eksistensi rumah gadang sebagai identitas lokal
Post on 22-Oct-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal Minangkabau di Nusantara
Maulana Abdullah Mahasiswa Arsitektur Universitas Brawijaya
Email: maulanaabdullah92@gmail.com
1. Apa itu Arsitektur Nusantara?
Arsitektur Nusantara merupakan suatu anugrah yang kita miliki di tanah air Indonesia. Beraneka
ragam suku, budaya dan bentuk sosial yang ada di setiap kepulauan di Indonesia memberikan pengetahuan
tentang Arsitektur tradisional yang tanggap dengan kondisi alam di sekitarnya. Arsitektur Nusantara juga
merupakan media penghubung antara manusia dan lingkungannya yang tertuju pada ke-Tuhanan. Hubungan
tersebut bisa disebut sebagai Segitiga Arsitektur, hubungan tersebut memberikan pengaruh pada
perkembangan Arsitektur Nusantara yang tidak hanya memperhatikan dari kemegahan suatu bangunan tapi
juga mempertahankan eksistensi alam yang merupakan elemen penting. Arsitektur yang berkembang di
Indonesia saat ini sebagian telah mencontoh perkembangan arsitektur barat, yaitu eropa dan amerika. Hal
tersebut bukan merupakan hal yang harus ditentang, namun pada hakekatnya, jangan jadikan arsitektur barat
menjadi satu-satunya kebenaran arsitektur yang cocok untuk diterapkan di semua wilayah. Negeri kita
memiliki identitas tersendiri, memiliki Arsitektur tersendiri yaitu Arsitektur Nusantara. Identitas tersebut lah
yang menjadikan kekhasan dan keunikan yang menopang negeri ini secara berkesinambungan. Lalu apakah
yang akan kita perbuat dengan keadaan Indonesia yang bisa dibilang memiliki Arsitektur campur aduk antara
barat, timur dan Nusantara sendiri? Gerakan apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan identitas kita yang
sebenarnya?
2. Mengkinikan Arsitektur Nusantara
Tak dapat disangkal lagi bahwa keberadaan Arsitektur Eropa dan Amerika sudah merajai Indonesia
setelah dikatakan bahwa Arsitektur Tradisional merupakan hal yang kuno, tidak berkembang sama sekali.
Kenyataan seperti itu adalah kesalahan yang dipahami oleh sebagian orang yang terlanjur tertarik dengan
keberadaan erosentisme, yang merupakan pemahaman-pemahaman barat yang menyatakan hanya Arsitektur
merekalah yang benar untuk diterapkan diseluruh dunia. Kemunculan Arsitektur Nusantara pada awalnya
diusung oleh Mangunwijaya yang menegaskan bahwa Arsitektur kita berbeda dengan Arsitektur barat. Dua
puluh lima tahun yang merupakan satu generasi berlalu dalam usulan perkembangan Arsitektur Nusantara
sampai saat ini, masih banyak yang belum memahami cara menerapkannya bahkan mungkin ada yang tidak
tahu bahwa Arsitektur Nusantara itu ada. Seakan dibutakan oleh Arsitektur global yang berasal dari barat,
Sesosok murid Mangunwijaya yang tampil ke gelanggang Arsitektur di Indonesia, yaitu Alm. Bapak Galih Widjil
Pangarsa dengan pemikiran barunya dalam melawan erosentisme. Penerus Arsitektur Nusantara saat ini harus
berjuang dalam mengedepankan di kalangan masyarakat dibandingkan memuja-muja Arsitektur Eropa dan
Amerika yang disebut-sebut sebagai tren dunia saat ini. Bapak Galih meneruskan perjuangan tersebut dari
pendekatan yang paling mudah dan biasa dilakukan sehari-hari, pendekatan-pendekatan tersebut masih
dilakukan dengan cara mengekslusifkan islam, karena pemikiran-pemikiran baik sebenarnya bisa berasal dari
mana saja, hal tersebut hanya salah satu cara yang beliau ambil untuk meneruskan perjuangan sang guru. Bila
Mangunwijaya membuka mata kita tentang betapa beruntungnya kita memiliki Arsitektur Nusantara dengan
bertindak sebagai salah satu cara ber-Arsitektur di dunia ini selain Arsitektur barat, Bapak Galih menegaskan
bahwa Arsitektur Nusantara adalah media untuk melawan erosentisme.
Sebenarnya secara nyata dan yang terlihat, apakah Arsitektur Nusantara tersebut? Pada suatu hal yang
terlihat nyata, bangunan-bangunan yang disebut sebagai Arsitektur Nusantara merupakan bangunan-
bangunan tradisional yang dianggap kuno. Namun pada kenyataannya, apakah ada yang pernah berfikir bahwa
bangunan-bangunan kolonial dan inggrisan yang berada di Indonesia adalah bangunan Arsitektur Nusantara?
Hal tersebut yang perlu kita telaah lebih jauh lagi. Kekayaan yang dimiliki Indonesia tidak hanya sebatas apa
yang telah di buat oleh nenek moyang pribumi saja, tapi seluruh isi bumi pertiwi ini merupakan milik
Nusantara, termasuk bangunan-bangunan yang didirikan oleh penjajah-penjajah dahulu.
Bangunan tradisional, bangunan modern, bangunan kolonial, bangunan apapun yang berdiri di
Indonesia merupakan milik Nusantara. Namun di sini kita telaah lagi, penyebab berdirinya masing-masing
bangunan tersebut karena apa, faktor apa saja yang mempengaruhi bangunan-bangunan tersebut ada di
lingkungan kita. Beberapa contoh yang dapat kita jadikan arahan dalam mencari tahu apakah arsitektur-
arsitektur yang dipakai dalam membangun sudah cocok dalam keadaan dan kondisi di Indonesia.
a. Rumah Gadang kaum Minangkabau
Salah satunya yang menjadi bahasan adalah Rumah Gadang di kawasan Sumatera Barat, dihuni oleh
kaum Minangkabau. Rumah ini termasuk dalam kategori rumah tradisional. Keberadaannya pun masih banyak
tersebar di berbagai wilayah Sumatera Barat. Rumah ini paling banyak terletak di daerah Solok Selatan, yang
menyebutkan bahwa kawasan tersebut memiliki seribu Rumah Gadang. Pada kawasan yang memiliki Rumah
Gadang, maka kawasan tersebut merupakan tempat pemerintahan yang berbentuk kerajaan pada masa lalu.
Saat ini pun, status kerajaan tersebut masih ada, namun sayangnya tidak ada yang mau meneruskan jalannya
pemerintahan tersebut bahkan keturunannya. Awal keberadaan Rumah Gadang ini dimulai dari
berdatangannya nenek moyang Minangkabau yang berasal dari melayu (Gambar 1), dengan memakai perahu
besar yang disebut sebagai lancang. Bentukan lancang tersebut yang menjadi bentuk awal Rumah Gadang,
sementara untuk atapnya yang menyerupai kerbau merupakan bentuk penghargaan pada kaum Minangkabau
yang pada masa lalu telah memenangkan pertandingan adu kerbau dengan orang keturunan jawa (Gambar 2).
Bentukan Rumah Gadang pada awalnya merupakan bentukan yang hanya diambil melalui benda-
benda yang sudah ada yang berasal dari hikayat-hikayat orang Minangkabau. Bentukan badan bangunan
berasal dari kapal yang disebut lancang sementara bentukan atap diambil dari tanduk kerbau dan rumah
tersebut memakai sistem panggung karena merupakan bangunan terhormat bagi orang Minangkabau. Setelah
adanya penelitian tentang bentukan tersebut, ternyata masing-masing memiliki keuntungan dan fungsi yang
mendukung pada keberadaan Rumah Gadang tersebut di daerah tropis, yaitu negeri kita (Gambar 3).
Gambar 1. Peta kedatangan nenek moyang Minangkabau.
Sumber: Buku Budaya Alam Minangkabau SD
Gambar 2. Pertandingan adu kerbau orang minang dengan orang jawa.
Sumber: Buku Budaya Alam Minangkabau SD
Gambar 3. Salah satu Rumah Gadang di kawasan Solok
Selatan, Sumatera Barat.
Atap berbentuk
tanduk kerbau –
Atap lancip yang
berguna untuk
membebaskan
endapan air pada
ijuk (saat ini
memakai seng)
yang berlapis-lapis.
Bentuk badan
bangunan yang
membesar ke atas –
Membebaskan
dinding-dinding
rumah dari tempias,
sehingga ketahanan
bangunan lebih
lama.
Bangunan panggung –
Memberikan
penghawaan yang sejuk
di dalam rumah
terutama saat musim
panas.
Bangunan panggung –
Menghindari banjir,
gempa dan melindungi
penghuni pada saat ada
binatang buas (pada
masa lalu).
Rumah Gadang yang memiliki bentuk seperti pada (Gambar 3) merupakan bentukan dari awal, yang
mengartikan bahwa orang-orang pada masa lalu sudah memikirkan begitu baik dalam menanggapi kondisi
yang ada di Indonesia, menanggapi cuaca, iklim, keadaan lingkungan dan budaya yang nantinya akan
dikembangkan untuk generasi-generasi berikutnya. Berlanjut pada ‘Mengkinikan Arsitektur Nusantara’ yang
menjadi bahasan adalah ‘bagaimana cara meng-Arsitektur Nusantara-kan’ keadaan saat ini? Apakah hanya
dengan mempelajari dan meneliti bangunan-bangunan masa lalu? Apakah semua bangunan baru yang
terbangun saat ini sudah bisa dikatakan meng-Arsitektur Nusantara?
Ada beberapa bukti yang bisa dijadikan acuan bahwa pergerakan itu sudah ada, namun secara garis
besar masih belum bisa mengimbangi pengaruh-pengaruh barat yang tersebut berkembang dan yang terus
mempengaruhi otak-otak generasi muda dalam menghasilkan ide-ide cemerlang Arsitektur. Pada
kenyataannya teori-teori yang dipakai pada pelaksaan pengajaran di berbagai kelembagaan, masih mengacu
pada buku-buku luar untuk mengetahui standar-standar bangunan. Memang pada kenyataannya lagi, teori-
teori tentang Arsitektur yang seharusnya ada di Indonesia, susah sekali untuk ditemukan. Maka, dari pada itu
lah tugas kita untuk melakukan kajian-kajian lebih sering untuk mengetahui identitas negeri kita karena hal
tersebut akan berbeda sekali dengan teori-teori dari luar (barat) yang selama ini mungkin sudah kita bangga-
banggakan.
Penjelasan tentang tanggapnya bangunan Rumah Gadang terhadap iklim yang dimanfaatkan untuk
kenyamanan bagi penghuni di dalamnya. Rumah Gadang memang cocok ditempatkan pada wilayah beriklim
tropis, hal tersebut terlihat pada bentukan bangunan yang memperhatikan curah hujan serta tanggap pada
penghawaan untuk pengaturan termal bangunan. Selain itu rumah yang memakai sistem panggung ini juga
dapat mempertahankan bangunan dari goncangan gempa yang sering terjadi di Sumatera Barat, dengan
struktur yang hanya meletakkan pondasi di atas-atas batu layah tanpa pemasangan secara permanen,
membuat bangunan ini lebih fleksibel saat adanya gempa.
b. Masjid Raya Sumatera Barat
Pada penerapannya, Rumah Gadang yang merupakan salah satu bentuk Arsitektur Tradisional dapat
dimasukan pada ilmu Arsitektur Nusantara dengan adanya beberapa metode untuk diterapkan pada bangunan
modern. Jadi disinilah Arsitektur Nusantara yang berasal dari bangunan-bangunan tradisional dapat
digunakan dan menjadi arahan untuk membangun bangunan baru. Salah satu contoh adalah bangunan Masjid
Raya Sumatera Barat yang merupakan hasil stilisasi dari bangunan Rumah Gadang. Terletak di jalan Khatib
Sulaiman, Padang Utara menjadi salah satu landmark terbesar di Kota Padang (Gambar 4).
Masjid ini yang dirancang oleh arsitek Rizal Muslimin yang merupakan pemenang sayembara desain
yang diikuti oleh 323 arsitek dari berbagai Negara pada tahun 2007. Konstruksi bangunan ini dirancang untuk
menanggapi letak geografis Sumatera Barat dengan menyikapi bencana gempa dalam skala besar yang sering
terjadi. Bangunan ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti pelataran, taman, menara, ruang serbaguna,
fasilitas komersial dan bangunan pendukung untuk kegiatan pendidikan.
Secara keseluruhan penerapan Arsitekturnya menggunakan hal yang sudah modern, dari geometri,
material dan fungsionalnya pun sudah menyesuaikan dengan masa sekarang. Masjid ini tidak identik dengan
kubah seperti masjid-masjid pada umumnya. Atapnya merupakan hasil bentukan bentangan kain yang
Gambar 4. Masjid Raya Sumatera Barat (kiri), Masjid Raya Sumatera Barat dari ketinggian (tengah),
Ukiran kaligrafi dan motif songket pada eksterior (kanan).
Sumber: Pemerintah Kota Padang [2010]
digunakan untuk mengusung batu Hajar Aswad. Hal tersebut mengacu pada kisah empat kaum Quraisy yang
berada di Mekkah saat berselisih paham dan saling memperebutkan siapa yang akan memindahkan batu Hajar
Aswad ke tempat semula saat Ka’bah mengalami renovasi, lalu Rasulullah SAW memutuskan untuk
membentangkan kain dan meletakan batu Hajar Aswad di atasnya, dan masing-masing ujung dari kain
dipegang oleh perwakilan empat kaum Quraisy tersebut. Bentuk sudut lancip yang berada di empat bagian
atap yang menjulang ke atas merupakan implementasi dari bagonjong yang merupakan sebutan atap dari
Rumah Gadang.
Konstruksi masjid ini terdiri dari tiga lantai. Ruang utama yang dipergunakan untuk shalat terletak di
lantai dua yang bertindak sebagai ruang lepas. Ruang lepas merupakan ruang yang juga berada di dalam Rumah
Gadang yang merupakan ruang utama dan ruang yang besar. Pemasangan pondasi pada bangunan ini
menyesuaikan dengan topografinya untuk memperkuat dalam menghadapi goncangan gempa. Lantai dua pada
bangunan ini ditopang oleh 631 tiang dengan menggunakan pondasi poer. Adapun lantai tiga berupa berupa
mezanin berbentuk leter U. Konstruksi atapnya menggunakan pipa baja. Beban atap yang didistribusikan
melalui gaya vertikal melalui empat kolom beton miring setinggi 47m dan dua balok beton yang melengkung
yang mempertemukan kolom beton secara diagonal. Setiap kolom miring ditancapkan ke dalam tanah dengan
kedalaman 21 meter, memiliki pondasi tiang bor sebanyak 24 titik dengan diameter 80 centimeter. Pekerjaan
kolom miring melewati 13 tahap pengecoran selama 108 hari dengan memperhatikan titik koordinat yang
tepat (Gambar 5).
Menurut Yu Sing, Memposisikan Arsitektur Nusantara dalam perimbangan masa lalu dengan masa kini
yang bisa dilihat secara fisik yaitu dari morfologi bangunan-bangunan di Nusantara, sosok siluet yang tercipta
dari bangunan itu sendiri, bahan dan material serta kenangan dari unsur-unsur bangunannya. Mengkinikan
Arsitektur Nusantara bisa dimulai dari konsep arsitektural dan tradisi lokal. Selain konsep arsitektural,
mengkinikan Arsitektur Nusantara juga bisa dimulai dari filosofinya, yaitu gotong-royong yang
melatarbelakangi eksistensinya. Profesi arsitek di masyarakat masih terbilang langka, oleh sebab itu perannya
dalam kegotong-royongan sangat didambakan dalam keberlangsungan sebuah konsep arsitektur terutama
Arsitektur Nusantara. Kegotong-royongan adalah aspek utama dalam sistem Arsitektur Nusantara. Yang pada
hakekatnya menjadi sebuah penaungan di wilayah yang memiliki dua iklim yaitu tropis dan lembab bahari.
Kegotong royongan inilah yang menciptakan Indonesia lebih bermartabat, kesadaran akan menjaga alam dan
lingkungan adalah dasar dari Arsitektur kita untuk membina lingkungan.
3. Pendekar Arsitektur Nusantara
Keberadaan Arsitektur Nusantara memang belum sepenuhnya mencapai hasil yang diimpikan oleh
seorang Mangunwijaya. Namun perjuangan itu belum berakhir, Bapak Galih selaku pejuang Arsitektur
Nusantara yang melanjutkan cita-cita sang guru besar tidak henti-hentinya terus memberi pemahaman bahwa
arsitektur kita adalah Arsitektur Nusantara, bukan barat dan bukan timur. Merah Putih Arsitektur Nusantara
merupakan karya almarhum dalam bentuk catatan-catatan perjalanannya memahami Nusantara dari pulau ke
Gambar 5. Balok beton lengkung ditopang empat kolom beton (kiri), Langit-langit interior Masjid
(tengah), Mezanin pada lantai tiga (kanan).
Sumber: Pemerintah Kota Padang [2010]
pulau, suku ke suku, agama ke agama dan setiap budaya yang terbentuk di tanah air ini. Perilaku-perilaku yang
perlu dipahami dari setiap wilayah adalah satu modal dalam mengalirkan ilmu dalam ber-Arsitektur Nusantara
tersebut, karena perlakuan yang diinginkan disetiap tempat berbeda-beda, tidak bisa disamakan. Karena
negeri ini memiliki beraneka ragam suku, budaya, tingkat sosial dan tentunya menjadik suatu keharusan bagi
kita yang berkelut di bidang Arsitektur untuk memahami itu semua. Salah satu Pendekar Arsitektur Nusantara, Yori Antar, ia mulai berjuang untuk menegakkan Arsitetur
Nusantara melalui AMI (Arsitektur Muda Indonesia) yang menjadi langgam baru dalam perkembangan
arsitektur di Nusantara pada awal karirnya yang berada di Jakarta. Ia menganggap bahwa arsitektur
merupakan makhluk asing yang pada akhirnya menjadi tema liputan di masyarakat. Suatu bentuk pelestarian
di Indonesia merupakan usaha dalam menjaga dan mengembangkan fungsi dari suatu bangunan yang
termasuk dalam Arsitektur Nusantara. Arsitektur modern yang berkembang di Indonesia, hendaknya tetap
menghadirkan lokalitas, essensial yang paling terlihat dari perkembangan arsitektur modern dengan menjaga
lokalitas adalah sebuah pernaungan.
Salah satu perjuangannya dalam mempertahankan keberadaan Arsitektur Nusantara adalah dengan
melakukan konservasi pada bangunan tradisional agar bisa terus memberikan ilmu pada bidang arsitektur.
Berada di kawasan Sumpur, Sumatera Barat yang juga mengangkat objek Rumah Gadang. Kegiatan ini dimulai
pada tahun 2013 dikarenakn terbakarnya 5 Rumah Gadang dari 80 yang ada di kawasan Sumpur. Konservasi
atau pembangunan kembali kelima Rumah Gadang ini melibatkan semua pemangku kepentingan adat, Forum
Kampuang Minang Nagari Sumpur dan Ikatan Keluarga Sumpur (IKES), serta di motori oleh pusat studi
konservasi arsitektur (pusaka) Universitas Bung Hatta dan didukung oleh Tirto Utomo Foundation, Badan
Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Pemerintah Kabupaten Tanah Datar serta Yori Antar.
Gambar 6. Gotong-royongan yang dilakukan warga Sumpur (kiri), Pembangunan kembali Rumah Gadang
(tengah), Yori Antar bersama Prof. Eko Alvarez, Catrini dari BPPI dan Domy dari Sumpur Memanggil (kanan).
Sumber: Instagram.com/yoriantar [2015]
Gambar 7. Bundo Kanduang bersama penari tari Persembahan (kiri), Yori Antar bersama Mahasiswa
Universitas Bung Hatta (tengah), Acara peresmian Rumah Gadang Sumpur (kanan).
Sumber: Instagram.com/yoriantar [2015]
“Kegiatan ini tidak hanya sekedar konservasi untuk membangun kembali bangunan tradisional yang
merupakan warisan bagi kaum Minangkabau dari kawasan tersebut tetapi juga membangkitkan kembali
semangat gotong-royong dan kearifan lokal yang hamper hilang.” Ujar Eko Alvares selaku ketua Pusat Studi
Konservasi Arsitektur UBH (Gambar 6). Faktor-faktor keberadaan Rumah Gadang ini dipengaruhi oleh si
penghuni sendiri, pada awalnya tercatat sebanyak 200 Rumah Gadang di kawasan ini. Namun setelah adanya
pendataan ulang, hanya tertinggal 68 Rumah Gadang yang ada, hal ini dikarenakan tidak adanya perawatan
dari para penghuni untuk keberlangsungan rumah mereka masing-masing (Gambar 7).
Selain kegiatan konservasi yang menjadi tajuk utama dalam pelaksanaannya, masyarakat serta para
praktisi juga melakukan riset yang mendalam tentang Rumah Gadang pada masa awal dibangun yang menjadi
ilmu baru dan mungkin juga belum diketahui oleh masyarakat setempat. Pusaka-pusaka ini patut dijaga dan
dilestarikan untuk nantinya sebagai referensi dalam ilmu ber-Arsitektur bagi para generasi penerus Pendekar
Arsitektur Nusantara.
4. Arsitektur untuk Fitrah Manusia & Alam
Menurut Prof. Antariksa, Arsitektur merupakan suatu media yang memiliki inti hubungan antara
manusia, alam dan Tuhan yang mempunyai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu pengembangan Arsitektur di
Indonesia memerlukan paradigma baru yang selaras dengan berjalannya nilai-nilai luhur tersebut. Arsitektur
adalah suatu media yang harusnya digunakan dalam mewujudkan keadaan maupun kondisi yang memecahkan
suatu masalah di suatu wilayah, waktu dan berbagai wujud social serta budaya. Manusia sebagai pelaku yang
berpengaruh paling besar dalam ber-Arsitektur, harus mempunyai ide, gagasan dan pergerakan yang sesuai
dengan keilmuan arsitektur yang telah menjadi lokalitas di suatu wilayah yang ia tempati.
Kembali pada objek Kawasan Solok Selatan yang berada di Sumatera Barat. Kawasan yang disebut
sebagai Alam Surambi Sungai Pagu (Gambar 8) yang juga disebuta sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang,
menyimpan keaneka ragaman pusaka, tradisi, budaya serta kekayaan alam Nusantara. Selain terdapat Rumah
Gadang yang menjadi simbol keberadaran kaum Minangkabau yang merupakan bentuk fisik, kegiatan-kegiatan
adat juga masih dilakukan di kawasan tersebut, mengingat pemerintahannya masih melaksanakan sistem
dalam kerajaan (namun sudah tidak ada raja). Kawasan tersebut sedang melaksanakan kegiatan preservasi
dengan tahap mendata Rumah Gadang yang berada di sana dan masih berpenghuni. Julukan Nagari Saribu
Rumah Gadang menggambarkan kondisi dari kawasan tersebut yang memiliki banyak Rumah Gadang, pada
pendataan terakhir tercatat sebanyak 618 Rumah Gadang di kawasan ini. Pada saat ini, belum diketahui pasti
yang masih bertahan dan berpenghuni karena masih dalam proses preservasi.
Beraneka ragamnya Rumah Gadang di kawasan ini menjadi menarik untuk ditelusuri. Mulai dari
bentukan-bentukan yang unik, ukiran-ukiran disetiap Rumah Gadang, pola-pola ruang bangunannya serta
kegiatan-kegiatan adat yang biasa berlangsung di Rumah Gadang. Kegiatan preservasi pada kawasan ini
dilakukan karena adanya usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai pusaka dunia yang diusung oleh pihak
Gambar 8. Kawasan Alam Surambi Sungai Pagu (kiri), Kawasan Koto Baru di Alam Surambi Sungai Pagu (kanan).
Sumber: Defri Yandri [2012]
UNESCO. Namun karena keterbatasan data dan kurangnya perhatian dari masyarakat yang menjadi penghuni
dari masing-masing Rumah Gadang tersebut, perlunya ada tindakan pembenahan diberbagai aspek. Terdapat
11 pengelompokan kawasan dalam skala kecil, pada kawasan Minangkabau disebut sebagai nagari. Alam
Surambi Sungai Pagu adalah letak awal dari akar kerajaan Minangkabau, yang selanjutnya berapa di daerah
Tanah Datar yang kini disebut sebagai Rumah Gadang Ustano Pagaruyuang. Pada kegiatan preservasi kawasan
ini di fokuskan kepada dua nagari yang memang memiliki banyak Rumah Gadang yaitu nagari Pasir Talang dan
nagari Kotobaru. Sementara untuk kegiatan konservasinya tidak terlalu dilaksanakan, karena keberadaan dan
kondisi dari bangunan Rumah Gadang yang masih berdiri dan bisa ditempati tidak mengalami kerusakan yang
parah, namun ada beberapa yang memang sudah dalam keadaan rata dengan tanah, sehingga perlakuan yang
seharusnya dilakukan hanya bisa untuk membangun kembali dari awal seperti yang dilakukan oleh Yori Antar
serta teman-teman.
Keaneka-ragaman bentuk dan jenis Rumah Gadang di kawasan tersebut memberikan berbagai
pemahaman tentang rumah tradisional, terutama di kawasan Sumatera Barat yang menyesuaikan dengan alam
sekitarnya. Bangunan panggung, yang menjadi salah satu ciri Rumah Gadang yang selalu ada. Ruang-ruang yang
di dalamnya pun juga beraneka ragam, tidak seperti rumah pada umumnya. Terdapat ruang tengah yang
merupakan ruang tengah, bersifat lepas karena kegiatan umum seperti makan, menerima tamu maupun
khusus seperti berkumpulnya para keluar untuk rapat serta musyawarah adat bisa dilakukan di ruangan ini,
dan ukurannya pun yang paling besar. Ruang anjuang yang terdapat di kanan atau kiri banguan, mempunyai
kenaikan lantai yang membedakan ruang tersebut dengan ruang tengah. Pada Rumah Gadang, ruang anjuang
ada yang satu tingkat dan ada yang dua tingkat. Rumah raja biasanya memiliki dua tingkat anjuang di bagian
kanan dan kiri, sementara untuk rumah rakyat ruang anjuang ada yang satu tingkat dan ada yang dua tingkat
tetapi hanya disatu sisi sana, kanan atau kiri. Anjuang akan digunakan pada waktu kegiatan adat seperti
pengangkatan penghulu/kepala adat, pernikahan saat ijab qabul dan pada saat upacara pengangkatan raja
(khusus di Rumah Gadang berstatus raja). Terakhir pada bagian belakang terdapat bilik-bilik yang merupakan
ruang privat dan hanya bisa digunakan oleh si penghuni saja (Gambar 9).
Pada kawasan ini terdapat lima jenis kategori bila dikelompokan melalui pola ruang yang dipengaruhi
tingkatan fisik maupun kegiatan yang terjadi. Pertama adalah Rumah Gadang tempat tinggal keluarga raja,
kedua Rumah Gadang pemerintahan raja, Rumah Gadang rakyat beranjuang, Rumah Gadang rakyat beranjuang
dua tingkat, Rumah Gadang rakyat tidak beranjuang (Gambar 10). Secara keseluruhan, ruang yang selalu ada
di Rumah Gadang adalah ruang tengah dan bilik.
Gambar 10. (Dari kiri ke kanan) Rumah Gadang tempat tinggal keluarga raja, Rumah Gadang
pemerintahan raja, Rumah Gadang rakyat beranjuang, Rumah Gadang rakyat beranjuang dua tingkat,
Rumah Gadang rakyat tidak beranjuang.
Gambar 9. Denah Rumah Gadang raja (kiri), Denah Rumah Gadang rakyat (kanan).
Arsitektur yang tercipta dari nenek moyang selalu memberikan solusi dalam menanggapi lingkungan
sekitar, hal tersebut terlihat dari bagaimana cara mereka membangun pernaungan untuk dihuni. Padahal pada
saat itu ilmu tentang arsitektur sangat minim, bahkan belum mengenal ada istilah tersebut. Namun dengan
kepekaan dan kepedulian terhadap alam serta adanya hubungan kepada Tuhan, semua kebutuhan pada
manusia tersebut terpenuhi dengan sendirinya, tanpa merusak keberadaan lingkungan dan tidak pula
mengancam keberlangsungan hidup makhluk lain. Pada hakekatnya, Arsitektur Nusantara tidak hanya
berhenti pada bangunan-bangunan tradisional saja, karena pengertian dari Nusantara sendiri adalah semua
wilayah, wilayah yang butuh kita olah sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak, tanpa merugikan satu
sama lain dan memiliki manfaat timbal balik antara yang berprilaku sebagai arsitek dan yang diberi perlakuan
melalui ilmu arsitektur tersebut.
5. Kesimpulan
Bahwa Arsitektur Nusanatar merupakan hubungan inti antara manusia, alam dan Tuhan. Manusia dan
alam yang hidup secara berdampingan, manusia harus bisa memperlakuan alam dengan sewajarnya.
Keberlangsungan Arsitektur Nusantara di tanah air perlu adanya tindakan lebih lanjut, karena saat ini
banyaknya pengaruh dari Arsitektur barat yang menjadi dasar pembangunan di perkotaan. Arsitektur
Nusanatara yang diusung oleh Mangunwijaya adalah salah satu alternatif selain Arsitektur barat, namun
Arsitektur Nusantara menurut Bapak Galih Widjil Pangarsa merupakan Arsitektur yang digunakan untuk
melawan erosentisme (yang berasal dari barat).
Bangunan tradisional merupakan salah satu media untuk pengembangan Arsitektur Nusantara hingga
saat ini, penerapan-penerapan bangunan tradisional yang telah dibangun oleh nenek moyang dapat menjadi
pelajaran bagaimana bangunan tersebut bisa bertahan serta tanggap dengan lingkungan (alam, iklim dan
cuara) serta meningkatkan kebudayaan dalam hidup ber-Arsitektur Nusantara yang ditandai dengan adanya
gotong royong disetiap kegiatan yang dijalani. Salah satu contoh adalah Rumah Gadang di kawasan Sumatera
Barat yang dimiliki oleh kaum Minangkabau, bentuk serta susunan bangunannya memberikan keuntungan
dalam menghadapi iklim tropis yang ada di Indonesia.
Pergerakan dalam memperjuangkan Arsitektur Nusantara diperlihatkan oleh salah satu Pendekar
Arsitektur Nusantara yaitu Yori Antar. Tindakan konservasi pada bangunan-bangunan tradisional serta
pelestarian merupakan salah satu tindakan untuk keberlangsungan perkembangan Arsitektur Nusantara itu
sendiri. Salah satunya adalah tindakan konservasi di kawasan Sumpur, Sumatera Barat dengan membangun
kembali Rumah Gadang yang sudah terbakar habis.
Fitrah manusia yang ber-Arsitektur selain adanya hubungan manusia, alam dan Tuhan, juga
diwujudkan dengan adanya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manusia merupakan subjek dalam ber-Arsitektur
yang memberi dampak besar pada alam, apakah alam tersebut menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih
buruk. Alam Surambi Sungai Pagu yang menjadi salah satu contoh kawasan preservasi dan konservasi untuk
menjaga keberlangsung bangunan-bangunan tradisional, menunjukkan eksistensinya dengan masih
banyaknya Rumah Gadang di kawasan tersebut. Bangunan-bangunan tersebut menjadi pusaka dalam
perkembangan Arsitektur Nusantara yang pada nantinya menjadi pegangan hidup seorang Arsitek Indonesia.
Maka, sudah siapkah kita melanjutkan perjuangan para pendahulu kita dalam ber-Arsitektur Nusantara di
masa kini?
top related