ringkasan tesis dinasti politik kekerabatan (s tudi …
Post on 04-Oct-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
RINGKASAN TESIS
DINASTI POLITIK KEKERABATAN
(Studi Kasus Di Kampung Meidodga Distrik Testega
Kabupaten Pegunungan Arfak)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai DerajatMagister pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Konsentrasi Pemerintahan Daerah
Oleh:
SHEM IBA
16610010
PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan kepada
saya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Dinasti Poltik Kekerabatan studi
kasus di Kampung Meidodga Distrik Testega Kabupaten pegunungan arfak, sebagai
persyaratan akademis untuk menyelesaikan studi di Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan
pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Tesis ini merupakan karya yang menggambarkan semangat banyak pihak, yang dengan tulus
membantu saya dalam penyelesaian Tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Supardal, M.Si, selaku Direktur Program Magister Sekolah Tinggi Pembangunan
desa “APMD” Yogyakarta.
2. Bapak Dr. R. Widodo Triputro, MM, sebagai Sekretaris Prodi Magister Ilmu Pemerintahan,
Sekolah Tinggi Pembangunan Desa “APMD” Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto., M.Si, sebagai pembimbing yang dengan penuh kesabaran
mengarahkan, memberi pengertian, memberi motivasi, dan dukungan sehingga Tesis ini dapat
saya selesaikan.
4. Bapak Kepala Kampung Meidodga terima kasih telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
5. Segenap bapak dan ibu Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama diperkuliahan.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi sumua pihak, khususnya pemerintah
Kabupaten Pegunungan Arfak dan masyarakat Kampung Meidodga Distrik Testega, serta
perguruan tinggi.
Yogyakarta, 09 September2019
Penulis : Shem Iba
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 4
D. Kerangka Konseptual.............................................................................. 4
1. Politik Dinasti ................................................................................. 4
2. Struktur Sosial Patron Klien........................................................... 7
3. Ketiadaan Masyarakat Sipil............................................................ 9
E. Metode Penelitian..................................................................................... 10
BAB II KONTEK DESA
A. Gambaran Umum ................................................................................... 12
B. Kondisi Alam…………………………………………………………. 14
C. Penduduk ................................................................................................ 15
D. Kondisi Masyarakat ........................................................................ 15
E. Mata Pencaharian ........................................................................ 17
BAB III STRUKTUR MASYARAKAT PATRON KLIEN
A. Patron Klien............................................................................................. 18
B. Oligarki ...................................................................................................................... 19
C. Demokrasi ......................................................................................................... 21
D. Aristokrasi ....................................................................................................... 22
BAB IV KETIADAAN MASYARAKAT SIPIL
A. Kondisi Organisasi............................................................................................ 23
B. Badan Permusyawaratan Kampung ........................................................................ 25
BAB V DINASTI POLITIK
A. Asal-usul Dinasti Politik Meidodga ................................................................. 27
B. Pemilihan Secara Tidak Langsung.................................................................... 30
C. Kekuasaan Dinasti Di Meidodga ...................................................................... 32
D. Pembentukan Struktur Perangkat Kampung ..................................................... 40
E. Manajemen Pengelolaan Keuangan.................................................................. 42
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 44
B. Saran ........................................................................................................................... 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fokus kajian dari studi ini adalah tentang dominasi kekuasaan di tingkat desa oleh
sebuah kekuatan politik lama yang disebut dengan dinasti kepala desa. Dinasti Meidodga
telah berkuasa di Desa Meidodga sejak tahun 1971 sampai saat ini secara terus menerus.
Tiga generasi dari dinasti yang terdiri dari tiga kepala desa, secara bergantian telah
mewarnai sejarah kepemimpinan di Desa Meidodga dalam kurun waktu kurang-lebih 48
tahun. Pemilihan kepala desa secara langsung yang telah ditegaskan dan diatur di dalam
pasal 203 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian selanjutnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa telah
mencabut pasal-pasal terkait dengan desa yang termuat di dalam undang-undang
sebelumnya tersebut. Hal ini tentunya merupakan wujud dari sebuah demokratisasi desa
sebagai sub sistem Pemerintah Republik Indonesia yang terendah.
Namun realitas yang terjadi, bahwa proses demokrasi yang di aplikasikan pada
pemilihan kepala desa di setiap daerah terkadang sering diwarnai dengan kecurangan-
kecurangan, baik itu dalam bentuk money politik, tawar-menawar penyelenggara
pemilihan dengan calon, dan hal yang sangat merusak proses demokratisasi adalah
adanya dominasi politik kekeluargaan atau kekerabatan yang mengakibatkannya
terciptanya dinasti-dinasti politik pada pemerintahan di desa.
Demokrasi esensial seharusnya berkorelasi positif terhadap terciptanya pluralisme aktor.
Dalam politik kekerabatan, yang terjadi justru sebaliknya. Artinya, aktor yang muncul dalam
proses demokrasi ini berputar di sekitar itu-itu saja. Tidak muncul variasi aktor. Sudah bisa
2
dipastikan bahwa pola politik kekerabatan sebenarnya telah membajak demokrasi. Para elite
itu "menunggangi" prinsip demokrasi yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada
setiap warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau memilih.
Mereka berperilaku seolah-olah mengikuti proses demokrasi. Padahal, mereka
membajak demokrasi itu sendiri. Mengentalnya politik kekerabatan itu, dikhawatirkan akan
membawa banyak efek negatif. Politik kekerabatan ini pada dasarnya memberi peluang
menguatnya nepotisme, patron-klien, patrimonalisme, dan sistem rekrutmen yang tidak
transparan dengan berbagai turunannya.
Kajian tesis ini didasarkan pada satu pendapat bahwa desa itu tidak homogen, atau kata
lain, tidak ada desa yang homogen dan harmonis sebagai kaum romantis. bahwa di Desa
Meidodga ada beberapa keluarga antara lain. Keluarga, Ifun, Yoduma, Insruk, Jenya dan
Merohom serta Mofoukeda yang sedang menonjol. yang dalam keluarga-keluarga tersebut
berasal dari satu suku yaitu suku Meyah, akan tetapi terdapat 3 (tiga) marga yang di
dalamnya ada keluarga-keluarga tersebut.
Dari keluarga ini ada dua keluarga yakni keluarga Ifun dan Merohom memiliki
pandangan yang berbeda dalam proses kepemimpinan yang dipimpin oleh salah satu
keluarga yang sedang berkuasa. sehingga terjadi persaingan politik diantara 3 (tiga) keluarga
ini yang tidak lain adalah keluarga Etma Efeji, keluarga Ifun dan keluarga Merohom pada
pilkades yang telah terjadi. Namun, keluarga Etma Efeji yang memenankan pilkades
sehingga kepemimpinan kepala desa keluarga Etma Efeji tidak tergantikan dalam proses
pilkades.
Peneliti menduga bahwa di Desa Meidodga ada gejalah yang namanya dinasti politik,
namun tidak sama dengan dinasti politik yang terjadi di tempat lain seperti dinasti politik
3
Ratu Atut Chosiah. Yang mengunakan instrumen kekerasan melalui proyek pembangunan
kepada keluarga dan akhirnya keluarga mendominasi berbagai lembaga baik pemerintah
maupun nonpemerintah.
Kajian ini hanya melihat dinasti dari sisi silkulasi elit diantara keluarga-keluarga yang
bersal dari suku itu sendiri. Yaitu keluarga Etma efeji, keluarga Ifun dan keluarga Merohom
di Desa Meidodga. Menurut peneliti kajian ini menjadi menari karena diantara keluarga yang
bersaing tersebut bahwa keluarga Etma Efeji mempertahankan kekuasaan dengan
memanfaatkan klan budaya untuk kemudian sebagai alasan bahwa Desa tersebut adalah milik
keluarga. Yang tidak bisa diberikan kepada orang lain menjadi kepala kampung selain
keluarga Etma Efeji itu sendiri. Sehingga mungkin saja rasa kekeluargaan yang tinggi
memungkinkan menjadikan seorang pemimpin dari suatu keluarga yang memiliki pengaruh
dari keluarga yang kuat. Sejak tahun 1995 hingga saat ini tidak tergantikan atau
dengan kata lain menjabat seumur hidup. Hal ini tentunya membuktikan kuatnya pengaruh
politik dinasti atau kekeluargaan pada sistem pemilihan kepala desa di desa Meidodga.
Tidak ada ruang demokrasi bagi setiap keluarga yang berada di kampung Meidodga
untuk berpartisipasi dalam proses pilkades secara bebas dan terbuka. Di Kampung Meidodga
sampai saat ini kekuasaan kepala kampung masih dikendalikan oleh satu keluarga yaitu
keluarga Etma Efeji, walau dalam proses pemilihan terjadi persaingan antara keluarga-
keluarga yang lain namun tetap keluarga satu itu saja yang memenangkan pilkades.
4
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana Dinasti Politik Kekerabatan di desa Meidodga ?
2. Mengapa dinasti Meidodga muncul dan bertahan ?
C. Tujian Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang di lakukan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui fenomena Dinasti politik kekerabatan yang terjadi di desa Meidodga
D. Kerangka Konseptual
Untuk menganalisa eksistensi Politik Dinasti di tingkat desa, penulis akan
memberikan konseptualisasi tentang Politik Dinasti dan Mencari faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya Politik Dinasti Tersebut.
Dalam penelitian ini penulis melihat dua faktor Pertama adalah Struktur Sosial Patron-
Klien dan Kedua Adalah Ketiadaan Masyarakat Sipil. Disini artinya suatu masyarakat sipil
harus berperan aktif dalam segala aktivitas di Desa, dengan demikian akan menekangkan
atau memantau kekuasaan yang melekat di benak elit-elit di Desa. Jika masyarakat tidak
berpartisipasi dalam kegiatan di Desa Maka Kekuasaan Patron terus-menerus terjadi.
1. Politik Dinasti
a. Politik Dinasti
Politik Dinasti merupakan sekumpulan orang atau elit penguasa yang masih
memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan secara bergantian
menduduki kekuasaan melalui pemilihan pada periodenya masing-masing (Komar, 2013:
33). Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik yang
5
berbasiskan pertalian darah atau perkawinan sehingga sebagian pengamat politik
menyebutnya sebagai oligarkhi politik.
Dalam konteks Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki
kemampuan untuk yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Sehingga
mereka kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung merperebutkan
kekuasaan. Sebelum munculnya gejala dinasti politik, kelompok elit tersebut
diasosiasikan elit partai politik, elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit
agama, elit preman atau mafia, elit artis, serta elit Aktivis.
Pada dasarnya sistem dinasti politik adalah merupakan strategi politik yang dibuat
ataupun dibangun untuk memperoleh kekuasaan. Harapannya dengan menggunakan sistem
dinasti politik, kekuasaan dapat di wariskan kepada keturunan ataupun keluarga. Sistem
dinasti politik ini dapat dilihat dan ditelaah melalui dua aspek konotasi. Masing masing
konotasi memiliki kekuatan dan kelemahan masing masing. Saat ini penulis berusaha untuk
menilai dan menelaah makna dan arti politik dinasti ditinjau dari konotasi negative maupun
konotasi positif.
b. Kartel Politik
Sistem politik di Indonesia memungkinkan semua partai membentuk oligarkhi dan
makin lama praktek-praktek ini makin menguat, sehingga gejala yang muncul
memperlihatkan kecenderungan hanya pihak yang mengontrol kapital yang akan
mendapatkan suara. Sekitar tahun 1998 Indonesia dihadapkan pada situasi krisis besar
dimana terdapat situasi dimana Pancasila tak berharga. Pengertian rakyat berharga hanya
sekedar teori. Yang sesungguhnya terjadi tak ada kehidupan politik di luar partai politik.
Ada kekeliruan besar yang terjadi dalam proses pasca 1998 dimana perubahan perbaikan
6
demokrasi ke arah elektoral lebih mendapatkan sorotan dari pada membereskan seluruh
institusi kenegaraan. Disitulah celah yang memungkinkan oligarkhi tumbuh dan membentuk
networking yang sangat kuat sehingga jika tidak ada perubahan yang drastis tidak akan
terjadi perubahan.
Demikianlah pengertian dan asal muasal terbentuknya praktek politik kartel di
Indonesia yang menyebabkan merajalelanya korupsi secara besar-besaran dengan
merampok uang negara dan mengorbankan kesejahteraan warga negara yang dilakukan oleh
komplotan yang bersarang di partai-partai politik. Maka tidak heran kalau kasus-kasus besar
seperti kasus skandal Bank Century, Kasus pengemplangan pajak yang melibatkan Gayus
Tambunan atau kasus besar lain seperti kasus asuransi TKI di Kemenakertrans sulit
dipecahkan. Ini semua terkait dengan praktek kartel politik di seluruh partai. Bagaimana
cara melawan pertumbuhan dan mengguritanya praktek politik kartel ini
c. Kontestasi Elit Desa
Memahami kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral, Kang dalam
tulisannya Race and Democratic Contestation menyatakan bahwa Kontestasi
demokrasi adalah kompetisi deliberatif di antara para pemimpin politik untuk
membentuk dan membingkai pemahaman masyarakat tentang politik elektif,
kebijakan publik, dan urusan sipil. Ini meliputi proses dimana pemimpin berani,
mendorong, dan menantang masyarakat untuk berpikir tentang politik. Persaingan
pemilihan hanya satu elemen yang menonjol dari kompetisi yang lebih besar ini di antara
para pemimpin politik untuk mempengaruhi sosial politik sebuah proses yang sehat dari
kontestasi demokrasi yang menarik dalam dan melibatkan masyarakat dalam proses
tersebut untuk memenangkan hati dan pikiran warga negara (Kang, 2008 : 738).
7
Pendapat di atas mencerminkan bahwa produk dari sebuah kontestasi politik
tidak hanya hadirnya seorang pemimpin yang terpilih. Lebih jauh, dampak dari kontestasi
politik adalah tingkat pemahaman masyarakat yang lebih baik tentang demokrasi
elektoral terutama tentang segala akibat positif maupun negatif yang muncul dari pilihan
politik mereka, serta partisipasi aktif mereka dalam setiap pengambilan kebijakan
publik dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan umum.
Sistem yang demokratis menghendaki sebuah kontestasi politik terbuka bagi
siapa saja untuk menjadi kandidat. Hal ini untuk menjamin adanya kesetaraan
kesempatan bagi setiap masyarakat desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Schumpeter yang mengartikan demokrasi
dengan melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang, pada prinsipnya, bebas
bersaing memperebutkan kepemimpinan politik (Held, 2007 : 179).
Pada prakteknya, demokrasi ala Schumpeterian tersebut hanya terbatas kepada
kalangan elit desa saja. Artinya walaupun regulasi itu lahir dengan semangat
demokrasi yang memberikan kesetaraan kesempatan bagi siapa saja untuk mengikuti
kontestasi politik, namun kenyataannya hanya segelintir orang saja yang menjadi
kontestan dalam setiap Pilkades. Kondisi ini berhubungan erat segala persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait lainnya.
2. Struktur Sosial Patron Klien
Menjadi menarik adalah munculnya fenomena regenerasi dan pejabat yang akan
berada di birokrasi melalui sebuah skenario di mana kepala daerah calon termasuk kepala
desa berasal dari darah atau ikatan keluarga dengan pejabat incumbent. Ini adalah cermin
dari aristokrasi dalam praktik demokrasi kita. Posisi adalah amanah yang dipercayakan
8
oleh masyarakat kepada mereka yang berkompeten dan benar-benar mampu
melaksanakan tanggung jawab secara profesional, untuk menuju posisi terendah dalam
pemerintahan desa bahkan sebagai kepala desa, kehadiran karakteristik birokrasi lokal di
desa mengarah pada pembentukan dinasti atau tidak atau aristokrasi birokrasi menjadi
penting adalah adanya partisipasi masyarakat untuk mengawasi proses pembuktian proses
pemilihan desa dianggap memenuhi prosedur atau hanya skenario posisi turunan.
Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini, perlu
diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan bersifat permanen dan
tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat memutuskan hubungan tersebut.
Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron. Pemikiran Scott tadi dapat
disederhanakan seperti berikut ini :
Tabel 1.1
Arus Pertukaran Materi dan Jasa
Antara Dinasti Kepala Desa dan Klien
Arus Pertukaran Materi dan Jasa
No Dari Dinasti Kepala Desa
ke Klien
No Dari Klien ke Dinasti
Kepala Desa1. Distribusi sumber
daya ekonomi1. Dukungan suara pada setiap
Pilkades
2. Lapangan kerja 2. Dukungan terhadapkinerja patron
3. Jabatan formal di desa 3. Membela patron dalamkonflik
4. Pelayanan spiritual
Menurut Patrick Spread (dalam Samsul Komar, 2013: 19-20) bahwa konsep
patron-klien berangkat dari teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang
9
dikemukakan oleh Blau, bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan
keadaan sosial adalah menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan. Maksudnya struktur
kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang tidak seimbang.
Ketidak seimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan kekuasaan dan ketidakseimbangan
rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan dengan dasar hubungan patron-klien.
3. Ketiadaan Masyarakat Sipil
Civil society secara terminologis dapat diartikan masyarakat sipil, masyarakat
kewarganegaraan, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya. Jadi civil society dapat
dipahami sebagai sebuah ruang (space) sebuah Negara, di mana di dalamnya hidup
sekelompok individu dengan semangat toleransi yang tinggi dalam jalinan komunikasi dan
interaksi yang sehat, serta terwujudnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan
kebijakan publik.
Terdapat lima poin penting dalam civil society, antara lain:
1) Partisipasi rakyat, rakyat dalam sebuah masyarakat madani tidak akan bergantung secara
penuh terhadap Negara, akan tetapi ia akan berupaya meningkatkan kualitas hidup dan
dirinya secara mandiri.
2) Otonom, artinya sebagai masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri, selalu
mengembangkan daya kreatifitas untuk memperoleh kebahagiaan dan memenuhi tuntutan
hidup secara bebas dan mandiri.
3) Tidak bebas nilai, masyarakat madani sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral
kemanusiaan agar apa yang dikerjakan selalu berada dalam jalur kebajikan dan menghasilkan
dampak positif yang membangun dirinya (masyarakat) secara umum, yang bersumber pasa
10
sisi-sisi religi, unggah-ungguh yang berlaku, menjelma dan mengakar dalam budaya
masyarakat. (Nasiwan, 2010: 162)
4) Menjunjung tinggi rasa saling menghargai, menghormati dan menerima segala bentuk
perbedaan. Terwujud dalam badan organisir yang rapi, modern dalam upaya penciptaan
hubungan stabil antar elemen masyarakat. (Nasiwan, 2010: 163).
E. Metode Penelitian
Metode yang dilakukan untuk mengolah dan menganalisis penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif sebagai metode penelitian untuk membuat
gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan
akumulasi data dasar belaka.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif dan berbentuk Partisipatory
Action Research, dimana peneliti tidak hanya mencari data dan menginterpretasikan data
tetapi juga terlibat dalam setiap kegiatan dari objek penelitian.
2. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah Kampung Meidodga Distrik Testega
Kabupaten Pegunungan Arfak, informan dalam pelaksanaan penelitian ini berjumlah 20
orang yang terdiri :
1. Kepala Desa / Kampung
2. Sekretaris Desa / Kampung
3. Seksi Pemberi layanan
4. Tokoh masyarakat
11
5. Masyarakat umum dan
6. Pemuda desa
b. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah sasaran penelitian yaitu menelaah atau mengkaji tentang
dinasti politik desa.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi pelaksanaan penelitian dilakukan di Kampung Meidodga Distrik Testega
Kabupaten Pegunungan Arfak
4. Jenis Data dan Tipe Penelitian
a. Jenis Data Penelitian
Jenis data penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif dan berbentuk Partisipatory
Action Research, dimana peneliti tidak hanya mencari data dan menginterpretasikan data
tetapi juga terlibat dalam setiap kegiatan dari objek penelitian. b. Tipe Penelitian
Tipe penelitian participatory action research, maka kedudukan peneliti sebagai
pengamat.
5. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian akan dipergunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Observasi
b. Metode Wawancara
c. Metode Focus Groups Discusion (FGD)
d. Dokumentasi
12
6. Tehnik Analisis Data
Teknik analisa data yang dipergunakan adalah analisa data secara kualitatif dalam hal
ini peneliti memberikan penjelasan, menginterpretasikan dan memformulasikan
permasalahan penelitian secara reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi.
13
BAB II
A. Gambaran umum Kampung Meidodga
Kampung Meidodga adalah salah satu kampung induk dari 15 Kampung yang berada di
bawah pemerintahan Distrik Testega, Kabupaten Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat.
Kampung Meidodga berada berdekatan atau bersamaan dengan Enam Kampung Lainya yang
dipisahkan suatu sungai besar yaitu (sebyar) dari delapan Kampung yang berdekatan dengan
Ibu Kota Distrik Testega. Enam kampung tersebut adalah, Kampung Kampung Iba, Kampung
Morumfeyi, Kampung Dumbrey, Kamung Meksi, Kampung Mofoukeda dan Kampung
Meigahanau. Yang menjadi Tujuh Kampung persiapan Pemekaran Distrik Baru, Yang sedang
di perjangan yaitu Distrik Meidodga.
Jarak tempuh dari Kampung Meidodga ke Ibu Kota Distrik Testega di tempuh kurang-
lebil 10 jam dengan berjalan kaki, melewati dua gunung besar dan dua sungai, kebutuhan
makan seperti beras, garam, minyak goreng dan lainnya bahkan bahan bangunan untuk
membangun Kampung masayarakt memikul dan berjalan kaki lalui hutan dan dan jalan tikus
tersebut. karena ruas jalan yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak
masih sampai di Ibu Kota Distrik Testega. Kampung Meidodga awalnya dibentuk sejak Tahun
1971 dengan sebutan nama “Manir Meidudga” namun belum sah atau tidak diberikan SK.
setelah di berikan SK dan menjadi Kampung adalah pada Tahun 1995.
14
Kepala
Kampung
Sekretaris
Kampung
Kaur
pembangunan
Kaur
Pemerintahan
Kaur
Kesrah
Kaur
Umum
Struktur Pemerintahan Kampung Meidodga
1. Struktur Pemerintahan Kampung Meidodga
Data :Kampung Meidodga 2019
Struktur organisasi ini tidak pernah mengalami peningkatan ataupun penurunan,
sejak ditetapkan sebagai kepala Kampung Meidodga tahun 1995-2004 yang di jabat oleh
Abraham Meidodga ini merupakan suatu rekor yang tidak terkalahkan setelah meninggal di
gantikan oleh Adrianus Meidodga tahun 2004-2019 ini diteruskan oleh adik kandungnya
sehingga jabatan kepala kampung tidak tergantingan lagi atau dengan kata lain kepala
kampung akan di jabat sampai habis keturunannya.
B. Kondisi Alam
Suhu udara yang sejuk, sumber air yang melimpah, dan tanah yang subur adalah
jawabannya. Testega adalah nama salah satu distrik di Pegunungan Arfak (Pegaf). Perjalanan
ke Kabupaten Pegunungan Arfak (Pegaf) dari Manokwari harus melalui jalan yang amat tidak
baik.
15
Untuk diketahui, hanya ada dua pilihan ke Kota Testega, dan pusat Kabupaten Pegaf.
Pertama, menggunakan jalan darat yang melewati hutan, sungai, dan berbagai rintangan, yang
kedua menggunakan pesawat yang hanya ada ada di hari Sabtu.. Beragam potensi wisata alam
ada di sini, mulai dari danau kembar, pengamatan burung dilindungi, kupu-kupu, hingga
budaya lokal yang masih terjaga
Produk holtikultural, teh, dan kopi merupakan sebagian jenis tanaman yang cocok
berkembang di daerah dingin seperti Pegaf. Belum pernah sepanjang sejarah terdapat
perkebunan teh di Pegaf. Satu bukti bahwa kopi memang sudah ‘sempat’ ditanam kami dapati
dari cerita seorang warga yang kami temui di ibukota kabupaten. Ia yang tak sempat
menyebutkan nama bilang, “Pohon kopi tu dong ada kase hidup di beberapa tempat” “Akang
su liar, trada yang ambil panen”. Sang Bapak menyebutkan bahwa ada beberapa tempat yang
ditumbuhi pohon kopi. Kopi-kopi tersebut tumbuh begitu saja (liar) dan tidak ada yang
memanennya.
C. Penduduk
Data jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga hanya bisa didapat dari Sensus
Penduduk (SP) dan Survei Penduduk antar Sensus (SUPAS), dimana Sensus Penduduk
dilaksanakan pada tahun-tahun yang berakhiran nol, sedangkan SUPAS dilaksanakan pada
tahun yang berakhiran lima. (sepuluh dan lima tahun sekali) Dengan demikian, untuk tahun-
tahun yang berakhiran selain nol dan lima, dengan demikian jumlah penduduk diperoleh dari
DPT Kampung adalah Jumlah KK 208, Laki-laki 112 dan perempuan 96.
D. Kondisi Masyarakat
Masyarakat Kampung Meidodga tergolong masyarakat yang hetorogen, bahwa agamanya
satu yaitu Kristen Protestan. namun terdiri dari 6 (Enam) turunan keluarga, walau di Desa
16
Meidodga satu suku namun terdapat tiga Bahasa yang memiliki sifat dan sikap yang berbeda
dalam nenaggapi suatu permasalahan. beberapa keluarga tersebut adalah keluarga Etma Efeji,
Ifun, Yoduma, Insruk dan Merohom serta Mofoukeda kesukuan masyarakat adalah suku
meyah, Namun bisa mengunakan beberapa bahasa yang ada disekitarnya karena pengaruh
lingkungan dan kawin silang.
Kenyataannya ini diketahui bahwa kegiatan dan keadaan kebudayaan tidak dapat
mengarahkan persamaan dan kesatuan mereka dalam berbagai macam kegiatan. Namun disisi
lain masyarakat telah cukup baik kesadarannya, dimana mereka telah banyak mengadakan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan baik bagi dirinya maupun orang lain. Yang bersifat
kemasyarakatan seperti kegiatan gotong royong yang dikerjakan secara bersama-sama baik
gotong royong yang bersifat memperingati hari-hari besar Kerohanian dan hari-hari Acara
adat lainya mereka mempunyai tradisi dan budaya yang bervariasi walaupun satu suku namun
ada berbagai budaya dikampung Meidodga.
di lingkungan masyarakat Kampung Maidodga terdapat sarana kesehatan, yang
sseharusnya di gunakan masyarakat, sarana kesehatan yang ada di Kampung Meidodga adalah
Pustu sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat, jadi sarana kesehatan yang ada
berjumlah satu buah, sarana kesehatan ini merupakan sarana pengobatan bagi masyarakat
yang membutuhkan pelayanan medis, namun tenaga medis untuk melakukan pelayanan di
Pustu tidak ada.
Tenaga kesehatan di Kampung Maidodga tidak memadai walau hanya ada
mantri/perawat namun tidak aktif di tempat tugas melakukan pelayanan bagi masyarakat
Kampung Maidodga, keberadaan tenaga kesehatan seperti ini tentu tidak cukup membantu
dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Kampung Maidodga.
17
Sarana pendidikan yang ada diwilayah Kampung Meidodga kurang memadai artinya
masyarakat yang membutuhkan sarana pendidikan untuk memasukkan putra-putrinya
kesekolah maka hanya menghubungi pihak sekolah, yang adalah sekolah Dasar saja. sarana
pendidikan di meidodga hanya tersedia satu SD, sedankan SLTP dan SMU, berada di ibu kota
kecamatan testega.
E. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Kampung Meidodga meliputi sektor pertanian,
peternakan, perdagangan. Pada sektor pertanian, komoditas tanaman petani Meidodga antara
lain Umbi-umbian, cabai, bawang merah dan tanaman Buah Merah. Kegiatan di sektor
perikanan antara lain pengolahan hasil pertanian. Sektor peternakan menjadi salah satu
komponen aktivitas ekonomi masyarakat Meidodga, rata-rata setiap keluarga memiliki salah
satu hewan ternak baik sejenis unggas, kambing maupun babi.
Pada umumnya penduduk kampung Meidodga bermata pencaharian sebagai petani
dengan mengelola alam lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semua itu
disebabkan karena kampung meidodga sebagian besar merupakan daerah perkebunan, tidak
mengherankan jika sebagian besar masyarakatnya bermata pencahrian sebagai petani. Namun
demikian, walaupun sebagian besar adalah petani, ada sebagian masyarakat yang bermata
pencahrian jenis lain seperti buruh, pedagang, pegawai negri sipil dan peternak.
18
BAB III
STRUKTUR SOSIAL PATRON KLIEN
A. Patron-Klien.
Patron Klien berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti
“seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh” (Usman,
2004: 132). Sedangkan “klien” berarti “bawahan” atau orang yang diperintah dan yang
disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok
komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun
penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior),
dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior).
Atau dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk
membantu klien-kliennya (Scott, 1983: 14 dan Jarry, 1991: 458). Pola relasi seperti ini di
Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan
kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended
family (Jackson, 1981: 13-14). Setelah itu, bapak harus siap menyebar luaskan tanggung
jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal, tidak
ideologis dan pada dasarnya juga tidak politis.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik patron maupun klien masing-masing
memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan dalam sebuah
hubungan pertukaran. Artinya pertukaran dapat terjadi ketika sumber daya yang
diberikan oleh patron dapat diterima oleh klien, dan sebaliknya patron dapat pula menerima
sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan demikian, walaupun di awal disebutkan
19
bahwa hubungan patron-klien merupakan hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun
kenyatannya hubungan yang terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini, di
Kampung Meidodga Distrik Testega, Kabupaten Pegunungan Arfak terdapat hubungan
antara patron dan klien telah ada sejak lama, masyarakat memposisikan orang yang memilik
kekuatan adat, mempunyai sumber daya baik spiritual maupun material sebagai orang yang
dipercayakan dalam suatu persoalan yang terjadi di masyarakat. Orang-orang seperti ini tidak
lain adalah kepala Suku dan kepala Kampung mereka yang memiliki kekuasaan dalam hal
urusan adat bahkan urusan pemerintah.
Ketika ada persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat seperti anak laki-laki
yang menikahi anak Perempuan dan urusan adat maka kepala Kampung dengan segera
menyelesaikan diantara kedua belah pihak dengan memberikan harta, bisa harta kain timur,
uang atau babi dengan maksud agar mereka yang mendapatkan bantuan dari seorang Kepala
Kampung tetap mendukung kepala kampung ketika menghadapi situasi sulit termasuk
mendapatka dukungan untuk menjadi kepala Kampung.
Di Kampung Meidodga telah dua kali pergantian kepala Kampung dari sang ayah
kepada anak dan selanjutnya kepada adik kandungnya tanpa ada tantangan atau kritikan dari
pihak mana pun. Karena hampir rata-rata masayarakat Kampung Meidodga adalah klienya.
Mereka tetap saja memberikan dukungan kepada sang kepala Desa sebagai wujud balas budi
atas pemberian atau bantuan yang diberikan sebelumnya.
B. Oligarki
Sejak lama kaum-kaum oligarki di Indonesia dibahaskan dengan politik dinasti,
dinasti-dinasti dipusat hingga ke daerah terus bersaing untuk mendapatkan kekuasaan.
20
Seperti diketahui bahwa oligarki adalah suatu bentuk dari struktur kekuasaan dimana
kekuasaan efektif ini berada di tangan kaum minoritas orang.
Di Kampung Meidodga telah terjadi politik dinasti yang telah berjalan dan masih
bertahan. Kaum oligarki di kampung Meidodga adalah berdasarkan ikatan keluarga. ikatan
keluarga tersebut adalah dari turunan keluarga. Yakni keluarga Etmafeji. Bapak etemaefeji
adalah tokoh pendiri Kampung Meidodga. Selain itu ada juga keluarga yang lain yang
sering berkontestasi dalam pemilihan kepala Desa Meidodga yakni, keluarga Ifun,
Yoduma, Insruk dan Merohom dan kelompok dari keluarga ini tumbuh menjadi kuat dan
bersaing dalam pilkades Kampung Meidodga. Jadi mendekati pilkades tahun 2004
kelompok-kelompok dari keluarga ini berkompetisi dalam pilkades yang terjadi saat itu.
Namun pilkades dimenangkan oleh kelompok Etma Efeji yang tidak lain adalah anak dari
pendiri Kampung Meidodga tersebut.
Sehingga diketahui bahwa keluarga Etma Efeji ini telah menduduki jabatan
kepala Kampung mulai dari Bapak Etma Efeji itu sendiri dari Tahun 1971 hingga 1995
walau itu hanya sebatas nama, kemudian dilanjutkan anaknya Abraham Meidodga dari
tahun 1995-2004 dan dilanjutkan Oleh Adrianus Meidodga yang adalah anak ke dua dari
Bapak Etma Efeji, dari 2004 sampai saat ini.
Dari kelompok-kelompok ini keluarga lain tidak berhasil dalam memperebut
jabatan kepala kampung karena keluarga Etma efeji ini memiliki banyak dukungan dari
klien dan mengunakan kekerasan yang kemudian membuat masyarkat tidak menentukan
pilihan kepada calon kepala kampung secara langsung dan bebas. Persaingan terjadi karena
kepala kampung periode 1995-2004 tidak transparan dalam menjalangkan tugasnya. Hal
semacam ini kemudian membuat keluarga-keluarga ini untuk bersaing dengan harapan agar
21
jabatan kepala kampung tidak disalah gunakan oleh keluarga yang satu terus-menerus.
Namun sayangnya persaingan itu tidak mendapatkan hasil yang baik.
C. Demokrasi
Sistem demokrasi terbuka dimana setiap manusia dihargai satu suara (one man
one vote ) memang memungkinkan bagi tumbuh suburnya politik dinasti. Terlebih jika
mengacu pada dalil demokrasi bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk
memilih dan dipilih. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dinasti politik yang berkembang
selama ini telah mencedari esensi demokrasi itu sendiri. Demokrasi dicirikan dengan
pertma, suksesi kepemimpinan yang terbuka, melalui mekanisme pemilihan umum yang
adil, jujur dan terbuka dan kedua, rakyatlah pemegang kedaulatan, bukan pemerintah.
Dengan maraknya dinasti politik, ciri dari demokrasi tersebut berada dalam
ancaman besar. System kekuatan dan keseimbangan dipastikan tidak berjalan efektif
manakala semua lini dikuasai orang-orang sekerabat. Rapat-rapat atau siding-sidang yang
sedianya menentukan hajat hidup orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga. Begitu
pula dalam suksesi kepemimpinan yang adil dan terbuka, mustahil hal itu bisa terwujud
jika jabatan-jabatan politis digilir dan diperebutkan orang-orang yang masih dalam
lingkaran keluarga.
Hal seperti ini terjadi pula di Kampung Meidodga Distrik Testega, dimana
system demokrasi yang dicita-citakan tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat setempat.
Dimana kelompok dari keluarga-keluarga yang berada di Kampung Meidodga tersebut
hanya memiliki cita-cita untuk bisa menduduki jabatan kepala kampung namun impian itu
tidak terwujud karena kekuatan keluarga yang satu lebih kuat akhirnya membuat keluarga
yang lain terabaikan.
22
Dengan kekuasaan yang dimiliki keluarga penguasa maka dengan gampang
mendapatkan dukungan yang tentu dengan berbagai macam cara termasuk mengunakan
kekerasan terhadap masyarakat untuk memberikan dukungan kepada dirinya agar tetap
menjadi penguasa. Misalnya dari keluarga-keluarga yang lain juga ikut bersaing dalam
pemilihan kepala Desa namun mereka selalu mendapatkan tekanan-tekanan dari keluarga
penguasa tidak hanya itu saat pemilihan kepala kampung semua masyarakat tidak
menentukan pilihanya, hanya diwakilkan orang-orang yang dituakan dalam musyawarah
orang-orang tertentu yang kemudian menyampaikan pandangan, masukan dan menentukan
kepala kampung.
hal-hal ini membuktikan bahwa proses politik yang demokratis masih jauh dari
harapan. Karena system pemilihan yang langsung, adil, jujur dan terbuka tidak berlaku di
kampung Meidodga.
D. Aristokrasi
Di Kampung Meidodga kekuasaan kepala kampung telah dipertahankan dan berada di
keluarga Etma Efeji yang merupakan tokoh pejuang kampung. Kepala kampung saat ini
yang adalah anak dari Etma Efeji tersebut telah menglaim bahwa Kampung Meidodga
adalah milik keluarga itu saja. Karena orang tuanya yang menjadi orang pahlawan, sehingga
jabatan ini harus diwariskan secara mutlak berdasarkan garis keturunan kepada dia bahkan
tidak cukup sampai dia saja namun, anak-cucu dari keluarga Etma Efeji itu sendiri.
Sebagian masyarakat yang merupakan klien dari penguasa selalu memberikan
dukungan kepada kepala kampung agar terus-menerus mempertahankan jabatannya. itu
sebagai wujud penghormatan terhadap keluarga yang telah berjasa kepada mereka. Namum
sebagian warga yang adalah turunan dari keluarga lain mempersoalkan itu dengan satu
23
tindakan yaitu bahwa mereka akan bersaing dalam pemilihan kepala desa agar jabatan
kepala desa bisa direbut demi pelaksanaan pembangunan di kampung yang transparan dan
akuntabel. Atau kata lain agar keluarga yang lain pun menjadi penguasa.
Terkait dengan pelaksanaan pembangunan di kampung Meidodga masih terlihat
masih kurang transparan, seperti program dana desa yang dikuculkan oleh pemerintah pusat
bahkan dana otonomi khusus yang di salurkan pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk
dikelola oleh desa. Namun dengan kekuasaan yang aristokrasi tersebut membuat kepala
kampung tidak mengelola keuangan ini dengan baik. Tidak berpegang pada prinsip
transparansi dan akuntabelitas. Dimana dalam penyusunan perencanan pengunaan anggaran
hanya dilakukan oleh pemegang kepentingan di kampung, begitupun pelaksanaanya pun
dilakukan sepihak. Hal ini membuat masyarakat tidak puas atas pekerjaan yang di
laksanakan oleh pemerinta kampung karena tidak mengetahui dana yang dikelola secara
baik.
24
BAB IV
KETIADAAN MASYARAKAT SIPIL
A. Kondisi Organisasi
Untuk kondisi organisasi formal ditengah-tengah masyarakat Kampung Meidodga
belum ada. Yang ada hanya Paguyuban yang menghimpul warga yang punya kreasi, yang
punya keterampilan suara yang baik dan berkualitas mereka mengelola sanggar musik
tradisional yang bertugas melestarikan lagu-lagu lokal khas Pegunungan Arfak dan jenis
tarian masyarakat Kampung.
Selain Paguyuban yang mengurusi tarian dan seni musik, ada juga Paguyuban warga
Kampung yang bergerak di bidang pendidikan. Khusu untuk Paguyuban satu ini pokus pada
pemberdayaan masyarakat. Dimana mereka bertugas memberikan pelatihan atau proses
belajar mengajar secara informal dirumah-rumah warga secara bergiliran. Yang menjadi
penggerak dari Paguyuban ini adalah para mahasiswa asal Kabupaten Pegunungan Arfak
didampingi langsung oleh professional atau relawan dari daerah lain yang peduli dengan
perkembangan pendidikan di sana.
Selain itu aktivitas lain yang menjadi sasaran bidikan Paguyuban ini, yakni
memperkenalkan beberapa tradisi dan kebudayaan setempat kepada warga luar yang
berkunjung di sana. Artinya, Paguyuban ini lah yang dipercayakan oleh masyarakat sebagai
pembimbing yang membimbing kegitanan-kegiatan agama dan budaya lokal.
Sehingga dapat difahami bahwa hampir semua Paguyuban yang ada disekitar
Kampung sangat berkontribusi secara maksimal dalam membangun Kampung Meidodga
mulai yang berkaitan dengan pendididkan, kesenian, tari-tarian tradisional, dan lagu khas
25
masyarakat kampung. Karena itu tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa pilar
utama bagi masyarakat Kampung Meidodga adalah keberadaan Paguyuban.
Untuk organisasi Formal sama sekali tidak ada, seperti LSM dan lainya artinya
sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengontrol atau mengawasi pemerintah kampung
selama ini belum ada. Walaupun beberapa wadah tersebut di atas berperan dalam
pembangunan di kampung terutama dalam pengembangan pemberdayaan sumber daya
manusia, namun dalam hal politik belum ada lembaga yang mengawasi nya.
Ketidak tumbuhnya masyarakat sipil ini benar-benar terjadi di kampung Meidodga,
padahal jika kita lihat di daerah-daerah yang sudah maju bahwa lembaga yang diwadahi
masyarakat merupakan actor terpenting dalam proses pembangunan di suatu desa. Lembaga
seperti ini dibentuk atas ketidakadilan seorang atau kelompok pemimpin yang berkuasa dan
mengunakan kekuasaan untuk kepentingan diri-sendiri. Kondisi ini memberikan peluang
kepada kepala kampung, yang adalah penguasa di Kamapung Meidodga untuk melakukan
dinasti politik secara terus-menurus di Kampung Meidodga.
B. Badan Permusyawaratan Kampung
“Badan Permusyawaratan Kampung (Bamuskam) merupakan lembaga yang
melaksankan fungsi pemerintahan Kampung yang anggotanya merupakan wakil dari
penduduk Kampung berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.”
(UU No 6 Tahun 2014 Tentang Kampung Pasal 1).
Dalam sistem pemerintahan Kampung, pemerintahan Kampung akan berjalan efektif
apabila unsur-unsur atau lembaga-lembaga penyelanggara pemerintahan Kampung dapat
berjalan dengan baik. Jika unsur atau ada bagian dari sistem penyelengara pemerintahan
26
Kampung tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan
perundang-undangan maka akan menghambat jalannya pemerintahan Kampung.
Salah satu Kampung di Kabupaten Pegunungan arfak yang kondisi Badan
Permusyawartan Kampung (Bamuskam) masih lemah adalah Kampung Meidodga
Kecamatan Testega. Oleh karena, ada beberapa faktor penyebab terjadinya lembaga
perwakilan rakyat kampung ini mejadi lemah, diantaranya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat kurang memada dan mereka ini sebagian besar merupakan klien dari pengusa di
Kampung Meidodga. Karena pengetahuan tidak memadai untuk memahami tugas sebagai
lembaga yang mengontrol kepala kampung ini membuat mereka hanya mengikuti perintah
dari kepala kampung baik dalam perumusan kebijakan dan pilkadse.
Dengan demikan penulis menyimpulkan bahwa di Kampung Meidodga pemahaman
lembaga Badan permusyawaratan kampung tidak memadai dalam menjalankan tupoksinya.
Sebagian dari mereka adalah klien dari kepala kampung, realita ini sehingga memberikan
peluang kepada kepala kampung untuk mempertahankan kekuasaan sebagai kepala
kampung samapai dengan saat ini.
27
BAB V
DINASTI POLITIK DESA MEIDODGA
Harusnya prinsip demokrasi adalah terbuka bahwa setiap warga Negara memiliki
hak yang sama untuk dipilih dan memilih, namun tidak dipunkiri bahwa dinasti politik yang
selama ini mencedarai esensi dari demokrasi itu sendiri. Ciri dari demokrasi itu ada tiga
karakter, pertama, pembagian kekuasaan ala trias politika yakni Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif dimaksudkan agar terjadi proses keseimbangan antar lembaga pemerintah. Kedua,
demokrasi dicirikan dengan suksesi kepemimpinan yang terbuka melalui mekanisme
pemilihan umum yang adil, jujur dan terbuka. Ketiga, kedaulatan ada di tanggan rakyat bukan
pemerintah atau politisi. Dengan maraknya pinasti politik, tiga Pilar demokrasi tersebut
berada dalam ancaman besar, sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif
manakala berbagai daerah dikuasai orang-orang yang sekerabat.
Seperti halnya di Kampung Meidodga kekuasaan kepala kampung dari awal
pembentukan kampung hingga dengan saat ini sudah empat puluhan tahun lebih masih dijabat
satu keluarga, turun-temurun dari sang ayah kepada anak kandung merupakan hak waris yang
ditinggalkan ayah kepada anak.
Politik dinasti ini akan merusak tatanan demokrasi sebab pemerintahan yang berasal
dari keluarga atau kerabat sebagian hanya mencari keuntungan untuk keluarganya bukan
untuk kesejahteraan masyarakat. Politik dinasti juga akan mengurangi kesempatan orang lain
untuk menduduki jabatan, mereka akan menempatkan keluarga atau saudaranya untuk
menduduki jabatan strategis, meskipun mereka tidak memiliki intregritas atau kemampuan
dalam bidang pemerintahan.
28
Masyarakat hanya disuguhkan aktor-aktor yang itu-itu saja yang berasal dari satu
keluarga, sehingga banyak orang kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
dalam bidang pemerintahan.
A. Asal-usul Politik Dinasti Meidodga
Dominasi politik dinasti di kampung Meidodga telah dirintis sejak lama bahkan
sebulum perubahan rezin dari orde baru ke orde Reformasi dimana sejak itu belum terbentuk
sebagai kampung, hanya sebatas penunjukan oleh bupati sebagai kepala wilayah atau kalau
saat ini lebih dikenal kepala suku. Bapak Etma Efeji adalah tokoh orang pertama yang di
tunjuk untuk bertugas mengayomi masyarakat adat dalam suatu wilayah di Meidodga yang
kemudian dilanjutkan anak pertama Abraham Meidodga dari tahun 1995-2004 bahkan
setalah itu dilanjutkan oleh Anak keduanya Adrianus Meidodga sampai saat ini. Diketahui
juga bahwa dalam kurung waktu kurang-lebih 47 Tahun ini, beru dilakukan dua kali
pergantian.
Politik dinasti di Meidodga dapat bertahan karena ada beberapa faktor-faktor
pendukungnya diantaranya. Pertama, membentuk kekuatan klien yang yang kuat dan telah
dipelihara sampai saat ini. Karena dengan dukungan dari klien yang sanggat banyak akan
berpengaruh terhadap kekuasaan. kedua, ketiadaan masyarakat sipil, Masyarkat sipil
Kampung Meidodga yang kurang pemahaman dan tidak pernah aktif dalam suatu pemerintah
tentu kemudian memberi peluang kepada keluarga Etma Efeji ini selalu memegang kendali
kekuasaan. Ketiga, Keluarga penguasa terus mengunakan kekerasan untuk mendapatkan
dukungan. Masyarakat lebih dikenal dengan keharmonisan dan gotong-royong sehingga tidak
menghendaki adanya perbedaan pemahaman apalagi ketika terjadi konflik antarkeluarga.
29
Oleh karena itu, ketika penguasa memaksakan untuk mereka memberikan dukungan maka
selalu ikuti saja.
Menurut data dari hasil penelitian bahwa proses pemilihan yang melibatkan
beberapa keluarga di Kampung Meidodga ikut serta dalam kontestasi adalah pada tahun
2004.
Keluarga Ifun dan Merohom merupakan keluarga yang tidak puas atas kepemimpinan
dari dinasti ini, karena mengunakan wewenang sebagai kepala kampung hanya untuk
melayani beberapa keluarga tertentu. Yaitu dana Bantuan Desa hanya digunakan untuk
kepentingan keluarga atau orang-orang yang adalah klienya. Keluarga klien yang sebagai
pendukung dinasti adalah Keluarga Yoduma, Keluarga Insruk dan keluarga Mofoukeda. Tiga
Keluarga tersebut yang selalu mendapatkan bantuan dari kepala kampung.
Sehingga dapat diketahui bahwa pemilihan saat itu dua keluarga tersebut maju dengan
tujuan agar bisa menjadi penguasa, karena dengan memegang kekuasaan kepala kampung
bagi masyarakat di Meidodga dan Pegunungan Arfak pada umumnya adalah suatu
kebangaan, karena dia akan dihargai dan hormati dan segalah harta kekayaan dengan
sendirinya datang.
Namun kemenangan dimenangkan oleh Adrianus Meidodga yang masih berkuasa
sampai saat ini. Politik dinasti berhasil dipertahankan keluarga karena yang bersangkutan
adalah adek kandung dari kepala kampung sebelumnya yang tentu memiliki cukup modal
atau harta untuk dapat mempengaruhi masyarakat.
Keluarga Etma Efeji terus mengendalikan jabatan kepala kampung ini sebagai wujud
pemberian dukungan dari kliennya. Dimana yang bersangkutan beserta kakaknya kepala
kampung sebelumnya selalu membantu masyarakat dalam memberikan harta, berupa kain
30
timur, uang, babi dan harta lainya dalam acara adat, seperti pernikahan, Natalan bahkan
dalam kejadian yang adalah masalahpun penguasa ini selalu ada sehingga dengan bantuan-
bantuan yang diberikan ini dirasakan sebagian besar masyarakat. Dan sebagai wujud balas
budi maka masyarakat memberikan dukungan kepada yang bersangkutan hingga
mempertahankan jabatan kepala kampung di Kampung Meidodga. Hal ini yang kemudian
membuat dinasti Meidodga dengan gampang mendapatkan dukungan dan dapat betahan
sampai saat ini.
B. Pemilihan Secara Tidak Langsung
Pemilihan kepala desa dilakukan secara langsung oleh masyarakat desa yang terdaftar
dengan memilih langsung calon kepala desa yang dianggap oleh masyarakat mampu membawa
aspirasi masyarakat dan pembangunan desanya. Kepala desa harus dipilih langsung oleh
penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat dan pemilihan kepala desa bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Kepala Desa dipilih berdasarkan asas langsung, umum,
bebas dan rahasia oleh penduduk desa warga Negara Indonesia yang telah berumur sekurang-
kurangnya 17 tahun atau telah/pernah kawin.
Namun dalam penelitian ini penulis menemukan fakta dilapangan bahwa dalam
pemilihan kepala kampung di Kampung Meidodga tidak mengedepankan asas langsung,
umum, bebas, dan rahasia dengan warga desa setempat namun dilakukan secara aklamasi
kenyataan semacam ini dapat di akui bahwa desa-desa di Indonesia memiliki banyak variasi
dalam cara pemilihan kepala desa yang satu dengan desa yang lain sesuai dengan adat
kearifan lokal masing-masing daerah, termasuk di kampung Meidodga, Distrik Testega
Kabupaten Pegunungan Arfak.
31
Kampung Meidodga proses pemilihan kepala kampung jauh sangat berbeda dengan
desa-desa lainya di daerah-daerah maju lainya. Dimana pemilihan hanya dilakukan
berdasarkan musyawarah untuk menunjuk atau mengangkat calon kepala kampung yang telah
dicalonkan. Cara ini telah dilakukan dikampung meidodga dalam dua kali pergantian berturut-
turut.
Alur pemilihan di kampung Meidodga jauh berbeda dari pemilihan kepala desa pada
umumnya mulai dari persiapan anggaran, pembentukan panitia sampai pada pemilihan.
Seperti disampaikan oleh kepala kampung Bpk. Adrianus Meidodga dalam wawancara sebag
ai berikut:
Waktu itu kita hanya percayakan beberapa orang untuk memfasilitasi rapatatau musyawarah, kita tidak pakai dana karena sudah ada makanan pokok. sesudah itulangsung rapat, beberapa orang yang mau jadi kepala kampung juga ikut rapat danmasayarakat menentukan, dari calon-calon itu siapa yang menurut mereka baik,setelah ditunjuk dan tidak ada perbedaan pendapat langsung ditetapkan jadi kepalakampung baru. (wawancara pada tanggal 2 januari 2018)
Dari wawancara diatas dapat di analisis bahwa proses pemilihan dikampung Meidodga
berbeda dengan desa-desa pada umumnya, dimana hanya dilakukan seperti rapat-rapat biasa,
jika dikaitkan dengan peraturan perundan-undangan maka hal ini tentu bertentangan dengan
asas pilkades secara langsung.
Masyarakat Kampung Meidodga masih dikatakan sebagai masyakat yang belum
mengenal perkembangan zaman. Terutama prosedur pemilihan kepala Kampung, bahkan
Pilkades dilakukan dengan cara aklamasi karena masyarakat belum memahami aturan terkait
pemilihan kepala kampung. Suatu ketidak tahu-an membuat sesorang atau sekelompok
masyarakat mudah dipengaruhi orang lain, entah dalam tujuan baik atau tidak, yang penting
untuk kepentingan orang tertentu.
32
Berikut wawancara dengan salah satu masyarakat Kampung. Bpk. Benias Meidodga
Menurut saya itu, sesuai dengan kondisi kita yang seperti saat ini harus ada aturan dari atasanyang menegaskan kepala Kampung supaya dia bisa takut dan bisa laksanakan pemilihan inidengan baik. Pemrintah kabupaten harus bertindak tegas karena masalah pemilihan yangbegini saya lihat semua kampung yang ada di pegaf ini sama. Tidak hanya kita di Meidodgasaja, kampung lain juga ereka hanya tunjuk-tunjuk saja. Padahal pemilihan kepala kampungjuga ada prosesnya dan harus kita pilih langsung seperti kita pilih Bupati. (wawancara padatanggal 4 Januari 2018 ).
Dari hasil wawancara tersebut membenarkan bahwa kepala kampung bertindak atas
kehendaknya sendiri, tidak ada penegasan dari atasan, dalam hal Bupati Pegunungan Arfak
terkait aturan yang mengatur tentang pemilihan kepala kampung. Hal ini menjadi harapan
masyarakat kampung agar kedepan Pemilihan Kepala Kampung bisa dilaksanakan sesuai
aturan yang berlaku.
C. Kekusaan Dinasti Meidodga
Desa pada dasarnya merupakan wadah partisipasi bagi rakyat dalam aktivitas politik
dan pemerintahan. Fenomena dinasti kepala desa yang berdiri sejak masa orde baru dapat
dibaca sebagai kemampuan kekuatan politik lama bertransformasi. Desa-desa yang masih
primitiv mengangap bahwa perubahan rezim tidak mempengaruhi kekuasaan politik yang
telah berjalan, bahwa kecenderungan untuk mempertahankan anggota keluarga atau kerabat
dalam jaringan kekuasaan adalah hal bias.
Di Kampung Meidodga kekuasaan kepala kampung masih dipertahankan oleh satu
keluarga yang merupakan keturunan dari pendiri kampung yakni keluarga Etma Efeji yang
disebut Dinasti Meidodga tersebut. dengan berbagai cara dan strategi mereka lakukan untuk
mempertahankan jabatan kepala kampung tersebut tetap berada pada kekuasaan mereka.
33
Sehingga dapat dipahami bahwa dari perubahan rezim orde baru ke demokrasi tidak
berdampak terhadap kekusaan politik dinasti tersebut.
Fenomena budaya politik dukungan kekeluargaan atau yang biasa disebut patron-
klien tentu bukanlah sesuatu yang asing dalam perspektif politik kita, sebab kultur politik di
Indonesia telah begitu kuat mengakar. Sehingga sangat berpengaruh terhadap suatu proses
demokratisasi. Hal ini tentunya karena budaya patron klien dimana kelompok atau individu
punya ketergantungan secara politik kepada tokoh tertentu, sehingga sangat bersifat
feodalistik.
Hubungan patron klien melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang
individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) mempergunakan pengaruh
dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi
seseorang dengan status yang lebih rendah (klien). Hubungan seperti ini telah dibangun dan
kemudian dipelihara terus untuk saling memberikan keuntungan baik kepada pihak pengikut
maupun penguasa.
1. Kekuatan sumber daya ekonomi
Kemenangan dinasti politik Kampung Meidodga dalam setiap pergulatan politik pada
dua rezim pemerintahan, disebabkan oleh sejumlah besar pendukung politik yang loyal
terhadap penguasa. Masing-masing generasi kepala desa dari dinasti politik ini mampu
memelihara loyalitas pendukungnya, bahkan dari waktu ke waktu mereka mampu
memperluas jumlah konstituennya. Artinya kepala desa pertama dari dinasti politik ini telah
membangun sebuah jaringan kekuasaan, yang berhasil dipelihara dan diperkuat oleh generasi-
generasi Petinggi berikutnya dari dinasti tersebut.
34
Loyalitas para pendukung politik ini hadir bukan tanpa sebab, mereka punya alasan
tersendiri untuk tetap mendukung dinasti ini untuk memimpin kampung. Ada hubungan baik
yang terus dijaga oleh dinasti ini terhadap para pendukung politiknya, dengan memberikan
berbagai keuntungan dalam bentuk materi maupun nonmateri.
Sehingga orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaannya merasa
berkepentingan untuk terus mendukung mereka mempertahankan jabatan kepala desa, untuk
menjamin sustainabilitas distribusi materi maupun nonmateri yang mereka terima. Selain itu
pula pembangunan yang saling berkelanjutan membuat masyarakat menjadi lebih bisa
menerima akan dinasti politik ini.
Berikut ini wawancara dengan salah satu masyarakat Bpk. Enos Meidodga mengatakan
bahwa:
Hubungan kami dengan kepala kampung itu sudah dari dulu ya, dari orang tua jadi kamijaga baik. Makanya kami itu harus berikan dukungan kepada kepala kampung karena diapunya jasa baik kepada kami. Seperti kalau kami butuh bantuan atau mengalami masalahdia pasti bantu. Karena dia sudah bantu kami jadi kami juga harus bantu dia. (wawancarapada tanggal 4 Januari 2018 )
Dari wawancara diatas penulis menganalisis bahwa hubungan antara patron dan klien
di kampung Meidodga sudah terjadi sebagai ikatan keluarga yang telah dibangun dari orang
tua mereka kemudian dapat di kembangkan penerus mereka hingga dengan hari ini. Hal yang
menjadi dasar dari ikatan kekeluargaan ini adalah dengan saling member keuntungan baik
material maupun nonmaterial, dalam hal ini klien mendapatkan keuntungan dari dari
penguasa dan sebaliknya.
Penguasa tentu memiliki sumber daya material cukup untuk mempengaruhi klienya.
Karena dengan sumber daya yang cukup akan mempermudah untuk mendapatkan dukungan
35
dari berbagai pihak terutama pengikutnya. Masyarakat yang tergolong sebagai pengikut
penguasa selalu memberikan dukungan yang penuh kepada penguasa sebagai balas budi atas
sumber daya materil yang diberikan kepada mereka, hal itu dilakukan sebagai wujud ikatan
guna memelihara kepercayaan yang telah dibangun agar tidak ada batasnya.
Warga Masyarakat Ibu Jurmina Meidodga menambahkan bahwa:
Kami mendukung dia karena orangnya baik, ketika kami meminta bantuan pasti dia bantu,selama ini seperti begitu. Makanya kami percaya bahwa saat belum jadi kepala kampungsaja sudah buka tangan, apalagi kalau sudah menjabat sebagai kepala kampung pasti selalumembantu kami setiap kami membutuhkan. Jadi kita harus lihat dari orangya, bukan lihatanak atau keturunan dari penguasa. Kalau orang lain yang bukan dari keturunan penguasajuga kita bisa mendukung asal dia baik. (Wawancara pada tanggal 4 Januari 2018 )
Dari hasil wawancara tersebut membuktikan bahwa masyarakat mendukung kepala
kampung dalam merebut jabatan kepala kampung Meidodga atas dasar kebaikan. Kebaikan
kepala kampung tersebut adalah disaat memberikan harta kepada masyarakat, pemahaman
masyarakat kampung Meidodga dalam pemilu tidak melihat orang berpengetahuan dan
berpengalaman dalam mengatur pemerintahan kampung namun mereka memberikan
dukungan kepada calon pemimpin berdasarkan sifat dan karakter. Seperti calon kepala
kampung harus terbuka, ramah tama, pendekatan dengan masyarakat setempat dan selalu ada
bersama masyarakat dalam keadan apapun.
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil opservasi yang penulis temui juga bahwa
calon kepala kampung melakukan pendekatan dengan berbagai cara sebagai strategi agar
mempertahankan kekuasan jabatan kepala kampung. Seperti memelihara hubungan dengan
pengikut yakni memberikan bantuan, menyelesaikan masalah dan berlaku baik merupakan
cara untuk mendapatkan perhatian dan dukungan.
36
Sebelum dimulainya pemilihan kepala kampung di kampung Meidodga, calon kepala
kampung dari penguasa ini sudah meluncurkan strategi-strategi yang sudah mereka siapkan
jauh-jauh hari sebelumnya. Mulai dari kepala desa pertama dan kedua, semuanya
menggunakan strategi yang namanya bantuan. kepala kampung ini dalam setiap kesempatan
selalu memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan seperti harta kain Timur,
Babi dan uang.
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa modal kekayaan atau sumber daya
ekonomi sangat perpengaruh terhadap perebutan jabatan kepala kampung, mengapa tidak,
kepala Kampung Meidodga yang hingga saat ini masih di kuasai keluarga adalah memiliki
modal yang cukup, bahkan dari modal tersebut memberikan kepada masyarakat. karena modal
kekayaan merupakan salah satu alat yang digunakan untuk menghasilkan kekuasaan, ini
sering terjadi di berbagai daerah baik dalam pemilu tingkat nasional, daerah maupun lokal,
sehingga perputaran untuk mendapatkan suara terbanyak maka modal sebagai kebutuhan
dasar, masyarakat dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan dalam mendapatkan
kekuasaan.
Dalam kasus ini, kepala kampung bukan merupakan tokoh religius di kampung namun
merupakan salah satu tokoh masyarakat yang sering membantu tetangga dan juga warga yang
sedang kesusahan baik secara materi maupun tidak itulah yang kemudian membuat dirinya
dipercayakan oleh masyarakat.
2. Penguasa Otokratis
Penguasa di kampung berwatak otokratis, melakukan berbagai cara kekerasan
terhadap masyarakat yang tidak sepaham agar supaya mereka mengikuti kehendaknya. Untuk
37
mempertahankan jabatan kepala kampung tersebut, karena merupakan warisan dari
pendahulunya yang adalah milik pribadi atau keluarga saja.
Dalam penelitian ini dapat ditemukan bahwa jabatan kepala kampung di Meidodga,
diklaim sebagai kekuasaan mutlak, yang diwariskan dari pendahulu kepada keturunan dalam
keluarga itu sendiri. Masyarakat lain tidak mendapatkan kesempatan untuk mejadi kepala
kampung. Jabatan kepala desa diduduki berdasarkan warisan secara keturunan jabatan
tersebut diangap sebagai jasa leluhur yang mendirikanya.
Sehingga seseorang yang diangkat menjadi kepala kampung harus atas dasar satu
keturunan terutama pihak laki-laki. kepala kampung yang saat ini menjabat adalah anak dari
pendiri kampung Meidodga tersebut, keluarga ini tidak setuju jika suatu saat jabatan kepala
kampung berpindah kepada orang lain.
Dalam musyawarah pergantian kepala kampung, penguasa kampung tidak menerima
saran, pendapat dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat, dengan sifat egoisme yang
tinggi dan kekerasan-kekerasan sehingga memaksakan seluruh warga tetap memberikan
dukungan kepadanya menjadi kepala kampung.
Hal tersebut dibuktikan dengan wawancara dengan salah satu warga masyarakat Bpk.
Aleks Meidodga
Waktu pemilihan itu kepala kampung yang saat ini, mengunakan kekerasan agarsemua masyarakat harus pilih dia, karena katanya kampung ini bapanya yang sebagaipejuang, jadi harus dia yang ganti lagi, kalau kami tidak mendukung dia jadi kepalakampung lalu mendukung orang lain jadi kepala kampung berarti kami ganti rugi orangtuanya dan pindah dari kampung ini bahkan kalau dia tidak jadi kepala kampung berartimasuk di adat. Karena dengan begitu banyak tekanan seprti ya sudah, kami semuamendukung dia jadi kepala kampung saja dari pada jadi masalah untuk kita. ( Wawancarapada tanggal 6 Januari 2018 ).
38
Dari hasil wacancara tersebut dapat penulis pahami bahwa ada hal sesuatu yang
diberikan oleh penguasa sebagai ganjalan agar mendapatkan dukungan dari semua masyarakat
setempat guna merebut jabatan kepala kampung tersebut. Ganjalan tersebut tidak lain adalah
penekanan dari segi adat setempat, adat suku arfak ini yang menjadi hal sensitive dan tidak
dikehendaki masyarakat suku besar Arfak. Menurut kebiasaan atau budaya masyarakat
Kampung Meidodga dan Arfak pada umumnya jika perintah penguasa tidak dipatuhui maka
akan menimbulkan masalah-masalah yang tidak diinginkan seperti konflik yang kemudian
berujung pada saling bunuh membunuh.
Penekanan seperti ini yang kemudian membuat masyarakat selalu takut dan
memberikan dukungan kepada satu keluarga untuk menguasai jabatan kepala Kampung dalam
dua kali pergantian sampai dengan hari ini.
Sebagian kecil dari masayarakat sudah mengerti tentang aturan atau sistem pemilihan
kepala kampung, namun tidak berani mengkritisi hal ini, karena mereka takut budaya adat
saling bunuh-membunuh yang berlaku di kampung itu sendiri. yang dimaksud adat disini
adalah adat saling bunuh membunu, ketika terjadi kritikan bahkan sampai tawar-menawar
atau calon dari keturunan pejuang kampung tidak terpilih, maka sudah memberikan pelung
terjadinya konflik diantara masyarakat yang mengkritik dengan pihak yang dikritik, konflik
yang terjadi tentu akan mengancam nyawa bahkan hal ini terjadi terus-menerus sampai turun-
temurun.
Tidak hanya itu, penguasa yang berwatak oteliter juga menjadi hambatan besar bagi
lembaga Badan Permusyawaratan Kampung (Bamuskam) dalam menjalankan peran dan
fungsinya sebagai lembaga yang cita-citanya mengontrol pemerintah dalam memperjuangkan
kepentingan warga. Bamuskam yang merupakan lembaga yang diharapkan berjalan seimbang
39
atau mengawasi pemerintah kampung ini telah mendapatkan penekanan sehingga membuat
tidak bisa berbuat banyak terutama mengontrol ketidakikutsertaan masyarakat dalam
pemilihan kepala Kampung.
Berikut wawancara dengan Tokoh Masyarakat Kampung Bpk. Saul Meidodga,
Mengatakan bahwa:
Di kampung ini belum ada organisasi-organisasi yang bisa mengontrol pemerintahKampung, walaupun ada beberapa wadah tapi itu hanya fokusnya kepada pengajarankepada buta huruf dan anak-anak atau itu organisasi kerohanian. Saya itu sudah berpikirbegitu bahwa kampung yang begini harus ada orang-orang yang bisa menegur ataumengarahkan supaya kepala Kampung bisa takut dan lakukan program dengan baik. Kalauhanya begini terus kepala kampung tidak bisa laksanakan tugasnya dengan baik. Baperkamitu ada tapi mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa karena menurut pantauan saya selamaini, mereka juga takut sama kepala Kampung ada juga yang tidak tahu fungsi sebagaiBamuskam. ( wawancara pada tanggal 7 Januari 2018 ).
Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa di Kampung Meidodga belum ada
lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dari masyarakat dengan tujuan
mengawasi jalanya pemerintah kampung. Hanya ada beberapa paguyuban-paguyuban saja,
seperti wadah tarian tradisional, Tim One Story dan Kumpulan Tokoh agama dan adat.
Wadah ini berperan dalam ajaran kerohanian dan pendidikan buta huruf, jika di pahami
mereka sedang membantu kepala kampung dalam pembangunan sumber daya manusia agar
agar bagaimana kepercayaan masyarakat kampung kepada Yang Maha Kuasa harus
diutamakan dalam segala tindakan serta masyarakat kampung yang buta huruf bisa membaca.
Apalagi mereka mengajar anak-anak dengan tujuan agar kelak mereka bisa sekolah dan
menjadi orang sukses demi membangun kampung.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam hal kontrol atau pengawasan
dari kumpulan wadah-wadah tersebut dalam hal dinasti politik tidak ada. Padahal lembaga
kemasyarakatan dalam suatu pemerintahan sangat diperukan guna mengawasi jalanya
40
pemerintah berjalanya pemerintah kampung yang efektif. Di kampung Meidodga ada Badan
Musyawarah Kampung ( bamuskam ). Namun mereka tidak melaksanakan tugas dan fungsi
mereka secara baik, kemampuan mereka sudah terbatas ditambah lagi dengan tekanan dari
kepala kampung yang tegas dan keras akhirnya membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Kampung Meidodga kondisi lembaga Badan
Permusyawaratan Kampung (Bamuskam) masih lemah dalam mejalankan fungsi
pemerintahan Kampung.
D. Pembentukan Struktur Perangkat Kampung
Dalam tulisan sederhana ini penulis akan pokus mendeskripsikan bagaimana potret
sistem pemerintahan Kampung Meidodga sesudah Otonomi daerah diberlakukan. Keberadaan
sistem pemerintahan Kampung di Meidodga sebelum adanya konsep Otonomi Daerah sama
sekali tidak berjalan dengan baik. Dimana struktur pemerintahan kampung hanya sebagai
simbol, nama-nama pengurus pemerintahan kampung semua ada tetapi mereka tidak pernah
aktif menjalankan fungsi dan peranya secara baik. Sehingga kontribusi pemerintahan
Kampung dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sangat rendah dan banyak
diantara pengurus yang tidak tahu menahu soal posisinya dipasang di struktur pemerintahan
Kampung. Akibatnya mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena disamping keterbatasan
pengetahuan mereka terkait dengan kepemimpinan dan ketidak tahuan mereka soal posisinya
di struktur.
Lalu bagaimana dengan setelah ditetapkanya sistem otonomi daerah, kondisinya masih
tetap memprihatinkan. Yang terjadi justru lebih parah, dimana para pihak yang menempati
posisi strategis justru memanfaatkan posisi tersebut untuk status sosial saja tetapi tidak
41
dimanfaatkan sebagai ajang untuk berkontribusi dalam menata tatanan sosial masyarakat yang
ada disana.
Hal yang mencerminkan kondisi di atas, disampaikan secara langsung oleh Kepala
Kampung Meidodga. Bpk. Adrianus Meidodga dalam wawancara yang mengatakan bahwa :
“Dalam struktur Pemerintahan Kampung kita sudah punya orang-orang yang mendudukiposisi strategis di struktur tetapi waku itu kita menunjuk orang-orang ini secara sepihak.Jadi kita tidak melibatkan mereka nanti kalau ada urusan penting yang secara langsung halitu menjadi tupoksinya mereka baru kita suruh mereka untuk melayani atau mendampingi.Langka ini kita tempuh secara terpaksa juga, sebab kalau setiap saat kita harus libatkanmereka, pasti banyak hal yang akan terbengkalai. Pekerjaan mereka akan banyak yangtidak jalan, sementara kehidupan mereka semua sudah sangat tergantung dari itu. Makanyakemudian kita membuat siasat seperti itu guna untuk meminimalisir kekosongan jabatan dipemerintahan Kampung. Bahkan yang bisa kita kerjakan tupoksinya orang-orang yang kitapasang ini ya kita yang ambil alih. Yang paling penting kan agar pelayanan atau tugas bisajalan dan masyarakat bisa mendapatkan pelayanan, tetap kami jalan apa adanya tanpaharus saling menyalahkan. Jadi yang bisa kami lakukan hanya dengan cara seperti ini”.(Wawancara pada 2 Januari 2018).
Penjelasan Kepala kampung di atas adalah bukti bahwa Otonomi daerah yang selama
ini digadang-gadang bisa menuntaskan sejumlah kendala yang ada di Daerah juga tidak
terwujud secara maksimal.
Penjelasan lain yang tidak kalah menariknya bisa dilihat dari ungkapan Tokoh
Masyarakat kampung Meidodga dimana dalam pernyataanya lebih menyoroti ketidak jelasan
pembagian tugas dari masing-masing unit yang ada di struktur Pemerintahan Kampung itu
sendiri.
Berikut penyataan Tokoh Masyarakat kampung Meidodga Bpk. Deki Meidodga saat
ditanya dalam wawancara yang mengatakan bahwa :
“Menurut saya struktur Pmerintahan Kampung itu tidak jauh berbeda dengan strukturkomunitas masyarakat adat, sebagai suatu kesatuan yang memiliki unsur-unsurkebudayaan, yang telah lama dipimpin dan dikuasai oleh pemerintahan Adat oleh suatukepemimpinan tradisional yang dilengkapi dengan struktur, peran dan kewenangan dalam
42
mengatur segala isi dalam hak ulayat adatnya. Artinya, kalau ini kita berbicarakewenangan di Struktur komunitas adat. Yang mau saya katakana bahwa ini yang menjadimasalaha di kampung ini adalah bahwa secara etnografis belum banyak dipublikasikanmengenai struktur kepemimpinan beserta kewenanganya.”. (Wawancara pada 8 Januari2018).
Penjelasan tersebut di atas mengungkap pola pembagian kewenangan yang tidak
saling mendukung antara otoritas kampung dengan keberadaan lembaga adat yang ada di
Kampung. Pada hal berbicara legitimasi atau kepercayaan warga jauh lebih berpengaruh
Kepala suku dibandingkan Kepala Kampung, artinya secara structural posisi Kepala suku
ditengah-tengan masyarakat sebagai panutan karena Kepala suku bagi masyarakat Papua pada
umumnya dianggap sebagai orang yang dituakan atau ditokohkan sehingga pengaruhnya
sanagat kental.
Dibandingkan dengan aparat Desa atau Kampung, Kepala suku masih lebih dihargai.
Hanya saja berbicara pengakuan kewenangan yang diakui pemerintah terutama pemerintahan
yang lebih tinggi adalah Kepala Kampung. Karena itu jika Kepala Kampung ingin
mendapatkan legitimasi yang lebih kental lagi, maka mau dan tidak mau harus bermitra secara
baik dengan Lembaga adat yang ada ditengah-tengah masyarakat Kampung.
E. Manajemen Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan publik merupakan pekerjaan yang membutuhkan
keprofesionalan dan butuh manajemen yang baik, agar tercipta taransparansi pengelolaan
keuangan. Dengan adanya Bantuan Nasional seperti Dana Desa yang diberikan kepada
pemerintah Desa pada akhirnya dana tersebut akan masuk sampai kepelosok kampung. Maka
dibutuhkan kepiawaian termasuk manajemen pengelolaan keuangan yang professional, yang
tetap berpegang pada prinsip efektif, efisien, dan tepat guna.
43
Pengelolaan anggaran publik yang konsisten pada tiga prinsip di atas, maka diduga
kuat proses pengelolaan keuangan tersebut bebas dari kekeliruan atau penyalagunaan
anggaran. Sampai dengan saat ini pemerintah Kampung dalam pengelolaan anggran keuangan
publik belum diketahui pasti seperti apa pola yang digunakan dalam pengelolaan keuangan
yang ada. Sehingga masyarakat juga kurang yakin akan kemampuan aparat kampung dalam
mengurusi pemanfaatan keuangan yang jumlahnya sangat banyak tersebut.
Berikut pernyataan masyarakat Kampung Meidodga Bpk. Simon Meidodga dalam
wawancara yang mengatakan bahwa :
“Tidak ada alasan yang bisa membenarkan adanya dugaan pengunaan anggaran publiktanpa pertanggung jawabanya. Jaman yang sudah maju seperti sekarang masih ada yangbermain-main dengan keterbukaan itu sama saja mau disebut korupsi apa. Siapa pun yangmenggunakan anggaran public harus mau membuat laporanya sehingga tidak adakecurigaan publik, ini kan efek dari ketidak disiplinan aparat Kampung. Mengapa tidakmembuat pertanggung jawaban sementara mereka faham bahwa itu anggaran publik, jadikalau tidak ada pertanggung jawaban maka pasti akan muncul anggapan bahwa itu sedangdikorupsi. Meskipun mereka tidak melakukan itu, pasti akan berkembang alasan yangmengarah pada keberadaan mereka yang sedang mengelola uang publik”. (Wawancarapada Tanggal 4 Januari 2018).
Penjelasan tokoh masyarakat di atas, bisa difahami sebagai otokritik warga terhadap
Institusi publik yang sedang mengelola uang publik, agar dalam pengelolaan anggaran publik
selalu dalam jangkauan atau pantauan publik. Pengelolaan anggaran publik yang dijalankan
dengan prinsip keterbukaan adalah mandat konstitusi yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika ada
Institusi publik yang mengelola anggaran public tidak mengikuti mandate ketentuan
pengelolaan anggaran public seperti prinsip taransparansi tadi, maka bisa dipastikan Institusi
tersebut telah melakukan penyalagunaan anggaran.
Hal tersebut misalnya, disampaikan oleh perwakilan masyarakat kampung Meidodga
Bpk. Yance Meidodga saat ditanya dalam wawancara yang mengatakan bahwa :
44
“Kita ini warga yang nga tau apa-apa, apalagi yang berkaitan dengan uang publik ini kitasama sekali tidak tahu. Karena itu, harus ada semacam pembukuan mungkin yang bisa kitatahu bahwa anggaran yang ada ini digunakan untuk apa saja. Kan yang kita butuhkanhanya itu, kita juga tidak menuntut agar uang itu dibagi-bagikan kewarga sama sekalitidak. Kita tahu bahwa itu uang pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak danuntuk kepentingan urusan pemerintah yang berkaitan dengan orang banyak. Jadi tidak sulitjika pemerintah mau membuat pembukuan yang bisa membuat semacam daftarpenggunaan angaran sehingga dari sini warga akan faham jika uang itu dugunakan untukapa saja”. (Wawancara pada 4 Januari 2018).
Berdasarkan penjelasan dari beberapa informan tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa posisi pemerintah Kampung Meidodga dalam pengelolaan anggaran
public masih belum sesuai dengan standar diberlakukan oleh anggaran dana Desa. Sehingga
akibatnya mereka dikesankan sedang menyalagunakan anggara yang ditangani oleh mereka.
45
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa politik dinasti
di Desa Meidodga memiliki beberapa ciri khas. Diantaranya
Pertama, “kekuasaan kepala kampung mutlak berdasarkan pada garis keturunan”.
Kepala kampung yang telah dan yang sedang menjabat tidak memberikan kesempatan
kepada orang lain dengan alasan Kampung tersebut diperjuangkan (didirikan oleh orang
tua pendahulunya ), sehinga orang lain yang tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi
kepala Kampung.
Kedua,“tidak ada pemilihan secara langsung” Pemilihan kepala kampung
dilakukan dengan mekanisme Musyawarah untuk menjujuk atau mengangkat salah satu
dari Calon-Calon yang dipercayakan untuk menjadi Kepala Kampung.
Ketiga,“ kepala kampung berwatak otokratis”. Kepala kampung karena
menganggap bahwa kampung tersebut adalah miliknya sendiri, maka saat musyawarah
pergantian kepala kampung baru tidak menerima kritikan, saran, pendapat dan pendapat dari
pihak mana pun terutama masyarakat yang di kampung itu sendiri.
Keempat,“Kekuatan Modal”. kekayaan yang dimiliki seseorang sangat berpengaruh
dalam masyarakat sebagai modal dasar untuk mencapai suatu tujuan atau kemenangan.
Ketika Kepala kampung mempunyai sumber daya yang cukup maka akan mempermudah
dirinya untuk mendapatkan dukungan dalam merebut jabatan kepala kampung.
Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa ada dua hal yang menjadi faktor
penyebab terjadinya politik dinasti di Kampung Meidodga Pertama, “Struktur Sosial
46
Patron-klein”. Kepala kampung Meidodga mempunyai jaringan yang kuat dengan orang-
orang lain yang bisa dikendalikanya dan saling memberikan dukungan.
Dalam penelitian ini usaha kepala kampung telah berjalan membangun
kepercayaan dan memberikan berbagai harta kepada mereka sebagai ikatan dan pada saat
ia mencalonkan diri sebagai kepala kampung mereka yang pernah mendapatkan bantuan
memberikan dukungan kepadanya untuk menjadi kepala kampung.
Kedua, “tidak tumbuhnya masyarakat sipil” masyarakat sipil adalah tiang utama
kehidupan politik yang demokratis, sebab tidak hanya melindungi warga Negara tetapi
juga murumuskan dan dan menyuarakan aspirasi rakyat.
Akan tetapi, berbeda halnya dengan kampung Meidodga Distrik Testega dimana
telah terjadi politik dinasti dalam pergantian kepala kampung, jabatan kepala kampung
telah diambil alih oleh anak kandung 2 (dua) kali berturut-turut setelah sang ayah
meningal. Namun selama itu tidak ada Lembaga Masyarakat yang mengkritisi itu sebagai
hal yang tidak wajar dan bertantangan dengan sistem demokratis.
Lembaga masyarakat seperti Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM) pun
tidak mengkritisi hal tersebut karena BAMUSKAM pun hanya dipasang oleh kepala
kampung berdasarkan jasa baik atau balas budi tanpa mengutamakan kemampuan yang
dimiliknya, bahkan mereka tidak memahami tupoksi sebagai lembaga yang mewakili
rakyat pada wilayah-wilayah tertentu untuk kemudian mengontrol pemerintahan kampung
dalam program di kampung.
47
B. Saran
Berdasarkan deskripsi dari kesimpulan di atas, maka saran dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Pemerintah kampung dalam menjalangkan fungsi dan peranya hendak menjunjung tinggi
asas Pilkades langsung, bebas, jujur dan adil.
2. Pemerintah Desa dalam menjalankan fungsi dan peranya hendaknya mensosialisasikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait sistem demokrasi dan pilkades kepada
masyarakat.
3. Pemerintah Desa dalam menjalankan kinerjanya hendaknya mendorong tingkat partisipasi
masyarakat baik dalam pilkada maupun perumusan kebijakan.
4. Pemerintah desa dalam menjalankan fungsi dan peranya hendaknya memperhatikan
pentingnya membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga civil society.
5. Pemerintah Desa dalam menjalankan peranya hendaknya memperhatikan aspek
transparansi.
6. Pemerintah tingkat kabupaten perlu memberikan penegasan kepada pemerintah kampung
agar segala kebijakan yang diputuskan harus berdasarkan ketentuan peraturan yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Suharni dkk 2000. Negara Dalam Desa ; Patronase KepemimpinanLokal. Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama
Andrianus Toni Pito, Efriza, Fasyah Kemal, 2006. Mengenal Teori-Teori Politik.Bandung : Nuansa
Daniel Katz dan Peter Mair tahun 1995. Elite dan Masyarakat. Jakarta : AkbarTandjung Institute
Gaffar, Afan dan Itoh, Mayumi. 2006. The Hatoyama Dynasty ; JapanesePolitical Leadership Through The Generations, New York : PalgraveMacmillan
Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan ; Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, LP3ES : Jakarta.
Held Haryanto. 2007. Kekuasaan Elit ; Suatu Bahasan Pengantar, Yogyakarta: Program Pascasarjana PLOD Daerah Universitas Gadjah Mada
Hadiz Rahman, 2005. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana: Yogyakarta.
Kang Damsar, Prof., Dr, 2008. Pengantar Sosiaologi Politik. Jakarta : KencanaPrenada Media Group
Kartono, 2003. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Raja Grafindo Persada
Marijan Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Kencana.
Mas’oed Mohtar, 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Cet. II, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Moejiono 2002. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta : TiaraWacana.
Muluk Hamdi, 2010. Mozak Psikologi Politik Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Muhaimin, 1991. Patron dan Klien di Sulawesi Selatan, Yogyakarta : KeppelPress.
Nasiwan, 2010. Birokrasi di Negara Birokratis, Malang : Universitas MuhamadiyahMalang Press.
Rivai dan Suharni, dkk. 2003. Pesta Demokrasi di Pedesaan ; Studi KasusPemilihan Kepala Desa di Jawa Tengah dan DIY, Yogyakarta : Aditya Media
Robbins dan Coulter 2002. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia
Suhartono 2001. “Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan,” dalam PolitikLokal di Indonesia. Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Said dan Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia ; Transisi Menuju Demokrasi,Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Sutoro, Eko. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia, Yogyakarta : APMD Press
Scott, James C. 1972. Moral Ekonomi Petani ; Pergolakan dan Subsistensi di AsiaTenggara, Jakarta : LP3ES.
Samsul Komar, 2013. Ojo Dumeh ; Kepemimpinan Lokal Dalam PembangunanDesa, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Siti Irine Astuti D. 2009 “Hubungan Patron-Klien pada Masyarakat Bugis danMakassar di Sulawesi Selatan.” Makalah yang disajikan pada KonfrensiSulawesi Selatan Pertama di Monash University, Melbourne, Australia, 1981
Pustaka Lain
Purnamawan, 12/03/2013; Syamsiar 12/03/2013; dan Sa’ib,01/05/2013
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pegunungan Arfak, 2018, Distrik Testega DalamAngka 2018/2019
top related