fix
Post on 17-Jan-2016
10 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan masalah medik, sosial dan ekonomik yang sangat
besar bagi pasien dan keluarganya, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang
yang memiliki sumber-sumber terbatas untuk membiayai pasien dengan gagal ginjal
terminal. Sebagian besar Negara - negara yang sedang berkembang ini jarang memiliki
registrasi nasional untuk penyakit ginjal.
Dengan demikian insidensi dan prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) serta
bebannya terhadap sistem pelayanan kesehatan dan luaran pada pasien dengan gagal
ginjal terminal tidak diketahui. Insidensi tahunan gagal ginjal terminal dilaporkan
bervariasi mulai dari 4 per sejuta di Bolivia sampai 254 per sejuta penduduk di Puerto
Rico. Indonesia sendiri belum memiliki sistem registri yang lengkap di bidang penyakit
ginjal, namun di Indonesia diperkirakan 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000
kasus baru dalam setahun. Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan
masyarakat di seluruh dunia. Di Amerika Serikat (AS), ditemukan peningkatnya insiden
dan prevalensi gagal ginjal kronik. Prevalensi dari penyakit ginjal kronik secara umum
didefinisikan sebagai penyakit yang bertahan lama, kerusakan fungsi ginjal yang
irreversible, dan memiliki angka kejadian lebih tinggi dibandingkan penyakit ginjal
stadium akhir atau terminal. Sekarang ditemukan > 300.000 pasien menderita penyakit
ginjal kronik di negara Amerika Serikat. Di negara negara berkembang lainnya, insiden
ini diperkirakan sekitar 40 - 60 kasus perjuta penduduk per tahunnya. Selain itu
mahalnya tindakan hemodialisis masih merupakan masalah besar dan diluar jangkauan
sistem kesehatan. Survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia menunjukkan, 12,5 persen
dari populasi mengalami penurunan fungsi ginjal. Secara kasar itu berarti lebih dari 25
juta penduduk. Di seluruh dunia tahun 2005 ada 1,1 juta orang menjalani dialisis kronik.
Tahun 2010, diproyeksikan lebih dari 2 juta orang.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengeksresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerolus diikuti dengan reabsobsi jumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar tubuh
dengan urine melalui sistem pengumpul urine. (Price, Wilson. 2006).
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan
fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2
hal 1448). Gagal ginjal kronis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversibel tanpa
memperhatikan penyebabnya (Isselbacher, 2000).
Inflamasi merupakan proses yang kompleks dalam perkembangan patologi
terjadinya gagal ginjal. Inflamasi mempunyai peranan penting dalam proses
aterogenesis. CRP merupakan petanda inflamasi yang berkaitan dengan risiko
morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien gagal ginjal.
Terapi penggantti ginjal yang tersedia ada dua pilihan yaitu dialisi atau cangkok
ginjal. Sedangkan metode dialisis ada dua yaitu hemodialisa yang sering disebut cuci
darah dan peritoneal dialysis. Pada makalah ini kami akan membahas mengenai pengaruh
vitamin C terhadap C-REACTIVE PROTEIN sebagai pertanda inflamasi pada Gagal
Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler, agar mengetahui lebih jauh tentang vitamin
C yang dapat menurunkan kadar CRP pada pasien Gagal Ginjal Kronik dengan
Hemodialisis Reguler.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil dalam jurnal:
1. Bagaimana efektivitas vitamin C dalam menurunkan kadar CRP pada pasien
Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler?
2. Bagaimana implikasi keperawatan dalam penggunaan vitamin C pada pasien
Gagal Ginjal Kronik ?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian:
1. Untuk mengetahui keefektivan penggunaan vitamin C untuk menurunkan CRP
pada penderita Gagal Ginjal kronik dengan Hemodialisis Reguler.
2. Untuk mengetahui implikasi keperawatan dalam penggunaan vitamin C pada
pasien Gagal Ginjal Kronik.
Manfaat penelitian:
1. Memperkaya khazanah keperawatan Indonesia dalam terapi farmakologi dalam
managemen pengobatan pada klien dengan Gagal Ginjal Kronik.
2. Mengetahui efektivitas vitamin C yang diberikan pada klien dengan Gagal Ginjal
Kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 PENGERTIAN VITAMIN C
Vitamin C atau asam askorbat adalah suatu senyawa beratom karbon 6 yang dapat
larut dalam air. Vitamin C merupakan vitamin yang disintesis dari glukosa dalam hati
dari semua jenis mamalia, kecuali manusia. Manusia tidak memiliki enzim gulonolaktone
oksidase, yang sangat penting untuk sintesis dari prekursor vitamin C, yaitu 2-keto-1-
gulonolakton, sehingga manusia tidak dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya
sendiri (Padayatti, 2003).
Di dalam tubuh, vitamin C terdapat di dalam darah (khususnya leukosit), korteks
anak ginjal, kulit, dan tulang. Vitamin C akan diserap di saluran cerna melalui
mekanisme transport aktif (Sherwood, 2000).
1.2 MANFAAT VITAMIN C
Ada beberapa manfaat vitamin C yang telah diketahui sampai saat ini, yaitu:
a. Vitamin C sebagai Penguat Sistem Imun Tubuh
Vitamin C dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Akan tetapi hal ini masih
kontroversial, dan belum ada kesepakatan yang jelas untuk mekanismenya (Guyton,
2008).
b. Vitamin C sebagai Antioksidan
Vitamin C merupakan suatu donor elektron dan agen pereduksi. Disebut anti oksidan,
karena dengan mendonorkan elektronnya, vitamin ini mencegah senyawa-senyawa
lain agar tidak teroksidasi. Walaupun demikian, vitamin C sendiri akan teroksidasi
dalam proses antioksidan tersebut, sehingga menghasilkan asam dehidroaskorbat
(Padayatty, 2003).
Reaksi reduksi dan oksidasi asam askorbat (Szent-Györgyi, 1937)
Menurut Padayatty (2003), setelah terbentuk, radikal askorbil (suatu senyawa dengan
elektron tidak berpasangan, serta asam dehidroaskorbat dapat tereduksi kembali
menjadi asam askorbat dengan bantuan enzim 4-hidroksifenilpiruvat dioksigenase.
Tetapi, di dalam tubuh manusia, reduksinya hanya terjadi secara parsial, sehingga
asam askorbat yang terlah teroksidasi tidak seluruhnya kembali. Vitamin C dapat
dioksidasi oleh senyawa-senyawa lain yang berpotensi pada penyakit. Jenis-jenis
senyawa yang menerima elektron dan direduksi oleh vitamin C, dapat dibagi dalam
beberapa kelas, antara lain:
Senyawa dengan elektron (radikal) yang tidak berpasangan, contohnya
radikal-radikal oksigen (superoksida, radikal hidroksil, radikal peroksil,
radikal sulfur, dan radikal nitrogen-oksigen).
Senyawa-senyawa yang reaktif tetapi tidak radikal, misalnya asam hipoklorit,
nitrosamin, asam nitrat, dan ozon.
Senyawa-senyawa yang dibentuk melalui reaksi senyawa pada kelas pertama
atau kelas kedua dengan vitamin C.
Reaksi transisi yang diperantarai logam (misalnya ferrum atau cuprum)
Vitamin C dapat menjadi antioksidan untuk lipid, protein, dan DNA, dengan
cara :
Untuk lipid, misalnya Low-Density Lipoprotein (LDL), akan beraksi dengan
oksigen sehingga menjadi lipid peroksida. Reaksi berikutnya akan
menghasilkan lipid hidroperoksida, yang akan menghasilkan proses radikal
bebas. Asam askorbat akan bereaksi dengan oksigen sehingga tidak terjadi
interaksi antara lipid dan oksigen, dan akan mencegah terjadinya pembentukan
lipid hidroperoksida.
Untuk protein, vitamin C mencegah reaksi oksigen dan asam amino pembentuk
peptide, atau reaksi oksigen dan peptida pembentuk protein.
Untuk DNA, reaksi DNA dengan oksigen akan menyebabkan kerusakan pada
DNA yang akhirnya menyebabkan mutasi (Padayatti, 2003).
Jika asam dehidroaskorbat tidak tereduksi kembali menjadi asam askorbat, maka
asam dehidroaskorbat akan dihidrolisis menjadi asam 2,3-diketoglukonat.
Senyawa tersebut terbentuk melalui rupture ireversibel dari cincin lakton yang
merupakan bagian dari asam askorbat, radikal askorbil, dan asam
dehidroaskorbat. Asam 2,3-diketoglukonat akan dimetabolisme menjadi xilosa,
xilonat, liksonat, dan oksalat (Sharma, 2007).
Kerusakan karena oksidan akan menyebabkan penyakit seperti aterosklerosis
dan diabetes melitus tipe 2. Dan kemungkinan juga memiliki peranan dalam
terjadinya diabetes komplikata, gagal ginjal kronik, penyakit-penyakit
degenerasi neuron, arthritis rheumatoid, dan pancreatitis (Padayatty, 2003).
1.3 PENGERTIAN CRP
CRP merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida, pentamer 120
kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi sistemik
yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan petanda inflamasi yang paling
stabil. Berdasarkan rekomendasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC),
cut offs point kadar CRP 3 mg/L digunakan untuk membedakan kelompok penderita
risiko rendah dan risiko tinggi terjadinya penyakit kardiovaskular.
1,2 Peningkatan kadar CRP sebagai konsekuensi dari proses inflamasi kronis
didapatkan pada kondisi seperti individu perokok, diabetes mellitus, stroke, hipertensi,
dislipidemia, gagal ginjal kronik. Pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis
regular, proses inflamasi yang terjadi tampak jelas. Proses inflamasi pada gagal ginjal
kronik disebabkan oleh keterlibatan berbagai macam faktor seperti akumulasi toksin
uremia, malnutrisi, stress oksidatif, disregulasi metabolik dan nutrisi, disfungsi imun,
terapi farmakologi dan ekstrakorporeal.
1.4 HEMODIALISA
Terapi hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan
dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Setyawan, 2001).
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
(Brunner & Suddart, 2001).
Jadi hemodialisis merupakan salah satu dari terapi penggganti ginjal yang
digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal baik akut maupun kronik
dimana tujuannya untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam
urat, dan zat-zat lain dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut.
1.5 PENGARUH HEMODIALISA TERHADAP PENINGKATAN CRP
CRP merupakan petanda inflamasi yang paling stabil. Berdasarkan rekomendasi
dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), cut offs point kadar CRP 3 mg/L
digunakan untuk membedakan kelompok penderita risiko rendah dan risiko tinggi
terjadinya penyakit kardiovaskular. Inflamasi merupakan faktor penting pada
pathogenesis aterosklerosis, yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar serum CRP
pada lebih dari 70% pasien yang menjalani hemodialisis. Akses vaskuler dari
hemodialisis akan menyebabkan infeksi dan inflamasi yang akan menyebabkan
peningkatan kadar CRP, karena CRP merupakan salah 1 penanda inflamasi. Peningkatan
kadar CRP berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard dan kematian kardiak
mendadak. Pada pasien gagal ginjal terjadi peningkatan CRP dan interleukin-6 (IL-6)
sebanyak 25% dari seluruh populasi dan adanya hubungan terbalik antara kadar CRP dan
IL-6 dengan fungsi ginjal.
1.6 PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP PENURUNAN CRP
Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air. Baru-baru ini Dietary
Reference Intake Panel of the Institute of Medicine merekomendasikan diet vitamin C
yang disarankan adalah 90 mg/hari untuk lakilaki dan 75 mg/hari untuk wanita.
Rekomendasi ini berdasarkan data-data penelitian termasuk jumlah yang diperlukan
untuk memelihara konsentrasi netrofil maksimum dengan ekskresi urine yang minimal.
Vitamin C dikatakan mempunyai efek antioksidan baik terhadap oksigen reaktif maupun
nitrogen. Namun efeknya terhadap biomarker inflamasi belum banyak studi yang
mempelajarinya.7 Block et al.8 dalam penelitiannya pada tahun 2004 mendapatkan
penurunan kadar CRP sebesar 24% pada perokok aktif dan pasif yang diberikan vitamin
C 515 mg / hari selama dua bulan. Studi tentang efek vitamin C sebagai antioksidan
berusaha untuk mengetahui mekanisme kerja vitamin C terutama terhadap plak
aterosklerosis. Konsentrasi fisiologis vitamin C secara in vitro dapat menghambat
oxidative modification LDL yang merupakan kejadian penting selama aterogenesis dan
juga meningkatkan sintesis dan aktivitas NO yang menyebabkan penurunan CRP.
Vitamin C juga mempunyai efek anti inflamasi termasuk menurunkan adesi leukosit pada
endotelium dan meningkatkan bioavailability ateroprotektif NO. Vitamin C juga
menghambat aktivasi nuclear factor B (NF-B) yang merupakan pengatur utama ekspresi
gen inflamasi. Pemberian vitamin C dapat memperbaiki disfungsi endotel pada pasien
hiperkolesterolemia.
BAB III
PEMBAHASAN
Efektifitas Pemberian Vitamin C Untuk Menurunkan C-Reactive Protein Sebagai Petanda
Inflamasi Pada Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler
Masalah Klinis
Mortalitas pada pasien gagal ginjal tetap tinggi sekitar 23%, walaupun telah banyak
kemajuan di bidang dialisis dengan penyebab kardiovaskular sekitar 40-45% dari seluruh
penyebab kematian. Komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh penyakit aterosklerosis
merupakan penyebab utama kematian pada pasien gagal ginjal. Inflamasi merupakan faktor
penting pada patogenesis aterosklerosis, yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar serum CRP
pada lebih dari 70% pasien yang menjalani hemodialisis. Peningkatan kadar CRP berhubungan
dengan peningkatan risiko infark miokard dan kematian kardiak mendadak. Pada pasien gagal
ginjal terjadi peningkatan CRP dan interleukin-6 (IL-6) sebanyak 25% dari seluruh populasi dan
adanya hubungan terbalik antara kadar CRP dan IL-6 dengan fungsi ginjal.
Patofisiologi dan Pengaruh Terapi
Vitamin C merupakan antioksidan yang larut dalam air. Baru-baru ini Dietary Reference
Intake Panel of the Institute of Medicine merekomendasikan diet vitamin C yang disarankan
adalah 90 mg/hari untuk laki-laki dan 75 mg/hari untuk wanita. Rekomendasi ini berdasarkan
data-data enelitian termasuk jumlah yang diperlukan untuk memelihara konsentrasi netrofil
maksimum dengan ekskresi urine yang minimal. Vitamin C dikatakan mempunyai efek
antioksidan baik terhadap oksigen reaktif maupun nitrogen. Namun efeknya terhadap biomarker
inflamasi belum banyak studi yang mempelajarinya. Block et al. dalam penelitiannya pada tahun
2004 mendapatkan penurunan kadar CRP sebesar 24% pada perokok aktif dan pasif yang
diberikan vitamin C 515 mg / hari selama dua bulan.
Defisiensi vitamin C sering terjadi pada pasien GGHD akibat restriksi diet sayur dan
buah untuk mencegah terjadinya hiperkalemia, kehilangan vitamin selama dialisis serta
kurangnya asupan akibat adanya sindrom uremia. Bukan hanya konsentrasi total vitamin C yang
berkurang, namun juga berkurangnya bentuk aktif vitamin C yaitu ascorbic acid.
Antioksidan adalah senyawa dalam kadar rendah yang mampu menghambat oksidasi molekul
target sehingga dapat melawan atau menetralisir radikal bebas. Vitamin C merupakan tipe
antioksidan pereduksi yang bekerja dengan mentransfer aton H atau oksigen, atau bersifat
sebagai pemulung.
Saat radikal bebas mengambil elektron dari lipid melalui proses oksidasi, radikal bebas
baru akan terbentuk. Bentuk radikal bebas hasil dari oksidasi lipid yaitu Lipid Hidroperoksida
yang berasal dari LDL. Jika proses oksidasi terus-menerus terjadi, maka molekul radikal bebas
yang terbentuk akan berputar dan melakukan hal yang sama terhadap molekul LDL lainnya, dan
menghasilkan molekul radikal bebas yang baru. Jika proses ini terjadi terus-menerus, makan
akan terbentuk radikal bebas berupa kolesterol rantai panjang. Kolesterol jangka panjang inilah
yang mengendap di arteri dan menjadi plak yang pada akhirnya memicu terjadinya
aterosklerosis.
Vitamin C yang bersifat mentransfer atom H atau oksigen, akan mentransfer atom H untuk
memutus rantai pembentukan radikal bebas. Sehingga pembentukan kolesterol jangka panjang
akan terputus dan mengurangi risiko terjadinya aterosklerosis.
Selain sebagai antioksidan, vitamin C juga mempunyai efek antiinflamasi termasuk
menurunkan adesi leukosit pada endotelium dan meningkatkan bioavability ateroprotektif NO.
Vitamin C juga menghambat aktivasi nuclear factor κB (NF-κB) yang merupakan pengatur
utama ekspreasi gen inflamasi. Pemberian vitamin C dapat memperbaiki disfungsi endotel pada
pasien hiperkolesterolemia.
Bukti Klinis
Tiga tahap yang paling penting dari percobaan pengaruh vitamin C terhadap C-reactive
protein sebagai petanda inflamasi pada gagal ginjal kronik dengan hemodialisis reguler
dijelaskan di bawah ini.
Dalam percobaan pertama adalah karakteristik penderita. Pada penelitian ini setelah
dilakukan kriteria inklusi dan eksklusi, yang terdiri dari kelompok A (mendapat vitamin C 1000
mg) dan kelompok B (mendapat NaCl 0,9%). Dari karakterisitik penderita tidak dijumpai
perbedaan bermakna antara kelompok vitamin C dan NaCl 0,9%. Semua penderita pada kedua
kelompok menjalani perlakuan selama 4 minggu. Namun pada akhir penelitian satu orang dari
kelompok vitamin C dianggap DO (drop out) karena dicurigai mengalami infeksi dan didukung
oleh peningkatan kadar CRP setelah perlakuan > 10 mg/L (17,600 mg/L).
Percobaan kedua adalah faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kadar
CRP pada penderita GGKHD. Pada penelitian ini tidak ada penderita yang merokok, tidak ada
penderita yang mendapat terapi statin dan fibrat maupun obat antiagregasi platelet. Tidak ada
yang menderita penyakit hati kronis, DM. Dari data-data tekanan darah, kolesterol total, HDL,
dan LDL tidak dijumpai perbedaan bermakna pada kelompok vitamin C dan NaCl 0,9%.
Dijumpai peningkatan CRP pada penelitian ini baik pada kelompok vitamin C 1000 mg maupun
kelompok NaCl 0,9%. Dibandingkan dengan kadar CRP awal dari 16 orang pada kelompok
vitamin C 1000 mg, 7 orang (43,75%) mengalami peningkatan, 8 orang 50 %) mengalami
penurunan dan 1 orang (6,25%) kadarnya tetap. Satu orang mengalami peningkatan kadar CRP
yang sangat drastis dari 3,010 mg/L menjadi 17,600 mg/ L. Sedangkan pada kelompok NaCl
0,9%, 8 orang (50%) kadarnya meningkat dan 8 orang (50%) kadarnya menurun.
Percobaan ketiga adalah frekuensi perubahan kadar CRP setelah perlakuan dengan analisis
ANCOVA dilakukan adjustment peranan faktor-faktor seperti hipertensi, kolesterol total,
trigliserida, LDL, HDL terhadap kadar CRP. Pemberian vitamin C 1000 mg dan NaCl 0,9%
selama 4 minggu terhadap kadar CRP hasilnya tetap tidak bermakna (F = 0,17 ; P = 0,69).
Bidang Ketidakpastian
Pada penelitian ini tidak didapatkan perubahan kadar CRP yang bermakna pada
kelompok vitamin C 1000 mg dan kelompok NaCl 0,9%. Dengan analisa ANCOVA dilakukan
adjustment terhadap faktor-faktor hipertensi, kadar kolesterol total, trigliserida, LDL dan HDL,
pemberian vitamin C 1000 mg dan NaCl 0,9%
tetap tidak bermakna.
Pedoman
Fumeron et al. mengatakan bahwa bukan hanya terjadi defisiensi vitamin C secara
kuantitatif tapi juga kualitatif. Dewasa ini pada pasien GGKHD direkomendasikan vitamin C 1 .
1,5 gram /minggu atau 300 mg vitamin C parenteral setiap sesi dialisis untuk mengkompensasi
defisiensi subklinis, walaupun belum banyak data yang mendukung rekomendasi ini. Penelitian
ini seharusnya terlebih dahulu mengukur kadar vitamin C total plasma sehingga betul-betul
diketahui apakah pasien dalam kondisi defisiensi vitamin C atau tidak. Dan inipun akan
berpengaruh terhadap pertimbangan pemberian vitamin C.
Ada Beberapa artikel yang mendukung tentang penggunaan vitamin C yang dapat
menurunkan kadar CRP yaitu:
Artikel yang berjudul “C Reactive Protein level reduction with natural foods, diet,
vitamins, herbs, omega-3 fatty acids, and supplement” oleh Ray Sahelian, M.D. pada
tahun 2008 menyebutkan bahwa C-reactive protein dapat diturunkan dengan
meningkatkan konsumsi buah dan sayuran dan tentunnya dengan penambahan asupan
vitamin yaitu vitamin C. Meningkatkan konsumsi buah dan sayuran segar adalah solusi
yang tepat dan dapat diandalkan untuk menurunkan tingginya CRP. Makanan yang tinggi
akan serat menurunkan CRP dan meminum antioxidant yang tepat seperti vitamin C
dapat menurunkan angka CRP.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Church pada tahun 2005 yang mempelajari
bagaimana hubungan antara CRP dan kadar serum 6 dari 24 nutrisi dalam Cooper
Complete. Walaupun lebih banyak studi mengenai dugaan vitamin E dalam peningkatan
CRP , namun dalam penelitianya tidak menemukan efek yang bermakna. Vitamin B6 dan
vitamin C adalah pemegang peranan penting. Kedua vitamin tersebut menunjukkan
kolerasi yang kuat, namun belum diketahui spesifikasi komponen yang bersinegris bila
menggunakan komposisi yang berbeda. Ide mengenai multivitamin yang mana terdiri
dari kombinasi dan proporsi yang mampu meningkatkan fisiology tubuh. Multivitamin
tersebut dapat ditemukan dari berbagai macam makanan. Vitamin C bisa didapatkan dari
buah jeruk.
Dari penelitian yang dilakukan temuan studi dalam penelitian yang berjudul The Effects
of Intravenous Vitamin C Administration on hs-CRP and Tumor Necrosis Factor-α
Levels in Haemodialysis Patients yang ditulis oleh Hamid Taiebi Khosroshahi, MD,
Biotechnology Research Center, Tabriz University of Medical Sciences, Tabriz, Iran
pada tahun 2011 dinyatakan bahwa tinggi hs-CRP and TNF-α berkurang secara
signifikan pada pasien hemodialisis setelah diberikan suplemen berupa vitamin C (hs-
CRP menurun dari 7.27±3.70 menjadi 6.60± 3.75, P< 0.001 dan TNF-α menurun dari
25.61±12.28 menjadi 22.82±22.83, P= 0.006). sehingga dalam penelitian tersebut dapat
disimpulkan asupan vitamin C dapat mengurangi hs-CRP dan TNF-α tingkat pada pasien
hemodialisis dan sebagai juga dapat mencegah aterosklerosis. Dapat disimpulkan bahwa
pemberian suplemen vitamin C bermanfaat pada pasien hemodialisis
Chien dalam penelitiannya pada tahun 2004 menyebutkan bahwa pemberian 2,5 gram
vitamin C parenteral 2 kali seminggu pada setiap sesi dialysis selama 6 bulan dengan
dosis intravena 2,5 mg dapat menurunkan stres oksidatif pada pasien GGKHD. Selain itu
terjadi penurunan kadar CRP yang signifikan (dari 1,33 ± 0,36 mg /L menjadi 0,28 ±0,09
mg/L, P < 0,05).
Selain penelitian Chien, Block pada tahun 2004 meneliti pengaruh pemberian vitamin C
sebesar 515 mg/hari selama 8 minggu pada pasien hemodialisa. Terjadi penurunan kadar
CRP 24% (95% CI, -38,9 . -5,5%p = 0,0036). Pemberian vitamin C sebesar 2 gram/hari
selama 10hari dapat mengurangi CRP pada pasien dengan hemodialisa.
Tetapi hasil yang kontradiktif didapatkan dalam penelitian oleh Weissinger pada
tahun 2005 yang meneliti efek vitamin C terhadap fungsi endotel serta kadar s-VCAM-1,
IL-6 dan TNF-_pada pasien DM dengan PJK, DM tanpa PJK dan pada pasien non DM.
Pemberian vitamin C 2 gram/hari selama 4 minggu secara signifikan dapat meningkatkan
respon vasodilatasi terhadap hiperemia reaktif pada pasien DM dngan PJK namun tidak
mempunyi efek terhadap kadar sVCAM-1, IL-6, TNF
Selain penelitian dari Weissinger menyatakan kontradiktif, Lu tahun 2005 meneliti
efek vitamin C terhadap mikrosirkulasi pasien DM tipe II. Setelah pemberian vitamin C 1
gram/hari selama 2 minggu didapatkan hasil tidak ada perubahan signifikan reaktivitas
mikrovaskular, demikian pula dengan kadar IL-6, hsCRP dan LDL teroksidasi. Penelitian
Christine Fumeron dalam artikel “Effects of oral vitamin C supplementation on oxidative
stress and inflammation status in haemodialysis patients” dalam pemberian suplemen
vitamin C sebesar 250 mg (3 kali dalam seminggu) didapatkan hasil bahwa tidak adanya
perubahan dalam penurunan CRP pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan
hemodialisa.
Rekomendasi
Jumlah sampel yang yang lebih besar, jangka waktu yang lebih lama, dan perlunya dilakukan
penelitian kembali disertai dengan pengukuran kadar total vitamin C plasma sebelumnya serta
pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan low grade inflammation seperti membran
bioinkompatibilitas, AV shunt, sindrom uremia dan asidosis, sehingga dapat dilihat efek vitamin
C yang sesungguhnya terhadap inflamasi pada pasien GGKHD.
Implikasi keperawatan
Seperti yang telah dijelaskan pada jurnal di atas, vitamin C berperan sebagai antioksidan dan
sebagai antiinflamasi. Hal ini tentu sangat berguna bagi dunia keperawatan, dimana sebagai
calon perawat nantinya harus mengetahui efek dari pengobatan dan perawatan yang diberikan
kepada pasien. Untuk kasus pada jurnal, perawat juga harus mengetahui manfaat dari vitamin C
itu sendiri khususnya vitamin C untuk menurunkan kadar CRP pada penderita GGKHD.
Walaupun pada penelitian jurnal selama 4 minggu belum ada penurunan kadar CRP pada pasien,
mungkin nanti para perawat bisa melanjutkan penelitian ini untuk jangka waktu yang lebih lama,
jumlah sample yang lebih besar sehingga diharapkan nanti hasil yang didapatkan bisa lebih baik
dari hasil sebelumnya.
Perawat juga bisa menjelaskan kepada pasien serta keluarga pasien GGKHD tentang manfaat
dari vitamin C tersebut untuk mencegah hiperkalsemia, sebagai antiinflamasi dan sebagai
antioksidan serta dapat menjelaskan asupan vitamin C sesuai untuk kebutuhan pasien dan sesuai
derajat penyakit pasien agar tidak memberatkan kerja ginjal pasien. Jadi pasien dan keluarga
pasien dapat mengerti dan dapat menambah pengetahuannya tentang pengobatan dan perawatan
terhadap pasien GGKHD dengan vitamin C sesuai kebutuhan tubuh.
Perawat pun bisa berkolaborasi pada tim medis lain seperti dokter, maupun ahli gizi untuk
memberi asupan vitamin C yang sesuai dengan kebutuhan tubuh pasien. Dokter dan perawat
bisa mengukur kadar total plasma vitamin C pada pasien dan ahli gizi pun mampu memberikan
asupan makanan dan vitamin khususnya vitamin C yang sesuai untuk pasien.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1. Vitamin C atau asam askorbat adalah suatu senyawa beratom karbon 6 yang dapat larut
dalam air. Di dalam tubuh, vitamin C terdapat di dalam darah (khususnya leukosit),
korteks anak ginjal, kulit, dan tulang. Vitamin C akan diserap di saluran cerna melalui
mekanisme transport aktif
2. CRP merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida, pentamer 120 kDa
dimana berfungsi sebagai penanda inflamasi yang paling stabil. Peningkatan kadar CRP
sebagai konsekuensi dari proses inflamasi kronis didapatkan pada kondisi seperti individu
perokok, diabetes mellitus, stroke, hipertensi, dislipidemia, gagal ginjal kronik.
3. Menurut beberapa penelitian menyebutkan bahwa dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung antoiksidan khususnya vitamin C dapat menurunkan tingginya angka CRP
yang berarti tingginya respon inflamasi pada orang yang menerima terapi hemodialisa.
4. Dalam hal ini perawat memiliki peran yang sangat penting dalam implikasinya untuk
setiap orang termasuk perawat itu sendiri, dimana perawat berperan sebagai sebagai care
giver, edukator, pembaharu dan peneliti, motivator, dan sebagai kolaborator.
Saran :
Adapun saran yang dapat kami berikan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas vitamin C untuk
menurunkan angka kenaikan CRP bagi pasien yang mendapat terapi hemodialisa untuk
mendapatkan hasil/data yang benar-benar valid.
2. Kami menyarankan kepada para perawat untuk lebih menciptakan suatu inovasi sistem
keperawatan terhadap para pasien yang mendapat terapi hemodialisa yang tidak hanya
menitikberatkan pada hal farmakologis.
3. Sebagai seorang perawat yang professional hendaknya kita mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan perkembangan dalam bidang pengobatan. Mempelajari jurnal-
jurnal ilmiah yang berhubungan dengan dunia keperawatan sama pentingnya dengan
mempelajari buku-buku pengetahuan karena dalam jurnal-jurnal ilmiah banyak terdapat
ilmu baru yang baru dikembangkan dan baru diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Catur Wulandari, Diah, dkk. 2008. Pengaruh Vitamin C Terhadap C-Reactive Protein Sebagai
Petanda Inflamasi Pada Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis Reguler . Avaible at:
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2_pengaruhvitamin%20c.pdf (Diakses: 27 Februari 2012)
Christine Fumeron ,Thao,dkk.2005. Effects of oral vitamin C supplementation on oxidative
stress and inflammation status in haemodialysis patients. Avaible at :
http://ndt.oxfordjournals.org/content/20/9/1874.short (diakses :28 Februari 2012)
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester. Ed.8.
Jakarta : EGC
Anonim.2011.Indikasi Vitamin C(online) http://repository.usu.ac.id (Akses : 5 Maret 2011)
Doheny.1987.Peran Perawat Komunitas.Jakarta:Salemba Raya
NN.Konsorsium Ilmu Kesehatan.1999.Jakarta
NN.Lokakarya Keperawatan.1983.Jakarta
top related