eksistensi rumah gadang sebagai identitas lokal

8
Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal Minangkabau di Nusantara Maulana Abdullah Mahasiswa Arsitektur Universitas Brawijaya Email: [email protected] 1. Apa itu Arsitektur Nusantara? Arsitektur Nusantara merupakan suatu anugrah yang kita miliki di tanah air Indonesia. Beraneka ragam suku, budaya dan bentuk sosial yang ada di setiap kepulauan di Indonesia memberikan pengetahuan tentang Arsitektur tradisional yang tanggap dengan kondisi alam di sekitarnya. Arsitektur Nusantara juga merupakan media penghubung antara manusia dan lingkungannya yang tertuju pada ke-Tuhanan. Hubungan tersebut bisa disebut sebagai Segitiga Arsitektur, hubungan tersebut memberikan pengaruh pada perkembangan Arsitektur Nusantara yang tidak hanya memperhatikan dari kemegahan suatu bangunan tapi juga mempertahankan eksistensi alam yang merupakan elemen penting. Arsitektur yang berkembang di Indonesia saat ini sebagian telah mencontoh perkembangan arsitektur barat, yaitu eropa dan amerika. Hal tersebut bukan merupakan hal yang harus ditentang, namun pada hakekatnya, jangan jadikan arsitektur barat menjadi satu-satunya kebenaran arsitektur yang cocok untuk diterapkan di semua wilayah. Negeri kita memiliki identitas tersendiri, memiliki Arsitektur tersendiri yaitu Arsitektur Nusantara. Identitas tersebut lah yang menjadikan kekhasan dan keunikan yang menopang negeri ini secara berkesinambungan. Lalu apakah yang akan kita perbuat dengan keadaan Indonesia yang bisa dibilang memiliki Arsitektur campur aduk antara barat, timur dan Nusantara sendiri? Gerakan apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan identitas kita yang sebenarnya? 2. Mengkinikan Arsitektur Nusantara Tak dapat disangkal lagi bahwa keberadaan Arsitektur Eropa dan Amerika sudah merajai Indonesia setelah dikatakan bahwa Arsitektur Tradisional merupakan hal yang kuno, tidak berkembang sama sekali. Kenyataan seperti itu adalah kesalahan yang dipahami oleh sebagian orang yang terlanjur tertarik dengan keberadaan erosentisme, yang merupakan pemahaman-pemahaman barat yang menyatakan hanya Arsitektur merekalah yang benar untuk diterapkan diseluruh dunia. Kemunculan Arsitektur Nusantara pada awalnya diusung oleh Mangunwijaya yang menegaskan bahwa Arsitektur kita berbeda dengan Arsitektur barat. Dua puluh lima tahun yang merupakan satu generasi berlalu dalam usulan perkembangan Arsitektur Nusantara sampai saat ini, masih banyak yang belum memahami cara menerapkannya bahkan mungkin ada yang tidak tahu bahwa Arsitektur Nusantara itu ada. Seakan dibutakan oleh Arsitektur global yang berasal dari barat, Sesosok murid Mangunwijaya yang tampil ke gelanggang Arsitektur di Indonesia, yaitu Alm. Bapak Galih Widjil Pangarsa dengan pemikiran barunya dalam melawan erosentisme. Penerus Arsitektur Nusantara saat ini harus berjuang dalam mengedepankan di kalangan masyarakat dibandingkan memuja-muja Arsitektur Eropa dan Amerika yang disebut-sebut sebagai tren dunia saat ini. Bapak Galih meneruskan perjuangan tersebut dari pendekatan yang paling mudah dan biasa dilakukan sehari-hari, pendekatan-pendekatan tersebut masih dilakukan dengan cara mengekslusifkan islam, karena pemikiran-pemikiran baik sebenarnya bisa berasal dari mana saja, hal tersebut hanya salah satu cara yang beliau ambil untuk meneruskan perjuangan sang guru. Bila Mangunwijaya membuka mata kita tentang betapa beruntungnya kita memiliki Arsitektur Nusantara dengan bertindak sebagai salah satu cara ber-Arsitektur di dunia ini selain Arsitektur barat, Bapak Galih menegaskan bahwa Arsitektur Nusantara adalah media untuk melawan erosentisme. Sebenarnya secara nyata dan yang terlihat, apakah Arsitektur Nusantara tersebut? Pada suatu hal yang terlihat nyata, bangunan-bangunan yang disebut sebagai Arsitektur Nusantara merupakan bangunan- bangunan tradisional yang dianggap kuno. Namun pada kenyataannya, apakah ada yang pernah berfikir bahwa bangunan-bangunan kolonial dan inggrisan yang berada di Indonesia adalah bangunan Arsitektur Nusantara?

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal Minangkabau di Nusantara

Maulana Abdullah Mahasiswa Arsitektur Universitas Brawijaya

Email: [email protected]

1. Apa itu Arsitektur Nusantara?

Arsitektur Nusantara merupakan suatu anugrah yang kita miliki di tanah air Indonesia. Beraneka

ragam suku, budaya dan bentuk sosial yang ada di setiap kepulauan di Indonesia memberikan pengetahuan

tentang Arsitektur tradisional yang tanggap dengan kondisi alam di sekitarnya. Arsitektur Nusantara juga

merupakan media penghubung antara manusia dan lingkungannya yang tertuju pada ke-Tuhanan. Hubungan

tersebut bisa disebut sebagai Segitiga Arsitektur, hubungan tersebut memberikan pengaruh pada

perkembangan Arsitektur Nusantara yang tidak hanya memperhatikan dari kemegahan suatu bangunan tapi

juga mempertahankan eksistensi alam yang merupakan elemen penting. Arsitektur yang berkembang di

Indonesia saat ini sebagian telah mencontoh perkembangan arsitektur barat, yaitu eropa dan amerika. Hal

tersebut bukan merupakan hal yang harus ditentang, namun pada hakekatnya, jangan jadikan arsitektur barat

menjadi satu-satunya kebenaran arsitektur yang cocok untuk diterapkan di semua wilayah. Negeri kita

memiliki identitas tersendiri, memiliki Arsitektur tersendiri yaitu Arsitektur Nusantara. Identitas tersebut lah

yang menjadikan kekhasan dan keunikan yang menopang negeri ini secara berkesinambungan. Lalu apakah

yang akan kita perbuat dengan keadaan Indonesia yang bisa dibilang memiliki Arsitektur campur aduk antara

barat, timur dan Nusantara sendiri? Gerakan apa yang harus dilakukan untuk menunjukkan identitas kita yang

sebenarnya?

2. Mengkinikan Arsitektur Nusantara

Tak dapat disangkal lagi bahwa keberadaan Arsitektur Eropa dan Amerika sudah merajai Indonesia

setelah dikatakan bahwa Arsitektur Tradisional merupakan hal yang kuno, tidak berkembang sama sekali.

Kenyataan seperti itu adalah kesalahan yang dipahami oleh sebagian orang yang terlanjur tertarik dengan

keberadaan erosentisme, yang merupakan pemahaman-pemahaman barat yang menyatakan hanya Arsitektur

merekalah yang benar untuk diterapkan diseluruh dunia. Kemunculan Arsitektur Nusantara pada awalnya

diusung oleh Mangunwijaya yang menegaskan bahwa Arsitektur kita berbeda dengan Arsitektur barat. Dua

puluh lima tahun yang merupakan satu generasi berlalu dalam usulan perkembangan Arsitektur Nusantara

sampai saat ini, masih banyak yang belum memahami cara menerapkannya bahkan mungkin ada yang tidak

tahu bahwa Arsitektur Nusantara itu ada. Seakan dibutakan oleh Arsitektur global yang berasal dari barat,

Sesosok murid Mangunwijaya yang tampil ke gelanggang Arsitektur di Indonesia, yaitu Alm. Bapak Galih Widjil

Pangarsa dengan pemikiran barunya dalam melawan erosentisme. Penerus Arsitektur Nusantara saat ini harus

berjuang dalam mengedepankan di kalangan masyarakat dibandingkan memuja-muja Arsitektur Eropa dan

Amerika yang disebut-sebut sebagai tren dunia saat ini. Bapak Galih meneruskan perjuangan tersebut dari

pendekatan yang paling mudah dan biasa dilakukan sehari-hari, pendekatan-pendekatan tersebut masih

dilakukan dengan cara mengekslusifkan islam, karena pemikiran-pemikiran baik sebenarnya bisa berasal dari

mana saja, hal tersebut hanya salah satu cara yang beliau ambil untuk meneruskan perjuangan sang guru. Bila

Mangunwijaya membuka mata kita tentang betapa beruntungnya kita memiliki Arsitektur Nusantara dengan

bertindak sebagai salah satu cara ber-Arsitektur di dunia ini selain Arsitektur barat, Bapak Galih menegaskan

bahwa Arsitektur Nusantara adalah media untuk melawan erosentisme.

Sebenarnya secara nyata dan yang terlihat, apakah Arsitektur Nusantara tersebut? Pada suatu hal yang

terlihat nyata, bangunan-bangunan yang disebut sebagai Arsitektur Nusantara merupakan bangunan-

bangunan tradisional yang dianggap kuno. Namun pada kenyataannya, apakah ada yang pernah berfikir bahwa

bangunan-bangunan kolonial dan inggrisan yang berada di Indonesia adalah bangunan Arsitektur Nusantara?

Page 2: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

Hal tersebut yang perlu kita telaah lebih jauh lagi. Kekayaan yang dimiliki Indonesia tidak hanya sebatas apa

yang telah di buat oleh nenek moyang pribumi saja, tapi seluruh isi bumi pertiwi ini merupakan milik

Nusantara, termasuk bangunan-bangunan yang didirikan oleh penjajah-penjajah dahulu.

Bangunan tradisional, bangunan modern, bangunan kolonial, bangunan apapun yang berdiri di

Indonesia merupakan milik Nusantara. Namun di sini kita telaah lagi, penyebab berdirinya masing-masing

bangunan tersebut karena apa, faktor apa saja yang mempengaruhi bangunan-bangunan tersebut ada di

lingkungan kita. Beberapa contoh yang dapat kita jadikan arahan dalam mencari tahu apakah arsitektur-

arsitektur yang dipakai dalam membangun sudah cocok dalam keadaan dan kondisi di Indonesia.

a. Rumah Gadang kaum Minangkabau

Salah satunya yang menjadi bahasan adalah Rumah Gadang di kawasan Sumatera Barat, dihuni oleh

kaum Minangkabau. Rumah ini termasuk dalam kategori rumah tradisional. Keberadaannya pun masih banyak

tersebar di berbagai wilayah Sumatera Barat. Rumah ini paling banyak terletak di daerah Solok Selatan, yang

menyebutkan bahwa kawasan tersebut memiliki seribu Rumah Gadang. Pada kawasan yang memiliki Rumah

Gadang, maka kawasan tersebut merupakan tempat pemerintahan yang berbentuk kerajaan pada masa lalu.

Saat ini pun, status kerajaan tersebut masih ada, namun sayangnya tidak ada yang mau meneruskan jalannya

pemerintahan tersebut bahkan keturunannya. Awal keberadaan Rumah Gadang ini dimulai dari

berdatangannya nenek moyang Minangkabau yang berasal dari melayu (Gambar 1), dengan memakai perahu

besar yang disebut sebagai lancang. Bentukan lancang tersebut yang menjadi bentuk awal Rumah Gadang,

sementara untuk atapnya yang menyerupai kerbau merupakan bentuk penghargaan pada kaum Minangkabau

yang pada masa lalu telah memenangkan pertandingan adu kerbau dengan orang keturunan jawa (Gambar 2).

Bentukan Rumah Gadang pada awalnya merupakan bentukan yang hanya diambil melalui benda-

benda yang sudah ada yang berasal dari hikayat-hikayat orang Minangkabau. Bentukan badan bangunan

berasal dari kapal yang disebut lancang sementara bentukan atap diambil dari tanduk kerbau dan rumah

tersebut memakai sistem panggung karena merupakan bangunan terhormat bagi orang Minangkabau. Setelah

adanya penelitian tentang bentukan tersebut, ternyata masing-masing memiliki keuntungan dan fungsi yang

mendukung pada keberadaan Rumah Gadang tersebut di daerah tropis, yaitu negeri kita (Gambar 3).

Gambar 1. Peta kedatangan nenek moyang Minangkabau.

Sumber: Buku Budaya Alam Minangkabau SD

Gambar 2. Pertandingan adu kerbau orang minang dengan orang jawa.

Sumber: Buku Budaya Alam Minangkabau SD

Gambar 3. Salah satu Rumah Gadang di kawasan Solok

Selatan, Sumatera Barat.

Atap berbentuk

tanduk kerbau –

Atap lancip yang

berguna untuk

membebaskan

endapan air pada

ijuk (saat ini

memakai seng)

yang berlapis-lapis.

Bentuk badan

bangunan yang

membesar ke atas –

Membebaskan

dinding-dinding

rumah dari tempias,

sehingga ketahanan

bangunan lebih

lama.

Bangunan panggung –

Memberikan

penghawaan yang sejuk

di dalam rumah

terutama saat musim

panas.

Bangunan panggung –

Menghindari banjir,

gempa dan melindungi

penghuni pada saat ada

binatang buas (pada

masa lalu).

Page 3: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

Rumah Gadang yang memiliki bentuk seperti pada (Gambar 3) merupakan bentukan dari awal, yang

mengartikan bahwa orang-orang pada masa lalu sudah memikirkan begitu baik dalam menanggapi kondisi

yang ada di Indonesia, menanggapi cuaca, iklim, keadaan lingkungan dan budaya yang nantinya akan

dikembangkan untuk generasi-generasi berikutnya. Berlanjut pada ‘Mengkinikan Arsitektur Nusantara’ yang

menjadi bahasan adalah ‘bagaimana cara meng-Arsitektur Nusantara-kan’ keadaan saat ini? Apakah hanya

dengan mempelajari dan meneliti bangunan-bangunan masa lalu? Apakah semua bangunan baru yang

terbangun saat ini sudah bisa dikatakan meng-Arsitektur Nusantara?

Ada beberapa bukti yang bisa dijadikan acuan bahwa pergerakan itu sudah ada, namun secara garis

besar masih belum bisa mengimbangi pengaruh-pengaruh barat yang tersebut berkembang dan yang terus

mempengaruhi otak-otak generasi muda dalam menghasilkan ide-ide cemerlang Arsitektur. Pada

kenyataannya teori-teori yang dipakai pada pelaksaan pengajaran di berbagai kelembagaan, masih mengacu

pada buku-buku luar untuk mengetahui standar-standar bangunan. Memang pada kenyataannya lagi, teori-

teori tentang Arsitektur yang seharusnya ada di Indonesia, susah sekali untuk ditemukan. Maka, dari pada itu

lah tugas kita untuk melakukan kajian-kajian lebih sering untuk mengetahui identitas negeri kita karena hal

tersebut akan berbeda sekali dengan teori-teori dari luar (barat) yang selama ini mungkin sudah kita bangga-

banggakan.

Penjelasan tentang tanggapnya bangunan Rumah Gadang terhadap iklim yang dimanfaatkan untuk

kenyamanan bagi penghuni di dalamnya. Rumah Gadang memang cocok ditempatkan pada wilayah beriklim

tropis, hal tersebut terlihat pada bentukan bangunan yang memperhatikan curah hujan serta tanggap pada

penghawaan untuk pengaturan termal bangunan. Selain itu rumah yang memakai sistem panggung ini juga

dapat mempertahankan bangunan dari goncangan gempa yang sering terjadi di Sumatera Barat, dengan

struktur yang hanya meletakkan pondasi di atas-atas batu layah tanpa pemasangan secara permanen,

membuat bangunan ini lebih fleksibel saat adanya gempa.

b. Masjid Raya Sumatera Barat

Pada penerapannya, Rumah Gadang yang merupakan salah satu bentuk Arsitektur Tradisional dapat

dimasukan pada ilmu Arsitektur Nusantara dengan adanya beberapa metode untuk diterapkan pada bangunan

modern. Jadi disinilah Arsitektur Nusantara yang berasal dari bangunan-bangunan tradisional dapat

digunakan dan menjadi arahan untuk membangun bangunan baru. Salah satu contoh adalah bangunan Masjid

Raya Sumatera Barat yang merupakan hasil stilisasi dari bangunan Rumah Gadang. Terletak di jalan Khatib

Sulaiman, Padang Utara menjadi salah satu landmark terbesar di Kota Padang (Gambar 4).

Masjid ini yang dirancang oleh arsitek Rizal Muslimin yang merupakan pemenang sayembara desain

yang diikuti oleh 323 arsitek dari berbagai Negara pada tahun 2007. Konstruksi bangunan ini dirancang untuk

menanggapi letak geografis Sumatera Barat dengan menyikapi bencana gempa dalam skala besar yang sering

terjadi. Bangunan ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti pelataran, taman, menara, ruang serbaguna,

fasilitas komersial dan bangunan pendukung untuk kegiatan pendidikan.

Secara keseluruhan penerapan Arsitekturnya menggunakan hal yang sudah modern, dari geometri,

material dan fungsionalnya pun sudah menyesuaikan dengan masa sekarang. Masjid ini tidak identik dengan

kubah seperti masjid-masjid pada umumnya. Atapnya merupakan hasil bentukan bentangan kain yang

Gambar 4. Masjid Raya Sumatera Barat (kiri), Masjid Raya Sumatera Barat dari ketinggian (tengah),

Ukiran kaligrafi dan motif songket pada eksterior (kanan).

Sumber: Pemerintah Kota Padang [2010]

Page 4: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

digunakan untuk mengusung batu Hajar Aswad. Hal tersebut mengacu pada kisah empat kaum Quraisy yang

berada di Mekkah saat berselisih paham dan saling memperebutkan siapa yang akan memindahkan batu Hajar

Aswad ke tempat semula saat Ka’bah mengalami renovasi, lalu Rasulullah SAW memutuskan untuk

membentangkan kain dan meletakan batu Hajar Aswad di atasnya, dan masing-masing ujung dari kain

dipegang oleh perwakilan empat kaum Quraisy tersebut. Bentuk sudut lancip yang berada di empat bagian

atap yang menjulang ke atas merupakan implementasi dari bagonjong yang merupakan sebutan atap dari

Rumah Gadang.

Konstruksi masjid ini terdiri dari tiga lantai. Ruang utama yang dipergunakan untuk shalat terletak di

lantai dua yang bertindak sebagai ruang lepas. Ruang lepas merupakan ruang yang juga berada di dalam Rumah

Gadang yang merupakan ruang utama dan ruang yang besar. Pemasangan pondasi pada bangunan ini

menyesuaikan dengan topografinya untuk memperkuat dalam menghadapi goncangan gempa. Lantai dua pada

bangunan ini ditopang oleh 631 tiang dengan menggunakan pondasi poer. Adapun lantai tiga berupa berupa

mezanin berbentuk leter U. Konstruksi atapnya menggunakan pipa baja. Beban atap yang didistribusikan

melalui gaya vertikal melalui empat kolom beton miring setinggi 47m dan dua balok beton yang melengkung

yang mempertemukan kolom beton secara diagonal. Setiap kolom miring ditancapkan ke dalam tanah dengan

kedalaman 21 meter, memiliki pondasi tiang bor sebanyak 24 titik dengan diameter 80 centimeter. Pekerjaan

kolom miring melewati 13 tahap pengecoran selama 108 hari dengan memperhatikan titik koordinat yang

tepat (Gambar 5).

Menurut Yu Sing, Memposisikan Arsitektur Nusantara dalam perimbangan masa lalu dengan masa kini

yang bisa dilihat secara fisik yaitu dari morfologi bangunan-bangunan di Nusantara, sosok siluet yang tercipta

dari bangunan itu sendiri, bahan dan material serta kenangan dari unsur-unsur bangunannya. Mengkinikan

Arsitektur Nusantara bisa dimulai dari konsep arsitektural dan tradisi lokal. Selain konsep arsitektural,

mengkinikan Arsitektur Nusantara juga bisa dimulai dari filosofinya, yaitu gotong-royong yang

melatarbelakangi eksistensinya. Profesi arsitek di masyarakat masih terbilang langka, oleh sebab itu perannya

dalam kegotong-royongan sangat didambakan dalam keberlangsungan sebuah konsep arsitektur terutama

Arsitektur Nusantara. Kegotong-royongan adalah aspek utama dalam sistem Arsitektur Nusantara. Yang pada

hakekatnya menjadi sebuah penaungan di wilayah yang memiliki dua iklim yaitu tropis dan lembab bahari.

Kegotong royongan inilah yang menciptakan Indonesia lebih bermartabat, kesadaran akan menjaga alam dan

lingkungan adalah dasar dari Arsitektur kita untuk membina lingkungan.

3. Pendekar Arsitektur Nusantara

Keberadaan Arsitektur Nusantara memang belum sepenuhnya mencapai hasil yang diimpikan oleh

seorang Mangunwijaya. Namun perjuangan itu belum berakhir, Bapak Galih selaku pejuang Arsitektur

Nusantara yang melanjutkan cita-cita sang guru besar tidak henti-hentinya terus memberi pemahaman bahwa

arsitektur kita adalah Arsitektur Nusantara, bukan barat dan bukan timur. Merah Putih Arsitektur Nusantara

merupakan karya almarhum dalam bentuk catatan-catatan perjalanannya memahami Nusantara dari pulau ke

Gambar 5. Balok beton lengkung ditopang empat kolom beton (kiri), Langit-langit interior Masjid

(tengah), Mezanin pada lantai tiga (kanan).

Sumber: Pemerintah Kota Padang [2010]

Page 5: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

pulau, suku ke suku, agama ke agama dan setiap budaya yang terbentuk di tanah air ini. Perilaku-perilaku yang

perlu dipahami dari setiap wilayah adalah satu modal dalam mengalirkan ilmu dalam ber-Arsitektur Nusantara

tersebut, karena perlakuan yang diinginkan disetiap tempat berbeda-beda, tidak bisa disamakan. Karena

negeri ini memiliki beraneka ragam suku, budaya, tingkat sosial dan tentunya menjadik suatu keharusan bagi

kita yang berkelut di bidang Arsitektur untuk memahami itu semua. Salah satu Pendekar Arsitektur Nusantara, Yori Antar, ia mulai berjuang untuk menegakkan Arsitetur

Nusantara melalui AMI (Arsitektur Muda Indonesia) yang menjadi langgam baru dalam perkembangan

arsitektur di Nusantara pada awal karirnya yang berada di Jakarta. Ia menganggap bahwa arsitektur

merupakan makhluk asing yang pada akhirnya menjadi tema liputan di masyarakat. Suatu bentuk pelestarian

di Indonesia merupakan usaha dalam menjaga dan mengembangkan fungsi dari suatu bangunan yang

termasuk dalam Arsitektur Nusantara. Arsitektur modern yang berkembang di Indonesia, hendaknya tetap

menghadirkan lokalitas, essensial yang paling terlihat dari perkembangan arsitektur modern dengan menjaga

lokalitas adalah sebuah pernaungan.

Salah satu perjuangannya dalam mempertahankan keberadaan Arsitektur Nusantara adalah dengan

melakukan konservasi pada bangunan tradisional agar bisa terus memberikan ilmu pada bidang arsitektur.

Berada di kawasan Sumpur, Sumatera Barat yang juga mengangkat objek Rumah Gadang. Kegiatan ini dimulai

pada tahun 2013 dikarenakn terbakarnya 5 Rumah Gadang dari 80 yang ada di kawasan Sumpur. Konservasi

atau pembangunan kembali kelima Rumah Gadang ini melibatkan semua pemangku kepentingan adat, Forum

Kampuang Minang Nagari Sumpur dan Ikatan Keluarga Sumpur (IKES), serta di motori oleh pusat studi

konservasi arsitektur (pusaka) Universitas Bung Hatta dan didukung oleh Tirto Utomo Foundation, Badan

Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI), Pemerintah Kabupaten Tanah Datar serta Yori Antar.

Gambar 6. Gotong-royongan yang dilakukan warga Sumpur (kiri), Pembangunan kembali Rumah Gadang

(tengah), Yori Antar bersama Prof. Eko Alvarez, Catrini dari BPPI dan Domy dari Sumpur Memanggil (kanan).

Sumber: Instagram.com/yoriantar [2015]

Gambar 7. Bundo Kanduang bersama penari tari Persembahan (kiri), Yori Antar bersama Mahasiswa

Universitas Bung Hatta (tengah), Acara peresmian Rumah Gadang Sumpur (kanan).

Sumber: Instagram.com/yoriantar [2015]

Page 6: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

“Kegiatan ini tidak hanya sekedar konservasi untuk membangun kembali bangunan tradisional yang

merupakan warisan bagi kaum Minangkabau dari kawasan tersebut tetapi juga membangkitkan kembali

semangat gotong-royong dan kearifan lokal yang hamper hilang.” Ujar Eko Alvares selaku ketua Pusat Studi

Konservasi Arsitektur UBH (Gambar 6). Faktor-faktor keberadaan Rumah Gadang ini dipengaruhi oleh si

penghuni sendiri, pada awalnya tercatat sebanyak 200 Rumah Gadang di kawasan ini. Namun setelah adanya

pendataan ulang, hanya tertinggal 68 Rumah Gadang yang ada, hal ini dikarenakan tidak adanya perawatan

dari para penghuni untuk keberlangsungan rumah mereka masing-masing (Gambar 7).

Selain kegiatan konservasi yang menjadi tajuk utama dalam pelaksanaannya, masyarakat serta para

praktisi juga melakukan riset yang mendalam tentang Rumah Gadang pada masa awal dibangun yang menjadi

ilmu baru dan mungkin juga belum diketahui oleh masyarakat setempat. Pusaka-pusaka ini patut dijaga dan

dilestarikan untuk nantinya sebagai referensi dalam ilmu ber-Arsitektur bagi para generasi penerus Pendekar

Arsitektur Nusantara.

4. Arsitektur untuk Fitrah Manusia & Alam

Menurut Prof. Antariksa, Arsitektur merupakan suatu media yang memiliki inti hubungan antara

manusia, alam dan Tuhan yang mempunyai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu pengembangan Arsitektur di

Indonesia memerlukan paradigma baru yang selaras dengan berjalannya nilai-nilai luhur tersebut. Arsitektur

adalah suatu media yang harusnya digunakan dalam mewujudkan keadaan maupun kondisi yang memecahkan

suatu masalah di suatu wilayah, waktu dan berbagai wujud social serta budaya. Manusia sebagai pelaku yang

berpengaruh paling besar dalam ber-Arsitektur, harus mempunyai ide, gagasan dan pergerakan yang sesuai

dengan keilmuan arsitektur yang telah menjadi lokalitas di suatu wilayah yang ia tempati.

Kembali pada objek Kawasan Solok Selatan yang berada di Sumatera Barat. Kawasan yang disebut

sebagai Alam Surambi Sungai Pagu (Gambar 8) yang juga disebuta sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang,

menyimpan keaneka ragaman pusaka, tradisi, budaya serta kekayaan alam Nusantara. Selain terdapat Rumah

Gadang yang menjadi simbol keberadaran kaum Minangkabau yang merupakan bentuk fisik, kegiatan-kegiatan

adat juga masih dilakukan di kawasan tersebut, mengingat pemerintahannya masih melaksanakan sistem

dalam kerajaan (namun sudah tidak ada raja). Kawasan tersebut sedang melaksanakan kegiatan preservasi

dengan tahap mendata Rumah Gadang yang berada di sana dan masih berpenghuni. Julukan Nagari Saribu

Rumah Gadang menggambarkan kondisi dari kawasan tersebut yang memiliki banyak Rumah Gadang, pada

pendataan terakhir tercatat sebanyak 618 Rumah Gadang di kawasan ini. Pada saat ini, belum diketahui pasti

yang masih bertahan dan berpenghuni karena masih dalam proses preservasi.

Beraneka ragamnya Rumah Gadang di kawasan ini menjadi menarik untuk ditelusuri. Mulai dari

bentukan-bentukan yang unik, ukiran-ukiran disetiap Rumah Gadang, pola-pola ruang bangunannya serta

kegiatan-kegiatan adat yang biasa berlangsung di Rumah Gadang. Kegiatan preservasi pada kawasan ini

dilakukan karena adanya usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai pusaka dunia yang diusung oleh pihak

Gambar 8. Kawasan Alam Surambi Sungai Pagu (kiri), Kawasan Koto Baru di Alam Surambi Sungai Pagu (kanan).

Sumber: Defri Yandri [2012]

Page 7: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

UNESCO. Namun karena keterbatasan data dan kurangnya perhatian dari masyarakat yang menjadi penghuni

dari masing-masing Rumah Gadang tersebut, perlunya ada tindakan pembenahan diberbagai aspek. Terdapat

11 pengelompokan kawasan dalam skala kecil, pada kawasan Minangkabau disebut sebagai nagari. Alam

Surambi Sungai Pagu adalah letak awal dari akar kerajaan Minangkabau, yang selanjutnya berapa di daerah

Tanah Datar yang kini disebut sebagai Rumah Gadang Ustano Pagaruyuang. Pada kegiatan preservasi kawasan

ini di fokuskan kepada dua nagari yang memang memiliki banyak Rumah Gadang yaitu nagari Pasir Talang dan

nagari Kotobaru. Sementara untuk kegiatan konservasinya tidak terlalu dilaksanakan, karena keberadaan dan

kondisi dari bangunan Rumah Gadang yang masih berdiri dan bisa ditempati tidak mengalami kerusakan yang

parah, namun ada beberapa yang memang sudah dalam keadaan rata dengan tanah, sehingga perlakuan yang

seharusnya dilakukan hanya bisa untuk membangun kembali dari awal seperti yang dilakukan oleh Yori Antar

serta teman-teman.

Keaneka-ragaman bentuk dan jenis Rumah Gadang di kawasan tersebut memberikan berbagai

pemahaman tentang rumah tradisional, terutama di kawasan Sumatera Barat yang menyesuaikan dengan alam

sekitarnya. Bangunan panggung, yang menjadi salah satu ciri Rumah Gadang yang selalu ada. Ruang-ruang yang

di dalamnya pun juga beraneka ragam, tidak seperti rumah pada umumnya. Terdapat ruang tengah yang

merupakan ruang tengah, bersifat lepas karena kegiatan umum seperti makan, menerima tamu maupun

khusus seperti berkumpulnya para keluar untuk rapat serta musyawarah adat bisa dilakukan di ruangan ini,

dan ukurannya pun yang paling besar. Ruang anjuang yang terdapat di kanan atau kiri banguan, mempunyai

kenaikan lantai yang membedakan ruang tersebut dengan ruang tengah. Pada Rumah Gadang, ruang anjuang

ada yang satu tingkat dan ada yang dua tingkat. Rumah raja biasanya memiliki dua tingkat anjuang di bagian

kanan dan kiri, sementara untuk rumah rakyat ruang anjuang ada yang satu tingkat dan ada yang dua tingkat

tetapi hanya disatu sisi sana, kanan atau kiri. Anjuang akan digunakan pada waktu kegiatan adat seperti

pengangkatan penghulu/kepala adat, pernikahan saat ijab qabul dan pada saat upacara pengangkatan raja

(khusus di Rumah Gadang berstatus raja). Terakhir pada bagian belakang terdapat bilik-bilik yang merupakan

ruang privat dan hanya bisa digunakan oleh si penghuni saja (Gambar 9).

Pada kawasan ini terdapat lima jenis kategori bila dikelompokan melalui pola ruang yang dipengaruhi

tingkatan fisik maupun kegiatan yang terjadi. Pertama adalah Rumah Gadang tempat tinggal keluarga raja,

kedua Rumah Gadang pemerintahan raja, Rumah Gadang rakyat beranjuang, Rumah Gadang rakyat beranjuang

dua tingkat, Rumah Gadang rakyat tidak beranjuang (Gambar 10). Secara keseluruhan, ruang yang selalu ada

di Rumah Gadang adalah ruang tengah dan bilik.

Gambar 10. (Dari kiri ke kanan) Rumah Gadang tempat tinggal keluarga raja, Rumah Gadang

pemerintahan raja, Rumah Gadang rakyat beranjuang, Rumah Gadang rakyat beranjuang dua tingkat,

Rumah Gadang rakyat tidak beranjuang.

Gambar 9. Denah Rumah Gadang raja (kiri), Denah Rumah Gadang rakyat (kanan).

Page 8: Eksistensi Rumah Gadang sebagai identitas lokal

Arsitektur yang tercipta dari nenek moyang selalu memberikan solusi dalam menanggapi lingkungan

sekitar, hal tersebut terlihat dari bagaimana cara mereka membangun pernaungan untuk dihuni. Padahal pada

saat itu ilmu tentang arsitektur sangat minim, bahkan belum mengenal ada istilah tersebut. Namun dengan

kepekaan dan kepedulian terhadap alam serta adanya hubungan kepada Tuhan, semua kebutuhan pada

manusia tersebut terpenuhi dengan sendirinya, tanpa merusak keberadaan lingkungan dan tidak pula

mengancam keberlangsungan hidup makhluk lain. Pada hakekatnya, Arsitektur Nusantara tidak hanya

berhenti pada bangunan-bangunan tradisional saja, karena pengertian dari Nusantara sendiri adalah semua

wilayah, wilayah yang butuh kita olah sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak, tanpa merugikan satu

sama lain dan memiliki manfaat timbal balik antara yang berprilaku sebagai arsitek dan yang diberi perlakuan

melalui ilmu arsitektur tersebut.

5. Kesimpulan

Bahwa Arsitektur Nusanatar merupakan hubungan inti antara manusia, alam dan Tuhan. Manusia dan

alam yang hidup secara berdampingan, manusia harus bisa memperlakuan alam dengan sewajarnya.

Keberlangsungan Arsitektur Nusantara di tanah air perlu adanya tindakan lebih lanjut, karena saat ini

banyaknya pengaruh dari Arsitektur barat yang menjadi dasar pembangunan di perkotaan. Arsitektur

Nusanatara yang diusung oleh Mangunwijaya adalah salah satu alternatif selain Arsitektur barat, namun

Arsitektur Nusantara menurut Bapak Galih Widjil Pangarsa merupakan Arsitektur yang digunakan untuk

melawan erosentisme (yang berasal dari barat).

Bangunan tradisional merupakan salah satu media untuk pengembangan Arsitektur Nusantara hingga

saat ini, penerapan-penerapan bangunan tradisional yang telah dibangun oleh nenek moyang dapat menjadi

pelajaran bagaimana bangunan tersebut bisa bertahan serta tanggap dengan lingkungan (alam, iklim dan

cuara) serta meningkatkan kebudayaan dalam hidup ber-Arsitektur Nusantara yang ditandai dengan adanya

gotong royong disetiap kegiatan yang dijalani. Salah satu contoh adalah Rumah Gadang di kawasan Sumatera

Barat yang dimiliki oleh kaum Minangkabau, bentuk serta susunan bangunannya memberikan keuntungan

dalam menghadapi iklim tropis yang ada di Indonesia.

Pergerakan dalam memperjuangkan Arsitektur Nusantara diperlihatkan oleh salah satu Pendekar

Arsitektur Nusantara yaitu Yori Antar. Tindakan konservasi pada bangunan-bangunan tradisional serta

pelestarian merupakan salah satu tindakan untuk keberlangsungan perkembangan Arsitektur Nusantara itu

sendiri. Salah satunya adalah tindakan konservasi di kawasan Sumpur, Sumatera Barat dengan membangun

kembali Rumah Gadang yang sudah terbakar habis.

Fitrah manusia yang ber-Arsitektur selain adanya hubungan manusia, alam dan Tuhan, juga

diwujudkan dengan adanya nilai-nilai luhur kemanusiaan. Manusia merupakan subjek dalam ber-Arsitektur

yang memberi dampak besar pada alam, apakah alam tersebut menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih

buruk. Alam Surambi Sungai Pagu yang menjadi salah satu contoh kawasan preservasi dan konservasi untuk

menjaga keberlangsung bangunan-bangunan tradisional, menunjukkan eksistensinya dengan masih

banyaknya Rumah Gadang di kawasan tersebut. Bangunan-bangunan tersebut menjadi pusaka dalam

perkembangan Arsitektur Nusantara yang pada nantinya menjadi pegangan hidup seorang Arsitek Indonesia.

Maka, sudah siapkah kita melanjutkan perjuangan para pendahulu kita dalam ber-Arsitektur Nusantara di

masa kini?