kitin kitosan_angelita meiliana_13.70.0057_d4_unika soegijapranata
Post on 03-Dec-2015
241 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Angelita Meiliana
NIM : 13.70.0057
Kelompok D4
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu oven, blender, ayakan dan peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu limbah udang, HCl 0,75N, 1N dan 1,25N,
NaOH 3,5%, 40%, 50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
1.2.2. Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
1.2.3. Deasetilasi
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
D1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 25 48,25
D2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43
D3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%36,84 45,71 46,80
D4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%34,78 37,78 39,20
D5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14
Pada Tabel 1 dapat dilihat hasil pengamatan praktikum kitin dan kitosan. Pada kelompok D1
dan D2 melakukan pembuatan kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 0,75N,
NaOH 40% dan NaOH 3,5%. Pada kelompok D3 dan D4 melakukan pembuatan kitin kitosan
dengan perlakuan penambahan HCl 1N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Sedangkan pada
kelompok D5 melakukan pembuatan kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl
1,25N , NaOH 60% dan NaOH 3,5%. Jumlah persentase rendemen dari rendemen kitin I
hingga rendemen kitin III diperoleh peningkatan presentase, kecuali pada kelompok D1 dan
D2.
3. PEMBAHASAN
Kitin merupakan polosakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan di alam
dalam komponen struktural ekoskeleton dari serangga dan crustacean. Kitin memiliki sifat
sulit dilarutkan pada pH netral maka perlu dilakukan pelarutan dengan asam atau basa. selain
itu kitin mudah terdegradasi secara biologis, larut dalam asam organik encer, dimetil
asetamida dan litium klorida (Omun, 1992). Kitin memiliki bentuk kristal amorphous,
berwarna putih, tidak memiliki bau dan rasa, tidak dapat larut dalam air, pelarut organik, basa
encer dan asam anorganik. Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim
seperti enzim papain, kimotripin, asam fosdatase dan glukosa isomerasi. Selain itu kitin juga
digunakan dalam industri pangan serta kosmetik (Muzzarelli, 1985). Sifat kitin yang tidak
dapat larut dalam air membuat penggunaan kitin menjadi sangat terbatas. Namun kitin dapat
dimodifikasi dan menghasilkan senyawa turunan yaitu kitosan. Berdasarkan bentuk
kristalnya, kitin dibedakan menjadi 3 yaitu α-kitin berupa rantai antipararel, β-kitin berupa
rantai pararel, dan γ-kitin berupa rantai campuran (Omun, 1992). Pada industri pangan, kitin
dapat dimanfaatkan sebagai edible film sehingga dapat meningkatkan kualitas makanan dan
umur simpan (Jiffy et al., 2013).
Kitosan merupakan senyawa kimia yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin dengan
penambahan basa kuat. Kitosan memiliki sifat yaitu tidak larut dalam air, larut dalam basa
kuat, sedikit larut dalam HCl dan tidak larut dalam asam benzoat. Selain itu kitosan mudah
mengalami biodegradasi, tidak bersifat racun dan mudah berinteraksi dengan zat organik
seperti protein (Hirano,1989). Kitosan dapat dimanfaatkan sebagai pengawet karena
mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif sehingga dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain (Robert, 1992). Pada kitosan kering tidak memiliki titik lebur dan
jika disimpan dalam jangka waktu yang lama maka sifat kelarutan dan viskositas kitosan
dapat berubah. Sedangkan jika kitosan disimpan dlam keadaan kontak dengan udara maka
dapat mengakibatkan dekomposisi, perubahan warna menjadi kekuningan dan penurunan
viskositas. Kitosan hanya dapat larut dalam asam encer tetapi jika kitosan telah
disubstitusikan maka kitosan menjadi dapat larut dalam air (Dunn et al., 1997). Menurut
Cahyaningrum (2007), kitosan dapat diaplikasikan dalam bidang pangan sebagai bahan
antimikroba. Hal ini disebabkan karena kitosan mengandung enzim lysosim dan gugus
aminopolisakarida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu seperti bakteri dan
kapang. Kitosan dapat dibuat menggunakan limbah kulit udang dengan menggunakan proses
kimia. Karakteristik fisikokimia dari kulit udang yaitu memiliki berat molekul 165394 g/mol,
derajat deasetilasi sebesar 75% dan kandungan abu sebesar 15% (Abdulwadud et al., 2013).
Kitin dan kitosan memiliki perbedaan yang terletak pada sifat kelarutannya. Kitin memiliki
sifat tidak dapat larut dalam air, pelarut organik, larutan asam dan basa. Sedangkan kitosan
memiliki sifat tidak dapat larut dalam pH yang netral dan bersifat alkali. Namun kitosan
dpaat larut pada asam inorganik dan organik seperti asetat dan asam glutamat (D.Sakthivel et
al., 2015). Menurut Masayuki et al., 2015, karakteristik kitin dan kitosan tergantung dari
berat molekul, DDAc dan struktur konformasinya. DDAc dapat mempengaruhi kelarutan dan
interaksi elektrostatis antara polyanions dan proton grup amino kitin atau kitosan. Menurut
Zaku et al., 2011, kitin merupakan sebuah biopolimer alami yang memiliki struktur kimia
dengan selulosa dan memiliki komponen utama dari eksoskeleton invertebrata. Sedangkan
kitosan dapat diperoleh melalui ekstraksi kitin.
Crustaceae memiliki kandungan kitin dalam kadar yang cukup tinggi yaitu berkisar antara
20-60%. Pada industri pengolahan crustaceae terdapat dua jenis limbah yaitu limbar cair dan
limbah padat. Limbah cair merupakan limbah yang terdiri dari kotoran dan suspensi air.
Sedangkan limbah pada terdiri dari kepala, kulit dan kaki. Kulit udang merupakan sumber
kitin yang mengandung protein, kalsium karbonat dan kitin namun hal tersebut tergantung
dari jenis udang dan tempat hidup udang tersebut (Muzzarelli, 1985).
3.1. Proses Pembuatan Kitin
3.1.1. Demineralisasi
Pada prakikum pembuatan kitin dan kitosan, pertama limbah udang dicuci dengan
menggunakan air mengalir kemudian dikeringkan. Selanjutnya dicuci kembali dengan
menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang menempel pada kulit udang dan pencemar yang dapat
mencemari produk ekstrak kitin. Sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk menurunkan
jumlah air yang terdapat pada kulit udang sehingga kadar air pada kulit udang kering akan
berkurang. Setelah diperoleh kulit udang kering maka dilakukan penghancuran hingga
menjadi serbuk dan diayak dengan menggunakan ayakan 40-60 mesh. Penghancuran
bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga pelarut dapat melarutkan komponen-
komponen dari limbah kulit udang secara maksimal (Prasetyo, 2006).
Selanjutnya ditambahkan HCl dengan perbandingan 10:1, yaitu HCl yang digunakan 0,75 N
(kelompok D1 dan D2), HCl 1 N (kelompok D3 dan D4), serta HCl 1,25 N (kelompok D5).
Kemudian dipanaskan hingga suhunya mencapai 800C dan diaduk pada suhu 800C selama 1
jam. Penambahan HCl bertujuan untuk melarutkan komponen mineral yang terkandung
didalam kulit udang. Hal ini disebabkan karena kulit udang mengandung mineral sebanyak
30-50% dari berak keringnya. Mineral utama yang terdapat dalam kulit udang yaitu kalsium
karbonat dan kalsium sulfat. Sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin maka kandungan
mineral dalam kulit udang harus dipisahkan terlebih dahulu. Pemisahan mineral pada kulit
udang dapat dilakukan dengan cara menambahkan asam encer seperti HCl, H2SO4, atau asam
laktat (Bastaman, 1989). Sedangkan proses pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses
perusakan mineral. Selama proses pemanasan dilakukan pengadukan dengan tujuan untuk
menghindari timbulnya gelembung udara akibat proses pemisahan mineral selama proses
demineralisasi (Hargono & Haryani, 2004). Selanjutnya dilakukan pencucian dengan
menggunakan air mengalir hingga mencapai pH yang netral dan dikeringkan pada suhu 800C
selama 24 jam dengan menggunakan oven. Proses demineralisai dapat mengakibatkan adanya
reaksi antara kalsium karbonat dan asam klorida sehingga akan membentuk kalsium klorida,
asam karbonat dan asam fosfat yang dapat larut dalam pelarut polar seperti air. Sedangkan
residu yang tidak larut dalam air merupakan senyawa kitin yang telah terekstrak. Sehingga
pada proses penetralan pH diperlukan penyaringan untuk mendapatkan residu kitin
(Bastaman, 1989).
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh pada kelompok D1 dan D2 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 0,75N, NaOH 40% dan NaOH 3,5%. Pada
kelompok D3 dan D4 melakukan pembuatan kitin kitosan dengan perlakuan penambahan
HCl 1N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Sedangkan pada kelompok D5 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 1,25N , NaOH 60% dan NaOH 3,5%. Pada
kelompok D1 dan D2 diperolah persentase rendemen I dengan jumlah yang sama yaitu
32,14%, pada kelompok D2 dan D3 diperoleh hasil persentase rendemen I yang berbeda
meskipun dilakukan perlakuan yang sama. Sedangkan pada kelompok D5 diperoleh
persentase rendemen I yang paling rendah yaitu 29,17%. Menurut Johnson & Peterson
(1974), semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang
dihasilkan akan semakin banyak. Hasil yang diperoleh pada praktikum tidak sesuai dengan
teori yang ada, hal ini dapat disebabkan karena terdapat senyawa mineral pada serbuk udang
yang menjadi semakin mudah untuk dilepaskan.
3.1.2. Deproteinasi
Setelah melalui proses demineralisasi maka proses selanjutnya dilakukan deproteinasi.
Pertama hasil yang diperoleh dari hasil demineralisasi ditimbang dan kemudian ditambahkan
dengan NaOH dengan perbandingan 6:1. Penambahan NaOH bertujuan untuk memisahkan
kandungan protein yang terdapat dalam kitin (Rogers, 1986). Kemudian dilakukan
pemanasan hingga mencapai suhu 700C dan kemudian diaduk selama 1 jam dan didinginkan.
Proses pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan
NaOH yang ditambahkan sehingga rendemen kitin akan semakin maksimal. Selain itu
pemanasan berfungsi untuk membantu pelarutan NaOH yang dapat mengakibatkan proses
deproteinasi berjalan dnegan baik (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan penyaringan sambil
dilakukan pencucian dengan menggunakan air mengalir untuk mendapatkan pH yang netral.
Proses penetralan dapat mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali dan
mengakibatkan efektivitas proses hidrolisis basa pada gugus asetamida pada rantai kitin
menjadi lebih baik (Rogers, 1986). Proses selanjutnya yaitu dikeringkan dnegan
menggunakan oven pada suhu 800C selama 24 jam. Setelah proses pengeringan maka akan
diperoleh kitin.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh pada kelompok D1 dan D2 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 0,75N, NaOH 40% dan NaOH 3,5%. Pada
kelompok D3 dan D4 melakukan pembuatan kitin kitosan dengan perlakuan penambahan
HCl 1N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Sedangkan pada kelompok D5 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 1,25N , NaOH 60% dan NaOH 3,5%. Pada
kelompok D1 dan D2 diperoleh presentase rendemen II yang lebih rendah daripada
presentase pada rendemen I. Sedangkan pada kelompok D3, D4 dan D5 diperoleh presentase
rendemen yang lebih tinggi daripada presentase pada rendemen II. Menurut Puspawati et al
(2010), rendemen kitin yang berasal dari limbah kulit udang akan menghasilkan rendemen
kitin lebih dari 20%. Pada kelompok D3, D4 dan D5 diperoleh presentase rendemen yang
lebih tinggi daripada presentase rendemen sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan karena
proses deproteinasi yang kurang sempurna. Umumnya hal ini diakibatkan oleh adanya kitin
yang terikat dengan air pada proses penteralan atau proses demineralisasi kurang optimal
sehingga masih terdapat pelindung mineral yang terletak pada kulit udang dan dapat
menghambat proses deproteinasi (Fennema, 1985).
3.1.3. Deasetilasi
Tahap yang ketiga yaitu proses deasetilasi. Pertama kitin yang diperoleh pada tahap
deproteinasi ditambahkan dengan NaOH 40% (kelompok A1 dan A2), NaOH 50%
(kelompok A3 dan A4), serta NaOH 60% (kelompok A5) dengan perbandingan 20:1.
Kemudian dipanaskan pada suhu 800C selama 1 jam sambil dilakukan pengadukan.
Pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk.
Sedangkan pengadukan bertujuan untuk meratakan kitin dengan larutan NaOH sehingga
proses deasetilasi dapat berjalan dengan baik. Suhu pada proses pemanasan dapat
mempengaruhi derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk yaitu semakin tinggi suhu yang
digunakan maka derajat deasetilasi dari kitosan akan meningkat (Puspawati et al., 2010).
Sedangkan penambahan NaOH bertujuan untuk merubah konformasi kitin yang rapat
menjadi lebih renggang sehingga enzim yang berfungsi untuk menguraikan akan lebih mudah
masuk untuk mendeasetilasi polimer kitin (Martinou, 1995). Selanjutnya dilakukan
penyaringan sambil dicuci dengan menggunakan air mengalir dengan tujuan untuk
menetralkan pH yaitu pada pH 7. Kemudian dilakukan pengovenan pada suhu 700C selama
24 jam dan diperoleh kitosan. Proses penyaringan bertujuan untuk memisahkan rendemen
kitosan dengan komponen lainnya yang tidak diinginkan. Setelah mengalami proses
pengovenan diperoleh kitosan dengan warna putih kecokelatan, padahal menurut Ramadhan
et al (2010) setelah mengalami proses pengeringan akan terbentuk kitosan dnegan warna
putih kekuningan dan berbentuk serbuk.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh pada kelompok D1 dan D2 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 0,75N, NaOH 40% dan NaOH 3,5%. Pada
kelompok D3 dan D4 melakukan pembuatan kitin kitosan dengan perlakuan penambahan
HCl 1N, NaOH 50% dan NaOH 3,5%. Sedangkan pada kelompok D5 melakukan pembuatan
kitin kitosan dengan perlakuan penambahan HCl 1,25N , NaOH 60% dan NaOH 3,5%. Pada
semua kelompok diperoleh hasil rendemen yang lebih besar daripada presentase rendemen
sebelumnya yaitu pada rendemen II. Menurut Hirano (1989), pada proses deasetilasi
digunakan NaOH dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang tinggi dengan tujuan untuk
mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan. Penggunaan konsentrasi NaOH yang
semakin tinggi pada proses deasetilasi akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi
yang semakin tinggi pula. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil praktikum telah sesuai
dnegan teori yang ada yaitu semakin tinggi penggunaan konsentrasi NaOH maka akan
semakin banyak hasil kitosan yang diperoleh.
4. KESIMPULAN
Crustaceae memiliki kandungan kitin dalam kadar yang cukup tinggi yaitu berkisar
antara 20-60%.
Kitin merupakan polosakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan di alam
dalam komponen struktural ekoskeleton dari serangga dan crustacean.
Kitin memiliki bentuk kristal amorphous, berwarna putih, tidak memiliki bau dan rasa,
tidak dapat larut dalam air, pelarut organik, basa encer dan asam anorganik.
Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung beberapa enzim seperti enzim papain,
kimotripin, asam fosdatase dan glukosa isomerasi.
Kitosan merupakan senyawa kimia yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin dengan
penambahan basa kuat.
Kitosan memiliki sifat yaitu tidak larut dalam air, larut dalam basa kuat, sedikit larut
dalam HCl dan tidak larut dalam asam benzoat.
Kitosan dapat diaplikasikan dalam bidang pangan sebagai bahan antimikroba.
Pada kitosan kering tidak memiliki titik lebur dan jika disimpan dalam jangka waktu
yang lama maka sifat kelarutan dan viskositas kitosan dapat berubah.
Pada demineralisasi semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen
kitin yang dihasilkan akan semakin banyak.
Semarang, 29 Oktober 2015 Asisten Dosen,
Angelita Meiliana Tjan Ivana Chandra
13.70.0057
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulwadud Abdulkarim. 2013. Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from
Mussel Shell.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from
Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and
Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang
Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
D.Sakthivel, Vijayakumar, Anandan. 2015. Extraction of Chitin and Chitosan from
Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast
Coast of India.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses
Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Jiffy Paul, Sharmila Jesline, K.Mohan. 2013. Development Of Chitosan Based Active Film
To Extend The Shelf Life Of Minimally Processed Fish.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI
Publishing Co., Inc., Connecticut.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by
enzymatic means.
Masayuki Ishihara, Vinh Quang Nguyen, Yasutaka Mori, Shingo Nakamura, Hidemi Hattori.
2015. Adsorption of Silver Nanoparticles into Different Surface Structure of
Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan
Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi
Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.
S.G.Zaku, Emmanuel, Thomas. 2011. Extraction and Characterization of Chitin; A
Functional Biopolymer Obtained from Scales of Common Carp Fish (Cyprinus carpio
I): A Lesser Known Source.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basa h III×100 %
Kelompok D1
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14 %
Rendemen Chitin II = 28
× 100 %
= 25 %
Rendemen Chitosan = 1,523,15
×100 %
= 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14%
Rendemen Chitin II = 2,046,5
× 100 %
= 31,38 %
Rendemen Chitosan = 1,383,5
×100 %
= 39,43 %
Kelompok D3
Rendemen Chitin I = 3,59,5
× 100 %
= 36,84 %
Rendemen Chitin II = 1,63,5
×100 %
= 45,71 %
Rendemen Chitosan = 1,172,5
× 100 %
= 46,80 %
Kelompok D4
Rendemen Chitin I = 4
11,5× 100 %
= 34,78 %
Rendemen Chitin II = 1,74,5
× 100 %
= 37,78 %
Rendemen Chitosan = 0,982,5
× 100 %
= 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I = 3,512
×100 %
= 29,17 %
Rendemen Chitin II = 1,85,5
×100 %
= 32,73 %
Rendemen Chitosan = 1,373,5
× 100 %
= 39,14 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
top related