limfoma maligna
Post on 31-Oct-2014
275 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfoma maligna adalah kelompok neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam
kelenjar limfe atau jaringan limfoid ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi
sel-sel asli jaringan limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).1
Di negara maju, limfoma relatif jarang, yaitu kira-kira 2% dari jumlah kanker yang ada.
Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan
terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara, dan kulit.1
Limfoma merupakan golongan gangguan limfoproliferatif. Penyebabnya tidak diketahui,
tetapi dikaitkan dengan virus, khususnya virus Epstein Barr yang ditemukan pada limfoma
Burkitt. Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada
kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus HIV,
tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus. Awal
pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan limfatik sekunder (seperti kelenjar
limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.1
2.2 Klasifikasi
Secara garis besar, limfoma dterbagi 4, yaitu limfoma Hodgkin (LH), limfoma non-
hodgkin (LNH), histiositosis X, Mycosis Fungoides. Dalam sebagian besar literatur, yang
dimaksud limfoma adalah LH dan LNH, sedangkan histiositosis X dan mycosis fungoides
sangat jarang ditemukan.
3
2.3 Limfoma Hodgkin
2.3.1 Definisi limfoma Hodgkin
Limfoma Hodgkin dicirikan oleh pembesaran lymph nodes yang progresif dan tidak
nyeri, disertai dengan penyatuan/perlengketan antar region-region lymph nodes.2
2.3.2 Insidensi Limfoma Hodgkin
Insidensi penyakit Hodgkin (morbus Hodgkin; MH) kira-kira 3 per 100.000 penderita per
tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita
adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat
dua puncak dalam distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara
umur 18 – 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama dekade
terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin, terutama bentuk nodular
sklerotik pada golongan umur lebih muda. Pada anak-anak, limfoma Hodgkin merupakan lima
persen dari seluruh kejadian neoplasia.2,34
2.3.3 Etiologi Limfoma Hodgkin
Patogenesis morbus Hodgkin mungkin kompleks dan masih banyak hal yang kurang jelas
dalam bidang ini. Epidemiologi morbus Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran
infeksi virus yang berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri,
dimana terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak
insidensi pertama morbus Hodgkin juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada
di negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan,
(misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi social yang lebih tinggi) insidensi morbus
Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu
mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih
belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada
patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molecular pada persentase
4
yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat ditunjukkan
adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan produksi protein EBV
tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara infeksi EBV dan terjadinya
morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa
langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.2,3,4
2.3.4 Patologi Limfoma Hodgkin
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini
adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan gambaran
dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi histologik, sebagaimana
lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku
sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.3
2.3.5 Klasifikasi Limfoma Hodgkin
Dibedakan empat bentuk utama. Bentuk nodular sklerotik (HB-NS) terciri oleh adanya
varian sel Hodgkin, sel lakunar, dalam latar belakang limfosit, granulosit, sel eosinofil, dan
histiositik. Sel Reed-Sternberg tidak sangat sering. Kelenjar limfe sering mempunyai susunan
nodular, dengan di dalamnya terlihat pita-pita jaringan ikat yang sedikit atau kurang luas yang
sklerotik.
Pada bentuk sel campuran (HD-MC) latar belakang juga terdiri dari granulosit, eosinofil,
sel plasma, dan histiosit, tetapi disini banyak terlihat sel Reed-Sternberg.
Diagnosis bentuk miskin limfosit (HD-LD) di negara industri sudah jarang dibuat.
Gambaran ini ternyata sering berdasar atas (sub) tipe morbus Hodgkin atau limfoma non-
Hodgkin. Bentuk kaya limfosit (HD-LP) terciri oleh varian sel Hodgkin yang lain, sel L dan H
dengan latar belakang limfosit kecil dan histiosit reaktif.
Mengenai sifat sel Reed-Sternberg masih banyak hal yang belum jelas. Dianggap dapat
merupakan sel T atau sel B yang teraktivasi, yang sedikit banyak dikuatkan oleh data biologi
molecular; hanya pada bentuk kaya limfosit karakter sel B jelas.3
5
Tabel 1. Klasifikasi histopatologik morbus Hodgkin(Klasifikasi Lukes-Butler dan Rye, 1966)3,4
Tipe utama Sub-tipe Frekuensi
Bentuk lymphocyte predominance (LP) Nodular
Difus
}5%
Bentuk nodular sclerosis (NS) 70-80%
Bentuk Mixed Cellulating (MC) 10-20%
Bentuk Lymphocyte Depletion (LD) Reticular
Fibrosis difus
}1%
Klasifikasi oleh The World Health Organization (WHO)/Revised European-American
Lymphoma (REAL) :5
Nodular lymphocyte-predominant HL:
Limfoma Hodgkin (HL) klasik dibagi atas 4 tip :
Nodular sclerosis classic HL
Lymphocyte-rich classic HL
Mixed cellularity classic HL
Lymphocyte-depleted classic HL
2.3.6 Manifestasi Klinis Limfoma Hodgkin
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri pada pembesaran kelenjar limfe,
biasanya di leher. Kelenjar ini sering asimtomatik. Jika terjadi di bawah m.
sternocleidomastoideus dapat terjadi pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang
bersangkutan. Mediastinum sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari
kelainan di tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras,
teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah supraklavikula, atau
disertai batuk kering non produktif sekunder akibat limfadenopati halus.
6
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10% atau febris (gejala B) pada 20-30%
kasus merupakan presentasi pertama, terutama pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus
disebutkan adanya nyeri pada penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga
terjadi pada infeksi umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus
lain yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan kelenjar yang
persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat diadakan biopsi untuk penentuan
diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan
untuk penentuan klasifikasi yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi
harus disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan DNA
untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe. 2,3
2.3.7 Diagnosis Limfoma Hodgkin
Pemeriksaan untuk penentuan stadium meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan kelenjar regional, hepar dan lien.
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik. Sel Reed Stenberg yang
merupakan bentuk histiosit (makrofag jaringan) ganas adalah temuan khas pada limfoma
Hodgkin. Pemeriksaan rontgen terdiri atas foto toraks dan CT-scan toraks untuk mencari kalau
ada perluasan mediastinal atau pleural. Untuk pemeriksaan perut ada dua kemungkinan, CT-scan
atau limfangiografi. Sebaiknya dimulai dengan CT-scan. Jika ini negatif, diperlukan
limfangiografi, karena kadang-kadang terdapat kelenjar yang mempunyai struktur abnormal
tetapi tidak jelas membesar, sehingga mungkin tidak terlihat pada CT-scan. Keuntungan
limfangiografi di samping itu adalah bahwa kontrasnya masih tampak 1-2 tahun, sehingga
perjalanan penyakit dapat diikuti dengan foto polos abdomen biasa.
Pengeboran tulang pada umumnya juga harus dikerjakan, dan jelas jika ada simptom B.
Tetapi, dalam hal misalnya stadium I tanpa keluhan arti diagnostiknya hanya sedikit dan
pemeriksaan itu tidak perlu dikerjakan.
Pemeriksaan isotop dengan gallium radioaktif dapat memberi gambaran mengenai
sarang-sarang di tempat lain dalam tubuh yang tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan rutin
7
penentuan stadium biasa. Keterandalan pemeriksaan ini masih diteliti. Jika kelenjar limfe juga
meresorbsi gallium, pemeriksaan ini dapat juga digunakan pada akhir terapi untuk mengetahui
apakah ada massa sisa, misalnya di dalam mediastinum, yang masih mengandung tumor yang
aktif. Ini mempunyai arti prognostik.
Laparotomi untuk penetapan stadium dengan splenektomi dalam periode 1970-1980
sering digunakan untuk kelengkapan pemeriksaan stadium. Ternyata bahwa pada 20-30% kasus
terdapat sarang-sarang occult di limpa dan kelenjar limfe. Digunakan terminology stadium klinik
(sebelum laparotomi) dan stadium patologik (sesudah laparotomi diikuti splenektomi). Kira-kira
20-30% penderita dalam stadium klinik I atau II ternyata sebenarnya berada dalam stadium III.
Sebaliknya 10% penderita dalam stadium III ternyata sebenarnya berada dalam stadium I atau II.
Laparotomi untuk menetapkan stadium juga menunjukkan keberatan, seperti morbiditas
operasi, mortalitas (1%) dan kenaikan kemungkinan infeksi, terutama sepsis pneumokokus. Juga
dinyatakan bahwa kemungkinan untuk leukemia sekunder menjadi lebih besar sesudah
splenektomi.
Laparotomi dengan splenektomi sebagai penetapan stadium pada waktu ini sebenarnya
sudah tidak dikerjakan lagi. Jika seorang penderita harus menjalani splenektomi diperlukan
vaksinasi pneumokokus.
Tabel 2. Penetapan diagnosis limfoma Hodgkin
Anamnesis Gejala-gejala B
Anamnesis keluarga
Mononukleosis infeksiosa
sebelumnya
Pemeriksaan Kelenjar-kelenjar : lokalisasi &
besarnya
Pembesaran hepar, limpa
Pemeriksaan THT pada kelenjar
leher
Pemeriksaan laboratorium LED, Hb, leukosit, trombosit
Faal hati dan ginjal
8
SLDH
Pemeriksaan rontgen X-thorax
CT-scan toraks-abdomen
Limfangiogram
Pemeriksaan sumsum tulang Biopsi tulang Yamshidi
Dipertimbangkan/jika indikasi
scan ada
Gallium
Scan tulang
Biopsi hepar
2.3.8 Penetapan Stadium Limfoma Hodgkin
Untuk pembagian stadium masih selalu digunakan klasifikasi Ann Arbor. Dalam suatu
pertemuan kemudian diadakan beberapa perubahan.
Atas dasar penetapan stadium klinis pada penyakit Hodgkin pada 60% penderita
penyakitnya terbatas pada stadium I atau II. Pada 30% penderita terdapat perluasan sampai
stadium III dan pada 10-15% terdapat pada stadium IV. Ini berbeda dengan limfoma non-
Hodgkin, yang biasanya terdapat pada stadium III-IV.Tabel 3. Pembagian stadium morbus Hodgkin 2,3,4,5
Stadium I Penyakit mengenai satu kelenjar limfe regional yang terletak
diatas atau dibawah diafragma (I) atau satu regio
ekstralimfatik atau organ (IE)
Stadium
II
Penyakit mengenai dua atau lebih daerah kelenjar di satu sisi
diafragma (II) atau kelainan ekstralimfatik atau organ
terlokalisasi dengan satu atau lebih daerah kelenjar di sisi
yang sama diafragma (IIE)
Stadium
III
Penyakit mengenai daerah kelenjar di kedua sisi diafragma
(III), dengan atau tanpa kelainan ekstralimfatik atau organ
(IIIE), lokalisasi limpa (IIIE) atau kedua-duanya (IIIE).
9
Stadium
IV
Penyakit telah menjadi difus / menyebar mengenai satu atau
lebih organ atau jaringan ekstralimfatik, seperti sumsum
tulang atau hati dengan atau tanpa kelainan kelenjar limfe.
2.3.9 Terapi Limfoma Hodgkin
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga
berlaku untuk penderita dalam stadium III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif
sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan bahwa ini tidak boleh dihentikan atau
dikurangi tanpa alasan yang berat. Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara
radioterapis dan internis untuk menentukan program terapi.3
Tabel 4. Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi pertama
Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi
kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-kadang hanya
lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan
radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved
field radiation”
Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi
Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi
10
Stadium klinik I dan II3,4
Terapi standar dalam stadium I dan II adalah radioterapi. Untuk lokalisasi di atas
diafragma ini terdiri atas radiasi lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan
limpa, yang terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari hasil
laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu untuk daerah mantel
dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk daerah kelenjar limfe paraaortal dan
limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira
75%, ketahanan hidup total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas penyakit 5-
7 tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun pertama sesudah terapi.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma, dalam stadium I atau II diberikan
penyinaran Y terbalik, dengan menyinari kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan
kelenjar inguinal. Pada radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu
dipertimbangkan pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran.
Jika kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi dengan
radioterapi.
Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman standar ini. Dalam hal-hal tertentu
hanya dapat dipertimbangkan penyinaran lapangan mantel, misalnya pada stadium I terbatas
pada wanita-wanita, dengan lokasi tinggi di leher. Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult
di dalam perut, jadi residif disitu, jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam stadium
klinik I dan II yang untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang optimal. Kelompok
pertama terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum sangat lebar (lebar mediastinum
misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi vertebra torakal 5-6). Penderita ini sering
mendapat residif di paru atau dalam mediastinum jika hanya diberikan radioterapi saja. Dalam
hal ini lebih dipilih kombinasi kemoterapi dan radioterapi.
Golongan kedua terdiri atas penderita yang meskipun dalam stadium II mempunyai
berbagai lokalisasi kelenjar limfe, misalnya bilateral di leher, mediastinum atau aksila.
Pengalaman menunjukkan bahwa pada penderita yang diberikan radiasi saja sering (40-50%)
11
timbul residif, juga kalau perut atas ikut diberi sinar. Juga laju endap darah yang tinggi atau umur
lebih dari 50 tahun tampaknya memperbesar kemungkinan residif.
Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada laporan bahwa penyinaran lapangan
mantel yang diberikan pada wanita antara 15-25 tahun, sesudah 10-15 tahun memberikan
kemungkinan karsinoma payudara yang meningkat. Ini menjadi alasan bagi kelompok ini untuk
di terapi dengan kemoterapi dalam kombinasi dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar
menghindari payudara.
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan faktor resiko ini secara inisial harus
diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya ada
tendensi untuk juga stadium I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi dengan
kombinasi kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat
penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan kemungkinan timbul
masalah kardial.
Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi, dengan efek samping relatif sedikit, dan
radioterapi terbatas pada daerah yang terkena. Sementara sebaiknya kombinasi ini tidak
digunakan dahulu di luar penelitian.
Stadium IIIA3,4
Jika dalam stadium III perluasannya hanya terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya
dalam situasi klinis stadium klinik II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau
perut atas. Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik (radiasi
“total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan kemoterapi. Penderita ini
diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.
12
Stadium IIIB – IV3
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan kemoterapi. Skema MOPP yang telah lama
sebagai pilihan pertama tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-
1 dan ke-8 dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan ini
kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase remisi komplit
adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri berikutnya diberikan, dengan kadang-
kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai lamanya
terapi berlaku aturan bahwa diberikan terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2
terapi konsolidasi. Jika cepat terjadi remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi 8 seri. Lebih
lama dari ini tidak ada artinya.
Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila pada kemoterapi diberikan penyinaran
tambahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas.
Kemungkinan residif lokal di daerah yang disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas dibuktikan
bahwa kemungkinan kurasi menjadi lebih baik.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan skema ChlVPP, yang pada umumnya lebih
baik ditoleransi. Mengenai efek samping kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya
nausea, vomitus, depresi sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek
samping yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang menetap
dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus dibicarakan dengan
penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan spermanya. Meskipun pada terapi
MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga harus dilakukan pembekuan sperma. Pada wanita
harus diperhatikan kemungkinan amenorrhea jika mereka lebih tua daripada 25-30 tahun. Pada
wanita lebih muda kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan fertilitasnya tetap utuh.
Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki maupun wanita fertilitas lebih dapat
dipertahankan pada terapi ABVD.
Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua seperti leukemia sekunder dan limfoma
non-Hodgkin. Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik
13
dalam hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun.
Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab terbesar. Ini juga menjadi
alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan mengurangi obat pengalkil atau
sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.
Tabel 5. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin
Dosis
(mg/m2)
Hari
ke-
1 5 8 15
MOPP
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
6
1,4
100
25
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
+ +
+ +
—————————
—————————
ChlVPP
Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
6
6
100
25
p.o.
i.v.
p.o.
p.o.
—————————
+ +
—————————
—————————
ABVD
Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
25
10
6
250
i.v.
i.v.
i.v.
i.v.
+ +
+ +
+ +
+ +
MOPP/ABV
Nitrogen
mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
6
1,4
100
40
35
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
i.v.
+
+
——————
—————————
+
14
Adriamisin
Vinblastin
Bleomisin
6
10
i.v.
i.v.
+
+
CEP
CCNU
Etoposid
prednimustin
80
100
80
p.o.
p.o.
p.o.
+
———
———
Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Penanganan Residif2,3
Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama dan kemudian mengalami residif, maka
dia harus ditangani dengan kemoterapi. Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan penderita yang
dalam instansi pertama ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah kemoterapi dengan
atau tanpa radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir terapi sebelumnya dan
residifnya.
Prognosis penderita dengan residif selama atau segera sesudah (kurang dari 1 tahun)
akhir kemoterapi pertama adalah buruk. Terapi dengan skema lain yang disebut skema non cross
resistant, ditambah dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20% kemungkinan ketahanan
hidup lebih lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan MOPP/ABV dan selama atau
segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi untuk menemukan terapi lini kedua,
karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai dalam skema ini.
Jika residif timbul belakangan ternyata dengan kemoterapi yang sama atau dengan
alternatif yang non cross resistant, ditambah dengan radioterapi jika masih memungkinkan, dapat
dicapai remisi jangka panjang pada 30-40% penderita.
Baik untuk residif dini maupun jangka setengah panjang sedang diadakan penelitian
mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT).
Prinsipnya adalah diambil sumsum tulang dan dibekukan. Kemudian penderita diberi kemoterapi
15
yang biasa dipakai untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian diadakan intensifikasi
dengan kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang tersimpan untuk
memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak pengalaman dalam
hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan golongan penderita mana yang
dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan kemungkinan kesembuhan dibanding dengan
terapi standar.
Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti sumsum tulang adalah sel induk perifer
(PSC) dipanen dari darah dan dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini dapat dimobilisasi
dengan satu kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF (Granulocyte stimulating factor). Efek
tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah sel darah putih dalam darah perifer,
jumlah itu meningkat lagi dengan penambahan sel muda (diantaranya sel induk dengan CD34-
positif). Ini melalui leukoferesis dapat dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu
diberi dosis tinggi kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah
perifer lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang yang dikembalikan.
Pada residif yang timbul sesudah waktu lama, artinya lebih lama daripada 5-7 tahun
sesudah akhir kemoterapi pertama, pada umumnya diusahakan dengan kemoterapi yang sama,
atau variannya, dengan tambahan radioterapi untuk menginduksi remisi kedua. Ini dapat berhasil
pada residif lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan dosis tinggi
kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan dilakukan pada residif kedua.
Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi paliatif adalah skema CEP yang
diberikan per oral.
Tabel 6. Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin3
Terapi residif
Sesudah
radioterapi
Kemoterapi, seperti pada penderita yang tidak
diterapi sesudah kemoterapi
Interval pendek Kemoterapi lain dengan obat-obat yang tidak dipakai
sebelumnya, dengan radioterapi dalam penelitian;
kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
16
Interval panjang Kemoterapi sama atau lain, jika mungkin dengan
radioterapi dalam penelitian kemoterapi dosis tinggi
dengan ABMT atau PSCT
2.4 Limfoma Non-Hodgkin
2.4.1 Definisi Limfoma Non-Hodgkin
Limfoma Non-Hodgkin (NHL) adalah neoplasia dari system limfatik dan sel-sel prekursornya
dengan pengaturan proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis yang terganggu.2
2.4.2 Insidensi Limfoma Non-Hodgkin
Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe bahkan di atas 60
tahun. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa tipe,
yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda.
Insidensinya adalah 6 per 100.000.3,6
Insidensi NHL lebih sedikit dianding Limfoma Hodgkin, maka angka kejadian NHL pun
kurang dari 5% dari seluruh keganasan pada anak. Angka kejadian pada laki-laki lebih banyak
disbanding perempuan, yaitu 3:1.4
2.4.3 Etiologi Limfoma Non-Hodgkin
Etiologi NHL sebagian besar belum diketahui. Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus
tampaknya memegang peran. Yang paling banyak diketahui adalah peran virus Epstein-Barr
(EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik)
pada anak-anak kecil di Afrika Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi
malaria, dan deregulasi onkogen karena translokasi kromosomal t(8; 14), yang menyebabkan
17
berkembangnya limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai
tipe NHL (yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis
NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.3,4,7,8
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan
dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa, virus ini
tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus imunosupresi yang lama
merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan imunodefisiensi congenital, seperti
misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi
imunosupresif pada penderita transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-
B derajat tinggi. Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran
onkogen dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini
adalah bahwa bagian kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor
immunoglobulin atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu onkogen. Bahwa
disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah suatu kebetulan. Dalam
perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses pengaturan kembali pada niveau
DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari berbagai komponen gen pada kromosom.
Pada proses ini terjadi sementara patah kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam
kromosom asli malahan dapat juga terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain.
Hasilnya adalah suatu translokasi. Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi
dan teraktivasi. Sebagai prototype adalah translokasi t(8; 14) tersebut di atas, dimana satu dari
gen-gen rantai berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke onkogen c-myc pada
kromosom 8. Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t(8; 14) secara spesifik
terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL sel-B
derajat tinggi.2,3,8
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t(14; 18) yang terdapat dalam kira-
kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal dari ini). Onkogen
bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam keadaan normal mempunyai
jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama karena blokade terhadap apa yang disebut
kematian sel terprogram (apoptosis). Efek ini memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL
18
ini. Jadi perlu dipahami bahwa onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat
kematian sel. Kedua faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik.3,6
2.4.4 Patologi Limfoma Non-Hodgkin
2.4.4.1 Pembagian Histologik
Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen dengan
spectrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan indolen dengan
perjalanan lama dan tidak aktif. Dalam perjalanan waktu dikembangkan berbagai usaha untuk
mendapatkan klasifikasi NHL yang dapat diyakini dan dapat direproduksi. Semula klasifikasi ini
didasarkan atas sifat-sifat morfologik dan sitokimiawi. Kemudian bertambah dengan kriteria
imunologik dan biologi molekuler, yang dapat memberi gambaran yang lebih tepat mengenai
tipe sel dan stadium pertumbuhannya. Di Eropa pada umumnya digunakan klasifikasi Kiel, di
Amerika Serikat kebanyakan klasifikasi menurut Lukes dan Collins dan kadang-kadang juga
menurut Rappaport. Karena dengan ini perbandingan hasil terapi dan prognosis mendapat
banyak kesukaran, pada tahun 1982 dikembangkan Working Formulation (WF). Ini bukanlah
suatu sistem klasifikasi baru melainkan suatu kompromi berdasarkan empiri klinik yang dapat
membedakan entities dengan implikasi prognostik.2,3
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2, yaitu NHL
limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk antibodi
(prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi bentuk
aktif.
Dibedakan 3 derajat malignitas klinis: rendah (30%), intermedier (40%) dan tinggi
(20%), dan dalam kategori ini digunakan pengertian dari klasifikasi Dorfman, Lukes, dan
Collins. Dua sistem klasifikasi morfologik yang umum dipakai di Amerika Serikat ini didasarkan
atas pola pertumbuhan dan tipe sel. Kriteria imunologik, yang antara lain membedakan antara
tipe sel-B dan sel-T, belum dimasukkan disini. Tetapi, kepentingan besar WF adalah dalam
kenyataan bahwa WF ini mempunyai nilai prediktif yang baik untuk perilaku klinis malignitas
ini. Karena itu, sistem ini merupakan dasar untuk tindakan terapeutik.3
19
Konsep klasifikasi Kiel berdasar atas perbandingan dengan pertumbuhan sel-B dan sel-T
normal. Limfoma non-Hodgkin dianggap sebagai lawan maligna stadium spesifik dalam
pertumbuhan ini dan dengan itu mempunyai fenotipe yang cocok (morfologi dan pola penanda).
Terutama dalam hal NHL sel-B ini menyebabkan pengenalan entities biologic yang disebut
penyakit limfoma. Kepentingannya adalah pertama bahwa dalam golongan NHL dengan derajat
malignitas yang sama dapat dibuat prediksi mengenai kelakuan tumornya dalam arti lokalisasi
tumor yang diharapkan (lien, sumsum tulang, ekstranodal, susunan saraf sentral) dan
kemungkinan terhadap relaps. Kedua, cara klasifikasi demikian merupakan dasar yang baik
untuk penelitian medik biologik dalam lapangan non-Hodgkin. Karena itu, di Amerika Serikat
makin besar antusiasme untuk penanganan demikian. Hal ini belakangan ini menyebabkan usul
bersama hematopatolog Eropa dan Amerika untuk memodernisasi klasifikasi Kiel, berdasar atas
kesatuan biologik yang didefinisikan dengan menggunakan morfologi, imunohistologi,
sitogenetika, dan biologi molekuler. Klasifikasi baru ini berbeda dengan klasifikasi Kiel
sedemikian rupa, bahwa tekhnik pemeriksaan modern diimplementasikan dalam diagnostik NHL
dan bahwa juga NHL ekstranodal, yang dalam klasifikasi Kiel tidak dapat dimasukkan dengan
baik padahal kira-kira merupakan 40% semua NHL, secara eksplisit diikutsertakan.3
Pengenalan entities biologi diharapkan dapat menuntun ke pengembangan terapi yang
ditujukan pada perilaku klinis spesifik penyakit limfoma individual.
Pada anak dengan NHL, lebih dari 90% tumor adalah bagian dari 3 subtipe histological
berikut :4
1. Limfoblastik limfoma (30%)
2. Small non-cleave cell limfoma (40-50%)
3. Large Cell Lymphoma (20-25%)
2.4.4.2 Teknik Tambahan pada Pemeriksaan Histologik
Di samping kriteria morfologik untuk menentukan diagnosis NHL, banyak digunakan
pemeriksaan imunohistokimiawi. Kenyataan bahwa malignitas itu sifatnya klonal, artinya terjadi 20
dari satu sel yang tertransformasi, dapat digunakan untuk diferensiasi antara proliferasi reaktif
dan NHL. Pada limfoma sel B dalam hal ini dapat diperhatikan restriksi rantai ringan. Artinya
bahwa satu NHL sel B hanya memproduksi satu tipe rantai ringan, kappa, atau lambda. Ini
ditunjukkan dengan tekhnik imunohistokimiawi. Dengan penggunaan panel zat penanda yang
karakteristik untuk berbagai stadium perkembangan sel B dan sel T lebih lanjut dapat dibedakan
antara NHL sel B dan sel T dan antara berbagai subtipe NHL.
Pemeriksaan imunohistokimiawi, dalam banyak hal harus dikerjakan atas vriescoupe.
Jadi sangatlah penting bahwa patolog anatomi menerima material yang dikirim (kelenjar limfe,
material biopsi lambung, dan lain-lain) tidak terfiksasi, jadi tidak dalam formalin. Juga dengan
menggunakan teknik biologi molecular dapat ditunjukkan monoklonalitas, tipe sel-B dan sel-T
dari proliferasi limfoid. Disini diperhatikan penyusunan (kembali) gen-gen reseptor
immunoglobulin dan sel-T. juga dengan cara ini dapat diperiksa translokasi yang terdapat pada
berbagai tipe NHL.3
2.4.5 Manifestasi Klinis Limfoma Non-Hodgkin
NHL kebanyakan menampakkan diri sebagai pembesaran kelenjar limfe. Ini dapat terjadi
pada semua stasiun kelenjar. Kelenjar limfe biasanya tidak nyeri dan ukurannya dapat bervariasi
dari 1-2 cm sampai paket yang lebih besar. Pada limfoma folikular pembengkakan kelenjar limfe
kadang-kadang sudah ada beberapa tahun tanpa mengalami banyak perubahan dalam ukurannya.
Sekitar 20-30% dari NHL mulai ekstranodal, keluhan bervariasi tergantung pada organ
yang terlibat. Limfoma ekstranodal antara lain dapat dijumpai di kulit, traktus digestivus, tulang,
kelenjar tiroid dan testis.3
Pada anak NHL paling banyak terjadi di dada dan abdomen. Seluruh tumor NHL tumbuh
dengan cepat dan memiliki kecendrunan untuk terjadi penyebaran sistemik. Seluruh jaringan
limfatik dapat terlibat, termasuk lymph nodes, Peyer’s patches, timus, Waldeyer’s ring, organ
pelvis, hati, dan limpa. Hampir pada 75% anak dengan limfoblastik limfoma terdapat massa
mediastinum anterior yang besar dan dapat mengkompresi trakea atau menyebabkan obstruksi
vena kava superior. Gejala yang timbul di antaranya dyspnea, wheezing, stridor, bengkak pada 21
leher dan kepala, dan kadang disfagia. Small non-cleaved cell limfoma bermanifestasi sebagai
tumor abdomen yng tumbuh dengan cepat. Bagian-bagian tubuh lain yang juga dapat terlibat
antara lain testis, sinus nasal, tulang, system saraf pusat, kulit, dan lain-lain.4
2.4.6 Diagnosis Limfoma Non-Hodgkin2,3,4
Diagnosis ditetapkan dengan pemeriksaan material biopsi kelenjar limfe. Pungsi
histologik dapat mencurigakan untuk diagnosis, tetapi histologi diperlukan untuk klasifikasi yang
tepat dan menentukan subtipenya, yang mempunyai konsekuensi terapeutik penting.
Sesudah diagnosis NHL ditetapkan, perlu dijalankan penetapan stadiumnya. Pembagian
stadium yang digunakan identik dengan yang digunakan pada penyakit Hodgkin. Di samping
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dengan perhatian khusus untuk organ limfoid antara lain juga
lingkaran Waldeyer, pemeriksaan inisial ini juga meliputi analisis darah (gambaran darah, fungsi
hepar, fungsi ginjal dan spektrum protein). Jelas jika ada kelenjar di leher ikut serta dalam proses
itu diperlukan pemeriksaan THT. Pemeriksaan rontgen meliputi foto toraks dan CT-scan perut.
CT-scan pada NHL praktis menggantikan limfangiografi.
Untuk penetapan stadium pengeboran tulang penting, terutama pada limfoma folikular,
hasilnya 60-70% dari kasus positif. Pada limfoma difus sel besar hasilnya lebih rendah (30%).
Karena itu pada limfoma folikular, penyakitnya dalam 70-80% kasus telah berada dalam stadium
III atau IV pada presentasi pertama.
Limfoma limfoblastik dan limfoma Burkitt seperti LLA, dapat menunjukkan perluasan
meningeal, pasti jika sumsum tulangnya positif. Untuk ini diperlukan pemeriksaan liquor.
Pada NHL dapat terjadi hemolisis autoimun dan trombositopenia. Pada anemia atau
trombositopenia yang tidak jelas sebabnya harus diingat akan hal ini. Kadang-kadang terdapat
juga paraproteinemia.
Pada NHL yang primer terlokalisasi di organ dalam prinsipnya dilakukan penetapan
stadium yang sama, ditambah dengan pemeriksaan organ yang bersangkutan. Pada limfoma
22
lambung sering didapatkan lokalisasi tonsil, dan juga kebalikannya. Jadi pemeriksaannya harus
diarahkan ke sini.
2.4.7 Terapi Limfoma Non-Hodgkin
2.4.7.1 Terapi Limfoma Derajat Malignitas Rendah
Sekitar 25-30% NHL termasuk limfoma derajat malignitas rendah. Dari golongan ini
limfoma folikular sentroblastik-sentrositik merupakan bagian terbesar. Sebagian besar limfoma
ini berada dalam stadium III dan IV. Yang dibicarakan di bawah terutama mengenai tipe ini.
Untuk stadium I dan II yang frekuensinya kecil, radioterapi adalah terapi yang diperlukan.
Dengan ini, 70% penderita dalam stadium I dan 50% dalam stadium II sembuh. Penelitian
mengenai nilai kemoterapi ajuvant sesudah radioterapi tidak menunjukkan perbaikan ketahanan
hidup.2,3
Terdapat problem mengenai terapi stadium III dan IV. Limfoma folikular mempunyai
perjalanan yang sedikit agresif, tetapi kemungkinan penyembuhannya terbatas. Prosesnya mudah
didesak kembali, tetapi tidak dapat dihilangkan karena masih ada sarang-sarang yang
ketinggalan, antara lain di dalam sumsum tulang. Jika tercapai remisi masih dapat timbul residif.
Di samping itu, penderita kebanyakan lebih tua. Bisa dipilih “tunggu dan amati”, artinya baru
dimulai terapi jika jelas ada progresi. Juga dapat dipilih monokemoterapi yang tidak banyak
memberatkan dalam bentuk klorambusil, atau untuk kemoterapi kombinasi dalam bentuk seri
CVP. Penyinaran tubuh total, dengan menyinari seluruh tubuh dengan dosis rendah, juga
merupakan suatu alternatif.
23
Tabel 7. Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada limfoma non-Hodgkin3
Dosis
(mg/m2)
Hari
ke-
1 2 3 4 5 8 15
CVP
Vinkristin
Siklofosfamid
Prednisone
1,4
300
50-100
p.o.
p.o.
p.o.
+
——————
——————
CHOP
Siklofosfamid
Prednisone
Vinkristin
Prednisone
750
50
1,4
60-100
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
+
+
+
——————
CHVmP/VCR
bleo
Siklofosfamid
Adriamisin
VM 26
Prednisone
Vinkristin
Bleomisin
600
50
60
60
1,4
10
i.v.
i.v.
i.v.
p.o.
i.v.
i.v.
+
+
+
—————–
+
+
Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Pada massa tumor yang kecil dapat diadakan periode observasi, yang pasti pada penderita
yang lebih tua, dan bila terjadi progresi dapat dimulai dengan klorambusil. Tetapi jika yang
dihadapi paket kelenjar limfe yang besar yang memberi keluhan, maka akan diinginkan regresi
yang lebih cepat dan akan dipilih CVP. Lama terapi ditentukan oleh saat dicapainya remisi baik,
kemudian ditunggu. Pada residif, terapi diulang.
24
Peran intereferon pada terapi primer pada tahun-tahun akhir ini diteliti. Sebagai adjuvant
yang diberikan pada waktu terapi primer interferon memberi perbaikan ketahanan hidup bebas
penyakit, tetapi tidak untuk lamanya ketahanan hidup. Tetapi, hasilnya belum sedemikian
sehingga penambahan interferon dapat menjadi standar. Efek samping adalah rasa lelah dan
batuk pilek.
Pada NHL derajat malignitas rendah lama remisi pada umumnya tidak panjang. Sesudah
5 tahun 40% penderita masih dalam remisi. Ketahanan hidup adalah 70% sesudah 5 tahun, dan
50% sesudah 10 tahun.
Kalau residif terjadi lama sesudah terapi pertama dan bersifat lokal, dapat
dipertimbangkan radioterapi lokal. Pada residif yang lebih tergeneralisasi, kebijaksanaan
tergantung pada intervalnya. Pada interval yang lebih lama (lebih dari 1-2 tahun) dapat dipilih
terapi yang sama seperti pada penanganan pertama, pada interval yang singkat akan dipilih terapi
yang lebih berat, misalnya CVP sesudah leukeran, atau CHOP sesudah CVP.3,9
Tahun-tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa obat baru yang pada NHL derajat
rendah memberi hasil yang lebih baik. Fludarabin, suatu antimetabolit dalam lini kedua memberi
30% remisi baik dan dalam lini pertama bahkan 60%. Dapat diharapkan bahwa obat ini akan
menduduki tempat yang penting dalam terapi limfoma tipe ini. Jika digunakan dalam lini kedua
atau ketiga, ada kemungkinan infeksi oportunistik, karena limfosit normal juga turun jumlahnya.
Prognosis tipe limfoma ini dalam tahun-tahun terakhir tidak tampak adanya kemajuan.
Introduksi dosis tinggi kemoterapi dengan transplantasi sumsum tulang atau sel induk pada
limfoma derajat intermedier atau derajat tinggi menimbulkan pertanyaan apakah ini juga pada
limfoma derajat rendah dapat memberikan hasil. Penelitian untuk ini sedang dilakukan.
Limfoma masa anak sangat responsif terhadap kemoradioterapi biasa, dengan angka
ketahanan hidup bebas-penyakit jangka-lama berkisar 60-75% untuk LNH.9
25
2.4.7.2 Terapi Limfoma Derajat Malignitas Intermedier dan Tinggi3,6
Pada terapi limfoma derajat melignitas intermedier dan tinggi akhir-akhir ini tampaknya
ada perkembangan penting, tetapi ternyata harapan tidak menjadi kenyataan. Jika disebutkan
limfoma derajat intermedier dan tinggi perlu dijelaskan bahwa di dalam kebanyakan publikasi,
dan juga apa yang disebutkan di bawah ini limfoma limfoblastik tidak termasuk dalam kategori
ini. Limfoma ini biasanya ditangani sebagai LLA. Saat ini, mengenai terapi tidak ada perbedaan
antara tipe sel-T dan sel-B.
Mengenai stadium I, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwa dengan
radioterapi saja dalam 60-70% kasus dapat diperoleh kesembuhan. Jika dalam stadium I limfoma
lebih besar dari 5 cm maka radioterapi saja tidak cukup. Sebagian lain cenderung semua limfoma
intermedier dan derajat tinggi diterapi dengan kemoterapi, tetapi radioterapi saja untuk stadium I
dengan massa kelenjar yang kecil dapat dipertahankan.
Dalam stadium II, III, dan IV, kemoterapi merupakan tindakan terpilih. Terapi standar
masih tetap kemoterapi CHOP (siklofosfamid, adriamisin, vinkristin, prednisone). Dengan ini
kira-kira 60% kasus dapat mencapai remisi komplit, dengan 30% ketahanan hidup lebih lama,
atau dalam hal ini kesembuhan.
Sejumlah besar studi dari berbagai institut dengan menggunakan skema kemoterapi yang
lebih baru dan lebih intensif, belakangan ini menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan
terapi CHOP. Kemoterapi baru ini berbeda dengan seri CHOP karena diberikan lebih banyak
obat sebagian besar dalam dosis yang lebih tinggi dan juga dengan interval yang lebih pendek.
Contoh adalah m-BACOD dan pro-MACE-MOPP. Terobosan yang paling konsekuen dalam
lapangan ini adalah kombinasi MACOP-B. Pada cara ini kemoterapi diberikan 12 minggu
kontinyu, tanpa terputus dan hampir sama sekali tanpa memperhitungkan angka-angka darah. Di
samping itu, diberikan profilaktik antibiotik dan kadang-kadang pemberian trombosit berkali-
kali. Persentase remisi komplit adalah 84 dan persentase ketahanan hidup lama adalah 69. Tetapi
ini merupakan penelitian yang tidak dirandomisasi, berasal dari satu institut.
Belakangan dapat dibaca hasil penelitian besar di Amerika yang dirandom terhadap 899
penderita, yang di dalamnya dibandingkan beberapa skema baru dengan terapi standar CHOP.
26
Tidak didapat perbedaan, baik dalam kemungkinan remisi, maupun dalam ketahanan hidup
bebas sakit, atau dalam ketahanan hidup. Ketahanan hidup bebas penyakit yang panjang adalah
antara 40-45% untuk semua skema yang diteliti. Yang jelas adalah justru adanya lebih banyak
morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi sebagai akibat efek samping.
Selanjutnya ternyata bahwa prognosis pada tipe limfoma ini tergantung pada beberapa
cirri inisial, yang disebut faktor prognostik. Telah dibuat analisis luas mengenai faktor-faktor
prognostik ini pada limfoma derajat intermedier dan derajat tinggi. Faktor prognostik yang
terepenting adalah umur (di atas atau di bawah 60 tahun), stadium (I-II versus III-IV), jumlah
lokalisasi ekstranodal (0-1 terhadap lebih dari 2), performance status (0-1 versus 2-3) dan kadar
SLDH (normal dibandingkan dengan abnormal). Ketahanan hidup jangka panjang dapat
bervariasi dari 70% pada faktor tidak menguntungkan 0-1, sampai 20-30% pada adanya faktor
tidak menguntungkan 4 atau 5, tidak tergantung pada terapi. Jadi, sangat mungkin bahwa hasil
baik yang pertama disebutkan dari skema yang lebih intensif itu berdasar atas kriteria seleksi.
Jadi, sementara terapi CHOP yang lama tetap dipertahankan.
Juga pada NHL diterapkan kemoterapi dosis tinggi dengan pemberian kembali sumsum
tulang atau sel induk perifer. Dengan ini dapat dicapai remisi pada keadaan yang dengan terapi
konservatif tidak dapat diharapkan.
Kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT dengan reinfusi sel induk perifer antara lain
diterapkan pada penderita dengan ciri-ciri yang tidak menguntungkan (volume besar, LDH
tinggi), sebagai konsolidasi lini pertama, dan pada penderita dengan residif pertama atau kedua
sesudah mereka dikembalikan lagi di dalam remisi sebaik mungkin. Ternyata bahwa tidak ada
artinya menerapkan terapi ini pada penderita yang telah diobati dengan segala cara atau pada
penderita dengan progresi selama kemoterapi standar. Indikasi tepat untuk cara penanganan ini
belum seluruhnya pasti dan studi lebih lanjut sedang dilakukan.
Pada penderita lebih tua (1/3 adalah lebih tua daripada 70 tahun) pada waktu ini sedang
diteliti apakah dengan varian terapi CHOP yang lebih dapat ditoleransi dapat dicapai hasil yang
sama: kurang toksisitas, tanpa kehilangan keberhasilan. Yang digunakan adalah skema CNOP,
yang di dalamnya adriamisin dari CHOP diganti dengan mitoksantron (Novantrone) yang kurang
27
toksisitasnya, meskipun dalam beberapa studi hasilnya tampak kurang dibandingkan dengan
CHOP.
Tempat radioterapi pada penanganan stadium II, III, dan IV limfoma derajat intermedier
dan tinggi tidak jelas. Tidak tampak bahwa radioterapi membantu perbaikan ketahanan hidup,
tetapi residif lokal dapat dicegah. Dalam publikasi yang paling akhir, radioterapi tidak diberikan
sebagai bagian tetap dari terapi.
Jika penyakit ini sesudah kemoterapi lini pertama kembali lagi, sulit mencapai remisi
baru untuk jangka panjang dengan bentuk lain standar kemoterapi. Pada golongan penderita
dengan residif pertama atau kedua yang sensitif untuk kemoterapi, sementara dapat ditunjukkan
bahwa kemoterapi dosis tinggi dengan bantuan sumsum tulang memperbaiki prognosis
dibanding dengan terapi standar.
2.5. Bentuk Khusus Limfoma Maligna
Jarang pada dewasa, tetapi lebih frekuen pda anak adalah NHL limfoblastik dan limfoma
burkitt. Limfoma limfoblastik pada usia dewasa biasanya diterapi sebagai leukemia limfatik
akut, termasuk profilaksis meningeal. Limfoma burkitt disamping ciri-ciri morfologik dan
kromosomal juga mempunyai sifat-sifat klinis spesifik: limfoma ini sering menunjukkan
pertumbuhan cepat, lokalisasinya ekstranodal. Tempat preferensi adalah abdomen yaitu sudut
ileosekal. Kadang-kadang menampakkan diri sebagai perut akut sebagai akibat invaginasi. Untuk
tipe limfoma ini sering digunakan pembaian stadium lain daripada klasifikasi Ann Arbor.3,10
Limoma burkitt terbagi 2, yaitu limfoma burkitt endemic dan sporadic. Tipe endemic ini terjadi
di Afrika. Berhubungan erat dengan virus Epstein Barr (EBV). Umumnya melibatkan ulang
rahang, yang sangat jarang terjadi ada tipe sporadic. Tipe ini juga umumnya melibatka abdomen.
Sedangkan tipe sporadic terjadi di bagian dunia lain di luar Afrika. Pengruh EBV tidaklah sekuat
jenis endemic meskipun bukti infeksi EBV didapatkan pada satu dari lima pasien. 90% kasus
melibatkan abdomen.10
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Limfoma Maligna. Diakses dari http://doctorology.net/?p=368. Diunduh tanggal 15
Februari 2012
2. Imbach P. Pedriatic Oncolgy A comprehensive Guide. 2006. Springer. Heidelberg. Hal
61-69
3. C J H van de Velde, 1999. Onkologi. Edisi 5. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hal 677-696
4. Arensman, Robert M. Pediatric Surgery. 2000.Landes Bioscience. Texas. Hal 211-219
5. Hodgkin Lymphoma Staging. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/2007081-overview. Diunduh tanggal 15 Februari
2012
6. Limfoma Non-Hodgkin. Diakses dari http://doctorology.net/?p=380. Diunduh tanggal 15
Februari 2012
7. De Jong W, Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal
137, 381
8. Diagnostic dan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. 2004. Dalam Dexa Media. No
4. Vol 17. Jakarta. Hal 143-146
9. Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta. Hal 742-743
10. Burkitt lymphoma. Diakses dari
http://lymphoma.about.com/od/nonhodgkinlymphoma/p/burkitts.htm. Diunduh tanggal
15 Februari 2012
29
top related