intususepsi pahala
Post on 27-Oct-2015
52 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Invaginasi atau intususepsi adalah keadaan dimana suatu segmen usus
masuk ke dalam lumen usus lainnya yang merupakan penyebab tersering
terjadinya obstruksi usus. Invaginasi pada anak biasanya bersifat idiopatik
karena tidak diketahui penyebabnya. Sekitar 65% terjadi pada bayi yang
berusia kurang dari setahun, dengan insiden puncak terjadi antara bulan ke-5
dan ke-9 kehidupan1. Sedangkan pada dewasa, invaginasi cukup jarang terjadi,
kurang dari 5 % dari kasus obstruksi usus.
Invaginasi pertama kali ditemukan oleh Barbette pada tahun 1692.
Hingga pertengahan abad ke-19, invaginasi hampir berakibat fatal karena
tidak adanya penanganan yang memadai. Sejak zaman Hippocrates sudah
dikenal pengobatan penyakit ini dengan enema atau memompakan udara
dalam anus. Pada tahun 1905 Hirschsprung membuat laporan tentang
penggunaan tekanan hidrostatik sebagai pengobatan invaginasi. Pengobatan
dengan pembedahan yang dilaporkan pertama kali berhasil adalah Thomson
1835 di Tennessee.
Invaginasi ini merupakan keadaan gawat darurat, dimana bila tidak
ditangani segera dan tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut.
Hampir 70% kasus invaginasi terjadi pada anak-anak umur kurang dari 1
tahun, paling sering dijumpai pada ileosekal. Invaginasi sangat jarang
dijumpai pada orang tua.
Ada perbedaan etiologi yang mencolok antara anak-anak dan dewasa,
pada anak-anak etiologi terbanyak adalah idiopatik yang mana lesinya tidak
ditemukan sedangkan pada dewasa penyebab terbanyak adalah keadaan
patologik intralumen oleh suatu neoplasma baik jinak maupun ganas sehingga
pada saat operasi lesinya dapat ditemukan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Intususepsi ialah suatu keadaan dimana segmen proksimal dari usus masuk ke
dalam segmen usus berikutnya dengan membawa serta mesenterium yang
berhubungan. Bagian usus yang masuk disebut intususeptum dan bagian yang
menerima intususeptum dinamakan intususipiens.
A B
Gambar. A. Usus normal, B. Intususepsi
Gambar. Usus halus dengan intususepsi
2
B. EPIDEMIOLOGI
Di Netherland dan Jerman, ditemukan angka kejadian intusepsi di bagian
bedah anak 1.2–1.4% dari keseluruhan pasien ( usia populasinya tidak di
spesifikasi ). Di Australia , New Zealand dan Amerika Serikat , insiden
intusepsi tidak berbeda jauh dari yang di temukan di Eropa 0.50 –2.30 kasus
per 1000 kelahiran hidup. Di china, insidensi yang dilaporkan adalah 0.77
kasus per 1000 kelahiran hidup; dari Kuwait 0.50 kasus per 1000 kelahiran
hidup. Amerika serikat memiliki angka insidens terendah , yaitu 0.24 kasus
per 1000 anak > 1 tahun. Di Venezuela terdapat 0.33 kasus per 1000 anak > 2
tahun.
Intususepsi paling sering menyebabkan obstruksi usus pada anak-anak antara
3-6 tahun. Lebih dari 90 % adalah idiopatik2 . Ileo-colica yang paling banyak
ditemukan (75%), ileo-ileo colica 15%, lain-lain 10%, paling jarang tipe
appendical-colica. Intususepsi sering dijumpai pada umur 3 bulan – 2 tahun,
paling banyak 5- 9 bulan. Prevalensi penyakit diperkirakan 1-2 penderita di
antara 1000 kelahiran hidup. Anak lelaki lebih banyak daripada perempuan,
3 : 1. Pada umur 5-9 bulan sebagian besar belum diketahui penyebabnya.
Penderita biasanya bayi sehat, menyusui, gizi baik dan dalam pertumbuhan
optimal. Ada yang menghubungkan terjadinya intususepsi karena gangguan
peristaltik, 10% didahului oleh pemberian makanan padat dan diare.
Pada dewasa, intususepsi cukup jarang terjadi, kurang dari 5 % dari obstruksi
usus. Dalam populasi anak-anak, sekitar 90 % invaginasi pada orang dewasa
disertai dengan lesi patologis pada dinding usus. Penelitian terbaru
menunjukkan 30 % dari intususepsi pada usus halus disebabkan oleh
keganasan. Dan sebagian besar intususepsi pada colon bersifat malignant
(60%).
3
C. ETIOLOGI
Intususepsi dapat bersifat idiopatik atau disebut juga intususepsi primer dan
intususepsi sekunder. Sebagian besar kasus intususepsi yang tidak memiliki
lesi patologi diklasifikasikan sebagai intususepsi primer atau idiopatik.
Disebutkan bahwa hipertrofi Payer’s patch di ileum dapat merangsang
peristaltik usus sebagai upaya mengeluarkan massa tersebut sehingga
menyebabkan intususepsi. Intususepsi sering terjadi setelah infeksi saluran
napas bagian atas dan serangan episodik gastroenteritis yang menyebabkan
pembesaran jaringan limfoid. Adenovirus ditemukan hampir dalam 50% kasus
intususepsi. Intususepsi primer umumnya terjadi pada anak berusia 6 -36
bulan dimana pada usia tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi
terhadap virus.
Pada sekitar 5-10% penderita, dapat dikenali hal-hal pendorong untuk
terjadinya intususepsi, seperti appendiks terbalik, divertikulum Meckel, polip
usus, duplikasi atau limfosarkoma. Intususepsi juga dapat terjadi pada
penderita kistik fibrosis yang mengalami dehidrasi.
Intususepsi pada dewasa kausa terbanyak adalah keadaan patologi pada lumen
usus, yaitu suatu neoplasma baik yang bersifat jinak dan atau ganas, seperti
apa yang pernah dilaporkan ada perbedaan kausa antara usus halus dan kolon
sebab terbanyak intususepsi pada usus halus adalah neoplasma yang bersifat
jinak (diverticle meckel’s, polip) 12/25 kasus sedangkan pada kolon adalah
bersifat ganas (adenocarsinoma)14/16 kasus. Etiologi lainnya yang
frequensinya lebih rendah seperti tumor extra lumen seperti lymphoma,
diarea, riwayat pembedahan abdomen sebelumnya, inflamasi pada apendiks
juga pernah dilaporkan intususepsi terjadi pada penderita AIDS , pernah juga
dilaporkan karena trauma tumpul abdomen yang tidak dapat diterangkan
kenapa itu terjadi dan idiopatik .
4
D. PATOFISIOLOGI
Intususepsi sekunder biasanya terjadi karena adanya lesi patologis atau iritan
pada dinding usus yang dapat menghambat gerakan peristaltic normal serta
menjadi lokus minoris untuk terjadinya intususepsi. Intususepsi dideskripsikan
sebagai prolaps internal usus proksimal dalam lekukan mesenterika dalam
lumen usus distal. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi pada
pasase isi usus dan menurunkan aliran darah ke bagian usus yang mengalami
intususepsi tersebut. Akhirnya dapat mengakibatkan obstruksi usus dan
peradangan mulai dari penebalan dinding usus hingga iskemia dinding usus.
Mesenterium usus proksimal tertarik ke dalam usus distal, terjepit, dan
menyebabkan obstruksi aliran vena dan edema dinding usus yang akan
menyebabkan keluarnya feses berwarna kemerahan akibat darah bercampur
mucus (red currant stool).
Gambar. Proses skematik invaginasi
Jika reduksi intususepsi tidak dilakukan, terjadi insufisiensi arteri yang akan
menyebabkan iskemik dan nekrosis dinding usus yang akan menyebabkan
pendarahan, perforasi, dan peritonitis. Perjalanan penyakit yang terus berlanjut
dapat semakin memburuk hingga menyebabkan sepsis.
E. KLASIFIKASI
5
Lokasi pada saluran cerna yang sering terjadi intususepsi merupakan lokasi
segmen yang bebas bergerak dalan retroperitoneal atau segemen yang
mengalami adhesive. Intususepsi diklasifikasikan menjadi 4 kategori
berdasarkan lokasi terjadinya:
1. Entero-enterika : usus halus masuk ke dalam usus halus
2. Colo-kolika: kolon masuk ke dalam kolon
3. Ileo-colica: ileum terminal yang masuk ke dalam kolon asendens
4. Ileosekal: ileum terminal masuk ke dalam sekum di mana lokus
minorisnya adalah katup ileosekal.
Intususepsi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik ke kolon
asendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum.
F. GAMBARAN KLINIS
Rasa sakit adalah gejala yang paling khas dan hampir selalu ada. Dengan
adanya serangan kolik yang makin bertambah dan mencapai puncaknya, dan
kemudian menghilang sama sekali, diagnosis hampir dapat ditegakkan. Rasa
sakit berhubungan dengan passase dari invagiasi. Diantara satu serangan
dengan serangan berikutnya, bayi atau orang dewasa dapat sama sekali bebas
dari gejala.
Gambaran klinis intususepsi dewasa umumnya sama seperti keadaan obstruksi
usus pada umumnya, yang dapat mulai timbul setelah 24 jam setelah
terjadinya invaginasi berupa nyeri perut dan terjadinya distensi setelah lebih
24 jam ke dua disertai keadaan klinis lainnya yang hampir sama gambarannya
seperti invaginasi pada anak-anak. Pada orang dewaasa sering ditemukan
perjalanan penyakit yang jauh lebih panjang, dan kegagalan yang berulang-
ulang dalam usaha menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan-pemeriksaan lain. Adanya gejala obstruksi usus yang berulang,
harus dipikirkan kemungkinan intususepsi.
6
Pada kasus intususepsi yang berlangsung khronis, gejala yang timbul
seringkali tidak jelas dan membingungkan sampai terjadi invaginasi yang
menetap. Ini terutama terdiri dari serangan kolik yang berulang, yang
seringkali disertai muntah, dan kadang-kadang juga diare. Pada banyak kasus
ditemukan pengeluaran darah dan lendir melalui rektum, namun kadang-
kadang ini juga tidak ditemukan. Gejala-gejala lain yang juga mungkin
didapatkan adalah tenesmus dan anoreksia. Massa abdomen dapat diraba pada
kebanyakan kasus, terutama pada saat serangan.
G. DIAGNOSIS
Anamnesis memberikan gambaran yang cukup mencurigakan bila bayi yang
sehat mendapat serangan nyeri perut. Anak tampak gelisah dan tidak dapat
ditenangkan sedangkan di antara serangan biasanya anak tidur tenang karena
sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah sewaktu
serangan kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red current jelly stool)
per anal, yang berasal dari intususepsi yang tertekan, terbendung atau
mungkin sudah mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu
serangan dan pada pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya
memanjang dengan batas yang jelas seperti sosis. Massa teraba di kuadran
kanan atas dengan tidak ditemukannya sensasi kekosongan di kuadran kanan
bawah karena masuknya sekum pada kolon ascenden (dance’s sign).
Bila intususepsi disebut strangulasi harus diingat kemungkinan terjadinya
peritonitis setelah perforasi. Intususepsi yang masuk jauh dapat ditemukan
pada pemeriksaan colok dubur. Ujung invaginatum teraba seperti portio uterus
pada pemeriksaan vagina sehingga disebut sebagai pseudoportio atau porsio
semu.
Invaginatum yang keluar lewat rectum jarang ditemukan; keadaan tersebut
harus dibedakan dengan prolapsus mukosa rectum. Pada intususepsi
7
didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus.
Pada inspeksi sukar sekali membedakan prolapsus rectum dari intususepsi.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan jari sekitar penonjolan untuk
menentukan ada tidaknya celah terbuka. Diagnosis intususepsi dapat diduga
atas pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan rontgen dengan
pemberian enema barium.
Pemeriksaan foto polos abdomen, dijumpai tanda obstruksi dan massa di
kuadran tertentu dari abdomen menunjukkan dugaan kuat suatu intususepsi.
USG membantu menegakkan diagnosis intususepsi dengan gambaran target
sign pada potongan melintang intususepsi dan pseudo kidney sign pada
potongan longitudinal intususepsi. Foto dengan pemberian barium enema
dilakukan jika pasien ditemukan dalam kondisi stabil, digunakan sebagai
diagnostik ataupun terapeutik. Sumbatan oleh invaginatum biasanya tampak
jelas pada foto.
Gambar : USG abdomen (limfadenitis pada pasien intususepsi)
8
Gambar: Coil spring appearance pada foto polos abdomen
Gambar : Pseudokidney sign pada USG abdomen
Colon In loop berfungsi sebagai :
1. Diagnosis : cupping sign, letak intususepsi
2. Terapi : Reposisi dengan tekanan tinggi, bila belum ada tanda2 obstruksi
dan kejadian < 24 jam
9
Gambar : cupping sign pada colon in loop
Reposisi dianggap berhasil bila setelah rectal tube ditarik dari anus barium
keluar bersama feses dan udara.
Intususepsi pada orang muda atau orang dewasa jarang sekali idiopatik.
Umumnya ujung invaginatum pada orang dewasa merupakan polip atau tumor
lain di usus halus. Intususepsi juga disebabkan oleh pencetus seperti
divertikulum Meckel yang terbalik masuk lumen usus, duplikasi usus,
kelainan vaskuler, atau limfoma. Gejalanya berupa gejala dan tanda obstruksi
usus, tetapi tergantung dari letak ujung intususepsi.
Kriteria diagnosis intususepsi akut:
1. Intususepsi definitif (pasti intususepsi)
a. Kriteria bedah: ditemukannya intususepsi pada pembedahan
b. Kriteria radiologi: adanya baik gas maupun cairan kontras pada enema
pada usus halus yang berintususepsi, adanya massa intraabdominal
yang dideteksi dengan USG
c. Kriteria autopsi: ditemukan intususepsi pada otopsi
2. Mungkin intususepsi (probable)
Memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor
3. Possible intususepsi
Memenuhi paling sedikit 4 kriteria minor
10
Kriteria mayor pada intususepsi yakni:
1. Bukti adanya obstruksi saluran cerna
a. Riwayat muntah kehijauan
b. Distensi abdomen dan tidak adanya bising usus atau bising usus
abnormal
c. Foto polos abdomen menunjukkan adanya level cairan dan dilatasi
usus halus
2. Inspeksi
a. Massa di abdomen
b. Massa di rectal
c. Prolapsus intestinal
d. Foto polos abdomen, USG, CT menunjukkan intususepsi atau massa
dari jaringan lunak
3. Gangguan vaskuler intestinal dan kongesti vena
a. Keluarnya darah per rectal
b. Keluarnya feses yang berwarna red currant jelly
c. Adanya darah ketika pemeriksaan rectum
Adapun kriteria minor untuk intususepsi adalah: usia< 1 tahun, laki-laki, nyeri
perut, muntah, letargi, hangat, syok hipovolemik, foto polos abdomen
menunjukkan pola gas usus yang abnormal.
Pada orang dewasa diagnosis preoperatif keadaan intususepsi sangatlah sulit,
meskipun pada umumnya diagnoasis preoperatifnya adalah obstruksi usus
tanpa dapat memastikan kausanya adalah intususepsi, pemerikasaan fisik saja
tidaklah cukup sehingga diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang yaitu
dengan radiologi (barium enema, ultra sonography dan computed
tomography), meskipun umumnya diagnosisnya didapat saat melakukan
pembedahan.
11
Gambar : CT Scan abdomen pada pasien intususepsi (target sign)
Gambar : USG abdomen pada pasien intususepsi
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan
fisik. Pada penderita dengan intususepsi yang mengenai kolon, barium enema
mungkin dapat memberi konfirmasi diagnosis. Mungkin akan didapatkan
obstruksi aliran barium pada apex dari intususepsi dan suatu cupshaped
appearance pada barium di tempat ini.
12
Ketika tekanan ditingkatkan, sebagian atau keseluruhan intususepsi mungkin
akan tereduksi. Jika barium dapat melewati tempat obstruksi, mungkin akan
diperoleh suatu coil spring appearance yang merupakan diagnostik untuk
intususepsi. Jika salah satu atau semua tanda-tanda ini ditemukan, dan suatu
masa dapat diraba pada tempat obstruksi, diagnosis telah dapat ditegakkan.
Mendiagnosis intususepsi pada dewasa sama halnya dengan penyakit lainnya
yaitu melalui :
1. Anamnesis , pemeriksaan fisik ( gejala umum, khusus dan status lokalis
seperti diatas).
2. Pemeriksaan penunjang ( Ultra sonography, Barium Enema dan Computed
Tomography)
Gambar : colo-colic intususepsi
13
H. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan invaginasi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya
obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan
demam.
4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali
dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit
perianal, sedangkan pada invaginasi didapati adanya celah.
I. Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi
berat, seperti kematian jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian.
J. Tatalaksana
Sebelum melakukan terapi definitif terhadap invaginasi usus yang terjadi
tindakan perbaikan keadaan umum yang mutlak perlu dikerjakan antara lain:
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi dan mencegah aspirasi
2. Rehidrasi (monitor keseimbangan cairan)
3. Terapi medikamentosa seperti antibiotika (bila gejala obstruksi sudah
jelas, ada demam, atau obstruksi sudah berlangsung lebih dari 24 jam) dan
obat penenang untuk penahan sakit seperti fenobarbital dan valium
4. Setelah keadaan umum baik baru dipilih tindakan reposisi yang sesuai
dengan keadaan pasien.
14
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya
pertolongan diberikan, jika pertolongan kurang dari 24 jam dari serangan
pertama, maka akan memberikan prognosa yang lebih baik.
Penatalaksanaan invaginasi dapat dilakukan secara non-operatif dan operatif.
Prinsipnya dilakukan tindakan non-operatif terlebih dahulu. Tindakan operatif
baru dilakukan apabila terdapat kontraindikasi tindakan non-operatif seperti
gejala obstruksi yang jelas, terdapat tanda peritonitis, atau kasus yang sudah
lama (> 48 jam) atau setelah tindakan non-operatif tidak berhasil.
1. Non-operatif
a) Reduksi pneumostatik
Tindakan non-operatif lebih banyak menekan mortalitas dibanding
tindakan bedah. Tekanan udara diukur dengan manometer dan tidak
boleh melebihi 120 mmHg (batas keamanan maksimal 80 mmHg).
Udara yang masuk akan mendorong intususepsi. Kriteria berhasil:
adanya reflux ke dalam usus kecil dan penderita terlihat membaik..
Angka kesuksesan air enema di China mencapai 90%, di beberapa
senter lain angka kesuksesan hanya mencapai 60%. Kompikasi
tindakan ini adalah pneumoperitonium.
b) Reduksi Hidrostatik
Metode ini dengan cara memasukkan barium melalui anus
menggunakan kateter dengan tekanan tertentu. Pertama kali
keberhasilannya dikemukakan oleh Ladd tahun 1913 dan diulang
keberhasilannya oleh Hirschprung tahun 1976.
Sejak 1876, barium enema sudah digunakan untuk pengobatan
invaginasi dan hasilnya memuaskan (angka kesuksesan 42-80%,
rekurensi sekitar 5%). Hanya sedikit kemungkinan terjadi perforasi
walaupun usus telah mengalami gangren, asal tekanan hidrostatik tidak
melebihi 1 meter air. Demikian pula lamanya perawatan pada reposisi
15
barium lebih pendek daripada operasi. Kadang kadang reposisi barium
tidak berhasil, misalnya pada umur kurang 3 bulan dan invaginasi ileo-
ileal. Bayangan kontras dalam bentuk cupping tidak mencapai ileum
terminalis sehingga memerlukan operasi.
Adapun syarat - syarat pengelolaan secara hidrostatik antara lain
keadaan umum mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda rangsang
peritoneum, anak tidak toksis, dan tidak terdapat obstruksi tinggi.
Prosedur dapat dilakukan dalam keadaan sedasi. Kateter Foley
dimasukkan ke rektum lalu NaCl 0,9% atau barium dimasukkan per
rektal dari ketinggian 3 kaki, interval 3 menit, dilakukan observasi
dengan fluoroskopi, lanjutkan prosedur bila terjadi reduksi. Tunggu 10
menit bila tidak terjadi reduksi keluarkan barium. Prosedur ini dapat
diulangi sampai 3 kali. Reduksi berhasil harus dikonfirmasi dengan
adanya kontras yang melewati ileum terminalis, bila pipa rektal ditarik
keluar anus akan keluar barium beserta feses dan udara, pada
pemeriksaan fisik, perut tampak kempes dan massa menghilang. Pada
kasus-kasus dimana reduksi sempurna dengan barium enema tidak
mungkin terjadi, prosedur ini dapat sangat mengurangi ukuran
intususepsi sehingga panjang insisi yang dibutuhkan pada tindakan
operasi dapat dikurangi.
2. Operatif laparotomi
Pasien dengan keadaan tidak stabil, didapatkan peningkatan suhu, angka
lekosit, mengalami gejala berkepanjangan atau ditemukan sudah lanjut
yang ditandai dengan distensi abdomen, feces berdarah, gangguan sistema
usus yang berat sampai timbul shock atau peritonitis, pasien segera
dipersiapkan untuk suatu operasi.
Operasi dini tanpa terapi barium dikerjakan bila terjadi perforasi,
peritonitis dan tanda-tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya pada
16
invaginasi yang sudah berlangsung lebih dari 48 jam. Demikian pula pada
kasus-kasus relapse. Invaginasi berulang 11% setelah reposisi barium dan
3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya reseksi dilakukan jika aliran
darah tidak pulih kembali setelah dihangatkan dengan larutan fisiologik.
Usus yang mengalami invaginasi nampak kebiruan. Pada perawatan ke-2
kali, dikerjakan operasi tanpa barium enema.
Kegagalan mereduksi intususepsi dengan prosedur non-operatif juga
memerlukan operasi. Eksplorasi dilakukan melalui insisi pada kuadran
kanan bawah perut. Reduksi dilakukan dengan mengurut pelan distal usus
agar keluar dari intususepsi (milking), jangan menarik usus keluar karena
dapat menimbulkan cedera sekunder pada usus seperti ileus paralitik,
perforasi, adhesif. Reseksi dapat dilakukan pada bagian usus yang
gangren. Lalu dibuat anastomosis primer ileocolica.
Laparotomi dengan incisi transversal interspina merupakan standar yang
diterapkan di RS. Dr. Sardjito. Tindakan selama operasi tergantung kepada
penemuan keadaan usus, reposisi manual dengan milking harus dilakukan
dengan halus dan sabar, juga bergantung kepada ketrampilan dan
pengalaman operator. Reseksi usus dilakukan apabila pada kasus yang
tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan
atau ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah
usus direseksi dilakukan anastomose “end to end” apabila hal ini
memungkinkan, bila tidak mungkin maka dilakukan exteriorisasi atau
enterostomi.
Terapi intususepsi pada orang dewasa adalah pembedahan. Diagnosis pada
saat pembedahan tidak sulit dibuat. Pada intususepsi yang mengenai
kolon sangat besar kemungkinan penyebabnya adalah suatu keganasan,
oleh karena itu ahli bedah dianjurkan untuk segera melakukan reseksi,
dengan tidak usah melakukan usaha reduksi. Pada intususepsi dari usus
halus harus dilakukan usaha reduksi dengan hati-hati. Jika ditemukan
17
kelainan telah mengalami nekrose, reduksi tidak perlu dikerjakan dan
reseksi segera dilakukan (Ellis, 1990). Pada kasus-kasus yang idiopatik,
tidak ada yang perlu dilakukan selain reduksi (Aston dan Machleder, 1975
cit Ellis, 1990). Tumor benigna harus diangkat secara lokal, tapi jika ada
keragu-raguan mengenai keganasan, reseksi yang cukup harus dikerjakan.
Langkah-langkah yang dilalui pada tindakan operatif pada intususepsi
adalah:
a) Pre-operatif
Penanganan intususepsi pada dewasa secara umum sama seperti
penangan pada kasus obstruksi usus lainnya yaitu perbaikan keadaan
umum seperti rehidrasi dan koreksi elektrolit bila sudah terjadi defisit
elektrolit
b) Durante Operatif
Penanganan secara khusus adalah melalui pembedahan laparotomi,
karena kausa terbanyak intususepsi pada dewasa adalah suatu keadaan
neoplasma maka tindakan yang dianjurkan adalah reseksi anastosmose
segmen usus yang terlibat dengan memastikan lead pointnya, baik itu
neoplasma yang bersifat jinak maupun yang ganas.
Tindakan manual reduksi tidak dianjurkan karena risiko:
1) Ruptur dinding usus selama manipulasi
2) Kemungkinan iskemik sampai nekrosis pasca operasi
3) Kemungkinan rekurensi kejadian intususepsi
4) Ileus yang berkepanjangan akibat ganguan motilitas
5) Pembengkakan segmen usus yang terlibat
Batas reseksi pada umumnya adalah 10cm dari tepi – tepi segmen usus
yang terlibat, pendapat lainnya pada sisi proksimal minimum 30 cm
dari lesi, kemudian dilakukan anastosmose end to end atau side to side.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pada penderita AIDS, lesi/lead
18
pointnya tidak ditemukan maka tindakan reduksi dapat dianjurkan,
begitu juga pada kasus retrograd intususepsi pasca gastrojejunostomi
tindakan reduksi dapat dibenarkan, keadaan lainya seperti intususepsi
pada usus halus yang kausanya pasti lesi jinak tindakan reduksi dapat
dibenarkan juga, tetapi pada pasien intususepsi tanpa riwayat
pembedahan abdomen sebelumnya sebaiknya dilakukan reseksi
anastosmose.
c) Pasca Operasi
1) Hindari Dehidrasi
2) Pertahankan stabilitas elektrolit
3) Pengawasan akan inflamasi dan infeksi
4) Pemberian analgetika yang tidak mempunyai efek menggangu
motilitas usus
Pada invaginasi usus besar dimana resiko tumor ganas sebagai
penyebabnya adalah besar, maka tidak dilakukan reduksi (milking)
tetapi langsung dilakukan reseksi. Sedangkan bila invaginasinya pada
usus halus reduksi boleh dicoba dengan hati-hati , tetapi bila terlihat
ada tanda necrosis, perforasi, oedema, reduksi tidak boleh dilakukan,
maka langsung direseksi saja (Elles , 90). Apabila akan melakukan
reseksi usus halus pada invaginasi dewasa hendaknya dipertimbangkan
juga sisa usus halus yang ditinggalkan, ini untuk menghindari /
memperkecil timbulnya short bowel syndrom.
Gejala short bowel syndrom menurut Schrock, 1989 adalah:
1) Adanya reseksi usus yang etensif
2) Diaarhea
3) Steatorhe
4) Malnutrisi
19
Apabila usus halus yang tersisa 3 meter atau kurang akan
menimbulkan gangguan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Jika usus
halus yang tersisa 2 meter atau kurang fungsi dan kehidupan sangat
terganggu. Dan jika tinggal 1 meter maka dengan nutrisi prenteralpun
tidak akan adequat. (Schrock, 1989).
K. Prognosis
Diagnosis dan terapi dini akan menurunkan angka kematian. Terapi dini yang
adekuat akan memberi prognosis yang baik. Prognosis sangat baik bila terapi
dimulai dalam kurun waktu 24 jam dihitung dari awal munculnya gejala..
Intususepsi yang tidak diterapi umumnya fatal. Secara umum angka kematian
akibat intususepsi adalah 1-2%.
Ada kemungkinan terjadi rekurensi di kemudian hari walaupun intususepsi
telah diterapi adekuat. Angka rekurensi mencapai sekitar 8-12% terutama
setelah prosedur reduksi hidrostatik (banyak terjadi pada 24-48 jam pertama).
Intususepsi pada bayi yang tidak ditangani akan selalu berakibat fatal. Angka
rekurensi pasca reduksi intususepsi dengan enema barium adalah sekitar 10%
dan dengan reduksi bedah sekitar 2-5%; tidak pernah terjadi setelah dilakukan
reseksi bedah. Mortalitas sangat rendah jika penanganan dilakukan dalam 24
jam pertama dan meningkat dengan cepat setelah waktu tersebut, terutama
setelah hari kedua.
20
BAB III
KESIMPULAN
Invaginasi ialah suatu keadaan dimana segmenproksimal dari usus masuk ke
dalam segmen usus berikutnya dengan membawa serta mesenterium yang
berhubungan. Invaginasi atau intususepsi merupakan salah satu penyebab
terbanyak obstruksi usus pada bayi dan anak kecil. Penyebab invaginasi sebagian
besar tidak diketahui.
Invaginasi paling sering mengenai daerah ileosaekal dan jarang terjadi
pada orang dewasa dibandingkan anak-anak.Lokasi terjadinya invaginasi dapat
pada entero-enterika, kolo-kolika, ileokolika, ileosekal. Invaginasi dapat
menyebabkan obstruksi usus sehingga jika tidak ditangani dengan segera dan
tepat akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut berupa perforasi sehingga terjadi
peritonitis.
Penatalaksanaan dapat berupa perbaikan kondisi umum berupa resusitasi
cairan dan elektrolit serta dekompresi, kemudian dilakukan reposisi. Reposisi
hidrostatik yang dapat dikerjakan sekaligus sewaktu diagnosis ditegakkan ataupun
reposisi pneumostatik. Jika reposisi konservatif gagal, reposisi operatif dapat
dilakukan. Intususepsi pada bayi yang tidak ditangani akan selalu berakibat fatal.
Angka mortalitas semakin meningkat jika penanganannya semakin lambat.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. 2010. p270-272
2. J Holder , G.K Von Schulthess et all. Disease of the abdomen and pelvis ,
2006 . Springer science , Italy. p218-223 .
3. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. 2005. p627-629
4. Anderson DM, et al. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed. Jakarta: EGC; 2002.
5. Miguel OR, Yalda L, Alfredo P, Teresa VM. Two year review of intestinal
intussusception in six large public hospitals of Santiago, Chile. Pediatric
Infectious Disease Journal. 2003;22:717-21.
6. Willye R. Intususepsi. In: Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM, editors.
Nelson ilmu kesehatan anak. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000.
7. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW, Murphy JP,
editors. Ashcraft’s pediatric surgery. 5th ed. Philadephia: Saunders Elsevier;
2010.
8. Ko SF, Lee TY, Ng SH, Wan YL, Chen MC, Tiao MM, et al. Small bowel
intussusceptions in symptomatic pediatric patients: experiences with 19
surgically proven cases. World Journal of Surgery. 2002;26(4):438-43.
9. Marinis A, Yiallourou A, Samanides L, Dafnios N, Anastasopoulos G,
Vassiliou S, et al. Intussusception of the bowel in adults: a review. World
Journal Gastroenterology. 2009;15(4):407-11.
10. Spalding SC, Evans B. Intussusception. Emergency Medicine Journal.
2004;36(11):12-9.
11. Brunicardi FC,Andersen DK, Billiar TR, Dun DL, Hunter JG, Pollock RE.
Schwartz’s principle of surgery. 8th ed. United Stated of America: The
MacGraw-Hill Companies; 2007.
12. Bines JE, Ivanoff B, Justice F, Mulholland K. Clinical case definition for the
diagnosis of acute intussusceptions. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2004;39:511-8.
22
top related