pbl blok 13.doc
Post on 04-Dec-2015
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut,
melainkan suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan
kematian. Namun, demikian efek penuaan mulai terlihat setelah usia 40 tahun.
Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan
anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar. Penurunan anatomik dan
fungsional dari organ tersebut menyebabkan lebih mudahnya timbul penyakit pada
organ tersebut.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk:
Untuk mengetahui penyakit demensia, vertigo, parkinson, diabetes mellitus,
osteoatrithis, dan hipotensi ortostatik
Untuk memperlengkapi tugas PBL mandiri.
1
BAB II
ISI
VERTIGO
A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan keluhan yang berupa berputarnya tubuh pasien atau
keadaan di sekelilinginya disertai mual dan muntah. Perasaan tersebut dapat timbul
spontan atau diperberat oleh perubahan posisi tubuh. Serangan dapat berlangsung
konstan atau episodik selama beberapa menit sampai jam. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan kehilangan pendengaran atau suara berdenging. Selanjutnya perlu pula
ditelusuri riwayat trauma kepala atau whisplash injury, gangguan penglihatan,
kelemahan tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan berjalanan dan penurunan kesadaran.1
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan pemeriksaan obyektif
tentang hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan
Pada pemeriksaan mata perlu diperhatikan adanya nistgamus
Pada pemeriksaan telinga perlu diperhatikan kemungkinan adanya tanda-tanda
infeksi dan gangguan pendengaran.
Pemeriksaan status neurologis sangat diperlukan untuk menilai adanya
kemungkinan defisit neurologis akibat kelainan pada saraf pusat yang dapat
menyebabkan vertigo, salah satu penyebab vertigo adalah pendarah di
serebelum. 1
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan
penunjang lain juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan
tersebut harus berdasarkan pendekatan sistematis. Audiogram lengkap harus
dilakukan pada paisen dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat
2
kelainan pada pemeriksaan neurootologik. Elektro- nistamografi (ENG) adalah
pemeriksaan yang dapat membantu membedakan disfungsi vestibular sentral atau
perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan keluhan vertigo atau terdapat temuan
dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistagmus.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering
dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine
angle masses. Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan
bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.
Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness.
Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan
24 jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop. 2
B. Diagnosis
Diagnosis vertigo utamanya terdiri dari sebuah riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik. Adanya gejala klinis mual, muntah, berkeringat, dan gerakan mata yang abnormal
serta hasil dari pemeriksaan penunjang.3
C. Etiologi
Penyebab Vertigo Perifer
A. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)
Benign paroxysmal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada
lansia. BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan
kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat
tidur. BPPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan
dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan symptom pada pasien.
BPPV kadang kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan
inflamasi.
B. Labirintitis
3
Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibular perifer, kelainan ini
sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari
atau beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada
saraf vestibular.
C. Penyakit Meniere
Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness
pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali
berulang. Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik “burned out” yang ditandai oleh
hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang.
Penyebab Vertigo Sentral
Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang
dari 10 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin
sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan
dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awalnya baru terjadi disertai dengan
symptom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau symptom neurologis) harus dipikirkan
kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk
pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan. 2
D. Epidemiologi
Dizziness merupakan keluhan yang sering dijumpai pada lanjut usia, prevalensinya
berkisar 30% pada individu yang berusia >65 tahun. Sebanyak 2% konsultasi di
pelayanan primer menyangkut dizziness, dan dizziness merupakan penyebab utama
nomor 14 penderita datang berobat ke spesialis dalam. Prevalensi sedikit, dari 1622 (>60
tahun) di masyarakat didapat Dizziness 29,3% dan dalam 1 tahun prevalensinya 18,2%.
Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi tidak dikaitkan dengan
risiko kematian, bahayanya besar, ada hubungan dengan kesehatan menurun. 2
Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan
primer sebanyak 54 %. Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal
positional vertigo(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. 2
4
E. Patofisiologi
Vertigo perifer
a. Beningn Paroxymal Positional Vertigo/ Beningn Positional Vertigo (BPV)
BVP disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal sermikularis dimana
pergerakan dari derbis menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan simptom
pada pasien.
b. Labirintitis, diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular
c. Penyakit Meniere, sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda. 2
Vertigo sentral
Iskemik serebovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring
dengan pertambahan usia. 2
F. Gejala Klinis
Pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya berputar, seringkali terjadi seketika,
kadang-kadang dan ketika beratnya disertai dengan mual, muntah, dan jalan yang
terhuyung-huyung. 2
G. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit
yang mendasarinya, sebaiknya secara multi disiplin dan inter disiplin. Langkah
penghentian obat atau penetusnya, dan atau segera merujuk lebih lanjut ke ahli
yang lain yang kompeten dibidangnya. Pengobatan simptomatik dapat
menggunakan sedative (efek sementara). Setiap pemberian medikasi pada usia
lanjut harus dipertimbangkan untung ruginya ( memperhatikan efek samping,
misalnya falls, bingung).
Apabila sebabnya vertigo perifer (BPPV) dapat diberikan terapi simptomatik
seperti antikolinergenik (meclizine atau dehinhidramin) atau benzodiazepine.
Bila dimungkinkan modifikasi maneuver Epley untuk mengatasi stagnasi debris
pada kanalis semisirkularis. 2
b. Non-medikamentosa
Istirahat dan latihan dengan latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo. 2
5
H. Prognosis
Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi
remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya, menandakan prognosis yang
buruk. 4
I. Pencegahan
Orang yang keseimbangannya dipengaruhi oleh vertigo, harus mencegah agar tidak
cedera pada saat jatuh.
Orang yang memiliki faktor resiko stroke harus mengontrol tekanan darah tinggi,
kolestrol tinggi, serta berhenti merokok.
Orang dengan penyakit Meniere harus membatasi garam dalam diet mereka. 5
6
Osteoarthritis
A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnesis difokuskan mengenai:
Profile pasien (umur, pekerjaan)
Faktor resiko
Faktor yang memperberat dan meringankan
Onset dan durasinya (akut atau kronik)
Ada tidaknya inflamasi sendi
Lokasi/ distribusi sendi yang terkena
Riwayat trauma
Riwayat penyakit keluarga
Perjalanan keluhan nyeri sendi apakah bersifat akut atau kronik
Karakteristik nyeri apakah termasuk nyeri ringan, sedang atau berat. 6
2. Pemeriksaan Fisik
Hambatan Gerak
Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu
arah gerakan saja).
Krepitasi
Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat
sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi.
Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak
banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat
mengubah permukaan sendi.
Tanda-Tanda Peradangan
Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang
merata dan warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis.
Biasanya tanda-tanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di
lutut, pergelangan kaki, dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.
7
Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan
sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan
sendi.
Perubahan Gaya Berjalan
Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat
badan. Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan
stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan
tangan, osteoarthtitis juga menimbulkan gannguan fungsi. 6
3. Pemeriksaan Penunjang
Radiografis
Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah
cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Gambaran radiografi
sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menggung beban)
Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
Kista tulang
Oseofut pada pinggir sendi
Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, secara radiografi OA
dapat digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal
penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Aspirasi sinovial
mengandung leukosit <100/mm3 dan terutama terdiri dari monosit. 6
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan pada OA biasanya akan banyak berguna. Darah tepi
(hemoglobin,laju endap darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA
generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan
immunologi (ANA, rematoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disetai
peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai
sedang peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein. 6
8
B. GEJALA KLINIS
Terdapat nyeri sendi , terutama sendi-sendi penyangga tubuh yang diperberat bila
bergerak dan saat hari semakin larut. Juga terdapat rasa kaku, imobilitas, deformitas, dan
kadang-kadang keterlibatan radiks saraf. Sendi bisa menjadi kemerahan dan hangat
disertai nyeri tekan dan bahkan timbul efusi (efusi bisa menimbulkan efusi). Pada fase
lanjut didapatkan keterbatasan gerak dan pada perabaan didapatkan krepitus pada saat
sedi di gerakan. Pada palpasi didapatkan sendi yang membesar disertai kelemahan otot
partikuler. Pada lutut dapat di jumpai genu varus atau valgus. 6
C. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis OA 7
Klinik Klinik, Laboratorik, radiografi
Lutut
1. Nyeri lutut
2.a. Krepitasi, dan
2.b Kekakuan pagi hari < 30 menit, dan
2.c. Umur 38 tahun
3.a. Krepitasi, dan
3.b. Kekakuan pagi hari < 30 menit, dan
3.c. Krepitasi (-) dan
4.a. Pembesaran tulang
1. Nyeri lutut2. Osteofit3.a. Cairan sinovial dengan 2 atau 3
Temuan : jernih, viscous, Leukosit PMN < 2000/ mm3
3.b. Kekakuan pagi hari < 30 menit3.c. Krepitasi
Pinggul
1. Nyeri pinggul, dan
2. Rotasi internal 15°, dan
3. LED < 45 mm/jam (pengganti fleksi pinggul , 115° atau
3.a Rotasi internal 15°,
3.b. Kekakuan pagi hari < 60 menit
1. Nyeri pinggul, dan minimal 2 dari 3
2.a. LED > 20 mm/jam
2.b. X-foto : osteosit
2.c. X-foto: penyempitan ruang sempit
9
3.c. Umur > 50 tahun
3.d. Nyeri saat rotasi internal
Tangan
1. Nyeri tangan, sakit atau kekakuan dan
2. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (*)
3. Pembengkakan MCP pada kurang dari 2 sendi dan
4.a. Pembesaran jaringan keras mengenai 2 atau lebih DIP (DIP ke II dan III dapat dihitung pada kedua Nomor 2 dan 4a), atau
4.b. Deformitas pada 1 atau lebih dari
* IP ke II dan III, PIP ke II dan III dan CMC ke I dari kedua tangan
D. EPIDEMIOLOGI
Masalah osteoartritis di Indonesia lebih besar dibandingakan dengan negara barat
kalau melihat tingginya prevelensi di Malang, yaitu 85%. Di Amerika serikat,
Osteoartritis dengan nyeri yang nyata dijumpai pada 25% masyarakat dengan usia 60
tahun.
E. ETIOLOGI
a) Umur : dengan meningkatnya umur, terjadi peningkatan OA
b) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria
c) Obesitas dan penyakit metabolik
d) Genetik
e) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga
f) Kelainan kongenital dan di dapat (misal: fraktur)
g) Kepadatan tulang
10
F. PATOGENESIS
Patogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis
dianggap suatu proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits
didapatkan peran sitokin inflamasi dalam patogenesisnya.
OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan
kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara
lain karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang
berlebihan,defek anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan.
Mikrofaktor pada permukaan rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis
glikosaminaglikan serta poliferasi kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon
suatu trauma rawan sendi dengan memproduksi sitokin antara lain interleukin
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder.
OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi.
OA sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi,
metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu
lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder. 8
G. KOMPLIKASI
Pada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi
berkembang secara perlahan
Nyeri Sendi
Hambatan Gerakan Sendi
Kaku Pagi
Krepitasi
Pembesaran Sendi (Deformitas)
Perubahan Gaya Berjalan 8
H. PENATALAKSAAN 8
Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi
serta memperbaiki kualitas hidup penderita
11
Langkah 1 : Nonfarmakologi
a. penyuluhan penderita
b. bantuan tenaga sosial profesioanl
c. latihan aerobik
d. menurunkan berat badan
e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang
nyaman.
f. Diet yang bergizi
Langkah 2 :
Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih dari
4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal.
Langkah 3:
Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati
pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung.
Pada penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau
Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE
inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi
pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat
dosis 200-300 mg.
Langkah 4 :
Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi
steroid intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).
Langkah 5 :
Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal
misalnya metilsalisilat atau capsaicin.
Langkah 6 : Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)
Nama generik Nama dagang Dosis harian catatan
Ibuprofen
Ketoprofen
Naproksen
Diklofonak
Anafen,bufect
Profenid,kaltrofen
Naxen,synflex
Voltaren,altranac
5-40mg/kg
150-300mg
1000-2000mg
100-200mg
Aman untuk anak >6th
Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia
Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia
Dapat ↑ enz.tranaminase hati
12
Etodolak
Indometasin
Piroksikam
Meloksikam
Nabumeton
Celecoxib
Etoricoxib
Lodine
Dialon
Rexil,feldene
Atrilox,loxinic
Goflex
Celebrex
Arcoxia
600-1200mg
75-200mg
20mg
7.5-15mg
1000-1500mg
200-800mg
60-120mg
Digunakan untik terapi PDA
Dosis ↓ pd gang hati dan lansia
Lansia: max 1000mg
Kl pada alergi sulfonamid
I. PROGNOSIS
Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun. 8
13
PARKINSON
A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Kapan pertama kali memperhatikan kesulitan jalan/tremor dan sebagainya?
Pernahkah pasien jatuh?, pernah kesulitan saat membalikkan badan di tempat
tidur?
Apakah pasien tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan?
Apakah akibat fungsional dari gangguan yang dialami pasien?
Menanyakan riwayat penyakit terdahulu yang terkait (misal: penyakit Wilson
atau penyakit neurologis lainnya)
Pernahkah diberi obat antidopaminergik, seperti neuroleptik? Pernahkah
pasien mendapat terapi misalnya Levodopa? 2
2. Pemeriksaan Fisik
Periksa wajah, postur dan cara berjalan pasien. Adakah tremor?, bradikinesia?,
rigiditas pada batang tubuh dan ekstremitas? 2
3. Pemeriksaan penunjang
Analisis cairan serebrospinalis
Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal
Punksi, Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Kemungkinan hasil
menunjukkan adanya penurunan kadar dopamin
MRI / CT-scan kepala.
Untuk mengetahui gambaran internal otak. Pada penyakit parkinson
kemungkinan didapatkan gambaran pelebaran ventrikel.
PET ( Positron Emission Tomography )
Pada klien dengan parkinson kemungkinan hasil PET scan menunjukkan
penurunan metabolisme otak, pengurangan cerebral blood flow terutama
sekali di ganglia basalis. 2
B. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1. Klinis, 2. Menurut Koller,
3. Menurut Gelb.
14
Kriteria diagnosis klinis
Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik; tremor, rigiditas,
brakidinesia, atau
Tiga dari 4 tanda motorik; tremor, rigiditas, brakidinesia, ketidakstabilan postural. 2
Kriteria diagnosis klinis modifikasi
Diagnosis possible (mungkin); adanya salah satu gejala: tremor, rigiditas,
brakidinesia, ketidakstabilan postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah
diagnosis: Myerson sign¸ menghilang atau berkurangnya ayunan lengan, refleks
menggengam.
Diagnosis probale (kemungkinan besar); kombinasi dari dua gejala (termasuk
gangguan refleks prostural), salah satu dari tiga gejala pertama asimetris
Diagnosis definite (pasti): Setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain; setiap dua
dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetris. 2
Kriteria diagnosis Koller
Didapati 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik; tremor istirahat atau gangguan
refleks prostural, rigiditas, brakidinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih.
Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang
(minimal 1000 mg/hari selama 1 bulan), dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih. 2
Kriteria diagnosis Gelb
Diagnosis possible (mungkin); adanya 2 adri 4 gejala cardinal (resting tremor,
brakidinesia, rigiditas, onset asimetrik).
Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis lain termasuk halusinasi yang
tidak berhubungan dengan obat, demensia, supranuclear gaze plasy atau
disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadapa levodopa atau agonis
dopamine.
Diagnosis probale (kemungkinan besar); terdapat 3 dari 4 gejala kardinal, tidak ada
gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respons yang baik
terhadapa levodopa atau agonis dopamine.
Diagnosis definite (pasti): seperti probale disertai dengan pemeriksaan histopatologis
yang positif. 2
15
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti.
Beberapa penelitian, menghasilkan beberapa dugaan penyebab Parkinsons seperti
tersebut di bawah:
Faktor genetik
Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab degradasi protein dan
mengakibatkan protein beracun tidak dapat didegradasi di ubiquitin-
proteasomal pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan
apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc.
Faktor Lingkungan
Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain peranan Xenobiotik (MPTP),
pestisida/herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan
cat dan logam, kafein, alkohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala,
depresi dan stress; semuannya menunjukan peranan masing-masing melalui
jalan yang berbeda dapat menyebabkan PP (Penyakit Parkinson) atau Sindrom
Parkinson. Proses stress oksidatif yang terjadi di ganglia basalislah yang saat
ini paling diterima sebagai etiologi PP. 2
D. Epidemiologi
Prevelensi Parkinson di Amerika Serikat berkisar 1% jumlah penduduk, meningkat dari
0,6% pada usia 60-64 tahun menjadi 3,5% pada umur 85-89 tahun. 2
E. Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penuruna
kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta ( SNc )
sebesar 40 – 50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies )
dengan penyebab multifactor.
Substansia nigra ( sering disebut sebagai Black substance ), adalah suatu regio kecil
di otak( brain stem 0 yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi
pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel – selnya yang menghasilkan
neurotransmitter disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan
otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine
diperlukan untuk komun ikasi elektrokimia antara sel – sel neuron di otak terutama
16
dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan reflex postural, serta kelancaran
komunikasi ( bicara ). Pada PP sel – sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga
produksi dopamine menurun ], akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat
menurun dan menghasilkan kelambanan gerak ( bradikinesia ), kelambanan bicara dan
berfikir( bradifrenia ), tremor, dan kekakuan ( rigiditas ).
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc
adalah Stress Oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal,
seperti dopamine quinon yang dapat beraksi dengan alfa sinuklein ( disebut protofibrils ).
Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway,
sehingga menyebabkan kematian sel – sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu
dipertimbangkan antara lain :
Efek lain dari stress oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal
dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.
Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosine trifosfat(
ATP) dan akumulasi electron – electron yang memperburuk stress oksidatif,
akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang
memicu apoptosis sel – sel SNc. 2
F. Gejala klinis
Umum : 1. Gejala mulai pada satu sisi (hemiparkisonism), 2. Tremor saat istirahat, 3.
Tidak didapatkan gejala neurologis lainnya, 4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik
dan radiologis, 5. Perkembangan lambat, 6. Respons terhadap levodopa cepat dan
dramatis, 7. Gangguan refleks postural tidak di jumpai pada pada awal penyakit.
Khusus: gejala motorik pada penyakit Parkinson (TRAP):
Tremor : 1. Laten, 2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat istirahat, 4. Saat gerak
disamping adanya tremor saat istirahat.
Rigiditas
Akinesia/ bradikiesia: 1. Kedipan mata berkurang, 2. Wajah seperti topeng, 3.
Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan
cepat tidak terkontrol), 6. Mikrofagia (tulisan semakin kecil), 7. Cara berjalan:
langkah kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri).
17
Hilangnya refleks postural. 2
G. Penatalaksanaan
Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan
menjadi 3 hal yaitu :
- Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit
- Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit
- Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
neuron yang masih ada.
Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut :
- Menigkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan :
meningkatkan konsentrasi dopamine pada sinap (levodopa ),
memberikan agonis dopamine
meningkatkan pelepasan dopamine
menghambat degradasi dopamine
- Manipulasi neurotrasmiter non – dopaminergik dengan obat – obat antikolinergik
dan obat – obat lain yang dapat memodulasi sistem non – dopaminergik
- Memberikan obat – obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP
dengan mencegah kematian sel – sel neuron.
- Terapi pembedahan: ablasi, stimulasi otak dalam, brain grafting ( bertujuan untuk
memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang
mendasari).
- Terapi pencegahan/preventif : menghilangkan faktor resiko atau penyebab PP
Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang
penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat,
perbaikan dengan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5 – 0,8 gram/Kg BB
per hari, terapi fisik dengan latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat
berjalan.
Terapi Medikamentosa
Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu :
- Obat yang Mengganti Dopamin ( Levodopa, Carbidopa )
- Agonis Dopamin ( bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol )
18
obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai kombinasi utama
dengan levodopa- carbidopa agar dapat menurunkan dosis levodopa,
- Antikolinergik ( Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden )
Obat ini membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin,
sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Sebaiknya obat ini tidak diberikan
pada penderita PP yang di atas 70 tahun; karena dapat menyebabkan penurunan
daya ingat dan retensio urin pada laki – laki.
- Penghambat Monoamin Oxidase/MAO ( selegiline )
Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa – carbidopa. Selain
itu obat ini bias berfungsi sebagai antidepresi ringan( merupakan obat pilihan
dengan gejala depresi menonjol ).
- Amantadin
Dapat dipakai sendirian, atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis
dopamine.
- Penghambat catechol 0-methyl Transferase/ COMT ( Tolcapone, Entacapone )
Diberikan bersama setiap dosis levodopa.
Selain obat utama tersebut diatas sering juga diberikan obat – obat neuroprotektif
seperti antioksidan dan juga obat – obat yang memperbaiki metabolism otak.
Obat lain yang sering digunakan juga adalah obat anti depresi dan anti ansietas
( berdasarkan indikasi yang tepat)
Terapi Pembedahan
Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terapi
medikamentosa seperti diatas, tetapi ada juga yang tidak bias dikendalikan oleh obat,
terutama efek fluktuasi motorik ( fenomena on/off ). Ada beberapa tipe prosedur
pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu :
- Terapi ablasi di lesi otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan
pallidotomy.
- Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/ DBS). Pada operasi ini
dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di
otakyang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang dibawah kulit dada
seperti alat pacu jantung.
- Transplantasi otak (brain grafting ). Prosedur ini menggunakan graft sel otak
janin atau autologus adrenal.
19
Terapi Rehabilitasi
Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan
kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari – hari ( AKS ). Latihan
yang diperlukan bagi penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan
psikoterapi.2
H. Komplikasi
Beberapa komplikasi motor dapat mengancam kehidupan.
Banyak orang dengan penyakit Parkinson mengalami konstipasi karena saluran
pencernaan bekerja lebih lambat. Konstipasi juga mungkin merupakan efek samping
obat yang digunakan untuk mengobati penyakit.
Penurunan fungsi otot-otot di tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan dan
juga menimbulkan risiko pneumonia aspirasi.
Sekitar setengah dari orang-orang dengan penyakit Parkinson mengalami depresi.
Mengalami kesulitan dalam berpikir, memori, bahasa, dan keterampilan pemecahan
masalah dapat terjadi sejak awal pada pasien yang tidak diobati atau terlambat dalam
perjalanan penyakit.
Demensia terjadi enam kali lebih sering terjadi pada pasien Parkinson tua daripada
rata-rata orang dewasa yang lebih tua. Hal ini paling mungkin terjadi pada pasien
yang lebih tua yang memiliki depresi besar.
Gangguan tidur yang umum di Parkinson, baik dari penyakit itu sendiri dan dari
perawatannya. Secara umum, pasien memiliki risiko lebih tinggi untuk mengantuk dan
tidur di siang hari. Banyak pasien Parkinson, juga menderita dari malam hari karena
kram dan gelisah dan beberapa obatnya menyebabkan halusinasi. 9
I. Prognosis
Pasien yang tidak diterapi biasanya akan mencapai derajat disbilitas yang berat, yaitu
imobilitas, disertai risiko mengancam nyawa seperti bronkopneumonia, septikemia, atau
emboli paru-paru rata-rata setelah 7-10 tahun menderita Parkinson. Terapi saat ini
sebagian bersifat simptomatik, tetapi mungkin dapat memperpanjang harapan hidup rata-
rata. 1
DEMENSIA
20
A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Karena pasien demensia kehilangan daya ingat, daya pikir, rasionalitas, kepandaian
bergaul dan apa yang disebut sebagai reaksi emosi normal,maka anamnesis
dilakukan kepada pemberi informasi (keluarga atau kerabat terdekat). Anamnesis
terdiri dari :
- Menanyakan identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi
informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.
- Menanyakan keluhan utama: pernyataan tentang permasalahan yang sedang
dihadapinya. Contoh : sering lupa dan mudah tersinggung
- Riwayat penyakit sekarang (RPS): pastikan gejala dimensia dengan menjelaskan
dimensia berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, lokasi anatomi dan
penyebarannya, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa
yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan,
intermitten.
- Riwayat keluarga dan psykososial yang berkaitan dengan keluhan utama atau
masalah kesehatan lainnya.
- Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): pengobatan yang dijalani sekarang, termasuk
OTC, vitamin dan obat herbal.
- Menanyakan tentang pemeliharaan kesehatan pasien atau faktor pemicu dan
keluhan penyerta. 11
2. Pemeriksaan fisis dan neurologis
Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan
dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan
gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian
tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik
lain umumnya timbul pada FTD, DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik
seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat
menunjukkan gejala-gejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya
gangguan pendengaran dan peglihatan yang menimbulkan kebingungan dan
disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut,
defisit sensorik seperti ini sering terjadi.
21
3. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik
Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini
mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau
perjalanan penyakit.
4. Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada
semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh
terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan
VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang
perlu dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan
toksin di urin/ darah, dan Apolipoprotein E. Selain itu pemeriksaan penunjang lain
yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi
tumor primer/sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural dan memperkirakan
adanya hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white matter yang luas.
Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskuler. SPECT
dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau hipometabolisme temporal-
parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam penelitian. 2
B. Diagnosis
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai dengan
Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV). Adapun
kriterianya adalah :
- munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan
berikut, 1) gangguan memori, 2) satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia,
apraksia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif.
- defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang
bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat
timbulnya delirium. 2
C. Etiologi
22
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia
Lewy body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh
penyakit lain. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah
penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency
Virus (HIV), dan trauma kepala. 11
D. Epidemiologi
Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah
usia 65 tahun, prevalansi dimensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5
tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih adalah 5,6 %.
Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer
sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering
demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body,
demensia fronto temporal (FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson.
Proporsi perempuan yang mengalami Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena
perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga
disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor
risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan Alzheimer adalah
hipertensi, atau diabetes melitus.
Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama
mempunyai resiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer walaupun sebagian
besrar pasien tidak mempunyai riwaya keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E
bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculny alel ini merupakan faktor utama
yang mempermudh seseorang menderita Alzheimer. 2
E. Gejala Klinis
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk
gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut
ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif
harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke
23
sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-
hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya. 2
F. Penatalaksanaan
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang disfungsional
dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan tepat pada
waktunya.
Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium, termasuk
pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera setelah diagnosis dicurigai. Jika
pasien menderita akibat suatu penyebab demensia yang dapat diobati, terapi diarahkan
untuk mengobati gangguan dasar.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk memberikan
perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan
pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala perilaku yang
mengganggu.
Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang mendukung, dan pengobatan
farmakologis simptomatik diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis
demensia. Pengobatan simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang
tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris,
dan pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus
dekubitus, dan disfungsi kardiopulmonal. Perhatian khusus diberikan pada pengasuh
atau anggota keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis
saat mereka merawat pasien selama periode waktu yang lama.
Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada penyakit
kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik. Faktor-faktor
tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit jantung, diabetes dan
ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus diminta untuk berhenti, karena
penghentian merokok disertai dengan perbaikan perfusi serebral dan fungsi kognitif. 2
Medikamentosa
a. Cholinergic-enhancing agents, untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah
banyak dilakukan penelitian.
b. Choline dan lecithin
24
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
d. Nootropic agents
e. Dihydropyridine. 2
G. Prognosis
Demensia biasanya progresif. Namun, tingkat perkembangan sangat bervariasi dan
tergantung pada penyebabnya. Demensia memperpendek harapan hidup, tetapi
perkiraan kelangsungan hidup bervariasi. 12
H. Pencegahan
Direkomendasikan kepada masyarakat dalam rangka strategi pencegahan demensia
untuk:
Secara teratur memeriksa tekanan darah dan mengupayakan agar tekanan
darah yang tinggi dan risiko vaskuler yang lain dikendalikan dengan baik.
Pencegahan dan perlindungan terjadinya cedera kepala terutama yang berat
Tetap melakukan kegiatan yang merangsang intelek dan mengupayakan
aktivitas sosial dan aktivitas untuk menghibur diri (leisure activities)
Mencegah paparan medan elektronik dengan jalan menggunakan mesin
elektromagnetik yang berpelindung (ponsel dan computer tidak termasuk).
Mengupayakan diet yang cukup vitamin E, apabila dari diet tidak mencukupi,
dianjurkan suplemen tetapi tidak lebih dari 400 U/hari
Mengupayakan makanan yang sehat, jangan terlalu banyak lemak
Mengupayakan asupan vit B12 dan asam folat yang cukup, dan berikan
suplemen kalau diet tidak mencukupi atau kadar homosistein tinggi
Pada yang minum alkohol dianjurkan terus minum dalam takaran rendah
sampai sedang, akan tetapi kalau bukan peminum lebih baik tidak memulai
minum alkohol
Tidak merokok
Agar tetap selalu aktif secara fisik dan mengupayakan tidur yang cukup
Sedangkan rekomendasi berikut ini diberikan akibat tidak adanya bukti yang
mendukung kegunaannya dalam pencegahan demensia, yaitu:
25
Jangan menggunakan statin untuk pencegahan demensia
Jangan menggunakan obat anti-inflamatorik/NSAID
Jangan menggunakan TSH/HRT/estrogen untuk pencegahan demensia
Jangan menggunakan inhibitor kolesterase (galantamin, donepesil, rivastigmin)
atau memantin untuk pencegahan dementia. 13
DIABETES MELITUS TIPE II TERKONTROL
26
A. Anamnesis
Pada anamnesis diperoleh keluhan bahwa pasien memiliki riwayat kencing manis yang
diketahui sejak 2 tahun lalu.
B. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut tidak
diketemukan adanya kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes
misalnya kaki diabetes dan tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu. 14
2. Pemeriksaan penunjang
- Glukosa plasma atau serum
Konsentrasi glukosa darah puasa, menurut American Diabetes Association
adalah ≥126 mg%, menurut WHO >140 mg%, dan/atau 2 jam sesudah makan
≥200 mg% sehingga pemeriksaan konsentrasi insulin plasma baik pada saat
puasa dan 2 dan 3 jam setelah makan sangat membantu untuk menemukan
penyebab diagnosis tersebut apakah produksi insulin yang menurun atau
resistensi insulin. Hal ini akan lebih mendasar lagi apabila dilakukan
pemeriksaan insulin basal guna mendukung adanya resistensi insulin.
Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis diabetes mellitus:
Gejala klasik + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg%; atau
Gejala klasik + glukosa plasma puasa ≥126 mg%
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg%
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) dilakukan dengan standar WHO
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3:
<140 mg% normal
140 - <200 mg% GTG
27
≥ 200 mg% diabetes.
- Glukosuria
Menggunakan paper strip dengan glukosa oksidase dan sistem kromogen
(Clinistix, Diastix) yang sensitif terhadap 0,1% glukosa di urine. Kadar
glukosa dilihat dari perubahan warna yang dihasilkan. Pada pemeriksaan ini
diperlukan renal threshold yang normal dan pengosongan vesica urinaria
yang baik untuk membantu interpretasi.
- Ketonuria
Menggunakan tes nitroprusida (Acetest atau Ketostix). Tes ini tidak
mendeteksi asam beta-hidroksibutirat, namun perkiraan ketonuria
semikuantitatif yang diperoleh cukup untuk tujuan klinis.
- Glycated hemoglobin (hemoglobin A1)
Hemoglobin terglikosilasi oleh reaksi ketoamin antara glukosa dan gula lain
dengan grup amino bebas pada rantai alfa dan beta.Hanya glikosilasi dari
ujung-N valine dari rantai beta yang memberikan cukup muatan negatif bagi
hemoglobin untuk berpisah menggunakan teknik charge dependent, secara
kolektif disebut sebagai hemoglobin A1 (HbA1) yang banyak terdapat dalam
bentuk HbA1c yang menggunakan glukosa. Fraksi HbA1 meningkat secara
abnormal pada orang diabetes dengan hiperglikemia kronik. Metode
pengukurannya menggunakan elektroforesis, cation-exchange
chromatography, boronate affinity chromatography, dan immunoassay.
Pengukuran harus dilaksanakan pada pasien dengan interval 3 sampai 4 bulan
sehingga kaliberasi terapi dapat dilaksanakan. 13 Apabila level HbA1c sudah
dibawah 7%, pemeriksaan dilakukan setiap 6 bulan sekali. 15
Keakuratan dari nilai HbA1c dipengaruhi oleh varian atau trait hemoglobin
dan assay spesifik yang dilakukan. Penurunan HbA1c palsu dapat diperoleh
apabila terdapat kondisi di mana umur eritrosit berkurang, dan adanya
penggunaan vitamin C dan E yang dapat menghambat glikosilasi hemoglobin.
28
- Abnormalitas lipoprotein
Pada diabetes tipe 2, “diabetic dyslipidemia” merupakan karakteristik dari
sindrom resistensi insulin. Terdapat gejala tingginya trigliserida serum (300-
400 mg%), kolesterol HDL rendah (<30 mg%), dan perubahan kualitatif pada
partikel LDL, menciptakan partikel kecil yang lebih padat berisi kolesterol
dalam jumlah supranormal. LDL tsb akan lebih mudah teroksidasi sehingga
menjadi aterogenik. Karena kolesterol HDL yang rendah merupakan fitur
utama yang menyebabkan penyakit makrovaskular, istilah “dyslipidemia”
dipergunakan digunakan daripada “hyperlipidemia” yang lebih banyak berarti
peningkatan trigliserida. 16
C. Diagnosis
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pasien menderita diabetes mellitus
tipe 2 terkontrol.
D. Epidemiologi
Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 meningkat pesat di seluruh dunia akibat obesitas
dan kurangnya aktivitas akibat industrialisasi. 6 dari 10 negara dengan prevalensi
tertinggi terdapat di Asia. Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan GTG didapati tertinggi
di pulau-pulau Pasifik, menengah di negara seperti India dan Amerika, dan relatif rendah
di Rusia. Variabilitas ini kemungkinan disebabkan karena genetik, perilaku, dan faktor
lingkungan. Diabetes mellitus tipe 2 juga umumnya lebih banyak ditemui (khususnya
pada usia muda) dari grup-grup etnik lain selain etnik kulit putih non-Hispanik. 16
Kekerapan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia berkisar 1,4-1,6% kecuali di
Pekajangan dekat Semarang (2,3%), kemungkinan akibat banyak perkawinan kerabat, dan
di Manado (6%) yang kemungkinan dipengaruhi oleh letaknya yang dekat Filipina yang
memiliki prevalensi 8,4-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Indonesia
merupakan negara ke-7 prevalensi diabetes mellitus terbanyak. 14
E. Etiologi
Faktor-faktor penyebab diabetes mellitus tipe 2:
29
1. Riwayat keluarga yang diabetes/genetik
2. Obesitas
Obesitas tipe sentral atau apple-shaped memiliki resiko terkena diabetes lebih
tinggi daripada obesitas pada bagian bawah atau pear-shaped. Orang dengan IMT
>25 kg/m2 (standar Amerika) atau lingkar pinggang besar (pria>102 cm dan
wanita>88 cm). 13,16
3. Kurang kerja fisik
4. Ras/etnik
Orang Asia Selatan atau afro Karibia memiliki resiko diabetes lebih besar, dan
resiko terkena diabetes tipe 2 lebih besar pada usia muda. 16,17
5. Usia
Penuaan dapat meningkatkan resiko terkena diabetes. 17
6. Memiliki GTG sebelumnya
7. Riwayat Gestational Diabetes Mellitus/GDM atau pernah melahirkan bayi >4 kg
atau perah keguguran tanpa sebab yang jelas 16,17
8. Hipertensi
9. Tingkat HDL dan trigliserida
10. Sindroma ovarium polikistik atau acanthosis nigricans (hyperkeratosis dan
hiperpigmentasi (aksila, groin, dan leher)
11. Riwayat penyakit vascular 16
F. Patogenesis
Patofisiologi GTG pada lansia sampai saat ini belum jelas atau dapat dikatakan
belum seluruhnya diketahui. Timbulnya GTG oleh beberapa ahli disebutkan
diakibatkan oleh karena menurunnya sekresi insulin oleh sel beta pancreas akibat
perubahan gambaran histologi pancreas, namun ada juga yang menyebutkan bahwa
itu disebabkan oleh karena resistensi insulin. Resistensi insulin dapat timbul oleh
karena menurunnya ukuran massa tubuh dan naiknya lemak tubuh akan
mengakibatkan naiknya kecenderungan timbulnya penurunan aksi insulin pada
jaringan sasaran. Selain itu, timbulnya resistensi insulin juga disebabkan karena
kurangnya aktivitas fisik sehingga jumlah reseptor insulin pun berkurang, dan
perubahan pola makan pada usia lanjut akibat kurangnya gigi geligi dapat
menyebabkan prosentase bahan makanan karbohidrat meningkat. Faktor yang terakhir
30
adalah perubahan neuro-hormonal khususnya insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma yang mengalami penurunan konsentrasi.
Penurunan konsentrasi IGF-1 pada lansia mengakibatkan penurunan ambilan glukosa
karena menurunnya sensitivitas reseptor insulin serta menurunnya aksi insulin.
Sedangkan pengaruh dari menurunnya DHEAS plasma ada kaitannya dengan
kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. 14 Selain itu, disepakati pula dari
berbagai penelitian bahwa ada kenaikan gula darah sesaat (GDS) dengan usia, jadi
toleransi berkurang. 13
Patofisiologi diabetes tipe-2 secara garis besar disebabkan oleh kegagalan kelenjar
pankreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin baik pada
hati maupun jaringan sasaran. Kedua hal tersebut menyebabkan kelainan hati
meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan ketidak mampuan jaringan otot serta
jaringan lemak dalam tugas ambilan glukosa. A Dapat juga disebabkan karena
produksi glukosa yang bertambah. B Insulin endogen yang bersirkulasi cukup untuk
mencegah ketoasidosis namun tak cukup untuk hiperglikemia yang diperlukan oleh
jaringan yang kurang sensitive (resistensi insulin). 17
G. Gejala dan Tanda Klinis
Gejala khas diabetes secara umum adalah poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat
badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khasnya adalah lemas,
kesemutan, luka sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), balanoposthitis
(inflamasi kulit luar dan glans pada pria belum sirkumsisi), dan pruritus vulva (wanita). 14,17 Apabila ditemukan gejala khas, pemeriksaan glukosa abnormal satu kali saja sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. A Diabetes mellitus tipe 2
dapat juga asimptomatik pada mulanya.
Apabila penyakit sudah terjadi cukup lama, dapat ditemukan kasus komplikasi
neuropati atau kardiovaskular. Sering pula ditemukan infeksi kulit kronis. Beberapa
pasien mungkin mengalami acanthosis nigricans.
H. Penatalaksanaan
1. Non-medica mentosa
31
- Terapi gizi medis
Sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Pada prinsipnya
melakukan pengaturan pola makan dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individu. Tujuan terapi ini adalah:
Kadar glukosa darah menjadi normal
Glukosa darah puasa 90-130 mg% (terkendali)
Glukosa darah 2 pp <180 mg%
Kadar A1c <7%
Tekanan darah <130/80 mmHg
Profil lipid
Kolesterol LDL <100 mg%
Kolesterol HDL >40mg%
Trigliserida <150 mg%
Berat badan senormal mungkin
Jenis bahan makanan:
Karbohidrat
Bagi penderita diabetes tidak boleh lebih dari 55-65% dari total
kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi
dengan pemeberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Jumlah serat
20-50 gram per hari, menggunakan pemanis non-kalori (aspartame,
acesulfame, sukralosa), penggunaan alkohol <10 gram per hari.
Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari
total kalori per hari, di mana pada penderita kelainan ginjal diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari sehingga perlu
ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Pada keadaan glukosa
darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg.kg BB/hari.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, sebaiknya menggunakan protein
nabati.
Lemak
32
Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol dapat memperbaiki profil
lipid tidak normal pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
merupakan salah satu asam lemak yang memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid yaitu dengan meningkatkan kadar trigliserida, kolesterol
total, kolesterol VLDL, dan meningkatkan kolesterol HDL. Asam lemak
tidak jenuh rantai panjang dapat melindungi jantung, menurunkan kadar
trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. Konsumsi makanan yang
mengandung lemak jenuh ≤10% total kebutuhan kalori per hari, asupan
asam lemak jenuh diturunkan hingga maksimal 7% total kalori per hari
pada kolesterol LDL ≥100 mg%, kolesterol maksimal 300 mg/hari (jika
kadar kolesterol LDL ≥100 mg%, hanya boleh 200 mg/hari), batasi asam
lemak bentuk trans, asupan lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal
10% asupan kalori per hari.
- Latihan jasmani
Dapat mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan
harapan hidup. Pada latihan jasmani akan menyebabkan peningkatan aliran
darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler yang terbuka sehingga
lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.
Bila insulin disuntikkan pada lengan dan paha, akan memperbesar
kemungkinan terjadi hipoglikemia karena peningkatan hantara insulin melalui
darah akibat pemompaan otot pada saat berkontraksi, sehingga dinajurkan
penyuntikan di daerah abdomen sebelum latihan jasmani. Juga dianjurkan agar
latihan jasmani dilakukan setelah makan yaitu pada saat kadar gula darah
berada pada puncaknya. Namun, pada diabetisi dengan gula darah tak
terkontrol (keadaan metabolic tak terkendali), latihan jasmani akan
menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang
dapat berakibat fatal. Jadi sebaiknya bila ingin melakukan latihan jasmani,
seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih dari 250 mg
%. 14
Modifikasi senam sederhana perlu diberikan pada diabetes lansia,
misalnya menepuk kedua tangan di atas kepala kemudian di paha, secara
bergantian meletakkan tangan di dada dan di belakang kepala, meregangkan
33
bagian atas dan bawah badan, leher serta paha, membuat gerakan lingkaran
dengan dua lengan secara parallel di depan tubuh. Pada pasien DM gemuk,
resistensi insulin membaik dengan PRT (=Progressive Resistance) dibanding
metoda aerobic exercise sebab di samping perbaikan sensitivitas insulin
densitas tulang, symptom osteoarthritis, gangguan mobilitas, profil lipid juga
membaik. 13
2. Medica mentosa
- Baris pertama
Kebanyakan pasien dan mereka dengan berat badan lebih harus memulai
dengan metformin pada garis awal dengan dosis dimulai dari 500 mg sekali
atau 2 kali sehari dan meningkat setelah 5-7 hari (apabila tidak terdapat
gangguan GIT) menjadi 850 atau 1000 mg sebelum sarapan dan makan
malam.c Metformin merupakan satu-satunya biguanid yang tersedia. Bekerja
menurunkan glukosa darah dengan mengurangi glukoneogenesis hati,
meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan pemakaian glukosa oleh
perifer, dan mengurangi absorbsi glukosa dari GIT, serta meningkatkan asam
lemak bebas yang bersirkulasi dan level VLDL. 14,15 Metformin tidak memiliki
efek stimulasi pada sel beta pancreas sehingga tidak menyebkan hipoglikemia
dan penambahan berat badan.a Namun, metformin dapat meningkatkan resiko
kardiovaskular dan reduksi dari absorbsi vitamin B12. Kebanyakan pasien
diabetes tipe 2 akan terus menggunakan metformin kecuali jika pasien tsb
tidak dapat mentoleransi ataupun mulai menunjukkan gejala gangguan ginjal. 15
Pasien yang tidak obesitas kemungkinan defisiensi insulin dapat memulai
terapi dengan sulfonylurea, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin, dan pasien diterapi insulin dulu
sebelumnya bila perlu. 14,15 Dapat meningkatkan atau mempertahankan sekresi
insulin dengan merangsang sel beta pancreas yang masih mampu mensekresi
insulin. Efek samping berupa hipoglikemi karena itu terapi dimulai dengan
dosis rendah. Sulfonylurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak
dipakai pada lansia. 14
34
- Baris kedua
Jika HbA1c masih belum mencapai target dalam 2-3 bulan, dapat
dipergunakan sulphonylurea, glitazone (thiazolidinediones), atau gliptin.
Glitazone bekerja sebagai regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit,
dan kerja insulin. Glitazone memerlukan 8-12 minggu untuk keefektifannya,
dan dapat ditambahkan pada mereka yang mendapat terapi insulin untuk
meningkatkan kontrol, dan tidak boleh dipergunakan untuk pasien dengan
resiko gagal jantung. 14,15 Glitazone tidak menstimulasi produksi insulin oleh
sel beta pancreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada
metformin, namun dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan oedema.
Rosiglitazone (terdiri dari kemasan 4 dan 8 mg) dan Pioglitazone (kemasan
15 dan 30 mg) saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai
kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. 14
Sulphonylurea gliclazide kerja rendah dapat diberikan pada dosis 40-320 mg
per hari (jika digunakan yang pelepasan lambat, 30-120 mg). Dosis di atas
160 mg harus diberikan dengan membaginya ke dalam 2 dosis. Jika pasien
kondisinya kurang baik dan mulai kehilangan berat badan, terapi insulin harus
segera dimulai. Tindakan ini mungkin diperlukan saat HbA1c masih sangat
tinggi (di atas 9%). 15
- Baris ketiga
Pasien yang mendapat terapi insulin dapat meneruskan pemakaian obat
peroral, namun akan lebih baik jika tidak menggunakan lagi sulphonylurea
mengingat terapi insulin memberikan efek yang sama secara eksogen. Pasien
dengan terapi insulin dan masih menggunakan glitazone memiliki resiko lebih
tinggi untuk retensi cairan dan mungkin menyebabkan gagal jantung pada
orang yang rentan. Namun, “triple therapy” menggunakan metformin,
sulphonylurea, dan glitazone atau sitaglipin mungkin menguntungkan karena
meningkatkan sensitivitas insulin
- Lain-lain
35
Termasuk metiglinide (repaglinide atau nateglinide) yang dikonsumsi
sebelum makan untuk merangsang sekresi insulin dan mengurangi
hiperglikemia post-prandial. Repaglinide tidak dianjurkan untuk pasien
berusia di atas 75 tahun. Acarbose (inhibitor alfa-glukosidase) bekerja dengan
menghambat absorbsi glukosa namun kurang dapat ditoleransi karena
memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan. 15
I. Pencegahan
Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit DM dengan mengetahui
faktor yang berpengaruh terjadinya diabetes mellitus antara lain ;
a) Keturunan
b) Kegiatan jasmani yang kurang
c) Kegemukan/distribusi lemak
d) Nutrisi berlebih
e) Faktor lain, obat-obat dann hormone.
Pencegahan sekunder : mencegah agar walaupun sudah timbul penyakit, namun
penyulitnya tidak terjadi
Pencegahan tersier :usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut
walaupun sudah terjadi penyulit.
Usaha pencegahan mencakup :
Pendekatan pada penduduk, berusaha mengubah dan memperbaiki gaya hidup agar
menguntungkan terhadap tidak timbulnya diabetes mellitus atau penyulitnya. (primer
dan sekunder)
Pendekatan perorangan pada mereka yang beresiko tinggi untuk mengidap penyakit
diabetes mellitus dan pada pasien /penyandang diabetes mellitus (primer, sekunder
dan tersier). 18
J. Komplikasi
1. Komplikasi akut
- Diabetic ketoacidosis (DKA)
- Hyperglycemic hyperosmolar state (HHS)
2. Komplikasi kronik
36
- Mikrovaskular
Penyakit mata
Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)
Termasuk hemoragia intraretinal, eksudat, infark lapisan serat
saraf, dan macular edema. Retinopati proliferatif diabetes ditandai
dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah baru ada permukaan
retina, menyebabkan kebutaan dari hemoragia vitreus, pemisahan
retina, dan glaucoma.
Neuropati
Biasanya simetrik distal, sensori motor, polineuropati aksonal. Sering
terjadi gabungan dari demielinisasi dan kehilangan aksonal.
- Nefropati
Penyebab tersering sindroma nefrotik. Terdapat proteinuria, hipertensi,
azotemia, dan bakteriuria.
- Makrovaskular
Penyakit arteri koroner
Penyakit arteri perifer
Penyakit cerebrovascular
- Lainnya
Gastrointestinal (gastroparesis, diare)
Genitourinari (uropati/disfungsi seksual)
Dermatologik (ulserasi kaki, penyembuhan luka yang lama, diabetic skin
spot)
Infeksi (mucormycosis rhinocerebral, infeksi enfisema vesica urinaria,
otititis eksterna invasive maligna)
Katarak
Glaucoma
Penyakit periodontal 16
HIPOTENSI ORTOSTATIK
37
A. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam
medik pasien. Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga
terdekat (allo). Rekam medik yang dilakukan meliputi:
a. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien,
keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.
b. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang
sedang dihadapinya.
c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): cerita kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
pasien datang berobat.
d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): bertanya apakah pasien pernah mengalami
hipotensi ortostatik sebelumnya.
e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah
kesehatan pada anggota keluarga.
f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat
tinggal), faktor resiko gaya hidup.2
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan pemeriksaan obyektif
tentang hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu. 19
Pada saat berbaring dan berdiri tekanan darah diukur dengan interval 12 menit
setelah masing-masing berbaring dan berdiri selama 10 menit. Tekanan darah
selama berdiri di ukur setiap 20 menit . 20
Kardiovaskular. Menilai volume fluida dengan pemeriksaan tekanan leher vena. 21
Auskultasi jantung harus dilakukan untuk mengidentifikasi kehadiran aorta
stenosis, murmur, dan aritmia. 21
Neurologis. Pemeriksaan neurologis harus termasuk tes status mental untuk
mengevaluasi untuk demensia, saraf kranial keterlibatan dalam stroke,
pemeriksaan motor untuk stroke, dan evaluasi sensorik untuk neuropati dan
Parkinsonisme fitur seperti bradikinesia, kekakuan, dan tremor. 21
38
Pemeriksaan penunjang
Berikut tes diagnostik direkomendasikan berdasarkan kebutuhan:
CBC untuk anemia
BUN dan kreatinin serum untuk dehidrasi
Tes glukosa darah untuk diabetes
EKG untuk irama tidak teratur
CT atau MRI untuk menyingkirkan gangguan SSP.
Fungsi otonom tes yang dapat dilakukan dalam kasus-kasus pilih meliputi:
mengukur respon denyut jantung untuk mengubah dari telentang menjadi berdiri posisi dan manuver Valsava
Tes ini tidak invasif dan dilakukan di laboratorium pengujian khusus. Tilt-tabel pengujian juga membantu dalam pasien dengan sinkop penyebab tidak diketahui. 21
C. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosis akan
semakin kuat jika tekanan darah menurun secara berarti pada saat penderita berdiri dan
kembali normal jika penderita berbaring. 22
D. Gejala Klinis
Kebanyakan orang dengan penyakit hipotensi ortostatik akan merasa kepalanya terasa
ringan, pusing, kebingungan, atau penglihatan kabur ketika mereka bangun dari tempat
tidur secara tiba-tiba atau berdiri setelah duduk untuk waktu yang lama. Gejala ini akan
lebih buruk jika lelah berolahraga, mengkonsumsi alkohol, atau makan makanan yang
berat. Penurunan aliran darah ke otak yang parah bisa menyebabkan orang tersebut
pingsan dan kejang. 2,20
E. Etiologi
Penurunan tekanan darah yang drastis pada perubahan posisi dapat terjadi oleh
banyak hal.
Gangguan Homeostatis
39
Asthenia, usia lanjut, berdiri terlalu lama,
aktivitas berlebihan, dehidrasi, malnutrisi,
demam, temperatur lingkungan yang terlalu panas.
Obat-obat
Phenothiazine dan neuroleptika lainnya
Monoamine oxidase inhibitor
Tricyclic antidepressant
Antihipertensif
Levodopa
Vasodilator
Penghambat β
Penghambat kalsium
Gangguan sistem saraf pusat
Sindrom Shy-Drager
Lesi batang otak
Penyakit Parkinson
Mielopati
Infark serebral multipel
Neuropati perifer dan otonomik
Diabetes mellitus
Amiloidosis
Tabes dorsalis
Sindroma paraneoplastik
Alkoholik dan penyakit nutrisi
Hipotensi ortostatik idiopatik
Penyakit diabetes melitus dan penggunaan obat berkepanjang merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan. 23
F. Epidemiologi
Hipotensi ortostatik terjadi pada 11-30% orang usia lanjut. Penelitian pada 4.436
penduduk Indonesia berusia 40 tahun ke atas mendapat kejadian hipotensi ortostatik
sebesar 12,6%. 2
G. Patofisiologi
40
Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari tidur menjadi berdiri, maka tekanan darah
bagian atas tubuh akan menurun karena ada pengaruh grativasi. Gaya gravitasi ini
menyebabkan sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah abdomen dan
ekstremitas bawah, sehingga berakibat terjadinya penurunan besar volume darah balik
vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan besar volume ini akan mengakibatkan
penurunan curah jantung dan stimulasi pada aorta, karotis, dan baroreseptor
kardiopulmonal yang akan meningkatkan refleks simpatis. Hasil akhir ditemukan
adalah keadaan dimana terjadi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas otot jantung
dan resistensi vaskular untuk mempertahankan tekanan darah sistemik menjadi stabil.
Jika respon kompensasi tersebut gagal atau tidak lancar, akan terjadi hipotensi
ortostatik. 2
H. Penatalaksanaan
a. Nonmedikamentosa
Pemberian obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik hendaknya
dikurangi atau diberhentikan sama sekali. Aktivitas fisik yang dilakukan secara
teratur seperti berjalan cukup mampu mengurangi timbulnya gejala. Tidur dengan
posisi kepala terangkat ± 30 cm dan alas tidur dapat memperbaiki hipotensi
ortostatik melalui mekanisme berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya
akan merangsang pelepasan renin dan meningkatkan volume darah. Pada
penderita yang tidak memiliki penyakit jantung, penambahan garam dalam menu
sangat berguna dengan jumlah terbatas 200 mmol perhari. Menghindari mengejan
saat miksi atau defeksi dan perubahan mendadak dari posisi berbaring ke berdiri
akan menolong mengatasi gejala. Pada penderita hipotensi ortostatik setelah
makan dianjurkan mempersering frekuensi makan makanan ringan selain itu perlu
membatasi aktivitas fisik setelah makan. 20
b. Medikamentosa. 13
Jenis tindakan
/terapi
Titik tangkap-mekanisme
kerja
Dosis/catatan
Pakaian anti-
gravitasi/elastic
Cegah pooling darah akibat
posisi tegak
Tak praktis untuk
lansia: pakaian elastik
41
harus sebadan penuh
dikombinasi dengan
support abdominal
elastik
Fludrokortison Hormone mineralkortikoid,
meretensi cairan dan garam
→ ekspansi darah
0,1 mg tingkatkan
sampai maksimal 1 mg
(dosis besar bisa
hipertensi/gagal
jantung) – efektif hanya
pada jenis ringan
Flurbiprofen Inhibitor prostaglandin
sintase → efek vaso-
kontriksi
50 mg/hari (kombinasi
dengan Fludrokortison)
Pindolol Simpatomimetik 15 mg/ hari →
efektifitas perlu
dikonfirmasi
Dihidro-ergotamin
(DHE)
Efek vasokontriksi pada
pembuluh darah kapasitans
di cadangan vena
3 x 2 mg/hari.
Bioavabilitas rendah
pada pemberian oral
Midodrin Agonis adrenergic 3 x 2,5 – 5 mg/hari
Kafein Vasokonstriktor 200-250 mg sehabis
makan untuk hipotensi
post prandial (setara 2
cangkir kopi)
I. Prognosis
Prognosis untuk seseorang dengan OH tergantung pada penyebabnya. Penderita
diabetes dengan hipertensi serta mengalami hipotensi ortostatik, memiliki prognosis
buruk. 2 Jika penyebabnya adalah volume darah rendah atau obat tertentu, keadaan ini
bisa diatasi dengan segera. 21
42
J. Pencegahan
1. Diet
Meningkatkan konsumsi harian natrium (5- 10 mg/hari) dan air (tidak pada pasiendengan hipertensi dan gagal jantung).
Sering makan makanan kecil yang rendah karbohidrat untuk mencegah perburukan OH postprandia.
Meningkatkan serat makanan untuk mencegah sembelit. Meningkatkan konsumsi kafein, sebagai reseptor adenosin blocker (adenosin
menyebabkan hipotensi postprandial splanknikus); minum kopi setelah makan untukmembantu mencegah OH postprandial.
Minum setidaknya 6 sampai 8 gelas air untuk mencegah dehidrasi, hindari alkohol
Meningkatkan konsumsi garam dan cairan selama masa panas yang ekstrim danpenyakit demam.
2. Aktivitas fisik
Latihan otot betis sebelum duduk, dan duduk di tepi tempat tidur selama beberapa menit sebelum berdiri untuk memberi waktu tubuh untuk menyesuaikan diri dengan perubahan postural dan membantu darah mengalir kembali ke jantung.
Hindari membungkuk di pinggang untuk meraih sesuatu dari lantai atau di rak yang lebih rendah. Jika mungkin, berjongkok di lutut dan menjaga kepala.
Pertimbangkan memakai stoking elastis untuk mencegah bendungan vena di kaki.21
BAB IIIPENUTUPProses penuaan menyebabkan berbagai penyakit dan masalah psikososial. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki usia lanjut adalah : sistem panca-indra, sistem gastro-intestinal, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem endokrinologik, sistem hematologik, sistem persendian, sistem urogenital dan tekanan darah , infeksi dan imunologi, sistem saraf pusat dan otonom, sistem kulit dan integumen, otot dan tulang. Pemeriksaan pada lansia hendaklah
dilakukan secara teratur. DAFTAR PUSTAKASoejono HC, Chen K, Nainggolan L, Harimurti K, Dewiasty E, Bawazier LA, et al. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publshing; 2008. h. 27-30
1. Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. h. 26-7, 826-30, 837-44, 851-57.
2. Diagnosis vertigo. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page4_em.htm#Exams%20and%20Tests .
14 Januari 2011
43
3. Prognosis vertigo. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page10_em.htm. 14 Januari 2011
4. Vertigo prevention. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page9_em.htm#Prevention. 14 Januari 2011
5. Tjokroprawin A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Surabaya: Airlangga universitas press; 2007. h.247-53
6. Abrams BW, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid II. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. h. 75-81, 179-181
7. Mubin H. Panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 2008. h. 645-46
8. Komplikasi Parkinson. Diunduh dari : http neurology.health-cares.net/parkinsons-
disease-complications.php.14 Januari 2011
9. Ginsbreg L. Lecture notes neurologi. Ed. VIII. Jakarta: Erlangga Medical Series;
2008. h. 104
10. Demensia. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/23549468/ASKEP-
DEMENSIA. 15 Januari 2011
11. Demensia. Diunduh dari:
http://www.merckmanuals.com/professional/sec16/ch213/ch213c.html. 15 Januari
2011
12. Martono HH, Kris P. Buku ajar boedhi-darmojo geriatri (ilmu kesehatan lanjut). Edisi
ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 217-18, 401, 404, 425
13. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S [editor]. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; November 2009. h. 1875, 1881,
1885-9, 1891-5, 1967-9, 1971, 2538, 2541-4, 2546-8
14. Holt T, Sudhesh K. Abc of diabetes. 6th ed. UK: BMJ Books; 2010. P. 1-2, 25, 27
15. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo [editor]. Harrison’s
principles of internal medicine [e-book]. 17th ed. McGraw-Hill; 2008. p. 2158-9,
2163, 2275-7, 2282-93
16. Stephen JM, Maxine AP, Michael WR [editor]. 2011 current medical diagnosis
[Microsoft® HTML Help Executable]. McGraw-Hill Lange; September 2010. P.
unknown. Ch.26, 27, 20
17. Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam :
Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai
penerbit FKUI 2007: 163-74
44
18. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45
19. Hartono M. Hipotensi ortostatik. Diunduh dari:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12HipotensiOrtostatik120.pdf/
12HipotensiOrtostatik120.html. 14 Januari 2011
20. http://geriatrics.modernmedicine.com/geriatrics/data/articlestandard//geriatrics/
332004/110551/article.pdf
21. Penyebab hipotensi ortostatik. Diunduh dari: http://www.spesialis.info/?penyebab-
hipotensi-ortostatik-(orthostatic-hypotension): 14 Januari 2011.
22. Abrams BW, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid I. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. h. 530-35
45
top related