na susunan perangkat daerah gianyar final karma …
Post on 23-Oct-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
GIANYAR TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN
PERANGKAT DAERAH
KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR DAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2016
KATA PENGANTAR
Pemerintah Kabupaten Gianyar bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Udayana untuk menyusun Naskah Akademis Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah. Berdasarkan kerjasama tersebut Fakultas Hukum
Universitas Udayana membentuk tim peneliti yang bertugas melakukan
penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik.
Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum tidak menutup,
bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari pembaca, untuk
penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi publik, masukan dari
masyarakat sangat diperlukan dalam penyempurnaan Naskah Akademik
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum Universitas
Udayana dan Pemerintah Kabupaten Gianyar, sehingga Tim Peneliti
mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya. Terimakasih
juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas
ini dapat diselesaikan.
Denpasar, Agustus 2016
Tim Peneliti FH-UNUD
Ketua,
Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn
Kata Pengantar
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah .................................................................... 14
1.3 Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan NA ......................... 15
1.4 Metode Penelitian Penyusunan Naskah Akademik ....................... 15
BAB II Kajian Teoritis ............................................................................... 17
BAB III Ealuasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dan yang terkait ................................................................ 30
BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis ................................... 36
4.1 Landasan Filosofis ...................................................................... 36
4.2 Landasan Sosiologis .................................................................... 45
4.3 Landasan Yuridis ........................................................................ 68
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP ........... 95
5.1 Jangkauan dan Arah Pengaturan ................................................ 95
5.2 Ruang Lingkup dan Jangkauan Pengaturan Pembentukan Dan
Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar ......................... 95
BAB VI PENUTUP..................................................................................... 102
6.1 Simpulan .................................................................................... 102
6.2 Saran .......................................................................................... 103
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,
Secara Konstitusional dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum, salah satu syarat negara hukum
adalah asas legalitas (tindakan pemerintah berdasarkan hukum) dan
supremasi hukum. Syarat ini memberikan justifikasi yuridis bahwa hukum
merupakan legitimasi bagi pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah
untuk melakukan berbagai kebijakan yang dilakukan. Dengan kata lain
hukum merupakan syarat utama bagi keabsahan tindakan pemerintah pusat
atau daerah. Berangkat dari pemahaman ini, segala aktivitas yang dilakukan
oleh pemerintah daerah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Adapun
dasar instrumen hukum bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
tugasnya dijamin secara konstitusional dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menentukan:
(2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan Pemerintah.
Cita-cita tentang prinsip desentralisasi dalam pengelolaan sistem
pemerintahan negara Republik Indonesia yang termuat dalam ketentuan di
2
atas secara implisit diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 jo Undang-Undang
No.9 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Esensi dari penyelenggaraan otonomi daerah yakni dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 12 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas UU No. 23 Tahun 2014, menentukan bahwa: Urusan Pemerintahan Wajib
yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan;
3
q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
meliputi:
a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan; e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
Semua urusan pemerintahan tersebut merupakan bagian dari kewajiban dari
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Akan tetapi dalam penyelenggaraan
tersebut dilakukan melalui organisasi dan perangkat daerah dalam menunjang
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Secara yuridis penyelenggaraan otonomi daerah, diselenggarakan dalam
rangka memperkuat negara kesatuan Republik Indonesia, selain itu guna
proses peningkatan kesejahteraan rakyat. Cita-cita nasional Indonesia yang
dirumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam
rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berkaitan dengan unsur ”melindungi segenap bangsa” (sebagaimana
digaris bawahi) yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar NRI
4
Tahun 1945, menunjukkan bahwa tujuan negara Indonesia adalah melindungi
setiap orang. Sehingga korelasi dengan tema sentral dalam tulisan ini adalah
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dalam menunjang
penyelenggaraan otonomi daerah.
Bila merujuk pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2014, Otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian secara yuridis diberikan keleluasaan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar untuk mengambil kebijakan dalam
rangka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Konsekuensi negara hukum yang dijamin secara konstitusional,
menekankan eksistensi negara adalah untuk menghomati, melindungi dan
memenuhi hak asasi manusia (HAM) setiap warganya. Dalam hal ini
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dalam rangka memenuhi,
memajukan hak asasi manusia (HAM) tersebut.
Secara faktual, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah yang ada saat ini adalah
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008
5
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah. Peraturan daerah
tersebut, masih bersumber pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sedangkan sejak tahun 2014 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan
dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah.
Terdapat beberapa ketentuan dalam Perangkat Daerah yang diatur
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sehingga dapat dijadikan rujukan dalam pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut diantaranya:
1. Pasal 208: (1) Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah. (2) Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh
pegawai aparatur sipil negara.
2. Pasal 209 (1) Perangkat Daerah provinsi terdiri atas:
a. sekretariat daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d. dinas; dan e. badan.
(2) Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: a. sekretariat daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d. dinas; e. badan; dan f. Kecamatan.
(3) Perangkat Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) selain melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah juga melaksanakan Tugas Pembantuan.
3. Pasal 210 :
6
Hubungan kerja Perangkat Daerah provinsi dengan Perangkat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) bersifat koordinatif dan fungsional.
4. Pasal 211 (1) Pembinaan dan pengendalian penataan Perangkat Daerah dilakukan
oleh Pemerintah Pusat untuk Daerah provinsi dan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk Daerah kabupaten/kota.
(2) Nomenklatur Perangkat Daerah dan unit kerja pada Perangkat Daerah yang melaksanakan Urusan Pemerintahan dibuat dengan memperhatikan pedoman dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi Urusan Pemerintahan tersebut.
5. Pasal 212 (1) Pembentukan dan susunan Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku setelah mendapat persetujuan dari Menteri bagi Perangkat Daerah provinsi dan dari gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat bagi Perangkat Daerah kabupaten/kota.
(3) Persetujuan Menteri atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan pemetaan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(4) Kedudukan, susunan organisasi, perincian tugas dan fungsi, serta tata kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perkada.
6. Pasal 213 (1) Sekretariat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf a dan ayat (2) huruf a dipimpin oleh sekretaris Daerah. (2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
7. Pasal 214 (1) Apabila sekretaris Daerah provinsi berhalangan melaksanakan
tugasnya, tugas sekretaris Daerah provinsi dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atas persetujuan Menteri.
(2) Apabila sekretaris Daerah kabupaten/kota berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh bupati/wali kota atas persetujuan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
7
(3) Masa jabatan penjabat sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 6 (enam) bulan dalam hal sekretaris Daerah tidak bisa melaksanakan tugas atau paling lama 3 (tiga) bulan dalam hal terjadi kekosongan sekretaris Daerah.
(4) Persetujuan Menteri dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan persyaratan kepegawaian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjabat sekretaris Daerah diatur dalam Peraturan Presiden.
8. Pasal 215 (1) Sekretariat DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf b dan ayat (2) huruf b dipimpin oleh sekretaris DPRD. (2) Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan; b. menyelenggarakan administrasi keuangan; c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan d. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan
oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kebutuhan.
(3) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.
9. Pasal 216 (1) Inspektorat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf c dipimpin oleh inspektur. (2) Inspektorat Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah
membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan oleh Perangkat Daerah.
(3) Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.
10. Pasal 217: (1) Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf d dan
ayat (2) huruf d dibentuk untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan atas: a. dinas tipe A yang dibentuk untuk mewadahi Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang besar;
b. dinas tipe B yang dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang sedang; dan
8
c. dinas tipe C yang dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang kecil.
(3) Penentuan beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, besaran masing-masing Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan kemampuan keuangan Daerah untuk Urusan Pemerintahan Wajib dan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan untuk Urusan Pemerintahan Pilihan.
11. Pasal 218 (1) Dinas sebagaimana dimaksud dalam pasal 209 ayat (1) huruf d dan
ayat (2) huruf d dipimpin oleh seorang kepala. (2) Kepala dinas mempunyai tugas membantu kepala daerah
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Kepala dinas dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.
12. Pasal 219
(1) Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi: a. perencanaan; b. keuangan; c. kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan; d. penelitian dan pengembangan; dan e. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. (2) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan atas:
a. badan tipe A yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang besar;
b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang sedang; dan
c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang kecil.
(3) Penentuan beban kerja badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan keuangan Daerah, dan cakupan tugas.
13. Pasal 220
(1) Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dipimpin oleh seorang kepala.
(2) Kepala badan mempunyai tugas membantu kepala daerah melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
9
(3) Kepala badan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.
14. Pasal 221
(1) Daerah kabupaten/kota membentuk Kecamatan dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat Desa/kelurahan.
(2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman pada peraturan pemerintah.
(3) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan Kecamatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota, sebelum ditetapkan oleh bupati/ wali kota disampaikan kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mendapat persetujuan.
15. Pasal 222
(1) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud Pasal 221 ayat (1) harus memenuhi persyaratan dasar, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif.
(2) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. jumlah penduduk minimal; b. luas wilayah minimal; c. jumlah minimal Desa/kelurahan yang menjadi cakupan; dan d. usia minimal Kecamatan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kemampuan keuangan Daerah; b. sarana dan prasarana pemerintahan; dan c. persyaratan teknis lainnya yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. (4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: a. kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan forum
komunikasi kelurahan atau nama lain di Kecamatan induk; dan b. kesepakatan musyawarah Desa dan/atau keputusan forum
komunikasi kelurahan atau nama lain di wilayah Kecamatan yang akan dibentuk.
16. Pasal 223
(1) Kecamatan diklasifikasikan atas: a. Kecamatan tipe A yang dibentuk untuk Kecamatan dengan beban
kerja yang besar; dan b. Kecamatan tipe B yang dibentuk untuk Kecamatan dengan beban
kerja yang kecil. (2) Penentuan beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah Desa/kelurahan.
10
17. Pasal 224
(1) Kecamatan dipimpin oleh seorang kepala kecamatan yang disebut camat yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris Daerah.
(2) Bupati/wali kota wajib mengangkat camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengangkatan camat yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibatalkan keputusan pengangkatannya oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
18. Pasal 225
(1) Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) mempunyai tugas: a. menyelenggaraan urusan pemerintahan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6); b. mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; c. mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum; d. mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada; e. mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan
umum; f. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh Perangkat Daerah di Kecamatan; g. membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa
dan/atau kelurahan; h. melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan
i. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibebankan pada APBN dan pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i dibebankan kepada yang menugasi.
(3) Camat dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh perangkat Kecamatan.
19. Pasal 226
(1) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1), camat mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan bupati/wali kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
11
(2) Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/atau kebutuhan masyarakat pada Kecamatan yang bersangkutan.
(3) Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan bupati/wali kota berpedoman pada peraturan pemerintah.
20. Pasal 227 Pendanaan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan yang dilakukan oleh camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h serta Pasal 226 ayat (1) dibebankan pada APBD kabupaten/kota.
21. Pasal 228
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kecamatan diatur dengan peraturan pemerintah.
22. Pasal 229 (1) Kelurahan dibentuk dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman
pada peraturan pemerintah. (2) Kelurahan dipimpin oleh seorang kepala kelurahan yang disebut
lurah selaku perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada camat.
(3) Lurah diangkat oleh bupati/wali kota atas usul sekretaris daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Lurah mempunyai tugas membantu camat dalam: a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan; b. melakukan pemberdayaan masyarakat; c. melaksanakan pelayanan masyarakat; d. memelihara ketenteraman dan ketertiban umum; e. memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum; f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat; dan g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
23. Pasal 230 (1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota mengalokasikan anggaran
dalam APBD kabupaten/kota untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan.
(2) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimasukkan ke dalam anggaran Kecamatan pada bagian anggaran kelurahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penentuan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan
12
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui musyawarah pembangunan kelurahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk Daerah kota yang tidak memiliki Desa, alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 5 (lima) persen dari APBD setelah dikurangi DAK.
(5) Untuk Daerah kota yang memiliki Desa, alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian, pemanfaatan, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kelurahan serta penyelenggaraan musyawarah pembangunan kelurahan diatur dalam peraturan pemerintah.
24. Pasal 231 Dalam hal ketentuan peraturan perundang-undangan memerintahkan pembentukan lembaga tertentu di Daerah, lembaga tersebut dijadikan bagian dari Perangkat Daerah yang ada setelah dikonsultasikan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang pendayagunaan aparatur negara.
25. Pasal 232 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perangkat Daerah diatur dengan
peraturan pemerintah. (2) Peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit mengatur tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi, tata kerja, eselon, beban kerja, nomenklatur unit kerja, serta pembinaan dan pengendalian.
26. Pasal 233
(1) Pegawai aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yang menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah, harus memenuhi persyaratan kompetensi: a. teknis; b. manajerial; dan c. sosial kultural.
(2) Selain memenuhi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pegawai aparatur sipil negara yang menduduki jabatan kepala Perangkat Daerah harus memenuhi kompetensi pemerintahan.
(3) Kompetensi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian setelah dikoordinasikan dengan Menteri.
(4) Kompetensi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pegawai aparatur sipil negara
13
yang menduduki jabatan administrator di bawah kepala Perangkat Daerah dan jabatan pengawas.
27. Pasal 234 (1) Kepala Perangkat Daerah provinsi diisi dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertugas di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan, kepala perangkat daerah kabupaten/kota dapat diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan yang bertugas di wilayah Daerah provinsi lain.
(4) Proses pengangkatan kepala Perangkat Daerah yang menduduki jabatan administrator dilakukan melalui seleksi sesuai dengan proses seleksi bagi jabatan pimpinan tinggi pratama di instansi Daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai aparatur sipil negara.
28. Pasal 235
(1) Kepala daerah mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah hasil seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (4).
(2) Dalam hal kepala Daerah menolak mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah provinsi dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota.
Ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan tersebut ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah No. 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Tentunya konsekuensi dari
keberadaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 2016 ini mengharuskan adanya penyesuaian dari peraturan
daerah terhadap aturan lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain perlunya
14
harmonisasi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dilakukan identifikasi
masalah, yakni bahwa belum ada penyesuaian Peraturan Daerah Kabupaten
Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah terhadap
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Berdasarkan pada identifikasi masalah tersebut dapat dirumuskan 3
(tiga) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Urgensi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah?
2. Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah?
3. Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah?
15
1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
2. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
3. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan
penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
1.4. METODE PENELITIAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik ini yang pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian penyusunan Naskah Akademik - digunakan metode
yang berbasiskan metode penelitian hukum. Metode penelitian hukum yang
digunakan dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini melalui cara-
cara sebagai berikut:
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis teks hukum yaitu pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik (kebijakan negara) secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum (terutama dalam hal ini adalah perempuan dan anak korban kekerasan).
2. Melakukan studi kontekstual, yakni mengaitkan dengan konteks saat peraturan perundang-undangan itu dibuat ataupun ditafsirkan dalam rangka pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
16
Intinya, metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
penyusunan Naskah Akademik ini berada dalam paradigma interpretivisme
terkait dengan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum pada intinya
adalah metode interpretasi atas teks hukum, yang menampilkan segi tersurat
yakni bunyi teks hukum dan segi tersirat yang merupakan gagasan yang ada
di belakang teks hukum itu. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman
yang utuh tentang makna teks hukum itu perlu memahami gagasan yang
melatari pembentukan teks hukum dan wawasan konteks kekinian saat teks
hukum itu diterapkan atau ditafsirkan. Kebenaran dalam ilmu hukum
merupakan kebenaran intersubjektivitas, oleh karena itu penting melakukan
konfirmasi dan konfrontasi dengan teori, konsep, serta pemikiran para sarjana
yang mempunyai otoritas di bidang keilmuannya berkenaan dengan tematik
penelitian penyusunan Naskah Akademik ini.1
1 Diadaptasi dari Gede Marhaendra Wija Atmaja, “Politik Pluralisme Hukum dalam
Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor,
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2012, hlm. 17-18
17
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. KAJIAN TEORITIS
Pada bagian kajian teoritis ini akan mengedepankan beberapa teori,
konsep dan asas sebagai jastifikasi teoritis perlunya pengaturan tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Adapun teori, konsep dan asas
diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Perundang-undangan
A. Hamid S. Attamimi 2 mengatakan teori perundang-undangan
berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat
kognitif. Pemikiran ini menekankan pada memahami hal-hal yang
mendasar. Oleh sebab itu dalam membuat peraturan daerah, harus
dipahami dahulu kharakter norma dan fungsi peraturan daerah tersebut.
Peraturan daerah merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 1
angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
2 A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu
Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15.
18
Eksistensi peraturan daerah implementasi Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar NRI 1945, yang menggunakan frasa “dibagi atas”, lebih lanjut
diatur sebagai berikut :
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang
diatur dengan undang-undang.
Frasa dibagi atas ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara terdistribusi
ke daerah-daerah, sehingga memberikan kekuasaan kepada daerah untuk
mengatur rumah tangganya. Karenanya hal ini menunjukkan pemerintah
daerah memiliki fungsi regeling (mengatur). Dengan fungsi tersebut, dilihat
dari sudut pandang “asas legalitas” (tindak tanduk pemerintah berdasarkan
hukum) memperlihatkan adanya kewenangan pemerintah daerah untuk
membentuk peraturan daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengartikan
Peraturan Daerah Kabupaten adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dengan
persetujuan bersama Bupati.
Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory
laws” atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama
(primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya
primary legislations juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary
dikenal dengan istilah ”executive acts”, delegated legislations atau subordinate
19
legislations.3 Peraturan daerah merupakan karakter dari legislative acts, sama
halnya dengan undang-undang. Oleh sebab itu hanya peraturan daerah dan
undang-undang saja yang dapat memuat sanksi.
2. Teori Penjenjangan Norma
Teori penjenjangan norma (Stufenbau des rechts), menurut Hans Kelsen4
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).
Selain Hans Kelsen, Hans Nawiasky juga mengklasifikasikan norma
hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu Staatsfundamentalnorms
(Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara),
Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung & Autonoe Satzung
(Aturan pelaksana dan Aturan otonom).5
Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia dipengaruhi oleh
pemikiran Hans Kelsen, khususnya pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.
3 Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 10 4 Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta, h.25 5 Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287
20
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menentukan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Kabupaten; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pengaturan demikian menunjukkan peraturan dibawah tidak boleh
bertentangan dengan yang lebih tinggi atau dengan kata lain peraturan
dibawah bersumber pada aturan yang lebih tinggi. Melihat ketentuan diatas
Peraturan Daerah Kabupaten pada huruf g, sehingga pembentukannya harus
mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada
huruf a sampai dengan f.
3. Konsep Negara Hukum
Indonesia yang merupakan negara hukum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945, mengedepankan hak asasi
manusia sebagai salah satu elemen penting, selain eksistensi peraturan
perundang-undangan. Dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dan
Anglo Saxon (Common Law), memiliki unsur yang sama, yakni perlindungan
hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, pengakuan akan “negara hukum”
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 perlu dikaitkan dengan Pasal 28 I ayat
(5) Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan:
21
Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-
undangan.
Secara teori, pemikiran “negara hukum” Eropa Kontinental dimulai oleh
pemikiran Imanuel Kant, kemudian dikembangkan oleh J.F Stahl. Pemikiran
negara hukum tersebut, dipengaruhi oleh pemikiran Ekonom Adam Smith saat
itu. Julius Friedrich Stahl, mengemukakan 4 unsur sebagai ciri negara
hukum, yakni :
1. Tindakan pemerintah berdasarkan Undang-undang (Legalitas)
2. Perlindungan HAM,
3. Pemisahan Kekuasaan,
4. Adanya peradilan administrasi6.
Ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl
dalam menguraikan “Konsep Negara Hukum” (Rechtstaat), yang berbeda
dengan konsep negara hukum Anglo Saxon yakni The Rule of Law. Secara
Konseptual “the rule of law” Dalam Dictionary of Law, diartikan principle of
government that all persons and bodies and the government itself are equal
before and answerable to the law and that no person shall be punished without
6 Moh. Mahfud MD, 1993, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Jogjakarta,
h.28
22
trial.7 Kemudian oleh A.V Dicey yang mengemukakan mengenai unsur-unsur
konsep The Rule of law, yakni;
(1) supremacy of law,
(2) equality before the law,
(3) the constitution based on individual rights.8
Terlepas perkembangan pemikiran negara hukum sudah banyak
berkembang, dengan berbagai gagasan-gagasannya. Akan tetapi yang menarik
dalam 2 (dua) sistem hukum tersebut adalah asas legalitas atau supremasi
hukum dan perlindungan HAM. Bagi negara Indonesia yang menganut pola
kodifikasi maka jaminan pemenuhan, penegakan, perlindungan HAM harus
dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan Pasal
28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI 1945.
Pemikiran negara hukum ini menjadi jastifikasi teoritis dalam
pembentukan Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah. Dikarenakan eksistensi negara hukum menempatkan asas
legalitas sebagai unsure utama yang menekankan tindakan pemerintahan
harus berdasarkan hukum maka di perlukan pengaturan perangkat daerah di
Kabupaten Gianyar. Hal ini dimaksudkan memberikan legalitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah guna memenuhi, menjamin dan
melindungi hak asasi manusia (HAM). Berkenaan dengan asas legalitas dalam
negara hukum “rechtstaat”, maka bentuk perlindungan itu harus diatur dalam
7 PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc,
London. P.266 8 A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth
edition, London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187
23
instrument hukum di daerah berupa Peraturan Daerah. Dengan demikian
adanya legitimasi hukum bagi pemerintah daerah dalam melakukan upaya
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.
4. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Secara yuridis Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
dituangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, meliputi:
a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Yang dimaksud “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat, bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
yang berwenang. Peraturan Perundang-Undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang
tidak berwenang.
Kemudian “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis
24
dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. “Asas dapat dilaksanakan”
adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-Undangan tersebut di
dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Selanjutnya yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-Undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan
“asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-
Undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-Undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. “Asas keterbukaan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dari asas-asas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut jika
digunakan untuk mengkaji Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah maka dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
25
(1) Asas Kejelasan Tujuan, bahwa tujuan dari Peraturan Daerah tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah adalah pengaturan
pembentukan perangkat daerah di Kabupaten Gianyar.
(2) Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang tepat, bahwa Peraturan
Daerah tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah dibentuk
oleh Bupati dan DPRD Kabupaten Gianyar.
(3) Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, bahwa
pembentukan Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah, memperhatikan jenis, hirarki dan materi muatan.
(4) Dapat dilaksanakan, alasan filosofis perlunya Peraturan Daerah
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah ini
dimaksudkan untuk memberikan keabsahan dalam pembentukan
perangkat daerah di kabupaten Gianyar.
(5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa Peraturan Daerah tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah berdayaguna dan
berhasilguna untuk memberikan pedoman dalam penyusunan dan
pembentukan perangkat daerah di kabupaten Gianyar.
(6) Kejelasan rumusan, bahwa pembentukan Peraturan Daerah ini
memperhatikan sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
26
(7) Keterbukaan, Pembentukan Peraturan daerah ini mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan,
dan pengundangan bersifat transparan dan partisipatif.
Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas ini yang menjadi pedoman bagi pembentukan Peraturan
Daerah tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Penjabaran
asas-asas Pasal 6 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah:
a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
27
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.
e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Yang dimaksud dengan “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah bahwa
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
28
g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara.
h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku,
ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Dengan demikian dalam penyusunan Peraturan Daerah tentang Pembentukan
dan Susunan Perangkat Daerah, asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut dijadikan pedoman dalam perumusannya.
Penyusunan Ranperda Kabupaten Gianyar didasarkan pada asas-asas
tersebut di atas, baik asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik yang formal dan materiil, maupun asas yang termuat dalam UU
29
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Ada satu asas yang relevan
untuk diperhatikan dalam pembentukan Peraturan Daerah tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Asas tersebut adalah asas
ketertiban dan kepastian hukum.
30
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENJADI DASAR HUKUM DAN YANG TERKAIT
Bab III yang berjudul tentang Evaluasi dan Analisis Peraturan
Perundang-undangan ini, menekankan pada upaya untuk menghindari konflik
norma ketika peraturan daerah ini dilaksanakan. Judul tersebut
menampakkan 2 proposisi, yakni Analisis Peraturan Perundang-undangan dan
Evaluasi Peraturan Perundang-undangan. Secara gramatikal, “analisis”
diartikan sebagai berikut:9
a. penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk
perkaranya, dsb);
b. penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan
bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan;
c. penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat
bagiannya dsb; penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya;
d. pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya;
Keempat pengertian di atas, mendeskripsikan tentang konsep “analisis atau
analisa” itu sendiri. Huruf a dan b, merupakan deskripsi yang tepat sebagai
kajian guna mencari esensi sumber dari aturan yang akan dibuat dengan
mendasarkan pada aturan yang lebih tinggi. Mengenai “evaluasi” secara
9 Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 58
31
gramatikal berarti penilaian. 10 Tindakan melakukan penilaian terhadap
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan menilai apakah rancangan
peraturan daerah yang akan dibentuk ini bertentangan atau tidak dengan
aturan yang lebih tinggi.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyusunan Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah, adalah :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655)
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); Sebagaimana telah diubah beberapa kali dan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5679);
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887)
Ketentuan dan peraturan perundang-undangan diatas memiliki
keterkaitan dengan rancangan peraturan daerah Kabupaten Gianyar tentang
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Guna menjamin harmonisasi
10 Ibid, h. 384
32
dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Maka akan dijabarkan lebih lanjut analisa dan evaluasi peraturan perundang-
undangan tersebut.
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945, menentukan Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Hak yang diberikan
oleh konstitusi itu merupakan bentuk dari pembagian negara yang diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945, yang menentukan :
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, maka Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar berhak membentuk Peraturan Daerah tentang Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah.
2. Undang-Undang No. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-
Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur
Pasal 1. (1) Wilayah : 1. Daerah Swapraja Buleleng. 2. Daerah Swapraja Jembrana; 3. Daerah Swapraja Badung; 4. Daerah Swapraja Gianyar; 5. Daerah Swapraja Gianyar; 6. Daerah Swapraja Klungkung; 7. Daerah Swapraja Bangli; 8. Daerah Swapraja Karangasem; 1 sampai dengan 8 dimaksud dalam Staatsblad 1946 No. 143 masing-masing dibentuk sebagai daerah-daerah tingkat II, termasuk dalam Daerah tingkat I Bali, dengan diberi nama-nama: 1. Daerah tingkat II Buleleng; 2. Daerah tingkat II Jembrana; 3. Daerah tingkat II Badung; 4. Daerah tingkat II Gianyar; 5. Daerah tingkat II Gianyar; 6. Daerah tingkat II Klungkung;
33
7. Daerah tingkat II Bangli. 8. Daerah Tingkat II Karangasem
Dengan adanya pengaturan dari Undang-Undang No. 69 Tahun 1958
mengenai Daerah tingkat II Gianyar sebagai daerah Swapraja memberikan
legitimasi dari eksistensi kabupaten Gianyar. Dengan demikian, kabupaten
Gianyar memiliki wewenang dalam menetapkan Peraturan Daerah.
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Esensi Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menekankan pada asas
otonomi daerah. Dimana asas otonomi daerah ini bersentuhan dengan hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 208 sampai
dengan 235 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana yang telah diuraikan pada halaman sebelumnya,
memberikan legitimasi kepada pemerintah daerah kabupaten Gianyar untuk
mengatur mengenai susunan dan pembentukan perangkat daerah.
4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 mensyaratkan bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di perlukan Naskah Akademik
yang harus dilampirkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten dan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Disamping itu dalam
pembentukannya harus menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, sebagai pedoman, asas tersebut meliputi:
34
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selain itu ada asas yang dimuat dalam materi muatan dalam sebuah
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas: pengayoman;
kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal
ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan. Dengan demikian pembentukan rancangan peraturan daerah
tentang Susunan dan Pembentukan Perangkat Daerah, harus menggunakan
undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagai dasar.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
Dalam Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah ini, secara khusus dalam Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa
“Pembentukan dan susunan Perangkat Daerah ditetapkan dengan Perda”. Atas
dasar itu Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar memiliki legitimasi dalam
membentuk Peraturan Daerah tentang Susunan dan Pembentukan Perangkat
Daerah. Disamping itu, ketentuan-ketentuan lainnya dalam Peraturan
35
Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah menjadi pedoman
dalam penyusunan Peraturan Daerah tersebut.
36
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1. Landasan Filosofis
Peraturan perundang-undangan diharapkan dapat memenuhi tiga macam
landasan, baik landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Jika ketika
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut hanya bertumpu pada
satu landasan saja, maka peraturan perundang-undangan tersebut kurang
sempurna (tidak sempurna).
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, mengatur bahwa, “Pancasila Merupakan
Sumber Segala Sumber Hukum Negara”. Pancasila sebagai norma dasar
merupakan wujud dari kristalisasi dari cita Bangsa Indonesia. Pancasila
menjiwai seluruh kehidupan Negara hukum Indonesia dan merupakan filsafat
Bangsa Indonesia yang meliputi “de zin van wereld en leven” yaitu makna dari
dunia dan kehidupan bangsa. Segala bidang kegiatan dan tindakan dalam
pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia harus berdasar dan berpangkal
pada Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee). Cita hukum ini diwujudkan
lebih nyata dalam tujuan nasional negara yang secara normatif tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu, membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila,
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan
37
ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social. Seluruh derap langkah penyelenggaraan pemerintahan negara
ditujukan untuk mencapai tujuan nasional negara tersebut, dan strategi
penyelenggaraaan pemerintahan baik pusat maupun pemerintahan daerah
merupakan salah satu kunci yang menentukan jalannya bangsa dan negara
untuk mencapai tujuan nasional, dengan segenap instrumen pemerintahan
yang digerakan secara bersamaan dan serentak.
Berkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, wujud
kewilayahan negara yang luas, masyarakatnya yang multi kultural serta
potensi masing-masing wilayah yang berbeda merupakan alasan ketika sistem
desentralisasi digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi
merupakan penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.
Sistem ini diterapkan merupakan pilihan yang rasional sebagai upaya
menciptakan proses demokratisasi untuk mencapai kesejahteraan di masing-
masing wilayah. Harapannya dengan rentang kendali pemerintah daerah yang
tidak terlampau luas, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dapat
terpenuhi dengan lebih efektif dan efisien.
Untuk pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah dalam
rangka menyikapi dinamika perubahan dalam masyarakat, ada beberapa hal
mendasar yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan fungsi
pemerintahan, pelayananan, kelembagaan, sumber daya manusia, anggaran
dan pengawasan. Penataan terhadap hal-hal yang mendasar tersebut penting
38
untuk dilakukan secara terus menerus berkesinambungan, agar usaha –
usaha pencapaian peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan untuk
menyikapi perubahan dalam masyarakat dan pencapaian tujuan nasional
tampak lebih nyata.
Efektifitas dan efisiensi merupakan salah satu asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik, artinya bahwa
penyelenggaraan pemerintahan tersebut berdasarkan prioritas – prioritas
tertentu dan sesuai dengan kebutuhan riil yang bersifat empiris. Salah satu
hal mendasar yang terkait erat dengan persoalan efektifitas dan efisiensi
adalah kelembagaan dalam pemerintahan daerah. Kenapa demikian, karena
kelembagaan merupakan wadah dari pemerintah daerah menjalankan
fungsinya, kelembagaan merupakan wadah bagi personil atau administratur
negara dalam melaksanakan tugasnya, kelembagaan pula tempat dimana
anggaran dan pelayanan publik pemerintah daerah dijalankan. Kelembagaan
pemerintah daerah mempunyai fungsi yang sentral yang memberikan
kejelasan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian maka penataan terhadap
kelembagaan pemerintah daerah sangat urgen dalam mewujudkan tujuan
otonomi daerah.
Kompleksitas persoalan dan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar, membawa konsekuensi bahwa organisasi perangkat daerah harus
dibuat berdasarkan peta kebutuhan yang terukur dan kajian argumentasi
yang rasional. Organisasi perangkat daerah merupakan aktor yang dominan
39
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga perbaikan – perbaikan
dalam upaya mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat perlu
dilakukan secara berkelanjutan agar eksistensinya selalu selaras dan sinergi
dengan kondisi yang ada.
Substansi dari persoalan kelembagaan organisasi perangkat daerah
Kabupaten Gianyar, sejatinya adalah bahwa organisasi perangkat daerah
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan
nilai-nilai Pancasila sebagai landasan filosofis artinya bahwa hendaknya nilai-
nilai terkandung adalah penghormatan terhadap nilai moral Ketuhanan,
penghargaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, niai persatuan
bangsa, nilai demokratis dan keadilan sosial. Secara empiris perlu
dipertimbangkan mengenai kontribusi dari kelembagaan tersebut dalam
pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Kelembagaan pemerintah
daerah harus mampu membantu kepala daerah dan mampu memberikan
dukungan dalam mengimplementasikan program-program pemerintah daerah.
Kelembagaan pemerintah daerah juga harus mampu berfungsi sebagai wadah
yang solutif dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan di daerah, dan
bukan sebaliknya, bahwa eksistensi perangkat daerah yang ada hanya
membebani anggaran daerah dan tidak banyak memberikan kontribusi bagi
kepentingan masyarakat. Dasar utama dibentuknya perangkat daerah dalam
bentuk suatu organisasi pada prinsipnya adalah adanya urusan pemerintah
yang perlu ditangani. Namun demikian perlu dipahami pula bahwa tidak
setiap penanganan urusan pemerintahan itu harus dibentuk ke dalam
40
organisasi perangkat daerah tersendiri. Pembentukan organisasi perangkat
daerah hendaknya dibentuk berdasarkan filosofi pembentukan organisasi,
dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber daya
yang ada. Dengan demikian maka sewaktu-waktu peninjauan kembali
terhadap keberadaan organisasi perangkat daerah wajib dilakukan agar selalu
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Pembentukan perangkat daerah Kabupaten Gianyar, selain dipandang
dari tujuannya secara hakiki wujud dari usaha pencapaian tujuan nasional,
juga dipandang dari sisi keilmuan yang merupakan suatu organisasi.
Organisasi dirumuskan sebagai suatu struktur hubungan manusia yang
didalamnya terdapat tujuan tertentu dan memiliki unit-unit yang diatur secara
sistematis untuk memajukan dan mengejar tujuan atau kepentingan bersama.
SP. Siagian mendefinisikan organisasi sebagai setiap bentuk persekutuan
antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat
dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan, dalam ikatan mana
terdapat seseorang/beberapa orang yang disebut atasan dan
seseorang/beberapa orang yang disebut bawahan11 Dwight Waldo menyatakan
organisasi adalah struktur antar hubungan pribadi yang berdasarkan atas
wewenang formal dan kebiasaan di dalam suatu sistem administrasi. 12
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikembangkan unsur dari
organisasi yaitu bahwa organisasi senantiasa memiliki tujuan, organisasi
11 S.P. Siagian, 1973, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta 12 Dwight Waldo, 1971, Pengantar Studi Public Administration, Tjemerlang, Jakarta
41
mempunyai kerangka atau struktur, organisasi memiliki sumber pembiayaan,
organisasi mempunyai tata cara kerja untuk mencapai tujuan, organisasi
mempunyai pola dasar kebudayaan dan organisasi mempunyai hasil-hasil
yang ingin dicapai.
Suatu organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki prinsip-
prinsip sebagai berikut:
1. Terdapat tujuan yang jelas;
2. Tujuan organisasi harus dipahami oleh setiap anggotanya;
3. Tujuan organisasi harus diterima oleh anggotanya;
4. Adanya kesatuan arah;
5. Adanya kesatuan perintah;
6. Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab;
7. Adanya pembagian tugas yang jelas;
8. Struktur organisasi idealnya disusun sesederhana mungkin;
9. Memiliki pola dasar yang relatif permanen;
10. Adanya profesionalitas pengelolaan.
Unsur-unsur dan prinsip-prinsip organisasi di atas memberikan deskripsi
tentang kondisi ideal dari suatu organisasi. Suatu organisasi tentunya akan
berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan apabila masih melekat prinsip-
prinsip organisasi yang baik tersebut. Prinsip-prinsip organisasi yang baik
juga merupakan parameter penilaian eksistensi dari suatu organisasi, artinya
apakah suatu organisasi masih dalam kondisi yang ideal atau sebaliknya
42
sehingga kemudian perlu dijadikan bahan perttimbangan untuk adanya
perbaikan - perbaikan kondisi atau justru meniadakannya.
Berkait dengan perangkat daerah yang apabila dipandang sebagai suatu
organisasi tentunya sangat penting dilakukan evaluasi apakah organisasi
perangkat daerah yang ada masih dalam kondisi yang ideal sesuai dengan
prinsip-prinsip organisasi yang baik, apabila dari hasil penilaian ada kondisi
yang kurang ideal tentunya sebagai bahan pertimbangan untuk mengadakan
perbaikan-perbaikan untuk kemudian menyempurnakan kembali eksistensi
dari organisasi perangkat daerah tersebut.
Menurut The Liang Gie penyempurnaan organisasi mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Tercapainya tujuan organisasi atau terlaksananya berbagai program
dengan sebaik-baiknya;
2. Terpeliharanya struktur organisasi dan pola-pola hubungan kerja yang
sederhana, jelas, dan rasional yang disusun berdasarkan kebutuhan
yang nyata;
3. Terpeliharanya koordinasi termasuk integrasi dan sinkronisasi dari
kegiatan-kegiatan organisasi itu, baik yang beraspek personalia,
finansial, maupun material;
4. Terbinanya tata hubungan, tata kerja, dan prosedur yang sederhana
dan praktis;
5. Terjaminya penerapan dari asas-asas tata kelola yang baik;
43
6. Terlaksananya segenap kegiatan peningkatan sfisiensi pada segala
bidang kerja dengan sepenuhnya.13
Sebagaiman diketahui bahwa organisasi merupakkan wadah kerja sama,
merupakan struktur yang mengatur pembagian wewenang dan tanggung
jawab. Dalam aktifitasnya organisasi harus diusahakan agar dapat berjalan
secara efektif dan efisien. Berkenaan dengan berbagai faktor, baik yang
bersifat internal atau eksternal, senantiasa terbuka kemungkinan diadakan
penataan kembali berupa perbaikan, perubahan dan penyempurnaan
organisasi. Penataan kembali yang dilakukan memiliki tujuan menghasilkan
efisiensi yang lebih besar sehingga tercipta suatu kondisi yang lebih kondusif
bagi peningkatan produktivitas. Candler dan Plano mengemukakan tujuan-
tujuan dari reorganisasi atau penataan kembali organisasi adalah :
1. Memperkecil pemborosan dan duplikasi dengan mengitegrasikan
beberapa satuan organisasi yang menjalankan tugas yang sama;
2. Mengurangi jumlah satuan-satuan organisasi yang harus melapor
pada pemimpin, dengan mengonsolidasikan mereka ke dalam
kelompok satuan kerja yang lebih sedikit;
3. Memungkinkan para staf memberikan saran pendapat kepada
pimpinan;
4. Mempertegas garis kewenangan dan tanggung jawab, sehingga
keputusan dapat dibuat secara lebih efektif dan bertanggung jawab;
13 The Liang Gie, 1978, Unsur – Unsur Administrasi, Suatu Kumpulan Karangan, Karya Kencana Yogyakarta.
44
5. Mengurangi jabatan-jabatan dan satuan-satuan pimpinan yang lebih
banyak terlibat pada hal-hal rutin daripada terlibat pada proses
pembuatan kebijakan.
6. Menyemangati satuan-satuan perencanaan untuk selalu memberikan
bantuan kepada para pembuat keputusan;
7. Membuka kemungkinan untuk melakukan peninjauan yang sistematis
dan kontinyu terhadap manajemen personalia dan prosedur
anggaran.14
Landasan filosofis penataan organisasi perangkat daerah Kabupaten
Gianyar yaitu bahwa dalam esensi hakiki perangkat daerah merupakan
organisasi yang memiliki unsur-unsur dan prinsip-prinsip ideal sebagai
parameter atau tolak ukur. Gunanya tentu saja untuk menilai apakah
organisasi perangkat daerah yang ada berjalan dengan baik atau tidak, apabila
dinilai kurang baik dan kurang memberi manfaat bagi pencapaian tujuan
maka merupakan suatu kewajaran bila ada peninjauan kembali dalam
kerangka penataan organisasi perangkat daerah. Efektifitas dan efisiensi
sebagai landasan dasar penataan secara substansi memberikan dampak yang
sangat baik secara internal karena akan menghemat anggaran yang ada, dan
secara eksternal tentunya fungsi pemerintah sebagai pelayan publik dapat
memberikan kontribusi yang lebih kepada masyarakat.
14 Ali Mufis, 2009, Pengantar Ilmu Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
45
4.2. Landasan Sosiologis
Terhadap landasan sosiologis dijelaskan, bahwa setiap norma hukum
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai
dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, konsideran
peraturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris agar sesuatu gagasan
normatif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan benar-benar
didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
Dalam pembentukan Peraturan Daerah ini, harus diperoleh fakta peta
kebutuhan dalam rangka pembentukan dan susunan perangkat daerah yang
diperlukan di Pemerintahan Kabupaten Gianyar.
Menurut Bagir Manan, suatu peraturan perundang-undangan yang baik
bilamana memenuhi persyaratan sebagai berikut:15
a. Ketepatan struktur, ketepatan pertimbangan, ketepatan dasar
hukum, ketepatan bahasa (peristilahan), ketepatan pemakaian huruf
dan tanda baca;
b. Kesesuaian isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis;
c. Perturan perundang-undangan tersebut dapat dilaksankaan
(applicable) dan menjamin kepastian.
Pandangan ini sejalan dengan pendapat Van der Vlies sebagaimana
dikutip oleh A. Hamid S Attamimi yang mengemukakan 2 (dua) asas pokok
15 Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
Tingkat Daerah. Univ. Islam Bandung, Bandung, h. 12.
46
yang harus dipenuhi dalam membuat suatu pertauran perundang-undangan
yang baik, yakni asas formal dan asas material. Asas formal mencakup “asas
tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya peraturan,
asas dapat dilaksanakan, dan asas konsensus”, sedangkan asas material
mencakup “asas terminologi dan sistematika yang benar, asas dapat dikenali,
asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum dan asas
pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual”16.
Selain dari apa yang dikemukakan di atas dalam mengkaji hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan ada satu teori yang cukup
relevan untuk diperhatikan yaitu Teori Hukum Responsive. Teori hukum ini
dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, merupakan bagian dari
teori hukum modern. Teori ini dilandasi oleh pemikiran Jerome Frank yang
memberikan suatu catatan bahwa tujuan kunci dari kaum realis (realisme
hukum ) adalah membuat hukum lebih responsif terhadap kebutuhan sosial
(masyarakat). Sehubungan dengan ini maka lapangan relevansi hukum (legal
relevant) menjadi diperluas yaitu dengan memasukkan pengetahuan tentang
konteks sosial di dalam penalaran hukum. Aliran Sociological jurisprudence
juga menghendaki agar lembaga hukum lebih memperhatikan secara lengkap
dan kritis mengenai fakta-fakta sosial terhadap mana hukum itu ditampilkan
dan diterapkan. Teori dari Roscoe Pound tentang kepentingan sosial
merupakan upaya yang lebih jelas untuk mengembangkan satu model tentang
16 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peraturan Keputusan Presiden republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertai, Fakultas Pascasarjana, Univ. Indonesia, Jakarta, h. 330.
47
hukum responsif. Dalam perspektif ini hukum yang baik seharusnya
menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar keadilan prosedural. Hukum
memiliki kekuasaan dan sekaligus terbuka, membantu merumuskan
kepantingan publik, dan dijalankan untuk pencapaian keadilan substantif.17
Dengan kata lain Teori Hukum Responsif menghendaki agar hukum lebih
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat dalam rangka
mewujudkan keadilan substansif. Dengan melihat teori di atas maka
seyogyanya setiap produk hukum sudah memperhatikan kepentingan-
kepentingan sosial, artinya kepentingan sosial ini mencakup pula nilai-nilai
yang melandasi kepentingan sosial tersebut. Tatanan hukum yang
beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang
bersangkutan kedalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga
hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).
Setiap produk hukum yang baik harus memenuhi semua aspek metode
yang ada baik, kemudian juga materi dalam substansi yang relevan, dan
mempunyasi daya keberlakuan secara sosiologis. Pengabaian keberlakuan
secara sosiologis dari produk hukum khususnya di daerah mengakibatkan
banyak bermunculan Peraturan daerah yang tidak efektif, artinya banyak
Peraturan Daerah yang tidak berjalan, bahkan banyak pula kemudian yang
dibatalkan oleh pemerintah pusat. Dalam pembuatan suatu perda idealnya
yang dilakukan terlebih dahulu adalah melihat dan mendengar masyarakat,
17 Phillippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, Harper Colophon Books, New York, , h. 73-74
48
sehingga dapat menyerap aspirasi dari masyarakat. Jika produk hukum itu
dari masyarakat maka dengan sendirinya masyarakat akan mematuhinya.
Dalam hal ini, keterlibatan masyarakata kan sangat menentukan aspek
keberlakuan hukum secara efektif dan tujuan pemerintah akan sulit terwujud
jika masyarakat tidak berpartisipasi. Membicarakan hukum adalah
membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar
manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian setiap
pembicaraan mengenai hukum, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai
keadillan pula. Kita tidak dapat hanya membicarakan hukum hanya sampai
kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu
melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya.18
Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk
memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. Keadilan
adalah ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan obyek diluar diri
kita. Obyek yang ada diluar kita ini adalah manusia sama dengan kita. Oleh
karena itu ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari arti yang kita berikan
kepada manusia dan kemanusiaan, tentang konsep kita mengenai manusia.
Bagai mana anggapan kita tentang manusia, itulah yang akan membuahkan
ukuran-ukuran yang kita pakai dalam memberikan perlakuan terhadap orang
lain. Apabila manusia itu kita anggap sebagai mahluk yang mulia, maka
perlakuan kita padanya pun akan mengikuti anggapan yang demikian itu dan
18 Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h. 15
49
hal ini akan menentukan ukuran yang akan kita pakai dalam menghadapi
mereka.
Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa
diberikan kepada masyarakat. Roscoe Pound melihat bahwa hasil yang
diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusia
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Pound
sendiri mengatakan bahwa ia senang melihat semakin meluasnya pengakuan
dan penguasaan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan
manusia melalui pengendalian sosial, semakin meluas dan efektifnya jaminan
terhadap kepentingan sosial, suatu usaha untuk menghapus pemborosan
yang terus menerus dan semakin efektif dan menghindari pembenturan antara
manusia dalam menikmati sumber-sumber daya, singkatnya social
engineering yang semakin efektif.19
Pandangan Pound merupakan bagaimana suatu produk hukum tersebut
harus memiliki sifat sosiologis, kemudian dalam sosiologi hukum hukum
memiliki fungsi sebagai social control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi
seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan menciptakan keadaan suatu
masyarakat yang serasi antara stabilitas dan perubahan didalam masyarakat.
Selain itu hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social
engineeringyang maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam
masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran
19 Ibid. h. 10
50
masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional kedalam pola pemikiran yang
rasional atau modern.
Sosiologi hukum hukum berusaha mengupas hukum sehingga hukum
itu tidak bisa dipisahkan dari praktek penyelenggaraannya, tidak hanya
bersifat kritis melainkan bisa juga kreatif. Kreatifitas ini terletak pada
kemampuannya untuk menunjukkan adanya tujuan-tujuan serta nilai-nilai
tertentu yang ingin dicapai oleh hukum. Sehingga konsekuensi berlakunya
produk hukum yang tidak memiliki sifat sosiologis ialah produk hukum itu
tidak dapat bertahan lama dan daya ikat kepada masyarakat sangat lemah,
kemudian efektivitas hukum tidak efektif sehingga produk hukum tersebut
kurang berlaku dimasyarakat sehingga produk hukum tersebut perlu untuk
di-review.
Efektifitas dan efisiensi merupakan salah satu asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik, artinya bahwa
penyelenggaraan pemerintahan tersebut berdasarkan prioritas-prioritas
tertentu dan sesuai dengan kebutuhan riil yang bersifat empiris. Salah satu
hal mendasar yang terkait erat dengan persoalan efektifitas dan efisiensi
adalah kelembagaan dalam pemerintahan daerah. Kenapa demikian, karena
kelembagaan merupakan wadah dari pemerintah daerah menjalankan
fungsinya, kelembagaan merupakan wadah bagi personil atau administratur
negara dalam melaksanakan tugasnya, kelembagaan pula tempat dimana
anggaran dan pelayanan publik pemerintah daerah dijalankan. Kelembagaan
pemerintah daerah mempunyai fungsi yang sentral yang memberikan
51
kejelasan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dalam
penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian maka penataan terhadap
kelembagaan pemerintah daerah sangat urgen dalam mewujudkan tujuan
otonomi daerah.
Kompleksitas persoalan dan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar, membawa konsekuensi bahwa organisasi perangkat daerah harus
dibuat berdasarkan peta kebutuhan yang terukur dan kajian argumentasi
yang rasional. Organisasi perangkat daerah merupakan aktor yang dominan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga perbaikan – perbaikan
dalam upaya mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat perlu
dilakukan secara berkelanjutan agar eksistensinya selalu selaras dan sinergi
dengan kondisi yang ada. Adapun peta kebutuhan dapat disajikan pada tabel
berikut:
No Nama Urusan SKOR SETELAH KLARIFIKASI
SKOR KATEGORI TIPE
1 Kebudayaan 820 BESAR A
2 Pariwisata 960 BESAR A
3 Dinas Koperasi & UKM 924 BESAR A
4 Perindustrian 860 BESAR A
5 Perdagangan 640 SEDANG B
6 Pendidikan 670 SEDANG B
7 Kepemudaan dan Olahraga 300 Sangat sangat kecil Setingkat Bidang
8 Lingkungan Hidup 840 BESAR A
9 Perencanaan 902 BESAR A
10 Penelitian dan Pengembangan
570 KECIL C
11 Penanaman Modal 860 BESAR A
12 Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
880 BESAR A
13 Keuangan 870 BESAR A
14 Inspektorat 940 BESAR A
15 Pertanian 928 BESAR A
16 Kehutanan 0 NIHIL
17 Kelautan dan Perikanan Kelautan dan
Perikanan
KECIL C
18 Pangan 760 SEDANG B
19 Kependudukan dan 750 SEDANG B
52
Pencatatan Sipil
20 Perpustakaan 744 SEDANG B
21 Kearsipan 620 SEDANG B
22 Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan
720 SEDANG B
23 Sosial 686 SEDANG B
24 Kesehatan 801 BESAR A
25 Ketentraman, Ketertiban Umum serta Perlindungan
Masyarakat (Sub Kebakaran)
380 WAJIB DASAR C
26 Ketertiban Umum serta Perlindungan Masyarakat (Sub Pol PP)
720 SEDANG B
27 Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
740 SEDANG B
28 Energi dan Sumber Daya Mineral
0 NIHIL
29 Perumahan dan Pemukiman
460 KECIL C
30 Pertanahan 620 SEDANG B
31 Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
580 KECIL C
32 Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana
630 SEDANG B
33 Perhubungan (wilayah darat)
630 SEDANG B
34 Urusan Komunikasi dan Informatika
616 SEDANG B
35 Persandian 352 Sangat Kecil Setingkat Bidang
36 Statistik 170 Sangat sangat kecil Setingkat Sub Bidang
37 Sekretariat Dewan 780 SEDANG B
38 Tenaga Kerja 740 SEDANG B
39 Transmigrasi 386 Sangat Kecil Setingkat Bidang
40 Sekretariat Daerah 820 BESAR A
41 Badan Penanggulangan Bencana Daerah
SEDANG B
42 Badan Kesbangpol SEDANG B
Konsekuensi logis yang harus yang harus terefleksi dari peta kebutuhan
tersebut bahwa, organisasi perangkat daerah harus dibuat berdasarkan peta
kebutuhan yang terukur dan kajian argumentasi yang rasional.
Penentuan tipe urusan berdasarkan skor hasil pemetaan ini dapat
dilihat dalam Pasal 36 PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Adapun ketentuan tersebut menentukan:
53
(1) Dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dibedakan dalam 3 (tiga) tipe.
(2) Tipe dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. dinas Daerah kabupaten/kota tipe A untuk mewadahi pelaksanaan
fungsi dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) dengan beban kerja yang besar;
b. dinas Daerah kabupaten/kota tipe B untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) dengan beban kerja yang sedang; dan
c. dinas Daerah kabupaten/kota tipe C untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) dengan beban kerja yang kecil.
Kemudian menyangkut Pasal 37 PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah menentukan mengenai urusan pemerintahan, yakni:
(1) Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar; dan
b. Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
(3) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, terdiri atas:
a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat;
dan f. sosial.
(4) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, terdiri atas:
a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
54
i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
(5) Urusan Pemerintahan Pilihan, terdiri atas: a. kelautan dan perikanan; b. pariwisata; c. pertanian; d. perdagangan; e. kehutanan; f. energi dan sumber daya mineral; g. perindustrian; dan h. transmigrasi.
(5) Masing-masing Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diwadahi dalam bentuk dinas.
(6) Khusus untuk Urusan Pemerintahan di bidang ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, dilaksanakan oleh:
a. dinas Daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan sub urusan ketenteraman dan ketertiban umum; dan
b. dinas Daerah kabupaten/kota yang menyelenggarakan sub urusan kebakaran.
Selain itu berdasarkan Pasal 40 PP No. 18 Tahun 2016
(1) Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 suatu Urusan Pemerintahan tidak memenuhi syarat untuk dibentuk dinas Daerah kabupaten/kota sendiri, Urusan Pemerintahan tersebut digabung dengan dinas lain.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil perhitungan nilai variabel teknis Urusan Pemerintahan memperoleh nilai 0 (nol), Urusan Pemerintahan tersebut tidak diwadahi dalam unit organisasi Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) dinas Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada perumpunan Urusan Pemerintahan dengan kriteria: a. kedekatan karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau b. keterkaitan antar penyelenggaraan Urusan Pemerintahan.
(4) Perumpunan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
55
a. pendidikan, kebudayaan, kepemudaan dan olahraga, serta pariwisata;
b. kesehatan, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pengendalian penduduk dan keluarga berencana, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, serta pemberdayaan masyarakat dan Desa;
c. ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, sub urusan ketenteraman dan ketertiban umum dan sub urusan kebakaran;
d. penanaman modal, koperasi, usaha kecil dan menengah, perindustrian, perdagangan, energi dan sumber daya mineral, transmigrasi, dan tenaga kerja;
e. komunikasi dan informatika, statistik dan persandian; f. perumahan dan kawasan permukiman, pekerjaan umum dan
penataan ruang, pertanahan, perhubungan, lingkungan hidup, kehutanan, pangan, pertanian, serta kelautan dan perikanan; dan
g. perpustakaan dan kearsipan. (5) Penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) Urusan Pemerintahan. (6) Tipelogi dinas hasil penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan 1 (satu) tingkat lebih tinggi atau mendapat tambahan 1 (satu) bidang apabila mendapatkan tambahan bidang baru dari Urusan Pemerintahan yang digabungkan.
(7) Nomenklatur dinas yang mendapatkan tambahan bidang Urusan Pemerintahan merupakan nomenklatur dinas dari Urusan Pemerintahan yang berdiri sendiri sebelum penggabungan.
(8) Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak terdapat Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas, Urusan Pemerintahan tersebut dapat digabung menjadi 1 (satu) dinas tipe C sepanjang paling sedikit memperoleh 2 (dua) bidang.
(9) Nomenklatur dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (8) mencerminkan Urusan Pemerintahan yang digabung.
(10) Dalam hal berdasarkan perhitungan nilai variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak terdapat Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) rumpun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang memenuhi kriteria untuk dibentuk dinas atau bidang, fungsi tersebut dilaksanakan oleh sekretariat Daerah dengan menambah 1 (satu) subbagian pada unit kerja yang mengoordinasikan Urusan Pemerintahan yang terkait dengan fungsi tersebut.
56
Sedangkan dalam Pasal 124 PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah,
menentukan:
(1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk pertama kali, penetapan pedoman nomenklatur Perangkat Daerah oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan pelaksanaan pemetaan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(2) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk pertama kali, Perda pembentukan Perangkat Daerah dan pengisian kepala Perangkat Daerah dan kepala unit kerja pada Perangkat Daerah diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
(3) Dalam hal pedoman nomenklatur Perangkat Daerah belum ditetapkan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Daerah dapat menetapkan nomenklatur Perangkat Daerah dengan Perkada.
(4) Pengisian kepala Perangkat Daerah dan kepala unit kerja pada Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk pertama kalinya dilakukan dengan mengukuhkan pejabat yang sudah memegang jabatan setingkat dengan jabatan yang akan diisi dengan ketentuan memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi jabatan.
(5) Dalam hal hasil pemetaan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, untuk pertama kali, Daerah dapat menetapkan Perda tentang pembentukan Perangkat Daerah tanpa menunggu penetapan hasil pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila diidentifikasi, maka ketentuan-ketentuan tersebut, mengatur:
• Pasal 36
– Membedakan menjadi 3 Tipe dinas daerah
– Pembagian Tipe Berdasarkan Beban Kerja
• Pasal 37
– Mengatur urusan Wajib (Pelayanan Dasar Dan Tidak Berkaitan
Dengan Pelayanan Dasar)
– Urusan Pilihan
57
– Urusan Wajib (Pendidikan, Kesehatan, PU & TR, Perumahan Dan
Waskim, Trantib Dan Linmas, Sosial)
• Pasal 40 PP No. 18 2016
– Ayat 1 Perhitungan Nilai Variabel
– Ayat 2 Urusan Dengan Nilai 0 Tdk Diwadahi
– Ayat 3 Penggabungan Urusan Pemerintahan Dlm 1 Dinas
Didasarkan Atas Perumpunan
– Ayat 4 Perumpunan Urusan
a) Pendidikan, Kebudayaan, Kepemudaan Dan Or, Pariwisata
b) Kesehatan, Sosial, PP Dan Kb, Adminduk, Pmd
c) Trantib Dan Linmas (Pol PP Dan Kebakaran)
d) Penanaman Modal, Koperasi dan UKM, Perindustrian,
Perdagangan, ESDM, Transmigrasi, Tenaga Kerja
e) Kominfo, Statistik Dan Persandian
f) Perumahan & Waskim, PU & TR, Pertanahan, Perhubungan,
Lingkungan Hidup, Kehutanan, Pangan, Pertanian, Kelautan
Dan Perikanan
g) Perpustakaan Dan Kearsipan
– Ayat 5 Penggabungan Paling Banyak 3 Urusan
– Ayat 6 Tipologi
– Ayat 7 Nomenklatur Dinas Yang Mendapat Tambahan Bidang
– Ayat 8 Penggabungan
58
– Ayat 9 Nomenklatur Mencerminkan Urusan Pemerintahan Yang
Digabung
– Ayat 10 Jika Ada Urusan Yang Tidak Mencukupi Untuk Dibentuk
Dinas, Maka Urusan Tersebut Dibawa Ke Sekretariat
• Pasal 124 PP NO. 18 Tahun 2016
– Ayat 1 Pelaksanaan Pemetaan Urusan Paling Lambat Selesai Dalam 2
bulan (19 Agustus 2016)
– Ayat 2 Perda Diselesaikan Paling Lambat 6 Bulan (19 Desember 2016)
– Ayat 3 Dalam Hal Nomenklatur Belum Ditetapkan Sampai 19
Agustus 2016, Kepala Daerah Dapat Menetapkan Nomenklatur Pada
Dengan Perkada
– Ayat 5 Jika Pemetaan Belum Ditetapkan, Maka Pembentukan
Perangkat Daerah Tanpa Menunggu Hasil Pemetaan
Berdasarkan ketentuan Pasal 36, 37, 40 dan 124 PP No. 18 Tahun 2016, maka
disusun rancangan susunan SKPD di kabupaten Gianyar, sebagai berikut:
59
RANCANGAN SUSUNAN SKPD
No Nama SKPD Sebelumnya
Nama Jabatan Eselon
No Nama SKPD Baru Tipe
SKPD
Nama Jabatan Eselon
II a II b III a III b IV a IV b II a II b III a III b IV a IV b
1 Dinas Kebudayaan 1 1 4 15 1 Dinas Kebudayaan (urusan
Kebudayaan) A 1 1 4 15
2 Dinas Pariwisata 1 1 4 15 2 Dinas Pariwisata (urusan
Pariwisata) A 1 1 4 15
3 Dinas Koperasi dan UKM 1 1 4 15 3 Dinas Koperasi dan UMKM
(urusan Koperasi dan UKM) A 1 1 4 15
4 Dinas Perindustrian dan
Perdagangan 1 1 4 15 4
Dinas Perindustrian dan
Perdagangan (urusan
perdagangan tipe B digabung
dengan urusan perindustrian tipe
A) **)
A+ 1 1 5 18
5 Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olahraga 1 1 4 15 5
Dinas Pendidikan (urusan
pendidikan) A 1 1 4 15
6
Dinas Kepemudaan dan Olahraga
(urusan kepemudaan dan
olahraga)
B
1 1 3 11
6 Badan Lingkungan Hidup 1 1 4 15 7 Dinas Lingkungan Hidup (urusan
lingkungan hidup) A 1 1 4 15
60
7 Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah 1 1 4 15 8
Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan
Litbang ( urusan perencanaan
Tipe A digabung dengan urusan
litbang Tipe C) **)
A+ 1 1 5 18
8 BPPT 1 1 4 15 9
Dinas Penanaman Modal dan
Perijinan (urusan penanaman
modal digabung dengan eks
BPPT)
A 1 1 4 15
9 Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa 1 1 4 15 10
Dinas Pemberdayaan Masyarakat
dan Pemerintahan Desa (urusan
PMD digabung dengan Bagian
Pemdes)
A 1 1 4 15
10 Dinas Pendapatan Daerah 1 1 4 15 11
Badan Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah (gabungan
Bagian Keuangan dan subag Aset
pada Bagian Aset dan Perwat)
B 1 1 3 11
12 Badan Pendapatan Daerah (eks
Dispenda) B 1 1 3 11
11 Inspektorat Kabupaten 1 5 0 3 13 Inspektorat Kabupaten (urusan
inspektorat) A 1 5 3
61
12 Dinas Pertanian 1 1 4 15 14 Dinas Pertanian (urusan
pertanian *) A++ 1 1 6 21
13 Dinas Kebersihan dan
Pertamanan 1 1 4 15
14 Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil 1 1 4 15 15
Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (urusan
Kependudukan dan Pencatatan
Sipil)
B 1 1 3 11
15 Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah 0 1 0 4 16
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
(urusan perpustakaan Tipe B
digabung dengan urusan keasipan
Tipe B)
A 1 1 4 15
16 Badan Kepegawaian
Daerah 1 1 4 15 17
Badan Kepegawaian dan Diklat
(urusan kepegawaian dan diklat ) B 1 1 3 11
17 Dinas Sosial 1 1 4 15 18 Dinas Sosial (urusan sosial ) B 1 1 3 11
18 Dinas Kesehatan 1 1 4 15 19 Dinas Kesehatan (urusan
kesehatan) A 1 1 4 15
19 Satuan Polisi Pamong Praja 0 1 0 4 20
Dinas Pemadam Kebakaran dan
Satuan Polisi Pamong Praja
(urusan kententraman dan
ketertiban umum serta
perlindungan masyarakat (sub Pol
A 1 1 4 15
62
PP Tipe B dan Sub Kebakaran Tipe
C))
21
Dinas Ketahanan Pangan,
Kelautan, Perikanan (urusan
pangan tipe B digabung dengan
urusan kelautan dan perikanan
Tipe C )
A 1 1 4 15
20 Dinas Pekerjaan Umum 1 1 4 15 22
Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang (urusan
pekerjaan umum dan urusan
penataan ruang *)
B++ 1 1 5 17
23
Dinas Perumahan, Kawasan
Permukiman dan Pertanahan
(urusan perumahan dan kawasan
permukiman tipe C digabung
dengan urusan pertanahan tipe B)
A 1 1 4 15
21 Dinas Perhubungan,
Infokom 1 1 4 15 24
Dinas Perhubungan (urusan
perhubugan wilayah darat) B 1 1 3 11
25
Dinas Komunikasi dan Informatika
( urusan komunikasi dan
informatika Tipe B digabung
dengan urusan persandian
Setingkat Bidang, statistik
Setingkat Sub Bidang)
A 1 1 4 15
63
22 Sekretariat Dewan 1 4 0 12 26 Sekretariat Dewan (urusan
sekretariat dewan) B 1 3 0 9
23 Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi 1 1 4 15 27
Dinas Tenaga Kerja (urusan tenaga
kerja Tipe B digabung dengan
urusan transmigrasi Setingkat
Bidang)
A 1 1 4 15
24 Badan Pemberdayaan
Perempuan dan KB 1 1 4 15 28
Dinas PPPA, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga
Berencana (urusan PPPA Tipe C
digabung dengan urusan
Pengendalian Penduduk dan KB
Tipe B)
A 1 1 4 15
25 Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan 1 1 4 15
26 Sekretariat Daerah 29 Sekretariat Daerah (urusan
sekretariat daerah) A
Sekda 1 0 0 0 0 0 Sekda 1 0 0 0 0 0
Asisten 0 3 0 0 0 0 Asisten 0 3 0 0 0 0
Staf Ahli 0 5 0 0 0 0 Staf Ahli 0 3 0 0 0 0
64
Kabag 0 0 12 36 0 0 Kabag 0 0 9 27 0 0
Kecamatan 0 0 7 7 35 21 Kecamatan A 0 0 7 7 49 0
Kelurahan 0 0 0 0 6 30 Kelurahan
0 0 0 0 6 30
27 RSUD Sanjiwani 0 1 2 6 18 0 30 RSUD Sanjiwani (ketentuan
khusus) 0 1 2 6 18 0
28 Badan Penanggulangan
Bencana Daerah 1 0 4 12 31
Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (Ketentuan Khusus)
1 1 4 12
29 Badan Kesbangpolinmas 1 1 4 15 32 Badan Kesbangpol (Ketentuan
Khusus
1 1 4 15
Jumlah 1 34 54 141 424 51 Jumlah
1 37 54 150 488 30
65
Adapun susunan jabatan sesuai tipe, diuraikan sebagai berikut:
• Tipe A (21 Jabatan)
– 1 Kepala
– 1 Sekretaris (3 Subag)
– 4 Bidang ( @3 Seksi / Subid)
• Tipe B (16 Jabatan)
– 1 Kepala
– 1 Sekretaris (2 Subag)
– 3 Bidang ( @3 Seksi / Subid)
• Tipe C (12 Jabatan)
– 1 Kepala
– 1 Sekretaris (2 Subag)
– 2 Bidang ( @3 Seksi / Subid)
• Tipe Urusan Yang Khusus Mendapat Tambahan 2 Bidang (Keuangan,
Pertanian, PU&TR)
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dari PP No. 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah tersebut, maka terdapat beberapa pertimbangan untuk
berdiri sendiri atau penggabungan dinas-dinas tersebut:
Urusan Kebudayaan (A)
• Tipe A, beban kerja padat. Bali Identik dengan Kebudayaan termasuk Kab. Gianyar
Urusan Pariwisata (A)
• Tipe A, beban kerja padat. Bali Identik dengan Pariwisata termasuk Kab. Gianyar
Urusan Koperasi dan UKM (A)
• Tipe A, beban kerja padat
Urusan Perindustrian (A) dan Urusan Perdagangan (B)
• Digabung menjadi Tipe A plus 1 Bidang dengan pertimbangan efisiensi: beban kerja saat ini telah
66
dapat ditangani, berada dalam kantor yang sama
Urusan Pendidikan (A) • Tipe A, beban padat dipisah dengan urusan Pora
Urusan Kepemudaan dan olahraga (B) • Tipe B, kegiatan kepemudaan cukup besar meliputi Karang Taruna, olahraga pendidikan
Urusan Lingkungan Hidup (A) • Tipe A, dengan menjadi dinas, maka urusan ini mendapat beban yang berat dan mendapat tambahan tugas limpahan dari persampahan dan kebersihan (eks DKP)
Urusan perencanaan (A) dan urusan Litbang (C)
• Tipe A plus 1 Bidang, perencanaan penting dan harus fokus. Namun demikian untuk efisiensi, urusan Litbang tetap digabung dengan perencanaan
Urusan penanaman modal (A) • Tipe A, beban padat dan melaksanakan juga pelayanan Perijinan / PTSP (eks BPPT)
Urusan pemberdayaan masyarakat dan desa (A)
• Tipe A, tugas padat dan mendapat tambahan tugas eks Bagian Pemdes
Urusan Keuangan (A, skor 960) – Skor <950 tidak dpt dipecah – Skor >950 – 975 dapat
dipecah 2 tipe B dan B – Skor >975 dapat dipecah 2
tipe A dan A
• Urusan ini dipecah menjadi 2 karena beban tugas yang padat, yaitu:
– Badan Pegelolaan Keuangan dan Aset daerah (gabungan Bagian Keuangan dan subag Aset) Tipe B
– Badan Pendapatan Daerah (eks Dispenda) Tipe B sesuai skor dan diusulkan Tipe A
Urusan Inspektorat (A) • Tipe A, beban kerja padat
Urusan Pertanian • Tipe A plus 2 Bidang, beban tugas padat mendapat limpahan tugas peternakan
Urusan Kependudukan dan Pencatatan Sipil (B)
• Tipe B, tugas wajib berdiri sendiri.
Urusan perpustakaan (B) dan urusan kearsipan (B)
• Tipe A, sesuai dengan keadaan saat ini telah digabung
Urusan kepegawaian dan diklat • Tipe B, wajib berdiri sendiri
Urusan Sosial • Tipe B, urusan wajib
Urusan kesehatan • Tipe A, tugas padat meliputi UPT Kesmas dan RSU
Urusan ketenraman dan keteriban sub Pol PP (B) dan urusan sub kebakaran (C)
• Tipe A, untuk efisiensi
67
Urusan kelautan dan perikanan (C) dan urusan pangan (B)
• Tipe A, untuk efisiensi
Urusan PU dan Penataan Ruang (B)
• Tipe B plus 2 Bidang, tugas padat
Urusan Perumahan dan kawasan permukiman (C) dan urusan pertanahan (B)
• Tipe A, berdiri sendiri karena urusan wajib dan efisiensi dengan penggabungan urusan pertanahan
Urusan perhubungan (B) • Tipe B, tugas padat
Urusan Kominfo (B) dan urusan persandian (Bidang) dan Statistik (sub bidang)
• Tipe A, untuk efisiensi dan fokus pada tugas
Urusan sekretariat dewan (B) • Tipe B, sesuai ketentuan
Urusan tenaga kerja (B) dan urusan transmigrasi (Bidang)
• Tipe A, untuk efisiensi dan telah dilaksanakan sebelumnya
BPBD dan Kesbangpol • Tetap ada sebagaimana sebelumnya sambul menunggu ketentuan lebih lanjut.
Urusan PPPA (C) dan urusan Dalduk & KB (B)
• Tipe A, untuk efisiensi dan telah dilaksanakan seperti saat ini
Urusan Sekretariat Daerah (A) • Terdiri dari: • 1 orang Sekda • 3 orang asisten • 3 orang staf ahli • 9 Kabag • Ortal, Hukum dan HAM, Tapem,
Ekbang, Umum, Pengadaan, Rumah Tangga, Protokol, Kesra
• 27 Kasubag
Adapun penggunaan nomenklatur dari dinas-dinas atau perangkat daerah
tersebut, menyesuaikan dengan lampiran PP No. 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah. Begitu pula, penggabungan dan berdiri sendiri SKPD
tersebut didasarkan pada urusan-urusan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Dalam rangka
mewujudkan pembentukan Perangkat Daerah sesuai dengan prinsip desain
organisasi, pembentukan Perangkat Daerah yang didasarkan pada Peraturan
Pemerintah berpedoman pada asas efisiensi, efektivitas, pembagian habis
68
tugas, rentang kendali, tata kerja yang jelas, fleksibilitas, Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan intensitas Urusan
Pemerintahan dan potensi Daerah. Asas “efisiensi” adalah pembentukan
Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna
yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Kemudian asas “efektivitas” adalah
pembentukan Perangkat Daerah harus berorientasi pada tujuan yang tepat
guna dan berdaya guna.
4.3. Landasan Yuridis
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945,20 yang bertujuan untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur baik materiil maupun spiritual secara merata di semua
lapisan masyarakat. Berdasarkan penjelasan umum angka 1 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka (machtstaat). Hal ini juga diperjelas melalui amandemen ke- 3 UUD
1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Sebagai negara hukum maka negara kita menganut suatu
ajaran hukum.21
Istilah negara hukum muncul pada abad ke -19, sedangkan pemikiran
tentang negara hukum (di dunia barat sudah mulai pada abad ke-17 yang
20 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan tolak ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung, h. 11 21 Ismail Suny, 1984, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, h. 8
69
diawali oleh pemikiran Plato di jaman Yunani. Menurut Plato dalam negara
ideal (Politea) penyelenggaraan negara yang baik tidak cukup dilakukan hanya
oleh para Filosof, melainkan juga harus berdasarkan pada peraturan yang
baik yang disebut Nomoi.22
Ide negara hukum ini muncul kembali pada permulaan perkembangan
dari liberalisme, yang melahirkan negara hukum liberal atau negara hukum
dalam arti sempit (negara hukum formal) atau yang lebih dikenal dengan
negara penjaga malam (nachtwakerstaat),23 yang merupakan awal dari konsep
rechtstaat, yang lebih mengutamakan pada unsur perlindungan hukum.
Menurut Imannuel Kant, untuk disebut sebagai negara hukum maka
harus memiliki dua unsur pokok yakni adanya perlindungan terhadap hak
asasi manusia, adanya pemisahan kekuasaan dalam negara. 24 Ide ini
selanjutnya dikembangkan oleh F.J. Stahl, dengan menambah dua unsur lagi
yaitu setiap tindakan negara harus berdasarkan undang-undang serta adanya
peradilan administrasi negara. Dengan memantapkan prinsip liberalisme yang
dikemukakan oleh Rousseau, yang menekankan pada unsur-unsur negara
hukum, sehingga rumusannya menjadi :
1. Adanya jaminan atas hak asasi manusia/hak dasar manusia;
2. Adanya pemisahan kekuasaan;
3. Pemerintahan berasarkan hukum/undang-undang (asas legalitas);
22 J.H. Rapar, 1988, Filsafat politik Plato, Rajawali Pers, Jakarta h. 90 23 E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, h. 26 24 Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet. 4, Gaya Media
Pratama, Jakarta, h. 132
70
4. Adanya peradilan tata usaha negara/administrasi negara.25
Dalam konsep negara hukum, asas legalitas merupakan unsur yang
utama dalam sebuah negara hukum. 26 Asas legalitas banyak digunakan
dalam lapangan hukum pidana. Dalam lapangan hukum administrasi negara
terwujud dalam “wetmatigheid van bestuur” yang merupakan pemikiran abad
XIX yang dikuasai oleh pemikiran negara undang-undang (wettenstaat),
sebaliknya pemikiran negara hukum abad XX lebih mengedepankan
“doelstalling” (penetapan tujuan) daripada “Normstelling (penetapan Norma).27
Asas ini dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelanggaraan pemerintahan
terutama bagi negara-negara yang menganut sistem Eropa continental (civil
law). Asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat
warga negara harus didasarkan pada undang-undang yang merupakan ciri
khas negara hukum yang sering dirumuskan dalam ungkapan “Het beginsel
van wetmatigheid van bestuur”.28
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan
negara hukum.29 Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-
undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari rakyat.
Seperti yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau, bahwa undang-undang
25 Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, h. 151 26 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h. 59 27 Philipus M Hadjon, 1992, Pemerintahan Menurut Hukum, Kumpulan Makalah Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Tata Usaha Negara, disampaikan pada penataran “Hukum Administrasi dan Hukum Lingkungan” Diselenggarakan Dalam Rangka Kerja Sama Hukum Indonesia – Belanda tanggal 18 – 28 November 1992 Di Universitas Airlangga, Surabaya, h. 1 (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I) 28 Ibid, h. 66 29 H. Mustamin DG. Matutu, et.al, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. VIII
71
merupakan personifikasi dari akal sehat manusia sebagai
pengejawantahannya yang dapat dilihat dari prosedur pembentukan undang-
undang yang melibatkan atau memperoleh persetujuan rakyat. 30 Dalam
kaitanya dengan penelitian ini maka penyelenggaraan kepariwisataan yang
diselenggaakan oleh pemerintah daerah harus ada dasar hukumnya, hal ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Dalam negara hukum yang berlandaskan pancasila yang merupakan
konsep negara hukum Republik Indonesia yang secara umum dapat dikatakan
sebagai negara yang mengimplementasikan unsur-unsur negara hukum yang
dijiwai oleh filsafat dasar negara serta pandangan hidup bangsa Indonesia
yaitu Pancasila dan dilandasi oleh UUD NRI 1945 sebagai peraturan
perundang-undangan yang tertinggi dalam negara (supremasi).
Secara gramatikal dan terminologi, supremasi berarti tertinggi, jadi
supremasi hukum berarti sebagai suatu peraturan yang tertinggi atau hukum
merupakan kekuasaan yang tertinggi. Menurut H. Harris Soche supremasi
hukum di Indonesia ada pada UUD 1945.31 Dalam hal ini supremasi hukum
diidentikkan dengan supremasi konstitusi, yaitu UUD merupakan peraturan
peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia.
Hal senada juga dikemukakan oleh L.M. Friedman mengatakan bahwa
constitution is the supreme law of the land, atau bahkan sering disebut sebagai
30Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h. 67 31 H.Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum dan prinsip Demokrasi di Indonesia, Hanindita, Yogyakarta, h. 16
72
the highest authority. 32 Sejalan dengan itu menurut AV. Dicey, 33
mengemukakan bahwa supremasi hukum merupakan salah satu pengertian
atau unsur negara hukum yang berdasarkan kedaulatan hukum (Rule of law),
yakni: supremacy of law, equality before the law, dan due process of law,
diartikan sebagai keunggulan mutlak atau supremasi aturan hukum sebagai
penentang dari pengaruh kekuasaan yang sewenang-wenang, serta
meniadakan adanya kesewenang-wenangan, lebih lanjut dikatakan bahwa :
In the first place, the absolute supremacy or predominance of regular law as
opposed the influence of arbitrare power, and excludes the existence of
arbitrariness, of prerogrative, or even of wide discretionary authority on the
part of the government…, a man may with us be punished for a breach of
law, but he can not be punished for nothing else.34
Rule of law, Di tempat pertama, supremasi yang absolute atau dominasi
aturan hukum yang regular sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan
arbitrasi, dan perkecualian dari eksistensi arbitrasi,prerogratif, atau
bahkan luasnya kekuasaan diskresi pemerintah…, seseorang dapat saja
dihukum apabila melanggar hukum, tapi dia tidak dapat dihukum untuk
hal lainnya.
Dengan demikian supremasi hukum berarti superioritas hukum,
sehingga tidak lagi ada kesewenang-wenangan. Seseorang hanya dapat
dihukum jika melanggar hukum, tidak untuk yang lain. Oleh sebab itu
hukum tidak boleh menjadi “alat”, akan tetapi harus menjadi tujuan, yaitu
untuk melindungi kepentingan rakyat. Hukum disamping bersifat represif
juga harus bersifat responsif artinya bahwa hukum itu tidak hanya berisi
32 Lawrence M. Friedman, 1998, American Law An introduction, Second Edition, terjemahan Wishnu Basuki, 2001, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, h. 251 33 Moh. Kusnardi & Bintan Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet. 4, Gaya Media Pratama,
Jakarta 34 Wade. E.C.S. and Godfrey Philips.G, 1997, Constitutional and Administrative law, Ninth
Edition by A.W. Bradley, Great Britain, h. 87
73
aturan-aturan yang normatif dan imperatif, melainkan harus mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan sehingga tidak merusak
kepentingan rakyat dalam artian hukum yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat (hukum responsif).35
Dalam konteks usaha penataan organisasi perangkat daerah Kabupaten
Gianyar tentunya tidak lepas dari asas legalitas dalam Negara hukum bahwa
segala tindakan pemerintah daerah tentunya didasarkan atas hukum dan
menempatkan hukum sebagai panglima yang mengatur usaha penataan
organisasi perangkat daerah tersebut. Dinamika perubahan dalam skala global
menuntut organisasi perangkat daerah melakukan perubahan untuk
mempertahankan eksistensinya. Organisasi perangkat daerah harus
disesuiakan dengan situasi dan kondisi yang ada yakni melakukan
penyesuaian untuk menjadi lebih fleksibel. Dalam lingkup organisasi
perangkat daerah, keluarnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
Tentang Perangkat Daerah menuntut penyesuaian pada pola penataan
kelembagaannya.
Di Kabupaten Gianyar organisasi perangkat daerah sebelumnya diatur
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah serta Peraturan Daerah
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Gianyar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat
35 Philip Selnick dan Seil Noneck 2008, Hukum Responsif, Cet, 2, Terjemahan Raisul Muttaqien, Nusamedia, Bandung, h. 84
74
Daerah. Pedoman dasar pembentukan Peraturan Daerah ini adalah Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan
Pemerintah No 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Adanya
perubahan undang-undang tentang Pemerintahan daerah dengan Undang-
Undang 23 Tahun 2014, dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016
Tentang Perangkat Daerah, maka dituntut penyesuaian Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, terhadap aturan baru
yang ada di atasnya tersebut. Mengapa demikian karena pada asasnya berlaku
bahwa aturan yang lebih rendah tidak bertentangan dengan aturan yang lebih
tinggi.
Suatu peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UUD
harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan UUD. Sehingga peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya dalam hal ini hukum bersifat
hierarki, yang artinya ketentuan yang paling bawah tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan yang derajatnya lebih tinggi (Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan). Hal ini sejalan dengan teori penjenjangan norma
(Stufenbau Theorie ) dari Hans Kelsen36 yang menyatakan bahwa suatu norma
36 Otje Salman, 1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung, h. 14
75
hukum itu valid karena dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu
norma hukum lainnya yang lebih tinggi yang digambarkan sebagai hubungan
yang “superordinasi “ dan “subordinasi”.37
Teori penjenjangan norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh
seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan suatu
norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Dopplelte Rechtsantlitz).
Menurut Adolf Merkl, suatu hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar
pada norma yang di atasnya, tetapi kebawahnya juga menjadi dasar dan
menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya. Suatu norma hukum itu
mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa
berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang
berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya
dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya
tercabut atau terhapus pula.
Berdasarkan teori Adolf Merkl tersebut, dalam teori penjenjangan norma
dari Hans Kelsen, juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
berdasar dan bersumber pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma
hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih
rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma
yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma
dibawahnya sehingga apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi
37 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum normative Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriftif, Alih Bahasa Somardi, Rindipress, h. 126
76
rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya. Hans Nawiasky, salah
seorang murid dari Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori
jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam
bukunya yang berjudul Allegemeine Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai
dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku,
berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi,
sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Tetapi
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam
suatu negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:
Kelompok I : Staatsfundamenlatnorm (Norma Fundamental Negara)
Kelompok II : Staats grundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-Undang ‘formal’)
Kelompok IV : Verodnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan
Otonom)
Kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata
susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang
77
berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap
kelompoknya38.
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar
suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahnya. Hakikat
hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya
konstitusi, dan menurut Carl Schmitt ini merupakan keputusan atau
konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine
Gesammtentschedung iiber Art und Form einer politischen Einheit), yang
disepakati oleh suatu bangsa.39
Karakteristik dari negara kesatuan adalah sentralisasi/konsentrasi,
sehingga semua kewenangan baik kewenangan politik maupun kewenangan
administrasi akan terpusat pada Pemerintah Pusat. Kewenangan politik
berkaitan dengan perumusan kebijaksanaan/pembuatan kebijaksanaan
sedangkan kewenangan administrasi berkaitan dengan pelaksanan dari
kebijakasanaan tersebut dan itu semua merupakan ciri khas dari negara
kesatuan. Dengan luas wilayah yang ada di Indonesia dan juga karakter yang
berbeda-beda, maka pelaksanan segala urusan yang terpusat tidak akan dapat
berlangsung secara efektif dan efisien. Efektif berkaitan dengan tujuan yang
ingin dicapai sedangkan efisien berkaitan dengan penggunaan pikiran, tenaga,
38Maria Farida Indarti Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang- Undangan, Kanisius, Yogyakarta,
h.25-27 39Ibid, h. 288.
78
maupun waktu yang sehemat mungkin. Supaya penyelenggaraan
pemerintahan dapat berlangsung secara efektif dan efisien maka dari itu
timbulah suatu pemikiran pemikiran kearah desentralisasi. Desentralisasi
berkaitan dengan kepentinyan nyata, yang sebenarnya menjadi kepentingan
masyarakat yang ada di masing-masing daerah, sehingga diperlukan adanya
pemencaran kewenangan dengan maksud untuk dapat berlangsung secara
efektif dan efisien. Dalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
ditandai dengan adanya kewenangan yang di berikan Pemerintah Pusat
kepada daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi
terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap daerah tersebut
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus urusanya sendiri
dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi yang
pada akhirnya melahirkan otonomi daerah. Pemberian otonomi kepada
daerah diaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan beberapa
79
aspek yang terkait dengan keaneka ragaman daerah serta kekhususan yang
ada pada masing-masing daerah.
Tugas pemerintahan adalah untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dan tugas tersebut
merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas-tugas
administrasi negara dan pemerintahan, sehingga diperlukan peraturan yang
dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi
lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly),
membatasi kekuasaan administrasi negara dalam menjalankan tugas
pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. Dalam pelaksanan urusan
pemerintahan harus ada pembagian yang jelas antara pemerintah pusat
dengan Pemerintah daerah. Penyerahan kewenangan pemerintah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi harus disertai dengan penyerahan
pembiayaan, prasarana, personil dan dokumen sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Oleh
karena itu dalam rangka melaksanakan cara pembagian urusan dikenal
adanya desentralisasi dan dekonsentrasi serta tugas pembantuan.
Desentralisasi akan melahirkan apa yang disebut dengan otonomi, yang
berarti mengurus diri sendiri.
Dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, dan tiap-tiap provinsi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-
80
Undang . Undang-Undang yang dimaksud oleh UUD NRI 1945 tersebut saat
ini adalah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintah Daerah diberikan otonomi dan juga berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan, (Pasal 18 ayat 6 UUD 1945). Menurut UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah:
Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
system Negara kesatuan Republik Indonesia. Daerah Otonom menurut UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada beberapa ciri-ciri daerah
otonom yaitu:
1. Mempunyai aparatur pemerintahan sendiri.
2. Mempunyai urusan / wewenang tertentu.
3. Mempunyai wewenang mengelola sumber keuangan sendiri.
4. Mempunyai wewenang membuat kebijaksaan / perbuatan sendiri.
Menurut Mohammad Hatta, pembentukan pemerintahan daerah
(pemerintahan yang berotonomi), merupakan salah satu aspek pelaksanaan
paham kedaulatan rakyat (demokrasi): “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu,
hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk
81
pimpinan negeri, melainkan juga pada tiap tempat di kota, di desa dan di
daerah.40 Prinsip otonomi daerah yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun
2014 adalah prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab.
Prinsip otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi
urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU ini. Daerah memiliki
kewenangan membuat kebijakan daerah memberi palayanan, peran serta,
prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pelaksanaan Otonomi Daerah dilaksanakan pula dengan
prinsip otonomi yang nyata, maksudnya adalah suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan
daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung
jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip
itu penyelenggaraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan
dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan
otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah
40Mohammad Hatta, 1976,. Kumpulan Karangan (I), Bulan Bintang, Jakarta. h. 3
82
dengan daerah lainnya artinya, mampu membangun kerjasama antar daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan
antar daerah, masalah pemberian otonomi seluas-luasnya lebih banyak timbul
dari salah pengertian, yaitu ada semacam anggapan dengan pemberian
otonomi seluas-luasnya akan terjadi hubungan yang tidak seimbang antara
Pusat dan Daerah. Pusat dapat menjadi terlalu lemah dan daerah menjadi
terlalu kuat. Kesalah pengertian ini dapat dihindari kalau beberapa prinsip
negara berotonomi:
a) Otonom adalah perangkat dalam negara kesatuan. Jadi seluas-luasnya
otonomi tidak dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan negara
kesatuan.
b) Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintahan
antara Pusat dan Daerah. Urusan pemerintahan tidak dapat dikenali
jumlahnya. Pembagian urusan (urusan yang diserahkan) harus di lihat
dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu
lebih ditekankan pada urusan pelayanan (services). Dengan demikian
segala urusan yang akan menjadi ciri dan kendali keutuhan negara
kesatuan akan tetap pada pusat. Jadi sesungguhnya pengertian otonomi
luas bukanlah terutama soal jumlah urusan. Otonomi luas harus lebih
diarahkan pada pengertian kemandirian (zelfstandingheid) yaitu
kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-cara mengurus rumah
tangganya sendiri, menurut prinsip-prinsip umum negara berotonomi)
83
c) Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme
kendali dari Pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali
keuangan. Telah dikemukakan bahwa dari berbagai sistem otonomi,
tampaknya otonomi riil dipandang sebagai suatu yang cocok bagi
penyelenggaraan otonomi di Indonesia. Dalam rangka menegaskan bahwa
otonomi riil (nyata) tersebut adalah otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Dalam Tap MPR 1993 ditambah dengan kualifikasi lain sehingga menjadi:
“nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab”. Akibat berbagai
kualifikasi ini esensi otonomi nyata menjadi kabur, karena yang selalu
ditekankan misalnya soail bertanggung jawab. Salah satu yang menyolok
adalah tetap dilaksanakan prinsip uninformitas dalam penyerahan urusan
rumah tangga daerah. Sedangkan otonomi riil (nyata) justru tidak
menghendaki prinsip uniformitas tersebut. Pemberian otonomi harus
benar-benar didasarkan pada kenyataan yang ada di daerah yang
bersangkutan. Dari uraian diatas, maka dua hal penting dalam penentuan
isi otonomi daerah, yaitu:
d) Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Yang harus diluaskan
adalah kemandirian daerah. Betatapun banyak urusan yang diserahkan,
apabila daerah tidak mendiri tidak akan mewujudkan otonomi yang
sebenarnya.
84
e) Penyelenggaraan otonomi riil (nyata) tidak menghendaki prinsip
uniformitas dalam penyerahan urusan. Tiap daerah akan memilih urusan
rumah tangga sesuai dengan kenyataan yang ada pada daerah tersebut.41
Pada pengertian otonomi daerah terkandung konsepsi adanya
kemandirian (zelfstandigheid) Pemerintah Daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan atau
dibiarkan sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan lebih rendah.42
Dalam melaksanakan otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah
maka kemudian pemerintah daerah menetapkan suatu peraturan daerah dan
peraturan lain sebagai instrument hukum untuk melaksanakan otonomi
daerah tersebut, dimana Peraturan Daerah ini merupakan salah satu jenis
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang secara rincinya
mengatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Tap MPR
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah;
41Bagir Manan, Op.Cit. h, 144-149 42Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1990, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 128
85
Menurut pertingkatan hukum, materi dan jenis hukum yang lebih tinggi
untuk operasionalnya harus dituangkan atau menjadi materi. Jenis hukum
yang lebih rendah, yang tidak dibenarkan adalah apabila bertentangan, baik
secara harfiah maupun dalam hal jiwanya pengaturan. Sehingga dalam hal ini
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatanya. Hal ini sejalan dengan teori
penjenjangan norma (Sufenbou Theorie ) dari Hans Kelsen,43 yang menyatakan
bahwa suatu norma hukum itu valid karena dibuat menurut cara yang
ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya yang lebih tinggi yang
digambarkan sebagai hubungan yang “superordinasi “ dan “subordinasi”.44
Dalam membentuk Peraturan Perundang-Undangan tersebut haruslah
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik seperti yang diatur dalam Pasal 5 beserta penjelasannya . UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan, yaitu
sebagai berikut:
a. Asas kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b. Asas kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat,yaitu bahwa setiap
jenis peraturan Perundang-Undangan harus dibuat oleh Lembaga
Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berwenang. Peraturan
43 Otje Salman, 1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung, h. 14 44 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum normative Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriftif, Alih Bahasa Somardi, Rindipress, h. 126
86
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,
bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu bahwa dalam
pembentukan peraturan Perundang-Undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
Perundang-Undangannya.
d. Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
Perundang-Undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar di butuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan, yaitu bahwa setiap peraturan perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan, sistematika mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas Keterbukaan, yaitu bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,
dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
87
untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Demikian juga materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mengandung beberapa asas seperti yang diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
diuraikan lebih lanjut dalam penjelasannya, yaitu sebagai berikut:
a. Asas Pengayoman, yaitu setiap menteri muatan peraturan perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas Kemanusiaan, yaitu setiap materi muatan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.
c. Asas Kebangsaan, yaitu setiap muatan peraturan perundang-undanagn
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik
(kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia.
d. Asas Kekeluargaan, yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas Kenusantaraan, yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan
88
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian
dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila.
f. Asas Bhineka Tunggal Ika, yaitu materi muatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Asas Keadilan, yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan todak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasrkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, yaitu setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melelui jaminan adanya kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, yaitu setiap metari
muatan setiap materi perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
89
Peraturan Daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi
Peraturan Daerah yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan asas adalah
suatu alam pikiran dan cita-cita ideal yang bersifat umum dan abstrak yang
melatar belakangi pembentukan norma hukum yang konkret. Peraturan
Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuAan bersama kepala daerah, yang
terdir dari Peraturan Daerah Provinsi/atau peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Salah satu yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka
menciptakan produk hukum daerah khususnya Perda yang aspiratif dan
berkualitas adalah dengan memperhatikan dan memprioritaskan aspek dan
komponen yang harus ada dalam produk hukum daerah tersebut. Ada 5 aspek
utama yang menjadi landasan dalam menciptakan produk Hukum Daerah,
yaitu:
a. Aspek Filosofis
Produk hukum daerah yang dibuat haruslah berlandaskan pada kebenaran
dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat,
kelestarian ekosistem dan supremasi hukum.
b. Aspek Sosiologis
Produk hukum daerah yang dibuat muncul dari harapan, aspirasi, dan
sesuai dengan konteks kebutuhan sosial masyarakat.
90
c. Aspek Yuridis
Produk Hukum Daerah yang dibuat menjungjung tinggi supremasi dan
kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
d. Aspek Substansi
Produk Hukum Daerah harus memuat gagasan pengaturan suatu materi di
bidang tertentu yang telah ditinjau secara holistik-futuristik dan dari
berbagai aspek ilmu. Inilah mengapa penting bagi setiap peraturan daerah
memiliki naskah akademis yang memuat aspek subtansi yang akan diatur
secara ilmiah.
Dalam kaitan dengan hal di atas, dalam penyusunan suatu perundang-
undangan termasuk juga dalam penyusunan peraturan daerah perlu juga
diperhatikan beberapa prinsip agar produk hukum yang dibentuk dapat
memberikan dasar/landasan hukum bagi pelaksanaan suatu tugas
pemerintahan. Mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun
suatu peraturan daerah antara lain adalah :
1. larangan adanya kekosongan hukum. Kekosongan hukum dapat terjadi
bilamana suatu undang-undang baru tidak menyebutkan kapan waktu
pemberlakuan undang-undang bersangkutan.
2. larangan adanya norma kabur dalam perundang-undangan. Norma
kabur dapat terjadi bilamana norma bersangkutan tidak jelas isi dan
lingkupannya.
91
3. larangan adanya konflik norma baik secara internal maupun eksternal.
Konflik norma internal dapat terjadi bila dalam suatu produk hukum
antara norma yang satu dengan norma yang lainnya tidak sinkron,
sedangkan konflik norma eksternal terjadi bilamana ketidaksinkronan
terjadi antara norma dalam suatu produk hukum dengan norma pada
produk hukum lainnya yang berkaitan.
Dihindari atau tidak dijumpainya beberapa kelemahan dalam
penyusunan suatu perundang-undangan dan peraturan daerah seperti di atas,
akan dapat mencegah atau mengatasi kelemahan penegakan hukum dari
aspek hukumnya sendiri. Secara normatif, hal ini sangat penting dalam
pelaksanaan penegakan hukum, karena akan dapat memberikan
jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi tindakan pemerintah
yang diduga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat.
Disamping itu agar Produk Hukum Daerah khususnya Peraturan
Daerah dapat mendukung penegakan hukum yang efektif harus mengatur
secara komprehensif mengenai beberapa hal/mengandung beberapa
komponen, yaitu:
a. Substansi (Subtance)
Subtansi atau muatan produk hukum daerah harus memperhatikan dam
memuat aspek filosofis, sosiologis dan subtansi teori secara ilmiah.
b. Kelembagaan (structure)
Produk Hukum daerah khususnya peraturan daerah seharusnya
mengatur mengenai kelembagaan dan aparat penegak hukum yang menjadi
92
bagian terpenting dari penegak hukum yang diatur dalam produk hukum
daerah.
c. Budaya Hukum (Culture)
Produk hukum daerah harus juga memperhatikan, mengakomodir, dan
tidak bertentangan dengan kebudayaan masyarakat. Lebih baik jika produk
daerah dapat mengangkat kearifan masyarakat adat, agama dan lokal,
khususnya budaya penataan hukum masyarakat.45
Dalam Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa yang menjadi materi
muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaran otonomi daeah dan tugas pembantuan dan penampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Materi muatan peraturan daerah tersebut
merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari
materi maupun peraturan daerah juga berisi hal-hal yang merupakan
kewenangan daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah Daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, didalam mengendalikan pelaksanaan tugas
pemerintahan maupun kegiatan pembangunan di wilayahnya menetapkan
berbagai produk hukum. Produk hukum yang ditetapkan diperlukan untuk
mengatur dan menjadi dasar yuridis dari pemerintah didalam mengurus
45 Harry Alexander, 2004, Paduan Perancang Peraturan Daerah di Indonesia, Solusido,
Jakarta, , h. 43-50
93
urusan yang menjadi wewenangnya. Perbuatan mengatur dan mengurus
tersebut merupakan wujud sikap-tindak Pemerintah berdasarkan hukum
publik bersegi satu yang dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan
baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub
delegasi)46.
Pembentukan peraturan daerah mengenai organisasi perangkat daerah
di Kabupaten Gianyar menjadi hal yang sangat urgen untuk dilakukan.
Maksud pembuatan peraturan daerah ini sebagai respon dari berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah. Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 membawa perubahan yang signifikan terhadap
pembentukan perangkat daerah, yakni dengan prinsip tepat fungsi dan tepat
ukuran berdasarkan beban kerja yang sesuai dengan kondisi nyata di masing-
masing daerah. Hal ini juga sejalan dengan prinsip penataan organisasi
perangkat daerah yang rasional, proporsional, efektif dan efisien.
Pengelompokan organisasi perangkat daerah didasarkan pada konsepsi
pembentukan organisasi yang terdiri dari 5 (lima) elemen yaitu kepala daerah
(strategic apex), sekretaris daerah (middle line), dinas daerah (oprating core),
badan/fungsi penunjang (technostructure), dan staf pendukung (supporting
staf). Penerapan konsep– konsep baru penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan penerapan konsep-konsep baru
pula mengenai organisasi perangkat daerah dalam Peraturan Pemerintah
46 Sjachran Basah, 1986, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, h. 13-14.
94
Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah, dimana diterapkan
standar-standar penilaian bagi masing-masing perangkat daerah yang
menentukan eksistensinya, berdasarkan asas legalitas dan teori hierarki
perundang-undangan maka dipandang perlu untuk mengatur kembali
organisasi perangkat daerah Kabupaten Gianyar, menggantikan Peraturan
Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perangkat Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, yang secara yuridis
sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan secara empiris sudah tidak sesuai dengan perubahan serta perkembangan
arah kebijakan pemerintah.
95
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Jangkauan dari pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
tentang perangkat daerah ini adalah pembentukan perangkat daerah dengan
prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran berdasarkan beban kerja yang sesuai
dengan kondisi nyata. Arah pengaturannya yaitu pembentukan perangkat
daerah sebagai unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, yang dalam pembentukaannya
didasarkan pada asas efisiensi, efektivitas, pembagian habis tugas, rentang
kendali, tata kerja yang jelas dan fleksibilitas.
5.2. Ruang Lingkup dan Jangkauan Pengaturan Pembentukan Dan
Susunan Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar
Adapun ruang lingkup pengaturan dalam rancangan peraturan daerah
Kabupaten Gianyar tentang pembentukan dan susunan perangkat daerah ini
meliputi :
A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa;
I. Ketentuan Umum;
96
1. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur Penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom;
4. Kabupaten adalah Kabupaten Gianyar;
5. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Gianyar;
6. Bupati adalah Bupati Gianyar;
7. Wakil Bupati adalah Wakil Bupati Gianyar;
8. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan
sebagai unsur Penyelenggara Pemerintah Kabupaten Gianyar;
9. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang
berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan
97
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
10. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Kementrian Negara dan Penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk
melindungi, melayani, memberdayakan, dan mensejahterakan
masyarakat;
11. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh semua Daerah;
12. Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang
wajib diselenggar akan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang
dimiliki Daerah;
13. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada
Daerah untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah
Provinsi kepada Kabupaten untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi;
14. Layanan Dasar adalah pelayanan publik untuk memenuhi
kebutuhan dasar Warga Negara;
15. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Perda
Kabupaten Gianyar;
98
16. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut perkada adalah
Peraturan Bupati Gianyar;
17. Sekretariat Daerah adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Gianyar;
18. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Gianyar;
19. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat
Sekretariat DPRD adalah Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Gianyar;
20. Inspektorat adalah Inspektorat Kabupaten Gianyar;
21. Dinas Daerah adalah Dinas Daerah KabupatenGianyar;
22. Badan Daerah adalah Badan Daerah Kabupaten Gianyar;
23. Kecamatan adalah Kecamatan di wilayah Kabupaten Gianyar;
24. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah unsur
pelaksanan Dinas/Badan yang melaksanakan kegiatan teknis
operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu;
25. Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP
adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses
dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian
produk layanan melalui satu pintu;
26. Badan Layanan Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BLUD,
adalah instansi di lingkungan pemerintah daerah, yang dibentuk
untuk memberikan layanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
99
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efesiensi dan produktivitas;
27. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, yang
selanjutnya disingkat PPK-BLUD adalah pola pengelolaan keuangan
yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan
praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
b. Materi Pokok yang Diatur
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan materi pokok yang akan diatur disusun dengan berpedoman
pada kriteria sebagai berikut:
1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan
umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang
diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan
menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti
pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam
hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,
100
Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur dalam
Peraturan Daerah tentang Pengaturan Pembentukan Dan Susunan Perangkat
Daerah Kabupaten Gianyar
II. Ruang Lingkup Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah;
III. Pembentukan Perangkat Daerah;
IV. Jenis Dan Tipelogi Perangkat Daerah;
V. Unit Pelaksana Teknis;
VI. Unit Pelayanan Terpadu;
VII. Staf Ahli;
VIII. Pembiayaan
IX. Ketentuan Peralihan;
X. Ketentuan Penutup.
101
C. Ketentuan Sanksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika
diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah
tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan Daerah
tentang Pengaturan Pembentukan Dan Susunan Perangkat Daerah Kabupaten
Gianyar yang akan dibentuk memerlukan pengaturan tentang sanksi pidana.
D. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum
atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru,
yang bertujuan untuk:
1. Menghindari terjadinya kekosongan hukum.
2. Menjamin kepastian hukum.
3. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
4. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berdasarkan kajian pada landasan yuridis, Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar tentang Pengaturan Pembentukan Dan Susunan
Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar.
102
BAB VI
PENUTUP
6.1. Simpulan
Penerapan konsep-konsep baru penyelenggaraan otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan penerapan konsep – konsep baru
pula mengenai organisasi perangkat daerah dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah, dimana diterapkan
standar-standar penilaian bagi masing-masing perangkat daerah yang
menentukan eksistensinya, berdasarkan asas legalitas dan teori hierarki
perundang-undangan maka dipandang perlu untuk mengatur kembali
organisasi perangkat daerah Kabupaten Gianyar, menggantikan Peraturan
Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar, sebagaimana telah dirubah
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 6 Tahun 2008
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Gianyar,
yang secara yuridis sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan secara empiris sudah tidak sesuai dengan
perubahan serta perkembangan arah kebijakan pemerintah.
Jangkauan dari pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar
tentang perangkat daerah ini adalah pembentukan perangkat daerah dengan
prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran berdasarkan beban kerja yang sesuai
103
dengan kondisi nyata. Arah pengaturannya yaitu pembentukan perangkat
daerah sebagai unsur pembantu Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, yang dalam pembentukaannya
didasarkan pada asas efisiensi, efektivitas, pembagian habis tugas, rentang
kendali, tata kerja yang jelas dan fleksibilitas.
6.2. Saran
Mempertimbangkan aspek sosiologis melalui kajian empirik, serta aspek
yuridis yang mengikuti kedinamikaan di daerah, khususnya kompleksitas
persoalan dan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar, membawa
konsekuensi bahwa organisasi perangkat daerah harus dibuat berdasarkan
peta kebutuhan yang terukur dan kajian argumentasi yang rasional.
Organisasi perangkat daerah merupakan aktor yang dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga perbaikan-perbaikan dalam
upaya mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat perlu
dilakukan secara berkelanjutan agar eksistensinya selalu selaras dan sinergi
dengan kondisi yang ada.
104
DAFTAR PUSTAKA
S.P. Siagian, 1973, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta
Dwight Waldo, 1971, Pengantar Studi Public Administration, Tjemerlang,
Jakarta
The Liang Gie, 1978, Unsur – Unsur Administrasi, Suatu Kumpulan Karangan,
Karya Kencana Yogyakarta.
Ali Mufis, 2009, Pengantar Ilmu Administrasi Negara, Universitas Terbuka,
Jakarta.
Bagir Manan, 1995, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-
undangan Tingkat Daerah. Univ. Islam Bandung, Bandung.
A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peraturan Keputusan Presiden republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan pemerintahan Negara (Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi
Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV), Disertai,
Fakultas Pascasarjana, Univ. Indonesia, Jakarta, h. 330.
Phillippe Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition
Toward Responsive Law, Harper Colophon Books, New York.
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan tolak ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Alumni Bandung.
Ismail Suny, 1984, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta.
J.H. Rapar, 1988, Filsafat politik Plato, Rajawali Pers, Jakarta.
E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka
Tinta Mas, Surabaya.
Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet. 4,
Gaya Media Pratama, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi
Revisi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
konstitusi RI.
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.
Philipus M Hadjon, 1992, Pemerintahan Menurut Hukum, Kumpulan Makalah
Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Tata Usaha Negara,
disampaikan pada penataran “Hukum Administrasi dan Hukum
Lingkungan” Diselenggarakan Dalam Rangka Kerja Sama Hukum
Indonesia – Belanda tanggal 18 – 28 November 1992 Di
Universitas Airlangga, Surabaya.
H. Mustamin DG. Matutu, et.al, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan
Implementasinya Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
105
H.Harris Soche, 1985, Supremasi Hukum dan prinsip Demokrasi di Indonesia,
Hanindita, Yogyakarta.
Lawrence M. Friedman, 1998, American Law An introduction, Second Edition,
terjemahan Wishnu Basuki, 2001, Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, Tatanusa, Jakarta.
Moh. Kusnardi & Bintan Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet. 4, Gaya Media
Pratama, Jakarta.
Wade. E.C.S. and Godfrey Philips.G, 1997, Constitutional and Administrative
law, Ninth Edition by A.W. Bradley, Great Britain.
Philip Selnick dan Seil Noneck 2008, Hukum Responsif, Cet, 2, Terjemahan
Raisul Muttaqien, Nusamedia, Bandung.
Otje Salman, 1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum normative
Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriftif, Alih Bahasa Somardi,
Rindipress.
Maria Farida Indarti Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang- Undangan, Kanisius,
Yogyakarta.
Mohammad Hatta, 1976,. Kumpulan Karangan (I), Bulan Bintang, Jakarta.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1990, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Alumni, Bandung.
Otje Salman, 1992, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum normative
Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Deskriftif, Alih Bahasa Somardi,
Rindipress.
Harry Alexander, 2004, Paduan Perancang Peraturan Daerah di Indonesia,
Solusido, Jakarta.
Sjachran Basah, 1986, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak
administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, h. 13-14.
top related