imunologi
Post on 31-Oct-2014
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS MAKALAH IMUNOLOGI
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pengampu: Dra. Refdanita M. Si
Oleh:
RIZKY ALFIANI C
NIM. 12334743
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel
tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.
Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat
menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Pada keadaan normal,
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan
sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan
suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Atau bisa dikatakan
hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi
hipersensitif, yaitu:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4. Reaksi Tipe IV
Manisfestasi dan meklanisme reaksi hipersensitivitas
Tip
e
Manisfestasi Mekanisme
I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya Ig E
II Antibodi terhadap sel Ig G dan Ig M
III Kompleks antibodi-antigen Ig G (terbanyak) atau Ig M
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitisasi
BAB II
ISI
1. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas
mastosit dengan aktivasi farmakologik.
Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi
IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada
permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan
tersensitisasi (fase sensitisasi).
Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama,
tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20
jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi,
yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel
mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat
kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan
dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder
menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat
(prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and enzim).
Mediator Primer :
Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
ECF-A : Kemotaksis eosinofil
NCF-A : Kemotaksis eosinofil
Protease : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
Mediator Sekunder :
Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Prostaglandins : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil
Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I
Faktor pemicu reaksi alergi :
a. Defisiensi sel T
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE pada
penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang disusui dengan ASI
dan dengan susu bubuk.
b. Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi
penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE.
c. Faktor lingkungan
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa
sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
a. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung dari tipe
alergen yang masuk, misalnya :
1) Batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi (alergi rhinitis)
yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa : pollen, bulu
binatangm debu, spora.
2) Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto polos kontraksi yang
mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak, seperti pada penderita
asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
3) Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan. Makanan yang
biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi,
telur, makanan laut
b. Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon dari sel
mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi dilepaskan dalam
jumlah yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang
menyebabkan tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi arteriol sehingga tekanan darah
menurun dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar
ke jaringan. Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena
tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen
dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah.
Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I
adalah sebagai berikut :
a. Anafilatoksis Lokal
1) Menghindari alergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi.
2) Bila alergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat digunakan
antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari sel mastosit., seperti
Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel mast, kemungkinan dengan
menghambat influks Ca2+. Bila terjadi sesak nafas pengobatan dapat berupa
bronkoditalor (leukotriene receptor blockers,seperti Singulair, Accolate) yang dapat
merelaksasi otot bronkus dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus.
3) Injeksi alergen secara berulang dapar dosis tertentu secara subkutan dengan harapan
pembentukan IgG meningkat sehingga mampu mengeliminasi alergen sebelum alergen
berikatan dengan IgE pada sel mast. Proses ini disebut desensitisasi atau
hiposensitisasi.
b. Anafilatoksis Sistemik
Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin
(meningkatkan tekanan darah) atau antihistamin (memblok pelepasan histamine) secara
intravena.
Untuk mengetahui hal-hal yang dapat menginduksi reaksi alergi pada seseorang dapat
dilakukan tes kulit. Tes kulit dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab alergi. Test
dilakukan dengan menginokulasi potensial alergen dan setelah diinkubasi dalam kondisi
sesuai (biasanya 24 jam) bila terjadi benjolan merah menunjukkan respon positif. Respon
terhadap alergen diukur untuk mengetahui tingkat keparahan reaksi alergi yang
ditimbulkan. Tidak semua respon positif ditunjukkan dengan respon atopik (merah dan
bengkak). Oleh karena itu, biasanya dilakukan pengukuran jumlah Ig E dengan
modification of enzyme immunoassay (ELISA) setelah penyuntikan allergen.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai
dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau
antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.
Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.
Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe
II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik,
reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah
sebagai berikut :
Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk
Fc
Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
a. Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB
dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig
M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi
(anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB
tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung
antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B.
Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang
paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah
golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat,
reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat
pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem
yang lepas. Mekanisme reaksi transfusi adalah menghancurkan sel darah merah asing oleh
sistem komplemen yang distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan
hemoglobinuria.
Gambar 2. Reaksi Transfusi
b. Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian
eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang
akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung
kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel
yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit.
Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Gambar 3. Mekanisme HDN
c. Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin,
tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
d. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1) Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat. Dalam hal ini
baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan reaksi.
2) Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada permukaan eritrosit.
Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh komplemen yang diaktivasi oleh kompleks
antigen-antibodi tersebut.
3) Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada antigen eritrosit
sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan suatu
elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi yang bersifat
sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan kepekaan itu akan hilang tidak
lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini telah ditentukan pada anemia hemolitik
yang kadang-kadang dihubungkan dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau
fenasetin, pada agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau
quinidine dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin disebabkan
oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan trombosit,
sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi; pemanasan sebelumnya pada suhu 56oC
selama 30 menit akan menjadikan komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek
tersebut.
Selain reaksi tipe II, reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi
anafilaktik apabila melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein,
atau reaksi tipe IV pada obat yang digunakan topikal.
Kerusakan pada Leukosit dan Platelet Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk
neutrofil dan limfosit, contohnya pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi
70% dari kasus purpura trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi
peningkatan pembuangan platelet dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid dapat
mencegah penutupan luka. Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh obat.
e. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi apabila
resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan transplantasi tersebut sehingga
sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien telah mengandung antibodi terhadap
antigen jaringan transplantasi bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu
singkat, yaitu beberapa menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai.
Antibodi yang terdapat dalam darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang
terdapat pada permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat disebabkan
antibodi sistem ABO karena banyak jaringan mengandung antigen ABO. Kerusakan
terjadi karena antibodi dan aktivasi komplemen dalam pembuluh darah yang
menyebabkan rekruitmen dan aktivasi neutrofil dan trombosit. Mungkin juga antibodi
yang terlibat adalah antibodi terhadap antigen MHC kelas I, bila sebelumnya resipien
pernah terpapar pada jaringan transplantasi yang tidak sesuai (inkompatibel).
Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi segera setelah
transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam setelah revaskularisasi
tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul oleh kerusakan pembuluh darah
glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus terdapat dalam arteriol dan jaringan
transplantasi mengalami kerusakan irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam
kerusakan jaringan adalah neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui
reseptor Fc, C3b dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya
superoksida, enzim dan vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler dan kerusakan jaringan setempat.
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan untuk
penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala saja.
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam
keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh
jaringan retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan
reaksi hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah,
menimbulkan pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai
jaringan.
b. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus
menerus yang berikatan dengan jaringan self.
c. Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat
terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan
antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi bereaksi dengan
antigen bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan
reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator
oleh mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan
kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut
melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan
enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,
proses diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan
sekitar kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli
ginjal, kapiler persendian).
Gambar 4. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe III
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung
pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan
relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila
kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk
cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi
hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan
eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau mungkin
juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana antigen yang
berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi
serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan
reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat
pengendapan kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda
pula.
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi
sistemik seperti:
Demam, nyeri, malaise
Gatal, edema
Pengurangan komplemen di dalam darah
Glomerulonephritis (ginjal)
Arthritis (persendian)
Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
a. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai
ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh
hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar
dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan
produksi antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks
imun berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit
kompleks imun.
b. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin
yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan
secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak
mudah melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan
kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
c. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah
berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur
klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat
menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan
melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu
dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi
komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan
memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa
kompleks imun yang paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam
jaringan.
d. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular.
Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya
oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan
penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil,
dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas
vascular.
e. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan
darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus
dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan
ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat
turbelensi.
f. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat
tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada
arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun
selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan
oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
Obat anti-inflamasi\antihistamin
Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin.
4. Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi,
tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu
sekitar 2-3 hari untuk berkembang.
Type Reaction time Clinical
appearance
Histology Antigen and site
Contact 48-72 hr eczema lymphocytes, followed by
macrophages; edema of
epidermis
epidermal ( organic
chemicals, poison ivy,
heavy metals, etc.)
Tuberculin 48-72 hr local
induration
lymphocytes, monocytes,
macrophages
intradermal
(tuberculin, lepromin,
etc.)
Granuloma 21-28 days hardening macrophages, epitheloid
and giant cells, fibrosis
persistent antigen or
foreign body presence
(tuberculosis, leprosy,
etc.)
Gambar 5. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe IV
Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang membentuk
kompleks dengan MHC tipe 1 atauoun tipe 2. sel penyaji antigen dalam reaksi ini adalah
makrofag, yang mensekresi IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi dari sel T CD4+). Sel
T CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan interferon, untuk menginduksi pelepasan sitokin
tipe 1. Sitokin ini akan memediasi respon imun. Sel T CD8+ yang aktif akan
menghancurkan sel target, sedangkan makrofag memproduksi enzim hidrolitik, sehingga
dengan adanya pathogen intraselular, akan membentuk sel raksasa multinukleus.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
Reaksi akibat pengujian pada kulit
Rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air,
candidiasis, histoplasmosis
Kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
Diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
Sklerosis ganda dimana limfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk
mengahncurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron
Adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari
kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima
Pengobatan menggunakan imunossupresan seperti syklosporin A atau FK-506
(Tacrolimus) dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ.
Kedua obat ini menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat
proses transkripsi IL-2. pengobatan dapat pula menggunakan kortikosteroid.
BAB III
KESIMPULAN
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel
dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem
ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker
dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi
tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan
demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan
pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan
meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
Reaksi hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan mekanisme dan lama waktu reaksi
hipersensitif, yaitu reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.
Comparison of Different Types of hypersensitivity
characteristic Type I
(anaphylactic)
Type II
(cytotoxic)
Type III
(immune
complex)
Type IV
(delayed type)
Antibody Ig E Ig G, Ig M Ig G, Ig M None
Antigen exogenous cell surface soluble tissues & organs
Response time 15-30 minutes Minutes-hours 3-8 hours 48-72 hours
Appearance weal & flare lysis & necrosis erythema &
edema, necrosis
erythema &
induration
Histology basophils &
eosinophil
antibody &
complement
complement &
neutrophils
monocytes &
lymphocytes
Transferred with antibody antibody antibody T-cells
Examples allergic asthma,
hay fever
erythroblastosis
fetalis,
goodpasture’s
nephritis
SLE, farmer’s
lung disease
tuberculin test,
poison ivy,
granuloma
Daftar Pustaka
http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.html
http://allergyclinic.wordpress.com/2012/02/01/imunologi-dasar-reaksi-hipersensitivitas/
http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2010/10/16/mekanisme-respon-tubuh-terhadap-
serangan-mikroba/
http://filzahazny.wordpress.com/2008/11/01/hipersensitivitas-2/
http://zahra-sanjaya.blogspot.com/2012/06/makalah-dasar-dasar-imunologi.html
top related