analisis asam organik dan tingkat serapan p pada tanaman

33
1 Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman Kakao (Theobrema cacao) yang Diberi Pupuk Organik Limbah Kulit Kakao IRADHATULLAH RAHIM, S.P, M.P NIDN. 0926117601 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

1

Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman Kakao

(Theobrema cacao) yang Diberi Pupuk Organik Limbah Kulit Kakao

IRADHATULLAH RAHIM, S.P, M.P

NIDN. 0926117601

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE

Page 2: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

2

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN

DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN …………………………………….. 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………. 5

2.1. Potensi Biomassa Kulit Kakao ……………………………. 5

2.2. Komponen Lignoselulosa …………………………………. 6

2.3. Mikroba untuk Dekomposisi Limbah Kakao ……………… 9

2.4. Jamur Pelapuk ……………………………………………... 10

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …………... 11

4.1. Tujuan Penelitian …………………………………………... 11

4.2. Manfaat Penelitian ………………………………………….. 11

BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………. 12

BAB 5. HASIL YANG TELAH DICAPAI

5.1. Temperatur dan Warna Bokashi Limbah Kulit Kakao …….. 15

5.2. Bobot Bokashi Limbah Kulit Kakao ……………………….. 17

5.3. Komposisi Lignohemiselulotik Bokashi Limbah Kulit Kakao. 17

5.4. Kandungan asam humat dan asam fulvat …………………... 18

5.5. Kadar Hara Bokashi Limbah Kakao yang diinokulasi

isolat jamur pelapuk ………………………………………… 21

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ……………… 24

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………… 24

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 25

LAMPIRAN

Page 3: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

3

BAB 1. PENDAHULUAN

Usaha-usaha di bidang pertanian, selain menghasilkan komoditi bernilai

ekonomis tinggi, juga menghasilkan biomassa sebagai hasil ikutan dalam jumlah

yang sangat besar. Biomassa dapat berupa daun, batang, kulit buah, biji, kotoran

hewan, dan sebagainya. Jumlah biomassa bisa berlipat dibanding produksinya.

Biomassa ini merupakan sumber bahan organik yang sangat potensial untuk

dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk. Bahan organik adalah kumpulan senyawa-

senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi

baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa anorganik hasil mineralisasi.

Bahan organik tanah merupakan indikator kesuburan tanah. Bahan organik

memiliki beberapa manfaat yang sangat penting bagi tanah, yaitu, menambah

keasaman atau kebasaan tanah, mempengaruhi warna tanah, tekstur dan struktur,

dan menambah kemampuan tanah untuk mengikat dan menahan unsur hara, dan

sumber unsur hara N, P, S, dan unsur mikro. Bahan organik biasanya berwarna

cokelat dan bersifat koloid yang dikenal dengan humus. Humus terdiri dari bahan

organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-

senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui suatu

kegiatan mikroorganisme di dalam tanah (Saifuddin, 1988).

Bahan organik tanah-tanah di Indonesia sangat rendah yaitu kurang dari 2%.

Padahal bahan organik dapat diperoleh dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal

dari daerah sekitar dengan biaya murah. Sulawesi Selatan dikenal sebagai lumbung

pangan menghasilkan limbah pertanian melimpah. Limbah pertanian merupakan

bahan baku pupuk organik potensial kaya hara namun belum digarap secara

optimal. Hasil panen padi sebanyak 5 ton gabah akan menyerap dari dalam tanah

150 kg N, 20 kg P, dan 20 kg S. Hampir semua unsur K dan seperiga N, P, dan S

tinggal dalam jerami padi (Sutanto, 2002). Hal tersebut menunjukkan jerami padi

mengandung hara makro yang baik. Salah satu limbah pertanian yang merupakan

sumber bahan organik yang potensial adalah limbah kakao. Kakao merupakan salah

satu komoditas unggulan di Indonesia. Perkembangan luas dan produksi kakao

Page 4: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

4

Indonesia mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Tahun 2007 luas

perkebunan kakao 1.379.280 ha meningkat menjadi 1.677.254 ha pada tahun 2011.

Walau di sisi lain produksi cenderung menurun (Asrul, 2013). Kakao mempunyai

biomassa yang cukup besar. Bila tanpa naungan akan menghasilkan produksi 23 kg

per pohon, dengan daun dan ranting sebesar 6,85 ton ha-1 biomassa. Bila dengan

naungan berproduksi 10,80 kg per pohon, dengan biomassa daun dan ranting

mencapai 11,88 ton ha-1. Sedangkan bobot buah kakao yang dipanen dari 1 ha akan

diperoleh 6.200 kg kulit buah (Nasaruddin, 2010). Bila dikalikan dengan luas

perkebunan kakao di Indonesia, potensi biomassa sebagai sumber bahan organik

sangat besar.

Bahan organik tersebut dapat diserap dengan sempurna oleh tanaman

setelah melalui proses dekomposisi. Faktor- faktor yang berperan dalam

dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan

organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan, kelembaban nisbi, intensitas

cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor kondisi lingkungan tempat

tumbuh yang berperan adalah suhu air, pH air, salinitas air dan lain-lain. Dalam

proses dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang

lainnya. Menurut Aksornkoae dan Khemnark (1984) dalam proses dekomposisi

terjadi asosiasi antara faktor-faktor fisik dan faktor-faktor biologis. Faktor biologis

mempunyai peran yang lebih besar dibanding faktor fisik. Faktor biologis

dipengaruhi oleh sejumlah mikroba, yaitu jamur dan bakteri. Dikenal ada 3 jenis

jamur yang berperan dalam proses dekomposisi, yaitu pelapuk coklat (brown rot),

pelapuk putih (white rot) dan pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan jamur

pelapuk ini didasarkan pada hasil proses pelapukan. Jamur pelapuk coklat

menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih

menghasilkan sisa hasil pelapukan yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur tersebut

memiliki karakteristik yang berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan

mendegradasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan

selulosa. jamur pelapuk putih dan coklat. Jamur ini berperan mendegradasi lignin,

selulosa, dan hemiselulosa, yang dikenal sebagai kelompok lignoselulosa. Jamur

mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya,

Page 5: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

5

dan mengubah lignoselulosa yang berbentuk polimer menjadi monomer yang akan

lebih mudah masuk dalam sel.

Limbah kulit kakao yang telah didekomposisi tersebut bila dikembalikan ke

pertanaman kakao, akan menjadi sumber hara yang sangat berperan pada proses

pertumbuhan dan produksi tanaman kakao.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi Biomassa Kulit Kakao sebagai Bahan Organik

Kakao adalah komoditi utama unggulan yang mempunyai nilai ekonomis

sangat tinggi. Produksi kakao Indonesia tahun 2011 berkisar 712.231 ton dengan

90.25% berasal dari perkebunan rakyat. Kakao mempunyai biomassa yang cukup

besar. Bila tanpa naungan akan menghasilkan produksi 23 kg/pohon, dengan daun

dan ranting sebesar 6,85 ton/ha biomassa. Bila dengan naungan berproduksi 10,80

kg/pohon, dengan biomass daun dan ranting mencapai 11,88 ton/ha. Sedangkan

bobot buah kakao yang dipanen dari 1 ha akan diperoleh 6.200 kg kulit buah. Kulit

buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan

tanaman kakao. Buah cokelat yang terdiri dari 74% kulit buah, 2% plasenta dan

24% biji (Asrul, 2013; Herwigiati, 2012; Nasaruddin, 2010). Menurut Haryati dan

Hardjosuwito (1984), buah kakao mengandung 74% kulit buah, 2,0% plasenta, dan

24,2% biji. Potensi biomassa yang sangat besar tersebut bila tidak dimanfaatkan

dengan baik dapat menimbulkan masalah lingkungan. Menurut Smith dan

Adegbola (1982) kulit buah kakao merupakan hasil dari proses pengolahan buah

kakao yang telah dipisahkan dari buahnya dan merupakan salah satu limbah

lignoselulosik yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai kompos maupun

bahan makanan ternak ruminansia. Limbah lignoselulosik merupakan bahan yang

mengandung lignin, hemiselulosa dan selulosa. Secara fisik (penggilingan,

pemanasan uap, radiasi, pemanasan udara kering) atau secara kimia (pelarutan,

larutan pengembangan, gas S02) atau gabungan keduanya, limbah ini dapat

dimanfaatkan kembali dengan menurunkan kadar ligninnya semaksimal mungkin

(Wong et al. 1986).

Page 6: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

6

Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman

dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai

bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang

sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak

sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono et al, 1997).

Menurut Didiek dan Yufnal (2004) dalam Sudirja (2005), kompos buah kakao

mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%,

CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.

Biomassa kakao merupakan cadangan hara yang potensial pada ekosistem

kakao yang terdiri atas biomassa atas dan di bawah tanah. Total biomassa pada

pekebunanan kakao cukup bervariasi. Di Malaysia, total biomassa pada kebun

kakao berumur 7.5 tahun sekitar 60 ton berat kering per tahun. Di Costa Rica 8,5-

11 ton berat kering per hektar, dengan akumulasi pohon naungan sekitar 23-35 ton

biomassa kering per hektar. Sedangkan tanaman pisang yng dijadikan penaung

sementara di Kebun Percobaan Kaliwining Jember hanya berkisar 650 kg per hektar

(Thong & Ng, 1978; Alpizar et al, 1986; Prawoto, 1998; dalam Baon, J.B., 2006).

Biomassa kakao bila dikembalikan ke pertanaman kakao sebagai sumber

bahan organik dapat memberi manfaat yang cukup besar. Dilaporkan bahwa

tanaman kakao yang ditanam di lahan yang cukup mengandung bahan organik

tumbuh lebih sehat dan tanah terhadap kekeringan. Penelitian Munandar et al

(1995) pada tanaman kakao menunjukkan bahwa makin tinggi bahan organik

tanaman, makin hemat menggunakan air. Peningkatan bahan organik tanah sampai

6.09% menyebabkan pertumbuhan dan produksi kakao terus meningkat secara

linier. Agar tumbuh baik, tanaman kakao memerlukan kadar bahan organik

minimum 3.5% (sekitar 2%C) pada jeluk 0-15 cm (Smyth, 1966) dalam Soedarsono

et al (1997).

2.2. Komponen Lignoselulosa

Komponen limbah berserat, termasuk kulit buah kakao, umumnya terdiri

dari (Murni et al. 2008):

Page 7: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

7

a) Selulosa, mempunyai bobot molekul tinggi, terdapat dalam jaringan

tanaman padabagian dinding sel sebagai mikrofibril, terdiri dari rantai

glukan yang dilekatkan oleh ikatan hydrogen.

b) Hemiselulosa, terdapat bersama selulosa, terdiri atas pentosan, pektin, xylan

dan glikan.

c) Lignin, suatu subtansi yang kompleks dan tidak dapat dicerna, terdapat pada

bagian berkayu dari tanaman (kulit gabah, bagian fibrosa akar, batang dan

daun). Keberadaan lignin selalu bersama-sama dengan selulosa dan

hemiselulosa, lignin dikenal sebagai karbohidrat, namun sesungguhnya

lignin berbeda dengan karbohidrat. Perbedaan terletak pada atom karbon C

dimana atom karbon pada lignin lebih tinggi dan tidak proporsional.

Semakin tua tanaman kadar lignin semakin tinggi akibatnya daya cerna

semakin menurun dengan semakin bertambahnya lignifikasi.

d) Silika, merupakan kristal yang terdapat dalam dinding sel dan mengisi ruang

antar sel. Pada tanaman sereal kandungan abu yang tinggi biasanya sejalan

dengan kadar silikanya.

Selulosa

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kadar

selulosa dan hemiselulosa pada tanaman pakan yang muda mencapai 40% dari

bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa makin

bertambah (Tillman et al. 1998). Selulosa merupakan substansi yang tidak larut

dalam air yang terdapat di dalam dinding sel tanaman terutama dari bagian batang,

tangkai dan semua bagian yang mengandung kayu. Selulosa merupakan

homopolisakarida yang mempunyai molekul berbentuk linear, tidak bercabang dan

tersusun atas 10.000 sampai 15.000 unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan

β-1,4 glikosidik (Nelson dan Michael, 2000).

Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat

molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari bera

tkering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah

Page 8: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

8

dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa,

galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa

membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Selain itu juga

berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan

struktur yang kuat. Jung (1989) melaporkan bahwa perubahan kecernaan selulosa

dan hemiselulosa diakibatkan oleh keberadaan lignin yang berubah-ubah.

Hemiselulosa rantainya pendek dibandingkan selulosa dan merupakan polimer

campuran dari berbagal senyawa gula, seperti xilosa, arabinosa, dan galaktosa.

Selulosa alami umumnya kuat dan tidak mudah dihidrolisis karena rantai

glukosanya dilapisi oleh hemiselulosa dan di dalam jaringan kayu selulosa

terbenam dalam lignin membentuk bahan yang kita kenal sebagai lignoselulosa.

Lignin

Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman yang bersama

dengan selulosa dan bahan-bahan serat lainnya membentuk bagian struktural dan

sel tumbuhan. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat

komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon biasa berdiri tegak. Berbeda

dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk

dan gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri

dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis

yang berupa fenol, terutama kresol (Young, 1986).

Degradasi bahan organik dipengaruhi adanya lignin dan silika yang terdapat

pada dinding sel secara bersama-sama membentuk senyawa kompleks dengan

selulosa dan hemiselulosa. Senyawa kompleks ini sulit ditembus oleh enzim

mikroba sehingga akan menghambat kecernaan dinding sel dan selanjutnya

menurunkan kecernaan termasuk bahan organik didalamnya. Lignin merupakan

komponen yang tidak dicerna, sehingga dapat mempengaruhi kecernaan serat kasar

(Van Soest, 1976). Fungsi dari lignin untuk memberi kekakuan pada jaringan

pengangkut tumbuhan dan melindungi struktur yang tersusun dari polisakarida

(selulosa dan hemiselulosa) dari serangan organisme lain sehingga lignin bersifat

rekalsitran (Hammel, 1997). Lignin merupakan polimer alami dan tergolong ke

Page 9: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

9

dalam senyawa rekalsitran karena tahan terhadap degradasi atau tidak terdegradasi

dengan cepat di lingkungan. Lignin tersusun dari 3 jenis senyawa fenlipropanoid

yaitu: alkohol kumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil (Van Soest, 1982).

Senyawa ini juga merupakan senyawa yang tidak mudah larut dalam air (Srebotnik

et al. 1998). Kebanyakan lignin mengandung struktur aromatik nonfenolik yang

tahan terhadap oksidasi enzimatik, dan kandungan minor dari lignin merupakan

struktur fenolik (Srebotnik et al. 1998).

2.3. Mikroba untuk Dekomposisi Limbah Kakao

Limbah kakao dapat menjadi hara yang tersedia bagi tanaman bila telah

mengalami perombakan. Ketersediaan hara ini dapat berlangsung melalui

peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya oleh cendawan mikoriza

arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi,

aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan hara ini berlangsung melalui hubungan

simbiotis atau nonsimbiotis. Secara simbiosis berlangsung dengan kelompok

tanaman tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis

berlangsung melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba

pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme

perombak. Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar

dan cendawan mikoriza. Saraswati et al. (2004) secara umum menggolongkan

fungsi mikroba menjadi empat, yaitu (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara

tanaman dalam tanah, (2) sebagai perombak bahan organik dalam tanah dan

mineralisasi unsur organik, (3) bakteri rizosfer-endofitik untuk memacu

pertumbuhan tanaman dengan membentuk enzim dan melindungi akar dari mikroba

patogenik, (4) sebagai agensia hayati pengendali hama dan penyakit tanaman.

Mikroba mempunyai kemampuan tinggi untuk mengubah sesuatu, terutama

dalam menguraikan limbah menjadi kompos. Selain memberi asupan hara bagi

tanaman, mikroba juga berperan menciptakan keseimbangan iklim mkro dalam

tanah. Selain memproduksi hormon tumbuh, juga mengandung hormon florigen

yang merangsang pembungaan. Mikroba memproduksi hara dan nutrisi melalui

proses bio-perforasi. Selain itu ada mikroba yang digunakan utuk menekan hama

Page 10: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

10

dan penyakit. Mikroba tersebut dapat memproduksi racun yang menekan

pertumbuhan hama dan penyakit tanaman. Penerapan mikroba dalam pertanaman

dapat mendongkrak rendemen nilam 10-16%, yang biasanya hanya berkisar 1,5-

2%. Demikian pula pada kedelai, hasil panen bisa meningkat 2.5 ton/ha, yang

sebelumnya hanya 1.5 ton/ha di Musi Banyuasin (Tubus Exo, 2012).

2.4. Jamur Pelapuk

Di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat menguraikan komponen

kayu (lignoselulosa) yaitu pelapuk coklat (brown rot), pelapuk putih (white rot) dan

pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan jamur pelapuk ini didasarkan pada hasil

proses pelapukan. Jamur pelapuk coklat menghasilkan sisa hasil pelapukan

berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih menghasilkan sisa hasil pelapukan

yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur tersebut memiliki karakteristik yang

berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang

tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan selulosa.

Beberapa kelompok cendawan pelapuk misalnya Panerochaete

chrysosporium selain memiliki enzim untuk menguraikan lignin dan selulose,

mereka juga memiliki kemampuan dalam menguraikan bahan beracun yang

sifatnya persisten, karena adanya enzim dehalogenase, lignin peroksidase, dan

manganese peroksidase. Jamur tiram (Pleurotus spp.) telah lama dikenal luas di

Indonesia sebagai jamur konsumsi dan untuk bahan obat. Selain itu Pleurotus spp.

merupakan dekomposer bahan organik utama yang dapat secara efisien dan selektif

menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan secara kimia atau biologi. Pleurotus

spp. dapat memanfaatkan bahan lignoselulosa dengan kisaran yang luas, seperti

jerami padi, sisa gergajian, kulit coklat, ampas tebu, pulp kopi, dan batang-batang

kapas (Herliyana, 2003).

Selain itu Pleurotus spp. dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai

macam kayu di sembarang tempat. Pada Pleurotus spp. terdapat dua bentuk sel

yaitu sel generatif dan sel vegetatif bercabang yang disebut hifa. Stadia

pertumbuhan cendawan membentuk bulatan kecil (pinhead) yang disebut juga

sebagai periode primordia dan selanjutnya menjadi stadia dewasa membentuk

Page 11: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

11

tubuh buah (fruiting bodies) yang sempurna terdiri dari batang tanpa cincin dan

tudung. Hasil penelitian Glucan Health Center menyebutkan bahwa Pleurotus

ostreatus mengandung senyawa pleuran mengandung protein (19-30%),

karbohidrat (50-60%), asam amino, vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3

(niacin), B5 (asam panthotenat), B7 (biotin), vitamin C dan mineral (Widyastuti,

2002). Jamur tiram juga berfungsi sebagai anti tumor, menurunkan kolesterol dan

anti oksidan.

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh dekomposisi limbah kulit

kakao menggunakan 3 jenis jamur pelapuk terhadap:

1. Laju dekomposisi limbah kulit kakao

2. Kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa limbah kulit kakao

terdekomposisi

3. Kadar unsur hara C, N, P dan K, serta karbohidrat total, serat kasar, dan

protein yang terdapat pada limbah kulit kakao terdekomposisi.

4. Dinamika pertumbuhan bibit kakao yang diberi limbah kulit kakao

terdekomposisi

3.2. Manfaat Penelitian

Kontribusi atau manfaat penelitian adalah:

1. Mempercepat proses dekomposisi limbah kulit kakao dengan pemberian

jamur pelapuk yang sesuai untuk limbah kulit kakao.

2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk dekomposisi jenis limbah

pertanian lain.

3. Sebagai satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur

hara.

4. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang

berhubungan dengan pengelolaan limbah pertanian.

Page 12: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

12

BAB 4. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, meliputi:

1. Tahap I merupakan tahapan terkontrol, dengan melakukan isolasi 3 isolat

jamur pelapuk, yang diperoleh pada batang pohon kakao yang melapuk.

Dilakukan karakterisasi dengan berbagai macam uji seperti uji media, uji

enzim, dan kramatografi. Kemudian diinokulasi pada substrat organik

dalam plastik polifenol. Tahap ini dilaksanakan di Laboratorium

Bioteknologi Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas. Pengamatan pada

tahap ini adalah pengamatan visual, yaitu pertumbuhan jamur pelapuk.

Indikator yang diukur adalah pertumbuhan miselium jamur dan perubahan

warna. Luaran yang diharapkan pada tahap ini adalah jenis isolat jamur

pelapuk yang mempunyai daya tumbuh yang terbaik.

2. Tahap II merupakan tahapan lapang skala terbatas, dengan melakukan

inokulasi 3 isolat jamur yang diperoleh pada tahap I, pada limbah kulit

kakao secara aerob dan anaerob. Kegiatan dilaksanakan di Greenhouse

Fakultas Pertanian Unhas. Pengamatan meliputi kandungan hara makro dan

lignoselulosa, protein kasar, serta serta kasar. Luaran yang diharapkan

adalah bahan organik berupa limbah kulit kakao yang terdekomposisi

sempurna dengan kandungan hara yang cukup baik bagi tanaman.

Pelaksanaan penelitian sebagai berikut:

a. Limbah kulit kakao dicacah dengan mesin chopper lalu dicampur

dengan dedak dan kapur pertanian serta diberi air sampai kadar 30%.

b. Perlakuan pertama adalah perlakuan anaerob dengan memasukkan

limbah kulit kakao ke dalam lubang yang diberi semen sehingga tercipta

kondisi anaerob.

c. Perlakuan pertama adalah limbah kulit kakao ditaruh di atas terpal

dalam keadaan aerob.

Page 13: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

13

Pada hari ke-20 dan 40 dilakukan uji kandungan hara makro, lignoselulosa, protein

kasar, dan serat kasar. Untuk menentukan kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa

terlebih dahulu ditentukan kadar Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral

Detergent Fiber (NDF) dengan menggunakan metode Van Soest.

a. Penentuan Kadar Acid Detergent Fiber (ADF)

Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) dimasukkan ke dalam gelas piala

kemudian dtambahkan 50 ml larutan ADS dan 2 ml decalin. Dipanaskan selama 1

jam diatas penangas air. Kemudian dilakukan penyaringan dengan bantuan pompa

vakum, juga dengan menggunakan penyaring kaca masir yang sudah di timbang

sebagai b gram, Pencucian di lakukan dengan menggunakan hexan, acetone dan

air panas. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan memasukkan hasil

penyaringan tersebut dalam oven, setelah dimasukkan lagi di dalam desikator untuk

melakukan pendinginan dan ditimbang sebagai c gram.

% ADF =𝑐 − 𝑏

𝑎 × 100%

Keterangan:

a : berat sampel

b : berat kaca masir

c : berat kaca masir + berat sampel setelah di tambah larutan ADS

b. Penentuan Neutral Detergent Fiber (NDF)

Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) di masukkan ke dalam gelas piala

berukuran 500 ml, serta di tambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan 0,5 gram

Na2SO3 lalu dipanaskan selama 1 jam. Menimbang kaca masir sebagai b gram.

Kemudian melakukan penyaringan dengan bantuan pompa vakum dibilas dengan

Page 14: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

14

air panas dan acetone. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105°C

setelah itu dimasukkan lagi dalam eksikator selama 1 jam, kemudian dilakukan

penimbangan akhir sebagai c gram.

% NDF =𝑎 − 𝑏

𝑎 × 100%

Keterangan:

a : berat sampel

b : berat kaca masir

c : berat kaca masir + berat sampel setelah di tambah larutan NDS

Untuk memisahkan selulosa dari lignin, ADF ditambahi H2SO4 dingin,

sehingga selulosanya akan larut. Selanjutnya residu yang tertinggal dicuci dengan

air hangat (85-95oC) sampai bebas dari asam. Lalu dikeringkan, dengan

menggunakan oven 105°C dan selanjutnya dilakukan pendinginan dengan

desikator lalu ditimbang sebagai berat akhir (e gram). Selisih bobot antara ADF

dengan residu tersebut adalah selulosa.

% Hemisellulosa = %NDF - % ADF

% selulosa =𝑐−𝑒

𝑎 × 100%

Setelah residu ditimbang, lalu dibakar pada suhu 500oC kemudian

didinginkan dalam desikator serta disimpan kembali sebagai berat akhir (f gram).

Abu sisanya setelah dingin ditimbang dan selisih antara residu dengan abu adalah

lignin.

% lignin =𝑒 − 𝑓

𝑎 × 100%

Page 15: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

15

3. Tahap III merupakan tahapan aplikasi, dengan mengaplikasi limbah kulit

kakao yang telah terdekomposisi dengan 3 isolat jamur pelapuk yang

diperoleh dari Tahap II yang terdekomposisi sempurna, pada bibit tanaman

kakao. Tahap ini dilaksanakan di Kebun Percobaan (Experimental

Farming) Fakultas Pertanian, Peternakan, dan Perikanan UMPAR.

Pengamatan meliputi jumlah daun, ILD, berat, panjang akar, berat

berangkasan. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak lengkap

dengan uji orthogonal kontras, yaitu: K0 = kontrol

K1 = kontrol vs isolat jamur A, B, C

K2 = A vs B,C

K3 = A vs B

K4 = A vs C

K5 = B vs C

BAB 5. HASIL YANG DICAPAI

Hasil yang telah dicapai pada penelitian ini adalah tahap pertama dan kedua,

yaitu isolasi dan skrening jamur pelapuk dan pembuatan bokashi limbah kulit

kakao. Hasil penelitian disajikan sebagai berikut:

5.1. Temperatur dan Warna Bokashi Limbah Kulit Kakao

Analisis ragam menunjukkan jenis isolat jamur pelapuk tidak berpengaruh

nyata terhadap temperatur bokashi limbah kulit kakao. Temperatur bokashi diukur

menggunakan termometer tiap 2 hari sekali. Kisaran temperatur bokashi naik turun.

Rata-rata temperatur tertinggi dicapai adalah 36.5OC pada bokashi yang diberi

isolat JT pada hari ke-27. Sedangkan temperatur terendah yaitu 30.5 OC pada

bokashi yang diberi isolat BPB pada hari ke-13 (Gambar 1).

Page 16: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

16

Gambar 1. Rata-Rata temperatur bokashi limbah kulit kakao yang diberi isolat

jamur pelapuk

Semua bokashi yang diinokulasi jamur pelapuk mempunyai warna

kehitaman dengan tekstur lebih halus, lunak, dan lengket. Sedangkan yang tidak

diinokulasi jamur pelapuk, warnanya lebih terang, lebih kasar dan kering.

Gambar 2. Perbandingan warna dan tekstur bokashi limbah kulit kakao yang

diinokulasi jamur pelapuk (A) dan tidak diinokulasi jamur pelapuk (B).

A B

Page 17: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

17

5.2. Bobot Bokashi Limbah Kulit Kakao

Proses fermentasi dengan inokulasi isolat jamur pelapuk selama 40 hari

menunjukkan terjadi penurunan bobot limbah kulit kakao.

Gambar 3. Persentase rata-rata penurunan bobot bokashi limbah kakao yang diberi

berbagai isolat jamur pelapuk

Gambar 3 menunjukkan persentase penurunan bobot tertinggi pada bokashi

yang diberi isolat BPB yaitu 12.3% dan terendah pada bokashi yang diberi isolat JT

yaitu 4.6%.

5.3. Komposisi Lignohemiselulotik Bokashi Limbah Kulit Kakao

Bokashi limbah kulit kakao yang difermentasi dengan jamur pelapuk asal

pertanaman kakao dianalisis komposisi lignin, selulosa, hemiselulosa, dan abu tak

larut. Persentase hemiselulosa, selulosa, dan lignin tertinggi pada bokashi yang

diinokulasi isolat BSA. Persentase hemiselosa dan selulosa terendah pada bokashi

Page 18: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

18

yang diinokulasi isolat BSF. Sedangkan komposisi lignin terendah pada bokashi

yang diberi isolat BPB.

Tabel 1. Komposisi lignoselulotik bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi

isolat jamur pelapuk pada 40 hari fermentasi

Isolat Komposisi (%)

Hemiselulosa Selulosa Lignin Abu tak larut

Tanpa isolat 1.78 3.63 25.60 0.26

BSA 1.96 5.24 43.32 0.82

BPB 1.49 4.38 24.65 0.78

BPE1 1.47 3.70 25.84 0.87

BPE2 1.01 3.23 27.91 1.00

BSF 0.88 2.52 26.05 0.57

JT 2.13 3.67 32.97 0.72

5.4. Kandungan asam humat dan asam fulvat

Bokashi limbah kulit kakao yang difermentasi menghasilkan asam-asam

organik, antara lain asam humat dan asam fulvat. Dilakukan pemisahan asam humat

dan asam fulvat dari bokashi limbah kulit kakao yang telah diinokulasi isolat jamur

pelapuk pada 20 dan 40 hari. Pada penelitian ini diukur persentase berat asam humat

pada 10 gram bokashi limbah kulit kakao dan absorbansi asam fulvat.

Page 19: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

19

Gambar 4. Rata-Rata berat asam humat (%) pada 10 g bokashi limbah kulit kakao

yang diinokulasi isolat jamur pelapuk selama 20 hari dan 10 hari

Semakin lama waktu fermentasi, semakin tinggi persentase asam humat

pada bokashi limbah kulit kakao. Fermentasi dengan isolat jamur pelapuk selama

40 hari menghasilkan persentase berat asam humat yang lebih tinggi dibandingkan

fermentasi selama 20 hari (Gambar 4). Pada fermentasi 20 hari, persentase berat

asam humat dengan isolat jamur pelapuk berbeda tidak menunjukkan perbedaan

yang besar. Sedangkan pada fermentasi 40 hari, persentase berat asam humat

tertinggi pada perlakuan isolat BPE2 disusul BPE1 dan JT. Persentase berat asam

humat terendah pada bokashi kulit kakao yang difermentasi tanpa isolat jamur

pelapuk.

Asam humat dipisahkan dengan asam fulvat menggunakan larutan asam

kuat. Asam humat berbentuk endapan sedangkan asam fulvat berbentuk cairan.

Page 20: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

20

Cairan yang dihasilkan berwarna coklat tua. Makin lama bpkashi difermentasi,

makin pekat warna cairan (Gambar 5).

Gambar 5. Asam fulvat hasil pemisahan dengan asam humat. Perbedaan lama

fermentasi bokashi limbah kulit kakao menyebabkan perbedaan warna

cairan asam fulvat. Semakin lama fermentasi semakin pekat warna

cairan. Fermentasi tanpa isolat jamur pelapuk (K), fermentasi 20 hari

(A), fermentsi 40 hari (B).

Tabel 2. Berat basah (g) dan berat kering (g) endapan dan absorbansi bokashi

limbah kulit kakao yang difermentasi pada 20 dan 40 hari

Kode Berat Basah (g) Berat Kering (g) Absorbansi

Isolat 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari

Tanpa isolat 1.692 3.125 0.0277 0.0477 0.186 0.219

BSA 1.719 3.975 0.0358 0.1028 0.199 0.233

BPB 1.797 3.818 0.0337 0.1054 0.205 0.258

BPE1 1.804 3.830 0.0342 0.1255 0.207 0.265

BPE2 1.746 3.858 0.0340 0.1663 0.210 0.238

BSF 1.583 3.425 0.0289 0.1008 0.204 0.259

JT 1.515 3.747 0.0309 0.1329 0.211 0.227

Page 21: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

21

5.5. Kadar Hara Bokashi Limbah Kakao yang diinokulasi isolat jamur

pelapuk

Bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi dengan isolat jamur pelapuk

terpilih difermentasi selama 20 hari dan 40 hari, kemudian dianalisis kandungan

hara yang dikandungnya. Secara umum semakin lama waktu fermentasi, nilai pH

dan kadar C-organik semakin meningkat, sedangkan rasio C/N menurun (Gambar

6 dan Gambar 7).

Gambar 6. Kadar C/N, C-organik (%), dan pH bokashi limbah kulit kakao yang

difermentasi selama 20 hari dengan isolat jamur pelapuk

Fermentasi 20 hari menunjukkan ratio C/N berkisar antara 24 – 28.3,

terendah pada bokashi kulit kakao yang diinokulasi isolat BSF dan tertinggi pada

isolat BPE1 dan BSA. Persentase C-organik berkisar 6.89-15.76%, tertinggi pada

bokashi yang diinokulasi isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa pemberian

isolat jamur pelapuk. pH berkisar antara 6.89-7.69, terendah pada bokashi tanpa

isolat jamur pelapuk dan tertinggi pada bokashi dengan isolat BSA.

0

5

10

15

20

25

30

35

Tanpa isolat BSA BPB BPE1 BPE2 BSF JT

20 hari fermentasi

pH C/N C-organik

Page 22: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

22

Gambar 7. Kadar C/N, C-organik (%), dan pH bokashi limbah kulit kakao yang

difermentasi selama 40 hari dengan isolat jamur pelapuk

Fermentasi 40 hari menunjukkan, rasio C/N berkisar antara 23.5 sampai 33.

Tertinggi pada bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat BSA dan

tertinggi pada isolat BPE2. Persentase C-organik berkisar antara 10.36-17.56%,

tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat

jamur pelapuk. pH bokashi berkisar antara 8,02-8,33, tertinggi pada isolat BPE2

dan terendah pada bokashi tanpa isolat jamur pelapuk.

Hasil analisis hara makro bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat

jamur pelapuk menunjukkan semakin lama fermentasi, kandungan hara makro

semakin tinggi. Selain itu kadar P2O5 menunjukkan persentase terbesar dibanding

kadar N total dan K2O (Tabel 3).

0

5

10

15

20

25

30

35

Tanpa isolat BSA BPB BPE1 BPE2 BSF JT

40 hari fermentasi

pH C/N C-organik

Page 23: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

23

Tabel 3. Kandungan hara makro (%) bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi

isolat jamur pelapuk dengan lama fermentasi 20 hari dan 40 hari

Macam isolat N Total (%) P2O5 (%) K2O (%)

20 hari 40 hari 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari

Tanpa isolat 0.29 0.59 0.89 4.65 0.19 0.33

BSA 0.35 0.55 2.54 5.97 0.23 0.49

BPB 0.43 0.62 3.22 5.90 0.24 0.58

BPE1 0.41 0.58 3.73 6.55 0.37 0.62

BPE2 0.35 0.51 4.78 6.10 0.44 0.46

BSF 0.43 0.60 4.28 5.84 0.46 0.59

JT 0.59 0.65 5.20 6.70 0.54 0.71

Fermentasi 20 hari menunjukkan kadar N total berkisar antara 0.29-0.59,

tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat.

Kadar P2O5 berkisar antara 0.89-5.20 tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan

terendah pada bokashi tanpa isolat. Kadar K2O berkisar antara 0.19-0.54, tertinggi

pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat jamur

pelapuk. Fermentasi 40 hari menunjukkan kadar N total berkisar antara 0.51-0.65,

tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada isolat BPE2. Kadar P2O5

berkisar antara 4.65-6.7, tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada

bokashi tanpa isolat jamur pelapuk. Kadar K2O berkisar antara 0.33-0.71, tertinggi

pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat.

Analisis hara mikro, yaitu kadar Mg dan S, yang dilakukan pada bokashi

limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat jamur pelapuk menunjukkan semakin

lama waktu fermentasi, semakin tinggi persentasi hara mikro (Tabel 13). Kadar Mg

tertinggi pada bokashi yang diinokulasi dengan isolat JT dan difermentasi selama

40 hari, terendah pada pada bokashi tanpa isolat yang difermentasi selama 20 hari.

Page 24: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

24

Kadar S tertinggi pada bokashi dengan isolat BSF yang difermentasi 40 hari dan

terendah pada bokashi tanpa isolat jamur pelapuk yang difermentasi selama 20 hari.

Tabel 4. Kandungan hara mikro (%) bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi

isolat jamur pelapuk dengan lama fermentasi 20 hari dan 40 hari

Macam isolat Mg (%) S (%)

20 hari 40 hari 20 hari 40 hari

Tanpa isolat 0.090 0.100 0.060 0.090

BSA 0.100 0.205 0.085 0.105

BPB 0.130 0.210 0.170 0.130

BPE1 0.155 0.195 0.135 0.150

BPE2 0.150 0.170 0.140 0.165

BSF 0.150 0.280 0.130 0.215

JT 0.180 0.320 0.140 0.190

Pada kegiatan ini telah diterbitkan 2 buah artikel yang dimuat pada jurnal

Internasional. Screening of Fungal Rot Isolates from Cocoa as Phosphate-

Dissolving and Their Growth Ability on Three Types of Media pada Procedia

Food Science 3 ( 2015 ) 104 – 111 dterbitkan elsevier. Growth Rate and Indole

Acetic Acid Production of Several Fungal Rot Isolates pada International Journal

of Science and Research (IJSR) Volume 4 Issue 6, June 2015.

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Rencana tahap ketiga telah memasuki pengamatan ke dua. Rencananya

penelitian tahap ke tiga berakhir 14 Agustus 2015. Rencana lainnya adalah

menerbitkan satu buah lagi artikel yang dimuat pada jurnal internasional.

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara limbah kulit kakao

yang difermentasi tanpa isolat jamur pelapuk dan dengan isolat jamur pelapuk.

Perbedaan tersebut meliputi:

Page 25: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

25

1. Warna dan tekstur bokashi, warna bokashi yang difermentasi isolat jamur

pelapuk lebih gelap dan tekstur lebih kasar.

2. Terdapat perbedaan kandungan hara, C/N, kandungan lignoselulotik, dan

asam-asam organik antara limbah kulit kakao yang difermentasi 20 hari dan

yang difermentasi 40 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Asrul, L., 2013. Agribisnis Kakao. Penerbit Media Bangsa, Jakarta.

Aksornkoae, S., dan C. Khemnark. 1984. Nutrient Cycling in Mangrove Forest of

Thailand. Hlm. 545 – 557 dalam Proc. As. Symp. Mangr. Env. Res. And

Manag. E. Soepadmo, A. N. Rao dan D. J. Macintosh (Peny.). University

of Malaya & UNESCO. Kuala Lumpur.

Baon, J.B., 1998. Konservasi Lengas Tanah melalui Pemberian Bahan Organik dan

Mulsa. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol.14 No.1 Februari

1998. hal.61-68.

Baon, J.B., 2006. Berapa Sesarkah Cadangan Hara dalam Agroekosistem

Perkebunan Kakao? Warta. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol.22 No.2

Juni 2006. hal.59-64.

Carter, H., 2001. The Influence Of Organic And Inorganic Fertilization On

Development Of Indigenous VA Fungi. In D.J. Read, D.H. Lewis, A.H.

Fitter and I.J.Alexander (Eds). Mycorrhizas in Ecosystems. pp.126-131.

Goulding, K.W.T, D.V. Murphy, A. Macdonald, E.A. Stockdale, J.L. Gaunt, L.

Blake, G.Ayaga, and P.Brookes, 2001. The Role of Soil Organic Matterr

and Manures in Sustainable Nutrient Cycling.Sustainable Management of

Soil Organic Matter. CAB International R.M. Ress, B.C. Ball, C.D.

Campbell and C.A. Watson (eds)

Page 26: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

26

Hammel K.E., 1997. Fungal Degradation Of Lignin. Di Dalam: Cadisch G, Giller

KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And Decompostion.

London: CAB International. hlm. 33-45.

Herwigiati, I., 2010. Seputar Dunia Pangan. Pemanfaatan Limbah Kakao. (on line

herwipangan.blogspot.com diunduh 23 Mei 2013).

Herliyana, E.N. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete

chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan

Pinus merkusii [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Indonesian Coffee and Cacao Research Institute, 2003. Coffee Nutrient. (on

line)(http://www.iccri.net. Diakses 31 Agustus 2005).

Jung, H.G., 1989. Forage Lignins and Their Effects on Feed Digestibility. Agron.

J. 81.

Munandar, D.E, Abdoellah, S., Mulyanto, D., Soekodarmodjo, S., dan Maas, A.,

1995. Pengaruh bahan Organik dan Potensial Air terhadap Pertumbuhan

Tanaman Kakao. Pelita Perkebunan. Vol.11 No.3 Desember 1995.

hal.168-180.

Murni, R., Suparjo, Akmal, dan B.L. Ginting, 2008. Buku Ajar Teknologi

Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan universitas Jambi.

Nane, N.M., 2000. Efektivitas Pemupukan Bokashi Pupuk Kandang terhadap

Produktivitas beberapa varietas Bawang Merah. Pasca Sarjana Unhas,

Makassar

Nasaruddin, 2010. Pemanfaatan limbah Kakao. Jurusan Agroteknologi. Fakultas

Pertanian Unhas, Makasar.

Nelson, D.C. and M. C. Michael, 2000. Lehninger Principle of Biochemistry. 3rd

Ed. Worth Publishers. New York.

Page 27: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

27

Reijntjes, C., Bertus Haverkort dan A.W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan.

Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta

.

R.D.M. Simanungkalit, Saraswati R., Hastuti R.D., Husen, E., 2006. Bakteri

Penambat Nitrogen in Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. eds R.D.M.

Simanungkalit, Suriadikarta D.A., Saraswati R, Setyorinis D, Hartatik W.

Badan Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Saraswati R., Santoso, E., Yuniarti, E., 2006. Organisme Perombak Bahan Organik

in Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. eds R.D.M. Simanungkalit,

Suriadikarta D.A., Saraswati R, Setyorinis D, Hartatik W. Badan Besar

Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Soeriatmadja, 1997. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB, Bandung

Suropati, U., 2004. Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu. Bahan Kuliah Pasca

Sarjana Unhas, Makasssar.

Sugiyanto dan Baon, J.B, 2008. Ketersediaan fosfor asal tanah dan fosfat alam

akibat Sumber Bahan Organik yang Berbeda. Pelita Perkebunan. Jurnal

Penelitian Kopi dan Kakao, Vol.24 No.2. Agustus 2008. hal.114-127.

Sudirja, R., Solihin M.A., Rosniawaty, S., 2005. Laporan Penelitian Pengaruh

Kompos Kulit Kakao dan Kascing terhadap Perbaikan Beberapa Sifat

Kimia Fluventic Eutrudepts. Universitas Padjadjaran, Bandung.

Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan

Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta

Soedarsono, Abdoellah, S., Sulistyowati, E., 1997. Pelita Perkebunan. Vol.13 No.2

Agustus 1997.

Srebotnik, E., Jensen, K. A. dan Hammel, K. E., 1998. Cleavage of Nonphenolic

Lignin Structure by Laccase in The Presence of 1-

Hydroxibenzotriazole.Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797

Page 28: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman

28

Smith, D.H. and A.A. Adegbola, 1982. Studies Of Feeing Value Of Agroindustrial

By Product And Feeding Value Of Cacao Pods For Cattle. Tropical Animal

Production, 7 : 290-295.

Taherzadeh M.J., 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of

Inhibitors and Fermentation Strategies. [thesis]. Göteborg: Department of

Chemical Reaction Engineering, Chalmers University Of Technology.

Tillman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S.

Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Trubus Exo, 2012. Mikroba Juru Masak Tanaman; Dongkrak hasil Panen 3 kali

Lipat. Trubus, Jakarta.

Van Soest, P.J., 1976. New Chemical Methods for Analysis of Forages for The

Purpose of Predicting Nutritive Value. Pref IX International Grassland

Cong.

Van Soest, P.J., 1982. Nutitional Ecology of The Ruminant. Cornell University

Press. Ithaca. New York.

Widyastuti, M. 2002. Kandungan Gizi dan Kegunaan Jamur Tiram. Pusat

Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bio Industri. Jakarta.

Wong, H.K., O.A. Hassan And M. S.M. Idris, 1986. Utilizatio n of cocoa by-

products as ruminants feed. Proc. Of the 6th annual workshop of the

Australian-Asian fibrous agricultural residues research network.

Young, R., 1986. Cellulosa Strukture Modification and Hydrolysis. New York.

Page 29: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman
Page 30: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman
Page 31: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman
Page 32: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman
Page 33: Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman