theresia yoshiana referat epilepsi (revisi)
Post on 09-Jul-2016
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan karena dengan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Epilepsi ini. Referat ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta memenuhi persyaratan dalam penilaian di
Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf RS Bhakti Yudha.
Pada kesempatan ini, secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hardhi Pranata, Sp.S atas bimbingan dan pengarahannya dalam proses penyusunan referat
ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Saya menyadari bahwa di dalam referat ini masih banyak terdapat kekurangan baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman kami dalam menyusun referat ini. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca
referat ini. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Depok, 14 Agustus 2012
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................1
Daftar Isi...........................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan ...................................................................................................3
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................................4
II.1 Definisi Epilepsi ..........................………………………………………………....4
II.2 Klasifikasi Epilepsi ...........................................................................................4
II.3 Etiologi Epilepsi ...............................................................................................7
II.4 Epidemiologi Epilepsi .......................................................................................7
II.5 Diagnosis Epilepsi ........................…………………………………………..……..8
II.6 Diagnosis Banding Epilepsi .............................................................................11
II.7 Gejala Klinis Epilepsi ....................................................……..…………………13
II.8 Patofisiologi Epilepsi ......................….……………………………………………18
II.9 Pedoman Pengobatan Epilepsi .............................................................…..…....19
II.10 Status Epileptikus ...................................………………………………………27
II.11 Prognosis Epilepsi ...................…………………………………………………..28
BAB III Kesimpulan ..........…..…………………………………………………………..29
Daftar Pustaka ....................….…………………………………………………………....30
2
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM) dan
menempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran darah otak. Dengan
tatalaksana yang baik sebagian besar penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun
untuk ini ditemukan banyak kendala, di Indonesia di antaranya kurangnya dokter spesialis
saraf, kurangnya keterampilan dokter umum dan paramedis dalam menanggulangi penyakit.
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di
masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan
ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari,
epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita
epilepsi. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada
900.000-1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum merupakan
prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan
luasnya aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan
masyarakat sehingga keterampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan
penyakit ini perlu ditingkatkan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
beulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.
Serangan atau bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis yang
serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan, jenis bangkitan,
faktor pencetus dan kronisitas.1,2,3,4
II.2 Klasifikasi Epilepsi
Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE) telah mengemukan
klasifikasi mengenai epilepsi yang berdasarkan observasi secara klinikal dan EEG. Pada
tahun 1989, ILAE mengemukan pula klasifikasi untuk epilepsi dan bangkitan epilepsi.
Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau
terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan.
Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan Parsial
a. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
Dengan gejala motorik
Dengan gejala sensorik
Dengan gejala otonomik
Dengan gejala psikik
b. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
4
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran saat awal
bangkitan.
c. bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder:
Parsial sederhana yang menjadi umum tonik-klonik
Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, dan kemudian menjadi
umum tonik-klonik.
2. Bangkitan umum
a. Lena (absence)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
3. Tak tergolongkan
Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindroma epilepsi
1. Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
a. Idiopatik (primer)
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
Primary reading epilepsy.
b. Simtomatik (sekunder)
Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikow’s
Syndrome)
Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
Epilepsi lobus temporal
Onset pada usia kanak-kanak, kejang hilang selama bebearap tahun
dan kembali muncul saat remaja, disertai dengan riwayat kejang
demam, merupakan bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan
atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan aura (nyeri epigastrik,
5
rasa takut deja vu, fenomena visual; disertai dengan automatisme
(gerakan berulang), resisten terhadap OAE.
Epilepsi lobus frontal
Bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan atau tanpa
generalisasi sekunder, aura nonspesifik, ada gangguan vokalisasi atau
bicara, dapat timbul deviasi mata, EEG biasanya normal.
Epilepsi lobus parietal
Bangkitan parsial sederhana, motor atau sensori, dengan atau tanpa
generalisasi sekunder, disertai dengan parestesia, lokasi pada wajah,
lengan dan tangan; disertai halusinasi dan gangguan berbahasa.
Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindroma epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan
usia.
a. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions; Benign neonatal convulsions; Benign
myoclonic epilepsy in infancy; Childhood absence epilepsy; Juvenile absence
epilepsy; Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal); Epilepsy with
grand mal seizures upon awakening; dan Other generalized idiopathic
epilepsies
b. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia.
West’s syndrome (infantile spasms); Lennox gastaut syndrome; Epilepsy with
myoclonic astatic seizures; dan Epilepsy with myoclonic absences
c. Simtomatik
Etiologi non spesifik
o Ensefalopati mioklonik dini
o Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
o Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas.
Sindrom spesifik
o Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
bangkitan neonatal
6
epilepsi mioklonik berat pada bayi
epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus: bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau
toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)1,2,4
II.3 Etiologi Epilepsi
1. Idiopatik
Penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui termasuk di sini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik
sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik
Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala,
infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neuro degeneratif.1,2,3
II.4 Epidemiologi Epilepsi
Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh
(a) belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi, (b) epilepsi bukan merupakan
penyakit yang harus dilaporkan, dan (c) pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan
populasi umum) misalnya statistik militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk
membandingkan hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Insiden epilepsi di
berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7 o/oo, prevalensinya bervariasi antara 4-7 o/oo,
sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000-1,8 juta penderita.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang
hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
7
berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering
dijumpai pada anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok
pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9% penderita mendapat sawan pertama pada usia
kurang dari 4 tahun, 50-51,5% terdapat pada kelompok kurang dari 10 tahun dan mencapai
75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun, 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan
kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun.3
II.5 Diagnosis Epilepsi
Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan faktor
penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Diagnosis epilepsi didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Penderita didiagnosis dan diberikan pengobatan terhadap epilepsi jika bangkitan
yang terjadi minimum 2 kali dalam setahun. Penderita atau orang tuanya perlu diminta
keterangannya tentang riwayat adanya epilepsi dikeluarganya. Kemudian dilanjutkan dengan
beberapa pemeriksaan lain yang menunjang diagnosis.1,2
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-
obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
o Apakah yang terjadi selama serangan: apakah ada kehilangan
kesadaran/pingsan; apakah ada kehilangan kesadaran sesaat/lena;
apakah disertai komponen motorik (kejang tonik, klonik, tonik-klonik,
mioklonik, atonik, adversif)
o Apakah ada gangguan tingkah laku-emosi
8
o Apakah disertai dengan aktivitas otonomik berlebihan seperti berdebar,
berkeringat
o Apakah ada gejala prodromata atau aura mendahului serangan
Bagaimana frekuensi serangan
Lama serangan
Sejak kapan serangan seperti di atas terjadi; Usia saat serangan terjadinya
pertama
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan ((faktor pencetus), seperti
demam, kurang tidur, keadaan emosionil
Bagaimana riwayat persalinan/kehamilan
Apakah penderita sebelumnya pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang
Apakah pernah menderita cedera kepala, operasi otak
Apakah makan obat-obatan tertentu, alkohol, dan lain-lain
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pada sebagian besar penderita, biasanya tidak menunjukkan kelainan
neurologik. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.1,2
3. Pemeriksaan Penunjang
Elektro Ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG sebaiknya
dilakukan saat bangun, tidur, dengan stimulaso fotik, hiperventilasi, stimulasi
tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks).
9
Indikasi EEG antara lain: membantu menegakkan diagnosis epilepsy; menentukan
prognosis pada kasus tertentu; pertimbangan dalam penghentian OAE; membantu
dalam menentukan letak focus; dan bila ada perubahan bentuk bangkitan dari
bangkitan sebelumnya.
Rekaman EEG dikatakan abnormal:
Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran
EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku
ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran
EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara
serentak (sinkron).
Perlu diingat bahwa rekaman yang negatif, yaitu yang tidak menunjukkan kelainan
khas untuk epilepsi, tidak menyingkirkan adanya epilepsi. Dengan cara rekaman
interiktal seperti yang saat ini dibuat, di Indonesia dikatakan bahwa kira-kira 30%
penderita epilepsi akan menunjukkan rekaman dalam batas normal.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Indikasi MRI adalah semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan
struktural; adanya perubahan bentuk bangkitan; terdapat deficit neurologic fokal;
dan epilepsi dengan bangkitan parsial.
Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dan fungsi ginjal.
Pemeriksaan LCS bila dicurigai ada infeksi SSP. Pemeriksaan ini dilakukan
setelah kejang demam pertama pada bayi.
10
Pemeriksaan lumbal pungsi ini dilakukan jika memiliki tanda peradangan
selaput otak (contoh: kaku leher); mengalami complex partial seizure;
kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam48 jam
sebelumnya); kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat); keadaan post-
ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan; mengantuk hingga sekitar 1 jam
setelah kejang demam adalah normal; dan kejang pertama setelah usia 3
tahun.1,2
II.6 Diagnosis Banding
1. Sinkope, dapat bersifat vasovagal attack, kardiogenik, hipovolumik, hipotensi, dan
sinkope saat miki (micturition syncope)
Sinkop didefinisikan sebagai kehilangan kesadaran singkat, sering melibatkan jatuh,
karena serebral transien iskemia atau hipoksia. Dalam 45% kasus, penyebabnya bisa
ditentukan dari sejarah dan pemeriksaan fisik. Aanamnesis merupakan petunjuk
penting meliputi pemicu seperti kegembiraan atau kecemasan, menyebabkan situasi
(menggambar darah, lama berdiri, kencing, batuk, nyeri), jantung penyakit penyakit
mental (gangguan kecemasan umum, depresi, gangguan somatisasi), dan obat. Pasien
harus dievaluasi kemungkinan kelainan tekanan darah , gangguan jantung atau
neurologis. Hasil EEG diagnosis hanya sekitar 2% dari kasus. Hanya sedikit kasus
sinkop yang disebabkan TIA. Gejala klinis sinkop hampir menyerupai epilepsi
sehingga bisa terjadi salah diagnosis.1,2,4
Tabel 1. Perbedaan Sinkop dan Epilepsi
Manifestasi klinis Sinkop Epilepsi
Pemicu Sering Jarang
Waktu hari Siang hari Siang atau malam; terbangun
dari tidur
Kulit Pucat Normal atau sianotik
Aura Pusing, kepala terasa ringan,
gangguan visual
Aura yang spesifik
Cara jatuh Kolaps, jatuh dengan kaku Jatuh dan kaku
Durasi
Onset
< 30 detik
Bertahap
1-3 menit atau lebih
Tiba-tiba
Gerak abnormal/ mioklonik Sering, arrhythmic,multifocal Selalu , umum, 1-2 menit
11
untuk kejang yang umum
Mata Terbuka Tertutup
Inkontinensia urin Jarang Lebih sering
Disorientasi Postiktal Sebentar atau tidak ada tahan lebih lama
gigit lidah Sesekali Tidak jarang
Prolaktin, creatine kinase Normal Meningkat
EEG Normal Abnormal
Fokus defisit neurologis Tidak ada Sesekali
Dari: Guberman A, Bruni J. Essentialas of clinical epilepsy.h.16.
2. Serangan iskemik sepintas (Ttransient Ischemic Attack)
Serangan ini dibedakan dari kejang dengan durasi lebih lama, kurangnya menyebar,
dan gejala. Tingkat kesadaran, yang tidak berubah, tidak membedakan mereka. Ada
kehilangan motor atau fungsi sensorik (misalnya, kelemahan atau mati rasa) dengan
serangan iskemik transien, sedangkan gejala positif (misalnya, kejang atau parestesia
menyentak) ciri kejang.
3. Vertigo
4. Transient global amnesia
5. Narkolepsi
6. Sindrom Menler
7. Tics
8. Bangkitan panik, psikogenik
Gangguan panik adalah ditandai dengan tiba-tiba, tak terduga dan tampaknya tak
beralasan serangan kecemasan yang intens, yang dapat berkisar dalam keparahan dari
perasaan umum kegelisahan. Serangan biasanya 5-30 menit terakhir dan pasien bisa
terbangun dari tidur. Mendampingi gejala termasuk perasaan detasemen dari
lingkungan, yaitu, depersonalisasi (Detasemen dari tubuh sendiri) dan derealisasi
(sensasi berada di sebuah mimpi atau mimpi buruk, perasaan ketidaknyataan); otonom
dan gejala fisik lainnya dari variabel keparahan, termasuk kardiovaskular (takikardia,
palpitasi, pucat, nyeri dada atau tekanan), pencernaan (mual, mulut kering, disfagia,
diare), pernafasan (hiperventilasi, dispnea, mencekik sensasi), dan manifestasi lainnya
(Tremor, bergerak-gerak anggota badan, pusing, paresthesia, mydriasis, urgensi
kemih, berkeringat). Mungkin sulit untuk membedakan dari kejang parsial sederhana
12
atau kompleks kecuali ada bukti gangguan psychopathologic antara serangan dan
serangan memiliki hubungan yang jelas dengan keadaan eksternal.1,2,4
Tabel. 2 Perbedaan Epilepsi dan Kejang Psikogenik
Karakteristik Epilepsi Psikogenik
Aura +/- +/-
Pemicu Jarang Perubahan emosi
Durasi Cepat Lambat
Pola Diurnal Siang atau malam Siang, tidak pernah waktu
tidur
Inkontinensia urin Bisa muncul Jarang
Gerak motorik Stereotipik, Rigiditas, opisthotonus,
menangis, tindakan
menghindar
EEG Perubahan interiktal. Normal iktal dan post-iktal
Dari: Guberman A, Bruni J. Essentialas of clinical epilepsy.h.17.
II.7 Gejala Klinis Epilepsi
1. Bangkitan umum
a. Absence (Petit mal)
Ini ditandai dengan penurunan kesadaran, kadang-kadang dengan ringan klonik,
tonik komponen, atau lemah (yaitu, pengurangan atau kehilangan tonus postural),
komponen otonom (misalnya, enuresis), atau otomatisasi turut menyertainya.
Onset dan penghentian serangan mendadak (hilang kesadaran tiba-tiba) Jika
serangan terjadi selama percakapan, pasien mungkin kehilangan beberapa kata
atau mungkin putus di tengah-tengah kalimat selama beberapa detik dan akan
kembali normal seperti tidak ada apa-apa kejadian. Penurunan kesadaran eksternal
adalah begitu singkat bahwa pasien tidak menyadarinya (tidak lebih dari 10 detik).
Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan. Selama bangkitan
kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi. Matanya memandang jauh
ke hadapan dan jika ada sesuatu yang dipegang ketika itu akan terlepas. Setelah
sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula dan tidak ingat
tentang kejadian kejang tersebut. Adanya kejang hampir selalu dimulai pada masa
13
kanak-kanak sekitar umur 4 tahun hingga 12 tahun dan sering berhenti pada usia
20 tahun, meskipun kadang-kadang mereka kemudian digantikan oleh bentuk-
bentuk lain dari kejang umum. Pada gambaran EEG, serangan tersebut terkait
dengan semburan aktivitas 3-Hz spike-dan-gelombang sinkron bilateral dan
simetris. Sebuah latar belakang normal di EEG dan kecerdasan normal atau di
atas normal menyiratkan prognosis yang baik untuk penghentian akhir dari
serangan ini.1,2,3,4
Mungkin terdapat automatisme yaitu kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak
dan bola mata. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari.
Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit
mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4
ciri :
Timbul pada usia 4-8 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal
harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik
mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat
Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan
frekuensi 3 per detik.1,2
b. Grand mal (kejang tonik-klonik)
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik.
Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum
serangan kejang-kejang.
Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak,
mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
Bangkitan di mulai dengan kehilangan kesadaran sehingga aktivitas penderita
terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik yaitu otot-otot berkontraksi
sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-
paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan
jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang
seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit.
14
Selain kejang-kejang, terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis
pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis.
Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor
sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan
kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam
sampai setahun sekali.1,2,4
c. Bangkitan mioklonus.
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Mioklonik terdiri dari
tersentak myoclonic tunggal atau ganda. Kejang mioklonik terdiri dari gerakan
singkat, arrhythmic, menyentak, gerakan motor yang kurang dari 1 detik terakhir.
Kejang mioklonik sering cluster dalam beberapa menit. Jika mereka berkembang
menjadi berirama, gerakan yang menghentak, mereka diklasifikasikan sebagai
berkembang menjadi kejang klonik. Myoclonus tidak selalu epilepsi pada asal.
Sebagai contoh, tersentak myoclonic selama fase I dari tidur. Para iktal klasik dari
kejang mioklonik berkorelasi dalam EEG terdiri dari polyspike cepat-dan-lambat
kompleks gelombang.
Spasmus infantil termasuk dalam epilepsi mioklonus. Terjadi pada bayi 3-6 bulan
dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui,
namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan.
Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi,
tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis
atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.1,2
d. Atonik
Lama serangan kurang dari 15 detik. Atonic seizures biasanya mulai di masa
kanak-kanak. Penderitanya biasanya tetap sadar.Atonic berarti otot yang
kehilangan tenaga. Efeknya bisa berupa kelopak mata yang tertutup, kepala yang
mengangguk, lepasnya genggaman, atau jatuhnya seseorang. Sehingga serangan
epilepsi ini sering disebut serangan jatuh (drop attack).1
2. Bangkitan Parsial
15
Kejang fokal atau parsial mencerminkan pembuangan paroksismal terbatas pada
bagian belahan terpengaruh dengan kata lain terjadi di sebagian otak , sebagai contoh
kejang parsial bisa terjadi di bagian otak bagian lobus frontal. Menurut definisi,
kejang parsial sederhana mereka di mana kesadaran tidak terganggu, sedangkan
kejang kompleks parsial (psikomotor kejang) adalah mereka dimana kesadaran
terganggu. Sebuah gangguan sensorik atau perilaku sebelumnya kejang fokal atau
umum dengan manifestasi motorik disebut aura kejang. Beberapa fitur kejang parsial
yang tercantum dalam tabel di bawah ini. Para semiologi parsial sederhana dan
kompleks kejang tergantung pada situs mereka asal (fokus) dan area otak yang
mereka menyebar . Mereka mungkin menjadi sekunder umum, berkembang menjadi
umum paroksismal serangan atau tonik-klonik. Awal gejala dan tanda-tanda
bervariasi tergantung pada lokasi fokus epilepsi.
Manifestasi klinis dan EEG awal kejang parsial menunjukkan bahwa hanya sebagian
terbatas dari satu belahan otak telah diaktifkan. Manifestasi iktal tergantung pada area
otak yang terlibat. Kejang parsial dibagi lagi menjadi kejang sederhana, di mana
kesadaran yang diawetkan, dan kejang kompleks, di mana ia terganggu. Kejang
parsial dari kedua jenis terkadang menjadi sekunder umum, yang mengarah ke
serangan, tonik klonik, atau tonik-klonik.1,2,4
a. Parsial sederhana
Pasien tidak mengalami perubahan kesadaran tetapi tidak bisa bercakap atau
bergerak sehingga kejangnya selesai. Kejang sederhana dapat dimanifestasikan
oleh gejala motorik fokal (kejang masturbasi) atau gejala somatosensori
(misalnya, parestesia atau kesemutan) yang menyebar ke berbagai bagian
ekstremitas atau badan tergantung pada representasi kortikal mereka. Bangkitan
dimulai dari lengan, tungkai atau muka sama ada unilateral atau fokal kemudian
menyebar pada sisi yang sama (jacksonian march). Kepala mungkin berpaling ke
arah tubuh yang mengalami kejang. Pada kasus lain, gejala sensorik khusus
(misalnya, berkedip cahaya atau berdengung) mengindikasikan keterlibatan
visual, auditori, penciuman, pengecapan atau daerah otak, atau mungkin ada
gejala atau tanda-tanda otonom (misalnya, sensasi epigastrium normal,
berkeringat, kemerahan, pelebaran pupil). Manifestasi tunggal dari beberapa
fenomena ketika kejang seperti disfasia, gejala dysmnesic (misalnya, deja vu,
Jamais vu), gangguan afektif, ilusi, halusinasi atau terstruktur, tetapi gejala
tersebut biasanya disertai dengan gangguan kesadaran.
16
b. Parsial kompleks
Jarang timbul pada pasien umur kurang 10 tahun. Mengenai bagian otak yang
lebih luas berbanding parsial sederhana dan mengganggu kesadaran. Bagian otak
yang paling sering terkena adalah gangguan di kedua lobus temporalis otak.
Epilepsy parsial kompleks sering disebut epilepsy lobus temporalis. Lobus
temporalis meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan
asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi klinisnya seperti berikut yaitu kesadaran hilang sejenak, dalam
keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi
dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh. Kepala
mungkin berpaling ke arah tubuh yang mengalami kejang.1,2
Table 3. Perbedaan antara Kejang Parsial Sederhana dan Kompleks
Fitur Kejang parsial sederhana Kejang parsial kompleks
Gangguan Kesadaran
Terpengaruh
Tidak terganggu Terganggu
Jangka waktu detik hingga menit Menit
Gejala dan tanda Terganting tempat asal: tidak
ada postiktal kebingungan
Tergantung pada tempat asal;
terdapat postictal
kebingungan
Usia Semua usia Semua usia
Iktal EEG Setiap epileptiform
pembuangan kontralateral;
dalam banyak kasus, tidak
ada kelainan interiktal
terdeteksi
Unilateral atau bilateral
epileptiform
pembuangan, difus atau fokal
(Diadaptasi dari Gram, 1990)
Tabel 4. Perbedaan Absence dan Kejang Parsial Kompleks
Karakteristik Absence Parsial Kompleks
17
Status neurologik Normal Riwayat kejang
Usia Anak-anak Semua usia
Durasi Detik Menit
Frekuensi Sering Jarang
Diprovokasi hiperventilasi Mungkin Jarang
Etiologi Idiopatik/Genetik Kriptogenik, simptomatik
EEG Gelombang umum 2-4 Hz Normal, gelombang tajam
Automatisme Muncul jika durasi >10detik Jarang
Respon terhadap OAE Baik Resisten
Dari: Guberman A, Bruni J. Essentialas of clinical epilepsy.h.22.
II.8 Patofisiologi Epilepsi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari
ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di
dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion
inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya.
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah /gamma amino butyric
acid /(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila
potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial
listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan
depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
18
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini
merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan
adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate
(kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada
hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan
ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya
ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
II.9 Pedoman Pengobatan Epilepsi
Dalam kenyataannya, pengobatan epilepsi tidaklah selalu mudah. Tidak jarang
pengobatan mengalami kegagalan. Untuk dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya, terdapat
beberapa pedoman yang perlu diperhatikan, antara lain:
a. Diagnosis
19
Sebelum pengobatan dimulai, diangosis epilepsi harus dipastikan, oleh karena apabila
pengobatan sudah dimulai, maka akibatnya bagi penderita harus minum obat untuk
jangka waktu lama, ia juga harus hidup sebagai seorang yang dianggap menderita
epilepsi. Perlu untuk memastikan bahwa diagnosis telah ditegakkan dengan benar.
Bial seorang pasien telah mengalami serangan lebih dari sekali dalam 12 bulan
terakhir, maka saat inilah terapi dimulai. Jika pasien hanya mengalami sekali
serangan, pengobatan biasanya ditangguhkan bila tidak ada tanda-tanda lesi otak yang
mendasarinya.
b. Jenis epilepsi
Menentukan jenis serangan penting sekali oleh karena jenis serangan tertentu
memerlukan obat antikonvulsi tertentu. Pada bangkitan parsial tipe sederhana diberi
karmabazepin, tipe komplek diberi defenilhidantoin, dan tipe umum sekunder diberi
fenobarbital. Sedangkan bangkitan umum tipe konfulsif diberi asam valproat, tipe
mioklonik diberi asam valproat, clonazepam, atau nitrazepam, dan tipe lena diberi
etoksuksimid.
c. Usia
Beberapa obat mempunyai efek samping yang lebih besar bila diberkan pada anak
dalam usia pertumbuhan, misalnya pada pemberian difenilhidantoin akan terjadi
hipertrofi giginya, sedangkan pemberian fenobarbital pada anak-anak terutama pada
usia kurang dari 3 tahun lebih sering terjadi hiperkinetik. Pada wanita dewasa yang
menginginkan mempunyai anak, karena difenilhidantoin dilaporkan mempunyai
kemungkinan yang lebih tinggi menyebabkan teratogenik.
d. Keadaan sosial ekonomi
e. Faktor kepatuhan
Untuk dapat menjamin keberhasilan pengobatan sangat penting bahwa penderita
minum obat secara teratur dan untuk jangka waktu yang panjang sesuai dengan
petunjuk yang diberikan oleh dokter.1
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasein
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kamatian.
Prinsip pemberian terapi farmakologis pada epilepsi adalah sebagai berikut:
a. Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
20
Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun
Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping
b. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila
bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
d. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat
diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
f. Pasien dengan bangkitan tunggl direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses
otak, dan ensefalitis
Herpes
Kerusakan otak
Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
Riwayat bangkitan simtomatik
Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile
Myoclonic Epilepsy)
Riwayat trauma kepala tertama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP
Bangkita pertama berupa status epileptikus
g. Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar-OAE.1,2
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:
21
a. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
b. Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.
c. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
d. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
e. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
f. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
g. Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
h. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
i. Lainnya: Fenasemid, Topiramate.4
Tabel 5. Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk
Bangkitan
Tipe Bangkitan OAE Lini I OAE Lini II /
Tambahan
OAE Lini III /
Tambahan
Lena Valproat
Lamotrigin
Etosuksimid Levetiracetam
Zonisamid
Mioklonik Valproat Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Lamotrigin
Clobazam
Clonazam
Fenobarbital
Tonik Klonik Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Lamotrigin
Okskarbazepin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Pirimidon
Atonik Valproat Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Parsial Carbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Valproat
Levetiracetam
Zonisamid
Pregabalin
Tlagabine
Vigabatrin
Felbamat
Pirimidon
22
Tidak
terklasifikasikan
Valproat Lamotrigin Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Dari: PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi.h.14.
Bila lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling mempengaruhi
tentu aada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu konsentrasi obat (Meninggikan
kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol, dikumarol, asetazolmaid; adapula
yang menurunkan kadar difenilhidantoin seeprti karbamazepin, diazepam, klonazepam) dan
anti epilepsi dan obat yang diketahui menurunkan kadarnya oelh obat antiepilepsi
(griseolfulvin warfarin, hormon steroid PII kontrasepsi, dan vitamin D doksisiklin).
Efek samping obat dapat terjadi salam hubungan dengan dosis, keadaan yang disebut
suatu intoksikasi. Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi
nystagmus, ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada
keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat terjadi degenerasi sel serebelum, neurophaty
perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.1
Tabel 6. Efek Samping OAE
Obat Efek Samping yang
Mngancam Jiwa
Efek Samping Minor
Karbamazepin Anemia aplastik,
hepatotokisitas, sindrom
Steven Johnson, lupus like
syndrome
Dizziness, ataksia, diplopia,
mual, kelelahan, lekopeni,
trombositopenia, ruam,
gnagguan perliaku, tics
Fenitoin Anemia aplastik, gangguan
fungsi hati, sindroma Steven
Johnson, lupus like
syndrome, pseudolymphoma
Hipertrofi gusi, hirsutisme,
ataksia, nistagmus, diplopia,
ruam, anoreksia, mual,
makrositosis, neuropati
perifer
Fenobarbital Hepatotoksik, ganggunan
jaringan ikat dan sumsum
tulang, sindroma Steven
Johnsons
Mengantuk ataksia,
nistagmus, ruam kulit,
depresi, hiperaktif pada anak,
gangguan belajar
23
Asam Valproat Hepatotoksisitas,
hiperamonemia, leopeni,
trombositopeni, pankreatitis
Mual, muntah, rambut
menipis, tremor, amenore,
peningkatan berat badan,
konstipasi
Levetiracetam Belum diketahui Mual, nyeri kepala,
dizziness, kelamahan,
mengantuk, gangguan
perilaku
Gabapentin Belum diketahui Somonlen, kelelahan, ataksia,
dizziness, peningkatan berat
badan, gangguan perilaku
pada anak
Lamotrigin Sindrom Stevens Johnson,
gangguan hepar akut,
kegagalan multi organ
Ruam, dizziness, tremor,
ataksia, diplopia, padnangan
kabur, nyeri kepala, mual,
muntah, insomnia
Okskarbazepin Ruam kulit Dizziness, ataksia, nyeri
kepala, mual, kelelahan,
hiponatremia
Topiramat Batu ginjal, hipohidrosis,
gangguan fungsi hati
Gangguan kognitif, kesulitan
menemukan kata, dizziness,
ataksia, nyeri kepala,
kelelahan, mual, penurunan
berat badan, parestesia,
glukoma
Zonizamid Batu ginjal, hipohidrosis,
ganemia apalstik
Mual, nyeri kepala,
dizziness, eklelahan,
parestesia, ruam, gangguan
berbahasa
Dari: PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi.h.17.
Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya
letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah terjadinya letupan
24
depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi digunakan
terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan
obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala
kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya
dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.1,2
Tabel 7. Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE
Obat Mekanisme Kerja Ekskresi
Karbamazepin Blok sodium channel pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin
>95% hati
Fenitoin Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium
dan klorida dan neurotransmiter yang voltage dependent
>90% hati
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA, menurunkan
eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium,
kalium, dan kalsium
75% hati
25% ginjal
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan
ambang konduktan kalsium (T) dan kalium
>95% hati
Levetiracetam Tidak diketahui Cairan
tubuh
Gabapentin Modulasi calcium channel tipe N 100% ginjal
Lamotrigin Blok konduktan natrium yang voltage dependent 85% hati
Okskarbazepin Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas calcium channel
45% hati
45% ginjal
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-
mediated chloride, meodulasi efek reseptor GABAA,
bekerja pada reseptor AMPA
90% hati
Zonisamid Blok sodium, potassium, calcium channels, inhibisi
eksitasi glutamat
>90% hati
Dari: PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi.h.19.
Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu
perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin
yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat dalam
25
darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi
kecuali terhadap epilepsi petit mal.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu (tiga hingga lima tahun
tidak mendapat serangan dan EEG normal atau hanya menunjukkan sedikit kelainan non
spesifik), OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak,
penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan,
sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama (5 tahun). Dalam hal penghentian
OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.1,2
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah:
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
Gambaran EEG “normal”
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Bila digunkaan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang
bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:
Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Semakin lamanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dnegan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25%
pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak
Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setealh memulia terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan kekambuhan elbih kecil pada pasien yang telah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE),
kemudian di evaluasi kembali.1,2
26
II.10 Status Epileptikus
Status epileptikus adalah bangkitan yang terjadi melebihi dari 30 menit atau adanya
dua bangkitan atau lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harus dimulai dalam 10 menit setelah
awitan suatu bangkitan.1,2
Tabel 5. Penanganan status epileptikus konvulsivus
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi
bilama diperlukan
Stadium II (1-60 menit) pemeriksaan status neurologik
pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
pemeriksaan EKG
pasang infus
ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
pemberian OAE cito : diazepam 10-20 mg iv
(kecepatan pemberian <2-5 mg/menit atau rektal dapat
diulang 15 menit kemudian)
Beri 50cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250
mg
Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit) menentukan etiologi
bila kejang terus berkangsung setekah pemberian
lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg
dengan kecepatan kurang lebih 50mg/menit sambil
monitoring tekanan darah.
Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg
dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit
(monitoring pernafasan saat pemberian)
Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
Mengoreksi komplikasi
27
Stadium IV (30-90 menit) Bila tetap kejang, pindah ke ICU
Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
Dari: Kustiowati E. Consensus epilepsy.h.17.
II.11 Prognosis Epilepsi
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh,
dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh persen
mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin sulit. Lima
persen di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Prognosis
buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan
gangguan psikiatri dan neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih
tinggi daripada populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya
epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan
neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.3
28
BAB III
KESIMPULAN
Kejang dapat disebabkan oleh epilepsi atau bukan disebabkan epilepsi. Epilepsi
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) beulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal dan disebabkan
oleh berbagai etiologi. Walaupun etiologi sebenar tidak diketahui tapi banyak penelitian
membuktikan terdapat lesi-lesi tertetu atau penyebab penyakit dasar bisa memicu terjadinya
kejang. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau
terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan.
Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan faktor
penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk
dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Diagnosis epilepsi didasarkan atas
anamnesis dan pemeriksaan klinik dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan EEG dan
radiologis. Penderita didiagnosis dan diberikan pengobatan terhadap epilepsi jika bangkitan
yang terjadi minimum 2 kali dalam setahun. Penderita atau orang tuanya perlu diminta
keterangannya tentang riwayat adanya epilepsi dikeluarganya.
Pada epilepsi, keseimbangan eksitasi dan inhibisi terganggu terutama ke arah eksitasi
karena kurangnya inhibisi. Apabila pengaruh inhibisainya kurang maka akan terjadi
perangasangan ke sel-sel sekitarnya menjadi berlebihan sehingga dapat menebabkan
terjadinya bangkitan peilepsi. Se;-sel yang menyebabkan ransang listrik berliebihan ini
disebut fokus epileptogen.
Dalam pengobatan epilepsi yang penting ialah memberi obat anti epilepsi dengan
dosis serendah-rendahnya yang dapat mencegah serangan tanpa menimbulkan gejala toksis.
Sedapat-dapatnya diusahakan agar serangan dicegah dengan memberi satu macam obat saja.
Jika dengan satu macam obat tidak didapatkan hasil yang memuaskan, maka obat tersebut
dapat diganti dengan obat lain dan bila belum efektif bisa dikombinasikan. Penghentian obat
pertama tidak boleh mendadak akan tetapi dosis berangsur-angsur dikurangani sambil
menambah obat lain yang dosisnya dinaikkan secara bertahap juga.
29
Daftar Pustaka
1. Kustiowati E. Consensus epilepsy. Jakarta: PERDOSSI; 2006.
2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Cetakan Ketiga.
Jakarta: PERDOSSI; 2008.
3. Harsono. Kapita selekta neurologi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Gadjah Mada University
Press; 2009.
4. Guberman A, Bruni J. Essentials of clinical epilepsy. Second Edition. United States:
Butterworth-Heinemann; 1999.
5. Purba CS. Medicinus. Epilepsi: permasalahan di reseptor atau neurotransmiter. Volume
21. Desember 2008. Diunduh dari
http://www.dexa-medica.com/images/publication_upload090109170636001231472906M
EDICINUS_NOV_DES%2708.pdf; 12 Agustus 2012.
6. Patofisiologi Epilepsi. 7 Agustus 2012. Diunduh dari
http://blogkesehatan.net/patofisiologi-epilepsi-2/; 12 Agustus 2012.
30
top related