presus
Post on 22-Jul-2016
16 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS TINEA UNGUIUM
DISUSUN DAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
Disusun oleh :
AWANG BUDI SAKSONO
1210221054
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 15 OKTOBER – 18 NOVEMBER2012
1
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UPN
STATUS ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSPAD GATOT SOEBROTO
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N.G.S
Umur : 71 Tahun
Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Pendidikan : TNI-AD
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : PURNAWIRAWAN
Alamat : Cempaka putih barat no 17 RT 02/13
No. CM : 40.76.53
II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis tanggal 21 Februari 2013
Keluhan Utama : ujung kuku jari tangan rusak dan berwarna kuning
Keluhan Tambahan : Tidak ada
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke RSPAD dengan keluhan utama kuku pada jari tangan rusak.
sebelumnya, pasien mengalami penyakit ini sejak sebulan sebelum masuk
RS, semua jari tangan pasien perlahan2 rusak dari ujung kuku dan semakin
menyebar kedalam. Pasien pernah mencoba mencabut salah satu kuku jarinya
untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi pada kuku baru tetap tumbuh
vegetasi. Setelah itu pasien mencoba membeli obat jamur oles di apotik,
vegetasi sempat hilang tetapi tumbuh lagi setelah obat dihentian. Pasien
2
sebelumnya belum pernah berobat ke dokter. Pasien menyangkal mempunyai
riwayat penyakit sistemik dan alergi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku pernah mengalami gatal disertai ketombe yang diduga
adalah dermatitis seboroik setahun belakangan.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada
III. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Cukup
Tanda Vital : TD :Tidak diperiksa Nadi: 80x/menit
: RR : 20x/menit Suhu: Afebris
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Toraks : Simetris saat statis dan dinamis
Paru : SD vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung : BJ I-II reguler. Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema(-)
IV. STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi : seluruh subungual distal tangan dextra dan sinistra.
Effloresensi : hiperkeratosis dan penebalan pada daerah distal ungual jari
tangan. Terdapat perubahan warna kuku berwarna kekuningan di seluruh
distal ungual. Terdapat onikolisis pada jari 1 dextra dan sinistra.
3
V. RESUME
Pasien Tn N.G.S., 71 tahun datang dengan keluhan ujung kuku rusak.
Keluhan dirasakan secara perlahan muncul dari ujung jari tangan pasien.
pemeriksaan fisik dalam batas normal. Status dermatologikus, seluruh
subungual distal tangan dextra dan sinistra. hiperkeratosis dan penebalan
pada daerah distal ungual jari tangan. Terdapat perubahan warna kuku
berwarna kekuningan di seluruh distal ungual.
4
5
VI. DIAGNOSIS KERJA
Tinea unguium
VII. DIAGNOSIS BANDING
Tidak ada
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Kultur jamur
Pewarnaan PAS
IX. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
Edukasi untuk menghindari daerah lembab dan memberitahu
bahwa pengobatan akan lama.
kuretase kuku atau pengikiran kuku yang terkena.
2. Medikamentosa
a. Sistemik
Itrakonazol 2x100 mg
b. Perawatan topical
Amorolfine lacquer 12 bulan
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
6
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Salah satu bentuk dermatomikosis adalah onikomikosis yaitu satu kelainan kuku
yang disebabkan oleh infeksi jamur dematofita, ragi (yeasts) dan kapang (moulds).(1)
Onikomikosis umumnya disebabkan oleh dermatofita biasanya bergejala dan dapat
menyebabkan gangguan fungsi. Gambaran klinis onikomikosis meliputi
hiperkeratosis dengan penebalan dan perubahan warna pada lempeng kuku.(2)
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita.(3)
Istilah tinea unguium digunakan setelah ditemukan dermatofit pada hasil sebuah
kultur.(4)
Tinea unguium kadang-kadang muncul sebagai akibat tinea pedis, dengan
karakteristik onikolisis dan penebalan, perubahan warna (putih, kuning, coklat, dam
hitam), rapuh, dan kuku kekurangan nutrisi. Walaupun inflamasi jarang terjadi,
beberapa pasien merasakan nyeri.(5) Tinea unguium pada kuku kaki dapat
menyebabkan nyeri dan sebagai predisposisi infeksi sekunder bakteri dan ulserasi
pada dasar kuku. Komplikasi ini banyak terjadi pada individu dengan
immunocompromised dan diabetes.(6)
II. EPIDEMIOLOGI
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana
prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Alas
kaki yang tertutup, berjalan, adanya tempat temperatur, kebiasaan penggunaan
7
pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan
onikomikosis.(7)
Dermatofit yang sangat memberikan respon pada suhu di negara-negara barat adalah
onikomikosis, sedangkan candida dan jamur non-dermatofita lebih sering terjadi di
negara-negara dengan suhu panas dan udara yang lembab.(8)
Rata-rata prevalensi onikomikosis ditentukan oleh umur, faktor predisposisi, status
sosial, pekerjaan, iklim, lingkungan, dan seberapa seringnya berjalan.(9) Beberapa
faktor dapat berperan pada peningkatan onikomikosis. Pertama, berdasarkan
populasi umur, dengan beberapa sebab termasuk sirkulasi yang buruk ke perifer,
diabetes, trauma kuku yang berulang, terpapar lama dengan jamur patogen, fungsi
imun yang sub optimal, kemalasan memotong kuku kaki atau perawatan kuku kaki
yang baik. Kedua, beberapa orang dengan immunocompromised karena infeksi dari
human immunodeficiency virus dan penggunaan pengobatan immunosuppressive,
kemoterapi kanker atau antibiotik. Ketiga, kerajinan dalam partisipasi olahraga
meningkat dengan masuk dalam klub kesehatan, kolam renang komersil, dan oklusi
kaki diapakai latihan.(9,10)
III. ANATOMI
Kuku merupakan salah satu organ kulit tambahan yang mengandung lapisan tanduk
yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki, gunanya selain membantu jari-
jari untuk memegang juga digunakan sebagai cermin kecantikan. Lempeng kuku
terbentuk dari sel-sel keratin yang mempunyai dua sisi berhubungan dengan udara
luar dan sisi lainnya tidak. (1)
8
- Matriks kuku Merupakan pembentuk jaringan kuku yang baru
-Kutikel (cuticle) Merupakan penghubung dua permukaan epitel dari lipatan kulit
proximal. Melindungi struktur dasar kuku (matrix germinatif) dari iritasi, alergi,
bakteri/jamur patogen.
-Lipatan kuku lateral Menutupi sisi lateral lempeng kuku
-Lunula Dasar dari lipatan proximal. Merupakan bagian lempeng kuku yang
berwarna putih di dekat akar kuku berbentuk bulan sabit,sering tertutup oleh kulit.
-Dasar kuku (nail bed) Terdiri dari bagian epidermal dan mendasari dermis yang
berhubungan dengan periosteum dari distal phalanx. Normal berwarna merah muda
karena vaskularisasi yang nampak melalui lempeng kuku yang translusen.
- Hiponikium Ruang di bawah kuku yang bebas, memisahkan lempeng kuku dan
dasar kuku pada ujung distal.
-Lempeng kuku (nail plate) Sebagai proteksi yang keras. Statis dan dengan kuat
menempel pada dasar kuku. Dikelilingi tiga sisi lipatan kuku. Terbentuk dari tiga
lapiasn horisontal: lamina dorsal tipis, lamina intermedit tebal, lapisan ventral dari
dasar kuku. Kerasnya lempeng kuku karena high sulfur matrix protein.
IV. ETIOPATOGENESIS
9
Etiologi yang paling sering pada onikomikosis adalah dermatofita (tinea unguium)
95-97%,(6) terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes var.
interdigitale.(5,6) Sebagian kecil disebabkan oleh : Epidermophyton floccosum, T.
violaceum, T. schoenleinii, T. verrucosum (biasanya hanya pada kuku tangan).(7)
Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat.
Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak (yaitu dengan
bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis, penyakit arteri perifer), setelah trauma
(mis: patah tungkai bawah), atau gangguan persarafan (mis: cedera pleksus
brachialis, trauma tulang belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder, pada kuku
kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan onikomikosis sekunder
setelah tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis.(7)
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang menyediakan sumber
nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur mycelia. Infeksi dermatofita
melibatkan tiga tahap: perlekatan pada keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel-
sel, dan membangun respon pejamu. Perlekatan jamur superfisial harus mengatasi
berbagai kendala seperti menahan pengaruh sinar ultraviolet, variasi suhu, dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan sphingosines yang diproduksi oleh
keratin agar artrokonidia, elemen infeksius, dapat melekat pada jaringan keratin.(8,14)
Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus stratum korneum
lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat terjadi bila sekresi proteinase,
lipase, dan enzim mukolitik, yang memberikan nutrisi bagi jamur. (8,14)
10
Membangun respon pejamu, tingkat peradangan dipengaruhi baik oleh status
imunologi dan organisme yang terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis untuk
inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur memiliki
faktor-faktor kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri.
Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk menciptakan turunan
faktor kemotaksis.(14)
Pembentukan antibodi tidak timbul untuk melindungi dari infeksi dermatofita, pada
pasien dengan infeksi yang luas mungkin memiliki peningkatan titer antibodi.
Sebagai alternatif, reaksi tipe IV atau reaksi hipersentsitifitas tipe lambat, memiliki
peran penting dalam melawan dermatofita. Kekebalan seluler oleh sekresi interferon-
γ dari tipe 1 limfosit T-helper. Ini merupakan hipotesis bahwa antigen dermatofita
diproses di sel-sel epidermis langerhans dan disajikan pada kelenjar getah bening
lokal untuk limfosit T. Limfosit T mengalami proliferasi klonal dan migrasi pada
tempat yang terinfeksi jamur.(14)
V. GEJALA KLINIS
Terdapat beberapa tipe tinea unguium :
1) Onikomikosis Subungual Distal/Lateral
Onikomikosis subungual distal dan lateral merupaka pola infeksi yang paling sering
didapatkan.(6) Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa
kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal
akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.(3) Biasanya
nampak pewarnaan putih atau kuning pada ujung bantalan kuku, paling sering
11
terdapat di lipatan kuku lateral.(6) Bentuk ini umumnya disebabkan T. rubrum.(15) Jika
mengenai kuku tangan, pada umumnya dengan pola dua kaki dan satu tangan. Secara
klinis, bagian kuku subungual distal menunjukkan hiperkeratosis dan onikolisis.
Penyebaran bagian proksimal terjadi sepanjang jalur longitudinal.(13)
2) Onikomikosis superficial putih (leukonikia trikofita)
Kelainan ini juga jarang ditemui. Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan
leukonikia atau keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan
adanya elemen jamur.(6) Merupakan infeksi lapisan dorsal kuku yang disebabkan
bercak bersisik putih.(16) Oleh Ravant dan Rabeau (1921) kelainan ini dihubungkan
dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya. (12) Dapat pula
disebabkan oleh Trichophyton rubrum pada pasien yang terinfeksi HIV. (15)
3) Onikomikosis subungual proksimal
Onikomikosis subungual proksimal disebabkan oleh T. rubrum dan T. Megninii.
Jamur mencapai zona matriks keratogenus kuku melalui lapisan kuku proksimal.
Penyebab terseringnya yaitu jamur (Scopulariopsis brevicaulis, Fusarium spp. dan
Aspergillus spp).(13,14) Secara bertahap, warna keputihan mulai memasuki lunula, lalu
berpindah ke distal kuku yang terinfeksi. Terjadi pembesaran hingga dapat menyebar
pada seluruh kuku, hiperkeratosis subungual, leukonikia, onikolisis proksimal dan
destruksi pada seluruh kuku.(6,14) Pola seperti ini jarang terjadi, namun 10 tahun
belakangan telah menjadi bagian pada pasien AIDS.(6)
4) Onikomikosis Endoniks
12
Onikomikosis endoniks adalah tipe yang paling jarang. Umumnya disebabkan oleh
T.soundanese dan T.violaceum. Dapat diasosiasikan dengan infeksi pada plantar.
Gambaran klinis berupa perubahan warna putih susu dan difus opak pada lempeng
kuku tanpa subungual keratosis dan onikolisis.(13)
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit,
rambut dan kuku. Bahan pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan terlebih
dahulu di tempat kelainan dan dibersihkan dengan spiritus 70% lalu untuk kuku
bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya
sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula. (3)
Mikroskopi Langsung (Direct Microscopy)
Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk konfirmasi diagnosis.
Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan pada kaca slide, ditutupi
dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan KOH lalu dipanaskan dengan
hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan dimethyl
sulfoxide dan atau tinta Parker Quink pada larutan KOH dapat memudahkan
identifikasi elemen jamur. Identifikasi spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan
mikroskopik, tetapi pada banyak kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita
dari morfologinya.(7)
Kultur Jamur
13
Tujuan pemeriksaan biakan ialah identifikasi spesies jamur penyebab, membantu
keperluan pengobatan, membantu prognosis penyakit dan untuk keperluan studi
epidemiologi.(17)
Cara pemeriksaan yaitu pembiakan dilakukan dalam media agar sabouroud atau
modifikasinya pada suhu kamar 25-30ºC kemudian sekitar ± 5 hari baru tampak
adana pertumbuhan dan ± 1 minggu lagi baru terlihat jelas karakteristiknya. Selama
pertumbuhan ini harus diperhatikan ada tidaknya warna yang dibentuk in verso atau
in recto, ada tidaknya hifa aereal yang seperti kapas, beludru, bubuk, dan lain-lain.
Juga bentuknya menonjol seperti gunung kecil dengan batas yang tajam, ireguler
dengan permukaan yang licin seperti tetesan lilin. Pemeriksaan biakan sebaiknya
dilakukan tidak terlalu lama setelah diperkirakan ada pertumbuhan sifat-sifat khusus
jamur tersebut. Untuk dermatofit tenggang waktunya ± 3 minggu setelah
penanaman. Bila terlalu lama, golongan jamur ini akan terjadi pleomorfik, dimana
tanda-tanda khasnya akan hilang. (17)
Pemeriksaan Histopatologi
Dilakukan jika hasil pemeriksaan KOH ditemukan negatif. Pewarnaan PAS
digunakan untuk mendeteksi jamur pada kuku. (7) Hifa dapat ditemukan melekat
diantara lamina kuku paralel hingga kelapisan dasar, dengan predileksi bagian
ventral kuku dan bantalan kuku bagian stratum korneum. Bagian epidermis
menunjukkan spongiosis dan fokal parakeratosis, dan minimal inflamasi respon
dermis. (14)
14
VII. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis Onikomikosis (tinea unguium) selain dari gejala klinis juga
dapat menggunakan pemeriksaan mikroskopik, kultur, dan histopatologi.(15) Oleh
karena onikomikosis bertanggung jawab besar pada distropi kuku, maka
pemeriksaan dengan laboratorium sangat membantu sebelum memberikan
pengobatan anti jamur. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
KOH, hisopatologi, dan kultur jamur.(14)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Psoriasis Kuku
Psoriasis ini ditandai dengan lubang, (salmon) atau bercak yang berminyak,
onikolisis dan distrofi kuku. Lubang ini mulai berkembang dari lesi psoriasis yang
ada pada proksimal matriks kuku. Kedalaman dan durasi lubang mencerminkan
keparahan dari psoriasis pada kuku. Pada kuku terdapat reaksi inflamasi terutama
infiltrat limfosit pada dermis atas dengan kapiler yang melebar, spongiosis dengan
eksositosik limfositik, dan parakeratosis yang mengandung neutrofil tunggal.(18)
2. Paronikia
Paronikia adalah inflamasi yang mengenai lipatan kulit disekitar kuku. Paronikia
ditandai dengan pembengkakan jaringan yang nyeri dan bernanah. Bila infeksi
berlangsung kronik maka terdapat celah horizontal pada dasar kuku. Biasanya
mengenai 1-3 jari terutama jari telunjuk dan jari tengah. Penyebab terjadinya
15
paronikia ini adalah akibat trauma yang kemudian terjadi pemisahan antara lempeng
kuku dari eponikium, celah ini kemudian terkontaminasi oleh piogenik atau jamur.
Piogen yang tersering adalah Staphylococcus atau Pseudomonas sedangkan jamur
tersering adalah Candida albican.(12)
3. Liken planus kuku
Liken planus pada kuku dapat timbul tanpa kelainan kuku. Perubahan pada kuku
berupa belahan longitudinal, lipatan kuku yang menggelembung (pterigium kuku),
dan kadang-kadang anonikia. Lempeng kuku menipis dan papul liken planus dapat
mengenai kuku.(12)
IX. PENGOBATAN
Pilihan terapi untuk pengobatan onikomikosis antara lain terapi paliatif, debridemen
mekanik atau kimia, anti jamur topikal dan sistemik. Kombinasi variasi pengobatan
lainnya. Pilihan terapi dipengaruhi oleh gambaran dan keparahan penyakit, terapi
lain yang digunakan penderita, terapi yang telah digunakan sebelumnya (dan efek
lain), (20)
Terapi antibikotik sistemik (12)
Griseofulvin. Obat ini bersifat fungistatik yang efektif untuk jamur. Dosis
yang digunakan adalah 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk
anak-anak dalam sehari atau 10-25 mg/kgBB.
16
Ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dan juga digunakan jika resisten
terhadap pemberian griseofulvin dengan dosis 200 mg/ hari selama 10-14
hari pada pagi hari setelah makan.
Itrakonazol. Obat ini juga bersifat fungistatik dan digunakan jika pada
pasien tidak bisa mengkonsumsi ketokonazol akibat penyakit pada hepar dan
merupakan pilihan yang paling baik dengan dosis denyut selama 3 bulan
pada onikomikosis. Cara pemberiannya secara tiga tahap dengan interval 1
bulan. Setiap tahap dalam 1 minggu dosisnya 2 x 200 mg sehari dalam
kapsul.
Terbinafin. Bersifat fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti dari
griseofulvin dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari tergantung berat badan
selama 2-3 minggu.
1. Terapi topikal. Pada terapi topikal tersedia dalam bentuk losion dan lacquer
(cat kuku). Amorolfine lacquer dilaporkan efektif dengan penggunaan
selama 12 bulan. Sedangkan ciclopirox (penlac) nail lacquer adalah agen
topikal (ciclopirox 80%) yang efektif digunakan selama 48 minggu. (14)
2. Debridemen. Mengangkat jaringan kuku yang distropik, pasien seharusnya
didebridemen setiap satu minggu. Pada onikomikosis subungual distal,
hiperkeratotik harus diangkat. Pada onikomikosis superfisial putih, kuku
diangkat dengan cara dikuret. (14)
3. Terapi Novel laser. Telah dikemukakan terapi laser untuk mengobati
onikomikosis (total distropi, proksimal subungual onikomikosis, distal
subungual onikomikosis dan onikomikosis endoniks). Terapi laser
dikembangkan karena terapi dengan farmakologi dianggap membutuhkan
17
waktu yang lama. Terapi bedah laser juga mempunyai efek bakterisidal.
Karena cahaya lokal laser sangat panas yang dapat membunuh
mikroorganisme dan sebagai simulasi proses penyembuhan. Pada studi laser
yang digunakan adalah VSP Nd:YAG 1066 nm, yang penetrasi sampai ke
plat kuku, dermis dan jaringan kuku lainnya. (19)
X. PROGNOSIS
Tanpa terapi yang efektif, onikomikosis tidak dapat sembuh secara spontan.
Keterlibatan yang progresif dari beberapa kuku adalah biasa. Onikomikosis
subungual distal/lateral menetap setelah terapi tinea pedis dan sering menyebabkan
episode berulang dermatofita epidermal pada kaki, pangkal paha, dan lokasi lain.
Tinea pedis dan/atau onikomikosis subungual distal/lateral merupakan awal untuk
infeksi bakteri berulang (S. aureus, group A streptococcus), khususnya sellulitis
pada tungkai bawah.(7)
Prevalensi pada penderita diabetes diperkirakan 33%; onikomikosis subungual
distal/lateral memberikan kontribusi terhadap keparahan masalah kaki: infeksi
bakteri superfisial, ulserasasi, selulitis, osteomielitis, nekrosis, amputasi. Diabetes
membutuhkan intervensi dini dan harus diskrining reguler oleh dermatologis. HIV
yang tidak diobati dikaitkan dengan peningkatan dermatofita. Tingkat relaps jangka
panjang dengan terapi oral terbaru seperti terbinafin, atau itarconazole dilaporkan
15-21% 2 tahun setelah terapi berhasil. Penyebab kambuh/ reinfeksi: reinfeksi,
inkompetensi imulogis, trauma terus menerus, penyebab tidak diketahui. Kultur
mikologi dapat positif tanpa gejala klinis yang jelas. Kebersihan kaki dan kuku
18
sangat penting: sabun benzoyl peroxide pada saat mandi dan preparat antijamur atau
ethanol/isopropyl gel. (7)
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Leelavathi M, Tzar MN, Adawiah J. Common Microorganisms Causing Onychomycosis in Tropical Climate. Sains Malays. 2012: 697-700.
2. Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM. Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of Dermatology and Venerology. 2011;18
3. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 89-105.
4. Arroll B, Oakley A. Preventing long term relapsing tinea unguium with tropical anti fungal cream:a case report. Cases Journal.2009;2:70.
5. Tullio V, Banche G, Panzone M, Cerveetti O, Roana J, Allizond V, et al. Tinea pedis and tinea unguium in a 7-year-old child. J Med Microbiol. 2006;56:1122-3.
6. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 31.1-.101.
7. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies.
8. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2008;20:243-50.
9. Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses worldwide. Mycoses. 2008, 51(suppl 4):2-15.
10. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and management. Indian J Med Microbi. 2008;26(2):108-16.
11. Sanjiv A, Shalini M,Charoo H. Etiological Agents of Onychomycosis from a Tertiary Care Hospital in Central Delhi, India. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Sciences. 2011;1(2):11-4.
12. Soepardiman L. Kelainan Kuku. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. P.312-7.
13. Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In: Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p. 197-220.
20
14. Verna S, Heffernan MP. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1807-21.
15. James WD, Berger TG, Elston DM. Disease Resulting from Fungi and Yeasts. Andrew’s Disease of The Skin : Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 297-331.
16. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinicals Companions Dermatology. New York: Thieme; 2006.
17. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.
18. Haneke E. Histopathology of common nail conditions. In : Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group; 2003. p.268-70.
19. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapin RP. Dermatology. 2nd ed: Mosby Elsevier.
20. Kozarev J, Vizintin Z. Novel Laser Therapy in Treatment of Onychomycosis. J. LAHA. 2010;2010(1). p.1
21
top related