manajemen kasus hiv.docx
Post on 04-Jun-2018
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 1/30
BAB I
STATUS PASIEN
1.1. IDENTITAS
Nama : Tn.DP
Usia : 31 th
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Mendigan RT 19, Sambirejo, Plupuh
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
MRS : 15 Oktober 2013
1.2. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan tanggal 21 Oktober 2013 secara autoanamnesis.
KELUHAN UTAMA:
Badan terasa lemas
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 minggu SMRS. Pasien
mengaku mengalami BAB cair sejak 7 HSMRS tanpa ampas berwarna kuning. Pasien sudah
membeli obat di warung untuk mengobati diare. 1 HSMRS diare berhenti, namun badan
masih terasa lemas dan makin lama makin memberat. Pasien juga mengeluh dada terasa
ampeg, terutama saat bernapas. Selain itu, pasien merasa berat badannya terus berkurang
selama beberapa bulan terakhir.
ANAMNESIS SISTEM
Serebrospinal : Pusing (-), nyeri kepala (-), demam (-)
Respirasi : batuk (+), pilek (-), dada ampeg (+)
Kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sebah (-), nafsu makan baik
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 2/30
Urogenital : BAK normal, warna kuning jernih
Integumentum : benjolan (-), gatal (+), ruam (-), deformitas (-)
Muskuloskeletal : pegal (+), kelemahan anggota gerak (-), nyeri sendi (-)
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Riwayat sariawan saat 2 minggu SMRS. Pasien sudah berobat ke dokter, dan keluhan
berkurang.
- Riwayat batuk lama dan kelenjar getah bening membesar di tahun 2010. Pasien
didiagnosis TB dan mengaku sudah menyelesaikan pengobatan selama 6 bulan.
- Pasien sering mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama makin
memberat.
- Pasien mengaku sering mengalami gatal-gatal di kulit sejak mendapat pengobatan
TB. Tetapi meskipun pengobatan telah selesai, pasien masih merasakan gatal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Riwayat sakit serupa di dalam keluarga disangkal
KEBIASAAN/LINGKUNGAN
- Pasien bekerja di diskotik di Jakarta dan merupakan pengguna narkoba dengan jarum
suntik pada tahun 2005-2006. Pasien menggunakan jarum suntik bergantian dengan
teman-temannya. Pasien tidak mengetahui apakah ada diantara teman-temannya yang
positif mengidap HIV. Saat ini ia mengaku tidak lagi menggunakan narkoba sejak 7
tahun lalu.
1.3. Status Generalisata
A. Pemeriksaan Vital Sign
Dilakukan pada tanggal 21Oktober 2013Tekanan Darah: 90/60mmHg
Respirasi : 24x/menit, regular
Nadi : 88x/menit, regular
Suhu axila: 36,5OC
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 3/30
B. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
Dilakukan tanggal 25 September 2013
1) Keadaan Umum
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4V5M6
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 45 kg
Status Gizi : Kurang
2) Pemeriksaan Kepala
Kepala
Rambut : Tipis, tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Telinga : dalam batas normal
Mulut : atropi papil lidah (-), sianosis (-)
3) Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Pembesaran kelenjar thyroid (-), Pembesaran limfonodi (-)
Palpasi : Limfonodi teraba (-), Nyeri tekan (-)
Pemeriksaan Tekanan Vena Sentral : Normal
4) Pemeriksaan Thoraks
Pulmo
Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, massa (-), retraksi otot bantu
pernafasan (-), pengembangan dada simetris
Palpasi : nyeri (-), fremitus taktil kanan dan kiri sama, pengembangan paru
simetris(-)
Perkusi : Paru kanan: sonor di seluruh lapang paru
Paru kiri : redup di SIC V
Auskultasi :suara dasar vesicular (+ normal/ menghilang) ronki (-/-), wheezing
(-/-)
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 4/30
Cor
Inspeksi : Denyut ictus kordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis (+), thrill (-)
Perkusi : - batas jantung kanan di linea sternalis dekstra,
- batas jantung kiri di linea midclavicula sinistra
- batas jantung atas di linea sternalis sinistra
- batas pinggang jantung di linea parasternalis sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, bising (-)
5) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Simetris, permukaan abdomen sama tinggi dengan
permukaan dada, spider nevi (-), tak tampak massa
Palpasi : supel, hepar dan lien teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di empat kuadran (+), asites (-).
Auskultasi : Peristaltik (+), Bising aorta (-).
6) Muskuloskeletal
Kelemahan anggota gerak (-), deformitas (-), oedem (-/-)
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
Hasil pemeriksaan darah rutin (tanggal 23 September 2013) Hb : 14,1 12,2-18,1 g/dl
AE : 4,84 4,04-6,13 Jt/µl
MCV : 83,9 80-97 fL
MCH : 29,2 27-31,2 pg
MCHC : 34,8 31,8-35,4 g/dL
AL : 5,07 4,6-10,2 ribu/µl
Limfosit : 18,6 19-48 %
Total limfosit : 1 1-3,7 ribu/ µl
AT : 226 150-450 ribu/µl
KIMIA KLINIK
GDS : 68 mg/dl 75-200
SGOT : 162 U/l 0-31
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 5/30
SGPT : 146 U/l 0-32
Ureum : 28,2 mg/dl 10-50
Kreatinin : 1,24 mg/dl 0,6-0,9
- Radiologis : TB Paru aktif
- Anti HIV
Standard Diagnostic Reaktif Non reaktif
Intec Reaktif Non reaktif
Kesimpulan: Reaktif
1.5. RESUME
Pasien seorang laki-laki usia 30 tahun, datang dengan keluhan badan lemas setelah
mengalami diare selama 7 hari. Saat datang ke IGD, diare telah berhenti. Pasien juga mengeluh
dada ampeg. Pasien sebelumnya telah mengalami diare kambuh-kambuhan yang makin lama
makin memberat. Pasien juga pernah mengalami sariawan lama yang telah diobati dan
berkurang. Saat tahun 2010 didiagnosis TB dan telah menjalani pengobatan selama 6 bulan.
Pasien sering menggunakan jarum suntik bergantian dengan temannya saat masih memakai
narkoba tahun 2005-2006 di Jakarta. Berat badan pasien juga berkurang selama beberapa bulan
terakhir.
1.6. DIAGNOSIS
- KP
- HIV
1.7. RENCANA PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan CD4
b. Tindakan terapi
- IVFD RL 20 tpm makro
- Inj. Cefotaxim 1 gr/24 jam
- Inj Ondancentron 1 amp/12 jam
- Inj Sohobion 1 amp/24 jam drip
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 6/30
- Rifampisin 450 mg (1x1)
- Pirazinamid 500 mg (2x1)
- INH 300 mg (1x1)
- Etambutol 500 mg (2x1)
- Dextromethorphan 3xI cth
(Terapi ARV tanggal 23/10/2013)
- Tenofovir DF tab 1x1
- Lamivudine tab 1x1
- Efavirenz tab 1x1
1.8. FOLLOW UP
Tanggal S A P
16/10/2013 S:Lemas (+), batuk (+)
O: KU: sedang
Ks:Compos Mentis
TV:
TD:90/60mmHg
R : 28 x/m N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru: SDV
(+/+), suara tambahan (-
/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jam
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 7/30
17/10/2013 S: batuk berdahak(+)
ampeg (+)
O: KU: sedang
Ks: Compos Mentis
TV:
TD: 90/60mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru: SDV
(+/+),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbnAbdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jam
Oral
- Dextromethorphan
3xI cth
18/10/2012 S: Batuk (+)
O: KU: sedang
Ks: Compos Mentis
TV:
TD: 90/60mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jam
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 8/30
ikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan
gerak, tidak teraba
massa, SDV (+N/+↓),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
Oral
Dextromethorphan
3xI cth
19/10/2013 S: Batuk (+)
O: KU: sedang
Ks:CM
TV:
TD: 90/50mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtivaanemis(-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan
gerak, tidak teraba
massa, SDV (+N/+↓),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
-
Inj Ondancentron 1amp/12 jam
Oral
Dextromethorphan
3xI cth
20/10/2013 S: Batuk berdahak (+) - HIV - IVFD RL 20 tpm
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 9/30
O: KU: sedang
Ks:Compos Mentis
TV:
TD: 90/60mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan
gerak, tidak teraba
massa, SDV (+N/+↓),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
- KP makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jam
Oral
- Dextromethorphan
3xI cth
21/10/2013 S: Batuk berdahak
berkurang (+)
O: KU: sedang
Ks:Compos Mentis
TV:
TD: 90/60mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), sklera
ikterik (-/-)
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jam
Oral
- Dextromethorphan
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 10/30
Leher : dbn
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan
gerak, tidak teraba
massa, SDV (+N/+↓),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
3xI cth
22/10/2013 S: Batuk (+)
O: KU: sedang
Ks:Compos Mentis
TV:
TD: 90/60mmHg
R : 20 x/m
N: 80x/menit
S: 36,6OC
Kepala : konjungtiva
anemis(-/-), skleraikterik (-/-)
Leher : dbn
Thorax : Paru:simetris,
tidak ada ketinggalan
gerak, tidak teraba
massa, SDV (+N/+↓),
suara tambahan (-/-)
Jantung : dbn
Abdomen: dbn
Ekstremitas : oedem (-)
- HIV
- KP
- IVFD RL 20 tpm
makro
- Inj. Cefotaxim 1
gr/24 jam
- Inj Ranitidin 1
amp/12 jam
- Inj Sohobion 1
amp/24 jam drip
- Inj Ondancentron 1
amp/12 jamOral
- Rifampisin 450 mg
(1x1)
- Pirazinamid 500
mg (2x1)
- INH 300 mg (1x1)
- Etambutol 500 mg
(2x1)
Dextromethorphan
3xI cth
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 11/30
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,
sehingga tubuh tidak mampu lagi melindungi. HIV adalah singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus dan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome
yaitu suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
yang disebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasilakhir dari infeksi oleh HIV (Sylvia & Wilson, 2005).
2.2 Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna
narkotika, pekerja seks komersil, dan pelanggannya, serta narapidana.
Namun infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik
kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha
berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase
penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika makin meningkat. Beberapa bayi yang
terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan
heteroseksual.
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai
dengan akhir maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih
sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Depkes RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah
penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang.
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 12/30
Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang makin
nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan pengguna
narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Anggapan bahwa pengguna narkotika hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga
tampakanya semakin luntur. Pengaruh teman sebaya ( peer group) tampaknya lebih menonjol.
Pengguna narkotik suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular virus HIV atau bibit
penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik
secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu
jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey
sentinel yang dilakukan RSKO di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus HIV pada pengguna
narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat
menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survey di sebuah
kelurahan di Jakarta pusat yang dilakukan oleh yayasan pelita ilmu menunjukkan pengguna
narkotika 93% terinfeksi HIV.
2.3 Etiologi dan Patogenesis
HIV adalah suatu retrovirus anggota subfamili lentivirinae, Retrovirus berdiameter 70-
130 mm. Masa inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun. Virion HIV matang memiliki bentuk
hampir bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak
mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein; gp120 dan gp41.
Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian dalam
membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24.
Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul performed reverse
transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah enzim
yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel sasaran.
Penularan utama HIV dapat melalui beberapa cara yaitu melalui hubungan seksual,
pemindahan darah atau produk darah, proses penyuntikkan dengan alat-alat yang terkontaminasi
darah dari penderita HIV dan juga melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Sekali terinfeksi,
maka orang tersebut akan tetap terinfeksi dan dapat menjadi infeksius bagi orang lain.
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 13/30
1. Penularan seksual
Penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling tuama di seluruh dunia, yang
berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV. Penularan seksual ini dapat terjadi
dengan hubungan seksual genitogenital ataupun anogenital antara heteroseksual ataupun
homoseksual. Risiko seorang wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika
dibandingkan seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif.
2. Transfusi darah dan produk darah
HIV dapat ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma dan
faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang karena sekarang sudah
dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor. Apabila tes antibodi dilakukan pada masa
sebelum serokonversi maka antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi.
3. Penyalahgunaan obat intravena
Pengguna jarum suntik secara bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan
prevalensi HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna narkotika
jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum melalui pelacuran dan transmisi
vertikal kepada anak mereka.
4. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan
data yang didapat dari 25 penelitian rertrospektif terhadap petugas kesehatan, didapatkan rata-
rata risiko transmisi setelah tusukan jarum maupun paparan perkutan lainnya sebesar 0,32% atau
terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498 paparan dan setelah paparan melalui mukosa sebesar
0,09%.
5. Maternofetal
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 14/30
Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi dari darah ataupun produk darah
atau dengan penguunaan jarum suntik secara berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang
menderita HIV/AIDS terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir
sepertiga anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan terifeksi HIV. Peningkatan
penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara
transplansental, tetapi 95% melalui transmisi perinatal.
6. Pemberian ASI
Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%. Di negara maju,
ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI kepada bayinya.
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul
reseptor membran CD4. Sejauh ini, sasaran yang disukai adalah limfosit T helper positif, atau sel
T4 (limfosit CD4+. Gp120 HIV berikatan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat
memperantarai fusi membran virus ke membran sel.
Baru-baru ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4
diperlukan, agar gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+. Koreseptor ini
menybabkan perubahan konformasi sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran.
Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap
timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (sekritar 1% orang amerika ketrunan
kaukasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini tidak terlindung dari AIDS, tetapi
awwitan penyakit agak melambat.
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag.
Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservoar untuk HIV tetapi tidak
dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia,
seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, selmikroglia dan berbagai jaringan tubuh.
Setelah berfusi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses kompleks
yang apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel virus baru dari sel yang
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 15/30
terinfeksi. Limfosit CD4 yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau
mungkin mengalami proses replikasi sehingga menghasilkan banyak virus.
HIV-1 awalnya menginfeksi sel T dan makrofag secara langsung atau dibawa oleh sel
dendrit. Replikasi virus pada kelenjar getah bening regional menimbulkan viremia dan
penyebaran virus yang meluas pada jaringan limfoid. Viremia tersebut dikendalikan oleh respon
imun pejamu, kemudian pasien memasuki fase laten klinis. Selama fase ini, replikasi virus pada
sel T maupun makrofag terus berlangsung, tetapi virus tetap bertahan. Pada tempat itu
berlangsung pengikisan terhadap sel CD4+ melalui infeksi sel yang produktif. Jika sel CD4+
yang tidak hancur tidak dapat tergantikan, jumlah sel CD4+ menurun dan pasien mengalami
gejala klinis AIDS. Makrofag pada awalnya juga ditumpangi virus, makrofag tidak dilisiskan
oleh HIV-1, dapat mengangkut virus ke berbagai jaringan, terutama ke otak.
Gambar 1. Patogenesis HIV
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 16/30
2.4 Gejala Klinis
Ada tiga tahapan yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara HIV dan
sistem imun:
1. Fase akut
Fase ini ditandai dengan gejala non spesifik yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam
dan kadang-kadang meningitis aseptik. Pada fase ini terdapat produksi virus dalam jumlah besar,
viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan
berkurangnya sel T CD4+. Segera setelah terjadi, muncul respon imun spesifik terhadap virus
yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu
setelah pajanan) dan melalui munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus.
Setelah viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya
jumlah virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan
terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.
2. Fase kronis
Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar
sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten dan banyak penderita yang
mengalami infeksi oportunistik ringan, seperti sariawan (candida) atau herpes zoster.
Replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas akan
disertai dengan kehilangan CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem
imun yang besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar. Setelah melewati periode
panjang dan beragam pertahanan pejamu mulai menurun dan jumlah CD4+ mulai menurun, dan
jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat.
3. Fase kritis
Tahap akhir ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat merugikan,
peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami
demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan diare; jumlah sel CD4+
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 17/30
menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah adanya interval yang berubah-ubah, para°pasien
mengalami infeksi oportunistik yang serius, neoplasma sekunder dan atau manifestasi neurologis
(disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS). Jika kondisi lazim yang menentukan AIDS
tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200 sel/µL sebagai pengidap
AIDS.
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak terapi, akan berkembang
menimbulkan gejala yang berkaitan dengan HIV atau AIDS.
1. Gejala Konstitusi
Kelompok ini sering disebut dengan AIDS related complex. Penderita mengalami paling
sedikit dua gejala klinis yang menetap selama 3 bulan atau lebih. Gejala tersebut berupa:
a. Demam terus menerus lebih dari 37°C
b. Kehilangan berat badan 10 % atau lebih
c. Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening di luar
daerah inguinal.
d. Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
e. Berkeringat banyak pada malam hari yang terjadi secara terus menerus.
2. Gejala Neurologi
Stadium ini memberikan gejala neurologi yang beraneka ragam seperti kelemahan otot,
kesulitan berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa, psikosis dan
dapat sampai koma (gejala radang otak).
3. Gejala Infeksi
Infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh penderita sudah sangat
lemah sehingga tidak ada kemampuan melawan infeksi, misalnya:
a. Pneumocystic carinii pnemonia (PCP)
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 18/30
PCP merupakan infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada penderita AIDS (80%).
Disebabkan parasit sejenis protozoa yang pada keadaan tanpa infeksi HIV tidak menimbulkan
sakit berat. Pada penderita AIDS, protozoa ini berkembang pesat sampai menyerang paru-paru
yang mengakibatkan pneumonia. Gejala yang ditimbulkannya adalah batuk kering, demam, dan
sesak napas. Pada pemeriksaan ditemukan ronkhi kering. Diagnosis ditegakkan dengan
ditemukannya P. carinii pada bronkoskopi yang disertai biopsi transbronkial dan lavase
bronkoalveolar.
b. Tuberkulosis
Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada penderita AIDS sering mengalami penyebaran
luas sampai keluar dari paru-paru. Penyakit ini sangat resisten terhadap OAT yang biasa.
Gambaran klinis TB pada penderita AIDS tidak khas seperti pada penderita TB umumnya. Hal
ini disebabkan karena tubuh sudah tidak mampu bereaksi terhadap kuman. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil kultur.
c. Toksoplasmosis
Penyebab ensefalitis lokal pada penderita AIDS adalah reaktivasi Toxoplasma gondii,
yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala dapat berupa sakit kepala dan panas, sampai
kejang dan koma. Jarang ditemukan toksoplasmosis di luar otak.
d. Infeksi mukokutan
Herpes simpleks, herpes zoster dan kandidiasis oral merupakan penyakit paling sering
ditemukan. Infeksi mukokutan yang timbul satu jenis atau beberapa jenis secara bersama. Sifat
kelainan mukokutan ini persisten dan respon terhadap pengobatan lambat sehingga sering
menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaannya.
4. Gejala Tumor
Tumor yang paling sering menyertai penderita AIDS adalah Sarkoma kaposi dan
limfoma maligna non-Hodgkin.
Secara umum, menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV, terdapat
beberapa gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 19/30
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 20/30
Gambar 2. Perjalanan penyakit HIV
2.5 Diagnosis
Karena terdapat banyak negara berkembang yang belum memiliki fasilitas pemeriksaan
serologi maupun antigen HIV yang memadai, maka WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS
sebagai berikut:
Dewasa
Definisi kasus AIDS dicurigai bila paling sedikit mempunyai 2 gejala mayor dan 1 gejala
minor dan tidak terdapat sebab-sebab penekanan sistem imun lain yang diketahui seperti kanker,
malnutrisi berat, atau sebab lainnya.
Gejala Mayor
- Penurunan berat badan >10% per bulan
- Diare kronis lebih dari 1 tahun
- Demam lebih dari 1 bulan
Gejala Minor
- Batuk selama lebih dari 1 bulan
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 21/30
- Pruritus dermatitis menyeluruh
- Infeksi umum yang rekuren, misalnya herpes zoster
- Kandidiasis orofaringeal
- Infeksi herpes simpleks kronis progresif atau yang meluas
- Limfadenopati generalisata
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis
dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain penderita.
1. ELISA ( Enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Kelebihan teknik ELISA yaitu sensitifitas
yang tinggi yaitu 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes
ELISA telah menggunakan antigen rekombinan yang sangat spesifik terhadap envelope dan core
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu protein
dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya protein HIV yang
digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang mempunyai makna klinik, seperti gp120
dan gp41. Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Namun pemeriksaan
cukup sulit, mahal mmebutuhkan waktu sekitar 24 jam.
3. PCR ( Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih
ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi individu
yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab
sensitifitas ELISA rendah untuk HIV-2.
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan immunophenotyping yaitu dengan
flowcytometri dan cell sorter. Prinsip flowcytometri dan cell sorting ( fluorescence activetd cell
sorter, FAST) adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifikasi karakteristik
setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 22/30
karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus oleh seberkas
sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang
dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada
permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi dengan menggunakan
satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis
dan aktivitas sel dan menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populsi campuran.
Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 23/30
Gambar 4. Interpretasi dan tindak lanjut hasil pemeriksaan lab
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 24/30
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu:
a. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktifitas normal dan dijumpai adanya limfadenopati generalisata
b. Stadium II
Simptomatik, aktifitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan
mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus yang berulang,
keilitis angularis, herpes zoster, serta adanya infeksi saluran napas bagian atas.
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktifitas di tempat tidur <50%, berat badan menuru
>10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demeam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan, terdapat kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial
yang berat.
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktifitas di tempat tidur >50%, terjadi HIV
wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti pneumonia,
toksoplasmosis, diare kronis, dll.
2.6 Penatalaksanaan
Secara umum, pentalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV)
2. Pengobatan untuk mengatasi berbagi penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi
HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, dan kanker serviks.
3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan
pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan
menjaga kebersihan.
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 25/30
Menurut WHO, waktu diberikannya ARV dibagi dalam dua kategori, apakah ada
perhitungan CD4 atau tidak. Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai pengganti hitung CD4,
meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien asimptomatis.
Ada perhitungan CD4
- Stadium IV menurut kriteria WHO tanpa memandang hitung CD4
- Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 <350 sel/mm³
- Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm³
Tidak ada perhitungan CD4
- Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC
- Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC
- Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm³
Akan tetapi, menurut Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana HIV/AIDS di Indonesia, jika
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada
penilaian klinis. Sedangkan jika tersedia pemeriksaan CD4, terapi ARV dimulai pada semua
pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm³ tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi ARV juga
dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4. Berikut jenis ARV:
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 26/30
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama ARV adalah 2NRTI + 1
NNRTI. Mulailah terapi ARV dengan salah satu dari paduan dibawah ini:
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 27/30
Adapun penggunaan ARV bagi pasien yang koinfeksi dengan TB seperti pada kasus ini adalah:
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 28/30
Untuk pemantauan selama pengobatan dengan ARV, dilakukan prosedur berikut:
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 29/30
BAB III
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini, telah tampak riwayat dan
hasil pemeriksaan yang mengarah ke diagnosis HIV. Riwayat pasien yang merupakan pengguna
narkoba dengan jarum suntik secara bersama-sama dapat diduga sebagai cara penularan virus
HIV ke tubuh pasien. Meskipun riwayat menggunakan narkoba jarum suntik terjadi 5 tahun
sebelum gejala klinis timbul, akan tetapi sesuai dengan perjalanan penyakit HIV, terdapat fase
laten dimana keadaan masih asimptomatis sehingga gejala klinis baru timbul setelah beberapa
tahun.
Gejala klinis pada pasien ini, sesuai dengan proses perjalanan penyakit HIV. Di mana di
tahun 2010, yang diduga merupakan awal fase simptomatis, pasien mengeluh terdapat
pembengkakan kelenjar getah bening, dan didiagnosis TB paru. Walaupun telah melakukan
pengobatan selama 6 bulan, namun TB paru pada pasien tidak benar-benar sembuh. Gejala lain
seperti pruritus atipik yaitu gatal-gatal di seluruh tubuh juga dirasakan pasien. Hingga akhirnya
dalam kurun waktu 2 tahun terakhir keluhan lain berupa kandidiasis oral dan diare kronik juga
dialami pasien. Jika disesuaikan dengan gejala, maka pasien ini telah memasuki fase kronis
penyakit, yang mana sebentar lagi akan memasuki fase kritis.
Karena pasien merupakan pasien HIV yang koinfeksi dengan TB, maka penatalaksanaan
pasien ini disesuaikan dengan panduan diagnosis dan penatalaksanaan pada pasien HIV dengan
TB yaitu dengan menggunakan regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz. Selain itu, pada
pasien ini juga tetap diberikan pengobatan TB. Dimana di dalam kasus ini tetap diberikan INH,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.
8/14/2019 manajemen kasus HIV.docx
http://slidepdf.com/reader/full/manajemen-kasus-hivdocx 30/30
BAB IV
KESIMPULAN
1. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus dan AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome yaitu suatu kumpulan gejala
penyakit yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
virus HIV.
2. HIV dapat menular melalui jalur seksual baik homoseksual maupun heteroseksual, dan
dapat juga menular melalui non seksual seperti penggunaan jarum suntik, maternofetal,
pemberian ASI, dan transfusi darah.
3. Gejala klinis yang timbul sesuai dengan perjalanan penyakit, dapat berupa asimptomatik,
simptomatik, gejala penyakit oportunistik, hingga stadium akhir yaitu AIDS.
4. Pada pasien ini gejala dan penyakit yang timbul pada pasien adalah TB paru aktif,
pruritus atipik, kandidiasis oral, berat badan yang terus turun, dan diare kronik.
5. Pasien ini sebaiknya diterapi sesuai dengan panduan diagnosis dan penatalaksanaan ARV
di Indonesia yaitu menggunakan regimen Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz
(AZT/TDF) + 3TC + EFV karena pasien merupakan pasien HIV yang koinfeksi dengan
TB.
top related