imunopatogenesis dan pemeriksaan laboratorium toxoplasmosis dalam kehamilan
Post on 20-Jul-2015
2.906 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
IMUNOPATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUMTOKSOPLASMOSIS DALAM KEHAMILAN
Oleh
Ima Septia
Pembimbing
Prof. Dr. dr. Ellyza Nasrul, SpPK (K)
PROGRAM PROFESI DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLIKNIK FK UNAND/RS DR M DJAMIL
PADANG2012
4
BAB 2
TOKSOPLASMOSIS DALAM KEHAMILAN
2.1 Toksoplasma gondii
2.1.1 Struktur
Toxoplasma gondii adalah protozoa obligat intraselular anggota filum
apikompleksa subkelas coccidian. Filum apikompleksa terdiri dari parasit dengan
ciri struktur sel terpolarisasi disertai sitoskleton dan organela sel pada bagian
ujung apekss. Struktur bagian apeks parasit sangat kompleks (Gambar 2.1).
Sejumlah organela yang penting untuk invasi dan perkembangan Toksoplasma
terletak pada bagian apekss. Organela tersebut adalah roptri, mikronema,
konoid,dan cincin polar apikal (Black & Boothroyd, 2000; Holliman, 2010;
Pommerville, 2010).
5
Gambar 2.1 Struktur Toksoplasma Dengan Bagian Apikompleksa (Black & Boothroyd, 2000)
Toksoplasma memiliki struktur Glycosylphosphatidylinositol (GPI)
anchor, golongan protein yang mengalami modifikasi pada gugus karbohidrat.
Fungsi utama struktur ini adalah melekatkan berbagai molekul ke permukaaan sel,
akan tetapi pada Toksoplasma gondii indentik dengan low molekuler weihgt
antigen yang bersifat imunogenik. Sifat imunogenik karena adanya gugus N-
asetilgalaktosamin pada rantai samping struktur GPI (Crockiego & Schwarz, 2010;
Holliman, 2010).
2.1.2 Siklus Hidup
Siklus hidup T.gondii terdiri dari siklus seksual didalam tubuh hospes
definitif dan siklus aseksual didalam tubuh hospes perantara (Gambar 2.2). Kucing
merupakan satu satunya hospes definitif sedangkan hospes perantara adalah
mamalia termasuk manusia, burung, dan golongan tikus. Siklus seksual didalam
tubuh kucing didefinisikan sebagai pembentukan ookista. Ookista dikeluarkan
bersama kotoran kucing dalam bentuk unsporulasi yang noninfeksius, akan tetapi
2-21 hari setelah terpapar udara dan perubahan temperatur akan terbentuk
sporulasi matur yang infeksius (Pohan, 2007; Holliman, 2010).
Infeksi terjadi umumnya karena hospes perantara seperti manusia dan
mamalia lain tertelan ookista dari kotoran kucing, atau karena tertelan takizoit
maupun bradizoit yang terdapat pada daging. Bentuk yang paling infeksius adalah
ookista, disusul oleh bradizoit dan takizoit. Ookista yang tertelan akan berubah
menjadi takizoit yaitu bentuk trofozoid yang membelah dengan cepat diberbagai
jaringan tubuh hospes perantara tersebut (Jones et al.,2001; Kasper, 2005).
6
Takizoid dapat menginfeksi dan bereplikasi di seluruh sel tubuh hospes
kecuali sel darah merah yang tidak berinti. Replikasi takizoid terjadi secara
endogeni di dalam sel hospes 6-8 jam setelah infeksi. Takizoit menyebar melalui
saluran limfe kemudian mencapai kelenjer getah bening atau melalui darah yang
akan mencapai paru dan akhirnya menyebar ke seluruh tubuh. Adanya respon
imun hospes yang immunokompoten dapat menurunkan kecepatan takizoit
membelah secara berangsur angsur. Bentuk yang membelah dengan kecepatan
lambat dinamakan bradizoit yang terbentuk 7 –10 hari setelah infeksi takizoit
sistemik. Bradizoit akan membentuk kista yang dapat menetap di berbagai
jaringan hospes perantara seperti otot, retina, otak dan jantung. Bentuk kista
7
Gambar 2.2 Siklus Hidup Toksoplasma gondii (Black &Boothroyd, 2000)
masih viabel dan dapat menetap seumur hidup dalam jaringan tersebut. Bradizoit
menyebabkan infeksi kronis atau laten sedangkan takizoit menimbulkan infeksi
akut (Jones et al.,2003; Winn et al., 2006; Pohan, 2007).
Apabila yang tertelan adalah bradizoit, maka bradizoit akan mencapai usus
dan memasuki epitel usus karena tahan terhadap pH asam dan enzim pencernaan
yang merupakan barier mukosa asam lambung. Setelah itu berubah menjadi
takizoit dalam waktu beberapa jam, kemudian menginvasi sel enterosit, menembus
lamina propria, dan menginvasi sel sel disekitarnya. Infeksi aktif pada hospes
imunokompromis terjadi karena pelepasan spontan kista parasit yang pecah yang
kemudian mengalami transformasi dengan cepat menjadi takizoit (Jones et
al.,2003; Winn et al.,2006; Pommerville, 2010).
2.1.3 Transmisi
Transmisi T. gondii dapat terjadi melalui beberapa jalur yaitu: oral, darah
atau organ, dan secara transplasental (Gambar 2.3). Transmisi melalui oral
merupakan jalur utama penularan ke manusia karena menelan kista unsporulasi
yang terdapat di tanah atau bradizoit pada daging yang tidak dimasak dengan baik.
Kucing mengeluarkan sekitar 100 juta parasit per hari melalui kotorannya selama
infeksi akut. Kotoran kucing tersebut mengandung ookista yang sangat infeksius
dan stabil karena dapat bertahan selama bertahun tahun di tanah. Satu kista yang
tertelan sudah dapat menimbulkan infeksi pada manusia (Kasper, 2005; Winn et
al.,2006; Pommerville, 2010).
8
Darah dan organ yang didonorkan dapat juga menjadi jalur transmisi
meskipun kejadiannya lebih jarang. Toxoplasma dapat dikultur dari darah simpan
beku, sehingga masih memungkinkan menjadi sumber infeksi penerima transfusi.
Penerima tranplantasi ginjal dan jantung pernah dilaporkan terinfeksi T.gondii.
Transmisi dari ibu yang terinfeksi ke janin terjadi karena Toxoplasma dapat
melintasi barier plasenta (Kasper, 2005; Remington, 2005; Winn et al.,2006).
2.2 Toksoplasmosis
2.2.1 Definisi
9
Gambar 2.3. Jalur Transmisi T.gondii (Lynfield & Guerina, 1997)
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
obligat intraselular Toxoplasma gondii (Kasper, 2005).
2.2.2 Sejarah dan Epidemiologi
Toxoplasma gondii diisolasi pertama kali oleh Nicolle dan Manceaux di
Afrika utara dari seekor tikus. Nama T. gondii berasal dari nama tikus tersebut
yaitu Ctenodactylus gondi. Toxon dalam bahasa latin berarti bow, berarti
organisme yang berbentuk bulan sabit (Black & Boothroyd, 2000; Pommerville,
2010).
Toxoplasma gondii secara luas menginfeksi burung dan mamalia.
Frekuensi infeksi pada seluruh populasi berkisar antara 5%-10%. Besarnya
insidensi toksoplasmosis diberbagai negara bervariasi yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti iklim, pola makan, dan sanitasi penduduk. Populasi dewasa
di Polandia 60% seropositif dan 50% perempuan usia reproduksi terinfeksi T.
gondii. Prevalensi serokonversi di Amerika Serikat adalah 5-30% pada individu
berusia 10-19 tahun dan 10-67% berusia diatas 50 tahun. Seroprevalensi
meningkat 1% pertahun, dan didapatkan lebih tinggi di Amerika Tengah, Prancis,
Turki, dan Brazil. Penduduk Indonesia sebagian besar pernah terinfeksi
Toxoplasma yang diketahui dari pemeriksaan antibodi pada donor darah di Jakarta
didapatkan 60% diantaranya mengandung antibodi antitokso. (Priyana, 2000;
Lopez et al.,2007; Bojar & Szymańska, 2010).
Insidensi infeksi T. gondii pada wanita hamil di di Inggris berkisar 10 % -
55%. Diperkirakan infeksi akut dalam kehamilan terjadi dalam 1- 4 kasus per 1000
10
kelahiran. Kongenital toksoplasmosis saat ini dinyatakan sebagi infeksi intrauterin
kedua terbanyak di dunia. Risiko transmisi terhadap fetus berkisar 0,6-1,7/1000
kehamilan, di literatur lain dikatakan dapat mencapai 12%. Risiko meningkat
sesuai usia kehamilan dan 90% kasus adalah infeksi yang terjadi pada minggu
terakhir kehamilan. Risiko berkembangnya kongenital toksoplasmosis pada fetus
berkurang pada kehamilan yang lebih tua karena pengaruh derajat maturitas fetus.
Risiko infeksi pada multipara dua kali lebih tinggi dibandingkan nulipara (Vogel
et al, 1996).
2.2.3 Imunopatogenesis
Toksoplasma memasuki tubuh hospes melalui jalur oral sebagai rute
transmisi utama, kemudian menembus epitel intestinal lalu menyebar sampai ke
jaringan lebih dalam, dan dapat juga melintasi barier biologis mencapai lokasi
immunologically privileged sites seperti plasenta. Toksoplasma dapat menginvasi
berbagai tipe sel berinti termasuk leukosit intraepitelial sehingga dapat menyebar
cepat secara hematogen (Green & Ware, 1997; Barragan & Sibley, 2002; Ware,
2008).
Proses masuknya Toksoplasma kedalam sel hospes merupakan proses aktif
dan dinamis yang terjadi sangat cepat dalam waktu kurang dari 30 detik. Peristiwa
molekuler yang pasti mengenai masuknya Toksoplasma ke dalam sel sasaran
belum sepenuhnya dimengerti, tetapi secara umum proses penetrasi ke dalam set
target terdiri dari tiga tahapan yaitu: perlekatan (attachment), penetrasi aktif
(active penetration), dan pembentukan vakuola parasitoforus (vacuole formation).
11
Setiap tahap terintegrasi dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan (Black &
Boothroyd, 2000; Coppens & Joiner, 2001;Carruthers, 2002).
Kontak erat Toksoplasma dengan permukaan membran sel sasaran
mengawali tahap perlekatan. Permukaan membran sel Toksoplasma dan sel
sasaran bermuatan negatif yang menimbulkan gaya tolak menolak antara
keduanya, tetapi Toksoplasma memiliki mekanisme untuk melawan daya tolak
tersebut sehingga dapat mendekati sel sasaran. Serangkaian proses molekuler
berikutnya terjadi antara ligand pada pemukaan takizoit dengan reseptor pada sel
sasaran. Ligand adalah golongan Surface Antigen 1 (SAG1) yang mengandung
gugus GPI sedangkan reseptor adalah molekul golongan lektin yang identitas detil
molekulnya belum diketahui sampai saat ini. Ikatan SAG 1 dan ligan
menyebabkan timbulnya serangkaian reaksi yang akan menggerakkan motor
aktinomiosin pada dinding sel Toksoplasma (Black & Boothroyd, 2000;
Subekti&Arrasyd, 2006).
Tahapan berikutnya yaitu penetrasi aktif mengikuti gerakan motor
aktinimiosin, dengan suatu gerakan gliding (menggelinding) menyerupai spiral.
Penetrasi aktif melakukan invaginasi menembus membran sel sasaran terjadi
dalam waktu yang cepat melebihi kecepatan proses fagositosis (Gambar 2.3), yang
segera diikuti dengan pembentukan vakuola parasitoporus untuk membentuk
dinding kista. Organela pada bagian apeks parasit berperanan dalam proses ini
termasuk mikronema, protein roptri, dan berbagai jenis protein GRA dari granul
padat. Mikronema mengarahkan pengenalan dan penempelan ke sel target, protein
roptri menghasilkan enzim untuk pembentukan dinding kista, sedangkan protein
12
GRA berperan dalam pematangan vakuola menjadi kompartemen yang sesuai
untuk perkembangan takizoit maupun bradizoit intraselular (Black & Boothroyd,
2000; Subekti &Arrasyd, 2006; Ware, 2008).
.
Kerusakan masif dari jaringan atau organ target yang telah terinfeksi dimulai
sejak hari pertama dan terus berlanjut. Proses destruksi jaringan disebabkan oleh
siklus litik (lytic cycle) yang merupakan proses perkembangan secara vegetatif
pada siklus aseksual. Proses terjadinya litik pada sel yang diinfeksi takizoit
T.gondii sampai saat ini belum sepenuhnya dipahami secara rinci dan
komprehensif. Virulensi parasit juga turut menentukan beratnya kerusakan yang
terjadi. Toksoplasma terdiri dari tiga tipe berdasarkan polimorfise DNA, dimana
tipe I lebih virulen dibandingkan tipe II dan III. Perbedaan virulensi dikaitkan
dengan kemampuan migrasi dan transmigrasi, dimana tipe I memiliki kemampuan
migrasi lebih tinggi dan Kemampuan transmigrasi mencapai 10 - 100 kali lebih
13
Gambar 2.4 . Toxoplasma Melintasi Membran Sel Sasaran (Black and Boothroyd, 2000)
efisien dibandingkan tipe II dan III . dibandingkan tipe II maupun tipe III (Black &
Boothroyd, 2000; Morrissette & Sibley, 2002 ; Sibley, 2003; Denker, 2007).
Apoptosis sel hospes juga terjadi karena T. gondii mampu memicu
overproduksi sitokin tipe I yaitu IFN yang merupakan sitokin proinflamasi dan
makrofag yang telah terinfeksi gagal menghindar dari berbagai sinyal yang
menginduksi apoptosis termasuk penurunan IL-2. Hal ini berkaitan dengan
mekanisme antiapoptosis yang dimiliki T. gondii untuk menjaga viabilitas sel
hospes (Black & Boothroyd, 2000).
Fase akut toksoplasmosis ditandai dengan penyebaran dan pembelahan
takizoit dengan cepat. Pada proses pembelahan takizoit (endodiogoni atau
poliendodiogoni), sel yang telah terinfeksi takizoit akan pecah setelah takizoit
membelah menjadi 64-128 takizoit baru pervakuola atau dapat mencapai 256
takizoit baru dalam waktu 24-48 jam pascainfeksi. Takizoit baru akan menyebar
dan menginfeksi sel lain di sekitarnya. Selama fase akut, proliferasi takizoit yang
cepat merupkan penyebab kerusakan dan kematian sel hospes, kerusakan yang
terjadi semakin lama semakin berat dan luas. Pada fase kronik dimana respon
imun spesifik telah berkembang, replikasi melambat, parasit berada dalam bentuk
kista jaringan yang mengandung ratusan hingga ribuan bradizoit (Hu et al., 2004;
Fritsche &Selvarangan, 2007).
Toksoplasma mempunyai kemapuan memanipulasi sistem imun karena
itu disebut sebagai master manipulator of host response. Selain itu parasit ini
menimbulkan keadaan yang paradoks, disatu sisi memicu respon sitokin yang
berfungsi protektif sedangkan disisi lain juga mampu mensupresi fungsi sistem
14
imun. Karena itu toksoplasma mampu bertahan didalam sel hospes dalam jangka
waktu panjang. Mekanisme penekanan sistem imun oleh toksoplasma dapat terjadi
melalui beberapa jalur (Gambar 2.5) (Denker, 2003).
Supresi sistem imun pada infeksi Toxoplasma gondii terjadi melalui
beberapa jalur, yaitu: (i) penekanan sitokin proinflamasi akibat hambatan terhadap
aktivasi kaskade (nuclear factor kappa B) NFκB yang merupakan jaras sinyal
intraselular, (ii) hambatan terhadap STAT1 yang merupakan faktor transkripsi
yang terlibat dalam ekspresi Mayor Histocompatibility Compleks (MHC) class I
dan II, (iii) hambatan terhadap aktivasi kaspase dan pelepasan sitokrom
mitokondria, (iv) induksi LXA4 dan interleukin (IL-10) yang menyebabkan
15
Gambar 2.5. Jaras Imunosupresi Pada Infeksi Toxoplasma gondii (Denker, 2003)
supresi terhadap interleukin 12(IL -12). Selain itu terdapat teori lain yang
menerangkan kemampuan Toxoplasma menghindar dari sistem imun. Menurut
teori tersebut parasit berada dalam tubuh hospes dalam beberapa stadium. Hospes
memerlukan pengenalan terlebih dahulu pada setiap stadium sebelum memulai
proses eliminasi, selain itu kecepatan penetrasi melebihi kecepatan fagositosis
sehingga sel fagositik gagal menginisiasi kaskade sinyal untuk memulai proses
fagositosis (Tamoyo, 2001; Denker, 2003; Filisetti & Candolfi, 2004).
Kemampuan supresi sistem imun disertai juga kemampuan menghindar
melalui mekanisme escape mechanisme. Pada mekanisme ini vakuola
parasitoporus banyak berperan sebagai tepat sekuesterisasi dan tempat
perlindungan. Protein ROP2 dan GRA5 yang dihasilkan parasit dapat merubah
permiabilitas membran vakuola parasitoporus, mengubah struktur, dan
memfasilitasi masuknya nutrisi kedalam vakoula. Vakuola parasitoporus dapat
mencegah prosese asidifikasi didalam makrofag dan fusi dengan lisosom sehingga
takizoit terhindar dari degradasi enzimatik yang merupakan mekanisme pertahanan
sel hospes (Radke et al.,2007).
Bagaimana kista bradizoit bisa menghindar dari sistem imun hospes masih
menjadi misteri, diduga karena keterlibatan berbagai protein permukaaan T. gondii
selama infeksi diantaranya protein SUSA1, ditunjang juga oleh peranan
bradyzoite-specific surface antigens sebagai barier proteksi didalam lambung,
sehingga bradizoit stabil terhadap aksi proses pencernaan yang terjadi di lambung
(Pollard et al; 2008).
16
2.2.4 Penyebaran transplasental
Setelah melalui rute transmisi oral, ookista atau takizoit akan menembus
lapisan epitel intestinal, menyebar ke jaringan yang lebih dalam dan dapat
melintasi sawar biologis untuk mencapai jaringan dengan immunologically
privileged seperti plasenta. Jaringan dengan immunologically privileged adalah
jaringan tertentu yang mempunyai kemampuan mentoleransi pengenalan antigen
tanpa menibulkan respon imun inflamasi. Jaringan yang termasuk jaringan dengan
immunologically privileged adalah otak, plasenta dan fetus, mata, dan testis.
Immunologically privileged merupakan mekanisme pertahanan stuktur vital dari
kemungkinan kerusakan akibat respon inflamasi sistem imun, misalnya pada
plasenta dan fetus respon imun tanpa immunologically privileged dapat
menyebabkan tubuh ibu menolak fetus (Green &, Ware,1997).
Keadaan immune privileged pada plasenta dan jaringan khusus itu terjadi
karena drainage limfatik ke jaringan terbatas sehingga membatasi komponen
sistem imun memasuki lokasi tersebut. Faktor lain yang berkontribusi adalah:
ekspresi molekul MHC kelas I yang rendah di lokasi tersebut, kemampuan
menghasilkan sitokin supresif seperti tranforming growht factor (TGF β), dan
adanya ekspesi konstitutif Fas Ligand (Green &, Ware,1997).
Takizoit yang berada didalam monosit di sirkulasi ibu akan mencapai
plasenta dan bermigrasi menembus sel trofoblast untuk mencapai sirkulasi fetus.
Migrasi dapat terjadi karena kontribusi beberapa faktor. Peningkatan sekresi
interferon (IFN) γ akan menyebabkan peningkatan molekul adesi intercellular
adhesion molecule (ICAM)- I yang memfasilitasi adesi monosit yang
17
mengandung takizoit. Meskipun monosit tidak akan masuk ke dalam sirkulasi
fetus, namun takizoit dapat menembus jaringan plasenta secara aktif dengan
gerakan gliding dan kemampuan transmigrasinya, seperti terlihat pada gambar 2.4
(Abbas et al ., 2000; Channon et al ., 2000; Barragan & Sibley, 2002).
2.2.5 Respon Imun Terhadap Infeksi Toksoplasma
Toxoplasma gondii adalah spesies yang mengagumkan karena mampu
memodulasi respon imun hospesnya. Respon imun hospes terhadap infeksi
Toksoplasma sangat kompleks yang melibatkan interaksi berbagai sel komponen
sistem imun dan sitokin. Sistem imun selular merupakan komponen kunci
pertahanan sel hospes (Filisetti &Candolfi, 2004; Subekti, 2006) .
18
Gambar 2.6. Takizoit Menembus Lapisan Trofoblast (els-cdn, 2011)
2.2.5.1 Respon Imun Non Spesifik
Respon sistem imun non spesifik terjadi segera setelah kontak parasit
dengan sel hospes, mencapai puncak pada akhir minggu pertama, dan menurun
sampai tidak terdeteksi pada minggu kedua. Aktivasi makrofag, sel NK, dan sel
lain termasuk netrofil serta sel endotel terjadi pada stadium awal infeksi,
sedangkan sitokin yang berperanan terutama sitokin tipe I yaitu IL-12, IFN γ, dan
TNF α (Filisetti & Candolfi, 2004). Jalur sinyal yang terlibat dalam aktivasi sel
dan sitokin pada stadium awal infeksi terlihat pada Gambar 2.6.
Makrofag, sel dendritik, dan netrofil yang teraktivasi merupakan sumber
utama IL-12 yang akan menginduksi kembali sel tersebut mengasilkan IL-12.
Peranan IL-12 lain adalah meningkatkan diferensiasi sel Th1 dan menginduksi
CD4+, CD8+, dan sel Natur Killer (NK) menghasilkan IFN γ. IFN γ memegang
peranan penting dalam respon terhadap infeksi Toxoplasma yaitu dengan
menginduksi diferensiasi Th1, sel TCD 8+, dan sel NK serta meningkatkan
19
Gambar 2.7. Jalur Sinyal yang Terlibat pada Stadium Awal Infeksi Toxoplasma gondii (Denker, 2003)
produksi IL-12 oleh sel Antigen Presenting Cell (APC). Peranan penting lain
adalah karena efek sitolitik IFN γ terhadap sel yang telah terinfeksi melalui
pembentukan nitric oxide, induksi IGTP, dan LRG-47. Nitric oxide sangat efektif
untuk eliminasi parasit intraselular, sedangkan IGTP dan LRG-47 merupakan
molekul GTP binding protein yang berada di retikulum endoplasmik sel hospes
yang berperan mengendalikan perkembangan takizoit. Beberapa molekul
transduksi sinyal intraselular seperti STAT 1 dan STAT4 terlibat pada tahap awal
infeksi (Denker, 2003).
Sel dendritik, makrofag dan netrofil merupakan komponen seluler sistem
imun non spesifik yang berperanan membatasi proliferasi parasit pada stadium
awal melalui aktivasi sitotoksik dan presentasi antigen Toxoplasma ke sel sistem
imun spesifik. Netrofil menghasilkan TNF α yang memiliki efek kemotaktik dan
aktivator kuat terhadap sel dendritik dan makrofag sehingga efek sitotoksik sel
tersebut meningkat. Aksi sitotoksik terjadi melalui mekanisme non oksidatif dan
mekanisme non dependent oxygen dengan induksi dari IFN γ. Mekanisme
oksdatif melalui produksi nitric oxide (NO) oleh makrofag yang teraktivasi
sedangkan mekanisme non dependent oxygen adalah melalui induksi
penghancuran triptofan oleh indoleamin 2,3 dioksigenase. Triptofan merupakan
substansi yang sangat dibutuhkan untuk replikasi parasit (Filisetti & Candolfi,
2004; Ware, 2008).
2.2.5.2 Respons Imun Spesifik
Perlindungan dari sistem imun spesifik terutama dilakukan oleh komponen
selular, karena T. gondii adalah parasit intrasellular, komponen terutama Limfosit
20
T CD4+ dan CD8+ . Molekul APC sistem imun non spesifik akan
mempresentasikan antigen ke TCR sel limfosit T. Interaksi sistem imun non
spesifik dengan spesifik terlihat pada gambar 2.6 (Filisetti & Candolfi, 2004;
Bradley & Pleass, 2006; Subekti &Arrasyd, 2006).
Toxoplasma gondii memasuki epitel mukosa intestinal melalui beberapa
cara, yaitu dengan menginfeksi langsung sel enterosit, melalui tight junctions atau
celah antar epitel, atau dengan menginfeksi sel dendritik. Sel anterosit yang
terinfeksi akan mengalami gangguan fisiologi dan morfologi akan menghasilkan
radikal bebas yaitu nitric oxide (NO). Sel enterosit juga mensekresikan kemokin
dan sitokin yang akan menarik sel PMN, makrofag, dan sel dendritik yang dapat
membunuh mikroba secara langsung. Sel-sel tersebut menghasilkan sitokin IL-12
yang akan mengaktifkan sel T CD4+. Sel T yang teraktivasi bersama-sama
21
Gambar 2.7 Interaksi Komponen sistem imun dalam respon terhadap Invasi Toksoplasma (Science Direct)
dengan sel NK dan NKT akan mensekresikan IFN-γ yang akan mengaktifkan
makrofag, sel dendritik, dan enterosit untuk mengeliminasi parasit. IL-12 dan IFN
γ yang meningkat selama respon infeksi menyebabkan diferensiasi Th 0 ke Th1
(gambar 2.6). Sementara itu leukosit intra epitelial berperan menghasilkan TGF-β
yang akan membatasi produksi IFN-γ (Filisetti & Candolfi, 2004, Science Direct).
Sel T CD4+ yang teraktivasi akan mensekresikan berbagai sitokin yaitu:
IL-2 IFN-γ, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Sel TCD4+ ini berperanan pada fase awal
infeksi, akan tetapi secara keseluruhan kontrol terhadap infeksi oleh Toksoplasma
adalah kerjasama yang sinergis antara Sel TCD4+ dan Sel T CD8+. Sel T CD8+
diaktivasi oleh IL-2 yang dihasilkan Sel T CD4+, memiliki kemampuan sitotoksik
terhadap takizoit atau sel yang telah diinfeksi oleh T. gondii. Aktivitas ini
berperanan dalam pertahan terhadap infeksi pada fase kronik. Sel Limfosit T
memiliki memori yang menetap berasal dari kista intraseluler yang ruptur secara
teratur dan periodik (Filisetti & Candolfi, 2004)
22
Peranan sistem imun humoral tidak sebesar perlindungan sistem imun
selular terhadap infeksi Toksoplasma, meskipun untuk diagnosis peranannnya
sangat penting. Hal ini karena Toksoplasma adalah parasit intraselular. Antibodi
yang berperan terutama Ig G dan IgM untuk eliminasi T gondii ektraselular
melalui aktivasi komplemen dengan terbentuknya membrane attack komplemen
(MAC) yang menyebabkan lisis parasit. Antibodi juga menstimulasi opsonisasi
dan meningkatkan fagositosis oleh makrofag. Takizoit dan antibodi membentuk
kompleks antigen antibodi sehingga lebih mudah difagosit dan menyebabkan fusi
vakuola parasitoporus dengan lisososom. Fusi menyebabkan destruksi takizoit
didalam sel. Keterbatasan tersebut dibuktikan pada penelitian terhadap tikus
percobaaan imunodefisiensi yang diberi PBMC, satu kelompok diinjeksi dengan
antigen Toksoplasma sedangkan kelompok lainnya tidak. Kadar antibodi anti
23
Gambar 2.8. Diferensiasi sel T helper pada infeksi parasit intraselular (Burtis &Ashwood, 2006)
Toksoplasma (Ig M dan IgG) didapatkan tidak jauh berbeda antara kedua
kelompok tersebut.(Alfonzo et al.,2005; Subekti & Arrasyd, 2006; Ware 2008).
2.2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas untuk toksoplasmosis tidak ada, dan dapat
menyerupai penyakit infeksi lain. Gejala klinis pada kondisi imunokopeten
ringan, bahkan tidak bergejala. Gejala yang mungkin ditemui pada wanita hamil
adalah demam yang berkepanjangan, sakit kepala, pembesaran kelenjer limfe, dan
mialgia. Hepatomegali dan hepatitis kadang dapat dijumpai. Gejala klinis yang
berat dijumpai pada kasus immunokomprimais dan pada janin yang terinfeksi
secara kongenital (Pohan, 2007; Lopez.,et al, 2007).
Akibat yang ditimbulkan toksoplasmosis kongenital dapat beragam.
Perkembangan T. gondii pada fetus dapat mengakibatkan kematian intrauterin
yang diakibatkan oleh hidrosepalus, mikrosepali, dan kalsifikasi intraserebral.
Pada kasus yang lebih ringan, kerusakan yang terjadi tidak berat seperti retinitis
atau korioditis. Munculan klinis dapat timbul beberapa tahun setelah infeksi.
Kematian intrauterin, mikrosepali, atau hidrosephali dengan kalsifikasi
intrakaranial dapat terjadi apabila infeksi didapat pada paruh pertama kehamilan.
Infeksi pada paruh kedua kehamilan biasaya asimptomatik saat lahir meskipun
kadangkala dapat dijumpai demam, hepatosplenomegali, dan ikterik. Trias klasik
untuk kongenital toksoplasmosis terdiri dari korioretinitis,hidrosepalus, dan
kalsifikasi intrakranial. Gejala lain yang dapat dijumpai pada bayi adalah anemia,
retardasi psikomotor, dan gangguan konvulsif dapat juga muncul beberapa bulan
24
sampai beberapa tahun kemudian (Vogel et al.,1996; NCCLS, 2004; Bojar &
Szymańska, 2010).
2.2.7 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penting untuk menegakkan diagnosis
toxoplasmosis dalam kehamilan, dengan ditemukannya antibodi spesifik terhadap
Toxoplasma. Tidak ada satupun pemeriksaan laboratorium tunggal yang
memuaskan untuk menegakkan diagnosis toksoplasmosis, karena itu dianjurkan
melakukan pemeriksaan sekuensial atau gabungan beberapa metode pemeriksaan.
Diagnosis toksoplasmosis dalam kehamilan berdasarkan pemeriksaan Ig G, Ig M,
dan aviditas Ig G. Pemeriksaan aviditas Ig G merupakan pemeriksaan yang
penting dalam diagnosis toksoplasmosis dalam kehamilan untuk dapat mengetahui
waktu terjadi infeksi dan membedakan infeksi akut dan kronik. Hal ini penting
dalam penatalaksanaaan untuk meminimalkan efek pada janin (Lappalainen &
Hedman , 2004; NCCLS, 2004).
Antibodi IgM terlihat lebih awal dan menurun lebih cepat dibandingkan IgG,
dan pada sebahagian besar kasus titernya menjadi negatif dalam beberapa bulan
meskipun ada juga yang melaporkan masih positif selama fase kronik bahkan
masih dapat terdeteksi sampai 12 tahun setelah infeksi akut, sehingga hasil Ig M
positif tidak dapat sepenuhnya menyatakan infeksi primer sedang terjadi. Sebuah
penelitian pada 206 wanita hamil dengan Ig M antitoksoplasma positif akan tetapi
hanya 30 diantaranya yang berhubungan dengan infeksi primer. Oleh karena itu
25
pemeriksaan konfirmasi tetap dibutuhkan walaupun didapatkan hasil Ig M positif
(Mantoya, 2002; Montoya , Huffman & Remington, 2004).
Hasil positif Ig M pada sampel tunggal dapat beberapa kemungkinan
interpretasi: Pertama berarti nfeksi baru didapat pada saat itu, kedua nfeksi yang
didapat jauh sebelum pemeriksaan, dan ke kemungkinan ketiga hasil positif palsu
(Mantoya, 2002).
Antibodi IgG terlihat 1–2 minggu setelah infeksi terjadi, menetap dalam
1–2 bulan, menurun, untuk kemudian menetap seumur hidup. Saat ini sejumlah
tes untuk mengetahui aviditas IgG Toksoplasma telah tersedia untuk membantu
membedakan infeksi akut dengan kronik. Meskipun demikian, aviditas Ig G yang
rendah tidak dapat dasar tunggal untuk menetapkan diagnosis infeksi akut,
dibutuhkan beberapa pemeriksaan yang dilakukan dalam interval beberapa minggu
kemudian (Lefevre-Pettazzoni et al., ; 2006)
Americans Colege of Obsetricians and Gynecoogist on Perinatal Viral
And Parasitic Infections menetapkan pemeriksaan skrining dilakukan terhadap
perempuan hamil yang berisiko tinggi atau yang pada pemeriksaan USG
menunjukkan kecurigaaan hidrosepalus, kalsifikasi intrakranial, mikrosepali, fetal
growth retardation, ascites atau hepatospenomegali (Jones, Lopez, & Wison ,
2003; Remington, 2005)
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis toksoplasmosis dalam kehamilan ditegakkan dari gejala klinis
dan hasil pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis toksoplasmosis dalam
26
top related