refrat kolaborasi tb-hiv
Post on 14-Dec-2015
50 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). TB bertanggung
jawab atas sepertiga kematian dari ODHA dimana 99% kematian
terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia. Kedua penyakit
mendunia ini secara sinergis menyebabkan kombinasi keduanya
menjadi salah satu penyebab terbanyak dari kematian akibat penyakit
infeksi. Data klinis Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
(PPTI) di Jakarta sejak 2004-2007 menunjukkan prevalensi HIV pada
pasien dugaan TB paru dengan faktor risiko antara 3-5% sedangkan
prevalensi pada pasien TB paru antara 5-10% dengan kecenderungan
meningkat setiap tahunnya.1
Mendiagnosis dan mengobati koinfeksi TB-HIV merupakan
tantangan tersendiri dimana pasien dengan koinfeksi TB-HIV
memerlukan sarana diagnostik khusus seperti polymerase chain
reaction ataupun kultur dahak khususnya pada koinfeksi lnjut.
Pengobatan koinfeksi inipun berbeda dengan pengobatan infeksi HIV
maupun TB sendiri-sendiri dimana koinfeksi ini akan lebih sulit
ditangani karena kemungkinan relaps yang tinggi dengan
kemungkinan timbul efek samping yang cukup berat seperti sindroma
pulih imun/immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) akibat
penggunaan terapi anti retroviral pada koinfeksi TB-HIV berat ataupun
infeksi TB yang tidak disadari pada ODHA.2
1
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB
paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak
napas, nyeri dada, hemoptisis) dan atau gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan
berat badan, keringat malam, dan mudah lelah).3
Kasus TB adalah :
- Kasus TB pasti yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis yang
diidentifikasi dari specimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan
kultur. Pada neegara dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam
mengidentifikasi M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila
ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif.
Atau
- Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan peunjang untuk TB sehingga
didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati dengan paduan dan
lama pengobatan yang lengkap.
Infeksi TB pada ODHA akan mempersulit diagnosis dimana
pemeriksaan dahak, tes tuberkulin dapat menunjukkan hasil yang
negatif pada infeksi HIV lanjut sehingga diperlukan pemeriksaan yang
lebih canggih seperti PCR atau kultur dahak.3
2.2. Epidemiologi
2
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2009 adalah4 :
- Insidens kasus : 9,4 juta (8,9-9,9 juta)
- Pevalens kasus : 14 juta (12-16 juta)
- Kasus meninggal (HIV negatif) : 1,3 juta (1,2-1,5 juta)
- Kasus meninggal (HIV positif) : 0,38 juta (0,32-0,45 juta)
Jumlah kasus terbanyak adalah regio Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan
regio Pasifik Barat (20%). Sebanyak 11-13% kasus TB adalah HIV positif, dan 80%
kasus TB-HIV berasal dari regio Afrika. Pada tahun 2009, diperkirakan kasus TB
multidrug resistant (MDR) sebanyak 250.000 kasus (230.000-270.000 kasus), tetapi
hanya 12% atau 30.000 kasus yang sudah terkonfirmasi. Dari data WHO tahun 2009, lima
negara dengan insidens kasus terbanyak yaitu India, China, Afrika Selatan, Nigeria, dan
Indonesia. Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 0,35-0,52 juta kasus.4
HIV dan TB adalah kombinasi penyakit mematikan. HIV akan melemahkan
sistem imun. Apabila seseorang dengan HIV positif kemudian terinfeksi kuman TB maka
akan berisiko untuk sakit TB lebih besar disbanding dengan HIV negatif. Tuberkulosis
merupakan penyebab kematian utama pada penderita HIV.4
Sedangkan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat
menyebabkan turunnya imunitas tubuh. Virus ini termasuk ke dalam family retroviridae.
Virus ini nantinya akan menimbulkan sejumlah gejala atau penyakit yang disebut AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome). Kasus AIDS pertama kali dilaporkan secara
resmi di Indonesia pada tahun 1987 oleh Departemen Kesehatan. Sejak 1985 sampai
tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Jumlah kasus
HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.
Banyak di Afrika Sub Sahara,Asia Selatan dan Asia Tenggara (terutama di Kamboja
karena banyak homoseksual dan MTCT), Amerika Latin dan Eropa Timur.4
Di Indonesia kasus HIV AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2008,
kasus paling banyak ditemukan di di Jakarta Barat (2888), DKI Jakarta (2781), Jawa
Timur (2591), Papua (2382). Berdasarkan golongan umur paling banyak mengenai
remaja (20-29 tahun) dan dewasa (30-39 tahun). Cara penularan dengan heteroseksual
(7730), IDU (6811), homoseksual (609), perinatal (351).4
3
Infeksi terbesar melalui jarum suntik. Infeksi dari ibu ke anak berada di urutan ke
empat. Ada 2 tipe HIV, yaitu HIV1 dan HIV2. Di dunia penyebaran HIV1 pada Asia,
Afrika Tengah, Afrika Timur, dan Oceania. Penyebaran HIV2 di Afrika Barat, Eropa
Barat dan Amerika Utara.4
2.3. Etiologi
Penyakit Tuberculosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di
jaringan, kuman tuberculosis berbentuk batang berukuran kira-kira 0,4x3 µm. Berikut
karakteristik fisik dari bakteri MTB:
berbentuk basil aerob ramping, dapat lurus atau bengkok, dapat bergabung
membentuk rantai yang tidak membentuk spora atau kapsul
merupakan basil tahan asam (BTA) / acid fast bacilli (AFB) yang tahan terhadap
asam pada pewarnaan
lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm
MTB dalam dropplet dahak dapat bertahan selama 20-30 jam
tahan terhadap zat kimia dan disinfektan seperti fenol 5%, asam sulfat 15%, asam
sitrat 3%, dan NaOH 4% dan mampu bertahan hidup di udara kering dan pada suhu
yang rendah. Kuman TB dapat dapat hancur oleh alkohol 80% dalam 2-10 menit dan
tidak tahan panas. Kuman MTB mati jika terkena sinar matahari langsung.
Virus HIV termasuk dalam famili retrovirus yaitu virus yang dapat mengubah
RNA menjadi DNA menggunakan Reverse Transcriptase. HIV termasuk famili
Retroviridae nononcogenic, subfamili Lentivirinae, diameter 10-100 nm, dengan inti
berbentuk silinder, berisi 2 buah RNA untai tunggal yang tersusun dari 9500 nukleotida.
4
1. Envelope :
Gp 120: glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ pada sel
T dan makrofag
Gp 41: membantu fusi membrane sel HIV dengan membrane sel pejamu sel
inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu
Setelah envelope ada protein yang menyelubungi kapsid yaitu p17.
2. Kapsid (p24) yang melingkupi core.
3. Core yang berisi 2 materi genetik RNA dan 3 enzim didalam core virus,yaitu:
P51 (Reverse Transkriptase) untuk mengubah RNA virus menjadi DNA
P11 (Protease) untuk pematangan virus
P32 (Integrase) untuk memindahkan virus ke dalam inti sel inang.
Bagian terluar virus disebut envelope. Di permukaan envelope terdapat tonjolan-
tonjolan glikoprotein gp120 dan tangkainya gp 41. Di sebelah dalam envelope terdapat
protein HIV disebut p17. Di dalamnya terdapat selubung inti atau kapsid yang tersusun
dari p24. Struktur-struktur utama yang terdapat di dalam inti virus adalah 2 buah RNA
untai tunggal, sebuah protein p7(nucleocapsid) dan 3 buah enzim p51(reverse
transcriptase), p11 (protease) dan p32 (integrase). 1
Protein yang memiliki peran penting untuk replikasi virus HIV dikode oleh 3 gen
penting yaitu:
Gen Gag (group specific antigen) yang mengkode pembentukan struktur luar
virus.
Gen Pol (polymerase) yang menghasilkan enzim untuk mengubah RNA menjadi
DNA
5
Gen Env sebagai penghasil gp 120 sebagai reseptor virus untuk melekat pada
limfosit CD4. Gp 120 berperan dalam proses variasi sequence genetic sehingga
membuat sel sulit dikenali. Selain itu juga menghasilkan gp 41 yang berfungsi
melekatkan glikoprotein pada envelope virus sehingga mempermudah penetrasi
virus ke sel target.
2.4. Patofisiologi
Mekanisme imunitas seluler terhadap infeksi TB
Antigen MTB didapat di dalam sirkulasi perifer manusia dikenali oleh sel yang
mengekspresikal CD4 atau epitop T4, suatu proses yang hanya dimiliki oleh major
histocompability complex (MHC) kelas II. Pengenalan ini menyebabkan aktivasi imun
disertai proliferasi dan produksi dari sitokin. Substansi-substansi ini berfungsi sebagai
mediator dan menginduksi makrofag untuk menginhibisi replikasi dari strain
mikobakterial tertentu. Kerentanan terhadap infeksi tuberkulosis berkaitan dengan
sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T. Interferon-gamma (IFN-γ) telah dikenali sebagai
sitokin yang berperan sentral dalam memodulasi induksi makrofag dan penyakit
mikobakterium yang fatal dapat timbul pada anak yang kekurangan reseptor IFN-γ.
Aktivasi dari makrofag setelah paparan dari IFN-γ dimediasi oleh 1,25-dihidrovitamin
D3 secara parsial yang menginduksi keadaan tuberkulostasis dalam makrofag.
Mekanisme ini merupakan penjelasan ilmiah dari observasi yang dilakukan ratusan tahun
lalu dari keuntungan paparan sinar matahari terhadap pasien TB.5,6
Respon imun menyerang mikobakterium secara langsung melalui sel limfosit T
yang mengekspresikan CD8 atau epitop T8 dari MHC kelas I. Limfosit T8 secara
langsung dapat melisiskan sel yang dituju yang mengekspresikan antigen mikobakterium
dan dapat juga, meningkatkan respon penyerangan sel yang mengekspresikan antigen TB
melalui produksi sitokin-sitokin.5
Peran makrofag juga penting untuk infeksi TB. Makrofag merupakan sel efektor
utama yang secara langsung membunuh mikobakterium melalui fagositosis. Mereka
mempunyai reservoir intrasel untuk mikobakterium di dalam vesikel fagositik
intrasitoplasma. Makrofag akan memproduksi oksigen radikal yang sangat toksik pada
mikroorganisme yang difagosit walaupun mekanisme ini tidak bekerja sepenuhnya pada
6
MTB. Kemungkinan mekanisme lain pemberantasan MTB di dalam sitoplasma melalui
pembentukan radikal NO oleh mekanisme yang dependen arginin.5,6
Tuberkulosis mempercepat perjalanan klinis infeksi HIV melalui berbagai
mekanisme. Tuberkulosis dan komponen dinding selnya yaitu lopoarabinomannan
(LAM) meningkatkan pengeluaran tumor necrosis factor – alfa (TNF-α), IL-1, dan IL-6
melalui peningkatan transkripsi protein dalam sel makrofag. TNF-α dapat meningkatkan
produksi sel HIV pada sel fagosit melalui aktivasi transkripsional. Beberapa mekanisme
kompleks dari efek sinergis infeksi TB dan HIV adalah:
Paparan makrofag alveolus dan limfosit darah dari ODHA pada antigen MTB secara
invitro akan meningkatkan replikasi retrovirus
Pada ODHA dengan TB paru, konsentrasi RNA retroviral paling tinggi ditemukan
pada cairan hasil lavase bronkoalveolus.
Cairan pleura pada pasien dengan TB meningkatkan replikasi HIV di dalam limfosit
yang terakvitasi
MTB meningkatkan replikasi HIV dengan menginduksi makrofag memproduksi
TNF-α, IL-1, dan IL-6.
Turnover rate dari sel limfosit T juga akan berjalan lebih cepat karena gangguan
keseimbangan sitokin.
Infeksi HIV laten dalam sel limfosit T dapat teraktivasi melalui interaksi antar sel
fagosit yang terinfeksi oleh M. Tuberculosis.
Sebaliknya, HIV dapat mempengaruhi perjalanan klinis dari TB. Sifat virus HIV
yang relatif tidak sitopatik pada sel fagosit menyebabkan sel ini akan memproduksi
faktor sitokin yang lebih sedikit dalam jangka waktu yang lama termasuk IFN-gamma
dan IL-6 yang mendukung perkembangan kedua mikroorganisme patogen ini. Koinfeksi
dengan HIV menghambat respon imun dimediasi sel kepada M.tuberculosis karena
mengganggu sinyal IL-2. Banyak fungsi makrofag terdepresi pada ODHA seperti fungsi
fagositosis dimediasi reseptor dan aktivitas oksidatif juga mekanisme kemotaksis yang
merupakan langkah utama untuk menemukan dan membunuh patogen mikrobial.
Perubahan terhadap fungsi makrofag ini menyebabkan komponen virus HIV yang
menyebar di dalam sirkulasi tubuh ODHA ataupun penyebaran ekstraseluler dari sel
yang terinfeksi. Glikoprotein HIV (GP120) secara langsung dapat mempengaruhi fungsi
sel makrofag efektor melalui pengurangan ekskresi reseptor makrofag sebagai ligand
7
kemotaktik. Dalam kondisi ini, risiko terinfeksi MTB dari lingkungan, kecepatan
progresi penyakit, atau reaktivasi infeksi TB laten dapat timbul dengan cepat. Efek
infeksi HIV terhadap sistem kekebalan tubuh akan menyebabkan kegagalan untuk
menahan infeksi MTB dan replikasi mikroba tidak dapat terkontrol sehingga
menyebabkan infeksi MTB yang diseminata.5,6,7
2.5. Manifestasi Klinis
Infeksi TB aktif cenderung timbul lebih awal pada ODHA dibanding infeksi
mycobacterim atipikal seperti MAC dan dapat merupakan tanda klinis awal dari HIV.
Individu yang terinfeksi HIV-AIDS (ODHA) dan TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh
derajat imunodefisiensi. Secara umum pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350
sel/L gejala klinik TB sesuai dengan TB tanpa HIV. Perjalanan penyakit tuberkulosis
pada ODHA dapat berkembang menjadi penyakit TB aktif dalam beberapa minggu,
berbeda dengan infeksi TB pada orang tanpa imunodefisiensi yang biasanya
membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan. Ketika HIV/AIDS hanya mempengaruhi
secara parsial terhadap imunitas seluler, TB paru timbul dengan pola yang tipikal berupa
demam, batuk, sesak saat beraktivitas, penurunan berat badan, keringat malam dengan
infiltrat pada lobus atas dan kavitas, tanpa limfadenopati yang signifikan atau efusi
pleura. Pada infeksi HIV lanjut, infeksi TB dapat lebih parah berupa infiltrat yang difus
atau milier biasanya pada lobus tengah dan bawah dengan gambaran kavitas yang lebih
jarang ditemukan dan dapat disertai limfadenopati mediastinum dan efusi pleura. Pasien
dengan infeksi TB-HIV lanjut dapat datang dengan keluhan tidak spesifik dengan
demam, penurunan berat badan, kelelahan, dengan atau tanpa batuk. Penurunan berat
badan dapat ditemukan lebih parah pada orang dengan TB-HIV dibanding HIV saja.
ODHA dikenal mengalami diare kronik akibat enteropati HIV, namun hampir setengah
ODHA yang meninggal dengan penurunan berat badan berat, ditemukan memiliki TB
diseminata dalam tubuhnya menandakan bahwa TB diseminata berpengaruh terhadap
sindrom wasting yang berat ini. Lebih jarang, gambaran foto toraks dapat ditemukan
normal walaupun pada pemeriksaan kultur dahak memberikan hasil M. Tuberkulosis
yang positif.6,7
Gejala TB ekstrapulmoner lebih sering terjadi pada ODHA dibanding dengan
pasien tanpa infeksi HIV walaupun manifestasi klinik antara keduanya tidak secara
substansial berbeda. TB ekstraparu dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan pada
pasien HIV dengan jumlah CD4+ < 200 sel/L. Keadaan imunodefisiensi yang semakin
8
berat akan membuat gejala ekstraparu menjadi lebih sering. Bentuk paling umum adalah
TB limfatik, TB diseminata, TB pleura, dan TB perikardium. Dapat juga ditemukan TB
pada organ visera, traktus gastrointestinal, dan tulang. Mikobakteremia dan meningitis
juga sering timbul, khususnya pada ODHA stadium lanjut. Beberapa pasien dengan
infeksi HIV lanjut dan TB aktif dapat tidak bergejala karena itu skrining TB lebih baik
menjadi evaluasi awal pada setiap pasien HIV.Sekitar 60-80% ODHA dengan TB
mempunyai penyakit paru dan 30-40% mempunyai penyakit ekstraparu.6
Manifestasi klinis dari TB abdomen pada ODHA berupa lesi visceral dan
limfadenopati intra-abdominal dengan nekrosis yang paling jelas terlihat dengan CT-
scan. Secara kontras dimana ascites dan penebalan omentum merupakan penemuan klinis
yang khas untuk TB-abdomen pada orang tanpa infeksi HIV. Manifestasi klinis dari
meningitis TB juga dikatakan sama pada ODHA maupun orang tanpa HIV namun lesi
intraserebri berupa tuberkuloma lebih sering timbul pada ODHA.6
Lebih lanjut, dapat terjadi eksaserbasi pada tanda dan gejala sistemik atau
respirasi dan manifestasi laboratorium atau radiografi dari TB berhubungan dengan
pemakaian ART disebut immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS). IRIS
biasanya terjadi setelah 1-3 bulan pemakaian ART. IRIS lebih sering terjadi pada pasien
dengan imunosupresi yang berat, dan TB ekstrapulmoner. IRIS tipe “unmasking” dapat
timbul setelah pemakaian ART pada pasien dengan TB subklinis yang tidak terdiagnosis.
IRIS disebabkan oleh respon imun yang dicetuskan oleh antigen yang dilepaskan saat
bakteri dibunuh saat pemakaian kemoterapi ART dan berkaitan dengan membaiknya
fungsi sistem imun.8
Tabel 1. Gejala Klinik Pada Pasien TB-HIV
Karakteristik Infeksi TB-HIV Lanjut
(CD4 < 200 sel /L)
Infeksi TB-HIV Awal
TB paru: ekstraparu 50:50 80:20
Gejala Klinik Sering seperti TB primer Sering seperti TB post primer
Foto thoraks: Limfadenopati
intrathoraks
Sering Jarang
Foto thoraks: keterlibatan
lobus bawah
Sering Jarang
9
Kavitas Jarang Sering
Anergi TB Sering Jarang
Pemeriksaan Dahak + Jarang Sering
Reaksi Obat Sering Jarang
Kambuh Setelah Pengobatan Sering Jarang
Dikutip dari Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection: Epidemiology.
Diagnosis & Management. Indian J Med Res 2005; 121, 550-67.7
10
Gambar 1. Perjalanan klinis alamiah dari MTB pada ODHA atau pasien dengan
imunodefisiensi. Dikutip dari Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:
Epidemiology. Diagnosis & Management. Indian J Med Res 2005; 121, 550-67.7
11
2.6. Diagnosis Infeksi Tuberkulosis Pada ODHA
HIV dapat meningkatkan resiko terjadinya TB, baik kasus TB baru, reaktivasi
ataupun reinfeksi. Koinfeksi HIV dengan TB menunjukkan manifestasi klinik tersendiri,
menurunkan survival rate, meningkatkan resiko infeksi oportunistik dan peningkatan
replikasi HIV.9
Diagnosis TB pada pasien dengan HIV dan non-HIV memiliki beberapa perbedaan
yang harus diperhatikan. Pada pasien HIV, kecurigaan TB didasarkan pada kecenderungan
resiko infeksi berdasarkan epidemiologis dan tes tuberkulin, presentasi TB yang atipik, dan
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium.10
Perbedaan yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis TB pada HIV adalah sebagai
berikut: 10
Pertama, tes tuberkulin pada pasien HIV sering memberikan hasil negatif palsu, dan
kemungkinan ini semakin meningkat dengan perburukan imunosupresi.
Kedua, gambaran radiologik TB yang biasanya cukup diagnostik akan tampak tidak
spesifik pada pasien dengan HIV. Oleh karena itu TB pada HIV sering kali
terlewatkan dan meningkatkan resiko penularan, maka pada pasien HIV yang
memiliki penyakit paru yang belum diketahui harus dipertimbangkan kemungkinan
infeksi oleh M.tuberculosis.
Ketiga, hasil pemeriksaan sputum pada pasien HIV cenderung kurang sensitif. Namun
jika pemeriksaannya positif untuk bakteri tahan asam, maka pengobatan TB dapat
segera dimulai hingga terbukti spesies bakterinya. Pemeriksaan polymerase chain
reaction (PCR) dapat digunakan untuk membedakan jenis bakteri ini dengan cepat.
Hasil pemeriksaan kultur darah M.tuberculosis pada pasien HIV positif dapat menjadi
positif, dan merupakan parameter diagnostik untuk TB yang disseminated pada
infeksi HIV berat. Gambaran histologik TB yang khas seperti granulomatosa juga
berubah pada pasien imunosupresi, dimana tidak terbentuk secara utuh atau bahkan
tidak terbentuk sama sekali, dengan jumlah mikroorganisme yang lebih banyak.
2.7. Pengobatan TB Pada Penderita HIV
Pasien TB dengan HIV positif memiliki resiko kematian lebih tinggi daripada
pasien yang HIV negatif. Pulasan BTA yang negatif dan TB ekstrapulmonal
menunjukkan tingkat imunosupresif yang lebih berat daripada yang pulasan BTA
12
positif, sehingga kasus mortalitasnya lebih tinggi. Namun pemberian ARV yang
semakin banyak digunakan telah membantu menurunkan angka tersebut.11
Pasien HIV memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami reaksi efek
samping obat terhadap OAT dan mengalami resistensi obat dibandingkan dengan
yang non-HIV. Pemberian ART dengan OAT tidak menyebabkan resiko efek
samping obat, melainkan karena perjalanan penyakit HIV nya itu sendiri. Obat yang
berisiko menyebabkan resistensi adalah rifampin dan isoniazid.4 Selain itu juga
terdapat reaksi antar obat antara regimen ART dan OAT, salah satunya adalah
rifampin, yang mempengaruhi enzim hepar sehingga dapat menurunkan konsentrasi
beberapa jenis ARV.11
Pasien TB dengan HIV positif diutamakan untuk segera memulai pengobatan
TB, lalu dilanjutkan dengan pemberian kotrimoksazol dan ARV. Pasien TB kasus
baru dengan HIV positif diberikan pengobatan sebagai berikut:11
Tabel 2. Regimen Standar Pada Pasien TB Kasus Baru
Fase intensif Fase kontinu Keterangan
2HRZE 4HR H= isoniazid, R= rifampisin, Z=
pirazinamid, E= etambutol, S=
streptomisin
Frekuensi pemberian dosis
Setiap hari Setiap hari Optimal
Setiap hari Tiga kali seminggu Alternatif pada pasien TB yang
mengikuti DOTS
Tiga kali seminggu Tiga kali seminggu Alternatif pada pasien dengan
DOTS yang diketahui tidak
menderita HIV.
Keterangan: WHO tidak merekomendasikan pemberian etambutol pada masa intensif pada
pasien non-kavitas, pulasan BTA negatif, yang diketahui HIV negatif. Pada meningitis TB,
etambutol digantikan dengan streptomisin.
Pengobatan fase intensif TB kasus baru dapat dilakukan setiap hari ataupun
tiga kali seminggu, namun pada pasien HIV positif, fase intensif tiga kali seminggu
tidak lagi disarankan karena tingginya insiden relaps dan gagal pengobatan pada
pasien HIV positif yang mengidap TB, yaitu 2-3 kali lipat lebih tinggi daripada yang
13
pengobatan setiap hari. Selain itu sebuah studi di India mengatakan bahwa pasien
HIV positif yang gagal pengobatan tiga kali seminggu memiliki resiko tinggi
mengalami resistensi rifampisin.11
Pasien dengan koinfeksi HIV-TB harus menerima pengobatan TB sekurang-
kurangnya dengan regimen yang sama seperti pada pasien TB yang non-HIV. Pasien
HIV-TB yang sudah pernah menerima pengobatan TB harus mendapat pengobatan
kategori dua seperti pada pasien TB yang non-HIV. Lama pengobatan TB pada pasien
HIV yang berlangsung selama 8 bulan atau lebih dengan regimen yang mengandung
rifampisin dikatakan memiliki insiden relaps yang lebih rendah daripada yang hanya
pengobatan 6 bulan.11
2.8. Pemberian Terapi Anti Retroviral pada Koinfeksi HIV-
TB
Dengan adanya anti retroviral therapy (ART), angka kejadian TB baru sudah
semakin menurun.9 Waktu untuk memulai pemberian ART pada koinfeksi HIV-TB
masih sering memicu perdebatan, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa
inisiasi ART dini dapat menurunkan mortalitas, meningkatkan outcome pada TB dan
menurunkan insiden immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).11
IRIS tingkat ringan hingga sedang sering terlihat pada pasien TB yang
memulai ART, hingga sepertiga dari total penderita. Namun bentuk yang berat sangat
jarang dijumpai. Sindrom ini meliputi adanya demam, pembesaran KGB, infiltrat paru
yang meningkat, atau eksaserbasi inflamasi di fokus lain. Biasanya dapat dilihat
dalam 3 bulan sejak pengobatan ART dan lebih sering terjadi jika jumlah CD4 <50
sel/mm3. Kebanyakan kasus tidak membutuhkan penanganan dan ART dapat tetap
dilanjutkan. Oleh karena itu IRIS bukanlah indikasi untuk mengganti regimen
pengobatan menjadi ART lini kedua, namun ART tersebut harus disesuaikan dahulu
agar sesuai dengan pengobatan TB.11
ART meningkatkan harapan hidup penderita HIV positif. Penggunaan ART
berperan menurunkan 60% kejadian TB di populasi, serta menurunkan rekurensi TB
sebesar 50%. Oleh karena itu, di tahun 2010 WHO merekomendasikan penanganan
HIV-TB sebagai berikut: 9,11,13
14
1. Pengobatan ART dimulai pada semua individu yang terinfeksi HIV dengan TB aktif,
tanpa memperhitungkan jumlah CD4
2. Pengobatan TB dimulai terlebih dahulu dan diikuti ART begitu kondisinya
memungkinkan dalam 8 minggu pertama setelah pengobatan TB.
Hal ini sedikit berbeda dengan guideline WHO tahun 2006 mengenai
pemberian ART pada pasien TB, dimana pengobatan ART dimulai jika CD4 ≤350
sel/mm3 dan masih dapat ditunda selama CD4 >200 sel/mm.11,13
Pemberian ART pada TB ini didukung oleh penelitian oleh BioMed Central
pada tahun 2012 yang membandingkan waktu pemberian ART pada pasien koinfeksi
HIV-TB, dimana tidak ada perbedaan berarti dalam hal mortalitas pada pasien HIV-
TB yang memulai ART setelah 2-4 minggu dengan yang telah menjalani 8-12 minggu
menjalani pengobatan OAT.1 Namun dapat terjadi perburukan perjalanan penyakit
HIV bila pemberian ART ditunda dari 2-4 minggu menjadi 8-12 minggu setelah
pemberian OAT. Penelitian oleh Karim et al menunjukkan bahwa pengobatan ART
pada pasien TB positif yang jumlah CD4 nya <500/mm3 menurunkan resiko mortalitas
sebanyak 56% dibandingkan menunggu sampai pengobatan TB selesai.9
WHO merekomendasikan ART lini pertama yang terdiri dari: 9,11,13
1. Dua nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) dimana salah satunya
harus ada zidovudine (AZT) atau tenofovir (TDF), dengan 3TC atau FTC
2. Satu non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Untuk NNRTI,
WHO menyarankan pemberian efavirenz (EFV) atau neriverapine (NVP).
Pengobatan ini termasuk efektif dan tidak terlalu mahal karena dalam bentuk
generik dan formulasi FDC.11,13 Regimen lini pertama ARV yang disarankan adalah
yang mengandung efavirenz karena interaksi dengan obat-obatan TB minimal serta
memiliki efektivitas yang tinggi dalam mensupresi virus HIV. Namun EFV tidak
boleh diberikan pada pasien wanita usia produktif yang tidak menggunakan
kontrasepsi adekuat ataupun pada wanita hamil trimester pertama karena memiliki
sifat teratogenik.11
Pada pasien yang intoleran dengan EFV atau yang terinfeksi dengan strain
HIV yang resisten terhadap NNRTI, regimen yang mengandung EFV adalah suatu
kontraindikasi. Regimen yang dapat digunakan pada pasien-pasien ini adalah:11
15
1. AZT+3TC+NVP atau
2. TDF+3TC atau
3. FTC+NVP atau
4. regimen dengan tiga NRTI (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF).
Pemilihan regimen ini disesuaikan dengan ketersediaan di negara masing-
masing. Di negara-negara yang tersedia rifampisin, pemberian utama nevirapine tidak
diperlukan.11
Regimen lini kedua ART harus meliputi ritonavir-boosted protease inhibitor
(PI) ditambah dua NRTI, dimana salah satunya harus AZT atau TDF tergantung dari
apa yang digunakan di terapi lini pertama. Ritonavir-boosted atazanavir (ATV/r) atau
lopinavir/ritonavir (LPV/r) adalah PI yang sering digunakan.13
2.9. Prognosis
Pada penatalaksanaan yang tepat serta pengobatan yang teratur,
penyakit ini dapat disembuhkan. Akan tetapi tanpa pengobatan/tidak teratur
pengobatan, penyakit ini dapat menjadi fatal dalam rentang waktu lima tahun dan
dapat berkomplikasi menjadi kematian.
Orang yang terinfeksi HIV dapat diperkirakan apakah akan berkembang
menjadi AIDS dengan memperhatikan jumlah limfosit T CD4+ dan jumlah RNA HIV
dalam plasma. Infeksi oportunistik adalah penyebab kematian terbanyak bagi
penderita AIDS. Dengan pengobatan antiretroviral, kehidupan dapat diperpanjang 2-3
tahun.
16
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Penanganan TB pada pasien dengan HIV/AIDS membutuhkan
penanganan khusus mulai dari menegakkan diagnosis serta
tatalaksana. Setiap klinisi yang bertemu dengan kasus TB harus
waspada terhadap kemungkinan HIV dimana koinfeksi sering terjadi
dan survei terhadap penderita baru TB dapat menjadi pintu masuk
untuk diagnosis HIV. Tatalaksana OAT pada pasien TB-HIV juga lebih
baik dilakukan untuk mencegah sindroma pulih imun yang berat
akibat respon inflamasi terhadap materi virus yang menyebar di
tubuh akibat ART. Penatalaksaan holistik juga harus dilakukan
terhadap setiap infeksi oportunistik lain beserta terapi ART untuk
meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup ODHA.
3.2. Saran
Adapun kami memberikan saran bagi kelompok –kelompok
pembuatan makalah selanjutnya agar mengambil jurnal-jurnal
terbaru untuk penatalaksanaan infeksi oportunistik lain pada ODHA
ataupun tatalaksana TB resisten obat yang meningkat jumlahnya
pada ODHA dan membutuhkan perhatian khusus dimana mortalitas
dan morbiditas akan melambung tinggi tanpa penanganan terpadu.
17
18
top related