan

Ahmad Syafi’i Ma’arif, (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2017) hal

22 27

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar di Perjalanan, Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 72-73 28

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan, Autobografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 73

Page 26: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

18

mempunyai posisi yang dominan. Ibu Syafi‟i Ma‟arif bukanlah manusia yang

kolot pada saat Indonesia berada dibawah sistem penjajahan.29

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menikah pada tanggal 5 Februari tahun 1965

dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Ma‟arif menikah dirumah mertuanya

(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan mendahiling dalam sebuah

acara sederhana. Pada saat menikah umur Syafi‟i Ma‟arif sudah berumur 30

tahun. Perbedaan usia Nurkhalifah dengan Ma‟arif cukup jauh berbeda 9 tahun.

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya bernama

Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Tetapi sayangnya,

Salman meninggal diusianya kurang sedikit 20 bulan, setelah sakit beberapa lama

di Padang.

Dengan meninggalnya Salman, Buya Syafi‟i sangat terpukul batinnya,

seperti yang diungkapkannya sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah

sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan ppahit yang harus dijjalani. Hanya iman

yang menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidak stabilan jiwa. Pada

November tahun 1968 lahir anak kedua yang bernama Iwan dan ia juga wafat

pada Oktober tahun 1973. Selanjutnya lahir anak ketiga Syafi‟i Ma‟arif yang

bernama Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2,20 kg

pada 25 Maret 1974. Dalam perjalanan waktu kewaktu yang sepanjang itu,

29

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan, Autobografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 75

Page 27: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

19

melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata ucapan syukur.

Rasa syukur yang merupakan perekat rumah tangganya.30

Keluarga kecil yang hanya beranggotakan tiga orang, yaitu Buya, ibu Hj.

Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz. Hubungan mereka dikatakan tetap relative

demokrasi dan liberal, dimana one person-one voice, yakni kami bertiga

mempunyai suara yang argument, malah ada di saat tertentu terjadi debat kusir

yang tidak ada ujungnya, namun opini pribadi tetap dihargai.31

Panggilan Nurkhalifah terhadaap Ahmad Syafi‟i Ma‟arif yaitu dengan

sebutan Kak Oncu, dimana sebutan tersebut adalah kebiasaan anak nagari Sumpur

Kudus memanggil suaminya berdasarkan urutan kelahiran di kalangan

keluarganya. Kak Oncu adalah anak bungsu dari empat bersaudara seayah seibu.

Namun sekarang ia tinggal sendiri, sementara saudara-saudara kandungnya yang

lain telah wafat. Sedangkan saudara seayah lebih banyak dari dua saudara seibu

yang lain.32

Sewaktu kecil tidak ada keinginan untuk meraih cita-cita yang tinggi, tidak

ada angan-angan untuk menjadi apa atau siapa karena memang lingkungan nagari

yang sempit dan sederhana. Semasa kecil Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, kota belum ada

dikampungnya, karena belum ada televisi dikampungnya dan wawasan Syafi‟i

pun hanyalah sebatas Nagari Sumpur Kudus. Sehari-hari Syafi‟i Ma‟arif bergaul

30

Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i

Ma’arif: cermin untuk semua, (Jakarta: MA‟AARIF Inastitute for Culture and Humanity, 2005)

hal 4 31

Karya Ilmiah Dewi Rahma Yuli, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam dan

Pancasila Sebaagai Dasar Negara, (Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri, 2019) hal 36

(Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i Ma’arif: cermin

untuk semua ,…, hal 8) 32

Karya Ilmiah Dewi Rahma Yuli, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam dan

Pancasila Sebaagai Dasar Negara, (Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri, 2019) hal 36

Page 28: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

20

dengan teman-teman sekampungnya, mengadu ayam, mengail, menjala,

menembak burung dengan senapan angin milik abangnya dan mengembala sapi di

Sumpur Kudus.33

Sumpur Kudus tidak saja dikenal karena Rajo Ibadatnya sebagai petinggi

agama, tetapi dahulunya juga sebagai kawasan perdagangan emas dan kopi. Aku

tidak tahu di mana lokasi tambang emas pada masa itu, sebab bekasnya tidak

ditemukan lagi. Mungkin saja terletak di nagari lain di sekitar Sumpur Kudus.

Ada memang nama kampung Tombang (Tambang?) dalam kenagarian Sumpur

Kudus. Apakah di sekitar tempat ini dahulu terdapat tambang emas, sangat sulit

disimpulkan. Semuanya sekarang telah berubah sejalan dengan bergulirnya waktu

dalam rentang waktu yang panjang. Kalau kopi tentu tidak sulit ditelusuri karena

sampai hari ini masih ada masyarakat menanamnya. Tanaman kopi dan lada

adalah komoditas yang dapat diperbarui terus menerus, sedangkan emas jika

sudah habis, ya habis, tidak dapat diperbaharui lagi.34

Sumpur Kudus itu sendiri di samping nama nagari, juga nama kecamatan

di era modern. Sungainya pun bernama Batang Sumpur tanpa dilengkapi dengan

Kudus. Tepian pemandian Syafi‟i M‟arif di kala kecil ya sungai ini, persis seperti

anak-anak kampung yang lain. Batang Sumpur mengalir dari utara ke selatan

menuju Sisawah dan Padang Lawas. Pertemuan Batang Sumpur dengan Batang

Sinamar disebut juga Muara Sumpur (dalam bahasa Minang: Muaro Sumpu).35

33

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 3 34

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 30 35

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar Perjalananku: Autoboigrafi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009) hal 34

Page 29: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

21

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sering dipanggil “Buya” oleh orang yang dekat

dengannya. Istilah Buya diucapkan kepada Syafi‟i Ma‟arif karena pantas

menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang alim dan

juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuan atau cendikiawan. Ahmad Syafi‟i

Ma‟arif lahir dari pasangan Ma‟rifah Rauf dan Fathiyah yang berprofesi sebagai

pedagang gambir dan karet kemudian menjadi kepala Nagari (1936-1945) Sumpur

Kudus.

Sumpur Kudus juga disebut dengan “Makkah Darat”, secara kultural

sebutan itu menunjukkan sebuah gerak perlawanan Islam terhadap kultur jahiliyah

yang dikuasai para parewa (preman). Penamaan Sumpur Kudus (sempurna suci)

sebagai Makkah Darat sekaligus menunjukkan keberhasilan Islam menundukkan

hati manusia Sumpr Kudus.36

Dapat dipahami, ia lahir di tengah kultur dan

dinamika keislaman yang kental itu. Makkah Darat merupakan pusat gerakan dan

kajian Islam yang jauh dari pantai (Barat dan Timur). Istilah “adat nan manurun,

syarak nan mandaki” harus dilihat dari gerak adat dari tempat yang tinggi dari

Pariangan Padang Panjang di lereng Gunung Merapi. Syarak mendaki dari dataran

rendah pantai timur dan dari Ulakan di pantai Barat menuju tempat yang tinggi.

Gerak turun dan mendaki inilah kemudian melahirkan formula strategi bersendi

kitabullah”, dan “syarak mengata adat memakai” (syarak mengato adaik

36

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 84 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-titik Kisar,

viii)

Page 30: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

22

mamakai, dalam bahasa Minang), sekalipun masih banyak unsur adat itu yang

berlawanan dengan agama.37

Selain kaya akan nilai-nilai tradisi, Sumpur Kudus juga merupakan pusat

perdagangan emas dan kopi. Dua barang dagangan itu bukan hanya menjadi

kebanggaan masyarakat, tapi juga menjadi barang ekspor ke luar negeri. Emas dan

kopi tersebut dibawa ke Singapura via Riau, untuk kemudian dikirim ke Eropa.

Situasi seperti itu juga ditegaskan Christine E. Dobbin tentang kemajuan Sumpur

Kudus. Hubungan antara Sumpur Kudus dengan dunia luar merupakan sebuah

bukti bahwa daerah ini terbuka dengan berbagai kultur lain. Sebagai sebuah pusat

dagang, tentunya daerah tersebut merupakan tempat bertemunya para pendatang

dengan latar belakang kultur yang majemuk. Latar belakang budaya yang kaya,

kultur keislaman yang kental dan dinamika masyarakat yang tinggi adalah nilai

lebih tersendiri bagi terbangunnya watak yang religious, egaliter dan mandiri.

Seperti diakui oleh Syafi‟i Ma‟arif, latar belakang potensi tersebut begitu

membekas dalam pengembangan kepribadiannya.38

B. Pendidikan dan Aktifitas Sosial Ahmad Syafi’i Ma’arif

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif akhir-akhir ini mendapat julukan “Buya Syafi‟i”

merupakan salah satu tokoh senior dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia.

Masa lalu Syafi‟i memang penuh gelombang pasang surut. Masa sekolahnya bisa

dibilang banyak menemui kesulitan. Ketika akan masuk SMA Muhammadiyah di

37

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,

hal 8 38

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019), hal 85 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar,

hal 17

Page 31: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

23

Yogyakarta, Syafi‟i ditolak karena asal SMP-nya dari Desa Lintau di Sumatera

Barat, yang dianggap tidak bermutu. Ia lalu mendaftar ke Madrasah Muallimin

Muhammadiyah di kota yang sama. Mulanya, suami Nurkholifah ini juga ditolak

karena tidak lulus tes. “Tapi, karena pertimbangan waktu saya berasal dari desa,

saya diterima juga”, kenang Syafi‟i.39

Di sekolah yang mencetak kader-kader da‟i Muhammadiyah itu, nilai

rapor Syafi‟i selalu bagus dan selalu mendapat peringkat satu. Setelah lulus, ahli

sejarah ini sempat terdaftar di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, sebelum masuk

Fakultas Hukum Universitas Islam HOS Cokroaminoto Surakarta dan akhirnya

pindah ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Sejarah IKIP

Yogyakarta. “Saya mengulang lagi dari semester satu”, katanya. Alasan pindah,

Syafi‟i butuh jadwal studi yang tidak teratur karena ia harus mengajar di tempat

sejauh 50 kilometer. Jadwal studi di IKIP memungkinkannya mengatur waktu,

meski semuanya harus dibayar mahal. “Saya lulus sarjana ketika umur sudah tua,

29 tahun”, aku Syafi‟i, yang pernah jadi dosen tamu di McGill University,

Kanada.40

Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia ini lantas mengambil S2 di

Illinois, Amerika, begitu lulus dari IKIP. Tapi anak laki-lakinya meninggal

menyebabkan ia meninggalkan kuliah untuk gelar masternya dan kembali ke

tanah air. Di Indonesia Syafi‟i mengajar beberapa tahun sebelum memutuskan

kembali ke Amerika dan mengambil kuliah di Jurusan Sejarah, Ohio University,

39

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

81-82 40

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

82

Page 32: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

24

Athens, Ohio. Belum lagi rampung, ia juga mengambil S3 Pemikiran Islam,

Universitas Chicago, di Amerika. “Amien Rais yang mengurus semua”, Syafi‟i

menjelaskan. Di sanalah ia meraih gelar doctor pada tahun 1982, dengan disertai

Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in

the Constituent Assembly Debates in Indonesia.41

Sejak di Chicago itulah Syafi‟i mulai kuliah di bawah bimbingan Fazlur

Rahman, seorang pembaru Islam dari Mesir, yang dianggapnya banyak

memberikan pencerahan, termasuk dalam memahami Al-Qur‟an. “Saya betah di

sana, karena cocok dengan dunia intelektualitas saya”, kenang si anak desa yang

pernah bercita-cita hanya ingin menjadi penceramah di podium ini.42

Meski sejak kecil sudah mengenal Muhammadiyah, Syafi‟i baru benar-

benar menjadi pengurus organisasi Islam itu sepulang dari Chicago. Waktu itu,

tahun 1985, ia diajak masuk ke Majelis Tabligh Muhammadiyah, sampai akhirnya

“gelombang” mengempaskannya menjadi Ketua PP Muhammadiyah pada tahun

1998. Jabatan ketua itu, sebenarnya juga bukan tiba-tiba diraih Syafi‟i. dalam

beberapa kali muktamar organisasi keagamaan tersebut, ia setidakknya sudah dua

kali masuk bursa ketua. “ Muktamar di Solo saya masuk calon nomor dua belas

dan di Banda Aceh nomor tiga”, ujar Syafi‟i. Baru pada muktamar di Jakarta, ia

terpilih sebagai ketua PP.43

41

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

82-83 42

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

83 43

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

83

Page 33: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

25

Kesan yang diperoleh Syafi‟i Ma‟arif dalam menjalankan tugas sebagai

ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatan adalah:44

1. Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas.

Namun jika parlemen yang digunakan adalah cita-cita Al-Qur‟an untuk

menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah

masih berada di awal jalan, suasana sepeti ini memang memprihatinkan.

Untuk bergerak kesana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa

dengan pimpinan pemerintahan yang juga harus bermoral.

2. Pada sisi lain Syafi‟i Ma‟arif menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan

dikerjakan Muhammadiyah barulah sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran,

sementara jenis ijtihad di luar itu sebelum disentuh banyak oleh

Muhammadiyah.

3. Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya

sebagai gerakan Islam, gerakan da‟wah amar ma‟ruf nahi mungkar. Rumusan

semacam ini mengisyaratkan tanggung jawab yang sangat besar, sementara

energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial

kemasyarakatan.

4. Dalam berbagai forum Syafi‟i Ma‟arif sering mengatakan bahwa dalam

bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah pembantu

pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang.

44

M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Citra Tajdid dan Realitas Sosial, (Jakarta:

Uhamka Press, 2005) hal 72

Page 34: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

26

5. Muhammadiyah belum mampu menawarkan sistem alternatif, baik untuk

pendidikan maupun dalam bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan

perhatian khusus.

Soal keterkaitannya pada Muhammadiyah, pria yang pernah menyukai

Darul Islam ini mengaku selain karena terbuka organisasi yang didirikan oleh KH.

Ahmad Dahlan itu juga mengajarkan orang tidak menjadi pengikut yang membabi

buta. Ajaran dan sikap ini pas dengan lelaki yang suka menjadi tukang potong

sapi dan kambing saat hari raya Qurban itu. “Pertama kali yang mencerahkan otak

saya adalah Muhammadiyah”, tukas Syafi‟i.45

Ahmad Syafi‟i Maarif merupakan sosok unik yang dimiliki oleh

Muhammadiyah. Meskipun Muhammadiyah bukan merupakan organisasi yang

memberikan perhatian serius dalam hal perkembangan pemikiran Islam

menyangkut pluralisme, dialog antar agama, dan apalagi sekularisme yang

menjadi perdebatan di kalangan intelektual muslim Indonesia. Namun Syafi‟i

Maarif merupakan figur Muhammadiyah yang terkadang dipersoalkan terkait

pemikiran-pemikirannya yang dianggap tidak sejalan dengan Muhammadiyah.46

Kini selain guru besar IKIP Yogyakarta, ia juga rajin menulis, disamping

menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah

masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu, ia

juga menuangkan pikirannya dalam bentuk beku. Bukunya yang sudah terbit,

antara lain, berjudul “Dinamika Islam” dan “Islam, Mengapa Tidak?”, kedua-

45

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

83 46

Ejurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad

Syafi’i Ma’arif di Indonesia, (Universitas Isalam Negeri Walisongo Semarang, 2018) hal 22

Page 35: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

27

duanya diterbitkan oleh Ahalahuddin Press, 1984. Kemudian “Islam dan Masalah

Kenegaraan,” yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985 dan banyak lagi.

Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Syafi‟i

Ma‟arif, selain menjalankan aktivitasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah,

anggota Dewan Pertimbangan Agung dan staf pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak

heran kalau Buya Syafi‟i Ma‟arif juga fasih menyitir ungkapan yang berharga dari

kalangan ilmuan, dan juga kaya dalam ungkapan-ungkapan puitis yang bermakna

cukup mendalam. Bahwa keterlibatan Buya Syafi‟i Ma‟arif sebagai Ketua Umum

Muhammadiyah merupakan sebuah keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan

reformasi sedang bergulir di Indonesia dan Amien Rais sebagai salah satu

lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus melibatkan

diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda reformasi secara praktis,

maka sebagai nakhoda pengganti Buya Syafi‟i Ma‟arif sadar bahwa pada saat itu

pula Muhammadiyah seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke

haluan utamanya agar tidak terseret-seret oleh tarikan arus pergumulan politik

praktis dan kepentingan jangka pendek.47

Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam

Muktamar ke-44 (2000) yang berlangsung di Jakarta, Buya Syafi‟i Ma‟arif

kemudian mengemudikan perannya dalam mendinamisasi Muhammadiyah agar

dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan cita-cita pencerahan

yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan sebagai dasar

filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam

47

Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005)

Page 36: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

28

aktualisasi gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju kebangkitan

intelektual di kalangan Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari

bahwa keilmuan dan keislaman adalah semangat inti segala gerak

Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya intelektualitas adalah pintu

gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara kaffah, dan

AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru

kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.48

Adapun karir-karir Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, yaitu49

guru bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia SMP di Baturetno, Surakarta (1959-1963), guru bahasa Inggris

dan bahasa Indonesia SMA Islam Surakarta (1963-1964), dosen Sejarah dan

Kebudayaan Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1964-1969), dosen

IKIP Yogyakarta (1967-1969), asisten dosen paruh waktu Sejarah dan

Kebudayaan Islam di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1969-1972),

asisten Dosen Sejarah Asia Tenggara IKIP Yogyakarta (1969-1972), dosen paruh

waktu Sejarah Asia Barat Daya IKIP Yogyakarta (1973-1976), dosen senior

Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1983-1990), profesor tamu di University of

lowa, AS (1986), dosen senior (paruh waktu) Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN

Kalijaga, Yogyakarta (1983-1990), dosen senior (paruh waktu) di UII Yogyakarta

(1984-1990), dosen senior (paruh waktu) Sejarah Ideologi Politik Pasca Sarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta (1987-1990), dosen senior (pensyarah kanan)

di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1994), dosen senior Filsafat Sejarah

IKIP Yogyakarta (1992-1993), profesor tamu di McGill University, Kanada

48

Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005) 49

Budi Handrianto, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, (Jakarta: Hujjah Press, 2007) hal

80-81

Page 37: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

29

(1992-1994), profesor Filsafat Sejarah IKIP Yogyakarta (1996-sekarang), wakil

ketua PP Muhammadiyah (1995-Agustus 1998) dan ketua PP Muhammadiyah

(September 1998-2005)

C. Karya-karya Ahmad Syafi’i Ma’arif

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif termasuk tokoh produktif yang telah melahirkan

berbagai tulisan.50

Secara garis besar, gagasan-gagasannya dapat dikelompokkan

ke dalam beberapa persoalan: Pertama, persoalan global. Kedua, persoalan

nasional. Dari persoalan global dan persoalan nasional tersebut, isu yang menjadi

focus pemikirannya adalah tentang “Keislaman”, “keindonesiaan”,

“kemanusiaan”. Rekaman pemikiran Syafi‟i Ma‟arif dapat dilacak lewat buku-

buku yang ia tulis. Buku-buku itu penulis kelompokkan ke dalam beberapa

bagian: Pertama, buku utuh. Pemaparan yang dikemukakan dalam buku ini

bersifat komprehensif. Kedua, buku semi utuh. Buku ini merupakan kumpulan

makalah ilmiah yang ia tulis untuk berbagai seminar. Ketiga, buku popular. Buku

ini berisi kumpulan tulisan tetap maupun lepas di berbagai media massa.

Keempat, naskah khutbah Jum‟at yang kemudian ditranskipkan dan dijadikan

sebuah buku. Berbagai pemikirannya yang lain juga dapat dilacak melalui tulisan-

tulisan dan berbagai wawancara yang belum diedit dan ditranskripkan.

Beberapa buku-bukunya telah diterbitkan oleh penerbit terkenal sampai

sekarang, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif telah menghasilkan berbagai karyanya dengan

segudang produk pemikiran dan langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil

dari sebuah proses yang panjang dan berliku. Kesulitan dan tantangan hidup telah

50

Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993)

hal 5

Page 38: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

30

di tuangkan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Diantara karya-

karya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif adalah sebagai berikut:51

1. Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan

Zionisme.52 Karya ini merupakan buku utuh yang dihasilkan dari interaksi

antara Syafi‟i Ma‟arif dengan Gilad Atzmon, seorang Yahudi yang anti

zionisme, melalui dunia maya (internet). Dalam buku ini, Syafi‟i Ma‟arif

menempatkan Atzmon sebagai pejuang kemanusiaan. Alasan yang mendasari

prediket itu didapat dari fakta bahwa Atzmon memberikan kritik-kritik yang

cukup tajam kepada Negara Israel. Hal yang cukup mengejutkan bahwa

Atzmon menyebut Negara Israel dibangun di atas berbagai pelanggaran

kemanusiaan. Buku ini juga menunjukkan bahwa tidak semua orang Yahudi

setuju dengan politik luar negeri yang dipraktikkan Israel. Poin yang termasuk

penting dalam buku ini terletak pada penempatan istilah Yahudi, Israel, dan

Zionisme secara proporsional. Tidak semua Yahudi itu Israel dan tidak semua

masyarakat Israel setuju dengan gerakan Zionisme. Zionisme adalah sebuah

gerakan politik dalam jumlah yang kecil namun memiliki kekuasaan.

2. Al-Qur’an dan Realitas Umat.53

Karya ini merupakan buku popular yang

berasal dari berbagai tulisan di media masa lalu diedit dan dijadikan buku.

Dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa umat Islam pada tataran

51

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 96 52

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 96 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Gillad Atzmon:

Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme, (Bandung: Mizan dan Ma‟arif

Institute, 2012) 53

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 97 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al-Qur’an dan

Realitas Umat, (Jakarta: Republika, 2010)

Page 39: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

31

global saling merasa yang paling benar disbanding lainnya. Melihat kenyataan

ini, ia mengajak seluruh elemen umat Islam untuk mencari solusi dengan

kembali kepada Al-Qur‟an sehing ga Al-Qur‟an dapat berfungsi kembali

dalam memecahkan fundamental itu.

3. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi

Sejarah.54 Karya ini merupakan buku utuh yang penting. Syafi‟‟i Ma‟arif

menjelaskan keterkaitan antara keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Tentunya bagi penulis sendiri buku ini merupakan referensi utama berkenaan

dengan penelitian penulis.

4. Titik-Titik Kisar dalam Perajalananku: Otobiografi.55 Karya ini merupakan

buku komprehensif tentang perjalanan hidup Syafi‟i Ma‟arif, mulai dari lahir

sampai sekarang. Untuk memotret sosok Syafi‟i Ma‟arif yang sesungguhnya,

buku ini dapat dijadikan referensi utama. Meskipun terdapat unsur

subjektivitas, karena ditulis sendiri, namun buku itu penuh dengan masa

kejujuran. Ia tidak segan-segan memberikan kritik kepada diri dan

keluarganya. Dalam buku ini, Syafi‟i Ma‟arif juga mengemukakan

pandangan-pandangannya tentang realitas pluralisme agama. Di sinilah

persoalan penting yang terkandung dalam buku ini.

54

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 97 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam

Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009) 55

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar

dalam Perjalananku: Otobiografi,(Yogyakarta: Ombak, 2006)

Page 40: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

32

5. Tuhan Menyapa Kita.56 Karya ini tergolong buku semi utuh. Isinya merupakan

kumpulan makalah ilmiah dan beberapa tulisannya di berbagai media masa.

Dalam buku ini ia menjelaskan perlunya beragama yang menyapa

kemanusiaan. Agama (Islam) menurutnya harus turut serta menyelesaikan

nestapa yang diderita umat manusia.

6. Meluruskan Makna Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal.57 Karya ini

merupakan kumpulan khutbah Jum‟at. Dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif

menjelaskan makna Jihad yang sesungguhnya, jihad bukan diartikan dengan

qital (perang) saja, tapi juga membantu orang-orang yang membutuhkan.

Jihad yang disalah artikan akan melahirkan stigma bagi Islam, juga nestapa

bagi eksistensi manusia itu sendiri.

7. Menerobos Kemelut: Refleksi Cendekiawan Muslim.58 Karya ini termasuk

buku popular. Dalam buku ini ia memaparkan kondisi bangsa yang kian

terpuruk. Syafi‟i Ma‟arif mengajak berbagai lapisan bangsa untuk tetap

memelihara optimisme di tengah berbagai persoalan tersebut.

8. Menggugah Nurani Bangsa.59 Karya ini termasuk buku semi utuh. Dalam

buku ini Syafi‟i Ma‟arif mengajak berbagai elemen bangsa untuk bersama-

56

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Tuhan Menyapa

Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006) 57

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 98 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Meluruskan Makn

Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal, (Jakarta: CMM, 2005) 58

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Menerobos

Kememlut: Refleksi Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Grafindo, 2005) 59

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Menggugah

Nurani Bangsa, (Jakarta: Ma‟arif Institute, 2005)

Page 41: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

33

sama memperbaiki kondisi bangsa. Langkah-langkah mendasar untuk

memperbaiki kondisi bangsa ini mesti dimulai dari diri sendiri.

9. Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan.60 Karya ini termasuk buku semi

utuh. Buku ini menunjukkan kegalauan Syafi‟i Ma‟arif menatap kondisi

bangsa. Di antara persoalan menarik yang ia angkat adalah jauhnya bangsa

Indonesia dari pengalaman falsafah Negara yaitu Pancasila.

10. Masa Depan dalam Taruhan.61 Karya ini termasuk buku popular. Di dalam

buku ini Syafi‟i Ma‟arif mendorong setiap anak bangsa untuk berpikir kritis.

Ia juga menganjurkan agar kekuasaan yang sedang berlangsung (di bawah

Presiden Abdurrahhman Wahid (1940-2009), kala itu) harus tetap dikawal.

Agar kekuasaan yang dipegang seseorang tetap berpihak pada kepentingan

bersama.

11. Independensi Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan

Politik.62 Buku popular. Di dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa

Muhammadiyah selalu berhadapan dengan berbagai kepentingan politik yang

terkadang dilematis. Karenanya, Muhammadiyah harus tetap memantapkan

dirinya sebagai ormas Islam yang tidak berafiliasi dengan partai politik mana

pun.

60

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, Mencari

Autentisitas di Tengah Kegalauan, (Jakarta: PSAP, 2004) 61

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 99 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Masa Depan

Bangsa dalam Taruhan, (Ygyakarta: Pustaka SM, 2000) 62

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Independensi

Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, (Jakarta: Pustaka

Cidesindo, 2000)

Page 42: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

34

12. Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur.63 Karya ini

termasuk buku utuh. Di dalamnya Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa Ibnu

Khaldun sesungguhnya salah seorang dari ilmuwan Islam yang besar jasanya

dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Hal itu dapat dibuktikan dalam “ilm

al-umran” yang empiris dan sistematis. Khaldun, menurut Syafi‟‟i Ma‟arif,

dapat disejajarkan dengan Niccollo Machiavelli (1469-1527) dan August

Cmte (1798-1857)

13. Membumikan Islam.64 Karya ini termasuk buku popular. Dalam buku ini

Syafi‟i Ma‟arif mengulas tentang Tuhan, manusia, alam dan lain-lain. Ia juga

menegaskan bahwa Islam mesti dibawa secara real ke tengah-tengah

masyarakat agar menyentuh setiap sisi kehidupan. Dengan demikian Islam

akan dirasakan kehadirannya sekaligus manfaatnya oleh semua manusia.

14. Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1950-

1965).65 Buku ini menguraikan peta politik umat Islam yang sudah

memberikan kontribusi terhadap perkembangan Negara Indonesia, terutama di

masa demokrasi terpimpin secara komprehensif. Namun karena perbedaan visi

yang ada, akhirnya partai-partai Islam menjadi lemah. Partai Islam terpecah ke

dalam dua kelompok, yaitu: pertama, kritis dan kedua, pro pemerintah. Buku

63

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Ibnu Khaldun

dalam Pndangan Penulis Barat,(Jakarta: Gema Insani Pers, 1996) 64

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 100 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Membumikan

Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) 65

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam Politik di

Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1950-1965), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

Press, 1988)

Page 43: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

35

ini juga memotret sikap pragmatis partai-partai Islam dalam meraih

keuntungan.

15. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.66 Karya ini termasuk buku

popular. Di dalam buku ini Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan bahwa Islam sedang

mendapat tantangan dari peradaban Barat sekuler. Karena itu, Islam perlu

merumuskan berbagai strategi untuk mengahadapinya jika tidak ingin tergerus

peradaban itu.

16. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Peraturan dalam

Konstituante.67 Karya ini termasuk buku utuh yang berasal dari terjemahan

disertasinya. Buku ini mengulas perjuangan umat Islam dalam

memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara akhir tahun 50-an. Buku ini

merupakan optik yang salah digunakan oleh Syafi‟i Ma‟arif dalam

menganalisa sesuatu. Sosok sebagai kitab suci yang meliputi semua aspek

kehidupan.

17. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah.68 Karya ini buku popular.

Syafi‟i Ma‟arif menjelaskan posisi Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang meliputi

semua aspek kehidupan.

66

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Peta Bumi

Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993) 67

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 101 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan

Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985) 68

Muhammad Qorib, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret, 2019) hal 102 (Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Alquran,

Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, (Bandung: 1985)

Page 44: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

36

Beberapa buku yang ditulis Syafi‟i Ma‟arif tidak dapat dilacak, mengingat

karya-karya itu diterbitkan pada awal tahun 70-an dan 80-an. Beberapa buku

dimaksud adalah:

1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis

2. Dinamika Islam

3. Islam, Mengapa Tidak

4. Percik-Percik Pemikiran Iqbal

5. Aspirasi Umat Islam Indonesia

6. Duta Islam untuk Dunia Modern

7. Orientaslime dan Humanisme Sekular

Beberapa penghargaan baik nasional maupun internasional telah diraih

karena kiprahnya sebagai intelektual aktifvis dan dedikasinya terhadap

kemanusiaan. Pada tahun 2008, ia meraih Ramon Magsasay Award kategori

Perdamaian dan Pemahaman Internasional. Selain itu, ia juga pernah menerima

Hamengkubuwono IX Award kategori Multikulturalisme (2000), Habibie Award

(2010), IBF Award kategori Tokoh Perbukuan Islam (2011), Nabil Award (2013),

Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas (2013) dan UMM Award (2014).69

Di dunia Internasional, ia adalah Presiden World Conference on Religion

for Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika. Setelah menjabat ketua PP

Muhammadiyah, ia berkonsentrasi mencurahkan gagasan dan pikirannya untuk

69

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: PT

Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017) hal 311

Page 45: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

37

masalah-masalah bangsa. Tulisannya mengalir di berbagai forum seminar dan

media. Beberapa karya tulisnya antara lain, yaitu:70

1. Gerakan Komunis Vietnam

2. Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (2004)

3. Meluruskan Makna Jihad (2005)

4. Menerobos Kemelut (2005)

5. Menggugah Nurani Bangsa (2005)

6. Titik-tiki Kisar di Perjalananku (2006, diterbitkan ulang tahun 2009)

7. Tuhan Menyapa Kita (2006)

8. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009)

9. Gilad Atzmon: Catatan Kritikal tentang Palestina dan Masa Depan Zionisme

(2012)

10. Memoir Seorang Anak Kampung (2013)

Tulisan-tulisan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sampai sekarang masih tetap

mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika yang

bergantian dengan penulis lainnya. Dan tulisan yang beragam tidak hanya tentang

keislaman, tetapi juga mencakup tentang Islam dan Kemanusiaan. Ahmad Syafi‟i

Ma‟arif adalah salah satu dari sedikit cendikiawan Muslim Indonesia yang secara

serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisannya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk mengatasinya, kepada semua

anak bangsa.

70

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: PT

Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017) hal 311-312

Page 46: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

39

BAB III

PENDAPAT PEMUKA AGAMA ISLAM INDONESIA TENTANG

PLURALISME AGAMA

A. Pengertian Pluralisme Agama

Secara etimologis pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu

“pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al ta’addudiyah

al-diniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religions pluralism”.71

Oleh karena itu

istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka untuk

mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut.72

Pluralisme berarti “jamak” atau lebih dari satu. Dalam bahasa Inggris mempunyai

tiga pengertian, yaitu:

1. Pengertian Kegerejaan

a. Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam

struktur kegerejaan

b. Memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat

kegerejaan maupun non kegerejaan

2. Pengertian Filosofis

Berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran

yang mendasar yang lebih dari satu.

71

“Pluralisme” dalam the Shorter Oxford English on Historical Principles, revised and

edited by C.T Onions (Oxford: The Clarendon Press, 1993 dikutip dari Dr. Anis Malik Thoha,

“Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis” Jakarta: p erspektif Cet. Ketiga, hal 12 72

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 11

Page 47: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

40

3. Pengertian Sosio Politis

Adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok,

baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan menjunjung tinggi

aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok

tersebut.73

Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu

makna dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik

masing-masing.74

Ada dua istilah yang perlu dicermati dalam pembicaraan pluralisme.

Pertama, pluralitas agama. Kedua, pluralisme agama. Pluralitas agama adalah

kondisi dimana berbagai makna agama hadir secara bersamaan dalam satu

masyarakat atau Negara. Sedangkan pluralisme agama adalah suatu paham atas

kebenaran suatu agama. Pluralitas agama muncul disebabkan latar belakang

pribadi dan kelompok kalangan umat itu yang telah hadir sejak dahulu.

Menyamakan semua agama mempunyai eksklusifitasnya, sekalipun masing-

masing agama punya titik temu pada orientasi akhir yaitu kebahagiaan.75

Pluralisme memiliki banyak pengertian, bahkan ada banyak ahli yang

mendefinisikan sendiri apa itu pluralisme. Di Indonesia sikap pluralisme sangat

penting, karena Indonesia terdiri dari keberagaman ras, suku, agama, hingga

73

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 12 (“Pluralisme” dalam The Shorter Oxford English Dictionary on Historical

Principles, revised and edited by C.T. Onions (Ox ford: The Clarendon Press, 190.

74

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif

Cet.ketiga, 2007)haal 12 75

Tulisan Helfi, Kritik Pluralisme Dalam Masyarakat Majemuk Antara Pemikir dan

Mufassir, (H Helfi-ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam, 2018) hal 102 (Soejono Sukanto,

Kamus Sosiologi Ediai Baru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) hal 377

Page 48: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

41

sosial, sehingga pluralisme sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Berikut ini

beberapa pendapat para ahli mengenai pluralisme agama, yaitu:76

Menurut Abdul Aziz Sachedina pluralisme agama di dasarkan pada

hubungan antara keimanan personal dan proyeksi publiknya dalam masyarakat.

Sikap Al-Qur‟an pada keimanan personal adalah nonintervensionis. Sebagaimana

hak asasi manusia, setiap orang tidak diperkenankan menggunakan otoritasnya

mengganggu keyakinan batin individu lain. Sikap terkait proyeksi publik

keimanan adalah koeksistensi, yaitu kesediaan bagi mayoritas muslim untuk

memberikan kebebasan bagi umat beragama lain menjalankan aturan mereka atau

hidup berdampingan dengan umat Islam.77

Menurut Diana L. Eck (1999), pluralisme itu bukanlah sebuah paham

bahwa agama itu semua sama. Menurutnya bahwa agama-agama itu tetap berbeda

pada dataran simbol, namun pada dataran substansi memang setara. Jadi yang

membedakan agama-agama hanyalah (jalan) atau syariat. Sedangkan secara

substansial semuanya setara untuk menuju pada kebenaran yang transcendental

itu.78

Menurut Hick berpendapat bahwa pluralisme agama merupakan sebuah

gagasan yang mengajarkan bahwa Tuhan sebagai pusat, dikelilingi oleh sejumlah

agama. Setiap kelompok mendekati Tuhan dengan cara masing-masing. Konsepsi

nasr tentang Islam pluralis, juga didasarkan pada pemahaman bahwa pada

76

Ibid 77

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 61 (Abdulaziz

Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, (Jakarta:

Serambi, 2002) hal 51 78

Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para Ahli, 2016

Page 49: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

42

dasarnya setiap agama terstrukturisasi dari dua hal, yakni perumusan iman dan

pengalaman iman.79

Sementara itu definisi pluralisme agama menurut para pemikir muslim

diantaranya, menurut M. Rasjidi menurutnya pluralisme agama sebatas sebagai

realitas sosiologis, bahwa pada kenyataannya masyarakat memang plural. Namun

demikian pengakuan terhadap realitas kemajemukan ini tidak berarti memberikan

pengakuan terhadap kebenaran teologis agama-agama lain. Mukti Ali dan Alwi

Shihab berpendapat pluralisme agama tidak sekedar memberikan pengakuan

terhadap eksistensi agama-agama lain, namun sebagai dasar membangun sikap

menghargai dan membangun keharmonisan antar umat beragama. Dalam konteks

ini, kedua pemikir tersebut berada pada wilayah agree in disagreement (setuju

dalam perbedaan). Dengan demikian mereka meyakini kebenaran agamanya

sendiri, namun memperselisihkan orang lain juga meyakini kebenaran agama

yang dianut.80

B. Sejarah Perkembangan Pluralisme Agama

Dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan bagian tak

terpisahkan dari spektrum sejarah lokal-geografis, politik, kultur serta sosio-

religius termasuk dinamika pemikiran Eropa pada fase pencerahannya

(enlightment periode) di abad ke-18 M. Masa ini menjadi titik tolak perubahan

fundamental dalam sejarah pemikiran manusia secara global. Ditandai dengan

dominasi dan pemujaan terhadap akal pikiran manusia, serta berlepas diri dari

79

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 18-19 Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para

Ahli, 2016 80

http:fahmaaddini.blogspot.com/2016/12/definisi-pluralisme-agama-menurut-

para.html?m=1 dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 15:06

Page 50: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

43

berbagai belenggu dogma keagamaan (Gereja) kecuali yang selaras dengan akal

dan pikiran tersebut ataupun yang dapat dibuktikan secara eksperimental

(scientific). Fakta sejarah tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak

kulminasi dari “perseteruan” antara gereja Kristiani yang begitu otoriter dan

absolut dengan tantangan-tantangan kehidupan faktual (terutama dalam

perkembangan ilmu dan pengetahuan yang begitu pesat) yang sedang dihadapi

bangsa Eropa, yang akhirnya melahirkan “liberalisme”, sebuah aliran baru dalam

wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi, persamaan dan

pluralisme.81

Meskipun hembusan angin pluralisme telah mulai mewarnai Eropa pada

masa itu, namun masih belum kuat mengukur dalam kultur masyarakatnya.

Beberapa sekte Kristen ternyata masih mengalami perlakuan diskriminatif dari

gereja, sebagaimana yang dialami oleh sekte Mormon yang tetap tidak diakui oleh

gereja karena dianggap gerakan heterodox, sampai akhir abad 19 ketika muncul

protes keras dari presiden Amerika Serikat Grover Cleveland (1837-1908). Begitu

juga doktrin eksklusivisme gereja juga tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik,

hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an abad ke-

20 yang mendeklarasikan doktrin inklusivisme bahkan bagi agama-agama selain

Kristen.82

Ketika memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah semakin

kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Tokoh yang tercatat

pada barisan pemula muncul dengan gigih mengedepankan gagasan ini adalah

81

Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung

Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 108 82

Ibid hal 18

Page 51: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

44

seorang teolog Kristen Liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah

makalahnya yang berjudul The Place of Christianity among the World Religions

(Posisi Agama Kristen diantara Agama-agama Dunia) yang disampaikan dalam

sebuah kuliah di Universitas Oxford menjelang wafatnya pada tahun 1923.83

Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentative bahwa

dalam semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan

tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran dan tidak satu agama pun yang

memiliki kebenaran mutlak,84

konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan

tidak hanya satu.85

Mengikuti jejak Troeltsch, William E. Hocking dalam bukunya

Rethinking Mission pada tahun 1923, dan yang berikutnya Living Religions and A

World Faith, dengan tanpa ragu-ragu telah memprediksi munculnya model

keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan

global.86

Sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), juga menyusul

kemudian dengan gagasan yang kurang lebih sama dengan pemikiran Troeltsch,

83

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 18 (Makalah „The Place of Christianity among the World Religions‟

diterbitkan bersama dengan makalah-makalah lain dalam sebuah buku yang diedit oleh John Hick

dan Brian Hebblethwaite, Christianity and Other Religions. Lihat Hick, John, dan Hebblethwaite,

Brian, (cds.), op, cip..,hal 11-31) 84

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 18 (Ibid hal 18) 85

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 18 (Ibid hal 31) 86

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Parrinder, Goffrey, Comparative Religions (London: Sheldon Press, 1962)

hal 50)

Page 52: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

45

dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956)87

dan Christianity

and World Religions (1957).88

Karya-karya tersebut di atas mencerminkan suatu fase pemikiran

pluralisme agama yang masih dalam tahap fermentasi dan pembentukan wacana.

Gagasan tersebut kemudian kelihatan semakin berkembang dalam pemikiran

teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith.89

Dalam karyanya

Towards A World Theology (1981) Smith mencoba meyakinkan perlunya

menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan

bersama (commond ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan

bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut merupakan

akhir pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya

The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth

(1967).

Selama dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu, gagasan pluralisme

agama telah mencapai fase kematangannya, dan pada gilirannya, menjadi sebuah

diskursus pemikiran tersendiri pada dataran teologi modern. Fenomena sosial

politik akhir abad 20 ini juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar

agama yang lebih nampak sebagai penjabaran kalau bukan dampak dari gagasan

pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoretis, pluralisme agama, pada masa ini

87

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Toynbee, Arnold, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxfird

University Press, 1956) Reprinted 1957) 88

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Aslan, Adnan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy:

The Thought of John Hick and Scyyed Hossein Nasr (Surrey: Curzon Press, 1998) hal xii) 89

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Lahir di Toronto tahun 1919, pernah melakukan muhibah kenegeri-negeri

Islam, seperti Mesir dan Lahore)

Page 53: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

46

telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan konsepsi yang

lebih diterima oleh kalangan antar agama. John Hick90

telah merekonstruksi

landasan-landasan teoretis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi

sebuah teori yang baku dan popular yang sangat kental melekat dengan

namanya.91

Dalam bukunya An Interpretation of Religion: Human Responses to

the Transcendent yang diangkat dari serial kuliahnya, yaitu Gifford Lecture pada

tahun 1986-1987, merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran yang ia

tuangkan dalam karya-karya sebelumnya.92

Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama masih

merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis

yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif

baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia

Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama

dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia

Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda muslim

untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka

dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.

90

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (John Hick lahir di Yorkshire taahun 1922, pernah melakukan muhibah ke

Negara-negeri Islam, seperti Mesir) 91

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Nampaknya John Hick merupakan satu-satunya teolog modern yang

memberikan perhatian terhadap masalah pluralisme agama sedemikian mendalam. Ia telah

menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang masalah pluralisme agama ini ke dalam karya-

karyanya yang mencapai lebih dari 30 buku atau makalah yang kesemuanya mengupas masalah ini

secara teliti). 92

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 20 (Buku terakhir John Hick yang sempat saya ketahui adalah The Fifth

Dimension (Oxford: One world, 1999)

Page 54: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

47

Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan

menyusup kewacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik

Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abbdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon

(Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat erat dengan pemikiran dan

gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana

pluralisme agama di kalangan Islam.

Barangkali Seyyed Jhossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi‟ah moderat,

merupakan tokoh yang bisa dianggap bisa bertanggung jawab dalam

mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional suatu

prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah caliber dunia

yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti

Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.

Untuk memahami pluralisme agama, perlu ditelusuri sejarahnya, paling

kurang sejak awal abad ke-20. Ketika itu seorang teolog Kristen Jerman bernama

Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah

berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Dalam

artikelnya berjudul “The Place of Chritianity among the Word Relegions”, ia

menyatakan, umat Kristiani tidak berhak mengklaim paling benar sendiri.93

Pendapat senada banyak dilontarkan sejumlah pemikir dan teolog Kristen antara

lain, seperti William E. Hocking dan sejarawan terkenal Arnpld Toynbee. Oleh

karena itu gerakan ini dapat dikatakan sebagai “liberalisasi agama Kristen” yang

93

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 (Paham pluralisme agama menurut Frans

Magnis Suseno, dalam bukunya “Menjadi Saksi Kr istus di Tengah Masyarakat Majemuk”,

(Jakarta: Obor, 2004)

Page 55: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

48

telah dirintis dan diasaskan oleh tokoh Protestan liberal Friedrich Schleiremacher

pada sekitar abad pertengahan ke-19 lewat pergerakannya yang dikenal dengan

“Liberal Protestantism”. Konflik internal Kristen yang hebat ketika itu sampai

mendorong Presiden AS, Grover Cleveland, turun tangan untuk mengakhiri

perang antar aliran tersebut. Pada awal abad ke-20 juga mulai bermunculan

bermacam-macam aliran fundamentalis Kristen di Amerika Serikat. Jadi selain

konflik antar aliran Kristen, ternyata faktor politik juga sangat erat dengan latar

belakang gagasan ini.94

Menurut Anis Malik Thoha, wacana pluralisme lahir dari rahim paham

“liberalism”. Maka tidaklah aneh jika kemudian gagasan pluralisme agama itu

sendiri muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik “political

liberalism”. Jelas, paham “liberalism” tidak lebih merupakan respon politis

terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman

sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacam ini masih

senantiasa terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru

kemudian pada abad ke-20 berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas

lain di dunia.95

Paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosio politis,

maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme

agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidaklah aneh

jika kemudian gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam

94

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 330 (Anas Malik Toha, Op.Cit., h.50.) 95

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 330 (Anas Malik Toha, Op.Cit., h.50.)

Page 56: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

49

kemasan “pluralisme politik” (political pluralism), yang merupakan produk dari

“liberalisme politik” (political liberalism).96

Muhammad Legenhausen, seorang pemikir. Muslim kontemporer, juga

berpendapat bahwa munculnya paham “liberalisme politik” di Eropa pada abad ke

18, sebagian besar didorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat

memuncaknya sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang

pada akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antar ras, sekte dan mazhab

pada masa reformasi keagamaan.97

Jelas, paham “liberalisme” tidak lebih

merupakan respon politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang

plural dengan keagamaan sekte, kelompok dan mazhab. Namun kondisi

pluralistik semacam ini hanyalah terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa yang

untuk kesekian lama, baru kemudian pada adab ke-20 berkembang hingga

mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.

Mengikuti jejak Troeltsch, William E. Hocking dalam bukunya

Rethinking Mission pada tahun 1923, dan yang berikutnya Living Religions and A

World Faith, dengan tanpa ragu-ragu telah memprediksi munculnya model

keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan

global.98

Sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), juga menyusul

96

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 17 (Pluralisme dalam Terminologi Sosiologis Lebih Merupakan Permasalahan

Politik dan Pada Sebagai Permasalahan Agama, lihat coker, Francis W., “Pluralism”, dalam

Seligman. Edwin R. A. (cd,,), op. cip.., Vol. XII, hlm 170-174; dan Karie, Henry S.., “Pluralism”,

dalam Sills, David L., (cd..), op. cip.., Vol 12, hlm 164-169) 97

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 17 (Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralisme, (Dalam Al-

Tawhid, Vol 14, No 3, 1997) hal 115) 98

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Parrinder, Goffrey, Comparative Religions (London: Sheldon Press, 1962)

hal 50)

Page 57: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

50

kemudian dengan gagasan yang kurang lebih sama dengan pemikiran Troeltsch,

dalam karyanya An Historian’s Approach to Religion (1956)99

dan Christianity

and World Religions (1957).100

Kemudian, paham pluralisme masuk ke Indonesia pada saat cendekiawan

muslim membuka kran liberalisasi yang di usung oleh Nuecholish Madjid.

Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan

dalih mencegah dan meredam konflik antar umat beragama yang sering di

suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah

sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala

hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan

istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham

ini adalah perubahan ajaran pada tingkat akidah.101

Gagasan pluralisme agama lahir dan muncul dari paham “liberalisme

politik” dan merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen

sekaligus merupakan gerakan reformasi pemikiran liberalisasi agama yang di

lancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19 dalam gerakan “Liberal

Protestantism”.102

99

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Toynbee, Arnold, An Historian’s Approach to Religion (London: Oxfird

University Press, 1956) Reprinted 1957) 100

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata Utara

II No.84, 2005) hal 19 (Aslan, Adnan, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy:

The Thought of John Hick and Scyyed Hossein Nasr (Surrey: Curzon Press, 1998) hal xii) 101

Chaerani Azizah, dalam

http://kepribadianquranioche.blogspot.co.id/search/label/ABOU%20ISLAM (Senin, 07 November

2016) 102

Jurnal Al- Ulum, Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya dalam Persppektif Islam,

(Ambon: Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2011) hal 340 (Nurchalish Madid, Islam Doktrin

dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan

kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 2004),Cet. IV h. 47)

Page 58: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

51

Teori-teori yang mendasari lahirnya paham pluralisme agama dapat

diklasifikasi dalam empat kategori yakni Humanisme Sekuler, Teologi Global,

Sinkretisme dan Sophia Perennis. Dalam hal pluralitas agama, Islam memberikan

kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan

masing-masing. Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang

bersifat personal. Meskipun demikian, manusia diminta untuk memilih dan

menegakkan agama fitrah.

Meskipun Islam mengakui adanya pluralitas akan tetapi menolak ide

pluralisme agama (kesatuan agama-agama). Toleransi dalam Islam tidak berarti

pluralisme agama, saling menghargai dan menghormati antar penganut agama

atau paham tidak berarti menganggap semua agama adalah sama lebih dengan

mengatasnamakan Islam. Pada surat Ali-Imran 3:19 ini secara tidak langsung

dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pada dasarnya boleh-boleh saja.

Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.

Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (189) kecuali

sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang

ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah

Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS Ali-Imran ayat

19)

Truth Claim masing-masing agama adalah sifat jiwa ke dalam, tidak

menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya dalam

Page 59: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

52

arti silahkan masing-masing untuk mengatakan bahwa agamanya yang paling

benar tetapi menurut keyakinannya masing-masing.

Nurchalis Madjid dikutip Adian Husaini, dalam majalah Media Dakwah

Edisi No. 358 2005 menyatakan bahwa Pluralisme agama adalah istilah khas

dalam teologi. Dia mengelompokan ada tiga sikap dialog agama yang dapat

diambil, yaitu: Pertama, sikap ekslusif dalam melihat agama lain (agama-agama

yang lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya. Kedua,

sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk inplisit agama kita). Ketiga, sikap

pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya “agama-

agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang

sama”, “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-

kebenaran yang sama sah”. Atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting

sebuah kebenaran”.103

Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama

sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi Kristen

untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini, gagasan

pluralisme agama bisa dilihat sebagai salah satu elemen gerakan reformasi

pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen

pada abad ke-19, dalam gerakan “Liberal Protestantism” yang dipelopori

Friedrich Schleiermacher.104

103

Jurnal Al- Ulum, Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya dalam Persppektif Islam,

(Ambon: Institut Agama Islam Negeri (IAIN), 2011) hal 337 (Ambon Adian Usiani, Op.Cit.,

h.45.) 104

Muhammad Legenhausen, op.Cit. Hal 116; yang dikutip dari buku Anis Malik Thoha,

Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, hal 18

Page 60: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

53

C. Pendapat Para Ahli Tentang Pluralisme Agama

Ide untuk tetap memperjuangkan pluralisme dalam konteks Indonesia

tidak hanya dikemukakan Syafi‟i Ma‟arif. Banyak akademisi maupun aktivis

Organisasi Massa Islam menaruh perhatian besar terhadap isu ini. Beberapa di

antaranya adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Dasar yang

digunakan oleh mereka untuk tetap mengawal bangunan pluralisme ini berangkat

dari sebuah kenyataan bahwa Indonesia adalah negeri yang tidak hanya dihuni

oleh satu agama saja, melainkan ada banyak agama bahkan aliran kepercayaan

yang lahir dari produk asli bangsa Indonesia. Bahkan agama-agama yang

kemudian diakui secara resmi datang belakangan setelah kepercayaan tersebut.

Kesadaran ini bermuara pada pentingnya melahirkan gagasan-gagasan untuk

merespons secara positif berbagai keragamaan yang ada. Oleh sebab itu, untuk

memperkaya dan mempertajam pembahasan pluralisme beberapa pokok

pemikiran dari Madjid dan Wahid penting dipertimbangkan.

Tema-tema penting yang selalu menjadi concern Syafi‟i Ma‟arif, Madjid

dan Wahid meliputi tiga ranah, yaitu: masalah keislaman, masalah keindonesiaan

dan masalah kemanusiaan. Meskipun ketiga ranah itu menjadi tema besar dari

pemikiran utama Syafi‟i Ma‟arif seperti dapat dilihat dalam bukunya Islam dalam

Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2010),105 namun baik Madjid maupun

Wahid menaruh perhatian yang tidak kalah besar dibanding Syafi‟i Ma‟arif.

Madjid menulis sebuah buku yang berjudul Indonesia Kita (2004),106 sementara

Wahid menulis buku Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan

105

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:

Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2010) 106

Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, ( Jakarta: Gramedia, 2004)

Page 61: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

54

Transformasi Kebudayaan (2007).107 Dilihat dari rentang waktunya, terbitnya

ketiga karya itu tidak dipisahkan oleh jarak yang terlalu jauh. Hal ini memberikan

sebuah isyarat bahwa masalah keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan perlu

diteguhkan kembali. Hal keindonesiaan dan kemanusiaan perlu diteguhkan

kembali. Hal menarik dari ketiga buku tersebut di antaranya terletak pada

persoalan pluralisme. Baik Syafi‟i Ma‟arif, Madjid maupun Wahid menaruh atensi

besar terhadap pentingnya memperluas dan memperkuat kultur pluralisme di

Indonesia.

Ketiga tokoh pluralisme tersebut tumbuh dan dibesarkan dalam

lingkungan yang berbeda. Syafi‟i Ma‟arif tumbuh dan besar di lingkungan

Muhammadiyah yang berhaluan modernis dan puritan. Karakter tersebut

membentuknya menjadi pribadi yang setiap saat melihat Islam dalam perspektif

legal formal. Formalisasi syariat Islam dalam perspektif kekuasaan terlihat

semakin mengental dalam pemikirannya terjadi ketika ia mengidealisasikan

Indonesia sebagai sebuah Negara Islam. Seperti diakuinya, corak berpikir

fundamentalis saat itu menjadi pilihan utamanya.108

Proses pencarian itu

mengalami perubahan drastik setelah ia berinteraksi dengan Fazlur Rahman di

Universitas Chicago.109

Hal mendasar yang dialami Syafi‟i Ma‟arif adalah

bergesernya tema pokok dalam konstruksi pemikirannya. Jika pada awalnya ia

menjadi pendukung berdirinya Negara Islam, kini ia menjadi penentangnya. Pada

fase ini, Syafi‟i Ma‟arif lebih mengedepankan isi daripada bentuk. Ia lebih

107

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan , (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) 108

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku: Otobigrafi , (Jakarta:

MAARIF Institute, 2006), hal 195 109

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar, hal 194

Page 62: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

55

mengutamakan nilai-nilai Islam seperti keadilan, toleransi, egalitarianisme

terwujud dalam masyarakat meskipun tidak dalam bingkai Negara Islam.110

Ia

mencita-citakan Islam rahmatan li al-alamin yang akan memberi manfaat kepada

siapa saja.

A Mukti Ali, seorang ahli perbandingan agama terkemuka, meskipun

secara tidak tegas menyatakan gagasannya sebagai teori pluralisme agama, namun

ia menjelaskan lima “jalan” yang dapat ditempuh oleh umat beragama untuk

mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas yang majemuk dan

pluralistik. Pandangan ini lebih mengesankan sikap intern umat Islam dalam

membangun kehidupan koeksisten dengan pemeluk agama-agama lain. Beliau

menjelaskan sebagai berikut; pertama, Sinkretisme. Paham ini berkeyakinan

bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat

bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari

Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang Satu dan sebagai

ombak dari samudera yang Satu. Aliran ini disebut pula Pantheisme,

Pankomisme, Universalisme atau Theopanisme. Tokoh terkenlnya adalah S.

Radhakrishnan, seorang ahli pikir India. Jalan ini tidak dapat diterima sebab

dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda

dengan makhluq (yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang

disembah dan untuk sia pa seseorang berbakti dan mengabdi. Kedua, Rekonsepsi

(reconception). Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus

110

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan

dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 160-165

Page 63: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

56

menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya

sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama lain.111

Ketiga, Sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-

elemennya diambilkan dari agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari

suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan

dimasukkan ke dalam agama sintesis tersebut. Pendekatan ini tidak dapat diterima

karena, setiap agama memiliki latar belakang histories masing-masing yang tidak

mudah untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama

telah terikat secara kental kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya

sendiri.112

Selanjutnya keempat, Penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa

agama sendirilah yang benar sedang agama orang lain salah, seraya berupaya

keras agar pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela

melihat orang lain yang memeluk agama dan keyakinan selain dari agamanya

sendiri. Pendekatan dan pandangan ini tidak dapat diterima karena sosok

kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik dan

majemuk dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya dan cara hidup.

Terahir Pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in disagree). Gagasan ini

menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik.

Meskipun demikian ia mengakui, diantara agama yang satu dengan agama-agama

111

Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung

Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 117-118 112

Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung

Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 118

Page 64: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

57

lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Pendekatan ini cukup

ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.113

Adapun tokoh-tokoh yang menentang paham pluralisme agama adalah

Anis Malik Thoha, Adian Husaini dan Amien Rais. Menurut Anis Malik Thoha,,

munculnya pluralisme agama dilatar belakangi oleh maraknya pemikiran

liberalisme dibidang sosial politik yang menandai dunia modern. Berbeda dengan

pemikir muslim lainnya yang menganggap pluralisme sebagai potensi positif

untuk mengelola kemajemukan, menurut Thoha sebaliknya. Baginya pluralisme

agama di dunia Islam merupakan wacana baru yang tidak memiliki akar ideologis

dan teologis yang kuat. Ide pluralisme agama adalah akibat dari pengaruh

penetrasi Barat modern yang muncul pada perang dunia kedua, yaitu ketika para

generasi Islam mengenyam pendidikan di Universitas Barat.114

Pandangan pluralisme agama juga dikemukakan oleh Budhy Munawar-

Rahman, dalam buku Islam Pluralis. Menurutnya bahwa “pluralisme agama”

sebagai paham yang menyatakan bahwa semua agama mempunyai peluang untuk

memperoleh keselamatan pada hari akhirat.115

Dengan kata lain, pluralisme agama

memandang bahwa selain agama kita (Islam), yaitu pemeluk agama lain, juga

berpotensi akan memperoleh keselamatan. Dalam kesempatan lain, Budhy

menulis bahwa konsep teolog pluralis akan memberikan legitimasi kepada

“kebenaran semua agama”, sebab pemeluk agama manapun layak disebut sebagai

113

Amien Rais dan Syukriyanto, dkk, 7Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung

Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103, 2010) hal 118 114

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta: JI. Kalibata

Utara II No.84, 2005) hal 25 atau dalam Ummi Sumbulah dan Nur Jannah 115

Budhy Munawar Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme,

dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam di Indonesia, (Jakarta: LSAF dann Paramadina, 2010) hal

553

Page 65: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

58

orang yang beriman, dengan makna orang yang percaya dan menaruh percaya

kepada Tuhan. Karenanya, Budhy menyimpulkan, “yang diperlukan sekarang ini

dalam pengahayatan masalah pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa

siapa pun yang beriman yanpa harus melihat agamanya apa, karena semua sama

di hadapan Allah. Untuk itu, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Esa”.116

Nurcholish Madjid adalah orang yang dianggap sebagai salah satu tokoh

pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid dikenal

dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman keyakinan di

Indonesia. Menurut Madjid, keyakinan adalah hak paling dasar setiap manusia

dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar.

Madjid mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam

konsep Madjid tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan

agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih.

Madjid meyakini bahwa manusia sebagai individu yang sempurna, ketika

menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas

apa yang ia lakukan dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.

Dalam pemahaman keagamaan Islam Madjid menegaskan bahwa

pluralisme memiliki dasar keagamaan yang kuat dalam Al-Qur‟an, seperti: “untuk

tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu akan dijadikan-Nya satu umat (saja),

tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka

berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah lah kembali ayat

116

Budhy Munawar Rahman, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama, dalam buku

Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL, 2002), hal 51-53

Page 66: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

59

tersebut, menurut Madjid dimulai dengan pernyataan fakta bahwa masyarakat

dalam dirinya sendiri terbagi kedalam berbagai macam komunitas yang masing-

masing memilik orientasi kehidupannya sendiri ke arah petunjuk. Disamping itu

ada ayat Al-Qur‟an yang memberi pengakuan terhadap keragaman budaya, bahasa

dan agama sebagai bahan untuk saling berlomba dalam mengukir kebajikan dan

bekerja sama dalam kebenaran:117

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia diantara manusia disisi Allah ialah orang yang

paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujarat ayat 13).

Oleh karena itu, kata Madjid, yang diharapkan dari setiap masyarakat

manusia adalah menerima kemajemukan itu sebagai adanya, kemudian

menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri.

Misalnya, yang secara harfiah dijelaskan dalam ayat Al-Qur‟an, sikap yang sehat

itu adalah menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing untuk secara

maksimal saling mendorong dalam usaha mewujudkan berbagai kebaikan dalam

masyarakat.118

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dikenal karena sering membela kaum

minoritas. Pembelaanya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal

117

Ibid 118

http://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/kang_maman72/pluralisme-

negara-dan-agama dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 22:03

Page 67: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

60

yang berani. Reputasi ini sangat menonjol pada era orde baru. Gus Dur bersikap

tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Dalam pemikiran Gus Dur, ia

tidak menginginkan agama menjadi sekedar simbol, jargon, dan menawarkan

janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan

tidak tersentuh.119

Sikap demikian sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang

mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal saja. Kelompok yang tidak

setuju, berpendapat bahwa klaim kebenaran dan eksklusifisme secara sepihak,

dicela oleh Al-Qur‟an surah Al-Baqarah 2: 113 yaitu:

Artinya: “Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak

mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata:

“Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan”, Padahal

mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. demikian pula orang-orang

yang tidak mengetahui, mengatakan seperti Ucapan mereka itu. Maka

Allah akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-

apa yang mereka berselisih padanya”. (Q.S Al-Baqarah ayat 113)

sebaliknya Al-Qur‟an mengajarkan ingklusifitas dalam beragama dalam surah Ali

Imran ayat 84 yaitu:

119

Ibid

Page 68: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

61

Artinya: “Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang

diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail,

Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,

Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan

seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami

menyerahkan diri”. (Q.S Ali-Imran ayat 84).

Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya perpecahan dan

perbedaan agama tersebut disebabkan oleh wahyu-wahyu Allah yang disampaikan

oleh para Nabi, yang ini merupakan sunah dan rahasia Allah.120

120

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 336 atau dalam Amin Abdullah dalam Hidayat,

Op.Cit, h. 104.

Page 69: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

63

BAB IV

FATWA MUI DAN PENDAPAT AHMAD SYAFI’I MA’ARIF TENTANG

PLURALISME AGAMA

A. Fatwa MUI Mengenai Pluralisme Agama

1. Latar Belakang Fatwa MUI mengenai Pluralisme Agama

Latar belakang lahirnya MUI diawali dengan lahirnya “PIAGAM

BERDIRINYA MUI” dalam musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zu‟ama

dari berbagai penjuru tanah air. Kemudian, pertemuan tersebut dianggap sebagai

Musyawarah Nasional Ulama Indonesia ketika itu hadir 26 ulama yang mewakili

26 Provinsi di Indonesia, 10 ulama dari ormas-ormas besar Islam tingkat pusat,

seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-

Washliyah, Math‟laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al-Ittihadiyyah, 4 ulama

dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang

tokoh/cendekiawan yang mewakili pribadi.

Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh setidaknya dua hal, pertama respons

atas kebangkitan kembali bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka. Kedua,

keprihatinan terhadap sektarianisme yang amat mendominasi perpolitikan umat

Islam di tahun 1970-an, sehingga mulai mengabaikan masalah kesejahteraan

rohani umat. Selain itu, tantangan global yang sangat berat yang ditandai oleh

kemajemukan sains dan teknologi yang dapat menerobos sekat-sekat etika dan

moral. Serta sebuah budaya global yang didominasi alam pikir Barat. Munculnya

silang pendapat membuat konferensi yang diadakan di Pusat Dakwah Islam tidak

Page 70: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

64

menghasilkan keputusan apa-apa. Konferensi tersebut hanya merekomendasikan

bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali kemungkinan pembentukan

majelis ulama dengan berbagai pertimbangan. Sampai dengan empat tahun

berikutnya, rekomendasi itu bahkan tidak diperhatikan lagi.121

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah para ulama, zu‟ama dan

cendekiawan muslim Indonesia yang terbentuk dalam rangka mengnaungi dan

mengakomodir berbagai kegelisahan umat Islam Indonesia, terkait dengan

ketentuan hukum suatu masalah. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan semua

orang memahami hukum Islam secara langsung dari dalil yang sumbernya,

mengingat kecerdasan, daya tangkap dan ilmu dimiliki seseorang bagaimanapun

tidaklah sama. Setiap orang atau komunitas memiliki konsekuensi perbedaan

dalam mengkonstruksi “ajaran agama”. Untuk mengetahui hukum Islam yang

akan diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, dan fatwa MUI

merupakan salah satu solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat

Islam di Indonesia.122

Dalam berbagai kasus keagamaan belakangan ini, beberapa fatwa yang

dikeluarkan oleh MUI seringkali menuai kontroversi. Pro dan kontra terhadap

eksistensi fatwa tampak menyelimuti berbagai perbedaan seputar kecendrungan

MUI pada penguatan agenda-agenda Islamist. Fatwa MUI oleh sebagian golongan

dinilai alih-alih akan menghadirkan solusi ataupun kemaslahatan bagi umat,

bahkan sebaliknya ia membuat masyarakat Indonesia merasa terbebani dengan

121

http://kangsantri.id/sejarah-berdirinya-majelis-ulama-indonesia/ dikutip hari Jumat

tanggal 5 Juni 2020 pukul 20:09 122

Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pliralisme dan Pluralitas Agama

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126

Page 71: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

65

hadirnya fatwa tersebut, dan yang sangat ironis, menjadi pemicu tindakan

anarkhis dengan justifikasi fatwa tersebut.123

Salah satu fatwa MUI yang dianggap kontraversial dan mengkhawatirkan

keselamatan bangsa adalah fatwa tentang pluralisme dan pluralitas agama. Fatwa

ini dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk “ketidak pahaman” MUI dalam

memahami persoalan dan wacana pluralisme yang dipahami komponen

masyarakat lain. Bahkan dalam pandangan yang lain, MUI dianggap tidak

memahami “taklif” dalam terminologi hukum Islam, karena “taklif” hanya

dikenakan kepada manusia, tidak pada “pemikiran”. Diantara kelompok yang

kontra adalah lembaga Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Jaringan Islam

Liberal (JIL), Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan berbagai institiusi lain yang

bergerak di bidang penegak HAM, pluralisme, dan kebebasan berpendapat.

Berbeda dengan kelompok di atas, bagi Komite Islam untuk Solidaritas

Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),

dan berbagai ormas Islam militant lainnya, berbagai fatwa yang dikeluarkan MUI

adalah bentuk final hukum Islam yang ditetapkan oleh orang-orang yang

kompeten dengan dalil yang sahih serta dikeluarkan melalui forum tertinggi para

ulama seluruh Indonesia. Fatwa pluralisme dann pluralitas agama MUI adalah

sebuah bentuk kepedulian kaum ulama terhadap berbagai problematika

keagamaan yang dipandang telah keluar dari idealitas Islam yang sesungguhnya.

123

Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pluralisme dan Pluralitas Agama

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126

Page 72: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

66

Pluralisme bagi mereka dianggap telah merusak dan mengancam ajaran Islam,

sehingga fatwa MUI ini sangatlah urgen demi menjaga kemurnian ajaran Islam

dari rongrongan berbagai pihak yang terus berupaya melakukan pendangkalan

atas aqidah Islam.124

Fatwa ini menjadi pro dan kontra di masyarakat luas, khususnya mereka

yang latar belakang pendidikan agama saja atau pemuka agama dengan kalangan

akademisi, bahkan kontraversi fatwa sudah menjadi perbincangan nasional dan

internasional.

2. Sejarah Munculnya Fatwa MUI

Dalam musyawarah VII Majelis Ulama Indonesia yang berakhir pada

jumat (29/7)), MUI telah mengeluarkan 11 fatwa. Dijelaskan juga bahwa belum

pernah Munas MUI mengeluarkan fatwa sebanyak itu sebelumnya. Di antara

fatwa-fatwa itu, yang boleh dikatakan mencerminkan pandangan elite keagamaan

Islam Indonesia, Munas MUI kurang lebih telah mengharamkan umat Islam untuk

mengikuti tiga paham kontemporer, yaitu sekularisme, liberalisme dan pluralisme.

Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat,

dan berkeyakinan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kita bisa

berpendapat yang isinya menolak suatu paham. Namun, jika kita melarang

masyarakat menganut suatu paham, itu namanya mengingkari kemerdekaan

berpikir dan berpendapat. Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah

timbulnya aliran Islam Liberal yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama

dari kalangan Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang

124

Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pluralisme dan Pluralitas Agama

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013, hal 126

Page 73: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

67

paling vocal Ulil Abshar-Abdalla. Unsur-unsur liberal dalam kedua organisasi itu

memang akidah dan syariat, tapi didukung pula oleh beberapa tokoh senior dari

dalam organisasi itu sendiri, bahkan menduduki posisi pemimpin. Aliran ini,

berkat kepemimpinan yang dinamis dari tokoh-tokohnya, semakin menarik

perhatian masyarakat, bahkan dinilai telah mempengaruhi cara berpikir dalam

organisasi formal. Gejala inilah yang menimbulkan kegelisahan kalangan MUI

yang secara informal bertindak sebagai “posisi akidah” atau “menjaga kemurnian

akidah” menurut imbauan Presiden Yudhoyono ketika membuka musyawarah

nasional itu. Padahal wacana yang mereka lontarkan selalu bersifat pencerahan.

Menurut Majelis Ulama Indonesia, istilah pluralisme agama merupakan

istilah populer, tetapi pengertiannya sering disalah pahami. Beberapa pihak

memahami pluralisme agama sama dengan pluralitas agama dan sebagian lain

memaknai toleransi beragama. Adanya kerancuan tersebut menyebabkan MUI

mengeluarkan fatwa keharaman paham pluralisme agama.125

Pengharaman

pluralisme agama menurut Din Syamsudin, sesungguhnya didasarkan pada

anggapan, yaitu sama dengan relativisme.126

Sebagian pemikir Islam di Indonesia

tanpa disadari telah mengaburkan atau membelokkan makna pluralisme agama,

yaitu semua agama adalah benar sehingga kebenaran agama adalah relatif.127

125

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Ainul

Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, 57. 126

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Suhadi

Cholil (ed.), Resonansi Dialog Agama dan Budaya Dari Kebangsaan Beragama, Pendidikan

Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi (Yogyakarta: CRCS, 2008), vi. 127

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Page 74: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

68

Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai:

“Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama

adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu,

setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang

benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa

semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.128

Sebagaimana firman Allah mengenai pluralisme agama menurut putusan

Fatwa MUI dalam surah Ali-Imran ayat 85, surah Al-Kafirun ayat 6 yaitu:129

Artinya: “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali

tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat

termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S Ali-Imran ayat 85).

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Q.S Al-Kafirun ayat

6)

Sebagian pihak menilainya sebagai wujud pertanggungjawaban MUI

untuk melindungi aqidah umat Islam. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam

http://news.detik.com/mostpopular Din: Pelaksanaan Fatwa Bukan Lagi Wewenang MUI (24

Februari 2016). 128

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam, (Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 atau dalam Lihat Fatwa MUI dalam majalah

Media Dakwah No. 358 Ed. Sya'ban 1426 H/September 2005, h. 49. 129

http://m.eramuslim.com/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-

sekularisme-agama dikutip pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2020 pada pukul 00:00

Page 75: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

69

fatwa bagian menimbang yang memuat latar belakang, alasan, dan urgensi

penetapan fatwa pada Pedoman dan Prose dur Penetapan Fatwa MUI, yaitu:130

1. Munculnya fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 karena berkembangnya paham

pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis.

2. Berkembangnya paham-paham di kalangan masyarakat tersebut telah

meresahkan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI menetapkan fatwa.

3. MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme,

liberalisme, dan sekularisme agama untuk dijadikan pedoman umat Islam.131

Respons ulama dalam fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 mengenai masalah

aqidah dan ibadah atas pertanyaan peminta fatwa terkait perkembangan pranata

sosial di Indonesia menunjukkan pengaruh yang signifikan. Disebutkan dalam

Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Bab VI tentang kewenangan dan wilayah

fatwa, “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah

keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah

yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia”.132

Fatwa sebagai produk kajian melibatkan tinjauan dari berbagai sudut pandang

sehingga hasil keputusan kolektif lembaga fatwa MUI memiliki otoritas dalam

memutuskan hukum berbagai kebijakan. Pada Musyawarah Nasional VII tanggal

19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M Majelis Ulama Indonesia yang

130

Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

hal 7 131

Ibid 132

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005

(Surabaya:Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 210 (Ainul

Yaqin, Menolak Liberalisme Islam, hal 7)

Page 76: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

70

diketuai oleh Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa, Ma‟ruf Amin

mengeluarkan sebelas keputusan fatwa, yaitu:

1. MUI mengharamkan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual termasuk hak

cipta.

2. MUI mengharamkan perdukunan dan peramalan termasuk publikasi hal

tersebut di media.

3. MUI mengharamkan do‟a bersama antaragama, kecuali do‟a menurut

keyakinan atau ajaran agama masing-masing, dan mengamini pemimpin do‟a

yang berasal dari agama Islam. Fatwa ini dikeluarkan karena do‟a bersama

antar agama dianggap sebagai sesuatu yang bid‟ah atau tidak diajarkan dalam

syariat agama Islam.

4. MUI mengharamkan kawin beda agama kecuali tidak ada lagi Muslim atau

Muslimah untuk dinikahi.

5. MUI mengharamkan warisan beda agama kecuali dengan wasiat dan hibah.

6. MUI mengeluarkan kriteria maṣlaḥah atau kebaikan bagi orang banyak.

7. MUI mengharamkan pluralisme (pandangan yang menganggap semua agama

sama) sekularisme dan liberalisme.

8. MUI memfatwakan, hak milik pribadi wajib dilindungi oleh negara dan tidak

ada hak bagi negara merampas bahkan memperkecilnya, namun jika

berbenturan dengan kepentingan umum yang didahulukan adalah kepentingan

umum. Pemerintah dapat mencabut hak pribadi untuk kepentingan umum jika

dilakukan dengan cara musyawarah dan tanpa paksaan serta harus

menyediakan ganti rugi dan tidak untuk kepentingan komersial.

Page 77: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

71

9. MUI mengharamkan perempuan menjadi imam sholat selama ada pria yang

telah akil baliq. Perempuan mubah jika men jadi imam salat bagi sesama

perempuan.

10. MUI mengharamkan aliran Ahmadiyah.

11. MUI memperbolehkan hukuman mati untuk tindak pidana berat.133

Dalam membentengi umat dari paham menyimpang, maka MUI

menerbitkan keputusan fatwa larangan mengikuti paham liberalisme, sekularisme

dan pluralisme agama.134

Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005

adalah satu dari sebelas fatwa yang dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta, 21

Jumadil Akhir 1426 H / 28 Juli 2005 M melalui Munas VII Tahun 2005 tidak

dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global. Pada tingkat lokal maraknya

gerakan pemikiran yang mengagungkan pluralisme sebagai agama baru cukup

meresahkan para elit MUI. MUI khawatir jika kaum Muslim semakin jauh dari

Islam, kehilangan identitas, dan meragukan Islam itu sendiri karena pandangan

semua agama sama.135

Demikian pula pada tingkat global terjadi desakan dari

beberapa negara untuk membangun sebuah tatanan kehidupan dunia yang damai

dengan dialog intensif antaragama. Salah satu upayanya adalah membentuk

133

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 211 (Alirsyad.net/11-

fatwa-hasil-munas-mui-vii (4 April 2017) 134

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 211 (Ainul Yaqin,

Menolak Liberalisme Islam, hal 18) 135

Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, hal 30

Page 78: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

72

berbagai forum dan organisasi dunia yang secara spesifik mempromosikan

pluralisme.136

Menurut Ma‟ruf Amin, munculnya pendapat yang mencerca fatwa

membuatnya semakin yakin bahwa ulama harus memberikan bimbingan dan

pedoman, yaitu membetulkan aqidah karena banyak yang menyimpang. Dalam

memilih pendapat, MUI menggunakan metode mana yang paling kuat (unggul,

bukan asal memilih) sebab ada pedomannya. Jika ada pendapat berbeda, maka

dicari yang terunggul. Memberikan hukum dengan sesuatu yang tidak unggul

sama dengan memberikan hukum selain hukum Allah.137

Pada diktum fatwa yang memuat substansi hukum fatwa dalam Pedoman

dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, ada dua ketentuan, yaitu:138

a. Ketentuan Umum

Dalam Fatwa MUI menerangkan pluralisme agama adalah paham yang

mengajarkan semua agama adalah sama karena kebenaran setiap agama relatif

sehingga tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar sedangkan

yang lain salah. Pluralisme mengajarkan semua pemeluk agama akan masuk dan

hidup berdampingan di surga. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan di negara

atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup

berdampingan.139

136

Ibid., hal 31. 137

Ma‟ruf Amin, Yang Kontroversial Bukan Fatwa MUI, tapi Tanggapannya, dalam

alirsyad.net, 2017. 138

Ibid., hal 7. 139

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 212 (Tim Penyusun

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 91)

Page 79: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

73

b. Ketentuan Hukum

Maksud pluralisme agama di bagian ketentuan umum adalah paham yang

bertentangan dengan ajaran Islam sehingga haram mengikutinya. Menurut MUI

untuk masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif. Artinya,

haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan pemeluk agama

lain. Masyarakat Muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas),

atau masalah sosial yang tidak berkaitan aqidah dan ibadah harus bersifat inklusif.

Artinya, tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang

tidak saling merugikan.140

Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI bagian penjelasan

berisi uraian dan analisis secukupnya tentang fatwa.141

Penjelasan keharaman

pluralisme agama yang dimasukkan pada bidang aqidah dan aliran keagamaan

tersebut, yaitu:142

a. Umat Islam Indonesia menghadapi perang pemikiran (ghazwul fikr) seperti

berkembangnya paham pluralisme agama. Perang nonfisik ini berdampak luas

pada ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat karena pluralisme agama

tidak lagi bermakna kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama.

Semua agama sama benar dan baik serta hidup beragama diibaratkan seperti

memakai baju dan boleh berganti-ganti sehingga jelas mengarah pada ajaran

relativisme agama yang dapat mendangkalkan keyakinan aqidah.

140

Ibid., hal 91-92. 141

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 216 (Tim Penyusun

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 7) 142

Ibid., hal 93-95.

Page 80: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

74

b. Selain mengarah pada ajaran relativisme agama, paham pluralisme agama

sebagaimana hasil dialog antarumat beragama di Indonesia yang dipelopori

oleh A. Mukti Ali tahun 70-an dengan pengertian setuju dalam perbedaan

(agree in disagreement) dan adanya klaim kebenaran masing-masing agama

ternyata dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran

agama).

c. Paham pluralisme agama yang tidak banyak mendapat perhatian dari para

ulama dan tokoh umat tersebut telah disebarkan secara aktif menyelusup jauh

ke pusat atau lembaga pendidikan umat dipahami oleh masyarakat

sebagaimana maksud para penganjurnya. Munas VII MUI perlu merespons

usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan keputusan

fatwa sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti

paham pluralisme agama.143

d. Diktum fatwa mengenai pluralisme agama terbagi menjadi dua bagian yang

tidak terpisahkan, yakni ketentuan umum dan ketentuan hukum. Ketetapan

hukum bagian kedua secara substansial menunjuk kepada definisi dan

pengertian yang disebutkan pada ketentuan umum bagian pertama. Definisi

dalam fatwa tersebut bersifat empiris, bukan definisi akademis sebagaimana

hasil rumusan para ulama peserta Munas VII MUI. Definisi pluralisme agama

adalah paham (isme) yang hidup dan terpahami oleh masyarakat sehingga

143

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 217 (Tim Penyusun

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 93)

Page 81: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

75

bukan definisi yang mengada-ngada, tetapi untuk merespons apa yang selama

ini telah disebarluaskan oleh para pendukungnya.144

e. Fatwa MUI menegaskan pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama,

karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-

agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan dimana semua warga

negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu

keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan

secara damai. Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunatullah) yang

tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

f. Fatwa MUI dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham

relativisme agama, yaitu kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak

absolut. Fatwa ini justru menegaskan masing-masing agama dapat mengklaim

kebenaran agamanya (truth claim) sendiri-sendiri, tetapi tetap berkomitmen

saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan antar

pemeluk.145

Keputusan fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 terbagi menjadi dua bagian,

yaitu Ketentuan Umum dan Ketentuan Hukum. Ketetapan hukum secara

substansial menunjuk kepada ketentuan umum fatwa. Definisi dan pengertian

pluralisme agama bersifat empirik, bukan definisi akademis. Artinya, paham

(isme) yang hidup dan dianut oleh masyarakat. Definisi pluralisme agama

144

Ibid., hal 94. Diktum hukum adalah bagian yang memuat hal yang ditetapkan hakim

dalam putusan pengadilan atau amar putusan. Ali Mustafa Yaqub, Toleransi Antar Umat

Beragama (Jakarta: PustakaFirdaus, 2008), hal 44. 145

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 218 (Tim Penyusun

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 95)

Page 82: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

76

sebagaimana rumusan para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang

mengada-ngada, tetapi untuk merespons maraknya penyebaran ajaran

pluralisme.146

Penjelasan fatwa MUI tentang keharaman pluralisme agama dimaksudkan

membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu kebenaran suatu

agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan masing-

masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (truth claim) sendiri-

sendiri, tetapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dengan

mewujudkan keharmonisan hubungan antar pemeluk.147

Dari uraian diatas mengenai fatwa MUI terhadap pluralisme agama saya

berpendapat bahwa menurut setiap orang maupun kelompok berhak menganut

atau meyakini satu agama tanpa mengklaim agama lain tidak benar. Semua agama

adalah sama dan setiap agama adalah relatif. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), agama adalah suatu ajaran yang mengatur tata keimanan atau

kepercayaan dan peribadatan seseorang kepada Tuhan yang Maha Kuasa, serta

tata kaidah berkaitan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta

lingkungannya. Jadi seseorang berhak menganut agama yang menurutnya agama

tersebut mampu ia jalankan syariatnya tanpa merendahkan atau mengklaim agama

lain.

146

Ibid hal 94. 147

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 (Surabaya:

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018) hal 224 (Tim Penyusun

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 95)

Page 83: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

77

B. Pendapat Ahmad Syafi’i Ma’arif Tentang Pluralisme Agama

1. Latar Belakang Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Mengemukakan Pendapatnya Tentang

Pluralisme Agama

Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.

Sebagai mahkluk sosial tentunya dituntut untuk mampu berinteraksi dengan

individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan

sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-

kelompok yang berbeda dengannya. Perbedaan yang terkait dengan suku, agama

maupun ras dari masing-masing individu tersebut.148

Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada

gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat. Dalam

rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat, maka diperlukan

sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang

dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk

saling menjaga hak dan kewajiban antara yang satu dengan yang lainnya.149

Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya

kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada

kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia.

Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun

yang boleh mencabutnya.150

148

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 149

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 150

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya

Page 84: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

78

Demikian sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar

kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak

dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah

satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha

untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu

kebebasan. Untuk dapat mempersandingan keduanya, pemahaman yang benar

mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan

sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.151

Dalam hal pluralisme agama, Al-Qur‟an tampaknya berangkat lebih jauh.

Tidak saja orang harus mengakui keragaman agama yang dipeluk oleh umat

manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk

melangsungkan hidupnya di bumi. Dalam masalah ini Al-Qur‟an lebih toleran

dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam yang seringkali memusuhi orang

ateis, karena Al-Qur‟an selalu mengajak manusia untuk beriman, karena beriman

itu teramat penting bagi perjalanan hidupnya sampai di akhirat. Beriman memang

memberikan keamanan ontologis kepada manusia dalam pengembangan hidupnya

yang sarat dengan keguncangan dan tantangan. Tetapi jika mereka merasa tidak

memerlukan keamanan tersebut, kantas kita mau apa? Karena sesungguhnya tugas

para Nabi dan pengikutnya hanyalah mengajak manusia untuk beriman kepada

Allah dan hari akhir dengan cara beradab dan penuh kebijaksanaan, bukan dengan

paksaan.152

151

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya 152

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UMSurabaya

Page 85: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

79

Kemajemukan bangsa Indonesia, juga disebabkan hampir semua agama-

agama besar, yakni Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan

Konghucu hidup di negeri ini. Di sisi lain, masyarakat Indonesia juga terdiri dari

beragam suku, etnis, budaya dan bahasa. Bentuk Negara kepulauan, juga

menyebabkan penghayatan dan pengamalan keagamaan bangsa ini unik

dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.

Pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan/keragaman dalam

beragama merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat

dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam

lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme

agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengaku

keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan

dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.153

Dalam kaitan ini, buya Ma‟arif telah berbicara cukup banyak dan jelas.

Pluralisme dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa

dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi,

kendati dimata Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas,

yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri.154

Menurut pandangan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mengenai pluralisme adalah

dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan

dengan prinsip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi, kendati di mata

153

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 2009, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke

Manusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165. 154

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, 2009, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke

Manusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165.

Page 86: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

80

Al-Qur‟an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi

oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Untuk penjelasan lebih lanjut

mengenai kebebasan ini, buya Ma‟arif mengutip penjelasan dari Machasin,

dimana Machasin memberikan penjelesan yang proporsional terkait kebebasan

tersebut, menurutnya (Machasin):155

Pemikiran pluralisme agama Ahmad Syafi‟i Ma‟arif dipengaruhi oleh

pendekatan Neo-Modernisme Islamnya Fazlur Rahman. Dan seperti yang

dijelaskan oleh Rahman sendiri bahwa gerakan pembaharuannya bertumpu pada

pertama, perumusan pandangan dunia Al-Qur‟an. Kedua, menciptakan suatu

analisis yang sistematis terhadap ajaran-ajaran moral Al-Qur‟an dan pada

gilirannya akan tercipta etika Al-Qur‟an. Ketiga, merupakan sistem dan formula

hukum yang selaras dengan kebutuhan kontemporer berdasarkan etika tersebut.156

Arah gerakan Rahman ini mengambil bentuknya pada hipotesanya tentang arus

kebangkitan Islam yang menyebar di dunia yang muncul sebagai reaksi yang kuat

terhadap kelemahan ulama tradisional dan kegagalan negara Islam dalam

menanggulangi pengaruh Barat. Singkatnya, model berfikir Neo-Modernisme

Islam ala Rahman, seperti yang secara kritis diungkapkan juga oleh Farid Essack

dalam bukunya Qur’an Liberation & Pluralism.157

Dalam rumusan model diatas, pemikiran Islam Ahmad Syafi‟i Ma‟arif

mengenai dasar-dasar Islam apakah itu konsepsinya tentang Al-Qur‟an dan

155

Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet pertama

109 dan 214 156

Ihsan Ali Fauzi, Menuju Sistematisasi Etika Al-Qur’an, (Al-Hikmah No 9, 1993) hal

41-42 157

Wan Mohd, Nor Wan Daud, Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,

Ummul Qur‟an No. 8, Vol. II, (1991/1411) hal 109

Page 87: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

81

Sunnah Nabi lahir dari bentuk pemahaman yang diperolehnya dari sang guru Neo-

Modernisme Islam Fazlur Rahman.158

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mempunyai prinsip bahwa pluralisme harus dijaga

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menunjukkan

kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, Syafi‟i heran bila banyak pihak menilai

pluralisme sebagai prinsip yang haram. Dalam peluncuran buku “Muhammadiyah

Gerakan Pembaruan” di Gedung Joeang. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif menilai bahwa

pluralisme menunjukkan tingkat intelektualisme disuatu bangsa. Menurutnya,

intelektualisme itu sama dengan pluralisme.159

Syafi‟i memastikan negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan

menghasilkan kondisi yang berantakan. Baginya, setiap insan yang ingin melintasi

abad harus berfikir cerdas. Maka, dia juga menilai pentingnya muncul majelis

taarjih dan kemerdekaan berpikir di tengah-tengah PP Muhammadiyah.160

Pemikiran utama Syafi‟i Ma‟arif seperti dapat dilihat dalam bukunya Islam

dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2010),161 namun baik Madjid

maupun Wahid menaruh perhatian yang tidak kalah besar dibanding Syafi‟i

Ma‟arif.

Dalam menyikapi paham pluralisme agama di Indonesia, Ahmad Syafi‟i

Ma‟arif memposisikan diri sebagai tokoh yang mendukung terhadap

pengembangan paham ini. Hal ini dapat terlihat dari karya-karya yang dihasilkan

158

Ibid 159

Ibid 160

Jurnal Zaenal Arifin, Mendukung Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i

Ma’arif) 161

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:

Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2010)

Page 88: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

82

sang buya. Syafi‟i Ma‟arif memaknai bahwa pluralisme agama sebagai realitas

yang juga tertuang dalam diktum Al-Qur‟an serta merupakan fakta sejarah.

Menurutnya, perbedaan agama yang harus disikapi lapang dada. Selain itu, bagi

Syafi‟i Ma‟arif paham pluralisme agama memiliki fungsi ganda. Pertama,

dijadikan perekat kesatuan bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri atas

multireligius. Kedua, meredam potensi konflik dan kekerasan atas nama agama

diantara sesama anak bangsa.162

Jika dilihat dari jejak organisasinya, Syafi‟i Ma‟arif merupakan seorang

yang sangat setia dengan Muhammadiyah sepanjang hidupnya. Roh pembaharuan

yang diusung Muhammadiyah mewarnai corak berpikirnya. Kondisi Umat Islam

dan bangsa Indonesia yang disebutnya dalam krisis multi dimensi, dikritiknya

dengan tajam. Hal ini bukan karena sang Buya pesimitis terhadap masa depan

Islam dann Indonesia tapi merupakan bentuk iman terhadap agamanya, bentuk

cinta Pancasila, UUD 1945 dan Semboyan Bhineka Tungga Ika yang

diperjungkan para pendiri bangsa. Buya Syafi‟i secara sadar bahwa diktum

agama, realitas sejarah, keadaan bangsa membawanya menjadi seorang pribadi

dan tokoh yang berpaham inklusif yang pluralis.163

162

Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam

Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

2012) hal 82 163

Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam

Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,

2012) hal 82-83

Page 89: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

83

2. Pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif Sebenarnya Mengenai Pluralisme Agama

a. Pendapat yang Mendukung Pluralisme Agama

Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh yang mendukung adanya

pluralisme agama. Menurutnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk

merumuskan konsep pluralisme agama, yaitu pendekatan filologis dan

pendekatan historis. Pendekatan filologi berangkat dari term “Islam”, ia

mendefinisikan tentang kata Islam dari Al-Qur‟an. Menurutnya kata Islam dalam

bahasa Arab berarti “pasrah”, berserah diri”. Pengertian Islam ini dibedakan

menjadi Islam secara khusus dan Islam secara umum. Islam secara khusus dalam

kaitannya dengan agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, sedangkan

Islam secara umum dapat kita artikan sebagai sikap pasrah, berserah diri kepada

Allah semata. Sedangkan pendekatan historis, menurutnya kesadaran sejarahlah

yang sangat menentukan, maka dari itu kesadaran sejarah harus ditekankan

sebagai pendekatan dan dijauhkan dari sikap memutlakan apa yang ada dalam

sejarah.164

Konsep penting yang terdapat dalam pemikiran tentang pluralisme agama

Nurcholish Madjid ialah adanya titik temu, common platform, atau kalimah sawa,

yaitu prinsip-prinsip yang sama dalam semua agama yang benar. Bagi Nurcholish

Madjid titik temu itu akan sama yaitu Allah Yang Maha Benar (al-haqq). Semua

Nabi dan Rasul membawa kebenaran yang sama hanya saja yang membedakan

adalah tentang bagaimana seorang Rasul menyikapi tuntutan tempat dan zaman.

164

Lihat Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid”, dalam

http://doaj.org, diakses pada tanggal 21 Februari 2017, hlm 2-3

Page 90: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

84

Jadi, perbedaan yang ada bukan pada level hakikat melainkan hanya dimensi

luarnya saja.165

Lebih jauh, Dawam Raharjo dalam artikel “Pluralisme Agama dalam

Perspektif Nurcholish Madjid” karya Puwanto juga memberi respon terhadap

pluralisme agama. Menurutnya meski Nurcholish Madjid banyak dinilai sebagai

seorang pluralis, tapi orang pluralis bukan sekedar orang yang menerima

perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda, tapi lebih jauh harus

mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil. Sosok cak Nur

menurutnya merupakan seorang teolog muslim yang tetap bertegang teguh pada

teks-teks Al-Qur‟an dan Al-Sunnah (lebih luas pada Al-Qur‟an). Di situlah

keterbatasan cak Nur yang menurut Dawan Raharjo belum sepenuhnya pluralis,

tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif.166

Senada dengan Dawam Raharjo, dalam artikel yang sama diterangkan

bahwa menurut Kuntowijoyo, pluralisme agama dapat ditipologikan menjadi dua,

pluralisme negatif dan pluralisme positif. Istilah pluralisme negatif digunakan

untuk menunjukkan sikap keberagaman seseorang yang sangat ekstrim. Sikap

ekstrem itu misalnya ditujukan dengan mengatakan bahwa beragama itu ibarat

memakai baju sehingga ia dapat menggantinya kapan pun dikehendaki. Jadi

terdapat pengakuan bahwa ada banyak agama. Secara prinsip pernyataan ini

memang sesuai realitas. Tetapi dengan menyatakan bahwa perpindahann agama

(konversi) itu wajar terjadi, semudah orang mengganti baju tentu merupakan hal

yang dapat menimbulkan kontroversi. Pluralisme disebut negatif jika ada orang

165

Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid…”, hlm. 16 166

Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid…”, hlm. 19-20

Page 91: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

85

berpandangan tidak perlu memegang teguh keyakinan agamanya. Agama itu

ibarat baju, yang terpenting adalah iman yang ada dalam dada.167

Sementara pluralisme positif merupakan sikap keberagamaan yang sangat

mengedepankan penghormatan terhadap pendapat, pilihan hidup, dan keyakinan.

Ketika menjelaskan makna pluralisme positif ini, Kuntowijoyo banyak

mencontohkan pengalamannya pada saat belajar di luar negeri.168

Tokoh lain yang mendukung pluralisme agama adalah Sukidi, dalam

Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme, beliau

meyakini bahwa setiap agama memiliki misi yang sama dalam membimbing

manusia pada sumber asalnya (Tuhan). Setiap agama memiliki kebenaran dan

jalan keselamatannya sendiri. Menurutnya kebenaran dan Tuhan adalah satu

secara esensial, tetapi menjadi plural dalam bentuk kebenaran-kebenaran dan

tuhan-tuhan ketika ditangkap oleh manusia dengan latar belakang yang

beragam.169

b. Pendapat yang Menolak Pluralisme Agama

Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa para tokoh berbeda pendapat dalam

menanggapi pluralisme agama. Setelah dijabarkan pandangan tokoh yang

mendukung pluralitas agama, kali ini peneliti akan menjabarkan pendapat

sebagian tokoh yang menolak adanya pluralisme agama.

Melihat dari sudut pandangan MUI yang memberi respon penolakan yang

serius terhadap wacana pluralisme agama, serta dianggap mengancam teologi

167

Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme”, dalam

http://doaj.org, diakses pada tanggal 9 Februari 2017, hlm. 3 168

Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme…”, hlm.

4 169

Lihat: Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan…, hlm. 249

Page 92: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

86

Islam itu sendiri, sebab MUI bukan hanya menilai ide pluralisme agama itu sesat,

melainkan mereka diberi hukuman dengan label haram.170

Dalam skripsi “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi

Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid” karya Abdul Mukti,

Adian Husaini mengatakan pluralisme merupakan konsep yang khas dalam

teologi yang mengajarkan kesamaan agama. Pluralisme berarti paham yang

menyamakan Islam dengan semua agama dann menolak kebenaran eksklusif

dalam Islam. Lebih jauh ia menganggap bahwa pluralisme agama adalah bentuk

ideology baru atau agama baru. Selayaknya agama, dia punya kitab sendiri, Nabi

sendiri, dan bahkan Tuhan sendiri. Maka dari itu ia menyambut baik fatwa MUI

yang mengharamkan pluralisme agama dan bahkan menjadikan legitimasi untuk

menyerang orang-orang yang setuju dengan ide pluralisme agama di Indonesia.171

170

Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2014. Hal 29

171

Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”…, hl m 30

Page 93: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian mengenai Fatwa MUI dan pandangan

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif tentang pluralisme agama dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. MUI mengharamkan pluralisme agama dalam Fatwa MUI No 7/Munas

VII/MUI/11/2005 tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang

menyatakan bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah

paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Majelis Ulama

Indonesia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai: “pluralisme agama

adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan

karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap

pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang

benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa

semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Respons ulama dalam fatwa MUI Nomor 7 Tahun 2005 mengenai masalah

aqidah dan ibadah atas pertanyaan peminta fatwa terkait perkembangan pranata

sosial di Indonesia menunjukkan pengaruh yang signifikan. Disebutkan dalam

pedoman dan prosedur penetapan fatwa bab VI tentang kewenangan dan

wilayah fatwa, “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-

masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan

masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat

Page 94: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

89

Islam Indonesia”. Fatwa sebagai produk kajian melibatkan tinjauan dari

berbagai sudut pandang sehingga hasil keputusan kolektif lembaga fatwa MUI

memiliki otoritas dalam memutuskan hukum berbagai kebijakan.

Dalam membentengi umat dari paham menyimpang, maka MUI

menerbitkan keputusan fatwa larangan mengikuti paham liberalisme,

sekularisme dan pluralisme agama. Fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS

VII/MUI/11/2005 adalah satu dari sebelas fatwa yang dikeluarkan dan

ditetapkan di Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H / 28 Juli 2005 M melalui

Munas VII Tahun 2005 tidak dapat dilepaskan dari konteks lokal dan global.

Pada tingkat lokal maraknya gerakan pemikiran yang mengagungkan

pluralisme sebagai agama baru cukup meresahkan para elit MUI. MUI

khawatir jika kaum Muslim semakin jauh dari Islam, kehilangan identitas, dan

meragukan Islam itu sendiri karena pandangan semua agama sama.

Sedangkan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mendukung pluralisme agama karena

Syafi‟i Ma‟arif melihat pluralisme agama dalam arti keragaman/kemajemukan

beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan prinsip kebebasan yang

merupakan pilar utama demokrasi, kendati di mata Al-Qur‟an kebebasan

tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup

kemanusiaan itu sendiri.

2. Perbedaan fatwa MUI dengan pendapat Ahmad Syafi‟i Ma‟arif disebabkan

oleh fatwa MUI melihat pluralisme agama dari pandangan taklif (pembebanan

suatu kewajiban kepada seseorang). Fatwa MUI yang dianggap kontroversial

dan mengkhawatirkan keselamatan bangsa adalah fatwa tentang pluralisme dan

Page 95: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

90

pluralitas agama. Fatwa ini dianggap sebagian masyarakat sebagai bentuk

“ketidak pahaman” MUI dalam memahami persoalan dan wacana pluralisme

yang dipahami komponen masyarakat lain. Bahkan dalam pandangan yang

lain, MUI dianggap tidak memahami “taklif” dalam terminologi hukum Islam,

karena “taklif” hanya dikenakan kepada manusia, tidak pada “pemikiran”.

Fatwa ini menjadi pro dan kontra di masyarakat luas, khususnya mereka

yang latar belakang pendidikan agama saja atau pemuka agama dengan

kalangan akademisi, bahkan kontroversi fatwa sudah menjadi perbincangan

nasional dan internasional.

Sedangkan Ahmad Syafi‟i Ma‟arif melihat pluralisme agama dari sudut

pandang realitas sejarah Indonesia. Ahmad Syafi‟i Ma‟arif mensyaratkan untuk

hidup berdampingan antar umat beragama harus memiliki rasa lapang dada

yang besar dengan segala perbedaan yang ada. Sebagai warga Muhammadiyah,

Ahmad Syafi‟i Ma‟arif sangat toleran terhadap segala bentuk perbedaan,

termasuk dalam perbedaan agama. Pluralisme menurut Syafi‟i Ma‟arif

digunakan sebagai alat untuk menjalin persatuan dan harmonisasi antar umat

beragama di Indonesia.

B. Saran

Setelah mempelajari dan melakukan analisa terhadap beberapa teori

tentang pluralisme agama, khususnya Ahmad Syafi‟i Ma‟arif perlu kiranya

penulis memberikan beberapa saran: Bagi mahasiswa akademik, dosen, pelajar,

peneliti dan para birokrat, anggaplah hasil dari penelitian ini merupakan wacana

yang dapat meramaikan perbincangan pluralisme agama yang terkait dalam

Page 96: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

91

pendapat fatwa MUI. Mudah-mudahan percikannya yang sedikit setidaknya dapat

menambah titik terangnya kajian pluralisme agama menjadi masalah dan

perbedaan pendapat diantara para tokoh-tokoh.

Dari hasil penelitian ini setidaknya juga memiliki kelayakan untuk

dijadikan pertimbangan bagi penelitian lain yang akan mengkaji objek penelitian

lain yang sama dengan penelitian ini, dengan metode pendekatan yang berbeda-

beda. Dengan demikian kajian tentang Pluralisme Agama (Fatwa Agama MUI

menurut Ahmad Syafi‟i Ma‟arif) dapat mengemukakan pandangan masing-masing

tokoh.

Penulis menyadari bahwa penelitian dalam skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna, sehingga pada penelitian-penelitian selanjutnya penulis berharap dapat

memberikan koreksi dan deskripsi dengan analisa yang lebih baik sebagai satu

kajian pluralisme agama menurut pandangan fatwa MUI dan Ahmad Syafi‟i

Ma‟arif.

Akhirnya, penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya

kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan petunjuk, kemampuan dan segala

nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam skripsi ini,

dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Penulis juga mengharapkan kritik

dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini.

Page 97: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

92

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ma‟ruf. Yang Kontroversial Bukan Fatwa MUI, tapi Tanggapannya, dalam

alirsyad.net, 2017.

Arifin, Zaenal, Menduduki Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif),

Ejurnal Tentang Pluralisme Agama, 2011

Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar 2012) cet

pertama 109 dan 214

Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta: Pustaka Al Kautsar cet pertama, 2012

Biyanto, “Pengalaman Muhammadiyah Membumikan Nilai-nilai Pluralisme”, dalam

http://doaj.org, diakses pada tanggal 9 Februari 2017

Chaerani, Azizah, dalam

http://kepribadianquranioche.blogspot.co.id/search/label/ABOU%20ISLAM

(Senin, 07 November 2016)

Fatwa Majelis Indonesia Nomor: 7/MunasVII/MUI/II/2005.

Fauzi, Ihsan Ali. Menuju Sistematisasi Etika Al-Qur’an, (Al-Hikmah No 9, 1993)

Fitriyani, Jurnal Al-Ulum, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,

(Institut Agama Islam Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011

Ghazali, Abd Rohim dan Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafi’i

Ma’arif: cermin untuk semua, Jakarta: MA‟AARIF Institute for Culture and

Humanity, 2005

Hakim, Abdul Dubbun, dkk, Bayang-Bayang Fanatisme Esai-esai Mengenang

Nurcholis Majid, Jakarta: Pusat Studi Islam Kenegaraan (PSIK) Universitas

Paramadina, cet pertama, 2007

Handrianto, Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Press, 2007

Page 98: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

93

Hick, John, Pandangan John Hick Tentang Pluralisme, Yogyakarta: Institut

DIAN, 2015

http://kangsantri.id/sejarah-berdirinya-majelis-ulama-indonesia/ dikutip hari Jumat

tanggal 5 Juni 2020 pukul 20:09

http://m.eramuslim.com/tahukah-anda/fatwa-mui-tentang-pluralisme-liberalisme-dan-

sekularisme-agama dikutip pada hari Jumat tanggal 30 Mei 2020 pada pukul

00:00

http://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/kang_maman72/pluralism

e-negara-dan-agama dikutip pada Jumat tanggal 1 Mei 2020 jam 22:03

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat

Ibid

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,

(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, (Paham pluralisme agama

menurut Frans Magnis Suseno, dalam bukunya “Menjadi Saksi Kristus di

Tengah Masyarakat Majemuk”, (Jakarta: Obor, 2004), 2011

Jurnal Al-Ulum Fitriyani, Pluralisme Agama-Budaya Dalam Perspektif Islam,

(Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, 2011) hal 329 atau dalam Lihat

Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No. 358 Ed. Sya'ban 1426

H/September 2005

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam http://news.detik.com/mostpopular Din:

Pelaksanaan Fatwa Bukan Lagi Wewenang MUI (24 Februari 2016).

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya. (Abdulaziz Sachedina, Kesetaraan Kaum Beriman: Akar

Pluralisme Demokratis dalam Islam, (Jakarta: Serambi, 2002), 2018

Page 99: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

94

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Ainul Yaqin, Menolak Liberalisme Islam

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018) hal 232 atau dalam Suhadi Cholil (ed.), Resonansi Dialog

Agama dan Budaya Dari Kebangsaan Beragama, Pendidikan Multikultural,

Sampai RUU Anti Pornografi (Yogyakarta: CRCS, 2008), vi.

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018) hal 211 (Alirsyad.net/11-fatwa-hasil-munas-mui-vii (4 April

2017)

Jurnal Aris Kristianto, Pluralisme Agama di Indonesia (Studi tentang Tipologi

Pluralisme Agama Nonindifferent pada Keputusan Fatwa MUI Nomor 7

Tahun 2005 (Surabaya: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018) hal 218 (Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia)

Jurnal Arrohmawati, Fajrul Amalia, Pemikiran Pendidikan Pluralisme Keagamaan

Ahmad Syafi’i Ma’arif. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah

Surakarta, 2017

Jurnal Fadlan Barakah, Pandangan Pluralisme Agama Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam

Kontek Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Jakarta: Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga, 2012

Jurnal Fatwa MUI Tentang Pluralismme Agama

Jurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad

Syafi’i Ma’arif di Indonesia, Universitas Isalam Negeri Walisongo Semarang,

2018

Page 100: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

95

Jurnal karya Ilmiah oleh Ahmad Science Nidaus Salam, Dakwah Kebangsaan Ahmad

Syafi’i Ma’arif di Indonesia, (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2018

Jurnal Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (Ketua 1998-2005)

Jurnal Zaenal Arifin, Mendukung Pluralisme Agama (Pemikiran Ahmad Syafi’i

Ma’arif)

Karya Ilmiah Fahma Addini, Definisi Pluralisme Agama Menurut Para Ahli, 2016

Karya ilmiah Ilman Nafi‟a, Fatwa Pluralisme dan Pliralisme dan Pluralitas Agama

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon, 2013

Karya ilmiah Muhammad Wahid Nur Tualeka, Konsep Toleransi Beragama Menurut

Buya Syafi’i Ma’arif, Program Studi Agama-agama, FAI UM Surabaya

Karya Ilmiah Yuli, Dewi Rahma, Pemikiran Politik Syafi’i Ma’arif Tentang Islam

dan Pancasila Sebaagai Dasar Negara, Fakultas Syari‟ah Institut Agama

Islam Negeri (Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70

Tahun Ahmad Syafi’i Ma’arif: cermin untuk semua ,…,2019

Legenhausen, Muhammad, op.Cit. yang dikutip dari buku Anis Malik Thoha, Tren

Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis

Lihat Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Prespektif Nurcholish Madjid”, dalam

http://doaj.org, diakses pada tanggal 21 Februari 2017

Lihat: Abdul Mukti, “Pluralisme Agama di Indonesia Studi Komparasi Pemikiran

Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid”, Skripsi Fakultas Ushuluddin

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan

Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2010

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Yogyakarta: PT

Bentang Pustaka, 2018

Page 101: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

96

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam Dalam Bingkai Ke Indonesiaan dan Ke Manusiaan;

Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, 2009

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan

dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Bandung: PT

Mizan Pustaka (Anggota IKAPI), 2017

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Islam dan Politik, Yogyakarta: IRCiSoD (Anggota IKAPI),

2018

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Mencari Autentisitas, (Jurnal Mukhriza Arif, 2012.

Pluralisme Agama Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2014

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Titik Kisar di Perjalananku, Autobiografi Ahmad Syafi’i

Ma’arif, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Titik-Titik Kisar dalam Perjalananku: Otobigrafi , Jakarta:

MAARIF Institute, 2006

Ma‟arif, Syafi‟i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,

1993

Madjid, Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, Jakarta: Gramedia, 2004

Merriam-Webster, Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Elevent Edition

(Masssachussets: Merriam-Webster, Incorparated). (Jurnal tulisan Muhammad

Qorib, 2019. Pluralisme Buya Suafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Bangsa, (Yogyakarta: Jl. Raya Pleret KM 2), 2003

Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, Yogyakarta: Suara

Muhammadiyah, 2018

Qorib, Muhammad, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar. Yogyakarta: Jl. Raya Pleret. (Fathiyah wafat saat Ma‟rifah

Page 102: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

97

berusia 18 tahun, Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Titik-Titik Kisar dalam

Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006), 2019

Qorib, Muhammad, Pluralisme Buya Syafi’i Ma’arif Gagasan dan Pemikiran Sang

Guru Besar, Yogyakarta: Jl. Raya Pleret. (Lihat Tsuyosi Kato, Adat

Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005), 2019

Rachman, Budhy Munawar, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama, dalam buku

Wajah Liberal Islam di Indonesia, (Jakarta: JIL), 2002

Rachman, Budhy Munawar, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme,

Liberalisme, dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam di Indonesia, (Jakarta:

LSAF dann Paramadina), 2010

Rais, Amien dan Syukriyanto, dkk, 7 Abad Muhammadiyah Istiqomah Membendung

Kristenisasi & Liberalisasi, (Yogyakarta: JL. KHA Dahlan 103), 2010

Riyadi, M. Irfan, dan Basuki, Membangun Inklusivisme Paham Keagamaan.

Ponogoro: STAIN Ponogoron Press, 2009

Subkhan, Imam. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya

Suma, Muhammad Amin. Op., Cit.,

Sumber: http://guruilmu.wordpress.com dalam menduduki-pluralisme-agama-

pemikiran-ahmad-syafi‟i-ma‟arif/ (Jurnal Mukhriza Arif, Pluralisme Agama

Perspektif Ahmad Syafi’i Ma’arif, tahun 2012)

Sumbulah, Umi, dkk, Pluralisme Agama Makna dan Lokalitas Pola Kerukunan

Antarumat Beragama, UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI): Jalan

Gajayana 50 Malang, 2013

Thoha, Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, Jakarta: JI.

Kalibata Utara II No.84, 2005

Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Gema Insani, cet pertama, 2005

Page 103: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

98

Thoha, Anis Malik. Doktrin Pluralisme Agama: Telaah Konsep dan Implikasinya

bagi Agama-Agama, dalam Dialogia Jurnal Studi Islam dan Sosial

Tim Penyusun Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Tulisan Helfi, Kritik Pluralisme Dalam Masyarakat Majemuk Antara Pemikir dan

Mufassir, (H Helfi-ALHURRIYAH: Jurnal Hukum Islam hal 102 (Soejono

Sukanto, Kamus Sosiologi Edisi Baru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1993), 2018

Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi

Kebudayaan , Jakarta: The Wahid Institute, 2007

Wan Mohd, Nor Wan Daud, Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,

Ummul Qur‟an No. 8, Vol. II, (1991/1411)

Yunus, M. Yunan, Teologi Muhammadiyah Citra Tajdid dan Realitas Sosial, Jakarta:

Uhamka Press, 2005

Page 104: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

99

Page 105: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

100

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : YONA MULYA KASIH

Tempat/Tanggal Lahir : Dalam Koto/ 14 November 1997

Agama : Islam

NIM : 1316.015

Jurusan : Hukum Tatanegara (Siyasah)

Fakultas : Syariah

Alamat : Jorong Padang Parit Panjang Dalam Koto Nagari Taeh

Baruah Kec.Payakumbuh Kab.Lima Puluh Kota,

Provinsi Sumatera Barat

No Hp/ WA : 0822 8311 2276

Email : [email protected]

Status : Belum Kawin

Warga Negara : Indonesia

Jumlah Saudara : 2 Orang

ORANG TUA

Ayah : Dasni Rianto

Ibu : Yusra

Page 106: PLURALISME AGAMA (FATWA MUI MENURUT AHMAD

101

Alamat : Jorong Padang Parit Panjang Dalam Koto Nagari Taeh

Baruah Kec.Payakumbuh Kab.Lima Puluh Kota,

Provinsi Sumatera Barat

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar (SD) Negeri 04 Taeh Baruah, tahun 2004-2009

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Kec Payakumbuh, tahun 2010-2012

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kec Payakumbuh, tahun 2013-2016

4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Fakultas Syariah, Jurusan

Hukum Tatanegara, tahun 2016-2020

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Hukum Tata Negara, dari tahun

2017-2018

2. Anggota Bidang Tahsin Unit Kegiatan Mahasiswa Forum Tahfidzul Qur‟an

(UKM-FTQ) IAIN Bukittinggi, periode 2017-2018

3. Bendahara Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Tata Negara,

Fakultas Syariah, IAIN Bukittinggi periode 2018-2019

PENGALAMAN KERJA

1. Praktek kerja Ketata Negara di DPRD Kota Payakumbuh tahun 2019

2. Praktek kerja Peradilan Agama di Pengadilan Agama Payakumbuh tahun 2019