analisis asam organik dan tingkat serapan p pada tanaman
TRANSCRIPT
1
Analisis Asam Organik dan Tingkat Serapan P pada Tanaman Kakao
(Theobrema cacao) yang Diberi Pupuk Organik Limbah Kulit Kakao
IRADHATULLAH RAHIM, S.P, M.P
NIDN. 0926117601
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN …………………………………….. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………. 5
2.1. Potensi Biomassa Kulit Kakao ……………………………. 5
2.2. Komponen Lignoselulosa …………………………………. 6
2.3. Mikroba untuk Dekomposisi Limbah Kakao ……………… 9
2.4. Jamur Pelapuk ……………………………………………... 10
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …………... 11
4.1. Tujuan Penelitian …………………………………………... 11
4.2. Manfaat Penelitian ………………………………………….. 11
BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………. 12
BAB 5. HASIL YANG TELAH DICAPAI
5.1. Temperatur dan Warna Bokashi Limbah Kulit Kakao …….. 15
5.2. Bobot Bokashi Limbah Kulit Kakao ……………………….. 17
5.3. Komposisi Lignohemiselulotik Bokashi Limbah Kulit Kakao. 17
5.4. Kandungan asam humat dan asam fulvat …………………... 18
5.5. Kadar Hara Bokashi Limbah Kakao yang diinokulasi
isolat jamur pelapuk ………………………………………… 21
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ……………… 24
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………… 24
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 25
LAMPIRAN
3
BAB 1. PENDAHULUAN
Usaha-usaha di bidang pertanian, selain menghasilkan komoditi bernilai
ekonomis tinggi, juga menghasilkan biomassa sebagai hasil ikutan dalam jumlah
yang sangat besar. Biomassa dapat berupa daun, batang, kulit buah, biji, kotoran
hewan, dan sebagainya. Jumlah biomassa bisa berlipat dibanding produksinya.
Biomassa ini merupakan sumber bahan organik yang sangat potensial untuk
dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk. Bahan organik adalah kumpulan senyawa-
senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi
baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa anorganik hasil mineralisasi.
Bahan organik tanah merupakan indikator kesuburan tanah. Bahan organik
memiliki beberapa manfaat yang sangat penting bagi tanah, yaitu, menambah
keasaman atau kebasaan tanah, mempengaruhi warna tanah, tekstur dan struktur,
dan menambah kemampuan tanah untuk mengikat dan menahan unsur hara, dan
sumber unsur hara N, P, S, dan unsur mikro. Bahan organik biasanya berwarna
cokelat dan bersifat koloid yang dikenal dengan humus. Humus terdiri dari bahan
organik halus yang berasal dari hancuran bahan organik kasar serta senyawa-
senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan organik tersebut melalui suatu
kegiatan mikroorganisme di dalam tanah (Saifuddin, 1988).
Bahan organik tanah-tanah di Indonesia sangat rendah yaitu kurang dari 2%.
Padahal bahan organik dapat diperoleh dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal
dari daerah sekitar dengan biaya murah. Sulawesi Selatan dikenal sebagai lumbung
pangan menghasilkan limbah pertanian melimpah. Limbah pertanian merupakan
bahan baku pupuk organik potensial kaya hara namun belum digarap secara
optimal. Hasil panen padi sebanyak 5 ton gabah akan menyerap dari dalam tanah
150 kg N, 20 kg P, dan 20 kg S. Hampir semua unsur K dan seperiga N, P, dan S
tinggal dalam jerami padi (Sutanto, 2002). Hal tersebut menunjukkan jerami padi
mengandung hara makro yang baik. Salah satu limbah pertanian yang merupakan
sumber bahan organik yang potensial adalah limbah kakao. Kakao merupakan salah
satu komoditas unggulan di Indonesia. Perkembangan luas dan produksi kakao
4
Indonesia mengalami peningkatan selama 5 tahun terakhir. Tahun 2007 luas
perkebunan kakao 1.379.280 ha meningkat menjadi 1.677.254 ha pada tahun 2011.
Walau di sisi lain produksi cenderung menurun (Asrul, 2013). Kakao mempunyai
biomassa yang cukup besar. Bila tanpa naungan akan menghasilkan produksi 23 kg
per pohon, dengan daun dan ranting sebesar 6,85 ton ha-1 biomassa. Bila dengan
naungan berproduksi 10,80 kg per pohon, dengan biomassa daun dan ranting
mencapai 11,88 ton ha-1. Sedangkan bobot buah kakao yang dipanen dari 1 ha akan
diperoleh 6.200 kg kulit buah (Nasaruddin, 2010). Bila dikalikan dengan luas
perkebunan kakao di Indonesia, potensi biomassa sebagai sumber bahan organik
sangat besar.
Bahan organik tersebut dapat diserap dengan sempurna oleh tanaman
setelah melalui proses dekomposisi. Faktor- faktor yang berperan dalam
dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan
organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan, kelembaban nisbi, intensitas
cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor kondisi lingkungan tempat
tumbuh yang berperan adalah suhu air, pH air, salinitas air dan lain-lain. Dalam
proses dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya. Menurut Aksornkoae dan Khemnark (1984) dalam proses dekomposisi
terjadi asosiasi antara faktor-faktor fisik dan faktor-faktor biologis. Faktor biologis
mempunyai peran yang lebih besar dibanding faktor fisik. Faktor biologis
dipengaruhi oleh sejumlah mikroba, yaitu jamur dan bakteri. Dikenal ada 3 jenis
jamur yang berperan dalam proses dekomposisi, yaitu pelapuk coklat (brown rot),
pelapuk putih (white rot) dan pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan jamur
pelapuk ini didasarkan pada hasil proses pelapukan. Jamur pelapuk coklat
menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih
menghasilkan sisa hasil pelapukan yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan
mendegradasi lignin yang tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan
selulosa. jamur pelapuk putih dan coklat. Jamur ini berperan mendegradasi lignin,
selulosa, dan hemiselulosa, yang dikenal sebagai kelompok lignoselulosa. Jamur
mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi bahan tersebut sebagai nutrisinya,
5
dan mengubah lignoselulosa yang berbentuk polimer menjadi monomer yang akan
lebih mudah masuk dalam sel.
Limbah kulit kakao yang telah didekomposisi tersebut bila dikembalikan ke
pertanaman kakao, akan menjadi sumber hara yang sangat berperan pada proses
pertumbuhan dan produksi tanaman kakao.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Biomassa Kulit Kakao sebagai Bahan Organik
Kakao adalah komoditi utama unggulan yang mempunyai nilai ekonomis
sangat tinggi. Produksi kakao Indonesia tahun 2011 berkisar 712.231 ton dengan
90.25% berasal dari perkebunan rakyat. Kakao mempunyai biomassa yang cukup
besar. Bila tanpa naungan akan menghasilkan produksi 23 kg/pohon, dengan daun
dan ranting sebesar 6,85 ton/ha biomassa. Bila dengan naungan berproduksi 10,80
kg/pohon, dengan biomass daun dan ranting mencapai 11,88 ton/ha. Sedangkan
bobot buah kakao yang dipanen dari 1 ha akan diperoleh 6.200 kg kulit buah. Kulit
buah kakao (shel fod husk) adalah merupakan limbah agroindustri yang dihasilkan
tanaman kakao. Buah cokelat yang terdiri dari 74% kulit buah, 2% plasenta dan
24% biji (Asrul, 2013; Herwigiati, 2012; Nasaruddin, 2010). Menurut Haryati dan
Hardjosuwito (1984), buah kakao mengandung 74% kulit buah, 2,0% plasenta, dan
24,2% biji. Potensi biomassa yang sangat besar tersebut bila tidak dimanfaatkan
dengan baik dapat menimbulkan masalah lingkungan. Menurut Smith dan
Adegbola (1982) kulit buah kakao merupakan hasil dari proses pengolahan buah
kakao yang telah dipisahkan dari buahnya dan merupakan salah satu limbah
lignoselulosik yang sangat potensial untuk dijadikan sebagai kompos maupun
bahan makanan ternak ruminansia. Limbah lignoselulosik merupakan bahan yang
mengandung lignin, hemiselulosa dan selulosa. Secara fisik (penggilingan,
pemanasan uap, radiasi, pemanasan udara kering) atau secara kimia (pelarutan,
larutan pengembangan, gas S02) atau gabungan keduanya, limbah ini dapat
dimanfaatkan kembali dengan menurunkan kadar ligninnya semaksimal mungkin
(Wong et al. 1986).
6
Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman
dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai
bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang
sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak
sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono et al, 1997).
Menurut Didiek dan Yufnal (2004) dalam Sudirja (2005), kompos buah kakao
mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%,
CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.
Biomassa kakao merupakan cadangan hara yang potensial pada ekosistem
kakao yang terdiri atas biomassa atas dan di bawah tanah. Total biomassa pada
pekebunanan kakao cukup bervariasi. Di Malaysia, total biomassa pada kebun
kakao berumur 7.5 tahun sekitar 60 ton berat kering per tahun. Di Costa Rica 8,5-
11 ton berat kering per hektar, dengan akumulasi pohon naungan sekitar 23-35 ton
biomassa kering per hektar. Sedangkan tanaman pisang yng dijadikan penaung
sementara di Kebun Percobaan Kaliwining Jember hanya berkisar 650 kg per hektar
(Thong & Ng, 1978; Alpizar et al, 1986; Prawoto, 1998; dalam Baon, J.B., 2006).
Biomassa kakao bila dikembalikan ke pertanaman kakao sebagai sumber
bahan organik dapat memberi manfaat yang cukup besar. Dilaporkan bahwa
tanaman kakao yang ditanam di lahan yang cukup mengandung bahan organik
tumbuh lebih sehat dan tanah terhadap kekeringan. Penelitian Munandar et al
(1995) pada tanaman kakao menunjukkan bahwa makin tinggi bahan organik
tanaman, makin hemat menggunakan air. Peningkatan bahan organik tanah sampai
6.09% menyebabkan pertumbuhan dan produksi kakao terus meningkat secara
linier. Agar tumbuh baik, tanaman kakao memerlukan kadar bahan organik
minimum 3.5% (sekitar 2%C) pada jeluk 0-15 cm (Smyth, 1966) dalam Soedarsono
et al (1997).
2.2. Komponen Lignoselulosa
Komponen limbah berserat, termasuk kulit buah kakao, umumnya terdiri
dari (Murni et al. 2008):
7
a) Selulosa, mempunyai bobot molekul tinggi, terdapat dalam jaringan
tanaman padabagian dinding sel sebagai mikrofibril, terdiri dari rantai
glukan yang dilekatkan oleh ikatan hydrogen.
b) Hemiselulosa, terdapat bersama selulosa, terdiri atas pentosan, pektin, xylan
dan glikan.
c) Lignin, suatu subtansi yang kompleks dan tidak dapat dicerna, terdapat pada
bagian berkayu dari tanaman (kulit gabah, bagian fibrosa akar, batang dan
daun). Keberadaan lignin selalu bersama-sama dengan selulosa dan
hemiselulosa, lignin dikenal sebagai karbohidrat, namun sesungguhnya
lignin berbeda dengan karbohidrat. Perbedaan terletak pada atom karbon C
dimana atom karbon pada lignin lebih tinggi dan tidak proporsional.
Semakin tua tanaman kadar lignin semakin tinggi akibatnya daya cerna
semakin menurun dengan semakin bertambahnya lignifikasi.
d) Silika, merupakan kristal yang terdapat dalam dinding sel dan mengisi ruang
antar sel. Pada tanaman sereal kandungan abu yang tinggi biasanya sejalan
dengan kadar silikanya.
Selulosa
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kadar
selulosa dan hemiselulosa pada tanaman pakan yang muda mencapai 40% dari
bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa makin
bertambah (Tillman et al. 1998). Selulosa merupakan substansi yang tidak larut
dalam air yang terdapat di dalam dinding sel tanaman terutama dari bagian batang,
tangkai dan semua bagian yang mengandung kayu. Selulosa merupakan
homopolisakarida yang mempunyai molekul berbentuk linear, tidak bercabang dan
tersusun atas 10.000 sampai 15.000 unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan
β-1,4 glikosidik (Nelson dan Michael, 2000).
Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat
molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari bera
tkering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah
8
dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa,
galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa
membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Selain itu juga
berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan
struktur yang kuat. Jung (1989) melaporkan bahwa perubahan kecernaan selulosa
dan hemiselulosa diakibatkan oleh keberadaan lignin yang berubah-ubah.
Hemiselulosa rantainya pendek dibandingkan selulosa dan merupakan polimer
campuran dari berbagal senyawa gula, seperti xilosa, arabinosa, dan galaktosa.
Selulosa alami umumnya kuat dan tidak mudah dihidrolisis karena rantai
glukosanya dilapisi oleh hemiselulosa dan di dalam jaringan kayu selulosa
terbenam dalam lignin membentuk bahan yang kita kenal sebagai lignoselulosa.
Lignin
Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman yang bersama
dengan selulosa dan bahan-bahan serat lainnya membentuk bagian struktural dan
sel tumbuhan. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat
komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon biasa berdiri tegak. Berbeda
dengan selulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin terbentuk
dan gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri
dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia aromatis
yang berupa fenol, terutama kresol (Young, 1986).
Degradasi bahan organik dipengaruhi adanya lignin dan silika yang terdapat
pada dinding sel secara bersama-sama membentuk senyawa kompleks dengan
selulosa dan hemiselulosa. Senyawa kompleks ini sulit ditembus oleh enzim
mikroba sehingga akan menghambat kecernaan dinding sel dan selanjutnya
menurunkan kecernaan termasuk bahan organik didalamnya. Lignin merupakan
komponen yang tidak dicerna, sehingga dapat mempengaruhi kecernaan serat kasar
(Van Soest, 1976). Fungsi dari lignin untuk memberi kekakuan pada jaringan
pengangkut tumbuhan dan melindungi struktur yang tersusun dari polisakarida
(selulosa dan hemiselulosa) dari serangan organisme lain sehingga lignin bersifat
rekalsitran (Hammel, 1997). Lignin merupakan polimer alami dan tergolong ke
9
dalam senyawa rekalsitran karena tahan terhadap degradasi atau tidak terdegradasi
dengan cepat di lingkungan. Lignin tersusun dari 3 jenis senyawa fenlipropanoid
yaitu: alkohol kumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil (Van Soest, 1982).
Senyawa ini juga merupakan senyawa yang tidak mudah larut dalam air (Srebotnik
et al. 1998). Kebanyakan lignin mengandung struktur aromatik nonfenolik yang
tahan terhadap oksidasi enzimatik, dan kandungan minor dari lignin merupakan
struktur fenolik (Srebotnik et al. 1998).
2.3. Mikroba untuk Dekomposisi Limbah Kakao
Limbah kakao dapat menjadi hara yang tersedia bagi tanaman bila telah
mengalami perombakan. Ketersediaan hara ini dapat berlangsung melalui
peningkatan akses tanaman terhadap hara misalnya oleh cendawan mikoriza
arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi,
aktinomiset atau cacing tanah. Penyediaan hara ini berlangsung melalui hubungan
simbiotis atau nonsimbiotis. Secara simbiosis berlangsung dengan kelompok
tanaman tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis
berlangsung melalui penyerapan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba
pelarut fosfat, dan hasil perombakan bahan organik oleh kelompok organisme
perombak. Kelompok mikroba simbiotis ini terutama meliputi bakteri bintil akar
dan cendawan mikoriza. Saraswati et al. (2004) secara umum menggolongkan
fungsi mikroba menjadi empat, yaitu (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara
tanaman dalam tanah, (2) sebagai perombak bahan organik dalam tanah dan
mineralisasi unsur organik, (3) bakteri rizosfer-endofitik untuk memacu
pertumbuhan tanaman dengan membentuk enzim dan melindungi akar dari mikroba
patogenik, (4) sebagai agensia hayati pengendali hama dan penyakit tanaman.
Mikroba mempunyai kemampuan tinggi untuk mengubah sesuatu, terutama
dalam menguraikan limbah menjadi kompos. Selain memberi asupan hara bagi
tanaman, mikroba juga berperan menciptakan keseimbangan iklim mkro dalam
tanah. Selain memproduksi hormon tumbuh, juga mengandung hormon florigen
yang merangsang pembungaan. Mikroba memproduksi hara dan nutrisi melalui
proses bio-perforasi. Selain itu ada mikroba yang digunakan utuk menekan hama
10
dan penyakit. Mikroba tersebut dapat memproduksi racun yang menekan
pertumbuhan hama dan penyakit tanaman. Penerapan mikroba dalam pertanaman
dapat mendongkrak rendemen nilam 10-16%, yang biasanya hanya berkisar 1,5-
2%. Demikian pula pada kedelai, hasil panen bisa meningkat 2.5 ton/ha, yang
sebelumnya hanya 1.5 ton/ha di Musi Banyuasin (Tubus Exo, 2012).
2.4. Jamur Pelapuk
Di alam terdapat tiga kelompok jamur yang dapat menguraikan komponen
kayu (lignoselulosa) yaitu pelapuk coklat (brown rot), pelapuk putih (white rot) dan
pelapuk lunak (soft rot). Pengelompokan jamur pelapuk ini didasarkan pada hasil
proses pelapukan. Jamur pelapuk coklat menghasilkan sisa hasil pelapukan
berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih menghasilkan sisa hasil pelapukan
yang berwarna putih. Ketiga jenis jamur tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda. Jamur pelapuk putih memiliki kemampuan mendegradasi lignin yang
tinggi dengan sedikit mengakibatkan kehilangan selulosa.
Beberapa kelompok cendawan pelapuk misalnya Panerochaete
chrysosporium selain memiliki enzim untuk menguraikan lignin dan selulose,
mereka juga memiliki kemampuan dalam menguraikan bahan beracun yang
sifatnya persisten, karena adanya enzim dehalogenase, lignin peroksidase, dan
manganese peroksidase. Jamur tiram (Pleurotus spp.) telah lama dikenal luas di
Indonesia sebagai jamur konsumsi dan untuk bahan obat. Selain itu Pleurotus spp.
merupakan dekomposer bahan organik utama yang dapat secara efisien dan selektif
menguraikan lignoselulosa tanpa perlakuan secara kimia atau biologi. Pleurotus
spp. dapat memanfaatkan bahan lignoselulosa dengan kisaran yang luas, seperti
jerami padi, sisa gergajian, kulit coklat, ampas tebu, pulp kopi, dan batang-batang
kapas (Herliyana, 2003).
Selain itu Pleurotus spp. dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai
macam kayu di sembarang tempat. Pada Pleurotus spp. terdapat dua bentuk sel
yaitu sel generatif dan sel vegetatif bercabang yang disebut hifa. Stadia
pertumbuhan cendawan membentuk bulatan kecil (pinhead) yang disebut juga
sebagai periode primordia dan selanjutnya menjadi stadia dewasa membentuk
11
tubuh buah (fruiting bodies) yang sempurna terdiri dari batang tanpa cincin dan
tudung. Hasil penelitian Glucan Health Center menyebutkan bahwa Pleurotus
ostreatus mengandung senyawa pleuran mengandung protein (19-30%),
karbohidrat (50-60%), asam amino, vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3
(niacin), B5 (asam panthotenat), B7 (biotin), vitamin C dan mineral (Widyastuti,
2002). Jamur tiram juga berfungsi sebagai anti tumor, menurunkan kolesterol dan
anti oksidan.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh dekomposisi limbah kulit
kakao menggunakan 3 jenis jamur pelapuk terhadap:
1. Laju dekomposisi limbah kulit kakao
2. Kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa limbah kulit kakao
terdekomposisi
3. Kadar unsur hara C, N, P dan K, serta karbohidrat total, serat kasar, dan
protein yang terdapat pada limbah kulit kakao terdekomposisi.
4. Dinamika pertumbuhan bibit kakao yang diberi limbah kulit kakao
terdekomposisi
3.2. Manfaat Penelitian
Kontribusi atau manfaat penelitian adalah:
1. Mempercepat proses dekomposisi limbah kulit kakao dengan pemberian
jamur pelapuk yang sesuai untuk limbah kulit kakao.
2. Dapat digunakan sebagai satu acuan untuk dekomposisi jenis limbah
pertanian lain.
3. Sebagai satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur
hara.
4. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang
berhubungan dengan pengelolaan limbah pertanian.
12
BAB 4. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, meliputi:
1. Tahap I merupakan tahapan terkontrol, dengan melakukan isolasi 3 isolat
jamur pelapuk, yang diperoleh pada batang pohon kakao yang melapuk.
Dilakukan karakterisasi dengan berbagai macam uji seperti uji media, uji
enzim, dan kramatografi. Kemudian diinokulasi pada substrat organik
dalam plastik polifenol. Tahap ini dilaksanakan di Laboratorium
Bioteknologi Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas. Pengamatan pada
tahap ini adalah pengamatan visual, yaitu pertumbuhan jamur pelapuk.
Indikator yang diukur adalah pertumbuhan miselium jamur dan perubahan
warna. Luaran yang diharapkan pada tahap ini adalah jenis isolat jamur
pelapuk yang mempunyai daya tumbuh yang terbaik.
2. Tahap II merupakan tahapan lapang skala terbatas, dengan melakukan
inokulasi 3 isolat jamur yang diperoleh pada tahap I, pada limbah kulit
kakao secara aerob dan anaerob. Kegiatan dilaksanakan di Greenhouse
Fakultas Pertanian Unhas. Pengamatan meliputi kandungan hara makro dan
lignoselulosa, protein kasar, serta serta kasar. Luaran yang diharapkan
adalah bahan organik berupa limbah kulit kakao yang terdekomposisi
sempurna dengan kandungan hara yang cukup baik bagi tanaman.
Pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
a. Limbah kulit kakao dicacah dengan mesin chopper lalu dicampur
dengan dedak dan kapur pertanian serta diberi air sampai kadar 30%.
b. Perlakuan pertama adalah perlakuan anaerob dengan memasukkan
limbah kulit kakao ke dalam lubang yang diberi semen sehingga tercipta
kondisi anaerob.
c. Perlakuan pertama adalah limbah kulit kakao ditaruh di atas terpal
dalam keadaan aerob.
13
Pada hari ke-20 dan 40 dilakukan uji kandungan hara makro, lignoselulosa, protein
kasar, dan serat kasar. Untuk menentukan kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa
terlebih dahulu ditentukan kadar Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral
Detergent Fiber (NDF) dengan menggunakan metode Van Soest.
a. Penentuan Kadar Acid Detergent Fiber (ADF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) dimasukkan ke dalam gelas piala
kemudian dtambahkan 50 ml larutan ADS dan 2 ml decalin. Dipanaskan selama 1
jam diatas penangas air. Kemudian dilakukan penyaringan dengan bantuan pompa
vakum, juga dengan menggunakan penyaring kaca masir yang sudah di timbang
sebagai b gram, Pencucian di lakukan dengan menggunakan hexan, acetone dan
air panas. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan memasukkan hasil
penyaringan tersebut dalam oven, setelah dimasukkan lagi di dalam desikator untuk
melakukan pendinginan dan ditimbang sebagai c gram.
% ADF =𝑐 − 𝑏
𝑎 × 100%
Keterangan:
a : berat sampel
b : berat kaca masir
c : berat kaca masir + berat sampel setelah di tambah larutan ADS
b. Penentuan Neutral Detergent Fiber (NDF)
Sampel sebanyak 0,5 gram (a gram) di masukkan ke dalam gelas piala
berukuran 500 ml, serta di tambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan 0,5 gram
Na2SO3 lalu dipanaskan selama 1 jam. Menimbang kaca masir sebagai b gram.
Kemudian melakukan penyaringan dengan bantuan pompa vakum dibilas dengan
14
air panas dan acetone. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105°C
setelah itu dimasukkan lagi dalam eksikator selama 1 jam, kemudian dilakukan
penimbangan akhir sebagai c gram.
% NDF =𝑎 − 𝑏
𝑎 × 100%
Keterangan:
a : berat sampel
b : berat kaca masir
c : berat kaca masir + berat sampel setelah di tambah larutan NDS
Untuk memisahkan selulosa dari lignin, ADF ditambahi H2SO4 dingin,
sehingga selulosanya akan larut. Selanjutnya residu yang tertinggal dicuci dengan
air hangat (85-95oC) sampai bebas dari asam. Lalu dikeringkan, dengan
menggunakan oven 105°C dan selanjutnya dilakukan pendinginan dengan
desikator lalu ditimbang sebagai berat akhir (e gram). Selisih bobot antara ADF
dengan residu tersebut adalah selulosa.
% Hemisellulosa = %NDF - % ADF
% selulosa =𝑐−𝑒
𝑎 × 100%
Setelah residu ditimbang, lalu dibakar pada suhu 500oC kemudian
didinginkan dalam desikator serta disimpan kembali sebagai berat akhir (f gram).
Abu sisanya setelah dingin ditimbang dan selisih antara residu dengan abu adalah
lignin.
% lignin =𝑒 − 𝑓
𝑎 × 100%
15
3. Tahap III merupakan tahapan aplikasi, dengan mengaplikasi limbah kulit
kakao yang telah terdekomposisi dengan 3 isolat jamur pelapuk yang
diperoleh dari Tahap II yang terdekomposisi sempurna, pada bibit tanaman
kakao. Tahap ini dilaksanakan di Kebun Percobaan (Experimental
Farming) Fakultas Pertanian, Peternakan, dan Perikanan UMPAR.
Pengamatan meliputi jumlah daun, ILD, berat, panjang akar, berat
berangkasan. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak lengkap
dengan uji orthogonal kontras, yaitu: K0 = kontrol
K1 = kontrol vs isolat jamur A, B, C
K2 = A vs B,C
K3 = A vs B
K4 = A vs C
K5 = B vs C
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
Hasil yang telah dicapai pada penelitian ini adalah tahap pertama dan kedua,
yaitu isolasi dan skrening jamur pelapuk dan pembuatan bokashi limbah kulit
kakao. Hasil penelitian disajikan sebagai berikut:
5.1. Temperatur dan Warna Bokashi Limbah Kulit Kakao
Analisis ragam menunjukkan jenis isolat jamur pelapuk tidak berpengaruh
nyata terhadap temperatur bokashi limbah kulit kakao. Temperatur bokashi diukur
menggunakan termometer tiap 2 hari sekali. Kisaran temperatur bokashi naik turun.
Rata-rata temperatur tertinggi dicapai adalah 36.5OC pada bokashi yang diberi
isolat JT pada hari ke-27. Sedangkan temperatur terendah yaitu 30.5 OC pada
bokashi yang diberi isolat BPB pada hari ke-13 (Gambar 1).
16
Gambar 1. Rata-Rata temperatur bokashi limbah kulit kakao yang diberi isolat
jamur pelapuk
Semua bokashi yang diinokulasi jamur pelapuk mempunyai warna
kehitaman dengan tekstur lebih halus, lunak, dan lengket. Sedangkan yang tidak
diinokulasi jamur pelapuk, warnanya lebih terang, lebih kasar dan kering.
Gambar 2. Perbandingan warna dan tekstur bokashi limbah kulit kakao yang
diinokulasi jamur pelapuk (A) dan tidak diinokulasi jamur pelapuk (B).
A B
17
5.2. Bobot Bokashi Limbah Kulit Kakao
Proses fermentasi dengan inokulasi isolat jamur pelapuk selama 40 hari
menunjukkan terjadi penurunan bobot limbah kulit kakao.
Gambar 3. Persentase rata-rata penurunan bobot bokashi limbah kakao yang diberi
berbagai isolat jamur pelapuk
Gambar 3 menunjukkan persentase penurunan bobot tertinggi pada bokashi
yang diberi isolat BPB yaitu 12.3% dan terendah pada bokashi yang diberi isolat JT
yaitu 4.6%.
5.3. Komposisi Lignohemiselulotik Bokashi Limbah Kulit Kakao
Bokashi limbah kulit kakao yang difermentasi dengan jamur pelapuk asal
pertanaman kakao dianalisis komposisi lignin, selulosa, hemiselulosa, dan abu tak
larut. Persentase hemiselulosa, selulosa, dan lignin tertinggi pada bokashi yang
diinokulasi isolat BSA. Persentase hemiselosa dan selulosa terendah pada bokashi
18
yang diinokulasi isolat BSF. Sedangkan komposisi lignin terendah pada bokashi
yang diberi isolat BPB.
Tabel 1. Komposisi lignoselulotik bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi
isolat jamur pelapuk pada 40 hari fermentasi
Isolat Komposisi (%)
Hemiselulosa Selulosa Lignin Abu tak larut
Tanpa isolat 1.78 3.63 25.60 0.26
BSA 1.96 5.24 43.32 0.82
BPB 1.49 4.38 24.65 0.78
BPE1 1.47 3.70 25.84 0.87
BPE2 1.01 3.23 27.91 1.00
BSF 0.88 2.52 26.05 0.57
JT 2.13 3.67 32.97 0.72
5.4. Kandungan asam humat dan asam fulvat
Bokashi limbah kulit kakao yang difermentasi menghasilkan asam-asam
organik, antara lain asam humat dan asam fulvat. Dilakukan pemisahan asam humat
dan asam fulvat dari bokashi limbah kulit kakao yang telah diinokulasi isolat jamur
pelapuk pada 20 dan 40 hari. Pada penelitian ini diukur persentase berat asam humat
pada 10 gram bokashi limbah kulit kakao dan absorbansi asam fulvat.
19
Gambar 4. Rata-Rata berat asam humat (%) pada 10 g bokashi limbah kulit kakao
yang diinokulasi isolat jamur pelapuk selama 20 hari dan 10 hari
Semakin lama waktu fermentasi, semakin tinggi persentase asam humat
pada bokashi limbah kulit kakao. Fermentasi dengan isolat jamur pelapuk selama
40 hari menghasilkan persentase berat asam humat yang lebih tinggi dibandingkan
fermentasi selama 20 hari (Gambar 4). Pada fermentasi 20 hari, persentase berat
asam humat dengan isolat jamur pelapuk berbeda tidak menunjukkan perbedaan
yang besar. Sedangkan pada fermentasi 40 hari, persentase berat asam humat
tertinggi pada perlakuan isolat BPE2 disusul BPE1 dan JT. Persentase berat asam
humat terendah pada bokashi kulit kakao yang difermentasi tanpa isolat jamur
pelapuk.
Asam humat dipisahkan dengan asam fulvat menggunakan larutan asam
kuat. Asam humat berbentuk endapan sedangkan asam fulvat berbentuk cairan.
20
Cairan yang dihasilkan berwarna coklat tua. Makin lama bpkashi difermentasi,
makin pekat warna cairan (Gambar 5).
Gambar 5. Asam fulvat hasil pemisahan dengan asam humat. Perbedaan lama
fermentasi bokashi limbah kulit kakao menyebabkan perbedaan warna
cairan asam fulvat. Semakin lama fermentasi semakin pekat warna
cairan. Fermentasi tanpa isolat jamur pelapuk (K), fermentasi 20 hari
(A), fermentsi 40 hari (B).
Tabel 2. Berat basah (g) dan berat kering (g) endapan dan absorbansi bokashi
limbah kulit kakao yang difermentasi pada 20 dan 40 hari
Kode Berat Basah (g) Berat Kering (g) Absorbansi
Isolat 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari
Tanpa isolat 1.692 3.125 0.0277 0.0477 0.186 0.219
BSA 1.719 3.975 0.0358 0.1028 0.199 0.233
BPB 1.797 3.818 0.0337 0.1054 0.205 0.258
BPE1 1.804 3.830 0.0342 0.1255 0.207 0.265
BPE2 1.746 3.858 0.0340 0.1663 0.210 0.238
BSF 1.583 3.425 0.0289 0.1008 0.204 0.259
JT 1.515 3.747 0.0309 0.1329 0.211 0.227
21
5.5. Kadar Hara Bokashi Limbah Kakao yang diinokulasi isolat jamur
pelapuk
Bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi dengan isolat jamur pelapuk
terpilih difermentasi selama 20 hari dan 40 hari, kemudian dianalisis kandungan
hara yang dikandungnya. Secara umum semakin lama waktu fermentasi, nilai pH
dan kadar C-organik semakin meningkat, sedangkan rasio C/N menurun (Gambar
6 dan Gambar 7).
Gambar 6. Kadar C/N, C-organik (%), dan pH bokashi limbah kulit kakao yang
difermentasi selama 20 hari dengan isolat jamur pelapuk
Fermentasi 20 hari menunjukkan ratio C/N berkisar antara 24 – 28.3,
terendah pada bokashi kulit kakao yang diinokulasi isolat BSF dan tertinggi pada
isolat BPE1 dan BSA. Persentase C-organik berkisar 6.89-15.76%, tertinggi pada
bokashi yang diinokulasi isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa pemberian
isolat jamur pelapuk. pH berkisar antara 6.89-7.69, terendah pada bokashi tanpa
isolat jamur pelapuk dan tertinggi pada bokashi dengan isolat BSA.
0
5
10
15
20
25
30
35
Tanpa isolat BSA BPB BPE1 BPE2 BSF JT
20 hari fermentasi
pH C/N C-organik
22
Gambar 7. Kadar C/N, C-organik (%), dan pH bokashi limbah kulit kakao yang
difermentasi selama 40 hari dengan isolat jamur pelapuk
Fermentasi 40 hari menunjukkan, rasio C/N berkisar antara 23.5 sampai 33.
Tertinggi pada bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat BSA dan
tertinggi pada isolat BPE2. Persentase C-organik berkisar antara 10.36-17.56%,
tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat
jamur pelapuk. pH bokashi berkisar antara 8,02-8,33, tertinggi pada isolat BPE2
dan terendah pada bokashi tanpa isolat jamur pelapuk.
Hasil analisis hara makro bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat
jamur pelapuk menunjukkan semakin lama fermentasi, kandungan hara makro
semakin tinggi. Selain itu kadar P2O5 menunjukkan persentase terbesar dibanding
kadar N total dan K2O (Tabel 3).
0
5
10
15
20
25
30
35
Tanpa isolat BSA BPB BPE1 BPE2 BSF JT
40 hari fermentasi
pH C/N C-organik
23
Tabel 3. Kandungan hara makro (%) bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi
isolat jamur pelapuk dengan lama fermentasi 20 hari dan 40 hari
Macam isolat N Total (%) P2O5 (%) K2O (%)
20 hari 40 hari 20 hari 40 hari 20 hari 40 hari
Tanpa isolat 0.29 0.59 0.89 4.65 0.19 0.33
BSA 0.35 0.55 2.54 5.97 0.23 0.49
BPB 0.43 0.62 3.22 5.90 0.24 0.58
BPE1 0.41 0.58 3.73 6.55 0.37 0.62
BPE2 0.35 0.51 4.78 6.10 0.44 0.46
BSF 0.43 0.60 4.28 5.84 0.46 0.59
JT 0.59 0.65 5.20 6.70 0.54 0.71
Fermentasi 20 hari menunjukkan kadar N total berkisar antara 0.29-0.59,
tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat.
Kadar P2O5 berkisar antara 0.89-5.20 tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan
terendah pada bokashi tanpa isolat. Kadar K2O berkisar antara 0.19-0.54, tertinggi
pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat jamur
pelapuk. Fermentasi 40 hari menunjukkan kadar N total berkisar antara 0.51-0.65,
tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada isolat BPE2. Kadar P2O5
berkisar antara 4.65-6.7, tertinggi pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada
bokashi tanpa isolat jamur pelapuk. Kadar K2O berkisar antara 0.33-0.71, tertinggi
pada bokashi dengan isolat JT dan terendah pada bokashi tanpa isolat.
Analisis hara mikro, yaitu kadar Mg dan S, yang dilakukan pada bokashi
limbah kulit kakao yang diinokulasi isolat jamur pelapuk menunjukkan semakin
lama waktu fermentasi, semakin tinggi persentasi hara mikro (Tabel 13). Kadar Mg
tertinggi pada bokashi yang diinokulasi dengan isolat JT dan difermentasi selama
40 hari, terendah pada pada bokashi tanpa isolat yang difermentasi selama 20 hari.
24
Kadar S tertinggi pada bokashi dengan isolat BSF yang difermentasi 40 hari dan
terendah pada bokashi tanpa isolat jamur pelapuk yang difermentasi selama 20 hari.
Tabel 4. Kandungan hara mikro (%) bokashi limbah kulit kakao yang diinokulasi
isolat jamur pelapuk dengan lama fermentasi 20 hari dan 40 hari
Macam isolat Mg (%) S (%)
20 hari 40 hari 20 hari 40 hari
Tanpa isolat 0.090 0.100 0.060 0.090
BSA 0.100 0.205 0.085 0.105
BPB 0.130 0.210 0.170 0.130
BPE1 0.155 0.195 0.135 0.150
BPE2 0.150 0.170 0.140 0.165
BSF 0.150 0.280 0.130 0.215
JT 0.180 0.320 0.140 0.190
Pada kegiatan ini telah diterbitkan 2 buah artikel yang dimuat pada jurnal
Internasional. Screening of Fungal Rot Isolates from Cocoa as Phosphate-
Dissolving and Their Growth Ability on Three Types of Media pada Procedia
Food Science 3 ( 2015 ) 104 – 111 dterbitkan elsevier. Growth Rate and Indole
Acetic Acid Production of Several Fungal Rot Isolates pada International Journal
of Science and Research (IJSR) Volume 4 Issue 6, June 2015.
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana tahap ketiga telah memasuki pengamatan ke dua. Rencananya
penelitian tahap ke tiga berakhir 14 Agustus 2015. Rencana lainnya adalah
menerbitkan satu buah lagi artikel yang dimuat pada jurnal internasional.
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara limbah kulit kakao
yang difermentasi tanpa isolat jamur pelapuk dan dengan isolat jamur pelapuk.
Perbedaan tersebut meliputi:
25
1. Warna dan tekstur bokashi, warna bokashi yang difermentasi isolat jamur
pelapuk lebih gelap dan tekstur lebih kasar.
2. Terdapat perbedaan kandungan hara, C/N, kandungan lignoselulotik, dan
asam-asam organik antara limbah kulit kakao yang difermentasi 20 hari dan
yang difermentasi 40 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Asrul, L., 2013. Agribisnis Kakao. Penerbit Media Bangsa, Jakarta.
Aksornkoae, S., dan C. Khemnark. 1984. Nutrient Cycling in Mangrove Forest of
Thailand. Hlm. 545 – 557 dalam Proc. As. Symp. Mangr. Env. Res. And
Manag. E. Soepadmo, A. N. Rao dan D. J. Macintosh (Peny.). University
of Malaya & UNESCO. Kuala Lumpur.
Baon, J.B., 1998. Konservasi Lengas Tanah melalui Pemberian Bahan Organik dan
Mulsa. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol.14 No.1 Februari
1998. hal.61-68.
Baon, J.B., 2006. Berapa Sesarkah Cadangan Hara dalam Agroekosistem
Perkebunan Kakao? Warta. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol.22 No.2
Juni 2006. hal.59-64.
Carter, H., 2001. The Influence Of Organic And Inorganic Fertilization On
Development Of Indigenous VA Fungi. In D.J. Read, D.H. Lewis, A.H.
Fitter and I.J.Alexander (Eds). Mycorrhizas in Ecosystems. pp.126-131.
Goulding, K.W.T, D.V. Murphy, A. Macdonald, E.A. Stockdale, J.L. Gaunt, L.
Blake, G.Ayaga, and P.Brookes, 2001. The Role of Soil Organic Matterr
and Manures in Sustainable Nutrient Cycling.Sustainable Management of
Soil Organic Matter. CAB International R.M. Ress, B.C. Ball, C.D.
Campbell and C.A. Watson (eds)
26
Hammel K.E., 1997. Fungal Degradation Of Lignin. Di Dalam: Cadisch G, Giller
KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And Decompostion.
London: CAB International. hlm. 33-45.
Herwigiati, I., 2010. Seputar Dunia Pangan. Pemanfaatan Limbah Kakao. (on line
herwipangan.blogspot.com diunduh 23 Mei 2013).
Herliyana, E.N. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete
chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan
Pinus merkusii [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Indonesian Coffee and Cacao Research Institute, 2003. Coffee Nutrient. (on
line)(http://www.iccri.net. Diakses 31 Agustus 2005).
Jung, H.G., 1989. Forage Lignins and Their Effects on Feed Digestibility. Agron.
J. 81.
Munandar, D.E, Abdoellah, S., Mulyanto, D., Soekodarmodjo, S., dan Maas, A.,
1995. Pengaruh bahan Organik dan Potensial Air terhadap Pertumbuhan
Tanaman Kakao. Pelita Perkebunan. Vol.11 No.3 Desember 1995.
hal.168-180.
Murni, R., Suparjo, Akmal, dan B.L. Ginting, 2008. Buku Ajar Teknologi
Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan universitas Jambi.
Nane, N.M., 2000. Efektivitas Pemupukan Bokashi Pupuk Kandang terhadap
Produktivitas beberapa varietas Bawang Merah. Pasca Sarjana Unhas,
Makassar
Nasaruddin, 2010. Pemanfaatan limbah Kakao. Jurusan Agroteknologi. Fakultas
Pertanian Unhas, Makasar.
Nelson, D.C. and M. C. Michael, 2000. Lehninger Principle of Biochemistry. 3rd
Ed. Worth Publishers. New York.
27
Reijntjes, C., Bertus Haverkort dan A.W. Bayer, 1999. Pertanian Masa Depan.
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta
.
R.D.M. Simanungkalit, Saraswati R., Hastuti R.D., Husen, E., 2006. Bakteri
Penambat Nitrogen in Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. eds R.D.M.
Simanungkalit, Suriadikarta D.A., Saraswati R, Setyorinis D, Hartatik W.
Badan Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Saraswati R., Santoso, E., Yuniarti, E., 2006. Organisme Perombak Bahan Organik
in Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. eds R.D.M. Simanungkalit,
Suriadikarta D.A., Saraswati R, Setyorinis D, Hartatik W. Badan Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Soeriatmadja, 1997. Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB, Bandung
Suropati, U., 2004. Pengelolaan Hama Penyakit Terpadu. Bahan Kuliah Pasca
Sarjana Unhas, Makasssar.
Sugiyanto dan Baon, J.B, 2008. Ketersediaan fosfor asal tanah dan fosfat alam
akibat Sumber Bahan Organik yang Berbeda. Pelita Perkebunan. Jurnal
Penelitian Kopi dan Kakao, Vol.24 No.2. Agustus 2008. hal.114-127.
Sudirja, R., Solihin M.A., Rosniawaty, S., 2005. Laporan Penelitian Pengaruh
Kompos Kulit Kakao dan Kascing terhadap Perbaikan Beberapa Sifat
Kimia Fluventic Eutrudepts. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan
Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta
Soedarsono, Abdoellah, S., Sulistyowati, E., 1997. Pelita Perkebunan. Vol.13 No.2
Agustus 1997.
Srebotnik, E., Jensen, K. A. dan Hammel, K. E., 1998. Cleavage of Nonphenolic
Lignin Structure by Laccase in The Presence of 1-
Hydroxibenzotriazole.Proc Natl Acad Sci 91:12794-12797
28
Smith, D.H. and A.A. Adegbola, 1982. Studies Of Feeing Value Of Agroindustrial
By Product And Feeding Value Of Cacao Pods For Cattle. Tropical Animal
Production, 7 : 290-295.
Taherzadeh M.J., 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of
Inhibitors and Fermentation Strategies. [thesis]. Göteborg: Department of
Chemical Reaction Engineering, Chalmers University Of Technology.
Tillman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo dan S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Trubus Exo, 2012. Mikroba Juru Masak Tanaman; Dongkrak hasil Panen 3 kali
Lipat. Trubus, Jakarta.
Van Soest, P.J., 1976. New Chemical Methods for Analysis of Forages for The
Purpose of Predicting Nutritive Value. Pref IX International Grassland
Cong.
Van Soest, P.J., 1982. Nutitional Ecology of The Ruminant. Cornell University
Press. Ithaca. New York.
Widyastuti, M. 2002. Kandungan Gizi dan Kegunaan Jamur Tiram. Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bio Industri. Jakarta.
Wong, H.K., O.A. Hassan And M. S.M. Idris, 1986. Utilizatio n of cocoa by-
products as ruminants feed. Proc. Of the 6th annual workshop of the
Australian-Asian fibrous agricultural residues research network.
Young, R., 1986. Cellulosa Strukture Modification and Hydrolysis. New York.