kriteria gula shs

23
KUALITAS MUTU GULA KRISTAL PUTIH Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Di Indonesia ada tiga jenis gula yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih (GKP) yang dikonsumsi secara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Gula yang kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional disebut sebagai plantation white sugar. GKP dibuat dari tebu yang diolah melalui berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan proses sulfitasi dalam pengolahan gula. Kriteria mutu gula yang berlaku di Indonesia ( SNI ) saat ini pada dasarnya mengacu pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS (Superieure Hoofd Suiker), yang pada perkembangannya kemudian mengalami modifikasi dan terakhir SNI 01-3140-2001/Rev 2005, Tabel 1. Secara garis besar kriteria mutu gula (GKP) yang kita ikuti meliputi kadar air, polarisasi, warna larutan, warna kristal, kadar SO 2, abu konduktivitas dan besar jenis butir. Tabel 1. Syarat mutu gula kristal putih (SNI-3140-200/Rev 2005)

Upload: rachma-wati

Post on 08-Aug-2015

975 views

Category:

Documents


77 download

DESCRIPTION

standar SNI untuk seluruh pabrik gula di Indonesia dalam memproduksi gula SHS agar sesuai standar yang ditentukan

TRANSCRIPT

Page 1: kriteria gula shs

KUALITAS MUTU GULA KRISTAL PUTIH

Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi oleh

masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar mutu yang

telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Di Indonesia ada tiga jenis gula

yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang

digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih (GKP) yang

dikonsumsi secara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan

dan minuman.

Gula yang kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional

disebut sebagai plantation white sugar. GKP dibuat dari tebu yang diolah melalui

berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan proses

sulfitasi dalam pengolahan gula. Kriteria mutu gula yang berlaku di Indonesia ( SNI )

saat ini pada dasarnya mengacu pada kriteria lama yang dikenal dengan SHS

(Superieure Hoofd Suiker), yang pada perkembangannya kemudian mengalami

modifikasi dan terakhir SNI 01-3140-2001/Rev 2005, Tabel 1. Secara garis besar

kriteria mutu gula (GKP) yang kita ikuti meliputi kadar air, polarisasi, warna larutan,

warna kristal, kadar SO2, abu konduktivitas dan besar jenis butir.

Tabel 1. Syarat mutu gula kristal putih (SNI-3140-200/Rev 2005)

Page 2: kriteria gula shs

Kadar air

Kadar air adalah jumlah air (%) yang terdapat dalam gula, biasanya batasan

maksimal 0,1%. Gula yang mengandung kadar air tinggi cepat mengalami

penurunan mutu/kerusakan dalam penyimpanan, berubah warna, mencair dsb. Di

samping itu penanganannya sulit (lengket dalam karung) dan penampilannya jelek.

Gula yang berkadar air tinggi biasanya dengan mudah dilihat/dirasakan secara

langsung oleh konsumen tanpa menggunakan peralatan. Proses pengeringan gula di

PG umumnya menggunakan talang goyang (grasshoper) yang jalurnya panjang

untuk mencapai tingkat kekeringan tertentu (< 0,1%).

Polarisasi

Polarisasi menunjukkan kadar sukrosa dalam gula, semakin tinggi polarisasi

semakin tinggi kadar gulanya. Batasan minimal kadar pol adalah 99,5%. Pengukuran

kadar pol dilakukan dengan alat ukur polarimeter. Produk gula kita pada umumnya

tidak mengalami kesulitan untuk mencapai batasan minimal tersebut.

Warna larutan

Warna larutan gula berkisar dari kuning muda (warna muda ) sampai kuning

kecoklatan (warna gelap) diukur dengan metode ICUMSA (International Commission

for Uniform Methods of Sugar Analysis), dinyatakan dalam indeks warna. Semakin

besar indeks semakin gelap warna larutan. Batasan maksimal indeks warna untuk

GKP adalah 300 iu.

Warna kristal

Warna kristal dapat dilihat secara langsung dengan mata, secara kualitatif

dengan cara membandingkan dengan standar dapat diketahui tingkat keputihan

(whiteness) gula. Penggunaan peralatan (spektrofotometer refleksi) diperlukan untuk

pengukuran kuantitatif yang dinyatakan dalam CT (colour type) . Semakin tinggi nilai

CT semakin putih warna gulanya. Untuk gula GKP kisaran nilai CT sekitar 5 - 10.

Pada penentuan premi mutu gula warna kristal ini merupakan salah satu tolok ukur

utama yang menentukan.

Kadar SO2

Kadar SO2 gula produk kita berkisar 5-20 ppm. ini disebabkan sebagian besar

pabrik gula menggunakan proses sulfitasi, sehingga terdapat residu SO2 seperti pada

kisaran tersebut. Adanya residu SO2 menjadi kendala untuk konsumsi industri

makanan/minuman, yang biasanya menuntut bebas SO2. Kadar SO2 maksimal yang

diperkenankan di Indonesia adalah 30 ppm. Pada mulanya sebelum ada

Page 3: kriteria gula shs

pembatasan banyak produk pabrik gula (sulfitasi) yang mengandung SO2 berlebihan,

namun dengan adanya pembatasan kadar SO2 menurun sampai pada kisaran 5-20

ppm.

Besar jenis butir

Besar jenis butir adalah ukuran rata-rata butir kristal gula dinyatakan dalam

mm. Persyaratan untuk GKP adalah 0,8-1,1 mm .Untuk memenuhi persyaratan

tersebut tampaknya tidak ada kesulitan. Konsumen (masyarakat pada umumnya)

lebih menyukai gula yang ukuran kristalnya besar (kasar). Namun dari sisi pabrik,

untuk membuat kristal yang besar diperlukan energi yang lebih banyak, ini

berhubungan dengan waktu masak untuk membesarkan ukuran kristal. Tetapi bila

ukuran terlalu halus daya simpannya berkurang, gula akan cepat mengabsorpsi air

sehingga cepat basah.

Page 4: kriteria gula shs

GULA RAFINASI DAN PROSES PEMBUATANNYA

Gula selain dikonsumsi langsung juga digunakan sebagai bahan baku untuk industri

makanan. Pada saat ini kebanyakan pabrik gula di Indonesia hanya mampu

menghasilkan gula kualitas GKP (gula kristal putih) yang dikonsumsi langsung. Gula

SHS ini masih belum memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku industri

makanan. Untuk itu industri makanan membutuhkan kualitas gula yang lebih baik

yang diperoleh dari gula rafinasi. Kata rafinasi diambil dari kata refinery artinya

menyuling, menyaring, membersihkan. Jadi bisa dikatakan bahwa gula rafinasi

adalah gula yang mempunyai kualitas kemurnian yang tinggi.

Proses Pembuatan Gula Rafinasi

Proses rafinasi yang digunakan dalam pabrik gula rafinasi bervariasi tergantung

pada bahan yang diolah produk yang dikehendaki dan pertimbangan lain sesuai

kondisi lokal. Namun demikian secara garis besar dapat diuraikan menjadi stasiun

sebagai berikut :

A. Afinasi

Tujuan afinasi adalah mencuci kristal GKM (raw sugar) agar lapisan molases yang

melapisi kristal berkurang sehingga warnanya semakin ringan atau warna ICUMSA

lebih kecil. Pencucian dilakukan dalam mesin sentrifugal yaitu setelah GKM

dicampur dengan sirup menjadi magma. Penurunan warna yang dicapai pada

stasiun ini berkisar 30-50 %. Kristal yang telah dicuci dilebur dengan mencampur

dengan air atau sweet water menghasilkan leburan (liquor) dengan brix sekitar 65.

Page 5: kriteria gula shs

B. Klarifikasi

Pengoperasian unit ini bertujuan untuk membuang semaksimal mungkin pengotor

non sugar yang ada dalam leburan (melt liquor). Ada dua pilihan teknologi yaitu

fosflotasi dan karbonatasi, keduanya banyak dipakai, fosflotasi pada umumnya

digunakan di pabrik rafinasi di negara Amerika Latin dan beberapa di Asia

sedangkan selebihnya menggunakan teknologi karbonatasi, termasuk pabrik rafinasi

di Indonesia.

Teknologi Fosflotasi

Pada proses ini digunakan asam fosfat dan kalsium hidroksida yang akan

membentuk gumpalan (primer) kalsium fosfat, reaksi ini berlangsung di reaktor.

Penambahan flokulan (anion) sebelum tangki aerator dilakukan untuk membantu

pembentukan gumpalan sekunder yang terbentuk dari gumpalan-gumpalan primer

yang terikat oleh rantai molekul flokulan. Pembentukan gumpalan sekunder dapat

menjerap berbagai pengotor : zat warna, zat anorganik, partikel yang melayang dan

lain-lain. Untuk memisahkan gumpalan tersebut oleh karena dalam media liquor

yang kental (brix: 65-70) maka gumpalan tidak diendapkan melainkan diambangkan.

Proses pengambangan berlangsung dengan bantuan partikel udara yang

dibangkitkan dalam aerator, proses pengambangan terjadi pada clarifier. Pada

clarifier ini juga pemisahan gumpalan yang mengambang (scum) terjadi, yaitu

dengan sekrap yang berputar pada permukaan clarifier dan menyingkirkan scum ke

kanal yang dipasang pada sekeliling clarifier.

Teknologi Karbonatasi

Pada proses karbonatasi leburan dibubuhi kapur {Ca(OH)2} kemudian dialiri gas

CO2 dalam bejana karbonatasi , terbentuk endapan kalsium karbonat yang akan

menyerap pengotor termasuk zat warna.

Sumber gas CO2 berasal dari gas cerobong ketel yang sudah dimurnikan melalui

scrubber. Proses karbonatasi dilakukan dua tahap, pertama dilakukan pembubuhan

kapur sebanyak 0,5% brix bersamaan dengan pengaliran CO2 ekivalen dengan

jumlah kapur yang ditambahkan. Kedua pada karbonator akhir menyempurnakan

reaksi dengan aliran CO2 sampai pH turun di sekitar 8,3. Selanjutnya liquor ditapis

pada penapis bertekanan (leaf filter) menghasilkan filter liquor dan mud.

C. Dekolorisasi

Liquor yang dihasilkan dari stasiun klarifikasi setelah ditapis dipompa ke stasiun

dekolorisasi. Pada stasiun dekolorisasi pada prinsipnya ada dua teknologi yang lazim

Page 6: kriteria gula shs

digunakan yaitu karbon aktif dan penukar ion, masing-masing dengan keunggulan

dan kelemahannya. Kedua teknologi tersebut dapat menurunkan warna sekitar 75-85

%, pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kondisi lokal.

Macam zat warna

Terdapat beberapa macam zat warna yang terbawa atau terbentuk dalam proses

refinery, yaitu :

1. Senyawaan Phenolic.

Senyawaan ini terdapat dalam tebu yang terbentuk dari hasil reaksi enzimatik

flavonoid dan asam cinamic.

2. Melanoidins.

Warna senyawa ini umumnya hitam, terbentuk dari reaksi antara gula reduksi

dengan asam amino (Reaksi Maillard), terbentuk dalam proses.

3. Karamel.

Terbentuk dalam proses bila sukrosa mengalami pemanasan berlebihan

sehingga terbentuk senyawaan yang berwarna. Warna yang dihasilkan bisa

kuning, coklat atau hitam tergantung dari tingkatan reaksi selama pemanasan.

4. Produk degradasi gula invert.

Meskipun kandungan glukosa dan fruktosa dalam proses refinery sangat kecil,

namun senyawa ini mudah rusak oleh pemanasan terutama pada pH tinggi akan

membentuk senyawaan polimer berwarna coklat yaitu 5-(hydroksimetil)-2-

furaldehid.

Untuk menghilangkan zat warna dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Dengan granul karbon aktif.

Kandungan karbon aktif sekitar 60 % dan dicampur dengan 5% MgO untuk

mencegah turunnya pH. Karbon aktif ini dapat digunakan selama 3-6 minggu

tergantung dari kualitas dan jumlah bahan yang masuk. Kemampuan karbon aktif

dalam mereduksi zat warna sangat tinggi, namun bahan ini tidak mampu

menghilangkan zat anorganik yang terlarut.

2. Bone Char

Bahan ini terdiri dari campuran 90 % kalsium fosfat dan 10 % karbon yang dibuat

dari tulang-tulang binatang ternak dipanaskan pada suhu 700 oC. Bone char

dapat digunakan selama 4-5 hari kemudian di regenerasi kembali. Meskipun

Page 7: kriteria gula shs

kemampuan mereduksi zat warna tidak sebaik karbon aktif namun mampu

mereduksi kotoran zat anorganik.

3. Resin penukar ion (Ion- Exchange Resin)

Bahan ini mudah diregenerasi dan dalam penggunaannya mempunyai kapasitas

lebih besar dibandingakan dengan karbon aktif maupun bone char, Selain itu

penggunaan air juga lebih efisien. Ada dua jenis resin yang digunakan dalam

refinery yaitu :Resin anion yang berfungsi mereduksi warna dan resin kation

untuk menghilangkan senyawaan anorganik. Penggunaan resin senyawa akrilic

lebih tahan dari resin stiren, namun resin akrilik kurang effektif dibanding resin

stiren. Oleh sebab itu dalam proses dekolorisasi dianjurkan untuk menggunakan

gabungan dua jenis resin ini secara seri, pertama sirup dilewatkan resin akrilik

terlebih dahulu kemudian baru dilewatkan resin stiren.

Pada umumnya stasiun dekolorisasi menghasilkan liquor dengan warna di bawah

300 IU sehingga dengan bahan tersebut dapat diproduksi gula rafinasi lebih

rendah dari 45 IU.

D. Kristalisasi

Produksi gula rafinasi

Bahan utama kristalisasi adalah liquor yang sudah melewati tahap dekolorisasi.

Liquor tersebut kemurniannya tinggi sehingga teknik kristalisasi berbeda dengan

kristalisasi pada PG.

Kristalisasi (evapocrystalisation) dilakukan di bejana vakum (65 cm Hg) dengan

penguapan liquor pada suhu sekitar 70-80 0C sampai mencapai supersaturasi

tertentu. Pada kondisi tersebut dimasukkan bibit kristal secara hati-hati sehingga inti

kristal akan tumbuh mencapai ukuran yang dikehendaki tanpa menumbuhkan kristal

baru. Campuran kristal sukrosa dengan liquor disebut masakan. Pemisahan kristal

dilakukan dengan cara memutar masakan dalam mesin sentrifugal menghasilkan

kristal (gula A) dan sirop A. Selanjutnya sirop A dimasak seperti yang dilakukan

sebelumnya menghasilkan gula B dan sirop B. Demikian seterusnya sehingga

secara berjenjang menghasilkan gula A, B dan C yang masuk dalam katagori gula

rafinasi.

E. Pengeringan gula produk

Untuk gula produk dibuat dua jalur dengan tujuan agar dapat diproduksi dua macam

produk misal GKR dan GKP pada waktu yang bersamaan. Pembuatan dua jalur

dimulai dari stasiun sentrifugal, pengering gula penimbangan dan pengemasan.

Page 8: kriteria gula shs

F. Pengemasan gula produk

Produk dikemas dalam kantong polipropilen dengan liner, dengan berat gula 50 kg

setiap kantong. Gula ditampung dalam sugar bin kapasitas 150 ton.

Tabel 1. Persyaratan SNI Gula Rafinasi

Page 9: kriteria gula shs

MACAM - MACAM GULA BERDASARKAN WARNA ICUMSA

Salah satu parameter kualitas dari gula ditinjau dari warna ICUMSA, yaitu

menunjukkan kualitas warna gula dalam larutan. ICUMSA ( International Commission

For Uniform Methods of Sugar Analysis) merupakan lembaga yang dibentuk untuk

menyusun metode analisis kualitas gula dengan anggota lebih dari 30 negara.

Mengenai warna gula ICUMSA telah membuat rating atau grade kualitas warna gula.

Sistem rating berdasarkan warna gula yang menunjukkan kemurnian dan banyaknya

kotoran yang terdapat dalam gula tersebut.

Metode pengujian warna gula dengan standar ICUMSA menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm dan 560 nm. Untuk mengukur

warna gula menggunakan metode ICUMSA sebelumnya gula dilarutkan sampai

sempurna kemudian dihilangkan turbidity nya dengan cara menambahkan kieselguhr

kemudian disaring dengan saringan vakum menggunakan kertas saring Whatman

42. Kemudian filtrate diambil dan pH larutan diatur sampai pH 7 dengan cara

menambahkan HCl atau NaOH. Kemudian mengukur brix larutan dengan

refraktometer dan tentukan berat jenis larutan dengan tabel hubungan brix dengan

berat jenis. Pengukuran warna ICUMSA dengan spektrofotometer panjang

gelombang 420 nm, kemudian menetapkan transmittance pada 100 % dengan H2O

menggunakan kuvet 1 cm (b). Bilas kuvet dengan larutan contoh, kemudian isi

kembali dan ukur transmittance (T) atau Absorbance (A)

Perhitungan :

Macam – Macam Gula Berdasar Warna ICUMSA

a. Gula Rafinasi (Refined Sugar) ICUMSA 45

Gula dengan kualitas yang paling bagus karena melalui proses pemurnian

bertahap. Warna gula putih cerah. Untuk Indonesia gula rafinasi diperuntukkan

Page 10: kriteria gula shs

bagi industri makanan karena membutuhkan gula dengan kadar kotoran yang

sedikit dan warna putih.

b. Gula Ekstra Spesial (Extra Special Crystall Sugar) ICUMSA 100 – 150

Gula yang termasuk food grade digunakan untuk membuat bahan makanan

seperti kue, minuman atau konsumsi langsung.

c. Gula Kristal Putih (Superior High Sugar) ICUMSA 200 – 300

Gula yang dapat dikonsumsi langsung sebagai tambahan bahan makanan dan

minuman. Berdasarkan standard SNI gula yang boleh dikonsumsi langsung

adalah gula dengan warna ICUMSA 300. Pada umumnya pabrik gula sulfitasi

dapat memproduksi gula dengan warna ICUMSA < 300

d. Gula Kristal Mentah untuk konsumsi (Brown Sugar) ICUMSA 600 – 800

Di luar negeri gula ini dapat dikonsumsi langsung biasanya sebagai tambahan

untuk bubur, akan tetapi juga perlu diperhatikan mengenai kehigienisannya yaitu

kandungan bakteri dan kontaminan.

e. Gula Kristal Mentah (Raw Sugar) ICUMSA 1600 – 2000

Raw Sugar digunakan sebagai bahan baku untuk gula rafinasi, dan juga

beberapa proses lain seperti MSG biasanya menggunakan raw sugar.

f. Gula Mentah (Very Raw Sugar) ICUMSA 4600 max

Khusus digunakan sebagai bahan baku gula rafinasi dan tidak boleh dikonsumsi.

Page 11: kriteria gula shs

KERUGIAN YANG DITIMBULKAN OLEH INVERSI SUKROSA

Inversi sukrosa dapat terjadi pada proses tebang angkut maupun proses

pengolahan, terutama kalau kondisi lingkungan cukup mengandung enzim invertase

melakukan aktifitasnya. Invertase adalah suatu enzim yang dapat mengkatalisis

reaksi inversi. Pada umumnya proses inversi sukrosa dipengaruhi oleh :

a. Sifat asam dari lingkungan

b. Suhu lingkungan

c. Keberadaan enzim invertase

d. Kebersihan lingkungan

Gula invert (glukosa + fruktosa) terbentuk karena adanya enzim invertase. Enzim ini

tumbuh dengan cepat pada kondisi lingkungan yang kurang bersih apalagi didukung

oleh suasana pH dan suhu yang optimal. Karena pada umumnya pH Nira tebu

sekitar 5.0 – 5.5 maka kemungkinan aktifitas enzim invertase cukup besar.

Kerugian dari gula invert antara lain, mudah menyebabkan produk menjadi basah,

afinitas dalam air tinggi, memberikan efek karamelisasi, menyebabkan warna

menjadi kecoklatan. Pada dasarnya reaksi inversi sukrosa menjadi gula reduksi

adalah reaksi hidrolisis. Pengaruh inversi sukrose terhadap komponen lain pada nira

ditunjukkan pada gambar 1.

Page 12: kriteria gula shs

Gambar 1. Reaksi inversi sukrosa dan produk lainnya

Dari gambar 1 sukrosa akan terinversi menjadi gula reduksi apabila ph dan suhu

operasi mendukung. Gula reduksi sendiri pada kondisi basa dan suhu tinggi akan

membentuk zat warna sehingga merusak warna gula menjadi kecoklatan. Zat warna

ini akan bereaksi dengan asam organik yang terdapat dalam nira. Apabila tebu yang

digiling pada kondisi terbakar, wayu dan ditebang lebih dari 36 jam maka nira

mempunyai sifat buffer sehingga bisa menyebabkan “overliming”. Selain itu gula

reduksi juga bisa bereaksi dengan asam amino sehingga bisa menyebabkan reaksi

“maillard” yang merugikan. Reaksi Maillard didukung dengan suhu yang tinggi dapat

menyebabkan dekomposisi tetes.

Page 13: kriteria gula shs

EFISIENSI PABRIK GULA

Efisiensi dari pabrik gula secara umum dinyatakan dalam tingkat ekstraksi di stasiun

gilingan dan perolehan gula di stasiun pengolahan (boiling house). Overal Recovery

diperoleh dengan mengalikan tingkat ekstraksi di stasiun gilingan dengan perolahan

gula di stasiun pengolahan. Di Indonesia sistem perhitungan yang digunakan adalah

dengan menggunakan Faktor Rendemen (FR)

Faktor Rendemen = KNT x HPB x PSHK x WR

KNT = Kadar Nira Tebu = Sap Gehalte Riet

Merupakan suatu angka yang menunjukkan jumlah nira tebu yang berhasil diperah

oleh stasiun gilingan (nira tebu % tebu).

Yang mempengaruhi KNT antara lain :

1. Mutu tebu, jenis tebu, kadar sabut

2. Umur tebu : makin tua makin rendah

3. Kesegaran tebu

4. Kebersihan tebu

5. Mutu tebangan

6. Kotoran-kotoran tanah

7. Timbangan tebu dan nira

8. Timbangan air imbibisi.

HPB total = Hasil Pemerahan Brix

Adalah jumlah brix dalam nira mentah % jumlah brix dalam tebu. Angka ini

merupakan suatu penilaian terhadap hasil kerja seluruh batere gilingan dalam

memerah brix tebu.

Rumus:

Yang mempengaruhi HPB total antara lain:

1. Peralatan pencacahan pendahuluan (unigrator, shredder, cc dll)

2. Prestasi stasiun gilingan.

3. Penambahan air imbibisi.

Page 14: kriteria gula shs

4. Kecepatan giling.

PSHK nm/npp = Perbandingan Setara Hasil Bagi Kemurnian

Angka ini merupakan suatu penilaian terhadap besar kecilnya penurunan HK dari

Nira Perahan Pertama (NPP) ke Nira Mentah (NM) di stasiun gilingan. Kerusakan

nira akibat inverse menyebabkan turunnya angka ini. Semakin tinggi HPB I, semakin

tinggi pula PSHK nm/npp ini.

Rumus:

Yang mempengaruhi PSHK nm/npp antara lain :

1. Jenis tebu.

2. Prestasi stasiun gilingan antara lain karena adanya bukan gula yang ikut

terperah dan terlarut dalam rol-rol gilingan selanjutnya , akibatnya HK nm

selalu < HK npp.

3. Adanya mikroba-mikroba di stasiun gilingan.

4. Kebersihan tebu.

WR = Winter Rendemen

Adalah jumlah kristal efektif yang dihasilkan % jumlah kristal yang dapat dihasilkan

dalam nira mentah.

Yang mempengaruhi Winter Rendemen antara lain :

1. Mutu tebangan

2. Perlakuan selama proses

3. Kehilangan gula, baik yang diketahui maupun yang tidak

4. HK Nira Mentah

5. HK tetes

6. Efek Pemurnian.

Efisiensi Stasiun Gilingan

Efisiensi stasiun gilingan dinyatakan dalam angka-angka HPB dan PSHK. Salah satu

faktor yang mempengaruhi efisiensi stasiun gilingan adalah kadar sabut. Semakin

tinggi kadar sabut tebu maka efisiensi akan menurun. Untuk mengatasi hal tersebut,

saat ini stasiun gilingan menggunakan alat pengerjaan pendahuluan berupa pisau

tebu (cane cutter) dengan unigrator atau heavy duty hammer shredder yang

Page 15: kriteria gula shs

menyiapkan tebu dengan PI (Preparation Index) yang tinggi (> 90 %). Selain itu juga

dengan penggunaan air imbibisi yang optimal. Air imbibisi berfungsi untuk memerah

gula yang ada dalam tebu, akan tetapi penggunaannya juga harus diperhatikan

karena air ini akan diuapkan kembali pada proses pengolahan.

Efisiensi Stasiun Pengolahan

Tingkat efisiensi stasiun pengolahan dapat dilihat dari kehilangan pol dalam proses.

Kehilangan pol terjadi antara lain hilang di blotong dan tetes dan kehilangan tak

diketahui. Untuk mengatasi kehilangan pol blotong, pada saat ini pabrik gula

menggunakan rotary vacuum filter untuk mengolah nira kotor dari clarifier sehingga

pol blotong dapat ditekan. Sedangkan kehilangan dalam tetes diduga karena mutu

tebu yang menurun dari tahun ke tahun. Salah satu kunci untuk menekan kehilangan

pol dalam tetes adalah di stasiun pemurnian. Yaitu dengan cara menekan kadar

kapur di nira encer serendah mungkin. Kadar kapur normal nira encer untuk tebu

MBS sekitar 400 ppm CaO. Kadar kapur yang tinggi selain menyebabkan

pengerakan pada pipa penukar panas evaporator juga merupakan unsur pembentuk

tetes (mellasigenic). Namun peranan penguapan, kristalisasi dan puteran juga

menentukan dalam kehilangan pol dalam tetes.

Kehilangan gula yang lain adalah kehilangan tak diketahui. Kehilangan tak diketahui

disebabkan oleh dua hal, yaitu sebab kimiawi seperti kerusakan sukrosa karena

inversi atau sebab-sebab lain dan karena mekanis seperti percikan (entrainment) di

evaporator, tumpahan dari tangki penampung dsb. Keduanya bisa terjadi bila

pengawasan di pabrik rendah atau pabrik beroperasi tidak sesuai dengan kapasitas

gilingnya.

Page 16: kriteria gula shs

PENGARUH DEKSTRAN PADA PROSES

PEMBUATAN GULA TEBU

Dekstran adalah polimer glukosa (glucan) yang dihubungkan satu sama lain

terutama oleh ikatan alfa – (1  –> 6), paling sedikit 50 – 60% dan dengan ikatan

alpha – (1 –> 4) dan ikatan alpha – (1 –> 3) pada cabang. Dekstran yang diisolasi di

Indonesia berat molekulnya berada pada kisaran 2 x 104 sampai 5 x 106, larut dalam

air, tidak larut dalam ethanol 50 % dengan putaran spesifik [alpha] diatas +215 C.

Nira segar yang baru diperah tidak mengandung dekstran, tetapi mengandung

senyawa polisakarida yang terdiri dari galaktosa, arabinosa, manosa, xylosa dan

sedikit glukosa dengan perputaran spesifik -460. Senyawa tersebut dinamakan ISP

(ingenious sugar cane polysacharides). Dekstran tidak terdapat dalam nira segar dari

tebu sehat, tetapi terdapat pada tebu wayu. Dekstran terbentuk dari sukrosa karena

adanya bakteri Leuconostoc mesenteorides yang menghasilkan enzim dekstran

sukrase. Menurut M. Mochtar rata-rata kadar dekstran dalam nira mentah pabrik gula

di Indonesia antara 0.037 – 0.085 % brix, dalam nira kental 0.024 - 0.080 % brix,

dalam tetes 0.111 – 0.353 % brix dan gula putih 0.029 - 0.053 % brix.

Pembentukan Dekstran Dalam Pasca Panen

Dengan berkembangnya metode pemanenan tebu secara mekanis yang disertai

dengan pembakaran tebu, tebu dipotong-potong dan waktu tunda prosesing yang

lama menimbulkan permasalahan baru dalam industri gula. Dengan sistem tersebut

maka dalam tebu akan terbentuk polisakarida antara lain dekstran yang diikuti

dengan naiknya viskositas dan perubahan bentuk hablur sehingga menyulitkan

pengolahan.

Pembentukan dekstran juga dipengaruhi oleh perlakuan pada proses tebang. Pada

saat ini kebanyakan proses tebang dengan cara membakar lahan. Pembakaran tebu

memang dapat meningkatkan kapasitas tebang baik secara manual maupun

mekanis dan menekan kadar kotoran (daun, pucuk, pelepah, dll), akan tetapi apabila

setelah dibakar terlambat ditebang atau diproses pembentukan dekstran akan lebih

cepat daripada tebu yang ditebang tanpa pembakaran lahan.

Mekanisme pembentukan dekstran dari sukrose oleh Leuconostoc Mesenteroides,

yaitu sukrose berperan donor dan penerima gugus glukosil:

Page 17: kriteria gula shs

Dengan terbentuknya dekstran dapat menimbulkan kesukaran dalam pemrosesan

dan dalam analisa gula. Adanya dekstran 0,1 % menyebabkan pembacaan

polarimeter sebagai sukrosa palsu 0,3 %. Pembacaan sukrosa palsu ini dapat

mengacaukan perhitungan angka-angka dalam neraca massa proses yang

didasarkan pada pol seperti ekstraksi, winter rendemen dan lain-lain.