peran penyidik pegawai negeri sipil kementerian …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/r....
Post on 03-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN
KEHUTANAN DALAM MENANGGANI KASUS TINDAK PIDANA
ILLEGAL LOGGING
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Oleh :
R. AZAQI LAMBANG SAPUTRO
E1A010030
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN
KEHUTANAN DALAM MENANGGANI KASUS TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)Disusun oleh:
R. AZAQI LAMBANG SAPUTRO
E1A1010030
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada, November 2014
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1001
Penguji I/Pembimbing I,
Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H.
NIP. 19640724 199002 1 001
Penguji II/Pembimbing II,
Pranoto, S.H., M.H.
NIP. 19540305 198901 1 001
Penguji III,
Handri Wirastuti S, S.H., M.H.
NIP. 19581019 198702 2 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : R. AZAQI LAMBANG SAPUTRO
NIM : E1A010030
Judul SkripsI : PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM
MENANGGANI KASUS TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri
dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka
saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 20 November 2014
R. Azaqi Lambang Saputro
NIM. E1A010030
iv
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah
melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi dengan
judul: PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN
KEHUTANAN DALAM MENANGGANI KASUS TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)
telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman atas motivasi dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di
Fakultas Hukum;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala
ilmu dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu
terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik;
3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu,
nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini;
v
4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku dosen penguji atas segala saran dan
masukan yang diberikan kepada penulis;
5. Dr. H.Kuat Puji Prayitno, S.H., M.H., selaku Dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dengan baik sampai lulus menjadi Sarjana Hukum;
6. Hj.Rochani Urip Salami, S.H., M.H. Dosen Hukum Dagang dan Dosen Hukum
Perbankan Universitas Jenderal Soedirman telah membantu dan memotivasi serta
memberikan nasihat-nasihat dalam berproses perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
7. H.Komari, S.H., M.H. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman
yang telah membantu dan memotivasi serta memberikan nasihat-nasihat dalam
berproses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
8. H. Dr.Nana Sutikna, Dosen Fakultas Fisip Universitas Jenderal Soedirman
9. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
10. Buat Mama Tercinta Cici S.Hermawati dan Papa R.Nuryono Eko Nuryanto,
S.sos. yang selalu memberi semangat pada anaknya hingga detik ini. Adik
Aprilia Siskawati Dila krismon, Adik Agustin Fajar Herlinawati, Adik Febrian
Ade Saputro Eyang Kakung R. Suripto Evik, Eyang Uti Siti Nuryati, Eyang
Kakung Slamet Haryanto B.A.(Bupati Pemalang dan Kepala Dinas Pendidikan
Dan Kebudayaan Jawa Tengah), Pakde Bambang Hermanto, S.E., MBA, Pakde
AKBP.Iskandar, S.H., M.H, Polda Jateng, H.A.Waliyullah, K.H. R.Muhaemin
vi
Gunardo Pengasuh Pondok Pesantren Bambu Runcing Parakan) dan seluruh
keluarga yang selalu mendoakan hingga skripsi ini selesai;
11. Teman-teman perjuangan 2010 Khususnya Kelas B yang setia menemani dari
awal di Fakultas Hukum hingga hari kelulusan saya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih
jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penulisan maupun materi di
dalamnya, namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus
sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk memacu semangat penulis dalam menulis.
Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak
kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.
Amin.
Purwokerto, 20 November 2014
Penulis,
R. AZAQI LAMBANG SAPUTRO
NIM. E1A010030
vii
HALAMAN MOTTO
“Jangan pernah katakana malu atau tidak berani sebelum kita mencobanya
terlebih dahulu”
”Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah
hal yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah
sekali. Ingat hanya pada Allah Swt apapun dan di manapun kita berada kepada
Dia-lah tempat meminta dan memohon”
“Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan
atau diperbuatnya” ( Ali Bin Abi Thalib)
viii
PERAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN KEHUTANAN
DALAM MENANGGANI KASUS TINDAK PIDANA
ILLEGAL LOGGING
(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)
Oleh :
R. AZAQI LAMBANG SAPUTRO
E1A01003
ABSTRAK
Penyidikan sebagai bagian dari sebuah proses panjang pembuktian suatu
tindak pidana mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam penyidikan ditentukan
apakah suatu tindak pidana dapat dicarikan barang bukti yang digunakan maupun
sekaligus untuk menentukan siapakah pelaku yang telah melakukan tindak pidana
tersebut. Dalam melakukan penyidikan undang-undang telah menentukan bahwa
hanya beberapa pejabat yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Dari
wewenang tersebut ada yang sudah diatur berdasarkan KUHAP maupun undang-
undang yang sifatnya khusus memberikan wewenang kepada pejabat tertentu untuk
melakukan penyidikan. Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam
sistem peradilan pidana mejadi hal yang penting karena tidak semua perkara tindak
pidana dapat dilakukan penyidikan oleh penyidik Polri biasa. Keterbatasan personil
Polri dan keterbatasan pengetahuan akan bidang lain menyebabkan keberadaan PPNS
sangatlah penting dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Tindak pidana illegal logging yang sekarang ini semakin marak baik dari
pelakunya maupun jumlah tindak pidana yang hasilnya berupa kayu sudah dirasa
sangat merugikan kepentingan banyak orang. Hal itu ditegaskan dengan banyaknya
hutan yang gundul sehingga sering menyebabkan bencana alam (banjir, tanah
longsor, dsb). Oleh karena itu keberadaan PPNS Kehutanan dalam membantu Polri
untuk mengungkap tindak pidana illegal logging dalam tingkat penyidikan sangatlah
diperlukan. Selain untuk memberikan bantuan kepada penyidik Polri, keberadaan
PPNS Kehutanan dirasa yang paling mengetahui akan kebutuhan maupun
permasalahan yang sering terjadi di kawasan hutan yang menjadi objek
perlindungannya. Sehingga dengan begitu peranan PPNS Kehutanan selain untuk
preventif (pencegahan) bisa juga menjadi penindak secara langsung dilapangan
terhadap orang maupun kelompok perorangan yang sedang melakukan tindak pidana
illegal logging.
Kata kunci: Penyidikan, PPNS Kehutanan, dan Tindak Pidana Illegal Logging.
ix
ABSTRACT
Investigation as part of a long process of proving a criminal offense has a
very important role. In the investigation determined whether a crime can be used to
look for evidence and also to determine who the offenders who have committed such
offenses. In investigating law has determined that only a few officials who are
authorized to conduct investigations. Of the existing authority that is set by the
Criminal Procedure Code and the laws that are specifically authorized certain
officials to conduct an investigation. The existence of Civil Servant (investigators) in
the criminal justice system becoming important because not all criminal assault
investigation can be carried out by regular police investigators. Police personnel
limitations and the limitations of other fields of knowledge will lead to the existence
of investigators is crucial in uncovering a crime.
Illegal logging activities are now increasingly prevalent both of the
perpetrators as well as the amount of crime that results in the form of wood was
considered very detrimental to the interests of many people. This was confirmed by
the many deforested so often cause natural disasters (floods, landslides, etc.).
Therefore, the existence of Forestry investigators in helping the Police to uncover
illegal logging activities in the level of investigation is needed. In addition to
providing assistance to police investigators, the existence of Forestry investigators
feel are most aware of the needs and problems that often occur in the forest area
which is the object of protection. So with that role Forestry investigators in addition
to preventive (prevention) can also be directly in the field responder individuals and
groups of individuals who are doing illegal logging activities.
Keywords: Investigation, Investigators Forestry, and The Crime of Illegal Logging.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................. vii
ABSTRAK ....................................................................................................viii
ABSTRACT ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
D. Keguanaan Penelitian ................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PengertianHukum Acara Pidana ................................................ 6
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ........................................... 6
2. Fungsi Hukum Acara Pidana ................................................. 8
3. Tujuan Hukum Acara Pidana ................................................ 10
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana .............................................. 10
C. Penyidikan ................................................................................ 22
xi
1. Pengertian Penyidikan .......................................................... 22
2. Pihak-Pihak Ditingkat Penyidikan ........................................ 26
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil ............................................ 30
4. Tahap-Tahap Penyidikan ..................................................... 35
D. Tindak Pidana Illegal Logging ................................................. 37
1. Pengertian Tindak Pidana Illegal Logging ........................... 37
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Illegal Logging........................ 42
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ................................................................... 46
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................ 46
C. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 47
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ....................................... 47
E. Metode Penyajian Bahan Hukum.............................................. 48
F. Analisis Bahan Hukum .............................................................. 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ……………………………………………… 49
B. Pembahasan ………………………………………………….. 80
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 124
B. Saran ....................................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA...……………………………………………………..127
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah hutan yang sangat luas.
Pembangunan kehutanan sebagai bagian yang integral dari pembangunan nasional
secara keseluruhan memiliki posisi strategis terutama dalam kerangka
pembangunan jangka panjang, karena berkaitan langsung dengan berbagai aspek
pembangunan tingkat lokal, daerah, nasional, dan bahkan internasional. Hutan
merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi,
ekonomi, sosial maupun budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
kerusakan hutan melalui kegiatan perlindungan hutan. Sehingga secara umum
perlindungan hutan merupakan kegiatan untuk menjaga hutan dari faktor-faktor
yang dapat menimbulkan kerusakan pohon atau tegakan pohon dalam hutan agar
fungsinya sebagai fungsi lindung, konservasi atau produksi tercapai secara
optimum dan lestari sesuai dengan peruntukannya.
Hutan di Indonesia memiliki banyak fungsi antara lain sebagai paru-paru
dunia dan dapat menjadi komoditas ekspor (hasil hutan). Fungsi-fungsi hutan
tersebut pada hakekatnya merupakan modal alam yang harus ditransformasikan
menjadi modal riil bangsa Indonesia.
2
Akhir-akhir ini marak sekali kasus pembalakkan liar (illegal logging) yang
tentunya sangat merusak ekosistem hutan. Negara tentunya dirugikan karena hal
ini. Tidak hanya itu, dengan adanya hal ini hutan juga akan menjadi berkurang
fungsinya sebagai paru-paru dunia, dan sebagai habitat fauna yang hidup di
dalamnya. Oleh karena itu hutan di Indonesia harus dipelihara dan dijaga
kelestariannya.
Pemeliharaan dan pengamanan kawasan hutan bukan saja tanggung jawab
pemerintah melalui aparat penegak hukumnya akan tetapi merupakan tanggung
jawab semua komponen bangsa terlebih masyarakat yang yang bermukim dalam
kawasan hutan. Apabila terdapat tindak pidana kehutanan khususnya illegal
logging maka yang melakukan penyidikan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil
yang harus berkoordinasi dengan penyidik Polri. Terkadang dalam prosedur
pengamanan kawasan hutan, pada pelaksanaannya terjadi tumpang tindih
kewenangan antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan Penyidik Polri
ataupun dengan penyidik lainnya yang diberikan kewenangan oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan, tumpang tindih kewenangan ini berujung pada
kurang harmonisnya hubungan institusional dan menimbulkan arogansi kekuasaan
penyidikan.
Di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto, yaitu di dalam kawasan
hutan milik Perhutani petak 64.A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH
Banyumas Timur Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen, Rt. 02, Rw. 04, Kec.
Jatilawang, Kab. Banyumas terjadi kasus penebangan hutan secara liar (illegal
3
logging). Yang kemudian terdakwanya diadili dalam Putusan Nomor:
31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.
Pokok perkara pada Putusan Nomor: 31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt pada intinya
adalah sebagai berikut:
Pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2013 terdakwa Sarip bin Marjuki
Umar bertempat di dalam kawasan hutan milik Perhutani petak 64.A RPH
Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas Timur Grumbul Kalisalak, Desa
Pekuncen, Rt. 02, Rw. 04, Kec. Jatilawang, Kab. Banyumas telah menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Terdakwa meminta bantuan saksi
Waswin alias Gowin untuk mengangkut kayu hasil curian. Namun dalam
perjalanannya terdakwa dengan saksi Gowin diberhentikan oleh Petugas
Perhutani, yaitu saksi Kustiyono, saksi Sutrisno, dan saksi Tarsono. Lalu mereka
diperiksa oleh Petugas Perhutani tersebut. Karena muatan kayu tersebut tidak
dilengkapi dokumen-dokumen yang sah maka keduanya dibawa ke Polsek
Jatilawang untuk diproses hukum lebih lanjut.
Terdakwa dijatuhi putusan pidana karena melakukan tindak pidana ―dengan
sengaja menebang pohon atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang‖ sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5) UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam kasus ini menarik dikaji karena
berkaitan dengan seberapa jauh peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian
4
Kehutanan dalam melakukan Penyidikan kasus Tindak Pidana illegal logging
terkait juga koordinasinya dengan Penyidik POLRI.
Oleh karena latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul: “PERAN PENYIDIK PEGAWAI
NEGERI SIPIL KEMENTERIAN KEHUTANAN DALAM MENANGANI
KASUS TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING (Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.Pwt.)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat diambil
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam kasus
tindak pidana illegal logging pada Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt?
2. Apakah ada kendala atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan proses
penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PPNS Kehutanan dalam Putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN.PWT?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagi berikut :
1. Untuk mengetahui peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam
kasus tindak pidana illegal logging pada Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.
Pwt.
5
2. Untuk mengetahui ada kendala atau hambatan yang ditemui dalam
pelaksanaan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PPNS
Kehutanan dalam Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.PWT.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis, serta menambah pengetahuan bagi para pembaca terutama mengenai
peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam prosedur penyidikan
pada kasus tindak pidana kehutanan khususnya kasus illegal logging kaitanya
dengan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan terhadap aparat penegak
hukum khususnya Penyidik Polri maupun Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,
dalam rangka berkoordinasi dalam melakukan penyidikan pada kasus tindak
pidana kehutanan khususnya kasus illegal logging.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana berkaitan erat dengan adanya hukum pidana, kedua-
duanya merupakan satu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat bagaimana
alat-alat perlengkapan negara, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
bertindak guna mencapai tujuan negara mengadakan hukum pidana. 1
Pernyataan sama disampaikan oleh Lobby Loqman2, sebagaimana yang
dikutip oleh Hibnu Nugroho menyatakan bahwa hukum acara pidana merupakan
ketentuan tertulis tentang pelaksanaan ketentuan hukum pidana. Pelaksanaan
ketentuan hukum pidana selalu akan melanggar hak seseorang. Oleh sebab itu
harus terdapat ketentuan yang limitatif sejauh mana tindakan-tindakan yang boleh
dilakukan pelaksana hukum dalam melaksanakan ketentuan hukum pidana.
Hukum acara pidana atau sering disebut dengan hukum pidana formil yang
isinya mengatur tentang bagaimana usaha negara untuk menjalankan hukum
pidana materiil. Dalam usaha negara menegakkan hukum pidana materiil, maka
hukum pidana formil terdiri dari macam-macam ketentuan, yang pada dasarnya
mengenai ketentuan tentang tindakan dan upaya yang boleh dan atau harus
dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, dan
1 Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hal. 9. 2 Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jakarta:
Media Prima Aksara, hal.31.
7
hakim) serta bagaimana caranya berbuat terhadap si pembuat. Disamping itu,
hukum pidana formil juga berisi tentang apa yang boleh dan atau harus dilakukan
oleh si pembuat dalam usahanya mempertahankan hak-haknya yang berhadapan
dengan negara dalam usaha negara mempertahankan hukum pidana materiil
tersebut.3
Sehingga sebagian sarjana berpendapat bahwa ruang lingkup hukum acara
pidana mencakup beberapa hal sebagai berikut yakni:
1. Penyidikan Perkara Pidana;
2. Penuntutan Perkara Pidana;
3. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan;
4. Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi).4
Proses dan prosedural penyidikan merupakan tahap awal dalam pemeriksaan
perkara pidana yang dilakukan kepolisian selaku penyidik dan Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Yang pada
hakikatnya penyidikan dimulai sejak diketahui adanya sangkaan bahwa seseorang
telah melakukan suatu tindak pidana. Kemudian penyidikan yang dilakukan itu
harus berdasarkan cara-cara yang diatur dalam undang-undang. 5
Dalam hukum acara pidana kedudukan penyidikan amatlah penting karena
dengan proses tersebut dapat menjadi proses awal bagi aparat penegak hukum
3 Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni,
hal 4. 4 Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahannya, Bandung: Alumni, hal 42. 5 Ibid, hal 42.
8
yakni kepolisian untuk mencari bukti sekaligus pelaku yang diduga melakukan
suatu tindak pidana. Proses tersebut menjadi penting adanya karena hukum acara
pidana hendak mewujudkan fungsinya sendiri sebagai hukum formil dari hukum
pidana yakni sebagai berikut:
1. Mencari dan menemukan kebenaran;
2. Pemberian keputusan hakim;
3. Pelaksanaan keutusan.6
Sehingga adanya proses tersebut menjadi langkah awal dalam mencapai
fungsi mencari dan menemukan kebenaran. Karena apabila dijabarkan fungsi
mencari dan menemukan kebenaran ini haruslah didukung oleh adanya bukti-bukti
yang kuat tentang terjadinya suatu tindak pidana (berdasarkan Pasal 183 KUHAP).
Bukti-bukti tersebut menjadi hal yang mendasar untuk mengetahui apakah
seseorang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana atau tidak.
Selain itu hukum acara pidana juga memiliki fungsi untuk mewujudkan
Hukum Pidana, karena fungsi hukum pidana pada umumnya adalah untuk
mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum. Oleh karena itu barang siapa yang melanggar
ketentuan yang ada dalam hukum pidana Undang-undang No. 1 tahun 1946
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan memenuhi unsur-
unsur yang ditetapkan dalam ketentuan tersebut maka dapat dikenai sanksi
6 Ibid, hal 11.
9
pidana.7 Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila
sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap
tidak mempan.8
Sanksi yang dapat dikenakan kepada para pelanggar tersebut adalah yang
sesuai proses yang telah ditentukan dalam hukum acara pidana dimana untuk
membuat terang adanya suatu tindak pidana maka proses penyidikan mejadi
penting adanya karena untuk menghindari akibat seseorang yang memang tidak
bersalah harus dijatuhi sanksi pidana (eror in persona). Maka tugas dari
penyelenggara/pelaksana dari hukum acara pidana mulai dari kepolisian harus
mampu mencari dan menemukan setidaknya mendekati kebenaran melalui
fungsinya yakni melakukan penyidikan. Dimana proses tersebut juga tidak hanya
dilakukan oleh penyidik kepolisian namun juga dilakukan oleh Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
Sehingga pada akhirnya akan terdapat koordinasi antara keduanya yang sama-
sama mencari kebenaran materiil, namun tetap yang menjadi pokok adalah
lembaga kepolisian.
Maka secara garis besar menurut Van Bemmelen,9 seperti yang dikutip oleh
Andi Hamzah menyatakan bahwa ―Ilmu hukum acara pidana mempelajari
7 Adami Chazawi, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
hal 15. 8 Habib Adji. Jurnal Renvoi. Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005. hal. 126. 9 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 6.
10
peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi
pelanggaran undang-undang pidana:
1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku
dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang
dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau
tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata
tertib itu.
Disamping itu harus menjadi tugas penting yang diemban oleh hukum acara
pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak
hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas
kewenangannya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan
berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/
terdakwa.10
B. Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Pentingnya suatu asas adalah menjadi keharusan karena dari asas tersebut
bakal menjadi suatu konsep yang akan dituangkan dalam bentuk teknis berupa
aturan yang telah disepakati bersama. Dalam hukum acara pidana pun didalamnya
mengandung beberapa asas yang menurut para pakar dapat diuraikan sebagai
berikut:
10
Hibnu Nugroho, Op. Cit. hal 31.
11
1. Asas Legalitas
Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran
KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang merumuskan:
―Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan baik tidak
ada kecualinya‖.11
Semua tindakan penegak hukum harus:
a) Berdasar ketentuan hukum dan undang-undang;
b) Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas
segala-galanya, sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat
bangsa yang takluk di bawah ―supremasi hukum‖ yang selaras
dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan
keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi
hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum
takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang-undang dan rasa
keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat.
Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan
mungkin berupa penindasan.12
11 M. Yahya Harahap, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 36. 12 Ibid.
12
2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent)
Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c
KUHAP yang merumuskan:
―Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/ atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap‖.
Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman
kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur
dalam setiap tingkat pemeriksaan dan untuk menopangnya, KUHAP
telah memberi perisai kepada tersangka/ terdakwa berupa seperangkat
hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat
penegak hukum. Dengan perisai hak-hak yang diakui hukum, secara
teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/ terdakwa sudah
mempunyai ―posisi yang setaraf ‖ dengan pejabat pemeriksa dalam
kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang digariskan dalam
KUHAP seperti yang dapat dilihat pada BAB VI.13
3. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama
sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang
ditonjolkan dalam undang-undang tersebut. Penjelasan umum yang
13
Ibid.hal 41.
13
dijabarkan dalam banyak pasal dalam KUHAP antara lain sebagai
berikut:
1. Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat
(4), dan Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut
dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti
tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, Penuntut Umum,
dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari
tahanan demi hukum. Dengan sendirinya hal ini mendorong
penyidik, Penuntut Umum, dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut;
2. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai
pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh
Penuntut Umum, ayat (2) segera diadili oleh pengadilan, ayat (3);
3. Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga
merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan;
4. Pasal 106 mengatakan hal yang sama di atas bagi penyidik;
5. Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai
disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera
14
menyerahkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a;
6. Pasal 110 mengatur tentang hubungan Penuntut Umum dan penyidik
yang semuanya disertai dengan kata seegera, begitu pula Pasal 138;
7. Pasal 140 ayat (1) merumuskan :
‖Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan‖.14
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia
sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka/
terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi ditangkap kemudian
ditahan, namun orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa
tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu
yang terukur dan dijamin undang-undang.15
4. Asas Oportunitas
Asas Opurtunitas bertolak belakang dengan asas legalitas. Menurut asas
oportunitas, Penuntut Umum tidak wajib menuntut menuntut seseorang
yang melakukan delik jika menurut pertimbangnnya akan merugikan
kepentingan umum, maka dari itu demi kepentingan umum seseorang
yang melakukan delik tidak dituntut. Kejaksaan berpendapat, lebih
bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di
14
Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 13-14. 15
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 34-35.
15
sidang pengadilan. A.Z. Abidin Farid,16
seperti yang dikutip oleh Andi
Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berkut:
―Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum
untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang
atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum‖.
Pasal 35 c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut
di Indonesia. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
―Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan
umum‖
Menurut Andi Hamzah,17
dengan berlakunya UUD 1945 maka Jaksa
Agung mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas
kepada Presiden, yang pada gilirannya Presiden
mempertanggungjawabkan pula pada rakyat. Pedoman pelaksanaan
KUHAP memberi penjelasan mengenai ―demi kepentingan umum‖
sebagai berikut:
―…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan
asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan
Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat‖.
5. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum
Tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasin oleh jiwa
―persamaan‖ dan ―keterbukaan‖ serta penerapan system musyawarah dan
16
Ibid, hal 17. 17
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 19.
16
mufakat dari majelis peradilan dalm mengambil keputusan. Dengan
landasan persamaa hak dan kedudukan antara tersangka/ terdakwa
dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan
perlakuan oleh aparat penegak hukum kepada tersangka/ terdakwa, tidak
ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut
pemeriksaan terhadap diri tersangka/ terdakwa dan hasil pemeriksaan
yang menyangkut diri dan kesalahan harus terbuka kepadanya. Pasal
yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang
merumuskan:
―Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak‖.
Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan batalnya putusan
demi hukum sesuai ketentuan Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Kekecualian
terhadap kesusilaan dan anak-anak alasannya karena kesusilaan dianggap
masalahnya sangat pribadi sekali sehingga tidak patut untuk
mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka di muka umum, begitu
juga dengan anak-anak melakukan kejahatan karena kenakalan.
Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan
hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
6. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum (Equality Before the
Law)
17
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan
belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus
diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan, baik untuk
mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/ terdakwa
yang sedang menjalani proses persidangan. Ketentuan-ketentuan di
dalam KUHAP mendasrkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal
pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu
kelompok dan memberikan ketidakistimewaan pada kelompok lain.18
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman merumuskan:
―Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang‖.
Penjelasan umum butir 3a KUHAP merumuskan:
―Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan‖.
Perlakuan yang sama ini tidak bisa hanya ditafsirkan sebagai
diskriminasi tersangka dan terdakwa berdasarkan status sosial atau
kekayaan saja, tetapi juga berhubungan dengan diskriminasi berdasarkan
ras, warna kulit, seks, bahasa, agama, haluan politik, kebangsaan,
18
Hibnu Nugroho, Op. Cit, hal. 36.
18
kelahiran, dan lain-lain sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan
serta Pasal 16 ICCPR 1996.19
7. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim
karena jabatannya dan bersifat tetap.
8. Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai
bantuan hukum dimana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan yang
sangat luas antara lain sebagai berkut:
a) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan;
b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
c) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/ terdakwa pada
semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
d) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik dan Penuntut Umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan negara;
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat
hukum guna kepentingan pembelaan;
19
Agoes Dwi Listijono, 2005, Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya Dengan
Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum. Vol.1, No.1. hal.95.
19
f) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka/ terdakwa.
Aturan yang telah menjadi ketentuan universal diatur dalam The
International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d :
“To be tried in his presence, and to defend himself in person or through
legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have
legal assistance, of this right, and to have legal assistance assigned to
him, in any case where the interest justice so require, and without
payment by him in any such case if he does not have sufficient means to
pay for it”
(Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi
atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi
tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum
dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan
peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat
hukum ia dibebaskan dari pembayaran).
9. Asas Akusator
KUHAP menganut asas akusator karena tersangka/ terdakwa tidak lagi
dipandang sebagai objek pemeriksaan. Prinsip akusator menempatkan
kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:
a. Adalah subjek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu
tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam
kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri;
b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah
―kesalahan‖ (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/ terdakwa.
Ke arah itulah pemeriksaan ditujukan.20
20
M. Yahya Harahap, 2001, Op. Cit, hal. 40.
20
Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan
inkusitor yang menempatkan tersangka/ terdakwa dalam pemeriksaan
sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang yang
digunakan dalam HIR, sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan
yang wajar bagi tersangka/ terdakwa untuk membela diri dan
mempertahankan hak dan kebenarannya terkadang untuk mendapatkan
pengakuan dari tersangka, pada pemeriksaan sering melakukan tindakan
kekerasan dan penganiayaan.
Pada asas akusator, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/
terdakwa dikedepankan pada proses penegakan hukum yang diimbangi
dengan menggunakan ilmu bantu hukum acara pidana seperti psikologi,
kriminalistik, psikiatri, kriminologi, kedokteran forensik, antropologi,
dan lain-lain.
10. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi dan secara lisan, artinya
bukan tertulis antara hakim dengan terdakwa dan saksi. KUHAP
mengatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya yang
menyatakan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim
secara langsung kepada terdakwa dan para saksi secara lisan bukan
tertulis.
11. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
21
Pada dasarnya, pelaksanaan disini adalah pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde).
12. Asas Hak Ingkar
Maknanya bahwa hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan
yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili
perkaranya.
13. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran
Terdakwa
Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir
disidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai
penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan
putusan in absentia).
Asas-asas tersebut diatas dalam praktiknya tidak terlepas dari desain
prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana yang terdapat dalam
KUHAP. Ditegaskan oleh Reksodiputro21
sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi
yang mengatakan bahwa sistem ini terbagi dalam 3 (tiga) tahap yaitu:
1. Tahap pra-adjudikasi (pre-adjudication);
2. Tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi (adjudication); dan
21
Lilik Mulyadi, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktik
Peradilan, Bandung: CV. Mandar Maju, hal 85-86.
22
3. Tahap setelah sidang pengadilan atau tahap purna-adjudikasi
(postadjudication).
C. Penyidikan
1. Pengertian penyidikan
Hukum acara pidana sebagai hukum pelaksana dari hukum pidana
mempunyai kedudukan yang sangat penting dimana semua aturan yang diatur
dalam hukum acara pidana mempunyai peranan yang penting bagi penegakan
setiap norma-norma yang telah diatur dalam hukum pidana. Pada hukum acara
pidana sendiri berisi mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan proses
bagaimana seseorang yang sudah memenuhi rumusan tindak pidana dari
undang-undang (KUHP) dapat dijatuhi hukuman atau pidana. Dimana salah
satu proses yang penting yang menjadi kajian dalam hukum acara pidana adalah
penyidikan sebagaimana yang diiyakan oleh para ahli hukum yang menyatakan
bahwa adanya proses penyidikan dalam pengungkapan suatu tindaka pidana
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam mencari titik terang mengenai
siapa yang menjadi pelakunya.22
Adanya proses penyidikan tersebut diatas merupakan konsekuensi karena
untuk menegakkan aturan hukum pidana maka terlebih dahulu harus ada tindak
pidana yang telah dilakukan oleh seseorang. Padahal Tindak Pidana adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut
22
Anonim. 2012. Hukum Acara Pidana di Indonesia. demokrasiindonesia.wordpress.com.
diunduh tanggal 03 Juli 2014, jam 16.09 WIB.
23
melanggar ketentuan perundang–undangan yang diancam dengan sanksi
terhadap pelanggaran tersebut, dimana perbuatan yang melanggar ketentuan
perundangan tersebut melahirkan sanksi yang bersifat pidana, sanksi bersifat
perdata, ataupun sanksi yang bersifat administrasi.23
Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP:
―Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.‖
Dalam hal penyidikan, maka yang berperan di sini adalah penyidik.
Berdasarkan pengertian penyidikan yang termuat dalam Pasal 1 angka 2
KUHAP tersebut, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan
adalah:
a. penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-
tindakan yang antara yang satu dengan yang lain saling berhubungan;
b. penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c. penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan
tersangkanya.
23
Salim,H.S. 2002. Dasar–Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika.
hal.147.
24
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana
itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak
pidana yang belum terang itu diketahui dari penyilidikannya.24
Oleh sebab itu penyidikan merupakan ujung tombak pengungkapan suatu
tindak pidana. Guna mencapai tujuan hukum acara pidana yaitu mencari dan
menemukan kebebaran materiil, maka beban pencarian untuk menemukan alat-
alat bukti yang akan digunakan oleh penuntut umum dipersidangan ada
dipundak penyidik.25
Maka dari itu dalam pelaksanaan proses penyidikan,
penyidik harus memperhatikan asas-asas hukum acara sebagaimana terdapat
dalam KUHAP, terutama yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia dari
tersangka:
a. Asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence);
b. Asas persamaan dimuka hukum (equality before the law);
c. Asas hak pemberian bantuan hukum/penasehat hukum (legal
aid/assistance);
d. Asas perdilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
24
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang:
Bayumedia Publishing. hal 380. 25
Hibnu Nugroho, Op.cit, hal 31.
25
e. Pengakapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalam hal serta dengan cara yang diatur dengan
undang-undang;
Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi
sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja
atau karena kelalainnya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar dituntut,
dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi.26
Dengan demikian penyidikan merupakan suatu proses atau langkah awal
yang merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu
diselidik dan diusut secara tuntas didalam system peradilan pidana, dari
pengertian tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana yang
menyangkut tentang penyidikan adalah sebagai berikut: ketentuan-ketentuan
tentang alat-alat bukti, ketentuan tentang terjadinya delik, pemeriksaan ditempat
kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara,
penggeledahan, pemeriksaan dan introgasi, berita acara, penyampingan perkara,
26
Agus Raharjo, Angkasa, dan Hibnu Nugroho. ―Rule Breaking dalam Penyidikan untuk
Menghindari Kekerasan yang dilakukan oleh Penyidik. Jurnal Dinamikan Hukum. Vol 1 No. 13
(Januari 2013) hal 65-66.
26
pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembalian kepada
penyidik untuk disempurnakan.27
2. Pihak-pihak ditingkat penyidikan
Dalam sistem KUHAP kewenangan penyelidikan ada pada pejabat polisi
Negara (Pasal 4 KUHAP), sedangkan kewenangan penyidikan ada pada pejabat
polisi Negara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang syarat kepangkatannya
diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP).28
Menurut ketentuan Pasal 1 angka1 KUHAP:
―Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.‖
Menurut Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang
berkedudukan sebagai Penyidik, yaitu Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS). Bunyi Pasal 6 ayat 1 KUHAP:
Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 58
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
27
Andi Hamzah. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal 118. 28 Berdasarkan Pasal 6 Rancangan Undang-Undang KUHAP (draf 2002) kewenangan
penyidikan tidak hanya pada Penyidik Polri, tetapi juga ada pada pegawai negeri tertentu, misalnya
yang berkaitan dengan tugas dan wewenang kepabean dan keimigrasian dan orang tertentu yang
berdasarkan undang-undang diberi kewenangan penyidikan, misalnya anggota Komisi Pemberantasan
Korupsi dan anggota Komnas HAM.
27
Syarat kepangkatan penyidik ditentukan bahwa untuk polisi serendah-
rendahnya berpangkat Inspektur Dua Polisi, sedangkan untuk PPNS serendah-
rendahnya berpangkat Penata Muda (gol III/a) atau yang disamakan. Syarat
kepangkatan penyidik pembantu ditentukan bahwa untuk polisi serandah-
rendahnya berpangkat Brigadir Dua Polisi, sedangkan untuk PPNS serendah-
rendahnya berpangkat Pengatur Muda (gol II/a) atau yang disamakan.29
a. Penyidik Polri
- Penyidik Polri Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat ―penyidik penuh‖,
harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan:
1. Sekurang-kurangnya berpangkat Inspektur Dua Polisi dan
berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
2. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 tahun;
3. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal.
4. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
5. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.30
- Penyidik Pembantu
29
Al. Wisnubroto, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hal 36. 30
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal 3.
28
Pengertian penyidik Pembantu dalam KUHAP dijelaskan pada Pasal 10
ayat (1) yang memberikan pengertian bahwa penyidik pembantu adalah
―Pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepala kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.31
Syarat untuk dapat diangkat sebagai penjabat penyidik pembantu pada
Pasal 3 PP No. 58 Tahun 2010:
1. Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
2. Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 tahun;
3. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi
reserse kriminal.
4. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter; dan
5. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.32
Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian
menajdi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan harus
mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu. Tanpa
syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk mengangkat mereka
menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat kepangkatan penyidik
pembantu lebih rendah dari pangkat jabatan penyidik. Berdasar hierarki
31
R. Susilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor: Politea, hal 20. 32 Peraturan Pemeritah No. 58 Tahun 2010, Op. Cit, hal 5.
29
dan oraganisatoris penyidik pembantu diperbantukan kepada pejabat
penyidik, oleh karena itu kepangkatan mereka harus lebih rendah dari
penyidik. 33
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPNS menurut Peraturan Pemerintah
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 tahun;;
2. Berpangkat peling rendah penata muda/golongan IIIa;
3. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara;
4. Bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum;
5. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter pada rumah sakit pemerintah;
6. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan peagawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik
dalam 2 tahun terakhir;
7. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.34
Berkaitan dengan kapasitas dan integritas penyidik maka dalam rancangan
KUHAP tidak lagi mengenal istilah ―Penyidik Pembantu‖. Artinya, konsep
33
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal 112. 34
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010, Op. Cit.hal 5-6.
30
hukum acara pidana ke depan dalam tingkat penyidikan hanya dikenal
sebutan ―Penyidik‖ saja. Maksud dari pembaharuan tersebut adalah agar
seluruh penyidik khususnya di jajaran Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya.35
3. Penyidik pegawai negeri sipil
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 PP No. 43 Tahun 2012 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap
Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk
Pengamanan Swakarsa :
―Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan ditunjuk selaku Penyidik dan mempunyai wewenang untuk
melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.‖
Setelah berlakunya undang-undang hukum acara pidana yang baru, maka terjadi
perubahan yang fundamental didalam system peradilan pidana yang juga
mempengaruhi pula system penyidikan. Di dalam KUHAP Pasal 6 ayat (1)
huruf b telah ditentukan bahwa penyidik ada penyidik pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.36
Dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
35
Ibid, hal 37. 36
L. Sumartini, 1996, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional tentang Hukum Acara
Pidana, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal 103.
31
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi
dan pengawasan penyidik POLRI. Oleh karena itu timbul kajian yang lebih
mendalam lagi mengani adanya persoalan tentang apakah dalam melakukan
proses penyidikan PPNS dalam prakteknya menemukan kendala atau hambatan
yang menghambat Penyidik PPNS dalam melaksanakan tugas tersebut.
Padahal wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah melakukan
penyidikan yaitu tugas-tugas Kepolisian yang bersifat represif justisial,
sehingga setelah lahirnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil berdasarkan KUHAP,
maka alat-alat kepolisian khusus tidak lagi berwenang melakukan tugas-tugas
kepolisian yang bersifat judicial represif.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sebagai berikut:
1. Kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah
sesuai dengan yang ditetapkan dalam undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tidak berwenang melakukan penangkapan
dan atau penahanan (Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03
Tahun 1984).
3. Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tidak mengatur
secara tegas kewenangan yang diberikan maka Penyidik Pegawai Negeri
Sipil mempunyai wewenang penyidik dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
32
Disamping itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dapat menjadi penyidik
terdapat dalam undang-undang sebagai berikut:37
No. Nomor Undang-Undang Materi Pokok Pidana Pejabat Penyidik
1. 9 Tahun 1992 Imigrasi PPNS Imigrasi
2. 41 Tahun 1999 Kehutanan PPNS Kehutanan
3. 19 Tahun 2002 Hak Cipta PPNS Ditjen HAKI
4. 17 Tahun 2006 Kepabeanan PPNS Bea Cukai
5. 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang
Nomor 1983 tentang
Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan
PPNS Ditjen Pajak
Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas
penyidikan secara terperinci adalah sebagai berikut:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan dibawah:
- koordinasi penyidik Polri, dan
- dibawah pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2))
37
Nikolas Simanjuntak, 2009, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hal. 56.
33
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu harus ―melaporkan‖ kepada
penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik,
jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan
bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat
(2)).
d. Apabila penyidik Pegawai Negeri Sipil telah selesai melakukan
penyidikan, hasil penyidikannya tersebut diserahkan kepada penuntut
umum, melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3)).
e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan, karena
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak
pidana atau penyidikannya dihentikan demi hukum, maka penghentian
penyidikan itu harus ―diberitahukan‖ kepada penyidik Polri dan penuntut
umum (Pasal 109 ayat (3)).38
Selain itu pada tahun 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa tentang
penyerahan hasil penyidikan Penyidik Pegewai Negeri Sipil kepada Penuntut
Umum yang ditentukan sebagai berikut:
―Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus PPNS
setelah selesai melakukan penyidikannya haruis menyerahkan hasil
38
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal 113-114.
34
penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri baru setelah itu penyidik
Polri menyerahkan kepada Penuntut Umum‖.39
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan merumuskan sebagai berikut:40
Pasal 1 angka 17:
―Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS
adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan
pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam
penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.‖
Pasal 29 :
―Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.‖
Pasal 31
―Wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
termasuk wilayah kepabeanan. Pasal 32 PPNS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.‖
Pasal 33
―Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait‖
39
L. Sumartini, Op. cit, hal 113. 40
Anonim, 2014, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Huta,. http:www.hukumonline.pusatdata.com. diunduh tanggal 03 Juli
2014, jam 16.50 WIB.
35
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan
Pasal 1 angka 3:
―Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah pejabat pegawai
negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang
oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan
dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.‖
4. Tahap-tahap penyidikan
Menurut buku petunjuk pelaksanaan penyidikan tindak pidana dimana
disampaikan oleh Kapolri Jend. Polisi Drs. Rusdiharjo tahun 2000 di Jakarta
menyampaikan bahwa kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana
dalam buku petunjuk ini dapat diuraikan sebagai berikut:41
1. Penyelidikan
Menurut ketentuan Bab I Pasal 1 angka 5 KUHAP,
―penyelidikan‖ itu merupakan suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.
Pada hakikatnya, terhadap terminologi ―penyelidikan‖ itu dahulu dikenal
sejak eksisnya undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana
Subversi (Pasal 2 huruf b, d, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.
11/Pnps/1963). Titik taut hubungan tersebut menurut Pedoman Pelaksanaan
KUHAP disebutkan bahwa penyelidikan bukanlah merupakan fungsi yang
41
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan
KUHAP dan Hukum Internasional, Cet III, Jakarta: Djambatan, hal 735.
36
berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan merupakan hanya
salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang
mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan,
tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada
Penuntut Umum.42
2. Penindakan
Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik
atau penyidik pembantu terhadapa setiap orang atau benda atau barang yang
ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Tindakan hukum
tersebut yaitu:
a. Pemanggilan tersangka atau saksi;
b. Penangkapan;
c. Penahanan;
d. Penggeledahan;
e. Penyitaan.
3. Pemeriksaan
Yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah penyidik atau penyidik
pembantu. Penyidik atau penyidik pembantu segera menyampaikan kepada
penuntut umum dalam hal pemeriksaan tindak pidana telah dimulai.
4. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara
42
Lilik Mulyadi, Op. Cit, hal 55.
37
Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari
proses penyidikan perkara pidana. Kegiatan penyelesaian berkas perkara
terdiri dari:
a. Pembuatan resume;
b. Penyusunan berkas perkara;
c. Penyerahan berkas perkara.
D. Tindak Pidana Illegal Loging
1. Pengertian Tindak Pidana Illegal Loging
Tindak Pidana Kehutanan tergolong dalam salah satu Tindak Pidana Khusus,
dimana pengaturannya diatur secara terpisah dalam sebuah undang – undang
umum. Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan
tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau
menetapkan sendiri ketentuan khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang mengatur substansi tertentu.
Definisi lain dari illegal logging adalah operasi/kegiatan kehutana yang belum
mendapat ijin dan yang merusak. Istilah lain dari pembalakan illegal adalah
istilah dari penebangan liar yang menggambarkan semua praktek atau kegiatan
kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan, dan perdagangan
kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia, penebangan liar dibagi
menjadi 2:
38
1. Pertama, yang dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan
dalam perizinan yang dimiliknya;
2. Kedua, melibatkan pencurian kayu oleh orang yang sama sekali tidak
memiliki izin.43
Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bawha penebangan
liar (illegal logging) adalah kegiatan dibidang kehutanan atau merupakan
rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan
hingga kegiatan jual beli (ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku atau perbuatan yang dapat menimbulkan
kerusakan hutan.44
Menurut Kamus Kehutanan45
definisi illegal logging dijelaskan secara terpisah.
Illegal artinya suatu tindakan yang dilakukan subjek hukum di luar ketentuan
yang bersifat melawan hukum dan/atau bertentangan dengan hukum
perundang-undangan kehutanan, Logging adalah kegiatan pembalakan pohon
dalam rangka pemungutan hasil hutan. Dalam Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
Ilegal (Illegal logging) dan Peredaran Hasil hutan ilegal di Kawasan Lauser dan
Taman Nasional Tanjung Puting, istilah Illegal logging disinonimkan dengan
penebangan kayu ilegal.
43
Ahmad Ubbe, 2013, Penelitian Hukum tentang Peran Masyarakat Hukum Adat Dalam
Penganggulangan Pembalakan Liar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Nasional BPHN
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, hal 35. 44
Ibid, hal 35. 45 Alam Setia Zein, 2003, Kamus Kehutanan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal. 75 dan 102.
39
Disamping itu secara terminologi istilah Illegal Logging yang merupakan
bahasa Inggris terdiri dari 2 (dua) kata:
1. Illegal, yang artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum,
haram;
2. Log, yang artinya batang kayu, kayu bundar, dan gelondongan. Sehingga
kata logging berarti menebang kayu dan membawa ke tempat
penggergajian.46
Pembalakan liar (Illegal Logging) terjadi karena adanya kerjasama antara
masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana di lapangan dengan para cukong
bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan
tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu
hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk
kebutuhan pengangkutan. Aktivitas pembalakan liar (Illegal Logging) saat ini
berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan
memperoleh keuntungan dari aktivitas pencurian kayu, modus yang biasanya
dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak. Pada umumnya, mereka
yang berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan
dan pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan
birokrasi, aparat pemerintah, polisi, dan TNI). Praktek pembalakan liar (Illegal
Logging) adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang
46
Jhon M Echols, 2006, An English-Indonesia dictionary (Cetakan XXIII), Jakarta: Gramedia.
hal 363.
40
dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan adakalanya
pembalakan liar (Illegal Logging) dilakukan melalui kerjasama antara
perusahaan pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan para cukong.
Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk mengikuti lelang
kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan perusahaan tersebut.47
Forest Watch Indonesia (FWI) dan global Forest Watch (GFW) menggunakan
istilah ―Pembalakan Illegal‖ sebagai sinonim dari ―Illegal Logging‖. Sementara
menurut IGM. Nurdjana illegal logging adalah rangakaian kegiatan dalam
bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan
hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang
berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak hutan.
Sedangankan Riza Suarga mengatakan bahwa illegal logging adalah sebuah
praktek ekspolitasi hasil hutan berupa kayu dari kawasan hutan negara melalui
aktifitas penebangan pohon atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau
olehannya yang berasal dari hasil tebangan yang tidak sah.48
Menurut Alam Setia Zein, penebangan liar adalah tindakan menebang pohon di
dalam kawasan hutan jika dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat kehutanan,
digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum, termasuk perbuatan
47
Sadino, 2011, Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Pembalakan Liar Hutan
(Illegal Logging), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, hal 39. 48
Riza Suarga, 2005, Pemberantasan Illegal Logging I, Jakarta: Wana Aksara, hal 7.
41
penebangan liar dilakukan subjek hukum yang telah memperoleh izin
menebang namun melampaui batas/target yang diberikan instansi atau pejabat
kehutanan. Bentuk tindakan penebangan secara liar di dalam kawasan hutan
diidentifikasi sebagai berikut:49
a. Penebangan pohon yang dilakukan orang perorangan di dalam kawasan
hutan yang telah ditata batas atau telah ditetapkan secara yuridis sebagai
kawasan hutan. Perbuatan tersebut tidak mempunyai izin dari pihk yang
berwenang/pejabat kehutanan.
b. Izin penebangan pohon atau izin pemanfaatan kayu, diperoleh subjek hukum
di dalam kawasan hutan, di mana pelaksanaannyatidak sesuai dengan lokasi
yang telah ditunjuk.
Kedua bentuk tindakan penebangan liar sebagaimana dikemukakan di atas,
dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat kesengajaan yang
dilakukan subjek hukum. Di dalam teori hukum pidana dianut prinsip bahwa:
unsur kesengajaan pada setiap tindak pidana lazimnya didahului dengan adanya
niat diikuti dengan tindakan pelaku secara nyata. Dalam hal tertentu untuk
berbagi kasus penebangan liar di dalam kawasan hutan, unsur kesengajaan
merupakan rangkaian kesatuan tindakan untuk menyelesaikan suatu tujuan.
Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal Logging secara eksplisit tidak
ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
49
Alam Setia Zain, 1997, Hukum Lingkungan: Konservasi Hutan, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
hal. 45-47
42
namun illegal logging bisa diidentikkan dengan tindakan atau perbuatan yang
berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan hutan hal ini
ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Perusakan hutan menurut Undang-Undang No. 41 tahun
1999 tentang Kehutanan dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa :
―Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik
atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat
berperan sesuai dengan fungsinya.‖
Tindak pidana illegal logging menurut Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan ketentuan pidana diatur
dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya perbuatan illegal logging adalah
karena adanya kerusakan hutan.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Illegal Loging
Setiap tindak pidana pasti didalamnya termuat suatu rumusan unsur-unsur yang
menjadi dasar pembentuknya. Tidak terkecuali dengan adanya tindak pidana
Illegal Logging yang perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami
persentase yang selalu meningkat. Seperti halnya pada tindak pidana yang lain,
tindak pidana Illegal Logging sebagai tindak pidana yang bersifat khusus yang
pengaturannya terpisah dari KUHP yakni dengan adanya Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan didalamnya terdapat beberapa unsur yang
dapat mempengaruhi timbulnya tindak pidana tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Setiap orang pribadi atau badan hukum dan atau badan usaha;
43
2. Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun karena
kealpaannya;
3. Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni:
- Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
- Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak
hutan;
- Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan
undang-undang;
- Menebang pohon tanpa izin;
- Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
sebagai hasil hutan illegal;
- Mengangkiut, menguasai, atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH;
- Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan
tanpa izin.50
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus ynag diatur
dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan hukum
pidana khusus itu, yaitu pertama orang-orangnya atau subjeknya yang khusus,
dan yang kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk faiten). Hukum
pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau pelakunya
50
Anonim, Tindak Pidana Illegal Logging, diunduh dari http:www.luaxs.blogspot.com/tindak-
pidana-illegal-logging tanggal 6 Juli 2014 jam 12.18 WIB.
44
yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk golongan militer.
Dan perbuatannya khusus adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus
dalam bidang tertentu seperti hukum fiskal hanya untuk delik-delik fiskal.
Pada dasarnya kejahatan Illegal Logging secara umum kaitannya dengan tindak
pidana dalam KUHP, dapat dikelompokan kedalam beberapa bentuk kejahatan
secara umum, yaitu:
1. Pengrusakan (Pasal 406-412 KUHP)
Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging
berangkat dari pemikiran konsep perizinan dalam sistem pengelolaan hutan
yang mengandung fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan
untuk tetap menjamin kelestarian fungsi hutan. Illegal logging pada
hakikatnya merupakan kegiatan yang menyalahi ketentua perizinan yang
ada baik tidak memiliki izin secara resmi maupun yang memiliki izin
namun melanggar dari ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over
atau penebangan diluar areal konsesi yang dimiliki.
2. Pencurian (Pasal 362 KUHP)
Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari
kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu
tersebut (untuk dimiliki).
3. Penyelundupan
45
Berdasarkan penjelasan diatas maka kegiatan penyelundupan kayu
(peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal
logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
4. Pemalsuan (Pasal 262-276 KUHP)
Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu
perjanjian, pembebasan hutang dan surat yang dipakai sebagai suatu
keterangan perbuatan atau peristiwa. Dalam prkatik kejahatan illegal
logging salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku
dalam melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,
dan keterangan palsu dalam SKSHH.
5. Penggelapan (Pasal 372-377 KUHP)
Kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan
di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kuota
yang ada (over capacity), dan melakukan penebangan sistem tebang habis
sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem tebang pilih, mencantumkan
data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang
sebenarnya.
6. Penadahan (Pasal 480 KUHP)
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan didalam maupun
luar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil illegal logging yang nyata-
nyata diketahui oleh pelaku baik penjual maupun pembeli.
46
BAB III
METODE PENELITIAN
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legitis positivis.
Konsep ini memandang hukum identic dengan norma tertulis yang dibuat
dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu,
konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat
otonom tertutup dan terlepas dari kehidupn masyarakat.51
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif analisa. Sebagai
ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-
nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-
norma hukum.52
. Analitis karena kemudian akan dilakukan analisa terhadap
berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai
pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
51 Roni Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Alumni,
hal. 13. 52
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Media Group, hal. 22.
47
Oleh karena itu materi penelitian melihat pada inventarisasi hukum positif,
dimana itu merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar.
Sebelum menemukan norma hukum positif apa yang berlaku.53
3. Sumber Penelitian Hukum
Peneliti dalam penelitian ini, akan mengumpulkan data sekunder untuk
mendapatkan hasil yang objektif dari penelitian. Dari data sekunder tersebut
dibagi menjadi:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen- dokumen resmi, meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan
hukum primer dan skunder.54
Bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
53
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal 120-121. 54
Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hal 104.
48
Penulis melakukan pengumpulan data sekunder dari studi pustaka dan studi
dokumen serta pengambilan data dari tempat objek.
Metode Kepustakaan merupakan cara pengumpulan data dengan melakukan
mencari, mencatat, menginventarisasi, dan mempelajari data-data yang
berupa bahan-bahan pustaka dan literatur. Studi kepustakaan dilaksanakan
melalui tahap-tahap identifikasi bahan hukum yang diperlukan, yang
meliputi bahan hukum primer, skunder, dan tersier, serta inventarisasi data
yang diperlukan tersebut. Data yang sudah terkumpul, kemudian diolah
melaui tahap pemeriksaan, penandaan, dan penyusunan secara sistematis.
Tujuan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukan dasar
pemecahan permasalahan penelitian.55
5. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian deskriptif
yang ditulis secara logis dan sistematis.
6. Analisa Bahan Hukum
Analisa bahan hukum yang digunakan adalah analisa normatif kualitatif.
Maksud dari normatif di sini adalah bertitik tolak pada peraturan perundang-
undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan maksud dari kualitatif
adalah dengan analisa bahan hukum yang berasal dari bahan hukum
sekunder.
55
Bambang Sunggono, 2012, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada,
hal 112.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. DUDUK PERKARA
Dalam perkara ini terdakwa adalah Sarip Bin Marjuki Umar Berusia
37 tahun yang bertempat tinggal di Desa Pekuncen RT 04/RW 04
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas Pekerjaan sebagai seorang
Buruh. Terdakwa dengan dibantu seorang temannya telah melakukan
tindak pidan berupa pencurian kayu di kawasan hutan Perhutani petak
64.A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang Banyumas Timur tepatnya di
Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen RT 02/ RW 04 Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh terdakwa
sekitar tanggal 17 Februari 2013 dengan cara memotong kayu jenis akasia
milenium sebanyak 3 pohon yang kemudian oleh terdakwa dipotong-
potong menjadi panjang masing-masing 2 meteran, dan juga mengambil
kayu yang telah roboh sebanyak 14 batang sehingga total kayu yang
diambil oleh terdakwa adalah 17 batang. Setelah diambil dan dipotong-
potong oleh terdakwa langsung dipanggul sendiri dan diletakkan didekat
jalan Dusun Kalisalak Desa Pekuncen Kecamatan Jatiwalang Kabupaten
Banyumas yang berjarak kira-kira 300 meter.
50
Setelah dikumpulkan dipinggir jalan tersebut pada hari selasa 19
Februari 2013 terdakwa menemui temannya untuk membantu mengangkut
dengan menggunakan mobil yang telah dipersiapkan sebelumnya yakni
milik teman terdakwa. Setelah semua kayu terangkut dimobil terdakwa
tersebut, terdakwa dan temannya langsung pergi ketempat pemotongan
kayu untuk dijadikan kusen rumah.Namun pada saat akan keluar dan pergi
meninggalkan tempat tindak pidana tersebut terdakwa dan temannya
tersebut dihadang oleh petugas Perhutani dan menanyakan surat-surat
kelengkapan dokumen kayu yang dibawa tapi terdakwa tidak dapat
menunjukannya.
2. Dakwaan Penuntut Umum
Atas tindakan tersebut terdakwa didakwa dengan dakwaan alternative
yakni sebagai berikut:
Kesatu:
Bahwa terdakwa Sarip Bin Marjuki Umar pada hari minggu
tanggal 17 Februari 2013 sekira pukul 15.00 WIB atau setidak-tidaknya
pada suatu waktu dalan bulan Februari tahun 2013 atau setidak-tidaknya
masih dalam tahun 2013, bertempat didalam kawasan hutan milik
Perhutani petak 64. A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH
Banyumas Grumbul Kalisalak Desa Pekuncen RT 02 RW 04 Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya ditempat lain
51
yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto
telah menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa
dengan menggunakan gergaji menebang sebanyak 3 (tiga) pohon Akasian
Milenium atau kurnis bangkok kemudian dipotong manjadi 3 (tiga) kayu
berbentuk kayu gelondongan dengan ukuran panjang @ 2 (dua) meter
dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120 cm,
selain itu terdakwa juga menemukan 14 (empat belas) batang pohon jenis
akasia Milenium atau Kurnis Bangkok yang sudah roboh karena ditebang
oleh orang lain yang sudah dipotong dengan ukuran panjang @ 2 (dua)
meter dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120
cm. Setelah itu 17 (tujuh belas) batang kayu tersebut lalu dipanggul untuk
dikumpulkan dipinggir jalan menuju Desa. Bahwa pada hari selasa
tanggal 19 Februari 2013 sekira pukul 21.30 WIB, terdakwa meminta
bantuan kepada saksi Waswin alias Gowin (tersangka dalam perkara lain)
untuk mengangkut 17 batang kayu tersebut dengan menggunakan 1 (satu)
unit mobil pick-up Daihatsu Zebra tahun 1993 Nopol: AA-1798-RD milik
saksi Waswin alias Gowin dengan ongkos angkut yang disepakati adalah
Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) menuju tempat penggergajian
kayu Desa Adisara Kecamatan Jatilawang, namun dalam perjalanan
52
terdakwa dan saksi Waswin alias Gowin diberhentikan oleh petugas
Perhutani yakni saksi Kustiyono, saksi Sutrisno, dan saksi Tarsono,
setelah dilakukan pengecekan dan pemeriksaan, ternyata kayu-kayu
tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah atau tidak
dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH)
terdakwa dan saksi Waswin alias Gowin kemudian dibawa ke Polsek
Jatilawang untuk diproses hukum lebih lanjut;
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
Atau
Kedua:
Bahwa terdakwa SARIP BIN MARJUKI UMAR pada hari
minggu tanggal 17 Februari 2013 sekira pukul 15.00 WIB atau setidak-
tidaknya pada suatu waktu dalan bulan Februari tahun 2013 atau setidak-
tidaknya masih dalam tahun 2013, bertempat didalam kawasan hutan
milik Perhutani petak 64. A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH
Banyumas Grumbul Kalisalak Desa Pekuncen RT 02 RW 04 Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya ditempat lain
yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto
telah menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam
53
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut:
Pada waktu dan tempat seperti tersebut diatas, terdakwa
dengan menggunakan gergaji menebang sebanyak 3 (tiga) pohon Akasian
Milenium atau kurnis bangkok kemudian dipotong manjadi 3 (tiga) kayu
berbentuk kayu gelondongan dengan ukuran panjang @ 2 (dua) meter
dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120 cm,
selain itu terdakwa juga menemukan 14 (empat belas) batang pohon jenis
akasia Milenium atau Kurnis Bangkok yang sudah roboh karena ditebang
oleh orang lain yang sudah dipotong dengan ukuran panjang @ 2 (dua)
meter dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120
cm. Setelah itu 17 (tujuh belas) batang kayu tersebut lalu dipanggul untuk
dikumpulkan dipinggir jalan menuju Desa. Bahwa pada hari selasa
tanggal 19 Februari 2013 sekira pukul 21.30 WIB, terdakwa meminta
bantuan kepada saksi Wsawin alias Gowin (tersangka dalam perkara lain)
untuk mengangkut 17 batang kayu tersebut dengan menggunakan 1 (satu)
unit mobil pick-up Daihatsu Zebra tahun 1993 Nopol: AA-1798-RD milik
saksi Waswin alias Gowin dengan ongkos angkut yang disepakati adalah
Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) menuju tempat penggergajian
kayu Desa Adisara Kecamatan Jatilawang, namun dalam perjalanan
terdakwa dan saksi Waswin alias Gowin diberhentikan oleh petugas
Perhutani yakni saksi Kustiyono, saksi Sutrisno, dan saksi Tarsono,
54
setelah dilakukan pengecekan dan pemeriksaan, ternyata kayu-kayu
tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah atau tidak
dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH)
terdakwa dan saksi Waswin alias Gowin kemudian dibawa ke Polsek
Jatilawang untuk diproses hukum lebih lanjut;
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf f jo Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
3. KETERANGAN PARA SAKSI DAN TERDAKWA DALAM
PERSIDANGAN
1. Saksi sutrisno
Saksi sebelumnya tidak kenal dengan terdakwa, dan
mengaku bahwa ia tidak mempunyai hubungan dengan
terdakwa, baik karena hubungan darah maupun karena
ikatan perkawinan, serta tidak pula mempunyai hubungan
pekerjaan dengan terdakwa. Saksi pernah diperiksa oleh
Penyidik Polres Banyumas sebagai saksi dalam kasus atau
perkara tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan
oleh terdakwa yaitu menebang atau memanen, menguasai
atau memiliki dan mengangkut hasil hutan yang tidak
dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) dan keterangan yang telah saksi berikan kepada
55
penyidik sebagaimana terurai dalam Berita Acara
Pemeriksaan adalah benar. Saksi bekerja sebagai
Karyawan Perhutani yang bertugas di RPH Pengadegan
BKPH Jatilawang, KPH Banyumas Timur yang beralamat
Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas.Saksi bersama petugas Perhutani
lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr. Tarsono pada hari selasa
tanggal 19 Februari 2013 sudah melewati jam 00.00 WIB
atau sudah masuk hari rabu tanggal 20 Februari 2013 telah
mendapati dan menangkap terdakwa SARIP BIN
MARJUKI UMAR dan sdr. WASWIN alias GOWIN
sebagai sopir yang membawa kendaraan bak terbuka
dengan muatan kayu jenis Akasia Milenium sedang
melintas dijalan raya ikut Desa Pekuncen Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas.Saksi bersama petugas
Perhutani lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr.Tarsono
melakukan penangkapan oleh karena terdakwa telah
mengangkut kayu jenis Akasia Milenium tidak dilengkapi
atau tidak dapat memperlihatkan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH) padahal di petak 64.A RPH
Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas Timur
telah terjadi pencurian kayu jenis Akasia Milenium.Saksi
56
mengetahui adanya pencurian kayu karena saksi
mengetahui sendiri yaitu pada saat saksi bersama karyawan
Perhutani lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr.Tarsono
melakukan patroli dikawasan hutan Perhutani di petak
64.A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas
Timur mendapati ada beberapa pohon jenis Akasia
Milenium sudah hilang habis ditebang orang yang tersisa
sebagai bukti adalah tunggaknya yang bekas tebangannya
masih baru.Terdakwa membawa kayu jenis Akasia
Milenium sebanyak 17 (tujuh belas) batang dengan volume
atau kubikasi sebanyak 0.88 m3
dan ukuran panjang rata-
rata 2 (dua) meter serta ukuran diameter kayu antara 16
sampai dengan 21 sentimeter. Terdakwa membawa kayu
jenis Akasia Milenium tersebut masih berbentuk kayu
gelondongan diangkut dengan mobil bak terbuka Daihatsu
type hijet Zebra tahun 1993, nopol AA-1798-RD warna
hitam dan sebagai sopir sdr. WASWIN alias GOWIN yang
juga pemilik mobil tersebut.Terdakwa menyuruh sdr.
WASWIN alias GOWIN untuk mengangkut kayu dengan
mobil miliknya yatu Daihatsu type Hijet Zebra tahun 1993,
nopol AA-1798-RD warna hitam dengan kesepakatan
ongkos angkut sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu
57
rupiah). Terdakwa mengaku kayu-kayu tersebut diambil
dari kawasan hutan di Desa Pekuncen Kecamatan
Ajibarang Kabupaten Banyumas yang kemudia dibawa
kepinggir jalan Desa yang jaraknya dengan lokasi
penebangan sekitar 300 (tiga ratus) meter.Terdakwa
menebang dengan menggunakan gergaji besi biasa dan
membawa kayu-kayu tersebut kepinggir jalan desa sendiri
tanpa bantuan orang lain. Terdakwa mengaku kayu-kayu
tersebut akan dibawa ketempat penggergajian kayu untuk
dibelah-belah menjadi kusen dan lainnya yang selanjutnya
digunakan untuk perbaikan rumah terdakwa. Terdakwa
mengaku mengambil atau menebang kayu dari kawasan
Perhutani baru sekali ini. Terdakwa menebang, mengambil
dan membawa kayu dari kawasan Perhutani tanpa
dilengkapi dengan SKSHH dan tanpa izin dari yang
berwenang. Akibat perbuatan terdakwa tersebut pihak
Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp. 5.108.000,-
(lima juta seratus delapan ribu).
2. Saksi Tarsono
Saksi sebelumnya tidak kenal dengan terdakwa, dan
mengaku bahwa ia tidak mempunyai hubungan dengan
terdakwa, baik karena hubungan darah maupun karena
58
ikatan perkawinan, serta tidak pula mempunyai hubungan
pekerjaan dengan terdakwa. Saksi pernah diperiksa oleh
Penyidik Polres Banyumas sebagai saksi dalam kasus atau
perkara tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan
oleh terdakwa yaitu menebang atau memanen, menguasai
atau memiliki dan mengangkut hasil hutan yang tidak
dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH) dan keterangan yang telah saksi berikan kepada
penyidik sebagaimana terurai dalam Berita Acara
Pemeriksaan adalah benar.Saksi bekerja sebagai Karyawan
Perhutani yang bertugas di RPH Pengadegan BKPH
Jatilawang, KPH Banyumas Timur yang beralamat
Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas.Saksi bersama petugas Perhutani
lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr. Sutrisno pada hari selasa
tanggal 19 Februari 2013 sudah melewati jam 00.00 WIB
atau sudah masuk hari rabu tanggal 20 Februari 2013 telah
mendapati dan menangkap terdakwa SARIP BIN
MARJUKI UMAR dan sdr. WASWIN alias GOWIN
sebagai sopir yang membawa kendaraan bak terbuka
dengan muatan kayu jenis Akasia Milenium sedang
melintas dijalan raya ikut Desa Pekuncen Kecamatan
59
Jatilawang Kabupaten Banyumas.Saksi bersama petugas
Perhutani lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr. Sutrisno
melakukan penangkapan oleh karena terdakwa telah
mengangkut kayu jenis Akasia Milenium tidak dilengkapi
atau tidak dapat memperlihatkan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH) padahal di petak 64. A RPH
Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas Timur
telah terjadi pencurian kayu jenis Akasia Milenium.Saksi
mengetahui adanya pencurian kayu karena saksi
mengetahui sendiri yaitu pada saat saksi bersama karyawan
Perhutani lain yaitu sdr. Kustiyono dan sdr. Sutrisno
melakukan patroli dikawasan hutan Perhutani di petak 64.
A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas
Timur mendapati ada beberapa pohon jenis Akasia
Milenium sudah hilang habis ditebang orang yang tersisa
sebagai bukti adalah tunggaknya yang bekas tebangannya
masih baru.Terdakwa membawa kayu jenis Akasia
Milenium sebanyak 17 (tujuh belas) batang dengan volume
atau kubikasi sebanyak 0.88 m3
dan ukuran panjang rata-
rata 2 (dua) meter serta ukuran diameter kayu antara 16
sampai dengan 21 sentimeter.Terdakwa membawa kayu
jenis Akasia Milenium tersebut masih berbentuk kayu
60
gelondongan diangkut dengan mobil bak terbuka Daihatsu
type hijet Zebra tahun 1993, nopol AA-1798-RD warna
hitam dan sebagai sopir sdr. WASWIN alias GOWIN yang
juga pemilik mobil tersebut.Terdakwa menyuruh sdr.
WASWIN alias GOWIN untuk mengangkut kayu dengan
mobil miliknya yatu Daihatsu type Hijet Zebra tahun 1993,
nopol AA-1798-RD warna hitam dengan kesepakatan
ongkos angkut sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu
rupiah).Terdakwa mengaku kayu-kayu tersebut diambil
dari kawasan hutan di Desa Pekuncen Kecamatan
Ajibarang Kabupaten Banyumas yang kemudia dibawa
kepinggir jalan Desa yang jaraknya dengan lokasi
penebangan sekitar 300 (tiga ratus) meter.Terdakwa
menebang dengan menggunakan gergaji besi biasa dan
membawa kayu-kayu tersebut kepinggir jalan desa sendiri
tanpa bantuan orang lain.Terdakwa mengaku kayu-kayu
tersebut akan dibawa ketempat penggergajian kayu untuk
dibelah-belah menjadi kusen dan lainnya yang selanjutnya
digunakan untuk perbaikan rumah terdakwa.Terdakwa
mengaku mengambil atau menebang kayu dari kawasan
Perhutani baru sekali ini. Terdakwa menebang, mengambil
dan membawa kayu dari kawasan Perhutani tanpa
61
dilengkapi dengan SKSHH dan tanpa izin dari yang
berwenang.Akibat perbuatan terdakwa tersebut pihak
Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp. 5.108.000,-
(lima juta seratus delapan ribu).
3. Saksi Waswin alias Gowin
Saksi kenal dengan terdakwa tetapi tidak mempunyai
hubungan keluarga dengan terdakwa baik karena hubungan
darah maupun karena ikatan perkawinan serta tidak pula
mempunyai hubungan pekerjaan dengan terdakwa.Saksi
pernah diperiksa oleh penyidik Polres Banyumas sebagai
saksi dalam kasus atau perkara tindak pidana dibidang
kehutanan yang dilakukan oleh terdakwa karena saksi telah
membawa atau mengangkut kayu hasil hutan atas
permintaan atau suruhan terdakwa. Pada hari minggu
tanggal 17 Februari 2013 sekitar pukul 21.00 WIB
terdakwa datang kerumah saksi dan menyuruh saksi untuk
mengangkut kayu untuk dibawa ke tempat penggergajian
kayu dengan kesepakatan ongkos angkut sebesar Rp.
50.000,- (lima puluh ribu rupuah).Baru 2 (dua) hari
kemudian yaitu pada hari selasa tanggal 19 Februari 2013
sekitar jam 23.30 WIB dengan menggunakan kendaraan
bak terbuka jenis Daihatsu type Hijet Zebra tahun 1993
62
nopol AA-1798-RD warna hitam saksi menuju ketempat
kayu yang ada dipinggir jalan termasuk Desa Pekuncen
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas kemudian
terdakwa menaikkan kayu-kayu yang masih berbentuk
gelondongan ke mobil saksi yang selanjutnya akan dibawa
ke tempat penggergajian kayu.Saksi mengangkut kayu
jenis Akasia Milenium sebanyak 17 (tujuh belas) batang
dengan ukuran panjang rata-rata 2 (dua) meter serta ukuran
diameter kayu sebesar antara 14 sampai dengan 15
centimeter.Dalam perjalanan kurang lebih 1 (satu) km,
mobil pengangkut kayu yang dikemudikan saksi dan
terdakwa duduk disebelah saksi dihadang oleh 3 (tiga)
orang petugas dari Perhutani dan menanyakan asal-usul
kayu, kemudian sekitar pukul 01.30 WIB saksi dan
terdakwa beserta mobil yang berisi kayu tersebut dibawa
ke Polsek Jatilawang untuk pemeriksaan lebih
lanjut.Mulanya saksi telah menanyakan pada waktu
terdakwa menyuruh saksi mengangkut kayu, apakah kayu
yang akan diangkut beres apa tidak (bermasalah atau tidak)
dan kalau tidak bermasalah saksi mau mengangkut, pada
waktu itu terdakwa menjawab bahwa kayu itu tidak
bermasalah hanya mau membawa ke tempat
63
penggergajian.Terdakwa mengaku kayu yang saksi angkut
itu adalah kayu terdakwa sendiri yang ditebang dari kebun
milik orang tua terdakwa.Saksi bersedia mengangkut kayu
milik terdakwa dimalam hari karena sedianya malam itu
mobil tersebut akan diisi bensin, dan juga kalau siang hari
saksi bekerja untuk mengangkut pasir dan lainnya.Kayu
yang diangkut dari pinggir jalan Desa Pancasan terletak
tidak jauh dari kawasan Perhutani hanya berjarak sekitar
300 meter dan dari perkampungan terlihat adanya kawasan
perkebunan Perhutani.Setelah diperlihatkan gambar
tunggaknya kayu, saksi menyatakan tidak tahu adanya
tunggak kayu tersebut.
4. Saksi Yudi Kristianto
Saksi tidak kenal dengan terdakwa dan mengaku bahwa ia
tidak mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa
baik karena hubungan darah maupun karena ikatan
perkawinan serta tidak pula mempunyai hubungan
pekerjaan dengan terdakwa.Saksi bertugas sebagai
Anggota Polisi di Polsek Jatilawang yang pada hari rabu
tanggal 20 Februari 2013 sekitar jam 01.30 WIB dinihari
sedang berdinas kedatangan 3 (tiga) orang karyawan
Perhutani yang membawa dan melaporkan 2 (dua) orang
64
tersangka yaitu terdakwa SARIP BIN MARJUKI yang
melakukan perbuatan tindak pidana menebang atau
memanen, menguasai atau memiliki dan mengangkut hasil
hutan yang tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH) dan membawa barang bukti dengan
mobil bak terbuka bermuatan kayu dikendarai oleh sdr.
Waswin alias Gowin Sawikarta.Kayu yang diangkut
dengan mobil bak terbuka jenis Daihatsu type Hijat Zebra
tahun 1993 nopol AA-1798-RD warna hitam, adalah kayu
jenis Akasia Milenium sebanyak 17 (tujuh belas) batang
dengan ukuran panjang rata-rata 2 (dua) meter, serta
ukuran diameter kayu sebesar antara 16 sampai dengan 20
centimeter.Setelah diintrogasi ternyata benar terdakwa
mendapatkan kayu jenis Akasia Milenium dari kawasan
Perhutani, sebagian didapat dari kayu yang sudah roboh
dan sebagian dengan cara menggergaji.Terdakwa mengaku
kayu-kayu tersebut akan dibawa ke tempat penggergajian
kayu untuk dibelah-belah menjadi kusen dan lainnya yang
selanjutnya akan digunakan untuk perbaikan rumah
terdakwa.Saksi membenarkan setelah diperlihatkan gambar
tonggak kayu yang terlihat masih baru dikawasan hutan
milik Perhutani.Saksi membenarkan setelah ditunjukkan
65
barang bukti berupa kayu gelondongan dan mobil jenis
Daihatsu type Hijat Zebra tahun 1993 nopol AA-1798-RD
warna hitam yang disita atas perbuatan terdakwa.
5. Saksi Ahli
Saksi tidak kenal dengan terdakwa dan mengaku bahwa ia
tidak mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa
baik karena hubungan darah maupun karena ikatan
perkawinan serta tidak pula mempunyai hubungan
pekerjaan dengan terdakwa.Saksi ahli pernah diperiksa
oleh Penyidik Polres Banyumas sebagai saksi ahli dalam
kasus atau perkara tindak pidana bidang kehutanan yang
dilakukan oleh terdakwa yaitu mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan keterangan
yang telah saksi berikan kepada penyidik sebagaimana
terurai dalam Berita Acara Pemeriksaan adalah benar.
Saksi bertugas di Resort Pemangku Hutan (RPH)
Pengadegan, BKPH Jatilawang, KPH Banyumas Timur,
yang berkantor di Asper BKPH Jatilawang, KPH
Banyumas Timur Jalan Jatilawang-Wangon Kabupaten
Banyumas, dengan tugas dan tanggung jawab saksi adalah
pengawas, perlindungan, dan pelaporan yang menyangkut
66
kawasan hasil hutan.Saksi menerangkan, mensyaratkan
atau orang lain diluar Perhutani tidak dapat melakukan
kegiatan penebangan, pemanenan, pengangkutan kayu
hasil hutan karena semua proses tersebut dilakukan oleh
Perhutani.Untuk pengangkutan hasil hutan ke TPK
(Tempat Penimbunan Kayu) dilengkapi dokumen
DK304.Saksi menerangkan bagi masyarakat atau orang
lain diluar Perhutani dapat memiliki atau menadapatkan
kayu dengan cara membeli kayu di KBM (Kelola Bisnis
Mandiri) yaitu dengan mengajukan ijin lelang pembelian
kayu hasil hutan dan bagi masyarakat yang menang lelang
atau yang mengajukan pembelian tersebut akan dapat
mengambil hasil hutan di TPK yang ditunjuk.Untuk
mengangkut hasil hutan yang sudah diambil dari TPK akan
diberikan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)
sesuai dengan Pasal 1 butir 48 Permenhut No.
P.55/MENHUT-II/2006 tentang penatausahaan hasil hutan
yang berasal dari hutan negara.Perkara terdakwa yang
sudah terkumpul kayu yang diambil dari hutan negara
dokumen yang diperlukan adalah SKSHH.Jenis kayu yang
ditanam perhutani dan setiap kepemilikian harus disertai
SKSHH yaitu kayu jenis jati, pinus, sengon, dan akasia
67
milenuim. Masyarakat yang menanam tanaman jenis jati,
pinus, sengon, dan akasia milenium biasanya pemilik
pohon tersebut akan melapor ke Dinas Kehutanan untuk
mendapatkan surat/dokumen Tataniaga Kayu Tanah
Milik.Disekitar kawasan hutan Perhutani RPH Pengadegan
tersebut masyarakat juga ada yang menanam akasia
milenium.Kejadian terdakwa mengambil kayu jenis akasia
milenium adalah di kawasan hutan produksi milik negara
yang dikelola oleh PT Perhutani dari lokasi petak 64. A
dibawah pengawasan saksi.Saksi melihat barang bukti
yaitu kayu yang diangkut oleh terdakwa ada 17 (tujuh
belas) batang dengan ukuran besar bervariasi yaitu paling
besar berdiameter 20 cm dan paling kecil 14 cm, dengan
panjang 2 (dua) meter.Gambar didalam berkas yang
diperlihatkan saksi adalah gambar tunggak kayu yang kira-
kira berdiameter antara 16-20 cm dan karena telah
diratakan jadi terkesan lebar, tapi saksi menyatakan bahwa
foto/gambar tersebut memang benar itu tunggak dari pohon
yang hilang dari jenis kayu akasia milenium yang sudah
berumur 10 tahun dan dipotong masih dalam keadaan
berdiri.Tidak semua jenis kayu harus dilengkapi
dokumen/surat, dan jenis kayu tertentu yang harus
68
dilengkapi dengan dokumen/surat yaitu sudah lama
ditanam Perhutani yaitu kayu jati, mahoni, dan pinus
sedangkan akasia milenium termasuk ditanam dilahan
kosong Perhutani pada tahun 2003.Dengan kejadian tindak
pidana yang dilakukan terdakwa maka Perhuani
mengalami kerugian dengan perhitungan kayu sebanyak 17
batang dengan ukuran kubikasi 0,88 m perhitungan nilai
ekonomis seharga Rp. 473.000,- (empat ratus tujuh puluh
tiga rupiah), sedangkan menurut table kehilangan pohon
maka dihitung seharga Rp. 5.108.000,- (lima juta seratus
delapan rupiah).
6. Keterangan Terdakwa
Terdakwa pernah diperiksa oleh Penyidik Polres
Banyumas sebagai terdakwa dalam kasus atau perkara
tindak pidana bidang kehutanan yaitu mengangkut,
menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan dan keterangan yang
telah terdakwa berikan kepada penyidik sebagaimana
terurai dalam Berita Acara Pemeriksaan Penyidik adalah
benar.Pada hari minggu tanggal 17 Februari 2013 sekitar
jam 15.00 WIB terdakwa telah mengambil/menebang kayu
didalam hutan milik Perhutani yang beralamat di Desa
69
Pekuncen Kecamatan Jatilawang Kabupaten
Banyumas.Kayu yang terdakwa tebang adalah jenis akasia
milenium sebanyak 3 pohon kemudian dipotong-potong
menjadi panjang masing-masing 2 meteran dan juga
mengambil batang kayu yang telah roboh sebanyak 14
batang sehingga kayu yang diambil terdakwa berjumlah 17
batang.Selanjutnya terdakwa memanggul batang-batang
pohon tersebut sendiri dibawa keluar hutan dan diletakkan
dipinggir jalan di dusun Kalisalak Desa Pekuncen
Kecamtan Jatilawang Kabupaten Banyumas yang berjarak
kira-kira 300 meter.Pada hari minggu tanggal 17 Februari
2013 sekitar jam 21.00 WIB terdakwa kerumah saksi
Waswin alias Gowin Bin Sawikarta untuk meinta bantuan
mengangkut kayu yang sudah dikumpulkan dipinggir jalan
tersebut untuk dibawa ke tempat penggergajian kayu di
Desa Adisara Kecamatan Ajibarang Kabupaten
Banyumas.Kesepakatan saksi Waswin alias Gowin Bin
Sawikarta sanggup membawa kayu tersebut dengan
menggunakan kendaraan bak terbuka jenis Daihatsu type
Hijat Zebra tahun 1993 nopol AA-1798-RD warna hitam
miliknya, dan setelah mengangkut kayu tersebut terdakwa
akan memberikan ongkos angkut sebesar Rp. 50.000,-
70
(lima puluh ribu rupiah).Baru pada hari selasa tanggal 19
Februari 2013 sekitar jam 21.30 WIB dengan mobil
Daihatsu warna hitam Zebra tahun 1993 nopol AA-1798-
RD milik saksi Waswin alias Gowin Bin Sawikarta,
terdakwa mengangkut kayu-kayu yang dikendarai oleh
saksi Waswin alias Gowin Bin Sawikarta dan terdakwa
duduk di jok samping sopir lalu kayu-kayu itu akan dibawa
ketempat penggergajian.Terdakwa mengangkut kayu untuk
dibawa ketempat penggergajian malam hari karena kalau
siang hari saksi Waswin alias Gowin Bin Sawikarta ada
pekerjaan lain.Baru kira-kira 1 km keluar jalan raya masih
di Desa Pekuncen sekitar jam 23.30 WIB Daihatsu Zebra
tahun 1993 nopol AA-1798-RD warna hitam yang
dikendarai saksi Waswin alias Gowin Bin Sawikarta dan
duduk disamping sopir adalah terdakwa tersebut disetop
oleh petugas perhutani, lalu memeriksa muatan kayu dalam
mobil dan menanyakan surat/dokumen kayu yang dibawa
terdakwa oleh karena terdakwa tidak bisa memperlihatkan
dokumen, maka terdakwa dan saksi Waswin alias Gowin
Bin Sawikarta oleh petugas Perhutani dibawa ke Polsek
Jatilawang.Terdakwa mengambil kayu milik Perhutani
akan dijadikan kusen dan digunakan untuk
71
perbaikan rumah terdakwa sendiri.Terdakwa merasa
bersalah telah mengambil kayu di kawasan hutan milik
negara/Perhutani tanpa ijin yang berwenang.
4. Tuntuan Pidana
Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa yang
pada intinya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yaitu:
1. Menyatakan terdakwa Sarip Bin Marjuki Umar terbukti dan
bersalah melakukan tindak pidana, ―dengan sengaja menebang
pohon atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang‖
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat
(3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan sesuai dakwaan kami;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sarip Bin Marjuki
Umar 17 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar
Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan
kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
72
- 17 (tujuh belas) batang pohon panjang 2 (dua) meter jenis
Akasia Milenium atau Kumis Bangkok, dirampas untuk
negara;
- 1 (satu) buah gergaji tangan, dirampas untuk dimusnahkan;
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.
1.000,- (seribu rupiah).
5. Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam putusan yang menjadi obyek kajian Majelis Hakim dalam
memberikan pertimbangannya menguraikan sebagai berikut:
Menimbang bahwa sifat dakwaan alternative diatas, maka Majelis
Hakim akan memilih salah satu dakwaan yang paling relevan untuk
dibuktikan, yang apabila telah terbukti maka dakwaan selanjutnya tidak
perlu dibuktikan lagi.
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan membuktikan
terlebih dahulu dakwaan kesatu yaitu Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78
ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
apabila diuraikan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Setiap Orang;
2. Unsur dengan senagaja menebang pohon atau memungut hasil
hutan didalam hutan;
3. Unsur tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang;
73
Terhadap unsur-unsur pasal tersebut, Majelis Hakim
mempertimbangkan pada hal-hal sebagai berikut:
Ad. 1. Unsur Setiap Orang:
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah subjek hukum baik
pribadi, badan hukum, maupun badan usaha, dengan demikian menurut
ketentuan tersebut salah satu subyek hukum dalam delik Kehutanan selain
Badan Hukum dan Badan Usaha adalah orang pribadi.
Orang pribadi sama artinya dengan orang perseorangan secara
pribadi, sedangkan orang perseorangan secara pribadi sama artinya
dengan manusia perorang atau seorang manusia.
Yang dianggap sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana dalam
kasus perkara ini, menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, lengkap
dengan segala identitasnya adalah terdakwa SARIP BIN MARJUKI
UMAR, dan identitas terdakwa sebagaimana ia terangkan didepan
persidangan, adalah sesuai dengan identitas terdakwa sebagaimana dalam
surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Selama proses persidangan pemeriksaan perkara ini, Pengadilan
tidak menemukan adanya kekeliruan mengenai orangnya atau subyek
hukumnya, ataupun alasan-alasan lain yang menyebabkan terdakwa dapat
dilepaskan dari pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah
dilakukannya itu, maka terbuktilah bahwa yang dimaksud dengan ―Setiap
74
Orang‖ adalah terdakwa SARIP BIN MARJUKI UMAR sendiri, dengan
demikian unsur setiap orang telah terpenuhi.
Ad. 2. Unsur dengan sengaja menebang pohon, memungut
hasil hutan didalam hutan:
Unsur dengan sengaja dalam suatu delik mengandung arti, bahwa
si pelaku menghendaki dan karenanya mengetahui akibat dari perbuatan
yang dilakukannya itu.
Dengan sengaja, menebang pohon, atau memungut hasil hutan
didalam hutan, merupakan bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang
menurut Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan telah dapat
dibuktikan bahwa terdakwa pada hari minggu tanggal 17 Februari 2013
sekitar pukul 15.00 WIB didalam kawasan hutan milik Perhutani petak
64. A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas Timur
Grumbul Kalisalak Desa Pekuncen RT 02/RW 04 Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas, terdakwa dengan menggunakan gergaji menebang
sebanyak 3 (tiga) pohon jenis Akasia Milenium atau Kumis Bangkok
kemudian dipotong menjadi 3 (tiga) kayu berbentuk gelondongan dengan
ukuran panjang @ 2 (dua) meter dengan diameter kayu bervariasi antara
60 cm sampai dengan 120 cm, selai itu terdakwa juga memotong 14
(empat belas) batang pohon jenis Akasia Milenium atau Kumis Bangkok,
75
kemudian oleh terdakwa dipotong dengan ukuran panjang @ 2 (dua)
meter dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120
cm, setelah itu 17 (tujuh belas) batang kayu tersebut dipanggul untuk
dikumpulkan dipinggir jalan menuju Desa untuk dibawa dengan
menggunakan mobil milik saksi Waswin alias Gowin menuju tempat
penggergajian kayu di Desa Adisara Kecamatan Jatilawang Kabupaten
Banyumas. Dengan demikian unsur kedua ini telah terpenuhi.
Ad. 3. Unsur tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang:
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dari keterangan
saksi-saksi serta keterangan terdakwa, bahwa pada hari minggu tanggal
17 Februari 2013 sekitar pukul 15.00 WIB didalam kawasan hutan milik
Perhutani petak 64. A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang KPH
Banyumas Timur Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen RT 02/RW 04
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas, terdakwa dengan
menggunakan gergaji menebang pohon sebanyak 3 (tiga) pohon jenis
Akasia Milenium atau Kumis Bangkok kemudian dipotong menjadi 3
(tiga) kayu berbentuk gelondongan dengan ukuran panjang @ 2 (dua)
meter dengan diameter kayu bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120
cm, selain itu terdakwa juga memotong 14 (empat belas) batang pohon
jenis Akasia Milenium atau Kumis Bangkok, kemudian oleh terdakwa
dipotong dengan ukuran panjang @ 2 (dua) meter dengan diameter kayu
76
bervariasi antara 60 cm sampai dengan 120 cm, setelah itu 17 (tujuh
belas) batang kayu tersebut dipanggul untuk dikumpulkan dipinggir jalan
menuju Desa.
Perbuatan terdakwa tersebut dapat diketahui ketika terdakwa
meminta tolong kepada saksi Waswin alias Gowin untuk mengangkut 17
(tujuh belas) batang kayu tersebut dengan menggunakan 1 (satu) unit
mobil pick-up merk Daihatsu Zebra tahun 1993 Nopol: AA-1798-RD
milik saksi Waswin alias Gowin dengan ongkos angkut yang disepakati
sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) menuju tempat
penggergajian kayu di Desa Adisara Kecamatan Jatilawang, namun dalam
perjalanan terdakwa dan saksi Waswin diberhentikan oleh petugas
Perhutani yaitu saksi Kustiyono, saksi Sutrisno, dan saksi Tarsono,
setelah dilakukan pengecekan dan pemeriksaan, ternyata kayu-kayu
tersebut tidak dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah atau tidak
dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Dengan
demikian unsur ini telah terpenuhi.
Berdasarkan seluruh pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
perbuatan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur-unsur pasal dari
dakwaan kesatu Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena perbuatan terdakwa,
telah terbukti memenuhi seluruh pasal dakwaan kesatu Penuntut Umum,
hal mana didasarkan pada adanya alat-alat bukti yang sah, serta pada saat
terdakwa melakukan perbuatan tersebut, ia dalam kedaan sadar sehat
77
jasmani maupun rohaninya, sehangga tidak terdapat alasan-alasan yang
dapat mengakibatkan terdakwa dapat dilepaskan dari
pertanggungjawaban atas perbuatannya itu, maka tibul keyakinan Majelis
Hakim akan kesalahan terdakwa , serta terdakwalah pelaku tindak
pidananya, maka haruslah dinyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan kesatu Jaksa Penuntut Umum, yaitu
melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, oleh karena terdakwa harus
dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Mengenai hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa SARIP
BIN MARJUKI UMAR, oleh karena terhadap pelaku kejahatan dibidang
kehutanan, sebagaimana perbuatan yang terbukti telah terdakwa lakukan,
Undang-Undang secara imperative telah menentukan, harus dijatuhi
hukuman yang bersifat kumulatif, yaitu baik hukuman penjara maupun
denda, maka kedua jenis hukuman itulah yang akan Majelis Hakim
jatuhkan terhadap terdakwa tersebut.
Terdakwa terbukti bersalah dan harus dijatuhi hukuman, namun
berdasarkan hasil pemeriksaan dipersidangan terbukti, bahwa terdakwa
telah menjalani masa penahanan, oleh karena itu masa penahanan
terdakwa haruslah dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Oleh karena adanya keadaan yang menimbulkan kekhawtiran bahwa
78
sebelum perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terdakwa
akan melarikan diri atau mengulangi kejahatannya, maka beralasan bila
terdakwa dinyatakan tetap berada dalam tahanan.
Mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa, yang
selengkapnya sebagaimana akan tercantum dalam amar putusan nanti,
menurut penilaian Majelis Hakim telah cukup adil, semoga hal itu
menjadi pelajaran yang berharga bagi terdakwa, untuk kelak dikemudian
hari tidak lagi mengulangi perbuatannya.
6. Amar Putusan Pengadilan Negeri
MENGADILI
1. Menyatakan, terdakwa SARIP BIN MARJUKI UMAR terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ―Dengan
sengaja menebang pohon atau memungut hasil hutan didalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang”;
2. Menjatuhakan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu,
dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan , dan denda sebesar
Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Dengan ketentuan apabila
denda tidak dibayar maka pidana denda tersebut diganti dengan
kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
79
4. Menetapakan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
1. 17 (tujuh belas) batang pohon Akasia Milenium atau Kumis
Bangkok, dirampas untuk negara;
2. 1 (satu) buah gergaji tangan, dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1000,00 (seribu rupiah);
80
B. Pembahasan
1. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dalam kasus tindak
pidana illegal logging pada Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt.
Pasal 1 butir 2 KUHAP menyatakan bahwa:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindakan pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sementara itu menurut Andi Hamzah56
menyatakan bahwa penyidikan
merupakan suatu proses penyelesaian suatu tindak pidana yang perlu diselidik
dan diusut secara tertulis didalam system peradilan pidana, dari pengertian
tersebut, maka bagian-bagian dari hukum acara pidana yang menyangkut
tentang penyidikan adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang alat-alat bukti;
2. Ketentuan tentang terjadinya delik;
3. Pemeriksaan ditempat kejadian;
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5. Penahanan sementara;
6. Penggeledahan;
7. Pemeriksaan dan interogasi;
8. Berita acara;
9. Penyitaan;
56
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 118.
81
10. Penyampingan perkara;
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembalian kepada
penyidik untuk disempurnakan.
Pengertian penyidikan sendiri dalam KUHAP menurut sebagian ahli
hanyalah bersifat umum, karena saat ini banyak produk undang-undang yang
telah dibuat dan didalamnya memberikan kewenangan bagi pejabat tertentu
untuk melakukan tindakan penyidikan atau dengan kata lain dengan
berkembangnya hukum nasional maka ketentuan yang lebih khusus telah
diberikan melalui produk yakni undang-undang khusus. Salah satu adalah
adanya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
memberikan kewenangan bagi pejabatnya untuk melakukan tindakan
penyidikan. Pejabat yang diamkasud adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
yang dalam ketentuan undang-undang tersebut dikatakan dapat melakukan
tindakan terhadap tindak pidana yang dilakukan dibidang kehutanan.
Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan proses penyidikan selama ini
dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang dilakukan berdasarkan undang-undang
khusus untuk melakukan penyidikan. Namun dalam hal ini Pejabat Pegawai
Negeri Sipil hanya diberikan wewenang sebatas apa yang diatur dalam
undang-undang khusus mengatur tentang kewenangannya tersebut.
Untuk dapat diangkat menjadi seorang penyidik maupun seorang yang
dapat melakukan tindakan penyidikan tidaklah sembarang orang, dalam arti
82
bahwa ada persyaratan tertentu yang menyatakan bahwa untuk dapat diangkat
menjadi seorang penyidik maka harus memenuhi persyaratan tertentu
khususnya untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Persyaratan yang
dimaksud adalah mengenai kepangkatan dan kedudukan seorang Pegawai
Negeri Sipil jika menurut Pasal 6 ayat (2) KUHAP kepangkatan dan
kedudukan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan
diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penutut umum dan hakim
peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah
adanya Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana berdasarkan Pasal 3A Peraturan Pemerintah No. 58
Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yakni untuk
dapat diangkat menjadi seorang Penyidik Pegawai Negeri Sipil harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
8. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 tahun;;
9. Berpangkat paling rendah penata muda/golongan IIIa;
10. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara;
11. Bertugas dibidang teknis operasional penegakan hukum;
12. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter pada rumah sakit pemerintah;
83
13. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan peagawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik
dalam 2 tahun terakhir;
14. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.
Sementara itu ketentuan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa:
Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawab
meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Kitan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Adanya rumusan yang dikatakan oleh undang-undang tersebut berarti
telah mengisyaratkan bahwa tidak semua pegawai di lingkup Kementerian
Kehutana dapat melakukan tindakan penyidikan yakni hanya sifatnya tertentu
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan diatas berdasarkan Pasal 3A
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Arti dari peran sendiri secara konsepsional mengandung sebuah
pengertian dimana dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaannya,
seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajiban yang berhubungan
dengan peran yang dipegangnya. Peran merupakan seperangkat tingkat yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam
84
masyarakat.57
Sejalan dengan rumusan tersebut, Gron Masson dan Mac
Eachren mendefinisikan peran sebagai seperangkat harapan-harapan yang
dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial
tertentu.58
Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma
sosial dan oleh karena itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat.
Oleh karena itu dalam kata peran terdapat dua unsur utama yakni sebagai
berikut:59
a. Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau
kewajiban dari pemegang peran.
b. Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap
masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya
dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.
Sehingga ciri-ciri yang dapat dianalisa mengenai peran penyidik dalam
melakukan penyidikan adalah:
1. Penyidik merupakan pemegang peran yang telah diberikan amanat
oleh undang-undang untuk melaksanakan tugas penyidikan;
2. Penyidik dalam melaksanakan tugas tersebut harus dilakukan dengan
mempehatikan kewajiban-kewajiban yang telah diatur oleh undang-
undang dalam melaksanakan tugas penyidikan;
57
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. Hal. 667. 58
www.Id.scvoong.com/humanities/theery-Criticism/2165744-definisi-peran-atau-peranan.
diakses tanggal 10 September 2014. 59
Ibid.
85
3. Selain itu penyidik harus tetap koordinasi dengan penyidik kepolisian
serta kejaksaan dalam hal tugas penyidikan yang telah dilakukan
dianggap sudah lengkap dan selesai.
Dimana contoh kasusnya adalah pada putusan PN. Purwokerto No.
31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt., peran penyidik pegawai negeri sipil terlihat pada
saat melakukan penangkapan terhadap seorang pelaku tindak pidana
kehutanan yakni Sarip bin Marjuki yang tertangkap tangan sedang
memindahkan beberapa gelondong kayu yang akan dimuat diatas mobil. Peran
yang dilakukan tersebut tentunya menandakan bahwa PPNS Kehutanan telah
melakukan amanat undang-undang yakni Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Selain itu adanya pelaporan yang PPNS Kehutanan
kepada Kepolisian Resort Jatilawang merupakan suatu bentuk tindakan
koordinasi yang juga pengaturannya telah ada dalam undang-undang tersebut.
Tugas yang diberikan oleh undang-undang kepada Penyidik Pegawai
Negeri Sipil adalah melaksanakan tugas-tugas kepolisian yaitu penyidikan
yang diatur dalam undang-undang khusus tersebut, sehingga tugas yang harus
dilaksanakan adalah:
a. sejak awal wajib memberitahukan atau melaporkan tentang penyidikan
yang dilakukannya kepada penyidik POLRI;
b. wajib memberitahukan perkembangan penyidikan yang dilakukan;
c. meminta petunjuk dan bantuan penyidikan sesuai kebutuhan;
86
d. wajib memberitahukan tentang penghentian penyidikan yang
dilakukannya;
e. menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik POLRI.
Maka dari itu wewenang yang penyidikan yang dimiliki oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut:
a. kewenangan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah
sesuai dengan yang ditetapkan dalam undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing;
b. apabila undang-undang yang menjadi dasar hukumnya tidak mengatur
secara tegas kewenangan yang diberikan maka PPNS mempunyai
wewenang penyidik dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
Dari adanya uraian tersebut diatas maka kewenangan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Kehutanan diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yakni pasal 77 tentang Penyidikan. Sedangkan untuk
kewenangan penyidikan dalam praktek dilapangan yang dapat dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil ditentukan pada Pasal 77 ayat (2) Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan huruf b, d, dan f yang
memberikan wewenang yakni sebagai berikut:
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan,
87
dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
Adapun tugas dari Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang diberikan
tugas layaknya seperti tugas seorang polisi di lingkup Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1. mengadakan patroli/perondaan didalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
2. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan didalam kawasan hutan atau wilayah
hukumya;
3. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
4. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
5. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang;
6. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Sesuai pembatasan wewenang yang disampaikan pada pasal 7 ayat (2)
KUHAP disebutkan bahwa:
―Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1)
huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan
tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI‖
Kedudukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas
penyidikan secara terperinci dalam KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan dibawah :
88
3. ―koordinasi‖ penyidik POLRI, dan
4. Dibawah ―pengawasan‖ penyidik POLRI (Pasal 7 ayat (2))
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan
bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1))
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu harus ―melaporkan‖ kepada
penyidik Polri tentang adanya tindak pidana yang sedang disidik, jika
dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2))
d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan
penyidikan, hasil penyidikannya tersebut diserahkan kepada penuntut
umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3))
e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan,
karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka
penghentian penyidikan itu harus ―diberitahukan‖ kepada penyidik
Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3))
Dalam hal penyampaian dimulainya penyidikan KAPOLRI memberikan
pendapat sesuai dengan surat yang disampaikannya tanggal 29 September
1986 No. Pol. B/4753/IX/86 bahwa pelaksanaan penyidikan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil mutlak berada dibawah koordonasi penyidik Polri sesuai Pasal 7
ayat (2) KUHAP, penyampaian hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri
89
Sipil kepada Penuntut Umum harus melalui penyidik Polri sesuai Pasal 107
ayat (2) KUHAP.60
Adanya pendapat KAPOLRI tersebut pada tahun 1990 dikeluarkan fatwa
oleh Mahkamah Agung tentang penyerahan hasil penyidikan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil kepada Penuntut Umum yakni sebagai berikut:
―Baik terhadap tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus PPNS
setelah selesai melakukan penyidikannya harus menyerahkan hasil
penyidikannya secara nyata kepada penyidik Polri, baru setelah itu
penyidik Polri menyerahkan ke Penuntut Umum.‖61
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam pasal 77 ayat (2) Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang dimaksud dengan
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui pejabat penyidik Polri ialah
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, hal ini juga dimaksudkan untuk memeberikan jaminan
bahwa hasil penyidikan telah memenuhi ketentuan dan persyaratan yang
berlaku. Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan dikatakan bahwa:
―Dalam rangka kegiatan administrasi penyidikan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil dalam hal tertentu dapat secara langsung menyampaikan
Surat Pemberitahuna kepada instansi terkait dan tembusannya kepada
Penyidik Polri‖
60
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 116. 61
L. Sumartini, Op. Cit, hal 113.
90
Sementara itu tindakan-tindakan yang dapat dilakukan PPNS Kehutanan
dalam menangani tindak pidana khusus dibidang kehutanan antara lain:
a. penyidik melakukan pemeriksaan ke TKP;
b. melacak dan menangkap pelaku dari tindak pidana tersebut;
c. pelaku tindak pidana diserahkan kepada Polri atau Polres setempat
untuk pengusutan yang lebih lanjut.62
Dalam penanganan kasus tindak pidana khusus bidang kehutanan pada
satu ekosistem hutan, ada beberapa tahap-tahap yang harus dilakukan oleh
PPNS kehutanan dan Penyidik Polri yaitu:
A. Tahap penanganan yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan meliputi :
1. Penangkapan tersangka dilakukan oleh PPNS Kehutanan ditempat
kejadian perkara pada waktu pelaku tindak pidana tertangkap
tangan dan ketika pelaku ditangkap pada saat hendak melarikan
diri. Dalam hal ini penangkapan dilakukan pada pelaku tindak
pidana yang sudah diketahui orangnya.
2. Penahanan sementara tersangka di kantor PPNS Kehutanan selama
1x24 jam. Hal ini dilakukan untuk melakukan pemeriksaan
terhadap pelaku tindak pidana, saksi, dan mengumpulkan barang
bukti yang diperoleh PPNS Kehutanan, dan juga PPNS Kehutanan
membuat keterangan tersebut.
62
Obrika Simbolon, 2007, Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging,
Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Sumatera Utara.
91
3. Mengumpulkan barang bukti untuk mengetahui jenis tindak pidana
yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan dan untuk mengetahui
status dari pelaku tindak pidana.
4. PPNS Kehutanan melakukan pemeriksaan terhadap:
a. Tersangka, sehubungan dengan pemeriksaan tersangka ini
maka undang-undang telah memberikan beberapa hak yang
bersifat perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan
kebenaran dan pembenaran diri.
b. Saksi-saksi, pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan
terhadap saksi sama halnya dengan pemeriksaan yang
dilakukan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
5. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), hal ini dilakukan
untuk dapat mengetahui serta membuat laporan kepada Penyidik
Polri yang merupakan suatu proses tindak lanjut yang dilakukan
terhadap pelaku tindak pidana dibidang kehutanan.
6. Penyerahan tersangka beserta surat pengantar dari PPNS
Kehutanan kepada Penyidik Polri, penyerahan ini dilakukan untuk
mempermudah tindak lanjut dalam pemeriksaan perkara yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut.
B. Setelah pelimpahan berkas dan tersangka oleh PPNS Kehutanan
kepada Penyidik Polri maka tahapan yang harus dilakukan oleh
Penyidik Polri adalah sebagai berikut:
92
1. Setelah PPNS Kehutanan menyerahkan tersangka beserta surat
pengantar kepada Penyidik Polri maka penyidik Polri melakukan
penyidikan lanjut terhadap: Tersangka, Saksi-Saksi, dan Barang
Bukti yang cukup kuat.
2. Pembuatan Berita Acara, hal ini dilakukan untuk mempermudah
setelah adanya pemeriksaaan serta untuk dijadikan berkas di
Kepolisian agar dapat dilaporkan kepada Kapolda setempat;
3. Pelimpahan kekantor Kejaksaan dan kemudian diteruskan ke
Pengadilan, hal ini dilakukan untuk membela kepentingan dari
tersangka agar dapat memperoleh perlindungan hukum hingga
menjadi status terdakwa. Dalam hal ini terdapat cirri-ciri khas dari
penyidikan tindak pidana bidang Kehutanan (illegal logging)
yaitu:
a. PPNS Kehutanan menerima laporan dan mengetahui sendiri
telah terjadi suatu tindak pidana bidang kehutanan maka
dengan segera PPNS melakukan penangkapan terhadap
pelaku tindak pidana tersebut.
b. PPNS Kehutanan kemudian melakukan penahanan selama-
lamnya 1-2 hari, bila kemudian ditemukan cukup bukti-bukti
yang kuat dari si pelaku untuk selanjutnya diperiksa untuk
dibuat Berita Acara Pemeriksaan.
93
c. Didalam proses ini pihak polri setempat harus diberitahu oleh
PPNS bahwa telah terjadi tindak pidana khusus bidang
kehutanan dan si tersangka dalam proses pemeriksaan.
d. Untuk kepentingan penyidikan PPNS Kehutanan diberi
petunjuk oleh Penyidik Polri mengenai proses penyidikan
tindak pidana yang terjadi.
e. Bila proses pemeriksaan penyidikan dianggap telah cukup
oleh PPNS Kehutanan maka si tersangka diserahkan kepada
Penyidik Polri setempat disertai dengan BAP dan surat
pelimpahan pemeriksaan. Bila proses pemeriksaan dianggap
kurang maka pihak polri berkewajiban untuk
melengakapinya.
f. Dalam proses penyidikan dianggap telah selesai oleh
Penyidik PPNS Kehutanan tersebut, maka PPNS Kehutanan
segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum melalui penyidik polri.
g. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan masih kurang lengkap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik polri disertai
petunjuk untuk dilengkapi.
94
h. Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan
penyidikan tambahan dengan petunjuk dari penuntut umum.
i. Penyidikan dianggap telah selesai dalam waktu 14 hari
Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.63
Sementara itu menurut Dwi Agustina Rimbawati64
dalam penelitiannya
menyampaikan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan yang
dikoordinasikan dengan tugas Penyidikan oleh Penyidik Polri adalah sebagai
berikut:
1. Menerima SPDP: Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(Dilakukan oleh PPNS).
2. Memberi bantuan penyidikan jika ada permintaan dari PPNS yang
diajukan secara tertulis.
3. Tahap I—Menerima Berkas untuk diteruskan ke Kejaksaan.
4. Tahap II – Pengiriman Tersangka dan Barang Bukti.
63
Ibid. 64
Dwi Agustina Rimbawati, Implementasi Kewenangan Penyidikan Dan Koordinasi Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia Terkait
Tindak Pidana Kehutanan Terhadap Satwa Liar Yang Dilindungi (Studi di Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Daerah Jawa Timur), Skripsi, Fakultas
Hukum: Universitas Brawijaya Malang, hal 12-13.
95
5. Tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang
penyidikannya dilakukan oleh PPNS.
a. PPNS menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau
pengaduan masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak
pidana di luar kewenangan PPNS, maka diteruskan ke penyidik;
b. Penyidik menemukan dan/atau menerima informasi, laporan atau
pengaduan masyarakat tentang adanya peristiwa yang diduga tindak
pidana yang juga menjadi wewenang PPNS, maka penyidik dapat
melakukan proses penyidikan atau meneruskan kepada PPNS.
6. Rapat secara berkala, rata-rata dilakukan 3 bulan sekali
7. Penyidikan bersama dilaksanakan melalui rapat koordinasi untuk :
a. Membentuk tim penyidik;
b. Menyusun rencana penyidikan:
1. Menentukan pasal yang dipersangkakan;
2. Menentukan cara bertindak;
3. Menentukan waktu kegiatan;
4. Menentukan pelibatan personil; dan
5. Menentukan sarana, prasarana, dan anggaran
c. Menganalisis dan mengevaluasi kegiatan dan hasil;
d. Pengendalian.
8. Menghentikan Penyidikan
96
a. Sebelum dilakukannya penghentian penyidikan dilakukan gelar perkara
bersama penyidik;
b. Dalam hal hasil gelar perkara menyimpulkan bahwa syarat penghentian
penyidikan telah terpenuhi, maka diterbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) dan surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. PPNS mengirimkan surat penghentian penyidikan kepada:
1. Penuntut umum melalui penyidik dan
2. Tersangka atau keluarga dan/atau penasihat hukumnya.
9. Gelar Perkara, dilakukan terhadap setiap perkara yang ditangani yang dapat
dihadiri penyidik atau pihak terkait. Gelar perkara dilaksanakan pada:
a. Awal penyidikan, dilakukan untuk:
1. Menentukan peristiwa yang akan ditangani merupakan tindak pidana
atau bukan;
2. Menentukan pasal yang disangkakan;
3. Menyusun rencana penyidikan.
b. Pertengahan penyidikan dilakukan untuk:
1. Menyempurnakan ketepatan penerapan pasal;
2. Mengetahui perkembangan penyidikan;
3. Mengetahui dan mengatasi kendala atau kekurangan penyidikan;
4. Melengkapi alat bukti;
5. Menyempurnakan proses penyidikan.
c. Akhir penyidikan dilakukan untuk:
97
1. Menganalisis secara yuridis terhadap keterkaitan saksi, tersangka, dan
barang bukti untuk memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan;
2. Menganalisis perbuatan pelaku untuk menentukan peran;
3. Mengetahui kelengkapan administrasi penyidikan;
4. Mengetahui kelengkapan berkas perkara.
Bagan 2
Proses Koordinasi dan Pengawasan pada Penyidikan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan Korwas PPNS
Berdasarkan pembahasan diatas maka pada kasus illegal logging dalam
putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.PWT, peran penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan Perhutani petak 64. A RPH
Pengadegan BKPH Jatilawang KPH Banyumas Timur Grumbul Kalisalak,
Desa Pekuncen RT 02/RW 04 Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas
telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang
dimana sesuai uraian putusan berikut ini:
Melalui Penyidik Polri
PPNS
Diklat Team BIN Puan BAN Sidik
PU
SPDP GELEDAH TAHAN TANGKAP PANGGIL SITA BERKAS SERAH TSK &BB
Tahapan Penyidikan
98
a. Dimana dari keterangan 2 (dua) orang saksi dari pihak Perhutani yang
pada saat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa para saksi tersebut
mengetahui sendiri bahwa terdakwa sedang memotong kayu jenis
akasia karena saat itu para saksi sedang melakukan patroli sekitar
pukul 00.00 WIB dan secara langsung melakukan pengakapan
terhadap terdakwa yang sedang mengangkut kayu hasil curiannya
keatas mobil dengan dibantu oleh satu orang temannya.
b. Adanya peristiwa yakni saksi melihat, mendengar, dan mengalami
sendiri dari adanya tindak pidana illegal logging tersebut maka para
saksi tersebut cukup kuat untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti
dalam proses persidangan.
c. Para saksi yang juga sebagai karyawan Perhutani merupakan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Kehutanan melakukan langkah yang tepat sesuai
yang diperintahkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yakni menangkap kedua pelaku tindak pidana
illegal logging tersebut yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan
terhadap diri mereka dan selanjutnya diberitahukan kepada pihak
Kepolisian setempat.
d. Adanya keterangan dari pihak kepolisian yang menerima laporan
sekaligus penyerahan 2 (dua) tersangka tersebut yakni saksi dari
Anggota Kepolisian Polsek Jatilawang yang pada hari rabu tanggal 20
Februari 2013 sekitar jam 01.30 WIB dinihari sedang berdinas
99
kedatangan 3 (tiga) orang karyawan Perhutani yang membawa dan
melaporkan 2 (dua) orang tersangka yaitu terdakwa SARIP BIN
MARJUKI yang melakukan perbuatan tindak pidana menebang atau
memanen, menguasai atau memiliki dan mengangkut hasil hutan yang
tidak dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dan
membawa barang bukti dengan mobil bak terbuka bermuatan kayu
dikendarai oleh sdr. Waswin alias Gowin Sawikarta. Kayu yang
diangkut dengan mobil bak terbuka jenis Daihatsu type Hijat Zebra
tahun 1993 nopol AA-1798-RD warna hitam, adalah kayu jenis Akasia
Milenium sebanyak 17 (tujuh belas) batang dengan ukuran panjang
rata-rata 2 (dua) meter, serta ukuran diameter kayu sebesar antara 16
sampai dengan 20 centimeter. Setelah diintrogasi ternyata benar
terdakwa mendapatkan kayu jenis Akasia Milenium dari kawasan
Perhutani, sebagian didapat dari kayu yang sudah roboh dan sebagian
dengan cara menggergaji. Terdakwa mengaku kayu-kayu tersebut
akan dibawa ke tempat penggergajian kayu untuk dibelah-belah
menjadi kusen dan lainnya yang selanjutnya akan digunakan untuk
perbaikan rumah terdakwa. Saksi membenarkan setelah diperlihatkan
gambar tonggak kayu yang terlihat masih baru dikawasan hutan milik
Perhutani. Saksi membenarkan setelah ditunjukkan barang bukti
berupa kayu gelondongan dan mobil jenis Daihatsu type Hijat Zebra
100
tahun 1993 nopol AA-1798-RD warna hitam yang disita atas
perbuatan terdakwa.
e. Adanya pelaporan tersebut dari PPNS Kehutanan BKPH Jatilawang
Banyumas kepada Penyidik Polres Jatilawang dengan No. Pol:
LP/04/II/2013/JATENG/RES BMS/SEK. JATILAWANG.
Dari uraian tersebut terdapat fakta yang terungkap dalam putusan yang
menjadi objek penelitian, oleh karena itu dapat diberikan jawaban bahwa
peran yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan
dalam kasus tersebut telah sesuai dengan aturan yang diisyaratkan dalam
undang-undang khusus yang mengaturnya yakni sebagai berikut:
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan yakni 2 orang saksi
dari BKPH Jatilawang Banyumas telah melakukan tindakan
penangkapan terhadap 2 pelaku tindak pidana illegal logging tersebut,
dimana hal yang mereka lakukan telah sesuai dengan perintah dari
Pasal 51 dan Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
b. Adanya pemeriksaan identitas yang dilakukan oleh PPNS Kehutanan
BKPH Jatilawang Banyumas kepada 2 orang pelaku tindak pidana
illegal logging tersebut menandakan bahwa wewenang yang telah
diberikan oleh undang-undang telah dijalankan secara tepat karena
ketentuan Pasal 77 ayat (2) butir b Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan memang memberikan ijin kepada PPNS
101
untuk memeriksa seseorang yang diduga akan melakukan tindak
pidana di hutan atau wilayah kawasan yang menjadi pengawasannya.
c. Adanya pelaporan dari PPNS Kehutana BKPH Jatilawang Banyumas
kepada pihak Kepolisian telah menandakan telah terciptanya
koordinasi antara dua lembaga tersebut, sehingga amanat dari
ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP telah terpenuhi sebagai salah satu
peran dari PPNS yang berkoordinasi dengan pihak Kepolisian. Bahwa
Penyidik Pegawai Negeri Sipil berkedudukan dibawah :
4. “koordinasi” penyidik POLRI, dan
5. Dibawah ―pengawasan‖ penyidik POLRI
Kata koordinasi dalam pasal tersebut menandakan bahwa peran-peran
yang dilakukan PPNS Kehutanan dalam melakukan penyidikan
dibidang kehutanan telah mewujudkan kerjasama yang tidak saling
tumpang tindih akan tetapi saling melengkapi diantara keduanya.
Kemudian amanat Pasal 107ayat (2) KUHAP juga telah dilaksanakan
dengan penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu harus ―melaporkan‖
kepada penyidik Polri tentang adanya tindak pidana yang sedang
disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil
ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut
umum.Berdasarkan bagan tersebut diatas dapat juga diberikan maksud
yakni koordinasi yang dilakukan di daerah hukum Jawa Timur, dapat
dijelaskan bahwa proses koordinasi dan pengawasan pada penyidikan
102
yang dilakukan oleh Kasi Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Jatim
adalah dimulai dari dikirimnya Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) oleh PPNS Kehutanan. Apabila dalam suatu
perkara tersebut diperlukan suatu upaya Pemanggilan, Penangkapan,
Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan maka PPNS Kehutanan
berkoordinasi dengan Kasi Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Jatim.
Berkas perkara yang dibuat oleh PPNS dikirim kepada Kasi Korwas
PPNS untuk selanjutnya dilihat apakah sudah benar atau masih ada
yang kurang. Jika berkas tersebut masih kurang lengkap maka Kasi
Korwas PPNS mengembalikan berkas tersebut dengan
memberitahukan letak kekurangannya, sebaliknya jika berkas perkara
sudah dirasa lengkap makan melalui Kasi Korwas PPNS berkas
dikirim ke Penuntut Umum. Penuntut umum melihat apakah berkas
sudah lengkap apabila lengkap maka tidak perlu dikembalikan lagi
melalui Kasi Korwas PPNS kepada PPNS Kehutanan. Penyerahan
berkas perkara merupakan penyerahan tahap ke-I (satu) untuk
selanjutnya dilakukan penyerahan tahap ke-II (dua), yakni penyerahan
barang bukti dan tersangka. Koordinasi ini juga dilakukan pada tindak
pidana kehutanan yang lain misalnya tindak pidana terhadap satwa liar
yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam.65
Dalam melakukan
65
Dwi Agustina Rimbawati, Op. Cit, hal 14.
103
koordinasi tersebut didalamnya juga diupayakan suatu bentuk
pembinaan, dimana pembinaan yang dimaksud pembinaan Kasi
Korwas PPNS yang dilakukan oleh Pembinaan Kemampuan (BIN
Puan) kepada PPNS Kehutanan adalah dengan diadakannya diklat
rutin yang dilakukan yakni setahun sekali, diklat tersebut diikuti oleh
seluruh PPNS di Wilayah Jawa Timur. Diklat yang dilakukan
mempunyai tujuan yakni agar kinerja dari seluruh PPNS dapat
maksimal. Pengawasan yang dilakukan oleh Kasi Korwas PPNS pada
saat proses Penyidikan, sekiranya diperlukan bantuan taktis maupun
bantuan teknis yang dilakukan oleh Bantuan Penyidikan (BAN Sidik)
untuk selanjutnya mengirimkan team guna menindak lanjuti
permintaan PPNS Kehutanan.66
Bentuk koordinasi yang lain adalah
seperti diwilayah hukum Kabupaten Solok Sumatera Barat dimana
koordinasi dalam hal memperoleh keterangan ahli. Peran penyidik
PNS Dishutbun Kabupaten Solok dalam koordinasi ini adalah dalam
hal menunujuk dan mendatangkan saksi ahli dari Dishutbun untuk
menentukan jenis kayu yang menjadi objek tindak pidana penebangan
liar, jumlah volume kayu dan sah atau tidaknya dokumen-dokumen
atau segala surat yang melekat pada kayu. Koordinasi lainnya antara
Penyidik Polri dengan Penyidik PNS Dishutbun Kabupaten Solok
adalah dalam hal melakukan upaya paksa, setiap upaya paksa yang
66
Ibid, hal 15.
104
dilakukan oleh penyidik PNS Dishutbun harus berada dalam
koordinator dan pengawasan dari Penyidik Polri.67
Dengan demikian peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Kehutanan seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dirasakan lebih tepat dan efektif dalam melakukan
Penyidikan dibidang Kehutanan karena:
a. Keterbatasan yang selalu dihadapi Penyidik Polri, khususnya
keterbatasan dalam jumlah personil dibidang penyidikan;
b. Keterbatasan pengetahuan dibidang tertentu yang menyebabkan Polri
tidak mampu menangani semua tindak pidana yang terjadi.68
2. Kendala atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan proses
penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik PPNS Kehutanan dalam
Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN.PWT.
Pembalakan liar (Illegal Logging) terjadi karena adanya kerjasama antara
masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana dilapangan dengan para cukong
bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan
tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu
hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk
kebutuhan pengangkutan. Untuk mengatasi maraknya tindak pidana
pembalakan liar (Illegal Logging) jajaran aparat penegak hukum (penyidik
67
Eko Putra Doni, 2011, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Penebangan Liar
(Studi Kasus Di Polres Aro Suka Solok), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Andalas. 68
Dwi Agustina Rimbawati, Op. Cit.
105
Polri maupun penyidik PPNS yang lingkup tugasnya bertanggungjawab
terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim).69
Aktivitas pembalakan liar (Illegal Logging) saat ini berjalan dengan lebih
terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh
keuntungan dari aktivitas pencurian kayu, modus yang biasanya dilakukan
adalah dengan melibatkan banyak pihak. Pada umumnya, mereka yang
berperan adalah buruh/penebang, pemodal (cukong), penyedia angkutan dan
pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan
birokrasi, aparat pemerintah, polisi, dan TNI). Praktek pembalakan liar
(Illegal Logging) adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal
lahan yang dimiliki maupun penebangan diluar jatah tebang (over cutting) dan
adakalanya pembalakan liar (Illegal Logging) dilakukan melalui kerjasama
antara perusahaan pemegang izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan para
cukong. Seringkali pemegang izin meminjamkan perusahaannya untuk
mengikuti lelang kayu sitaan kepada pihak cukong yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan perusahaan tersebut.70
Padahal untuk terciptanya penegakan hukum didalam masyarakat terdapat
5 (lima) faktor yang mempengaruhi yakni:71
1. Undang-Undang
69
Sadino, Op. Cit. 70
Ibid. 71
Soerjono Soekanto, 19889, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers.
106
1.1. Adanya undang-undang merupakan syarat yang dapat dihilangkan
dalam mengatasi suatu permasalahan hukum. Apabila hukum
tidak mengatur maka para pelanggar hak orang lain dapat dengan
leluasa melakukan tindakan yang tidak semestinya ia lakukan.
Akan tetapi adanya undang-undang pun kurang menjamin untuk
menyelesaikan permasalahan hukum tersebut karena apabila
adanya undang-undang justru menjadi tumpang tindih dari
undang-undang yang lain. Penyidikan oleh PPNS Kehutanan yang
selama ini berpedoman pada Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan merupakan dasar bagi PPNS Kehutanan untuk
melakukan penyidikan, namun dalam praktek yang sekarang ada
justru kewenangan yang dilakukan tersebut kurang bersifat
terintegrasi karena sesudah melakukan penyidikan dengan dasar
undang-undang kehutanan PPNS Kehutanan wajib untuk
melaksanakan ketentuan lain yang leteknya berada diluar undang-
undang kehutanan seperti pelimpahan berkas penyidikan kepada
Penuntut Umum melaui pihak Kepolisian. Selain itu selama ini
PPNS Kehutanan hanya diberikan tugas yang bersifat teknis
seperti penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana kehutanan dan proses penyidikannya tetap
dilakukan oleh Penyidik Polri. Proses pelimpahan berkas tersebut
dalam prateknya sering terdapat masalah sehingga Penuntut
107
Umum mengembalikan berkas ke penyidik, dimana seringkali
tidak diberitahukan oleh pihak kepolisian sewaktu pelimpahan
berkas kepada Penuntut Umum. Hal ini dirasakan kurang
terintegrasi seharusnya dari awal sudah ditentukan dalam satu
undang-undang yang memberikan kewenangan kepada PPNS
Kehutanan untuk melakukan penyidikan (keterintegrasian
Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Kepolisian dan
Undang-Undang Kejaksaan dalam hal koordinasi proses
penyidikan menjadi hal mutlak adanya).Proses penyatuan produk
hukum terkait menjadi satu merupakan hal yang sangat diperlukan
guna memberikan pedoman yang mudah dalam pelaksanaannya
akan tetapi tidak menghilangkan esensi dari tugas maupun
wewenang penegak hukum tersebut.
2. Mentalitas aparat penegak hukum
2.1. Lemahnya pengawasan dari aparat penegak hukum merupakan
salah satu hal yang menjadikan faktor kedua ini muncul.
Pengawasan diperlukan dengan tujuan untuk meminimalisir atau
mencegah terjadinya suatu tindak pidana illegal logging di suatu
kawasan hutan. Dengan kurangnya pengawasan dari aparat
penegak hukum tersebut menyebabkan para pelanggar dengan
leluasa mengekploitasi hasil hutan dengan semena-mena
khususnya yang dilakukan oleh para cukong dengan beking atau
108
bantuan dari aparat penegak hukum yang lain. Dalam hal ini
kesadaran akan pelestarian hutan dari para aparat hukumnya
sendiri dirasakan sangat kecil hanya untuk sejumlah uang
mentalitas mereka menjadi taruhannya yakni tidak berani
menindak hanya karena telah dibayar/disogok uang oleh para
cukong tersebut (terbongkarnya kasus seorang perwira polisi di
Jayapura yang mempunyai kekayaan berlimpah karena melakukan
penyelundupan kayu illegal). Selian itu kurangnya keberanian dari
para penegak hukum itu sendiri dalam menindak para pelaku
tindak pidana kehutanan dengan alasan bahwa tidak ada aturan
yang memayunginya yang sebenarnya para aparat penegak hukum
harus nya mempunyai tindakan diskresi (kewenangan yang
memang harus dilakukan karena tidak aturan yang mengaturnya)
dimana selama ini hanya dipraktekan oleh hakim (Hakim Artidjo
Alkostar dalam memberikan hukuman maksimal kepada
Terdakwa korupsi Angleina Sondakh) dalam memutus perkara
tertentu. Perlunya tindakan diskresi merupakan awal
pembangunan mentalitas dari para aparat penegak hukum dalam
menindak pelaku tindak pidana kehutanan tersebut. Sehingga
kesadaran dan keteguhan iman akan tertap terjaga pada setiap diri
apara penegak hukum.
3. Perilaku masyakarat
109
3.1. Masyarakat yang menjadi faktor penentu dalam pelestarian
kawasan hutan seharusnya tidak terlibat dalam lingkaran
permasalahan tindak pidana kehutanan karena mereka lah yang
secara langsung mempunyai kewajiban untuk menjaga dan
melestarikan kawasan hutan khususnya mereka yang tinggal dekat
atau didalam kawasan hutan. Perilaku masyarakat yang semakin
berkembang justru membawa dampak buruk dengan dalih bahwa
kebutuhan akan perut atau hanya sekedar memenuhi keinginan
nafsu dunia mereka dengan sengaja merelakan hutan yang
seharusnya menjadi bagian penting dalam kehidupan dunia harus
dijarah demi kepentingan kelompok tertentu yang tidak
bertanggung jawab. Hilangya rasa masyarakat akan pentingnya
pelestarian hutan mengakibatkan kawasan hutan di Indonesia kini
semakin memprihatinkan sebagai contoh sering terjadinya banjir
bandang dan tanah longsor seperti didaerah Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan yang terbesar pernah terjadi tahun 2013
di Jayapura dimana kota tersebut banjir bandang yang material
bongkohan kayu-kayu besar yang berasal dari datarang
tinggi.72
Proses penanaman nilai-nilai pelestarian hutan sejak dini
pun dirasa kurang atau masih belum dapat mengubah perilaku
72
Anonim, www.penjaga-alam.blogspot.com, Banjir Bandang Luluh Lantahkan Tanah Papua,
diakses pada tanggal 13 Spetember 2014 pukul 21.30 WIB.
110
masyarakat yang sudah berubah ke arah modernisasi dengan kedok
pembangunan masyarakat industri (industrialisasi). Kepekaan dan
rasa cinta akan pelesatrian yang dari dulu sering dipraktekan oleh
para leluhur mereka dari waktu ke waktu semakin memudar
dengan karena kemajuan zaman yang tidak mementingkan akan
lesatrinya suatu kawasan hutan dan hanya memusatkan pada idealis
demi mencapi kesejahteraan mayarakat sesuai Pancasila. Namun
dengan adanya sebagian kecil pihak (masyarakat) yang sadar akan
pelestarian hutan hanya dirasakan sebagai pelipur lara dari akibat
buruk yang dapat terjadi dari adanya kerusakan hutan tersebut.
Pembenahan moral masyarakat pembentukan kebijakan pemerintah
yang pro rakyat menjadi hal yang penting adanya karena apabila
moral dan kebijkan yang sesuai dengan keinginan rakyat maka
mereka pasti akan kembali seperti kehidupan yang lalu dimana
alamlah yang memberikan kehidupan.
4. Sarana
4.1. Membicarakan mengenai sarana maka didalamnya pasti berkaitan
dengan adanya kesempatan selain melihat adanya kemajuan zaman
yang secara tidak langsung telah menciptakan peralatan canggih
yang gunanya untuk mengeksploitasi hutan secara tidak
berkelanjutan, selain itu dengan sarana tersebut biasanya para
pelaku tindak pidana dapat melakukan kejahatannya dengan
111
leluasa. Sarana yang dimaksud lebih dititik beratkan kepada
lemahanya control yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya, disamping itu adanya kebijakan
pemerintah yang dengan sengaja memasukkan pasal-pasal titipan
dari para cukong dalam dunia kejahatan (White Color Crime yang
bersinergi dengan Blue Color Crime)dalam perancangan peraturan
di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang tidak dapat dicontohkan
karena memang sengaja ditutupi merupakan indikasi adanya sarana
yang diberikan pemerintah yang seharusnya diberikan kepada
rakyat akan tetapi diberikan kepada para pengusaha (cukong)
dalam dunia kejahatan. Pemberian kesempatan ini menjadikan para
cukong tersebut dengan bebas dapat mengeksploitasi kekayaan
hutan yang kita miliki. Sehingga penindakan terhadap para pelaku
tersebut tidak dapat ditegakkan karena beralasan tidak aturan yang
dapat menjeratnya. Sarana yang lain adalah dengan memanfaatkan
tingkat wawasan masyarakat yang rendah para cukong tersebut
memperdaya masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan yang
akan mereka terima apabila dengan sukarela menyerahkan hutan
untuk digunakan sebagai pembangunan ekonomi namun
sebenarnya berbanding terbalik dengan tujuan pelestarian hutan.
Perlunya ketegasan dari pemerintah sendiri sebagai penyelenggara
negera harus dapat mengurangi atau bahkan menutup kesempatan
112
yang dijadikan sarana bagi para pelaku tindak pidana kehutanan
dalam melakukan kejahatannya.
5. Kultur
5.1. Kebudayaan yang selama ini dibangun oleh mayarakat kawasan
hutan atau pinggiran hutan dapat secara cepat memudar atau
bahkan hilang (seperti adanya perkembangan Suku Badui di
Provinsi Banten dimana dulu hanya ada Suku Badui namun kini
telah mejadi dua yakni Badui Dalam dan Badui Luar, dimana
Badui Dalam tetap berpegang teguh pada ajaran nenek moyang
mereka dengan unsur utama ialah alamlah yang memberikan kita
kehidupan maka alam tidak boleh dirusak, sedangkan Badui Luar
sudah terpengaruh oleh budaya luar dari tradisinya), faktor budaya
ini erta kaitannya dengan perilaku masyarakat itu sendiri yang
sudah melupakan pentingnya fungsi pelestarian hutan. Semakin
hilangnya anggapan hutan sebagai tempat yang mistis atau
disucikan oleh kalangan tertentu menjadikan para cukong tersebut
dapat dengan mudah untuk melakukan tindakannya tanpa control
pemerintah maupun kontrol dari masyarakat yang berada di
kawasan hutan atau pinggiran hutan tertentu yang menjadi target
eksploitasi para cukong tersebut. Sekali lagi pembenahan moral
dari setiap diri masyarakat dan pembenahan kebijakan masyarakat
yang pro rakyat menjadi hal yang urgen demi mejaga tetap
113
lesatrinya hutan-hutan pada umumnya dan hutan Indonesia pada
khususnya.
Dari kelima faktor tersebut terjadi saling mempengaruhi diantara faktor
yang satu ke faktor yang lainnya. Eksistensi norma hukum yang terumus
didalam undang-undang misalnya sebagai law in books sangatlah ditentukan
prsopeknya ditengah masyarakat dalam aspek law in action-nya atau hukum
dalam bangunan realitasnya oleh mentalitas aparat penegak hukum. Kinerja
aparat penegak hukum akan mejadi penentu prospek penegakan norma-norma
hukum.73
Maraknya praktek illegal logging yang terjadi disebabkan karena beberapa
faktor sebagai berikut:74
1. Lemahnya sistem pengawasan hutan dan koordinasi antara aparat
penegak hukum
Pengelolaan hutan merupakan usaha yang meliputi beberapa aspek
seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi, dimana setiap fungsi tersebut saling
berkaitan dan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Mengingat luasnya wilyah hutan di Indonesia tidak sebanding dengan
jumlah petugas jaga yang secara khusus memang mempunyai tugas
melakukan pengamanan hutan, sehingga tidak seluruh hutan dapat
73
Abdul Wahab dan Mohammad Labib, 2010, Kejahatan Mayantara, Bandung: PT. Refika
Aditama, hal 136. 74
Obrika Simbolon, Op. Cit.
114
dilakukan pengawasan secara maksimal sampai saat ini. lemahnya
koordinasi antar penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan hakim juga
menjadi pemicu semakin maraknya illegal logging. Fakta di lapangan
bahwa koordinasi antar 3 lembaga tersebut belum berjalan dengan
optimal padahal koordinasi yang optimal akan memberikan pengaruh
tegaknya hukum dinegara ini. Hal itu menunjukan bahwa tantangan
yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam rangka law
enforcement bukan tidak mungkin sangatlah banyak. Penegak hukum
bukan hanya harus dituntut untuk professional dan pintar didalam
menerapkan norma hukumnya secara tepat, tetapi juga harus
berhadapan dengan seseorang dan bahkan sekelompok anggota
masayarakat yang diduga melakukan kejahatan.Oleh karena itu
ketersediaan undang-undang yang mengatur dan mentalitas para
penegak hukum sangatlah diperlukan.75
Adanya pembatasan yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang Kehutanan memberikan
pembebasan kewenangan yang diberikan kepada PPNS kehutanan,
dimana dikatakan dahulu memang diberikan wewenang yang lebih
luas bahkan hampir sama seperti kepolisian dalam melakukan suatu
penyidikan.76
75
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal 137. 76
Wawancara dengan Poerwoyuwono S.H., Penyidik di BKPH Jatilawang Banyumas Timur
tanggal 16 Juli 2014 pukul 10.00 WIB.
115
2. Faktor Ekonomi
Dalam konteks Illegal Logging, perambahan hutan secara liar biasanya
juga mengikutsertakan masyarakat setempat untuk menjadi tenaga
lapangannya, keterlibatan masyarakat sekitar dimana
cukong/perusahaan besar memberikan bayaran/penghidupan kepada
masyarakat tersebut melalui usaha perambahan hutan tersebut, oleh
karena itu pengentasan kemiskinan menjadi salah satu faktor dalam
konsep pembangunan berkelanjutan, begitupun juga dengan pola
konsumsi dan produksi masyarakat terhadap produk hasil olahan hutan
seperti pulp, kayu gelondongan, rotan dll. yang tidak terkendali akan
menyebabkan perusahaan-perusahaan mengeksploitasi hutan dengan
alasan tuntutan pemenuhan kebutuhan olahan kayu, dari semua itu
maka peran pemerintah untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan terhadap sumber daya alam menjadi kunci utamanya.
Perilaku masyarakat yang sadar akan pembangunan berkelanjutan
sangatlah penting untuk dibangun sejak kini karena jika tidak perilaku
masyarakat yang terlanjur dihasut oleh kebutuhan akan ekonomi yang
semakin tinggi menjadi dasar alasan masyarakat untuk melakukan hal
tersebut.
Industry kayu yang berkembang pesat, mengakibatkan permintaan
akan pasokan kayu ikut meningkat. Sementara kemampuan pasokan
kayu dan kemampuan penyediaan industry perkayuan yang legal tidak
116
sebanding dengan permintaan pasokan kayu dari perindustri yang
menggunakan kayu sebagai bahan bakunya. Kurangnya pasokan kayu
membuat para pengusaha kayu (cukong/pemodal) menempuh jalan
illegal dengan melakukan penebangan liar demi memenuhi permintaan
industry kayu.
3. Faktor Sosial
Pranata sosial yang bersumber dari kepercayaan maupun adat istiadat
yang khusus mengatur hubungan manusia dalam hal pemanfaatan
hutan disebagian daerah yang memiliki hutan tidak lagi ditemukan,
karena saat ini tidak ada lagi tempat keramat di hutan yang dilarang
untuk diganggu atau dimasuki oleh masyarakat disekitar kawasan
hutan. Akan tetapi walaupun demikian halnya masih ada juga
masyarkat yang masih mempercayai adanya tempat keramat didalam
hutan, dan tempat tersebut tidak boleh dilakukan penebangan.
Diperlukannya suatu sarana yang dapat mengembalikan lagi fungsi
hutan sebagai kawasan yang mempunyai nilai budaya maupun sosial
dalam kehidupan masyarakat, seperti dengan diadakannya uapacara-
upacara adat yang biasa dilakukan yakni sedekah bumi dimana dengan
adanya kegiatan tersebut dapat memberikan kesadaran bagi
masyarakat yang sudah mulai melupakan akan pentingnya pelestarian
kawasan hutan. Sekaligus kultur atau budaya yang ada dan tumbuh
dalam masyarakat tersebut akan tetap ada dan lestari.
117
4. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat yang berada di
sekitar kawasan hutan
Pada umumnya pelaku illegal logging adalah masyarakat yang tinggal
disekitar hutan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat
pendidikan yang rendah itu memberi dampak minimnya pengetahuan
tentang fungsi hutan terhadap lingkungan hidup. Bagi mereka hutan
adalah merupakan sumber daya alam yang selalu dapat mereka
pergunakan setiap saat. Pandangan ini tentu berbeda dengan tujuan
pembangunan yang berkelanjutan dimana salah satu ialah menjaga
pelestarian hutan demi generasi yang akan datang. Perilaku masyarakat
yang demikian sangatlah berpengaruh terhadap potret penegakan
hukum. Ketika salah seorang warga masyarakat terjerumus dalam
perbuatan melanggar hukum, maka perilaku masyarakat ini sama
artinya dengan menantang aparat penegak hukum untuk
mengimplementasikan law in books menjadi law in action.77
Permasalahan mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam
memberantas illegal logging disebabkan illegal logging termasuk dalam
kategori kejahatan yang terorganisir,yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku
materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah,
pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari
oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara
77
Soerjono Soekanto,Op. Cit.
118
mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang
membackingi, sehingga praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan
kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan actor intelectual atau
cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda
kapal yang menjalankan kenderaannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur
duluan sebelum petugas penegak hukum dapat menangkapnya.
Kegiatan penebangan kayu secara liar (illegal logging) telah menyebabkan
berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek, sumber daya hutan yang
sudah hancur, selama masa orde baru kian menjadi rusak akibat maraknya
penebangan liar dalam jumlah yang sangat besar. Kerugian akibat penebangan
liar memiliki dimensi yang luas tidak saja terhadap masalah ekonomi, tetapi
juga terhadap masalah sosial, budaya, politik dan lingkungan diantaranya
sebagai berikut:
a. Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi
penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Berbagai sumber
menyatakan bahwa kerugian negara yang diakibatkan oleh illegal
logging, mencapai Rp.30 trilyun per tahun. Permasalahan ekonomi
yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian financial
akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya Dana Reboisasi (DR) dan
Pemungutan Sumber Daya Hutan (PSDH) akan tetapi lebih berdampak
pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk
memanfaatkan keragaman produk di masa depan (opprotunity cost).
119
Sebenarnya pendapatan yang diperoleh masyarakat (penebang,
penyarad) dari kegiatan penebangan liar adalah sangat kecil karena
porsi pendapatan terbesar dipetik oleh para penyandang dana (cukong).
Tak hanya itu, illegal logging juga mengakibatkan timbulnya berbagai
anomali di sektor kehutanan. Salah satu anomali terburuk sebagai
akibat maraknya illegal logging adalah ancaman proses
deindustrialisasi sektor kehutanan. Artinya, sektor kehutanan nasional
yang secara konseptual bersifat berkelanjutan karena ditopang oleh
sumber daya alam yang bersifat terbaharui yang ditulang punggungi
oleh aktivitas pengusahaan hutan disektor hulu dan industrialisasi
kehutanan di sektor hilir kini tengah berada di ambang kehancuran.
b. Dari segi sosial budaya dapat dilihat munculnya sikap kurang
bertanggung jawab yang dikarenakan adanya perubahan nilai dimana
masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar
dan salah serta antara baik dan buruk. Hal tersebut disebabkan telah
lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering
hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah
sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang
besar.
c. Dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah
tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang
berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro,
120
menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya
keaneka ragaman hayati. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya
hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna
langka.Kemampuan tegakan (pohon) pada saat masih hidup dalam
menyerap karbon dioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang
sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat
semakin minimnya tegakan yang tersisa karena adanya penebangan
liar.Berubahnya struktur dan komposisi vegetasi yang berakibat pada
terjadinya perubahan penggunaan lahan yang tadinya mempunyai
fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya dan juga sebagai wilayah
perlindungan sistem penyangga kehidupan telah berubah peruntukanya
yang berakibat pada berubahnya fungsi kawasan tersebut sehingga
kehidupan satwa liar dan tanaman langka lain yang sangat bernilai
serta unik sehingga harus jaga kelestariannya menjadi tidak berfungsi
lagi. Dampak yang lebih parah lagi adalah kerusakan sumber daya
hutan akibat penebangan liar tanpa mengindahkan kaidah manajemen
hutan dapat mencapai titik dimana upaya mengembalikannya ke
keadaan semula menjadi tidak mungkin lagi(irreversible).78
Dari uarian mengenai penyebab maupun faktor yang mempengaruhi
maraknya pembalakan liar atau illegal loging mungkin semuanya yang
78
Sadino, Op. Cit.
121
bersifat eksternal atau adanya akibat tersebut karena faktor dari luar lembaga
yang memang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk mengatur
sekaligus melindungi hutan maupun kawasan hutan yang menjadi tanggung
jawabnya.
Berkaitan dengan putusan yang menjadi objek penelitian ini dapat
diuraikan pembahasan sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan adanya faktor-faktor yang telah diuraikan diatas
maka menjadi suatu yang penting dalam melakukan suatu penegakan
hukum yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang hidup dalam
masyarakat dimana penegakan hukum selalu akan melibatkan
manusia didalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah
laku manusia juga. Hukum tidak bias tegak dengan sendirinya,
artinya ia tidak akan mampu mewujudkan janji-janji serta kehendak-
kehendak yang tercantum dalam hukum tersebut. 79
Penegakan hukum dalam hal ini ialah yang berkaitan dengan tugas
penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
bahwa amanat yang telah diberikan oleh undang-undang memang
memberikan kewajiban bagi dirinya namum dalam pelaksanaannya
selalu saja terdapat masalah yang dihadapi. Tinggal bagaimana
menatalitas dari penegak hukum (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) itu
sendiri dalam menerapkan bunyi undang-undang karena kata
79
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya.
122
sebagian orang tugas yang dimilki oleh penegak hukum tersebut
masih tumpang tindih dengan penegak hukum yang lain (Kepolisian),
namun secara umum sendiri tidak ada kendala dalam melakukan
tugas penyidikan karena secara peraturan yang telah ada sudah jelas
pemberian wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang
Kehutanan saat ini. 80
Adanya faktor yang menyebabkan semakin maraknya pembalakan liar/
illegal logging merupakan faktor yang penyebabnya itu sendiri berasal
dari keinginan menguasai yang berlebihan. Faktor-faktor tersebut diatas
merupakan faktor umum(general) yang menjadi penyebab terjadinya
illegal logging di Indonesia. Padahal Indonesia sebagai Negara hukum
sudah memiliki pengaturan mengenai adanya pemberantasan tindak
pidana illegal logging yakni Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menjadi payung hukumnya seharusnya dapat
menanggulangi perkembangan kejahatan illegal logging tersebut.81
Putusan No. 31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt. yang menjadi objek penelitian
secara umum faktor-faktor penyebab illegal logging seperti yang
diuraikan diatas beberapa ada benarnya karena dari keterangan terdakwa
sendiri yang nekat mencuri kayu karena alasan ekonomi dan ada pesanan
dari seseorang tentang kayu yang sedang dibutuhkan sedangkan untuk
pelaksanaan penyidikannya tidak ditemukan kendala yang begitu mecolok
karena secara kewenangan sendiri yang diberikan oleh undang-undang
sudah dikembalikan kepada Kepolisian. Penyidikan yang dulu memang
80
Wawancara dengan Poerwoyuwono S.H., Penyidik di BKPH Jatilawang Banyumas Timur
tanggal 16 Juli 2014 pukul 10.00 WIB. 81
Sadino, Op. Cit.
123
diberikan oleh undang-undang saat ini dibatasi dan dikembalikan lagi ke
pihak Kepolisian.82
Penanganan akan perkembangan tindak pidana illegal logging yang
semakin maju dengan modus operandi yang bermacam-macam,
menyebabkan para aparat penegak hukum dituntut agar selalu dapat
mengatasinya dengan menggunakan produk hukum yang tersedia.83
Akan
tetapi dengan adanya perkembangan produk hukum kehutanan saat ini
justru memgurangi beban kerja dari lembaga kehutanan itu sendiri, karena
dengan begitu wewenang sebagai contoh misal penyidikan seluruhnya
kembali ke pihak kepolisian.84
Oleh karena itu perlunya kesadaran dari
para aparat penegak hukum, pembangunan pola pikir masyarakat akan
pentingnya pembangunan berkelanjutan dan mulai dilaksanakannya suatu
pola yang bersifat integrasi (penyatuan) antara peraturan dengan teknis
dilapangan maupun pola kerja aparat penegak hukum dalam
menanggulangi tindak pidana illegal logging semata-mata semua itu demi
tercapainya tujuan masyarakat yang adil dan makmur.
82
Wawancara, Op. Cit. 83
Obrika Simbolon, Op. Cit. 84
Wawancara, Loc. Cit.
124
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan yaitu:
1. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan pada Putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt. Saat ini hanya melakukan tindakan teknis yang
sifatnya menindak pelaku tindak pidana illegal logging yakni menangkap,
memeriksa identitas dan melaporkannya kepada pihak Kepolisian, dengan
uraian sebagai berikut:
a. Tindakan penangkapan yakni petugas Perhutani di kawasan hutan Perhutani
petak 64. A RPH Pengadegan BKPH Jatilawang Banyumas Timur tepatnya
di Grumbul Kalisalak, Desa Pekuncen RT 02/ RW 04 Kecamatan Jatilawang
Kabupaten Banyumas yakni saksi Sutrisno dan saksi Tarsono berhasil
menangkap terdakwa Sarip bin Marjuki dan temannya Waswin alias Gowin
yang tertangkap tangan sedang melakukan pencurian kayu di kawasan
tersebut karena tidak bisa menunjukan surat-surat untuk membawa atau
menggangkut hasil hutan. Setelah itu memeriksa identitas dari keduanya
yang merupakan warga Desa Pekuncen RT 02/ RW 04 Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas.
b. Tindakan melaporkan kepada penyidik dari Kepolisian tentang adanya
tindak pidana dibidang kehutanan dimana dalam putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt. tersebut 2 (dua) orang petugas Perhutani dari
BKPH Jatilawang Banyumas Timur yakni Saksi Sutrisno dan Saksi Tarsono
melaporkan kepada saksi Yudi Kristianto (Penyidik Polsek Jatilawang
Banyumas Timur) tentang pencurian yang dilakukan oleh terdakwa Sarip bin
Marjuki dan temannya Waswin alias Gowin di kawasan hutan milik
perhutani tersebut.
125
2. Kendala yang pada saat ini masih terjadi ada beberapa faktor yakni sebagai
berikut:
2.1. Faktor eksternal yang meliputi:
1. lemahnya pengawasan antara penegak hukum
2. faktor ekonomi;
3. faktor sosial;
4. rendahnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat akan pentingnya
pelestarian fungsi kawasan hutan bagi kelangsungan hidup.
2.2.Faktor internal secara wewenang dan teknis pelaksanaan tugas dilapangan
semuanya telah dikoordinasikan bersama pihak Kepolisian Republik
Indonesia maka dengan Adanya tindakan penengkapan dan pelaporan dari
PPNS kehutanan kepada penyidik Polri pada putusan No.
31/Pid.Sus/2013/PN. Pwt.Menunjukan bahwa antara dua (2) lembaga
tersebut sebenarnya tidak ada masalah dalam melakukan penyidikan
melainkan adanya koordinasi tersebut justru mempermudah dalam
menenggani pelaku tindak pidan illegal logging dilapangan dan dapat
menjalankan tugas dengan baik tanpa adanya hambatan, kendala atau
tumpang tindih wewenang.
126
B. Saran
Proses penyidikan yang selama ini berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana memang menjadi dasar yang hakiki bagi setiap proses penyidikan
yang dilakukan untuk mengungkap suatu tindak pidana, akan tetapi banyaknya
peraturan yang manjadi pelaksananya kurang bersifat integrasi. Oleh karena itu
diperlukan suatu produk hukum yang sifatnya terintegrasi demi penyatuan proses
penyidikan yang lebih mudah dan tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku:
Amiruddin dan Asikin, Zaenal, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Ashshofa, Burhan, 2007, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.
Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia.
Malang: Bayumedia Publishing.
______________, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT.
Alumni.
______________, 2008, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Echols, Jhon M, 2006, An English-Indonesia dictionary (Cetakan XXIII), Jakarta:
Gramedia.
H.S, Salim. 2002. Dasar–Dasar Hukum Kehutanan (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar
Grafika.
Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
____________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Media Group.
Mulyadi, Lilik, 2010, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan
Praktik Peradilan, Bandung: CV. Mandar Maju.
_____________, 2012, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahannya, Bandung: Alumni.
Nugroho, Hibnu, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Media Prima Aksara.
Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan-
Ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional, Cet III, Jakarta: Djambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman, 2002, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya.
Sadino, 2011, Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Pembalakan Liar
Hutan (Illegal Logging), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM RI.
Simanjuntak, Nikolas, 2009, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono, 19889, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers.
Soemitro, Roni Hanitijo, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Alumni.
Suarga, Riza, 2005, Pemberantasan Illegal Logging I, Jakarta: Wana Aksara.
Sumartini, L., 1996, Pembahasan Perkembangan Hukum Nasional tentang Hukum
Acara Pidana, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Sunggono, Bambang, 2012, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grasindo
Persada.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Ubbe, Ahmad, 2013, Penelitian Hukum tentang Peran Masyarakat Hukum Adat
Dalam Penganggulangan Pembalakan Liar. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum Nasional BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI.
Wahab, Abdul dan Labib, Mohammad, 2010, Kejahatan Mayantara, Bandung: PT.
Refika Aditama.
Wisnubroto, Al., 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Zain, Alam Setia, 1997, Hukum Lingkungan: Konservasi Hutan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta,
Jurnal Hukum:
Agoes Dwi Listijono, 2005, Telaah Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Kaitannya
Dengan Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Hukum. Vol.1, No.1.
Agus Raharjo, Angkasa, dan Hibnu Nugroho. ―Rule Breaking dalam Penyidikan
untuk Menghindari Kekerasan yang dilakukan oleh Penyidik. Jurnal
Dinamikan Hukum. Vol 1 No. 13 (Januari 2013).
Habib Adji,. Jurnal Renvoi. Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005.
Skripsi:
Dwi Agustina Rimbawati, Implementasi Kewenangan Penyidikan Dan Koordinasi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Dengan Penyidik
Kepolisian Republik Indonesia Terkait Tindak Pidana Kehutanan Terhadap
Satwa Liar Yang Dilindungi (Studi di Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Daerah Jawa Timur), Skripsi,
Fakultas Hukum: Universitas Brawijaya Malang.
Eko Putra Doni, 2011, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana
Penebangan Liar (Studi Kasus Di Polres Aro Suka Solok), Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Andalas.
Obrika Simbolon, 2007, Peran PPNS Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal
Logging, Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Sumatera Utara.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah:
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
______________, Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
______________, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum
Acara Pidana.
______________, Susilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bogor:
Politea.
Internet:
Anonim, http:www.hukumonline.pusatdata.com, Undang-Undang No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,. diunduh
tanggal 03 Juli 2014, jam 16.50 WIB.
Anonim, http:www.luaxs.blogspot.com/tindak-pidana-illegal-logging, Tindak Pidana
Illegal Logging, diunduh dari tanggal 6 Juli 2014 jam 12.18 WIB.
Anonim, www.Id.scvoong.com/humanities/theery-Criticism/2165744-definisi-peran-
atau-peranan. diakses tanggal 10 September 2014.
Anonim. demokrasiindonesia.wordpress.com, Hukum Acara Pidana di Indonesia.
diunduh tanggal 03 Juli 2014, jam 16.09 WIB.
Anonim, www.penjaga-alam.blogspot.com, Banjir Bandang Luluh Lantahkan Tanah
Papua, diakses pada tanggal 13 Spetember 2014 pukul 21.30 WIB.
Wawancara:
Wawancara dengan Poerwoyuwono S.H., Penyidik di BKPH Jatilawang Banyumas
Timur tanggal 16 Juli 2014 pukul 10.00 WIB.
top related