pandangan behaviorists
Post on 10-Jun-2015
1.270 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pandangan Behaviorists
DALAM PEMEROLEHAN BAHASA
Oleh
Dra. G u s n a w a t y, M. Hum.
Fakultas SastraUniversitas Hasanuddin
2006/2007
DAFTAR ISI
0.1 Bahasa...........................................................................................................................1
0.2 Proses Pemerolehan Bahasa..........................................................................................3
0.2.1 Proses Mengerti Bahasa.........................................................................................3
0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa....................................................................................5
0.3 Perspektif Behaviorist...................................................................................................5
0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Pertama.........................................................7
0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua............................................................9
0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn Bahasa Kedua........................................10
References..............................................................................................................................13
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page ii
Pandangan Behaviorists DALAM PEMEROLEHAN BAHASA*
0.1 Bahasa
Tak dapat dibayangkan bagaimana kehidupan manusia tanpa bahasa. Karena
bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, alat untuk saling berbagi perasaan, pikiran,
kebutuhan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sejak abad 19 banyak ilmuan yang
tertarik untuk meneliti bagaimana manusia belajar bahasa. Faktor apa dan situasi
bagaimana yang mempengaruhi sehingga banyak orang yang sukses dalam belajar
bahasa-bahasa dan banyak pula yang gagal. Sebelum didiskusikan tentang hal-hal
yang berpengaruh pada pemerolehan bahasa, kita simak dahulu pendapat Halliday
tentang bahasa.
Halliday (1975), mengemukakan bahwa ‘language is a system of resources to
make meaning in context. System of resources terdiri atas apa yang beliau sebut
sebagai lexico-grammar, dan generic structure of texts. Arti dari yang pertama
merujuk pada kombinasi kata-kata yang sesuai dengan tatabahasa. Sedang yang
dimaksud dengan generic strucuture of texts adalah merujuk pada cara-cara tertentu
bagaimana teks entah tertulis atau lisan dipresentasikan dalam konteks.
Pada definisi di atas terimplikasikan juga bahwa ‘resources’ mencapai meta
functions yang diassosiasikan dengan semantik. Dengan demikian penutur bahasa
kadang dapat menciptakan makna yang pada umumnya hanya dapat dimengerti oleh
penuturnya sehingga tercapai komunikasi kedua belah pihak. Sebaliknya, menurut
Halliday, makna hanya dapat diperoleh melalui serangkaian kata-kata dan struktur
gramatikal. Kemudian, makna yang tercipta juga sangat tergantung pada konteks atau
lingkungan bahasa tersebut digunakan.
Dengan demikian, orang sudah dapat dikatakan menggunakan bahasa bila
mereka sudah saling mengerti satu sama lain walaupun bahasa yang digunakan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 1
hanyalah satu atau dua kata. Karena menurut Halliday, struktur gramatikal sebuah
bahasa bukanlah sebuah set yang mesti dipatuhi, tetapi sebuah sumber aset (a set of
resources) dari pengguna bahasa untuk menyampaikan makna yang mereka inginkan
dalam situasinya.
Sebuah contoh penerapan dari pendapat di atas dapat dilihat percakapan yang
terjadi antara Tukang Becak dengan Tourist di bawah ini (ini contoh nyata dari
Makassar)
Situasi: Seorang tourist meminta izin pada tukang becak untuk mencoba
mengendarai becak.
Tourist : Could you let me to ride your pedicab (pointing the pedicab)?
Becak driver : Oh, becak mister?
Tourist : No, let me t r y y o u r… (dia mencoba menjelaskan dengan
gerakan, menujuk pada tempat duduk becak, kemudian menunjuk
pada pantatnya beberapa kali) You sit inside (dia menunjuk ke
dalam becak, tempat duduk), and I ride it (tangannya membuat
gerakan seakan-akan mengayuh)
Becak driver : (mulai mengerti) Yes, yes, mister! (kemudian dia masuk duduk di
dalam becak).
Tourist : (Dia mencoba mengendarai becak)
Contoh di atas memperlihatkan bahwa bahasa terbagi atas dua sistem, yakni
aspek verbal dan non-verbal. Mereka saling dukung-mendukung dalam
menyampaikan makna bahasa. Pada kasus di atas, Tukang Becak, sebenarnya, tidak
dapat menggunakan bahasa Inggris, tetapi dia dapat mengerti si Tourist karena
dukungan sistem non-verbal. Di samping itu, konteks pelaksanaan tuturan juga sangat
mendukung terjadinya saling pengertian, karena mereka melakukan transaksi di
samping becak.
Pada contoh yang telah diberikan di atas, si Tukang Becak tidak memiliki
lexico-grammar bahasa Inggris sebagai sumber untuk berkomunikasi dengan si
Tourist, tetapi dia memiliki generic structures of texts, walaupun sumber pengetahuan
tersebut masih sangat universal, karena bersumber dari pengetahuan bahasa ibunya.
Sehingga dia dapat mengerti maksud si tourist. Contoh yang lain, kita kadang-kadang
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 2
mendengar lelucon yang sangat menggelitik bila disampaikan dalam bahasa ibunya,
dan membuat pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal secara spontan. Tetapi di lain
waktu, lelucon yang sama gagal mecapainya tujuannya jika diceritakan dengan
bahasa yang berbeda. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena cerita tersebut
dikeluarkan dari konteks budayanya.
0.2 Proses Pemerolehan Bahasa.
0.2.1 Proses Mengerti Bahasa.
Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui “Bagaimana manusia
belajar bahasa?” Akan tetapi, bagaimana pun juga pertanyaan tersebut belum pernah
terjawab secara memuaskan, dan tampaknya masih akan tetap menjadi pertanyaan
yang menarik bagi ilmuan yang berkecimpung dalam dunia pengajaran bahasa dan
ilmuan bahasa.
Seperti yang telah digambarkan di atas bahwa bahasa bukan hanyalah sekedar
kata-kata dan penghapalan kata-kata. Kita juga harus tahu bagaimana cara
menggunakannya; dalam konteks bagaimana sebuah kata cocok diucapkan, siapa
pendengarnya, siapa penuturnya, dan lain sebagainya. Jika sebuah bahasa hanyalah
kata-kata dan kombinasi kata-kata, maka mempelajari bahasa mungkin akan lebih
gampang, karena orang hanya membutuhkan kamus dwi-lilngual atau multi-lingual,
mereka sudah dapat bercakap. Atau mereka juga dapat menggunakan a shortcut atau
jalan pintas, dengan cara bertanya pada komputer untuk menerjemahkan bahasa
target. Jika bahasa hanyalah sekumpulan kata-kata dan kombinasi kata-kata maka
komputer tidak akan membuat terjemahan yang sulit dimengerti dan kadang-kadang
terkesan lucu.
Bahasa lebih dari sekedar kata-kata dan membutuhkan rasa untuk mengertinya.
Oleh karena itu, pelajar bahasa yang akan belajar bahasa harus memasukkan faktor
sosial dalam proses pembelajarannya. Mereka harus belajar “Bagaimana cara
menggunakannya” sebab makna bahasa bergantung dari siapa pembicaranya, siapa
pendengarnya, kapan terjadinya, dalam konteks bagaimana, apa topiknya, dan lain
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 3
sebagainya. Halliday mengklasifikasikan faktor-faktor sosial ini dalam bahasa
sebagai Field, Tenor, dan Mode. Field merujuk pada aktifitas, atau topik yang
menjadi pembicaraan; Tenor merujuk pada hubungan antara pembicara dan
pendengar; dan Tenor adalah cara penyampaian maksud entah melalui media tulisan
(seperti surat, SMS, dan lain sebagainya) dan lisan (seperti percakapan antar semuka,
telepon, atau chatting).
Sebagai contoh, pembicaraan yang konteksnya di dalam ruangan kelas.
guru : (masuk kelas dan mengeluh ) Panas ya ? (sambil kipas-kipas
kepanasan)
murid : (sebagai reaksi atas tuturan guru, salah seorang murid berdiri dan
membuka jendela)
Pada kasus di atas yang menjadi:
Field : pembicaraan tentang temperature yang panas dalam ruangan
Tenor : hubungan guru dan murid (tanpa perlu disuruh secara langsung
mereka sudah mengerti maksud tuturan gurunya, yakni minta
dibuka jendela) Pada pembicaraan di atas sama sekali tidak ada
kalimat perintah yang meminta murid membuka jendela.
Mode : lisan
Contoh lain, sepasang kekasih duduk memadu kasih di bawah pohon rindang
yang suasananya sejuk karena sore hari.
Pria : “Panas ya, hari ini?”
Wanita : “Saya yakin, kamu pasti belum mandi deh”
Pada contoh ini yang menjadi:
Field : pembicaraan tentang temperature yang panas diluar ruangan
dalam hal ini di bawah pohon yang rindang.
Tenor : hubungan sepasang kekasih, tak ada perasaan subordinasi, si
wanita tidak merasa kepanasan karena sudah mandi sebelum
datang ke tempat tersebut. Sementara dia juga tahu kebiasaan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 4
kekasihnya yang malas mandi. Sehingga dia tahu makna implisit
dari tuturan yang didengarnya.
Mode : Lisan
Contoh yang lain dari segi mode, misalnya seorang mahasiswa yang akan
meminta uang pembayaran kepada orang tuanya. Bagaimana dan apa yang akan
dikatakannya bila dia menulis surat? Bagaimana pula dia mengatakan bila
menyatakan maksud yang sama melalui telepon atau kah SMS?
Apa makna yang dapat kita petik dari contoh-contoh di atas? Jika bahasa tidak
berhubungan dengan konteksnya, maka satu tuturan yang sama pasti akan
memperoleh respons yang sama pula, tetapi kenyataannya tidaklah demikian, satu
tuturan yang sama bentuknya dapat memperoleh respons yang berbeda-beda
tergantung dari field, tenor, dan mode yang telah dikemukakan di atas.
0.2.2 Bagaimana Belajar Bahasa
Para ahli psikologi dan linguistik modern tertarik mengetahui bagaimana manusia
belajar bahasa mulai timbul pada abad ke dua puluh. Oleh karena itu pengaruh awal
terhadap teori pemerolehan bahasa datang dari kedua disiplin ini. Perkembangan paralel
pada kedua disiplin ini terlihat menerapkan pendekatan ilmiah terhadap hubungan antara
pikiran manusia dan bahasanya. Pendekatan tradisional terhadap pemerolehan bahasa
selanjutnya cenderung berorientasi psikologis, dan secara luas dikenal sebagai
pendekatan psikolinguistik.
0.3 Perspektif Behaviorist
Aliran yang kita bahas dalam makalah kecil ini adalah aliran behaviorisme. Inilah
teori yang dominan dalam ilmu psikologi pada tahun 1940-an dan 1950-an. Teori ini
penting untuk diketahui sebab banyak pendidik bersandar pada prinsip-prinsip teori
ini dalam pengajaran bahasa sampai hari ini. Struktural atau pendekatan audiolingual
adalah salah satu pendekatan yang paling dominan dan lama berpengaruh pada
pendekatan pengajaran bahasa-bahasa baru. Seperti pengajaran bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua atau bahasa asing
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 5
Behaviorisme adalah teori pengajaran yang dapat diterapkan dalam belajar apa
saja seperti bahasa dan matematika. Teori ini mencoba mengerti bagaimana manusia
belajar sesuatu dengan penggunaan pendekatan ilmiah dari observasi empiris. Para
ahli psikologis behavioris akan tiba pada kesimpulan mereka dengan
memperhatikan/meneliti tingkah laku: merekam observasi mereka, mencatat reaksi,
memberikan reward/punishement, demikian berulang-ulang sampai kemudian mereka
menemukan dan menggambarkan pola-pola yang mereka dapat generalisasikan.
Teori pendekatan ini, bagaimana pun juga, memerlukan observasi yang dapat
dilakukan dalam kondisi yang terkontrol, seperti laboratorium. Hal ini dimaksudkan
untuk memastikan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi tingkah laku subjek yang sedang diteliti terbatas. Karena kalau tidak
demikian akan sangat sulit untuk menentukan faktor-faktor yang memperngaruhinya.
Para ahli psikologis behavioris di jaman dulu pada umumnya meneliti tingkah laku
binatang di laboratorium. Kemudian menemukan teori berdasarkan penemuan
mereka terhadap perlakukan yang mereka lakukan terhadap binatang-binatang
tersebut. Para ahli yang terkenal dalam penelitiannya adalah B.F Skinner (1904-
1990), yang meneliti tingkah laku tikus; Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti
anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air liur setiap kali mendengar lonceng;
John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh Pavlov kemudian meneliti binatang
dan tingkah laku anak. Kunci dari teori ini adalah tingkah laku yang diberikan hadiah
akan berulang sedangkan yang diberikan hukuman akan hilang dan kemudian tingkah
laku tersebut akan menjadi suatu kebiasaan.
Ketika psikologi behaviorisme berkembang di Amerika, dalam waktu yang
bersamaan strukturalisme juga berkembang dan dikenal luas dalam linguistik
Amerika. Aliran ini disebut sebagai strukturalisme Amerika. Pemimpin dan yang
paling berpengaruh di sini adalah Leonard Bloomfield (1887-1949). Bukunya yang
berpengaruh adalah Language dan diterbitkan 1933, memberikan dasar bagi
penelitian ilmiah terhadap pembelajaran bahasa, hal yang serupa juga terjadi pada
teori behaviorisme psikologi.
Cara Strukturalis Amerika memerikan bahasa adalah dengan cara mengumpulkan
sebanyak-banyaknya tuturan bahasa yang akan mereka teliti. Kemudian mereka
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 6
memperhatikan/mempelajari/meneliti data dari korpus untuk memunculkan pola yang
konsisten, seperti misalnya sistem bunyi dan sintaksis atau struktur kalimat. Dalam
hal ini mereka akan memproduksi sejumlah tuturan berdasarkan pola yang mereka
temukan. Dengan demikian mereka menciptakan tuturan dari pola-pola tuturan dari
penuturnya. Demikilah penekanan umum atas observasi empiris dari behaviorisme,
yang sekaitan dengan psikologi. Dan bentuk-bentuk pola-pola bahasa, yang sekaitan
dengan linguistik
0.4 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa PertamaJika Anda percaya bahwa manusia pada umumnya dipengaruhi oleh ransangan
(stimulus) dan reaksi (respons), kebiasaan (habit), kondisi (conditioning), penguatan
(reinforcement), atau hadiah (rewards), dan hukuman (punishment), maka Anda
adalah seorang behahavioris entah Anda menyadarinya atau tidak. Bagi behavioris,
belajar adalah berhubungan dengan pemerolehan kebiasaan, yakni belajar sesuatu
berarti membuatnya menjadi kebiasaan. Kunci dari pembelajaran adalah imitasi, dan
kondisi melalui penguatan. Penguatan itu dapat positif (dalam bentuk hadiah) dapat
juga negatif (dalam bentuk hukuman).
Proses pembentukan kebiasaan atau pembelajaran diperoleh dengan cara inductive
– yakni pembiasaan itu diperoleh dengan cara tanpa instruksi eksplisit. Skinner
menyebutnya sebagai kondisi pelaksanaan (operant conditioning). Beginilah contoh
pelaksanaannya dalam pemerolehan bahasa:
Seorang anak kecil mendengar kata “bola” beberapa kali dari pengasuhnya.
Aksi ini disebut ransangan. Dan sebagai reaksi, si anak menirunya dengan
menyebut pula “bola”. Tingkah laku si anak meniru menyebut “bola” disebut
operant.
Pengasuh memberikan bola tersebut untuk bermain. Sehingga anak tersebut
memperoleh hadiah dari pengucapannya yang telah mengucapkan kata
“bola”. Ini adalah contoh dari penguatan positif, dalam hal ini karena si anak
mengucapkan kata yang benar. Jika seandainya si anak mengucapkan,
umpamanya, “pola” maka pengasuhnya tidak akan memberikan bola. Dengan
tidak memberikan bola berarti terjadi penguatan negatif.
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 7
Karena hadiah atau penguatan positif maka si anak teransang dan berani
menucapkan kata “bola” lagi, dan lagi si anak diberikan bola untuk bermain.
Sehingga pada akhirnya si anak mengassosiasikan objek tersebut dengan kata
“bola”
Proses berulang hingga pengucapan kata dan assosiasinya (“bola”) menjadi
suatu kebiasaan. Anak, kemudian, belajar kata “bola” dan maknanya.
Sebaliknya, jika dia mengucapkan kata “pola”, penguatan negatif akan
membuat dia tidak mengucapkannya lagi – dengan demikian tidak akan
terbentuk suatu kebiasaan (sebagai pilihan, Anda dapat menjelaskan bahwa
kata “pola” tidak punya hubungan dengan benda tersebut yang disebut “bola”)
Singkatnya, gambar di bawah ini dapat memperlihatkan proses pemerolehan bahasa
menurut ahli behaviorisme.
Gambar : Kondisi pelaksanaan behavioris
Penting untuk dikemukakan bahwa ada tiga asumsi pemerolehan bahasa menurut
behaviorist adalah pertama manusia ketika baru lahir seperti kertas kosong atau dalam
bahasa Latin disebut sebagai tabula rasa. Dengan kata lain, faktor penting dalam
pembelajaran adalah faktor lingkungan, dan anak-anak belajar dari lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak mendengar bahasa dan
respons dari lingkungannya sehingga proses pembelajaran terjadi.
Asumsi berikutnya adalah manusia itu dianggap bereaksi terhadap lingkungannya
kurang lebih sama dengan binatang. Hal ini dapat dilihat dari penelitian-penelitian yang
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 8
“stimulasi” IMITASI(RESPONS)
Penghargaan (penguatan) Diulang-ulang penguatan diulang…. PEMBIASAAN = BELAJAR
Pencelaan (hukuman) Tak ada pengulangan STOP TIDAK BELAJAR
dilakukan oleh Behaviorist seperti Skinner (1904-1990), yang meneliti tingkah laku tikus;
Ivan Pavlov (1849-1936) yang meneliti anjingnya: bagaimana anjing mengeluarkan air
liur setiap kali mendengar lonceng; John Watson (1878-1958), yang terinspirasi oleh
Pavlov kemudian meneliti binatang dan tingkah laku anak. Hasil dari penelitian-
penelitian tersebut membuat mereka merumuskan teori terhadap tingkah laku manusia.
Terakhir, kaum behaviorists berdasarkan pada teori strukturalists Amerika dalam
memandang bahasa, yakni bahasa tersusun secara konsisten dalam suatu pola formal.
Oleh karena itu, belajar bahasa berarti kemampuan memproduksi pola-pola formal ini
secara benar dalam suatu pembentukan kebiasaan.
0.5 Behaviorisme dan Pemerolehan Bahasa Kedua
Kaum behaviorisme percaya bahwa manusia belajar bahasa baru sama prinsipnya
dengan anak-anak belajar bahasa pertama, yakni dengan cara pembentukan kebiasaan
melalui hukuman (pencelaan) dan hadiah (penghargaan). Akan tetapi, mereka
menyadari bahwa pemerolehan bahasa kedua, secara logika, tidak sama dengan
bahasa pertama. Orang yang belajar bahasa kedua tidak lagi tabula rasa. Bahasa
pertama yang telah dipelajari sudah menjadi kebiasaan. Bila bahasa baru yang akan
dipelajari mirip secara struktur dengan bahasa pertama tidak akan menjadi soal.
Sebaliknya, bila berbeda maka di sinilah akan timbul persoalan yakni pemindahan
struktur bahasa pertama dan interferensi (L1 transfer and interference). Misalnya,
orang Indonesia belajar bahasa Inggris, biasanya selalu mengalami kesulitan dalam
menempatkan ajektiva karena posisi ajektiva dalam bahasa Indonesia terletak sesudah
nomina sedang dalam bahasa Inggris sebelum nomina. “love story” atau “story love”
biasanya jadi pertanyaan bagi penutur Indonesia.
Berdasarkan prinsip umum di atas, behavioris menyarankan bahwa dalam
pembelajaran bahasa kedua, bahan ajar disusun dalam suatu bagian-bagian kecil
sehingga dapat terbentuk pembiasaan bahasa yang baik. Misalnya, Good
(morning/afernoon/night/etc). He (plays/works/sleeps/goes/etc.) at (7 oc’lock/half
past eight/etc).
Tujuan pembelajaran bagi pelajar adalah membentuk suatu pola bahasa menjadi
kebiasaan mekanis melalui imitasi dan pengulangan. Guru memegang peranan
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 9
penting dalam hal ini karena menyediakan stimulasi yang diperlukan dengan
menyajikan model bahasa. Pelajar kemudian bereaksi dengan mengulang atau
mengganti vocabulary yang disediakan guru. Setelah itu, guru memberikan penguatan
dengan memberikan penghargaan bila pelajar mengulang atau membentuk kalimat
dengan benar. Sebaliknya, guru mencela (hukuman) bila pelajar melakukan
kesalahan. Ketika guru sudah yakin bahwa pelajar sudah dapat memproduksi pola
dengan benar, maka dia kemudian memberikan latihan-latihan lebih lanjut sehingga
pelajar mampu memproduksi kalimat-kalimat berdasarkan pola tidak hanya benar tapi
juga otomatis. Cara pembelajaran seperti ini dikenal dengan pola 3 P yakni
presentation, practice, and production. Pembelajaran yang diset dengan
menggunakan pola ini biasanya disebut menggunakan Audiolingual Approach.
0.6 Evaluasi Behaviorisme dalam Pembelajarn
Bahasa Kedua
Mungkin Anda familiar dengan pendekatan ini dalam pembelajaran bahasa. Atau
mungkin Anda menggunakannya saat ini, atau di masa yang lalu. Hal tersebut tidak
mengherankan sebab pendekatan ini sangat berpengaruh dalam dunia pembelajaran
bahasa di seluruh dunia. Adapun spesifikasi-spesifikasi dari pendekatan ini adalah
sebagai berikut.
Pendekatan audiolingual sangat praktis. Sebuah metode mudah bagi guru untuk
belajar secara cepat sebab langkah-langkahnya sangat sederhana dan dapat diduga:
mengemukakan pola-pola bahasa, melatihnya, kemudian mengulangnya. Juga mudah
menulis buku-buku latihan sehingga guru dapat menggunakannya secara mekanis.
Guru tidak perlu cemas terhadap hal-hal yang tidak diharapkan muncul selama
pembelajaran karena setiap sessi pembelajaran akan terstruktur dengan baik. Guru
juga, dengan demikian, dapat mengajarkannya walau tidak menguasai bahasa target
dengan baik.
Singkatnya, teori behavioris telah menawarkan pada guru-guru bahasa suatu
pendekatan sistematis dan praktis dalam pengajarannya. Yang lebih penting lagi, teori
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 10
ini menawarkan fondasi penjelasan psikologis bagaimana manusia belajar bahasa.
Pembelajaran tidak hanya melulu berdasarkan intuisi dan pengalaman.
Teori ini juga berfokus pada hal-hal yang dapat diobservasi dengan penekanan
pada lingkungan di mana guru dan orang tua memegang peranan penting dalam
penerapan kondisi pembelajaran sehingga memunculkan/mengembangkan semangat
belajar. Misalnya seorang anak berjalan bersama ibunya dan melewati sebuah gedung
yang memiliki atap unik ciri khas sebuah masjid. Si anak kemudian bertanya: “Ibu,
itu apa namanya?” “Itu masjid namanya, sayang” jawab si ibu. Kemudian si anak
terangsang bertanya lebih lanjut, “Apa itu masjid, bu?”. “Tempat orang berdoa dan
sholat bagi orang yang beragama Islam” Jawab si Ibu. Bandingkan bila jawaban ibu
atas pertanyaan yang sama menjawab “Itu kan hanya sebuah gedung biasa. Kenapa
sih tanya-tanya?”
Terakhir, dalam ide penguatan positif dan penguatan negatif pembelajaran bahasa
sebagai suatu alat pembentukan tingkah laku manusia, behaviorisme
memperkenalkan pentingnya motivasi dan feedback dalam pembelajaran. Walaupun
ini adalah sesuatu issu yang kompleks tetapi behaviorist memahami bahwa
penguatan adalah sesuatu yang berharga dan pembelajaran tidak dapat berjalan tanpa
adanya motivasi dan feedback.
Di antara spesifikasi-spesifikasi yang telah dikemukakan di atas, muncul beberapa
pertanyaan sehubungan dengan asumsi yang telah dikemukakannya seperti berikut.
i. kepercayaan bahwa manusia memulai hidup sebagai
tabula rasa. Kita melihat dalam kehidupan sehari-hari dan belajar dari
hasil penelitian bahwa manusia itu memiliki kemampuan dasar dalam
belajar tentang dunia dan bagaimana melakukan sesuatu. Contohnya,
manusia memiliki kemampuan mengerti dan memproduksi bahasa
walaupun bahasa tersebut belum pernah di dengarnya.
ii. Penekanannya bahwa manusia mirip dengan binatang
banyak mengundang perdebatan. Manusia memiliki akal (misalnya:
membuat alasan-alasan) dan dapat membuat pilihan-pilihan.
Selanjutnya, manusia tidak bereaksi secara mekanis terhadap
ransangan seperti ahli-ahli behavioris katakan.
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 11
iii. Hanya mengajarkan pola-pola bahasa yang dapat
diobservasi dan gagal menjelaskan bagaimana makna berhubungan
dengan bahasa.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, behaviorisme tidak menaruh perhatian pada
pelajar sebagai individual dan sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, walaupun
pendekatan ini digunakan dalam pembelajaran, teori ini gagal menjelaskan mengapa ada
yang sukses dan ada yang gagal dalam belajar bahasa.
Sehubungan dengan proses pembelajaran, ahli behaviorists hanya memperhatikan
apa yang tampak dan mengabaikan hal-hal yang berlangsung dalam pikiran. Padahal,
kita secara fundamental percaya bahwa belajar melibatkan pikiran, dan perasaan;
melibatkan proses kognitif dan mental. Bahkan proses internal merupakan hal-hal yang
esensial dalam pembelajaran.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukan di atas, implikasi teori
behaviorisme dalam pembelajaran bahasa melahirkan akibat negatif seperti berikut.
i. Pendekatan ini akan melahirkan pelajar pasif karena pelajar hanya
bereaksi terhadap instruksi guru. Mereka tidak terangsang untuk
berpikir tentang bahasa, mengembangkan strategi sendiri dalam belajar
secara efektif, dan bertanggungjawab secara penuh terhadap model
pembelajarannya.
ii. Tidak melahirkan kreatifitas penggunaan bahasa karena pelajar hanya
berfokus pada bahasa yang dikontrol guru. Selajutnya, penekanan yang
sifatnya selalu mengoreksi bentuk salah akan mengecilkan hati pelajar
untuk mengambil resiko kesalahan dalam belajar.
iii. Karena sedikit perhatian terhadap makna, maka pelajar tidak tertolong
untuk menggunakan bahasa dalam berkomunikasi secara nyata dimana
makna merupakan hal yang penting. Selanjutnya, pelajar akan jadi
pemalu dalam menggunakan bahasanya.
iv. Tidak ada tempat untuk berkomunikasi secara nyata antara pelajar
dengan pelajar; antara pelajar dan guru.
Demikianlah ulasan singkat terhadap teori behaviorisme, cara menerapkan, dan
evaluasi terhadap penggunaannya dalam kelas pembelajaran bahasa. Mungkin hal-hal
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 12
yang dikemukakan dalam makalah ini dapat menjadi masukan berharga sebagai bahan
pertimbangan dalam pembelajaran.
References
Benedict Lin, 2004. Language Acquisition: Social and Psychological Dimensions. RELC Singapore.
Brian Tomlinson and Hitomi Masuhara, 2004. Developing Language Course Materials. RELC Portfolio Series 11.
Doff, Addrian and Cristopher Jones. 1999. Language In Use. For Beginner. Cambridge University Press.
Ellis, R. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Hadfield, Jill. 1999. Beginners’ Communication Games. Longman
Kevin Wheldall and Ted Glynn, 1989. Effective Classroom Learning: Theory and Practice. Basil Blackwell Inc.
Krashen D. Stephen and Tracy D. Terrel. 1983. The Natural Approach: Language Acquisition in the Classroom. Pergamon Press: Oxford, New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt. Alemany Press: San Fransisco.
Lightbown, P.M. and Spada, N. 1993. How Languages are learned. Oxford: Oxford University Press.
-------------, Patsky M., and Nina Spada. 2000. How Languages are Learned. Revised Edition. Oxford.
McNaughton, S. S., Glynn, T. and Robinson, V. (1987). Pause, Prompt and Praise: Effective tutoring for remedial reading. Birmingham: Positive Products.
-----------------------
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 13
(*) Gusnawaty, dosen Fakultas Sastra UNHAS Page 14
top related