pengaruh perendaman asam organik terhadap … · perendaman terhadap persentase kelarutan mineral,...
TRANSCRIPT
PENGARUH PERENDAMAN ASAM ORGANIK TERHADAP
KELARUTAN MINERAL KERANG DARAH (Anadara granosa)
AULIA HAYATI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
2
RINGKASAN
AULIA HAYATI. C34080081. Pengaruh Perendaman Asam Organik terhadap
Kelarutan Mineral Kerang Darah (Anadara granosa). Dibimbing oleh JOKO
SANTOSO dan BUSTAMI IBRAHIM.
Kelompok krustasea seperti kerang-kerangan banyak digemari sebagai salah
satu bahan yang dikonsumsi oleh masyarakat serta berpotensi ekonomis untuk
dikembangkan sebagai sumber mineral yang dapat memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia. Penggunaan asam organik seperti asam sitrat dapat
meningkatkan kelarutan mineral serta mengurangi kadar logam karena
kemampuannya mengikat ion-ion logam yang terakumulasi dalam daging.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi proksimat, mineral makro,
mineral mikro, dan logam berat kerang darah, serta mengetahui pengaruh metode
perendaman terhadap persentase kelarutan mineral, logam berat, dan protein
kerang darah (A. granosa) dengan variasi jenis asam organik berbeda.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februar hingga Mei 2012
menggunakan sampel A. granosa yang diambil dari PPI Muara Angke, Jakarta
Utara. Penelitian dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil
Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, dan Laboratorium Mikrobiologi
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu
Ilmu dan Nutrisi Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, dan Laboratorium
Penelitian, Departemen Biokimia, Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hasil analisis proksimat A. granosa menunjukkan bahwa sampel tersebut
mengandung kadar air (81,61%), lemak (0.58%), protein (6,65%), abu (1,09%),
dan karbohidrat (10,07%). Kandungan mineral makro yaitu natrium sebesar
857,69 mg/100 g bk, kalium sebesar 654,39 mg/100 g bk, kalsium sebesar
142,39 mg/100 g bk, magnesium sebesar 171,31 mg/100 g bk, dan fosfor sebesar
558,90 mg/100 g bk. Kandungan mineral mikro pada kerang darah yaitu seng
sebesar 3,61 mg/100 g bk, besi sebesar 45,98 mg/100 g bk, dan tembaga sebesar
1,08 mg/100 g bk. Hasil analisis mineral juga menemukan adanya kandungan
logam berat timbal sebesar 1,24 mg/100 g bk dan kadmium sebesar
0,10 mg/100 g bk.
Proses perendaman menggunakan larutan asam organik memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan kalsium, besi, dan tembaga pada
kerang darah. Kelarutan tertinggi diperoleh pada proses perendaman
menggunakan asam format 2,5%, yang menghasilkan kelarutan kalsium sebesar
7,98%, kelarutan besi sebesar 1,25%, dan kelarutan tembaga sebesar 1,47%.
Perendaman menggunakan asam juga berdampak pada kelarutan protein dengan
nilai tertinggi sebesar 0,022%. Pengukuran nilai pH larutan setelah proses
perendaman menunjukkan bahwa penurunan nilai pH mampu meningkatkan
kemampuan melarutkan mineral dan protein. Dimana penggunaan asam format
2,5% memberikan nilai kelarutan tertinggi dengan nilai pH berkisar antara 1,5
hingga 2.
3
PENGARUH PERENDAMAN ASAM ORGANIK TERHADAP
KELARUTAN MINERAL KERANG DARAH (Anadara granosa)
Aulia Hayati
C34080081
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
4
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ‘Pengaruh
Perendaman Asam Organik terhadap Kelarutan Mineral Kerang Darah
(Anadara granosa)’ adalah karya saya dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi lainnya. Sumber informasi dan kutipan yang digunakan
telah sebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Aulia Hayati
C34080081
5
Judul : Pengaruh Perendaman Asam Organik terhadap Kelarutan Mineral
Kerang Darah (Anadara granosa)
Nama : Aulia Hayati
NRP : C34080081
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc
NIP 19670922 199203 1 003 NIP 19611101 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil.
NIP 19580511 198503 1 002
Tanggal Lulus :
6
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Propinsi Jawa
Barat pada tanggal 11 November 1990 sebagai anak
pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suganda dan
Ibu Suryanah, S.Pd. Penulis memulai jenjang pendidikan
formal di SDN 3 Jombang (tahun 1996-2002), selanjutnya
penulis melanjutkan pendidikannya di SLTPN 3 Ciputat
(tahun 2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di MAN 4
Model Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis
diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis diterima di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan
HIMASILKAN sebagai anggota divisi administrasi dan keuangan pada tahun
2010-2011. Penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Avertebrata Air
pada semester ganjil tahun ajaran 2010-2011 dan tahun 2011-2012, serta asisten
dosen mata kuliah Teknologi Industri Tumbuhan Laut pada semester genap tahun
ajaran 2011-2012. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai
kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Pengaruh Perendaman
Asam Organik terhadap Kelarutan Mineral Kerang Darah (Anadara
granosa)” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc.
7
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul “Pengaruh Perendaman Asam Organik terhadap Kelarutan Mineral
Kerang Darah (Anadara granosa)” sebagai syarat memperoleh gelar sarjana dari
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi, terutama kepada :
1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen
pembimbing atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis.
2. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
masukan, perbaikan, dan arahan kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil. selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
4. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5. Kedua orangtua Bapak Suganda dan Ibu Suryanah, S.Pd serta kedua adik
Abdul Rahman Hakim dan Muhammad Akbar yang senantiasa memberikan
semangat dan kasih sayang kepada penulis.
6. Bu Ema, Mba Dini, dan seluruh staf TU THP, terimakasih atas bantuan dan
bimbingan selama menjalankan penelitian.
7. Ibu Dian Anggraini selaku laboran Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan Ternak
atas segala bantuan, saran, serta semangat yang diberikan.
8. Teman-teman yang telah memberikan semangat serta canda tawa selama
penulis menempuh masa pendidikan (Kanti, Iis, Anit, Ipi, Epis, Hana, Mpit,
Dwi, Aie, Hapsah, Elin, dan Puspita).
9. Imelda, Lidia, Fitriany, Mawaddah, Lista, Rohmad, serta teman-teman THP
45 untuk bantuan dan kebersamaannya.
10. Khalid Abdullah atas kasih sayang, semangat, dan perhatian yang diberikan
kepada penulis.
8
11. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih atas segala
dukungan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
9
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Darah (Anadara granosa) .............. 4
2.2 Komposisi Kimia Kerang Darah (Anadara granosa) .......................... 5
2.3 Mineral ................................................................................................ 6
2.3.1 Mineral makro ............................................................................. 6
a) Natrium (Na) .......................................................................... 6
b) Kalium (K) ............................................................................. 7
c) Kalsium (Ca) .......................................................................... 7
d) Magnesium (Mg) ................................................................... 8
e) Fosfor (P) ............................................................................... 8
2.3.2 Mineral mikro ............................................................................. 9
a) Besi (Fe) ................................................................................. 9
b) Seng (Zn) ............................................................................... 9
c) Tembaga (Cu) ........................................................................ 10
2.4 Logam Berat ......................................................................................... 10
a) Timbal (Pb) ..................................................................................... 11
b) Kadmium (Cd) ................................................................................ 11
2.5 Kelarutan Mineral .................................................................................. 12
2.6 Penurunan Logam Berat pada Kerang ................................................... 13
3 METODOLOGI ....................................................................................... 15
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 15
3.2 Bahan dan Alat . ................................................................................... 15
3.3 Tahapan Penelitian .............................................................................. 16
3.3.1 Preparasi contoh ......................................................................... 16
3.3.2 Rendemen ................................................................................... 17
3.3.3 Analisis proksimat ...................................................................... 18
1) Kadar air (AOAC 1995) ........................................................ 18
2) Kadar abu (AOAC 1995) ....................................................... 18
3) Kadar protein (AOAC 1995) ................................................. 19
4) Kadar lemak (AOAC 1995) ................................................... 19
5) Kadar karbohidrat (Winarno 2008) ....................................... 20
vii
10
3.3.4 Pengujian profil total mineral (Reitz et al. 1987) ....................... 20
3.3.5 Pengujian kelarutan mineral (Santoso et al. 2006) ..................... 21
3.3.6 Pengujian kelarutan protein (Apriyantono et al. 1989) .............. 22
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ........................................... 22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 25
4.1 Rendemen dan Komposisi Kimia Kerang Darah (A. granosa) ........... 25
4.2 Komposisi Mineral Kerang Darah (A. granosa) ................................. 28
4.3 Kelarutan Mineral ................................................................................ 31
4.3.1 Kelarutan mineral makro ........................................................... 31
4.3.2 Kelarutan mineral mikro ........................................................... 34
4.3.3 Kelarutan logam berat ............................................................... 36
4.4 Kelarutan Protein ................................................................................. 37
4.5 Hubungan antara Kelarutan Mineral dengan Protein terhadap
Perubahan Nilai pH ............................................................................ 39
5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 43
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 43
5.2 Saran ................................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44
viii
11
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1 Komposisi mineral kerang (dalam 100 g) ................................................. 5
2 Komposisi kimia kerang .......................................................................... 6
3 Hasil analisis proksimat kerang darah ..................................................... 26
4 Komposisi mineral kerang darah (mg/100 g bk) ..................................... 28
5 Pengukuran nilai pH pada proses perendaman ......................................... 40
ix
12
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1 Kerang darah (Anadara granosa) ............................................................. 4
2 Diagram alir tahapan penelitian ............................................................... 17
3 Sampel kerang darah ................................................................................ 25
4 Rendemen kerang darah segar ................................................................. 26
5 Rata-rata kelarutan mineral makro kerang darah; huruf yang berbeda
adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang
menunjukkan beda nyata .......................................................................... 32
6 Rata-rata kelarutan mineral mikro kerang darah; huruf yang berbeda
adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang
menunjukkan beda nyata .......................................................................... 34 7 Rata-rata kelarutan logam berat kerang darah ......................................... 36
8 Rata-rata kelarutan protein kerang darah; huruf yang berbeda adalah
hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda
nyata ......................................................................................................... 38 9 Hubungan antara kelarutan mineral dengan protein terhadap perubahan
nilai pH larutan perendam kerang darah; huruf yang berbeda adalah
hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda
nyata ......................................................................................................... 40
x
13
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Analisis ragam kelarutan kalsium .............................................................. 49
2 Uji lanjut Duncan kelarutan kalsium ......................................................... 49
3 Analisis ragam kelarutan besi .................................................................... 49
4 Uji lanjut Duncan kelarutan besi ................................................................ 49
5 Analisis ragam kelarutan tembaga .............................................................. 49
6 Uji lanjut Duncan kelarutan tembaga.......................................................... 50
7 Analisis ragam kelarutan protein ............................................................... 50
8 Uji lanjut Duncan kelarutan protein ........................................................... 50
9 Analisis ragam pengukuran nilai pH .......................................................... 50
10 Uji lanjut Duncan pengukuran nilai pH ..................................................... 50
xi
14
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki wilayah perairan yang luasnya mencapai 5,8 juta km2
dan di dalamnya menjanjikan potensi sebagai sumber gizi tinggi bagi masyarakat.
Salah satu komoditas perairan yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah kerang.
Data produksi kerang-kerangan di Indonesia dari tahun 2004 sampai 2008
berturut-turut adalah 10.739 ton, 11.798 ton, 8.657 ton, 8.618 ton, dan 8321 ton
(KKP 2010).
Kelompok krustasea seperti kerang-kerangan banyak digemari sebagai salah
satu bahan yang dikonsumsi oleh masyarakat (Rahman 2006). Kerang darah
(A. granosa) merupakan salah satu jenis kerang air laut yang banyak dijual
disekitar PPI Muara Angke. Nurjanah et al. (2005) menjelaskan kerang darah
(A.granosa) merupakan salah satu jenis kerang yang berpotensi dan bernilai
ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber mineral yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.
Mineral memegang peranan penting dalam reaksi biokimia di dalam tubuh.
Kekurangan mineral dapat menyebabkan masalah kesehatan diantaranya anemia,
gondok, osteoporosis dan osteomalasia. Pemenuhan kebutuhan mineral pada
manusia dapat diperoleh dengan cara mengkonsumsi bahan pangan baik yang
berasal dari tumbuhan maupun hewan. Sumber mineral paling baik adalah
makanan yang berasal dari hewan, terutama hewan laut (Wardiatno et al. 2012).
Menurut Santoso et al. (2012), kandungan mineral dalam bahan pangan
adalah salah satu parameter awal untuk menilai kualitas suatu bahan pangan,
karena yang lebih penting adalah bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi nutrisi dalam makanan
yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh normal. Mineral yang bersifat
bioavailable harus dalam bentuk terlarut, walaupun tidak semua mineral terlarut
bersifat bioavailable.
Kelarutan mineral dapat meningkat ataupun berkurang tergantung pada
proses pengolahannya. Perebusan menggunakan asam asetat 0,5% dapat
meningkatkan kelarutan mineral Mg dan Ca secara signifikan pada beberapa jenis
rumput laut yang berasal dari Indonesia. Mineral pada makanan dapat berubah
15
struktur kimianya selama atau setelah mengalami proses pemasakan, serta adanya
interaksi dengan komponen lain (Santoso et al. 2006).
Mineral pada umumnya dapat membentuk ikatan dengan bahan-bahan
organik alam maupun bahan-bahan organik buatan. Proses pembentukan ikatan
tersebut dapat terjadi melalui pembentukan garam organik dengan gugus
karboksilat, misalnya sama sitrat, tartrat, dan lain-lain (Palar 2008).
Muhajir (2009) menjelaskan salah satu cara yang mudah dilakukan oleh
masyarakat konsumen kerang untuk mengurangi masuknya logam berat ke dalam
tubuh adalah dengan perendaman larutan asam cuka (asam asetat) 25% atau yang
telah diencerkan, yang banyak ditemui di pasaran. Larutan asam cuka merupakan
larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan yaitu sebagai
pengasam, pengawet, dan juga penyedap makanan. Larutan asam cuka
mempunyai kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat
menurunkan kadar logam kadmium pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum
dilakukan pengolahan.
Asam dapat bersifat sebagai sekuestran (chelating agents). Sekuestran
adalah bahan yang dapat mengikat logam dalam makanan sehingga mutu
makanan tetap terjaga dari cemaran logam berat. Beberapa kandungan alami
makanan dapat berperan sebagai bahan sekuestran antara lain asam-asam
karboksilat (oksalat, asetat, format, succinic), asam-asam hidroksi (laktat, malat,
tartarat, sitrat) asam-asam amino, peptida, protein, dan porfirin (Hudaya 2010).
Porsepwandi (1998) menjelaskan bahwa perendaman dalam larutan asam kuat,
misalnya HCl dapat menurunkan kandungan logam berat raksa (Hg) dalam kerang
hijau hingga 51,64%.
Informasi mengenai proses perendaman asam organik yang bertujuan untuk
mempelajari kelarutan mineral pada kerang darah masih sedikit dan terbatas. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh perendaman asam
organik menggunakan asam asetat 2,5%; asam sitrat 2,5%; serta asam format
2,5% terhadap kemampuannya dalam melarutkan mineral, logam berat, serta
protein pada kerang darah (Anadara granosa), untuk mempelajari serta
mengetahui informasi gizinya.
2
16
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian mengenai komposisi mineral kerang darah
(Anadara granosa) dan pengaruh perendaman asam organik terhadap kelarutan
mineral ini adalah:
1. Menganalisis komposisi proksimat, mineral makro, mineral mikro, serta logam
berat pada kerang darah (Anadara granosa).
2. Mempelajari pengaruh metode perendaman terhadap persentase kelarutan
mineral, logam berat, serta protein kerang darah (Anadara granosa) dengan
variasi jenis asam organik yang berbeda.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Darah (Anadara granosa)
Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang yang
terdapat di pantai laut pada substrat lumpur berpasir dengan kedalaman 10 – 30 m
(Suwignyo et al. 2005). Menurut Broom (1985), A.granosa dapat hidup di
perairan dengan suhu optimum 20-30 ºC serta salinitas 26-31 ppt. Berikut
klasifikasi kerang darah menurut Linnaeus (1978) diacu dalam Dance (1974).
Filum : Moluska
Kelas : Pelecypoda
Ordo : Arcoida
Famili : Arcidae
Genus : Anadara
Spesies : Anadara granosa
Kerang darah tersebar luas di wilayah Indo-Pasifik Barat, sebelah utara
Jepang, serta bagian selatan, utara, dan timur Australia (FAO 2012).
Nurjanah et al. (2005) menjelaskan A. granosa disebut kerang darah karena
kelompok kerang ini memiliki pigmen darah merah atau haemoglobin yang
disebut bloody cockles, sehingga dapat hidup pada kondisi kadar oksigen yang
relatif rendah, bahkan setelah dipanen masih bisa hidup walaupun tanpa air.
Ciri-ciri kerang darah, yaitu mempunyai 2 keping cangkang yang tebal, kedua sisi
sama, kurang lebih 20 rib, cangkang berwarna putih ditutupi periostrakum yang
berwarna kuning kecoklatan sampai coklat kehitaman. Ukuran kerang dewasa
6-9 cm. Morfologi kerang darah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerang darah (Anadara granosa) (FAO 2012).
2
Populasi kerang darah tertinggi pada umumnya ditemukan di daerah pasang
surut berlumpur lunak yang berbatasan dengan hutan bakau. Kepadatan tertinggi
A. granosa terdapat pada hamparan lumpur pantai tetapi tidak terletak di daerah
mulut atau muara sungai dengan salinitas bervariasi yang dipengaruhi oleh
musim. Kerang darah yang hidup pada perairan selama enam bulan panjangnya
4-5 mm, sedangkan kerang yang berada selama satu tahun pada perairan memiliki
panjang 30 mm. Hal tersebut dapat bervariasi tergantung dengan kondisi
lingkungan seperti suhu air, kandungan oksigen terlarut, amonia, dan salinitas
(Broom 1985).
2.2 Komposisi Kimia Kerang Darah (Anadara granosa)
Kualitas dan keamanan konsumsi produk-produk perikanan merupakan hal
yang sangat penting dan perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan
dibukanya perdagangan bebas, karena menyangkut kepercayaan konsumen dalam
dan luar negeri terhadap produk yang dihasilkan (Murtini dan Ariyani 2005).
Kandungan nutrisi kerang sangat mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.
Permintaan berbagai jenis kerang terus mengalami peningkatan, sehingga
diperlukan tindakan nyata dari berbagai pihak untuk mencapai target konsumsi
kerang. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui
komposisi kimia pada daging kerang, sehingga diharapkan dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai kandungan gizi kerang (Jacoeb et al. 2008).
Komposisi mineral kerang secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi mineral kerang (dalam 100 g)
Komponen Jumlah
Natrium (mg) 313,650
Kalium (mg) 227,800
Kalsium (mg) 28,050
Magnesium (mg) 31,450
Fosfor (mg) 242,250
Besi (mg) 5,712
Seng (mg) 2,269
Tembaga (mg) 0,127 Sumber : USDA (2006)
Komposisi kimia kerang darah dinyatakan dalam presentase dari unsur-
unsur air, abu, protein, dan lemak. Komposisi kimia bahan baku sangat bervariasi
5
3
tergantung pada ukuran, jenis kelamin, tingkat kematangan seksual, maupun
waktu penangkapan biota. Komposisi kimia kerang dari berbagai hasil penelitian
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia kerang
Komposisi kimia Daluningrum (2009) Nurjanah et al. (2005) Yusefi (2011)
Kadar Air 81,81 % (bb) 74,37 % (bb) 80,43 % (bb)
Kadar Protein 11,84 % (bb) 19,48 % (bb) 9,72 % (bb)
Kadar Abu 2,00 % (bb) 2,24 % (bb) 1,90 % (bb)
Kadar Lemak 0,60 % (bb) 2,50 % (bb) 3,85 % (bb)
Kadar Karbohidrat 3,75 % (bb) 1,41 % (bb) 4,10 % (bb)
2.3 Mineral
Mineral merupakan bagian dari tubuh yang memegang peran penting dalam
pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi
tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan dalam berbagai tahap
metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim. Sumber
mineral yang paling baik adalah makanan hewani. Berdasarkan kebutuhannya
mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro
adalah mineral yag dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari,
sedangkan mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan kurang dari 100 mg
sehari (Almatsier 2009).
2.3.1 Mineral makro
Mineral makro berfungsi sebagai bagian dari zat yang aktif dalam
metabolisme atau struktur sel dan jaringan. Adapula yang memegang fungsinya di
dalam cairan tubuh, baik intraseluler maupun ekstraseluler (Sediaoetama 1993).
Mineral makro terdiri dari natrium, kalsium, kalium, klorida, fosfor, sulfur, dan
magnesium (Almatsier 2009).
a) Natrium (Na)
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Sebanyak 35-40%
natrium ada dalam kerangka tubuh. Sumber utama natrium adalah garam dapur
atau NaCl. Makanan sehari-hari biasanya cukup mengandung natrium yang
dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu, tidak ada penetapan kebutuhan natrium sehari.
Taksiran kebutuhan natrium sehari untuk orang dewasa adalah 500 mg
(Almatsier 2009).
6
4
Kekurangan natrium disebabkan oleh berkurangnya cairan ekstraseluler
sehingga tekanan osmotik dalam tubuh menurun. Natrium dalam jumlah banyak
akan menyebabkan orang muntah-muntah atau diare, kejang, dan kehilangan
nafsu makan. Pada saat kadar natrium dalam darah turun, maka perlu diberikan
natrium dan air untuk mengembalikan keseimbangan (Almatsier 2009). Kelebihan
kadar natrium akan menyebabkan hipertensi, banyak ditemukan pada masyarakat
yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar, diantaranya pada mayarakat
Asia. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi dengan kandungan natrium yang
tinggi yaitu 7,6-8,2 g/hari (Winarno 2008).
b) Kalium (K)
Kalium merupakan ion bermuatan positif (kation) utama yang terdapat di
dalam cairan intraseluler. Konsentrasi total kalium di dalam tubuh diperkirakan
sebanyak 2 g/kg berat badan. Namun jumlah ini dapat bervariasi bergantung
terhadap beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, dan massa otot. Di dalam
tubuh, kalium mempunyai fungsi dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit
dan keseimbangan asam basa. Hampir sama dengan natrium, kalium juga
merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh (Irawan 2007).
Angka kecukupan gizi kalium pada orang dewasa adalah sebesar 2000 mg/hari.
Kekurangan kalium pada manusia akan mengakibatkan lemah, lesu, kehilangan
nafsu makan dan kelumpuhan, sedangkan kelebihan akan menyebabkan gagal
jantung yang berakibat kematian serta gangguan fungsi ginjal (Almatsier 2009).
c) Kalsium (Ca)
Kalsium merupakan unsur terbanyak di dalam tubuh manusia. Tubuh orang
dewasa memiliki kalsium sebanyak 1,0-1,4 kg atau sekitar 2% dari berat badan.
Kalsium terkonsentrasi pada tulang, tulang rawan dan gigi, sisanya terdapat dalam
cairan tubuh dan jaringan lunak (Winarno 2008).
Kalsium hanya bisa diabsorbsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain, yaitu oksalat. Peningkatan kebutuhan
terjadi pada pertumbuhan, kehamilan, menyususi, defisiensi kalisum, dan tingkat
aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Jumlah kalsium yang
dikonsumsi mempengarui absorbsi kalsium. Kekurangan kalsium pada masa
pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat,
7
5
mudah bengkok dan rapuh. Semua orang dewasa, terutama sesudah usia 50 tahun
kehilangan kalsium dari tulangnya. Hal ini dinamakan osteoporosis yang dapat
dipercepat oleh keadaan stres sehari-hari. Konsumsi kalsium hendaknya tidak
melebihi 2.500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal dan
juga konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier 2009).
d) Magnesium (Mg)
Magnesium merupakan unsur esensial bagi tubuh. Magnesium bertindak di
dalam semua sel jaringan lunak sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologik
termasuk reaksi-reaksi yang berkaitan dengan metabolisme, energi, karbohidrat,
lipida dan protein. Peran magnesium dalam hal ini berlawanan dengan kalsium.
Kalsium merangsang kontraksi otot, sedangkan magnesium mengendorkan otot.
Kalsium mendorong penggumpalan darah, sedangkan magnesium mencegah
penggumpalan darah. Kecukupan magnesium rata-rata sehari untuk Indonesia di
tetapkan sekitar 4,5 mg/kg berat badan. Ini berarti kecukupan untuk orang dewasa
laki-laki adalah 280 mg/hari dan untuk wanita dewasa 250 mg/hari. Kekurangan
magnesium berat menyebabkan kurang nafsu makan, gangguan dalam
pertumbuhan, mudah tersinggung, gugup, kejang, gangguan sistem saraf pusat,
halusinasi, koma, dan gagal jantung. Kelebihan magnesium terjadi pada penyakit
gagal ginjal (Almatsier 2009).
e) Fosfor (P)
Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah kalsium,
yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat
sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam
tulang dan gigi yang tidak dapat larut. Hidroksiapatit memberi kekuatan dan
kekakuan pada tulang (Almatsier 2009). Fosfor di dalam tulang berada dalam
perbandingan 1:2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel
tubuh, separuhnya di dalam sel otot dan di dalam cairan ekstraseluler. Peranan
fosfor mirip dengan kalsium, yaitu pembentukan tulang dan gigi. Pada bahan
pangan, fosfor terdapat dalam berbagai bahan organik dan anorganik. Sumber
fosfor yang utama adalah makanan yang kaya akan protein. Bahan makanan yang
dapat dijadikan sumber fosfor, yaitu daging, susu, telur, dan ikan (Winarno 2008).
8
6
2.3.2 Mineral mikro
Mineral mikro atau trace element merupakan istilah yang digunakan bagi
sisa mineral yang secara tetap terdapat dalam sistem biologis (Winarno 2008).
Mineral mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun
mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi. Mineral
mikro terdiri dari besi, seng, iodium, tembaga, mangan, kobalt, krom, dan
selenium (Almatsier 2009).
a) Besi
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh
manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa.
Zat besi dalam tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, antara lain
dalam memproduksi sel darah merah. Sel ini sangat diperlukan untuk mengangkut
oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Zat besi berperan sebagai pembawa oksigen,
bukan saja oksigen pernapasan menuju jaringan, tetapi juga dalam jaringan atau
dalam sel (Almatsier 2009).
Manusia hanya mampu menyerap dan membuang atau mengeluarkan besi
dalam jumlah yang terbatas. Dalam keadaan normal, diperkirakan orang dewasa
menyerap dan mengeluarkan besi sekitar 0,5 sampai 2,0 mg per hari. Pembuangan
besi keluar tubuh terjadi melalui beberapa jalan diantaranya melalui keringat, air
seni, serta feses dan menstruasi. Kekurangan zat besi pada umumnya
menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya
kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan kerja, menurunnya kekebalan tubuh
dan gangguan penyembuhan luka, selain itu kemampuan mengatur suhu tubuh
menurun. Kekurangan zat besi pada anak-anak menimbulkan apatis, mudah
tersinggung, menurunnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan belajar.
Kelebihan zat besi jarang terjadi karena makanan, tetapi dapat disebabkan oleh
suplemen besi. Gejalanya adalah rasa nek, muntah, diare, denyut jantung
meningkat, sakit kepala, mengigau dan pingsan (Almatsier 2009).
b) Seng (Zn)
Tubuh mengandung 2-2,5 gram seng yang tersebar di hampir semua sel.
Sebagian besar berada di hati, pankreas, otot, ginjal, dan tulang. Jaringan yang
banyak mengandung seng adalah bagian-bagian mata, kelenjar prostat,
9
7
spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku. Di dalam cairan tubuh, seng terutama
merupakan ion intraseluler. Seng dalam plasma tubuh hanya merupakan 0,1% dari
keseluruhan seng dalam tubuh yang mempunyai masa pergantian yang cepat
(Almatsier 2009).
Angka kecukupan gizi rata-rata seng bagi bayi umur 0-12 bulan adalah
sebesar 1,3-7,5 mg/hari, anak-anak 1-9 tahun sebesar 8,2-11,2 mg/hari, laki-laki
dan wanita 10-18 tahun sebesar 12,6-17,4 mg/hari serta usia 19-65 tahun ke atas
sebesar 9,3-13,4 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004).
Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan yaitu anak-anak, ibu hamil
dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan terjadinya
diare, gangguan pertumbuhan, gangguan kematangan seksual, gangguan sistem
saraf, sistem otak dan gangguan pada fungsi kekebalan (Almatsier 2009).
c) Tembaga (Cu)
Tembaga merupakan salah satu mineral mikro yang esensial bagi lancarnya
proses metabolisme dan kerja enzim dalam tubuh. Makanan sehari-hari
mengandung ±1 mg tembaga, dan sebanyak 35-70% diabsorbsi. Fungsi utama
tembaga dalam tubuh adalah sebagai bagian dari enzim (Almatsier 2006).
Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang
masih muda (Winarno 2008).
Kekurangan tembaga jarang terjadi, oleh karena itu AKG untuk tembaga di
Indonesia belum ditentukan. Kekurangan tembaga pernah dilihat pada anak-anak
kekurangan protein dan menderita anemia kurang besi serta pada anak-anak yang
mengalami diare. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan
tembaga di dalam hati yang dapat menyebabkan nekrosis hati atau serosis hati.
Konsumsi sebanyak 10-15 mg tembaga sehari dapat menimbulkan muntah-
muntah dan diare (Almatsier 2009).
2.4 Logam Berat
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang
sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang
dihasilkan bila logam berat ini masuk kedalam tubuh organisme hidup. Logam
berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam dan
10
8
metaloid dengan densitas lebih besar dari 5 g/cm3, terutama pada unsur seperti Cd,
Cr, Cu, Hg, Ni, Pb dan Zn. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya
menimbulkan efek khusus pada makhluk hidup. Logam berat dapat menjadi bahan
racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup, tetapi beberapa jenis logam
masih dibutuhkan oleh makhluk hidup, walaupun dalam jumlah yang sedikit
(Palar 2008).
Beberapa macam logam biasanya dominan daripada logam lainnya. Hal ini
tergantung pada sumber airnya. Logam yang umumnya mencemari lingkungan
diantaranya merkuri (Hg), timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), seng (Zn),
dan besi (Fe) (Darmono 1995).
a) Timbal (Pb)
Penyebaran logam timbal di bumi sangat sedikit. Jumlah timbal yang
terdapat di seluruh lapisan bumi hanyalah 0,0002% dari jumlah seluruh kerak
bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kandungan
logam berat lainnya yang ada di bumi (Palar 2008). Selain dalam bentuk logam
murni, timbal dapat ditemukan dalam bentuk senyawa inorganik dan organik.
Semua bentuk timbal (Pb) tersebut berpengaruh sama terhadap toksisitas pada
manusia (Darmono 2001).
Timbal (Pb) dan persenyawaannya dapat berada dalam badan perairan
secara alamiah dan sebagai dampak aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb dapat
masuk ke dalam perairan melaui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air
hujan. Disamping itu proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan
gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan
masuk ke dalam badan perairan (Palar 2008).
b) Kadmium (Cd)
Kadmium dan bentuk garamnya banyak digunakan pada beberapa jenis
pabrik untuk proses produksinya. Industri pelapisan logam adalah pabrik yang
paling banyak menggunakan Kadmium murni sebagai pelapis, begitu juga pabrik
yang membuat Ni-Cd baterai. Bentuk garam Cd banyak digunakan dalam proses
fotografi, gelas dan campuran perak, produksi foto elektrik, foto konduktor, dan
fosforus. Kadmium asetat banyak digunakan pada proses industri porselen dan
11
9
keramik.Kadmium dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh Kadmium (Darmono 2001).
Lebih lanjut Darmono (2001) menjelaskan bahwa sekitar 5% dari diet
kadmium diabsorpsi dalam tubuh. Sebagian besar Cd masuk melalui saluran
pencernaan, tetapi keluar lagi melalui feses sekitar 3-4 minggu kemudian, dan
sebagian kecil dikeluarkan melalui urin. Kadmium dalam tubuh terakumulasi
dalam hati dan ginjal terutama terikat sebagai metalotionein.
Keracunan kronis terjadi bila inhalasi Cd dosis kecil dalam waktu lama dan
gejalanya juga berjalan kronis. Kasus keracunan Cd kronis menyebabkan
gangguan kardiovaskuler dan hipertensi, hal tersebut terjadi dikarenakan tingginya
afinitas jaringan ginjal terhadap kadmium. Selain itu, kadmium juga dapat
menyebabkan terjadinya gejala osteomalasea karena terjadi interferensi daya
keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal. Salah satu kasus
keracunan kronis Cd yang terjadi di daerah Tayoma (daerah Jepang), dimana
disepanjang sungai Jinzu, penduduk wanita yang berumur 40 tahun atau lebih
terjangkit penyakit itai-itai, suatu nama penyakit yang disebabkan oleh kadmium
(Darmono 2001).
2.5 Kelarutan Mineral
Mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses
pemasakan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Kelarutan mineral dapat
meningkat atau menurun tergantung pada prosesnya (Santoso et al. 2006).
Menurut Wardiatno et al. (2012), pemasakan dengan media asam dan dengan
proses perebusan akan menghasilkan tingkat kelarutan mineral tertinggi pada
udang mantis (Harpiosquilla raphidea). Natrium dan kalsium memiliki nilai
kelarutan tertinggi untuk mineral makro, sementara seng dan besi memiliki
kelarutan tertinggi untuk mineral mikro. Septiani (2011) juga menjelaskan bahwa
dengan proses pengolahan, seperti perebusan pada keong ipong-ipong
(Fasciolaria salmo), dapat meningkatkan nilai kelarutan Ca sebesar 64,76% dan P
sebesar 68,98%. Sementara proses perebusan garam meningkatkan kelarutan Na
sebesar 73%, dan Mg sebesar 70,49%.
12
10
Mineral pada umumnya dapat membentuk ikatan dengan bahan-bahan
organik alam maupun bahan-bahan organik buatan. Proses pembentukan ikatan
tersebut dapat terjadi melalui pembentukan garam organik dengan gugus
karboksilat, misalnya asam sitrat, tartrat, dan lain-lain. Disamping itu, sejumlah
logam juga dapat berikatan dengan atom-atom yang mempunyai elektron bebas
dalam senyawa organik sehingga terbentuk kompleks (Palar 2008).
Mineral-mineral yang mempunyai berat molekul dan jumlah muatan
(valensi) yang sama bersaing satu sama lain untuk diabsorpsi, contohnya
magnesium, kalsium, besi dan tembaga yang mempunyai valensi +2
. Kalsium yang
dimakan terlalu banyak akan menghambat absorpsi besi. Keberadaan vitamin C
akan meningkatkan absorpsi besi apabila dimakan dalam waktu yang bersamaan,
sedangkan vitamin D akan meningkatkan daya absorpsi dari kalsium. Banyak
vitamin membutuhkan mineral untuk melakukan peranannya dalam metabolisme,
misalnya koenzim tiamin membutuhkan magnesium untuk berfungi secara efisien.
Interaksi serat dengan mineral akan mempengaruhi ketersediaan mineral,
misalnya asam fitat (dalam serat, kacang-kacangan, dan serelia), serta asam
oksalat (dalam bayam) yang mampu mengikat mineral-mineral tertentu
(Almatsier 2009).
Umumnya mineral tersedia sebagai mineral yang terikat (mineral binding
protein) di dalam tubuh suatu organisme. Metaloprotein adalah protein yang
terikat dengan mineral seperti feritrin dan hemosiderin. Protein ini biasanya
berikatan dengan mineral besi, tembaga, dan seng. Studi mengenai hubungan
antara efek logam berat dengan perubahan tingkat protein dalam organisme,
ditemukan pada protein metallotionin (MT). Logam berat seperti kadmium
memiliki mekanisme toksisitas yang kompleks dalam suatu organisme. Salah satu
mekanisme tersebut adalah kemampuan kadmium untuk mengikat protein
menyebabkan kadmium dapat ikut masuk kedalam tubuh pada saat
mengkonsumsi protein.
2.6 Penurunan Logam Berat pada Kerang
Menurut Sari (2005) diacu dalam Muhajir (2009), salah satu cara yang
mudah dilakukan oleh masyarakat konsumen kerang untuk mengurangi masuknya
13
11
logam berat ke dalam tubuh adalah dengan perendaman larutan asam cuka (asam
asetat) 25% atau yang telah diencerkan, yang banyak ditemui di pasaran. Larutan
asam cuka merupakan larutan yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan
yaitu sebagai pengasam, pengawet, dan juga penyedap makanan. Larutan cuka
mempunyai kemampuan mengikat logam (chelating agent) sehingga dapat
menurunkan kadar logam kadmium pada beberapa jenis ikan dan kerang sebelum
pengolahan menjadi makanan. Perendaman daging ikan bandeng dalam larutan
asam cuka 25% dengan waktu 1, 2, dan 3 jam menunjukkan penurunan kadar
logam berat timbal (Pb) berturut-turut sebesar 44,76%, 49,59%, 66,45%
(Imaduddin et al. 2000 diacu dalam Muhajir 2009).
14
12
3 METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Perairan
(preparasi sampel), Laboratorium Biokimia Hasil Perairan (analisis proksimat),
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan (perendaman asam organik dan
homogenizer), Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Terpadu Ilmu dan Nutrisi
Makanan Ternak (profil total mineral, mineral terlarut, dan protein terlarut kerang
darah), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Penelitian,
Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang darah
(Anadara granosa) yang diperoleh dari PPI Muara Angke, Jakarta Utara. Bahan
yang digunakan untuk analisis proksimat, yaitu akuades, kjeltab jenis selenium,
H3BO3, indikator metilen merah, larutan heksana, HCl, dan AgNO3. Bahan yang
digunakan untuk uji profil total mineral adalah HNO3, H2SO4, HClO4, dan kertas
saring Whatman no. 42. Bahan yang digunakan untuk analisis kelarutan mineral
adalah asam asetat, asam sitrat, dan asam format. Bahan yang digunakan untuk
analisis kelarutan protein adalah natrium karbonat dalam NaOH, tembaga sulfat
dalam NaK tartarat, pereaksi Folin Ciocalteau yang dilarutkan dengan air 1:1,
serta protein standar (BSA).
Alat-alat yang digunakan untuk proses preparasi dan uji proksimat meliputi
baskom, pisau, talenan, sudip, aluminium foil, cawan porselen, gegep, desikator,
coolbox, kompor listrik, tanur pengabuan, kapas bebas lemak, labu lemak,
kondensator, tabung soxhlet, penangas air, labu kjeldhal, destilator, labu
erlenmeyer, timbangan digital dan pipet volumetrik. Alat-alat yang digunakan
untuk proses perendaman serta analisis mineral diantaranya gelas piala, stirrer,
pH meter, corong kaca, pipet mikro, labu ukur, sentrifuse merek Beckman Model
13
J2-21, dan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merek Shimadzu AA
7000. Alat yang dugunakan pada proses analisis kelarutan protein meliputi tabung
reaksi, vortex, rak tabung reaksi, serta Spectrophotometer UV VIS merek LW
UV-200-RS.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu pengambilan dan preparasi
sampel, pengukuran rendemen, analisis proksimat, analisis profil total mineral,
analisis kelarutan mineral, analisis kelarutan protein, serta proses pengolahan data.
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, protein, abu, lemak, dan
karbohidrat (by difference). Sampel kerang darah kemudian dilakukan analisis
total mineral untuk mengetahui profil mineral yang terkandung (natrium, kalium,
kalsium, magnesium, fosfor, seng, besi, tembaga, timbal, dan kadmium) sebelum
mendapat perlakuan perendaman.
Pengaruh perendaman asam organik terhadap kelarutan mineral dilakukan
dengan cara memasukkan sampel ke dalam asam organik yang telah disiapkan
dengan perbandingan sampel dan larutan yaitu 1:4 (b/v). Proses perendaman
dilakukan menggunakan tiga jenis larutan asam organik, yaitu asam asetat 2,5%,
asam sitrat 2,5% dan asam format 2,5%. Masing-masing larutan asam organik
diukur pH awal terlebih dahulu untuk mengetahui perubahan pH yang mungkin
terjadi selama proses perendaman.
Tahapan analisis mineral terlarut bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kandungan mineral makro, mikro, serta logam berat yang ikut terlarut dalam
larutan asam organik. Perubahan yang terjadi terhadap kandungan mineral selama
proses perendaman juga dapat mempengaruhi kandungan protein pada suatu
bahan, sehingga perlu dilakukan analisis kelarutan protein. Diagram alir tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.3.1 Preparasi sampel
Sampel kerang darah diambil dari PPI Muara Angke, Jakarta Utara. Sampel
dibawa menggunakan coolbox tanpa tambahan es. Hal ini bertujuan untuk
menjaga kelangsungan hidup kerang darah selama proses transportasi ke
Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
16
14
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Kerang darah yang masih berada dalam
keadaan segar di bersihkan dan ditimbang untuk mengetahui rendemennya.
Daging yang diperoleh kemudian dicacah dengan menggunakan pisau yang
selanjutnya digunakan untuk analisis proksimat, analisis profil total mineral,
analisis kelarutan mineral, dan analisis kelarutan protein.
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian: = input; = proses.
3.3.2 Rendemen
Penentuan rendemen kerang darah di lakukan sebelum diberikan perlakuan.
Penentuan nilai rendemen dilakukan dengan cara membandingkan bobot akhir
dengan bobot awal dari sampel kerang darah yang digunakan.
Pengukuran mineral dan
logam berat terlarut
Pengukuran protein
terlarut
Pengukuran pH akhir
Sentrifugasi
Pencacahan daging
Perhitungan rendemen
Preparasi sampel
Sampel
Analisis:
Proksimat
Profil total mineral
Daging segar
Perendaman
Persiapan
larutan asam
Pengukuran pH
awal
Larutan
asam
17
15
Rendemen (%) = Bobot akhir (g) x 100%
Bobot awal (g)
3.3.3 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar
lemak, air, abu, dan protein. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai
penilaian kualitas suatu bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang
seharusnya terkandung di dalamnya.
1) Kadar air (AOAC 1995)
Prinsip pengujian kadar air yaitu sampel dikeringkan dalam oven udara pada
suhu 105 oC sampai diperoleh berat konstan. Cawan porselen kosong dikeringkan
dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 20 menit
dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel disimpan dalam cawan kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan tekanan tidak lebih dari 100
mmHg selama 6 jam atau sampai beratnya konstan. Selanjutnya cawan dan isinya
didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali. Perhitungan kadar air
menggunakan rumus berikut.
Keterangan : A = berat cawan kosong (g)
B = berat cawan + sampel awal (g)
C = berat cawan + sampel kering (g)
2) Kadar abu (AOAC 1995)
Prinsip pengerjaan kadar abu adalah abu dalam bahan ditetapkan dengan
menimbang residu hasil pembakaran komponen bahan organik pada suhu sekitar
550 ºC. Cawan pengabuan dipersiapkan dengan cara dikeringkan dalam oven
selama satu jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di
dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel
sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dibakar diatas
kompor listrik dengan api sedang untuk menguapkan sebanyak mungkin zat
organik yang ada atau sampai sampel tidak berasap lagi dan berwarna hitam.
Cawan dipindahkan ke dalam tanur dan dipanaskan pada suhu 300 oC, kemudian
18
16
suhu dinaikkan menjadi 600 oC dengan waktu 6 jam. selanjutnya tahur dimatikan
dan dapat dibuka setelah suhunya mencapai 250 oC atau kurang. Cawan diambil
dengan hati-hati dari dalam tanur kemudian ditimbang. Penentuan kadar abu
dihitung dengan menggunakan rumus berikut.
Keterangan : A = berat cawan kosong (g)
B = berat cawan + sampel awal (g)
C = berat cawan + sampel kering (g)
3) Kadar protein (AOAC 1995)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam labu kjeldahl 50 ml lalu ditambahkan 0,25 gram kjeltab dan 10 ml H2SO4
pekat. Sampel didestruksi pada suhu 400 oC selama kurang lebih dua jam atau
sampai cairan berwarna hijau bening, lalu didinginkan. Labu kjeldahl
ditambahkan dengan akuades 50 ml dan NaOH 40%, kemudian dimasukkan ke
dalam alat destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung
dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 25 ml asam borat (H3BO3) 4%
dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red 0,1% yang berwarna merah
muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka
proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Dengan metode
ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung. Kadar protein dihitung dengan
rumus berikut.
Keterangan: Protein (%) = N (%) x 6,25
4) Kadar lemak (AOAC 1995)
Sampel seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke
dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke
19
17
dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan
dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor
tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (heksana). Kemudian dilakukan
refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga
semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di
ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu
lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah
itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
Kadar lemak (%) =
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak kosong (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
5) Kadar karbohidrat (Winarno 2008)
Perhitungan kadar karbohidrat di lakukan dengan cara by difference, yaitu
pengurangan dari total kandungan gizi dengan presentase kadar lemak, kadar
protein, kadar air, dan kadar abu. Perhitungan rumus kadar karbohidrat (by
difference) sebagai berikut:
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (% kadar lemak + % kadar air
+ % kadar protein + % kadar abu)
3.3.4 Pengujian profil total mineral (Reitz et al. 1987)
Prinsip pengujian total mineral yaitu mengetahui nilai absorpsi logam
dengan menggunakan metode (AAS). Sebanyak 10 gram sampel daging kerang
darah yang sudah dicacah dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 125 ml
kemudian ditambahkan 5 ml HNO3, didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di
ruang asam. Selanjutnya dipanaskan diatas hot plate dengan suhu 120 oC selama
4 jam. Penambahan asam nitrat ini bertujuan untuk melarutkan kandungan
anorganik. Sampel dibiarkan selama semalam dalam keadaan tertutup. Setelah
dingin sebanyak 0,4 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang bertujuan
untuk menguapkan kandungan organik pada sampel, lalu dipanaskan diatas hot
plate sampai larutan berkurang atau lebih pekat, biasanya ±1 jam. Sebanyak 2-3
tetes larutan campuran HClO4: HNO3 dengan perbandingan 2:1 kemudian
20
18
ditambahkan ke dalam sampel. Sampel masih tetap diatas hot plate, karena
pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi
kuning tua lalu berubah lagi menjadi kuning muda, biasanya memakan waktu ±1
jam. Sampel kemudian dipindahkan, didinginkan, dan ditambahkan 2 ml akuades
dan 0,6 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali selama ±15 menit agar larut,
kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Apabila ada endapan disaring
dengan kertas Whatman no.42 sampai didapatkan larutan yang jernih.
Sejumlah larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan
dengan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang
diinginkan. Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam Atomic
Absorption Spectrophotometer (AAS) merk Shimadzu 7000 dengan panjang
gelombang dari masing-masing jenis mineral, kemudian diukur absorbansi atau
tinggi puncak standar, blanko, dan contoh pada panjang gelombang dan parameter
yang sesuai untuk masing-masing mineral. Perhitungan kadar mineral dalam
sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut.
kadar mineral ( g basis basah) =
Keterangan : fp = faktor pengenceran
w = bobot sampel
3.3.5 Pengujian kelarutan mineral (Santoso et al. 2006)
Sebanyak 20 gram sampel yang sudah dicacah ditambahkan dengan
akuades, asam asetat 2,5%, asam sitrat 2,5%, dan asam format 2,5% yang sudah
diukur nilai pH nya terlebih dahulu. Sampel kemudian direndam selama 30 menit
menggunakan stirrer pada kecepatan 5000 rpm untuk menghasilkan fraksi
terlarut. Setelah proses perendaman selesai, dilakukan proses pengukuran pH
akhir. Sampel selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 9000 rpm, suhu 2 ºC
selama 10 menit. Hasil yang didapatkan disaring dengan kertas Whatman no.42,
dan diambil supernatannya untuk dilanjutkan proses analisis mineral terlarut
21
19
dengan menggunakan alat (AAS) merk Shimadzu 7000 dengan panjang
gelombang yang sesuai dengan masing-masing jenis mineral.
3.3.6 Pengujian kelarutan protein (Apriyantono et al. 1989)
Pengujian kelarutan protein dilakukan menggunakan supernatan yang
dihasilkan setelah proses sentrifugasi dengan metode Lowry. Metode ini memiliki
prinsip adanya reaksi antara Cu2+
dengan ikatan peptida dan reduksi asam
fosfomolibdat dan asam fosfotungstat oleh tirosin dan triptofan (merupakan residu
protein) akan mengahsilkan warna biru. Warna yang terbentuk terutama dari hasil
reduksi fosfomolibdat dan fosfotungstat, oleh karena itu warna yang terbentuk
tegantung pada kadar tirosin dan triptofan dalam protein. Metode Lowry
mempunyai keuntungan karena 100 kali lebih sensitif dari metode Biuret.
Cara kerja uji kelarutan protein dilakukan dengan membuat larutan standar
bovine serum albumin sebanyak 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 ml di dalam tabung
reaksi. Akuades ditambahkan ke dalam masing-masing tabung sampai volume
total 4 ml. Untuk mengetahui nilai kelarutan protein yang dihasilkan pada
penelitian, supernatan yang dihasilkan pada proses sebelumnya disiapkan
sebanyak 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan
akuades hingga volumenya 4 ml. Kedalam masing-masing tabung reaksi
ditambahkan pereaksi yang terdiri dari natrium karbonat 2% dalam larutan NaOH
0,1 N dan tembaga sulfat 0,5% dalam larutan NaK tartarat 1% sebanyak 5,5 ml.
Larutan dicampur merata dan dibiarkan selama 10-15 menit pada suhu kamar.
Pereaksi Folin Ciocalteau selanjutnya ditambahkan ke dalam masing-masing
tabung reaksi sebanyak 0,5 ml, dan kocok merata dengan cepat menggunakan
vortex. Larutan dibiarkan selama 30 menit hingga warna biru terbentuk. Larutan
standar dan contoh lalu dialirkan ke dalam Spektrofotometer UV-VIS merek LW
UV-200-RS dengan panjang gelombang 650 nm kemudian diukur absorbansi
yang dihasilkan.
3.4. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan untuk menguji pengaruh perendaman
asam terhadap kelarutan mineral dan protein adalah metode rancangan acak
lengkap (RAL) dengan satu faktor dan 4 taraf (perendaman akuades, perendaman
22
20
asam asetat, perendaman asam sitrat, dan perendaman asam format). Semua
perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Data dianalisis dengan Analysis
Of Variance (ANOVA) atau uji F. Model rancangan analisis ANOVA atau uji F
adalah sebagai berikut:
Yij = μ + τi + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2)
μ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan
τi = Pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i (i=1,2,3)
εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j
Hipotesis terhadap data hasil kelarutan mineral akibat proses perendaman
pada berbagai jenis asam organik adalah sebagai berikut:
H0= Metode perendaman asam organik tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kelarutan mineral.
H1= Metode perendaman asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap
kelarutan mineral.
Hipotesis terhadap data hasil kelarutan logam berat akibat proses
perendaman pada berbagai jenis asam organik adalah sebagai berikut:
H0= Metode perendaman asam organik tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kelarutan logam berat.
H1= Metode perendaman asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap
kelarutan logam berat
.
Hipotesis terhadap data hasil kelarutan protein akibat proses perendaman
pada berbagai jenis asam organik adalah sebagai berikut:
H0= Metode perendaman asam organik tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap kelarutan protein.
H1= Metode perendaman asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap
kelarutan protein.
23
21
Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
kelarutan mineral dan protein maka dilanjutkan dengan uji Duncan, dengan rumus
sebagai berikut:
Duncan = tα/2; dbs
Keterangan :
KTS = Kuadrat tengah sisa
dbs = Derajat bebas sisa
r = Banyaknya ulangan
24
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rendemen dan Komposisi Kimia Kerang Darah (A. granosa)
Kerang darah termasuk dalam kelas pelecypoda atau sering disebut juga
bivalvia memiliki karakteristik yang khas yaitu tubuh yang terdiri dari dua
cangkang pipih lateral. Rendemen adalah presentase suatu bahan baku yang
dimanfaatkan. Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk
mengetahui nilai ekonomis dan efektifitas suatu produk atau bahan. Semakin
besar nilai rendemen, semakin besar pula bagian bahan baku yang dapat
dimanfaatkan. Dokumentasi sampel kerang darah disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Sampel kerang darah.
Rendemen yang dapat diperoleh dari sampel kerang darah berupa daging
dan cangkang. Rendemen kerang darah merupakan bagian tubuh kerang darah
yang masih bisa dipergunakan yang diperoleh dengan cara membedah kerang,
kemudian memisahkan bagian daging dengan cangkang. Rendemen daging
kerang darah dihitung berdasarkan presentase perbandingan bobot daging
terhadap bobot utuh sampel. Rendemen kerang darah disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 menunjukkan bahwa rendemen yang paling besar adalah
cangkang sebesar 70,71%, sedangkan rendemen daging sebesar 29,28%. Kerang
darah memiliki rendemen cangkang yang lebih tinggi dibandingkan rendemen
daging, hal ini dapat dikarenakan kerang darah memiliki 2 keping cangkang yang
tebal dan mengandung kalsium karbonat (Nurjanah et al. 2005). Kadar zat kapur
(CaCO3) dan zat tanduk pada cangkang membuat rendemen cangkang menjadi
paling tinggi diantara rendemen daging.
23
Gambar 4 Rendemen kerang darah segar: = cangkang; = daging.
Analisis proksimat yang dilakukan menghasilkan data mengenai kandungan
gizi yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Pada umumnya zat gizi dibagi
dalam lima kelompok utama, yaitu karbohidrat, lemak, protein, abu atau mineral,
serta air (Budiyanto 2002). Hasil analisis proksimat daging kerang darah disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis proksimat kerang darah
Parameter Kandungan (%)
Kadar Air 81,61
Kadar Abu 1,09
Kadar Protein 6,65
Kadar Lemak 0,58
Kadar Karbohidrat (by difference) 10,07
Air merupakan komponen yang mempunyai peranan yang sangat besar bagi
bahan pangan. Keberadaan air dalam bahan pangan sering dihubungkan dengan
mutu bahan pangan, sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan, penentu
indeks kestabilan selama penyimpanan serta penentu mutu organoleptik terutama
rasa dan keempukan (Andarwulan et al. 2011). Tabel 3 menunjukkan kadar air
kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke adalah sebesar 81,61%. Hal ini
tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) yang menyatakan
bahwa kadar air kerang darah sebesar 81,81% (bb). Lehninger (1988) menjelaskan
bahwa air merupakan senyawa paling berlimpah dalam sistem hidup dan
mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini
26
24
diperkuat oleh pernyataan Winarno (2008) yang menyebutkan bahwa produk hasil
perikanan memiliki kandungan air yang cukup tinggi.
Bahan pangan mengandung senyawa anorganik yang disebut mineral atau
abu selain mengandung bahan organik dan air. Keberadaan mineral pada bahan
pangan sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia meskipun jumlahnya sangat sedikit
(Andarwulan et al. 2011). Hasil analisis kadar abu menunjukkan nilai kadar abu
pada kerang darah sebesar 1,09%. Hasil ini lebih rendah namun tidak berbeda
jauh jika dibandingkan dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) dimana kadar
abu yang diperoleh sebesar 2,00% (bb).
Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan
lingkungan hidup. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral
yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Selain itu,
masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda
dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral yang masuk ke dalam tubuh,
sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu
masing-masing bahan (Susanto 2010).
Protein adalah salah satu zat gizi makro yang dibutuhkan tubuh karena
fungsinya yang khusus dalam pertumbuhan. Protein merupakan sumber asam
amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Hasil analisis protein
menunjukkan bahwa nilai protein yang didapat yaitu sebesar 6,65%. Hasil ini
lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yusefi (2011) yaitu kadar
protein kerang bulu sebesar 9,72% (bb). Perbedaan kadar protein dapat
dikarenakan oleh faktor spesies, umur, makanan yang tersedia, laju metaboisme,
tingkat kematangan gonad, dan laju pergerakan (Andarwulan et al. 2011).
Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia (Winarno 2008). Hasil analisis kadar lemak pada kerang darah
yang dihasilkan yaitu sebesar 0,58%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh
dibandingkan penelitian Daluningrum (2009) yang menghasilkan kadar lemak
kerang darah sebesar 0,60% (bb). Menurut pendapat Yunizal et al. (1998) diacu
dalam Susanto (2010), menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan
terbalik dengan kadar lemak. Apabila kadar air yang terkandung dalam bahan
pangan cukup tinggi, akan mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak.
27
25
Hasil perhitungan karbohidrat menggunakan cara by difference
menunjukkan nilai kadar karbohidrat pada kerang darah sebesar 10,07%. Hasil ini
lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) yang
menyebutkan kadar karbohidrat kerang darah sebesar 3,75% (bb). Karbohidrat
yang terdapat dalam hewan ternak, khususnya daging, tersimpan dalam bentuk
glikogen yang banyak terdapat pada jaringan otot dan hati (Winarno 2008). Pada
kelompok bivalvia, cangkang terhubung oleh jaringan ikat (ligamen) yang
berfungsi seperti engsel untuk membuka dan menutup cangkang dengan cara
mengencangkan dan mengendurkan otot aduktor yang terdapat pada bagian
anterior dan posterior tubuh (Suwignyo et al. 2005).
4.2 Komposisi Mineral Kerang Darah (A. granosa)
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun
fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu, mineral berperan dalam berbagai
tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim. Mineral
digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah
mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan
mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2009). Informasi
mengenai kandungan mineral makro dan mikro yang terkandung pada kerang
darah yang berasal dari PPI Muara Angke disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi mineral kerang darah (mg/100 g bk)
Komposisi mineral A. granosa hasil
penelitian A.granosa*
Cerithidea
obtusa**
Chamelea
gallina***
Makro
Natrium 857,69 ± 146,65 - 283,45 -
Kalium 654,39 ± 29,14 - 259,22 -
Kalsium 142,39 ± 76,49 272,50 39,78 -
Magnesium 171,31 ± 37,52 - 82,05 -
Fosfor 558,90 ± 15,46 - 96,73 -
Mikro
Besi 45,98 ± 3,40 36,53 5,81 -
Seng 3,61 ± 0,08 5,43 3,87 -
Tembaga 1,08 ± 0,22 1,24 0,29 -
Logam
berat
Timbal 1,24 ± 0,33 - - 0,13
Kadmium 0,10 ± 0,02 - - 0,04 * Nurjanah et al. (2005)
**Purwaningsih (2012)
***Ozden et al. (2009)
28
26
Kandungan mineral makro pada kerang darah meliputi natrium, kalium,
kalsium, magnesium, dan fosfor. Sementara kandungan mineral mikro meliputi
besi, seng, dan tembaga, sedangkan timbal dan kadmium termasuk kedalam
golongan logam berat yang biasanya menimbulkan efek toksik pada tubuh
makhluk hidup. Kandungan mineral makro dengan konsentrasi tertinggi pada
kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke adalah natrium sebesar
857,69 mg/100 g bk, diikuti oleh kalium, fosfor, magnesium, dan kalsium,
masing-masing sebesar 654,39; 558,90; 171,31 dan 142,39 mg/100 g bk.
Kandungan mineral mikro dengan konsentrasi tertinggi pada kerang darah adalah
besi sebesar 45,98 mg/100 g bk, diikuti oleh seng sebesar 3,61 mg/100 g bk, dan
tembaga sebesar 1,08 mg/100 g bk. Analisis kandungan mineral kerang darah juga
menemukan adanya logam berat yaitu timbal dan kadmium dengan konsentrasi
masing-masing sebesar 1,24 mg/100 g bk dan 0,10 mg/100 g bk.
Kandungan natrium pada kerang darah yang diteliti lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan natrium pada kerang menurut USDA (2006)
yaitu sebesar 313,650 mg/100 g. Kandungan natrium kerang darah juga lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kandungan natrium pada keong matah merah
menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 283,45 mg/100 g bk.
Kandungan kalium kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan kalium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
227,800 mg/100 g. Kandungan kalium kerang darah juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan kalium pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 259,22 mg/100 g bk.
Kandungan kalsium pada kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kandungan kalsium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
28,050 mg/100 g. Kandungan kalsium kerang darah juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan kalsium pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 39,78 mg/100 g bk, namun lebih rendah jika
dibandingkan dengan kandungan kalsium pada kerang darah menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 272,50 mg/100 g bk.
Kandungan magnesium kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan magnesium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
29
27
31,450 mg/100 g. Kandungan magnesium kerang darah juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan magnesium pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 82,05 mg/100 g bk.
Kandungan fosfor kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan fosfor pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
242,250 mg/100 g. Kandungan fosfor kerang darah juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan fosfor pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 96,73 mg/100 g bk.
Kandungan seng kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan seng pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
2,269 mg/100 g. Kandungan seng kerang darah tidak berbeda jauh jika
dibandingkan dengan kandungan seng pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 3,87 mg/100 g bk, namun lebih kecil jika
dibandingkan dengan kandungan seng pada kerang darah menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 5,43 mg/100 g bk.
Kandungan besi kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan besi pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
5,712 mg/100 g. Kandungan besi kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kandungan besi pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012)
yaitu sebesar 5,81 mg/100 g bk, dan kandungan besi pada kerang darah menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 36,53 mg/100 g bk.
Kandungan tembaga kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kandungan tembaga pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
0,127 mg/100 g. Kandungan tembaga kerang darah juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan tembaga pada keong matah merah menurut
Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 0,29 mg/100 g bk, namun lebih rendah jika
dibandingkan dengan kandungan tembaga pada kerang darah menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 1,24 mg/100 g bk.
Kandungan logam berat timbal pada kerang darah didapat sebesar
1,24 mg/100 g bk, hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang
didapatkan oleh Ozden et al. (2009) yang menyebutkan kandungan timbal pada
bivalvia Chamelea gallina sebesar 0,13 mg/100 g. Begitu pula kandungan
30
28
kadmium pada kerang darah sebesar 0,10 mg/100 g bk, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kandungan kadmium pada Chamelea gallina, yaitu sebesar
0,04 mg/100 g.
Wardiatno et al. (2012) menjelaskan bahwa komposisi mineral pada hewan
invertebrata laut dipengaruhi oleh kebiasaan makan, umur, jenis kelamin, iklim,
dan kondisi habitat. Pernyataan ini juga didukung oleh Amiard et al. (2008) yang
menyebutkan bahwa kebiasaan makan suatu organisme dapat mempengaruhi
kemampuan menyerap mineral yang terdapat pada lingkungan. Umumnya
makanan yang berasal dari laut merupakan sumber vitamin dan mineral yang
sempurna (Ersoy dan Ozeren 2009).
4.3 Kelarutan Mineral
Santoso et al. (2006) menjelaskan bahwa kandungan mineral dalam bahan
pangan merupakan salah satu parameter awal untuk menilai kualitas suatu bahan
pangan, karena yang lebih penting adalah bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi nutrisi dalam
makanan yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh normal. Mineral
yang bersifat bioavailable harus dalam bentuk terlarut, walaupun tidak semua
mineral terlarut bersifat bioavailable.
Pada penelitian ini diamati kelarutan mineral makro (natrium, kalium,
kalsium, fosfor, dan magnesium), mineral mikro (besi, seng, dan tembaga), serta
logam berat (timbal dan kadmium) dari kerang darah dalam berbagai pelarut yang
digunakan yaitu akuades, asam asetat 2,5%; asam sitrat 2,5%; dan asam format
2,5%. Kelarutan mineral adalah kemampuan suatu mineral untuk larut (solute)
dalam suatu pelarut (solvent).
4.3.1 Kelarutan mineral makro
Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih
dari 100 mg per hari (Almatsier 2009). Proses perendaman menggunakan berbagai
media asam memberikan nilai berbeda terhadap kelarutan kalsium kerang darah.
Kelarutan kalsium tertinggi yaitu 7,98% diperoleh dengan menggunakan pelarut
asam format, sedangkan kelarutan kalsium terendah terdapat pada perendaman
31
29
menggunakan akuades yaitu sebesar 3,06%. Kelarutan kalsium pada kerang darah
yang berasal dari PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Rata-rata kelarutan mineral makro kerang darah; huruf yang berbeda
adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang
menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Hasil analisis ragam kelarutan kalsium kerang darah yang berasal dari PPI
Muara Angke menunjukkan bahwa dengan perendaman menggunakan asam
organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan kalsium (Lampiran 1).
Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara
media perendaman akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat, dan
akuades dengan asam format (Lampiran 2).
Idris (2010) menjelaskan penggunaan asam asetat 0,5% sebagai media
perebusan dapat melarutkan kalsium pada udang mantis sebanyak 23,26% pada
udang mantis asal Jambi, dan 22,11% pada udang mantis asal Cirebon. Mineral
pada umumnya dapat membentuk ikatan dengan bahan-bahan organik alami
maupun bahan-bahan organik buatan. Proses pembentukan ikatan tersebut dapat
terjadi melalui pembentukan garam organik dengan gugus karboksilat yaitu,
misalnya asam sitrat, tartrat, dan lain-lain (Palar 2008).
32
30
Asam merupakan salah satu jenis sekuestran (zat pengikat logam). Menurut
Tranggono (1990) sekuestran dapat mengikat mineral dan logam dalam bentuk
ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam
tersebut dalam bahan makanan. Kemampuan asam dalam mengikat ion-ion logam
juga dapat menghilangkan ion-ion logam yang terakumulasi dalam daging.
Sifat-sifat asam organik yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan
oleh gugus karboksil (COO-
) dan gugus hidroksil (OH-
) fenolat, serta tingkat
disosiasinya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin
dapat dilepas. Contohnya asam asetat hanya ada satu proton yang mungkin dapat
dilepaskan, tetapi pada asam oksalat dan juga asam suksinat dan malat ada dua
proton yang mungkin dapat dilepaskan, demikian pada asam sitrat mungkin dapat
melepaskan tiga proton. Selain menghidrolisis suatu senyawa melalui anionnya,
COO- juga dapat membentuk ikatan kompleks dengan logam penghubung
kerangka mineral, misalnya Fe, Al, Ca, dan Mg, dan mengakibatkan terlepasnya
mineral tersebut dari jaringan suatu bahan, dan terbentuklah senyawa kompleks
(Ismangil dan Hanudin 2005).
Penelitian yang dilakukan Ismangil dan Hanudin (2005) terhadap kelarutan
mineral pada batuan menunjukkan kemampuan asam humat (pH 2,5) dalam
melarutkan mineral Si dan Al lebih besar dibandingkan dengan asam fulfat
(pH 7,0). Hal ini terjadi karena asam fulfat pada pH 7,0 disosiasinya tidak
sempurna, sehingga pelepasan ion H menjadi menurun yang juga berakibat pada
kelarutannya. Adanya asam organik misalnya asam oksalat dan asam sitrat
mampu mempercepat kelarutan mineral dengan adanya ion H yang berasal dari
disosiasi asam, reaksi tersebut adalah asidolisis (Ismangil dan Hanudin 2005).
Hubungan antara nilai pH dengan kelarutan mineral juga dijelaskan pada
penelitian Sariningrum (2009) mengenai penanganan masalah karies gigi pada
anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen mineral gigi tersusun atas
hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2). Hidroksiapatit bersifat reaktif terhadap ion
hidrogen ketika lingkungan berada dalam kondisi pH dibawah 5,5 (pH kritis).
Ketika hal ini terjadi, ion PO43-
akan berubah menjadi HPO42-
karena penambahan
ion H+. Akibatnya HPO4
2- yang terbentuk ini tidak mampu menjaga hidroksiapatit
dalam kondisi seimbang sehingga akhirnya kristal hidroksiapatit terlarut.
33
31
4.3.2 Kelarutan mineral mikro
Pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke, proses perendaman
menggunakan asam organik memberikan nilai berbeda terhadap kelarutan besi.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan asam
organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan besi pada kerang darah
(Lampiran 3). Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan besi pada kerang darah
menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media pelarut akuades
dengan asam sitrat, akuades dengan asam format, dan asam asetat dengan asam
format (Lampiran 4).
Kelarutan besi tertinggi diperoleh pada media pelarut asam format sebesar
1,25%, sementara kelarutan besi terendah diperoleh pada perendaman
menggunakan media pelarut akuades sebesar 0,38%. Kelarutan besi pada kerang
darah yang berasal dari PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Rata-rata kelarutan mineral mikro kerang darah; huruf yang berbeda
adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang
menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Gambar 6 juga menunjukkan adanya pengaruh yang ditimbulkan proses
perendaman terhadap kelarutan tembaga. Perendaman menggunakan larutan asam
format memberikan nilai kelarutan tembaga tertinggi yaitu 1,47%, sedangkan
kelarutan tembaga terendah terdapat pada proses perendaman menggunakan
34
32
media akuades sebesar 0,82%. Proses penanganan dan pengolahan yang berbeda
dapat mempengaruhi peningkatan maupun penurunan kandungan mineral.
Ersoy dan Ozeren (2009) menjelaskan adanya perubahan tembaga pada ikan
African catfish setelah dimasak yang berkisar antara 9,30-21,5 g/100 g.
Hasil analisis ragam kelarutan tembaga menunjukkan bahwa proses
perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap
kelarutan tembaga pada kerang darah (Lampiran 5). Uji lanjut Duncan terhadap
kelarutan tembaga pada kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang
berbeda nyata antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan
asam sitrat, akuades dengan asam format, asam asetat dengan asam sitrat, dan
asam sitrat dengan asam format (Lampiran 6).
Santoso et al. (2006) menjelaskan bahwa mineral pada makanan dapat
berubah struktur kimianya pada waktu proses pemasakan atau akibat interaksi
dengan bahan lain. Greffeuille et al. (2011) menjelaskan bahwa proses
pengolahan berupa penggilingan pada tepung jagung menyebabkan penurunan
mineral yang cukup besar dimana presentase ketersediaan besi menurunkan
sebanyak 1,4%.
Mineral umumnya adalah senyawa anorganik yang berupa padatan dan
berbentuk kristal. Apabila mineral tersebut mengalami pelarutan, maka reaksi
yang berlangsung adalah difusi. Reaksi ini merupakan reaksi antara atom-atom
pada lapisan permukaan kristal (yang terikat kuat oleh atom di lapisan bagian
dalamnya) dengan air atau larutan yang reaktif yang berada di luar kristal.
Hasilnya, pada permukaan mineral terjadi penyingkiran atom penyusun yang
kemudian masuk ke dalam air atau larutan. Selanjutnya dalam lapisan tersebut
mencari kesetimbangan baru dan pada bagian larutan terjadi penambahan atom
(ion) atau peningkatan konsentrasi (Ismangil dan Hanudin 2005).
Jumlah proton yang terlepas juga ditentukan oleh pH lingkungan. Santoso
et al. (2006) melaporkan bahwa kelarutan mineral Fe pada tiga jenis rumput laut
yang berasal dari Jepang, yaitu Porphyra yezoensis, Enteromorpha intestinalis
dan Hiziki fusiformis pada pH 2 lebih tinggi dibandingkan pada pH 6. Sementara
itu Porsepwandi (1998) menjelaskan pada konsisi pH asam yang berkisar antara
1,5-3,0 mampu melarutkan kandungan logam berat pada kerang hijau Mytilus
35
33
viridis lebih dari 25%. Hal ini terjadi karena protein kerang hijau terdenaturasi
dengan perlakuan asam. Denaturasi akibat perlakuan asam diduga dapat
menyebabkan ikatan komplek logam keluar dari daging kerang hijau, bersama
dengan cairan tubuh.
4.3.3 Kelarutan logam berat
Timbal, merkuri, dan kadmium adalah logam yang mencemari lingkungan
serta memberi dampak toksik yang berbahaya bagi kesehatan. Timbal tersebar
luas dibandingkan dengan logam toksik lainnya. Kadarnya dalam lingkungan
meningkat karena penambangan, peleburan, pembersihan, dan berbagai
penggunaannya dalam industri (Lu 2006).
Proses perendaman menggunakan asam organik memberikan nilai kelarutan
timbal tertinggi pada media pelarut asam format sebesar 1,28%, sedangkan nilai
kelarutan timbal terendah diperoleh pada media pelarut akuades sebesar 0,77%.
Hasil analisis ragam kelarutan timbal menunjukkan bahwa proses perendaman
kerang darah pada beberapa media asam organik tidak memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap kelarutan timbal. Diagram batang kelarutan timbal
kerang darah dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Rata-rata kelarutan logam berat kerang darah.
Gambar 7 menunjukkan persentase kelarutan logam berat kadmium akibat
proses perendaman pada asam organik berbeda. Nilai kelarutan kadmium tertinggi
36
34
didapat pada pelarut asam format sebesar 35,73%, sementara kelarutan terendah
diperoleh pada pelarut akuades sebesar 22,47%. Hasil analisis ragam kelarutan
kadmium menunjukkan bahwa proses perendaman asam tidak memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan kadmium.
Houlbrèque et al. (2011) menjelaskan bahwa proses pengolahan dapat
mempengaruhi ketersediaan kadmium pada Mytilus chilensis. Ketersediaan
kadmium terserap melalui proses pemasakan menggunakan air jeruk sebanyak
42% dari total kandungan kadmium sehingga dapat mengurangi dampak yang
ditimbulkan terhadap kesehatan akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar
kadmium. Hasil serupa juga didapatkan oleh Yulianda (2010), yang menyebutkan
bahwa kandungan kadmium pada kerang darah berkurang hingga 55,95% setelah
mengalami proses perebusan dalam larutan jeruk nipis selama 1 menit.
Apabila dibandingkan antara kelarutan logam berat kerang darah pada
berbagai media asam organik, perendaman kerang darah pada asam format dapat
melarutkan kadmium hingga 35,73% (0,36 ppm bobot kering) dari total kadmium
kerang segar sebanyak 1,00 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa asam format
memiliki sifat mengikat logam kadmium pada kerang darah. Menurut Badan
Pengawas Obat dan Makanan (2005), hasil kelarutan ini masih berada dibawah
batas maksimum penetapan cemaran kimia dalam makanan. Batas maksimum
kadmium yang diizinkan terdapat dalam kerang-kerangan (bivalvia) yaitu sebesar
1,00 ppm.
Daging, unggas, dan ikan mempunyai kadar Cd yang relatif rendah,
sedangkan kadar dalam hati, ginjal, dan kerang-kerangan jauh lebih tinggi. Kadar
Cd dalam lingkungan meningkat karena peleburan dan penggunaannya dalam
industri. Efek akut Cd terutama mengakibatkan iritasi lokal. Setelah termakan Cd
akan menimbulkan gejala klinis berupa mual, muntah-muntah, dan nyeri perut.
Dampak pada sistem pernapasan terjadi akibat adanya Cd yang terhirup
(Lu 2006).
4.4 Kelarutan Protein
Kelarutan protein adalah persen dari total protein yang terdapat dalam bahan
pangan yang dapat diekstrak oleh atau larut dalam air pada kondisi tertentu. Jenis-
37
35
jenis protein seperti albumin, globulin, prolamin, dan glutein dapat larut dalam
air, larutan garam encer, 60-80% alkohol alifatik, dan 0,2% NaOH
(Andarwulan et al. 2011). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap
kelarutan protein dari daging kerang darah dalam berbagai pelarut diantaranya
akuades, asam asetat 2,5%, asam asetat 2,5%, dan asam format 2,5%. Kelarutan
protein tertinggi diperoleh pada media pelarut asam format sebesar 0,022%,
sementara kelarutan protein terendah diperoleh pada perendaman menggunakan
media pelarut akuades sebesar 0,017%. Diagram batang kelarutan protein kerang
darah disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Rata-rata kelarutan protein kerang darah; huruf yang berbeda adalah
hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan
beda nyata (p<0,05).
Hasil analisis ragam kelarutan protein menunjukkan bahwa proses
perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap
kelarutan protein pada kerang darah (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan terhadap
kelarutan protein pada kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda
nyata antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam
sitrat, dan akuades dengan asam format (Lampiran 8).
38
36
Kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi asam aminonya di dalam
larutan, dimana asam amino dapat bersifat asam atau basa. Sifat kelarutan protein
juga tergantung pada jenis protein, jenis pelarut, pH, konsentrasi dan muatan ion,
dan suhu (Andarwulan et al. 2011). Penurunan pH menyebabkan denaturasi
protein. Akibat denaturasi protein, maka terjadi penurunan kelarutan protein.
Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Denaturasi protein dapat
disebabkan oleh berbagai cara, yaitu panas, pH, bahan kimia, mekanik, dan
sebagainya. Masing-masing cara mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap denaturasi protein (Winarno 2008).
Menurut Finger dan Smith (1987), kelenjar pencernaan hewan laut yaitu
cepalopoda memiliki sejumlah sifat yang mirip dengan logam dan mampu
berikatan dengan metallotionin. Soto et al. (2007) diacu dalam Kurnia et al.
(2010), menjelaskan bahwa protein metallotionin (protein MT) adalah protein
sistein dengan berat molekul rendah, mudah larut, tahan terhadap terhadap suhu
tinggi (protein termofilik), kaya akan unsur belerang (lebih dari 30%) serta
memiliki afinitas yang kuat dengan ikatan logam. Dalam organisme air, protein
MT bertanggungjawab untuk menjaga konsentrasi logam tetap pada tingkat
rendah. Protein MT khusus berikatan dengan logam seperti Cd, Cu, Hg, dan ion
Zn. Kenaikan tingkat protein MT terkait dengan peningkatan kapasitas sel untuk
mengikat ion logam berat yang meningkat seiring perlindungan terhadap
toksisitas logam berat.
4.5 Hubungan antara Kelarutan Mineral dengan Protein terhadap
Perubahan Nilai pH
Mineral agar dapat dipecah dan direduksi menjadi bentuk molekul-molekul
yang mudah diserap oleh tubuh membutuhkan faktor pendorong daya larut. Faktor
yang menjadi pendorong tersebut adalah suhu dan kondisi pH asam
(Sediaoetama 1993). Selama penelitian dilakukan juga pengukuran terhadap
perubahan pH pada masing-masing pelarut yang digunakan sebelum dan sesudah
proses perendaman. Hasil rata-rata pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 5, dan
diagram batang hubungan antara kelarutan mineral dengan protein terhadap
perubahan nilai pH larutan perendam kerang darah dilihat pada Gambar 9.
39
37
Tabel 5 Pengukuran nilai pH pada proses perendaman
Kalsium Besi Tembaga Protein pH
Kel
aruta
n m
iner
al (
%)
0
2
4
6
8
10
Kel
aruta
n p
rote
in (
%)
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0,025
0,030
Nilai
pH
0
1
2
3
4
5
6
7
Akuades
Asam asetat
Asam asetat
Asam format
Keterangan:
Gambar 9 Hubungan antara kelarutan mineral dengan protein terhadap perubahan
nilai pH larutan perendam kerang darah; huruf yang berbeda adalah
hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan
beda nyata (p<0,05).
Hasil analisis ragam terhadap pengukuran nilai pH menunjukkan bahwa
penggunaan jenis asam organik yang berbeda memberikan pengaruh nyata
terhadap perubahan nilai pH terukur pada proses perendaman kerang darah
(Lampiran 9). Uji lanjut Duncan terhadap pengukuran nilai pH larutan setelah
proses perendam kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata
antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat,
Pelarut Nilai pH
Sebelum perendaman Setelah perendaman
Akuades 7,18 6,22
Asam asetat 2,13 3,16
Asam sitrat 1,79 2,36
Asam format 1,58 2,08
40
38
akuades dengan asam format, asam asetat dengan asam sitrat, asam asetat dengan
asam format, dan asam sitrat dengan asam format (Lampiran 10). Diagram batang
pengukuran nilai pH larutan perendam disajikan pada Gambar 9.
Penelitian yang dilakukan menghasilkan rata-rata kelarutan mineral
terbanyak diperoleh pada media asam format. Hal ini dapat dikarenakan asam
format memiliki nilai pH yang paling rendah jika dibandingkan dengan nilai pH
pada jenis asam yang lain, sehingga kemampuannya dalam melarutkan mineral
semakin baik. Nilai pH untuk asam format berkisar antara 1,5 hingga 2. Menurut
Santoso et al. (2006), pH dapat mempengaruhi kelarutan mineral. Hal ini juga
disampaikan oleh Shi et al. (2012) yang menjelaskan bahwa pada percobaan
laboratorium ditemukan sejumlah besi yang dapat larut pada nilai pH lebih rendah
dari 4.
Sugiarto et al. (2009) menyebutkan bahwa pada kisaran pH 5,5-7,0 tidak
mempengaruhi banyaknya besi yang terikat pada natrium kaseinat, sedangkan
dalam kisaran keasaman (pH berkisar 5,0-3,0) menyebabkan penurunan sejumlah
besi yang ditandai dengan adanya besi yang terikat whey protein isolate.
Suzuki et al. (1992) diacu dalam Idris (2010) menjelaskan, asam organik dan
lignin dapat memberikan kelarutan besi yang lebih tinggi pada kisarah pH 2,5-3,1
dibandingkan dengan pH 5,5.
Wang (2011) melaporkan pengaruh pH pada absorbsi ion Cd2+
terhadap
asam metakrilik (PMAA). pH memiliki pengaruh yang besar terhadap absorbsi
ion Cd2+
, dimana kapasitas absorbsi bervariasi pada berbagai pH, pada pH < 7
kapasitas absorbsi meningkat, sementara pengukuran pH > 7 menyebabkan
kemampuan absorbsi menurun.
Protein secara keseluruhan merupakan polipeptida yang tersusun oleh
serangkaian asam-asam amino dengan berat molekul yang relatif sangat besar.
Protein bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan larutan asam maupun basa.
Daya larut protein berbeda di dalam air, asam, dan basa. Sebagian ada yang
mudah larut dan ada pula yang sukar larut. Adanya ion H+ menyebabkan sebagian
jembatan atau ikatan peptida terputus. Pada suasana asam, ion H+ akan bereaksi
dengan gugus COO– membentuk COOH sedangkan sisanya (asam) akan berikatan
dengan gugus amino NH2 membentuk NH3+, sehingga apabila larutan peptida
41
39
dalam keadaan isoelektris diberi asam akan menyebabkan bertambahnya gugus
bermuatan yang membentuk afinitas terhadap air dan kelarutan dalam air.
Kelarutan protein akan meningkat jika diberi perlakuan asam yang berlebih, hal
ini terjadi karena ion positif pada asam yang menyebabkan protein yang semula
bemuatan netral menjadi bermuatan positif yang menyebabkan kelarutannya
bertambah. Semakin jauh derajat keasaman larutan protein dari titik
isoelektrisnya, maka kelarutannya akan semakin bertambah (Darmawan 2008).
42
40
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil analisis proksimat kerang darah yang diperoleh dari PPI Muara Angke
adalah sebagai berikut: kadar air 81,61%, kadar lemak 0.58%, kadar protein
6,65%, kadar abu 1,09%, dan kadar karbohidrat 10,07%. Kandungan mineral
makro meliputi natrium sebesar 857,69 mg/100 g bk, kalium sebesar 654,39
mg/100 g bk, kalsium sebesar 142,39 mg/100 g bk, magnesium sebesar 171,31
mg/100 g bk, dan fosfor sebesar 558,90 mg/100 g bk. Kandungan mineral mikro
pada kerang darah meliputi seng sebesar 3,61 mg/100 g bk, besi sebesar 45,98
mg/100 g bk, dan tembaga sebesar 1,08 mg/100 g bk. Hasil analisis mineral juga
menemukan adanya kandungan logam berat timbal sebanyak 1,24 mg/100 g bk
dan kadmium sebanyak 0,10 mg/100 g bk.
Proses perendaman meggunakan larutan asam organik memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan kalsium, besi, dan tembaga pada
kerang darah. Kelarutan tertinggi diperoleh pada proses perendaman
menggunakan asam format dengan nilai kelarutan kalsium sebesar 7,98%,
kelarutan besi sebesar 1,25%, dan kelarutan tembaga sebesar 1,47%.
Perendaman dalam asam juga berdampak pada kelarutan protein dengan
nilai kelarutan tertinggi sebesar 0,022%. Pengukuran nilai pH larutan setelah
proses perendaman menunjukkan bahwa penurunan nilai pH mampu
meningkatkan kemampuan melarutkan mineral dan protein, dimana penggunaan
asam format 2,5% memberikan nilai kelarutan tertinggi dengan nilai pH berkisar
antara 1,5 hingga 2.
5.2 Saran
Saran dari hasil penelitian ini diantaranya:
a) Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan waktu perendaman serta
konsentrasi asam yang bervariasi terhadap kelarutan mineral dan logam
berat kerang darah, dan
b) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas mineral
secara enzimatis dan in vivo.
41
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Amiard JC, Triquet CA, Charbonnier L, Mensil A, Rainbow PS, Wang WX.
2008. Bioaccessibility of essential and non-essential metals in commercial
shellfish from Western Europe and Asia. Journal Food and Chemical
Toxicology. 46:2010–2022.
Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian
Rakyat.
[AOAC] Association of Official Analitycal Chemist. 1995. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analitycal of Chemist. Arlington,
Virginia, USA: Published by The Association of Analitycal Chemist, Inc.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisis Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Penetapan Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Nomor HK.00.06.1.52.4011.
Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Broom MJ. 1985. The Biology and Culture of Marine Bivalve Molluscs of The
Genus Anadara. ICLARM. Philippina.
Budiyanto AK. 2002. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Pres.
Daluningrum IPW. 2009. Penapisan awal komponen bioaktif dari kerang darah
(Anadara granosa) sebagai senyawa antibakteri [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dance SP. 1974. The Encyclopedia of Shells. London: Blanford Press.
Darmawan. 2008. Amino dan Protein. http://www.darmaqua.blogspot.com.
[12 September 2012].
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta:
Universitas Indonesia.
. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: UI Press.
Ersoy S, Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin
contents of African catfish. Food Chemistry. 115:419-422.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2012. Fish,
crustaceans, molluscs, etc capture production by countries or areas.
http://www.fao.org/fishery/statistics/en [8 Februari 2012].
Finger JM, Smith JD. 1987. Molecular association of Cu, Zn, Cd and 210
Po in the
digestive gland of the squid Nototodarus gouldi. Journal Marine Biology.
(95):87-91.
Greffeuille V, Kayode APP, Verniere CI, Gnimadi M, Rochette I, Rivier CM.
2011. Changes in iron, zinc and chelating agents during traditional African
42
processing of maize: Effect of iron contamination on bioaccessibility. Food
Chemistry. 126:1800-1807.
Houlbreque F, Fernandez PH, Teyssie JL, Oberhaensli F, Boisson F, Jeffree R.
2011. Cooking makes cadmium contained in Chilean mussels less
bioaccessible to humans. Food Chemistry. 126:917-921.
Hudaya R. 2010. Pengaruh pemberian belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi)
terhadap kadar kadmium (Cd) pada kerang (bivalvia) yang berasal dari Laut
Belawan [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Sumatera Utara.
Idris M. 2010. Komposisi mineral udang mantis (Harpiosquilla raphidea) dan
pengaruh perebusan terhadap kelarutan mineral [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Irawan MA. 2007. Cairan Tubuh, Elektrolit, dan Mineral. www.pssplab.com
[8 Februari 2012]
Ismangil dan hanudin E. 2005. Degradasi mineral batuan oleh asam-asam organik.
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 5(1):1-17
Jacoeb AM, Hamdani M, Nurjanah. 2008. Perubahan komposisi kimia dan
vitamin daging udang ronggeng (Harpiosquilla raphidea) akibat perebusan.
Buletin Teknologi Hasil Perairan. Vol XI (2):76-88.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Kelautan dan
Perikanan 2008. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Kurnia AI, Purwanto E, Mahajoeno E. 2010. Exposure copper heavy metal (Cu)
on freshwater mussel (Anodonta woodiana) and its relation to Cu and
protein content in the body shell. Jurnal Nusantara Bioscience. 2(1):48-53.
Lehninger AL. 1988. Dasar-Dasar Biokimia I. Maggy Thenawijaya, penerjemah;
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko.
Jakarta: UI Press.
Muhajir A. 2009. Studi kandungan logam berat kadmium (Cd) pada kerang darah
(Anadara granosa) dari beberapa pasar Kota Malang. [skripsi]. Malang:
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Murtini JT, Ariyani F. 2005. Kandungan logam berat kerang darah (Anadara
granosa) dan kualitas perairan di Tanjung Pasir, Jawa Barat. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Volume 11(8):1-7.
Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat
kerang darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo,
Gorontalo. Buletin Teknologi Hasil Perairan. 8(2):15-24.
Ozden O, Erkan N, Deval MC. 2009. Trace mineral profiles of the bivalve species
Chamelea gallina and Donax trunculus. Food Chemistry. 113:222-226.
Palar H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
45
43
Porsepwandi W. 1998. Pengaruh pH larutan perendaman terhadap penurunan
kandungan Hg dan mutu kerang hijau (Mytilus viridis) [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Purwaningsih S. 2012. Aktivitas antioksidan dan komposisi kimia keong matah
merah (Cerithidea obtusa). Jurnal Ilmu Kelautan. 17(1):39-48.
Rahman A. 2006. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada
beberapa jenis krustasea di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah
Laut Kalimantan Selatan. Jurnal Bioscientiae. 3(2): 93-101.
Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1987. A Simple Wet Oxidation Procedure for
Biological Materials. West Lafayette:Purdue University.
Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2006. Mineral contents of
Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking.
Food Sci Technol. 12(1):59-66.
Santoso J, Ishizuka Y, Yoshie-Stark Y. 2012. Characteristics of minerals extracted
from the mid-gut gland of Japanese scallop Patinopecten yessoensis at
various pH values. Fisheries Science. 78:675-682.
Sariningrum E. 2009. Hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap orang
tua tentang kebersihan gigi dan mulut pada anak balita usia 3–5 tahun
dengan tingkat kejadian karies di PAUD Jatipurno [skripsi]. Surakarta:
Fakultas Ilmu kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sediaoetama AD.1993. Ilmu Gizi untuk Masyarakat dan Profesi di Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat.
Septiani S. 2011. Pengaruh metode pengolahan terhadap kandungan mineral
keong ipong-ipong (Faciolaria salmo) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Shi Z, Krom MD, Jickells TD, Bonneville S, Carslaw KS, Mihalopouluos N,
Baker AR, Benning LG. 2012. Impacts on iron solubility in the mineral dust
by processes in the source region and the atmosphere. Journal Aeolian
Research. 5:21-42.
Sugiarto M, Ye A, Singh H. 2009. Characterisation of binding of iron to sodium
caseinate and whey protein isolate. Food Chemistry. 114:1007-1013.
Susanto IS. 2010. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif pada keong mas
(Pomacea canaliculata Lamarck) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Untuk
Mahasiswa Perikanan Jilid 2. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Tranggono. 1990 . Bahan Tambahan Pangan (Food Additive). Pusat Antar
Universitas-Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM.
[USDA] United States Departement of Agriculture. 2006. Mussels Nutrition
Information. http://www.personalhealthzone.com [8 Februari 2012]
46
44
Wang W. 2011. Chelating adsorption properties of Cd(II) on the PMAA/SiO2.
Journal Process Safety and Environmental Protection. 1(89):127-132.
Wardiatno Y, Santoso J, Mashar A. 2012. Biochemical composition in two
populations of the mantis shrimp, Harpiosquilla raphidea (Fabricius 1798)
(Stomatopoda. Crustacea). Jurnal Ilmu Kelautan. 17(1):49-58.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia..
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: Mbrio Press.
Yulianda M. 2010. Pengaruh perebusan kerang darah (Anadara granosa) terhadap
penurunan kadar logam kadmium (Cd) menggunakan akuades dan larutan
jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) secara spektrofotometri serapan
atom [skripsi]. Medan: Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Yusefi V. 2011. Karakteristik asam lemak kerang bulu (Anadara antiquata)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
47
46
Lampiran 1. Analisis ragam kelarutan kalsium
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 46,027 3 15,342 6,602 ,015
Within Groups 18,590 8 2,324
Total 64,616 11
Lampiran 2. Uji lanjut Duncan kelarutan kalsium
Pelarut N
Subset for alpha =
.05
1 2 1
Aquades 3 3,0567
asam sitrat 3 6,9967
asam asetat 3 7,5500
asam format 3 7,9767
Sig. 1,000 ,472
Lampiran 3. Analisis ragam kelarutan besi
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 1,370 3 ,457 6,778 ,014
Within Groups ,539 8 ,067
Total 1,909 11
Lampiran 4. Uji lanjut Duncan kelarutan besi
Pelarut N Subset for alpha = .05
1 2 3 1
aquades 3 ,3800
asam asetat 3 ,5800 ,5800
asam sitrat 3 ,9533 ,9533
asam format 3 1,2567
Sig. ,373 ,116 ,190
Lampiran 5. Analisis ragam kelarutan tembaga
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups ,673 3 ,224 2,343 ,149
Within Groups ,765 8 ,096
Total 1,438 11
49
47
Lampiran 6. Uji lanjut Duncan kelarutan tembaga
pelarut N Subset for alpha = .05
1 2 1
aquades 3 ,8167
asam asetat 3 1,0300 1,0300
asam sitrat 3 1,1600 1,1600
asam format 3 1,4700
Sig. ,228 ,133
Lampiran 7. Analisis ragam kelarutan protein
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups ,000 3 ,000 5,067 ,030
Within Groups ,000 8 ,000
Total ,000 11
Lampiran 8. Uji lanjut Duncan kelarutan protein
pelarut N
Subset for alpha =
.05
1 2 1
aquades 3 ,01700
asam sitrat 3 ,02033
asam asetat 3 ,02133
asam format 3 ,02200
Sig. 1,000 ,285
Lampiran 9. Analisis ragam pengukuran nilai pH
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between
Groups 32,444 3 10,815 2170,156 ,000
Within Groups ,040 8 ,005
Total 32,484 11
Lampiran 10 Uji lanjut Duncan pengukuran nilai pH
pelarut N Subset for alpha = .05
1 2 3 4 1
asam format 3 2,0800
asam sitrat 3 2,3633
asam asetat 3 3,1600
akuades 3 6,2200
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
50