evaluasi gambaran klinis persembuhan...
Post on 06-Feb-2018
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EVALUASI GAMBARAN KLINISIMPLAN HIDROKSIAPATIT KITOSAN (HA
DENGAN HIDROKSIAPATIT TTKF) PADA DOMBA LOKAL (
FAKULTAS INSTITUT PERTANIAN BOGOR
GAMBARAN KLINIS PERSEMBUHAN HIDROKSIAPATIT KITOSAN (HA-KITOSAN) HIDROKSIAPATIT TRIKALSIUM FOSFAT (HA
PADA DOMBA LOKAL (Ovis aries) SEBAGAI HEWAN MODEL UNTUK MANUSIA
GENDIS AURUM PARADISA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERSEMBUHAN TULANG KITOSAN)
RIKALSIUM FOSFAT (HA-) SEBAGAI HEWAN
RINGKASAN
GENDIS AURUM PARADISA. Evaluasi Gambaran Klinis Persembuhan Tulang Implan Hidroksiapatit Kitosan (HA-Kitosan) dengan Hidroksiapatit Trikalsium Fosfat (HA-TKF) pada Domba Lokal (Ovis aries) sebagai Hewan Model untuk Manusia. Dibimbing oleh GUNANTI dan HARRY SOEHARTONO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses persembuhan tulang dengan implan tulang hidroksiapatit kitosan (HA-Kitosan) dan hidroksiapatit trikalsium fosfat (HA-TKF) yang diujicobakan pada domba lokal dilihat dari gambaran klinis. Parameter yang diamati berupa suhu tubuh, frekuensi jantung, frekuensi nafas dan keberadaan kalus pada tulang. Domba yang digunakan adalah domba lokal berjumlah 6 ekor yang sehat secara klinis. Domba dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama sebanyak 3 ekor domba menerima implan HA-Kitosan dan kelompok kedua sebanyak 3 ekor domba menerima implan HA-TKF. Pengamatan yang dilakukan yaitu pemeriksaan klinis pre operasi dan post operasi yang dilakukan setiap hari hingga domba dipanen. Hasil pengamatan menunjukkan pemberian implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak mengganggu fisiologis suhu tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas domba dan tidak memperlama peradangan serta tidak menimbulkan respon imun. Baik implant HA-Kitosan maupun HA-TKF dapat diterima dengan baik oleh tubuh dan tidak mengganggu fisiologis tubuh namun pemberian implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak mempercepat persembuhan tulang. Kata kunci: suhu tubuh, frekuensi jantung, frekuensi nafas, persembuhan tulang, implan tulang, hidroksiapatit, kitosan, trikalsium fosfat, domba lokal.
ABSTRACT
GENDIS AURUM PARADISA. Evaluation Clinical View between Bone Healing Implant of Hydroxyapatite-Chitosan (HA-Chitosan) with Hydroxyapatite-Tricalcium Phosphate (HA-TCP) in Local Sheep as Animal Model for Human. Under the supervision of GUNANTI and HARRY SOEHARTONO.
The aim of this study was to evaluate clinical view between bone healing process of implanted hydroxyapatite-chitosan (HA-Chitosan) with hydroxyapatite-tricalcium phosphate (HA-TCP) in local sheep. Six healthy sheep were divided into two groups. Three sheep received HA-chitosan implant, while the others received HA-TCP implant. Observations were carried out by clinical examination of pre-surgery and post-surgery until sheep were harvested. The result showed that implantation of HA-Chitosan and HA-TCP did not interfere the physiological of body temperature, heart rate and respiratory rate of sheep, also did not prolong the inflammation and did not generate an immune response. Both HA-chitosan and HA-TKF implant were well tolerated by the body and did not interfere the physiological body but the implant of HA-Chitosan and HA-TKF did not accelerate bone healing. Keywords: temperature, heart rate, respiratory rate, bone healing, bone implant, hydroxyapatite, chitosan, tricalsium phosphate, local sheep.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EVALUASI GAMBARAN KLINIS PERSEMBUHAN TULANG IMPLAN HIDROKSIAPATIT KITOSAN (HA-KITOSAN)
DENGAN HIDROKSIAPATIT TRIKALSIUM FOSFAT (HA-TKF) PADA DOMBA LOKAL (Ovis aries) SEBAGAI HEWAN
MODEL UNTUK MANUSIA
GENDIS AURUM PARADISA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Judul Skripsi : Evaluasi Gambaran Klinis Persembuhan Tulang Implan Hidroksiapatit Kitosan (Ha-Kitosan) dengan Hidroksiapatit Trikalsium Fosfat (HA-TKF) pada Domba Lokal (Ovis aries) sebagai Hewan Model untuk Manusia
Nama : Gendis Aurum Paradisa NIM : B04061575
Disetujui
Dr. drh. Hj. Gunanti, MS drh. R. Harry Soehartono, M.App. Sc, Ph.D Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan Maret
hingga Juli 2009 dengan judul Perbandingan Klinis Persembuhan Tulang Implan
Hidroksiapatit Kitosan (Ha-Kitosan) dengan Hidroksiapatit Trikalsium Fosfat
(HA-TKF) pada Domba Lokal (Ovis aries) sebagai Hewan Model untuk Manusia.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Keluarga tercinta (Papa Lebdo Atmoko, Mama Stri Rina Nugrahan, serta kedua
adik yaitu Gilang Talenta Atmoko dan Garnis Aurora Nirvana) atas dukungan,
semangat, doa dan kasih sayang yang telah diberikan.
2. Dr. drh. Hj. Gunanti, MS dan drh. R. Harry Soehartono, M.App. Sc, Ph.D
selaku pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik,
perhatian dan kesabaranya dalam membimbing penulis.
3. Prof. Djarwani dan Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc atas kerja samanya
4. Dr. Drh. Risa Tiuria. MS, selaku dosen pembimbing akademik.
5. Drh. Riki Siswandi, Drh. Fakhrul Ulum, Pak Katim, Pak Kosasih dan Pak
Dahlan atas bantuan yang telah diberikan selama berjalanya penelitian.
6. Rekan-rekan sepenelitian (Shakerz), (Asmawati, Ayu Berlianty, Dwi Kolina,
Rachmat Ayu Dewi Haryati, Raditya Pradana Putra dan Shanti Purwanti) atas
kerjasama, dukungan, semangat dan kebersamaanya selama penelitian
berlangsung.
7. Harlendo Swedianto atas bantuan, dukungan, semangat, perhatian, pengertian,
cinta dan kasih sayangnya.
8. Sahabat-sahabat terbaik (Ivone Noor Arifin, Trie Yulianty dan Melati
Anggraini), dan teman-teman Aesculapius 43 atas semangat, dukunganya dan
bantuanya dalam penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Oktober 2010
Gendis Aurum Paradisa
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah pada tanggal 10 Febuari 1989
dari ayah Lebdo Atmoko dan ibu Stri Rina Nugraha. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 81 Jakarta dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru.
Penulis memilih program studi Kedokteraan Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan
Belajar Mahasiswa. Penulis juga aktif menjadi anggota Divisi Olahraga, Seni dan
Budaya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM FKH)
2007-2008, Sekretaris II Komunitas Seni STERIL 2007-2008, anggota Divisi
Eksternal Himpunan Minat Profesi Satwa Liar (Satli) 2007-2008 dan sekretaris I
Komunitas Seni STERIL 2008-2009.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... vi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………..…...……... 1
1.2 Tujuan Penelitian…………………………………………………… 3
1.3 Manfaat Penelitian………………………………………………….. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Domba Lokal……………………………………………………….. 4
2.2 Suhu Tubuh, Denyut Jantung/Pulsus dan Nafas……………………. 5
2.2.1 Suhu Tubuh………………………………………..…............ 5
2.2.2 Frekuensi Jantung……………………………………..……... 6
2.2.3 Nafas………………………………………………………… 7
2.3 Tulang……………………………………………………….……… 8
2.4. Persembuhan Tulang……………………………………..………… 10
2.4.1 Peradangan…………………………………………………… 13
2.5. Implan Tulang (Bone Graft)………………………………………... 14
2.5.1 Hidroksiapatit (HA)…………………………………………. 16
2.5.2 Trikalsium Fosfat (TKF).……………………………………. 17
2.5.3 Kitosan.…………………………………………………........ 18
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian…………………….…………..…….. 19
3.2 Materi Penelitian……………………………………………………. 19
3.2.1 Alat Penelitian………………………………………….......... 19
3.2.2 Metode Penelitian………………………………………........ 19
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pemeriksaan Fisik……………………………………………... 23
4.1.1 Suhu Tubuh…………………………………………………... 23
4.1.2 Frekuensi Jantung……………………………………………. 24
4.1.3 Frekuensi Nafas……………………………………………… 25
4.2 Data Persembuhan Tulang………………………………………….. 26
4.2.1 Keadaan Kalus pada Tulang…………………………………. 26
4.2.2 Peradangan…………………………………………………… 27
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan……………………………………………………………. 30
5.2 Saran………………………………………………………………… 30
6. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Rataan parameter peradangan mulai hari pertama pembentukan
kalus domba pada persembuhan implan tulang disetiap
kelompok perlakuan dan kontrol positif……….……………… 28
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Domba Lokal……………………………………………... 4
Gambat 2 Pori pada Tulang………………………………………….. 9
Gambar 3 Proses Persembuhan Tulang…………………………….... 11
Gambar 4 Pemeriksaan suhu tubuh………………………………….. 21
Gambar 5 Pemeriksaan frekuensi jantung……...………...…….……. 21
Gambar 6 Pemeriksaan frekuensi nafas…………………………….... 21
Gambar 7 Penggantian verban……………………………………….. 21
Gambar 8 Peradangan………………………………………………... 21
Gambar 9 Pengukuran panjang kalus………………………………... 22
Gambar 10 Pengukuran lebar kalus………………………………….... 22
Gambar 11 Pengukuran tinggi kalus…………………………………... 22
Gambar 12 Rataan suhu tubuh domba pada persembuhan implan
tulang disetiap kelompok perlakuan.……………………... 23
Gambar 13 Rataan frekuensi jantung domba pada persembuhan implan
tulang disetiap kelompok perlakuan.……………………... 24
Gambar 14 Rataan frekuensi nafas domba pada persembuhan implan
tulang disetiap kelompok perlakuan.……………………... 25
Gambar 15 Rataan persembuhan tulang (panjang, lebar dan tinggi
kalus) domba pada persembuhan implan tulang disetiap
kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol
positif.…………………………………………………….. 26-27
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Implan tulang atau bone graft merupakan peletakkan tulang baru atau
material pengganti ke dalam ruang disekitar tulang rusak atau fraktur dalam
membantu penyembuhan tulang (Chen 2008). Implan tulang digunakan untuk
memperbaiki fraktur tulang komplek yang dapat membahayakan kesehatan atau
untuk tulang yang gagal sembuh dengan baik. Selanjutnya implan tulang dapat
memperbaiki kerusakan tulang oleh penyakit kongenital, cedera traumatis atau
operasi kanker tulang atau rekonstruksi wajah (Laurencin 2009).
Jenis dan sumber jaringan pada implan tulang dapat dibagi menjadi
autograft (tulang berasal dari individu penerima implan tersebut), allograft
(tulang berasal dari individu pendonor), xenograft (tulang substitusi berasal dari
spesies lain seperti sapi). Autograft dan allograft memberikan manfaat namun
masing-masing memiliki keterbatasan sehingga dalam persembuhan tulang
dibutuhkan alternatif jenis dan sumber jaringan. Alternatif dapat menggunakan
berbagai material termasuk polimer alam, polimer sintetik, keramik dan komposit
(Laurencin 2009). Salah satu alternatif yang banyak digunakan adalah varian
sintetik yaitu implan tulang terbuat dari keramik seperti kalsium fosfat (misalnya
hidroksiapatit dan trikalsium fosfat) (Anonim1 2010) dan polimer seperti kitosan.
Material hidroksiapatit (HA) [Ca10(PO4)6(OH)2] dikembangkan sebagai
tulang sintetis di banyak penelitian. HA memiliki sifat berpori, terserap tulang
(resorbsi), bioaktif, tidak korosi, inert dan tahan aus, walaupun HA memiliki
kelemahan yaitu getas dan mudah patah (Putri 2008), sehingga penggunaan HA
sering dikombinasikan dengan material lainnya. Penelitian ini menggunakan
hidroksiapatit-trikalsium fosfat (HA-TKF) dan hidroksiapatit-kitosan (HA-
kitosan) sebagai material implan tulang untuk regenerasi tulang.
Trikalsium fosfat (TKF) [Ca3(PO4)2] adalah keramik berpori yang memiliki
sifat biologis non-reaktif dan resorbable, bertindak sebagai scaffold untuk
pertumbuhan ke dalam tulang sehingga penggantian tulang dapat mengalami
degradasi progresif (Lange et al. 1986). Kalsium hidroksiapatit dan trikalsium
fosfat adalah keramik bioaktif dan termasuk ke dalam anggota kalsium fosfat
(Keating & Mc Queen 2001; Lane, Tonin & Bostrom 1999; LeGeros 2002, diacu
dalam Sunil, Goel & Rastogi 2008). Penelitian biologi, biomekanik dan histologi
tentang implan HA-TKF ke dalam tulang memiliki sifat osteokonduktif yang baik
dan biokompatibel (Bucholz 1989).
Kitosan adalah biokopolimer yang terdiri dari glukosamin dan N-
acetyloglucosamine yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Memiliki nilai komersial
dan kemungkinan dalam penggunaan sebagai biomedikal. Kitosan berasal dari
cangkang udang dan crustacean laut lainnya, termasuk Pandalus (Shahidi &
Synowieski 1991). Kitosan digunakan sebagai perekat atau implan dalam bedah
ortopedi. Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi scaffold (Ratajska et
al. 2008).
Standar Internasional menyatakan anjing, domba, kambing, babi atau kelinci
adalah spesies yang cocok untuk pengujian bahan implantasi tulang (Ravaglioli et
al. 1996), karena komposisi mineral manusia dan hewan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Penggunaan domba untuk penelitian ortopedi terus
meningkat dikarenakan kemiripan dengan manusia di struktur tulang dan sendi
dan dalam regenerasi tulang (Nunamaker 1989; Augat 1998; Sarkar, Patka, Kinzl
2001, diacu dalam Nuss et al. 2006), serta memiliki dimensi tulang panjang yang
sesuai untuk implantasi pada implan manusia dan prostesis (Newman et al. 1995).
Domba merupakan model yang berharga untuk regenerasi tulang manusia dan
aktivitas remodelling (Chavassieux et al. 1987; den Boer et al. 1999; Pastoureau
et al. 1989, diacu dalam Pearce et al. 2007). Dalam mendukung teori ini,
penelitian yang mengamati pertumbuhan tulang keropos diberi implan di distal
tulang paha domba menunjukkan domba dan manusia memiliki pola yang serupa
dalam pertumbuhan tulang hingga implan terserap dari waktu ke waktu (Pearce et
al. 2007). Alasan ini yang mendasari pemakaian domba sebagai hewan coba
dalam penelitian ini.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses persembuhan tulang
dengan implan tulang HA-Kitosan dengan HA-TKF yang diujicobakan pada
domba lokal dilihat dari gambaran klinis berupa pemeriksaan fisik (suhu tubuh,
frekuensi jantung dan frekuensi nafas) dan persembuhan tulang (keadaan kalus
pada tulang dan peradangan).
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai evaluasi
gambaran klinis pesembuhan tulang implan HA-Kitosan dan HA-TKF yang
diujicobakan pada domba lokal sebagai hewan model untuk penggunaan implan
tersebut pada manusia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Domba Lokal
Taksonomi domba lokal (Ovis aries) yaitu (Herren 2000):
Gambar 1 Domba Lokal
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Caprinae
Genus : Ovis
Spesies : O.Aries
Binomial : Ovis aries
Cara menghitung umur domba dilihat dari gigi depan, sepasang gigi susu
akan digantikan gigi dewasa yang lebih besar setiap tahun. Gigi lengkap domba
dewasa berjumlah delapan gigi depan yang akan lengkap sekitar umur empat
tahun. Gigi depan kemudian berangsur-angsur hilang akibat pertambahan umur
domba (Schoenian 2007).
Domba merupakan salah satu spesies yang cocok untuk pengujian bahan
implantasi tulang (Ravaglioli et al. 1996). Pada periode 1990-2001, pemakaian
domba dalam penelitian ortopedik yang meliputi patah tulang (fraktur),
osteoporosis, bone-lengthening dan osteoarthritis sebanyak 9-12%. Jumlah ini
meningkat dibandingkan pada periode 1980-1989 yang hanya sebanyak 5%
(Martini et al. 2001, diacu dalam Pearce et al. 2007). Peningkatan penggunaan ini
berkaitan dengan isu-isu etis dan persepsi negatif publik terhadap penggunaan
hewan kesayangan untuk penelitian medis. Domba menawarkan keuntungan
untuk digunakan sebagai hewan model implantasi tulang karena domba memiliki
dimensi tulang panjang yang sesuai untuk implantasi pada pengimplanan manusia
dan prostesis (Newman et al. 1995, diacu dalam Pearce et al. 2007). Domba
merupakan model yang berharga untuk regenerasi tulang manusia dan aktivitas
remodelling (Chavassieux et al. 1987; den Boer et al. 1999; Pastoureau et al.
1989, diacu dalam Pearce et al. 2007).
2.2 Suhu Tubuh, Frekuensi Jantung dan Nafas
2.2.1. Suhu Tubuh
Ditinjau dari pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua
golongan yaitu poikiloterm dan homoiterm. Suhu tubuh poikiloterm dipengaruhi
oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu
tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Contoh hewan
berdarah dingin adalah ular dan ikan. Hewan homoiterm sering disebut hewan
berdarah panas (Duke 1995). Hewan berdarah panas suhu tubuh lebih stabil, hal
ini dikarenakan adanya reseptor dalam otak sehingga dapat mengatur suhu tubuh.
Hewan berdarah panas dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang
berbeda disebabkan karena kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan dalam
kelompok ini mempunyai variasi suhu normal yang dipengaruhi oleh faktor umur,
kelamin, lingkungan, panjang waktu siang dan malam dan makanan yang
dikonsumsi (Swenson 1997). Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung
dan mamalia (Guyton & Hall 1993). Domba termasuk hewan berdarah panas.
Suhu tubuh normal pada domba adalah 38,9-40,°C (Kelly 1974).
Suhu tubuh yang dihitung dengan termometer tidak menunjukkan jumlah
total dari panas yang diproduksi, namun hanya merefleksikan keseimbangan
(keadaan tetap) antara produksi panas dan kehilangan panas. Suhu permukaan
kulit biasanya lebih rendah daripada bagian dalam tubuh. Tingginya suhu tubuh
berhubungan penting terhadap kehilangan panas (Kelly 1974).
Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu antara lain:
1. Ukuran hewan, semakin kecil hewan semakin tinggi suhu normal tubuhnya.
2. Jenis kelamin, betina memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada
jantan.
3. Hewan bunting memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi.
4. Umur, hewan muda memiliki suhu normal tubuh lebih tinggi daripada
hewan tua.
5. Aktifitas makan, suhu tubuh hewan meningkat setelah makan, terutama
apabila makan terlalu banyak.
6. Olahraga (exercise).
7. Parturasi.
8. Terkena suhu atmosfer yang tinggi.
9. Excited, ketika hewan excited suhu tubuhnya meningkat.
10. Prosedur dalam pemeriksaan fisik dapat menyebabkan peningkatan suhu
tubuh.
Semua hewan sehat memiliki suhu tubuh bervariasi sepanjang hari. Suhu
rendah pada pagi hari, sedikit meninggi pada tengah hari dan mencapai puncak
sekitar pukul 6 sore hari. Hewan di bawah pengamatan klinis, suhu tubuh
biasanya diukur dua kali sehari (pagi dan malam hari). Perbedaan antara kedua
pembacaan tersebut merupakan variasi harian (Kelly 1974).
2.2.2. Frekuensi Jantung
Frekuensi jantung domba berkisar antara 70-90 denyut/menit (Kelly 1974).
Frekuensi jantung adalah laju jantung berdetak per menit. Peningkatan frekuensi
jantung disebut takikardia sedangkan penurunan frekuensi jantung disebut
bradikardia. Pulsus didapat di arteri femoralis, di atas daerah inguinal, di bagian
medial paha pada domba.
Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi
jantung yaitu:
1. Aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi kerja
jantung.
2. Ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu
ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol
adalah reaksi dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama
pengisian ruangan tersebut.
3. Kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi
jantung.
4. Asetilkolin, dapat mengurangai frekuensi jantung.
5. Adrenalin, dapat menaikkan frekuensi jantung.
6. Atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung.
7. Morphin, dapat memperlambat frekuensi jantung.
8. Suhu tubuh, semakin tinggi suhu maka frekuensi jantung juga semakin
besar.
9. Berat badan, semakin berat badan seseorang atau hewan maka
frekuensi jantung juga semakin besar.
10. Umur, umur muda memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat.
Kelly (1974) menambahkan faktor lain yang mempengaruhi frekuensi
jantung yaitu ukuran hewan, kondisi fisik, jenis kelamin, kebuntingan, parturasi,
laktasi, excitement, olahraga, postur, proses pencernaan makanan, ruminasi dan
suhu lingkungan. Menurut Ville et al. (1988) laju pompa jantung dipengaruhi oleh
aktivitas mamalia atau manusia itu sendiri. Jantung pada berbagai hewan dapat
berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia
sensitif terhadap pasokan oksigen dan suhu (Kay 1998).
2.2.3. Nafas
Bernafas adalah tindakan membawa udara ke dalam dan kemudian
mengeluarkan udara dari paru-paru. Paru-paru adalah struktur komplek yang
dirancang untuk memberikan pertukaran gas yang mudah, terutama oksigen dan
karbon dioksida antara udara dan darah. Kisaran pernafasan normal domba adalah
20-30 nafas/menit (Kelly 1974).
Frekuensi dan ritme pernafasan dapat diketahui dengan menempatkan satu
tangan di daerah flank bawah pada hewan. Frekuensi nafas juga dapat diketahui
dengan memperhatikan pergerakan nostril atau lebih efisien dengan auskultasi
pada thorak atau trakea. Tindakan bernafas diatur secara sengaja dan reflek
dengan memonitor fungsi pusat pernafasan di medulla oblongata. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan frekuensi nafas antara lain excitement, ketakutan, suhu
lingkungan yang tinggi, kelembaban, setelah olahraga dan obesitas (Kelly 1974).
2.3 Tulang
Tulang adalah jaringan biologis dinamis terdiri dari metabolisme sel-sel
aktif yang diintegrasikan ke dalam kerangka kerja yang kaku (Kalfas & FACS
2001). Porsi yang signifikan dari kerangka masih terdiri dari tulang rawan pada
hewan yang baru lahir. Kerangka tulang yang matang berkembang selama
pertumbuhan karena kemampuan sel yang disebut osteosit untuk deposit garam
tulang (terutama garam kalsium) di lamela atau lembaran (Heath & Olusanya
1985).
Kehadiran pembuluh darah sangat penting untuk kehidupan osteosit
sekitarnya dan pemeliharaan tulang itu sendiri. Tulang memiliki pori yang dapat
digunakan sebagai saluran untuk aliran darah dan menyediakan cara tulang untuk
hidup dengan mengusahakan tulang itu sendiri berbaur dengan implan secara
permanen (Schowengerdt 2002). Tulang adalah jaringan hidup dan bahkan pada
hewan dewasa terus-menerus mengalami perubahan. Sel yang disebut osteoklas
menghancurkan tulang tua sementara osteosit memproduksi tulang baru. Pada
orang dewasa tulang dapat membentuk kembali dengan sendirinya sebagai respon
terhadap kerusakan bagian tulang walaupun kemampuan ini berkurang dengan
bertambahnya umur (Heath & Olusanya 1985).
Pada penampang longitudinal dan transversal dari suatu tulang panjang
tampak bahwa tulang terdiri atas dua bagian yaitu substansi compacta dan
substansi spongiosa. Substansi compacta merupakan bagian luar yang padat.
Tebal bagian ini berbeda-beda, tergantung dari pengaruh tenaga tekan dan tarik
yang dialami tulang (Soesetiadi 1977). Substansi spongiosa merupakan bagian
dalam tulang yang terbentuk oleh trabekula-trabekula tipis yang membentuk
jalinan seperti sepon atau bunga karang (spongy) (Astawan 2002). Cavum
medullaris adalah ruangan yang terdapat pada tulang panjang yang berisi sumsum
tulang. Pada hewan muda, sumsum tulang berupa sumsum tulang merah yang
dapat membuat sel-sel darah dan dengan meningkatnya usia, sumsum tulang
merah ini digantikan dengan sumsum tulang kuning yang teridri atas jaringan
lemak biasa (Soesetiadi 1977).
Gambar 2 Pori pada Tulang (Schowengerdt 2002)
Kesatuan struktural yang membentuk tulang dinamakan osteon yang terdiri
atas:
1. Saluran havers, yaitu suatu saluran yang terletak di tengah dan berisi darah
pada hewan muda. Pada hewan dewasa saluran ini kosong. Saluran havers
berjalan sejajar dengan bidang longitudinal dan dapat dihubungkan satu
sama lain oleh saluran volkman.
2. Lamela, yaitu daun-daun yang dibentuk oleh serabut-serabut kolagen
dengan arah yang sejajar dengan bidang longitudinal tulang. Jurusan serabut
kolagen pada suatu lamela bersilangan dengan serabut pada lamel yang ada
disebelahnya.
3. Osteosit, atau sel tulang mempunyai penjuluran yang bercabang.
4. Bahan intraseluler, terdiri atas bahan organik dan anorganik (Soesetiadi
1977).
Tulang merupakan jaringan ikat khusus. Seperti halnya jaringan ikat yang
lain, tulang terdiri dari sel-sel tulang dan matriks, namun pada tulang matriksnya
mengalami mineralisasi. Mineral tulang adalah kalsium fosfat dalam bentuk
kristal hidroksiapatit. Mineralisasi tersebut menyebabkan tulang menjadi jaringan
yang keras sehingga mampu menjadi penunjang dan pelindung (Astawan 2002).
Sel-sel tulang terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Osteoprogenitor, dapat tumbuh dan berkembang menjadi osteoblast.
2. Osteoblast, mensintesis matriks tulang.
3. Osteosit, merupakan perkembangan dari osteoblast yang sudah dikelilingi
oleh matriks hasil sekretanya.
4. Osteoklas, adalah sel yang mampu menyerap tulang (fagositosis) pada
proses pertumbuhan tulang, bisa terletak pada permukaan tulang. Sel
osteoklas tumbuh dari sumsum tulang (Astawan 2002).
Berat tulang sekitar 20% adalah air (Recker 1992, diacu dalam Kalfas &
FACS 2001). Berat tulang kering terdiri atas kalsium fosfat anorganik (65-70%)
dan matriks organik protein fibrous dan kolagen (30-35%) (Copenhaver, Kelly,
Wood 1987, diacu dalam Kalfas 2001). Osteoit adalah matriks organik yang tidak
dimineraliasi yang dikeluarkan oleh osteoblas. Osteosit terdiri dari 90% tipe I
kolagen dan 10% substansi dasar yang terdiri dari protein nonkolagenus,
glikoprotein, proteoglikan, peptida, karbohidrat dan lipid (Prolo 1990, diacu
dalam Kalfas 2001). Isi anorganik tulang terutama terdiri dari kalsium fosfat dan
kalsium karbonat, dengan sedikit magnesium, fluorid dan sodium. Bentuk kristal
mineral hidroksiapatit yang presipitat tersusun teratur disekitar serat kolagen dari
osteoit. Kalsifikasi osteoit awal biasanya terjadi dalam beberapa hari dari sekresi
tetapi lengkap setelah beberapa bulan (Kalfas 2001).
2.4. Persembuhan Tulang
Hewan normal dapat memproduksi dengan segera jaringan embrionik untuk
menyembuhkan bagian yang rusak pada tulang. Proses persembuhan tulang
diawali dengan proses transformasi menjadi fibro kartilago dan kemudian menjadi
tulang, terdapat berturut-turut kalus kartilago dan kalus tulang. Terakhir jika
diterima tersusun dari tulang cancellated. Setelah kalus lengkap dan telah
membentuk penyatuan yang solid antara bagian yang rusak maka kalus berkurang
volumenya kemudian terjadi pemisahan antara fragmen kalus. Ketika pemisahan
telah sedikit, kalus menjadi tidak terasa setelah selang beberapa bulan (Connor
1980). Proses persembuhan tulang dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Proses Persembuhan Tulang (Anonim2 2010)
Persembuhan tulang pada tulang yang patah atau rusak terdiri dari beberapa
fase, yaitu:
1. Fase hematoma
Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh darah sehingga
terdapat penimbunan darah di sekitar fraktur. Pembuluh darah robek dan
membentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Hematoma ini disertai dengan
pembengkakan jaringan lunak. Sel-sel darah membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblas. Ujung tulang yang patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter
dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit pada daerah fraktur
tersebut. Stadium ini berlangsung 24–48 jam (Rizka 2010).
2. Fase proliferatif
Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel-sel periosteal dan endosteal
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum dan sumsum
tulang yang telah mengalami trauma pada stadium ini. Hematoma akan
terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam,
Proses Persembuhan Fraktur
Minggu Ke-1 Minggu Ke-2 sampai ke-3
Minggu Ke-4 sampai ke-16 Minggu Ke-17 sampai seterusnya
Hematoma (atau Inflamasi) Kalus Halus
Kalus Keras Remodelling
osteoblas beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Bersamaan dengan
aktivitas sel-sel sub-periosteal maka terjadi aktifitas sel-sel dari kanalis
medularis dari lapisan endosteum dan dari sumsum tulang masing-masing
fragmen. Proses dari periosteum dan kanalis medularis dari masing-masing
fragmen bertemu dalam satu proses yang sama, proses terus berlangsung
kedalam dan keluar dari tulang tersebut sehingga menjembatani permukaan
fraktur satu sama lain. Saat ini mungkin tampak dibeberapa tempat pulau-
pulau kartilago yang banyak sekali, walaupun adanya kartilago ini tidak
mutlak dalam penyembuhan tulang. Terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah dalam beberapa hari. Sudah
terjadi pengendapan kalsium pada fase ini. Fase berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya (Rizka 2010).
3. Fase pembentukan kalus
Area kecil tulang muda berhenti di sekitar pembuluh darah dalam
seminggu. Tulang dewasa dibentuk lebih lambat di lamella paralel (tulang
lamellar), tenunan tulang ini dibentuk secara cepat disekitar pembuluh darah
di jaringan penghubung muda dan merupakan penanganan luka pertama yang
ideal untuk memperbaiki fraktur dengan tujuan untuk menggantikan dalam
kaitannya dengan bagian tulang lamellar muda (Watson-Jones et al. 1952).
Kalus fibrous terbentuk lalu pada fase ini tulang menjadi osteoporotik
akibat resorbsi kalsium. Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang
kondrogenik dan osteogenik yaitu mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblas dan osteoklas yang mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Sel-sel osteoblas
mengeluarkan matriks intraseluler terdiri dari kolagen dan polisakarida yang
segera bersatu dengan garam-garam kalsium membentuk tulang muda atau
kalus muda. Massa sel yang tebal dengan tulang muda dan kartilago,
membentuk kalus pada permukaan endosteal dan periosteal. Akhir stadium ini
akan terdapat dua macam kalus yaitu didalam disebut kalus internal dan diluar
disebut kalus eksternal. Tulang yang muda (anyaman tulang) menjadi lebih
padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu (Rizka 2010).
4. Fase konsolidasi
Kalus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih lanjut oleh aktivitas
osteoblas, kalus menjadi tulang yang lebih dewasa (mature) dengan
pembentukan lamela-lamela pada fase ini. Proses penyembuhan pada stadium
ini sebenarnya sudah lengkap. Terjadi pergantian kalus fibrous menjadi kalus
primer. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada umur-umur lebih
muda lebih cepat. Secara berangsur-angsur kalus tulang primer diresorbsi dan
diganti dengan kalus tulang sekunder yang sudah mirip dengan jaringan tulang
yang normal. Proses ini lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal (Rizka 2010).
5. Fase remodelling
Kalus tulang sekunder sudah ditimbuni kalsium yang banyak dan tulang
sudah terbentuk dengan baik, serta terjadi pembentukan kembali dari medula
tulang pada fase ini. Apabila penyatuan sudah lengkap, tulang baru yang
terbentuk pada umumnya berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar
maupun di dalam kanal, sehingga dapat membentuk kanal medularis. Kalus
yang sudah mature secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan
yang konstan sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya dengan
mengikuti stres/tekanan dan tarik mekanis, misalnya gerakan, kontraksi otot
dan sebagainya (Rizka 2010).
2.4.1 Peradangan
Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera
(Dorland 2002). Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas),
dolor (rasa sakit) dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima
ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams
1995; Rukmono 1973; Mitchell & Cotran 2003).
Rasa sakit disebabkan oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan
jaringan yang meradang (Abrams 1995; Rukmono 1973). Pembengkakan sebagian
disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan
sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran cairan dan
sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams
1995; Rukmono 1973). Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi
yang hilang (Dorland 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang
telah dikenal akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme
terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams 1995).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah
lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan dan pembengkakan sel jaringan (Guyton & Hall 1993).
2.5. Implan Tulang (Bone Graft)
Bahan yang dapat mengganti tulang disebut sebagai material implan. Implan
tulang atau bone graft adalah prosedur medis penggantian tulang yang rusak atau
hilang dengan implan. Jika implan tulang berhasil, ada kesempatan baik bahwa
area tersebut akan sembuh dengan baik sehingga memungkinkan pasien untuk
menggunakan tulang seperti biasa (Anonim1 2010).
Implan tulang dimungkinkan karena jaringan tulang memiliki kemampuan
untuk regenerasi sepenuhnya jika tersedia ruang untuk tumbuh. Ketika tulang asli
tumbuh, umumnya akan menggantikan material implan sepenuhnya yang
menghasilkan daerah terintegrasi sepenuhnya oleh tulang baru. Mekanisme
biologi menyediakan dasar rasional untuk pengimplanan tulang yaitu
osteokonduktif, osteoinduktif dan osteogenesis (Klokkevold & Jovanovic 2002).
Material implan tulang harus osteokonduktif. Osteokonduksi terjadi ketika
material implan tulang berfungsi sebagai scaffold untuk pertumbuhan tulang baru
yang dihidupkan terus-menerus oleh tulang asli. Osteoblas dari margin kerusakan
pada daerah yang diimplan memanfaatkan material implan tulang sebagai
kerangka yang dapat menyebar dan menghasilkan tulang baru. Osteoinduksi
melibatkan stimulasi sel osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi osteoblas yang
kemudian pembentukan tulang baru dimulai. Material implan tulang yang
osteokonduktif dan osteoinduktif tidak hanya berfungsi sebagai scaffold untuk
menghasilkan osteoblas tetapi juga akan memicu pembentukan osteoblas baru,
secara teoritis mempercepat integrasi dari implan. Osteogenesis terjadi ketika
osteoblas penting yang berasal dari bahan implan tulang berkontribusi untuk
pertumbuhan tulang baru seiring dengan pertumbuhan tulang yang dihasilkan
melalui osteokonduktif dan osteoinduktif (Klokkevold & Jovanovic 2002).
Jenis dan sumber jaringan pada implan tulang yaitu:
1. Autograft
Implan tulang yang melibatkan pemanfaatan tulang yang diperoleh dari
individu penerima implan tersebut. Tulang autologous yang paling banyak
digunakan karena memiliki sedikit resiko dari penolakan implan karena implan
berasal dari tubuh pasien itu sendiri (Wang 2009).
Aspek negatif implan autologous adalah sebuah situs bedah tambahan
diperlukan sehingga menimbulkan nyeri dan komplikasi pasca operasi pada situs
tersebut (Anonim3 2006). Laurencin 2009 juga mengatakan pemanenan autograft
membutuhkan operasi tambahan di lokasi donor yang dapat mengakibatkan
komplikasi sendiri seperti radang, infeksi dan nyeri kronis yang kadang-kadang
lebih lama dari rasa sakit prosedur pembedahan yang asli. Jumlah jaringan tulang
yang dapat dipanen juga terbatas sehingga perlu sumber lain.
2. Allograft
Tulang allograft berasal dari individu pendonor. Tulang allograft diambil
dari kadaver yang telah menyumbangkan tulang mereka sehingga dapat digunakan
untuk orang yang membutuhkan, hal ini biasanya bersumber dari bank tulang
(Anonim1 2010).
Allograft adalah alternatif untuk autograft dan diambil dari donor atau
kadaver, menghindari beberapa kelemahan autograft dengan menghilangkan
morbiditas donor-situs dan masalah suplai yang terbatas. Allograft juga memiliki
resiko yaitu resiko penularan penyakit dari donor kepada penerima.
3. Xenograft
Tulang substitusi xenograft berasal dari spesies lain seperti sapi. Xenograft
biasanya hanya didistribusikan sebagai matriks kaku (Anonim1 2010).
4. Varian Sintetis
Tulang buatan dapat diperoleh dari keramik seperti kalsium fosfat (misalnya
hidroksiapatit dan trikalsium fosfat), bioglass dan kalsium sulfat. Semua yang
secara biologis aktif untuk derajat yang berbeda tergantung pada kelarutan dalam
lingkungan fisiologis (Hench 1991). Material-material ini dapat diolah dengan
faktor pertumbuhan, ion seperti strontium atau dicampur dengan aspirasi sumsum
tulang untuk meningkatkan aktivitas biologis (Anonim1 2010).
Autograft dan allograft memberikan manfaat namun masing-masing
memiliki keterbatasan sehingga dibutuhkan alternatif. Peneliti telah
mengembangkan beberapa alternatif dengan menggunakan dua kriteria dasar
implan yang baik yaitu osteokonduktif dan osteoinduktif, beberapa diantaranya
tersedia untuk penggunaan klinis dan hal lain yang masih dalam tahap
perkembangan. Alternatif dapat menggunakan berbagai material termasuk polimer
alam, polimer sintetik, keramik dan komposit (Laurencin 2009). Salah satu
alternatif yang banyak digunakan adalah varian sintetik yaitu implan tulang
terbuat dari keramik seperti kalsium fosfat (misalnya hidroksiapatit dan trikalsium
fosfat), bioglass dan kalsium sulfat (Anonim1 2010) dan polimer seperti kitosan.
2.5.1. Hidroksiapatit (HA)
Hidroksiapatit (HA) adalah suatu kalsiurn fosfat keramik, terdiri atas
kalsium dan fosfat dengan perbandingan 1:67, berasal dari rangka sejenis binatang
karang dan melalui proses hidrotermal bahan ini akan diubah menjadi HA
[Ca10(PO4MOH)2]. HA memiliki sifat fisis, kimia, mekanis dan bioiogis yang
mirip dengan struktur tulang, melekat pada tulang secara biointegrasi yang berarti
implan yang terbuat dari HA berkontak dan menyatu secara kimiawi dengan
tulang. HA adalah implan tulang sintetik yang paling banyak digunakan saat ini
karena sifat osteokonduksi, keras dan dapat diterima oleh tulang. Penggunaan HA
memiliki banyak keuntungan antara lain sifat biokompatibilitas yang tinggi dan
mempunyai sifat bioaktif, mudah didapat dalam jumlah yang diinginkan dan lain-
lain (Pane 2008). Sifat lain yang dimiliki HA adalah berpori, terserap tulang
(resorpsi), bioaktif, tidak korosi, inert dan tahan aus, walaupun HA memiliki
kelemahan yaitu getas dan mudah patah (Putri 2008), sehingga penggunaan HA
sering dikombinasikan dengan material lainnya.
Sampai dengan 50% dari tulang terdiri dari sebuah bentuk modifikasi dari
mineral anorganik HA. HA dapat ditemukan di gigi dan tulang dalam tubuh
manusia. Oleh karena itu, biasanya digunakan sebagai pengisi untuk
menggantikan tulang yang diamputasi atau sebagai lapisan untuk meningkatkan
pertumbuhan implan menjadi tulang. Kerangka koral dapat diubah menjadi HA
oleh suhu tinggi. Struktur pori HA memungkinkan pertumbuhan ke dalam relatif
cepat (Junqueira et al. 2003).
HA dapat menyatukan pembentukan tulang dan persembuhan lesion selama
tiga bulan tetapi pada lesion besar di tulang panjang setelah 18-24 bulan. Tidak
ada komplikasi seperti kehancuran implan, keadaan sakit yang berulang pada
lesion, reaksi benda asing dan reaksi antigenik dengan HA. Terdapat
pembentukan tulang yang baik, persembuhan lesion dan penyatuan dalam
penggunaan HA. HA adalah substitusi implan tulang yang baik sekali untuk
menunjang kasus ortopedik dan memfasilitasi pembentukan tulang dan
merupakan biokompatibel dan bahan remodeling yang lambat. Percobaan secara
mekanik memperkuat pendapat HA menyatu ke dalam tulang lebih kuat daripada
tulang itu sendiri. Pembentukan tulang dan penggabungan HA baik di semua
kasus (Reddy, Renuka & Swamy 2005). Hubungan HA dengan reaksi imunologi
yaitu saat diimplankan ke hewan atau manusia. HA memproduksi sedikit atau
tidak sama sekali respon tubuh terhadap benda asing (Laksin 1985, diacu dalam
Aprilia 2008) sehingga tidak menimbulkan respon imun berupa respon penolakan
terhadap implan.
2.5.2. Trikalsium Fosfat (TKF)
Trikalsium fosfat (TKF) [Ca3(PO4)2] adalah keramik berpori yang memiliki
sifat biologis non-reaktif dan resorbable, bertindak sebagai scaffold untuk
pertumbuhan ke dalam tulang sehingga penggantian tulang dapat mengalami
degradasi progresif (Lange et al. 1986).
Tahun 1920, Albee dan Morrison melaporkan penggunaan TKF sebagai
stimulus bagi pertumbuhan tulang. Hasil yang didapat yaitu patah tulang dan
kerusakan tulang menunjukkan pertumbuhan tulang yang lebih cepat dan
berikatan ketika TKF disuntikkan ke dalam celah antara ujung tulang daripada
tulang kontrol tanpa perlakuan. TKF banyak digunakan dalam kombinasi dengan
HA karena memberikan efek yang baik yaitu osteokonduksi dan kemampuan
diresorbsi. HA dan TKF juga merupakan bahan sintetik yang memiliki umur
simpan panjang, menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal, memiliki resiko
penularan agen dan reaksi imunologi yang rendah (Wounds 2002).
2.5.3. Kitosan
Kitosan adalah biokopolimer yang terdiri dari glukosamin dan N-
acetyloglucosamine yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Memiliki nilai komersial
dan kemungkinan dalam penggunaan sebagai biomedikal. Kitosan berasal dari
cangkang udang dan crustacean laut lainnya, termasuk Pandalus (Shahidi &
Synowieski 1991).
Kitosan dapat digunakan sebagai perekat atau implan dalam bedah ortopedi
(Ratajska et al. 2008), juga dapat meningkatkan rasio persembuhan luka, wound
strength, mendukung pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik dalam
aplikasi pada bidang rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan bakteriostatik
dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008) serta memiliki sifat
biokompatibel dan biodegradabel. Kualitas kitosan yang dimurnikan tersedia
untuk aplikasi biomedis. Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi
scaffold (Ratajska et al. 2008).
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung selama 5 bulan dimulai dari bulan Maret sampai
dengan Juli 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bagian Bedah dan
Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi dan kandang domba
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1. Alat dan Bahan Penelitian
Alat-alat yang digunakan diantaranya timbangan untuk domba, stetoskop,
termometer, stopwatch, wadah plastik untuk makan dan minum, ember, selang air,
kapas, jangka sorong, kasa, plester dan gunting.
Hewan percobaan yang digunakan domba lokal (Ovis aries) yang berjumlah
6 ekor dengan kisaran umur 1,5-2 tahun dan berat badan ±19 kg (rata-rata
18,93±1,04). Domba dalam keadaan klinis sehat dan tidak bunting. Bahan yang
digunakan diantaranya air, pakan berupa konsentrat dan rumput, Rivanol,
Levertrans, Peru Balsem, Gusanex, Iodium Tingture 3%, implan tulang
hidroksiapatit (HA), trikalsium fosfat (TKF) dan kitosan yang diperoleh dari
Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
3.2.2. Metode Penelitian
1. Persiapan hewan
Domba diperiksa keadaan klinis yaitu suhu tubuh, frekuensi jantung dan
frekuensi nafas. Perhitungan parameter frekuensi jantung dan nafas dalam
waktu 15 detik kemudian dikalikan 4 untuk mendapatkan hasil per 1 menit
dengan bantuan stopwatch.
Domba dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri
atas 3 ekor domba penerima implan HA-Kitosan (2 ekor jantan dan 1 ekor
betina) dan 3 ekor domba penerima implan HA-TKF (1 ekor jantan dan 2 ekor
betina). Domba ditempatkan di kandang domba dan setiap domba ditempatkan
di kandang yang berbeda.
2. Adaptasi terhadap lingkungan baru
Adaptasi domba dilakukan dalam lingkungan dan pakan baru untuk
membiasakan hewan dan mengurangi tingkat stres bagi hewan coba selama 1
minggu. Hewan diberi pakan dan air minum pada pagi dan sore hari.
Pakan konsentrat dan rumput diberikan ad libitum pada wadah plastik.
Air juga diberikan ad libitum pada wadah plastik dengan menggunakan selang
air.
3. Penanaman implan HA-Kitosan dan HA-TKF
Penanaman implan dilakukan pada tulang tibia kaki kiri bagian medial
sementara itu tulang tibia kaki kanan sebagai kontrol positif (hanya dilubangi
tanpa diberi implan). Kontrol negatif untuk kisaran suhu tubuh, frekuensi
jantung dan frekuensi nafas domba normal yang didapat dari literatur.
Operasi dilakukan dengan melakukan penyayatan selebar 3-4 cm pada
kulit lalu subkutan kemudian penyayatan otot dan jaringan periosteum dengan
otot disayat sejajar sumbu tulang pada bagian proximomedial tulang tibia kiri
hingga mencapai tulang. Penyayatan dilakukan secara hati-hati agar tidak
mengenai vena saphena dan nervus saphenus. Musculus peroneus tertius akan
tampak di bagian proximokranial sedangkan musculus flexor digitalis pedis
longus akan tampak di bagian proximokaudal. Selanjutnya dilakukan
pembuatan lubang menggunakan bor dengan diameter dan kedalaman yang
disesuaikan dengan ukuran material implan tulang. Material implan tulang
yang berbentuk tabung dengan diameter 4 mm dan tinggi 7 mm ditanam pada
lubang yang telah dibuat. Setelah itu penutupan jaringan dilakukan dengan
menjahit lepas periosteum, otot, jaringan subkutan dan kulit menggunakan
jahitan sederhana. Prosedur yang sama dilakukan pada tulang tibia kaki kanan
tetapi lubang tidak diberi implan.
4. Penanganan post penanaman implan
Setelah post penanaman implan, pemeriksaan fisik seperti pengukuran
suhu tubuh, frekuensi jantung/pulsus dan frekuensi nafas serta persembuhan
luka hewan dilakukan setiap hari. Penggantian verban juga dilakukan setiap
hari sampai luka sembuh (Gambar 7). Bagian bekas operasi dibersihkan
dengan Rivanol dan peradangan (nyeri, merah, panas dan bengkak) yang
terjadi pada bagian yang diimplan diamati (Gambar 8) dan dilakukan
pengukuran kalus untuk mengetahui persembuhan tulang. Pengukuran kalus
dengan menggunakan jangka sorong dilakukan setiap hari. Parameter yang
diukur adalah panjang, lebar dan tinggi kalus. Pengukuran tinggi kalus diukur
dari bagian lateral sampai medial pada bagian kaki yang diimplan (Gambar
9,10 dan 11).
Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6
Keterangan: Gambar 4 Pemeriksaan Suhu Tubuh, Gambar 5 Pemeriksaan Frekuensi Jantung, Gambar 6 Pemeriksaan Frekuensi Nafas
Gambar 7 Penggantian Verban
Gambar 8 Peradangan
Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11
Keterangan: Gambar 9 Pengukuran Panjang Kalus, Gambar 10 Pengukuran Lebar Kalus, Gambar 11 Pengukuran Tinggi Kalus
Setelah pengukuran dilakukan, bagian luka diolesi campuran Levertrans
dan peru balsam untuk mempercepat persembuhan jaringan dan diberi iodium
tingture sebagai desinfektan. Setelah itu disekitar luka disemprot dengan
Gusanex sebagai anti serangga, kemudian luka diverban kembali. Penanganan
post penanaman implan dilakukan pada hewan setiap hari.
5. Parameter yang diamati
Parameter dilakukan pada gambaran klinis domba berupa pemeriksaan
fisik yaitu suhu tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas serta
persembuhan tulang dengan mengamati perkembangan kalus tulang (panjang,
lebar dan tinggi) dan kejadian peradangan (nyeri, merah, panas dan bengkak).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari sampai
waktu panen domba. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah pemeriksaan suhu
tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas.
4.1.1 Suhu Tubuh
Gambar 12 Rataan suhu tubuh domba pada persembuhan implan tulang disetiap
kelompok perlakuan.
Gambar 12 memperlihatkan kelompok domba implan HA-Kitosan memiliki
suhu tubuh pada kisaran suhu domba normal yaitu 38,9-40,0°C (Kelly 1974). Pada
kelompok domba implan HA-TKF terjadi sedikit penurunan pada hari ke-21 dan
ke-90 post operasi jika dibandingkan dengan kisaran suhu domba normal.
Penurunan suhu tubuh ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor
lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang
dikonsumsi (Swenson 1997). Kelly (1974) menambahkan suhu tubuh semua
hewan sehat bervariasi sepanjang hari. Hal ini dipengaruhi oleh panjang waktu
siang dan malam yang mempengaruhi suhu lingkungan. Faktor makanan yang
dikonsumsi tidak mempengaruhi pada penelitian ini karena domba diberi pakan
dengan frekuensi sama yaitu pada pagi dan siang hari dengan jumlah pakan yang
serupa.
38
38.5
39
39.5
40
40.5
Suhu
Tub
uh (°
C)
Waktu (Hari)
HA-Kitosan
HA-TKF
Normal
Suhu tubuh kelompok domba pada setiap perlakuan masih berada pada
kisaran suhu tubuh domba normal. Hal ini menunjukan senyawa yang terkandung
dalam implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak mengganggu fisiologis suhu tubuh
domba.
4.1.2 Frekuensi Jantung
Gambar 13 Rataan frekuensi jantung domba pada persembuhan implan tulang
disetiap kelompok perlakuan.
Gambar 13 memperlihatkan frekuensi jantung kelompok domba implan HA-
kitosan dan HA-TKF berada di atas kisaran frekuensi jantung domba normal yaitu
70-90 denyut/menit (Kelly 1974). Peningkatan frekuensi jantung ini disebabkan
oleh aktivitas domba yang meningkat dikarenakan proses handling domba ketika
pengambilan data frekuensi jantung yang membuat domba tersebut stress. Stres
memicu hipotalamus mengeluarkan Corticotropin Releasing Hormone (CRH)
yang akan memicu hipofise anterior mengeluarkan ACTH. ACTH kemudian
merangsang adrenal korteks melepaskan hormon kortisol akan meningkatkan aksi
vasokontriksi norepinefrin dan epinefrin yang akan meningkatkan frekuensi
jantung dan tekanan darah (Bojrab 1981). Hal ini diperkuat dengan pernyataan
Adisuwirdjo (2001) faktor yang mempengaruhi denyut jantung diantaranya
aktivitas, kadar CO2, berat badan dan usia. Peningkatan frekuensi jantung ini
adalah fisiologis karena hasil pemeriksaan suhu tubuh adalah normal.
60
70
80
90
100
110
120
130
Frek
uens
i Jan
tung
(x/m
enit
)
Waktu (Hari)
HA-kitosan
HA-TKF
Normal
Hasil ini memperlihatkan senyawa yang terkandung dalam implan HA-
Kitosan dan HA-TKF tidak mengganggu fisiologis frekuensi jantung domba.
Kenaikan frekuensi jantung pada setiap perlakuan lebih disebabkan faktor luar
yang mempengaruhi keadaan psikis domba dan habitus individu domba.
4.1.3 Frekuensi Nafas
Gambar 14 Rataan frekuensi nafas domba pada persembuhan implan tulang
disetiap kelompok perlakuan.
Gambar 14 memperlihatkan domba perlakuan memiliki frekuensi nafas
lebih tinggi daripada normal yaitu 20-30 nafas/menit (Kelly 1974). Hal ini
disebabkan keadaan psikis domba yang stres akibat proses handling dalam
pengambilan data frekuensi nafas menyebabkan hewan excited. Kelly (1974) juga
menyatakan faktor yang dapat meningkatkan frekuensi nafas adalah ketika hewan
excited, setelah exercise dan hewan obesitas.
Gambar 14 juga memperlihatkan frekuensi nafas domba setiap perlakuan
masih berada pada kisaran frekuensi nafas domba normal. Hal ini menunjukkan
senyawa yang terkandung dalam implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak
mengganggu fisiologis frekuensi nafas domba. Peningkatan frekuensi nafas
disebabkan proses handling yang dilakukan dan habitus individu domba.
Pemeriksaan fisik yang terdiri atas pemeriksaan suhu tubuh, frekuensi
jantung dan frekuensi nafas menunjukkan bahwa pemberian implan HA-Kitosan
dan HA-TKF dapat diterima dengan baik oleh tubuh dan tidak mengganggu
0
10
20
30
40
50
60
Frek
uens
i Naf
as (x
/men
it)
Waktu (Hari)
HA-kitosan
HA-TKF
Normal
fisiologis tubuh. Hal ini karena masing-masing material implan memiliki sifat-
sifat yang mendukung dalam penggunaanya sebagai pengganti kerusakan tulang
dan fraktur tulang, yaitu HA dan TKF terdiri atas kombinasi senyawa kalsium dan
fosfat (Pane 2008) yang merupakan senyawa terbesar yang terdapat pada tulang
dan menyusun tulang. Hal ini menyebabkan HA dan TKF memiliki sifat mirip
dengan struktur tulang. Kitosan digunakan sebagai perekat atau implan dalam
bedah ortopedi karena sifat biokompatibel yang dimilikinya (Ratajska et al. 2008).
Kelompok domba dengan perlakuan diimplan HA-TKF secara umum
memiliki rataan suhu tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok domba dengan perlakuan diimplan HA-
kitosan. Hal ini disebabkan pada kelompok domba dengan perlakuan diimplan
HA-TKF memiliki jumlah domba betina yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan
Kelly (1974) yang menjelaskan hewan betina memiliki suhu tubuh, frekuensi
jantung dan frekuensi nafas yang lebih tinggi daripada jantan.
4.2 Data Persembuhan Tulang
4.2.1 Keadaan Kalus pada Tulang
0
1
2
3
4
M2 M4 M6 M8 M10 M12
Pers
embu
han
Tula
ng
(cm
)
Waktu (Minggu)
Panjang Kalus
HA-kitosan
HA-TKF
Kontrol Positif
0
0.5
1
1.5
2
2.5
M2 M4 M6 M8 M10M12
Pers
embu
han
Tula
ng
(cm
)
Waktu (Minggu)
Lebar Kalus
HA-Kitosan
HA-TKF
Kontrol Positif
Gambar 15 Rataan persembuhan tulang (panjang, lebar dan tinggi kalus) domba
pada persembuhan implan tulang disetiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol positif.
Penggabungan HA dengan TKF diharapkan dapat didegradasi dengan cepat,
Guyton dan Hall (2006) menjelaskan hidroksiapatit dan fosfat merupakan garam
tulang yang ada pada struktur tulang itu sendiri sehingga HA-TKF dapat
memberikan persembuhan tulang dengan baik karena HA memiliki sifat fisis,
kimia, mekanis dan biologis yang mirip dengan struktur tulang. HA melekat pada
tulang secara biointegrasi yang berarti implan yang terbuat dari HA berkontak dan
menyatu secara kimiawi dengan tulang (Pane 2008). TKF adalah keramik berpori
yang memiliki sifat-sifat biologis non-reaktif dan resorbable dan bertindak
sebagai scaffold untuk pertumbuhan tulang, mengalami degradasi progresif dan
penggantian oleh tulang (Lange et al. 1986). TKF cepat larut dan rapuh, sehingga
TKF dikombinasikan dengan HA agar lebih kuat. Sifat yang dimiliki oleh HA dan
TKF ini juga diharapkan dapat mempercepat persembuhan tulang.
Kitosan memiliki sifat berpori namun kurang kuat (Schowengerdt 2002),
sehingga kitosan dikombinasikan dengan HA. Kitosan digunakan sebagai perekat
dalam penggunaanya dengan HA. Kombinasi HA-Kitosan baik untuk
memproduksi scaffold (Ratajska et al. 2008). Penggabungan HA dengan kitosan
juga diharapkan dapat didegradasi dengan baik dan mempercepat persembuhan
tulang seperti penggabungan HA dengan TKF.
Gambar 15 memperlihatkan persembuhan tulang setiap perlakuan berada
pada kisaran standar deviasi persembuhan tulang normal. Hal ini menunjukkan
persembuhan tulang setiap perlakuan sama baik dengan normal namun kurang
dalam fungsi implan mempercepat proses persembuhan tulang seperti yang
diharapkan. Hal ini dapat disebabkan HA yang digunakan terlalu padat sehingga
2
2.5
3
3.5
4
M2 M4 M6 M8 M10M12Pe
rsem
buha
n Tu
lang
(c
m)
Waktu (Minggu)
Tinggi kalus
HA-Kitosan
HA-TKF
Kontrol Positif
HA memiliki sedikit pori. Pori sangat dibutuhkan agar proses sirkulasi darah yang
membawa materi dan sel pembentuk tulang yang sangat dibutuhkan dalam
persembuhan tulang dapat berjalan dengan baik (Schowengerdt 2002).
4.2.2 Peradangan
Tabel 1 Rataan parameter peradangan mulai hari pertama pembentukan kalus domba pada persembuhan implan tulang disetiap kelompok perlakuan dan kontrol positif.
Parameter
Perlakuan
Nyeri
(hari)
Merah
(hari)
Panas (hari) Bengkak
(hari)
Pembentukan
kalus
(hari ke-)
HA-Kitosan 2,00 ± 0 2,00 ± 3,06 3,00 ± 3,00 7,00 ± 1,00 8,00 ± 1,00
HA-TKF 2,00 ± 0 4,33 ± 3,51 1,33 ± 2,31 5 ± 2,65 7 ± 1,00
Kontrol
Positif
2,00 ± 0 4,67 ± 4,27 2,67 ± 2,34 6,83 ± 2,93 8,33 ± 2,07
Keterangan: Nilai yang tercantum dalam tabel menunjukkan lamanya nyeri, merah, panas dan
bengkak dalam satuan hari dan hari pertama pembentukan kalus.
Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor
(rasa sakit) dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan
pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams 1995;
Rukmono 1973; Mitchell & Cotran 2003). Tabel 1 memperlihatkan bahwa tanda
peradangan pada domba dengan implan HA-Kitosan, implan HA-TKF dan domba
normal memiliki nilai bervariasi yaitu beberapa hari setelah penanaman implan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan peradangan dimulai segera setelah tulang retak
dan berlangsung selama beberapa hari (Anonim4 2009) sehingga peradangan yang
terjadi pada setiap perlakuan merupakan proses yang wajar. Hal ini juga
menegaskan implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak menimbulkan reaksi
imunologi yang berarti implan mengandung sedikit atau tidak mengandung sama
sekali benda asing yang dapat menimbulkan respon imun (Rose et al. 1973)
berupa respon penolakan terhadap implan. Hasil yang didapat menunjukkan
pemberian implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak memperlama proses
peradangan dan tidak menimbukan respon imun sehingga baik dalam proses
persembuhan luka.
Sifat-sifat HA-Kitosan dan HA-TKF yang mendukung hasil ini yaitu HA
dan TKF merupakan bahan sintetik yang memiliki umur simpan panjang,
menyebabkan reaksi inflamasi yang minimal, memiliki resiko penularan agen dan
reaksi imunologi yang rendah (Wounds 2002). Saat diimplankan ke hewan atau
manusia HA memproduksi sedikit atau tidak sama sekali respon tubuh terhadap
benda asing (Laksin 1985, diacu dalam Aprilia 2008). Kitosan meningkatkan rasio
persembuhan luka, mendukung pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik
dalam aplikasi pada bidang rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan
bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008).
Pembentukan kalus pada setiap perlakuan dan domba normal terjadi di hari
ke-7 dan ke-8 post operasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan kalus terbentuk pada
fase pembentukan kalus yang terjadi dalam waktu seminggu (Watson-Jones et al.
1952) dan pada minggu ke-4 sampai ke-6, kalus masih sangat lemah pada proses
persembuhan dan membutuhkan perlindungan yang cukup (Kalfas 2001). Hal ini
menunjukkan pemberian implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak mempercepat
atau memperlambat proses pembentukan kalus.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian implan HA-Kitosan dan
HA-TKF tidak mengganggu fisiologis suhu tubuh, frekuensi jantung dan
frekuensi nafas domba dan tidak memperlama peradangan serta tidak
menimbulkan respon imun. Baik implant HA-Kitosan maupun HA-TKF dapat
diterima dengan baik oleh tubuh dan tidak mengganggu fisiologis tubuh namun
pemberian implan HA-Kitosan dan HA-TKF tidak mempercepat persembuhan
tulang.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu pori yang cukup pada implan yang
digunakan sehingga proses sirkulasi darah dan persembuhan tulang dapat berjalan
dengan baik karena tulang yang baik tidak hanya kuat tetapi juga harus dapat
didegradasi dengan cepat. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut dengan
komposisi HA-Kitosan dan HA-TKF yang berbeda untuk mendapatkan komposisi
yang tepat dalam mempercepat persembuhan tulang dan penelitian yang
membandingkan percepatan proses persembuhan tulang pada hewan jantan dan
betina. Analisa dari histopatologi maupun radiografi juga dibutuhkan untuk mengetahui
lebih jauh efektifitas dari HA-Kitosan dan HA-TKF yang digunakan.
6. DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]1. 2010. Bone Grafting. [terhubung berkala].
http://en.wikipedia.org/wiki/Bone_grafting [9 Agustus 2010].
[Anonym]2. 2010. Fracture Healing Process. [terhubung berkala]. http://www.bonestimulation.com/Physio_Pages/PS-howitworks.html [18 Agustus 2010].
[Anonim]3. 2006. Bone Graft Alternatives" (PDF). [terhubung berkala]. http://www.spine.org/Documents/bone_grafts_2006.pdf [9 Agustus 2010].
Abrams GD. 1995. Respon tubuh terhadap cedera. Dalam SA Price, LM Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah P, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
Adisuwirdjo D. 2001. Buku Ajar Dasar Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan.Unsoed, Purwokerto.
Albee F, Morrison H. 1920. Studies in bone growth: triple calcium phosphate as a stimulus to osteogenesis. Ann Surg. [PubMed].
Aprilia, Rininta. 2008. Analisis Produksi Fosfatase Alkali oleh Osteoblas yang Distimulasi Graft Berbentuk Pasta pada Berbagai Komposisi, Konsentrasi dan Waktu yang Berbeda (In Vitro). UI: FKG.
Astawan, Tutik Wresdiyati. 2002. Jaringan Tulang. Laboratorium Histologi Departemen Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bojrab, M. Joseph. 1981. Pathophysiology in Small Animal Surgery. Philadelphia.
Bucholz RW. 1989. Interporous HA as a bone graft substitu in tibial plateu fractures. Clin Orthop.
Chen, Andrew L MD MS. 2008. Orthopedist. The Alpine Clinic, Littleton, NH.
Connor JJO, MRCVS. 1980. Dollar’s Veterinary Surgery. Fourth edition. India: CBS Publishers&Distributors.
Dorland WAN. 2002. Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan A, Banni AP, Widjaja AC, Adji AS, Soegiarto B, Kurniawan D dkk, penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
Duke NH. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing: New York.
Goldson, Howard MD. 2007. Autograft. [terhubung berkala]. http://www.woundcarenj.com/treatments/ownskindraft.shtml [19 Agustus 2010].
Guyton DC, Hall. 1993. Fisiologi Hewan. Edisi 2. EGC. Jakarta.
Heath E, S Olusanya. 1985. Anatomy and Physiology of Tropical Livestock. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman London and New York.
Hench, Larry L. 1991. Bioceramics: From Concept to Clinic. Journal of the American Ceramic Society 74: 1487. [terhubung berkala]. http://www.ceramics.org/wp-content/uploads/2009/03/hench_bioceramics.pdf [9 Agustus 2010].
Herren, Ray. 2000. The Science of Animal Agriculture. Second Edition. Delmar.
Junqueira, Luiz Carlos, Jose Carneiro. 2003. Dasar Histologi, Teks & Atlas (10th ed.). McGraw-Hill Companies. h. 144. ISBN 0071378294.
Kalfas Iain H MD, FACS. 2001. Principles of Bone Healing. Neurosurg Focus. Vol. 10. American Association of Neurological Surgeons.
Kay I. 1998. Introduction to Animal Physiology. Bioscientific Publisher Springer Verlag, New York.
Keating JF, Mc Queen MM. 2001. Substitutes for autologous bone graft in Orthopaedic trauma, J Bone Joint Surg, 83-B 3.
Kelly WR. 1974. Veterinary Clinical Diagnosis. Second Edition. Bailliera Tindall London.
Klokkevold PR, Jovanovic SA. 2002. Advanced Implant Surgery and Bone Grafting Techniques. In Newman, Takei, Carranza, editors: Carranza's Clinical Periodontology, 9th Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Co. page 907-8.
Lane JM, Tonin E, Bostrom MP. 1999. Biosynthetic bone grafting, Clin Orthop Relat Res, 367S 107.
Lange TA, JE Zerwekh, RD Peek, V Mooney, BH Harriso. 1986. Granular tricalcium phosphate in large cancellous defects. Annals of Clinical and Laboratory Science, Vol 16, Issue 6, 467-472.
Laurencin, Cato T. 2009. Bone Graft Substitutes. West Conshohocken, PA: American Society for Testing and Materials.
Mitchell RN, Cotran RS. 2003. Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.Newman E, Turner AS, Wark JD. 1995. The potential of sheep for the study of osteopenia: current status and comparison with other animal models. Bone 16: 277S- 284S.
Newman E, Turner AS, Wark JD. 1995. The potential of sheep for the study of osteopenia: current status and comparison with other animal models. Bone 16: 277S- 284S.
Nuss, Katja MR, Joerg A Auer, Alois Boos, Brigitte von Rechenberg. 2006. An animal model in sheep for biocompatibility testing of biomaterials in cancellous bones. BMC Musculoskelet Disord. 7: 67.
Pane, Mai Sarah. 2008. Penggunaan Hidroksiapatit Sebagai Bahan Dental Implan. USU.
Pearce AI, RG Richards, S Milz, E Schneider, SG Pearce. 2007. Animal models for implant biomaterial research in bone: A review. European Cells and Materials Vol. 13. 2007 (pages 1-10).
Putri, Tia. 2008. Tulang Buatan dan Komposisi Pembuatnya. [terhubung berkala]. http://initiaputri.wordpress.com/2008/02/23/tulang-buatan-dan-komposisi-pembuatnya/. [2 Februari 2010].
Ratajska, Maria, K. Haberko, Danuta Ciechanska, Antoni Niekraszewicz, Magdalena Kucharska. 2008. Hydroxyapatite-chitosan biocomposites. PolishChitin Society, Monograph XIII. Institute of Biopolymers and Chemical Fibres, Loadz, Poland.
Ravaglioli A, Krajewski A, Celotti GC, Piancastelli A, Bacchini B, Montanari L, Zama G, Piombi L. 1996. Mineral evolution of bone. Biomaterials 17: 617-622.
Reddy Renuka, MKS Swamy. 2005. The use of hydroxyapatite as a bone graft substitute in orthopaedic conditions. Indian J Orthop 2005;39:52-4.
Rizka H. 2010. Fraktur: Komposisi dan Rehabilitasi Fraktur. [terhubung berkala] http://dokterrizy.blogspot.com/2010/01/komplikasi-dan-rehabilitasi-fraktur.html [10 Februari 2010].
Rose Noel R, Felix Milgron, Carel J. van Oss. 1973. Principles of Immunology. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Rukmono. 1973. Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
Schoenian, Susan. 2007. Sheep Basics. Sheep101.info. Retrieved 2007-11-27.
Schowengerdt, Frank. 2002. Better Bone Implants. [terhubung berkala]. http://science.nasa.gov/science-news/science-at-nasa/2002/30oct_hipscience/ [10 februari 2010].
Shahidi F, Synowiecki J. 1991. Isolation and characterization of nutrients and value-added products from snow crab (Chionoecetes opilio) and shrimp (Pandalus borealis) processing discards (PDF). Journal of Agricultural and Food Chemistry (American Chemical Society) 39 (8): 1527–1532. doi:10.1021/jf00008a032.
Soesetiadi, Didi. 1977. Alat Gerak. Bagian Anatomi Departemen Zoologi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sunil P, SC Goel, A Rastogi. 2008. Incorporation and biodegradation of hydroxyapatite-tricalcium phosphate implanted in large metaphyseal defect-An animal study. Indian Journal of Experimental Biology. Vol. 46, Desember 2008, pp. 836-841).
Swenson GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. Publishing Co. Inc : USA.
Ville, CA, Walker, W F Barnes R. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Wang, Jeffrey C. MD. 2009. Bone Grafts: New Developments. UCLA Comprehensive Spine Center. Santa Monica, CA.
Watson-Jones, E Fractures, S. Livingstone ltd. 1952. And Joiunt Injuries. Volume 1. Fourth Edition. Edinburgh and London.
Wounds. 2002. A New Biomaterial Derived From Small Intestine Submucosa: Synthetic and Biological-Derived Wound Dressings. Health Management Publications, Inc. LLC All rights reserved.
top related