bab iii ilmu ladunni dalam tasawuf - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/13991/52/bab 3.pdf ·...
Post on 20-Jun-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
BAB III
ILMU LADUNNI DALAM TASAWUF
A. Pengetahuan, Ilmu dan Sain
Pengetahuan, ilmu dan sain adalah tiga hal yang berbeda. Umumnya
terjadi banyak kesalah-pahaman dalam pemaknaan antara pengetahuan dan
ilmu. Kesalah-pahaman pemaknaan terjadi karena manyamakan antara
pengetahuan dan ilmu. hal ini dapat dimaklumi karena pengetahuan dalam
bahasa Arab berarti al-‘ilmu, sehingga terjadilah penyamaan makna antara al-
‘ilmu dalam bahasa Arab dan ilmu dalam bahasa Indonesia.1 Padahal dalam
kenyataannya al-‘ilmu dalam bahasa Arab dan ilmu dalam bahasa Indonesia
sangatlah jauh berbeda. Lebih lanjut Ahmad Tafsir lebih sepakat istilah ilmu
dalam bahasa Indosia dirubah menjadi sain,2 supaya tidak terjadi kebingungan
untuk membedakan antara ilmu dan pengetahuan.
Pengetahuan ialah semua yang diketahui.3 Menurut al-Qur’an, ketika
manusia ada dalam perut ibunya ia tidak mengetahui apa-apa. Namun ketika
lahir, ia pun langsung menangis. Alasan bayi menangis saat dilahirkan
mungkin karena ia merasa silau atau mungkin juga karena ia merasa dingin.
Karena ketika di dalam rahim ia tidak merasakan itu semua. Walaupun bayi
tersebut belum memahami itu semua, ini adalah pengetahuan. Pengetahuan
yang langsung ia rasakan. Semakin bertambah usia, berfungsilah pendengaran
hingga mampu mendengar suara-suara, kemudian berfungsi pula penglihannya
1 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung, Rosdakarya: 2004), 3. 2 Ibid, 3. 3 Ibid, 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
sehingga dapat melihat benda-benda. Ini semua adalah pengetahuan inderawi.
Seiring bertambahnya usia, manusia mengenal ayah dan ibunya, juga saudara-
saudaranya. Dalam interaksi mereka sehari-hari ada kalanya ia bahagia pada
saat-saat tertentu dan ada kalanya pula ia merasa sedih. Contohnya, ia akan
bahagia saat ia mendapatkan hadiah dari orang tuanya atau ketika
keinginannya dipenuhi oleh orang tua atau saudara-saudaranya. Sebaliknya, ia
akan sedih ketika orang tuanya meninggal atau ia gagal mencapai keinginan.
Ini juga merupakan pengetahuan rasa. Pengetahuan adalah sesuatu yang sudah
built-in (menyatu) dalam penciptaan manusia.4 Dengan ungkapan lain bahwa
pengatahuan adalah takdir manusia, walaupun dia tidak ingin tahu, pasti ia
akan tahu.
Ungkapan Ahmad Tafsir yang menyamakan ilmu dengan sain tidak serta
merta dapat diterima. Sain memiliki beberapa ketentuan yang tidak dapat
dipenuhi oleh ilmu. sain dalam istilah Inggris memiliki definisi systematic
knowledge of the physical or material world (pengetahuan sistematis
mengenai dunia fisis atau material).5 Dalam istilah lain sain dipakai juga untuk
menunjuk gugusan ilmu-ilmu kealaman atau natural sciences (physics).
Sedangkan ilmu sendiri memiliki definisi pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu. Yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
itu.6 Pemahaman sementara adalah sain berbeda dengan ilmu.
4 Ibid, 5. 5 C.L. Barnhart, The American College Dictionary, (Editor-in-chief, 1958), 1086. 6 Sampurna, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Cipta Karya:2003), 187.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
Menurut Liang Gie pengertian ilmu menunjuk sekurang-kurangnya tiga
hal, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode.7 Definisi ilmu yang menunjuk
pada pengetahuan adalah ungkapan Henry W. Johnstone, ilmu adalah sesuatu
kumpulan yang sitematis dari pengetahuan (any systematic body of
knowledge).8 Pengertian ilmu sebagai pengetahuan sesuai dengan asal-usul
istilah bahasa Inggris science yang berasal dari perkataan Latin scientia yang
diturunkan dari kata scire. Perkataan terakhir memiliki arti mengetahui (to
know). Tetapi pengetahuan sesungguhnya hanyalah hasil dari suatu kegiatan
yang dilakukan oleh manusia. Perkataan Latin scire juga memiliki arti belajar
(to learn). Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa makna tambahan dari
ilmu adalah aktivitas, sebagaimana yang dirumuskan oleh Charles, Singer
science is the process which makes knowledge (ilmu adalah aktivitas yang
membuat pengetahuan).9 Tentunya aktivitas untuk memperoleh pengetahuan
membutuhkan cara, maka cara itulah yang selanjutnya diistilahkan dengan
metode. Sehingga ilmu didefinisikan pula suatu cara yang teratur untuk
memperoleh pengetahuan (an organized way of obtaining knowledge).10
Pernyataan senada dengan Liang Gie dalam penggabungan pengetahuan,
aktivitas dan metode disampaikan oleh Jean Ladriere, science may be
regarded as the sum of our present knowledge, or as reseach activity, or as a
methode of acquiring knowledge (ilmu dapat dipandang sebagai keseluruhan
pengetahuan kita saat ini, atau sebagai suatu aktivitas penelitian, atau sebagai
7 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyskarta, Liberty: 2010), 86. 8 Henry W. Johnstone, Jr., ed., What is Philosophy?, 1968, 8n. 9 Max Black, Critical Thinking, 1954, 402. 10 John Biesanz & Mavis Biesanz, Modern Society: an Introdection to Sosial Science, 1959, 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
suatu metode untuk memperoleh pengetahuan).11 Kemudian dipertegas dengan
pernyataan dari Marx dan Hillix, The safest procedure is to accept them all
and consider science as the total enterprise: men thinking with a certain
attitude, using scientific methods to produce facts and theories that are
ordered descripsions and explanations of the world (prosedur yang teraman
adalah menerima kesemuanya dan menganggap ilmu sebagai usaha
keseluruhan yang bulat: orang-orang berpikir dengan suatu sikap tertentu,
memakai metode-metode ilmiah untuk menghasilkan fakta-fakta dan teori-
teori yang merupakan penerimaan yang teratur dan penjelasan tentang dunia
ini).12 Liang Gie sendiri merumuskan definisi ilmu sebagai berikut: Ilmu
adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai
metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan
kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman,
kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran,
memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan
penerapan.13 Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
ilmu memiliki lingkup objek pembahasan yang lebih luas dibanding sain yang
terbatas pada kealaman. Dengan ketentuan ilmu memiliki tiga tahapan, yaitu
pengetahuan, metode dan aktivitas.
11 Jean Ledriere, The Challenge Presented to Cultures by Science and Technology, 1975, 19. 12 Melvin H. Marx & William A. Hillix, The Nature of Science, dalam Oscar H. Fidell, ed., Ideas in Science, 1966, 8. 13 The Liang Gie, Opcit, 93.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
B. Tasawuf
Istilah lain dari tasawuf adalah mistis. Istilah tasawuf adalah istilah khusus
yang disematkan bagi praktisi mistis dalam agama Islam, sedangkan istilah
praktisi mistis pada agama lain dikenal dengan istilah mistisisme. Pada
dasarnya tasawuf adalah ekspresi seseorang dalam aktifitas keberagamaan.
Ketika "ajaran" fiqh, kalam dan filsafat dirasa tak lagi mampu membawa
manusia ke dalam tujuan hakiki beragama, maka tidak pelak lagi, tasawuf
dengan jalan "pencarian" yang mengedepankan dimensi batin dan spiritual,
mulai banyak dilirik.14
Sebagai asumsi dasar, tasawuf mengajarkan bahwa realitas Tuhan tidak
dapat diketahui oleh metode-metode logis atau rasionalis yang cenderung
eksoteris. Realitas Tuhan harus didekati melalui cinta, karena cinta
membawa pada penghayatan keagungan dan rahmat Ilahi, dimana perasaan
intimasi yang esoteris bersama-Nya bisa tercapai. Dari perspektif kaum
sufi, sepanjang "engkau" masih "dirimu sendiri", engkau tidak akan pernah
mengenal Tuhan, karena selubung terbesar yang menghalangi engkau
dengan realitas Tuhan adalah "dirimu". Hanya api cinta ilahi yang dapat
membakar egosentrisitas. Lebih-lebih, cinta ilahi muncul secara spontan, ia
tidak dapat dipelajari melalui kajian.
14 Arifin, Samsul, dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. (Yogyakarta: Sippress: 1996), 36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
1. Definisi Tasawuf
Dilihat dari asal katanya yaitu “s}hu>f” yang berarti bulu domba atau
wol,15 sedangkan definisi tasawuf secara terminologis sebagaimana
tercantum dalam kamus A Learner’s Dictionary of Current English
susunan A.S. Hornby dan kawan-kawan. Definisi misticism adalah the
teaching or belief that knowledge of real truth and od god may be
obtained through meditation or spiritual insight, independently of the mind
and senses (ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat
atau Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau tanggapan kejiwaan
yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera).16
2. Tasawuf Sebagai Ilmu
Ditinjau dari definisi yang diungkakan di atas, dapat dipahami
bahwa objek kajian tasawuf adalah abstrak yang tentunya menjadi
kendala untuk diakui menjadi salah satu disiplin keilmuan. Namun,
dalam kenyataannya tidak demikian, tasawuf mendapat legitimasi
sebagai sebuah ilmu pada masa tabi’ien, yaitu pada abad ke-2 hijroh.17
Masa kemunculannya bersamaan dengan Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu
Akhlak, Siroh Nabawiyah, dan lain-lain, yang kemudian dikenal dengan
istilah Ilmu-ilmu Agama.
15 Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2008), 15. 16 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Press:2002), 11. 17 Muhammad idris Jauhari, Anak Muda Menjadi Sufi, Kenapa Tidak?, (Prenduan, Al-Amien Press:2003), 11.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
3. Tasawuf dan Psikologi
Tasawuf dan Psikologi memiliki hubungan yang sangat dekat.
Perbedaan dari keduanya yaitu dalam hal potivistik dan intuitifnya saja.
Psikologi menitik beratkan pada sisi penelitian dan uji coba yang berakhir
pada ranah pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf lebih
cenderung pada pengalaman pribadi untuk mencapai pada kebahagiaan
jiwa. Sebagaimana disinggung dalam buku Psikologi Tasawuf karya
Tamami Hag, objek bahasan Ilmu Psikologi adalah kesehatan mental,
mental yang sehat adalah mental yang mampu menghantarkan jiwa pada
kebahagiaan.18
Sadar akan pentingnya mental yang sehat, para ahli merumuskan
pengertian ilmu kesehatan yang mencakup kajian lebih luas. Menurut
Goble, mengutip dari Assagioli, kesehatan mental hendaknya
representasi dari perwujudan integritas kepribadian, keselarasan dengan
jati diri, pertumbuhan ke arah realisasi diri, dan ke arah hubungan yang
sehat dengan orang lain. Sepintas, pengertian demikian telah memiliki
kesempurnaan berkaitan dengan kesehatan mental, namun ketika diteliti
lebih lanjut, definisi tersebut masih mengandung kekurang-sempurnaan,
terlebih jika dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam.
Apabila dicermati, definisi demikian mengacu pada psikologi
murni, yang sangat mengandalkan data-data empiris dan metodologi
rasional. Sebaliknya, data meta-empiris sama sekali tidak tersentuh oleh
18 Tamami Hag, Psikologi Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2011), 38-39.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
kajian ilmu psikologi ini. Upaya penyempurnaanpun dilakukan menuju
arah “ketercakupan seluruh potensi manusia yang multi dimensi”.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat, dengan
ungkapannya bahwa kesehatan meental adalah personifikasi iman dan
takwa seseorang.19
Jika demikian yang terjadi, maka sesungguhnya ahli Tasawuf telah
lebih dulu merumuskan dan merealisasikan dalam kehidupannya sehari-
hari dan juga telah mereka ajarkan dalam tulisan-tulisan karyanya.
Pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan keagamaan banyak
ditemukan dalam karya-karya para sufi, diantaranya adalah al-Ghazali.
Dalam Ihya>’ ‘Ulu>m ad-Di>n dan Munqi>dz min al-Dhala>l,
menguraikan pengaruh dan penghayatan al-Ghazali terhadap adanya
pengaruh ajaran Agama Islam. Satu hal paling masyhur dalam kedua
buku tersebut adalah “Konversi al-Ghazali”. Konversi al-Ghazali tidak
dipahami sebagai proses perpindahan dari satu Agama ke Agama lain,
tetapi merupakan proses kematangan keberagamaan.20
4. Dasar-dasar Tasawuf
Tasawuf yang telah kita kenal selama ini, apabila kita amati dari
sumber perkembangannya, maka akan kita jumpai adanya dua golongan
yang saling berselisih pendapat. Di antara dua golongan tersebut ada yang
pro dan ada pula yang kontra. Mereka yang kontra kebanyakan diwakili
19 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta, IAIN:1978), 4. 20 William James, The Varietes of Religious Experiences, (New York, Collier Books:1974), 309-311.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
oleh para orientalis dan orang-orang yang banyak terpengaruh oleh
kalangan orientalis. Mereka (para orientalis) mengatakan bahwa tasawuf
dalam Islam (misticisme, sufisme) tumbuh karena terpengaruh oleh ajaran
luar Islam, antara lain pengaruh dari ajaran agama Hindu, agama Persia,
ajaran agama masehi, pemikiran filsafat Yunani dan ajaran Neo
Platonisme.21 Sedangkan bagi golongan yang pro, mereka mengatakan
dengan tegas bahwa tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal
tersebut dapat dijumpai dari beberapa ayat al-Quran yang bersinggungan
dengan unsur-unsur yang ada di dalam tasawuf.
5. Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf
menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-
teori perilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering
disebut sebagai tasawuf salafi>, tasawuf akhlaqi>, atau tasawuf sunni>.
Sedangkan tasawuf yang berorientasi ke arah yang kedua disebut tasawuf
falsafi.22 Beberapa tokoh tasawuf Ahklaqi> antara lain: Hasan Al-Bashri
(21-110 H.) dengan ajaran raja>’, khawf dan dzikrulla>h. Al-Muhasibi
(165-243 H.) dengan ajaran Makrifat, khawf dan Raja>’. Al-Qusyairi
(376-465 H.) memiliki tiga poin dalam ajaran tasawufnya. Pertama,
mengembalikan tasawuf ke landasan Ahlussunah. Kedua, menekankan
21 Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2008), 39. 22 Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia: 2008), 61.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
pada kesehatan batin. Ketiga, meluruskan penyimpangan para sufi. Al-
Ghazali (450-505 H.) ada dua yaitu makrifat dan Al-Sa’a>da>h.
Beberapa tokoh sufi yang memiliki keterkaitan dengan tasawuf
Irfa>ni> antara lain: Rabi’ah Al-Adawiyah (95-185 H.) dengan ajaran
Mah{abbah (cinta). Dzu Al-Nun Al-Mishri (180-246 H.) dengan ajaran
maqa>ma>t dan Ahwa>l. Abu Manshur Al-Hallaj (244-311 H./855-922
M) dengan ajaran Hulu>l dan Wah}dat Al-Syuhu>d. Abu Yazid Al-
Busthami (263-336 H./874-947 M.) dengan ajaran Fana>’, Baqa>’ dan
Ittiha>d.
Beberapa tokoh tasawuf Falsafi> antara lain: Ibn ‘Arabi (560-638
H.) dengan ajaran Wihdat Al-Wuju>d, Haqi>qah Muhammadiyah dan
Wihadat Al-Adya>n. Ibn Sab’in (614-669 H.) ajaran tasawufnya ada dua,
yaitu: kesatuan mutlak dan penolakan terhadap logika Aristotelian. Al-Jili
(754-806 H./1365-1417 M.) dengan ajaran Insa>n Al-Ka>mil dan
Maqa>ma>t (Al-Martabah).
C. Ilmu Ladunni
Telah menjadi pemahaman banyak orang, bahwa ada sebagian ‘kecil’
hamba Tuhan yang telah dikaruniai rahmat langsung dari-Nya. ‘Orang-orang
suci’ tersebut dipercaya memiliki berbagai kelebihan yang orang lain tidak
memilikinya. Mulai dari nabi-nabi yang memiliki mukjizat yang berbagai
macam, wali-wali Allah yang mempunyai karomah luar biasa, sampai orang-
orang biasa yang memiliki keanehan dalam hidupnya. Semua ini tidak dapat
lepas dari kuasa Tuhan dan sulit dinalar.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Salah satu kelebihan (keanehan) yang terdapat dalam orang-orang terpilih
tersebut adalah kecerdasan akal serta pengetahuan yang didapat secara tiba-
tiba, atau kebanyakan orang menyebutnya sebagai “ilmu ladunni”. Dalam
sejarah yang dicatat oleh Alqur’an disebut nabi Khidir, yang memiliki
pengetahuan luas dan mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa
mendatang. Ataupun keyakinan kebanyakan orang tentang Ilmu Ladunni yang
dimiliki oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Kelebihan (ilmu) yang dimiliki mereka
tentu merupakan sebuah anugerah karena mereka adalah hamba-hamba yang
benar-benar mengabdi pada Tuhan dan mengerti tentang Tuhan. Nah, disinilah
terdapat pemahaman yang berbeda mengenai ilmu ladunni.
1. Definisi Ladunni
Secara etimologis ladunni berasal dari bahasa Arab “ladun” yang
memiliki padanan kalimat dengan “’inda” yang memiliki padanan dalam
bahasa Indonesia “milik”. Namun jika diamati lebih lanjut terdapat
perbedaan antara ladun dan ‘inda, ladun memiliki kekhususan dan
memiliki kedekatan yang lebih dibandingkan ‘inda. Selain itu ada syarat
yang hanya dimiliki ladun yaitu harus benar-benar ada (present) sesuatu
yang dimiliki.
Secara terminologis ladunni memiliki arti:
٢٣علم رباني يصل لصاحيه عن طريق اإللهام
(Ilmu Ketuhanan yang dianugerahkan kepada hamba pilihan
dengan perantaraan ilham).
23 Mujamma’ al-Lughat al-‘Arabiyyah, Al-Mu’jam al-Wasi>t}, cet ke-4, (Kairo: Maktabat as-Syuru>q al-Dauliyah, 2004), 822.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
Dari definisi yang terkandung dalam istilah di atas, dapat
disimpulkan bahwa ladunni lebih kepada kehadiran ilmu yang dirasakan,
sehingga kehadirannya tanpa melalui representasi seperti halnya ilmu-ilmu
pada umumnya. Kehadiran identik dengan penyaksian (al-Musya>hadah),
istilah al-Musya>hadah dikenal juga dengan istlah al-Muka>syafah
(tersingkap / terbuka). Walaupun memiliki perbedaan istilah tetapi esensi
dari keduanya sama, yaitu mengetahui kehadiran.
2. Al-Muka>syafah
Al-Muka>syafah atau penyaksian bagi para sufi adalah inti dari
riyadhah yang mereka lakukan. Teori penyaksian ini menurut Suhrawardi
adalah cara terbaik dan tervalid untuk mengetahui sesuatu. Dalam teori
penyaksian terjadi penggabungan dua pendekatan secara integral, yaitu
pendekatan mental dan visi langsung terhadap objek yang diketahui.
Dengan cara demikian, suatu objek benar-benar dapat dirasakan, sehingga
tidak membutuhkan definisi dan representasi.24 Lebih lanjut Suhrawardi
menyatakan bahwa yang demikian itu adalah pengetahuan murni tanpa
membutuhkan predikatif, atau dapat dilambangkan “X adalah” (ini adalah
pengetahuan murni), sedangkan pengetahuan yang menggunakan
predikatif dilambangkan “X adalah Y”.25
Labih lanjut yang dimaksud dengan penyaksian (al-Muka>syafah)
bukanlah penyaksian objek oleh mata yang berasal dari pancaran cahaya
24 Luqman Junaidi, Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi, (Depok, Tesis:2009), 82. 25 Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Afif Muhammad, cet. Ke-I (Bandung, Zaman Wacana Ilmu:1998), 131.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
kepada objek, tetapi karena mata yang sehat menangkap cahaya yang
dipancarkan oleh objek itu sendiri. Sehingga hasil dari penangkapan objek
tersebut menghilangkan berbagai tirai antara subjek dan objek.
إن اإلنصار ليس بانطباع صورة المرئي في العين، وليس بخروج شيء من البصر،
ر. وحاصل المقابلة يرجع إلى عدم الحجاب جالمستنير للعين السليمة ال فليس إال بمقابلة
بين الباصر والمبصر.
Pandangan bukan karena terciptanya ilustrasi objek pada mata, juga bukan karena keluarnya sesuatu dari mata, akan tetapi karena penerimaan mata yang sehat terhadap objek yang bercahaya, tidak lebih. Penerimaan ini menghasilkan tidak adanya penghalang antara yang melihat dengan yang terlihat.26
Sekilas, pandangan Suhrawardi ini sama dengan hukum fisika
modern yang menyatakan bahwa, kita bisa melihat benda karena benda itu
memancarkan cahaya kepada mata, bukan mata kita yang memancarkan
cahaya kepada benda itu. Dalam teori ini, subjek yang melihat seolah
pasif, sementara objek yang terlihat terkesan aktif. Mata sebagai instrumen
yang dimiliki subjek untuk mengetahui berada pada posisi menerima data,
sedangkan benda yang terindera berfungsi sebagai pemberi data.
Pada titik inilah, kita menemukan perbedaan antara teori
penyaksian Suhrawardi dan Mukasyafah kaum sufi dengan hukum fisika
modern. Dalam konsep mukasyafah dan penyaksian, kedua belah pihak,
baik subjek harus sama-sama aktif dan tidak ada yang bersifat pasif.
Suhrawardi memperjelas dengan mensyaratkan keharusan adanya dua
cahaya yang bertemu dalam proses penyaksian, yaitu cahaya dari subjek
26 Suhrawardi, Majmu>’at al-Mus}annafah Syaykh al-Isyra>q I, cet. Ke-I, (Teheran, Institut d’Etudes et des Recherehes Culture, 1993), 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
dan cahaya dari objek. Dari pertemuan dua cahaya inilah yang
menghasilkan penangkapan esensial yang bermuara pada pengetahuan
sejati tentang objek yang terlihat tersebut.
Apabila salah satu pihak bersikap pasif, yang memungkinkan
berbuat pasif adalah subjek. Misalnya subjek memejamkan mata lalu
berinisiatif menghayal, tentunya hal tersebut tidak akan menghasilkan
pengetahuan karena proses penyaksiannya tidak berlangsung sempurna.
Mata yang terpejam bukan hanya tidak menerima cahaya yang
dipancarkan objek, tetapi hakikatnya subjek tidak memancarkan cahaya
untuk memindai objek tersebut. Jadi, pada tataran ini, epistemologi
kehadiran (present) dapat berlangsung sempurna saat subjek dalam
keadaan benar-benar sadar. Pada saat yang sama, menggugurkan anggapan
yang menyatakan bahwa penyaksian terjadi karena imajinasi dan hayalan.
3. An-Nu>r
Bagi orang yang sudah akrab dengan mistisme Islam, penggunaan
terminologi cahaya dalam ranah ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah
sesuatu yang asing. Terminologi ini telah disinggung oleh Syaikh Waqi’
(guru Imam Syafi’i). Dalam kisah yang sangat popular, diceritakan bahwa
Imam Syafi’i mengadukan kesulitannya dalam menghafal kapada gurunya.
Kemudian gurunya memberikan petunjuk bahwa ilmu adalah cahaya, dan
hanya akan diberikan kepada hamba yang hatinya bersih.
فأرشدني إلى ترك المعاصى # يع سوء حفظيشكوت إلى وك
ونور هللا ال يهدى للعاصي # وأخبرني بأن العلم نور
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
Kuadukan kepada waqi’ tentang kesulitanku dalam menghafal, Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat, ia mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang durjana.27
Mungkin sekilas yang terbayang dalam benak kita, cahaya adalah
apa yang sering kita temui dalam realitas empiris. Ternyata, kenyataannya
tidak demikian. Suhrawardi dengan konsep cahayanya memberikan
penegasan bahwa cahaya adalah sesuatu yang sudah jelas dan terang
dengan dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan definisi lagi.28 Ia
menyatakan bahwa cahaya bukan hanya realitas yang paling terang, tetapi
juga bisa menerangi yang selainnya. Atas dasar itulah tidak ada pengertian
apapun yang bisa melukiskan cahaya, sebab tujuan pengertian adalah
membuat sesuatu yang awalnya kabur menjadi benar-benar dipahami.
Karena tidak ada yang lebih bisa dipahami dari cahaya, maka secara ipso
facto tak ada definisi yang dibutuhkan untuk menerangkan tentang cahaya.
Kesimpulannya adalah, istilah cahaya yang dielaborasi Suhrawardi
bukanlah mengacu kepada cahaya yang kita temui secara empiris, tetapi
dalam konteks yang lebih luas, istilah cahaya mengacu kepada segala
sesuatu yang begitu jelas dan cemerlang sehingga tidak diperlukan
penyelidikan praktis apapun untuk menjelaskannya.
Setelah menguraikan hakikat tentang cahaya, Suhrawardi
meneruskan uraiannya dengan mempertentangkan antara cahaya dan
kegelapan. Masing-masing dari keduanya terbagi menjadi dua. Cahaya
27 Abu Bakar ad-Dimyathi, ‘Ina>yat at-Tha>libi>n, cet. Ke-1 (Beirut, Dar al-Fikr: tt), 167. 28 Suhrawardi, Majmu>’at al-Mus}annafah Syaykh al-Isyra>q I, cet. Ke-I, (Teheran, Institut d’Etudes et des Recherehes Culture, 1993), 106.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
terbagi dua, yaitu cahaya murni (an-Nu>r al-Mahd}i) dan cahaya temaram
(an-Nu>r al-Arid}). Cahaya murni bersifat mandiri dalam zatnya dan tidak
bercampur dengan sesuatu yang lain. Berbeda dengan cahaya temaram, ia
tidak mandiri dan terkandung dalam sesuatu yang lain.29
Sebagaimana cahaya yang terbagi dua, kegelapan pun terbagi
menjadi dua, yaitu substansi kabur (al-Jawhar al-Jisma>n al-Gha>siq)
dan substansi gelap (al-Hai’at al-Dzulma>niyyah). Substansi kabur
memiliki sifat mandiri, sedangkan substansi gelap bersifat tidak mandiri.30
Selain cahaya dan gelap ada sesuatu yang tidak diantara keduanya, dalam
istilah Suhrawardi disebut dengan Barzakh.31
Lebih lanjut Suhrawardi menyebut setiap orang yang mengetahui
dirinya sendiri sebagai cahaya murni (an-Nu>r al-Mahd}i).
كل من كان له ذات ال يغفل عنها فهو غير غاسق لظهور ذاته عنده، وليس هيئة ظلمانية
في الغير. إذ الهيئة النورية أيضا ليست نورا لذاته فضال عن الظلمانية، فهو نور محض
مجرد.
Setiap diri yang tidak lalai akan esensinya bukanlah substansi kabur karena penampakan esensinya pada dirinya. Ia juga bentuk kegelapan bagi esensi lain, bahkan bentuk cahaya itu sendiri bukanlah cahaya bagi dirinya. Ia adalah cahaya murni.32
Pada dasarnya Suhrawardi ingin menegaskan bahwa setiap orang
memiliki potensi untuk menjadi cahaya murni yang bukan hanya mampu
menerangi dirinya sendiri, tapi juga mampu menerangi alam sekitarnya.
Jika ditarik dalam lapangan praktis, setiap individu adalah entitas unik
29 Ibid, 108. 30 Ibid,109. 31 Ibid,108. 32 Ibid, 110-111.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
yang memiliki “bekal” sama dan setara untuk memiliki ilmu pengetahuan
yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sayangnya, tidak semua
individu menginsafi potensi yang sudah tertanam dalam dirinya sehingga
dapat dieksplorasi sedemikian rupa. Akibatnya, potensi tersebut statis dan
tidak mewujud menjadi aktus yang bisa dimanfaatkan, walaupun tidak
hilang sama sekali.
4. Al-Ta’li>m
Al-Ta’li>m atau pengajaran mensyaratkan adanya murid dan
adanya guru. Ketiadaan salah satu dari keduanya maka membatalkan
terjadinya pengajaran. Ilmu ladunni mensyaratkan adanya pengajaran,
secara otomatis mengharuskan keberadaan murid dan guru. Allah SWT
berfirman:
“Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
maka kamu tidak akan lupa.” (QS. al-A’la; 6)
Ayat tersebut dengan jelas menerangkan tentang pengajaran. Nabi
Muhammad SAW sebagai murid yang menginginkan pengetahuan sejati,
kemudian Allah SWT mengajarkan kepada beliau dengan perantaraan
Jibril atau tanpa perantaraan Jibril.
Secara eksplisit kisah tentang ilmu ladunni dapat direkam di dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi, dari ayat 60 sampai ayat 82. Muhammad Luthfi
Ghozali dalam bukunya Sejarah Ilmu Ladunni menjelaskan bahwa
perolehan ilmu ladunni (ilmu di luar nalar) tanpa adanya guru hakikatnya
adalah ilmu yang berasal dari jin atau setan yang berfungsi sebagai
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
istidro>j (kemanjaan sementara), dan ketika masa tangguhnya habis
istidro>j itu berangsur-angsur hilang dan berganti dengan kehancuran.33
Fungi guru dalam pencarian ilmu ladunni, seumpama sebuah
pengalaman. Guru adalah sosok yang telah mencapai pengalaman tersebut.
Maka seorang murid yang ingin mencapai pengalaman tersebut hendaknya
menjalankan tahapan-tahapan sesuai arahan guru yang telah pernah samapi
pada pengalaman tersebut. Ketiadaan guru dapat dipastikan pengalaman
yang diraihpun berbeda, bahkan kemungkinan tersesatpun sangat besar
karena banyak tipuan di dalamnya.34
5. Sejarah Ilmu Ladunni
Sejarah tentang ilmu ladunni dapat direkam dari ayat-ayat surat al-
Kahfi sebanyak 22 ayat. Dimulai dari ayat 60 sampai ayat 82. Peristiwa
sejarah itu diperankan dua tokoh sentral. Nabi Musa dan nabi Khidhir
sebagai gambaran sosok yang telah menjiwai ilmunya masing-masing.35
Untuk menghasilkan ilmu laduni, dua karakter tokoh sentral
tersebut dipertemukan dengan pelaksanaan amal ibadah. Diharapkan
dengan amal tersebut dapat membuahkan suatu jenis “pemahaman hati”.
Pemahaman hati itulah yang dinamakan ilmu laduni.
Menurut suatu riwayat, suatu saat Nabi Musa as. ketika baru saja
menerima Kitab dan berkata-kata dengan Allah, bertanya kepada
Tuhannya: "Siapakah kira-kira yang lebih utama dan lebih berilmu tinggi
33 Muhammad Luthfi Ghozali, Sejarah ilmu ladunni, (Semarang, Abshor:2008), 8 34 Ibid, 9-10. 35 Ibid, 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
selain aku?” Maka dijawab: “Ada, yaitu hamba Allah yang berdiam di
pinggir laut, bernama Khidhir as”.
Di dalam hadits riwayat imam Bukhori dan Muslim, dari Abi bin
Ka’ab ra. telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ketika suatu saat
Nabi Musa berdiri berkhothbah di hadapan kaumnya, Bani Isra’il, salah
seorang bertanya: “Siapa orang yang paling tinggi ilmunya”, Nabi Musa
as. menjawab: “Saya”. Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman
kepadanya, supaya Musa tidak mengulangi statemannya itu; “Aku
mempunyai seorang hamba yang tinggal di pertemuan antara dua
samudera, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu”. Nabi
Musa as berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa menemuinya”.
Tuhannya berfirman: “Bawalah ikan sebagai bekal perjalanan, apabila di
suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya.
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, disaat Nabi Musa as.
munajat kepada Tuhannya, beliau berkata: “Ya Tuhanku, sekiranya ada
diantara hambaMu yang ilmunya lebih tinggi dari ilmuku maka tunjukilah
aku”. Tuhannya berkata: “Yang lebih tinggi ilmunya dari kamu adalah
Khidhir”, Nabi Musa as. bertanya lagi: “Kemana saya harus mencarinya?”,
Tuhannya menjawab: “Di pantai dekat batu besar”, Musa as. bertanya lagi:
“Ya Tuhanku, aku harus berbuat apa sehingga aku dapat menemuinya?”,
maka dijawab: “Bawalah ikan untuk perbekalan di dalam keranjang,
apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, berarti Khidir itu berada
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
disana”. Kemudian Musa as. berkata kepada muridnya: “Apabila ikan itu
hidup lagi, kamu segera beritahukan kepadaku”.36
Berangkatlah mereka berdua dengan berjalan kaki. Ketika sampai
di suatu tempat, di sebelah batu besar, nabi Musa istirahat dan tertidur,
ikan tersebut bergerak hidup dan meloncat ke laut. Tapi sang murid lupa
melaksanakan pesan gurunya. Kemudian mereka meneruskan perjalanan,
setelah sampai waktunya makan sore, nabi Musa mencari perbekalannya,
muridnya baru ingat pesan tersebut dan menceritakan kejadian ikan yang
hidup lagi dan meloncat masuk ke laut dengan cara yang menakjubkan.
Itulah tempat yang mereka tuju, maka kembalilah mereka berdua, dengan
mengikuti tapak tilas perjalanan, mencari dimana ikan tersebut masuk ke
laut.
Setelah sampai di tempat yang dituju, keduanya bertemu dengan
seorang laki-laki. Musa menyampaikan salam dan laki-laki itu menjawab.
Musa kemudian mengenalkan diri dan menceritakan tujuan perjalanannya.
Kemudian nabi Khidhir as. menjawab:
يا موسى إنى على علم من علم هللا علمنيه ال تعلمه أنت وأنت على علم من علم هللا علمكه هللا ال أعلمه.
“Wahai Musa, aku dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah
mengajarkannya kepadaku tapi tidak diajarkan kepadamu, sedangkan
engkau dengan ilmu dari ilmu Allah yang Allah mengajarinya kepadamu
akan tetapi tidak diajarkan kepadaku.”
36 Muhammad Luthfi Ghozali, Sejarah ilmu ladunni, (Semarang, Abshor:2008), 17.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
Kemudian mereka, Musa dan Khidhir berangkat mengadakan
perjalanan bersama. Ketika naik perahu, mereka melihat seekor burung
mencari makanan di laut, burung itu memasukkan paruhnya di air
kemudian terbang lagi. Khidhir sa. berkata: Hai Musa, ilmumu dan ilmuku
jika dikumpulkan dengan seluruh ilmu makhluk yang ada di alam semesta
ini, dibandingkan dengan ilmu Allah tidaklah lebih besar daripada air yang
ada di paruh burung itu dibanding dengan air yang ada di seluruh
samudera ini. Air yang ada di paruh burung itu ibarat ilmu yang telah
dikuasai seluruh makhluk di alam ini sedangkan air di seluruh samudera
adalah ibarat ilmu Allah dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala
hakikat perkara.
Kesimpulan dari sejarah ilmu ladunni adalah ilmu yang
digambarkan dari pertemuan dua nabi mulia, yaitu Nabi Musa dan Nabi
Khidir. Nabi Musa secara karakter digambarkan menguasai ilmu dhahir.
Sedangkan Nabi Khidir secara karakteri menguasai ilmu bathin. Allah
tidak memerintahkan Nabi Musa untuk belajar kepada Nabi Khidir, tetapi
Allah juga tidak melarang untuk belajar kepadanya. Tetapi karena rasa
ingin belajar yang tinggi yang dimiliki nabi Musa sehingga ia tetap
berguru kepada seorang Nabi yang Allah nyatakan lebih pintar dari Nabi
Musa. Baik ilmu yang dikuasai oleh nabi Musa dan nabi Khidir ketika
digabungkan sangatlah sedikit dibandingkan ilmu yang diberikan Allah
kepada seluruh hambanya dengan perumpamaan tetesan air dari paruh
burung.
top related