final stres diperberat kerja
Post on 02-Feb-2016
247 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Stress yang Diperberat oleh Pekerjaan pada Wanita 30 Tahun
Pendahuluan
Seiring dengan meningkatnya populasi di Indonesia bahkan dunia, kebutuhan hidup
seseorangpun semakin meningkat. Dengan seiringnya waktu terjadi peningkatan dari segi
ekonomi, sehingga seseorang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
individu. Pekerjaan yang dilakukan dapat berupa pekerja sebagai buruh kasar, hingga dibalik
meja. Setiap pekerjaan yang dikerjakan mempunyai risiko terkena penyakit. Dilihat dari
keadaan lingkungan kerja yang beraneka ragam seperti kebisingan, panas, uap, debu,
gelombang mikro, infeksi, stress emosional, zat-zat berbahaya dan lain-lain yang dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja.
Makalah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca mengerti mengenai
stress diperberat akibat pekerjaan dalam hal anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, diagnosis okupasi, penatalaksanaan, dan edukasi. Dengan demikian,
penatalaksanaan kasus stress diperberat akibat pekerjaan dapat dilakukan dengan baik dan
kualitas hidup pasien dapat meningkat.
Penyakit Akibat Kerja
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang diakibatkan oleh atau dihubungkan dengan
lingkungan kerja.1,2 Data International Labour Organization (ILO) tahun 2003 didapatkan
setiap hari 6000 orang meninggal karena pekerjaan, 1 orang tiap 15 detik dan 2,2 juta per
tahun akibat penyakit atau kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pekerja
menghabiskan sepertiga waktunya tiap hari di tempat kerja dimana lingkungan kerja berbeda
dengan lingkungan sehari-hari. Pajanan dan proses kerja menyebabkan gangguan kesehatan.
Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 tentang Kesehatan Kerja
menyatakan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar diperoleh
produktivitas yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. Perlindungan
utamanya ditujukan pada penyakit akibat kerja atau akibat hubungan kerja dan kecelakaan
akibat kerja.
Penyakit Akibat Hubungan Kerja
WHO menggolongkan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan bersifat
“multifaktorial”.3 Penyakit ini adalah penyakit dengan faktor tempat kerja yang dapat
1
dikaitkan sebagai penyebab timbulnya penyakit namun tidak merupakan faktor resiko setiap
kasus. Penyakit ini sering ditemukan di masyarakat umum. Penyakit berhubungan dengan
pekerjaan semacam itu antara lain tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, penyakit
psikosomatik, kelainan muskuloskeletal, penyakit pernapasan kronis tidak spesifik/bronkitis
kronik. Pada penyakit ini, pekerjaan dapat merupakan penyebab atau bisa memperberat
kondisi penyakit yang telah ada.
Faktor-faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Faktor penyebab terjadinya Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan Akibat Kerja antara
lain faktor manusia (pekerja), jenis pekerjaan yang dilakukan dan proses kerja (bahan baku,
peralatan kerja dan lingkungan tempat kerja).2 Pada umumnya faktor penyebab dapat
dikelompokkan dalam 5 golongan yaitu golongan fisik contohnya suara (bising), radiasi, suhu
(panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
Golongan kimiawi berupa bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan dan kabut.
Golongan biologis seperti bakteri, virus atau jamur. Golongan fisiologis atau ergonomic
biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja. Terakhir golongan
psikososial seperti lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
Identifikasi Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis dini pada beberapa keluhan penyakit akibat kerja sangat membantu
prognosis dan kecacatan penyakit akibat kerja.1 Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat
Kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Berupa pendekatan
epidemiologis yang mencakup identifikasi hubungan kausal antara pajanan dan penyakit.
Kemudian pendekatan klinis, pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang
dapat digunakan sebagai pedoman.4
1. Diagnosis klinis
Dalam hal ini seorang dokter menentukan diagnosis klinis seperti biasa didahului
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik terkait, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan tempat
kerja.
Anamnesis
2
Anamnesis mempunyai peran yang sangat penting untuk mengetahui diagnosis awal
suatu penyakit. Anamnesis yang dilakukan dapat berupa autoanamnesis maupun
alloanamnesis dimana dengan anamnesis 80% seorang dokter dapat menegakan diagnosis.
Pertanyaan mencakup identitas pasien, keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penggunaan obat,
riwayat sosial, faktor resiko mencakup riwayat pekerjaan.5
Identitas pasien penting ditanyakan secara lengkap dari nama, usia, jenis kelamin,
alamat, suku bangsa, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, dan pekerjaan,. Hal ini
penting ditanyakan bilamana terdapat penyakit yang berhubungan dengan lingkungan pasien,
pekerjaan, dan lain-lain. Pada skenario diketahui seorang perempuan bernama Citra, usia 30
tahun, alamat di jalan Guji Baru. Suku Bali beragama Kristen dan sudah menikah. Pendidikan
terakhir adalah SI dan sekarang bekerja sebagai karyawati di Sudirman bagian administrasi.
Keluhan utama adalah alasan utama yang menyebabkan pasien memeriksakan diri atau
dibawa keluarganya ke dokter atau rumah sakit. Keluhan utama merupakan titik tolak
penelusuran informasi mengenai penyakit yang diderita pasien. Keluhan utama yang
membuat pasien datang adalah keluhan gastrointestinal yaitu pasien merasa mual berulang
sejak 1 bulan yang lalu. Tanyakan terlebih dahulu mengenai kapan mual tersebut muncul.
Dapat pula ditanyakan mengenai timbulnya mual tersebut, apakah bertahap atau mendadak.
Lalu tanyakan apakah ada nyeri atau tidak, di daerah perut mana, apakah terus menerus atau
hilang timbul, apakah menjalar, apakah ada yang memicu rasa nyeri atau mual tersebut. Hal
lain yang dapat ditanyakan adalah mengenai apakah ada gejala yang mengurangi rasa mual
tersebut. Keluhan yang menyertai yaitu pusing dan susah tidur. Pada gejala pusing, dapat
ditanyakan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan pusing, apakah
ketidakseimbangan, vertigo yang sebenarnya (rasa sekeliling berputar), merasa pingsan, nyeri
kepala, dan sebagainya. Tanyakan mengenai saat pusingnya, apakah saat ini sedang pusing,
bagaimana rasanya, berapa lama dan seberapa sering timbul pusing. Pada saat menggerakan
kepala, perubahan postur, atau aktivitas, dapat ditanyakan apakah ada terasa pusing. Lalu
apakah pasien merasa tuli, tinnitus, dan gejala-gejala lainnya seperti muntah, nyeri kepala,
palpitasi, nyeri dada. Tanyakan mengenai hal yan mengurangi pusing juga. Selain itu,
tanyakan mengenai hubungan antara mual dan juga pusing tersebut, apakah terjadi secara
bersamaaan atau salah satu gejala memperberat gejala lainnya.6
3
Riwayat penyakit sekarang adalah perjalanan penyakit sangat penting diketahui.
Ditentukan kapan dimulainya perjalanan penyakit yang dimulai dari kapan saat terakhir
pasien merasa sehat. Pernyataan terakhir penting, karena sering kali yang disampaikan pasien
dalam keluhan utamanya tidak menggambarkan dimulainya penyakitnya, tetapi lebih
berhubungan dengan munculnya kondisi yang dirasakan mengganggunya. Pasien mengatakan
bahwa keluhannya hanya timbul bila dia memikirkan masalah dengan pakerjaan dan
keluarganya. Riwayat penyakit dahulu juga perlu diatnyakan untuk mengetahui adakah
hubungan penyakit yang dahulu dengan yang sekarang timbul. Begitu juga dengan riwayat
penyakit keluarga dan riwayat sosial. Tanyakan juga riwayat penggunaan obat. Pasien sudah
berobat sebelumnya tetapi keluhan tidak kunjung berkurang.
Riwayat pekerjaan yang perlu ditanyakan yaitu sudah berapa lama bekerja, lingkungan
pekerjaan, deskripsi tugas, riwayat pekerjaan sebelumnya, dalam sehari berapa jam kerja
yang jalani, kemudian tanyakan juga alat kerja, bahan kerja, proses kerja, kemungkinan
pajannan yang dialami, apakah gejala yang timbul membaik pada saat istirahat, APD (Alat
Pelindung Diri) yang digunakan, hubungan gejala dan waktu kerja, serta apakah pekerja lain
juga mengalami hal yang sama. Baru setelah itu ditanyakan mengenai hubungannya dengan
pajanan akibat kerja seperti: pernah bekerja di tempat yang situasinya tidak nyaman secara
fisik; faktor stress di tempat kerja (seperti jemu, konflik dengan atasan/bawahan/teman kerja,
dan lain-lain); pekerjaan sebelumnya; hobi; pekerjaan suami / istri. Riwayat reproduksi,
riwayat kesehatan lingkungan, dan riwayat kesehatan lingkungan sekitar tempat kerja.7
Dalam kasus ini pasien sudah bekerja di bagian administrasi selama 1 bulan di tempat
kerjanya, dan lama kerja pasien dalam sehari yaitu dimulai dari jam 8.00 pagi-17.00 sore (9
jam). Pasien juga mengaku stress dikarenakan ada masalah dalam pekerjaannya dan juga
permasalahan dialam keluarganya.
Pada riwayat penyakit dahulu, tanyakan mengenai riwayat pembedahan perut
sebelumnnya, riwayat penyakit jantung, dan riwayat pusing sebelumnya. Tanyakan pula
mengenai riwayat obat-obatan yang pernah dikonsumsi sebelumnya, riwayat merokok, dan
riwayat mengonsumsi alkohol. Setelah itu tanyakan riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang serupa.6
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah melihat keadaan umum dan juga
kesadaran pasien. Selanjutnya pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-
4
tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh
yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari
mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-100 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.8
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan abdomen umum yaitu dengan inspeksi,
auskultasi, perkusi, palpasi. Pada inspeksi, hal yang harus diperhatikan adalah kulit yang
meliputi jaringan parut, striae, vena yang berdilatasi. Lalu perhatikan kontur, lokasi, dan
tanda-tanda inflamasi pada umbilikus. Pada kontur abdomen, yang diamati adalah bentuknya
(rata, bulat, buncit, atau sangat cekung), apakah bagian pinggang terlihat membenjol atau
terdapat benjolan setempat. Amati gerakan peristaltis dan pulsasi. Dalam melakukan
auskultasi abdomen, yang didengar adalah bunyi dentingan dan gemercik dengan frekuensi 5-
34 kali per menit. Dengarkan pula apakah ditemukan bruit atau friction rubs. Perkusi yang
dilakukan pada abdomen digunakan untuk menilai jumlah serta distribusi gas dalam
abdomen. Biasanya bunyi timpani lebih dominan karena keberadaan gas di dalam traktus
gastrointestinal, namun daerah-daerah bunyi redup yang terpencar-pencar karena keberadaan
cairan dan feses juga merupakan gambaran yang khas. Palpasi pada abdomen membantu
mengidentifikasi nyeri tekan, resistensi otot, dan beberapa organ serta massa yang letaknya
superfisial. Saat palpasi, rasakan relaksasi abdomen yang biasanya terjadi pada saat pasien
mengeluarkan napasnya. Lalu lakukan palpasi dalam untuk menentukan batas-batas massa
abdominal. Kenali setiap massa dan perhatikan lokasi massa tersebut, ukuran, besar,
konsistensi, nyeri tekan, pulsasi, dan setiap mobilitas yang berhubungan dengan respirasi atau
dengan tangan pemeriksa. Temukan korelasi antara hasil pemeriksaa palpasi dengan bunyi
perkusi.9
Pemeriksaan fisik organ yang dilakukan adalah pemeriksaan hepar dan ginjal.
Pemeriksaan hepar dilakukan dengan melakukan perkusi untuk menentukan batas paru hepar
dan peranjakan hepar. Meskipun perkusi hepar merupakan metode klinis yang paling akurat
untuk memperkirakan ukuran vertikal hepar, perkusi sering menunjukkan hasil yang tidak
sesuai dengan keadaan hepar yang sebenarnya. Palpasi hepar untuk menilai apakah hepar
teraba atau tidak, mengetahui konsistensi hepar, dan mencari nyeri tekan. Selanjutnya adalah
pemeriksaan ginjal, normalnya ginjal tidak teraba pada palpasi. Pemeriksaan palpasi ginjal
kadang-kadang terasa nyeri tekan dan kadang-kadang tidak terasa nyeri tekan tersebut. Lalu
5
pemeriksaan ginjal lainnya adalah dengan memeriksa nyeri tekan pada ginjal. Pemeriksaan
ini menggunakan telapak tangan dalam melakukan perkusi pada sudut kostovertebralis. Nilai
apakah perkusi tersebut menimbulkan rasa nyeri, pada orang normal tidak akan terasa nyeri.9
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini adalah normal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini adalah darah rutin, urin rutin, fungsi hepar,
profil lipid, dan gula darah. Gejala yang tidak khas ini perlu pengamatan lebih lanjut untuk
memastikan diagnosisnya lebih lanjut.
Darah rutin
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
Hemoglobin (Hb): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan
makanan atau minuman. Selain itu, torniket yang terpasang harus kurang dari satu menit. Bila
pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml
dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Hb adalah pria dewasa: 13.5-17 g/dl, wanita
dewasa: 12-15 g/dl.; Hematokrit (Ht): Prosedur pengambilan sampelnya tidak ada
pembatasan pada asupan makanan atau minuman. Selain itu, turniket yang terpasang harus
kurang dari dua menit. Bila pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan
berjumlah 3 sampai 5 ml dalam tabung tertutup lembayung. Kadar normal Ht adalah pria
dewasa: 40-54%, wanita dewasa:36-46%.; Sel darah putih (Leukosit): Untuk mengkaji nilai
sel darah putih adalah dari hitung darah lengkap. Hal ini dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi. Jumlah normal sel darah putih adalah dewasa: 4500-10000 l.; Trombosit: Prosedur
pengambilan sampelnya tidak ada pembatasan pada asupan makanan atau minuman. Bila
pengambilan darah lewat darah vena, darah yang dikumpulkan berjumlah 3 sampai 5 ml
dalam tabung tertutup lembayung. Jumlah normal trombosit adalah dewasa: 150000-400000
l.10
Urin Rutin
Pemeriksaan urin rutin dilakukan dengan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik.
Pemeriksaan makroskopik yang dinilai adakah kejernihan, warna, bau, pH, dan berat jenis.
Pada keadaan normal warna urin berkisar antara jernih tidak berwarna-kuning muda-kuning,
disebabkan oleh urokrum dan urobilin. Pada keadaan normal, urin yang baru dikemihkan
6
akan bersifat jernih. Bau urin dapat berubah karena beberapa faktor yaitu makanan, zat kimia,
kuman, karsinoma, fistel vesico-rectal, dan ketonuria. Nilai normal pH urin adalah 4,6-8,0
dan berat jenis urin orang dewasa sehat berkisar antara 1,001-1,035. Pemeriksaan
mikroskopik urin yaitu melihat adanya unsur organik seperti leukosit, eritrosit, silinder,
lemak dan unsur nonorganic seperti urat, fosfat, kristal, dan lainnya. Penilaian terhadap
protein urin juga diperlukan. Normalnya protein tidak ada dalam urin, batas kerentanan
protein yang mengandung urin adalah 30 mg/dL dengan albumin (1+). Urin normal tidak
mengandung glukosa.11
Fungsi Hepar
Pemeriksaan fungsi hepar dapat dilihat dengan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT), Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), fosfatase alkali, Gama
Glutamil Transpeptidase (GGT), kolinesterase, dan Lactic Acid Dehydrogenase (LDH).
SGPT yang berasal dari sitoplasma sel hati dianggap lebih spesifik daripada SGOT untuk
kerusakan parenkim hati. Pada umumnya nilai tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada
kerusakan parenkim hati akut. Nilai normal SGPT adalah 2-23 U/L. Fosfatase alkali
diekskresi melalui saluran empedi. Meningkat dalam serum apabila ada hambatan pada
saluran empedu. Nilai normal fosfatase alkali pada pria adalah 50-190 U/L dan wanita 40-190
U/L. GGT merupakan tes paling peka pada hepatitis, tetapi tidak spesifik. Nilai normal GGT
pada pria adalah 15-90 U/L dan wanita 10-80 U/L. Umumnya kadar kolinesterase serum
menurun pada kerusakan parenkim dan terutama berarti pada hepatitis kronis dan perlemakan
hati. Nilai normal kolinesterase adalah 3000-8000 U/L. LDH dapat mencapai nilai tinggi
pada kerusakan parenkim hati yang luas, biasanya disertai dengan menurunnya nilai
kolinesterase. Nilai normal LDH adalah 300-700 U/L.11
Profil Lipid
Profil lipid yang penting untuk klinik adalah trigliserida, kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL) kolesterol, dan Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol. Lebiih dari
95% lemak yang berasal dari makanan adalah trigliserida. Trigliserida berasal dari makanan
setelah diserap oleh usus disalurkan ke seluruh bagian tubuh untuk digunakan dan ditimbun.
Batas kadar trigliseria yang baik adalah <150 mg/dL. Nilai yang baik untuk kolesterol total
adalah <200 mg/dL. LDL mentranspor kolesterol dalam darah ke jaringan perifer dimana
dibutuhkan, antara lain untuk pembentukan membrane sel. Kadar LDL yang baik adalah <
150 mg/dL. HDL mentranspor kolesterol dari perifer ke hati dimana zat tersebut
7
dimetabolisasi dan diekskresi. Bila HDL rendah maka kolesterol akan dideposit pada jaringan
arteri.11
Gula Darah
Kadar glukosa darah serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dl. Hiperglikemia
didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan
hipoglikemia bila kadarnya lebih rendah dari 70 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus
ginjal dan hampir semuanya direabsorbsi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam
plasma tidak melebihi 160 sampai 180 mg/dl. Jika konsentrasi serum naik melebihi kadar ini,
glukosa tersebut akan keluar bersama urin, dan disebut glikosuria.12
Working Diagnosis
Diagnosis klinis yang didapatkan yaitu pasien ini mengalami psikosomatik. Ini
berkaitan dengan stress psikis. Stress psikis adalah suatu respon tubuh yang bersifat adaptif
padasetiap perlakuan yang menimbulkan perubahan fisis atau emosi yang bertujuan untuk
mempertahankan kondisis fisis yang optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut
sebagai general adaption syndrome. Respon tubuh terhadap perubahan-perubahan tersebut
dibagi menjadi 3 fase yaitu alarm reaction (reaksi peringatan) pada fase ini tubuh dapat
mengatasi stressor (perubahan) dengan baik. The stage of resistance (reaksi pertahanan)
merupakan reaksi terhadap stressor sudah mencapai/melampaui tahap kemampuan tubuh.
Pada keadaan ini sudah dapat timbul gejala-gejala psikis dan somatic. Stage of exhaustion
(reaksi kelelahan) pada fasse ini gejala-gejala psikosomatik tampak dengan jelas.13
Untuk diagnosis memerlukan hal-hal sebagai berikut adanya gejala-gejala bangkitan
ototnomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas/flushing. Biasanya gejala
subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu seperti pada kasus yaitu sistem
pencernaan. Biasanya tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan-pemeriksaan berulang,
maupun penjelasan-penjelasan para dokter. Serta tidak terbukti adanya gangguan dari struktur
atau fungsi organ yang dimaksud.13
2. Pajanan yang dialami
8
Terdapat lima pajanan yang dapat menyebabkan suatu penyakit akibat kerja. Faktor
tersebut adalah faktor fisis, kimiawi, fisiologis/ergonomic, biologi,dan faktor mental dan
psikologis. Faktor fisis yang meliputi keadaan fisik seperti bangunan gedung atau volume
udara per kapita atau luas lantai kerja maupun hal-hal yang bersifat fisis seperti penerangan,
suhu, udara, kelembaban udara, tekanan udaram kecepatan aliran udara kebisingan, vibrasi
mekanis, radiasi gelombang elektromagnetis. Faktor kimiawi yaitu semua zat kimia anorganis
dan organis yang mungkin wujud fisiknya merupakan salah satu atau lebih dari bentuk gas,
uap, debu, kabut, fume (uap logam), asap, awan, cairan, dan atau zat padat. Faktor biologis,
yaitu semua makhluk hidup baik dari golongan tumbuhan maupun hewan, dari yang paling
sederhana bersel tunggal sampai dengan yang paling tinggi tingkatannya. Faktor
fisiologis/ergonomis, yaitu interaksi antara faal kerja manusia dengan pekerjaan dan
lingkungan kerjanya seperti konstruksi mesin yang disesuaikan dengan fungsi indera
manusia, postur dan cara kerja yang mempertimbangkan aspek antropometris dan fisiologis
manusia. Faktor psikososial, yaitu reaksi mental dan kejiwaan terhadap suasana kerja,
hubungan antara pengusaha dan tenaga kerja. Struktur dan prosedur organisasi pelaksanaan
kerja dan lain-lain 14
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial
untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan
anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup
penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara kronologis,
lama menekuni pekerjaan tersebut, bahan yang diproduksi, materi (bahan baku) yang
digunakan, jumlah pajanannya, pemakaian alat perlindungan diri, pola waktu terjadinya
gejala, informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa),
informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (Material Safety Data
Sheet/MSDS), label, dan sebagainya.
Dari kasus pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai administrasi dimana pasien
tersebut biasa bekerja dibalik meja, pasien sudah menekuni pekerjaan tesebut selama 1 bulan
dalam durasi selama 9 jam/hari. Pajanan yang menyebabkan keluhan pasien yaitu faktor
psikososial, dalam kasus pasien mengaku mempnyai masalah dalam pekerjaannya.
3. Hubungan Pajanan dengan Penyakit
9
Lihat bila terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat
bahwa pajanan yang dilami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan
tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut, maka tidak dapat
ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja. Jika memang ada yang mendukung, perlu ditinjau
lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang
diderita.
Setiap aktivitas normal akan membuahkan stress, dan stress tidak dapat dihindari.
Stress hanya dapat ditoleransi dalam waktu yang terbatas. Oleh karena tidak ada dua individu
yang benar-benar identik, maka stress yang sama tidak akan memiliki pengaruh yang serupa
pada masing-masing individu, dan intensitasnya juga bervariasi.7
Hubungan antara masing-masing perubahan patologis seorang individu tidak banyak
diketahui secara mendetail, tetapi kebanyakan peneliti mengakui bahwa rangsangan
psikologis (stressor) termasuk stress akibat pekerjaan merupakan faktor pemicu yang penting
untuk timbulnya suatu penyakit tertentu. Peranan faktor psikologis pun menjadi jelas setelah
terdapat penelitian lain membuktikan adanya beberapa stressor psikologis yang bermakna
sebagai penyebab suatu penyakit tertentu, seperti: Perubahan jenis pekerjaan; Perubahan
besar-besaran pada jadwal kerja; Perubahan tingkat tanggung jawab; Ketidaksesuaian dengan
atasan; Ketidaksesuaian dengan teman-teman sekerja.7
Pekerjaan sendiri tidak selalu sebagai satu-satunya sumber penyebab gangguan
psikologis, tetapi dapat memengaruhi statuas kerentanan individu terhadap kegagalan tertentu
di lingkungan pekerjaan yang penuh dengan stressor fisik, emosional, dan mental. Stresor
fisik di tempat kerja, seperti bising, penerangan yang kurang memadai, temperature ruangan
yang terlalu tinggi, serta bahaya-bahaya kerja fisik lainnya. Bahaya kerja kimiawi, misalnya
debu kerja yang berlebihan, atau bahaya kerja ergonomis, seperti meja kerja yang terlalu
tinggi / rendah, jangkauan yang jauh, bekerja dengan posisi janggal, dan lain-lain. Stresor
emosional atau mental, dapat berupa kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan kondisi
tang menyenangkan, misalnya suatu promosi dapat mengakibatkan timbulnya stress akibat
perubahan posisi. Masalah-masalah dalam pekerjaan lainnya, seperti pindah bagian,
menganggur, dan pensium seringkali juga menimbulkan kerentanan untuk timbulnya
gangguan psikologis. Kondisi-kondisi lainnya, seperti kekuasaan untuk melaksanakan tugas,
atau atasan yang tidak menyokong dalam pelaksanaan tugas juga menjadi sumber konflik di
tempat kerja.7
10
Dalam menghadapi stressor, manusia mengalami tiga tahapan reaksi tubuh yaitu reaksi
alarm, tahap kebal, dan tahap kelelahan.7 Reaksi merupakan respons yang datang dengan
cepat ketika manusia menghadapi suatu tantangan atau ancaman. Pada tahap reaksi alarm,
tubuh manusia belum dapat beradaptasi terhadap pajanan ancaman bahaya. Terjadi mobilisasi
dari system saraf otonom yang mencetuskan respons stress dalam bentuk respons perlawanan
(fight) atau respons menghindar (flight). Bermacam-macam system tubuh turut
mengoordinasi kesiapsiagaan untuk bereaksi, memengaruhi kejiwaan (system limbic),
pengaturan sistem kardiovaskular, pernapasan, ketegangan otot, dan aktivitas motorik yang
halus.7
Reaksi alarm tidak dapat dijaga untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Pajanan yang
berkepanjangan terhadap stressor akan menyebabkan individu menjadi kebal. Pada tahap ini
sesungguhnya tubuh sudah dapat beradaptasi, ketika individu mengembangkan suatu strategi
perjuangan untuk bertahan hidup dan membina daya perlawanan justru untuk meredam
respons stressor yang telah dimulai pada tahap sebelumnya. Mekanisme penanggulangan ini
ternyata dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan bagi perkembangan mental
individu. Kenyataannya, individu cenderung untuk lebih baik dalam melaksanakan
penanggulangan dengan cara yang cepat daripada cara yang lebih lama dan mencoba
melarikan diri dari kondisi yang kurang menyenangkan. Sayangnya, cara penanggulangan
yang cepat, walaupun paling mudah, biasanya tidak memadai karena dengan cara ini biasanya
akan timbul masalah-masalah sekunder pada jangka panjang dalam bentuk menurunnya
penampilan diri. Pada tahap ini, individu sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan untuk
mengidentifikasi cara-cara penanggulangan yang dapat mendorong dirinya untuk memahami
keuntungan dari cara penanggulangan yang lebih lama.7
Respons terhadap stress pada dasarnya sehat dan penting untuk menimbulkan daya
motivasi dan adaptasi seseorang. Bila beban mental terlalu berat atau tidak dapat menemukan
solusi yang memadai, individu tersebut akan menanggung banyak kesukaran. Stress yang
lama dan berkelanjutan dapat menimbulkan masalah-masalah yang menahun, sehingga
individu akan menderita suatu kelelahan yang berat seakan-akan semua cadangan energi
menghilang, dan menimbulkan depresi.7
Gejala fisik dari tahap awal kelelahan tampak sebagai perasaan lelah yang berlebihan,
lemah, dan tidak memiliki daya. Tanda-tanda non-spesifik lainnya biasanya dalam bentuk
penglihatan yang kabur, rasa pusing, vertigo, tangan tremor, nyeri otot, palpitasi, napas terasa
11
berat, nyeri dada, sesak napas, atau gangguan pernapasan yang lain, gejala gangguan saluran
pernapasan seperti rasa kering di mulut, rasa leher tercekik, mual atau muntah, konstipasi
yang menahun, diare atau sakit perut yang melilit. Berat badan bertambah atau bahkan
menjadi kurus, perubahan pola makan dalam bentuk berkurangnya nafsu makan atau nafsu
makan malah menjadi lebih besar, atau menurutkan hati untuk makan cokelat secara
berlebihan, dan lain-lain. Individu yang berada dalam tahap kelelahan biasanya dapat
menyembunyikan gejalanya jika berada di tempat kerja, kecuali kalau terasa sangat lelah
maka individu tersebut cenderung untuk bolos kerja. Namun, sayangnya gejala ini tidak
hanya timbul di tempat kerja, dapat juga muncul saat individu berada di rumah atau dimana
saja, sehingga individu menjadi sangat menderita.7
4. Besarnya jumlah pajanan untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka
pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan
membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis
penyakit akibat kerja. Perlu diketahui patofisiologi dari penyakit dan bukti epidemiologi yang
terkait. Dapat dengan kualitatif dilihat bagaimana cara kerja, proses kerja, dan bagaimana
lingkungan kerja. Serta pemakaian alat pelindung diri yang tepat. Besarnya pajanan cukup
besar dikarenakan pasien setiap hari selalu menghadapi pekerjaannya sehingga sangat terlihat
dampak yang ditimbulkan dari keluhan pasien yang mengatakan keluhan tersebut muncul bila
pasien memikirkan maslaah pekerjaannya.
Stressor seringkali berhubungan langsung dengan sistem tugas, volume pekerjaan,
lingkungan kerja, atau sebagai akibat ketidakharmonisan hubungan dengan individu lain di
tempat kerja dan faktor-faktor budaya organisasi tempat kerja, beberapa stressor juga
berhubungan pada identifikasi peranan seseorang di organisasi tempat kerja.7
Terdapat beberapa sistem tugas yang menjadi stressor. Salah satunya adalah kerja
lembur. Bila lembur terlalu sering, apalagi bila jumlah jam kerja menjadi berlebihan, ternyata
dapat mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja dan lalu meningkatkan jumlah absensi.
Lalu, tugas kerja malam merupakan tugas yang berat bagi pekerja, dan sering mengakibatkan
timbulnya gangguan fisik akibat kurang tidur serta perubahan tingkah laku yang dapat
mendorong penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang serta perubahan kebiasaan
12
makan. Kecepatan kerja mesin saat produksi, gerakan tangan yang berulang secara monoton,
dan kekangan (tidak ada kebebasan bekerja) juga menjadi stressor pada sistem tugas. Selain
itu, komunikasi yang menjemukan / membebankan pada pekerjaan yang harus bernegosiasi
untuk hal yang sulit diterima atau tidak selaras dengan kehendak lawan bicara juga menjadi
stressor.7
Volume pekerjaan juga menjadi stressor. Volume pekerjaan yang terlalu berlebihan dan
dibatasi oleh waktu seperti pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa karena waktu yang
terbatas dan juga permintaan untuk pengambilan keputusan yang rumit jelas menjadikan
suatu tekanan tersendiri pada pekerja. Namun, volume pekerjaan yang sangat kurang
menyebabkan kurangnya rangsangan untuk bekerja, kurangnya variasi, tidak ada kreativitas
atau tuntutan untuk mengatasi masalah. Yang termasuk pekerjaan itu adalah pekerjaan yang
memerlukan perhatian penuh tetapi kurang rangsangan untuk bekerja seperti tugas menjaga
pintu kereta api, pekerjaan yang menuntut kejelian yang membutuhkan konsentras dan
penglihatan yang intens, tidak diberi tugas karena atasan pilih kasih atau kemampuan pekerja
kalah bersaing dengan yang lain.7
Tanggung jawab untuk keselamatan dan kesejahteraan diri sendiri mencakup tanggung
jawab untuk bekerja dengan aman merupakan faktor stress psikis pada pekerja karena harus
selalu bekerja dengan hati-hati agar tidak membahayakan orang di sekitarnya ataupun
membahayakan diri sendiri. Pekerjaan dengan stressor semacam ini, misalnya pekerja yang
menangani bahan-bahan kimia yang berbahaya atau mudah meledak. Tanggung jawab
pekerjaan terhadap kesejahteraan masyarakat misalnya pekerja di sektor kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan lainnya.7
Adanya ancaman terpajan kondisi fisik tempat kerja yang kurang menyenangkan atau
kontak dengan bahan-bahan beracun seperti bekerja di tempat yang sunyi/terpencil, di tempat
yang tidak memiliki kesempatan berkomunikasi, dan pajanan di tempat kerja juga kurang
baik. Pekerjaan yang tidak memiliki kesempatan berkomunikasi dengan orang lain contohnya
adalah tugas jaga malam, penjaga mercu suar, dan lainnya. Pajanan di tempat kerja contohnya
bekerja di tempat dalam bentuk pajanan fisik dan kimiawi seperti suhu terlalu tinggi atau
terlalu rendah, tempat kerja yang sempit dan berdesakan, ventilasi buruk, penerangan yang
kurang baik, vibrasi, masalah-masalah ergonomi, tempat kerja yang bising, bau yang tidak
enak, debu kerja, dan substansi kimia yang berbahaya.7
13
Faktor organisasi tempat kerja yang mempengaruhi stressor contohnya adalah
perubahan yang terjadi ditempat kerja. Perubahan seringkali berarti terjadi suatu kehilangan,
seperti diberlakukannya teknik baru di tempat kerja, penggantian supervisor, rekonstruksi
organisasi, pemberian tugas baru di tempat kerja, penggantian supervisor, restrukturisasi
organisasi, pemberian tugas baru yang sukar dilaksanakan, pindah bagian, atau
dibebantugaskan sebagai pimpinan. Pada suatu tempat kerja dengan manajemen yang
otokratis, biasanya komunikasi atasan dan bawahan tidak berjalan dengan baik. Seringkali
para pekerja dibebankan oleh dua perasaan yang berlawanan sehingga mendorong timbulnya
stress. Perasaan tersebut biasanya timbul bila para pekerja mengerti apa yang mereka harus
perbuat, padahal kenyataannya hal itu tidak dapat dilaksanakan. Ancaman dipecat, diturunkan
pangkat, dipensiunkan lebih dini karena sakit, ada hambatan untuk promosi, atau
mendapatkan promosi untuk pekerjaan yang kurang dikuasai dapat menimbulkan kecemasan
yang hebat.7
Pajanan pada pasien terasa besar karena ada pemberian tanggung jawab dan
penambahan tugas pada pekerjaannya.
Patofisiologi
Adanya stress akut dapat mempegaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dengan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Tetapi korelasi antara faktor
psikologik stress kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial.13
Epidemiologi
Untuk mendukung bahwa faktor psikis berperan terdapat data-data sebagai berikut.
Fisher dkk melakukan endoskopi pada 3367 pasien dengan dyspepsia ternyata 33,6% hasil
endoskopi psien tersebut normal. Djayapranata mendapatkan data dari 351 pasien dispesia
non ulkus yang dilakukan endoskopi ternyata 162 pasien yang mengalami gastroduodenitis,
199 sisanya pasien normal. Hasil endoskopi dari pasien yang mengalami refluks 50%
dnyatakan normal. Dari data-data diatas sangat mungkin pasien dengan keluhan-keluhan
saluran cerna bagian atas dilatarbelkangi oleh faktor psikososisal. Jadi keluhan-keluhan
gastrointestinal dapat pula merupakan manifestasi somatic dari kelaian psikis.13
5. Faktor individual pasien
14
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang
dapat mengubah keadaan pajanannya, apakah kebiasaan yang pasien lakukan untuk
mengurangi dampak dari pajanan berupa stressor. Harus ditanyakan status kesehatan fisik
pekerja tersebut adakah dia memiliki riwayat alergi atau tidak, penting juga untuk mencari
penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang
kuat pada berbagai penyakit. Hal yang dapat mengarahkan pada riwayat keluarga adalah
dengan menanyakan jumlah saudara, tentang orang tua dan riwayat kesehatannya.
Seandainya orang tua sudah meninggal, tanyakan apa sebab kematiannya dan apakah
mengalami suatu penyakit yang berat. Ketahui mengenai riwayat penyakit menurun dalam
keluarga dan silsilah keluarga.6 Data mengenai hal ini pada pasien tidak diketahui apakah dia
biasa berolahraga atau tidak. Serta menanyakan bagaimana hygiene perorangan dan status
mental.
Untuk faktor individu ini lebih mengarah ke arah psikologi seseorang pada saat
melakukan pekerjaannya sehari-hari. Stress di lingkungan kerja berkaitan dengan lingkungan
fisik tempat kerja, bekerja dalam shift, beban kerja yang berlebihn, bekerja monoton, mutasi
dalam pekerjaan, tidak jelasnya peran kerja, konflik dengan teman kerja dan lain-lain.
6. Faktor lain diluar pekerjaan
Bila pasien mengalami pajanan lain diluar pekerjaan perlu ditanyakan untuk dapat
mengetahui hubungan dengan penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak
selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja. Pada kasus ini, bisa
tanyakan kepada pekerja apakah hobinya sehari-hari. Tanyakan kepadanya apakah dia
mempunyai kerja sambilan yang lain. Bila ada, bisa diperkirakan bahwa dia itu tidak
mendapat rehatnya yang cukup. Jika tidak mendapatkan rehat yang cukup, maka dia akan
menjadi kurang bertenaga dan kurang fokus apabila kembali bekerja. Ini akan menyebabkan
kualitas kerja akan menurun.
Selain itu ditanyakan apakah dia mempunyai kebiasaan merokok (termasuk jenis rokok,
berapa banyak, selama berapa lama), riwayat konsumsi alkohol pasien (termasuk jenis
alkohol, berapa banyak, seberapa sering) dan tanyakan mengenai riwayat ketergantungannya,
ditanyakan juga keadaan di rumahnya itu bagaimana, kegiatan-kegiatan selain pekerjaan
(misalnya kerja sambilan). Adakah higienenya baik atau pun tidak. Kemudian perlu
ditanyakan pajanan psikososial di lingkungan seperti hubungan dengan keluarga ada masalah
atau tidak, atau dengan komunitas lain di luar pekerjaan. Pada kasus ini ditemukan bahwa
faktor lain yang mempengaruhi pasien mempunyai masalah dengan keluarganya.6
15
7. Diagnosis okupasi
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan
informasi yang telah didapat yang memiliki bukti dan referensi. Maka akan hasil yang
didapat berupa empat pilihan yaitu pertama penyakit akibat kerja atau penyakit akibat
hubungan kerja, kedua yaitu penyakit yang diperberat pajanan di tempat kerja, ketiga belum
dapat ditegakkan dan masih membutuhkan informasi tambahan, kemudian yang terakhir
bukan penyakit akibat kerja.
Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan
dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa
adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini.
Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau
timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya
memperberat/mempercepat timbulnya penyakit. Pada kasus ini diagnosis lebih mengarah
kepada penyakit yang dperberat pajanan di tempat kerja
Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Diagnosis yang bersangkutan dengan menderita atau tidak menderita
penyakit akibat kerja diatur dalam Keppres No. 22 Th. 1993.14
Dalam Keppres No. 22 tahun 1993 terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja, dua puluh
Sembilan dari 31 penyakit akibat kerja adalah penyakit akibat kerja yang bersifat
internasional; penyakit demikian mengikuti standar Organisasi Perburuhan Internasional. Dua
jenis penyakit yaitu penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi
atau kelembaban udara tinggi dan penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk
bahan obat bukan penyakit akibat kerja menurut standar internasional melainkan atas dasar
pertimbangan keperluan kita sendiri.14
Tiga puluh satu jenis penyakit akibat kerja sebagaimana terdapat dalam Lampiran
Keppres No. 22 Th. 1993 adalah sebagai berikut ini:14
1. Pneumokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silikosis,
antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya merupakan
faktor utama penyebab cacat dan kematian;
2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
logam keras;
3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu
kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis);
16
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang
yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan;
5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang
yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan;
6. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan
debu organis;
7. Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun;
8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun;
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannnya yang beracun;
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannnya yang beracun;
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannnya yang beracun;
12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannnya yang beracun;
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbale (Pb, timah hitam) atau persenyawaannnya
yang beracun;
14. Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannnya yang beracun;
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida;
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon
alifatis atau aromatis yang beracun;
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzen atau homolognya yang beracun;
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari benzene dan
homolognya yang beracun;
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya;
20. Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol atau keton;
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti
karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya yang beracun,
amoniak seng, braso dan nikel;
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan;
23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanus (kelainan-kelainan otot, urat, tulang,
persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi);
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udarah yang bertekanan lebih;
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetis dari radiasi yang mengion;
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisis, kimiawi atau
biologis;
17
27. Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak
mineral, antrasen atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut;
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes;
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam
suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus;
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi;
31. Penyakit yang disebabakan oleh kimia lainnya termasuk bahan obat.
Diagnosis penyakit pasien adalah stress yang diperberat oleh pekerjaan. Pada langkah
diagnosis awal ditemukan bahwa penyakit pasien disebabkan oleh stress. Lalu pada langkah
kedua diketahui bahwa pajanan yang diterima pasien adalah pajanan psikologi. Pada langkah
ketiga, terdapat hubungan antara pekerjaan dengan gejala pasien. Kemudian pada langkah
keempat terdapat pajanan yang menambah stressor dari pasien. Informasi pada langkah
kelima dan keenam tidak diketahui. Pada langkah diagnosis terakhir ini, tertulis dalam
Keppres No. 22 Th. 1993 terdapat 31 penyakit akibat kerja namun yang dialami pasien tidak
terdapat didalamnya. Oleh karena itu pasien tidak mengalami penyakit akibat kerja.
Penatalaksanaan
Bila pasien menemui dokter dengan gejala stress baru timbul, beberapa pertanyaan
langsung pada akar masalah tersebut dapat menolong untuk mengidentifikasi situasi pencetus
stress. Pada saat ini, nasihat medis yang memadai dapat mengatasi masalah jangka pendek
atau jangka panjang. Selanjutnya, pasien ini membutuhkan atensi yang lebih besar dan
investigasi lanjutan guna mencegah berkembangnya penyakit ini. Tranquilizer, antidepresan,
antipsikotik, anti ansietas, dan , dan -bloker dapat mengatasi gejala stress untuk jangka
pendek, tetapi tidak dapat dipakai untuk jangka panjang karena obat tersebut hanya dapat
mengatasi keluhan pasien, namun tidak pada akar masalahnya. Obat-obat ini juga berpotensi
menimbulkan bahaya ketergantungan dan depresi miocard akibat -blocker sehingga perlu
mendapat perhatian khusus.7
Pemberian biasanya dalam dosis kecil terlebih dahulu kemudian ditingkatkan dalam
dosis optimal kemudian diturunkan secara perlahan-lahan untuk dosis maintenance. Bila
keadaan pasien sudah stabli maka pemberian obat dapat dihentikan.13
18
Sedangkan terapi non medikamentosa dapat berupa konseling dan psikoterapi. Pada
kasus yang ringan dapat diberikan psikoterapi jenis suportif yang singkat saja. Pada kasus
kronis dan berat perlu dirujuk ke dokter spesialis jiwa untuk psikoterapi psikoanalisis. Dapat
pula diberikan terapi kelompok (Group Theraphy) yang dapat digunakan untuk
menghilangkan distress, meningkatkan kepercayaan diri, serta memperbaiki relasi social dan
perilaku seseorang.13
Guna mendorong terjadinya perubahan perilaku kerja dan persepsi terhadap respons
biologis, pasien dinasihatkan untuk datang diam-diam secara regular, biasanya 1 jam dalam
seminggu, untuk bimbingan dan konseling oleh dokter perusahaan terutama untuk kasus-
kasus dengan akar masalah psikologis seperti kesulitan interpersonal.7
Konseling berbeda dengan member nasihat. Suatu nasihat terbatas pada satu paket
solusi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi masalah, sedangkan seorang konselor,
yang memberikan konseling, membantu pasien dengan memberikan sejumlah pilihan solusi
untuk mengatasi masalahnya. Konselor akan membantu menyeleksi solusi-solusi tersebut
sampai pasien memeroleh pilihan terbaik dan selanjutnya melaksanakannya dengan usaha
dari pasien itu sendiri.7
Pelatihan manajemen stress dapat dilaksanakan secara berkelompok pada 6 sampai 12
pekerja yang memiliki indikasi adanya gejala stress akibat kerja. Materi-materi pelatihan
yang perlu diajarkan, seperti teknik fisiologis untuk mengurangi serangan stress, misalnya
teknik relaksasi, biofeedback, meditasi, atau latihan pernapasan, dan teknik-teknik psikologis
serta kognitif, pembentukan diri kembali, dan macam-macam keterampilan kerja, serta
keterampilan interpersonal.7
Pasien perlu dianjurkan untuk menciptakan keseimbangan stress di tempat kerja,
sehingga gaya hidup yang sehat dan aktivitas relaksasi di temapt kerja sangat dibutuhkan.
Beberapa teknik relaksasi di tempat kerja dapat disarankan, seperti istirahat pendek tetapi
sering, misalnya 5 menit setiap jam kerja lebih berguna daripada istirahat panjang tapi jarang,
sedikit latihan fisik secara regular sangat berguna pada pekerja computer, olah-pernapasan
yang rutin bermanfaat untuk mencegah serangan stress yang datangnya mendadak atau
serangan panik. Gaya hidup yang sehat di luar tempat kerja juga harus disarankan, seperti
olahraga rutin, makanan sehat, berhenti merokok dan minum alkohol, penyaluran hobi, dan
pasien dianjurkan untuk memperbanyak komunikasi dengan keluarga dan teman-temannya.7
19
Penatalaksanaan stress di tempat kerja secara menyeluruh tidak hanya membutuhkan
kerjasama dan partisipasi pasien tetapi juga partisipasi aktif organisasi tempat kerja, seperti
melaksanakan perbaikan tempat kerja seoptimal mungkin, menciptakan manajemen yang
terbuka, terlaksananya komunikasi dua arah antara pekerja dan pimpinan, memberikan tugas
dan tanggung jawab yang jelas, target-target pekerjaan yang menantang namun mampu
dicapai oleh pekerja sesuai dengan kapasitasnya, jadwal kerja yang fleksibel tetapi terencana,
memberikan teguran pada pekerja yang salah secara wajar, dan melaksanakan manajemen
yang adil tanpa kekerasan.7
Edukasi
Penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit (five level of prevention
diseases) pada penyakit akibat kerja.3,15 Peningkatan kesehatan (health promotion) misalnya
pendidikan kesehatan jiwa, meningkatkan gizi yang baik, pengembangan kepribadian,
lingkungan kerja yang memadai, rekreasi. Kemudian perlindungan khusus (specific
protection) misalnya imunisasi, hygiene perorangan, sanitasi lingkungan, serta proteksi
terhadap bahaya dan kecelakaan kerja dengan menggunakan alat pelindung diri.
Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan yang tepat (early diagnosis and prompt
treatment) misalnya pemeriksaan kesehatan awal, pemeriksaan kesehatan berkala, pelayanan
kesehatan/poliklinik dan kb, diagnosis dini setiap keluhan dan pengobatan segera serta
pembatasan titik-titik lemah untuk terjadinya komplikasi. Membatasi kemungkinan cacat
(disability limitation) misalnya memeriksa dan mengobati tenaga kerja secara komperhensif,
mengobati tenaga kerja secara sempurna, dan pendidikan kesehatan. Pemulihan kesehatan
(rehabilitation) misalnya rehabilitasi dan mempekerjakan kembali para pekerja yang
menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan karyawan-karyawan
cacat di jabatan-jabatan yang sesuai.
Sebelum terjadinya gangguan kesehatan jiwa lebih lanjut, maka pencegahan stress
okupasi mutlak diperlukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan stress
okupasi ialah sosialisasi penilaian risiko stress okupasi oleh pekerja sendiri. Berdasarkan
Health and Safety Executive (HSE), pekerja harus menulai enam hal berikut dan menjawab
20
apakah hal tersebut tidak berlangsung sesuai yang mereka harapkan sehingga menjadi
stressor.16
Adapun enam hal yang perlu diperhatikan itu ialah: beban kerja (demand); kontrol
(control) untuk dapat melakukan pekerjaan dengan caranya; dukungan (support), termasuk
motivasi dan fasilitas yang disediakan perusahaan, manajemen, dan teman kerja; hubungan
(relationship) di dalam pekerjaan, termasuk pemerapan kerja positif untuk menghindari
konflik dan mengatasi perilaku yang tidak sesuai; peran (role) dalam lingkungan kerja
mengerti peran masing-masing dan apakah perusahaan/organisasi telah mencegah agar tidak
ada konflik peran; dan perubahan (change), yaitu bagaimana segala perubahan
dikomunikasikan dan diinformasikan kepada setiap pekerjaan.16
Upaya pencegahan lainnya ialah dengan meningkatkan keterampian dan peran
pekerja. Mereka akan memiliki kepercayaan diri yang lebih dalam mengerjakan tugasnya.
Bila ditambahkan keterampilan komunikasi maka saat di lapangan pekerja akan lebih baik
dan percaya diri menyampaikan aspirasinya, baik kepada sesame pekerja maupun atasannya.
Strategi yang dapat dilakukan ialah melakukan pelatihan peningkatan keterampilan,
menggunakan tangga karir untuk memberikan penghargaan pengembangan keterampilan, dan
melakukan rotasi kerja untuk mengembangkan keterampilan.16
Perlu diingat pula bahwa pekerjaan yang tidak memberikan cedera bagi fisik akan
terasa lebih menyenangkan dan nyaman bagi pekrja. Bagian K3 perusahaan bertanggung
jawab menilai kembali program yang dilakukan untuk mengurangi paparan bahaya potensial
fisik dan ergonomik pada pekerja. Selain mengurangi risiko terpajan dan penyakit akibat
kerja, merubah lingkungan kerja yang meningkatkan kenyamanan fisik dalam bekerja dapat
mencegah pula stress okupasi.16
Selain ketiga upaya pencegahan tersebut, perusahaan perlu meningkatkan perasaan
kepemilikan (control) dan partisipasi pekerja dengan pekerjaannya, memberikan beban kerja
yang sehat, memberikan rasa aman akan pekerjaan yang dimiliki dan pengembangan karir,
memberikan jadwal kerja yang sehat, dan meingkatkan mekanisme coping personal di diri
pekerja.16
Penutup
21
Wanita berusia 30 tahun mengalami stress yang diperberat akibat pekerjaan. Hal ini
didapatkan lewat anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Namun pada
anamnesis, keluhan pasien dapat dihubungkan dengan pekerjaan yang pasien alami. Karena
itu tahapan yang dilakukan selanjutnya adalah langkah diagnosis okupasi tujuh langkah.
Langkah-langkah tersebut adalah diagnosis klinis, identifikasi pajanan yang dialami,
hubungan pajanan dengan penyakit, besarnya pajanan yang dialami, faktor individual pasien,
faktor lain di luar pekerjaan, dan diagnosis okupasi. Dengan mengetahui hal tersebut, maka
penatalaksanaan pada pasien dapat dilakukan dengan tepat. Selain itu perlu dilakukan
pencegahan yang baik pula agar kasus yang serupa tidak terjadi lagi.
Daftar Pustaka
1. Karjadi TH, Djauzi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam: dasar-dasar penyakit akibat kerja.
Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009.h.130-2.
2. International Labour Organization. Identification and recognition of occupational
diseases: criteria for incorporating diseases in the ILO list of occupational diseases.
Geneva: Merlod; 2009.
3. Jeyaratnam J, Koh D. Buku ajar praktikum kedokteran kerja.Jakarta: EGC; 2010.h.70-87.
4. Bickley L.S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h.155-75.
5. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.
6. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2006.
7. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta: EGC; 2013. h. 267-78.
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009. h. 31-2.
9. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2012.
10. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2008.
11. Kosasih EN, Kosasih AS. Tafsiran hasil pemeriksaan laboratorium klinik. Jakarta:
Karisma Publishing Group; 2008.
12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006.
22
13. Mudjaddid E, Shatri H. Buku ajar ilmu penyakit dalam: gangguan psikosomatik:
gambaran umum dan patofisiologinya. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2009.h.2094-6.
14. Suma’mur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES). Edisi ke-2.
Jakarta: Sagung Seto; 2014.
15. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: EGC; 2009.h.214-5
16. Nasution K, Adi NP. Stres okupasi, masalah kesehatan pekerja yang terabaikan. J
Indon Med Assoc 2011 Desember; 61(12):472.
23
top related