kriteria gula shs
Post on 08-Aug-2015
976 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KUALITAS MUTU GULA KRISTAL PUTIH
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar mutu yang
telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Di Indonesia ada tiga jenis gula
yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang
digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih (GKP) yang
dikonsumsi secara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan
dan minuman.
Gula yang kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional
disebut sebagai plantation white sugar. GKP dibuat dari tebu yang diolah melalui
berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan proses
sulfitasi dalam pengolahan gula. Kriteria mutu gula yang berlaku di Indonesia ( SNI )
saat ini pada dasarnya mengacu pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS
(Superieure Hoofd Suiker), yang pada perkembangannya kemudian mengalami
modifikasi dan terakhir SNI 01-3140-2001/Rev 2005, Tabel 1. Secara garis besar
kriteria mutu gula (GKP) yang kita ikuti meliputi kadar air, polarisasi, warna larutan,
warna kristal, kadar SO2, abu konduktivitas dan besar jenis butir.
Tabel 1. Syarat mutu gula kristal putih (SNI-3140-200/Rev 2005)
Kadar air
Kadar air adalah jumlah air (%) yang terdapat dalam gula, biasanya batasan
maksimal 0,1%. Gula yang mengandung kadar air tinggi cepat mengalami
penurunan mutu/kerusakan dalam penyimpanan, berubah warna, mencair dsb. Di
samping itu penanganannya sulit (lengket dalam karung) dan penampilannya jelek.
Gula yang berkadar air tinggi biasanya dengan mudah dilihat/dirasakan secara
langsung oleh konsumen tanpa menggunakan peralatan. Proses pengeringan gula di
PG umumnya menggunakan talang goyang (grasshoper) yang jalurnya panjang
untuk mencapai tingkat kekeringan tertentu (< 0,1%).
Polarisasi
Polarisasi menunjukkan kadar sukrosa dalam gula, semakin tinggi polarisasi
semakin tinggi kadar gulanya. Batasan minimal kadar pol adalah 99,5%. Pengukuran
kadar pol dilakukan dengan alat ukur polarimeter. Produk gula kita pada umumnya
tidak mengalami kesulitan untuk mencapai batasan minimal tersebut.
Warna larutan
Warna larutan gula berkisar dari kuning muda (warna muda ) sampai kuning
kecoklatan (warna gelap) diukur dengan metode ICUMSA (International Commission
for Uniform Methods of Sugar Analysis), dinyatakan dalam indeks warna. Semakin
besar indeks semakin gelap warna larutan. Batasan maksimal indeks warna untuk
GKP adalah 300 iu.
Warna kristal
Warna kristal dapat dilihat secara langsung dengan mata, secara kualitatif
dengan cara membandingkan dengan standar dapat diketahui tingkat keputihan
(whiteness) gula. Penggunaan peralatan (spektrofotometer refleksi) diperlukan untuk
pengukuran kuantitatif yang dinyatakan dalam CT (colour type) . Semakin tinggi nilai
CT semakin putih warna gulanya. Untuk gula GKP kisaran nilai CT sekitar 5 - 10.
Pada penentuan premi mutu gula warna kristal ini merupakan salah satu tolok ukur
utama yang menentukan.
Kadar SO2
Kadar SO2 gula produk kita berkisar 5-20 ppm. ini disebabkan sebagian besar
pabrik gula menggunakan proses sulfitasi, sehingga terdapat residu SO2 seperti pada
kisaran tersebut. Adanya residu SO2 menjadi kendala untuk konsumsi industri
makanan/minuman, yang biasanya menuntut bebas SO2. Kadar SO2 maksimal yang
diperkenankan di Indonesia adalah 30 ppm. Pada mulanya sebelum ada
pembatasan banyak produk pabrik gula (sulfitasi) yang mengandung SO2 berlebihan,
namun dengan adanya pembatasan kadar SO2 menurun sampai pada kisaran 5-20
ppm.
Besar jenis butir
Besar jenis butir adalah ukuran rata-rata butir kristal gula dinyatakan dalam
mm. Persyaratan untuk GKP adalah 0,8-1,1 mm .Untuk memenuhi persyaratan
tersebut tampaknya tidak ada kesulitan. Konsumen (masyarakat pada umumnya)
lebih menyukai gula yang ukuran kristalnya besar (kasar). Namun dari sisi pabrik,
untuk membuat kristal yang besar diperlukan energi yang lebih banyak, ini
berhubungan dengan waktu masak untuk membesarkan ukuran kristal. Tetapi bila
ukuran terlalu halus daya simpannya berkurang, gula akan cepat mengabsorpsi air
sehingga cepat basah.
GULA RAFINASI DAN PROSES PEMBUATANNYA
Gula selain dikonsumsi langsung juga digunakan sebagai bahan baku untuk industri
makanan. Pada saat ini kebanyakan pabrik gula di Indonesia hanya mampu
menghasilkan gula kualitas GKP (gula kristal putih) yang dikonsumsi langsung. Gula
SHS ini masih belum memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku industri
makanan. Untuk itu industri makanan membutuhkan kualitas gula yang lebih baik
yang diperoleh dari gula rafinasi. Kata rafinasi diambil dari kata refinery artinya
menyuling, menyaring, membersihkan. Jadi bisa dikatakan bahwa gula rafinasi
adalah gula yang mempunyai kualitas kemurnian yang tinggi.
Proses Pembuatan Gula Rafinasi
Proses rafinasi yang digunakan dalam pabrik gula rafinasi bervariasi tergantung
pada bahan yang diolah produk yang dikehendaki dan pertimbangan lain sesuai
kondisi lokal. Namun demikian secara garis besar dapat diuraikan menjadi stasiun
sebagai berikut :
A. Afinasi
Tujuan afinasi adalah mencuci kristal GKM (raw sugar) agar lapisan molases yang
melapisi kristal berkurang sehingga warnanya semakin ringan atau warna ICUMSA
lebih kecil. Pencucian dilakukan dalam mesin sentrifugal yaitu setelah GKM
dicampur dengan sirup menjadi magma. Penurunan warna yang dicapai pada
stasiun ini berkisar 30-50 %. Kristal yang telah dicuci dilebur dengan mencampur
dengan air atau sweet water menghasilkan leburan (liquor) dengan brix sekitar 65.
B. Klarifikasi
Pengoperasian unit ini bertujuan untuk membuang semaksimal mungkin pengotor
non sugar yang ada dalam leburan (melt liquor). Ada dua pilihan teknologi yaitu
fosflotasi dan karbonatasi, keduanya banyak dipakai, fosflotasi pada umumnya
digunakan di pabrik rafinasi di negara Amerika Latin dan beberapa di Asia
sedangkan selebihnya menggunakan teknologi karbonatasi, termasuk pabrik rafinasi
di Indonesia.
Teknologi Fosflotasi
Pada proses ini digunakan asam fosfat dan kalsium hidroksida yang akan
membentuk gumpalan (primer) kalsium fosfat, reaksi ini berlangsung di reaktor.
Penambahan flokulan (anion) sebelum tangki aerator dilakukan untuk membantu
pembentukan gumpalan sekunder yang terbentuk dari gumpalan-gumpalan primer
yang terikat oleh rantai molekul flokulan. Pembentukan gumpalan sekunder dapat
menjerap berbagai pengotor : zat warna, zat anorganik, partikel yang melayang dan
lain-lain. Untuk memisahkan gumpalan tersebut oleh karena dalam media liquor
yang kental (brix: 65-70) maka gumpalan tidak diendapkan melainkan diambangkan.
Proses pengambangan berlangsung dengan bantuan partikel udara yang
dibangkitkan dalam aerator, proses pengambangan terjadi pada clarifier. Pada
clarifier ini juga pemisahan gumpalan yang mengambang (scum) terjadi, yaitu
dengan sekrap yang berputar pada permukaan clarifier dan menyingkirkan scum ke
kanal yang dipasang pada sekeliling clarifier.
Teknologi Karbonatasi
Pada proses karbonatasi leburan dibubuhi kapur {Ca(OH)2} kemudian dialiri gas
CO2 dalam bejana karbonatasi , terbentuk endapan kalsium karbonat yang akan
menyerap pengotor termasuk zat warna.
Sumber gas CO2 berasal dari gas cerobong ketel yang sudah dimurnikan melalui
scrubber. Proses karbonatasi dilakukan dua tahap, pertama dilakukan pembubuhan
kapur sebanyak 0,5% brix bersamaan dengan pengaliran CO2 ekivalen dengan
jumlah kapur yang ditambahkan. Kedua pada karbonator akhir menyempurnakan
reaksi dengan aliran CO2 sampai pH turun di sekitar 8,3. Selanjutnya liquor ditapis
pada penapis bertekanan (leaf filter) menghasilkan filter liquor dan mud.
C. Dekolorisasi
Liquor yang dihasilkan dari stasiun klarifikasi setelah ditapis dipompa ke stasiun
dekolorisasi. Pada stasiun dekolorisasi pada prinsipnya ada dua teknologi yang lazim
digunakan yaitu karbon aktif dan penukar ion, masing-masing dengan keunggulan
dan kelemahannya. Kedua teknologi tersebut dapat menurunkan warna sekitar 75-85
%, pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kondisi lokal.
Macam zat warna
Terdapat beberapa macam zat warna yang terbawa atau terbentuk dalam proses
refinery, yaitu :
1. Senyawaan Phenolic.
Senyawaan ini terdapat dalam tebu yang terbentuk dari hasil reaksi enzimatik
flavonoid dan asam cinamic.
2. Melanoidins.
Warna senyawa ini umumnya hitam, terbentuk dari reaksi antara gula reduksi
dengan asam amino (Reaksi Maillard), terbentuk dalam proses.
3. Karamel.
Terbentuk dalam proses bila sukrosa mengalami pemanasan berlebihan
sehingga terbentuk senyawaan yang berwarna. Warna yang dihasilkan bisa
kuning, coklat atau hitam tergantung dari tingkatan reaksi selama pemanasan.
4. Produk degradasi gula invert.
Meskipun kandungan glukosa dan fruktosa dalam proses refinery sangat kecil,
namun senyawa ini mudah rusak oleh pemanasan terutama pada pH tinggi akan
membentuk senyawaan polimer berwarna coklat yaitu 5-(hydroksimetil)-2-
furaldehid.
Untuk menghilangkan zat warna dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dengan granul karbon aktif.
Kandungan karbon aktif sekitar 60 % dan dicampur dengan 5% MgO untuk
mencegah turunnya pH. Karbon aktif ini dapat digunakan selama 3-6 minggu
tergantung dari kualitas dan jumlah bahan yang masuk. Kemampuan karbon aktif
dalam mereduksi zat warna sangat tinggi, namun bahan ini tidak mampu
menghilangkan zat anorganik yang terlarut.
2. Bone Char
Bahan ini terdiri dari campuran 90 % kalsium fosfat dan 10 % karbon yang dibuat
dari tulang-tulang binatang ternak dipanaskan pada suhu 700 oC. Bone char
dapat digunakan selama 4-5 hari kemudian di regenerasi kembali. Meskipun
kemampuan mereduksi zat warna tidak sebaik karbon aktif namun mampu
mereduksi kotoran zat anorganik.
3. Resin penukar ion (Ion- Exchange Resin)
Bahan ini mudah diregenerasi dan dalam penggunaannya mempunyai kapasitas
lebih besar dibandingakan dengan karbon aktif maupun bone char, Selain itu
penggunaan air juga lebih efisien. Ada dua jenis resin yang digunakan dalam
refinery yaitu :Resin anion yang berfungsi mereduksi warna dan resin kation
untuk menghilangkan senyawaan anorganik. Penggunaan resin senyawa akrilic
lebih tahan dari resin stiren, namun resin akrilik kurang effektif dibanding resin
stiren. Oleh sebab itu dalam proses dekolorisasi dianjurkan untuk menggunakan
gabungan dua jenis resin ini secara seri, pertama sirup dilewatkan resin akrilik
terlebih dahulu kemudian baru dilewatkan resin stiren.
Pada umumnya stasiun dekolorisasi menghasilkan liquor dengan warna di bawah
300 IU sehingga dengan bahan tersebut dapat diproduksi gula rafinasi lebih
rendah dari 45 IU.
D. Kristalisasi
Produksi gula rafinasi
Bahan utama kristalisasi adalah liquor yang sudah melewati tahap dekolorisasi.
Liquor tersebut kemurniannya tinggi sehingga teknik kristalisasi berbeda dengan
kristalisasi pada PG.
Kristalisasi (evapocrystalisation) dilakukan di bejana vakum (65 cm Hg) dengan
penguapan liquor pada suhu sekitar 70-80 0C sampai mencapai supersaturasi
tertentu. Pada kondisi tersebut dimasukkan bibit kristal secara hati-hati sehingga inti
kristal akan tumbuh mencapai ukuran yang dikehendaki tanpa menumbuhkan kristal
baru. Campuran kristal sukrosa dengan liquor disebut masakan. Pemisahan kristal
dilakukan dengan cara memutar masakan dalam mesin sentrifugal menghasilkan
kristal (gula A) dan sirop A. Selanjutnya sirop A dimasak seperti yang dilakukan
sebelumnya menghasilkan gula B dan sirop B. Demikian seterusnya sehingga
secara berjenjang menghasilkan gula A, B dan C yang masuk dalam katagori gula
rafinasi.
E. Pengeringan gula produk
Untuk gula produk dibuat dua jalur dengan tujuan agar dapat diproduksi dua macam
produk misal GKR dan GKP pada waktu yang bersamaan. Pembuatan dua jalur
dimulai dari stasiun sentrifugal, pengering gula penimbangan dan pengemasan.
F. Pengemasan gula produk
Produk dikemas dalam kantong polipropilen dengan liner, dengan berat gula 50 kg
setiap kantong. Gula ditampung dalam sugar bin kapasitas 150 ton.
Tabel 1. Persyaratan SNI Gula Rafinasi
MACAM - MACAM GULA BERDASARKAN WARNA ICUMSA
Salah satu parameter kualitas dari gula ditinjau dari warna ICUMSA, yaitu
menunjukkan kualitas warna gula dalam larutan. ICUMSA ( International Commission
For Uniform Methods of Sugar Analysis) merupakan lembaga yang dibentuk untuk
menyusun metode analisis kualitas gula dengan anggota lebih dari 30 negara.
Mengenai warna gula ICUMSA telah membuat rating atau grade kualitas warna gula.
Sistem rating berdasarkan warna gula yang menunjukkan kemurnian dan banyaknya
kotoran yang terdapat dalam gula tersebut.
Metode pengujian warna gula dengan standar ICUMSA menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm dan 560 nm. Untuk mengukur
warna gula menggunakan metode ICUMSA sebelumnya gula dilarutkan sampai
sempurna kemudian dihilangkan turbidity nya dengan cara menambahkan kieselguhr
kemudian disaring dengan saringan vakum menggunakan kertas saring Whatman
42. Kemudian filtrate diambil dan pH larutan diatur sampai pH 7 dengan cara
menambahkan HCl atau NaOH. Kemudian mengukur brix larutan dengan
refraktometer dan tentukan berat jenis larutan dengan tabel hubungan brix dengan
berat jenis. Pengukuran warna ICUMSA dengan spektrofotometer panjang
gelombang 420 nm, kemudian menetapkan transmittance pada 100 % dengan H2O
menggunakan kuvet 1 cm (b). Bilas kuvet dengan larutan contoh, kemudian isi
kembali dan ukur transmittance (T) atau Absorbance (A)
Perhitungan :
Macam – Macam Gula Berdasar Warna ICUMSA
a. Gula Rafinasi (Refined Sugar) ICUMSA 45
Gula dengan kualitas yang paling bagus karena melalui proses pemurnian
bertahap. Warna gula putih cerah. Untuk Indonesia gula rafinasi diperuntukkan
bagi industri makanan karena membutuhkan gula dengan kadar kotoran yang
sedikit dan warna putih.
b. Gula Ekstra Spesial (Extra Special Crystall Sugar) ICUMSA 100 – 150
Gula yang termasuk food grade digunakan untuk membuat bahan makanan
seperti kue, minuman atau konsumsi langsung.
c. Gula Kristal Putih (Superior High Sugar) ICUMSA 200 – 300
Gula yang dapat dikonsumsi langsung sebagai tambahan bahan makanan dan
minuman. Berdasarkan standard SNI gula yang boleh dikonsumsi langsung
adalah gula dengan warna ICUMSA 300. Pada umumnya pabrik gula sulfitasi
dapat memproduksi gula dengan warna ICUMSA < 300
d. Gula Kristal Mentah untuk konsumsi (Brown Sugar) ICUMSA 600 – 800
Di luar negeri gula ini dapat dikonsumsi langsung biasanya sebagai tambahan
untuk bubur, akan tetapi juga perlu diperhatikan mengenai kehigienisannya yaitu
kandungan bakteri dan kontaminan.
e. Gula Kristal Mentah (Raw Sugar) ICUMSA 1600 – 2000
Raw Sugar digunakan sebagai bahan baku untuk gula rafinasi, dan juga
beberapa proses lain seperti MSG biasanya menggunakan raw sugar.
f. Gula Mentah (Very Raw Sugar) ICUMSA 4600 max
Khusus digunakan sebagai bahan baku gula rafinasi dan tidak boleh dikonsumsi.
KERUGIAN YANG DITIMBULKAN OLEH INVERSI SUKROSA
Inversi sukrosa dapat terjadi pada proses tebang angkut maupun proses
pengolahan, terutama kalau kondisi lingkungan cukup mengandung enzim invertase
melakukan aktifitasnya. Invertase adalah suatu enzim yang dapat mengkatalisis
reaksi inversi. Pada umumnya proses inversi sukrosa dipengaruhi oleh :
a. Sifat asam dari lingkungan
b. Suhu lingkungan
c. Keberadaan enzim invertase
d. Kebersihan lingkungan
Gula invert (glukosa + fruktosa) terbentuk karena adanya enzim invertase. Enzim ini
tumbuh dengan cepat pada kondisi lingkungan yang kurang bersih apalagi didukung
oleh suasana pH dan suhu yang optimal. Karena pada umumnya pH Nira tebu
sekitar 5.0 – 5.5 maka kemungkinan aktifitas enzim invertase cukup besar.
Kerugian dari gula invert antara lain, mudah menyebabkan produk menjadi basah,
afinitas dalam air tinggi, memberikan efek karamelisasi, menyebabkan warna
menjadi kecoklatan. Pada dasarnya reaksi inversi sukrosa menjadi gula reduksi
adalah reaksi hidrolisis. Pengaruh inversi sukrose terhadap komponen lain pada nira
ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Reaksi inversi sukrosa dan produk lainnya
Dari gambar 1 sukrosa akan terinversi menjadi gula reduksi apabila ph dan suhu
operasi mendukung. Gula reduksi sendiri pada kondisi basa dan suhu tinggi akan
membentuk zat warna sehingga merusak warna gula menjadi kecoklatan. Zat warna
ini akan bereaksi dengan asam organik yang terdapat dalam nira. Apabila tebu yang
digiling pada kondisi terbakar, wayu dan ditebang lebih dari 36 jam maka nira
mempunyai sifat buffer sehingga bisa menyebabkan “overliming”. Selain itu gula
reduksi juga bisa bereaksi dengan asam amino sehingga bisa menyebabkan reaksi
“maillard” yang merugikan. Reaksi Maillard didukung dengan suhu yang tinggi dapat
menyebabkan dekomposisi tetes.
EFISIENSI PABRIK GULA
Efisiensi dari pabrik gula secara umum dinyatakan dalam tingkat ekstraksi di stasiun
gilingan dan perolehan gula di stasiun pengolahan (boiling house). Overal Recovery
diperoleh dengan mengalikan tingkat ekstraksi di stasiun gilingan dengan perolahan
gula di stasiun pengolahan. Di Indonesia sistem perhitungan yang digunakan adalah
dengan menggunakan Faktor Rendemen (FR)
Faktor Rendemen = KNT x HPB x PSHK x WR
KNT = Kadar Nira Tebu = Sap Gehalte Riet
Merupakan suatu angka yang menunjukkan jumlah nira tebu yang berhasil diperah
oleh stasiun gilingan (nira tebu % tebu).
Yang mempengaruhi KNT antara lain :
1. Mutu tebu, jenis tebu, kadar sabut
2. Umur tebu : makin tua makin rendah
3. Kesegaran tebu
4. Kebersihan tebu
5. Mutu tebangan
6. Kotoran-kotoran tanah
7. Timbangan tebu dan nira
8. Timbangan air imbibisi.
HPB total = Hasil Pemerahan Brix
Adalah jumlah brix dalam nira mentah % jumlah brix dalam tebu. Angka ini
merupakan suatu penilaian terhadap hasil kerja seluruh batere gilingan dalam
memerah brix tebu.
Rumus:
Yang mempengaruhi HPB total antara lain:
1. Peralatan pencacahan pendahuluan (unigrator, shredder, cc dll)
2. Prestasi stasiun gilingan.
3. Penambahan air imbibisi.
4. Kecepatan giling.
PSHK nm/npp = Perbandingan Setara Hasil Bagi Kemurnian
Angka ini merupakan suatu penilaian terhadap besar kecilnya penurunan HK dari
Nira Perahan Pertama (NPP) ke Nira Mentah (NM) di stasiun gilingan. Kerusakan
nira akibat inverse menyebabkan turunnya angka ini. Semakin tinggi HPB I, semakin
tinggi pula PSHK nm/npp ini.
Rumus:
Yang mempengaruhi PSHK nm/npp antara lain :
1. Jenis tebu.
2. Prestasi stasiun gilingan antara lain karena adanya bukan gula yang ikut
terperah dan terlarut dalam rol-rol gilingan selanjutnya , akibatnya HK nm
selalu < HK npp.
3. Adanya mikroba-mikroba di stasiun gilingan.
4. Kebersihan tebu.
WR = Winter Rendemen
Adalah jumlah kristal efektif yang dihasilkan % jumlah kristal yang dapat dihasilkan
dalam nira mentah.
Yang mempengaruhi Winter Rendemen antara lain :
1. Mutu tebangan
2. Perlakuan selama proses
3. Kehilangan gula, baik yang diketahui maupun yang tidak
4. HK Nira Mentah
5. HK tetes
6. Efek Pemurnian.
Efisiensi Stasiun Gilingan
Efisiensi stasiun gilingan dinyatakan dalam angka-angka HPB dan PSHK. Salah satu
faktor yang mempengaruhi efisiensi stasiun gilingan adalah kadar sabut. Semakin
tinggi kadar sabut tebu maka efisiensi akan menurun. Untuk mengatasi hal tersebut,
saat ini stasiun gilingan menggunakan alat pengerjaan pendahuluan berupa pisau
tebu (cane cutter) dengan unigrator atau heavy duty hammer shredder yang
menyiapkan tebu dengan PI (Preparation Index) yang tinggi (> 90 %). Selain itu juga
dengan penggunaan air imbibisi yang optimal. Air imbibisi berfungsi untuk memerah
gula yang ada dalam tebu, akan tetapi penggunaannya juga harus diperhatikan
karena air ini akan diuapkan kembali pada proses pengolahan.
Efisiensi Stasiun Pengolahan
Tingkat efisiensi stasiun pengolahan dapat dilihat dari kehilangan pol dalam proses.
Kehilangan pol terjadi antara lain hilang di blotong dan tetes dan kehilangan tak
diketahui. Untuk mengatasi kehilangan pol blotong, pada saat ini pabrik gula
menggunakan rotary vacuum filter untuk mengolah nira kotor dari clarifier sehingga
pol blotong dapat ditekan. Sedangkan kehilangan dalam tetes diduga karena mutu
tebu yang menurun dari tahun ke tahun. Salah satu kunci untuk menekan kehilangan
pol dalam tetes adalah di stasiun pemurnian. Yaitu dengan cara menekan kadar
kapur di nira encer serendah mungkin. Kadar kapur normal nira encer untuk tebu
MBS sekitar 400 ppm CaO. Kadar kapur yang tinggi selain menyebabkan
pengerakan pada pipa penukar panas evaporator juga merupakan unsur pembentuk
tetes (mellasigenic). Namun peranan penguapan, kristalisasi dan puteran juga
menentukan dalam kehilangan pol dalam tetes.
Kehilangan gula yang lain adalah kehilangan tak diketahui. Kehilangan tak diketahui
disebabkan oleh dua hal, yaitu sebab kimiawi seperti kerusakan sukrosa karena
inversi atau sebab-sebab lain dan karena mekanis seperti percikan (entrainment) di
evaporator, tumpahan dari tangki penampung dsb. Keduanya bisa terjadi bila
pengawasan di pabrik rendah atau pabrik beroperasi tidak sesuai dengan kapasitas
gilingnya.
PENGARUH DEKSTRAN PADA PROSES
PEMBUATAN GULA TEBU
Dekstran adalah polimer glukosa (glucan) yang dihubungkan satu sama lain
terutama oleh ikatan alfa – (1 –> 6), paling sedikit 50 – 60% dan dengan ikatan
alpha – (1 –> 4) dan ikatan alpha – (1 –> 3) pada cabang. Dekstran yang diisolasi di
Indonesia berat molekulnya berada pada kisaran 2 x 104 sampai 5 x 106, larut dalam
air, tidak larut dalam ethanol 50 % dengan putaran spesifik [alpha] diatas +215 C.
Nira segar yang baru diperah tidak mengandung dekstran, tetapi mengandung
senyawa polisakarida yang terdiri dari galaktosa, arabinosa, manosa, xylosa dan
sedikit glukosa dengan perputaran spesifik -460. Senyawa tersebut dinamakan ISP
(ingenious sugar cane polysacharides). Dekstran tidak terdapat dalam nira segar dari
tebu sehat, tetapi terdapat pada tebu wayu. Dekstran terbentuk dari sukrosa karena
adanya bakteri Leuconostoc mesenteorides yang menghasilkan enzim dekstran
sukrase. Menurut M. Mochtar rata-rata kadar dekstran dalam nira mentah pabrik gula
di Indonesia antara 0.037 – 0.085 % brix, dalam nira kental 0.024 - 0.080 % brix,
dalam tetes 0.111 – 0.353 % brix dan gula putih 0.029 - 0.053 % brix.
Pembentukan Dekstran Dalam Pasca Panen
Dengan berkembangnya metode pemanenan tebu secara mekanis yang disertai
dengan pembakaran tebu, tebu dipotong-potong dan waktu tunda prosesing yang
lama menimbulkan permasalahan baru dalam industri gula. Dengan sistem tersebut
maka dalam tebu akan terbentuk polisakarida antara lain dekstran yang diikuti
dengan naiknya viskositas dan perubahan bentuk hablur sehingga menyulitkan
pengolahan.
Pembentukan dekstran juga dipengaruhi oleh perlakuan pada proses tebang. Pada
saat ini kebanyakan proses tebang dengan cara membakar lahan. Pembakaran tebu
memang dapat meningkatkan kapasitas tebang baik secara manual maupun
mekanis dan menekan kadar kotoran (daun, pucuk, pelepah, dll), akan tetapi apabila
setelah dibakar terlambat ditebang atau diproses pembentukan dekstran akan lebih
cepat daripada tebu yang ditebang tanpa pembakaran lahan.
Mekanisme pembentukan dekstran dari sukrose oleh Leuconostoc Mesenteroides,
yaitu sukrose berperan donor dan penerima gugus glukosil:
Dengan terbentuknya dekstran dapat menimbulkan kesukaran dalam pemrosesan
dan dalam analisa gula. Adanya dekstran 0,1 % menyebabkan pembacaan
polarimeter sebagai sukrosa palsu 0,3 %. Pembacaan sukrosa palsu ini dapat
mengacaukan perhitungan angka-angka dalam neraca massa proses yang
didasarkan pada pol seperti ekstraksi, winter rendemen dan lain-lain.
top related