paper bpsd
Post on 16-Feb-2015
65 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Prevalensi, hubungan dan perjalanan gejala perilaku & psikologis pada
demensia dalam populasi
George M. Savva, Julia Zaccai, Fiona E. Matthews, Julie E. Davidson, Ian McKeith and Carol Brayne
Pendahuluan
Masalah perilaku dan psikologis menimpa hampir semua orang dengan demensia pada
bebrapa tahap tertentu selama perkembangan gangguan tersebut. Ini mengakibatkan penginapan
di rumah sakit untuk jangka waktu yang lama,peningkatan konsumsi obat-obatan dan penurunan
kualitas hidup bagi pasien serta keluarganya. Hal ini tidak jelas apakah perilaku dan gejala
psikologis demensia (BPSD) adalah epiphenomena dari proses neurodegeneratif atau gejala
spesifik, dari subtipe gangguan demensia yang berbeda secara biologis. Pemahaman terhadap
prevalensi dan faktor resiko bagi bpsd adalah langkah pertama dalam mengembangkan rezim
pengobatan dan kebijakan untuk pengelolaan bpsd. Beberapa studi mengenai prevalensi BPSD
yang telah dilakukan dalam populasi, dengan penilaian yang tidak konsisten,metode pemastian
dan penggunaan sumber-sumber yang berbeda untuk studi kohort telah mengakibatkan perkiraan
prevalensi BPSD yang sangat berbeda. Studi cross-sectional menunjukkan bahwa gejala yang
berbeda lebih umum pada tahapan yang berbeda dari demensia dan menyarankan supaya
diperiksa perjalanan kompleks bpsd di setting longitudinal.
Medical Research Council Cognitive Function and Ageing Study (MRC CFAS) telah
menawarkan suatu setting yang dapat mengatasi banyak permasalahan metodologis yang terkait
dengan penelitian mengenai epidemiologi BPSD. Ini merupakan suatu studi prospektif
berdasarkan populasi mengenai kesehatan lansia yang menggunakan susunan kuesioner yang
tervalidasi. Pada studi ini peneliti mengambarkan epidemiologi BPSD pada populasi lansia dari
England dan Wales dengan memperkirakan prevalensinya pada 587 responden yang telah
didiagnosis dengan demensia dibandingkan dengan 2050 responden tanpa demensia tetapi yang
memiliki gejala yang serupa. Kejadian bpsd telah digambarkan secara pair-wise,manakala
analisa pola kejadian telah dilakukan dengan menggunakan analisis faktor dan dikaji juga
korelasi antara demografi dan klinis. Peneliti telah melaporkan profil BPSD dalam 244 peserta
dengan demensia pada awal penelitian yang bersetuju untuk dilakukan penilaian ulang 2 tahun
setelah wawancara awal dan 348 peserta yang mula menderita demensia dalam dalam jangka
waktu penelitian ini dilakukan.
Metode
Ini merupakan studi longitudinal multisenter berdasarkan populasi yang berfokus terhadap
penurunan kognitif dan fungsional pada lansia. Sampel dipilih secara acak dari populasi berusia
65 tahun keatas yang dihubungi dari lima pusat yang merupakan perwakilan dari daerah
pedesaan dan perkotaan di Inggris dan Wales (Cambridgeshire, Gwynedd, Newcastle upon Tyne,
Nottingham dan Oxford) dengan tingkat respons 82%. Seramai 13 004 responden telah diteliti.
Gambar 1 menunjukkan aliran diagram wawancara di MRC CFAS dari mana bpsd bisa
dinilai. Setiap responden telah menjalani skrining awal sebelum diwawancara. Sebanyak 20 %
dari subsample yang telah dilakukan skrining, dan yang dibagi lagi mengikut kemampuan
kognitif, dipilih untuk penilaian yang lebih rinci.Setelah 2 tahun, sisa dari sampel telah di reskrin
dan 20% subsample telah dipilih lagi dan dilakukan penilaian rinci bersamaan dengan mereka
yang sudah dilakukan penilaian terinci sebelumnya. Kedua kelompok subsampel ini telah diikuti
lagi 6 tahun kemudiannya setelah wawancara yang pertama, dan subsample dari kedua kelompok
ini telah diteliti lagi 8 tahun kemudiannya dan dilakukan penelitian yang penuh setelah 10 tahun
kemudiannya.
Baseline
2 years
6 years
8 years
10 years
Prevalence screen n : 13004
Incidence screenn : 7165
Dementia n : 587No dementia n : 2050
Dementia at baseline n:244No dementia at baseline n:348
n : 242
n : 61
n : 300
Gambar 1 : Aliran Diagram Penilaian BPSD di MRC CFAS ).Prevalensi BPSD dalam populasi dengan dan tanpa demensia diperkirakan menggunakan
penilaian awal. Perjalanan BPSD pula diamati pada gelombang kedua terhadap 244 responden
dengan demensia sejak awal dan 348 responden dengan demensia insidental. Setiap penilaiaan
terhadap responden yang menderita demensia telah dimasukkan dalam perkiraan faktor risiko
dan co-occurancenya,dimana model random effects telah digunakan untuk menilai masing-
masing peserta yang membenarkan untuk diwawancarai lebih dari satu kali.
Informasi demografis sosial dikutip dari semua responden pada setiap wawancara.
Wawancara skrining termasuk Mini-Mental State Examination (MMSE) dan Automated
Geriatric Examination for Computer-Assisted Taxonomy (AGECAT), dimana kedua-dua
penilaiannya itu sensitif terhadap demensia. Penilaian terinci termasuk wawancara Geriatric
Mental State(GMS) yang disesuaikan dengan AGECAT dan alogaritma Cambridge Mental
Disorders of the Elderly Examination (CAMDEX) serta MRC Clinical Information . Informasi
mengenai riwayat dan etiologi yang menyertai GMS, didapatkan dari orang yang menjaga
responden.
Definisi Dementia dan BPSD
Perawat yang terlatih dipertanggungjawabkan untuk mengelola GMS yang terdiri dari 157
item, termasuk pengamatan dari pewawancara itu sendiri. Respon dari penilaian ini digunakan
untuk menghasilkan diagnosis studi demensia berdasarkan algoritma AGECAT. Demensia
didefinisikan sebagai AGECAT organicity rating case level of O3 atau di atasnya, yang
sebelumnya didapati setara dengan diagnosis menurut DSM-III-R.
Peneliti menilai bpsd dengan mewawancarai responden dan juga orang yang menjaganya
dan seterusnya dikombinasikan dengan pengamatan dari pewawancara selama wawancara itu
berlangsung. Setiap gejala yang ditemukan pada responden ditentukan berdasarkan kriteria yang
dijelaskan pada tabel 1.
Faktor risiko sosio-demografis dan klinis yang diteliti adalah berdasarkan tinjauan pustaka
dan ini termasuk usia; jenis kelamin; pendidikan; kelas sosial; institusionaliasi; penurunan
kognitif yang berdasarkan MMSE; ganguan penglihatan atau pendengaran;riwayat penyakit
jantung, stroke, diabetes, cedera otak atau gangguan emosional; merokok; konsumsi alkohol;
riwayat keluarga dengan penyakit vaskular; riwayat keluarga dengan gangguan kejiwaan;
keadaan emosional pada saat itu yang diteliti dengan situasi kehilangan pasangan,teman atau
binatang peliharaan yang terkini; dan genotip ApoE.Tidak semua faktor risiko bisa diketemu
pada responden-responden yang telah diteliti dan apabila tidak ditemukan suatu faktor resiko itu
maka dianggap hilang secara random.
ANALISIS
Prevalensi setiap gejala pada responden dengan demensia dan responden tanpa demensia
diperkirakan dengan menggunakan penilaian awal dimana 587 responden didiagnosa dengan
demensia manakala 2050 responden lagi tidak menderita demensia.
Data yang dikumpulkan dari semua penilaian awal dan follow up dimana diagnosis
demensia studi telah dibuat digunakan pula untuk analisis co-occurance gejala dan estimasi
faktor risiko. Kebanyakan responden telah dinilai lebih dari 1 kali maka model random effects
telah digunakan untuk korelasi profil gejala pada masing-masing responden. Ketika
memperkirakan faktor risiko dan pair wise symptom co-occurance penemuan palsu ditetapkan
sebagai 5%, yang berarti bahwa sekitar 95% dari asosiasi signifikan yang dilaporkan adalah
bukan secara kebetulan. Benjamini-Hochberg digunakan untuk menentukan nilai p dan
distribusi nilai p dalam studi ini bagi faktor risiko adalah 0,0107 sedangkan untuk mengestimasi
nilai p bagi co-occurance gejala pula adalah 0.033.
Regresi logistik telah digunakan untuk menghitung efek faktor risiko. Setiap analisis
tersebut kemudiannya disesuaikan lagi mengikut usia, jenis kelamin, MMSE skor dan mengikut
apakah responden memiliki gangguan pendengaran atau penglihatan yang bisa mempengaruhi
proses wawancara. Setiap dari faktor resiko tersebut dianalisis sebagai variabel binary kecuali
usia,yang diukur dalam tahun dan dijadikan sebagai variabel linear, manakala untuk MMSE skor
pula telah dibahagikan menjadi 3 kategori, sesuai dengan skor 0-17, 18-21, dan 22-30. Odds
rasio untuk kategori MMSE rendah dan tinggi dilaporkan begitu juga dengan kategori sedang.
Penyebab yang paling mungkin dari skor MMSE yang hilang gangguan kognitif yang sangat
berat maka setiap kehilangan MMSE skor dimasukkan ke kategori rendah.
Odds rasio disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, skor MMSE dan
apakah responden memiliki gangguan pendengaran atau penglihatan telah digunakan untuk
mengukur pair wise co-occurance antara gejala.Analisis faktor kemudian dilakukan untuk
mengungkap struktur dari co-occurance ini.Matriks korelasi tetrakorik yang mengaitkan setiap
gejala itu ditemukan dan ini menjadi sasaran faktor utama analisis algoritma. Solusi faktor yang
dihasilkan diubah untuk kemudahan interpretasi dengan menggunakan rotasi varimax.Analisis
alogaritma faktor yang berbeda memberikan hasil yang sama. Plot scree digunakan untuk
menentukan jumlah faktor yang diperlukan.
Peneliti hanya mengamati profil gejala responden pada awal dan dari penilaian follow up
mereka, dan begitu insiden dan persistennya tidak dapat diamati secara langsung. Model Jaringan
Markov telah digunakan untuk memperkirakan persistensi dan insiden BPSD berdasarkan
wawancara ulang, tetapi metode ini masih mengalami kekurangan dari segi keseragaman
responden dan stabilitas prevalensi gejala selama demensia yang tidak begitu meyakinkan. Oleh
karena itu peneliti melaporkan jumlah responden bagi setiap gejala yang ditemukan pertama
kalinya di kedua penilaian, dan jumlah responden dengan demensia pada awalnya yang juga
memliki gejala tersebut pada follow up. Odds rasio digunakan untuk menilai efek dari kehadiran
gejala pada awalnya dan kehadirannya pada follow up. Skor faktor dihitung untuk setiap peserta
dengan demensia dan korelasi antara faktor-faktor yang ditemukan antara baseline dan follow up
2 tahun kemudiannya untuk menilai hubungan temporal antara gejala.
Peneliti tidak menemukan hubungan antara penolakan untuk diwawancarai di saat follow up
dengan usia, jenis kelamin, gangguan kognitif atau kejadian BPSD pada responden dengan
demensia. Satu-satunya indikator yang signifikan untuk penolakan di antara mereka dengan
demensia adalah factor institusional dimana responden yang tinggal di rumah lebih cenderung
untuk menolak (48 dari 286) dibandingkan mereka yang tinggal di institusi (17 dari 238). Maka
berkemungkinan bahwa factor institusional juga mempengaruhi perjalanan BPSD dan analisis
sensitivitas dilakukan untuk menilai bias pada hasil penelitian ini.Semua analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan STATA 9.2 pada Sun Solaris.
HASIL
Deskripsi Kohort
Tabel 1 menyajikan kunci karakteristik dari kelompok MRC CFAS pada baseline dan pada
follow up 2 tahun kemudiannya.
Prevalensi BPSD
Tabel 2 menunjukkan estimasi prevalensi setiap gejala menurut status demensia dalam populasi
berusia di atas 65 tahun di Inggris dan Wales. Prevalensi masing-masing gejala secara signifikan
lebih tinggi pada populasi dengan demensia kecuali gangguan tidur, yang sangat umum pada
kedua kelompok, dan perasaan cemas yang sekitar 40% lebih umum pada populasi dengan
demensia (P = 0,07). Sebuah analisis yang lebih rinci berkaitan dengan gangguan tidur
mengungkapkan bahwa orang dengan demensia mengatakan tidak ada gangguan tidur ,
meskipun pengasuh mereka melaporkan kejadian yang lebih sering. Apatis merupakan gejala
non-kognitif yang paling lazim pada demensia, yakni sebanyak 50.3 % pada mereka dengan
demensia dibandingkan dengan 12.1 % responden tanpa demensia.
Faktor Resiko
Tabel online DS1 menunjukkan odd rasio hubungan antara setiap factor resiko yang diteliti
dengan BPSD setelah disesuaikan mengikut usia,gender, penurunan sensorik dan skor MMSE.
Odds rasio yang disesuaikan maupun yang tidak disesuaikan didapati tidak berbeda secara
substanstial.Ada asosiasi campuran antara BPSD dan fungsi kognitif.Berkeliaran, apatis,
penganiayaan dan misidentifikasi lebih sering terjadi pada mereka yang memiliki skor MMSE
yang rendah.Manakala iritabilitas adalah lebih umum pada mereka skor tinggi.
Faktor risiko vaskular dikaitkan dengan kecenderungan yang lebih rendah untuk melakukan
kesalahan identifikasi dan omongan tapi merupakan faktor risiko untuk kejadian apatis dan
depresi, meskipun hubungan dengan depresi secara statistik tidak signifikan setelah koreksi (P =
0,019). Sikap cemas dan depresi juga kurang ditemukan pada lansia dengan demensia, tetapi
lebih sering terjadi pada responden dengan tingkat kesihatan yang parah.
Riwayat keluarga dengan gangguan kejiwaan merupakan indikator untuk semua BPSD
kecuali untuk gangguan depresi, gangguan cemas dan gangguan tidur, dimana riwayat emosional
pribadi merupakan faktor resiko. Keadaan emosional pada saat itu, diukur dengan situasi
kehilangan yang mayor dimana terjadinya peningkatan episode kegembiraan dan depresi,
gangguan tidur, apatis dan halusinasi
Co-occurrence
Tabel DS2 online merangkum informasi tentang cooccurrence untuk pasangan gejala.
Jumlah responden yang diwawancarai untuk setiap pasangan gejala dilaporkan dan ditampilkan
di bagian bawah dari tabel, dengan jumlah total responden berdasarkan setiap gejala
digambarkan secara diagonal.Didapati ada hubungan yang signifikan antara pasangan sebagian
besar gejala meskipun sudah dilakukan penyesuaian untuk usia, jenis kelamin, skor MMSE dan
kemampuan sensorik.Perasaan cemas dan depresi mempunyai kaitan yang signifikan. Gejala-
gejala psikosis, yaitu misidentifikasi, penganiayaan dan halusinasi, sangat terkait antara satu
sama lain.
Gejala psikotik juga sangat terkait dengan sikap apatis.Faktor analisis korelasi gejala kuat
mendukung solusi termasuk empat faktor. Faktor pertama meliputi gejala berhubungan dengan
psikosis, serta sikap apatis dan berkeliaran.Faktor kedua meliputi persaaan cemas dan depresi,
dan tidak satu pun dari gejala ini yang mempunyai kaitan yang signifikan ke faktor-faktor
lainnya. Sikap cepat marah menjadi faktor tunggal dan berhubungan dengan perasaan
penganiayaan dan agitasi.Faktor keempat meliputi sifat lekas marah,perasaan, gangguan tidur,
halusinasi, agitasi dan suka berkeliaran.
Keunikan dari setiap gejala dalam model faktor yang digunakan untuk mengukur proporsi
variabilitas dari setiap gejala tersebut tidak dijelaskan oleh model faktor. Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun analisis faktor menyumbang terjadinya co-occurance gejala dengan baik,
kebanyakan variabilitas gejala tidak dapat dijelaskan dengan cara ini.
Persistensi Dan Insiden BPSD
Dari 587 peserta dengan demensia yang dinilai pada baseline 244 (42%) dinilai kembali 2
tahun kemudian. Dari 343 peserta yang tidak memberikan wawancara kedua, 219 telah
meninggal, 53 tidak mampu memberikan wawancara kedua, 63 menolak wawancara kedua dan 8
telah pindah. Waktu median antara penilaian pertama dan kedua adalah 22 bulan (kisaran 12-35,
kisaran interkuartil 21-24).Dari 12 417 responden yang tidak didiagnosis dengan demensia pada
baseline, 8583 dinilai kembali dan 326 didiagnosis dengan demensia pada gelombang kedua dari
wawancara. Rincian demografis dan klinis terhadap prevalen dan insiden demensia kelompok
pada gelombang 2 ditunjukkan pada Tabel 1.
Hasil ini tidak dipengaruhi oleh penolakan untuk diwawancarai pada follow up.Tabel 4
menunjukkan jumlah peserta dengan dan tanpa setiap gejala pada baseline, jumlah responden
yang memiliki gejala pada kedua penilaian serta bilangan responden yang ditemu memiliki
gejala pada follow up. Odds rasio berdasarkan kehadiran gejala di saat follow-up berdasarkan
kehadiran gejala pada baseline turut ditampilkan.Kehadiran apatis, perasaan gembira atau
konfabulasi pada follow up tidak terkait secara signifikan dengan kehadiran mereka pada
baseline.Sebaliknya, perasaan cemas, depresi dan perilaku berkeliaran yang ditemukan pada
baseline adalah indikator kuat untuk kehadiran mereka di follow-up.Gejala psikosis, masalah
tidur, agitasi dan lekas marah lebih sering diamati pada follow up pada responden yang
menunjukkan gejala ini pada baseline, tetapi juga terjadi pada peserta yang tidak.
Gangguan mood yaitu perasaan cemas, depresi dan perasaan gembira,
tidak cenderung untuk bertahan. Kami menemukan bahwa 18% dari responden dengan
depresi pada baseline mengalami depresi setelah 2 tahun, dan perasaan cemas ditemukan pada
26% peserta dengan perasaan cemas pada baseline kejadian kedua gejala itu adalah sangat
rendah, dengan depresi ditemukan di follow-up pada 4% dari mereka yang tidak depresi pada
baseline,dan perasaan cemas hanya ditemukan di follow up pada 2% dari mereka tanpa perasaan
cemas pada baseline. Perasaan gembira ditemukan pada 4(14%) dari 28 responden yang
ditemukan pada baseline dan ditemukan pada 19 (8%) dari 216 di antaranya itu tidak ditemukan.
Didapati gejala psikosis lebih persisten. Episode delusi yang terus-menerus dalam 30 dari 71
kasus (42%) dan kesalahan identifikasi yang terus-menerus di 30 dari 60 (50%). Peneliti juga
menemukan tingginya insiden kesalahan identifikasi, dengan 28% dari peserta yang tidak
misidentify orang atau benda pada awal melakukannya dengan wawancara follow up. Halusinasi
memiliki kejadian dan persisten yang lebih rendah dari gejala lain dari psikosis.Hubungan
temporal antara masing-masing faktor dijelaskan dalam Tabel 3 dapat dilihat pada Tabel 5. Ada
asosiasi antara tingkat untuk skor masing-masing faktor pada awal dan faktor yang sama pada
follow up. Meskipun independensi skor faktor pada awal, terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat faktor 1 (psikosis, apatis) pada awal dan faktor 4 (gangguan tidur, halusinasi dan
berkeliaran) di follow-up, dan antara faktor 4 pada awal dan faktor 1 pada follow up. Prevalensi
gejala pada 348 responden yang ditemui menderita demensia antara gelombang pertama dan
kedua dari wawancara juga ditunjukkan pada Tabel 4. Profil gejala dalam kelompok ini mirip
dengan yang terlihat pada populasi umum dengan demensia (Tabel 2). Hanya iritabilitas secara
signifikan lebih umum dalam kelompok insiden demensia daripada populasi umum dengan
demensia.
Perbahasan
Peneliti memperkirakan prevalensi,co-occurance,faktor-faktor risiko dan perjalanan BPSD
menggunakan perwakilan kohort yang luas dari populasi berusia di atas 65 di Inggris dan Wales.
Ini dibandingkan dengan prevalensi gejala yang sama dalam populasi tanpa demensia. Semua
gejala perilaku dan psikologis diteliti kecuali gangguan tidur ditemukan secara signifikan lebih
umum dalam populasi dengan demensia, meskipun gangguan suasana hati, apatis, lekas marah,
dan perasaan penganiayaan yang juga terlihat dengan proporsi yang signifikan dari populasi
tanpa demensia. Oleh itu,gejala-gejala pada orang dengan demensia tidak selalu harus dianggap
sebagai konsekuensi dari demensia. Gejala lain termasuk psikosis, berkeliaran dan obrolan yang
secara substansial lebih umum pada orang dengan demensia dan kehadiran mereka meningkat
seiring dengan meningkatnya gangguan.
Ada asosiasi antara kebanyakan dari gejala-gejala ini dan dapat dijelaskan oleh model
faktor termasuk empat faktor. Faktor-faktor ini sesuai dengan psikosis dan sikap apatis,
kecemasan dan depresi, lekas marah dan penganiayaan dan keempat faktor terdiri dari suasana
gembira, gangguan tidur, halusinasi, agitasi dan berkeliaran. Keunikan tinggi setiap gejala
menunjukkan bahwa model faktor tidak menyediakan gambaran lengkap dari pola terjadinya
gejala dan bahwa gejala harus diteliti secara individual.
Kehadiran gejala dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor risiko klinis dan demografis
serta keadaan individu. Sebagian besar gejala yang ditelitiyang lebih mungkin terjadi pada
follow up 2 tahun pada responden yang telah diketemu dengan gejala itu pada baseline meskipun
kekuatan asosiasi ini didapati berbeda pada setiap gejala.
Kelemahan & Kekuatan Penelitian
Kekuatan utama studi epidemiologi BPSD ini adalah pengaturan populasi studi dan
ukurannya. Penilaian adalah dengan menggunakan wawancara responden dan penjaga mereka,
dan memungkinkan berbagai macam faktor demografi dan klinis untuk diselidiki. Kelemahan
penilaian ini adalah peneliti cuma dapat menentukan ada tidaknya suatu gejala itu tetapi tidak
dapat menentukan tingkat keparahannya maupun sejauh mana gejala itu merupakan suatu
permasalahan.
Pemeriksaan GMS tidak dirancang khusus untuk penilaian BPSD. Definisi peneliti tentang
misidentifikasi bertujuan untuk menangkap setiap ideation delusi yang tidak termasuk delusi
prosekutori tetapi kecenderungan untuk misidentifikasi objek dapat juga dianggap sebagai gejala
langsung dari kerusakan kognitif dan gejala ini adalah sangat jarang terjadi pada responden tanpa
demensia dan orang-orang dengan Skor MMSE tinggi. Kami tidak melakukan penyesuaian
setiap obat atau intervensi lainnya yang bertujuan untuk mengurangi BPSD. Penggunaan obat
antipsikotik pada orang dengan demensia yang dilaporkan adalah jarang dan telah meningkat
dari 3% pada baseline menjadi 6% setelah 10 tahun. Cholinesterase inhibitor diminum oleh
kurang dari 5% dari responden dengan demensia pada penemuan setelah 10 tahun follow up.
Penemuan mengenai hubungan antara BPSD dan faktor risiko yang disesuaikan mengikut
usia, jenis kelamin, Skor MMSE dan gangguan pendengaran atau penglihatan yang mungkin
berkontribusi atau mencegah penilaian gejala. Hasil kami tidak berubah secara substansial
setelah dilakukan penyesuaian ini. Karena sejumlah besar uji statistik yang dimasukkan dalam
analisis kami, tingkat penemuan palsu dapat dikontrol pada 5%, tapi masih mungkin terjadinya
beberapa asosiasi palsu.
Antara baseline dan penilaian 2 tahun kemudiannya, 58% dari peserta dengan demensia
meninggal atau dinyatakan hilang untuk follow up. Tingkat gesekan selama 2 tahun adalah sama
dengan yang dalam studi yang sebanding. Wawancara baseline dan wawancara lanjutan
adalah 2 tahun kemudiannya sehingga kita tidak dapat mengamati fluktuasi jangka pendek atau
episode akut dari gejala.
Perbandingan Dengan Penelitian Sebelumnya
Beberapa studi longitudinal BPSD telah dilakukan sebelumnya dengan tujuan
menggambarkan kejadian dan perkembangan gejala yang berbeda sepanjang perjalanan
demensia. Studi-studi ini telah berlangsung di berbagai setting termasuk pasien rawat inap,pasien
di perumahan residensial atau sampel yang diambil dari population. Temuan antara penelitian
tidak selalu konsisten, meskipun banyak perbedaan disebabkan setting, desain, instrumen dan
ukuran sampel, dan meskipun perbedaan-perbedaan ini, gambaran yang konsisten dari
epidemiologi BPSD tetap dapat digambakan.
Prevalensi BPSD dalam populasi telah diperkirakan dari studi Nakayama, 4 Cache di
County Study (n = 201) dan Studi Kesehatan Kardiovaskular.Masing-masing studi menggunakan
Inventarisasi Neuropsikiatrik (NPI) dan hasilnya sebagian besar konsisten. Hasil kami sesuai
dengan temuan mereka, kecuali perkiraan untuk prevalensi kecemasan (8,9%) dan agitasi(9,0%)
secara signifikan lebih rendah dan prevalensi apatis(50,3%) lebih tinggi. Perbedaan ini dapat
dijelaskan oleh perbedaan dalam instrumen yang digunakan untuk mengukur gejala. Misalnya, di
samping jenis pertanyaan yang diajukan dalam NPI untuk mengukur sikap apatis, penilaian kami
juga mencakup laporan diri dari kelesuan. Kami lebih lanjut menemukan bahwa sikap apatis
pada awal tidak mempengaruhi kehadiran apatis di follow-up, yang menunjukkan bahwa
semua orang dengan demensia berada pada risiko mengembangkan gejala.Dalam 244 peserta
yang menjalani kedua baseline dan 2-tahun penilaian, hanya 43 (18%) tidak didiagnosis dengan
sikap apatis pada penilaian.
Sejauh mana BPSD hanya manifestasi dari gangguan kognitif masih belum jelas. Telah
dilaporkan bahwa BPSD jarang diamati dalam tahap terminal pada demensia, meskipun seperti
yang dinyatakan dalam fungsi kognitif tinjauan sebelumnya 'secara langsung berkontribusi
terhadap munculnya dan keparahan BPSD, berkeliaran dijelaskan sebagai ungkapan kesepian
atau kelaparan, gelisah perilaku yang dihasilkan dari rasa frustrasi alami dyspraxia atau
pelupa, dan misidentifikasi berkembang dari patologis kerusakan korteks visual. Studi Cache di
County melaporkan bahwa keparahan demensia lebih besar dikaitkan dengan peningkatan
kehadiran BPSD semua termasuk pada sepuluh-item NPI kecuali depresi, dimana didapati
asosiasi negative yang non signifikan.
Kami menemukan psikosis untuk lebih umum di kalangan responden yang di institusi dan
mereka dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol atau dengan riwayat gangguan kejiwaan di
keluarga. Gejala psikotik masih cukup persistent dan psikosis paling sering ditemukan pada
mereka yang memiliki gangguan kognitif sedang atau berat. Dalam sebuah tinjauan dari 55 studi
yang diterbitkan antara tahun 1990 dan 2003 tentang epidemiologi dari dan faktor resiko bagi
psikosis dalam Alzheimer, gangguan kognitif berat juga terkait dengan persentase yang lebih
tinggi pada psikosis, sedangkan jenis kelamin, pendidikan dan riwayat keluarga dari demensia
atau penyakit kejiwaan adalah tidak signifikan atau tidak konsisten hubunganya dengan psikosis.
Walaupun tidak ada studi longitudinal lain yang memisahkan delusi persecutory dari
misidentifikasi atau ideation yang lain, delusi sebelumnya telah dilaporkan persistent pada
jangka panjang.
Co-occurance antara gejala depresi dan perasaan cemas sering dilaporkan, serta hubungan
yang rendah antara ini dan BPSD yang lainnya. Longitudinal Studi depresi pada demensia di
setting pasien rawat inap dan pasien psikiatri control telah ditemukanpersistensi dan insiden yang
rendah. Penelitian ini menegaskan dalam kohort berbasis populasi yang besar apa yang
sebelumnya diamati pada setting kecil seperti dalam rumah sakit dan perawatan .Studi Cache di
County melaporkan lebih tinggi persistence dan incidence gangguan mood. Penjelasan yang
paling mungkin untuk perbedaan ini adalah bahwa kelompok peserta dianggap berisiko
mengembangkan gejala yang tidak memiliki gejala yang sama pada awalnya. Kelompok ini
dengan gangguan kognitif rendah, dengan skor MMSE rata-rata 18, daripada sampel baseline
peneliti.
Prevalensi depresi dan perasaan cemas pada kelompok demensia insiden ini mirip dengan
yang terlihat dalam kelompok dasar. Temuan ini, dikombinasikan dengan insiden rendah pada
orang-orang dengan demensia mendukung gagasan bahwa depresi dan perasaan cemas muncul
sekitar waktu terjadinya demensia dan kurang mungkin terjadi di tahap penyakit yang lanjut.
Depresi berkaitan dengan riwayat serangan jantung atau stroke, yang meskipun tidak memenuhi
ambang kami yang signifikan namun statistik mendukung penemuan sebelumnya bahwa gejala-
gejala lebih umum pada dementia vaskular dan dengan hipotesis kontribusi depresi vascular pada
populasi.Di Cache County studi, depresi kurang terjadi pada orang dengan Alzheimer daripada di
semua demensia, tetapi tidak ada perbedaan terlihat dalam tingkat psychosis.Analisis lebih lanjut
resiko vaskular untuk BPSD pada individu dengan Alzheimer di Cache County studi
menemukan tingkat yang lebih tinggi terjadinya depresi, apatis delusi pada mereka dengan
riwayat stroke,hipertensi dan agitasi
Secara umum pada penelitian lain, peneliti telah menemukan perasaan gembira merupakan
gejala yang jarang pada demensia dan dengan demikian distribusinya dipopulasi sulit dievaluasi
secara tepat. Hasil kami dan studi sebelumnya menunjukkan bahwa di mana ia terjadi,episode
perasaan gembira dalam demensia tidak terjadi.Masalah tidur seperti yang didefinisikan oleh
neuropsikiatri saat timbangan yang umum di semua tahapan demensia serta dalam populasi
lansia tanpa demensia.
Sebuah penilaian yang lebih rinci daripada yang saat ini digunakan diperlukan untuk
mengukur pola demensia yang berhubungan dengan masalah tidur dalam populasi.Wandering
dan agitasi lebih umum pada mereka dengan ApoE E4 alel dan meskipun asosiasi secara statistik
tidak signifikan setelah koreksi tingkat false kami penemuan, mereka
konsisten dengan temuan sebelumnya. Perilaku motorik yang menyimpang, didefinisikan dalam
cara yang mirip dengan definisi agitasi, dan merupakan satu satunya item NPI yang terkait
dengan genotipe apoE di Cache di County Study.ini menunjukkan bahwa gejala-gejala ini
konsekuensi dari neuropatologi terkait dengan penyakit Alzheimer.Sebelumnya studi hubungan
antara genotipe apoE dan BPSD dalam kohort penyakit Alzheimer adalah inkonklusif.
Struktur faktor untuk terjadinya co-occurance gejala persis sampai batas tertentu dengan yang
ditemukan oleh klinis sebelumnya yang secara konsisten melaporkan faktor termasuk psikotik
gejala, faktor yang melibatkan depresi dan kecemasan dan faktor termasuk iritabilitas dan agitasi.
Sebuah studi baru-baru Belanda penghuni panti jompo menemukan struktur ini bervariasi
sedikit di demensia stages. Sebuah pendekatan alternatif untuk menggambarkan co-terjadinya
gejala adalah analisis cluster, di mana pasien dikelompokkan berdasarkan profil gejala mereka.
Hal ini menyebabkan nonoverlapping kelompok pasien, dengan profil gejala dari masing-masing
pasien dianggap semata-mata tergantung pada kelas mereka. Analisis ini biasanya menghasilkan
struktur kelas yang persis dengan struktur factor peneliti.
Namun, kami telah menunjukkan bahwa tingkat psikotik afektif dan gejala yang sebagian
besar independen, dan sehingga setiap klasifikasi yang memaksa orang ke dalam satu atau lain
dari kategori membuat mereka menunjukkan kedua kelas gejala mustahil untuk
mengklasifikasika perjalanan BPSD sebelumnya telah dibandingkan di demensia subtipe.
Halusinasi visual telah terbukti lebih umum dan lebih gigih dalam dementia dengan badan Lewy
dibandingkan pada individu dengan Alzheimer. Orang dengan demensia vaskular diperkirakan
memiliki depresi persistent.Kami belum melaporkan gejala dengan demensia subtipe, temuan
otak sebagian karena dalam sampel populasi telah mengungkapkan proporsi tinggi patologi
campuran.
Implikasi Klinis
Hasil ini memiliki implikasi untuk praktek klinis, dalam pengembangan dan penilaian
perawatan dan pemahaman etiologi BPSD. Mereka akan membantu prediksi masa depan profil
gejala individu dengan demensia yang diberikan mereka saat profile, dan gejala-gejala yang
diharapkan terjadi sekitar waktu onset demensia.
Banyak dari gejala perilaku dan psikologis terkait dengan demensia juga hadir dalam
populasi yang lebih tua tanpa demensia sehingga tidak setiap gejala non-kognitif diamati pada
orang dengan demensia dapat diasumsikan gejala demensia mereka. Ada banyak factor klinis
dansosio-demografis yang berhubungan dengan kejadian BPSD. Ini akan memungkinkan
pengembangan intervensi yang lebih baik dalam pengelolaan gejala dan untuk memprediksi
kejadian gejala tersebut.
Hasil kami mendukung usaha-usaha sebelumnya untuk menggambarkan co-occurance
gejala, tapi kami juga mengamati tingkat tinggi keunikan gejala , yaitu solusi faktor kami
dijelaskantidak bisa menjelaskan banyak variabilitas gejala. Oleh karena itu,meskipun hubungan
antara gejala individu diragukan lagi ada, pendekatan sindrom untuk studi mereka dan
manajemen atau upaya untuk mengklasifikasikan individu berdasarkan profil mereka gejala
terjadinya mungkin tidak tepat.
top related