tinjauan pustaka mineral - repository.ipb.ac.id · bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan...
Post on 09-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Mineral
Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur kimia selain dari karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen yang jumlahnya mencapai 95% dari berat badan.
Jumlah seluruh mineral dalam tubuh hanya sebesar 4% (Piliang, 2002). Semua
mineral esensial dianggap ada di dalam tubuh hewan (Widodo, 2002). Pembagian
mineral ke dalam kelompok mineral makro dan mikro tergantung kepada jumlah
mineral tersebut di dalam tubuh hewan, kandungan mineral yang lebih dari 50 mg/kg
termasuk kedalam mineral makro, sedangkan di bawah jumlah tersebut termasuk
mineral mikro (Darmono, 1995).
Mineral diperlukan oleh hewan dalam jumlah yang cukup. Mineral berfungsi
sebagai pengganti zat-zat mineral yang hilang, untuk pembentukan jaringan-jaringan
pada tulang, urat dan sebagainya serta untuk berproduksi. Terdapat 22 jenis mineral
esensial yaitu tujuh mineral makro yang mencakup Kalsium (Ca), Natrium (Na),
Kalium (K), Fosfor (P), Magnesium (Mg), Klor (Cl), Sulfur (S) dan lima belas
mineral mikro dan mineral unsur jarang (trace mineral) yang mencakup Besi (Fe),
Yodium (I), Seng (Zn), Kobalt (Co), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Molibdenum
(Mo), Selenium (Se), Kromium (Cr), Vanadium (V), Flourin (F), Silikon (Si), Nikel
(Ni), dan Arsen (As). Alumunium (Al), Timbal (Pb), Rubidium (Ru) hanya bersifat
menguntungkan dalam beberapa kondisi (Underwood dan Suttle, 2001). Kelompok
mineral yang termasuk mineral makro dan mikro ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok Mineral Makro dan Mikro
Mineral Makro Mineral Mikro dan Unsur Jarang Kation Anion Kalsium Magnesium Sodium Potassium
Phosphor Chlorin Sulfur
Mangan Seng Fluorine Vanadium Kuprum Besi Iodium
Kobalt Molybdenum Selenium Chromium Aluminiun Nikel Silicon
Sumber: McDonald et al. (1978)
4
Kebutuhan Mineral
Mineral dibutuhkan oleh hewan dalam jumlah yang cukup. Bagi ternak
ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga
digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Pada ternak
ruminansia, selama siklus laktasi terdapat perbedaan antara beberapa periode dalam
metabolisme mineral. Pada awal laktasi terjadi pengurasan mineral dari dalam tubuh,
hal ini disebabkan mineral diperlukan untuk sintesis air susu. Intensitas pengurasan
akan semakin berkurang dengan menurunnya produksi susu sehingga terdapat
periode penimbunan mineral dalam tubuh (Toharmat dan Sutardi, 1985). Unsur
mineral makro seperti Ca, P, Mg, Na dan K berperan penting dalam aktivitas
fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti Fe, Cu, Zn,
Mn, dan Co diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 1992). Mineral mikro
dibutuhkan hanya dalam jumlah kecil, apabila termakan dalam jumlah besar dapat
bersifat racun (Widodo, 2002). Mineral yang dapat menyebabkan keracunan
mencakup mineral esensial seperti Cu, Zn, Se, dan mineral non esensial seperti Hg,
Pb, dan As (Darmono, 1995).
Tabel 2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah
Sapi Perah
Ca P Mg S Na Fe Mn Zn ------------------------(%)------------- -----(ppm)-----
Pejantan Dara (Umur 6-12 Bulan) Induk Awal Laktasi Laktasi (Produksi Susu 7-13 kg/hari) Laktasi (Produksi Susu 13- 20 kg/hari) Masa Kering
0,30 0,41 0,77 0,43 0,51 0,39
0,19 0,30 0,48 0,28 0,33 0,24
0,16 0,16 0,25 0,20 0,20 0,16
0,16 0,16 0,25 0,20 0,20 0,16
0,65 0,65 1,00 0,90 0,90 0,65
50 50 50 50 50 50
40 40 40 40 40 40
40 40 40 40 40 40
Keterangan : Ca = kalsium P = phosphor Mg = magnesium S = sulfur Na = natrium Fe = besi Mn = mangan Zn = seng Sumber: National Research Council (1989)
Beberapa mineral berperan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba
dalam rumen. Mineral yang mempengaruhi proses fermentasi rumen adalah S, Zn,
Se, Co dan Na (Arora, 1989). Mineral di dalam rumen dibutuhkan oleh mikroba
untuk pembentukan vitamin B dan protein. Defisiensi mineral akan mempengaruhi
5
hasil dan proses fermentasi pakan dalam rumen (Arora, 1989). Kebutuhan mineral
sapi perah dapat dilihat pada Tabel 2.
Suplementasi Mineral
Mineral sangat penting untuk kelangsungan hidup ternak. Hampir semua
mineral ditemukan dalam jaringan ternak dan mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam proses metabolisme ternak. Suplementasi berbagai bahan pada pakan ternak
menghasilkan bobot ternak yang meningkat. Suplemen mineral dianjurkan untuk
memenuhi beberapa prinsip, antara lain (1) campuran akhir minimal mengandung 6-
8% total P; (2) rasio Ca : P tidak melampaui 2 : 1; (3) dapat menyuplai 50% elemen
mikro Co, Cu, I, Mn dan Zn; (4) bentuk mineral yang digunakan adalah yang mudah
digunakan dan dihindarkan dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun
(misalnya sumber P yang terkontaminasi dengan F); (5) suplemen tersebut
hendaknya cukup palatable untuk menjamin tingkat konsumsi yang baik; (6) perlu
diperhatikan ketepatan menimbang, pencampuran yang homogen dan lain
sebagainya; (7) besar partikel hendaknya lebih kecil dan seragam sehingga
pencampuran dapat dilakukan secara homogen; (8) perkiraan kebutuhan yang cukup
baik dan akurat dalam hal kebutuhan; (9) daya guna setiap elemen yang digunakan,
dan (10) tingkat konsumsi hewan (Parakkasi, 1999).
Mineral mempunyai peranan penting dalam meningkatkan aktivitas mikroba
rumen. Zn dapat mempercepat sintesa protein oleh mikroba melalui pengaktifan
enzim-enzim mikroba. Suplementasi Zn dapat meningkatkan ketahanan sapi perah
terhadap mastitis. Mineral Co berperan dalam sintesis vitamin B12. Mineral Cu dan
Co bersama-sama dapat memperbaiki daya cerna serat kasar. Sulfur adalah salah satu
unsur penting yang mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen (Arora, 1989).
Kalsium (Ca)
Kalsium (Ca) merupakan elemen mineral yang paling banyak dibutuhkan oleh
tubuh ternak (McDonald et al., 2002). Ca memiliki peranan penting sebagai
penyusun tulang dan gigi. Sekitar 99 % dari total tubuh terdiri dari Ca. Selain itu Ca
berperan sebagai penyusun sel dan jaringan (McDonald et al., 2002). Menurut
Piliang (2002), fungsi Ca yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai penyalur
rangsangan-rangsangan syaraf dari satu sel ke sel lain. Jika ransum ternak pada masa
6
pertumbuhan defisien Ca maka pembentukan tulang menjadi kurang sempurna dan
akan mengakibatkan gejala penyakit tulang. Gejala penyakit tulang diantaranya
adalah wajah keriput, pembesaran tulang sendi, tulang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Sedangkan pada ransum ternak dewasa yang mengalami defisien Ca akan
menyebabkan osteomalacia (Piliang, 2002). Ca air susu cukup stabil walaupun
defisiensi Ca, namun produksi susu akan turun. Ransum yang memiliki kadar Ca
yang rendah akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin (Foley et al.,
1972).
Beberapa faktor makanan dapat membantu meningkatkan absorpsi Ca,
sedangkan beberapa faktor lain dapat menurunkan absorpsi Ca oleh usus halus.
Asam fitat dan asam oksalat dapat menurukan absorpsi mineral Ca dengan jalan
mengikat Ca dan membentuk garam Ca yang tidak larut dalam lumen usus halus
(Piliang, 2002).
Fosfor (P)
Fosfor (P) merupakan mineral kedua terbanyak dalam tubuh dengan distribusi
dalam jaringan yang menyerupai distribusi Ca. Fosfor memegang peranan penting
dalam proses mineralisasi tulang (Piliang, 2002). McDonald et al. (2002)
menyatakan P mempunyai fungsi sangat penting bagi tubuh ternak diantara elemen
mineral lainnya. Fosfor umumnya ditemukan dalam bentuk phospholipid, asam
nukleat dan phosphoprotein. Kandungan P dalam tubuh ternak lebih rendah daripada
kandungan Ca. Gejala defisiensi P yang parah dapat menyebabkan persendian kaku
dan otot menjadi lembek. Ransum yang rendah kandungan P-nya dapat menurunkan
kesuburan (produktivitas), indung telur tidak berfungsi normal, depresi dan estrus
tidak teratur. Pada ternak ruminansia mineral P yang dikonsumsi, sekitar 70% akan
diserap, kemudian menuju plasma darah dan 30% akan keluar melalui feses.
Fosfor yang berasal dari makanan diabsorpsi tubuh dalam bentuk ion fosfat
yang larut (PO4-). Gabungan mineral P dan mineral Fe dan Mg akan menurunkan
absorpsi P (Piliang, 2002). Asam fitat yang mengandung P ditemukan dalam biji-
bijian dapat mengikat Ca untuk membentuk fitat. Fitat yang terbentuk tidak dapat
larut sehingga menghambat absorpsi Ca dan P. Dari seluruh jumlah P yang terdapat
dalam makanan sekitar 30% melewati saluran pencernaan tanpa diabsorpsi. Seperti
7
halnya dengan kalsium, maka vitamin D dapat meningkatkan absorpsi P dari usus
halus (Piliang, 2002).
Magnesium (Mg)
Tubuh hewan dewasa mengandung 0,05% Mg. Retensi dan absorpsi Mg pada
sapi perah erat kaitannya dengan kebutuhannya. Enam puluh persen Mg dalam tubuh
hewan terkonsentrasi di tulang sebagai bagian dari mineral yang mengkristal dan
permukaan kristal terhidrasi (Linder, 1992). Menurut McDonald et al. (2002), Mg
berperan dalam membantu aktivitas enzim seperti thiamin phyrofosfat sebagai
kofaktor. Ketersediaan Mg dalam ransum harus selalu tersedia. Perubahan
konsentrasi Mg dari keadaan normal selama 2-18 hari dapat menyebabkan
hipomagnesemia (Toharmat dan Sutardi, 1985).
Sekitar 30-50% Mg dari rata-rata konsumsi harian ternak akan diserap di usus
halus. Penyerapan ini dipengaruhi oleh protein, laktosa, vitamin D, hormon
pertumbuhan dan antibiotik (Ensminger et al., 1990). Magnesium sangat penting
peranannya dalam metabolisme karbohidrat dan lemak. Defisiensi Mg dapat
meningkatkan iritabilitas urat daging dan apabila iritabilitas tersebut parah akan
menyebabkan tetany (Linder, 1992). Defisiensi Mg pada sapi laktasi dapat
menyebabkan hypomagnesemic tetany atau grass tetany. Keadaan ini disebabkan
tidak cukupnya Mg dalam cairan ekstracellular, yaitu plasma dan cairan interstitial
(National Research Council, 1989).
Kebutuhan Mg untuk hidup pokok adalah 2-2,5 gram dan untuk produksi susu
adalah 0,12 gram per milligram susu. Ransum yang mengandung 0,25% Mg cukup
untuk sapi perah yang berproduksi tinggi (National Research Council, 1989).
Sulfur (S)
Sulfur (S) merupakan komponen penting protein pada semua jaringan tubuh.
Pada ruminansia 0,15% komponen jaringan tubuh terdiri atas unsur S, sedangkan
pada air susu sebesar 0,03%. Pada hewan ruminansia terjadi sintesis asam-asam
amino yang mengandung mineral S dengan vitamin B oleh mikroba di dalam rumen.
Terdapat dua macam mekanisme metabolisme mineral S pada hewan ruminansia,
yaitu mekanisme yang menyerupai mekanisme mineral S pada hewan-hewan
monogastrik dan mekanisme yang dihubungkan dengan aktivitas mikroorganisme
8
dalam rumen (Piliang, 2002). Kandungan mineral S pada tanaman hijauan dapat
berkisar dari 0,04% sampai melebihi 0,3%. Bahan makanan yang mengandung
protein tinggi akan mengandung kadar mineral S yang tinggi pula (Piliang, 2002).
Kadar S dalam ransum sebesar 0,20% diperkirakan cukup untuk memenuhi
kebutuhan sapi perah laktasi. Hewan-hewan yang diberi ransum defisien dalam
mineral sulfur akan menunjukkan penyakit anorexia, penurunan bobot badan,
penurunan produksi susu, kekurusan, kusut, lemah dan akhirnya mati. Tanda-tanda
tersebut berhubungan erat dengan menurunnya fungsi rumen dan fungsi sistem
peredaran darah (McDowell, 1992).
Cairan Rumen
Rumen merupakan tabung besar seperti kantong yang menyimpan dan
mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kondisi rumen adalah anaerob dengan
suhu 38-42 °C dan pH pada kisaran 6,8 (Arora, 1989). Cairan rumen berfungsi
sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada nilai 6,8 (Sutardi,
1977). Mikroba di dalam rumen beraneka ragam dan dalam jumlah besar yang
umumnya terdapat pada tiga lokasi yaitu : menempel pada dinding rumen, menempel
pada partikel pakan dan bergerak bebas dalam cairan rumen (Preston dan Leng,
1987).
Faktor yang mempengaruhi populasi mikroba rumen secara umum ditentukan
oleh tipe makanan yang dikonsumsi ternak (Arora, 1989). Perkembangan populasi
mikroba rumen terutama bakteri rumen akan dibatasi oleh kadar amonia, karena
amonia sangat diperlukan oleh bakteri sebagai sumber N untuk membangun selnya
dan mencegah sifat predasi dari protozoa. Kecukupan dan ketersediaan amonia
sebagai sumber N dan VFA merupakan sumber bahan baku utama yang dibutuhkan
untuk proses sintesis protein mikroba yang berguna bagi induk semang (Preston dan
Leng, 1987).
Dalam keadaan normal, protein mikroba secara minimal dapat memenuhi
kebutuhan hidup pokok bagi ruminan bersangkutan. Tabel 3 menunjukkan bahwa
nilai biologis bakteri dan protozoa hampir sama walaupun kecernaan dan utilisasi
protein protozoa lebih tinggi daripada bakteri (Dehority, 2004). Parakkasi (1999)
menyatakan bahwa susunan asam amino mikroba rumen tidak dipengaruhi oleh
9
ransum. Protozoa biasanya kaya akan lisin dan glutamat. Kecernaan protein protozoa
86,2% dengan nilai biologis 68.
Angka-angka tentang nilai nutrisi mikroba rumen memang bervariasi, namun
secara umum dapat dikatakan bahwa kualitas proteinnya cukup baik. Protozoa
membantu proses pencernaan dengan cara fermentasi sehingga protozoa juga
mempunyai kontribusi dalam ketersediaan protein mikroba. Protozoa rumen
mengandung 55% protein kasar, sedangkan bakteri (hasil pupukan) kadar protein
kasarnya adalah 59%, kurangnya kadar protein protozoa dibandingkan dengan
bakteri disebabkan protozoa banyak mengandung polisakarida (Parakkasi, 1999).
Tabel 3. Nilai Biologis, Kecernaan dan Utilisasi Protein Netto (Net Protein Utilization = NPU) Bakteri dan Protozoa Rumen Nilai Biologis Kecernaan Sejati Utilisasi Protein Netto
(%) (NPU)
Bakteri rumen 66-87 74-79 63 Protozoa rumen 82 87-91 71 Sumber : Dehority (2004)
Dehority (2004) mengemukakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi
pertumbuhan, aktivitas dan populasi mikroba rumen ialah suhu, pH, kapasitas buffer,
tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial reduksi-oksidasi.
Biomineral
Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen yang berbahan dasar
mikroba cairan rumen limbah rumah pemotongan hewan (RPH) dan mempunyai
nilai biologis yang cukup baik bila ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen (Tabel
1). Mikroba rumen mampu menginkorporasikan zat makanan yang berupa produk
degradasi dan fermentasi pakan ke dalam protein mikrobialnya. Untuk menghasilkan
biomineral dari cairan rumen limbah RPH dapat dilakukan dengan proses pemanenan
protein mikrobial melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan, penambahan
bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007).
Istilah “biomineral” digunakan untuk membedakan dengan suplemen mineral
organik. Biomineral adalah suplemen mineral yang berasal dari protein dan zat
makanan yang disintesis oleh dan terdapat di dalam mikroba rumen; sedangkan
10
suplemen mineral organik dibuat dengan bantuan fungi atau dengan bahan pengikat
seperti sumber protein. Sebagai contoh untuk suplemen mineral organik adalah Zn
dan Cu yang diinkorporasikan ke dalam protein fungi, Rhizopus sp. Pembuatan
mineral organik yang dilakukan oleh Chaerani (2004) lebih sederhana, yaitu dengan
menggunakan protein pakan seperti ampas tahu dengan prinsip yang dapat dilihat
pada Gambar 1. Sumber protein berupa ampas tahu direndam dalam aquades selama
24 jam sehingga gugus karboksil dari protein ampas tahu mengion dan dapat
mengikat Zn++ dan Cu++.
COO- Zn++ / Cu++ COO-
H3N+ C H H C H3N+
R R
Gambar 1. Ikatan Antara Protein dalam Ampas Tahu dengan Zn++ dan Cu++
Sumber: Chaerani, 2004
Sebagai suplemen, biomineral mengandung nutrien seperti mineral makro dan
mikro, abu, protein, lemak kasar dan energi yang cukup baik (Tabel 2). Biomineral
memiliki kandungan P, Na, S, Fe, Al, Cu, Zn dan Se yang lebih tinggi daripada
mineral mix komersil, tetapi mempunyai kandungan K, Ca, Mg, Mn, Co, Ni dan Cr
yang lebih rendah. Kandungan protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan total
digestale nutrien (TDN) biomineral lebih tinggi daripada mineral mix, tetapi
kandungan serat kasar (SK) biomineral lebih rendah.
Nilai biologis biomineral yang cukup baik akan dapat dimanfaatkan untuk
ternak apabila dibarengi dengan tingkat bioavailabilitas yang cukup tinggi dari
biomineral dalam organ pasca rumen. Oleh karena itu, upaya proteksi terhadap
biomineral telah dilakukan, yaitu dengan formalin dan tanin (Tjakradidjaja et al.,
2007). Uji stabilitas biomineral dengan metode Tilley dan Terry (1963) menunjukkan
bahwa biomineral cukup fermentable dan degradable di dalam rumen. Tingkat
degradasi dan kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) yang
cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ
pasca rumen. Proteksi biomineral dengan formalin dapat menurunkan manfaat
11
biomineral kontrol, sedangkan penggunaan tanin sebagai pelindung memberikan efek
yang sama seperti yang diperoleh biomineral kontrol (Tjakradidjaja et al., 2007).
Untuk memberikan efek proteksi biomineral yang lebih baik maka dilakukan proses
enkapsulasi dengan menggunakan xylosa limbah kertas dengan berbagai taraf, dan
taraf 4% merupakan taraf yang terbaik (Mulyawati, 2009).
Tabel 4. Komposisi Nutrien Biomineral Sebelum Penambahan Carrier
Biomineral BK %
Abu PK LK SK BETN
(%BK) Original (tanpa penambahan bahan carrier)
90,13 38,85 23,84 12,26 4,59 20,46
Kontrol 96,04 4,18 14,11 1,09 1,48 79,14 Sumber: Tjakradidjaja et al., 2007
Biomineral sudah diujicobakan penggunaannya sebagai suplemen dalam
ransum anak sapi FH jantan. Biomineral telah memenuhi kebutuhan mineral mikro
anak sapi FH walaupun kandungan Fe jauh melebihi kebetuhan anak sapi FH.
Penggunaan biomineral (0,05 kg/ekor/hari atau sekitar 1% dari konsentrat) dapat
meningkatkan konsumsi anak sapi baik konsumsi segar, bahan kering, protein kasar,
serat kasar, TDN, dan mineral Ca, K, Mg, dan S. Hal ini mengakibatkan
peningkatan pertambahan lingkar dada dan pertambahan bobot badan anak sapi
(Suganda, 2009; Rakhmanto, 2009). Hasil yang diperoleh dari suplementasi
biomineral ini tidak berbeda nyata dengan penggunaan suplment mineral mix
komersil sehingga biomineral cairan rumen dapat digunakan sebagai suplemen pakan
ternak pengganti suplemen mineral komersil.
Penggunaan biomineral belum mampu meningkatkan produksi susu (Suryahadi
dan Tjakradidjaja, 2009). Penambahan suplemen biomineral dienkapsulasi,
biomineral tanpa proteksi dan mineral mix komersil sebanyak 1,5% dari konsentrat
yang diberikan peternak belum dapat meningkatkan produksi susu. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya palatabilitas dari kedua macam biomineral tersebut
sebagai akibat dari aroma yang tidak sedap walaupun penggunaan kedua jenis
biomineral dapat mempengaruhi komposisi zat makanan yang terkandung dalam
ransum. Kandungan nutrien biomineral dienkapsulasi dan biomineral tanpa proteksi
12
lebih seimbang (BK, PK, SK dan TDN) dibandingkan mineral mix komersil (Tabel
2). Bahan dasar pembuatan biomineral berupa cairan rumen yang mengandung
mikroba mengakibatkan biomineral mempunyai kandungan protein yang tinggi.
Kandungan protein biomineral tanpa proteksi sedikit lebih tinggi dibandingkan
biomineral dienkapsulasi (Pipit, 2009).
Tabel 5. Kandungan Mineral Makro Biomineral Sebelum Penambahan Carrier
Biomineral Mineral Makro
N P K Ca Mg Na S %BK
Tanpa Penambahan Carrier 4,05 2,21 0,49 0,4 0,04 6,49 0,31 Kontrol 2,32 0,03 0,06 0,07 0,01 0,47 0,11
Sumber: Tjakradidjaja et al., 2007
Tabel 6. Kandungan Mineral Mikro Biomineral Sebelum Penambahan Carrier
Biomineral Mineral Mikro
Fe Mn Cu Zn Co Cr Ppm (BK)
Tanpa Penambahan Carrier 8982 50 50 632 1,6 6,2 Kontrol 705 41 8 167 0,1 1,6
Sumber: Tjakradidjaja et al., 2007
Mineral Organik
Mineral organik merupakan hasil inkorporasi mineral anorganik ke dalam
sumber protein yang dapat berasal dari mikroba seperti kapang, atau dari bahan
pakan seperti ampas tahu, ampas bir, dan lain – lain.
Anam (2004) melakukan penelitian menggunakan ampas bir sebagai pengikat
Zn dan Cu. Ampas bir yang dilarutkan ke dalam air akan menyebabkan gugus
karboksil (COO-) mengion, kemudian mengikat kation Zn++ atau Cu++. Chaerani
(2004) melakukan penelitian tentang mineral organik berupa ransum suplemen yang
mengandung ikatan ampas tahu dengan Zn dan Cu. Suplementasi Zn menghasilkan
taraf konsumsi BK, PK dan energi dapat dicerna per ekor yang lebih tinggi daripada
suplementasi mineral lainnya. Jumlah pemberian ransum suplemen sebanyak 2
kg/hari dapat meningkatkan kualitas dan palatabilitas ransum. Ransum suplemen
13
mempunyai kandungan energi dan protein yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan
produksi susu.
Muhtarudin dan Liman (2006) menyatakan bahwa mineral mikro organik
belum digunakan secara optimal di rumen, tetapi akan dimanfaatkan optimal di organ
pasca rumen sehingga dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan
organik ransum.
Xylosa
Xylosa merupakan gula pentosa yang paling reaktif dalam proses pemanasan
berdasarkan reaksi Mailard antara gula aldehid dengan grup asam amino bebas
(Cleale et al., 1987). Xylosa sudah digunakan sebagai bahan protektor protein
kedelai melalui proses ekstrusi menjadi suplemen protein yang bersifat undegradable
protein atau protein yang sulit didegradasi di dalam rumen (Cleale et al., 1987;
Prasetiyono, 2008). Prasetiyono (2008) menggunakan xylosa pada taraf 3% dan
proses ekstrusi pada suhu 150 oC untuk melindungi protein kedelai. Perlakuan
xylosa pada bungkil kedelai telah dibuktikan sebagai perlakuan yang efektif dalam
mengurangi degradasi protein dalam rumen tanpa membatasi ketersediaan protein
kedelai di organ pasca rumen atau di usus halus (Windschitl and Stern, 1988b).
Perlakuan lignosulfonat sebagai sumber xylosa pada bungkil kedelai dapat
meningkatkan ketersediaan asam amino esensial ke usus halus sapi perah dari 42%
menjadi 68% (Castro et al., 2007).
Xylosa adalah suatu pentosa, yaitu monosakarida yang mengandung lima atom
karbon (Gambar 2), dengan formula C5H10O5 (McDonald et al., 2002). Xylosa
terdapat sebagai gula pentosa dalam xylan dan merupakan rantai utama dalam
hemiselulosa rumput. Xylosa dan arabinosa dapat diperoleh dalam jumlah yang
pantas dipertimbangkan setelah hijauan dihidrolisis dengan asam sulfat normal.
Xylosa sebagai bahan proteksi dapat berupa lignosulfonat. Lignosulfonat dapat
digunakan untuk mengendapkan dan mengikat protein yang terdapat dalam pakan
dan cairan rumen sehingga dapat mencegah proses degradasi protein (Windschitl dan
Stern, 1988a; Windschitl dan Stern, 1988b).
Lignosulfonat adalah produk yang berasal dari sulfite liquor yang dihasilkan
dari pencernaan sulfite dari kayu dan asam lignosulfoic termasuk hemiselulosa yang
14
merupakan karbohidrat berbasis xylosa. Tarmansyah (2009) menyatakan bahwa
hemiselulosa adalah polisakarida yang bukan selulosa yang jika dihidrolisis akan
menghasilkan D-manosa, D-galaktosa, D-xylosa, L-arabinosa dan asam uranat.
Hemiselulosa dapat diperoleh dari proses pembuatan selulosa pada tahapan
prehidrolisa. Prehidrolisa bertujuan mempercepat penghilangan pentosa
(hemiselulosa) pada waktu pemanasan. Proses ekstraksi xylosa ditampilkan pada
Gambar 3.
H
H O H
H
OH H
OH OH
H OH
Gambar 2. α-D-xylosa, Sumber: McDonald et al., 2002
Ransum Sapi Perah
Rumput Lapang
Rumput lapang adalah pakan yang sudah umum digunakan oleh peternak
sebagai pakan utama ternak ruminansia. Rumput lapang banyak terdapat di sekitar
sawah atau ladang, pegunungan, tepi jalan an semak-semak. Rumput ini tumbuh liar
sehingga memiliki mutu yang kurang baik untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991).
Rumput lapang adalah campuran dari brbagai jenis rumput lokalyang umumnya
tumbuh secara alamidengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah, namun
rumput lapang merupakan hijauan yang mudah didapat, murah dan pengelolaannya
mudah (Wiradarya, 1989).
Konsentrat
Konsentrat adalah pakan yang tinggi kandungan Beta-N dan rendah kandungan
SK yaitu lebih rendah dari 18% (Ensminger et al., 1990). Konsentrat pada
peternakan sapi perah di Indonesia mempunyai peran yang sangat penting untuk
meningkatkan dan mempertahankan produksi susu. Berbeda dengan negara maju
yang memiliki mutu hijauan yang relatif tinggi, di Indonesia mutu hijauan relatif
15
rendah yang menyebabkan peran konsentrat menjadi sangat dominan dalam
memasok energi dan zat makanan lain (Suryahadi et al., 2004). Pemberian konsentrat
untuk setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh bobot badan ternak,
kualitas pakan hijauan yang diberikan, produksi susu yang ingin dicapai dan kualitas
konsentrat.
Ampas tahu
Ampas tahu adalah sumber protein yang mudah didegradasi di dalam rumen
(Suryahadi, 1990). Proses pembuatan tahu hanya memanfaatkan sebagian protein
kedelai, sedangkan sebagian lagi masih tertinggal dalam ampasnya. Ampas tahu
mengandung 58% dari jumlah protein kedelai. Ampas tahu juga dapat digunakan
sebagai pengikat mineral dalam pembuatan mineral organik (Chaerani, 2004).
Pencernaan Fermentatif dalam Rumen
Ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing dapat
memanfaatkan hijauan dalam jumlah banyak secara baik. Hal ini dikarenakan ternak
ruminansia memiliki saluran pencernaan yang kompleks yang mampu menerima
hijauan (Williamson dan Payne, 1993). Pakan ternak ruminansia umumnya terdiri
dari hijauan atau pakan berserat kasar tinggi lainnya yang mengandung ß-linked
polisakarida seperti selulosa yang mana tidak dapat dicerna oleh pencernaan
enzimatis ternak mamalia. Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan spesial
yang dapat mendukung proses fermentasi zat makanan oleh mikroba (McDonald et
al., 2002).
Ternak ruminansia memiliki perut majemuk yang terdiri dari rumen, retikulum,
omasum dan abomasum. Rumen merupakan struktur terbesar yang tersusun dari 1/7
sampai 1/10 massa ternak. Bagian ini merupakan tempat berlangsungnya proses
fermentasi terbesar. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan temperatur 38-
42○C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah. pH rumen
sekitar 6,8 dan dipertahankan pada pH tersebut oleh saliva. Saliva merupakan buffer
karbonat dan sumber amonia yang didaurulang di dalam tubuh. Selain itu, saliva
juga berfungsi sebagai zat pelumas dan surfaktan yang membantu di dalam proses
mastikasi dan ruminasi (Arora, 1989).
16
Gambar 3. Proses Ekstraksi Xylosa Sumber: Tarmansyah, 2009
Rumen dihuni tidak kurang dari empat jenis mikroba yaitu mikroba di dalam
rumen terdiri atas bakteri, protozoa, fungi dan virus (Preston dan Leng, 1987).
Sutardi (1979) menyatakan bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam
rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna bahan pakan yang mengandung
serat kasar tinggi. Pernyataan ini didukung pula oleh Arora (1989) yang menyatakan
bahwa protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna
partikel-partikel pati sehingga kadar asam lemak atsiri rendah, meskipun demikian
protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan
protozoa untuk mensintesis vitamin B kompleks dan asam amino sangat rendah. Hal
ini menyebabkan protozoa merupakan predator dari bakteri.
Prehidrolisa dengan larutan asam atau air lunak
Analisis Komponen Kimia
Penentuan morfologi serat
Penentuan kualitas pulp putih
Pulp putih
Pemutihan pulp (bleaching)
Persiapan bahan baku (serat)
Xylosa black liquor (larutan lindi hitam)
Bubur Pulp
17
Fungsi utama mikroba rumen adalah memfermentasi karbohidrat struktural
tanaman, namun demikian mikroba rumen juga mempunyai beberapa aktifitas lain
yang memberikan kontribusi terhadap nutrisi induk semang, yaitu (1) mensintesis sel
protein yang berfungsi sebagai salah satu sumber nitrogen (N) atau protein bagi
induk semang; (2) menghidrolisis dan menghidrogenasi lemak dan pakan dan
mensintesis lemak mikrobial; dan (3) mensintesis vitamin K dan B kompleks
(Dehority, 2004).
Proses fermentasi pakan yang masuk ke dalam rumen akan menghasilkanVFA
dan amonia sebagai produk utama, gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2)
sebagai produk limbah. Sebagian dari VFA dan amonia akan digunakan sebagai
bahan untuk membentuk protein mikroba. Sebagian VFA dan amonia lainnya akan
diserap melalui dinding rumen dan dibawa ke hati untuk dikonversikan sebagai
sumber energi atau sebagai urea; urea yang dihasilkan akan didaurulang melalui
peredaran darah dan saliva atau dibuang melalui urin. Gas metan dan karbondioksida
akan dikeluarkan melalui eruktasi (McDonald et al., 2002).
Sel mikroba dan komponen pakan yang tidak didegradasi akan dialirkan ke
abomasum dan usus halus, kemudian dicerna oleh enzim yang disekresi oleh induk
semang. Produk pencernaan lalu dapat diserap melalui dinding usus halus. Produk
yang tidak dicerna oleh enzim di dalam usus halus akan dibuang melalui usus besar.
Di usus besar juga terdapat pencernaan mikrobial atau disebut pencernaan mikrobial
tahap kedua; proses dan produk fermentasi yang dihasilkan di usus besar hampir
sama dengan yang dihasilkan di dalam rumen. VFA yang diproduksi di usus besar
akan diserap, tetapi sel mikroba dengan komponen pakan yang tidak tercerna masuk
ke dalam feses (McDonald et al., 2002).
Produksi VFA
Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Karbohidrat merupakan komponen yang mendominasi suatu bahan
pakan dan umumnya berupa selulosa, hemiselulosa, pati dan pektin (Puastuti, 2005).
Karbohidrat tersebut dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba
rumen di dalam rumen melalui dua tahap (Gambar 4).
18
Tahap pertama ialah pencernaan karbohidrat kompleks menjadi gula
sederhana. Selulosa didekomposisi menjadi selobiosa oleh β-1,3-glukosidase,
kemudian selobiosa diubah menjadi glukosa-1-fosfat melalui aksi fosforilase. Pati
dicerna oleh amilase menjadi maltose dan isomaltosa, yang selanjutnya diubah oleh
maltase menjadi glukosa dan glukosa-6-fosfat. Fruktan dihidrolisis menjadi fruktosa
oleh enzim mikroba yang menyerang ikatan-ikatan 2,1 dan 2,6, bersamaan dengan
diuraikannya sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa oleh sukrase (McDonald et al.,
2002). Pentosa merupakan hasil utama dari perombakan hemiselulosa didalam
rumen. Hemiselulase menghidrolisis hemiselulosa menjadi xylosa dan asam uronat.
Asam uronat juga dihasilkan dari penguraian pektin-pektin oleh pektinase dan
poligalakturonidase (McDonald et al., 2002).
Tahap kedua ialah metabolisme gula sederhana oleh mikroba rumen secara
intraseluler menjadi asam piruvat. Selanjutnya asam piruvat diubah menjadi VFA
yang terdiri dari asetat, propionat, butirat dan beberapa asam lainnya, dan gas-gas
CH4 dan CO2 sebagai limbah. Sebagian besar VFA yang terbentuk akan diserap
melalui dinding rumen (McDonald et al., 2002); hanya sedikit asetat, beberapa
propionat dan sebagian besar butrirat dimetabolisme dalam dinding rumen
(Parakkasi, 1999). Sebagian kecil dari VFA (10-20% pada domba dan mencapai
35% pada sapi perah) akan lolos ke abomasum dan selanjutnya diserap (France dan
Dijkstra, 2005). Menurut Arora (1989), VFA sangat penting sebagai sumber energi
utama bagi ternak dan merupakan produk akhir fermentasi gula. Selain itu, VFA juga
merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba. Gas CH4
dan CO2 akan dikeluarkan dengan cara eruktasi (McDonald et al., 2002).
Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA umumnya berkisar antara
70-150 mM. Konsentrasi VFA total dapat turun menjadi 30 mM atau meningkat
sampai 200 mM, akan tetapi umumnya konsentrasi VFA berkisar antara 70 hingga
130 mM. Kadar VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal mikroba rumen,
yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1979). Produksi VFA bergantung kepada pakan yang
dikonsumsi, demikian pula dengan proporsi relatif asam-asam yang dihasilkan. Pada
pemberian hijauan tinggi, proporsi asetat meningkat, sebaliknya pada pemberian
konsentrat tinggi proporsi propionat akan meningkat (McDonald et al., 2002). Pada
19
pemberian protein ransum tinggi, akan dihasilkan isovalerat dan isobutirat yang
tinggi pula (Sutardi, 1977).
Amonia
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh enzim proteolitik mikroba
menjadi oligopeptida dan asam amino (Gambar 5). Beberapa asam amino dipecah
lebih lanjut atau dideaminasi menjadi amonia (NH3), asam organik dan
karbondioksida (CO2); sebagian lagi asam amino akan diserap melalui dinding rumen
atau digunakan sebagai salah satu sumber nitrogen (N) bagi sintesis protein mikroba
(Sutardi, 1979). Amonia merupakan sumber utama bagi mikroba rumen karena
amonia yang diproduksi di dalam rumen akan dimanfaatkan oleh mikroba untuk
sintesis protein mikroba (Arora, 1989).
Konsentrasi amonia merupakan kunci yang menunjukkan degradasi dan
sintesis mikrobial. Konsentrasi optimum amonia dalam cairan rumen berkisar antara
85 hingga lebih dari 300 mg/l (McDonald et al., 2002). Sutardi (1979) menyatakan
bahwa sekitar 3,5-14 mM amonia digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N
untuk proses sintesis selnya, sedangkan menurut McDonald et al. (2002), kadar
amonia normal yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen berkisar 5-
17,65 mM. Konsentrasi amonia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar
protein pakan atau ransum, jenis protein pakan, kecepatan pembentukan amonia dan
sintesis protein mikrobial.
Apabila pemberian pakan defisien protein atau protein tahan terhadap
degradasi oleh mikroba rumen, konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan
pertumbuhan mikroba menjadi lambat. Namun, apabila proses degradasi protein
berjalan sangat cepat dibandingkan sintesis protein, maka amonia akan terakumulasi
dalam cairan rumen sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi, amonia
akan diserap ke dalam darah, dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagian urea
masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen,
tetapi sebagian besar dieksresikan melalui urin.
Puastuti (2005) menyatakan bahwa proses proteolitik dan deaminasi asam
amino menjadi amonia diduga tidak memiliki kontrol metabolik. Hal ini berarti
degradasi dan deaminasi terhadap asam amino terus berlangsung meskipun telah
20
selulosa pati
selubiosa maltose isomaltosa
glukosa – 1 fosfat glukosa
glukosa – 6 -fosfat
pektin asam uronat sukrosa
hemiselulosa pentose fruktosa - 6 – fosfat fruktosa fruktan
pentosa fruktosa- 1, 6 -fosfat
asam piruvat
format malonil Co A
asetil Co-A laktat oksaloasetat
CO2 H2
metan malonil Co-A asetoasetil Co-A laktil Co-A malat
β – hidroksibutiril Co-A akrilil Co-A fumarat
asetil fosfat
krotonil Co- A propionil Co-A suksinat suksinil Co-A
butiril Co-A
asetat butirat propionat
VFA
Gambar 4. Skema Fermentasi Karbohidrat Sumber: McDonald et al., 2002
21
terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi. Sedangkan untuk sintesis protein
mikroba bergantung kepada kecepatan pemecahan N makanan, kecepatan absorpsi
amonia dan asam-asam amino, kecepatan aliran bahan keluar dari rumen, kebutuhan
mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berkaitan dengan jenis
makanannya (Arora, 1989).
Gambar 5. Alur Degradasi Protein dalam Rumen Sumber: Sutardi, 1979
Protein mikroba dan protein pakan bypass akan dialirkan ke abomasum yang
selanjutnya ke usus halus untuk dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh induk
semang dan produk pencernaan ini akan diserap melalui dinding usus halus
(McDonald et al., 2002). Oleh karena itu usaha untuk memacu produksi ternak dapat
dilakukan melalui perbaikan nutrisi protein dengan cara: (1) meningkatkan
pemberian protein ransum yang terdegradasi dalam rumen, (2) memaksimalkan
sintesis protein mikroba, dan (3) meningkatkan jumlah protein bypass yang berasal
dari pakan. Melalui cara tersebut diharapkan pasokan asam amino untuk diserap
oleh usus halus menjadi lebih banyak (Puastuti, 2005).
Kecernaan
Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan
dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut berupa penghalusan bahan makanan
Protein pakan
Protein makanan Oligosakarida
Asam amino
Protein mikroba
Protein tubuh
Asam keto alfa
CO2 & CH4
NH3
Protein mikroba
VFA
22
menjadi butir-butir atau partikel kecil. Kecernaan bahan organik merupakan faktor
penting yang menentukan nilai pakan. Perbedaan kecernaan dalam rumen dapat
diakibatkan oleh perbedaan kemampuan setiap jenis ternak ruminansia (Sutardi,
1979). Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan
bersama feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan.
Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002)
Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan rumen dan
inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu
inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Sedangkan
faktor yang mempengaruhi degradasi makanan di dalam saluran pencernaan
ruminansia adalah struktur makanan, ruminansi, produk saliva dan pH optimum
(Kaufman et al., 1980).
Teknik Pengukuran Kecernaan
Metode penentuan kecernaan bahan kering yang lazim digunakan di
laboratorium adalah teknik in vitro (Reksohadiprodjo, 1988). Menurut Hungate
(1966), metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak.
Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yang
meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. pH retikulo-rumen
biasanya berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi dengan rasio pemberian konsentrat.
Metode in vitro harus menyerupai sistem in vivo supaya menghasilkan pola yang
sama, sehingga hasil yang didapat akan mendekati nilai yang diukur dengan teknik in
vivo (Arora, 1989). Metode in vitro sering digunakan karena memberikan hasil yang
cepat dengan cara yang murah dengan kelebihan yaitu penggunaan jumlah hijauan
yang relatif lebih sedikit (Chenost dan Reiniger, 1989).
McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan pada ruminansia
dapat diukur dengan metode two stage in vitro. Metode ini terdiri atas dua tahap.
Tahap pertama merupakan proses fermentasi pakan sebagaimana yang terjadi di
dalam rumen selama 24 jam, sedangkan tahap kedua merupakan proses pencernaan
oleh enzim pepsin yang menyerupai keadaan di dalam abomasum dengan waktu
inkubasi selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, residu bahan yang tidak
23
larut disaring, kemudian dikeringkan dan dipanaskan sehingga substrat tersebut dapat
dipergunakan untuk mengukur kecernaan bahan kering dan bahan organik.
top related