raynaud phenomenon - repository.usu.ac.id
Post on 15-Oct-2021
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
RAYNAUD PHENOMENON
Ari sudibrata, Rahmad isnanta
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pendidikan Haji
Adam Malik
Case Report I
Dr. Ari Sudibrata
Dibacakan tanggal
Abstrak
Raynaud phenomenon (RP) merupakan suatu respon berlebih pembuluh
darah (vaskular) terhadap temperatur dingin ataupun stress emosional. Fanomena
ini secara klinis dimanifestasikan dengan perubahan warna dengan batas tegas
pada kulit dari jari-jari. Proses vasokonstriksi abnormal dari arteri jari dan arteriol
kulit dikarenakan defek lokal pada respon pembuluh darah (vaskular) normal
merupakan penyebab dasar dari terjadinya kelainan ini.
. RP dianggap sebagai suatu penyakit primer jika gejala tersebut timbul
sendiri tanpa adanya bukti dari suatu hubungan dengan penyakit lainnya. dengan
perbandingan, RP sekunder mengacu pada adanya penyakit RP yang
dihubungkan dengan penyakit yang terkait, seperti systemic lupus erythematosus.
Kasus ini melaporkan seorang wanita, 30 tahun dengan jari tangan terlihat
pucat yang dikeluhkan sejak ±1 tahun secara perlahan. Awalnya ujung-ujung jari
tangan sering terlihat pucat, terasa gatal dan kebas saat cuaca dingin, setelah
pucat dan gatal jari- jari tangan terlihat merah keunguan, selama keluhan itu
pasien sering merendam tangannya ke air hangat. Nyeri pada daerah lokasi yang
diderita disangkal. Bercak-bercak kemerahan pada lengan dan wajah juga
dikeluhkan pasien. Kulit menjadi kemerahan bila terkena sinar matahari, terutama
wajah. Rambut rontok dan nyeri pada sendi tangan dan kaki juga dirasakan
pasien sejak ±1 tahun ini.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya
didapatkan kesimpulan pasien dengan RP usia muda pada penderita SLE wanita
dengan perbaikan klinis setelah rawatan yang cukup panjang .
Key Word : Raynaud Phenomenon, Systemic Lupus Erythematosus
Supervisor,
Dr. Rahmad Isnanta SpPD-KKV
2
PENDAHULUAN
Raynaud phenomenon (RP) merupakan suatu respon berlebih pembuluh darah
(vaskular) terhadap temperatur dingin ataupun stress emosional. Fanomena ini secara klinis
dimanifestasikan dengan perubahan warna dengan batas tegas pada kulit dari jari-jari tangan
ataupun kaki. Proses vasokonstriksi abnormal dari arteri jari dan arteriol kulit dikarenakan
defek lokal pada respon pembuluh darah (vaskular) normal merupakan penyebab dasar dari
terjadinya kelainan ini.1
RP dianggap sebagai suatu penyakit primer jika gejala tersebut timbul sendiri tanpa
adanya bukti dari suatu hubungan dengan penyakit lainnya. dengan perbandingan, RP
sekunder mengacu pada adanya penyakit RP yang dihubungkan dengan penyakit yang terkait,
seperti systemic lupus erythematosus dan scleroderma.2
Salah satu respon fisiologis normal terhadap temperatur dingin adalah dengan
menurunkan aliran darah ke kulit, sehingga menurunkan tingkat kehilangan panas tubuh dan
menjaga temperatur inti normal tubuh. Aliran darah ke kulit diatur oleh suatu sistem interaksi
kompleks melibatkan signal neural, hormon sirkulasi, dan mediator-mediator yang dilepaskan
dari sel-sel yang bersirkulasi maupun sel pembuluh darah.2
Penentuan prevalensi dari RP sendiri terkendala oleh kurangnya suatu test diagnostik
“gold standard” dari penyakit RP, karena tangan yang dingin dan kaki-kaki yang dingin
merupakan fisiologis normal tubuh sebagai respon pada paparan dingin untuk
mempertahankan suhu hangat tubuh, yang memunculkan manifestasi berupa dinginnya
permukaan kulit dan perubahan warna pada kulit. Walaupun kriteria beberapa penelitian
beragam dalam menentukan RP, banyak peneliti sepakat bahwa sebuah riwayat dari
setidaknya perubahan warna kulit (pucat dan sianosis) setelah dari paparan dingin diperlukan
dalam suatu penegakkan diagnosis dari RP.2
Penelitian berbasis komunitas telah dilakukan untuk mengestimasi prevalensi dari RP
pada suatu populasi umum. Pada penelitian ini, diestimasikan bahwa prevalensi dari RP
adalah berkisar dari 3% - 20% pada wanita dan 3% - 14% pada pria. RP lebih sering terjadi
pada wanita muda, kelompok orang dengan usia muda, dan riwayat keluarga dengan RP.3
Secara manifestasi klinis,RP lebih sering mengenai organ tangan; serangan juga lebih
sering terjadi pada jari kaki, tetapi pasien biasanya lebih jarang mengeluh gejala pada bagian
tungkai bawah. Episode gejala yang khas dikarakteristikkan oleh onset yang tiba-tiba dari
dingin pada jari tangan/kaki diikuti dengan perubahan warna yang tegas menjadi putih pada
kulit (white attack) dan/atau kulit biru/sianosis (blue attack). Dengan menghangatkan bagian
jari yang terkena serangan, fase iskemik tersebut (white/blue attack) akan tetap bertahan
3
sampai 15 hingga 20 menit. Kulit secara berangsur-angsur akan kemerahan selama
pemulihan, sehingga akan menyebabkan proses “erythema of reperfusion”.4
LAPORAN KASUS
wanita, 30 tahun dengan jari tangan pucat yang dikeluhkan sejak ±1 tahun secara
perlahan. Awalnya ujung-ujung jari tangan sering terlihat pucat, terasa gatal dan kebas saat
cuaca dingin setelah pucat dan gatal jari- jari tangan terlihat merah keunguan dan terasa
nyeri. Bercak-bercak kemerahan pada lengan dan wajah juga dikeluhkan pasien. Kulit pasien
menjadi kemerahan bila terkena sinar matahari, terutama wajah. Rambut rontok dan nyeri
pada sendi tangan dan kaki juga dirasakan pasien sejak ±1 tahun ini.
Hemodinamik stabil dengan; malar rash; kulit jari tangan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan laboratorium: Haemoglobin (13,4 g/dL); Leukosit (3.800 /mm3); Trombosit
(243.000 /mm3); D-Dimer (100 ng/dL); Elektrolit (Na: 143 mEq/L, K: 3,7 mEq/L, Cl: 108
mEq/L), RFT (Ureum : 11 mg/dl, Kreatinin : 0.63 mg/dl); Imunologi: ANA Test : 38,3, Anti
Ds-DNA : 165,7; Protein urine 24 jam : 2060 mg/24 jam; USG ginjal: nefrolitiasis sinistra;
Penderita mendapatkan pengobatan Methylprednisolon iv dengan dosis 500 mg/ hari selama
3 hari, kemudian dilanjutkan dengan prednison tablet 50 mg/hari, Cellcept 2x500 mg,
Hidroksikloroquin 1x250 mg, PCT 2x1000 mg, Diltiazem 1 x 30 mg, Pasien membaik dan
pulang setelah 14 hari rawatan.
DISKUSI
Maurice Raynaud pada tahun 1862 menyatakan bahwa “ asfixia lokal dari suatu
ekstrimitas” adalah sebagai akibat dari “peningkatan irritabilitas dari bagian sentral jaras
spinal yang mensarafi inervasi vaskular”. Pada tahun 1930, setelah mengamati bahwa ketika
refleks vasodilatasi dihasilkan pada saat memanaskan tubuh, proses vasospasme dapat masih
terjadi dengan meletakkan kedua tangan pada air yang dingin, dan sebaliknya, bahwa
vasospasm dapat saja tidak terjadi oleh suatu proses pendinginan badan jika kedua tangan
tetap dalam keadaan hangat, Sir Thomas Lewis kemudian menyimpulkan bahwa RP
disebabkan pada sebuah “kesalahan/kerusakan lokal” dibandingkan dengan suatu
kelainan/kerusakan pada sistem saraf sentral. Sampai saat ini, sebuah defek lokal
dihipotesiskan bertanggung jawab dalam terjadinya patogenesis RP. Akan tetapi,
abnormalitas secara pasti mungkin akan beragam tergantung pada penyebab yang
mendasarinya :
1. Pada RP primer, bukti-bukti menduga terdapat defek/kerusakan pada
peningkatan dari respon alpha-2 adrenergik pada jari dan pembuluh darah kulit
4
2. Pada RP sekunder, defek/kerusakan mungkin dapat beragam tergantung dari
penyakit dasar yang mengganggu pada fisiologis normal dari jari dan arteri kulit. Beberapa
penyakit, kelainan, obat-obatan dan paparan lingkungan banyak dihubungkan dengan
terjadinya RP sekunder (tabel 1).5,6,7
Tabel 1. Penyakit dan keadaan dikaitkan dengan RP.
Disorders and factors associated with Raynaud’s phenomenon
Rheumatological disease Hematologic/oncologic
Scleroderma
Systemic lupus erithematosus
Sjogren’s syndrome
Undifferentiated connective tissue disease
Mixed connective disease
Paraneoplastic syndrome
Cryoglobulinemia
Cryofibrinogenemia
Cold agglutinin
Paraproteinemia
P.O.E.M.S. syndrome
Endocrine Neurological
Hypohyroidism
Carpal tunnel syndrome
Migraine headache
Vascular Drugs/toxins
Thoracic outlet syndrome
Emboli
Vasculitis
Prinzmetal angina
Atherosclerosis
Thromboangitis obliterans
Sympathomimetic drugs
Chemotherapeutic drugs
Interferons
Nicotine
Cocaine
Ergotamines
Caffeine
Polyvinyl choride
Enviromental
Vibration injury
Frost bite
Emotional stress
Secara patogenesis pada RP primer, terdapat bukti yang kuat bahwa peningkatan
sensitivitas pada suhu dingin adalah dimediasi sebagian oleh respon alpha-adrenergik yang
abnormal, khususnya alpha-2 reseptor. Pada pasien dengan RP primer, patogenesis penting
5
dari reseptor alpha-2 ini diduga oleh beberapa ekperimental dengan antagonis reseptor alpha
2 selektif, dimana contohnya jumlah dari jari pada objek penelitian yang mengalami serangan
vasospastik diinduksi dingin lebih sedikit dengan pemberian yohimbine (alpha-2 reseptor
bloker) dibandingkan dengan prazosine (alpha-1 reseptor bloker).8
Alpha 2C-adrenoreseptor (subtipe alpha-2 reseptor), mempunyai peran penting pada
proses vasokonstriksi arteri-arteri kulit khususnya pada keadaan dingin. Pada suhu normal
(37ºC) alpha2C-adrenoceptor dalam keadaan “silent” tersimpan dalam aparatus golgi.
Mereka akan bertranslokasi ke permukaan sel setelah terjadinya paparan dingin dan
berkontribusi pada respon konstriktif adrenergik. Proses pendinginan akan menginduksi
aktivasi dari Rho/Rho kinase signaling pathway dan proses ini akan menstranslokasi dari
alpha 2C-adrenoceptor dari komplek golgi ke membran plasma bersama dengan peningkatan
sensitivitas dari Ca++ pada protein kontraktil.9
Pemicu awal dari Rho/Rho kinase signaling dapat terjadi oleh peningkatan secara
cepat dari reactive oxygen species (ROS) pada sel otot polos yang disebabkan oleh paparan
suhu dingin (28ºC). peningkatan respon dari kontraktilitas pada alpha-2 adrenergik agonis
dan pendinginan pada suatu penelitian dihubungkan dengan peningkaan aktivitas protein
tyrosine kinase (PTK) dan tyrosine phosporylation. Kemungkinan lainnya dari peningkatan
sensitivitas dingin dari alpha-2 reseptor mungkin dapat terjadi diluar dari perubahan ekspresi
alpha reseptor itu sendiri, termaksuk peningkatan produksi dari endothelin-1, penurunan dari
sensory nerve innervation (CGRP-containing nerve fobers) dan gangguan dari fungsi dilator
endontel.10
Pada RP sekunder, proses patogenesis dapat dipikirkan berasal dari penyakit vaskuler
yang mengganggu mekanisme normal yang bertanggung jawab dalam mengatur reaktivitas
vaskular. Pada penyakit sistemik lupus, contohnya, perubahan unik pada sistem
mikrovaskular terbentuk yang dikaitkan dengan fibrosis intimal dan disfungsi endotel.
Kerusakan maupun disfungsi endotel tampaknya terjadi pada stadium awal penyakit, dan
dihubungkan dengan peningkatan ahdesi dari platelet, penurunan penyimpanan dari von
Willebrand factor, dan penurunan dari uptake adenosin. Peningkatan aktivitas ROS yang
menyebabkan iskemia reperfusi injury kemudian mengubah ekspresi reseptor sel otot polos
dan fungsi pembuluh darah.10
Pada kasus ini, seorang wanita umur 30 tahun, dengan keluhan terdapat perubahan
warna kulit pada tangan yang terlihat pucat. Awalnya jari tangan terlihat pucat dan merah
keunguan pada kedua tangan. keluhan disertai dengan suhu kulit jari tangan yang terkena
menjadi dingin. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun ini. Awalnya pasien
6
mengeluhkan rasa gatal dan kebas pada jari. Keluhan terjadi khususnya pada keadaan
dingin. Nyeri pada daerah lokasi yang diderita disangkal.
Menifestasi klinis RP secara tipikal serangan umumnya dimulai dari jari satu buah
dan kemudian menyebar ke jari-jari yang lainnya secara simetris pada kedua tangan. Secara
lokasi, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis adalah jari yang paling sering terkena,
sedangkan jempol adalah bagian jari paling jarang terkena. Keterlibatan dari jari jempol dapat
dianggap mengindikasikan terjadinya penyebab sekunder dari RP. Vasospasm pada kulit juga
umum pada daerah lainnya, termaksud kulit dari telinga, hidung, wajah, lutut, dan payudara.11
Gejala dari RP dapat termaksud keluhan yang berasal dari rendahnya aliran darah
atau iskemia. Sebagai suatu contoh, RP ringan dapat dikaitkan dengan sensasi seperti
tertusuk-tusuk, kesemutan pada tangan, dan nyeri pada jari-jari tangan. Tanda-tanda dari RP
unkomplikata harusnya akan hilang sepenuhnya dengan menghangatkan ataupun mengatasi
serangan stress yang datang. Pada keadaan RP sekunder yang berat, nyeri ataupun ulserasi
dari kulit (khususnya ujung dari jari) akan berakibat pada critical tissue ischemia.2
Selama suatu respon dingin, pasien dengan RP akan mengalami suatu keadaan livedo
reticularis. Ini adalah suatu perubahan kulit menjadi gambaran violaceous mottling ataupun
gambaran reticular pattern pada kulit dari lengan dan kaki, yang kadang dengan gambaran
regular unbroken circles. Pada pasien RP dengan gambaran kulit tersebut, penemuan itu
dianggap sebagai benign dan hilang sepenuhnya dengan penghangatan.2
Pasien dengan RP harus memperhatikan bahwa paparan pada suhu dingin akan
memicu terjadinya RP. lebih penting lagi, pemicuan akan terjadi selama terjadinya
perpindahan suhu relatif dari hangat menuju suhu dingin. Sehingga biasanya paparan suhu
dingin yang ringan seperti AC/pendingin ruangan atau suhu dingin yang berasal dari kulkas
makanan dapat menyebabkan suatu episode serangan, bahkan jika kedua tangan/kaki dari
area yang terkena tetap hangat. Oleh karena itu, untuk mencegah serangan RP pasien harus
tetap menjaga kehangatan seluruh bagian dari tubuh. Serangan dari RP juga timbul setelah
stimulus dari sistem saraf simpats (seperti stress emosional & terkejut tiba-tiba).2
Diagnosis dari RP dapat dibuat jika seseorang mempunyai riwayat dari : onset yang
tiba-tiba dari gejala dengan karakteristik RP. Umumnya anamnesis riwayat sendiri dapat
dijadikan sebagai suatu diagnostik pada RP, mengingat tidak ada pemeriksaan simple yang
secara konsisten memicu suatu serangan RP.12
Usaha untuk memicu suatu serangan pada RP, seperti test uji air dingin, tidak
direkomendasikan mengingat respon yang muncul tidak konsisten walaupun pada orang-
orang dengan diagnosis pasti dari RP. akan tetapi, respon vaskular jari pada pendinginan,
7
menggunakan peralatan kompleks untuk mengukur tekanan darah jari, aliran darah jari, dan
temperatur kulit, dapat membedakan pasien-pasien dengan RP primer dari orang-orang
normal dan orang dengan penyakit scleroderma.12
Uji diagnostik yang digunakan untuk menilai respon vaskular pada jari dan kulit
termasuk : nailfold capillaroscopy, videomicroscopy, thermography, angiography, laser
Doppler imaging, dan pengukuran langsung dari temperatur kulit dan aliran darah lokal.
nailfold capillaroscopy, thermography, dan laser Doppler imaging secara independen dapat
membedakan secara baik antara objek kontrol sehat dan RP primer.12
Keluhan dari dingin pada tangan ataupun kaki sangat umum sering terjadi pada
populasi umum normal dan harus dibedakan dengan RP, yang mana melibatkan kedua gejala
berupa kulit tangan/kaki dingin disertai perubahan warna kulit. Pada orang normal kulit akan
menjadi dingin dan akan mengalami mottling (kemerahan) pada paparan suhu dingin, akan
tetapi, tidak seperti RP, kulit orang normal tidak mengalami perlambatan fase recover aliran
darah dan tidak adanya perubahan warna kulit yang tegas secara lama dari kulit yang terkena
suhu dingin.2
Untuk membantu membuat suatu diagnosis, beberapa peneliti telah mengeluarkan
suatu questionaire standart untuk membantu pasien ataupun dokter dalam mengenali RP.2
(tabel 2). Maricq and Weinrich Questionairre in 1988.
8
Untuk memenuhi klasifikasi seseorang mengalami RP dalam definisi yang sempit,
setidaknya pasien harus memenuhi setidaknya 3 dari 4 kriteria diatas.
Criteria klinis yang menggambarkan tingkatan relatif dari kepastian diagnosis dari RP
itu sendiri 2 :
Definite RP : episode yang berulang dari perubahan warna kulit bifasik terhadap
paparan suhu dingin.
Possible RP : perubahan dari warna kulit unifasik ditambah dengan kesemutan atau
mati rasa pada paparan terhadap dingin.
No RP : tidak ada perubahan warna kulit terhadap paparan suhu dingin.
Pada RP sekunder, mengingat beragam dari kemungkinan penyakit dapat mengganggu
dari kompleks normal pengaturan dari aliran darah regional pada jari dan kulit, oleh karena
itu, jumlah dari penyakit yang dikaitkan dengan RP adalah sangat banyak. Penyakit yang
paling sering adalah scleroderma, systemic lupus erithematosus, penyakit jaringan ikat
lainnya, penyakit pembuluh darah occlusive, efek dari obatan, abnormalitas darah dan
penggunaan dari alat-alat getar.2
Akan tetapi, semenjak RP primer adalah sering terjadi pada populasi umum, beberapa
melaporkan hubungan penyakit lain dengan RP masih belum dapat dibuktikan secara pasti.
Sebagai contoh, prevalensi RP pada SLE/RA dianggap kontroversial. Beberapa peneliti
menduga tidak adanya peningkatan resiko, tetapi beberapa penelitian lainnya menemukan
bahwa 17-22% pasien dengan SLE/RA menderita RP.12
Jika terdapat suatu kecurigaan yang tinggi terhadap suatu penyakit yang menyebabkan
RP sekunder, seperti onset yang terjadi setelah umur 25 sampai 30, atau kejadian tidak
menyenangkan beragam, pemeriksaan laboratorium yang khusus seperti ANA test, test
spesifik autoantibodi (anti-centromere) atau tes laboratorium lainnya mungkin dibutuhkan.
Sering juga pasien yang sebelumnya terdiagnosis RP primer yang kemudian menjadi
diagnosis RP sekunder setelah perjalanan waktu. Terdapatnya autoantibodi yang spesifik
yang menyerang autoantigen juga meningkatkan kecurigaan dari penyakit jaringan ikat
sekunder atau sindrom overlapping. Suatu positif ANA screening meningkatkan
kemungkinan dari suatu penyakit autoimmune yang mendasarinya, khususnya SLE.13
Pada kasus ini pasien juga mengeluhkan terdapat bercak kemerahan muncul pada
lengan dan wajah bila terkena sinar matahari disertai nyeri pada persendian tubuh
9
khususnya di lengan dan jari-jari tangan serta rambut rontok. Hemodinamik stabil dengan;
malar rash; kulit jari tangan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin (13,4 g/dL); leukositosis (3.800 /mm3);
trombosit (243.000 /mm3); D-Dimer (100 ng/dL); elektrolit (Na: 143 mEq/L, K: 3,7 mEq/L,
Cl: 108 mEq/L), RFT (ureum : 11 mg/dl, Kreatinin : 0.63 mg/dl); Imunologi: ANA Test :
38,3, Anti Ds-DNA : 165,7; Protein urine 24 jam : 2060 mg/24 jam.
Saat ini, terapi RP memberikan hasil yang memuaskan. Namun, perkembangan
pemahaman mekanisme patofisiologi RP saat ini tampak memberikan pendekatan terapi yang
berbeda. Beberapa uji klinis memberikan hasil terapi yang mungkin menjanjikan, baik
dengan menggunakan agen vasodilator (calcium channel blockers, nitrat, prostaglandin, PDE-
5 inhibitors) atau penghambat vasokonstriksi (endothelin receptor antagonists, angiotensin-
receptor blockers, alpha receptor blockers).14,15
Pasien dengan RP primer umumnya tidak menunjukkan disabilitas saat terjadi
serangan, namun memberikan dampak terhadap kualitas hidup penderita. Terapi inisial yang
diberikan bersifat konservatif, dimana terapi non-farmakologis merupakan terapi yang utama
walaupun terapi farmakologis tetap dapat diperlukan. Sedangkan pada RP sekunder sering
menunjukkan gejala yang lebih berat saat terjadi serangan sehingga pada RP sekunder terapi
farmakologis merupakan terapi yang penting diberikan yang kemudian diikuti dengan terapi
non-farmakologis.15
Tujuan terapi pada RP adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencegah
terjadinya cedera jaringan lebih lanjut akibat iskemik. Pengurangan intensitas serangan dan
pencegahan ulkus digitalis serta cedera jaringan dapat tercapai pada beberapa pasien. Efikasi
terapi bergantung dengan derajat beratnya penyakit dan ada tidaknya penyakit yang
mendasarinya, terutama pada penderita penyakit rematik sistemik yang dihubungkan dengan
penyakit sklerosis sistemik.15
Adapun terapi awal yang dapat diberikan pada RP adalah: edukasi pasien,
mempertahankan suhu tubuh tetap hangat dan menjauhi faktor pencetus, pemberian
farmakoterapi dengan calcium channel blocker (CCB), serta terapi behaviour yang sangat
bergantung pada preferensi dan status ekonomi pasien. Pada pasien yang tidak memberikan
respon terhadap terapi awal, maka dapat diberikan tambahan atau penggantian agen
farmakologi, seperti sediaan nitrat topikal atau phosphodiesterase 5 (PDE5) inhibitors. Pasien
dengan iskemik digitalis yang juga tidak memberikan respon terhadap pemberian vasodilator
oral maupun topikal mungkin dapat membutuhkan rawat inap dan/atau diberikan terapi
antikoagulan, prostanoid intravena, ataupun simpatektomi serta intervensi lainnya.14
10
Pada kasus ini, setelah dalam perjalanannya dapat dipikirkan suatu kondisi diamna
terjadi Raynaud Phenomenon sekunder, Penderita mendapatkan pengobatan
Methylprednisolon iv dengan dosis 1000 mg/ hari selama 3 hari, kemudian dilanjutkan
dengan prednison tablet 50 mg/hari, Cellcept 2x500 mg, Hidroksikloroquin 1x250 mg, PCT
2x1000 mg, Diltiazem 1 x 30 mg. Pasien membaik dan pulang setelah 14 hari rawatan.
Pemberian edukasi pada penderita RP terhadap kemungkinan faktor penyebab atau
pencetus terjadinya serangan memberikan peranan yang penting dalam mencegah ataupun
menghentikan terjadinya serangan RP. Suatu studi menunjukkan adanya penurunan 10-40%
frekuensi dan keparahan serangan RP pada penderita yang diberikan placebo baik pada RP
primer maupun sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa sikap penderita yang positif, perhatian
yang diberikan pada penderita, dan edukasi yang baik dapat menjadi faktor penting dalam
mengendalikan terjadinya serangan. Selain itu, didapatkan adanya hubungan sistem saraf
simpatis dengan sensitivitas terhadap mediator-mediator simpatis, dimana terjadi peningkatan
frekuensi dan keparahan serangan pada penderita yang memiliki tingkat kecemasan yang
tinggi dan berada pada suhu dibawah 16º C. Adapun tindakan yang dapat dilakukan untuk
mencegah dan menghadapi faktor-faktor pencetus saat terjadi serangan adalah: 15
• Jauhi paparan suhu dingin, terutama pada perubahan suhu yang tiba-tiba
• Menjaga seluruh tubuh tetap hangat dengan pakaian yang tertutup
• Menjaga jari-jari tangan dan kaki tetap hangat dengan sarung tangan dan kaos
kaki
• Jika terjadi serangan, letakkan tangan pada aksila atau bagian tubuh yang
hangat
• Hindari merokok, dimana pada perokok aktif terjadi sensitisasi oleh agen
vasokonstriksi dari rokok, yang berhubungan dengan keparahan serangan.
• Hindari penggunaan obat simpatomimetik (dekongestan, amfetamin, pil diet,
herbal yang mengandung efedra), obat penghilang migrain (sumatriptan,
kafein, ergotamin)
• Hindari trauma pada jari tangan dan kaki
• Hindari dan kontrol stres emosional yang berhubungan dengan peningkatan
aktivitas saraf simpatis.
Follow up pada pasien tidak dapat dilanjutkan, mengingat pasien tidak datang
kontrol ke poliklinik. Episode dari gejala RP, respon dari terapi selanjutnya, dan rencana
11
diagnostik dan terapi kedepannya pada pasien sebenarnya menjadi rencana untuk menjadi
bahan evaluasi terhadap pasien ini.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus dari Raynaud Phenomenon pada penyakit Systemic
Luus Erythematosus pada seorang wanita muda dengan keluhan terdapat perubahan warna
kulit pada tangan yang terlihat pucat tiba-tiba. keluhan disertai dengan suhu kulit jari tangan
yang terkena menjadi dingin. Setelah dilakukan berbagai follow up dan test diagnostik
didapatkan diagnostik Raynaud Phenomenon sekunder dengan SLE. Penderita mendapatkan
pengobatan glucocorticoid, Imunosupresan dan Calcium Channel Blocker Pasien membaik
dan pulang setelah 14 hari rawatan. Kontrol dan evaluasi pada pasien dilakukan dan pasien
datang untuk kontrol ke poliklinik.
12
REFERENCES
1. Wigley FM. Clinical practice. Raynaud's Phenomenon. N Engl J Med 2002;
347:1001.
2. Fredrick M, Clinical manifestations and diagnosis of the Raynaud phenoenon.
UpToDate, 2011.
3. Maricq HR, Carpentier PH, Weinrich MC, et al. Geographic variation in the
prevalence of Raynaud's phenomenon: Charleston, SC, USA, vs Tarentaise, Savoie,
France. J Rheumatol 1993; 20:70.
4. Chikura B, Moore TL, Manning JB, et al. Sparing of the thumb in Raynaud's
phenomenon. Rheumatology (Oxford) 2008; 47:219.
5. Raynaud, M. Local asphyxia and symmetrical gangrene of the extremities 1862. New
researches on the nature and treatment of local asphyxia of the extremities 1874.
Translated by Barlow London: New Syndenham Society,1888.
6. Lewis, T. Experiments relating to the peripheral mechanism involved in spasmodic
arrest of the circulation of the fingers. A variety of Raynaud's disease. Heart 1929;
14:7.
7. Herrick AL. Pathogenesis of Raynaud's phenomenon. Rheumatology (Oxford) 2005;
44:587.
8. Flavahan NA, Cooke JP, Shepherd JT, Vanhoutte PM. Human postjunctional alpha-1
and alpha-2 adrenoceptors: differential distribution in arteries of the limbs. J
Pharmacol Exp Ther 1987; 241:361.
9. Bailey SR, Eid AH, Mitra S, et al. Rho kinase mediates cold-induced constriction of
cutaneous arteries: role of alpha2C-adrenoceptor translocation. Circ Res 2004;
94:1367.
10. Fredrick M, John S. Pathogenesis of the Raynaud phenomenon. UpToDate. 2014.
11. Chikura B, Moore T, Manning J, et al. Thumb involvement in Raynaud's
phenomenon as an indicator of underlying connective tissue disease. J Rheumatol
2010; 37:783
12. Carroll GJ, Withers K, Bayliss CE. The prevalence of Raynaud's syndrome in
rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 1981; 40:567.
13. Wollersheim H, Thien T, Hoet MH, Van Venrooy WJ. The diagnostic value of
several immunological tests for anti-nuclear antibody in predicting the development
13
of connective tissue disease in patients presenting with Raynaud's phenomenon. Eur
J Clin Invest 1989; 19:535.
14. Baumhakel M, Bohm M. Recent achievements in the management of Raynaud’s
phenomenon. Vascular Health and Risk Management. 2010; 6: 207-214.
15. Fredrick M, Wigley. Initial treatment of the Raynaud phenomenon. UpToDate. 2014.
Available from: http://www.uptodate.com/contents/initial-treatment-of-the-raynaud-
phenomenon?source=see_link [Accessed 23 June 2016]
top related