fiqih dakwah
Post on 25-Dec-2014
5.049 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Fikih Dakwah
Dr. Akhmad Alim
Pustaka Ulil Albaab
i
Fikih
Dakwah Dr. Akhmad Alim
ii
Judul
Fikih Dakwah Penulis Dr. Akhmad Alim Penyunting Bahrum Subagia Perwajahan Isi Tim Ulil Albaab Penata Letak TimUlil Albaab Desain Sampul Abu Aisyah Penerbit Pustaka Ulil Albaab Bogor: JL. KH. Sholeh Iskandar Km.2. Bogor 16162 Telp. 085813405685 e-mail: ahmadalim09@yahoo.com cetakan pertama 2013 M/ 1434H
iii
Kata Pengantar
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah, yang
kita menyanjung-Nya, memohon pertolongan dan
pengampunan dari-Nya serta bertaubat kepada-Nya.
Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan jiwa-jiwa
dan kejelekan amal-amal. Barangsiapa yang Allah
berikan petunjuk kepada-Nya, maka tidak ada
seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah leluasakan kepada kesesatan
iv
maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya
petunjuk.
Kita bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq
untuk disembah kecuali Allah semata, yang tidak ada
sekutu atas-Nya. Kita juga bersaksi bahwa Rasulullah
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Allah
Ta’ala utus beliau dengan petunjuk dan agama yang haq,
yang Allah menangkan dari semua agama.
Kemudian, beliau Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
menyampaikan risalah, memenuhi amanat dan
memberikan nasehat bagi ummat. Beliau berjihad di
jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Beliau
meninggalkan ummatnya dalam keadaan yang terang
benderang, malamnya bagaikan siangnya dan tidak ada
yang berpaling darinya kecuali akan binasa.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada beliau, keluarga beliau dan sahabat beliau, serta
siapa saja yang mengikuti mereka dengan lebih baik
sampai hari kiamat. Amma Ba’du.
v
Dakwah ibarat cahaya yang menerangi kehidupan
menuju jalan yang lurus (sirath al-mustaqim), menuntun
manusia dari kegelapan menuju terang benderang, dari
bid’ah menuju sunah, dari maksiat menuju taat, dari
syirik menuju tauhid, dan dari kedzaliman menuju
keadilan.
“Allah adalah wali/penolong bagi orang-orang yang
beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-
kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir
maka penolong-penolong mereka adalah thaghut, yang
mereka itu mengeluarkan mereka dari cahaya menuju
kegelapan-kegelapan. Mereka itulah para penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah:
257)
Dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan ibadah
yang paling mulia di sisi Allah. Perkataan menuju jalan-
vi
Nya juga sebaik-baik jalan, sebagaimana Allah
firmankan.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal
yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya Aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?” (QS Fushshilat: 33)
Pahala besar yang Allah telah menyediakan bagi
para da’i. Pahala tersebut akan senantiasa mengalir dan
berlipat ganda di sisi Allah. Hal itu telah dikabarkan oleh
kekasih Allah yang tercinta Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka
ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
vii
mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang
mengikutinya tersebut sedikitpun.” (HR. Muslim)
Sahl bin Sa’d Radhiyallahu 'anhu mengabarkan
bahwa suatu hari Nabi berkata kepada Ali Radhiyallahu
'anhu, pada saat beliau mengutusnya untuk memerangi
orang-orang Yahudi di Khaibar.
“Berjalanlah dengan pelan sehingga engkau
mengepung mereka pada halaman benteng mereka,
kemudian serulah mereka kepada Islam, dan
beritahukanlah apa yang wajib mereka tunaikan berupa
hak-hak Allah atas mereka, demi Allah, sungguh jika ada
salah seorang di antara mereka yang mendapat petunjuk
karena dirimu maka hal itu lebih baik bagimu daripada
seekor unta yang merah.” (HR. Muslim)
Berdakwah merupakan jalannya para nabi dan rasul,
dan jalannya orang-orang yang mengikuti mereka dari
para ulama dan para du’at yang istiqamah melakukan
perubahan kepada tauhidullah. Allah Azza wa Jalla
berfirman.
viii
“Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS al-
Ahzab: 46)
Singkatnya, dakwah merupakan bagian yang amat
penting dalam kehidupan umat saat ini. Lebih-lebih di
zaman modern, tatkala kebanyakan manusia kehilangan
makna kehidupan, akibatnya kejiwaan mereka mudah
rapuh, kegersangan spiritual, rusaknya akhlak,
maraknya pezinaan, tersebarnya kedzaliman, dan
sederet tindakan kemunkaran lainnya. Dari sini, tampak
jelas bahwa Dakwah memiliki peran yang besar dalam
memperbaiki kehidupan, dan merupakan seruan menuju
jalan kehidupan yang lurus yang diridhai oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Buku ini adalah sebuah langkah dalam jalan
Dakwah. Di dalamnya akan dijelaskan tentang banyak
hal yang berkaitan dengan fikih dakwah, yang mencakup
subjek dakwah (dai), objek dakwah (mad’u), materi
dakwah, metode dakwah, dan wasilah dakwah. Semoga
ix
buku sederhana ini bermanfaat dan menjadi bekal bagi
para pendakwah di jalan Allah. Amiin
x
Daftar Isi kata Pengantar ..............................................................................iii
Bab I Urgensi Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar ............................ 1
A. Risalah Dakwah Islam .................................................. 1
B. Urgensi Dakwah ............................................................. 8
C. Keutamaan Dakwah .................................................... 17
D. Pengertian Dakwah ..................................................... 29
E. Hukum Berdakwah Kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala ..................................................................................... 34
F. Tujuan Dakwah ............................................................ 39
G. Kategori Obyek Dakwah dan Cara Berdakwah
Kepada Mereka .................................................................... 47
H. Tantangan dan Problematika Dakwah ................... 59
I. Ta’awun Dalam Dakwah ............................................. 78
BAB II Akhlak Pendakwah ...................................................... 85
A. Al-Ikhlas ........................................................................ 87
B. Siddiq ............................................................................. 98
C. Amanah ........................................................................ 106
D. Yakin Diri .................................................................... 116
E. Sabar ............................................................................ 120
F. Lemah Lembut (Ar-rifqu)......................................... 129
G. Tawadhu’(rendah hati) ............................................ 134
H. Kasih Sayang (Ar-Rahmah) ...................................... 143
I. Istiqamah .................................................................... 151
xi
BAB III Metodologi Dakwah Dengan Hikmah ..................... 164
A. Makna Hikmah ........................................................... 169
B. Keutamaan Hikmah .................................................. 178
C. Rukun Dakwah Bilhikmah ....................................... 180
D. Contoh Dakwah Dengan Hikmah Dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadist ...................................................................... 188
E. Ushlub Hikmah ........................................................... 197
Bab IV Targhib Dan Tarhib Dalam Dakwah ...................... 232
A. Keutamaan Metode Targhib dan Tarhib ............... 232
B. Makna Targhib ........................................................... 240
a. Targhib Dalam Al-Qur’an ..................................... 242
b. Targhib Dalam Hadist ........................................... 249
C. Makna Tarhib ............................................................. 264
a. Tarhib Dalam Al-Qur’an ....................................... 265
b. Tarhib dalam Hadist ............................................. 269
D. Ruang Lingkup Dakwah Targhib dan Tarhib ....... 273
E. Kaedah (Dhawabit) Targhib dan Tarhib............... 281
BAB V Media Dakwah (Wasilah Dakwah) ........................... 285
A. Urgensi Media Dakwah ............................................. 286
B. Pengertian Media Dakwah ....................................... 291
C. Macam-Macam Media Dakwah ............................... 292
1. Media lisan .............................................................. 295
2. Media tulisan .......................................................... 298
xii
3. Media visual ............................................................ 308
4. Media auditif ........................................................... 312
5. Media audio visual................................................. 315
6. Media akhlak .......................................................... 319
7. Media harta ............................................................. 327
0
BAB I
URGENSI AMAR MA’RUF DAN NAHI MUNKAR
A. Risalah Dakwah Islam
Islam adalah agama sempurna, yang dengannya
Allah memuliakan manusia. Dengan Islam pula
terwujudnya kebahagian manusia di dunia dan akhirat.1
Allah berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat Ku,
dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu.” (QS.
Al-Ma'idah: 3)
Kebutuhan umat kepada Islam seperti butuhnya
jasad kepada ruh. Ketika jasad kehilangan ruh, maka
1Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam:
Da‟wah Kepada Allah, Rabwah: Pustaka Islamhouse, 2009, hlm.4
1
jasad tersebut ikut menjadi rusak dan busuk; begitu
pula dengan umat ini, ketika dia kehilangan agamanya
maka hancurlah umat ini.2
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang
yang rugi." (QS. Ali Imron: 85).
Dari Abu Hurairah dari rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda:
"Demi yang jiwa Muhammad ada di Tangan Nya,
tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi atau
2Ibid, hlm.29
2
Nashroni yang mendengar tentang aku, kemudian ia
mati sementara dirinya tidak beriman dengan risalah
yang aku bawa, maka ia termasuk penghuni neraka."
(HR. Muslim)
Rahmat Allah begitu luas meliputi segalanya, dan di
antara rahmat Allah terhadap para hamba-Nya yang
paling agung adalah Dia mengutus para rasul, untuk
menyampaikan risalah keislaman. Supaya, mereka
mendapat cahaya hidayah dan terhindar dari jalan yang
sesat.
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di
antara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka al kitab dan al hikmah. Dan sesungguhnya
sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-
3
benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali Imron:
164)
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah, dan kitab yang menerangkan dengan kitab itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan
Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinNya,
dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (QS. Al-
Ma'idah: 15-16)
Dari para rasul yang membawa risalah, Allah telah
memilih Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
sebagai rasul terbaik dan sekaligus penutup dari para
rasul. Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
membawa Islam yang haq bagi seluruh manusia,
menyampaikan risalah, menunaikan amanat yang
4
dibebankan kepadanya, menasehati umat, dan berjihad
di jalan Allah, meninggalkan umat Islam dalam keadaan
terang, siangnya sebagaimana malamnya, dan tidaklah
orang yang berpaling (dari risalahnya) kecuali ia akan
binasa.
"Perkara Islam pasti akan sampai kepada apa-apa
yang liputi oleh siang dan malam, dan Allah tidak akan
meninggalkan rumah baik di kota atau di desa kecuali
Dia akan menyampaikan kepada mereka perkara agama
ini, dengan memuliakan orang yang mulia atau
menghinakan orang yang terhina, yaitu sebuah
kemuliaan di mana Allah akan meniggikan Islam
dengannya dan kehinaan di mana Allah akan
menghinakan kekafiran dengannya." (HR. Muslim)
Risalah Islam menebarkan rahmat untuk seluruh
alam, tanpa membeda-bedakan antara suku, bangsa dan
5
golongan. Semuanya sama di sisi Allah, yang
membedakan mereka adalah ketaqwaannya.
”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-
Hujurat: 13)
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-
Anbiya': 107)
Allah berfirman:
6
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada
umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba': 28)
Risalah Dakwah Islam akan tetap dan terus eksisis
sampai hari kiamat, akan tetap ada sekelompok dari
umat Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang
selalu dan terus menjalankan syariat agama ini, hingga
datang ketentuan dari Allah dan mereka tetap seperti
itu.
"Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang
menjalankan perintah Allah, tidak memadhoratkan
mereka orang yang menyelisihinya sampai datang
7
ketentuan Allah dan mereka tetap tampak seperti itu di
tengah-tengah manusia." (Muttafaq alaihi)
B. Urgensi Dakwah
Sebagus apa pun sebuah agama atau ajaran, tidak
akan memiliki arti dan manfaat jika hanya tersimpan
dalam ide dan pikiran pemiliknya, tanpa disebarkan dan
disiarkan kepada orang lain. Semuanya akan tinggal
menjadi puing-puing yang tidak bernilai dan tidak
bermanfaat. Karena itu, penyebaran dan penyiaran Islam
sebagai petunjuk hidup yang autentik, komprehensip,
dan rasional adalah salah satu dari inti perintah penting
Allah Subhanahu wa Ta'ala.3
Islam dan dakwah adalah dua hal yang tak
terpisahkan. Islam tidak akan mungkin maju
berkembang, bersyi’ar dan bersinar tanpa adanya upaya
dakwah. Semakin gencar upaya dakwah dilaksanakan
semakin bersyi’arlah ajaran Islam, begitu sebaliknya,
semakin kendor upaya dakwah semakin redup pulalah
cahaya Islam dalam masyarakat. Laisa al-Islam illa bi al-
3Ramli Abdul Wahid, Urgensi Jaringan Da‟wah Di EraGlobal,
www.dewanda’wah.com
8
Dakwah, demikianlah sebuah kata bijak
mengungkapkan. Ajaran Islam yang disiarkan melalui
dakwah dapat menyelamatkan masyarakat pada
umumnya dari hal-hal yang dapat membawa pada
kehancuran.4
Dakwah merupakan ruh kehidupan agama Islam.
Islam tidak akan tegak tanpa dakwah. Dengan dakwah
ini, semua perkara yang ma’ruf akan terealisasikan,
demikian juga perkara yang munkar akan terhapuskan.
Jika amar ma’ruf dan nahi munkar tegak di tengah-
tengah masyarakat, berarti tatanan kehidupan
bermasyarakat akan tegak dibagun di atas aturan Allah,
sehingga tatanan kehidupan masyarakat yang Islami
akan terwujud nyata.
Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar, merupakan
benteng pertahanan Islam untuk tetap eksis di muka
bumi ini. Dengan dakwah Islam ini akan mampu
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
lingkungan, dalam arti memberi dasar filosofi, arah,
dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai
4Moh. Ali Aziz, Ilmu Da‟wah, Ed. I, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 37
9
terbentuknya realitas sosial baru, yaitu masyarakat
Islami yang mengemban amanah Allah sebagai
khalifatullah di muka bumi ini.
Perkara al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar
(menyuruh berbuat yang ma’ruf dan melarang
kemungkaran) menempati kedudukan yang agung. Di
mana para ulama menganggapnya sebagai penopang
rukun-rukun Islam. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah mengedepankan perkara ini atas keimanan dalam
firman-Nya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
(Ali Imran:110)
Imam Qurthubi berkata bahwa ayat ini
menunjukkan sebuah pujian bagi umat ini selama
10
mereka menegakkan perintah yang disebutkan di dalam
ayat tersebut dan mereka bersifat seperti itu. Namun,
jika meraka meninggalkan usaha untuk merubah
kemungkaran bahkan bersekongkol dengan kekejian
tersebut maka hilanglah pujian tersebut, dan mereka
akan menoreh celaan dan hal itu sebagai sebab
kehancuran mereka”.5
Lebih dari itu, dalam surat at-Taubah, Allah Azza wa
Jalla mengedepankan penegakan amar ma’ruf dan nahi
munkar atas penegakkan shalat dan membayar zakat.
Allah Ta’ala berfirman.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan
5 Al-Qurthubi, Al-Jami‟ liahkamil Qur‟an, Vol.4, hlm.173
11
mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah: 71)
Konteks at-taqdim (pengedepanan lafaz) amar
ma’ruf dan nahi munkar atas shalat dan zakat dalam ayat
tersebut, ini bertujuan untuk menerangkan mengenai
betapa agungnya perkara wajib ini, sekaligus untuk
menjelaskan betapa urgensinya dalam kehidupan
individual, masyarakat maupun berbangsa.
Implementasi dan penegakkannya dapat membaikkan
umat, membawa kebaikan yang banyak dan menekan
tingkat kejahatan, meminimalisir kemungkaran.
Sebaliknya dengan ditinggalkannya perkara ini,
menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan, berbagai
bencana besar, kejahatan yang merajalela, perpecahan
umat, hati-hati yang mengeras atau bahkan mati,
munculnya perbuatan-perbuatan nestapa dan semakin
merebak luas, vokalnya suara-suara kebatilan, serta
maraknya kemungkaran.6 Hal itu sebagaimana yang
telah diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an mengenai
6Abdul Malik Al-Qasim, Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, Rabwah:
Pustaka Islamhouse, 2009, hlm.4
12
Bani Isra’il yang meninggalkan penegakan amar ma’ruf
dan nahi munkar, akibatnya kemuliaan mereka terhapus,
bahkan Allah menggantikannya dengan laknat dan
murka atas perbuatan merekaAllah, sebagaimana firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
ۥ
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel
dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya
amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu
melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong
dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya
amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri
13
mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan
mereka akan kekal dalam siksaan. (Al-Ma’idah: 78-80)
Di sebutkan dalam hadits, bahwa Nabi Muhammad
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memberikan peringatan
keras terhadap umatnya yang meninggalkan amar
ma’ruf dan nahi munkar.
“Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah
kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah
kemungkaran. Atau (jika tidak) nyaris Allah (akan)
mengirimkan siksaan (segera) atas kalian sebab (telah
mengabaikan)nya, kemudian kalian berdoakepada-Nya
namun (doa kalian) tidak dikabulkan.” (Muttafaqun
‘Alaihi)
Ketika Ummul Mukminin Zainab Radhiyallahu ‘Anha
bertanya:
14
“Apakah kita akan binasa, sementara di tengah-
tengah kita masih ada orang-orang yang soleh?.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Iya,
ketika keburukan telah marak.” (HR. Bukhari)
Uraian hadist-hadist di atas telah menjelaskan pada
kita, bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar harus tegak
bersamaan, terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, yang
tidak boleh dipisah-pisahkan. Artinya, tidak dibenarkan
orang yang hanya beramar ma’ruf dan tidak mau
menegakkan nahi munkar, demikian juga sebaliknya,
tidak dibenarkan pula orang yang mau melaksanakan
nahi munkar, tetapi tidak mau menegakkan amar ma’ruf.
Jadi, dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah satu
paket yang terintegrasi. At-Thufi mengatakan bahwa
amar ma’ruf dan nahi munkar adalah inti agama Islam,
amar ma’ruf adalah separoh agama, sedangkan
15
separohnya lagi terdapat pada nahi munkar, keduanya
adalah kesatuan yang utuh yang tak terpisahkan.7
Amar ma’ruf dan nahi munkar memiliki peran yang
amat penting dalam menjaga stabilitas kehidupan
bermasyarakat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
menggambarkan masyarakat yang menegakkan amar
ma'ruf dan nahi mungkar, dan masyarakat yang tidak
melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, dengan
perumpamaan para penumpang kapal yang mengundi
tempat di kapal, sebagian mendapat tempat di atas dan
sebagian mendapat tempat di bawah, orang-orang yang
bertempat di bawah apabila ingin mengambil air,
mereka harus melewati orang-orang yang ada di bagian
atas, maka mereka berkata, “Kalau saja kita melubangi
kapal agar tidak mengganggu orang di atas.” Jika orang-
orang yang berada di atas kapal membiarkan kemauan
mereka yang di bawah, maka akan binasa semua, dan
jika mereka dihalangi maka semuanya akan selamat.
7At-Thufi, At Ta‟yin fi Syarhil Arba‟in, hlm. 292
16
Ini adalah gambaran indah bagi pengaruh amar
ma'ruf dan nahi mungkar dalam masyarakat. Dari hadits
tersebut, jelas bahwa amar ma'ruf dan nahi mungkar
bisa menyelamatkan orang-orang lalai, ahli maksiat dan
juga yang taat dan istiqamah. Sikap diam atau tidak
peduli terhadap amar ma'ruf dan nahi mungkar
merupakan suatu bahaya dan kehancuran, ini tidak
hanya mengenai orang-orang yang bersalah saja, akan
tetapi mencakup semuanya, yang baik dan yang buruk,
yang taat dan yang jahat, yang takwa dan yang fasik.8
C. Keutamaan Dakwah
Dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan ketaatan
yang paling mulia dan qurobah yang paling agung.
Terdapat banyak keutamaan-keutamaan dalam dakwah,
di antaranya:
1. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan risalah agung para rasul ‘Alaihimus
Salam.
8Muhammad Ali al-Hasyimi, Amar Ma'ruf Nahi Munkar dalam
Masyarakat Muslim, Rabwah: Pustaka Islamhouse, 2009, hlm.4
17
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu." (An-Nahl: 36)
2. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk
dalam ciri-ciri orang-orang beriman.
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat,
yang beribadat, yang memuji (Allah), yang
melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh
berbuat ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar
dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mu'min itu." (At-
Taubah: 112)
18
3. Sebaliknya, orang-orang yang meninggalkan
dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar berarti
termasuk dalam golongan orang munafik.
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan,
sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat yang munkar dan
melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa
kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.
Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-
orang yang fasik. (At-Taubah: 67)
4. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk
dalam karakteristik orang-orang shalih.
19
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu
ada golongan yang berlaku lurus, mereka
membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di
malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan
hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang
ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan
bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang
saleh.” (Ali Imran:113-114)
5. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
pilar kejayaan dan kebaikan umat Islam.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf,
20
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
6. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar dapat
meneguhkan kedudukan umat Islam di muka
bumi.
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-
lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 41)
7. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar
merupakan sebab-sebab turunnya pertolongan
Allah.
21
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. 041.
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah
kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 40-41)
8. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
pokok dari semua kebaikan.
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-
bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
22
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat
demikian karena mencari keredhaan Allah, maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar. (An-Nisa: 114)
9. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
bagian dari sedekah jariyah yang akan selalu
mengalir pahala kebaikannya.
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk,
baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang
mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala
mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)
10. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk
faktor yang dapat menggugurkan dosa-dosa.
23
“Fitnah (bencana) seorang pria terletak pada
istrinya, hartanya, dirinya, anaknya dan
tetangganya. Dapat ditebus dengan Puasa, shalat,
sedekah, amar ma’ruf dan nahi munkar.” (HR.
Ahmad)
11. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar dapat
menghilangkan adzab dan murka Allah.
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan
membinasakan negeri-negeri secara lalim, sedang
penduduknya orang-orang yang berbuat
kebaikan.” (QS. Hud: 117)
24
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim
saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfal:25)
Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘Anhu secara marfu’:
“Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya,
hendaklah kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf
dan mencegah kemungkaran. Atau (jika tidak)
nyaris Allah (akan) mengirimkan siksaan (segera)
atas kalian sebab (telah mengabaikan)nya,
kemudian kalian berdoa kepada-Nya namun (doa
kalian) tidak dikabulkan.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Ketika Ummul Mukminin Zainab Radhiyallahu
‘Anha bertanya:
25
“Apakah kita akan binasa, sementara di tengah-
tengah kita masih ada orang-orang yang soleh?.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Iya, ketika keburukan telah marak.”
(HR. Bukhari)
12. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
senantiasa mendo’akan bagi orang yang
menyampaikan risalah dakwah.
“Allah akan memberikan cahaya kepada wajah
seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia
menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar.
Maka boleh jadi di antara yang disampaikan
kepada mereka itu ada yang lebih mengerti
26
daripada yang mendengarkan (langsung dariku).”
(HR. Tirmidzi)
13. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar dapat
menghilangkan segala macam kedzaliman di
muka bumi
“Demi Allah, hendaklah kamu menyuruh berbuat
yang ma'ruf dan melarang kemungkaran,
menghentikan orang yang berbuat zhalim, dan
memalingkannya (kembali) kepada kebenaran,
atau memperketat (geraknya hanya) pada
(lingkup) kebenaran. Atau (jika tidak dilakukan)
kelak Allah akan mempertentangkan hati
sebagian kalian dengan sebagian yang lainnya,
kemudian Dia melaknat kalian sebagaimana Dia
telah melaknat mereka (Bani Isra’il)” (HR. Abu
Dawud)
27
14. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
bagian dari jihad fii sabilillah.
Sahabat bertanya kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam, “Jihad apa yang paling utama?” Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,
“Perkataan yang benar (dakwah) kepada
penguasa yang dzalim.” (HR. Ahmad)
15. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar akan
mendapat pahala yang sangat besar
Dari Sahl bin Sa'ad, bahwa Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali bin Abu
Thalib di Hari Khaibar.
28
"Berjalanlah dengan tenang kemudian serulah
mereka untuk masuk Islam, dan beritahukan
kepada mereka beberapa kewajiban atas mereka,
demi Allah seandainya Allah memberikan
hidayah kepada seseorang dengan perantaraan
kamu, itu lebih baik bagimu daripada onta
merah.” (HR.Bukhari dan Muslim)
16. Dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
barometer keimanan.
Dari Abu Sa’id Al Khudry Radhiyallahu 'anhu
berkata, saya mendengar Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa di
antara kamu yang melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan
tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia
29
merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika
tidak mampu hendaklah ia merubah dengan
hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.”
Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu
(mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji
sawi (sedikitpun)” (HR. Muslim)
D. Pengertian Dakwah
Kata Dakwah berasal dari bahasa Arab ( -دعو –دعا
:yang memiliki banyak makna, di antaranya adalah ,(دعوة
1. Bermakna an-nida’, yaitu panggilan.
2. Bermakna mengajak kepada sesuatu, atau
mendorong orang lain untuk melakukan apa yang
kita anjurkan.
3. Bermakna mengajak pada suatu hal agar diyakini
dan di dukung.
4. Bermakna munajat atau do’a.9
Adapun Dakwah secara istilah menurut Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah: "Dakwah adalah mengajak
9Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Fiqih Da‟wah Ilallah, Jakarta: Penerbit Al-
I’Tishom, 2011, hlm.7-8
30
(manusia) kepada keimanan dengan-Nya, dan
mengimani dengan apa yang di bawa oleh para Rasul-
Nya, membenarkan apa yang para Rasul kabarkan serta
menta'ati semua yang di perintahkannya".10
Syekh Ali Mahfudz memberikan pengertian Dakwah
adalah sebagai berikut:
“Mendorong manusia atas kebaikan dan petunjuk
dan menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran guna mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat.”11
Dr. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan dakwah adalah mengajak
manusia untuk masuk ke dalam agama Islam serta
mengajak kepada mereka untuk mengerjakan keharusan
10
Maj'mu Fatawa Ibnu Taimiyyah 15/157. 11
Syekh Ali Mahfudz, Hidayah Mursyidin ila Turuqi al-Nash wa al-
Khatabah, Beirut: Dar al-Ma’arif, tth. hlm. 1.
31
yang ada di dalam syar'iat islam dengan sarana-sarana
yang di bolehkan secara syar'i.12
Sedangkan para ulama mu'ashiroh (kotemporer)
memberi pengertian tentang dakwah ini dengan
mengatakan, "Dakwah adalah menyampaikan agama
Islam kepada manusia secara umum serta mengajarkan
kepada mereka kandungan yang ada sehingga mereka
mau mempraktekkan dalam kehidupan sehari-
harinya."13
Adapun Imam Thabari memberikan pengertian yang
lebih ringkas dan penuh makna tentang dakwah dengan
menyatakan: "Dakwah adalah mengajak manusia kepada
agama Islam baik dengan perkataan atau pun amal
perbuatan".14
Dari paparan para ulama di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa istilah dakwah mencakup pengertian
sebagai yang berikut:
12
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islamhouse, 2012, hlm.15 13
al-Madkhul ilaa Ilmu Da'wah hal: 17. 14
Tafsir ath-Thabari 11/53.
32
1. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang
bersifat menyeru atau mengajak orang lain untuk
beriman dan mengamalkan ajaran Islam.
2. Dakwah adalah suatu proses penyampaian ajaran
agama Islam dari seseorang kepada orang lain
yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk
menegakkan yang ma’ruf dan menghapus yang
munkar.
3. Dakwah adalah suatu proses islamisasi
kehidupan, baik individu maupun masyarakat,
sehingga output yang diharapkan adalah
terwujudnya individu dan masyarakat yang
islami.
4. Dakwah adalah mengajak manusia kepada jalan
yang benar menuju tauhidullah untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
5. Dakwah adalah bagian dari jihad fii sabilillah
dalam rangka menyadarkan dan meningkatkan
pemahaman umat terhadap ajaran Islam secara
komprehensip guna mengubah worldview agar
sesuai dengan pandangan Islam.
33
E. Hukum Berdakwah Kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala
Allah telah menjelaskan seluruh hukum-hukum
syariat secara global di dalam Al-Qu’ran, lalu dijelaskan
secara terperinci oleh rasulullah dalam Al-Hadist.
Adapun Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadist yang
menunjukkan wajibnya berdakwah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat banyak.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka
adalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
34
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125)
“Dan serulah mereka ke (jalan) Rabbmu, dan
janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Rabb. (Al-Qashash: 87)
“Katakanlah:"Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-
orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik". (Yusuf: 108)
35
“Dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan
janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (Al-Qashshash: 87)
Dalil-dalil dari Al-Hadist
“Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah
kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah
kemungkaran. Atau (jika tidak) nyaris Allah (akan)
mengirimkan siksaan (segera) atas kalian sebab (telah
mengabaikan)nya, kemudian kalian berdoakepada-Nya
namun (doa kalian) tidak dikabulkan.” (Muttafaqun
‘Alaihi)
36
Dari Abu Sa’id Al Khudry Radhiyallahu ‘anhu
berkata, saya mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah
(mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu
hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya,
jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya,
dan itulah keimanan yang paling lemah.” Dalam riwayat
lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati)
keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun).” (HR. Muslim)
"Yang mendengar supaya menyampaikan kepada
yang tidak hadir, karena bisa jadi yang menyampaikan
itu lebih paham dari yang mendengar." (HR.Muttafaq
alaihi)
37
"Sampaikanlah dariku walau satu ayat, dan tidaklah
mengapa untuk mengambil hadist dari bani israil, dan
barangsiapa yang berbohong atas namaku, maka
bersiap-siaplah menempati api neraka." (HR. Bukhari)
Dari Sahl bin Sa'ad bahwa Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Ali bin Abu Thalib
Radhiyallahu 'anhu di Hari Khaibar.
"Berjalanlah dengan tenang kemudian serulah
mereka untuk masuk Islam, dan beritahukan kepada
mereka beberapa kewajiban atas mereka, demi Allah
seandainya Allah memberikan hidayah kepada
seseorang dengan perantaraan kamu, itu lebih baik
bagimu daripada onta merah.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
38
Dapat dipahami secara pasti (qath’i) dari uraian
dalil-dalil di atas, bahwa dakwah amar ma’ruf dan nahi
munkar adalah sebuah kewajiban. Kewajiban ini tidak
hanya berlaku bagi para ulama saja, tetapi juga berlaku
bagi setiap mukallaf yang mengaku bahwa dirinya
adalah seorang muslim. Dengan demikian, setiap muslim
adalah da’i yang berkewajiban untuk mengambil bagian
dari dunia dakwah. Tentu saja, sesuai kadar kemampuan
masing-masing, karena Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
telah membuat satu rumusan yang sudah baku, yaitu
sampaikan dariku walau satu ayat (ballighu a’nni walau
ayah).15
F. Tujuan Dakwah
Setiap kegiatan dalam bentuk apapun senantiasa
memiliki tujuan, sebab kegiatan atau tindakan yang tidak
memiliki tujuan akan menjadi kurang berarti, terlebih
pada kegiatan dakwah. Dalam proses penyelenggaraan
dakwah, ‘tujuan’ memiliki peranan yang amat penting
dan sentral. Karena, pada tujuan itu dilandaskan segenap
15
Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Fiqih Da‟wah Ilallah, Jakarta: Penerbit Al-
I’Tishom, 2011, hlm.52
39
tindakan dan dasar bagi penentuan sasaran dan strategi
atau kebijaksanaan serta langkah-langkah operasional
dakwah.16
Tujuan dakwah adalah menegakkan agama Allah di
muka bumi ini dan mengislamkan kehidupan, baik
kehidupan individu maupun masyarakat. Sehingga, dari
dakwah itu tercapailah individu dan masyarakat yang
bertauhid.
Tauhid ini merupaka pokok dinul Islam dan tujuan
dakwah para rasul, sejak diutusnya rasul pertama
sampai rasul yang terakhir. Mereka semua
diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahkan tauhid.
Dengan tauhid, umat akan menjadi kuat dan terbebas
dari semua perbudakan serta belenggu keyakinan yang
menghalangi kemajuan berfikir dan produktifitas amal
sholeh.
Aqidah kuat yang menghujam di hati akan
melahirkan buah cinta, takut, harapan serta ketundukan
yang tinggi terhadap Allah, dan ikatan hati yang kuat
16
Abdul Rosyad Saleh, Manajemen Da‟wah Islam , Cet. III; Jakarta:
Bulan Bintang, 1993, hlm. 19.
40
sesama kaum mukminin, serta semangat beramal
sholeh.17 Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Allah
dalam firmannya.
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-
Anbiya': 25)
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat
itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya):
Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut” (An Nahl:
36)
17
Muhammad Jamil Zainu, Aqidah Setiap Mukmin, Pustaka Abu
Salma, 2007, hlm.4
41
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman
kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada
buhul tali yang sangat kokoh (Laa ilaaha ilallaah)” (Al-
Baqarah: 256)
“…(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia
memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali
kepadaNya. Itulah dien yang lurus” (Yusuf: 40)
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan
para Ahbar (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli
ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga
Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan
42
Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia.
Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At
Taubah : 31)
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk
beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh
ketundukan kepada-Nya” (Al-Bayyinah: 5)
Para nabi itu bersaudara dan agama mereka satu
(tauhid). (HR. Buhari dan Muslim)
“Manusia itu dulunya adalah umat yang satu.
(Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para
nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi
43
Keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213)
Dari uraian ayat dan hadist di atas, tampak jelas
bahwa hakikat tujuan dakwah adalah menyeru manusia
untuk mentauhidkan Allah, dan tidak menyekutukan-
Nya. Dengan demikian, dakwah akan diarahkan untuk
islamisasi kehidupan. Dalam islamisasi kehidupan ini
dapat diperinci lebih lanjut dalam hal-hal berikut ini:
1. Mengajak orang-orang non Islam untuk memeluk
ajaran Islam (mengislamkan orang-orang non
Islam).
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang
kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian
pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan
44
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi
Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi:
"Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah
mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling,
maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.” (Ali Imran: 20)
"Tetapi mengapa mereka (orang-orang kafir)
mengakatan: "Dia Muhammad mengada-
adakannya. Sebenarnya al quran itu adalah
kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar
kamu memberi peringatan kepada kaum yang
belum datang kepada mereka orang yang
memberi peringatan sebelum kamu; mudah-
mudahan mereka mendapat petunjuk." (As-
Sajdah: 3)
45
2. Mengislamkan orang Islam, artinya meningkatkan
kualitas iman, Islam, dan ihsan kaum muslimin,
sehingga mereka menjadi orang-orang yang
mengamalkan Islam secara keseluruhan (kaffah).
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam secara keseluruhannya, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. (Al-Baqarah: 208)
3. Menyebarkan kebaikan (amar ma’ruf) dan
mencegah kemaksiatan (nahi munkar) yang akan
menghancurkan sendi-sendi kehidupan individu,
masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang
tenteram dan penuh keridhaan Allah Subhanahu
wa Ta'ala.
46
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung."
(Ali Imran: 104)
4. Membentuk individu dan masyarakat yang
menjadikan Islam sebagai pegangan dan
pandangan hidup dalam segala sendi kehidupan
baik politik, ekonomi, sosial dan budaya.18
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-
benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh
dan nasehat menasehati, supaya mentaati
kebenaran dan nasehat-menasehati supaya
menetapi kesabaran." (Al-Ashr: 1-3)
18
Moh. Ali Aziz, Ilmu Da‟wah, Ed. I, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 69
47
G. Kategori Obyek Dakwah dan Cara
Berdakwah Kepada Mereka
Manusia sebagai obyek dakwah memiliki karakter
yang berbeda-beda karena keanekaragaman, perbedaan
pengetahuan, serta amalan mereka itulah maka hukum
derdakwah kepada merekapun berbeda.
Dari Abu Musa Radiyallahu ‘anhu berkata,
“Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Perumpamaan apa yang diutuskan Allah kepadaku
yakni petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan lebat yang
mengenai tanah. Dari tanah itu ada yang gembur yang
dapat menerima air (dan dalam riwayat yang mu'allaq
disebutkan bahwa di antaranya ada bagian yang dapat
menerima air), lalu tumbuhlah rerumputan yang banyak.
Daripadanya ada yang keras dapat menahan air dan
dengannya Allah memberi kemanfaatan kepada manusia
lalu mereka minum, menyiram, dan bertani. Air hujan itu
mengenai kelompok lain yaitu tanah licin, tidak dapat
menahan air dan tidak dapat menumbuhkan rumput.
Demikian itu perumpamaan orang yang pandai tentang
agama Allah dan apa yang diutuskan kepadaku
48
bermanfaat baginya. Ia pandai dan mengajar. Juga
perumpamaan orang yang tidak menghiraukan hal itu,
dan ia tidak mau menerima petunjuk Allah yang saya
diutus dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, kategori obyek Dakwah mencakup
hal-hal berikut ini:19
1. Orang yang kurang dalam keimanannya serta
bodoh dalam masalah hukum, maka kita harus
bersabar atas celaannya, dan kita terus menyeru
serta mengajarkan kepadanya dengan penuh
kelembutan dan kasih sayang, membimbing
dengan penuh perhatian, sebagaimana perilaku
Rasululllah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kepada
orang arab baduwi.
Dari Anas bahwasanya ia berkata:
19
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam:
Da‟wah Kepada Allah, Rabwah: Pustaka Islamhouse, 2009, hlm.50
49
"Ketika kami berada di mesjid bersama
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, datanglah
seorang badui kemudian kencing di dalam masjid.
Maka para shahabatpun membentak, ‘mah mah’
(Sebuah ungkapan bermakna membentak)” Anas
bercerita, “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda, ‘Janganlah marah kepadanya,
biarakanlah dia.’ Maka para sahabat pun
meninggalknnya, sehingga ia meneruskan
kencingnya sampai tuntas. Kemudian Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam memanggil dan
menasehatinya, ‘Sesungguhnya mesjid ini tak
pantas untuk kencing di dalamnya, atau buang
kotoran, sesungguhnya mesjid ini adalah tempat
untuk mengingat Allah, sholat dan memabca Al-
50
Qur'an.” Atau sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Lalu,
beliau memerintahkan seorang lelaki untuk
mengambil seember air lalu dituangkan pada
tempat kencingnya". (HR. Muslim)
2. Orang yang kurang dalam sisi keimanannya dan
kurang dari segi keilmuan serta hukum syar'i,
menyeru orang yang seperti ini harus dengan
hikmah, memberikan nasehat dengan cara yang
baik, supaya keimanannya bertambah, taat
kepada Rabbnya, dan bertaubat atas dosa-
dosanya.
51
Dari Abu Umamah ia berkata, “Seorang pemuda
belia datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam, kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah,
berilah izin kepada saya untuk berzina!’ Maka
para sahabat pun berdiri menghamprinya dan
memarahi pemuda tersebut, ‘Mah..mah...’
(Sebuah ungkapan bermakna memarahi dan
membentak) Lalu Rasulullah memerintahkan,
‘Suruhlah kemari,’ lalu lelaki tersebut mendekat.
Dan dia pun duduk. Lalu, Rasulullah bertanya
kepadanya, ‘Apakah engkau senang jika hal itu
(zina) terjadi pada ibumu?’ Tegas Rasulullah.
‘Tentu tidak, Demi Allah saya menjadi tebusan
bagimu.’ Jawabnya. ‘Orang lainpun tidak senang
jika hal itu terjadi pada ibu mereka.’ Tegas
Rasulullah. ‘Apakah engkau senang jika zina itu
52
terjadi pada anak perempuanmu?’ Tegas
Rasulullah. ‘Tentu tidak, Demi Allah saya menjadi
tebusan bagimu.’ Jawabnya. ‘Orang lainpun tidak
senang jika hal itu terjadi pada anak perempuan
mereka. Apakah engkau senang jika zina itu
terjadi pada saudarimu?’ Tegas Rasulullah. ‘Tentu
tidak, Demi Allah saya menjadi tebusan bagimu.’
Jawabnya. "Orang lainpun tidak senang jika hal
itu terjadi pada saudari mereka. Apakah engkau
senang jika zina itu terjadi pada bibimu (dari
pihak bapak)?’ Tegas Rasulullah. ‘Tentu tidak,
Demi Allah saya menjadi tebusan bagimu.’
Jawabnya. ‘Orang lainpun tidak senang jika hal itu
terjadi pada bibi mereka." Tegas Rasulullah.
"Apakah engkau senang jika zina itu terjadi pada
bibimu (dari pihak ibu)?’ Tegas Rasulullah. ‘Tentu
tidak, Demi Allah saya menjadi tebusan bagimu.’
Jawabnya. ‘Orang lain pun tidak senang jika hal
itu terjadi pada bibi mereka.’ Tegas Rasulullah.
Lalu Rasulullah meletakkan tangan Beliau pada
dirinya lalu berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah dosanya,
sucikan hatinya dan jagalah kemaluannya.’
53
Akhirnya, pemuda tersebut tidak melirik
sedikitpun kepada zina.” (HR. Ahmad bin
Hambal)
3. Orang yang kuat imannya dan bodoh dalam
hukum syar'i. Orang seperti ini didakwahi secara
langsung dengan menjelaskan hukum serta dalil
syar'inya, dijelaskan tentang bahaya perbuatan
maksiat, dihilangkan segala kemunkaran yang
terjadi pada dirinya.
Dari ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu bahwasanya
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam melihat
pada tangan seorang shahabatnya terdapat cincin
dari emas, maka beliau segera melepaskan dan
melemparkannya, kemudian bersabda:
54
“Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam melihat
sebuah cincin yang melilit pada tangan seorang
lelaki, maka beliau serta merta mencabut lalu
melemparnya, dan bersabda, ‘Salah seorang di
anatara kalian secara sengaja mencari bara dari
api neraka dan menjadikannya di tangannya.’
Dikatakan kepada lelaki tersebut setelah
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
meninggalknannya, ‘Ambillah cicinmu itu dan
manfaatkanlah dia.’ Lelaki itu menjawab, ‘Aku
tidak akan mengambil sesuatu yang telah
dicampakkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam." (HR. Muslim)
4. Orang yang kuat keimanannya serta mengerti
hukum-hukum syar'i. Maka tidak ada alasan
baginya, pengingkaran (terhadap maksiat yang
dilakukannya) lebih tegas dan menghadpainya
dengan cara yang lebih keras dibanding dengan
orang-orang yang sebelumnya, agar dirinya tidak
menjadi contoh bagi yang lainnya dalam
bermaksiat. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam telah mengasingkan tiga orang
55
shahabat selama limapuluh hari karena telah
menyelisihi perintah Rasul Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam, yaitu tidak ikut berperang dalam perang
tabuk. Rasul memerintahkan orang-orang supaya
menjauhi mereka (dengan tidak berbicara dengan
mereka), peristiwa ini terjadi tatkala para
shahabat pergi keluar dari kota Madinah untuk
berjihad dalam perang tabuk, padahal ketiga
orang shahabat tersebut tidak mempunyai
halangan apapun dan mereka adalah orang yang
sempurna dalam keimanan dan keilmuannya.
Akhirnya, Allah menerima taubat mereka. Mereka
adalah: Hilal bin Umayyah, Murarah bin Rabi' dan
Kaab bin Malik (semoga Allah meridhai mereka).
Kisah tentang mereka ini lebih jelasnya lagi ada
dalam shahih Bukhori dan Muslim.
"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi
56
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi
itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula
terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari
(siksa) Allah, melainkan kepada Nya saja.
Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya
Allah lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang." (Al-Taubah: 118)
5. Orang yang awam dalam keimanan serta awam
dalam hukum syar'i. Dia diajak kepada tauhid dan
laa ilaha ilallah, dikenalkan kepadanya nama
Allah dan sifat-sifat-Nya yang agung, diterangkan
pula baginya janji-janji Allah dan ancaman-
ancaman-Nya, kenikmatan-kenikmatan yang
diberikan serta karunia-Nya. Dijelaskan pula
baginya keagungan dan kekuasaan Allah, hanya
Dialah yang menguasai semua urusan dan
perkara seluruh makhluk. Kemudian ketika
keimanannya telah merasuk dan kokoh, maka
diajarkan baginya secara bertahap tentang sholat,
zakat, puasa dan seterusnya.
57
"Bahwasanya Rasulullah ketika mengutus Mu'adz
menuju Yaman, beliau berpesan, ‘Sesungguhnya
engkau akan mendatangi kaum ahli kitab, maka
hendaklah ajakan yang pertama bagi mereka
adalah menyembah Allah, maka apabila mereka
telah mengetahui Allah maka beritahukan kepada
mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada
mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam,
apabaila mereka mengerjakannya maka
beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah
mewajibkan atas mereka zakat harta yang
dibagikan kepada orang-orang fakir dari kalangan
mereka, dan apabila mereka mentaati perintah
tersebut, maka ambillah harta zakat tersebut dan
58
jagalah bagian harta yang mahal milik mereka.’"
(HR. Bukhari)
H. Tantangan dan Problematika Dakwah20
Dalam memenuhi panggilan dakwah, para da’i atau
juru dakwah akan berhadapan dengan permasalahan
atau problematika yang menghambat keberhasilan
dakwah itu sendiri, dalam kenyataannya problematika
itu sudah menjadi suatu keniscayaan, sudah merupakan
sunnatullah, tidak ada keberhasilan tanpa melewati
rintangan.
Problema tersebut muncul sebagai akibat cara atau
sikap umat Islam dalam memandang dan merealisasikan
ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Aisha B. Lemu
menyebutkan tiga pola sikap beragama umat Islam, yaitu
20
- Dr. Ibdalsyah, Problematika Dakwah Islam, Makalah
disampaikan pada Training Pelatihan Khatib Majelis Ta’mir Masjid Al-
Hijri II Universitas Ibn Khaldun Bogor, 22-23 Rajab 1426 H/27-28
Agustus 2005 M.
59
yang semberono (laxity), yang moderat (moderation)
dan yang ekstrim (extremism).21
Laxity yaitu sikap semberono dan lengah yang
menyebabkan kegagalan untuk menunaikan ajaran
dasar, pengabaian kewajiban beribadah dan kelalaian
untuk tunduk kepada petunjuk moral dari syari’ah
dalam berbagai-bagai aspek kehidupan Islam, keadaan
ini melahirkan problematika tersendiri yang mesti
disikapi dengan bijak, penuh hikmah dan lapang dada.
Beberapa penyebab dari sikap semberono ini adalah
kerena kurang informasi mengenai Islam, baik prinsip-
prinsip moral maupun prinsip-prinsip perintah dan
larangan, kurang mendapat bimbingan, kondisi sosial
masyarakat yang tidak kondusif, serta budaya yang jauh
dari nilai-nilai Islam.
Moderation yaitu sikap moderat dalam beragama
dengan melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi
segala larangan petunjuk moral-Nya, memahami serta
mengamalkan prinsip-prinsip dasar Islam dalam setiap
21
Aisha B. Lemu, Laxity, Moderation and Extremism, Herndon
USA: IIIT, 1993, hlm.1
60
situasi yang muncul tanpa berlebih-lebihan,
melakukannya sesuai dengan tuntunan dan sesuai
dengan kemampuan, tidak memaksa diri yang sampai
menimbulkan kesulitan.
Extremisme, yaitu sikap beragama yang jauh dan
melampai nilai-nilai agama, baik dalam pemikiran, sikap
dan perilaku yang diungkapkan dalam bentuk ghuluw
(berlebih-lebihan), dan tasydîd (mempersulit diri, dan
fanatik). Sikap beragama yang ekstrim ini melahirkan
sikap tidak sabar dan tidak ada toleransi, serta seringkali
merugikan orang lain kerena ingin benar sendiri,
disamping itu mempunyai rasa kecurigaan yang tinggi
terhadap orang lain.
Diantara sebab-sebab ekstrimitas ini menurut Aisha
B. Lemu adalah:
1. Kurangnya ilmu pengetahuan dan wawasan
tentang tujuan, spirit (ruh) dan esensi yang
mendasari keimanan dalam ajaran Islam.
2. Kurang memahami realitas, sejarah dan
sunnatullah yang berlaku.
61
3. Sikap lengah dan kurang hati-hati terhadap nilai-
nilai Islam.
4. Akibat tekanan dan penindasan yang dilakukan
oleh rejim yang berkuasa untuk mengekalkan
kepentingan politiknya.22
Dalam mengantisipasi sikap ekstrim dalam
beragama ini diperlukan komitmen yang murni terhadap
Islam, dan memperdalam wawasan dalam memahami
dan menafsirkan makna-makna yang terkandung di
dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam memandang problematika dakwah ini, dapat
dikategorikan kepada problematika yang bersifat
internal, artinya problematika yang muncul dari diri juru
dakwah itu sendiri dan problematika eksternal, yaitu
problematika yang dihadapi oleh juru dakwah dari luar
dirinya, realitas yang terjadi pada lingkungan
masyarakatnya.
1. Problematika Internal
22 Ibid. hlm. 11 – 15.
62
Da’i sebagai pengemban dakwah mempunyai
problematika yang muncul dari internal diri da’i itu
sendiri, namun dampaknya akan terasa dan sangat
berpengaruh dalam kehidupan sosial dan masyarakat.
Di antara problematika dakwah menurut Muhammad
Al-Ghazali, di antaranya, yaitu:
(a) Tidak memiliki profesionalitas23
Di era modern ini professionalitas sudah menjadi
tuntutan dan keniscayaan, kerena menyangkut
skill dan ketrampilan dalam memahami lapangan
dakwah dan dituntut juga untuk menerapkan
formula-formula dakwah yang sesuai dengan
situasi dan kondisi, sehingga misi dan visi
dakwah dapat terwujud dalam realitas, tidak
mengawang di alam idea. Oleh kerena itu juru
dakwah dituntut melengkapi dirinya dengan
kemahiran retorik dan memahami psikologi
massa serta wawasan yang luas, baik dalam
dakwah melalui lisan maupun tulisan. Namun
23
Muhammad Al-Ghazali, Kayfa Nafham al-Islâm. hlm. 21
63
dalam kenyataannya para da’i keterbatasan
kemampuan tersebut kerena beberapa faktor, di
antaranya; (a) tingkat pengalaman dan
pendidikan yang belum memadai. (b) perhatian
dan waktu yang terbatas, sehingga tugas dakwah
hanya merupakan tugas sampingan.
(b) Aplikasi dakwah yang tidak disertai dengan
hikmah (wisdom)24
Kebijaksanaan dan kepiawaian da’i dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah sangat
urgen dan diperlukan sekali, sehingga tidak
menimbulkan benturan-benturan yang akan
menghilangkan mutu dan nilai dari dakwah itu
sendiri. Dakwah yang tidak disampaikan dengan
hikmah akan menimbulkan persoalan-persoalan
baru yang sebetulnya dapat dihindari atau tidak
perlu terjadi, misalnya melahirkan keresahan di
kalangan masyarakat, sehingga timbulah sikap
antipati terhadap dakwah Islam itu sendiri.
24
Ibid
64
Islam adalah agama yang mengutamakan
keharmonisan dan keseimbangan (tawâzun),
kalau diperhatikan nash-nash Al-Qur’an
menyebut Islam dengan jalan yang lurus atau al-
dîn al-qayyimah (Al-Bayyinah: 5), baik dari
perspektif aqidah, ibadah, maupun sikap atau
perilaku. Jalan ini jauh dari kesesatan dan
kemarahan Allah, inilah yang disebut ummat
wasatha, yaitu umat yang adil, lurus dan menjadi
saksi bagi umat-umat terdahulu (Al-Baqarah:
143)
Sikap melampau batas ini disebut dengan ghuluw
(melampaui batas), tanatthu’ (melebihi kapasitas
diri) dan tasydîd (menyusahkan diri). Al-ghuluw
ini disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya, An-Nasa’i dan Ibn Majah, Rasulullah
bersabda:
“Hindarkanlah daripadamu sikap ghuluw
(melampau batas) dalam agama, kerena
65
sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah
binasa kerenanya”.25
Orang-orang terdahulu yang disebut oleh hadits
tersebut adalah umat nashrani yang melampai
batas dalam melaksanakan ajaran-ajaran
agamanya, dan Allah melarang mereka
melakukan perbuatan yang melampaui batas itu
(Al-Nisa’:171)
Larangan tanaththu’ diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shahihnya, bahwa Rasulullah
bersabda:
« Binasalah kaum al-mutanaththi’un (melebihi
kapasitas diri), Rasulullah mengulang-ulang
kalimat ini sampai tiga kali ».26
25
Yusuf al-Qardhawi, Islam Ekstrim, terj. (Bandung: Mizan,
1991), hlm. 17.
66
Pengulangan kalimat yang dilakukan oleh
Rasulullah menunjukkan betapa berbahayanya
sikap berlebih-lebihan ini, salah satu dampaknya
adalah memberikan kesan bahwa ajaran Islam itu
memberatkan, pada hal Allah menginginkan
kemudahan bagi hamba-Nya (Al-Baqarah: 185)
Begitu juga sifat tasydîd atau menyusahkan diri
dilarang oleh Rasulullah dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan Abu Ya’la dalam musnadnya,
yaitu Rasulullah bersabda:
”Janganlah kamu memberatkan dirimu, nanti
Allah memperberat atas kamu, suatu kaum telah
memberati diri mereka sendiri sehingga Allah
memperberat atas mereka. Lihatlah sisa-sisa hal
itu sepeti cara hidup para pendeta Nashrani..27
26
Imam al-Nawawi, Riyâdh al-Shâlihîn, (Jaddah: Dar al-Qiblah
lil-Tsaqafah al-Islamiyah, 1990), hlm.93. 27
Yusuf al-Qardhawi, Islam Ekstrim, hlm. 19
67
Betapa Rasulullah melarang dengan tegas sikap
melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam
beragama kerena memang tidak sesuai dengan
karakter ajaran Islam yang memberi kemudahan
bagi umatnya, Islam diturunkan Allah bukan
untuk mendatangkan kesulitan bagi umatnya,
tapi sebagai rahmat bagi kehidupan manusia.
(c) Tidak ikhlas28
Dalam menebarkan dakwah Islam, sifat
keikhlasan ini sangat fundamental dan
menentukan keberhasilan. Sebab, dakwah yang
disampaikan melalui hati yang ikhlas akan
diterima pula oleh hati yang ikhlas. Tetapi, jika
dakwah sudah dimotivasi oleh kepentingan-
kepentingan lain, atau ambisi pribadi, maka
dakwah tidak akan mencapai sasarannya. Seruan
dakwah menjadi kehilangan ruhnya, tidak
membekas di hati, masuk telinga kanan keluar
telinga kiri.
28
Muhammad al-Ghazali,Kayfa Nafham al-Islâm, hlm.21
68
Hati yang tidak ikhlas akan melahirkan sikap
lemah semangat jika harapan-harapan juru
dakwah tidak tercapai. Sifat ini disebut futhûr
(kejenuhan) atau akan melahirkan sikap over-
acting juru dakwah manakala didepan matanya
menunggu keuntungan materi dan popularitas.
(d) Sikap tidak mau berkorban29
Sikap tidak mau berkorban ini, baik berkorban
waktu atau materi, merupakan refleksi dari
ketidak ikhlasan hati juru dakwah. Dia hanya
berfikir dalam perspektif keuntungan diri
pribadinya. Keadaan ini akan menyebabkan si
juru dakwah mengalami kondisi futûr atau
kebosanan dalam menjalankan dakwah.
Konsekwensi dari penyakit ini akan melahirkan
dualisme dari sikap juru dakwah. Berbeda antara
perilaku dengan apa yang disampaikan, tidak
sama antara kata dan sikap, terjadi dualisme
dalam diri seorang da’i, di mana orang
mendengarkan taushiyah agama, pesan-pesan
29
Ibid
69
ketaqwaan dari bibir seorang da’i. Namun,
ironisnya sikap dan perilaku da’i tersebut tidak
mencerminkan apa-apa yang dia ucapkan, terjadi
dikotomi di dalam diri da’i, perilakunya tidak
seperti apa yang diucapkan.30 Bahkan bisa
menimbulkan penyakit yang lebih fatal, yaitu sifat
apatis, putus asa, dan merasa kalah dan tidak
mampu sebelum berjuang, seiring dengan wabah
ini faham tasawuf menebar dalam kehidupan
umat Islam, kaidah-kaidah hukum telah binasa,
begitu pula dengan metode pendidikan.31
(e) Kebekuan intelektual32
Sifat ini mengakibatkan juru dakwah ketinggalan
informasi. Sehingga, terjadilah kesenjangan
dalam penyampaian dakwahnya, tidak sesuai
antara idea yang disampaikan dengan realitas,
setidaknya dakwahnya tidak mengenai sasaran
yang diharapkan. Atau, dakwahnya tidak mampu
menjawab persoalan umat. Beberapa kelemahan
30
Ibid, hlm. 32. 31
Ibid, hlm. 44. 32
Ibid.
70
da’i yang disebutkan oleh Muhammad Al-Ghazali,
yaitu:
1) Da’i yang menghafal beberapa topik khutbah
untuk disampaikan, tanpa memperhatikan
situasi dan kondisi audiens (al-mad’u).
2) Da’i yang hanya fokus pada keindahan kata
dan bahasa, lalu menyampaikan pada satu
dua pertemuan.
3) Da’i yang menyampaikan beberapa topik
yang berbeda, mencampuradukan dengan
cerita-cerita yang tidak ada relevansinya,
sehingga ada kesan kacau balau dalam
paparan ceramahnya.
Muhammad Al-Ghazali menyebut da’i tersebut
dengan da’i yang kurang informasi dan tukang
hafal mahfuzhat.33 Peran utama da’i adalah
sebagai problem solver (mencari solusi) terhadap
masalah-masalah umat, oleh kerena itu agar
33
Muhammad al-Ghazali, Ma‟allah. hlm. 190.
71
peran ini terlaksana, maka dituntut da’i yang
mempunyai wawasan yang luas dalam
memahami Al-Qur’an, Sunnah, serta sirah
(biografi) kehidupan dan perjuangan Rasulullah
dengan para sahabatnya. Kelebihan Muhammad
Al-Ghazali dalam menyampaikan dakwahnya,
materinya selalu hidup dan aktual serta mampu
menjawab permasalahan semasa, dan
kontemporer.
(f) Penyampaian yang humoristik
Da’i yang menyampaikan pesan-pesan dakwah
melalui humor yang memancing tertawa hadirin,
terkesan mendangkalkan nilai-nilai agama
Islam.34 Sebetulnya, humor itu perlu dalam
rangka menghilangkan kejenuhan pendengar,
tentu dilakukan sekedarnya saja, tidak berlebih-
lebihan. Tetapi, apabila dilakukan mulai dari awal
ceramah sampai selesai, maka dakwah bukan lagi
menyampaikan kebenaran, tetapi lebih kepada
34
Muhammad al-Ghazali, Kayfa Nafham al-Islâm, hlm. 84
72
hiburan. Tentunya, visi dan misi dakwah tidak
akan tercapai.35
Diantara solusi untuk mengatasi
problematika internal yang dialami oleh juru
dakwah tersebut, yaitu :
1) Para juru dakwah berusaha merasakan
keindahan kebenaran, sebagaimana
merasakan kekaguman terhadap ayat-ayat
al-Qur’an.
2) Berkompetisi dalam mencapai
kesempurnaan jiwa dengan meningkatkan
intensitas ibadah dan jihad.
3) Menjunjung nilai-nilai ukhuwah Islamiyah.
4) Menegakkan nilai-nilai keadilan, kebebasan
(kemerdekaan berpendapat), dan
persamaan (tidak merasa diri lebih baik dari
orang lain).
5) Bergairah dan antusias dalam
mengembangkan potensi berfikir dan
mendalami keilmuan Islam.36
35
Ibid
73
2. Problematika Eksternal
Diantara problema eksternal dalam dakwah
yaitu:
a) Keterbelakangan budaya atau peradaban37
Indikator keterbelakangan ini terlihat nyata dari
kondisi umat sekarang ini. Di mana, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan menjadi
milik sendiri, tetapi merupakan hasil impor dari
negara non Muslim, seperti Amerika dan Eropa.
Jadi, umat Islam statusnya sebagai konsumen
yang sudah tentu akan selalu tertinggal dari
negara-negara produsen kemajuan ilmu dan
teknologi tersebut. Umat Islam statusnya sebagai
yang ditentukan bukan yang menentukan,
keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan tanpa ada
respon dan usaha preventif dalam upaya
menanggulangi ketertinggalan dan
keterbelakangan.
36
Ibid, hlm. 23 37
Muhammad al-Ghazali, Humu Da‟iyah, hlm. 142
74
b) Kebobrokan Politik38
Kebobrokan politik ini ditandai dengan
pemerintahan yang diktator, terdapat jurang
pemisah antara penguasa dengan rakyat, sang
penguasa akan hidup dengan segala macam
kemewahan, disisi lain rakyat hidup dalam segala
keterbatasan, bahkan berkekurangan, ketidak
adilan hukum menjadi fenomena dari
pemerintahan yang korup, di sana-sini terjadi
penindasan kaum kaya terhadap yang lemah.
Muhammad Al-Ghazali berpendapat, bahwa ada
tiga faktor penyebab kecacatan politik Islam,
yaitu:
1. Kekeliruan dalam memahami makna syura,
dan ketidak mengertian dalam
penerapannya dalam bidang hukum.
2. Kebutaan terhadap peristiwa-peristiwa
buruk yang menimpa umat Islam selama
berabad-abad yang panjang di bawah
38
Ibid, hlm. 144
75
pemerintahan diktator, di samping tidak
adanya majlis syura.
3. Ketidak tahuan tentang dasar-dasar
kemanusiaan yang menjadi tumpuan
peradaban modern.39
Dalam hal ini Muhammad Al-Ghazali menilai
bahwa umat harus berfikir kritis dan rasional,
terutama dalam memahami politik Islam diera
modern ini, peristiwa-peristiwa masa lalu harus
dijadikan pelajaran berharga sehingga tidak
terulang lagi.
c) Keterbelakangan Ekonomi40
Kondisi ini ditandai oleh sistem ekonomi ribawi
yang mendominasi kehidupan umat Islam.
Sistem ini telah menjauhkan kehidupan umat dari
nilai-nilai keberkahan dan kemanusiaan. Yang
dominan adalah penjajahan dan dominasi
pemodal besar terhadap pemodal kecil atau
lemah.
39
Ibid. 40
Ibid, hlm. 146
76
Sistem Kapitalisme pun turut menggerogoti
perekonomian umat Islam. Di mana, modal hanya
beredar di antara orang- orang kaya saja.
Kelanjutan dari kondisi ini menyuburkan pola
kehidupan materialisme. Standar kehidupan
diukur dengan kemapanan ekonomi, sehingga
pola pikir yang terbentuk adalah pola
mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan
apa yang terjadi pada orang lain.
Jurang pemisah antara yang kaya dengan yang
miskin semakin lebar. Pengelolaan zakat masih
belum terlaksana dengan baik, kerena lembaga-
lembaga zakat belum memiliki manajemen yang
rapi. Ditambah lagi, kesadaran berzakat yang
masih kurang di kalangan kaum Muslimin
akibatnya pengelolaan harta zakat masih belum
maksimal, dan belum tersalurkan dengan baik.
d) Keterbelakangan Sosial41
41
Ibid, hlm. 149
77
Kondisi keterbelakangan sosial terlihat dari
pelecehan terhadap wanita. Di mana, wanita
diposisikan sebagai kelompok marginal yang
mesti tunduk pada kemauan lelaki, sehingga
eksploitasi wanita dalam berbagai bidang sangat
terasa sekali. Wanita hanya sebagai pemuas hawa
nafsu dengan semakin maraknya praktek
prostitusi. Kerapuhan institusi keluarga yang
ditandai dengan kehidupan keluarga yang tidak
bahagia (broken home), banyak anak-anak yang
terlantar pendidikannya, sehingga melahirkan
problema sosial secara umum.
I. Ta’awun Dalam Dakwah42
Salah satu tugas utama kaum muslimin, apapun
posisi, jabatan, kedudukan, dan keahliannya adalah
melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar (dakwah)
dalam pengertian yang seluas-luasnya. Amar ma’ruf nahi
munkar bukanlah hanya sebatas dengan perkataan dan
pernyataan saja, akan tetapi terlebih lagi dengan
42
- Didin Hafidhuddin, Membangun Konsep Alternatif , Republika,
kolom HIKMAH.
78
tindakan, perbuatan, dan contoh-contoh kongkret dalam
realitas kehidupan.
Memberikan solusi dan jalan keluar terhadap
berbagai persoalan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat, merupakan salah satu kunci utama
keberhasilan pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi
munkar. Kemandegan dan kebuntuan, bahkan
kecenderungan degradasi yang menghancurkan bangsa
dan negara saat ini hendaknya menjadi salah satu
prioritas utama untuk dipecahkan dalam kegiatan
dakwah tersebut. Artinya, dakwah dalam bidang
muamalah merupakan sebuah keniscayaan yang harus
dilakukan dengan penuh kesungguhan. Konsep-konsep
alternatif untuk memecahkan masalah bangsa, yang
bersumberkan nilai-nilai Ilahiyyah harus dilakukan.
Sebab kita yakin hanya dengan nilai-nilai tersebutlah,
masalah bangsa dan negara sedikit demi sedikit bisa
dipecahkan.
Keberhasilan melahirkan konsep alternatif dan
mengimplemen-tasikannya di tengah-tengah kehidupan,
hanyalah mungkin terjadi bila dilaksanakan dalam
79
tatanan kebersamaan dan kejamaahan serta dalam
barisan yang rapi dan teratur. Sinergi, taawwun, dan
koordinasi antar berbagai elemen umat yang dilandasi
sikap saling menghargai dan saling membutuhkan
merupakan sebuah kebutuhan. Rahmat dan pertolongan
Allah yang sangat kita butuhkan, hanyalah akan turun
jika Al Wala (saling tolong-menolong) terjadi antara
sesama orang-orang yang beriman. Perhatikan Firman
Allah dalam Al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 71.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
80
Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita agar
senantiasa berta’awun dalam melakukan amar makruf
nahi munkar. Ta’awun ini akan menguatkan barisan
kaum muslimin di medan dakwah. Tanpa ta’awun, sudah
dapat dipastikan bahwa barisan dakwah akan terpecah
belah, dan mudah dikalahkan oleh musuh-musuh
dakwah. Oleh karenanya, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam memerintahkan kita agar tetap dalam satu
barisan dakwah, dan menjauhi perpecahan. Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Hendaklah kalian tetap dalam satu jamaah, dan
jauhilah perpecahan, karena sesungguhnya setan
bersama orang yang sendirian, dan dia lebih menjauhi
dari dua orang, dan siapa ingin dirindukan syurga, maka
hendaklah ia tetap dalam satu jamaah.” (HR. Ahmad)
Sebaliknya, jika yang terjadi pertentangan,
perseturuan, dan saling berbantahan antara sesama
komponen umat, karena hanya ingin mendapatkan
81
materi, jabatan, dan kedudukan yang sifatnya sesaat dan
fatamorganis untuk memuaskan pribadi dan
kelompokknya, maka kehancuranlah yang akan
dirasakan oleh kaum muslimin. Konsep-konsep
alternatif yang aplikatif tidak mungkin bisa diwujudkan
apalagi direalisasikan, karena terkurasnya energi dan
kekuatan untuk menghadapi pertentangan tersebut.
Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-
Anfaal, ayat ke-46.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.”
Karena itu membagun sinergi dan taawwun antar
sesama kaum muslimin merupakan hal yang sangat
mendesak untuk segera direalisasikan, agar konsep-
82
konsep alternatif yang aplikatif dalam memecahkan
berbagai persoalan umat Islam dapat segera
diwujudkan. Sebab, dengan berta’awun, kesuksesan dan
kemenangan dakwah akan mudah diraih oleh kaum
muslimin. Hal itu sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah
dalam firmannya.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” Allah menjanjikan kepada orang-orang
mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga
83
yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka
di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus
di surga ´Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu
adalah keberuntungan yang besar.” (At-Taubah: 71-72)
Ayat tersebut, secara jelas menyebutkan bahwa
kemengangan akan diraih oleh kaum muslimin, setelah
mereka mau melaksanakan konsep jamaah dalam
kehidupan dakwahnya.
84
BAB II
AKHLAK PENDAKWAH
Sesungguhnya da'i yang mengajak kepada
kebenaran bagaikan menara tinggi yang bisa di lihat dari
kejauhan sehingga dapat menjadi petunjuk bagi orang
yang sedang tersesat atau kebingungan. Dirinya
bagaikan tempat berteduh yang sejuk bagi orang yang
sedang kepanasan dari teriknya sinar matahari atau bagi
orang yang sedang dalam perjalanan, yang dengan itu
maka dirinya bagaikan titik yang terkumpul bagi para
mad'u (obyek Dakwah).43
Oleh karena itu, seseorang yang telah bertekad
untuk berdakwah di jalan Allah, sudah seharusnya
membekali dirinya dengan Akhlak mulia. Sebab, dengan
Akhlak ini masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya
akan melihat dan mencontoh dari apa yang
didakwahkannya. Tanpa akhlak, seorang da’i akan
tercela di jalan dakwah yang ditekuninya. Hal ini
sebagaimana Allah berfirman kepada Nabi-Nya Syu’aib,
43
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islam House, 2012 , hlm.139
85
agar dalam berdakwah seorang da’i harus senantiasa
memberikan keteladanan yang baik sehingga membawa
perubahan kearah yang positif di tengah-tengah
masyarakat,
“Dan aku tidak bermaksud menyalahi kalian (dengan
mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) kebaikan semampuku.” (Hud:
88)
Allah juga berfirman:
“Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan
orang yang Berdakwah ke jalan Allah dan beramal
shalih?”. (Fushshilat: 33)
Allah juga berfirman:
86
“Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku,
(yaitu) saya Berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah,
(ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku.
Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum
musyrikin.” (Yusuf: 108)
Dengan demikian, akhlak da’i sangat penting untuk
dimiliki oleh setiap pendakwah, karena hal itu memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas dakwah
yang diembannya.
Sifat-sifat dan akhlak bagi pendakwah (da’i) tersebut
akan dijelaskan dalam uraian sebagaimana berikut:
A. Al-Ikhlas
Ikhlas dalam berdakwah adalah pilar dari dakwah
para Nabi dan Rasul terdahulu. Mereka berdakwah di
jalan Allah tanpa mengharapkan imbalan duniawi dari
kegiatan dakwah yang mereka jalankan, tidak pula
87
karena kedudukan dan jabatan sosial di masyarakat.
Akan tetapi, dakwah mereka hanya semata karena Allah
dan untuk menegakkan kalimat tauhid di muka bumi ini.
Hal itu tampak jelas dalam firman Allah berikut ini,
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian
atas Dakwahku ini upah/bayaran.” (Hud: 51)
“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian
atas Dakwahku ini harta.” (Hud: 29)
Ikhlas secara bahasa (lughah) memiliki beberapa
makna, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Tashfiyah, Al-tanqiyah, Al-Tahdzib , yaitu
memurnikan sesuatu dari segala macam
campuran.
2. Al-Tauhid, yaitu mengesakan
3. Al-Takhshish, yaitu mengkhususkan
88
4. Al-Najah, yaitu selamat dari sesuatu.
5. Al-Ihsan, yaitu memperbaiki dan
menyempurnakan.44
Adapun secara istilah, para ulama berbeda redaksi
(ibarah) dalam menggambarkanya, tetapi pada intinya
sama. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan
tujuan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan
Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang
berpendapat, ikhlas adalah menyelamatkan ibadah dari
pamer (riya’) kepada makhluk. Ada pula yang
berpendapat, ikhlas adalah mensucikan amal dari sifat
ujub, dan segala macam penyakit hati (afat al-qulub).45
Al Harawi mengatakan, “Ikhlas ialah membersihkan
amal dari setiap noda.” Ulama Yang lain berkata,
“Seorang yang ikhlas ialah seorang yang tidak mencari
perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki
44
Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, Madinah
Munawarah: Dar Al-thaibah, 1987, hlm. 184, Ibn Faris, Mu‟jam maqayis Al-
Lughah, Libanon: Dar Al-Fikr, 1415 H., hlm.327, hlm.6, Ibn Hajar Al-
Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418 H., Vol. 10, hlm.589 45
Abdul Lathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar, Darul Wathan,
1412 H., www.alabdullatif.islamlight.net, hlm.5, Al-Ghazali, Ihya‟ Ulum Al-
Din, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1420 H., Vol.4, hlm.502
89
hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya
manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun
hanya seberat biji sawi (dzarrah)”.46
Sementara, Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan
beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah,
apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.47
Sa’id bin Zubair mengatakan, “ikhlas adalah mensucikan
diri dalam melakukan amal dari segala sifat riya, dan
menjadikan amalan ibadah hanya karena Allah”.48
Al-Qurthubi berkata, ”Ikhlas adalah memurnikan
amalan ibadah dari campuran kepentingan duniawi”.49
Ibn Hajar Al-Ashqalani berkata, “Ikhlas bermakna ihsan,
yaitu seseorang melakukan amal ibadah, seakan-akan Ia
46
Ibid 47
Ibn Qayyim, Madarijus Salikin, Kairo: Darul Hadits, Vol.2, hlm.95-
96 48
Al-Marwazi, Ta‟dzim Al-Shalat, Madinah Munawarah: Maktabah
Al-Dar, 1406 H., Vol. 2, hlm.566 49
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam AL-Qur‟an, Kairo: Dar Al-Hadist,
1414 H., Vol.2, hlm.151
90
melihat Allah, atau merasa bahwa dirinya selalu dilihat
oleh Allah”.50
Dari uraian singkat pendapat para ulama di atas,
dapat dikatakan bahwa ikhlas adalah seseorang berniat
dengan amal ibadahnya, hanya untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah semata, bukan karena mencari
pujian manusia, atau mencari kepentingan duniawi.
Dengan demikian, seseorang akan selalu memperbaiki
amalannya, dengan cara mentauhidkan-Nya dan tidak
mensyirikkan amalan tersebut kepada selain Allah.
Adapun mengenai dalil-dalil yang menjelaskan
tentang pentingnya ikhlas dalam melakukan amalan
ibadah, khususnya dalam berdakwah, adalah terdapat di
dalam Al-Qur’an dan Al-Sunah.
Dalil-dalil dari Al-Qur’an tentang ikhlas adalah
sebagai berikut:
50
Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh: Dar Al-Salam, 1418
H., Vol. 10, hlm.589
91
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-
nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan
janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan
Rabb- nya. (Al Kahfi: 110)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 5)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan
supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
(Az-Zumar: 11)
92
“Padahal tidak ada seseorangpun memberikan
suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya,
Tetapi (Dia memberikan itu semata-mata) Karena
mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi.”
(Al-Lail: 19 – 20)
“Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al-Insaan:
9)
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya
dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
93
dunia kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (Asy-Syuuraa: 20)
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka
balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-
orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu”. (QS.Hud: 15-16)
Adapun dalil-dalil dari Al-Sunah tentang ikhlas
adalah sebagai berikut:
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam seraya
berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang)
seseorang yang berperang demi mencari upah dan
sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah
94
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab,”Dia tidak
mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi
pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam selalu menjawab, orang itu tidak
mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran),
kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal
perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan
(dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.51
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al
Khathab, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah
bersabda:
51
HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan
Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-27 no. 9. Dihasankan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8
95
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena
dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang
ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.” 52
Di dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah,
sesungguhnya Rasulallah saw bersabda, Allah berfirman
(hadits qudsi):
52
HR. Muslim, no:1907
96
“Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang
melakukan suatu amal ibadah yang ia menyekutukan
selain-ku bersama-Ku, niscaya Aku meninggalkannya
dan sekutunya.”53
Jadi, ikhlas merupakan akhlak yang wajib dimiliki
oleh seorang da’i, karena ini merupakan pondasi yang
dibangun di atasnya semua amal ibadah dan ikhlas
merupakan pilar agama yang Allah Ta’ala yang murni
(khalis), yang disucikan dari segala sekutu selain Allah.
Tanpa ikhlas, segala amal Dakwah yang telah dilakukan
akan sia-sia belaka, dan tidak mendatangkan
kemaslahatan bagi umat. Dengan demikian, da’i yang
ikhlas dalam berdakwah, dirinya senantiasa melakukan
segala aktifitas dakwahnya hanya karena mengharap
ridha Allah, dan tidak berharap imbalan dari manusia.
Inilah yang dicontohkan oleh para nabi dan Rasul dalam
berdakwah menyampaikan risalah Allah, sebagaimana
terdapat dalam firman Allah berikut ini:
53
HR. Muslim, no. 29985
97
“Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, Aku tiada meminta
harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
upahku hanyalah dari Allah.” ( Huud: 29)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Zuhudlah terhadap dunia maka Allah akan
mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang di tangan
manusia maka manusia akan mencintaimu” (HR. Ibnu
Majah)
B. Siddiq
Dari segi bahasa, sidiq berasal dari kata
shadaqa( صدقا -صدق –من صدق : الصدق ) yang memiliki
beberapa arti yang satu dengan yang lain saling
melengkapi, yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn
Qayyim bahwa sidiq bermakna mendapatkan sesuatu
dengan sempurna, tercapainya kekuatan dengan
sempurna, dan bersatunya bagian-bagiannya ( حصول الشء
Kesempurnaan tersebut .(وتمامه ، وكمال قوته ، واجتماع أجزائه
98
tercapai, karena terdapat di dalamnya keteguhan pada
kebenaran, kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan.
Dengan demikian lawan kata dari sidiq adalah kadzib,
yaitu dusta, bohong, berkhianat, dan kemunafikan.54
Adapun secara istilah, sidiq adalah
menyempurnakan amal hanya untuk Allah. Hal itu dapat
dicirikan dengan kesesuaian dzahir (amal) dengan
bathin (iman). Karena orang yang dusta (kadzib) tidak
akan dapat menyempurnakan amal, alasannya yaitu
dusta merupakan bentuk kemunafikan sehingga
dzahirnya tidak sama dengan bathinnya.55
Sidiq merupakan salah satu akhlak yang harus
dimiliki oleh seorang da’i. Dengan sifat sidiq ini, seorang
da’i akan senantiasa berjalan di atas kebenaran yang
sempurna. Karena sidiq adalah pilar dari segala
kebaikan yang sempurna, yang memiliki dimensi yang
luas, karena mencakup segala aspek keislaman.56
54
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Madarij Al-Salikin, Dar Al-Kutub Al-
Arabi, 1996, Bab Al-Manazil 55
-Muhammad Ibn Abdillah Al-Andalusi, Ahkam AL-Qur‟an, Dar Al-
Kutub AL-Ilmiyah, Vol.2, hlm.598 56
Ibid
99
Keutamaan sifat sidiq tersebut dapat kita lihat dalam
penjelasan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagaimana
berikut:
1. Sifat sidiq adalah perintah Allah yang harus kita
taati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar (sidiq). (At-Taubah:
119)
2. Sidiq juga merupakan perintah Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Sufyan
ketika bertemu dengan raja Hirakleus:
100
Apa yang dia perintahkan pada kalian?, Abu
Sufyan menjawab, “Untuk menyembah Allah dan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, meninggalkan semua ajaran nenek
moyang, mendirikan shalat, bersikap sidiq
(jujur/ benar), sopan santun dan menyambung
tali persaudaraan. (HR.Buhari dan Muslim)
3. Sidiq adalah pilar dari segala kebaikan.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu,
dari Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa
101
Sallam. bahwasanya beliau bersabda.
“Sesungguhnya sidiq itu membawa pada
kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada
surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia
dikatakan sebagai seorang yang siddiq.
Sementara kedustaan akan membawa pada
keburukan, dan keburukan akan mengantarkan
pada api neraka. Dan seseorang berperilaku
dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta.”
(HR. Bukhari)
4. Derajat orang yang sidiq sama dengan derajat
para syuhada. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:
Barang siapa yang meminta kesyahidan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sidiq
(sebenar-benarnya), maka Allah akan
menempatkannya pada posisi syuhada’,
102
meskipun ia meninggal di atas ranjangnya.
(HR.Muslim)
5. Sidiq akan mengantarkan seseorang pada
keberkahan dari Allah SWT. Dalam sebuah hadits
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
Penjual dan pembeli keduanya bebas belum
terikat selagi mereka belum berpisah. Maka jika
benar dan jelas kedua, diberkahi jual beli itu.
Tetapi jika menyembunyikan dan berdusta maka
terhapuspah berkah jual beli tersebut. (HR.
Bukhari dan Muslim)
6. Orang yang sidiq akan mendapatkan ampunan
dan pahala yang besar dari Allah. Dalam al-
Qur’an Allah berfirman:
103
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-
laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-
Ahzab: 35)
104
7. Derajat Siddiqin bersama Para Nabi, Syuhada’
dan Shalihin
ا
Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul
(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan
mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (An-
Nisa: 69)
8. Sidiq Merupakan Sifat Para Nabi dan Rasul. Allah
berfirman,
“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di
dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia
105
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi
seorang Nabi.” (Maryam: 41)
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada
mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al
Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang
sangat membenarkan dan seorang nabi.”
(Maryam: 56)
C. Amanah
Amanah secara bahasa bisa bermakna ketaatan,
ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan.57
Adapun menurut istilah sebagaimana yang dijelaskan
oleh Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali bahwa amanah adalah
sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal
yang berkaitan dengan perkara-perkara yang dengannya
seseorang terbebani (untuk menunaikannya), atau ia
dipercaya dengannya. Dengan demikian amanah ini
57
Ibn Atsir, An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al Atsar, tahqiq Khalil
Ma‟mun Syiha, Beirut: Daar al Ma’rifah, 2001, Vol.I, hlm.80
106
meliputi dan mencakup seluruh hak-hak Allah atas
seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib.
Juga meliputi hak-hak orang lain, seperti barang-barang
titipan yang harus ditunaikan dan disampaikan kepada
si pemiliknya. Sehingga, sudah semestinya seorang (yang
dibebani amanah ini) menunaikan amanah dengan
sebaik-baiknya dengan menyampaikannya kepada
pemiliknya dan Ia tidak boleh menyembunyikan, karena
hal itu akan membawa dampak negatif dan kerusakan
yang besar.58
Amanah adalah sifat mulia yang harus dimiliki oleh
setiap da’i dalam berdakwah di jalan Allah. Sebab
dengan amanah ini risalah dakwah akan tetap terjaga
keasliannya. Dengan demikian Islam akan tetap abadi di
sepanjang zaman, tanpa penyimpangan dan
penyelewengan ajaran di dalamnya. Tanpa amanah,
seorang da’i akan berlaku sesuai dengan keinginan hawa
nafsunya dan kepentingan pragmatis syahwatnya, tanpa
mempertimbangkan aturan syar’i, sehingga yang terjadi
adalah pemalsuan ajaran Islam, sebagaimana yang
58
Salim bin ‘Id al Hilali , Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadh ash
Shalihin, Dammam, Daar Ibn al Jauzi, 1422 H, Vol.I. hlm.288
107
pernah dilakukan oleh Ulama Bani Isra’il terhadap
ajaran Taurat dan Injil.
Terdapat beberapa ayat maupun hadits shahih yang
menerangkan urgensi amanah dan wajib bagi setiap
muslim, khususnya bagi para da’i untuk menunaikan
amanah ini. Di antara ayat-ayat al Qur’an yang
menjelaskan hal itu adalah:
1. Amanah adalah perintah Allah yang harus
ditunaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
dalam surat an Nisa, ayat ke-58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya…”. Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam surat al Anfal, ayat ke-27:
108
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.”. Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam surat al Ahzab, ayat ke-72:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat
bodoh.” Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
surat al Baqarah, ayat ke-283:
…
109
“…Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah
dia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
2. Amanah adalah perintah Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam, sebagaimana terdapat dalam
sabdanya,
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang engkau
dipercaya (untuk menunaikan amanah
kepadanya), dan jangan khianati orang yang
telah mengkhianatimu.” (HR.Tirmidzi)
3. Amanah akan mendatangkan kesuksesan dalam
Berdakwah. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh
Allah tentang Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi
Yusuf, alaihim salam yang memiliki sifat amanah
dalam Berdakwah sehingga menarik simpati
mad’unya,
110
…
“… Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi
dapat dipercaya”. (Al Qashash: 26).
…
“…Aku akan datang kepadamu dengan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri
dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-
benar kuat untuk membawanya lagi dapat
dipercaya”. (An Naml: 39)
…
“… Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan”. (Yusuf: 55)
111
4. Amanah adalah sifat mukmin, sementara
khianah adalah sifat munafik. Firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Mu’minun,
ayat ke-8, atau surat al Ma’arij, ayat ke-32:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-
amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.
Dan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam,
Dari Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda, “Tanda orang munafiq ada tiga;
apabila berbicara ia berdusta; apabila berjanji ia
menyelisihi janjinya; dan apabila diberi amanah
(kepercayaan) ia berkhianat”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
112
5. Amanah adalah pilar keimanan. Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda, sebagaimana
diriwayatkan dari Anas bin Malik -radhiyallahu
‘anhu-,
Tidaklah Nabiyullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
berkhutbah kepada kami, melainkan beliau
bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak
memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak menepati janjinya”. (HR
Ahmad)
6. Amanah adalah benteng keamanan, sementara
khianah adalah yang induk dari segala
kehancuran. Hal itu sebagaimana terdapat dalam
hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash -
radhiyallahu ‘anhuma-, Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda,
113
“Sesungguhnya Allah membenci (sifat) keji dan
kekejian. Dan demi (Dzat) yang jiwa Muhammad
berada di tangannya, tidak akan terjadi hari
kiamat sampai orang yang amanah (jujur)
dianggap pengkhianat, dan seorang pengkhianat
dipercaya, sampai muncul (sifat) keji dan
kekejian, pemutusan hubungan silaturahim
(kerabat), dan buruk dalam bertetangga…”. (HR.
Ahmad)
7. Orang yang amanah adalah figur yang memiliki
kepribadian yang kuat dalam mengemban
kepemimpinan. Hal itu sebagaimana dijelaskan
oleh Rasulullah saw dalam hadist berikut ini,
114
“Jika kekuasaan ini terjatuh pada Sa’ad, maka itu
memang haknya. Dan jika tidak, maka hendaknya
salah seorang dari kalian meminta bantuannya,
kerena sesungguhnya aku tidak
menghentikannya dengan sebab kelemahan dan
pengkhianatan”. (HR. Bukhari)
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim dari Abu
Dzar -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau
menjadikanku (seorang pemimpin)?”, lalu
Rasulullah memukulkan tangannya di bahuku,
dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya
engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah
amanah, dan ia merupakan kehinaan dan
penyesalan di hari kiamat. Kecuali orang yang
115
mengambilnya dengan haknya, dan
menunaikannya (dengan sebaik-baiknya)”.
Dan terdapat di dalam Shahih Muslim pula,
dari Abu Dzar, sesungguhnya Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku
memandangmu orang yang lemah, sedangkan
aku mencintai untukmu seperti aku mencintai
untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin
(walaupun terhadap) dua orang (saja)! Dan
janganlah kamu mengatur harta (anak) yatim”.
(HR. Muslim)
D. Yakin Diri
Yakin (yaqin) secara bahasa memiki makna ( العلم
، وتحق ق األمروإزاحة الشك ), yaitu ilmu, hilangnya keraguan
116
dalam diri, teraktualisasinya sesuatu.59 Adapun yakin
secara istilah adalah ( طمأننة القلب، على حققة الشء وتحقق
ب ب، بإزالة كل شك ور Tenangnya hati dalam (التصدق بالغ
menghadapi segala sesuatu masalah, dan
teraktualisasinya keimanan terhadap yang ghaib, dengan
menghilangkan segala keraguan.60 Ulama lain seperti Ibn
Qayyim menjelaskan bahwa yakin dapat ditandai dengan
bersemayamnya ilmu pada diri seseorang, yang dengan
ilmu tersebut menjadikannya tidak berubah haluan dan
tidak ada keraguan dalam hatinya. ( استقرار العلم الذي ال نقلب
ر ف القلب ل وال تغ حو 61.(وال
Sifat yakin sangat penting bagi seorang da’i. Sebab,
dengan keyakinan diri akan manjadikannya bertambah
iman dan senantiasa tabah dalam menempuh jalan
dakwah, sehingga dirinya tidak mudah menyerah dan
tidak pula putus asa. Oleh karenanya dirinya akan
senantiasa optimis terhadap pertolongan Allah. Tanpa
keyakinan diri. sudah dapat dipastikan bahwa kegagalan
dakwah akan berada di tangan seorang da’i. Jadi,
59
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Beirut: Dar Al-Shadir, 2005, term (ق) 60
Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, term (اىق) 61
Ibn Qayyim, Madarij Al-Salikin, Kairo: Dar Al-Shofa, 2004, Vol.2,
hlm.125
117
keyakinan diri amat diperlukan bagi seorang da’i dalam
mengemban risalah dakwahnya, agar dakwahnya tetap
berjalan dengan istiqamah, walaupun banyak rintangan
yang menghalanginya.
Keutamaan sifat yakin
1. Yakin adalah sifat para Rasul. Allah berfirman,
Demikianlah, kami perlihatkan kepada Ibrahim
kerajaan langit dan bumi, agar dirinya termasuk
orang-orang yang yakin. (Al-An’am: 75)
2. Yakin diri adalah tanda mendapatkan hidayah
dan keberuntungan. Allah berfirman,
118
“Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al
Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 4-5)
3. Yakin adalah tanda kesempurnaan iman.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
mereka yang beriman kepada Allah, dan
Rasulnya, kemudian dirinya tidak ragu-ragu.” (Al-
Hujurat: 15)
4. Yakin akan membawa kemenangan dan
kesuksesan dalam Berdakwah.
119
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-
Sajdah: 24)
5. Yakin adalah salah satu kekuatan yang akan
menggerakkan keimanan seseorang untuk rela
menerima segala ketetapan yang telah
ditaqdirkan oleh Allah. Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam dalam do’anya menyebutkan
pentingnya keyakinan diri,
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu
iman yang dengannya engkau membuat hatiku
bahagia, dan keyakinan sehingga aku
mengetahui bahwa tiada yang dapat
menghalangi rizki yang telah engkau bagikan
kepadaku, dan ridha terhadap kehidupan yang
120
telah engkau bagikan kepadaku. (HR. Al-Bazzar
dan Ibn Abi Dunya)
6. Yakin akan membawa pelakunya pada
kebahagiaan dan ketenangan hidup. Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
Sesungguhnya Allah dengan keadilannya telah
menjadikan ketengan dan kebahagiaan pada
ridha dan yakin. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
E. Sabar
Medan Dakwah amatlah terjal dan berat, yang
diliputi berbagai tantangan dan rintangan yang akan
menguji keimanan bagi para da’i yang menempuhnya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam
firmannya,
121
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-
rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap
pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan)
terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami
kepada mereka.” (Al-An’am: 34)
“Dan sungguh telah diejek beberapa rasul sebelum
kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang
mencemoohkan di antara mereka itu balasan (azdab)
atas ejekan yang mereka lakukan.” (Al-An’âm: 10)
122
Oleh karena itu, seorang da’i haruslah bersabar atas
beratnya dakwah, karena tanpa kesabaran maka seorang
da’i tidak akan mampu konsisten di jalan dakwah.62
Keutamaan Sabar Dalam Berdakwah
1. Orang yang sabar akan diberi pahala tanpa batas
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar
sajalah yang akan dipenuhi ganjaran mereka
tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
2. Mendapatkan kabar gembira langsung dari Allah
“Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-
orang yang bersabar.” (Al-Baqarah: 155)
62
Shalih bin Fauzan al-Fauzan , Muhadhoroot fil Aqidah wad Da‟wah
oleh Fadhilatusy Syaikh, Kairo: Shalih bin Fauzan al-Fauzan , 2003, Vol.
III, hlm. 15-21
123
Atha` bin Abi Rabah berkata: Ibnu Abbas pernah
berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan
kepadamu seorang wanita dari penduduk surga?”
Aku bekata, “Tentu.” Dia berkata:
“Wanita berkulit hitam ini, dia pernah menemui
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam seraya berkata,
“Sesungguhnya aku menderita penyakit epilepsi
dan auratku sering tersingkap (ketika sedang
kambuh), maka berdoalah kepada Allah untukku
(yakni: Agar Dia menyembuhkanku).” Beliau
bersabda: “Jika kamu berkenan, bersabarlah
maka bagimu surga, dan jika kamu berkenan,
maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah
menyembuhkanmu.” Dia berkata, “Kalau begitu
aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi,
“(Jika penyakitku kambuh maka) auratku
124
tersingkap, karenanya berdoalah kepada Allah
agar (auratku) tidak tersingkap.” Maka beliau
mendoakan untuknya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
3. Sabar akan mendatangkan segala kebaikan
Dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu dia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda:
“Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin,
sungguh semua urusannya baik baginya, yang
demikian itu tidaklah dimiliki seorang pun
kecuali hanya orang yang beriman. Jika mendapat
kebaikan (kemudian) ia bersyukur, maka itu
merupakan kebaikan baginya, dan jika keburukan
menimpanya (kemudian) ia bersabar, maka itu
merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
125
4. Orang yang sabar akan selalu mendapat rahmat
dan petunjuk dari Allah
Mereka itu, akan dikurniakan atas mereka
anugerah-anugerah dari Tuhan mereka dan
rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang
akan mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157)
5. Allah memberikan pengganti yang lebih baik
kepada orang yang sabar. Hadist diriwayatkan
dari Ummu Salamah,Ia berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang
muslim yang tertimpa musibah lalu menyatakan
126
apa yang Allah perintahkan, ‘Innaa lillahi Wa
Inna Ilaihi Raji’un Allahumma’ Jurni fi mushibatie
wa Akhlif li Khairan minha.’ Kecuali Allah
gantikan baginya yang lebih baik.” (HR. Muslim)
6. Sabar adalah ciri orang yang bertaqwa
"Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya), dan mereka
itulah orang-orang yang bertaqwa". (Al-Baqarah:
177)
7. Allah mencintai orang yang sabar
127
"Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar."
(Ali Imran: 146)
8. Sabar dapat menghapus dosa
"Dari Ummu Al-Ala', dia berkata:" Shalallahu
'Alaihi wa Sallam menjenguk-ku tatkala aku
sedang sakit, lalu beliau berkata. 'Gembirakanlah
wahai Ummu Al-Ala'. Sesungguhnya sakitnya
orang Muslim itu membuat Allah menghilangkan
kesalahan-kesalahan, sebagaimana api yang
menghilangkan kotoran emas dan perak". (HR.
Abu Daud)
9. Balasan terbaik hanya untuk orang yang sabar
128
"Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan
kepada orang-orang yang sabar dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan."
(An-Nahl: 96)
10. Para malaikat mengucapkan salam kepada orang
yang sabar
"Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat
mereka dari semua pintu, (sambil
mengucapkan):'Salamun 'alaikum bima
shabartum'. Maka alangkah baiknya tempat
kesudahan itu" (Ar-Ra'd: 23-24)
11. Sabar akan mendatangkan kelapangan hidup.
A’isyah radhiyallahu anha berkata,
129
“Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam apabila
melihat apa yang ia sukai menyatakan,
‘Alhamdulillah Alladzi bini’matihi Tatimmu Al
Shalihaat.’ Dan bila melihat (mendapati) sesuatu
yang tidak beliau sukai mengucapkan,
‘Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Halin.’” (HR Ibnu Majah
dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al
Jaami’ no. 4727).
F. Lemah Lembut (Ar-rifqu)
Ar-Rifq adalah sifat lemah lembut di dalam berkata
dan bertindak serta memilih untuk melakukan cara yang
paling mudah diterima oleh masyarakat (mad’u) yang
didakwahinya. Lemah lembut merupakan salah satu
pilar yang menentukan keberhasilan dakwah yang
diemban oleh seorang da’i. Sebab, dengan kasih sayang
ini akan mendatangkan ta'tsir (kesan) yang positif pada
hati masyarakat (mad’u), sehingga menjadikan mereka
130
rela untuk mengikuti risalah dakwah yang didengarnya.
Sufyan ats-Tsauri berkata,
“Tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi
mungkar—memerintahkan kepada yang baik dan
melarang dari yang mungkar—melainkan orang yang
memiliki tiga sifat: lembut dan tidak tergesa dalam
memerintahkan dan melarang, adil dalam
memerintahkan dan adil dalam melarang, serta
mengilmui yang dia perintahkan dan yang dia
larang.”63
Keutamaan Ar-Rifqu
1. Ar-Rirqu adalah sifat terpuji yang dimiliki oleh
Allah untuk dicontoh oleh para hambanya. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda,
63
Atsar ini dikeluarkan oleh Abu Bakar Al-Marwadzi dalam kitab Al-
Wara‟, no.501
131
“Sesungguhnya Allah Rafiq (Maha Lembut), dan
mencintai rifq/kelembutan, Dia memberikan
pada rifq, apa-apa yang tidak diberikan pada
sikap ‘anaf (keras), dan tidak pula Dia
memberikan pada yang selainnya.” (HR.
Muslim)
2. Ar-Rifqu adalah perhiasan yang membuat indah
bagi sikap seseorang. Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha juga, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda,
“Wajib bagimu untuk berbuat lemah lembut,
berhati-hatilah dari sikap keras dan keji,
sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut ada
pada suatu perkara kecuali akan menghiasinya,
dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, melainkan
132
akan memburukkan perkara tersebut.” (HR.
Muslim)
3. Ar-Rifqu adalah pilar dari segala kebaikan.Dari
Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barang siapa yang diharamkan baginya rifq,
diharamkan baginya kebaikan seluruhya”. (HR.
Muslim)
4. Ar-Rifqu adalah salah satu wasiat Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya
dalam menyampaikan risalah Dakwah. Dalam
hadis Bukhari dan Muslim dijelaskan bahwa
ketika Rasulullah sh mengutus sahabatnya
dalam suatu urusan, maka beliau bersabda,
133
“Gembirakanlah mereka, jangan bikin lari,
permudah urusan mereka, jangan mempersulit.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
5. Lemah lembut adalah sebuah kemutlakan yang
harus dimiliki oleh seorang da’i. Allah berfirman
memerintahkan Musa dan Harun agar berlemah
lembut dalam menyerukan dakwahnya kepada
Fir’aun,
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-
mudahan ia ingat atau takut". (Thaha: 44)
6. Lemah lembut merupakan tanda penghuni surga.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia
berkata: Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
134
“Maukah kalian aku beritahu orang yang
diharamakan atas neraka atau orang yang neraka
diharamkan atasnya? Semua kerabat yang lemah
lembut lagi memberikan kemudahan.” (HR. At-
Tirmizi)
7. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
membenci orang yang perangai kasar. Dari Aidz
bin Amr radhiallahu anhu dari Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
“Sesungguhnya sejelek-jelek pengembala ternak
adalah orang yang kasar kepada hewan
gembalaannya.” (HR. Muslim)
G. Tawadhu’(rendah hati)
135
Tawadhu’ (rendah hati) sebagai lawan dari sikap
sombong, pada hakikatnya adalah sikap tunduk dalam
menerima kebenaran dan sikap rendah hati terhadap
manusia sehingga tidak meremehkan mereka. Hal itu
sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dari sahabat Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
“Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Tawadhu’merupakan salah satu akhlak yang sangat
terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh
makhluk-Nya. Sebab, aktualisasi dari sikap tawadhu’
kepada Allah terwujud dalam bentuk ketaatan dalam
menerima kebenaran dari Allah yang berupa perintah
dan larangan. Sementara aktualisasi terhadap makhluk
terwujud dalam bentuk sikap rendah hati terhadap
136
sesama manusia, sehingga tidak terjadi bentuk sikap
saling meremehkan diantara mereka.64
Keutamaan Tawadhu’ (rendah hati)
1. Tawadhu’ adalah perintah Allah.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang
yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang
beriman.” (Asy-Syu'ara:215)
2. Tawadhu’ akan mendatangkan keharmonisan
dalam pergaulan sehari-hari.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka
64
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Salim As-Safarayini, Ghada‟ Al-Albab
Fii Syarh Mandzumah Al-Adab, Cordova: Muassasah Qurtubah, hlm.232
137
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut
terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela...” (Al-Ma`idah: 54)
3. Allah memberi gelar “ibadurrahman”65 kepada
orang yang memiliki sifat tawadhu’
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih
adalah orang-orang yang berjalan di atas muka
bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-
kata yang baik.” (Al Furqaan: 63)
65
Ibadurrahman adalah hamba yang dicintai oleh Allah yang maha
penyayang.
138
4. Allah mengangkat derajat orang yang tawadhu’.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak ada seseorang yang merendahkan diri
karena Allah kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala
meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
-
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi banyaknya
harta. Tidaklah Allah itu menambahkan pada diri
seseorang sifat pemaaf, melainkan ia akan
bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah
seorang itu merendahkan diri karena Allah,
melainkan ia akan diangkat pula derajatnya oleh
Allah ‘azza wajalla.” (HR. Muslim)
5. Tawadhu’ adalah asas keadilan dalam kehidupan
sehingga tidak mendzalimi orang lain. Rasulullah
bersabda,
139
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
mewahyukan kepadaku: bersifat tawadhu’lah,
sehingga seseorang tidak merasa bangga
terhadap orang lain dan seseorang tidak berbuat
aniaya terhadap orang lain.”66
6. Tawadhu’ adalah ciri dari calon penghuni surga.
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi
orang-orang yang tidak berambisi untuk
menyombongkan diri di atas muka bumi dan
menebarkan kerusakan.” (Al Qashash: 83)
66
Shahih Muslim, kitab al-Jannah, bab ke-16, no. 64.
140
7. Tawadhu’ adalah tanda orang yang cerdas.
Lukman Al-Hakim pernah berkata kepada
anaknya,
Wahai anakku, hendaknya kamu tawahu’ maka
kamu akan mencadi orang yang cerdas.67
Contoh keteladanan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam dalam tawadhu’
1. Rasulullah saw membantu pekerjaan istri-
istrinya. Dari Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i
rahimahullah berkata bahwa ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha ditanya tentang keadaan
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, apa yang
beliau perbuat di rumahnya. Maka beliau
radhiyallahu ‘anha berkata,
67
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Salim As-Safarayini, Ghada‟ Al-Albab
Fii Syarh Mandzumah Al-Adab, Cordoba: Muassasah Qurtubah, hlm.232
141
“Beliau membantu keperluan keluarganya dan
jika datang waktu shalat, beliau berwudhu dan
keluar menegakkan shalat.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
2. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dekat
dengan orang miskin. Hal itu tampak jelas dalam
salah satu do’a yang dipanjatkan oleh Rasulullah:
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan
miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin,
dan giringlah aku (di hari kiamat) dalam
golongan orang-orang miskin." (HR.Tirmidzi)
3. Rasulullah saw dekat dengan hamba sahaya. Dari
Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkisah,
142
“Bahwasanya ada seorang hamba sahaya wanita
dari golongan hamba sahaya wanita yang ada di
Madinah mengambil tangan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, lalu wanita itu berangkat
dengan beliau ke mana saja yang dikehendaki
oleh wanita itu.” (HR. Al Bukhari)
4. Rasulullah saw mengucapkan salam kepada
anak-anak kecil yang dilaluinya.
Bahwasanya beliau berjalan melalui anak-anak,
kemudian ia memberikan salam kepada mereka
ini dan berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam juga melakukan sedemikian.”
(Muttafaq ‘alaih)
143
5. Ketika datang tamu yang terlihat gemetar,
karena takut terhadap beliau, dimana tamu
tersebut mengira bahwa Rasulullah saw adalah
seperti raja-raja di muka bumi, maka beliau
bersabda kepadanya:
“Tenanglah, sesungguhnya aku bukanlah seorang
raja. Aku hanyalah seorang anak dari seorang
perempuan suku Quraisy yang memakan daging
dendeng". (HR. Ibnu Majah)
H. Kasih Sayang (Ar-Rahmah)
Sifat Kasih sayang merupakan sifat yang amat
dicintai oleh Allah Ta’ala, dan sangat dianjurkan oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. Sifat ini memiliki
144
dampak positif yang signifikan terhadap suksesnya
suatu dakwah. Hal itu dapat kita lihat dari contoh
dakwah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang
menyebarkan dakwahnya dengan penuh kasih sayang di
tengah-tengah masyarakat kala itu, sehingga menarik
simpati dan dukungan dari para pengikutnya.
Dan tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali
untuk rahmat bagi sekalian alam.” (Al-Anbiyaa’: 107)
Ayat ini menegaskan bahwa kasih sayang
merupakan salah satu pilar dalam proses dakwah ilallah.
Dengan kasih sayang ini dakwah Islam tersebar ke
seluruh pelosok dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Sifat kasih sayang ini memiliki banyak memiliki
keutamaan, diantaranya adalah sebagaimana berikut:
1. Ar-Rahmah(kasih sayang) adalah akhlak
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam
menyampaikan dakwah. Allah berfirman,
145
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-
Taubah: 128)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali
Imran: 159)
2. Ar-Rahmah (kasih sayang) adalah sifat orang
yang beriman/ Allah berfirman,
146
“Saling merahmati di antara mereka.” (Al-Fath:
29)
3. Ar-Rahmah (kasih sayang) akan mendatangkan
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari Jarir bin Abdullah radhiallahu anhuma dia
berkata:
4. Ar-Rahmah (kasih sayang) merupakan syarat
untuk mendapatkan rahmat Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Allah tidak akan menyayangi siapa saja yang
tidak menyayangi manusia.” (HR. Al-Bukhari)
5. Allah hanya menyayangi orang yang
menyebarkan kasih sayang. Rasulullah saw
bersabda,
147
“Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-
hambaNya yang penyayang.” (HR At-Thobrani
dalam al-Mu’jam al-Kabiir)
6. Orang yang menyebarkan kasih sayang akan
disayangi Allah dan disayangi makhluk.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam juga
bersabda.
“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di
sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah
yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati
oleh Dzat yagn ada di langit.” (HR. Abu Dawud)
148
7. Ar-Rahmah (kasih sayang) akan mendatangkan
empati terhadap orang lain. Dari Usamah bin
Zaid radhiallahu anhu dia berkata:
“Kami pernah berada di sisi Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam ketika utusan salah seorang di
antara puteri beliau datang untuk memanggil
beliau karena anak laki-lakinya sakit parah. Maka
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda
kepada sang utusan, “Pulanglah engkau ke
149
puteriku, dan beritahukanlah kepadanya bahwa:
Hanya milik Allah yang diambil-Nya, hanya milik-
Nya apa yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu
di sisi-Nya telah ada ajal yang ditetapkan.
Suruhlah dia untuk bersabar dan mengharap
pahala.” Tidak berselang lama, puteri beliau
kembali mengutus utusannya disertai sumpah
yang isinya, “Anda harus mendatanginya.” Maka
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berdiri
bersama Sa’ad bin Ubadah dan Muadz bin Jabal.
Lalu cucu beliau itu diserahkan kepada beliau
sedang nafasnya sudah terengah-engah bagaikan
orang yang kelelahan, maka berlinanglah air
mata beliau. Sa’ad bertanya, “Wahai Rasulullah,
(air mata) apa ini?” Nabi menjawab. “Ini adalah
rahmat yang Allah letakkan dalam hati-hati
hamba-Nya. Dan sesungguhnya Allah hanya
menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
8. Orang yang tidak memiliki kasih sayang adalah
orang yang celaka. Dari Abu Hurairah radiallahu
150
‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Rasa kasih sayang tidak akan dicabut kecuali
dari orang yang celaka.” (HR. Abu Daud dan
Tirmizi)
9. Ar-Rahmah (kasih sayang) berbuah syurga. Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda:
151
“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu
dia merasakan kehausan yang sangat sehingga
dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air
sumur tersebut. Ketika dia keluar dia mendapati
seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya
menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu
berkata, “Anjing ini sedang kehausan seperti
yang aku alami tadi”. Maka dia (turun kembali ke
dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air,
dan sambil menggigit sepatunya dengan
mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu
minum. Karenanya Allah berterima kasih
kepadanya dan mengampuninya”. Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan
dapat pahala dengan berbuat baik terhadap
hewan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, “Terhadap setiap makhluk bernyawa
diberi pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
I. Istiqamah
152
Definisi dan Keutamaan Istiqamah
Istiqamah secara bahasa bermakna tegak, lurus dan
tidak bengkok (اعتدال). Adapun menurut istilah bermakna
menempuh jalan yang lurus, yakni al-Islam, dengan
menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah, dan
menjauhi larangannya, baik yang lahir maupun yang
batin, dengan tanpa ifrath (ektrim kanan) maupun
tafrith (ektrim kiri). Ibnu Rajab telah menyebutkan
dalam kitabnya Jaami'ul Ulum Wal Hikam, bahwa
istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, yaitu
(jalan yang lurus tersebut adalah) agama yang tegak
lurus tanpa ada kebengkokan sedikitpun baik ke kiri
maupun ke kanan, yang mencakup di dalamnya semua
perbuatan taat baik yang dhohir (nampak) maupun yang
bathin (tersembunyi), dan meninggalkan seluruh
larangan. Sehingga menjadikan wasiat ini (untuk
istiqomah) merupakan wasiat yang mencakup seluruh
dari cabang agama semuanya".68
Setiap da’i harus memiliki sifat istiqamah ini, sebab
sifat ini akan menjadikannya meraih kebahagian baik
68
Ibn Rajab, Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, Syarah hadist no.21
153
ketika di dunia maupun di akhirat. Dengannya pula
seorang da’i akan meraih kemenangan dalam bergulat
dengan fitnah yang banyak sekali yang mengganggu
jalan dakwahnya, sehingga ia akan tetap konsisten
menekuni jalan dakwah, apapun resiko dan konsekuensi
yang harus dihadapinya, bahkan lebih dari itu,
istiqomah mengakibatkan kesudahan yang baik dari
segala urusanya.69 Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamahMaka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang
telah mereka kerjakan." (Al-Ahqaaf: 13- 14)
69
Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr, Asyr al-Qawa‟id fii Al-
Istiqamah, Rabwah: Islam House, hlm.6
154
Dalam surat Fushshilat Allah Ta'ala juga berfirman:
" Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan:
"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih;
dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-
pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di
dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa
yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari
Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Fushshilat: 30-32)
Kaidah Dalam Menempuh Istiqamah
155
Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr,
dalam karyanya, Asyr al-Qawa’id fii Al-Istiqamah
menyebutkan sepuluh kaidah agar setiap da’i tetap
istiqamah dalam menjalankan risalah Dakwahnya,
yaitu:70
1. Kaidah Pertama: Istiqomah adalah anugerah
Ilahiyyah dan hadiah Rabbaniyyah. Allah Ta'ala
berfirman,
" Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan
kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah
kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak
akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari
mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka
melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada
70
Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr, Asyr al-Qawa‟id fii Al-
Istiqamah, hlm.8-64
156
mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik
bagi mereka dan lebih menguatkan (iman
mereka). Dan kalau demikian, pasti Kami berikan
kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang
lurus". (An-Nisaa; 66-68)
Maka Hidayah (petunjuk) kepada jalanNya
itu ada ditangan Allah Azza wa Jalla, Allah Ta'ala
berfirman:
"Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah
dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya
niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam
rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan
karunia-Nya. dan menunjuki mereka kepada jalan
yang Lurus (untuk sampai) kepada-Nya." (An-
Nisaa: 175)
Dalam ayat yang lain Allah Ta'ala berfirman:
157
" Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga),
dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang Lurus (Islam."(Yunus: 25)
2. Kaidah Kedua: Istiqomah yang hakiki adalah
berpegang diatas manhaj (metode atau cara)
yang tegak dan berjalan di atas jalan yang lurus .
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah.." (Al-Ahqaaf: 13)
3. Kaidah Ketiga: Asal dari istiqomah adalah
istiqomahnya hati. Hal itu sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya
Anas bin Malik, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bahwasannya beliau bersabda, "Tidaklah
158
mungkin keimanannya seorang hamba (bisa
istiqomah) sampai hatinya beristiqomah". (HR
Ahmad dalam musnadnya dan di hasankan
oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 2841)
4. Kaidah Keempat: Istiqomah yang dituntut dari
seorang hamba adalah berusaha untuk selalu
berada pada sebuah keistiqomahan jika tidak
mampu, maka lebih pada apa yang
mendekatinya. Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
telah menjadikan satu dari dua perkara ini di
dalam sabdanya, "Sesungguhnya agama itu
adalah mudah, tidak ada seorang pun yang
mempersulit di dalam agama kecuali dia akan
terkalahkan, maka dekatkanlah kepada sunah
dan beri kabar gembira." (HR Bukhari)
5. Kaidah Kelima: Istiqomah itu selalu terkait
dengan perkataan, perbuatan, dan niat.
Diriwayatkan dalam Musnadnya Imam Ahmad
dari hadirtsnya Anas bin Malik bahwasannya
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Tidak akan bisa lurus (istiqomah.pent) imannya
seorang hamba sampai hatinya lurus, dan tidak
159
akan bisa lurus hatinya seorang hamba sampai
lisannya lurus". (HR. Ahmad)
6. Kaidah Keenam: Tidak ada istiqomah kecuali
hanya untuk Allah, bersama Allah dan berjalan di
atas perintah Allah. Allah Ta'ala telah berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus". (Al-Bayyinah: 5)
7. Kaidah Ketujuh: Bagi seorang muslim walupun
sudah dapat beristiqomah namun jangan sampai
bersandar kepada amalannya. Hal itu
sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim dari haditsnya Aisyah,
dari Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam beliau
bersabda, "Berusahalah agar (sesuai dengan)
sunah, mendekatlah jika (tidak mampu
mengerjakan seluruhnya) dan berilah kabar
gembira (pada orang lain), sesungguhnya tidak
160
ada seorangpun yang akan masuk surga dengan
sebab amalannya". Maka di katakan kepada
Rasulallah: "Tidak pula engkau wahai Rasulallah?
Beliau menjawab, "Tidak pula saya, kecuali
bahwa Allah telah mengampuni saya dengan
ampunanNya dan rahmatNya". (HR Bukhari
dan Muslim)
8. Kaidah Kedelapan: Buah dari istiqomah di dunia
adalah bisa istiqomah ketika meniti shirot (jalan)
pada hari kiamat nanti. Imam Ibn Qoyyim
mengatakan, "Barangsiapa yang telah diberi
hidayah (petunjuk) di dunia ini kepada shirothol
mustaqim (jalan yang lurus) oleh Allah Azza wa
jalla yang mana Allah Ta'ala telah mengutus
para rasulNya dengannya dan menurunkan
bersama mereka kitab-kitab-Nya, dengan sebab
itu dia akan diberi hidayah ketika meniti shiroth
yang akan mengantarkan kepada surga-Nya dan
negeri balasan. Namun ketetapan seorang hamba
di atas shiroth (jalan yang lurus) ini yang mana
di bentangkan oleh Allah Azza wa jalla di dunia
akan menjadikan tetapnya dia ketika melewati
161
shiroth yang berada di atas neraka jahanam di
akhirat nanti sesuai dengan kadar amalannya,
dan seberapa besar ia didalam (menempuh)
pada jalan yang lurus ini (ketika didunia) maka
begitu pula kadarnya ketika melewati shiroth di
akhirat nanti.
"Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal)
dengan apa yang dahulu kamu kerjakan." (An-
Naml: 90)
9. Kaidah Kesembilan: Penghalang dari
jalanistiqomah adalah syubhat yang
menyesatkan dan syahwat yang melalaikan.
Allah Ta'ala berfirman:
162
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah
jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan
kamu dari jalanNya." (Al-An'am: 153)
10. Kaidah Kesepuluh ; Tasyabbuh (menyerupai)
dengan orang-orang kafir termasuk perkara
terbesar yang bisa memalingkan seseorang dari
istiqomah. Allah berfirman,
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai (yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat (nashrani). (Al-Fatihah: 6-7)
163
164
BAB III
METODOLOGI DAKWAH DENGAN HIKMAH
Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa setiap bidang ilmu
mempunyai metode pembahasan yang harus dipegang
oleh seseorang pengkaji agar dapat memenuhi tuntutan
kajiannya tersebut, dan selanjutnya dapat menghasilkan
suatu kajian yang bersifat ilmiah seperti yang
diharapkan.71 Oleh karena itu kajian tentang fikih
dakwah ini pun harus memiliki metode yang sesuai
dengan ciri-ciri pembahasannya.
Secara harfiyah metode berasal dari bahasa Yunani,
yaitu meta yang berarti menuju, dan hodos yang berarti
jalan atau cara tertentu. Metodos berarti menuju jalan
atau cara tertentu. Dalam arti luas, metode mengandung
pengertian cara bertindak menurut sistem aturan
tertentu.72 Sementara dalam bahasa arab kata metode
diungkapkan dalam bentuk kata thariqah yang berarti
jalan, dan manhaj yang berarti sistem, serta wasilah
71
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam
Dan Sains Sosial, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm.79 72
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984, hlm.10
165
yang berarti perantara. Dari kedua bahasa tersebut
sepertinya tidak terjadi perbedaan makna.73 Menurut
Abuddin Nata metodologi dapat diartikan sebagai cara-
cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada
keadan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan
demikian, metode ini terkait dengan perubahan dan
perbaikan.74 Metode dalam kegiatan dakwah adalah
suatu cara yang dipergunakan oleh subyek dakwah
dalam menyampaikan materi atau pesan-pesan dakwah
kepada obyek dakwah.75
Di dalam melaksanakan suatu kegiatan dakwah
diperlukan metode penyampaian yang tepat agar tujuan
dakwah tercapai. Keberadaan metode ini sangat penting
peranannya. Hal itu, karena suatu pesan walaupun baik
tetapi jika disampaikan melalui metode yang salah atau
tidak tepat, maka pesan dakwah tersebut tidak akan
sampai pada mad’unya. Oleh karena itu, ketepatan
73
lihat Muhammad Fu’ad Abd Baqi, Mu‟jam Al-Mufahras Lii Al-Fadz
Al-Qur‟an, Beirut: Dar Fikr, 1987, hlm.286 74
lihat Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, hlm 22 75
M. Bahri Ghazali, Da‟wah Komunikatif Membangun Kerangka
Dasar Ilmu Komunikasi Da‟wah, Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997,
hlm. 24.
166
dalam menggunakan metode dakwah sangat
mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah.76
Aktivitas dakwah harus memiliki metodologi
(manhaj) yang jelas. Dengan manhaj yang jelas ini, akan
menentukan arah dakwah kearah yang jelas pula.
Manhaj yang jelas oleh Al-Qur’an disebut sebagai
“bashirah”, yang mencakup tiga hal, yaitu: berilmu
sebelum Berdakwah, bersikap bijak dan lemah lembut
ketika Berdakwah, sabar setelah Berdakwah.77
"Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik.." (Yusuf:
108)
76
Abdul Karim Zaidan, Ushul Al-Da‟wah, Baghdad: Maktabah
Alukah, 1975, hlm.296 77
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam:
Da‟wah Kepada Allah, Rabwah: Pustaka Islamhouse, 2009, hlm.34
167
Terdapat banyak metodologi Dakwah (manhaj)
yang disebutkan dalam Al-Qur`an. Salah satunya adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. An-Nahl: 125
berikut ini:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk. (An-Nahl: 125)
Ayat ini, menurut Al-Qurtubi, diturunkan di Makkah
ketika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
diperintahkan untuk menghadapi kekejaman kaum
Quraisy. Allah memerintahkan kepada Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam untuk berdakwah, mengajak mereka
kepada agama Allah dan menjalankan syari’at-Nya
168
dengan penuh hikmah, mauidzah hasanah, dan
mujadalah dengan cara terbaik. Pola ini diduga kuat
akan mendorong mereka beriman.78
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa ada
beberapa alternatif dalam menggunakan metode
dakwah, yaitu dapat berupa metode hikmah
(kebijaksanaan), mau 'izah hasanah (pengajaran yang
baik) dan mujiidalah (perdebatan). Metode tersebut
dapat digunakan sesuai kondisi yang paling tepat guna
menunjang keberhasilan proses dakwah. Al-Fakhr al-
Râzî menyatakan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk
mengajak manusia (kepada jalan Allah) dengan salah
satu dari ketiga metodologi ini, yakni dengan hikmah,
pengajaran yang baik, dan berdebat dengan cara yang
terbaik”.79 Sementara itu, As-Sa’dî menjelaskan bahwa
maksud ayat di atas adalah perintah Allah kepada
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, “hendaklah cara
engkau (Muhammad) mengajak manusia, yang Muslim
78Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-
Jami‟ li Ahkam Al-Qur`an, cet ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1999, Vol.10, hlm.
146. 79
Al-Fakhr al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, cet. ke-1, Beirut: Dar Ihya` al-
Turats al-‘Arabi, 1995, Vol.7, hlm. 286
169
maupun yang kafir, kepada jalan Tuhan-Mu yang lurus
dengan memadukan ilmu dan amal”. 80
Dalam ayat yang lain
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-
ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-
benar dalam kesesatan yang nyata, (Al-Jum’at: 2)
A. Makna Hikmah
Kata hikmah dengan berbagai derivasinya di dalam
Al-Quran ditemukan berulang 210 kali yang tersebar di
dalam 57 surat dan 205 ayat. Sedangkan dalam bentuk
nakiroh maupun ma’rifah hikmah ditemukan berulang
80
‘Abd al-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Taysir Al-Karim Al-Rahmân fi
Tafsir Kalam Al-Mannan, Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2002, hlm. 483.
170
sebanyak 20 kali. Secara umum hikmah berarti ilmu dan
bijaksana. Sebuah pendekatan dakwah yang
menggabungkan komitmen ilmu, akhlak dan ketepatan
memilih metode. Hikmah juga lebih dari ilmu, hikmah
adalah ilmu yang sehat, sudah dicernakan, yang berpadu
dengan nilai rasa, sehingga menjadi daya penggerak
untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat.
Kalau dibawa ke bidang dakwah, untuk melakukan suatu
tindakan yang berguna yang efektif'.81 Menurut As-Sa’di,
metode hikmah dalam menyampaikan dakwah adalah
“mengajak setiap individu berdasarkan keadaan dirinya,
tingkat pemahaman, tingkat penerimaan, dan
kemungkinan individu itu untuk mematuhi seruan
dakwah”.82
Termasuk ke dalam cara Berdakwah dengan
hikmah adalah: (a) Berdakwah dengan atas dasar ilmu,
bukan atas dasar kebodohan, sehingga dapat membawa
perubahan kepada yang lebih baik, (b) Berdakwah
dengan cara-cara yang mendekatkan (sasaran dakwah)
81
Muhammad Nasir, Fiqh ad-Da‟wah, International Islamic
Federation of Student Organization, Salimiyah Kuwait, 1981, hlm. 183. 82
Abd al-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Taysir Al-Karim Al-Rahmân fi
Tafsir Kalam Al-Mannan, Al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2002, hlm. 483.
171
kepada pengertian dan pemahaman agama yang
mendalam; (c) Berdakwah dengan cara-cara yang
memungkinan penerimaan terhadap pesan dakwah
dengan sempurna; dan (d) Berdakwah dengan cara yang
persuasif dan lembut”.83
Ibn Katsir dalam menafsirkan Surah An-Nahl ayat
125 di atas menyatakan, ”Firman Allah tersebut
merupakan perintah kepada Rasul-Nya, Muhammad
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, agar beliau mengajak
manusia kepada Allah dengan hikmah”. Menurut Ibn
Jarir, ”mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah
itu adalah mengajak mereka kepada Allah dengan cara-
cara sebagaimana yang diturunkan Allah kepada beliau
di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, yaitu dengan
pengajaran atau nasihat yang baik, yang mengandung
unsur peringatan dan pelajaran dari kejadian-kejadian
yang menimpa manusia, yang mendorong manusia
berhati-hati dalam menghadapi hukuman Allah”. 84
83
Ibid 84
Imad al-Dîn Abu al-Fida` Ismail bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi,
Tafsir Al-Qur`an Al-„Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 198, hlm. 235.
172
Menurut Ibn Asyur, al-hikmah adalah ilmu yang
argumentatif yang bersih dari kekeliruan. Dengan
demikian, Berdakwah dengan hikmah berarti
Berdakwah atas dasar ilmu yang kuat(al-ilm al-
muhkamah), dan jauh dari kebodohan, sehingga dengan
kekuatan ilmu yang argumentatif tersebut dapat
merubah keadaan mad’u menuju perbaikan akhlak,
ibadah dan akidah mereka.85
Menurut As-Syaukani Metodologi Berdakwah
dengan hikmah dapat diringkaskan pada dua hal. Jika
menyampaikan pesan-pesan dakwah itu dengan
menggunakan dalil-dalil yang qath’i yang argumentatif
maka metodologi dakwah tersebut dengan hikmah.
Sebaliknya, jika penyampaian pesan-pesan dakwah itu
dengan menggunakan dalil-dalil yang zhanni, maka
metodologi dakwah tersebut adalah metodologi dakwah
al-maw’izhah al-hasanah, dengan nasihat atau
mengambil pelajaran (ibrah) yang baik.86
85
Ibn A’syur, Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Maktabah Dar Al-Sahnun,
Vol.15, hlm.327 86
As-Syaukani, Fath Al-Qadir, Kairo: Dar Al-Ma’rifah, 2004, hlm.807
173
Menurut Al-Baghawi al-hikmah bermakna Al-Qur’an.
Artinya Berdakwah dengan hikmah harus
mencerminkan Al-Qur’an, sehingga dakwah mampu
menaungi individu dan masyarakat dengan cahaya
petunjuk-petunjuk kalamullah.87
Menurut Ar-Raghib al-Ashfahani, al-hikmah adalah
( لعلم والعقلوالحكمة إصابة الحق با ) (Hikmah adalah “bertindak
sesuai dengan kebenaran berdasarkan pengetahuan dan
pemikiran (yang mendalam)”. Hikmah, menurutnya,
terbagi dua bagian. Hikmah yang dimiliki Allah secara
mutlak dinamakan al-hikmah al-ilahiyyah dan hikmah
yang dimiliki manusia dinamakan al-hikmah al-
insaniyyah. Hikmah yang dimiliki Allah secara mutlak
adalah “Allah mengetahui segala sesuatu dengan
pengetahuan yang luas tiada terbatas dan
mewujudkannya dengan sangat teratur demi kebaikan
dan kepentingan makhluk”. Sementara itu, hikmah yang
ada pada diri manusia adalah “pengetahuan yang luas
tentang segala yang wujud (al-maujudat) secara
mendalam kemudian bertindak dan berbuat dengan
87
Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, Maktabah Dar Al-Thaibah, Vol.5,
hlm.53
174
pemikiran yang mendalam, yakni dengan pengetahuan
akal dan qalbu sehingga menghasilkan kebajikan”.88
Al-Qurtubi menafsirkan Al-hikmah dengan “kalimat
yang lemah lembut”, tanpa adanya kekerasan,
permusuhan dan paksaan.89Dakwah dengan lemah
lembut dan persuasif ini, dalam ayat lain disebut juga
dengan redaksi “ linta” dan “qaulan layinana”. Tercermin
pada perintah Allah kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi
Harun a.s. agar keduanya menggunakan pendekatan
lemah lembut dan persuasif dalam menghadapi Fir’aun
yang kejam dan angkara murka, seperti termaktub pada
ayat Al-Qur`an. Allah berfirman:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut”.(Q.S. Thaha/20: 44)
88
Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadh Al-Qur`an, Beirut: Dar al-
Fikr, t.t., hlm. 126 89
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-
Jami‟ li Ahkam Al-Qur`an, cet ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1999, Vol.10, hlm.
146.
175
Dan juga tercermin dalam perintah Allah kepada
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi wa Sallam agar
bersikap lemah lembut kepada kaumnya dalam
Berdakwah, sebagaimana termaktub dalam (Q.S. Ali
Imran/3: 159),
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad)
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan
untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang
bertawakal.” (Ali Imran: 159)
Pada Surah Ali Imran ayat 159 tersebut,
terkandung tujuh unsur dakwah bil hikmah yang
176
diajarkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shalallahu
'Alaihi wa Sallam dan umatnya, yaitu: 1) Mendasarkan
kegiatan dakwah atas dasar menebar kasih sayang Allah;
2) Senantiasa bersikap lemah lembut dalam menghadapi
umat; 3) Bersikap lapang dada sehingga mudah
memaafkan kesalahan umat; 4) Membangun komunikasi
personal dengan Allah dengan senantiasa memohon agar
Allah mengampuni dosa dan kesalahan umat; 5)
Bermusyawarah dengan umat dalam merencanakan
suatu program aksi; 6) Mengambil keputusan yang tepat
dan mantap dalam bermusyawarah dengan kebulatan
tekad untuk mewujudkannya; 7) Bertawakal kepada
Allah, jika suatu perencanaan sudah dilakukan dengan
cermat dan diputuskan dengan hati yang mantap.
Dari uraian keterangan di atas, dapat disimpulkan
bahwa dakwah dengan hikmah harus mengandung
unsur-unsur berikut ini:
Dakwah dengan hikmah adalah terletak pada
kekuatan argumentasi yang jelas dengan
menggunakan dalil-dalil yang qath’i, yang pasti,
rasional dan mendalam.
177
Dakwah dengan hikmah adalah juga terletak
pada kecerdasan emosi dan spiritual para juru
dakwah (duat).
Dakwah dengan hikmah adalah memilih kata-
kata yang lembut dan persuasif dalam
menyampaikan pesan dakwah.
Dakwah dengan hikmah adalah Berdakwah
dengan melihat kondisi tingkat pemahaman
mad’unya, sehingga dakwah mudah dipahami dan
diikuti.
Kemampuan seseorang untuk dapat Berdakwah
dengan hikmah adalah berasal dari Allah,
sebagaimana disebutkan pada ayat Al-Qur`an:
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia
kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah,
sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang
banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai
kemampuan berfikir mendalam”. (Al-Baqarah:
269)
178
B. Keutamaan Hikmah
1. Hikmah adalah metode dakwah yang efektif yang
dapat menarik simpati dari mad’unya. Allah
berfirman,
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik (An-Nahl:125)
2. Orang yang diberi hikmah berarti ia telah diberi
kebajikan yang banyak.
Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh
telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada
yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-
orang yang berakal. (Al-Baqarah:269)
179
3. Orang yang diberi hikmah dapat dijadikan
teladan
"Tidak boleh bersikap dengki (ghibthah, ingin
meniru) kecuali dalam dua perkara: Seseorang
yang telah diberikan harta oleh Allah, lalu ia
menggunakannya dalam kebenaran, dan
seseorang yang telah diberikan oleh Allah
hikmah, maka ia memutuskan dengannya dan
mengajarkannya." (HR. Bukhari)
4. Hikmah identik dengan makna al-Qur`an,
terkadang dengan arti as-Sunnah atau kenabian.
Karena itulah diriwayatkan dalam beberapa
hadits tentang do'a Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam kepada Abdullah bin Abbas yang
berbunyi semoga Allah mengajarkan kepadanya
hikmah, kitab dan paham dalam agama, dan
180
digabungkan dalam riwayat al-Bukhari dengan
sabda beliau:
"Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah." (HR.
Bukhari)
C. Rukun Dakwah Bilhikmah
Hikmah memiliki tiga rukun yaitu al-ilmu, al-hilmu
(santun), dan al-anah (tidak tergesa-gesa). Adapun
rinciannya adalah sebagai berikut,90
1. Ilmu
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i.
Hal itu sebagaimana sebagaimana sabda
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam:
90
Sa’id Ibn Khalid Al-Qahthani, Al-Hikmah Fii Al-Da‟wah Ilallah,
Riyadh: Jam’ah Al-Imam Ibn Sa’ud, 1992hlm.43
181
“Sesungguhnya para nabi itu tidak
mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya
mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya
berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu ad-
Darda)
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada
Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-
orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”
(QS.Muhammad: 19)
Ilmu merupakan rukun hikmah yang paling
pokok. Oleh karena itulah, Allah memilih orang
182
yang berilmu untuk mengemban amanah risalah
dakwah. Allah lberfirman:
“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-
orang yang berilmu dengan orang-orang yang
tidak berilmu?” (Az-Zumar: 9)
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan
untuknya, Dia akan memahamkannya tentang
agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah)
“Barang siapa menempuh sebuah jalan untuk
mendapatkan ilmu, Allah akan memudahkan
183
baginya jalan menuju ke surga.” (HR. Muslim
dari Abu Hurairah)
“Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari
manusia dengan sekali ambil dari para hamba-
Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan
mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak
menyisakan lagi seorang alim pun di bumi,
manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai
pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi
fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan
menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash)
2. Al-hilmu (santun)
Al-hilmu adalah lapang dada, di mana
seseorang mampu mengendalikan dirinya ketika
marah, dan dan tidak pula tergesa-gesa
184
melampiaskannya.91 Hal itu sebagaimana
diisyaratkan dalam hadist, bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Orang yang kuat bukanlah orang yang
menang dalam pergulatan. Orang yang kuat
adalah orang yang mampu mengendalikan
dirinya ketika marah.” (Muttafaqun alaih)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali
Imran: 159)
91
Ibid hlm.54
185
Demikianlah sifat lapang dada dan jiwa yang
pemurah akan mengantarkan pada sikap rahmat
yang semuanya itu akan mengajak kepada sikap
sabar dan sabar itu akan menuntunnya kepada
sikap pemaaf maka akan menjadikan di balik itu
semua pengaruh positif yang bisa dirasakan oleh
mad’unya, sehingga tertarik untuk mengikuti
risalah dakwah. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia". (Fushshilat:
34)
Sebaliknya, Seorang da'i yang mempunyai
tujuan hati manusia condong kepada kebenaran
dan terisi dengan hidayah maka dia tidak boleh
kaku dan keras hatinya di karenakan kerasnya
hati yang mana hal itu telah di ingkari oleh Islam
186
akan menjadikan keringnya jiwa sehingga
hubungan vertikal kepada Allah (hablum
minallah) dan hubungan sosial kemanusiaan
(hablum minannas) menjadi tidak harmonis.
Tentu ini semua akan menyebabkan kegagalan
dalam menempuh jalan dakwah.92
3. At-ta’anni
At-ta’anni adalah berhati-hati dan tidak
tergesa-gesa dalam bertindak dan mengambil
keputusan. 93
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
92
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islam House, 2012 , hlm.157 93
Sa’id Ibn Khalid Al-Qahthani, Al-Hikmah Fii Al-Da‟wah Ilallah,
Riyadh: Jam’ah Al-Imam Ibn Sa’ud, 1992hlm.43
187
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-
Hujurat: 6)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita agar
senantiasa waspada, dan tidak tergesa-gesa
dalam mengambil suatu sikap, sampai adanya
tabayun terlebih dahulu. Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi
radhiallahu anuhma berkata: Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sifat hati-hati (waspada) itu dari Allah dan
tergesa-gesa itu godaan dari setan.” (HR. At-
Tirmizi)
Sifat waspada ini amat dipuji oleh Rasulullah
saw dalam sabdanya, bahwa sifat ini adalah
anugerah dari Allah kepada hambanya yang
dipilih. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu
anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepada Asyyaj Abdil Qais:
188
“Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat
yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan berhati-
hati.” (HR. Muslim)
D. Contoh Dakwah Dengan Hikmah Dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadist
1. Dakwah dengan kata-kata yang lembut
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-
mudahan ia ingat atau takut." (Thaha: 44)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
189
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka,…(Ali Imran: 159).
2. Lapang dada dan menahan amarah dari ucapan
orang lain yang menyakitkan.
Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa seusai
perang Hunain, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam membagikan ghanimah (harta rampasan
perang). Beliau melebihkan pembagian kepada
beberapa orang. Beliau n memberikan seratus
ekor unta kepada al-Aqra’ bin Habis, sejumlah itu
pula kepada ‘Uyainah. Beliau juga memberikan
bagian ghanimah kepada pemuka orang-orang
badui lebih dari yang lain. Ada seseorang yang
berkomentar, “Demi Allah, sungguh pembagian
ini tidak adil dan tidak ikhlas karena Allah .” Ibnu
Mas’ud lalu berkata, “Demi Allah, sungguh aku
akan melaporkan ucapan ini kepada Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.” Dia kemudian
mendatangi Rasulullah saw dan
memberitahukan ucapan tersebut kepada beliau
190
saw. kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam berkata:
“Siapa lagi yang mampu berbuat adil jika Allah
dan Rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah
merahmati Musa alaihissalam, sungguh dia telah
disakiti (oleh kaumnya) lebih daripada ucapan
ini, tetapi dia bersabar.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
3. Tetap santun kepada orang yang berbuat kasar.
Anas bin Malik mengatakan, “Aku berjalan
bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam.
Beliau memakai burdah(selimut) dari Najran
yang tebal dan kasar. Tiba-tiba ada seorang
badui menemui beliau dan menarik burdah
beliau dengan keras hingga membekas di
pundak-Nya. Orang itu lalu berkata, ‘Wahai
Muhammad, berilah aku sebagian harta Allah
191
yang ada padamu!, Beliau lalu menoleh
kepadanya sembari tertawa dan memberikan
sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Tidak balas dendam terhadap musuh, bahkan
mendo’akan kebaikan untuknya.
Ibnu Mas’ud mengatakan:
“Seakan-akan aku melihat Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam sedang menceritakan seorang
Nabi dari para Nabi yang dipukuli oleh kaumnya
hingga berdarah. Nabi tersebut mengusap darah
dari wajahnya sambil berdoa, ‘Ya Allah,
ampunilah kaumku karena mereka tidak
mengetahui’.” (HR. Muttafaqun alaih).
Dalam sebuah hadits yang panjang disebutkan
bahwa Rasulullah saw berkata kepada Jibril:
192
“Aku justru mengharapkan Allah akan
mengeluarkan dari tulang-tulang sulbi mereka
sebuah generasi yang beribadah kepada Allah
semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
pun.” (Muttafaqun ‘alaih)
5. Kisah Arab Badui yang Kencing di Masjid.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Tatkala kami dimasjid bersama
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, tiba-tiba
datang seorang A’rabi (Arab dusun) kencing di
masjid, maka para sahabat menghardiknya, “Mah
mah (yaitu pergi/tinggalkan).” Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, “Jangan kalian
hardik, biarkan dia (jangan putus
kencingnya)”.Parasahabat membiarkan A’rabi
tersebut untuk menunaikan kencingnya,
kemudian Rasulullah memanggilnya. Rasulullah
193
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berkata,
“Sesungguhnya masjid-masjid tidak boleh untuk
kencing, tetapi dipergunakan untuk berdzikir
kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.”
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda
kepada para sahabat-sahabatnya, “Sungguh
kalian diutus untuk memudahkan dan tidak
untuk menyulitkan, guyurlah air kencing tadi
dengan satu ember air”.A’rabi itu berkata, “Ya
Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan
jangan Engkau rahmati selain kami”.Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, “Sungguh engkau
telah mempersempit perkara yang luas.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
6. Metode Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
dalam Menegur Para Sahabat.
Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam ‘Aisyah-Sulami
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tatkala aku shalat
bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
tiba-tiba ada seseorang yang shalat itu bersin.
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu mendoakan,
194
“Semoga Allah merahmatimu”.Orang-orang yang
shalat melihat kepadaku dalam rangka
mengingkari. Mu’awiyah mengatakan kepada
mereka, “Kenapa kalian melihatku begitu?”
Orang-orang yang shalat memukulkan tangan-
tangan mereka ke paha-paha mereka dengan
tujuan supaya diam, maka Muawiyah pun diam
tatkala mereka diam sampai selesai shalat.
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu memuji Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, “Demi ibu bapakku,
aku tidak pernah melihat seorang pengajar
sebelum atau sesudahnya yang paling baik
pengajarannya dibanding beliau, maka demi
Allah, beliau tidak memojokkan aku, tidak
memukulku dan tidak mencelaku.” Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh sesuatu
pun padanya yang berupa ucapan manusia,
tetapi shalat itu tasbih, takbir dan membaca Al-
Qur’an”. Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru lepas
dari masa jahiliyah, dan Allah datangkan Islam.
195
Dan sesungguhnya ada di antara kami orang-
orang yang mendatangi dukun yang mereka
mengakui ilmu ghaib”. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kamu
mendatangi mereka!” Mua’wiyah radhiyallahu
‘anhu, “Dan di antara kami ada orang-orang yang
ber-tathayur (menganggap sial dengan
sesuatu).”Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda, “Itu adalah sesuatu yang didapatkan
pada dada-dada mereka, maka jangan sampai
menghalangi mereka dari tujuan-tujuan mereka,
karena yang demikian itu tidak berpengaruh,
tidak mendatangkan manfaat mau pun
mudharat.” (HR. Muslim)
7. Kisah Yahudi yang memusuhi Rasulullah saw.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
“Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ( ام الس
ك Kebinasaan bagimu”. Rasulullah Shalallahu“(عل
'Alaihi wa Sallam bersabda, “Bagi kalian juga”.
‘Aisyah menimpali dengan mengatakan, ( كم بل عل
196
ام و اللعنة الس )“ Tidak hanya kebinasaan, tapi laknat
dan murka Allah juga atas kalian”. Rasul
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Tahan
wahai ‘Aisyah, wajib bagimu untuk lemah
lembut, hati-hati kamu dari sikap keras dan
keji”.‘Aisyahpun bertanya: “Apakah anda tidak
mendengar apa yang mereka ucapkan?”,
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
menjawab: “Apakah kamu tidak mendengar apa
yang aku ucapkan, aku telah membalas mereka
dan itu dikabulkan bagiku dan ucapan mereka
terhadapku tidaklah dikabulkan”. (HR.
Bukhari)
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam berkata kepada ‘Aisyah:
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah Maha Rafiq.
Allah mencintai kelembutan dan memberikan
kepada kelembutan apa yang tidak Allah berikan
197
kepada kekerasan, dan yang tidak Allah berikan
kepada selainnya.” (HR. Muslim)
E. Ushlub Hikmah
1. Memulai dakwah secara bertahap
Sesungguhnya perubahan jiwa dan perpindahannya
dari kebiasaan buruk yang telah mengakar dan
menancap kuat dalam dirinya, menuju kebiasaan baru
yang belum terlintas dalam jiwanya, bukan suatu hal
yang mudah. Dari sini kita membutuhkan waktu yang
cukup untuk mengkondisikannya sesuai dengan risalah
Dakwah yang kita tawarkan. Oleh karena itu, Dakwah
harus dilakukan dengan cara bertahap dalam merubah
sebuah kebiasaan, sehingga mad’u mau menerimanya
dengan hati yang lapang.
Banyak contoh dalam Al-Qur’an yang
mengisyaratkan tentang urgensi dakwah dengan cara
bertahap. Contohnya dalam masalah pengharaman
khamr dan riba. Al-Qur’an mengharamkannya secara
198
bertahap,sehingga masyarakat (mad’u) tidak terkejut
dengan hukum baru ini, padahal sebelumnya, khamr dan
riba adalah bagian dari keseharian mereka.
Berikut ini adalah empat tahapan pengharaman
khamr dan riba:
a. Tahap pengharaman khamr
Tahap Pertama: Al-Qur’an menceritakan tentang
kebiasaan masyarakat yang menjadikan khamr
sebagai bagian dari gaya hidup mereka dan
sumber rizki mereka.
“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat
minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda bagi orang yang
memikirkan.” (An-Nahl: 67)
199
Tahap Kedua: Al-Qur’an mengajak berfikir, agar
manusia membandingkan tentang manfaat dan
madharat Khamar.
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia.
Tapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya....” (Al-Baqarah: 219)
Tahap Ketiga: Al-Qur’an mulai memberikan
peringatan(warning), agar manusia menjauhi
khamr ketika shalat.
200
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat dalam keadaan mabuk, sehingga kamu
mengerti apa yang kamu ucapkan?” (An-Nisa: 43)
Tahap Keempat: Al-Qur’an mengharamkan
khamr secara mutlak ketika kondisi masyarakat
telah siap untuk menerima larangan Allah.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
khamar, judi, berkorban untuk berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan
kejitermasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu.” (Al-Maidah: 90)
b. Tahap pengharaman riba:
Tahap Pertama: Al-Qur’an menceritakan tentang
kebiasaan masyarakat yang menjadikan riba
sebagai bagian dari gaya hidup mereka dan
sumber rizki mereka.
201
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
harapkan wajah Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)”. (Ar-Rum: 39)
Tahap Kedua: Al-Qur’an mengajak berfikir, agar
manusia membandingkan akibat transaksi riba.
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
202
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
dan juga disebabkan karena mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa`:
160-161)
Tahap ketiga: Al-Qur’an mulai mengharamkan
riba, namun masih secara parsial.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (Ali ‘Imran: 130)
203
Tahap keempat:Pengharaman secara
keseluruhan (mutlak) bahwa semua riba besar
atau kecil semuanya diharamkan.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya
204
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. (Al-Baqarah: 275)
2. Memperhatikan situasi dan kondisi mad’u
Setiap individu memiliki perbedaan satu dengan
yang lainnya, dalam masalah keilmuan, pemahaman,
kebiasaan, karakter, dan adat istiadat. Maka semua itu di
butuhkan perhatian khusus oleh da'i, agar dakwah yang
disampaikan kepada mereka tidak salah sasaran. Paling
tidak ada tiga tipe karakter mad’u yang harus menjadi
perhatian oleh para da’i, yaitu:
1) Di antara mereka ada orang yang senang kepada
kebaikan namun dirinya lalai dan enggan untuk
menempuh jalan kebaikan tersebut, sehingga di
butuhkan dakwah dengan penuh hikmah.
2) Di antara mereka ada yang menentang kepada
kebenaran dan menyibukan dirinya dengan yang
lain, maka orang seperti ini di butuhkan kepada
nasehat dengan cara yang baik, dengan cara targhib
205
(anjuran) dan tarhib (ancaman) dan menjelaskan
balasan bagi orang yang mau berpegang pada
kebenaran bahwa nantinya akan mendapat kebaikan
yang di segerakan di dunia maupun di akhirat, dan
juga akibat dari orang yang menyelisihi kebenaran
bahwa nantinya akan berada dalam kerugian dan
kebinasaan.
3) Adapun kelompok yang ketiga dari kalangan manusia
adalah orang yang memiliki kerancuan pemikiran
dan syubhat yang menghalangi dirinya dari
kebenaran, maka yang ini dibutuhkan kepada
munaqasyah (diskusi) dan debat dengan cara yang
baik sampai dirinya paham dan bersih dari
karancuan tersebut.94
Salah satu contoh yang dapat kita teladani dari
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam adalah perhatian
beliau terhadap kondisi dan karakter mad’u yang
menjadi objek dakwah-Nya. Hal itu bisa kita lihat
dalam hadist bahwa bahwa beliau pernah di minta
wasiat dan nasehat oleh beberapa sahabatnya, maka
94
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islam House, 2012 , hlm.163
206
beliau mengatakan pada salah seorangnya: "Jangan
marah", nasehat ini diulang sebanyak tiga kali, sebab
nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam mengetahui bahwa
mad’u tersebut memiliki karakter pemarah sehingga
nasehat yang paling tepat untuk orang tersebut
adalah mengendalikan marah. (HR Bukhari)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, “Berilah saya nasihat.”
Beliau Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan
marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang
permintaannya dan beliau tetap menjawab, “Jangan
marah.” (HR. Bukhari)
Sementara kepada orang berikutnya yang
meminta nasehat, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam mengatakan padanya:
207
Dari sufyan bin Abdillah As-Tsaqafi berkata: aku
berkata kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam, ya Rasulullah berilah aku nasehat yang belum
pernah aku tanyakan kepada orang selain engkau!,
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
"Katakan saya beriman kepada Allah kemudian
istiqomahlah". Nasehat ini tepat untuk orang
tersebut dan sesuai dengan kondisi keimannannya.”
(HR Muslim)
Sementara kepada yang lainnya, Nabi Shalallahu
'Alaihi wa Sallam mengatakan:
208
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya
kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan
kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang
senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur,
akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang
selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena
kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan
kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang
senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga
akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari ketiga hadist di atas, kita dapat melihat
jawaban Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam yang
berbeda-beda atas jawaban nasehat si penanya. Hal
itu karena beliau memperhatikan keadaan penanya
secara khusus yang mana beliau mengetahui
kebutuhan yang diperlukan bagi masing-masing
penanya, tingkat pemahamannya dan yang layak
baginya, maka beliau memberi wasiat yang saling
berbeda yang sesuai pada masing-masing penanya.
209
4) Memprioritaskan yang ushul (pokok) dari yang furu’
(cabang)
Maksud dari prioritas utama dari yang penting
dan yang paling penting adalah dengan mengetahui
tingkatan amalan apa yang akan di kerjakan sehingga
bisa menempatkan sesuai pada tempatnya, maka
sesungguhnya metode Islam telah membikin bagi
setiap amalan itu ada batas dan kadar kemampuan
seseorang dalam mengerjakannya. Demikian itu,
sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, bahwa imam memiliki
banyak cabang yang bertingkat-tingkat. Dari cabang
tersebut ada prioritas yang penting dan yang
terpenting.
Abu Hurairah Radhiallohu ‘anhu mengatakan bahwa
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda “Iman
210
memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh
cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan
'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan.
Dan malu adalah salah satu cabang iman." (HR.
Bukhari)
Suatu hal yang lazim bagi seorang da'i untuk
mengetahui bahwa ushul (pokok) itu harus lebih
dulu ada dari pada cabangnya, sebagaimana juga
kewajiban itu harus lebih di dahulukan dari pada
sunah, dan kewajiban yang sifatnya fardhu 'ain juga
harus di dahulukan dari kewajiban yang sifatnya
fardhu kifayah, sedangkan fardhu kifayah yang di
dalamnya ada ketidak mampuan secara dhohir itu
lebih utama untuk di kerjakan sendiri dari pada
menyerahkan kepada orang lain dari kalangan kaum
muslimin. Hal itu sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi saw dalam prioritas amalan yang terdapat
dalam hadist berikut ini,
211
“Seorang Arab Badui pernah datang kepada
Rasulullah dalam keadaan rambutnya yang kusut.
Arab Badui itu berkata; wahai Rasulullah,
beritahulah aku tentang shalat apa saja yang wajib
aku kerjakan!. Rasulullah bersabda; shalat lima
waktu, kecuali jika engkau ingin menambahnya
dengan melaksanakan shalat sunnah. Sang Arab
badui kembali bertanya; bagiamana dengan puasa
yang wajib aku kerjakan. Beliau bersabda; puasa di
bulan Ramadhan, kecuali jika engkau ingin
melaksanakan puasa-puasa sunnah. Sang Arab badui
kembali bertanya; beritahulah aku tentang zakat
212
yang wajib aku keluarkan. Maka Rasulullah pun
mengajarinya tentang beberapa jenis syari’at agama.
Kemudian sang Arab badui berkata; demi Allah, aku
tidak akan menambah dan tidak pula mengurangi
sedikitpun dari kewajiban-kewajibanku. Mendengar
pernyataan itu, Rasulullah bersabda; sungguh
beruntung orang tersebut atau sungguh ia akan
masuk surga bila ia menepati perkataannya. (HR.
Bukhari)
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam suatu saat mengutus
Mu’adz Radhiyallahu’anhu menuju Yaman, maka
beliau berpesan, “Ajaklah mereka kepada syahadat
laa ilaaha illallaah dan bersaksi bahwa aku adalah
213
utusan Allah. Kemudian apabila mereka telah
menaatinya maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
mengerjakan shalat lima waktu pada setiap sehari
semalam. Kemudian apabila mereka telah
menaatinya maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa Allah juga mewajibkan kepada mereka
sedekah/zakat dalam harta mereka yang diambil dari
orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang-orang miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari
dalam Kitab az-Zakah bab wujub zakah)
Hadist tersebut secara tegas menyebutkan
prioritas amalan ibadah, mana yang harus
didahulukan dan mana yang diakhirkan, mana yang
ushul (pondasi) dan mana yang furu’(cabang),
karena kebutuhan yang sangat pokok itu adalah
merupakan pondasi, sedangkan yang lainya di
bangun di atasnya, seperti halnya sifat maka dia
adalah bagian dari yang di sifatinya atau cabang yang
merupakan bagian dari pokoknya.
214
Berangkat dari situ, seorang da'i dapat
memetakkan objek dan materi Dakwah yang akan
disampaikan, sehingga dakwah berjalan secara
efektif dan efesien. Jika telah tahu bahwa mad’u
telah mengetahui dan memahami pokok-pokok iman
secara umum, maka baginya tinggal mengutamakan
dan memfokuskan kepada mereka untuk memahami
terhadap kandungan yang ada dalam keimanan dan
akibatnya serta merelevansikan dengan kenyataan
hidup sehari-hari, dan ini bisa jadi lebih utama dan
lebih bermanfaat bagi mereka dari hanya sekedar
menambah permasalahan-permasalahan fikih serta
cabang-cabangnya yang terkadang tidak di perlukan
kecuali oleh para penuntut ilmu bahkan terkadang
hanya di butuhkan oleh para spesialisnya
(mutakhossisin).
5) Dakwah dengan cara memberikan kemudahan-
kemudahan kepada mad’unya, dan tidak
mempersulit diluar kemampuannya.
Salah satu ciri dakwah bilhikmah adalah
memberikan jalan termudah kepada mad’u selama
215
tidak bertentangan dengan syara’. Di dalam al-Qur’an
telah dijelaskan bahwa agama Islam itu mudah tidak
sulit, dan Allah tidak menjadikan untuk hambanya
dalam agama suatu kesempitan. Allah berfirman,
Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(ikutilah) Agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)
telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas segenap manusia,
maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
216
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78)
Di dalam hadist juga telah dijelaskan akan
kemudahan dalam melaksanakan amalan ibadah.
Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya agama adalah mudah, dan tidak
ada seseorang yang melawan agama kecuali
mengalahkannya, maka luruskanlah, dekatkanlah,
dan berilah kabar gembira." (HR. Buhari)
Berilah kemudahan dan janganlah kamu
menysahkan, berilah berita gembira dan janganlah
kamu membuat orang lari. Sesungguhnya kamu
217
diutus memberikan kemudahan dan kamu tidak
diutus untuk menyusahkan. (HR. Buhari dan
Muslim)
Dalam hadist yang lain dari Abdullah bin Mas’ud
Radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Maukah kalian aku beritahu orang yang
diharamakan atas neraka atau orang yang neraka
diharamkan atasnya? Semua kerabat yang lemah
lembut lagi memberikan kemudahan.” (HR. At-
Tirmizi)
Salah satu contoh kemudahan yang diberikan
oleh Al-Qur’an dalam menjalankan amalan ibadah
adalah sebagaimana yang dialami oleh orang sakit
dibolehkan untuk berbuka puasa dan wajib bagi
mereka untuk meggantinya ketika sembuh. Allah -
ta’ala- berfirman;
218
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al-
Baqarah: 184)
Demikian juga dalam masalah shalat, Jika tidak
mampu duduk karena mendapatkan kesulitan ketika
duduk atau mendapatkan madharat, seperti
penyakitnya bertambah parah, maka hendaklah ia
melaksanakan shalat dengan tidur miring. Tata cara
shalat orang sakit seperti itu ditegaskan dalam hadits
sebagai berikut;
Artinya: “Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra.,
ia berkata; ”Saya menderita penyakit wasir, lalu saya
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
219
Sallam, maka beliau menjawab: “Shalatlah kamu
sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka
hendaklah shalat sambil berbaring.” (HR. Bukhari)
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam. beliau bersabda: Orang sakit melakukan
shalat dengan berdiri jika ia mampu berdiri. Jika ia
tidak mampu (berdiri), shalatlah ia dengan duduk.
Jika ia tidak mampu sujud ke tanah (tempat sujud),
maka ia memberi isyarat, dan ia menjadikan
sujudnya lebih rendah (posisi atau caranya) dari
ruku’nya. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk,
maka ia shalat dengan tidur miring ke sebelah kanan
dan menghadap kiblat. Jika tidak mampu tidur
220
miring ke sebelah kanan, maka ia shalat dengan
menghadapkan kedua kakinya ke arah kiblat.” (HR.
Baihaqi dan Daruquthni)
6) Menyampaikan berita gembira sebelum peringatan
Diantara methode Dakwah bilhikmah adalah
methode targhib/ tabsyir dan tarhib/tandzir, yaitu
memberikan kabar gembira dan memberikan
peringatan. Metode ini sering digunakan oleh
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam
mendidik sahabat (umat)nya. Bahkan Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diutus sebagai pemberi
kabar gembira kepada para pengikutnya, memberi
ancaman terhadap musuh-musuhnya, bahkan tugas
para rasul tidak terlepas dari dua sifat ini:
“Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu
melainkan untuk memberi kabar gembira dan
memberi peringatan.” (Al-An'am: 48)
221
Ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa
metede tabsyir (kabar gembira) lebih didahulukan
dari pada tandzir (memberikan peringatan). Hal itu
supaya masyarakat yang diajak dalam kebaikan
tidak menjauh. Dalam hal itu, Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
Berilah kemudahan dan jangan menyusahkan,
berilah kabar gembira dan jangan engkau membuat
orang menghindar. (HR. Bukhari)
Di antara contoh metode tersebut adalah apa
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam ketika mendapatkan Ummul Ala`
sedang sakit, beliau bersabda kepadanya:
222
"Bergembiralah wahai Ummul 'Ala, maka
sesungguhnya sakitnya seorang muslim
menghilangkan kesalahannya, sebagaimana api
menghilangkan karat besi."95
Dalam hadist yang lain Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda,
"Bergembiralah dan berilah kabar gembira
kepada orang yang berada di belakangmu, bahwa
siapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak
disembah) selain Allah , jujur dari hatinya, niscaya ia
masuk surga."96
95
Shahih Jami' no. 37 (Shahih), lihat juga Muhammad Ibn Muflih Al-
Maqdisi, Al-Adab Al-Syar‟iyyah wa Al-Minah Al-Mar‟iyyah, Maktabah
Alam Al-Kutub, tt, hlm.200 96
Shahih al-Bukhari, Kitab Riqaq, bab ke 13, hadits no. 6443
223
Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan
cahaya yang sempurna di hari kiamat. (HR. Ibn
Majah)
“Perlahanlah, bergembiralah, sesungguhnya di
antara nikmat Allah kepadamu bahwa tidak ada
seorang manusia pun yang shalat pada saat ini selain
kalian." Abu Musa berkata: 'Maka kami pulang
dengan membawa rasa bahagia dengan berita yang
kami dengar dari Rasulullah.” (HR. Bukhari)
224
Barang siapa yang membaca satu huruf Alquran
mendapat pahala satu kebaikan. Satu kebaikan
dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak
mengatakan “Alif Lam Mim” itu satu huruf. Akan
tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu
huruf. (HR. Tirmizi)
Dari Salman, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam berkata kepadaku, Setiap orang yang
menyucikan diri pada hari Jumat sebagaimana
diperintahkan, kemudian keluar dari rumahnya
untuk menghadiri salat Jumat, ia diam sampai selesai
salat akan diampuni dosanya sejak Jumat yang lalu.
(HR. Al-Nasa'i)
Setelah tahapan dakwah dengan tabsyir
(memberi kabar gembira) telah terlaksana maka
tahap berikutnya adalah dengan memberikan
225
peringatan (tandzir). Hal itu sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam dalam sabdanya berikut ini,
Ummu Aiman meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda “Janganlah
kamu meninggalkan salat dengan sengaja karena
orang yang meninggalkan salat dengan sengaja
terlepas dari naungan Allah dan rasul-Nya.” (HR.
Ahmad)
7) Menggunakan bahasa dakwah yang relevan sesuai
dengan kondisi mad’u
Dalam Al-Qur’an terdapat macam-macam bahasa
dakwah yang relevan dengan kondisi mad’u. Tujuan
penggunaan bahasa yang variatif tersebut supaya
risalah dakwah sampai kepada mad’u tepat sesuai
sasarannya. Bahasa dakwah tersebut adalah
226
a) Qaulan baligha (perkataan yang membekas pada
jiwa)
Sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa 4:
63 yaitu,
“Artinya: Mereka itulah orang-orang yang Allah
mengetahui apa ang di dalam hati mereka. Karena
itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah
mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka
ucapan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-
Nisa: 63)
b) Qaulan layyina (ucapan yang menyejukan, lemah
lembut)
Sebagaimana tercermin pada perintah Allah
kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. agar
keduanya menggunakan pendekatan lemah
lembut dan persuasif dalam menghadapi Fir’aun
227
yang kejam dan angkara murka, seperti
termaktub dalam firman Allah:
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-
mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
c) Qaulan maysiura (perkataan yang mudah
difahami, realistis)
Sebagaimana dalam firman Allah,
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan
orang yang dalam perjalanan, dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
228
boros. Sesungguhnya boros itu adalah saudara-
saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya. Dan jika kamu berpaling
dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah
kepada mereka perkataan yang pantas. Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan janganlah terlalu
mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya
Dia maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan
hamba-hambanya.” (Al-Isra': 26 - 30)
d) Qaulan karima (perkataan yang baik, mulia)
Sebagaimana firman Allah,
229
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya
kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara mereka berdua atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.” (Al-Isra: 23)
e) Qaulun sadidun (perkataan yang benar, mengenai
sasaran).
Sebagaimana firman Allah,
230
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menta' ati Allah
dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab:
70 -71)
f) Qaulan hasana (perkataan yang baik)
Sebagaimana firman Allah,
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
231
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu
berpaling.” (Al-Baqarah: 83)
232
BAB IV
TARGHIB DAN TARHIB DALAM DAKWAH
A. Keutamaan Metode Targhib dan Tarhib
Secara psikiologis dalam diri manusia ada potensi
kecenderungan untuk berbuat kebaikan (taqwa) dan
keburukan (fujur). Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh
Allah dalam firmannya,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 7-10)
Menbaca ayat di atas, terlihat jelas bahwa tabiat jiwa
manusia memiliki kecenderungan, baik kecenderungan
yang positif (taqwa) atau kecenderungan negatif (fujur).
233
Menurut Al-Qurthubi kecendeungan jiwa tersebut
merupakan dua jalan pilihan bagi manusia agar memilih
jalan keimanan atau jalan kekufuran, karena Allah telah
memberikan dua jalan tersebut dalam firmannya:97
“Bukanlah telah Kami jadikan baginya dua mata, dan
lidah dan dua bibir? Dan telah Kami tunjukkan
kepadanya dua jalan (jalan iman dan jalan kufur).” (Al-
Balad: 8-10)
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus: Ada yang bersyukur, namun ada pula yang kafir.”
(Al-Insan:3)
Oleh karena itu dakwah Islam berupaya
mengembangkan manusia dalam berbagai cara, guna
melakukan kebaikan dengan berbekal keimanan.
97
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ li Ahkam AL-Qur‟an, Beirut: Dar Al-Fikr,
Vol.10, hlm.68
234
Demikian juga sebaliknya, dakwah Islam juga berupaya
semaksimal mungkin menjauhkan manusia dari
perbuatan buruk dengan berbagai aspeknya. Jadi tabiat
ini perpaduan antara kebaikan dan keburukan, sehingga
tabiat baik harus dikembangkan dengan cara
memberikan imbalan, penguatan dan dorongan.
Sementara tabiat buruk perlu dicegah dan dibatasi
ruang geraknya, dengan cara diberi peringatan dan
ancaman. Jika demikian, maka manusia akan kembali
kepada fitrah semula, yaitu beriman kepada Allah dan
bersih dari segala macam kesyirikan.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak
mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang
menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi
sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan
yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?”
235
kemudian Abu Hurairah membacakan surat Ar Rum
[30]:30: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan
manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan
Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tapi
sebagian besar manusia tidak mengetahui ( HR. Bukhari
dan Muslim) di dalam riwayat Muslim yang lain
disebutkan, bahwa Rasullah meriwayatkan hadist Qudsi
dari Rabbnya yang berbunyi:
“Sesungguhnya Aku (Allah) ciptakan hamba-
hambaKu dalam keadaan yang hanif (lurus), dan mereka
didatangi oleh setan sehingga mereka digelincirkan dari
agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa
yang telah Aku (Allah) halalkan atas mereka, dan
diserukan kepada manusia agar menyekutukan Aku.”
(HR. Muslim)
Dari uraian di atas bisa dimengerti bahwa pada
hakikatnya jiwa adalah fitrah karena pada hakikatnya
236
manusia terlahir dalam keadaan fitrah (yuladu a’la
fitrah). Adapun terjadinya fujur (buruk) dan taqwa
(baik) nya, tergantung pengaruh pendidikan dan
lingkungan yang ada di sekitarnya. Ia menjadi baik
karena ada usaha untuk memperbaikinya, dan ia
menjadi buruk karena ada usaha yang mengotorinya,
maka oleh karena itu diperlukan latihan (riyadhah)
untuk selalu menjadikannya baik. Jadi dari sini bisa
ditegaskan bahwa Dakwah pada hakikatnya adalah
untuk membersihkan jiwa dari segala hal yang
mengotorinya, sehingga jiwa tersebut menjadi suci (nafs
thahirah)
“Adapun bagi orang yang takut akan kebesaran
Tuhannya dan menahan dirinya dari menuruti hawa
nafsunya, maka surgalah tempatnya.” (An-Naziat: 40-
41)
237
“Wahai manusia yang berjiwa tenang! Maksudnya
yang telah meyakini kebenaran dengan mutlak
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan
disenangi. Masuklah dalam kalangan para hamba-Ku!
Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (Al-Fajr: 27-30)
Targhib dan Tarhib dalam khasanah dakwah Islam,
sangat urgen diberlakukan, karena di dalamnya ada
beberapa keutamaannya yang bersifat mendasar, di
antaranya adalah:
1. Bersifat transenden yang mampu mempengaruhi
mad’u secara fitri. Semua ayat yang mengandung
targhib dan tarhib ini mempunyai isyarat kepada
keimanan kepada Allah dan hari akhir
2. Disertai dengan gambaran yang indah tentang
kenikmatan surga atau dahsyatnya neraka.
238
3. Menggugah serta mendidik perasaan
Rabbaniyyah, seperti khauf, khusu’, raja’ dan
perasaan cinta kepada Allah.
4. Kesimbangan antara kesan dan perasaan
berharap akan ampunan dan rahmat Allah.98
Dapat di mengerti bahwa metode targhib dan tarhib
tersebut pada dasarnya berusaha membangkitkan
kesadaran akan keterkaian dan hubungan diri manusia
dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan demikian,
metode ini sangat tepat untuk dikembangkan dalam
dunia dakwah, untuk membentuk kepribadian mad’u
yang utuh lahir dan batin menuju fitrahnya yang
bertuhid.
Metode tarhgib dan tarhib tersebut harus
diberlakukan secara seimbang, agar tidak terjadi
kesenjangan. Targhib berfungsi untuk membangkitkan
motivasi manusia agar taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya. Sementara tarhib berfungsi
sebagai pengendali agar manusia mampu
98
Abdul Rahman An-Nahlawi, Usul Al Tarbiyah Al Islamiyah Wa
Asalibuha Fi Al Bayt Wa Al Madrasah Wa Al Mujtama, Beirut: Daar al Fikr,
, 2001 , hlm 287
239
mengendalikan dirinya dalam menjauhi maksiat serta
segala bentuk kemungkaran yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Penggunaan targhib dan tarhib secara seimbang
mempunyai pengaruh yang signifikan dan lebih efektif
terhadapap respon dakwah mad’u, daripada
menggunakan salah satu di antara keduanya. Alasannya
cukup mendasar, yaitu menggunakan targhib saja, akan
menjadikan mad’u cenderung untuk bersikap pasrah
dalam arti tidak maksimal dalam melaksanakan perintah
kewajiban. Demikian juga, tarhib saja akan menjadikan
manusia bersikap pesimis pada rahmat-Nya sehingga
mudah putus asa dalam menggapai ampunan dan
karunia Allah. Oleh karena itu, posisi targhib dan tarhib
harus diberikan dengan porsi yang seimbang agar tidak
jatuh pada tindakan yang berlebih-lebihan dalam
menjalankan agamanya (ghuluw fii al-din).
Singkatnya, targhib dalam dakwah akan mewariskan
sifat roja’ pada jiwa mad’u. Dengan roja ini, mad’u akan
tumbuh harapan atau cita-cita, sehingga berperan
penting dalam melahirkan optimisme pada diri
240
seseorang. Dengan roja’ manusia akan tetap bertahan
dari segala macam kesulitan, karena disetiap kesulitan
pasti ada kemudahan. Dengan roja’ pula orang yang
berdosa tidak putus asa dalam menggapai rahmat dan
ampunan Allah. Jadi, Roja adalah kekuatan batin yang
mendorong agar senantiasa khusnudzan kepada
anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sementara tarhib dalam dakwah akan mewariskan
sifat khouf pada jiwa mad’u. Dengan hauf ini, mad’u
akan merasakan keagungan Allah (maqama Rabbihi),
sehingga memunculkan merasakan takut apabila
mendurhakainya. Rasa khauf tersebut akan muncul
ketika seorang hamba menyadari bahwa ancaman Allah
terhadap para pendosa adalah nyata, dan meyakini
bahwa maksiat merupakan bentuk pendurhakaan yang
akan menjauhkan dirinya dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
B. Makna Targhib
Secara etimologis, kata targhib diambil dari kata
kerja raghaba ( ب (رغ yang berarti mencari sesuatu,
241
berharap, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu
diubah menjadi menjadi kata benda targhib ( ترغب) yang
mengandung makna Suatu harapan utuk memperoleh
kesenangan, kecintaan, kebahagiaan.99
Secara istilah targhib menurut Abdul Karim Zaidan
adalah:
“Janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk
menarik perhatian mad’u agar dapat menerima
kebenaran dan tetap di atasnya.”100
Lebih detail lagi, Abdur Rahman An-Nahlawi
menjelaskan bahwa targhib merupakan janji yang
disertai dengan bujukan yang membuat senang terhadap
suatu yang maslahat, terhadap kenikmatan atau
kesenangan akhirat yang baik dan pasti, serta suka
kepada kebersihan dari segala kotoran, yang kemudian
99
Ibn Faris, Mu‟jam Maqayis Al-Lughah, Beirut Dar Al-Fikr, 1994 ,
hlm.415 100
Abdul Karim Zaidan, Ushul Al-Da‟wah, Beirut: Muassasah Al-
Risalah, 1993, hlm.437
242
dilanjutkan dengan melakukan amal soleh dan
kebajikan dan menghindari diri dari kenikmatan
selintas, temporer yang bermuatan negative atau
perbuatan buruk. Sementara tarhib ialah suatu ancaman
atau siksaan sebagai akibat dari megerjakan hal yang
negatif yang mendatangkan dosa atau kesalahan yang
dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Atau lengah
dalam mejalankan kewajiban yang diperintahkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala.101
Metode targhib merupan salah satu metode dakwah
yang efektif dan relevan disepanjang zaman. Metode ini
bertujuan untuk menumbuhkan semangat dan minat
mad’u yang tinggi dalam memenuhi perintah Allah dan
menjauhi larangannya.
a. Targhib Dalam Al-Qur’an
1. Targhib untuk mendapatkan kemenangan dan
pertolongan Allah
101
Abdul Rahman An-Nahlawi, Usul Al Tarbiyah Al Islamiyah Wa
Asalibuha Fi Al Bayt Wa Al Madrasah Wa Al Mujtama, Beirut: Daar al Fikr,
, 2001 , hlm 287
243
“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai
(yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang
dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Shaff: 13)
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum
kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka
datang kepadanya dengan membawa keterangan-
keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan
pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan
Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang
beriman.” (Ar-Rum: 47)
2. Targhib untuk mendapatkan pahala akhirat
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di
akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan
244
barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia
Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia
dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (Asy-
Syura: 20)
.
“Dan sungguh kehidupan akhirat lebih baik daripada
kehidupan dunia.” (Ad-Dhuha: 4)
3. Targhib untuk mendapatkan cinta Allah
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh.” (As-Shaff: 4)
245
“Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang sabar.” (Ali Imran: 146)
“Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik dalam waktu luang maupun sempit, dan orang-
orang yang menahan amarahny dan memaafkan
kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-oang yang
berbuat kebaikan.” (Ali Imran:134)
4. Targhib untuk mendapatkan balasan surga
"Barangsiapa taat kepada Allah dan rasul Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul Nya
246
dan melanggar ketentuan-ketentuan Nya, niscaya Allah
memasukkkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (Al-
Nisa’: 13-14)
5. Targhib agar selamat dari adzab neraka
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan
kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi
kamu jika kamu mengetahuinya.” (Al-Shaff:10)
6. Targhib mendapatkan kehidupan yang bahagia
247
“Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah , niscaya
akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberi
rezki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan barang
siapa yang bertawakal kepada Allah , niscaya Allah akan
mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah
menyampaikan urusannya, Allah telah menjadikan
ukuran atas segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)
7. Targhib mendapatkan balasan pahala yang
berlipat ganda
“Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
248
Maha Mengetahui.” “Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak
mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Al Baqarah: 261-262)
“Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah
dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan
lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali
lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan
gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu perbuat.” (Al Baqarah: 265)
249
“Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya
di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al Baqarah: 274)
b. Targhib Dalam Hadist
1. Targhib agar mendapatkan kehidupan bahagia
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
2. Targhib dengan balasan akhirat
250
Artinya: “Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Quran karena
sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai
pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.” (HR.
Muslim)
3. Targhib dengan dilipatgandakan pahala
“Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Pelajarilah Al Quran ini, karena sesungguhnya
kalian diganjar dengan membacanya setiap hurufnya 10
kebaikan, aku tidak mengatakan itu untuk الم , akan
tetapi untuk untuk Alif, Laam, Miim, setiap hurufnya
sepuluh kebaikan.” (Atsar riwayat Ad Darimy dan
251
disebutkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash
Shahihah, no. 660)
“Artinya: “Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu
berkata: “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu
malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang
malam.” (HR. Ahmad)
Artinya: “Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika
dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta
yang hamil, gemuk serta besar?” kami (para shahabat)
menajwab: “Iya”, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
252
bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat
di dalam shalat lebih baik baginya daripada
mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.”
(HR. Muslim)
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama
para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat
kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan
terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan
tersebut maka baginya dua pahala.” (HR. Muslim)
4. Targhib agar mendapatkan balasan syurga
253
Dari Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al Anshary
radhiallahuanhuma: Seseorang bertanya kepada
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, seraya berkata,
“Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat
yang wajib, berpuasa Ramadhan, Menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram102 dan saya tidak
tambah sedikitpun, apakah saya akan masuk surga?”
Beliau bersabda, “Ya.” (HR. Muslim)
5. Targhib agar mendapatkan cinta Allah
Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Siapa yang ingin mengetahui bahwa dia
mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka perhatikanlah jika
1. Maksud mengharamkan yang haram adalah: menghindarinya dan
maksud menghalalkan yang halal adalah: mengerjakannya dengan
keyakinan akan kehalalannya
254
dia mencintai Al Quran maka sesungguhnya dia
mencintai Allah dan rasul-Nya.” (Atsar shahih
diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al Iman, karya Al
Baihaqi)
Artinya: “Khabbab bin Al Arat radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Beribadah kepada Allah semampumu dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan
pernah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang
lebih dicintai-Nya dibandingkan (membaca) firman-
Nya.” Atsar shahih diriwayatkan di dalam kitab Syu’ab Al
Iman, karya Al Baihaqi.
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi
radhiallahuanhu dia berkata: Seseorang mendatangi
255
Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam, maka beliau
berakata: Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah
amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan
mencintaiku, maka beliau bersabda, Zuhudlah terhadap
dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah
terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan
dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah)
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab
radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Sesungguhnya setiap perbuatantergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan
apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnyakarena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan
256
siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan
yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana)
yang dia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
6. Targhib untuk mendapatkan perlindungan dari
Allah
Dari Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas
radhiallahuanhuma, beliau berkata: Suatu saat saya
257
berada dibelakang nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam,
maka beliau bersabda: Wahai ananda, saya akan
mengajarkan kepadamu empat perkara: Jagalah Allah,
niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya Dia
akan selalu berada di hadapanmu. Jika kamu meminta,
mintalah kepada Allah, jika kamu memohon
pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.
Ketahuilah sesungguhnya jika suatu umat berkumpul
untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu,
mereka tidak akan dapat memberikan manfaat
sedikitpun kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagimu,
dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu atas
sesuatu, niscaya mereka tidak akan mencelakakanmu
kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu.
Pena telah diangkat dan lembaran telah kering. (HR.
Tirmidzi)
258
Dari Abu Malik Al Haritsy bin ‘Ashim Al ‘Asy’ary
radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda: Bersuci sebagian dari iman,
Al Hamdulillah dapat memenuhi timbangan, Subhanallah
dan Al Hamdulillah dapat memenuhi antara langit dan
bumi, Shalat adalah cahaya, shadaqah adalah bukti, Al-
Qur’an dapat menjadi saksi yang meringankanmu atau
yang memberatkanmu. Semua manusia berangkat
menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya (dari
kehinaan dan azab) ada juga yang menghancurkan
dirinya. (HR.Muslim)
7. Targhib mendapan kehidupan yang bahagia
“Sesungguhnya perkara seorang mu’min itu
menakjubkan, karena semua perkara yang dialaminya
adalah baik; jika mendapatkan kesenangan dia
bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, jika
mengalami kesulitan dia bersabar, maka hal itu lebih
259
baik baginya, dan hal seperti itu tidak terdapat kecuali
pada diri seorang mu’min.” (HR. Muslim)
8. Targhib mendapatkan manisnya iman
“Tiga perkara, yang apabila seseorang itu
memilikinya maka dia dengan sebab tiga perkara
tersebut akan mendapatkan manisnya iman, (yaitu)
seorang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia
cintai dari selain keduanya; dan dia mencintai
saudaranya yang tidaklah dia mencintainya kecuali
karena Allah; serta dia membenci untuk kembali terjatuh
kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya
sebagaimana dia tidak ingin dirinya dilempar ke api.”
(HR. Muslim)
9. Targhib mendapatkan kebajikan
260
Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhuma, dari Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana dia
riwayatkan dari Rabbnya Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi: Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan
dan keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut:
Siapa yang ingin melaksanakan kebaikan kemudian dia
tidak mengamalkannya, maka dicatat di sisi-Nya sebagai
satu kebaikan penuh. Dan jika dia berniat melakukannya
dan kemudian melaksanakannya maka Allah akan
mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh
ratus kali lipat bahkan hingga kelipatan yang banyak.
Dan jika dia berniat melaksanakan keburukan kemudian
dia tidak melaksanakannya maka baginya satu kebaikan
penuh, sedangkan jika dia berniat kemudian dia
261
melaksanakannya Allah mencatatnya sebagai satu
keburukan. (HR. Buhari dan Muslim)
Dari Mu’az bin Jabal radhiallahuanhu dia berkata:
Saya berkata: Ya Rasulullah, beritahukan saya tentang
262
perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam
syurga dan menjauhkan saya dari neraka, beliau
bersabda, Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang
besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang
dimudahkan Allah ta’ala: Beribadah kepada Allah dan
tidak menyekutukan-Nya sedikitpun, menegakkan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi
haji. Kemudian beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa
Sallam) bersabda, Maukah engkau aku beritahukan
tentang pintu-pintu syurga? Puasa adalah benteng,
Sadaqah akan mematikan (menghapus) kesalahan
sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya
seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian
beliau membacakan ayat (yang artinya): “ Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya….”. Kemudian beliau
bersabda, Maukah kalian aku bertahukan pokok dari
segala perkara, tiangnya dan puncaknya? aku menjawab:
Mau ya Nabi Allah. Pokok perkara adalah Islam, tiangnya
adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad. Kemudian
beliau bersabda: Maukah kalian aku beritahukan sesuatu
(yang jika kalian laksanakan) kalian dapat memiliki
semua itu? saya berkata: Mau ya Rasulullah. Maka
263
Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda, Jagalah ini
(dari perkataan kotor/buruk). Saya berkata, Ya Nabi
Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita
bicarakan? beliau bersabda, Ah kamu ini, adakah yang
menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka
–atau sabda beliau: diatas hidungnya- selain buah dari
yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. (HR. Tirmidzi(
10. Mendapat ampunan Allah
Dari Anas Radhiallahuanhu dia berkata, Saya
mendengar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda, Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam,
sesungguhnya Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon
kepada-Ku, maka akan aku ampuni engkau, aku tidak
264
peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu).
Wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu (sebanyak)
awan di langit kemudian engkau minta ampun kepadaku
niscaya akan Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam
sesungguhnya jika engkau datang kepadaku dengan
kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemuiku
dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan
Aku temui engkau dengan sepenuh itu pula ampunan.“
(HR. Tirmidzi)
C. Makna Tarhib
Tarhib secara bahasa berasal dari kata bahasa arab
yang berarti ancaman atau intimidasi (takhwif).103 (رهب)
Adapun menurut istilah, sebagaimana yang
dikatakan oleh Abdul Karim Zaidan, bahwa tarhib
adalah,
103
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, term(زب)
265
Tarhib adalah ancaman untuk mengintimidasi
mad’u, karena membangkang atau menolak kebenaran,
atau tidak mau menerima kewajiban yang telah
diperintahkan Allah.104
Metode tarhib merupan salah satu metode dakwah
yang efektif dan relevan disepanjang zaman. Metode ini
adalah penyeimbang dari metode targhib, dimana
bertujuan untuk menumbuhkan rasa takut (khosyah)
pada diri mad’u sehingga menjauhi segala apa yang
dilarang oleh Allah.
a. Tarhib Dalam Al-Qur’an
1. Ancaman amalan ditolak
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
104
Abdul Karim Zaidan, Ushul Al-Da‟wah, hlm.437
266
daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang
yang rugi.” (Ali Imran: 85)
2. Ancaman murka Allah dan tidak mendapat
ampunan
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi
siapa yang dikehendaki-nya.” (An-Nisa’: 48)
3. Ancaman ditutupnya hati
"Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Qur'an?
atau adakah hati mereka yang terkunci?"
(Muhammad:24)
267
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-
Muthaffifin: 14)
4. Ancaman neraka, Allah Ta’ala berfirman
“Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan
tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang
mendidih dan ghossaq, sebagai pambalasan yang
setimpal.” (An Naba’: 24-26)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Inilah (azab neraka), biarlah mereka merasakannya,
(minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang
sangat dingin (ghossaq).” (Shaad: 57)
5. Ancaman kehidupan yang sempit
268
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit,
dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta. Berkatalah ia,’Ya Tuhanku,
mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan
buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang
melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya,
dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’”
(Thaha: 124-126)
6. Ancaman diturunkannya bencana
269
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang
telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam
berputus asa.” (Al-An’am: 44)
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang
telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang
dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman
mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali
sebahagian kecil. Dan Kami adalah pewarisnya.” (Al-
Qashash: 58)
b. Tarhib dalam Hadist
1. Ancaman ditolaknya amalan ibadah, jika tidak
sesuai dengan sunah Rasulullah Shalallahu
'Alaihi wa Sallam,
270
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah
radhiallahuanha dia berkata: Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Siapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini
yang bukan (berasal) darinya105), maka dia
tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Ancaman murka Allah bagi siapa saja yang
memusuhi waliyullah
1. Yang dimaksud adalah, perbuatan-perbuatan yang dinilai ibadah
tetapi tidak bersumber dari ajaran Islam dan tidak memiliki landasan yang
jelas, atau yang lebih dikenal dengan istilah bid’ah.
271
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Sesungguhya Allah ta’ala berfirman: Siapa yang
memusushi wali-Ku maka telah Aku umumkan
perang terhadapnya. Tidak ada taqarrubnya
seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai
kecuali beribadah dengan apa yang telah Aku
wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku yang selalu
mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil
(perkara-perkara sunnah diluar yang fardhu)
maka Aku akan mencintainya. Dan jika Aku telah
mencintainya maka Aku adalah pendengarannya
yang dia gunakan untuk mendengar,
penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat,
tangannya yang digunakannya untuk memukul
dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika
dia meminta kepadaku niscaya akan Aku berikan
dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya
akan Aku lindungi.“ (HR. Bukhari)
272
3. Ancaman azab Allah bagi siapa saja yang
menyelisihi utusan Allah (Rasulullah)
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr
radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
Apa yang aku larang hendaklah kalian
menghindarinya dan apa yang aku perintahkan
maka hendaklah kalian laksanakan semampu
kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang
sebelum kalian adalah karena banyaknya
pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan
penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka.
(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Ancaman neraka bagi siapa saja yang tidak
beragama Islam
273
"Demi yang jiwa Muhammad ada di Tangan Nya,
tidaklah seseorang dari umat ini baik yahudi atau
nashroni yang mendengar tentang aku, kemudian
ia mati dan tidak beriman kepada risalah yang
aku bawa, maka ia termasuk penghuni neraka."
(HR. Muslim)
D. Ruang Lingkup Dakwah Targhib dan Tarhib
Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba-
hambaNya untuk masuk ke dalam agama Islam dan
berpegang teguh denganya serta berhati –hati untuk
tidak menyimpang darinya. Allah juga telah mengutus
Nabi-Nya Muhammad untuk Berdakwah ke dalam hal
ini, dan memberitahukan bahwa barang siapa bersedia
mengikutinya akan mendapatkan petunjuk dan barang
siapa yang menolaknya akan sesat. Di sisi lain, Allah juga
mengingatkan dalam Al-Qur’an untuk menghindari
sebab- sebab kemurtadan, segala macam kemusyrikan
274
dan kekafiran, yang semua itu dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam.106
1. Targhib masuk Islam secara kaffah dan tarhib
murtad
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
106
Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Nawaqidl Al-Iman, Penerjemah
Abu Azka Faridy, Maktab Da’wah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2010,
hlm.3
275
itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
“Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, tidak seorangpun
dari umat manusia yang mendengarku; Yahudi maupun
Nasrani, kemudian mati dan tidak beriman dengan
ajaran yang aku bawa melainkan dia adalah penghuni
neraka.” (HR Muslim)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena
salah satu di antara tiga perkara: orang yang telah
menikah berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang yang
276
meninggalkan agamanya berpisah dari jama’ah.“
(HR. Bukhari dan Muslim)
2. Targhib iman dan tarhib kufur
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
277
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
Dan orang-orang kafir kepada Tuhannya mendapat
adzab jahannam, itulah seburuk-buruk tempat
kembali. Di dalam neraka ada suara yang
mengerikan. Setelah mereka masuk,semua
menggelegar. Begitupula neraka. Ia marah hingga
hampir pecah. (Al Mulk: 6-8)
3. Targhib taat dan tarhib maksiat
278
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.” (An-Nisa: 80)
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.” (An-Nisa: 14)
4. Targhib tauhid dan tarhib syirik
279
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar
kamu bertaqwa, Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala tumbuh-
tumbuhan sebagai rezki untukmu, janganlah kalian
menjadikan sekutu bagi Allah, sementara kalian
mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 21-22)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik
bagi siapa yang dikehendaki-nya.” (An-Nisa’: 48)
5. Targhib sosial dan targhib bakhil
280
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-
Baqarah: 262)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta
orang dengan jalan yang bathil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
281
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan
emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar
dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa
yang kamu simpan itu." (At-Taubah: 34-35)
E. Kaedah (Dhawabit) Targhib dan Tarhib107
1. Targhib dan tarhib harus sesuai dengan Al-Qur’an
dan Sunah
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah
radhiallahuanha dia berkata: Rasulullah
shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang
107
Sulaiman Al-Anazi, Ushlub Al-Targhib Wa Tarhi Fi Al-Qur‟an Wa
Atsaruhu Fi Al-Da‟wah, http://www.tafsir.net/vb/tafsir25015/
282
bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Targhib dan tarhib harus melihat keadaan mad’u dan
sesuai dengan tingkatan pemahaman mereka
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,
“Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang
mereka ketahui (yang mudah difahami), apakah
engkau suka Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (HR.
Bukhari)
3. Targhib dan tarhib dilakukan dengan cara bertahap.
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam
Shahihnya,
283
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam suatu saat mengutus
Mu’adz radhiyallahu’anhu menuju Yaman, maka
beliau berpesan, “Ajaklah mereka kepada syahadat
laa ilaaha illallaah dan bersaksi bahwa aku adalah
utusan Allah. Kemudian apabila mereka telah
menaatinya maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa Allah mewajibkan kepada mereka
mengerjakan shalat lima waktu pada setiap sehari
semalam. Kemudian apabila mereka telah
menaatinya maka beritahukanlah kepada mereka
bahwa Allah juga mewajibkan kepada mereka
sedekah/zakat dalam harta mereka yang diambil dari
orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang-orang miskin di antara mereka.” (HR. Bukhari
dalam Kitab az-Zakah bab wujub zakah)
4. Targhib dan tarhib harus dilakukan dengan cara
hikmah
284
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (An-
Nahl: 125)
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
285
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata.” (Al-Jum’at: 2)
“Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah
diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang
berakal.” (Al-Baqarah: 269)
286
BAB V
MEDIA DAKWAH (Wasilah Dakwah)
A. Urgensi Media Dakwah
Keberhasilan dakwah tidak semata terletak pada
format dan isi, tetapi sangat tergantung pula pada
media. Hal itu karena media memiliki peran sangat
penting dalam penyebaran dakwah atau penyampaian
informasi tentang ajaran agama Islam. Dengan media
tersebut, kegiatan dakwah dapat berlangsung secara
efektif, dalam ruang yang amat luas, kapan saja dan di
mana saja, tanpa mengenal batas, tempat, dan waktu.
Selain itu juga mudah diterima dengan baik oleh semua
lapisan masyarakat, baik usia kanak-kanak, remaja,
dewasa hingga orang tua, dengan aneka ragam suku,
bangsa, bahasa, dan warna kulit.
Di dalam Al-Qur'an telah dijelaskan tentang urgensi
media dalam dakwah, yaitu pada surah Ibrahim (14)
ayat 4, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
287
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah
Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
(Ibrahim:4)
Ayat tersebut di atas memberi isyarat tentang
pentingnya pendakwah menguasai bahasa, karena
bahasa adalah media komunikasi untuk menyampaikan
materi dakwah kepada mad'u (obyek dakwah), dan yang
paling penting adalah berdakwah yang sesuai dengan
bahasa masyarakat yang menjadi obyek dakwah.
Selain bahasa sebagai wasilah dakwah, dalam Al-
Qur’an juga telah disebutkan tentang penyebaran
dakwah melalui media surat menyurat. Hal itu
sebagaimana dilakukan oleh Nabi Sulaiman alaihi
wasallam kepada Ratu Bilqis, dengan mengirim surat
288
dakwah, yang berisi ajakan dan seruan untuk beriman
kepada Allah dan utusan-Nya.
“Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu
jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari
mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.
Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar,
sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat
yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan
sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa
janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku
dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri". (An-Naml:28-31)
Ayat di atas menjelaskan tentang salah satu wasilah
dakwah yang digunakan oleh para rasul, yaitu dengan
mengirimkan surat dakwah kepada mad’unya, yang
berisi ajakan kepada mereka agar beriman kepada Allah
289
dan tidak menyekutukannya dengan sesembahan lain-
Nya.
Demikian juga, pada masa awal perjalanan dakwah
Islam, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
membangun komunikasi dakwah dengan para
pemimpin suku dan pemimpin negara lain melalui
pengiriman surat dakwah. Korespondensi melalui surat
ini ditujukan kepada Heraclius (kaisar Romawi), Raja
Najasi (penguasa Ethiopia), dan Khusrau (penguasa
Persia), Muqauqis(Mesir), Harits Al-Ghassani (Raja
Hira), Harits Al-Himyari (Raja Yaman).
Di bawah ini adalah salah satu contoh surat dakwah
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Raja
najasi penguasa Abesinia (Ethiopia) yang berisi ajakan
untuk masuk Islam dan mentauhidkan Allah,
290
Dari Muhammad utusan Islam untuk An-Najasyi,
penguasa Abyssinia (Ethiopia). Salam bagimu,
sesungguhnya aku bersyukur kepada Allah yang tidak
ada Tuhan kecuali Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengurniakan Keamanan, Yang Maha
Memelihara, dan aku bersaksi bahwa Isa putra Maryam
adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat
Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam yang
terpilih, baik dan terpelihara. Maka ia hamil kemudian
diciptakan Isa dengan tiupan ruh dari-Nya sebagaimana
diciptakan Adam dari tanah dengan tangan Nya.
Sesungguhnya aku mengajakmu ke jalan Allah. Dan aku
telah sampaikan dan menasihatimu maka terimalah
nasihatku. Dan salam bagi yang mengikuti petunjuk.
Dari keterangan di atas, tampak jelas bahwa
dakwah dengan menggunakan media (wasilah) akan
membantu da’i dalam menyampaikan pesan dakwah,
sehingga dakwah akan lebih efektif dan tepat sasaran
291
serta mudah diterima oleh komunikan (mad'u)nya.
Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai maka
semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam
pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
B. Pengertian Media Dakwah
Istilah media berasal dari bahasa Latin yaitu
"median" yang berarti alat perantara. Secara semantik
media adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan
sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.108
Dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer, media
diartikan sebagai sarana penghubung informasi, seperti
majalah, surat kabar, dan sebagaianya.109
Dalam bahasa arab, kata media diistilahkan
dengan kata wasilah (وسلة) yang berarti alat yang
108
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Da‟wah Islam, Cet. I;
Surabaya: al-Ikhlas, 1983, hlm.163 109
Peter Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
Modern Engliash Press, hlm. 958
292
digunakan sebagai perantara untuk mencapai suatu
tujuan.110
Dengan demikian yang dimaksud dengan media
dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah
ditentukan. Media dakwah tersebut bisa berupa barang
(material), orang,tempat, kondisi tertentu, dan
sebagainya. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh
Anwar Arifin dalam bukunya Strategi Komunikasi;
Sebuah Pengantar Ringkas, bahwa media sebagai alat
untuk mencapai tujuan mencakup tiga hal pokok yaitu,
1) The spoken word (yang berbentuk ucapan), 2) The
printed writing (yang berbentuk tulisan), 3) The
audiovisual media (yang berbentuk gambar hidup).111
C. Macam-Macam Media Dakwah
Seiring dengan arus perkembangan media informasi
yang nampak semakin pesat sebagai konsekwensi dari
kemajuan peradaban khususnya di bidang prestasi ilmu
110
Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Maktabah Dar Al-Shadir, Vol.11, hlm.
724 111
Anwar Arifin, Strategi Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas,
Cet. III; Bandung: Armico, 1994, hlm. 24.
293
dan teknologi, bentuk-bentuk penyampaian pesan di
mana kegiatan dakwah termasuk di dalamnya, juga amat
terasa untuk perlu dimodernisir sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan di bidang
peradaban. Jika tidak, maka sistem penyampaian pesan
dalam bentuk dakwah akan tertinggal dan dapat
berakibat tidak lagi mendapat tempat yang layak
ditengah kemajuan ilmu dan peradaban yang semakin
maju.112
Berkat kemajuan di bidang informasi dan segala
perangkat pendukungnya, informasi dan segala bentuk
berita yang disebar melalui berbagai media, baik yang
bersifat auditif (diserap melalui pendengaran), maupun
yang bersifat visual (diikuti malalui penglihatan),
bahkan yang bersifat audovisual (diserap melaui
pendengaran dan penglihatan dalam waktu yaang
bersamaan), terutama media elektronik yang berupa
radio, televisi, video, telefon, hand phone, internet,
faximilie, dan sebagainya, yang semuanya itu
memungkinkan konsumen informasi dan juga termasuk
112
Ria Warda, Majalah Sebagai Media Da‟wah, Palopo: Jurnal Al-
Tajdid STAIN Palopo
294
di dalamnya obyek dakwah dapat menerima pesan-
pesan yang dibutuhkan tanpa berpayah-payah beranjak
dari tempat kegiatan sehari-hari mereka. 113
Dalam hal ini amat diperlukan kesiapan berbagai
sarana pendukung dalam upaya memperlancar
penyampaian pesan, termasuk pesan-pesan dakwah. Di
satu pihak dibutuhkan perangkat penyampaian pesan
secara memadai berupa pusat pengiriman informasi
dengan segala media pendukungnya, dan di pihak lain
diperlukan kelengkapan sarana penerimaan atau
penyerapan pesan secara memadai agar dapat terjalin
komunikasi yang dapat memenuhi maksud penyampaian
pesan-pesan yang diinginkan. Selain itu, amat diperlukan
juga kesiapan kemampuan manusia, baik yang berada
pada posisi pemberi pesan maupun yang berada pada
posisi penerima informasi. Dalam hal ini kemampuan
manusia untuk memanfaatkan media informasi dengan
segala jenisnya agar tidak terjadi fenomena
keterbelakangan teknologi yakni tidak mampu dalam
memanfaatkan peraangkat teknologi dalam upaya
113
Ibid
295
memenuhi maksud penggunaan peralatan canggih
tersebut.114
Dalam kaitan ini amat diperlukan agar para pelaku
dakwah (da’i) berupaya semaksimal mungkin dapat
menguasai pemanfaatan alat-alat informasi canggih
dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah ke seluruh
lapisan sasaran dakwah. Sementara itu, dalam waktu
yang sama juga diperlukan kemampuan pihak penerima
pesan (obyek, atau sasaran dakwah) dalam menyerap
pesan-pesan dakwah melalui berbagai bentuk media
dakwah yang ada.115
Ada banyak macam media dakwah yang dapat
dimanfaatkan oleh para da’i dalam proses penyampaian
pesan dakwah yang dibawanya, agar mad’u dapat
menerima pesan dakwah dengan cepat dan mudah, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Media lisan
114
Ibid 115
Ibid
296
Media lisan merupakan wasilah dakwah yang paling
sederhana yang menggunakan lidah dan suara, yang
diaktualisasikan dalam bentuk khutbah, pidato,
ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan dan sebagainya.
Wasilah dakwah macam ini merupakan wasilah
dakwah yang sangat populer di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
a. Khutbah
Khutbah merupakan pidato yang memiliki sifat
khusus yang disampaikan oleh seorang khotib di
depan jamaah sebelum shalat Jum’at atau setelah
shalat Id, atau pada waktu-waktu tertentu, yang
berisi tentang nasihat-nasihat agama, untuk
memperkuat iman dan peningkatan taqwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Khutbah dalam Islam banyak macamnya, yaitu
khutbah Jum’at, khutbah idul fitri, khutbah idul adha,
khutbah solat gerhana, khutbah nikah dan khutbah
wukuf di Arafah. Khutbah Jum’at dilaksanakan
seminggu sekali, yaitu pada hari Jum’at sebelum
297
shalat jum’at dilaksanakan. Khutbah idul fitri
dilaksanakan setahun sekali yaitu pada tanggal satu
syawal setelah umat Islam menunaikan ibadah puasa
sebulan penuh. Khutbah Idul Adha dilaksanakan
pada tanggal sepuluh Dzulhijah yang diiringi
setelahnya dengan penyembelihan hewan kurban.
khutbah gerhana dilaksanakan pada waktu
terjadinya gerhana, baik gerhana matahari maupun
gerhana bulan. Khutbah nikah dilaksanakan pada
saat terjadinya akad nikah. Khutbah arafah
dilaksanakan pada waktu terjadi wukuf di arafah
yaitu tanggal sembilan Dzulhijah.
Khutbah memiliki karakteristik khusus, yang
tidak dimiliki oleh ceramah ataupun pidato lainnya,
karena dalam khutbah memiliki rukun khusus yaitu,
1) Memuji Allah116, 2. Membaca Selawat 117, 3.
Wasiat taqwa118, 4. Membaca satu ayat Al-Quran
116
Misalnya seperti pujian berikut ini,
سئ فسب ز أ شس عذ ببهلل ستغفس ستع د ح د ىي اىح إ بىب أ ب
. بدي ى ضيو فال ضو ى د اهلل فال 117
Misalnya seperti shalawat berikut ini,
يى آه إبسا يى سدب إبسا ت بصي د م ح يى آه د ح يى صو ببزك اىي
ف اىعبى إل يى آه إبسا يى إبسا ب ببزمت د م ح يى آه د ح د يى ج د ح118
Misalnya seperti wasiat taqwa berikut ini,
سي أت إال ت ال ت ا اتقا اهلل حق تقبت ءا .ب أب اىر
298
yang difahami, 5. Membaca doa berkenaan urusan
akhirat untuk orang Islam dalam khutbah kedua.
b. Ceramah
Ceramah merupakan bentuk penyajian dakwah
secara lisan baik formal maupun informal yang
disampaikan seseorang da’i di hadapan banyak
pendengar, mengenai suatu hal yang berkaitan
dengan masalah-masalah keislaman.
Agar ceramah dapat berlangsung dengan baik,
dan efektif, serta dapat menyentuh akal dan hati para
jamaah, maka seorang da’i harus membekali dirinya
dengan keahlian dibidang retorika. Dengan demikian,
disamping penguasaan konsepsi Islam dan
pengamalannya, keberhasilan dakwah juga sangat
ditentukan oleh kemampuan komunikasi antara da’i
sebagai subyek dakwah dan mad’u yang menjadi
obyek Dakwahnya.
فس اىري خيقن ا زبن ب اىبس اتق ب زجبال ب أ بث ب ج ب ش خيق احدة
بب زق ن ي اهلل مب إ األزحب ب اتقا اهلل اىري تسآءى سآء سا .مث
ال سد ا ق ى ق ا اتقا اهلل ءا ب اىر ب أ بن ذ غفس ىن بىن أ دا. صيح ىن
ببعد؛ ب. أ ظ شا فقد فبش ف ى زس طع اهلل
299
c. Kuliah
Kuliah merupakan media dakwah yang lazim
dipakai dalam dunia akademik. Media ini memiliki
peran penting dalam rangka Islamisasi ilmu dan
Islamisasi kehidupan kampus. Lebih-lebih
perkembangan ilmu pengetahuan modern yang
selama ini berkembang di dunia akademik telah
bebas nilai dan terlepas dari akar transendental,
akibat dari pengaruh pemikiran Barat yang sekuler.
Tentunya, metode penyampaikan kuliah tersebut
harus dengan sistem integrasi dan internalisasi nilai
pada setiap mata kuliah yang diajarkan, sehingga
tidak terjadi dualisme dalam memahami konsep
ilmu.
2. Media tulisan
yaitu wasilah dakwah yang dituangkan dalam bentuk
tulisan, seperti buku, majalah, surat kabar, kartu
dakwah, buletin, surat-menyurat, spanduk, dan lain
sebagainya.
300
a. Surat kabar
Surat kabar merupakan alat penunjang untuk
mempercepat sampainya informasi (pesan) yang
disampaikan oleh komunikator (da’i) kepada
komunikan (mad’u). Kehadirannya dewasa ini
memiliki peranan yang penting dalam kaitannya
dengan perubahan sosial di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, memanfaatkan surat
kabar sebagai media dakwah akan sangat membantu
pendakwah dalam mentransformasikan nilai-nilai
ajaran Islam dalam rangka melakukan perubahan
sosial kemasyarakatan menuju kearah yang lebih
baik.
Berdakwah melalui surat kabar dapat dilakukan
dalam bentuk tulisan maupun gambar-gambar yang
mendiskripsikan suatu ajaran dan aplikasinya bagi
kehidupan umat manusia. Dakwah dengan cara ini,
akan lebih tepat dan cepat tersebar ke seluruh
masyarakat, di samping itu masyarakat mudah
memahaminya, sebab surat kabar merupakan media
301
yang telah mampu menjangkau keberadaan
masyarakat.119
Dakwah melalui surat kabar memiliki
karakteristik khusus, karena ia harus mengikuti
teori-teori persurat kabaran, yang mencakup tiga hal
berikut, pertama, komunikasi massa berlangsung
satu arah. Kedua, komunikasinya bersifat
melembaga. Ketiga, pesan-pesan yang disampaikan
bersifat umum. Keempat, pesan-pesan yang
disampaikan lewat media digunakan secara
serempak. Kelima, komunikasinya bersifat
heterogen. Selain itu, bahasa jurnalistik juga
memiliki sifat yang singkat, padat, sederhana, lancar,
jelas, lugas dan menarik. Oleh karena itu penDakwah
harus memperhatikan kaedah-kaedah tersebut
tanpa meninggalkan nilai-nilai ajaran agama, agar
pesan-pesan Dakwah dapat diterima dengan baik
oleh sasarannya.120
119
Bahri Gazali, Da‟wah Komunikatif, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1997, hlm.43 120
Asep Saiful, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktek Cet. 1.
Jakarta: Logos, 1999, hlm.73
302
b. Majalah
Majalah ialah salah satu jenis bahan bacaan yang
diterbitkan secara berkala dan memiliki karakteristik
tersendiri dan berbeda dengan surat kabar, brosur,
jurnal, maupun pamplet, dan sebagainya. Dari sekian
banyak jenis majalah, ada yang bersifat hiburan, ada
pula yang bersifat pengembangan ilmu-ilmu populer,
dan ada pula yang bersifat Dakwah. Ada yang
diterbitkan dalam periode mingguan, bulanan, dua
bulanan, tiga bulanan, dan seterusnya.121
Majalah sebagai salah alat saluran informasi
dapat dimanfaatkan sebagai wasilah dakwah yang
cukup efektif, yaitu dengan menampilkan isi atau
informasi yang bernuansa seruan dengan tujuan
untuk meluruskan aqidah masyarakat, mendidik
akhlak para pembacanya, memberikan wawasan
keislaman kontemporer, bimbingan keluarga
sakinah, konsultasi agama, bimbingan remaja,
pendidikan anak,dan lain sebagainya.
121
Ria Warda, Majalah Sebagai Media Da‟wah, Palopo: Jurnal Al-
Tajdid STAIN Palopo
303
Sebagai sarana pembawa misi keislaman,
majalah dakwah memiliki segi-segi kelebihan
tersendiri, yaitu.
1) Memiliki jangkauan luas, seluas dengan lokasi
domisili pengguna bahasa yang menjadi
pelanggan dari majalah dakwah tersebut.
2) Memiliki aset pelanggan yang banyak, sebanyak
pembaca yang bersimpati terhadap majalah
dakwah yang bersangkutan. Terutama yang
memiliki kecenderungan ide yang sama dengan
ide yang dikembangkan oleh pengelola majalah
dakwah yang bersangkutan.
3) Memuat uraian dan analisis ilmiah yang
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu dan
aneka pengetahuan. Semuanya itu menjadikan
majalah dakwah berada pada posisi yang setaraf
dengan sumber bacaan atau bahan literatur yang
tentu saja banyak menolong pencinta dan
peminat dalam pengembangan ilmu pengetahuan
misalnya para muballigh, pendidik di bidang
pembinaan moral keagamaan, mahasiswa (calon
sarjana) yang menekuni kegiatan dakwah, bahkan
304
sampai pada kalangan sarjana dan kaum
cendekiawan sekalipun.
4) Bernilai up to date dalam jangka waktu tertentu
jika dibanding dengan sumber bacaan lain
semisal brosur, atau surat kabar.122
Ada beberapa nama majalah dakwah yang
mungkin dapat dijadikan rujukan yang beredar serta
dikenal baik di Indonesia, sebagai berikut:
Majalah UMMI, majalah bulanan yang
beralamatkan Jalan Mede No. 42 Utan Kayu
Jakarta Timur 13120. Keistimewaan majalah ini
adalah mengulas secara tuntas semua masalah
yang berkaitan dengan keluarga dalam perspektif
islam.
Suara Hidayatullah, majalah bulanan yang
diterbitkan oleh para pengelola pesantren
Hidayatullah dan diterbitkan di Surabaya.
Majalah ini banyak mengulas tentang wawasan
122
Ria Warda, Majalah Sebagai Media Da‟wah, Palopo: Jurnal Al-
Tajdid STAIN Palopo
305
Islam, dan gerakan Dakwah yang membendung
arus paham Liberal yang mewabah di Indonesia.
Media Dakwah, juga majalah bulanan yang
diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia dengan alamat redaksi: Jl. Kramat Raya
45 jakarta. Keistimewaan majalah banyak
mengulas tentang strategi Dakwah, pejuang
Islam, Dakwah masyarakat minoritas, pemberan-
tasan kristenisasi khususnya di pedalaman
Indonesia.
Majalah As-Sunnah, majalah bulanan yang
beralamatkan di Jl. Raya Solo - Purwodadi KM. 8
Solo Jawa Tengah 57773 Indonesia. Majalah ini
menyerukan untuk kembali kepada al-Qur'an
dan Sunnah yang shahih dengan pemahaman
Salafush Shalih, serta melakukan gerakan
tashfiyah, yaitu memurnikan ajaran Islam dari
segala noda syirik, bid'ah, khurafat, serta
gerakan-gerakan dan pemikiran-pemikiran yang
merusak ajaran Islam.
Majalah Qiblati, majalah bulanan yang diterbitkan
CV. Media Citra Qiblati Jl. Delima No. 4 Dermo
306
Malang. Keistimewaan majalah ini adalah banyak
mengulas tentang pemurnian aqidah serta
memperkenalkan pada masyarakat luas tentang
manhaj aqidah ahlu sunah wal jama’ah.
c. Buletin
Buletin merupakan salah satu media publikasi
dakwah yang paling sederhana. Baik secara tampilan
atau cara pembuatannya. Tidak memerlukan banyak
halaman, tidak pula memerlukan banyak redaksi dan
cukup dengan menggunakan bahasa yang singkat,
padat, formal dan tepat sasaran, sesuai dengan
kondisi aktual kemasyarakatan. Pada umumnya,
buletin ditujukan kepada khalayak masyarakat lokal
atau pada komunitas tertentu, sehingga
jangkauannya lebih sempit daripada surat kabar atau
majalah.
d. Spanduk
Secara umum spanduk merupakan media atau
alat yang digunakan untuk mempromosikan sebuah
produk atau jasa. Biasanya media ini digunakan oleh
307
perusahaan atau instansi tertentu untuk
mengenalkan pada masyarakat akan barang atau
jasa, agar mereka mengenal dan menggunakan
produk atau jasa yang dipublikasikan tersebut.
Dalam dunia dakwah, setiap da’i dapat
memanfaatkan media spanduk ini untuk
mempromosikan pesan dakwah yang di bawanya.
Media ini dianggap cukup efektif dan mudah dicerna
oleh masyarakat, karena sifat pesan yang
disampaikan dalam bentuk sepanduk biasanya
singkat dan padat, sehingga memudahkan para
pembaca pesan tersebut dalam memahaminya. Lebih
dari itu, spanduk biasanya memiliki daya tarik
tersendiri, khususnya bagi masyarakat awam, karena
tampilan dan bentuknya yang tampak unik dan
menarik, sehingga mengundang perhatian khalayak
ramai ikut serta membacanya.
Pesan dakwah yang ingin disampaikan melalui
media spanduk tersebut, harus disesuaikan dengan
tingkat pemahaman masyarakat setempat, sesuai
kondisi yang tepat, dan tidak provokatif. Misalnya
308
dalam moment memasuki bulan suci Ramadhan, kita
dapat menuliskan pesan dakwah yang berisikan
ajakan untuk berpuasa dan peningkatan ketaqwaan.
Dalam moment Idul Fitri, kita serukan agar
masyarakat mempererat tali silaturahim dan
meningkatkan ukhuwah islamiyah. Dalam moment
idul adha, kita serukan agar masyarakat
meningkatkan kepedulian sosial melalui korban, dan
seterusnya.
3. Media visual
yaitu alat yang dapat dioperasikan untuk
kepentingan dakwah dengan melalui indera penglihatan
seperti film, slide, transparansi, overhead projektor,
gambar, photo, dan lain-lain.123
a. Film
Film merupakan media komunikasi yang efektif
dalam mengkomunikasikan nilai-nilai kepada
masyarakat luas, sehingga dapat mempengaruhi
123
Bahri Ghazali, Da‟wah Komunikatif, Jakarta: 1997, Pedoman Ilmu
Jaya, hlm. 34.
309
perilaku dan perubahan sosial kemasyarakatan. Oleh
sebab itu, bagi da’i dapat memanfaatkan film sebagai
media dakwah yang membantunya dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Film sebagai media dakwah memiliki banyak
kelebihan-kelebihan, yaitu bahwa film merupakan
media yang menyuguhkan pesan yang hidup yang
mudah diingat, dan dicerna oleh masyarakat luas,
sehingga dapat mengurangi keraguan dari apa yang
disuguhkan. Selain itu, secara Psikologis,
penyuguhan secara hidup dan nampak yang dapat
berlanjut dengan animation mempunyai
kecenderungan umum yang unik dalam keunggulan
daya efektifitasnya terhadap penonton. Banyak hal-
hal yang abstrak dan samar-samar serta sulit
diterangkan, dapat disuguhkan pada khalayak secara
lebih baik dan efisien oleh media film ini. Khusus bagi
khalayak anak-anak dan sementara kalangan orang
dewasa cenderung menerima secara bulat, tanpa
310
lebih banyak mengajukan pertanyaan terhadap
seluruh kenyataan situasi yang disuguhkan film.124
b. Gambar foto
Bahasa gambar sangat dibutuhkan dalam dunia
modern saat ini, dalam era komunikasi-informasi ini,
peran gambar semakin besar peranannya dalam
mempengaruhi masyarakat. Gambar tidak saja
penting bagi desainer, tetapi juga penting bagi para
pendakwah, karena hal itu dapat membantu dalam
mempermudah pemahaman obyek dakwah (mad’u)
dalam menerima pesan dakwah.
Bahasa gambar jauh lebih komunikatif
dibandingkan dengan bahasa tulisan dan lisan. Hal
itu sebagaimana diungkapkan C. Leslie Martin (1968)
yang mengatakan “one picture is better than a
thousand words”. Bahasa lisan dan tulisan memiliki
keterbatasan disamping kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya. Bahasa lisan dan tulisan mengundang
imajinasi dengan perbedaan-perbedaan interpretasi
124
Hasan Bisri WD, Ilmu Da‟wah, Surabaya: Biro Penerbitan dan
Pengembangan Ilmiah, 1998, hlm. 45
311
visual. Rentang interpretasi sangat tergantung pada
intelegensia dan latar belakang, pendidikan
seseorang saat menerima informasi tersebut. Gambar
melengkapi bahasa lisan dan tulisan dalam kaitan
menjelaskan keberadaan suatu obyek. Gambar
memiliki kemampuan memaparkan lebih rinci dan
membatasi rentang interpretasi.125
Secara umum manfaat atau kelebihan dalam
gambar atau foto sebagai media dakwah adalah:
Memberikan tampilan yang sifatnya konkrit,
sehingga dapat meyakinkan mad’u pada
validitasan materi dakwah.
Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan
waktu.
Gambar atau foto dapat mengatasi keterbatasan
pengamatan mad’u.
Dapat memperjelas suatu masalah, dalam semua
bidang dan semua jenjang usia.
125
Freddy H. Istanto, Gambar Sebagai Alat Komunikasi Visual, Jurnal
NIRMANA Vol. 2, No. 1, Januari 2000, hlm.23
312
Murah harganya dan mudah didapat serta
digunakan tanpa memerlukan peralatan khusus.
Gambar atau foto bisa menggerakkan mad’u
untuk berbuat sesuatu, sesuai dengan apa yang
dilihatnya.
Media gambar tersebut akan lebih efektif
apabila diterapkan dalam progam komputer dan
progam pendukung lainnya, sesuai dengan
kebutuhan pesan dakwah dan kondisi mad’u yang
menjadi sasaran dakwahnya.
4. Media auditif
yaitu alat-alat yang dapat dioperasikan sebagai
sarana penunjang dakwah yang dapat ditangkap melalui
indera pendengaran, seperti radio, tape recorder,
telepon, telegram dan lain-lain.
c. Radio
Salah satu media yang bisa digunakan dalam
kegiatan Berdakwah adalah radio. Dakwah melaui
radio dan dipandang cukup efektif, karena besarnya
313
jumlah pendengar dan merupakan alat media yang
mudah dijangkau oleh lapisan masyarakat luas.
Selain itu, radio juga memiliki daya langsung, artinya
melalui sistem phone in program pendengar dapat
melakukan dialog interaktif dengan da’i yang sedang
menyampaikan pesan dakwah melalui gelombang
radio yang dipancarkan.
Dalam melakukan dakwah melalui radio, da’i
sebagai komunikator harus memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan karakteristik radio yang
dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan
pesanya, sehingga pesan dakwah yang ingin
disampaikan kepada masyarakat luas tercapai
dengan baik. Adapun karakteristik siaran radio dapat
disebutkan sebagai berikut:
Sifat siaran radio hanya untuk didengar (audial
hearable).
Bahasa yang dipergunakan haruslah bahasa tutur.
Para pendengar radio biasanya dalam keadaan
santai, bisa sambil mengemudi mobil, sambil
tiduran, bekerja dan lain sebagainya.
314
Siaran radio hanya bersifat komunikasi satu arah.
d. Telepon/Handphone
Telepon atau handphone (Hp) merupakan
produk kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi yang dapat dimanfaatkan oleh para
pendakwah sebagai media pendukung dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah. Yaitu dengan
cara memberdayakan silaturahim dakwah, baik
melaui SMS atau kontak langsung dengan mad’u.
Dalam silaturahim dakwah tersebut sang da’i
dapat menyampaikan pesan dakwah singkat yang
sesuai dengan situasi dan kondisi mad’u. Cara ini
dianggap sangat efektif, karena secara psikologis
terdapat kedekatan secara personal antara da’i dan
mad’unya, sehingga kemungkinan untuk menerima
pesan dakwah tersebut akan lebih maksimal.
Selain itu, komunikasi dakwah melalui media ini
memiliki tingkat kecepatan yang tinggi dan
jangkauan terhadap khalayak yang luas, sehingga
315
memudahkan sang da’i dalam menjalankan aktivitas
dakwahnya, tanpa harus menguras biaya dan tenaga.
5. Media audio visual
Yaitu alat-alat dakwah yang dapat didengar, dan
sekaligus dapat dilihat seperti televisi, internet, dan lain
sebagainya.
e. Televisi
Telivisi merupakan media yang membawakan
suara dan gambar sekaligus. Dengan demikian, media
ini melibatkan dua indera sekaligus, yakni indra
pendengaran dan penglihatan.
Keberadaan media ini banyak diminati oleh
masyarakat. Buktinysa hampir disetiap rumah dan
setiap kantor dijumpai televisi yang menjadi hiburan
mereka. Bahkan mereka mencetuskan suatu
ungkapan bahwa televisi adalah “kotak ajaib”, yang
dapat memberikan banyak hal seputar informasi dan
pengetahuan dalam kehidupan mereka. Efeknya,
316
tidak jarang apa yang dalam televisi menjadi rujukan
yang dicontoh dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, pemanfaatan media televisi
sebagai media dakwah merupakan hal yang penting
bagi da’i, karena melalui media ini pesan dakwah
lebih mudah tersebar dalam ruang waktu yang tak
terbatas, dan dalam jangkauan yang amat luas,
sehingga akan membawa dampak yang signifikan
terhadap keberhasilan Dakwah yang diembannya.
Selain itu, media televisi juga mampu
menyentuh mad’u yang heterogen dan dalam jumlah
yang besar. Hal ini sesuai dengan salah satu
kharakter komunikasi massa yaitu komunikan yang
heterogen dan tersebar.
Media televisi juga mampu menampung berbagai
varian metode dakwah, sehingga membuka peluang
bagi para da’i memacu kreatifitas dalam
mengembangkan metode dakwah yang paling efektif.
f. Internet
317
Internet merupakan media dakwah yang tidak
bisa dihindari karena sudah menjadi peradaban baru
dalam dunia informasi dan komunikasi tingkat
global. Dengan adanya akses internet, maka sangat
banyak informasi yang dapat diakses oleh
masyarakat lokal maupun internasional, baik untuk
kepentingan pribadi, pendidikan, dakwah, bisnis dan
lain-lain.
Dakwah melalui jaringan internet dinilai sangat
efektif dan potensial, karena media internet mampu
menembus batas ruang dan waktu dalam sekejap
dengan biaya dan energi yang relatif terjangkau,
sehingga dakwah dengan media ini banyak
membawa kemudahan-kemudahan, baik bagi da’i
sebagai penyampai pesan, maupun mad’u yang
menerima pesan.
Dakwah melalui internet dapat dilakukan melalui
fasilitas-fasilitas yang disediakan di dalamnya,
diantaranya adalah sebagai berikut:
318
Jejaring sosial baik melaui facebook maupun
witter. Melaui jejaring ini, kita dapat membuat
catatan berupa pesan-pesan dakwah, tautan,
memasang video dakwah, memperlihatkan
gambar yang mengajak pada kebaikan, bahkan
mengajak orang untuk datang di event dakwah
yang akan kita laksanakan. Lebih dari itu, kita
dapat membuat lembaga dakwah yang dapat
berisi jutaan anggota.
Share video secara online melalui youtube.com.
Dengan fasilitas ini, kita dapat mengaplaod video-
video yang bertemakan dakwah dengan begitu
mudah dan tanpa batas.
Situs atau Blog yang disediakan di internet,
antara lain: wordpress.com, blogspot.com,
weblog.com, multiply.com, co,cc, dan lain-lain.
Dengan fasilitas ini, kita dapat menampilkan
tulisan-tulisan yang berisikan dakwah, baik
tulisan pribadi maupun tulisan orang lain.
Streaming yang disediakan internet, baik
berupa audio streaming dan video streaming.
Dengan fasilitas ini, kita dapat menampilkan
319
banyak pesan dakwah, berupa ceramah-ceramah,
khutbah, seminar, kuliah, dan lain-lain.
Mailing-list, yaitu media pertukaran data
menggunakan email, atau gabungan email.
Dengan fasilitas ini kita dapat mengirim pesan
dakwah melalui email kepada mad’u baik yang
sifatnya personal maupun group.
Internet Messenger dengan fasilitas VOIP (voice
over internet protocol) yaitu penyampaian signal
audio melalui internet. Dengan fasilitas ini
dakwah menjadi lebih murah dibandingkan
memakai telepon konvensional. Selain itu, kita
juga bisa memanfaatkan audio visual dengan
catatan hardwarenya dilengkapi dengan kamera.
Dengan demikian teleconferrence bisa dilakukan
dengan banyak pihak diberbagai tempat yang
terpisah pada saat yang bersamaan.
6. Media akhlak
Yang dimaksud dengan media ini yaitu perbuatan-
perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam yang
dapat dinikmati serta didengarkan oleh sasaran dakwah.
320
Dakwah bukanlah sekedar teori, dan bukan pula
retorika belaka, tetapi dakwah harus diwujudkan dalam
bentuk keteladan dan tindakan akhlak secara nyata (Al-
qudwah al-hasanah), sehingga mudah dicontoh oleh
masyarakat (mad’u) sebagai obyek dakwah.
Al-qudwah al-hasanah yang dibingkai dalam
aktualisasi sifat-sifat terpuji, akan mampu memberi
motivasi mad’u, bahwa untuk mencapai sifat-sifat yang
mulia ini merupakan hal yang dimungkinkan oleh
siapapun, dan bahwa amal (ketauladanan) ini masih
dalam kapasitas yang dapat dijangkau manusia
umumnya. Dan yang terpenting adalah bukti perilaku
jauh lebih menghujam daripada bukti ucapan.
Kalau kita perhatikan dalam sejarah dakwah Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, salah satu pilar penentu
keberhasilan dakwah kala itu adalah melalui media
keteladanan akhlak. Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam
mencontohkan adanya integrasi antara ucapan dan
dengan perbuatan. Apa yang diucapkan oleh Nabi
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam adalah apa yang dikerjakan,
321
sehingga tidak dijumpai kesenjangan antara ucapan dan
perbuatan. Allah berfirman.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahnat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat di atas secara jelas memberikan rekomendasi
bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam adalah
manusia yang patut untuk dicontoh dan diteladani,
karena akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya apa yang
diucapkan, dan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pada hakikatnya adalah
aktualisasi dari nilai-nilai Al-Qur’an, sehingga beliau
dijuluki “Al-Qur’an yang berjalan”. Hal itu sebagaimana
riwayat dari Aisyah ketika ditanya tentang akhlak
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, maka Aisyah menjawab,
322
“Akhlak beliau (Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam)
adalah Al-Qur’an”
Kemudian Aisyah radhiyallahu ‘anha membacakan
ayat,
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung” (Al-Qalam: 4)
Tidak bisa di sembunyikan lagi dampak yang bisa di
ambil dari sosok teladan karena pada dasarnya da’i
merupakan sosok yang menjelaskan dalam bentuk
gambaran yang hidup bagi sebuah pemikiran, dan
penerapan ucapan dalam sebuah dakwah, serta penjelas
yang bisa menjelaskan sejelas-jelasnya bagi sebuah
hujjah (dalil). Tidak perlu diragukan lagi bahwa menjadi
sosok teladan termasuk sebab yang besar yang akan
menumbuhkan kecintaan seseorang dalam hati, dan
munculnya rasa percaya dan yakin dalam akal pikiran.
323
Lebih dari itu, secara psikologis kebanyakan orang yang
didakwahi bisa mengambil manfaat dari para da'i
dengan kisah perjalanan hidupnya yang baik, apa lagi
orang-orang awam dan orang-orang yang ilmunya
sedikit, maka sesungguhnya mereka mengambil manfaat
dari perjalanan hidup seorang da'i dan akhaknya yang
indah serta amal sholehnya yang tidak mereka dapati
dari ucapan dan perkataanya yang mana terkadang
mereka bahkan tidak memahaminya.126
Sebaliknya, ketika seorang da’i yang tidak bisa
memberikan contoh keteladanan yang baik, maka
umpan baliknya adalah berpalingnya masyarakat dalam
merespon dakwah, bahkan tidak jarang dirinya menuai
celaan dan cercaan dari masyarakat yang didakwahinya.
Semua itu, berdampak pada kegagalan dakwah yang
diembannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Ibnu Qoyim di mana beliau mengatakan: "Sesungguhnya
manusia terkadang mereka telah mengucapkan (sebuah)
kalimat yang indah (bagus) maka siapa yang mencocoki
perkataanya dengan perbuatannya maka itulah yang
126
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islam House, 2012, hlm.43-51
324
telah mendapat bagianya dan siapa yang menyelisihi
perkataanya dengan perbuatannya maka pada
kenyataanya sesunggguhnya ia sedang membuka aib
dirinya sendiri".127
Maka di sini, tampak jelas akan pentingnya
keteladanan (qudwah hasanah) dalam Berdakwah.
Tanpa itu, mustahil dakwah akan berhasil, bahkan yang
terjadi adalah sebaliknya, yaitu dakwah akan gagal dan
hanya sampai pada tataran teori semata. Sungguh indah
perkataan seorang penyair:
Janganlah engkau melarang sesuatu namun engkau
mengerjakannya, Aib bagi dirimu jika engkau tetap
melakukannya.128
Cukuplah bagi seorang muslim membaca firman
Allah Ta'ala berikut ini,
127
Ibnu Qayyim, Al-Fawaid, hlm. 192. 128
Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar Keberhasilan
Seorang Da‟i, Rabwah: Pustaka Islam House, 2012, hlm.43-51
325
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (Ash-Shaaf: 2-3)
Dalam rangka menjadikan akhlak sebagai media
Dakwah, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
oleh setiap da’i agar tidak melanggar rambu-rambu
syari’at, sebagaimana berikut ini:
a. Hendaklah setiap da’i ikhlas dalam memberikan
keteladanan, dengan meniatkan seluruh tutur kata
dan tindakannya dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dan untuk mengantarkannya
kepada surga-Nya. Dan ini merupakan faktor
pendorong yang besar dari sekian aspek pendorong
lahirnya ketauladanan yang baik. Setidaknya ia
merupakan pondasi dan esensi keteladanan. Dengan
demikian seluruh faktor pendorong lainnya dibangun
di atasnya.
326
b. Hendaknya setiap da’i selalu beramal shaleh yang
selaras dengan prinsip al-ittiba’, karena tidak disebut
al-qudwah al-hasanah apabila amalannya menyelisihi
Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, demikian
juga, bukanlah al-qudwah al-hasanah apabila
amalannya bercampur bid’ah , dan kemaksiatan
serta amalan buruk lainnya.
c. Hendaknya apa yang diucapkan adalah apa yang
dikerjakan. Keselarasan sikap atas ucapan ini harus
selalu beriringan yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
Bukanlah al-qudwah al-hasanah, apabila sikapnya
berlawanan dengan apa yang diucapkan.karena Allah
berfirman, Artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat?” (Ash-Shaff: 2)
d. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji, dan
khususnya untuk pokok-pokok akhlak seperti
kesantunan, kesabaran, kejujuran, keberanian,
komitmen, kebijaksanaan, keadilan dan lain
sebagainya.
e. Semua prinsip tersebut harus didukung dengan
himmah aliyah yakni tekad yang kuat, maka dengan
327
tekad ini akan menjdai instrumen pendorong dalam
menguatkan ketauladan yang baik pada jiwa setiap
da’i.
7. Media harta
a. Keutamaan harta sebagai media Dakwah
Harta dalam Islam merupakan media ibadah dan
Dakwah. Dengan harta yang dimiliki, seorang muslim
menjadikannya sebagai wasilah untuk menggapai ridha
Allah, dan sekaligus untuk menegakkan agama Allah di
muka bumi ini.Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
328
menyelamatkanmu dari azab yang pedih?. (yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu.
Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu)
ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn.
Itulah keberuntungan yang besar. dan (ada lagi)
karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu)
pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat
(waktunya). dan sampaikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang beriman.” (Ash-Shaf: 10-
13)
Ayat tersebut secara tegas menawarkan kepada
setiap muslim agar menjadikan harta yang
dimilikinya sebagai perniagaan di jalan Allah, yang
berbuahkan syurga. Bahkan di ayat yang lain, secara
tegas Allah menawarkan pinjaman dengan bunga
pahala yang berlipat,
329
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik?, maka Allah akan
melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan
dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Al
Hadid: 11)
Merespon ayat ini, Abud Dahdaa Al Anshori ( أبو
mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah (الدحداح األنصاري
Allah menginginkan pinjaman dari kami?” Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, “Betul, wahai
Abud Dahdaa.” Kemudian Abud Dahdaa pun berkata,
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah tanganmu.” Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam pun menyodorkan
tangannya. Abud Dahdaa pun mengatakan, “Aku telah
memberi pinjaman pada Rabbku kebunku ini. Kebun
tersebut memiliki 600 pohon kurma.”Ummud Dahda,
istri dari Abud Dahdaa bersama keluarganya ketika itu
berada di kebun tersebut, lalu Abud Dahdaa datang dan
berkata, “Wahai Ummud Dahdaa!” “Iya,” jawab istrinya.
Abud Dahdaa mengatakan, “Keluarlah dari kebun ini.
Aku baru saja memberi pinjaman kebun ini pada
Rabbku.”Dalam riwayat lain, Ummud Dahdaa menjawab,
“Engkau telah beruntung dengan penjualanmu, wahai
330
Abud Dahdaa.” Ummu Dahda pun pergi dari kebun tadi,
begitu pula anak-anaknya. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi
wa Sallam pun terkagum dengan Abud Dahdaa. Beliau
Shalallahu 'Alaihi wa Sallam lantas mengatakan, “Begitu
banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abud
Dahdaa di surga.” Dalam lafazh yang lain disebutkan,
“Begitu banyak pohon kurma untuk Abu Dahdaa di
surga. Akar dari tanaman tersebut adalah mutiara dan
yaqut (sejenis batu mulia)".129
Banyak sekali keutamaan bagi orang yang
menjadikan hartanya sebagai wasilah Dakwah,
diantaranya adalah sebagaimana berikut ini,
1) Berdakwah dengan harta merupakan bukti
kesungguhan iman seseorang. Allah berfirman.
129
Ibn Kastir, Tafsir Al-Qur‟an Al-Adzim, Dar Al-Thaibah, 2002,
Vol.9, hlm.15
331
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman)
kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad)
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
mereka Itulah orang-orang yang benar”. (Al-
Hujurat: 15)
“Memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
332
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
Itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-
Baqarah:177)
2) Berdakwah dengan harta akan mendatangkan
ketenangan dan kebahagiaan hidup. Allah
berfirman.
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di
malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala
di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Al-Baqarah: 274)
3) Berdakwah dengan harta akan dilipatgandakan
pahalanya sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan
sampai tak terhingga. Allah berfirman,
333
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-
Baqarah: 261)
Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah seorang bershadaqah dari sesuatu yang
baik –Allah tidak menerima kecuali yang baik-
kecuali Allah akan mengambilnya dengan tangan
kananNya. Apabila berbentuk korma maka akan
334
berlipat ganda di tangan Allah hingga lebih besar
dari gunung.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw bersabda,
“Datang seorang membawa onta yang sudah ada
tali kekangnya, lalu berkata: Ini untuk
dipergunakan dijalan Allah. Maka Rasulullah
menjawab: Kamu mendapatkannya di hari kiamat
berupa tujuh ratus onta semuanya ada tali
kekangnya.” (HR. Muslim)
4) Berdakwah dengan harta akan dibalas dengan
syurga. Allah berfirman,
335
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan
kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan
kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga ‘Adn
yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama
dengan orang-orang yang saleh dari bapak-
bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya,
sedang malaikAt-malaikat masuk ke tempAt-
tempat mereka dari semua pintu; (sambil
mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima
shabartum.” Maka Alangkah baiknya tempat
kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 22-24)
5) Berdakwah dengan harta akan mendatangkan
keberkahan dari Allah, sebagaimana terdapat
dalam firman-Nya,
336
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan,
maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah
Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (Saba’: 39)
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu juga disebutkan,
“Tidak ada suatu hari pun ketika seorang hamba
melewati paginya kecuali akan turun (datang)
dua malaikat kepadanya lalu salah satunya
berkata; "Ya Allah berikanlah pengganti bagi
siapa yang menafkahkan hartanya", sedangkan
yang satunya lagi berkata; "Ya Allah berikanlah
kehancuran (kebinasaan) kepada orang yang
menahan hartanya (bakhil)." (HR. Bukhari)
337
“Berinfaklah wahai Bilal! Janganlah takut
hartamu itu berkurang karena ada Allah yang
memiliki ‘Arsy (Yang Maha Mencukupi).” (HR. Al-
Bazzar)
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR.
Muslim)
b. Alakosi harta dalam dakwah
Harta yang diinfaqkan dalam kegiatan dakwah,
memiliki andil yang besar dalam menentukan
keberlangsungan proses dakwah. Hal itu karena harta
berfungsi sebagai bahan bakar yang akan mendorong
dan menggerakkan mesin dakwah agar tetap berjalan.
Agar harta sebagai media dakwah berperan efektif,
maka harus dialokasikan dalam hal-hal berikut ini:
1) Kegiatan bimbingan masyarakat, yaitu dengan
mengalokasikan dana untuk pembinaan keagamaan
masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan melaui:
338
g) Pembiayaan dauroh ilmiyah (bimbingan
membaca Al-Qur’an, kajian fikih, kajian hadist,
kajian tafsir dan kajian lainnya)
h) Pembiayaan website dakwah
i) Kafalah duat (pembiayaan untuk pengiriman
para da’i ke daerah-daerah yang keislamannya
minoritas, atau daerah-daerah yang rawan
pemurtadan)
j) Pembiayaan rihlah da’wiyah (wisata ruhani)
2) Kegiatan sosial, yaitu dengan mengalokasikan dana
dakwah untuk kepentingan hal-hal berikut ini:
k) Ifthor jama’i pada bulan ramadhan
l) Beasiswa pendidikan kaum dhuafa
m) Santunan fakir miskin
n) Progam haji dan umrah kaum dhuafa
o) Pengobatan gratis untuk kaum dhuafa
p) Pemberdayaan ekonomi rakyat kecil
q) Hadiah lebaran idul fitri untuk dhuafa
r) Kurban idul adha untuk faqir miskin
s) Fasilitas ibadah
t) Pembangunan masjid
u) Pembangunan ma’had
339
v) Pembangunan madrasah
w) Pembangunan rumah sakit
x) Pembagian mushaf Al-Qur’an secara gratis
y) Pembagian seperangkat alat shalat secara gratis
z) Pembagian bacaan dakwah, seperti kartu
dakwah, buku saku dakwah, buletin, majalah, dll
DAFTAR PUSTAKA
1. ‘Abd al-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Taysir Al-
Karim Al-Rahmân fi Tafsir Kalam Al-Mannan, Al-
Qahirah: Dar al-Hadits, 2002.
340
2. Abd al-Rahman bin Nashir as-Sa’di, Taysir Al-
Karim Al-Rahmân fi Tafsir Kalam Al-Mannan, Al-
Qahirah: Dar al-Hadits, 2002.
3. Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz, Nawaqidl Al-
Iman, Penerjemah Abu Azka Faridy, Maktab
Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2010.
4. Abdul Karim Zaidan, Ushul Al-Dakwah, Baghdad :
Maktabah Alukah,1975.
5. Abdul Karim Zaidan, Ushul Al-Dakwah, Beirut :
Muassasah Al-Risalah,1993.
6. Abdul Malik Al-Qasim, Amar Ma'ruf dan Nahi
Munkar, Rabwah : Pustaka Islamhouse, 2009.
7. Abdul Rahman An-Nahlawi, Usul al Tarbiyah al
Islamiyah wa Asalibuha fi al bayt wa al madrasah
wa al mujtama, Beirut : Daar al Fikr,, 2001.
8. Abdul Rahman An-Nahlawi, Usul al Tarbiyah al
Islamiyah wa Asalibuha fi al bayt wa al madrasah
wa al mujtama, Beirut : Daar al Fikr,, 2001.
9. Abdul Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam ,
Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
10. AbdulLathif, Al-Ikhlash Wa Al-Syirk Al-Ashghar,
Darul Wathan,1412 H.
341
11. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr, Asyr al-
Qawa’id fii Al-Istiqamah, Rabwah : Islam House.
12. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari
al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, cet ke-1,
Beirut: Dar al-Fikr, 1999.
13. Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari
al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, cet ke-1,
Beirut: Dar al-Fikr, 1999.
14. Ahmad Alim, Pendidikan Jiwa Ibn Jauzi dan
Relevansinya dengan Pendidikan Spiritual
Manusia Modern, Bogor : Univ. Ibn Khaldun, 2011.
15. Aisha B. Lemu, Laxity, Moderation and Extremism,
Herndon USA: IIIT, 1993.
16. Alain Danielou, Gods of India: Hindu Polytheism,
(New York: Inner Traditions International, 1985).
17. Al-Fakhr al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, cet. ke-1,
Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1995.
18. Al-Fayruz Abadi, al-Qamus al-Muhith; atau Ibn
Manzhur, Lisan al-‟Arab; Al-Raghib al-Ashfihani,
Mufradat Alfazh al-Qur‟an; Al-Tahanawi, Kasysyaf
Ishthilahat al-Funun wa al-‟Ulum.
342
19. Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut: Al-
Maktabah Al-Ashriyah, 1420 H.
20. Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din, Beirut : Maktabah
Al-Ashriyah, 2003, vol. III, hlm. 79, lihat juga Al-
Ghazali, Ma’arij Al-quds, hlm.92).
21. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islamhouse,2012.
22. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islam House, 2012 .
23. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islam House, 2012.
24. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islam House, 2012.
25. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islam House,2012.
343
26. Ali bin Umar bin Ahmad Ba Dahdah, Pilar-Pilar
Keberhasilan Seorang Da'i, Rabwah : Pustaka
Islam House,2012.
27. Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, term (القن)
28. Al-Marwazi, Ta’dzim Al-Shalat, Madinah
Munawarah : Maktabah Al-Dar, 1406 H.
29. Al-Nawawi, Riyâdh al-Shâlihîn, Jeddah: Dar al-
Qiblah lil-Tsaqafah al-Islamiyah, 1990.
30. Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Kairo :
Dar Al-Hadist, 1414 H.
31. Anis Malik Thoha, Konsep Wahyu Dan Nabi Dalam
Islam, Bogor : Univ. Ibn Khaldun,2011.
32. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1984.
33. Anwar Arifin, Strategi Komunikasi Sebuah
Pengantar Ringkas, Cet. III; Bandung: Armico,
1994.
34. Aristotle Metaphysics (translated by Richard
Hope), (New York: Columbia University Press,
1952).
35. Asep Saiful, Jurnalistik Pendekatan Teori dan
Praktek, Cet. 1. Jakarta: Logos, 1999.
344
36. Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah
Islam, Cet. I; Surabaya: al-Ikhlas, 1983.
37. As-Syaukani, Fath Al-Qadir, Kairo : Dar Al-
Ma’rifah, 2004.
38. At-Tuwaijri, Muhammad bin Ibrahim Ringkasan
Fiqih Islam : Dakwah Kepada Allah, Rabwah :
Pustaka Islamhouse,2009.
39. Bahri Gazali, Dakwah Komunikatif, Cet. I, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
40. Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya:
PBMR Andi, 2005).
41. Bambang Noorsena, The History of Allah,
(Yogyakarta: Andi, 205).
42. Bambang Noorsena, The History of Allah.
43. C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi:
Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus
pada Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 1988).
44. Dr. D.L. Baker et.al .Pengantar Bahasa Ibrani
Jakarta: BPK, 2004).
45. Dr. Harun Hadiwijono Inilah Sahadatku( Jakarta:
BPK 2001).
345
46. Drs. Azhari Akmal Tarigan M.Ag, (Ciputat:
Kultura, 2007).
47. E.A. Livingstone, Oxford Concise Dictionary of
Christian Church, (Oxford: Oxford University
Press, 1996).
48. Emile Durkheim, The Elementary Forms of
Religious Life, trld. into English by Carol Cosman
(Oxford: Oxford University Press, c2001).
49. Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006).
50. Freddy H. Istanto, Gambar Sebagai Alat
Komunikasi Visual, Jurnal NIRMANA 1, Januari
2000.
51. Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York:
Riverhead Books, 2005).
52. Hasan Bisri WD, Ilmu Dakwah, Surabaya: Biro
Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah, 1998.
53. Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam
Pendidikan Islam Dan Sains Sosial, Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2002.
54. Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu?
(Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).
346
55. Huston Smith, The World’s Religion, (New York:
Harper CollinsPubliser, 1991).
56. I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta:
Wacana Press, 2004).
57. IB Suparta Ardhana, Sejarah Perkembangan
Agama Hindu, (Denpasar: Paramita, 2002).
58. Ibdalsyah, Problematika Dakwah Islam, Makalah
disampaikan pada Training Pelatihan Khatib
Majelis Ta’mir Masjid Al-Hijri II Universitas Ibn
Khaldun Bogor, 22-23 Rajab 1426 H/27-28
Agustus 2005 M.
59. Ibn A’syur, Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Maktabah Dar
Al-Sahnun.
60. Ibn Atsir, An Nihayah Fi Gharib al Hadits wa al
Atsar, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut : Daar al
Ma’rifah, 2001.
61. Ibn Faris, Mu’jam maqayis Al-Lughah, Libanon :
Dar Al-Fikr, 1415 H.
62. Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Beirut Dar
Al-Fikr, 1994.
63. Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh : Dar
Al-Salam, 1418 H.
347
64. Ibn Hajar Al-Ashqalani, Fath Al-Bari, Riyadh : Dar
Al-Salam, 1418 H.
65. Ibn Jauzi, Al-Thib Al-Ruhani, Kairo : Maktabah Al-
Tsaqafah, 1986.
66. Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz
Izzuddin Al-Sairawani, Damaskus : Dar Al-Anwar,
1993,hlm. 35-36.
67. Ibn Jauzi, Al-Thibb Al-Ruhi, tahqiq Abdul Aziz
Izzuddin Al-Sairawani, Damaskus : Dar Al-Anwar,
1993.
68. ibn Kastir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Dar Al-
Thaibah,2002.
69. Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, (Riyadh:
Maktabah Darus Salam, 1994.
70. Ibn Khalid Al-Qahthani, Al-Hikmah Fii Al-Dakwah
Ilallah, Riyadh : Jam’ah Al-Imam Ibn Sa’ud, 1992.
71. Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, Beirut : Dar Al-
Shadir, 2005, term (قن)
72. Ibn Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlaq, Beirut : Dar
Maktabah Al-Hayat, 1398.
73. Ibn Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlaq, Beirut : Dar
Maktabah Al-Hayat, 1398 H.
348
74. Ibn Miskawih, Tahdzib Al-Akhlaq, terj. Menuju
Kesempurnaan Akhlak, Bandung : Mizan, 1994.
75. Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Madarij Al-Salikin, Dar
Al-Kutub Al-Arabi, 1996, Bab Al-Manazil
76. Ibn Qayyim, Madarij Al-Salikin, Kairo : Dar Al-
Shofa, 2004.
77. Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li-man
Baddala Din al-Masih, diedit oleh Dr. „Ali ibn
hasan et al. (Riyadh: Dar al-‟Ashimah: 1414H.).
78. Imad al-Dîn Abu al-Fida` Ismail bin Katsir al-
Qurasyi al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim,
Beirut: Dar al-Fikr, 198.
79. Isma‟il R. Al-Faruqi, „Huquq Ghair al-Muslimin fi
al-Dawlah al-Islamiyyah: Al-Awjuh al-Ijtima‟iyyah
wa al-ThaqAfiyyah,‟ dalam Al-Muslim al-Mu‟ashir,
264, 1981.
80. Isma‟il R. Al-Faruqi, Islam and Other Faiths, diedit
oleh Ataullah Siddiqui (Leicester: The Islamic
Foundation, 1998M./1419H).
81. J.M. Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing
Group, London, 2002.
349
82. Jo Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta:
Yasodhara Puteri Jakarta, 2005).
83. John W. Harvey (Harmondsworth, Middlesex,
Victoria: Penguin Books, [1917] 1959).
84. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj),
(Bandung: Mizan, 2001).
85. M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif
Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi
Dakwah, Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997.
86. Maj'mu Fatawa Ibnu Taimiyyah 15/157.
87. Marvin Perry, Western Civilization The
Encyclopedia Britannica, (London: The
Encyclopaedia Britannica Company Ltd., 1926).
88. Marvin Perry, Western Civilization: A Brief History,
(New-York: Houghton Mifflin Company, 1997).
89. Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of
the Jewish People.
90. Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln,
The Messianic Legacy, (New York: Dell Publishing,
1986).
91. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Ed. I, Jakarta:
Kencana, 2004
350
92. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Ed. I, Jakarta:
Kencana, 2004.
93. Muhammad Ali al-Hasyimi, Amar Ma'ruf Nahi
Munkar dalam Masyarakat Muslim, Rabwah :
Pustaka Islamhouse, 2009.
94. Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil
Quran, (Beirut: Darul Irsyad, 1970).
95. Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan
Fiqih Islam : Dakwah Kepada Allah, Rabwah :
Pustaka Islamhouse,2009.
96. Muhammad Fu’ad Abd Baqi, Mu’jam Al-Mufahras
Lii Al-Fadz Al-Qur’an, Beirut : Dar Fikr, 1987.
97. Muhammad Ibn Abdillah Al-Andalusi, Ahkam AL-
Qur’an, Dar Al-Kutub AL-Ilmiyah.
98. Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-
Shihah, Madinah Munawarah : Dar Al-thaibah,
1987.
99. Muhammad Ibn Ahmad Ibn Salim As-Safarayini,
Ghada’ Al-Albab Fii Syarh Mandzumah Al-Adab,
Cordova : Muassasah Qurtubah.
351
100. Muhammad Ibn Muflih Al-Maqdisi, Al-Adab Al-
Syar’iyyah wa Al-Minah Al-Mar’iyyah, Maktabah
Alam Al-Kutub.
101. Muhammad Jamil Zainu, Aqidah Setiap
Mukmin, Pustaka Abu Salma,2007.
102. Muhammad Nasir, Fiqh ad-Dakwah,
International Islamic Federation of Student
Organization, Salimiyah Kuwait, 1981.
103. Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas C.
Hall, The Trinity, (Leiden: EJ Brill, 1992).
104. Pdt. A.H. Parhusip, Wasapadalah terhadap
Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, (2003).
105. Prof. Dr. Nurcholish Madjid untuk buku Islam
Mazhab HMI.
106. Prof. Dr. Paul Letink, guru besar filsafat Yunani,
bahasa Yunani dan bahasa Latin, di ISTAC-IIUM
Kuala Lumpur.
107. Ramli Abdul Wahid, Urgensi Jaringan Dakwah
Di Era Global, www.dewandakwah.com
108. Rasyid Ridha, al-Wahy al-Muhammadi (Beirut:
Dar al-Kutub al-‟Ilmiyyah: 2005).
352
109. Rasyid Ridha, dan Muhammad Sa‟id Ramadhan
Al-Buthi, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kawniyyah
(Dimasyq: Dar al-Fikr, [1982] 1985).
110. Sa’id Ibn Khalid Al-Qahthani, Al-Hikmah Fii Al-
Dakwah Ilallah, Riyadh : Jam’ah Al-Imam Ibn
Sa’ud, 1992.
111. Sa‟d al-Din al-Taftazani, Syarh al-Aqa‟id al-
Nasafiyyah (Karachi: Maktabah Khair Katsir).
112. Salim bin ‘Id al Hilali , Bahjatun Nazhirin
Syarhu Riyadh ash Shalihin, Dammam, Daar Ibn al
Jauzi, 1422 H.
113. Shalih bin Fauzan al-Fauzan , Muhadhoroot fil
Aqidah wad Dakwah oleh Fadhilatusy Syaikh,
Kairo : Shalih bin Fauzan al-Fauzan ,2003.
114. Sigmund Freud, The Future of An Illusion, trld.
into English and edited by James Stracey, with a
biographical introduction by Peter Gay. (New York :
Norton, c1989).
115. Simon Price and Emily Kearns The Oxford
Dictionary of Classical Myth and Religion,
(Oxford:Oxford University Press, 2004).
353
116. Sulaiman Al-Anazi, Ushlub Al-Targhib Wa
Tarhi Fi Al-Qur’an Wa Atsaruhu Fi Al-Dakwah,
http://www.tafsir.net/vb/tafsir25015/
117. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995).
118. Syekh Ali Mahfudz, Hidayah Mursyidin ila
Turuqi al-Nash wa al-Khatabah, Beirut: Dar al-
Ma’arif.
119. Tafsir ath-Thabari 11/53.
120. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Fiqih Dakwah Ilallah,
Jakarta : Penerbit Al-I’Tishom, 2011.
121. Taufiq Yusuf Al-Wa’iy, Fiqih Dakwah Ilallah,
Jakarta : Penerbit Al-I’Tishom, 2011.
122. Th.C.Vriezen Agama Israel Kuno, (Jakarta:
Badan Penerbit Kristen, 2001).
123. Totem and Taboo, trld. into English by James
Stracey (London: Ark Paperbacks, 1960).
124. Wilfred C. Smith, The Meaning and End of
Religion (London: SPCK, [1962] 1978).
125. Yusuf al-Qardhawi, Islam Ekstrim, terj.
Bandung: Mizan, 1991.
354
top related