fikosianin_liem_pamela_lukito_13.70.0014_e3_unika soegijapranata
Post on 04-Feb-2016
42 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Acara IV
FIKOSIANINPEWARNA ALAMI DARI “BLUE
GREEN MICROALGAE” SPIRULINA
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Liem Pamela Lukito
NIM: 13.70.0014
Kelompok: E3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. ALAT DAN BAHAN
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah sentrifuge, pengaduk/stirrer, alat
pengering (oven), dan plate stirrer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah biomassa Spirulina kering, aquades,
dan dekstrin.
1.2. METODE
1
Biomassa Spirulina kering dimasukkan dalam erlenmenyer.
Spirulina dilarutkan dengan aquades (perbandingan 1:10)
Diaduk menggunakan stirrer selama kurang lebih 2 jam.
Disentrifugasi 5000 rpm selama 10 menit lalu supernatan dipindah ke gelas ukur.
2
Sebagian supernatan pada gelas ukur diencerkan hingga 10-2
kemudian diukur kadar fikosianinnya dengan spektrofotometer
(615
nm
Sisa supernatan pada gelas ukur ditambahkan desktrin dengan
perbandingan supernatan:desktrin = 8:9 (kelompok E1, E2, dan E3)
dan 1:1 (kelompok E4 dan E5).
Setelah tercampur rata lalu dituangkan ke dalam wadah yang dapat
digunakan sebagai alas untuk proses pengeringan.
3
Dioven pada suhu 45C hingga kering kurang lebih kadar air sekitar
7% (cukup diambil dengan spatula dan dilihat kering atau masih
gempal).
Adonan yang telah dikeringkan, dihancurkan dengan alat penumbuk
hingga berbentuk powder.
4
Kadar fikosianin diukur dengan rumus:
Konsentrasi Fikosianin/KF (mg/ml) = OD615−0,474(OD 652)
5,34x
1fp
Yield (mg/g) = KF xVol(total filtrat)
g(berat biomassa)
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan fikosianin dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Fikosianin
KelompokBerat Biomassa
Kering(g)
Jumlah aquades yang ditambahakan
(ml)
Total filtrat yang diperoleh
(ml)
OD 615
OD 652
KF (mg/ml)
Yield (mg/ml)
WarnaSebelum dioven
Sesudah dioven
E1 8 80 56 0,0551 0,0164
0,886 6,202 ++ +
E1 8 80 56 0,0575 0,0164
0,931 6,517 ++ +
E3 8 80 56 0,0647 0,0159
1,070 7,493 + +
E4 8 80 56 0,0613 0,0144
1,020 7,140 + +
E5 8 80 56 0,0624 0,0176
1,012 7,084 +++ ++
Keterangan : Warna + = biru muda ++ = biru tua +++ = biru sangat tua
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat dilihat bahwa ada variasi nilai optical density (OD) dengan perlakuan yang sama.
Selain itu dapat dilihat juga bahwa konsentrasi fikosianin berbanding lurus terhadap yield yang dihasilkan. Kemudian parameter warna
5
bubuk fikosianin juga diamati, yang mana tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dari warna bubuk fikosianin sebelum dan setelah
dikeringkan.
6
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan proses isolasi pigmen fikosianin dan pembuatan
pewarna bubuk dari fikosianin yang berasal dari mikroalga Spirulina platensis. Pada
jaman sekarang ini banyak sekali pewarna sintetis yang digunakan. Meskipun pada
kenyataannya pewarna sintetis lebih mudah didapat dengan harga terjangkau, namun
seringkali konsumen bertanya-tanya apakah pewarna tersebut aman atau tidak. Oleh
karena itu ditemukan cara lain untuk menanggapi keinginan konsumen, yaitu dengan
memproduksi pewarna alami. Menurut Sutomo (2005) mikroalga dapat menghasilkan
senyawa berpotensi antara lain pigmen, asam lemak, dan faktor tumbuh. Astawan
(2008) menambahkan bahwa mikroalga sudah sering dimanfaatkan sebagai pewarna
alami karena kelebihan-kelebihannya di bidang kesehatan. Salah satu mikroalga yang
dapat dimanfaatkan dalam hal tersebut adalah Spriulina platensis yang menurut
Richmond (1988) tergolong dalam organisme alga hijau biru.
3.1. Spirulina platensis, Fikosianin dan Dekstrin
Berdasarkan Zahroojian et al. (2013) Spriulina platensis adalah kelompok organisme
yang masuk dalam golongan alga hijau-biru, yang memiliki jumlah sel yang banyak.
Mikroalga ini sering digunakan untuk bahan pangan karena sifatnya yang bernutrisi
dengan kandungan protein yang tinggi. Tietze (2004) melanjutkan bahwa pada tubuh
mikroalga tersebut ada filamen-filamen berwarna hijau-biru dan berbentuk silinder
linear. Ukuran dari tubuh mikroalga ini adalah 100 kali lipat ukuran sel darah merah
manusia. Warna hijau-biru yang ada pada mikroalga ini disebabkan karena adanya
kandungan pigmen klorofil dan fikosianin yang dominan. Menurut Saranraj dan
Sivasakthi (2014) Spirulina sp ini biasanya hidup dalam habitat alkali dengan suhu
hangat atau kolam yang dangkal di wilayah tropis. Berdasarkan Soundarandian dan
Vasanthi (2008) dalam Diaa A.M. et al. (2013) pH 10 adalah batas maksimal untuk
pertumbuhan dari S.platensis. Menurut Ray dan Sengupta (2007) dan Belay (2002)
dalam Sudha dan Kavimani (2011) Spirulina sp memiliki kandungan protein 50-70%
dan beta-karoten, vitamin B12 dan vitamin E. Selain itu ada juga kandungan karbohidrat
seperti fruktosa, ribosa, manosa dan rhamnosa. Spirulina sp ini juga dikatakan
mengandung 7% fikosianin dari berat kering dan juga polisakarida yang memiliki sifat
7
8
antioksidan yang dapat mengkelat ion bebas atau logam. Jumlah fikosianin di dalam
Spirulina platensis ini dipengaruhi dari kadar nitrogen di dalamnya. Semakin rendah
konsentrasi nitrogen maka kadar fikosianin akan semakin menurun juga (Diaa A.M. et
al., 2013). Oleh karena kandungan nutrisinya yang tinggi, tidak toksik dan memiliki
peran dalam mencegah anemia, pertumbuhan tumor dan malnutrisi maka Spirulina
dianggap sebagai makanan yang sangat baik (Saranraj dan Sivasakthi, 2014).
Richmond (1988) menambahkan bahwa di dalam spesies ini terkandung pigmen klorofil
α sebesar 1,7%; karotenoid dan xantofil sebesar 0,5%; dan fikobilliprotein sebesar 20%
dari berat sel. Fikobilliprotein ini biasanya terdapat dalam struktur granula fikobillisom
yang berguna untuk menyerap cahaya dan untuk melindungi pigmen fotosintesis
terhadap cahaya yang dapat mengoksidasi. Saranraj dan Sivasakthi (2014) serta Sarada
et al. (1998) menambahkan bahwa penyusun fikobilliprotein adalah allophcocyanin,
phycoerythrin dan yang paling banyak adalah phycocyanin. Perbedaannya adalah pada
gugus proestetik tertrapirol linear yang berbeda pada ikatan rangkapnya. Oleh karena itu
digunakan Spirulina platensis sebagai penghasil pigmen fikosianin penghasil warna biru
alami. Pigmen tersebut memiliki karakteristik larut dalam air (pelarut polar) (Spolaore
et al., 2006; Saranraj dan Sivasakthi, 2014). Ketika Spirulina sp yang digunakan
berbentuk koloni besar, maka warna yang dihasilkan adalah biru kehijauan (agak gelap)
yang disebabkan karena kandungan klorofil yang besar.
Colla (2005) menambahkan bahwa Spirulina platensis dapat membentuk populasi yang
besar di dalam air, di mana ia mengandung banyak karbonat dan pH nya berkisar di
angka 11 (basa). Mikroalga ini selain mengandung pigmen yang dapat dimanfaatkan
sebagai pewarna alami, juga mengandung nutrisi lain seperti provitamin, mineral,
protein, lemak tidak jenuh hingga asam amino esensial berupa gamma-linoleat (Hanaa
et al., 2004).
Menurut Ó Carra & Ó heocha (1976) fikosianin yang dapat ditemukan pada Spirulina
platensis ini memiliki sifat tidak tahan panas karena dapat mengalami kerusahakan
ketika terekspos suhu tinggi. Larutan fikosianin mampu mengalami degradasi warna
hingga mencapai 30% setelah disimpan selama 5 hari. Selanjutnya jika diteruskan
9
hingga penyimpanan hari ke-15 pada suhu ruang, maka warna larutan menjadi bening.
Berikut adalah gambar struktur fikosianin:
Gambar 1. Struktur fikosianin
Berdasarkan pendapat Romay et al. (1998) bahwa fikosianin terdiri dari struktur
tertrapirol terbuka yang mampu mengikat atau mengangkap radikal oksigen. Fikosianin
ini mampu menangkap radiasi sinar matahari yang mana tergolong paling efisien jika
dibanidngkan dengan klorofil dan karotenoid. Estrada et al. (2001) dan Eriksen (2008)
menambahkan bahwa fikosianin memiliki kelebihan sebagai pewarna biru yaitu sifatnya
yang tahan terhadap oksidasi sehingga aman untuk manusia dan dapat menetralisir
radikal bebas. Warna biru dari fikosianin ini berasal dari adanya ikatan kovalen pada
rantai kromofors tetrapirol terbuka dengan cincin fikobillin sehingga memiliki
kemampuan dalam mengikat radikal oksigen (Saranraj dan Sivasakthi, 2014). Selain itu
menurut Prasanna et al. (2007) dan Saranraj dan Sivasakthi (2014) fikosianin memiliki
aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan alpha-tocoferol atau
zeaxanthin sehingga mampu menekan terjadinya kanker pada manusia. Kelebihan
lainnya terkait dengan aktivitas antioksidan adalah tidak hilangnya kemampuan tersebut
meskipun Spirulina sp dikeringkan. Thompson (2011) menambahkan bahwa aktivitas
antioksidan tersebut didasarkan pada adanya ikatan pada rantai tetrapirol terbuka yang
memiliki struktur mirip dengan bilirubin dimana struktur terbuka tersebut
memungkinkan adanya pengikatan terhadap senyawa radikal bebas.
Ditinjau dari kestabilannya terhadap cahaya dan panas, fikosianin merupakan pigmen
yang tidak tahan panas dan cahaya, serta asam. Fikosianin mengalami pemudaran warna
(degradasi warna) pada suhu lebih dari 45ºC atau pada pH di bawah 4. Fikosianin
cenderung stabil pada kisaran pH 4-9. Namun disamping kelemahannya terhadap
10
cahaya dan panas serta asam, fikosianin merupakan pigmen penghasil warna biru yang
paling cerah dan cemerlang (Yan et al., 2011).
Menurut Thompson (2011) untuk memperpanjang umur simpan dari fikosianin
sehingga warnanya tetap terjaga adalah dengan penambahan dekstrin ke dalam larutan
Spriulina. Desktrin adalah polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisa pati, yang
produksinya ditentukan oleh enzim tertentu dan berwarna putih hingga kuning. Dekstrin
dapat juga dihidrolisis oleh larutan asam. Dekstrin bersifat larut dalam air, mudah
terdispersi, dan cair. Cara kerja dekstrin dalam menghambat penurunan intensitas warna
dari fikosianin adalah dengan melindungi atau memerangkap pigmen fikosianin.
Fennema (1985) menambahkan bahwa dekstrin sangat larut dalam pelarut polar, seperti
air namun sukar larut dalam pelarut non-polar seperti alkohol. Hal tersebut terjadi
karena unit penyusun dekstrin adalah glukosa yang bersifat hidrofilik. Suparti (2000)
menambahkan bahwa dekstrin cenderung stabil pada suhu tinggi dan mampu
melindungi komponen volatil dari penguapan akibat pemanasan, dan kestabilannya itu
lebih tinggi daripada pati. Hal tersebut dibuktikan dari jarang terjadinya pengendapan
dekstrin ketika dilarutkan di dalam air. Berdasarkan paparan di atas maka dekstrin dapat
digunakan sebagai penstabil dalam bahan pangan, terkhusus dalam praktikum ini adalah
pigmen fikosianin. Ketika di dalam larutan fikosianin ditambahkan dekstrin maka
fikosianin akan terenkapsulasi atau terperangkap sehingga pigmen terlindungi. Dekstrin
juga mampu meningkatkan presentase berat produk bubuk.
3.2. Ekstraksi Fikosianin
Isolasi fikosianin ini diawali dengan pelarutan biomassa Spirulina platensis dalam
aquades dengan perbandingan 1:10. Penggunaan Spirulina platensis ini menurut Belay
(2008) dan Mani et al. (2008) dalam Diaa A.M. et al. (2013) dikarenakan mudah
dikultur, dipanen dan dikeringkan. Menurut Syah et al. (2005) aquades digunakan
sebagai pelarut polar yang dapat melarutkan fikosianin yang ada di dalam Spirulina sp.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa fikosianin merupakan pigmen yang larut dalam
pelarut polar seperti air atau aquades. Jumlah fikosianin dalam biomassa tersebut
ditentukan oleh jumlah suplai nitrogen yang ada di dalam Spirulina sp yang digunakan.
Kemudian dilakukan pengadukan mengunakan stirrer selama 2 jam. Menurut Silveira et
11
al. (2007) pengadukkan berfungsi untuk menghomogenkan larutan Spirulina sp dengan
aquades dan memberikan peningkatan kontak antara aquades dengan fikosianin
sehingga ekstraksi berlangsung optimal. Setelah itu disentrifugasi selama 10 menit
dengan kecepatan 5000 rpm hingga didapatkan endapan dan supernatan atau cairan
berisi fikosianin. Silveira et al. (2007) menambahkan bahwa sentrifugasi dilakukan
supaya larutan Spirulina sp dan fikosianin dapat dipisahkan, dimana fikosianin sendiri
terdapat pada bagian cairannya.
Cairan diambil dan diencerkan hingga pengenceran 10-2. Pengenceran ini bertujuan agar
larutan tidak terlalu pekat sehingga absorbansi tidak akurat. Supernatan yang sudah
diencerkan diukur absorbansinya (kadar fikosianin) menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 615 nm dan 652 nm. Menurut Prabuthas et al. (2011)
pengukuran tingkat kemurnian dari fikosianin dievaluasi berdasarkan rasio absorbansi.
Lorenz dalam Saranraj dan Sivasakthi (2014) menambahkan bahwa selama proses
spektrofotometer, energi cahaya akan tertangkap dan ditransfer menuju klorofil a oleh
bantuan c-phycocyanin. Sarada et al. (1998) menambahkan bahwa memang untuk
mengetahu konsentrasi fikosianin dilakukan pengukuran absorbansi pada panjang
gelombang 615 nm dan 652 nm.
Selanjutya supernatan tadi ditambahkan dengan dekstrin dengan perbandingan
supernatan:dekstrin 8:9 (kelompok E1, E2, E3) dan perbandingan 1:1 (kelompok E4 dan
E5). Menurut Thompson (2011) dekstrin berperan dalam mencegah kerusakan pigmen
akibat panas, memperbesar volume produk bubuk dan mempercepat pengeringan, dan
juga meningkatkan total padatan. Kerusakan pigmen dapat dihambat oleh penambahan
dekstrin karena ketika di dalam larutan fikosianin ditambahkan dekstrin maka fikosianin
akan terenkapsulasi atau terperangkap sehingga pigmen terlindungi dari proses
pengeringan. Dekstrin dapat membawa bahan pangan aktif seperti flavor dan pewarna
karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam air. Peningkatan berat bubuk dengan
adanya dekstrin disebabkan karena dekstrin bersifat sebagai filler atau bahan pengisi.
Setelah tercampur rata, lalu dituangkan ke wadah untuk alas dalam proses pengeringan.
Kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45ºC. Menurut Chandra (2011)
pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air di dalam produk sehingga diperoleh
12
produk yang kering. Penggunaan suhu di bawah 60ºC menurut Desmorieux dan Dacaen
(2006) disebabkan karena pada suhu di atas 60ºC fikosianin dapat terdegradasi dan
memunculkan reaksi Maillard. Selain itu menurut Metting dan Pyne (1986) pengeringan
dengan oven sudah tepat dibandingkan dengan menggunakan matahari langsung. Hal ini
dikarenakan ketika dikeringkan secara langsung dengan matahari maka akan terbentuk
aroma yang tidak enak dan menimbulkan kontaminasi bakteri. Adonan kering yang
terbentuk dihancurkan dan dihaluskan hingga terbentuk bubuk pewarna. Pada dasarnya
menurut Suhartono (2000) fikosianin berupa bubuk atau serbuk memiliki umur simpan
yang lebiht inggi daripada wujudnya yang cair. Sehingga dapat dimanfaatkan lagi untuk
digunakan sebagai pewarna. Menurut Saranraj dan Sivasakthi (2014) kondisi optimal
untuk mengekstraksi Spirulina platensis adalah pada suhu 25ºC. Konsentrasi fikosianin
yang dihasilkan dapat dihitung dengan rumus:
Konsentrasi fikosianin (KF) = OD615−0,474 (OD652)
5,34x
1fp
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, didapatkan nilai OD (optical density)
yang berbeda. Hal ini disebabkan karena menurut Fox (1991) nilai OD ditentukan oleh
kejernihan dan konsentrasi dari larutan yang diuji. Ketika larutan uji semakin pekat dan
tinggi konsentrasinya maka nilai OD akan semakin tinggi. Namun ketika dicermati
dapat dilihat bahwa nilai OD antar kelompok tidak jauh berbeda satu sama lain.
Sedangkan jika ditinjau dari nilai konsentrasi fikosianin didapatkan kisaran 0,886
mg/ml hingga 1,070 mg/ml. Kemudian setelah dikeringan dan ditumbuk dihasilkan
serbuk fikosianin (yield) dengan kisaran 6,202 mg/g hingga 7,493 mg/g. Berdasarkan
paparan tersebut diketahui bahwa konsentrasi fikosianin berbanding lurus dengan yield
yang dihasilkan, di mana semakin tinggi konsentrasi fikosianin yang didapatkan maka
yield yang dihasilkan akan semakin tinggi. Menurut Abalde et al. (1998) dan Reis et al.
(1998) dalam Prabuthas et al. (2011) yield fikosianin yang dihasilkan ditentukan oleh
metode penggangguan selular (disrupsi sel), tipe dari larutan yang digunakan dan
lamanya proses ekstraksi. Prabuthas et al. (2011) menyatakan bahwa pelarut yang baik
untuk proses ekstraksi fikosianin adalah kalsium klorida dengan bantuan ultrasound.
13
Selain itu dilakukan pengamatan terhadap warna sebelum dioven dan setelah dioven.
Secara keseluruhan warna yang dihasilkan adalah warna biru. Hal ini sudah sesuai
dengan teori Romay et al. (2003) bahwa fikosianin yang ada di dalam Spriulina sp
memiliki warna biru. Dapat diamati bahwa setelah dioven, warna yang dihasilkan
cenderung lebih muda daripada sebelum dioven. Hal ini menurut Angka dan Suhartono
(2000) adanya penambahan dekstrin yang terlalu tinggi akan menghasilkan bubuk
fikosianin yang semakin muda atau pucat. Namun dijumpai juga ada beberapa
kelompok yang setelah pengovenan tidak terjadi perubahan warna. Hal ini menurut
Thompson (2011) dikarenakan adanya dekstrin dengan konsentrasi yang tinggi mampu
melindungi fikosianin dengan cara membungkus atau mengenkapsulasi fikosianin
sehingga pemudaran warna dapat dihambat. Perbedaan dari hasil yang diperoleh antar
kelompok disebabkan karena menurut Day & Underwood (1992) ada beberapa faktor
yang mempengaruhi proses penelitian ini, yaitu kotornya kuvet sehingga akan
berpengaruh terhadap OD yang dihasilkan, dan juga adanya kesalahan pada tahap awal
penimbangan.
4. KESIMPULAN
Spirulina sp merupakan mikroalga yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami
karena di dalamnya terkandung pigmen fikosianin berwarna biru.
Fikosianin memiliki karakteristik larut dalam air, mudah rusak karena cahaya, pH
dan suhu tinggi.
Karena karakteristiknya yang larut dalam air maka ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan aquades.
Perlakuan stirrer dilakukan untuk menghomogenkan larutan dan meningkatkan
optimalisasi dalam pengekstrakkan fikosianin.
Dekstrin ditambahkan untuk mencegah kerusakan fikosianin akibat suhu tinggi saat
pengovenan karena fikosianin terenkapsulasi oleh dekstrin.
Sentrifugasi dilakukan untuk mendapatkan fikosianin.
Proses penurunan kadar air berguna supaya fikosianin berada dalam bentuk bubuk
yang mana umur simpannya menjadi lebih lama.
Konsentrasi fikosianin berbanding lurus dengan yield yang dihasilkan.
Adanya penambahan dekstrin yang melindungi fikosianin terbukti dari tidak adanya
perubahan yang terlalu jauh dari warna sebelum dan sesudah pengovenan.
14
Semarang, 30 Oktober 2014
Liem, Pamela Lukito13.70.0014
Asisten Dosen:Deanna SuntoroFerdyanto Juwono
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka,S.I.dan Suhartono MT.(2000). Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB.
Astawan M, Kasih AL. (2008). Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 161-184.
Chandra, Budi Atrika. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Colla, L. M . (2005). Production of Biomass and Nutraceutical Compounds by Spirulina platensis under Different Temperature and Nitrogen Regimes. Journal of Bioresource Technology. Elsevier. Brazil.
Day, R.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
Desmorieux H. Decaen N. (2006). Convective drying of Spirulina in thin layer. Journal Of Food Engineering, 77:64-70.
Diaa A.M., Mohamed M.N., Yousef Y.S., Zakaria Y.D., Aziz M.H. (2013). Impact of Culturing Media on Biomass Production and Pigments Content of Spirulina platensis. International Journal of Advanced Research. Volume 1 Issue 10: 951-961.
Eriksen, N.T. (2008). Production of phycocyanin-a pigment with application in biology, biotecnology, food and medicine (abstract). J. Appl. Microbiol. Biotechnol. 80 (1): 1-14.
Estrada, J,E.P., P.B. Bescos, & A.M. V. Fresno. (2001). Anti oxidant activity of different fractions of Spirulina platensis protean extract. Il Farmaco 56: 497- 500.
Fennema, D. R. (1985). Food Chemistry, Third Edition. Marcel Dekker Inc. New York.
Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.
Hanaa H. Abd El-Baky, Farouk K. El Baz And Gamal S. El-Baroty. (2004). Production of Antioxidant by the Green Alga Dunaliella salina. International Journal of Agriculture and Biology.
15
16
Metting, B. and Pyne, J.W. (1986). Biologically Active Compounds from Microalgal.
Ó Carra P, Ó hEocha C. (1976). Algal Biliproteins and Phycobilins. Goodwin TW, editor. Chemistry and Biochemistry of Plant Pigments. Academic press inc. London.
Prabuthas, P., Majumdar S., Srivastav P.P., & Mishra H.N. (2011). Standarization of rapid and economical method for nutraceuticals extraction from algae. J. Stored Products and Post Harvest Res. 2(25): 93-96.
Saranraj dan Sivasakthi. (2014). Spirulina platensis – Food For Future: A Review. Asian Journal of Pharmaceutical Science and Technology. Volume 4 Issue 1: 26-33.
Sudha M., Kavimani S. (2011). The Protective Role of Spirulina on Doxorubicin Induced Genotoxicity in Germ Cells of Rats. International Journal of Pharma and Bio Sciences. Vol 2 Issue 3 ISSN 0975-6299.
Zahroojian N., Moravej H., Shivazad M. (2013). Effects of Dietary Marine Algae (Spirulina platensis) on Egg Quality and Production Performance of Laying Hens. Journal of Agricultural Science Technology. Volume 15: 1353-1360.
Prasanna, R., A. Sood, A. Suresh, S. Nayak, & B.D. Kaushik. (2007). Potential and aplications of algal pigment in biology. .Acta Botan. Hungaria 49 (1- 2): 131-156.
Richmond A. (1988). Spirulina. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ, editor. Micro-algal biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge.
Romay C, González R, Ledón N, Remirez D, Rimbau V.(2003). C-phycocyanin: a biliprotein with antioxidant, anti-inflammatory and neuroprotective effects. Current Protein and Peptide Science 4:207-216.
Romay C, Armesto J, Remirez D, González R, Ledón N, García I. (1998). Antioxidant and anti-inflammatory properties of c-phycocyanin from blue-green algae.Inflammation Research 47:36-41.
Sarada, R, Manoj G. Pillai, G. A. Ravishankar. (1998).Phycocyanin from Spirulina sp: influence of processing of biomass on phycocyanin yield, analysis of efficacy of extraction methods and stability studies on phycocyanin. Process Biochemistry 34: 795 – 801.
Silveira, S. T.; Burkert, J. F. M.; Costa, J. A. V.; Burkert, C. A.V.; Kalil, S. J.;(2007). Bioresour. Technol. 2007, 98, 1629.
Spolaroe P, Joanis CC, Duran E, Isambert A. (2006). Comercial Application of Microalgae Review.J Biosci and Bioeng. 101 (2): 87-96.
17
Suhartono TS. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat. Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.
Suparti, W. (2000). Pembuatan Pewarna Bubuk dari Ekstrak Angkak: Pengaruh Suhu, Tekanan dan Konsentrasi Dekstrin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Brawijaaya. Malang.
Sutomo. (2005). Kultur Tiga Jenis Mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp.dan Chaetoceros gracilis) dan Pengaruh Kepadatan Awal Terhadap Pertumbuhan C. Gracilis di Laboratorium. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia; 37:43-58. Pusat Penelitian Oseanografi.
Syah, Dahrul; S. Utama & Z. Mahrus. (2005). Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Thompson, Caroline. (2011). What Is Wheat Dextrin? http://www.livestrong.com/article/499266-what-is-wheat-dextrin/ Diakses pada 29 Oktober 2015 pukul 21.37 WIB.
Tietze HW. (2004). Spirulina Micro Food Macro Blessing. Ed ke-4. Australia: Haralz W Tietze Publishing.
Yan, S., Zhu LP, Su HN, Zhang XY, Chen XL, Zhou BC, Zhang YZ. (2011). Single-step chromatography for simultaneous purification of C-phycocyanin and allophycocyanin with high purity and recovery from Spirulina (Arthrospira) platensis. J. Appl. Phycol. 23: 1-6.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Konsentrasi Fikosianin (mg/ml)=OD615−0,474 (OD 652 )
5,34×
1faktor pengenceran
Yield (mg/g)=KF ×vol (total filtrat)
g (berat biomassa)
E1
Konsentrasi Fikosianin =0,0551−0,474 (0,0164 )
5,34×
1
10−2
= 0,886mg /ml
Yield ¿ 0,886 ×568
¿6,202 mg / g
E2
Konsentrasi Fikosianin =0,0575−0,474 (0,0164 )
5,34×
1
10−2
= 0,931 mg /ml
Yield ¿ 0,931× 568
¿6,517 mg / g
E3
Konsentrasi Fikosianin =0,0647−0,474 (0,0159 )
5,34×
1
10−2
= 1,070 mg /ml
Yield ¿ 1,070× 568
18
¿7,493 mg / g
E4
19
20
Konsentrasi Fikosianin =0,0613−0,474 (0,0144 )
5,34×
1
10−2
= 1,020 mg /ml
Yield ¿ 1,020× 568
¿7,140 mg / g
E5
Konsentrasi Fikosianin =0,0613−0,474 (0,0176 )
5,34×
1
10−2
= 1,012mg /ml
Yield ¿ 1,012× 568
¿7,084 mg / g
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
top related