makalah dinamika organisasi
Post on 12-Aug-2015
2.899 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DINAMIKA ORGANISASI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kepemimpinan dan Dinamika Organisasi.
OLEH
1. Frans Y. S. Rumbino 832012009
2. Salomina Patty 832012010
3. Jenny M. Salamor 832012017
4. Asih Fajar Lestari 832012019
MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat kita merupakan masyarakat yang terdiri dari satuan-satuan organisasi.
Organisasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari bermacam-macam komponen
(subsistem) yang saling terkait dan berhubungan, serta saling bergantung
(interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Kita dilahirkan dalam organisasi, dididik, dibesarkan bahkan bekerja pun
tidak terlepas dari organisasi, dan tidak dapat kita pungkiri hampir semua dari kita
melewati masa hidup dengan bekerja untuk kepentingan organisasi (Etzioni, 1985).
Menurut Etzioni (1985) bahwa peradaban modern pada hakekatnya menunjukkan bahwa
organisasi sebagai bentuk pengelompokan sosial yang paling rasional dan efisien, sehingga
dengan mengkoordinasikan sejumlah besar tindakan manusia, organisasi mampu
menciptakan suatu alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan.
Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup berkelompok. Seperti yang kita lihat
akhir-akhir ini, banyak sekali muncul kelompok, komunitas, ataupun organisasi dengan
berbagai latar belakang. Sebuah organisasi, tentu tidak akan pernah menjadi besar jika
anggotanya hanya berfikir bahwa keberadaanya dalam organisasi tersebut hanya
didasarkan atas kesamaan nasib belaka. Tentu dalam perjalananya anggota organisasi yang
seperti itu haruslah melakukan redefinisi atas eksistensinya tersebut. Manusia merupakan
makhluk sosial dimana dapat dipahami bahwa manusia selalu hidup bersama (dalam
kelompok atau organisasi), dan melalui hidup secara bersama dan bekerjasama sehingga
tujuan-tujuan dapat dicapai dengan lebih mudah. Manusia melakukan kegiatan dan
bereaksi terhadap kegiatan orang lain dalam organisasi baik pimpinan atau sesama
anggota, menimbulkan bermacam-macam dinamika perilaku dalam berorganisasi. Namun
dilain pihak sering terjadi ketidakmampuan orang untuk dapat bekerjasama dan seringkali
gagal dalam mencapai tujuan bersama. Semakin besar dan kompleks suatu organisasi,
maka akan semakin besar pula tuntutan akan fasilitas, keahlian dalam melakukan
pekerjaan tertentu, kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu,
dan kemampuan menggunakan konsep-konsep manajemen untuk mengelola organisasi.
Dalam teori organisasi, kehidupan organisasi tidak hanya ditandai oleh adanya kegiatan 2
interaksi anggota-anggotanya secara perorangan ataupun secara bersama, tetapi ditandai
pula oleh adanya proses pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu dalam organisasi (proses
organisasi) yang sesuai dengan struktur yang telah ditunjukkan (Effendi, 2005).
Interaksi antara berbagai elemen di dalam suatu organisasi secara tidak langsung
dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang saling berpengaruh diantara satu
dengan yang lainnya. Faktor budaya, latar belakang pendidikan yang membedakan
individu dengan individu lainnya, dan faktor intern maupun faktor ekstern dapat
menimbulkan dinamika yang unik di dalam suatu organisasi. Suatu organisasi tentu akan
terjadi suatu dinamika dimana menuntut perhatian pengurus dan anggotanya. Dinamika
organisasi yang harus dikelola secara cerdas dan konstruktif ialah terletak pada konflik
yang sering timbul di suatu organisasi, karena dalam kenyataannya konflik tidak
selamanya bersifat destruktif akan tetapi akan mampu meningkatkan produktifitas suatu
organisasi apabila dapat diatasi dan dikelola dengan baik.
Pada kenyataanya ada hal-hal yang dapat memengaruhi pergerakan atau proses
berjalannya suatu organisasi. Konflik dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu hal
yang mendasar dan esensial. Dalam organisasi, konflik mempunyai kekuatan yang dapat
membangun kinerja staf , karena adanya variabel yang bergerak bersamaan secara dinamis.
Dalam hal ini, konflik merupakan suatu proses yang wajar terjadi dalam suatu organisasi
atau masyarakat. Dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas dan konstruktif
ialah terletak pada konflik yang sering timbul di suatu organisasi, karena dalam
kenyataannya konflik tidak selamanya bersifat destruktif akan tetapi akan mampu
meningkatkan produktifitas suatu organisasi apabila dapat di atasi dan dikelola dengan
baik. Konflik dapat membuat individu mengalami perubahan – perubahan perilaku yang
sering kali mengganggu dn bahkan membuat seseorang mengalami stress sehingga
menurunnya motivasi (Wijono, 2012). Kondisi seperti ini dapat menghambat tujuan dari
organisasi selain itu dapat juga menimbulkan ketegangan emosi sehingga memengaruhi
efisiensi dan produktivitas suatu organisasi. Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat
dilakukan suatu pembahasan yang dapat mengkaji mengenai dinamika organisasi.
3
BAB IITINJAUAN TEORI
A. Definisi dan Fungsi Dinamika Organisasi.
Dilihat dari asal katanya, dinamika memiliki arti tenaga/kekuatan yang selalu
bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap setiap
keadaan. Sedangkan organisasi merupakan kumpulan orang-orang yang merupakan
kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan
bersama. Dengan demikian dinamika organisasi merupakan sebuah konsep yang
menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah. Selain itu dinamika
organisasi dapat juga diartikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih
individu, memiliki hubungan psikologi secara jelas antara anggota satu dengan yang
lain yang dapat berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama. Berdasarkan
pernyataan diatas maka dinamika organisasi pada dasarnya merupakan proses-proses
kelompok yang menggambarkan semua hal yang terjadi dalam kelompok akibat adanya
interaksi individu-individu yang ada dalam kelompok itu.
Dinamika organisasi merupakan kebutuhan bagi setiap individu yang hidup dalam
sebuah kelompok. Fungsi dari dinamika organisasi itu antara lain:
1. Membentuk kerjasama saling menguntungkan dalam mengatasi persoalan hidup.
Bagaimanapun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
2. Memudahkan segala pekerjaan. Banyak pekerjaan yang tidak dapat dilaksanakan
tanpa bantuan orang lain.
3. Mengatasi pekerjaan yang membutuhkan pemecahan masalah dan mengurangi
beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga selesai lebih cepat, efektif dan efisien.
Pekerjaan besar dibagi-bagi sesuai bagian kelompoknya masing-masing atau sesuai
keahlian.
4
4. Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan masyarakat. Setiap individu bisa
memberikan masukan dan berinteraksi dan memiliki peran yang sama dalam
masyarakat).
Semakin besar ukuran suatu organisasi semakin cenderung menjadi
kompleks keadaannya. Kompleksitas ini menyangkut berbagai hal seperti
kompleksitas alur informasi, kompleksitas komunikasi, kompleksitas pembuat
keputusan, kompleksitas pendelegasian wewenang dan sebagainya. Seorang
pimpinan yang ingin memajukan organisasinya, harus memahami faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan timbulnya konflik, baik konflik di dalam individu maupun
konflik antar perorangan dan konflik di dalam kelompok dan konflik antar
kelompok.
B. Kekuatan Untuk Perubahan
Persaingan mengalami perubahan. Ekonomi global berarti bahwa para pesaing
bisa jadi muncul dari seberang lautan atau dari kota lain. Meningkatnya persaingan juga
membuat organisasi-organisasi yang sudah mapan perlu mempertahankan diri dari
para pesaing tradisional yang mengembangkan berbagai produk dan layanan baru
maupun wirausaha kecil yang memiliki penawaran inovatif. Organisasi yang sukses
adalah organisasi yang dapat mengubah diri untuk menangapi persaingan tersebut.
Mereka bergerak cepat, mampu mengembangkan produk-produk baru secara cepat dan
terpasarkan secara cepat pula. Mereka mengandalkan masa produksi yang pendek,
siklus produk yang singkat, dan aliran produk-produk baru secara terus-menerus
sehingga menjadi tren sosial yang tidak bersifat statis.
C. Mengelola Perubahan Terencana
Tujuan perubahan terencana pada hakikatnya terdapat dua tujuan, yaitu:
1. Perubahan terencana berusaha meningkatkan kemampuan organisasi dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
2. Perubahan terencana dimaksudkan untuk merubah perilaku karyawan.
5
Jika ingin bertahan hidup, suatu organisasi harus menanggapi perubahan-
perubahan yang terjadi di lingkungannya. Pada saat para pesaing memperkenalkan
produk atau layanan baru, badan-badan pemerintah memberlakukan undang-undang
baru, sumber-sumber pasokan penting hilang dari bisnis, atau berbagai perubahan
lingkungan yang serupa dengan itu terjadi, organisasi perlu menyesuaikan diri. Upaya-
upaya untuk merangsang inovasi, memberdayakan karyawan, dan memperkenalkan
kelompok kerja adalah contoh kegiatan perubahan terencana yang diarahkan untuk
menanggapi perubahan yang terjadi dalam lingkungan.
Karena kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi pada dasarnya disebabkan oleh
hal-hal yang berhasil atau gagal dilakukan oleh para karyawannya, perubahan
terencana pun dikaitkan dengan perubahan perilaku individual dan kelompok dalam
organisasi.
Agen perubahan adalah orang yang bertindak selaku katalis dan memikul tanggung
jawab untuk mengelola dan menjalankan aktifitas perubahan. Jadi yang bertanggung
jawab dalam menjalankan kegiatan dalam rangka perubahan adalah agen perubahan
(change agent) dalam sebuah organisasi.
Para agen perubahan tersebut bisa jadi adalah para manajer ataupun non-manajer,
karyawan perusahaan yang masih aktif, karyawan yang baru saja direkrut atau
konsultan. Riset menunjukkan bahwa organisasi lebih mungkin memulai perubahan
transformasional ketika di pimpin oleh orang dari luar jaringan tradisionalnya. Dalam
beberapa kasus, manajemen internal menyewa jasa konsultan luar untuk memberikan
saran dan bantuan dalam upaya-upaya melakukan perubahan besar. Karena berasal
dari luar, orang-orang ini dapat menawarkan perspektif, objektif yang sering tidak ada
pada diri orang-orang dalam. Namun, konsultan luar memiliki kelemahan karena
biasanya mempunyai pemahaman yang kurang memadai mengenai riwayat, kultur,
prosedur operasioanl, dan personalia organisasi tersebut. Konsultan luar juga terbiasa
membuat perubahan yang lebih drastis yang dapat menguntungkan tetapi juga dapat
merugikan karena mereka tidak harus tinggal dan merasakan akibatnya setelah
perubahan tersebut diterapkan. Sebaliknya, para spesialis atau manajer dari dalam
organisasi, ketika bertindak selaku agen perubahan, mungkin akan bersikap lebih
6
saksama (dan juga lebih hati-hati) karena mereka harus hidup dengan konsekuensi dari
tindakan mereka.
D. Resistensi Terhadap Perubahan.
Salah satu temuan yang paling banyak tercatat di dalam berbagai kajian terhadap
perilaku individual dan organisasi adalah bahwa organisasi dan para anggotanya
menentang perubahan. Dalam arti tertentu hal ini positif. Hal ini menunjukkan adanya
kadar stabilitas dan prediktabilitas perilaku. Jika tidak ada resistensi, perilaku
organisasi akan mengikuti apapun karakteristik yang diperkenalkan. Resistensi
terhadap perubahan jugadapat menjadi sumber konflik fungsional. Sebagai contoh,
resistensi terhadapa sebuah rencana reorganisasi atau perubahan dalam sebuah lini
produkdapat merangsang munculnya perdebatan yang sehat tentang manfaaat ide
tersebut dan menghasilkan keputusan yang lebih baik. Akan tetapi, ada segi negative
dari resistensi terhadap perubahan. Resistensi tersebut menghambat penyesuaian dan
kemajuan.
Resistensi terhadap perubahan tidak harus muncul dalam cara-cara yang
baku. Resistensi dapat terbuka, implisit, segera, atau tertunda. Resistensi yang paling
mudah diatasi oleh manajemen adalah bila hal ini bersifat terbuka dan segera. Misalnya,
sebuah perubahan diusulkan dan para karyawan serta-merta menanggapinya dengan
menyampaikan keluhan, memperlambat kerja, mengancam akan mogok dan
semacamnya. Tantangan yang lebih besar adalah mengelolah resistensi yang implisit
atau tertunda. Upaya-upaya resistensi yang implisit lebih tidak kentara terkikisnya
kesetiaan terhadap organisasi, turunnya motivasi kerja, naiknya tingkat kesalahan atau
kekeliruan, meningkatnya kemangkiran karena sakit-dan dengan demikian, lebih sulit
dikenali. Demikian pula, tindakan-tindakan yang tertunda mengaburkan hubungan
antara sumber resistensi dan reaksi terhadapnya. Suatu perubahan bisa jadi
memunculkan apa yang tampak hanya sebagai reaksi kecil pada saat awalnya, tetapi
7
selanjutnya resistensi itu berkanjang selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau
bahkan bertahun-tahun kemudian. Atau, sebuah perubahan tunggal yang sebenarnya
tidak terlalu penting dan berdampak kecil bisa menjadi masalah besar yang berakibat
fatal. Reaksi-reaksi terhadap perubahan berkembang dan selanjutnya meledak dalam
bentuk tanggapana yang tampak sangat tidak proposional dengan perubahan
sebelumnya. Resistensi itu, tentu saja, hanya tertunda dan terakumulasi apa yang
tampak di permukaan adalah tanggapan terhadap akumulasi perubahan-perubahan
sebelumnya.
a. Sumber-sumber resistensi terhadap perubahan
Sumber-sumber individual
Kebiasaan – Untuk menghadapi kompleksitas kehidupan, kita menggunakan
kebiasaan atau respons yang telah terprogram. Namun , ketika dihadapkan pada
perubahan, kecenderungan untuk merespons sesuai dengan cara kita yang biasa ini
menjadi salah satu sumber resistensi.
Rasa aman – Orang yang memiliki kebutuhan akan rasa aman yang besar cenderung
menolak perubahan karena hal tersebut mengancam rasa aman mereka.
Faktor-faktor ekonomi- Berbagai perubahan dalam tugas pekerjaan atau rutinitas
pekrjaan yang telah pasti bisa menyebabkan munculnya ketakutan ekonomis jika
orang khawatir bahwa mereka tadak akan mampu menunaikan pekerjaan atau
rutinitas baru mereka seperti standar sebelumnya, khususnya bila upah yang akan
mereka terima terkait erat dengan produktivitas.
Takut pada hal yang belum diketahui – perubahan tak ubah seperti ambiguitas dan
ketidakpastian mengenai hal yang belum diketahui.
Pemrosesan informasi yang selektif- Individu bersalah karena secara selektif
memprotes informasi guna membuat persepsi mereka tetap utuh.
Sumber-sumber Organisasi.
8
Inersia sruktural – Organisasi memiliki mekanisme tertentu seperti proses seleksi
dan regulasi formal – untuk menciptakan stabilitas. Ketika suatu organisasi
dihadapkan pada perubahan, inersia structural bertindak selaku sebuah kekuatan
penyeimbang yang mencoba mempertahankan stabilitas.
Fokus perubahan yang terbatas- Organisasi terbangun dari sejumlah subsistem yang
paling bergantung. Satu subsistem tidak bisa diubah tanpa memengaruhi yang lain.
Jadi , perubahan terbatas pada beberapa subsitem cenderung dinafikan oleh sistem
yang lebih besar.
Inersia kelompok- Bahkan bila individu-individu ingin mengubah perilaku mereka,
berbagai norma kelompok bisa bertindak sebagai penghambat.
Ancaman terhadap keahlian- Perubahan dalam pola-pola organisasional bisa
mengancam kedudukan istimewa suatu kelompok ahli tertentu.
Ancaman terhadap relasi kuasa yang sudah mapan- Setiap redisibustri wewenang
pengambilan keputusan dapat mengancam relasi kuasa yang sudah lama ada di
dalam organisasi.
Ancaman terhadap pengalokasian sumber daya yang sudah mapan – Kelompok-
kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dalam proporsi yang
besar sering kali melihat perubahan sebagai suatu ancaman.Mereka cenderung
merasa puas dengan apa yang sudah berjalan.
b. Mengatasi resistensi terhadap perubahan
Ada tujuh teknik yang disarankan untuk digunakan oleh para agen
perubahan dalam mengatasi resistensi terhadap perubahan:
1) Pendidikan dan komunikasi.
Resistensi dapat dikurangi melalui komunikasi dengan para karyawan untuk
membantu mereka melihat logika (alasan) dari suatu perubahan.
2) Partisipasi.
9
Sulit bagi siapa pun melawan keputusan untuk berubah jika mereka ikut
terlibat di dalamnya. Sebelum melakukan perubahan, mereka yang menentang perlu
diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan.
3) Membangun dukungan dan komitmen.
Para agen perubahan dapat menawarkan upaya-upaya pendukung untuk
mengurangi resistensi. Bilamana ketakutan dan kecemasan karyawan tinggi,
konseling dan terapi karyawan, pelatihan ketrampilan baru, atau cuti pendek
terbayar bisa memudahkan penyesuaian.
4) Negosiasi.
Cara lain bagi agen perubahan untuk mengatasi potensi resistensi terhadap
perubahan adalah dengan menawarkan sesuatu yang bernilai demi memperkecil
resistensi.
5) Manipulasi dan kooptasi.
Manipulasi mengacu pada upaya-upaya untuk memengaruhi secara
tersembunyi. Memelintir dan mendistorsi fakta agar tampak lebih menarik,
menyembunyikan informasi yang tidak diinginkan, dan membuat rumor palsu agar
karyawan menerima suatu perubahan adalah beberapa contoh manipulasi.
Kooptasi, di sisi lain, adalah bentuk manipulasi sekaligus partisipasi. Kooptasi
berusaha “menyogok” para pemimpin kelompok-kelompok resistensi dengan
memberi mereka peran kunci dalam keputusan perubahan. Saran dari pemimpin
tersebut diminta, bukan untuk mendapat keputusan yang lebih baik, melainkan
untuk mendapatkan dukungan mereka.
6) Memilih orang yang menerima perubahan.
Riset menunjukkan bahwa kemampuan untuk mudah menerima dan
menyesuaikan diri dengan perubahan terkait dengan kepribadian. Tampaknya,
orang yang paling mudah menyesuaikan diri dengan perubahan adalah mereka yang
terbuka terhadap pengalaman, memandang positif perubahan, bersedia menerima
resiko, dan fleksibel dalam perilaku.
7) Koersi.
10
Koersi yaitu penerapan ancaman atau paksaan langsung kepada orang-orang
yang menentang.
E. Politik Perubahan
Agen-agen perubahan internal umumnya adalah individu yang memegang
kedudukan tinggi dalam organisasi yang berkemungkinan merugi akibat perubahan.
Dalam kenyataanya, mereka naik ke posisi mereka itu karena memiliki ketrampilan dan
pola-pola itu. Perubahan menciptakan potensi bagi orang lain dalam organisasi untuk
mendapatkan kekuasaan dengan mengorbankan kepentingan mereka. Politik
mengimplikasikan bahwa pendorong perubahan lebih mungkin berasal dari para agen
perubahan eksternal, karyawan yang masih baru dalam organisasi (dan belum
berkepentingan terlalu jauh dengan status quo), atau dari para manajer yang agak
terpinggirkan dar struktur kekuasaan pusat.
F. Beberapa Pendekatan Untuk Mengelola Perubahan Organisasi.
Menurut Robbins (2009) beberapa pendekatan untuk mengelola perubahan
organisasi terdiri dari beberapa pendekatan, yaitu:
a. Model tiga tahapan dari Lewin,
b. Rencana delapan tahap dari Kotter,
c. Riset tindakan,
d. Pengembangan organisasi.
1. Model tiga tahapan dari Lewin.
Kurt Lewin menyatakan bahwa perubahan yang berhasil di dalam organisasi
mengikuti tiga tahap, yaitu pelepasan (unfreezing) status quo, pergerakan
(involvement) menuju keadaan akhir yang diingingkan, dan pembakuan kembali
(refreezing) perubahan baru untuk melanggengkannya.
Pelepasan adalah upaya untuk mengatasi tekanan yang berasal dari penolakan
individual dan kesesuaian kelompok, pergerakan adalah proses perubahan yang
mengubah organisasi dari status quo menjadi kondisi akhir yang diinginkan,
11
sedangkan pembakuan kembali yaitu intervensi untuk menstabilkan suatu
perubahan dengan cara menyeimbangkan daya dorong dan daya hambat.
Status quo dipandang sebagai keadaan ekuilibrium. Untuk keluar dari
ekuilibrium ini-guna mengatasi tekanan dari resistensi individual maupun
kelompok- diperlukan usaha pelepasan. Kondisi bari ini dapat dicapai melalui salah
satu dari tiga cara, yaitu daya dorong (driving forces) yang menggerakkan perilaku
menjauh dari status quo, dapat diperbesar, daya hambat (restraining forces) yang
menghalangi gerakan dari ekuilibrium yang ada, dapat diperkecil, dan alternative
ketiga adalah dengan menggunakan kedua pendekatan. Perusahaan-perusahaan
yang telah berhasil berubah di masa lalu mungkin menghadapi daya hambat karena
orang mempertanyakan perlunya perubahan. Riset juga menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan dengan kultur yang kuat sangat baik dalam perubahan
bertahap tetapi tak berdaya menghadapi daya hambat untuk perubahan radikal.
Riset mengenai perubahan organisasi menunjukkan bahwa agar efektif,
perubahan harus terjadi secara cepat. Organisasi-organisasi yang berubah secara
perlahan-perlahan berjalan tidak lebih baik dibanding organisasi-organisasi yang
memulai dan menjalani tahap perpindahan secara cepat. Begitu perubahan
konsolidasi diterapkan, jika ingin berhasil, situasi baru perlu dibakukan kembali
agar perubahan tersebut dapat bertahan seiring berjalannya waktu. Jika tahap
terakhir ini tidak dilakukan, ada peluang yang besar bahwa perubahan itu akan
berusia pendek dan karyawan akan berupaya kembali ke keadaan ekuilibrium
sebelumnya. Jadi tujuan proses pembakuan kembali adalah menstabilkan situasi
baru dengan menyeimbangkan daya dorong dan daya hambat.
2. Rencana delapan tahap dari Kotter untuk menerapkan perubahan.
John Kotter (dalam Robbins, 2009) mengembangkan model tiga tahap Lewin
untuk menciptakan sebuah pendekatan yang lebih terinci guna menerapkan
perubahan, yaitu:
a. Membangun sense of urgency dengan cara menciptakan alasan yang kuat yang
mendukung perubahan.
12
b. Membentuk suatu koalisi sehingga memiliki kekuatan untuk mendorong
perubahan.
c. Menciptakan suatu visi baru untuk mengarahkan perubahan dan strategi untuk
mewujudkan visi tersebut.
d. Mengomunikasikan visi tersebut ke semua anggota organisasi.
e. Mendayai orang lain untuk bertindak sesuai visi tersebut dengan cara
menghapuskan hambatan-hambatan untuk berubah serta mendorong mereka
untuk mau mengambil risiko dan mencari solusi terhadap persoalan secara
kreatif.
f. Merencanakan, menciptakan, dan merayakan “kemenangan-kemenangan”
jangka pendek yang mengarahkan organisasi menuju visinya yang baru.
g. Mengonsolidasi perbaikan, meninjau kembali perubahan, dan membuat
berbagai penyesuaian yang dipandang perlu dalam program-program baru.
h. Menjalankan perubahan dengan cara menunjukkan hubungan antara perilaku
dan keberhasilan organisasi.
Delapan tahap dari Kotter dapat diringkas menjadi empat tahap pertama pada
hakikatnya meringkas tahap pelepasan dari Lewin, tahap 5 sampai 7
menggambarkan pergerakan, dan tahap terakhir merepresentasikan pembakuan
kembali.
3. Riset tindakan.
Menurut Robbins (2009), riset tindakan (action research) mengacu pada suatu
proses perubahan yang didasarkan pada pengumpulan data secara sistematis dan
selanjutnya pemilihan sebuah tindakan perubahan berdasarkan yang diindikasikan
oleh data yang sudah dianalisis. Hal yang penting adalah adanya metodologi ilmiah
untuk mengelola perubahan terencana. Proses riset tindakan terdiri atas lima tahap,
yaitu diagnosis, analisis, umpan balik, tindakan, dan evaluasi.
Agen perubahan yang ada dalam riset tindakan adalah konsultan eksternal, yang
memulai dengan mengumpulkan informasi tentang masalah, keprihatinan, dan
perubahan yang diperlukan oleh anggota organisasi. Dalam riset tindakan, agen
13
perubahan mengajukan pertanyaan, mewawancarai karyawan, mengkaji berbagai
catatan, dan mendengarkan keprihatinan karyawan. Diagnosis dilanjutkan dengan
analisis. Riset tindakan membutuhkan keterlibatan yang luas dari pihak-pihak yang
menjadi sasaran perubahan. Artinya, orang-orang yang akan dilibatkan dalam
program perubahan harus secara aktif dilibatkan dalam penentuan masalah dan
ikut serta dalam pencarian solusi sehingga tahap ketiga (umpan balik) mengatur
adanya sharing informasi dengan karyawan mengenai apa yang didapatkan pada
tahap pertama dan kedua. Dengan demikian tahap tindakan dari riser tindakan siap
dijalankan. Tahap terakhir yang sejalan dengan sifat ilmiah dari riset tindakan,
adalah evaluasi terhadap keefektifan rencana tindakan.
Riset tindakan memberikan paling tidak dua manfaat bagi organisasi, yaitu
pertama riset ini berfokus pada masalah dimana agen perubahan secara objektif
mencari permasalahan, dan jenis permasalahan menentukan jenis tindakan
perubahan, dan kedua karena riset tindakan begitu banyak melibatkan karyawan
dalam prosesnya, resistensi terhadap perubahan terminimalkan. Pada
kenyataannya, bila karyawan berpartisipasi secara aktif dalam tahap umpan balik,
proses perubahan biasanya akan mendapatkan momentum dengan sendirinya.
Karyawan dan kelompok-kelompok yang terlibat akan menjadi sumber tekanan
internal yang berkesinambungan untuk mendorong perubahan.
4. Pengembangan organisasi.
Pengembangan organisasi (organizational development-OD) adalah sebuah istilah
yang digunakan untuk mencakup sekumpulan intervensi perubahan terencana yang
dikembangkan berdasarkan berbagai nilai humanistis-demokratis, yang berupaya
meningkatkan keefektifaan organisasi dan kesejahteraan karyawan (Malden et al.,
dalam Robbins:2009).
Paradigma OD menempatkan perkembangan manusia dan organisasi, proses-
proses kolaboratif dan partisipatif, dan semangat meneliti (spirit of inquiry) di posisi
yang penting (Pasmore et al., dalam Robbins:2009). Nilai-nilai yang mendasari
kebanyakan upaya OD:
14
a. Penghormatan terhadap manusia.
b. Kepercayaan dan dukungan.
c. Penyeimbangan kekuasaan.
d. Konfrontasi.
e. Partisipasi.
Teknik-teknik atau intervensi OD untuk mendorong perubahan dapat dilihat
dari enam intervensi yang mungkin dapat digunakan oleh para agen perubahan,
yaitu:
a. Pelatihan kepekaan.
Highhouse (dalam Robbins:2009) menyatakan bahwa pelatihan kepekaan
dapat disebut juga sebagai pelatihan laboratorium, pertemuan kelompok
(encounter group), atau T-groups (kelompok pelatihan). Tujuan T-group adalah
meningkatkan kesadaran pelaku terhadap perilaku mereka sendiri dan
bagaimana orang lain memandang mereka, memiliki kepekaan terhadap
perilaku orang lain, dan mendapatkan pemahaman mengenai proses-proses
kelompok.
b. Umpan balik survei.
Penggunaan kuesioner untuk mengidentifikasi perbedaan persepsi antar
anggota, mendiskusikan serta mengikuti solusi-solusi yang ditawarkan.
c. Konsultasi proses.
Merupakan proses dimana konsultan luar membantu klien, biasanya
seorang manajer, untuk mencerap, memahami, dan bertindk berdasarka proses
kejadian yang harus dihadapi manajer tersebut. Kejadian-kejadian ini dapat
berupa aliran kerja, hubungan informal antaranggota unit, dan saluran-saluran
komunikasi formal.
d. Pembangunan tim.
Menggunakan kegiatan-kegiatan kelompok interaksi tinggi untuk
meningkatkan rasa saling percaya dan terbuka antaranggota tim. Pembangunan
15
tim dapat diterapkan di dalam kelompok atau tingkatan antarkelompok, yang
kegiatan-kegiatannya saling tergantung. Sasarannya adalah memperbaiki
koordinasi anggota, yang nantinya akan meningkatkan kinerja tim.
e. Pengembangan antarkelompok.
Pengembangan antarkelompok (intergroup development) adalah upaya-
upaya OD untuk mengubah sikap, stereotip, dan persepsi satu kelompok
terhadap kelompok lain.
f. Penyelidikan apresiatif.
Menekankan pada upaya untuk mencari kualitas unik dan kekuatan
khusus dari suatu organisasi yang dapat diolah lebih jauh untuk memperbaiki
kinerja. Penyelidikan apresiatif menekankan pada hal yang positif (Bushe, dalam
Robbins:2009). Pada hakikatnya penyelidikan apresiatif terdiri dari empat
tahap, yaitu tahap pertama discovery (upaya penemuan). Idenya adalah untuk
menemukan apa yang dipandang sebagai kekuatan organisasi. Tahap kedua
adalah dreaming (impian) dimana informasi dari fase penemuan digunakan
untuk meramalkan masa depan organisasi. Tahap ketiga adalah desain.
Berdasarkan pemaparan impian, para karyawan akan diarahkan pada upaya
pencarian visi bersama tentang bagaimana organisasi akan memandang dan
menyepakati sifat-sifat uniknya. Tahap keempat berusaha mendefinisikan tujuan
organisasi.
G. Menciptakan Organisasi Pembelajar.
Belakangan ini, organisasi pembelajar menjadi sumber perhatian besar dari para
manajer dan pakar teori organisasi yang mencari cara baru untuk merespons dunia
yang semakin saling tergantung dan senantiasa berubah. Dalam bagian ini, kita akan
melihat seperti apa organisasi pembelajar itu dan metode-metode untuk menangani
pembelajaran tersebut. Organisasi pembelajar (learning organization) adalah sebuah
organisasi yang telah mengembangkan kapasitas untuk terus menerus melakukan
16
penyesuaian (beradaptasi) dan perubahan. Persis seperti orang yang perlu belajar,
begitu pun organisasi. “semua organisasi belajar, entah mereka menyadarinya atu
tidak-ini merupakan syarat mendasar bagi kesinambungan eksistensi mereka. Namun
demikian, beberapa organisasi melakukannya secara lebih baik dibandingkan yang lain.
Ada 2 metode pembelajaran bagi organisasi:
1. Pembelajaran lingkar tunggal. Memperbaiki kesalahan dengan menggunakan
prosedur masa lalu dan kebijakan masa kini.
Kebanyakan organisasi menjalankan apa yang disebut pembelajaran lingkar tunggal
(single-loop learning). Ketika kesalahan terdeteksi, suatu kesalahan dikoreksi
dengan cara-cara yang mencakup modifikasi tujuan, kebijakan dan rutinitas baku
organisasi
2. Pembelajaran lingkar-ganda. Memperbaiki kesalahan dengan cara memodifikasi
tujuan, kebijakan, dan prosedur standar organisasi.
Pembelajaran lingkar ganda menantang berbagai asumsi dan norma yang sudah
mengakar di berbagai bidang organisasi. Dengan demikian, pembelajaran ini
memberi peluang bagi munculnya solusi-solusi yang berbeda terhadap beragam
masalah dan lonjakan dramatis dalam perbaikan.
Para penganjur organisasi pembelajar memberikan solusi bagi tiga masalah
fundamental yang melekat dalam organisasi-organisasi tradisional:
1. Fragmentasi berdasarkan spesialisasi menciptakan “dinding” dan “cerobong” yang
memisahkan berbagai fungsi menjadi bidang-bidang kuas mandiri yang sering
saling bertikai.
2. Penekanan yang berlebihan pada persaingan tak jarang justru melemahkan
kolaborasi. Para anggota tim manajemen saling bersaing untuk menunjukkan siapa
yang benar, yang lebih tahu, atau yang lebih persuasif. Divisi-divisi saling bersaing
pada saat mereka semestinya bekerja sama dan berbagi pengetahuan. Para
pemimpin proyek bersaing untuk menunjukkan siapa manajer terbaik.
3. Sikap reaktif membelokkan perhatian manajemen lebih terhadap pemecahan
masalah alih-alih penciptaan. Seorang pemecah masalah mencoba menyingkirkan
sesuatu, sementara seorang pencipta berusaha membawa sesuatu yang baru.
17
Penekanan pada sikap reaktif mematikan inovasi dan perbaikan yang kontinu dan
sebagai gantinya, mendorong orang untuk berjalan berputar-putar sambil
“memadamkan api”.
Perhatikan pula, bagaimana organisasi pembelajar menggunakan berbagai konsep
PO yang dibahas sebelumnya, seperti manajemen mutu, kultur organisasi, organisasi
tanpa batas, konflik fungsional, dan kepimpinan transformasional. Sebagai contoh,
organisasi pembelajar mengadopsi komitmen dari manajemen mutu untuk melakukan
perbaikan terus menerus. Organisasi pembelajar juga ditandai dengan kultur tertentu
yang menghargai keberanian mengambil resiko, keterbukaan, dan pertumbuhan.
Organisasi ini mencari “ketidakterbatasan” dengan meniadakan berbagai kendala yang
diciptakan oleh tingkatan-tingkatan hierarkis dan departemen yang terfragmentasi.
Sebuah organisasi pembelajar memberi tekanan pada pentingnya kemandirian
berpikir, kritik yang membangun, dan bentuk-bentuk konflik fungsional lain. Dan,
kepemimpinan transformasional diperlukan dalam organisasi pembelajar untuk
menerapkan visi bersama
Ciri-ciri organisasi pembelajar berdasarkan P.M. Senge. The fifth discipline,
(Doubleday, dalam Robbins, 2007).
1. Adanya satu visi bersama yang diyakini dan disepakati semua orang
2. Orang meninggalkan cara pikir lama dan prosedur standar yang mereka gunakan
untuk menyelesaikan persoalan atau menjalankan pekerjaan.
3. Para anggota memahami segenap proses, aktivitas, fungsi, dan interaksi organisasi
dengan lingkungan sebagai bagian dari suatu sistem interrelasi
4. Orang secara terbuka saling berkomunikasi (lintas batas vertikal dan horisontal)
tanpa rasa takut pada kritik atau hukuman
5. Orang meninggalkan kepentingan pribadi mereka dan kepentingan departemen
yang terfragmentasi atau bekerja bersama
a. Mengelola pembelajaran.
18
Beberapa cara untuk dapat mengubah sebuah organisasi menjadi organisasi
pembelajar yang tiada henti dan menjadikan apa yang dapat dilakukan para
manajer untuk menjadikan perusahaan mereka sebagai organisai pembelajar, yaitu:
1) Susun strategi. Manajemen perlu mengeksplisitkan komitmennya terhadap
perubahan, inovasi, dan perbaikan terus menerus.
2) Rancang kembali struktur organisasi. Struktur formal bisa menjadi penghalang
serius bagi pembelajaran. Dengan merampingkan struktur, menghapus atau
menggabungkan beberapa departemen, dan lebih memanfaatkan tim-tim lintas,
interdependensi akan diperkuat dan batas0batas (wilayah) anatarorang dapat
dikurangi.
Bentuk kembali kultur organisasi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
organisasi pembelajar dicirikan dengan keberanian mengambil risiko,
keterbukaan dan pertumbuhan. Manajemen menentukan warna kultur
organisasi, baik dengan apa yang dinyatakan (strategi) maupun apa yang
dilakukan (perilaku). Para manajer perlu memperlihatkan dengan tindakan
mereka bahwa keberanian mengambil resiko dan mengakui kegagalan
merupakan sifat yang pantas dihargai. Ini berarti memberi iimbalan kepada
orang yang mencoba memanfaatkan peluang dan membuat kesalahan. Dan,
manajemen perlu mendorong tumbuhnya konflik fungsional. “kunci untuk
membuka sikap keterbukaan yang sesungguhnya dalam kerja,”kata salah
seorang pakar organisasi pembelajar, “adalah mengajar orang untuk berhenti
bersikap selalu membeo. Kita pikir kesepahaman itu begitu penting. Anda harus
menghidupkan paradoks, konflik, dan dilema dalam suasana yang terbuka,
sehingga secara bersama-sama kita bisa lebih cerdas daripada sendiri-sendiri.”
H. Merangsang Inovasi.
1. Definisi.
Kita mengatakan bahwa perubahan berarti menjadikan sesuatu berbeda.
Inovasi adalah jenis perubahan yang lebih khusus. Inovasi (innovation) merupakan
gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu
19
produk, proses, atau layanan (Van de Ven, dalam Robbins:2009). Karena itu, setiap
inovasi melibatkan perubahan, tetapi tidak semua perubahan mesti melibatkan
gagasan baru atau mengarah ke perbaikan yang signifikan. Inovasi dalam organisasi
dapat berkisar dari perbaikan kecil bertahap, terobosan yang sifatnya radikal. Ciri-
ciri organisasi inovatif adalah :
a. Kategori struktural.
Mengenai hubungan strukur dalam organisasi merupakan satu hal yang
penting dan harus diperhatiakan dalam rangka inovatif.
b. Kategori kultural.
Organisasi yang inovatif cenderung memiliki kultur yang mirip. Mereka
mendorong eksperimentasi. Mereka memberi imbalan untuk keberhasilan
maupun kegagalan. Mereka merayakan kesalahn. Sayangnya, dalam begitu
banyak organisasi, orang diberi imbalan karena keberhhasilan ketimbang
kegagalan. Kultur semacam ini membunuh semangat berani ambil resiko dan
inofatif. Orang akan mengusulkan dan mencobaa ide-ide baru hanya bila mereka
yakin bahwa hal itu tidak akan membuat mereka terkena hukuman. Para
manajer di organisasi yang inovatif menyadari bahwa kegagalan adalah produk
sampingan yang alamiah dari usaha yang baru.
c. Kategori sumber daya manusia.
Dalam kategori sumber daya manusia, kita dapati bahwa organisasi-
organisasi yang inovatif secara aktif menyelenggarakan pelatihan dan
pengembangan bagi para anggota mereka sehingga mereka tetap dapat
mengikuti perkembangan, memberikan rasa aman yang tinggi atau kerja
sehingga karyawan tidak takut diberhentikan kalau melakukan kesalahan, dan
mendorong individu untuk menjadi pejuang perubahan. Begitu sebuah ide baru
ditemukan, para pejuang ide (idea champions) secara aktif dan antusias
mempromosikannya, membangun basis dukungan, mengatasi resistensi, dan
memastikan bahwa inovasi tersebut dijalankan. Bukti menunjukkan bahwa para
20
pejuang tersebut memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama: kepercayaan diri
yang tinggi, keuletan, energi, dan keberanian untuk mengambil resiko.
Para pejuang ide juga memiliki ciri-ciri yang dimiliki kepemimpinan
transformasional. Mereka mengilhami dan menyemangati orang lain dengan visi
mereka terhadap potensi sebuah inovasi dan melalui keyakinan pribadi yang
kuat dalam misi mereka. Selain itu, para pejuang ide memiliki pekerjaan yang
memberi mereka keleluasaan untuk mengambil keputusan. Otonomi ini
membantu mereka untuk memperkenalkan dan menerapka inovasi dalam
organisasi. Pejuang ide adalah pribadi-pribadi yang memperkenalkan inovasi
dan secara katif dan antusias mempromosikannya, membangunbasis dukungan,
mengatasi resistensi, dan memastikan bahwa gagasan tersebut dijalankan.
2. Sumber-sumber inovasi.
Menurut Robbins (2009), sumber-sumber inovasi adalah:
a. Struktur organik berpengaruh besar terhadap inovasi. Karena lebih rendah
dalam diferensial vertikal, formalisasi, dan sentralisasi, organisasi-organisasi
organik mendorong fleksibilitas, adaptasi dan fertilisasi silang yang
mempermudah adopsi inovasi.
b. Masa kerja yang lama dalam manajemen berhubungan dengan inovasi. Masa
kerja manajerial jelas memberi legitimasi dan pengetahuan mengenai
bagaimana menunaikan tugas dan mendapatkan hasil yang diinginkan.
c. Inovasi dikembangkan ketika ada sumber daya berlebih. Memiliki sumber yang
melimpah memungkinkan sebuah organisasi untuk membayar inovasi,
membiayai pengembangan inovasi, dan menanggung kegagalan.
d. Komunikasi antarunit yang intens ada di dalam organisasi-organisasi yang
inovatif. Organisasi-organisasi ini banyak memanfaatkan komite, gugus tugas,
tim lintas fungsi, dan mekanisme lain yang memudahkan interaksi lintas
departemen.
I. Stres Kerja dan Pengelolaannya.
21
Stres kerja adalah suatu kondisi dinamik yang di dalamnya seorangi ndividu
dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constrains), atau tuntutan (demands)
yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan
sebagai tidak pasti dan penting (Robbins, 2008). Stres kerja dalam jumlah tertentu
dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif.
Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat merupakan proses
kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukkan
antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berpikir dan pertimbangan yang
baik. Stres yang meningkat sampai unjuk kerja mencapai titik optimalnya merupakan
stres yang baik (eustress). Jika stres terus meningkat dan unjuk kerja melampaui titik
optimalnya, maka stres tersebut berubah menjadi stres yang buruk (distress)
(Munandar, 2006).
Sumber stres kerja bisa bermacam-macam, menurut Robbins (2008) sumber
stres kerja adalah:
a. Faktor lingkungan
Seperti ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain dari struktur suatu
organisasi, ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di kalangan para
karyawan dalam organisasi tersebut. Ketidakpastian lingkungan ini meliputi:
1. Ketidakpastian ekonomi
Perubahan dalam siklus bisnis menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Bila
ekonomi itu mengerut, orang jadi makin mencemaskan keamanan mereka. Saat
terjadi krisis moneter pada tahun 1998 terjadi kemerosotan ekonomi di
Indonesia. Peristiwa ini ditandai dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai
dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi,
semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya
pertumbuhan ekonomi. Akhirnya banyak perusahaan yang mem-PHK
karyawannya dengan alasan tidak mampu membayar upah karyawannya. Hal ini
merupakan stressor bagi karyawan, karena bisa saja sewaktu-waktu mereka
terancam di-PHK .
2. Ketidakpastian politik
22
Ketidakpastian politik menjadi sumber potensial stres bagi karyawan-
karyawan yang tinggal di daerah konflik seperti di Irak. Penduduk Irak pernah
mengalami embargo karena konflik dan perang, sehingga mereka kekurangan
makanan dan obat-obatan akibat embargo tersebut. Hal ini tentu saja berpotensi
menimbulkan stres bagi karyawan yang bekerja di Irak. Mereka tidak dapat
bekerja dengan baik akibat perasaan cemas dan was-was yang dialami setiap saat
akibat kondisi politik yang tidak stabil.
3. Ketidakpastian teknologi
Inovasi-inovasi baru dapat membuat ketrampilan dan pengalaman seorang
karyawan menjadi ketinggalan dalam periode waktu yang sangat singkat.
Komputer, robot, otomatisasi dan ragam-ragam inovasi teknologi merupakan
ancaman bagi banyak orang dan menyebabkan mereka stres. Kondisi ini disebut
technostress, suatu kondisi yang terjadi akibat ketidakmampuan individu atau
organisasi menghadapi teknologi baru.
b. Faktor organisasi
Muchinsky (dalam Oktiarini, 2004) mengemukakan bahwa stressor dari
faktor organisasi yaitu penyebab stres yang terjadi karena tidak adanya
dukungan secara dinamis atau fleksibel terhadap perkembangan organisasi,
diantaranya gaya manajemen atau kepemimpinan, penciptaan sistem kontrol dan
iklim organisasi sampai penyesuaian karakteristik pekerjaan dan desain
pekerjaan untuk pekerjaannya.
Sedangkan Robbins sendiri mengkategorikan stressor dari faktor organisasi yaitu
karena adanya :
1) Tuntutan tugas
Tuntutan tugas merupakan faktor yang dikaitkan pada pekerjaan seseorang.
Faktor ini mencakup desain pekerjaan individu (otonomi, keragaman tugas,
tingkat otomatisasi), kondisi kerja dan tata letak kerja fisik.
2) Tuntutan peran
Tuntutan peran berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang dimainkan dalam
23
organisasi itu. Peran yang berlebihan beban terjadi bila karyawan diharapkan
untuk melakukan lebih daripada yang dimungkinkan oleh waktu, ambiguitas
peran diciptakan bila harapan peran tidak dipahami dengan jelas dan
karyawan tidak pasti mengenai apa yang harus dikerjakan.
3) Tuntutan antarpribadi
Tuntutan antarpribadi adalah tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain.
Kurangnya dukungan sosial dari rekan-rekan dan hubungan antarpribadi yang
buruk dapat menimbulkan stres yang cukup besar, khususnya di antara para
karyawan dengan kebutuhan sosial yang tinggi.
4) Struktur organisasi
Struktur organisasi menentukan tingkat diferensiasi dalam organisasi,
tingkat aturan dan peraturan, dan di mana keputusan diambil. Aturan yang
berlebihan dan kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang
berdampak pada seorang karyawan merupakan suatu contoh dari variabel
struktural yang dapat merupakan sumber potensial dari stres.
5) Kepemimpinan organisasi
Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial dari eksekutif
senior organisasi.
c. Faktor individual
Kategori ini mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan.
1) Persoalan keluarga
Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan
disiplin anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan
stres bagi para karyawan yang terbawa ke tempat kerja.
2) Masalah ekonomi
Masalah ekonomi yang diciptakan individu yang terlalu
merentangkan sumber daya keuangan mereka merupakan suatu perangkat
kesulitan pribadi lain yang dapat menciptakan stres bagi karyawan dan
mengganggu perhatian mereka terhadap kerja.
24
3) Karakteristik kepribadian bawaan
Beberapa orang memiliki kecenderungan yang inheren untuk
menekankan aspek negatif dari dunia ini secara umum. Gejala stres yang
diungkapkan dalam pekerjaan itu sebenarnya mungkin berasal dalam
kepribadian orang itu.
Menurut Robbins (2008), stres menampakkan diri dengan berbagai cara.
Akibat stres dapat dikelompokkan dalam tiga kategori umum: gejala fisiologis,
gejala psikologis dan gejala perilaku.
a) Gejala psikologis
Gejala-gejala yang hanya dapat dirasakan oleh individu yang
mengalaminya. Yaitu terdiri dari kecemasan, ketegangan, bingung, marah,
sensitif, mengurung diri, menarik diri, kebosanan, ketidakpuasan kerja, lelah
mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi,
kehilangan spontanitas, kreativitas, kehilangan semangat hidup,
menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.
b) Gejala fisiologis
Yaitu meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan
lambung, mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan
kardiovaskuler, gangguan pernafasan, sering berkeringat, gangguan pada
kulit, kepala pusing, migrain, ketegangan otot dan problem sulit tidur.
c) Gejala perilaku
Perilaku ditampilkan oleh individu sebagai akibat dari stres, yaitu
tampak dari menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas, penurunan
prestasi dan produktivitas kerja, meningkatnya penggunaan minuman keras
dan mabuk, agresivitas dan kriminalitas, penurunan hubungan interpersonal
dengan keluarga dan teman, dan kecenderungan bunuh diri.
Stres kerja dengan kadar sedikit atau banyak, tetap harus dikelola dengan baik.
Karena jika dibiarkan saja akan berpengaruh pada kinerja karyawan. Cara-cara
mengelola stres kerja adalah (Robbins, 2008):
a) Pendekatan individual
25
Strategi individual yang terbukti efektif dalam menangani stres kerja adalah
menerapkan teknik manajemen waktu, penambahan waktu olah raga, pelatihan
relaksasi dan perluasan jaringan dukungan sosial. Dengan manajemen waktu yang
baik diharapkan karyawan dapat meningkatkan kinerja dan menghindari stres
kerja. Beberapa prinsip manajemen waktu yang banyak dipraktekkan adalah: (1)
membuat daftar kegiatan harian yang harus dirampungkan, (2) memprioritaskan
kegiatan berdasarkan tingkat kepentingan dan urgensinya, (3) menjadwalkan
kegiatan menurut prioritas yang telah disusun, serta (4) memahami siklus harian
dan menangani pekerjaan yang paling banyak menuntut perhatian.
b) Pendekatan organisasional
Menurut Robbins (2009), hal-hal yang dapat dilakukan manajemen untuk
mengelola stres kerja karyawan adalah: (1) seleksi personel dan penempatan kerja
yang lebih baik, (2) pelatihan, (3) penetapan tujuan yang realistis, (4) pendesainan
ulang pekerjaan, (5) peningkatan keterlibatan karyawan, (6) perbaikan dalam
komunikasi organisasi, (7) penawaran cuti panjang kepada karyawan, dan (8)
penyelenggaraan program-program kesejahteraan perusahaan.
Selain itu, menurut (Widoyoko, 2009) usaha-usaha yang dapat mengurangi stres
kerja dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu dengan menangani sebab-sebab yang
menimbulkan stres (preventif), dan usaha untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh stres (kuratif). Untuk mengurangi dampak dari stres kerja dapat dilakukan
konseling pada karyawan. Cara-cara preventif yang dapat dilakukan bermacam-macam.
Selanjutnya, Widoyoko (2009) menambahkan bahwa yang dapat dilakukan organisasi
untuk menangani stres kerja adalah:
a) Memindahkan (transfer) karyawan ke pekerjaan atau tugas lain yang dianggap
lebih cocok dan menyenangkan.
b) Mengganti penyelia (atasan langsung yang berbeda).
c) Menyediakan lingkungan kerja yang baru.
d) Kegiatan pelatihan dan pengembangan karyawan yang terencana dengan baik dan
sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan organisasi maupun kebutuhan pribadi
masing-masing karyawan.
26
e) Merancang kembali pekerjaan-pekerjaan sehingga karyawan mempunyai alternatif
keputusan yang lebih banyak dan wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab
mereka.
f) Meningkatkan komunikasi dua arah yang seimbang antara lembaga dan karyawan
sehingga memberikan feedback yang lebih baik dalam pelaksanaan pekerjaan dan
partisipasi karyawan dalam kegiatan berorganisasi. Alternatif terakhir ini
membutuhkan keterbukaan dan kesediaan dari lembaga (pimpinan) untuk selalu
siap menerima kritik dan saran maupun pengaduan dari karyawan.
BAB III
PEMBAHASAN
Organisasi adalah kumpulan dari manusia-manusia individu, dan yang melakukan
kegiatan adalah manusia-manusia individu yang menjadi anggota suatu organisasi yang
bersangkutan. Oleh karena itu meskipun unsur-unsur lain telah disusun secara baik,
namun semua itu masih tergantung pada manusia-manusia yang terlibat dalam organisasi
(Effendi, 2005). Dinamika organisasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
diketahui sebagai bentuk dari suatu progres organisasi untuk mencapat suatu tujuan.
Progres suatu organisasi dapat diketahui dengan menggunakan metode dinamika dan
mekanik organisasi dimana hal-hal seperti kepemimpinan, relasi antar karyawan, struktur
organisasi memainkan peranan penting dalam kemajuan suatu organisasi. Seperti yang kita
ketahui bersama bahwa kehidupan organisasi tidak hanya ditandai oleh adanya kegiatan
interaksi antar anggota-anggota secara perorangan ataupun secara bersama tetapi ditandai
pula oleh adanya proses pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu yang sesuai dengan struktur
yang telah ditentukan dalam organisasi (proses organisasi). Hal ini bersifat timbal balik
oleh karena itu hal ini dapat terjadi apabila ada yang menjalankannya yakni orang-orang
yang ada dalam organisasi tersebut.
Dinamika organisasi merupakan sebuah konsep yang menggambarkan proses
kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan
27
yang selalu berubah-ubah. Selain itu dinamika organisasi dapat juga diartikan sebagai
suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih individu, memiliki hubungan psikologis
secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat berlangsung dalam situasi
yang dialami secara bersama maka dinamika organisasi pada dasarnya merupakan proses-
proses kelompok yang menggambarkan semua hal yang terjadi dalam kelompok akibat
adanya interaksi individu-individu yang ada dalam kelompok itu.
Interaksi yang terjadi di dalam organisasi menyebabkan dinamika yang bersifat
unik dan berbeda pada setiap organisasi. Suatu pemikiran bahwa semakin banyak orang
yang berinteraksi di dalam suatu organisasi sangat besar kemungkinan untuk terjadinya
dinamika semakin besar. Perbedaan-perbedaan latar belakang kebudayaan yang dapat
membentuk pribadi-pribadi yang berbeda sehingga membentuk pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompok, perbedaan kepentingan antarindividu atau kelompok dapat memicu
terjadinya konflik yang dapat menimbulkan dinamika dalam organisasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Park dan Luo (2001) menjelaskan mengenai bagaimana suatu budaya di
masyarakat Cina yaitu Guanxi memengaruhi dinamika organisasi yang juga dapat
berpengaruh terhadap perfrorma perusahaan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Penelitian lain juga membahas mengenai dinamika budaya organisasi yang berpengaruh
pada asumsi, nilai dan proses dalam suatu lingkungan organisasi (Hatch, 1993). Hal ini
juga dapat dijelaskan dari pembahasan mengenai sumber-sumber konflik yaitu situasi yang
tidak sesuai, rencana kegiatan dan alokasi waktu yang tidak sesuai, masalah status
pekerjaan yang tidak pasti, dan perbedaan persepsi (Wijono, 2012). Dinamika yang terjadi
didalam organisasi dapat dikatakan sebagai suatu seni yang dapat memberikan gambaran
pada kita mengenai proses yang terus terjadi didalam suatu kelompok atau organisasi.
Dinamika yang terjadi tentunya harus mendapatkan perhatian dari pimpinan dan
karyawan organisasi dimana kedua pihak baik pimpinan, karyawan maupun orang lain
yang terlibat dalam suatu permasalahan harus duduk bersama dan mengkaji permasalahan
yang sedang dihadapi. Berdasarkan beberapa pandangan mengenai konflik dijelaskan
mengenai dua pandangan yaitu pandangan tradisional dan modern dimana konflik dapat
terjadi karena dipandang sebagai suatu proses sederhana dan optimistik (pandangan
tradisional) dan konflik yang dianggap perlu terjadi karena konflik dapat membuat
28
individu mempertahankan argumentasi yang dibuat, berpikir lebih kritis, inovatif, dan
kreatif (Wijono, 2012).
Membahas mengenai dinamika organisasi didalamnya dapat pula membahas
mengenai pengelolaan perubahan. Dalam pembahasan mengenai pengelolaan perubahan
tidaklah lengkap tanpa memasukkan pengembangan organisasi. Ada beberapa definisi
yang mengemukakan mengenai pentingnya pengembangan organisasi. Pengembangan
organisasi (Organizational Development) bukanlah sebuah konsep tunggal yang mudah
didefinisikan, melainkan sebuah istilah yang digunakan untuk mencakup sekumpulan
intervensi perubahan terencana yang dikembangkan berdasarkan berbagai nilai
humanistis–demokratis, yang berupaya meningkatkan keefektifan organisasi dan
kesejahteraan karyawan. Pengembangan organisasi merupakan suatu usaha jangka
panjang untuk memperbaiki kemampuan menyelesaikan masalah organisasi dan
kemampuan untuk mengatasi perubahan di lingkungan eksternalnya dengan bantuan para
pakar perilaku eksternal dan internal atau yang sering disebut agen perubahan (Robbins,
2007). Riset menunjukkan bahwa organisasi lebih mungkin memulai perubahan
transformasional ketika dipimpin oleh orang dari luar jaringan tradisionalnya. Dalam
beberapa kasus, manajemen internal menyewa jasa konsultan luar untuk memberikan
saran dan bantuan dalam upaya-upaya melakukan perubahan besar. Karena berasal dari
luar, orang-orang ini dapat menawarkan perspektif, objektif yang sering tidak ada pada diri
orang-orang dalam. Perubahan berarti menjadikan sesuatu berbeda.
29
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, M. (2005). Analisis Dinamika Organisasi dan Kepemimpinan Koperasi Simpan Pinjam Etam Mandiri Sejahtera. EPP, 2, 2, 14-23.
Etzioni, A. (1985). Complex Organization on Power Involvement and Their Correlation. New York: The Press of Glenoe.
Hatch, M. J. (1993). The Dynamics of Organizational Culture. Academy of Management, 18, 4, 657-693.
http://kyfi.wordpress.com/2009/11/24/dinamika-organisasi/
Munandar, A. S. (2006). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : UI-Press.
Oktiarini, E. A. (2004). Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Stres Kerja Karyawan di PT. Alam Daya Sakti Semarang. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Salatiga : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Park, S. H., & Luo, Y. (2001). Guanxi and Organizational dynamics: Organizational networking in Chinese firms. Strategic Management Journal, 22, 455-477.
Robbins, S., Judge T. A. (2009). Organizational Behavior 13th Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
_________________________ (2008). Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) Jilid 2 Edisi Keduabelas. Jakarta: Salemba Empat.
30
Widoyoko, E. P. (2009). Stres dan Pengaruhnya Terhadap Prestasi Kerja Karyawan. Publikasi Ilmiah. Retrieved October 20, 2012 from http://www.umpwr.ac.id/publikasi-ilmiah.html?start=54
Wijono, S. (2012). Psikologi Industri dan Organisasi: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
31
top related