bab ii
Post on 27-Dec-2015
15 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Mahasiswa
1. Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di
Universitas maupun insistut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid
di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008).
Sedangkan menurut Wingkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang usia dari
18 sampai dengan 19 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun. Rentang usia
ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18 sampai dengan 19 tahun sampai 20
sampai dengan 21 tahun yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan
semester IV dan periode usia 21 sampai dengan 22 tahun sampai 24 sampai
dengan 25 tahun yaitu dari mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII
(Fadillah, 2013).
Mahasiswa tergolong usia remaja akhir. Remaja adalah anak berusia 10-
19 tahun (Walker, 2002). Menurut Wong’s dan Hockenberry (2007) usia
remaja dibagi menjadi 3 fase yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja
menengah (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-20 tahun).
Wingkel (1997) mengatakan tugas perkembangan yang dihadapi
mahasiswa adalah pada dasarnya mahasiswa semester awal harus menyesuaikan
diri dengan pola kehidupan dikampus dan diluar kampus, baik yang
menyangkut hal-hal akademis maupun non akademis mahasiswa di semester
tinggi harus menentapkan diri dalam mengajar cita-cita di bidang studi
akademik di pekerjaan dan di bidang kehidupan. Beraneka kesulitan yang
timbul dapat di bagi atas dua kelompok kesulitan ini berpengaruh terhadap yang
lain kesulitan di bidang akademis misalnya: kurang menguasai cara belajar
mandiri, kurang mampu mengatur waktu yang baik, salah pilih program studi,
hubungan dengan dosen renggang atau jenuh. Sedangkan dibidang non
akademis misalnya: kesulitan menanggung biaya pendidikan. Kurang dalam
fasilitas belajar asupan makan yang kurang bergizi ketegangan dalam bergaul
dengan teman atau rasa bosan.
Kegagalan dalam beradaptasi terhadap perubahan fisik, emosional,
interlektual, spiritual dan ketidakefektifan mekanisme koping dapat memicu
remaja untuk berperilaku negative seperti merokok, alkohol, tawuran, seks
bebas bahkan penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).
Remaja akhir tidak lagi menerima pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolute yang diberikan kepada mereka tanpa bantahan. Remaja mulai
membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah popular berkenaan
dengan lingkungan mereka, misalnya politik, ekonomi, kemanusiaan dan
keadaan sosial (Potter dan Perry, 2005). Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak
alternatifnya. Kondisi tersebut juga memicu stres, terutama pada mahasiswa
yang lebih sering terpapar masalah tersebut.
Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan tuntutan akademik,
penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasi akademik yang rendah dan
masalah kesehatan merupakan indikator bahwa terdapat gangguan psikologis
yang sering dialami mahasiswa. Gangguan psikologis tersebut erat kaitannya
dengan kehidupan akademik yang dialami oleh pelajar dimana seseorang
tersebut mencari ilmu pengetahuan.
2. Peran Teman Sebaya
Siswa SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan mahasiswa sesuai dengan usia
perkembangannya berada pada masa remaja. Pada masa ini, ketertarikan
dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini
antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami
mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok yang
eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling memahami. Sebagian
(besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah serius mereka
dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua, guru pembimbing atau
dosen pembimbing . Untuk masalah yang sangat seriuspun (misalnya,
hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah, dan keinginan melakukan
aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru
mereka. Kalaupun terdapat beberapa siswa yang akhirnya menceritakan
kehamilan atau hubungan seksual mereka kepada orang tua atau guru
pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa (pembicaraan dan upaya
pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan buntu). (Suwarjo,
2008).
Dalam segala segi remaja mengalami perubahan dan perubahan-
perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan ketidak-
pastian. Goncangan dan ketidak pastian juga muncul dari lingkungan yang
sedang dan akan terus cepat berubah. Dalam menghadapi badai
perkembangan ("storm and stress"). Banyak remaja yang berhasil mengatasi
berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan
sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan,
membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya
berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. Keeratan,
keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat
menjadi peluang bagi upaya fasilitasi perkembangan remaja.
Tidak diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks
sosial yang penting bagi perkembangan individu. Meskipun demikian
perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam
konteks sosial yang lain seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005)
menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen
dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen
seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan
teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).
Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004) menunjukkan
bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya
meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan
remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester
dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005) bahwa pada masa remaja
komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih
kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan
(attachment). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan
membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga
membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi
masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius,
dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti
rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000).
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan
atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok
teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi
tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak
menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka.
Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari
pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak
lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena
saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya)
(Santrock, 2004).
3. Definisi Belajar
Defini belajar menurut para ahli adalah :
a. Hilgard dan Bower, dalam Theories of Learning (1997) mengemukakan “belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi
tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi
itu.” Dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar
kecenderungan respon bawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat
seseorang.
b. Morgan, dalam Introduction to Psychology (1978) mengemukakan bahwa
belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku
yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan
dalam Widosari, 2010).
4. Fase-Fase Belajar
a. Menurut Wiltig (1981) dalam Psychology of Learning, proses belajar
berlangsung dalam tiga tahapan:
1) Acquasition (perolehan atau penerimaan informasi)
2) Storage (penyimpanan informasi)
3) Retrieval (mendapatkan kembali informasi)
b. Menurut Jerome S. Brunner, juga terdapat 3 fase yaitu:
1) Fase informasi (penerimaan materi)
2) Fase transformasi (pengubahan materi)
3) Fase evaluasi (penilaian materi)
5. Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi 2 macam:
a. Faktor internal
1) Aspek fisiologis
Kondisi umum jasmani dan torus (tegangan otot) yang menandai
tingkat hubungan organ-organ tubuh dan sendi sendinya dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas belajar.
2) Aspek psikologis
Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi kualitas dan
kuantitas belajar. Namun faktor-faktor yang esensial adalah tingkat
kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi.
b. Faktor eksternal
1) Lingkungan sosial
Lingkungan sosial mahasiswa contohnya dosen, staf administrasi,
teman-teman kuliah, masyarakat, tetangga, serta teman-teman di kost.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar
adalah orang tua dari mahasiswa.
2) Lingkungan non-sosial
Contoh lingkungan non-sosial adalah gedung tempat belajar dan
letaknya, rumah tinggal dan letaknya, alat-alat belajar, serta keadaan
cuaca dan waktu belajar yang digunakan (Widosari, 2010).
B. Tinjauan Faktor yang Mempengaruhi Respon Psikologis
1. Pelaksanaan Proses Perkuliahan
Perkuliahan adalah proses belajar di perguruan tinggi. Jadi dapat diartikan
bahwa perkuliahan adalah segala proses atau usaha yang dilakukan secara
sadar, sengaja, aktif, sistematis dan integrativ untuk menciptakan perubahan-
perubahan dalam dirinya menuju kearah kesempurnaan hidup yang dilakukan di
perguruan tinggi atau universitas.
Pelaksanaan proses perkuliahan adalah pelaksanaan proses pembelajaran
di perguruan tinggi dan hal-hal yang terkait dengan proses pembelajaran
tersebut . Yang terdiri dari civitas akademik, jadwal kuliah, pelaksanaan jadwal
kuliah.
2. Lingkungan kampus atau lingkungan perkuliahan
Lingkungan kampus adalah lingkungan dimana mahasiswa menjalani
proses belajar dan melakukan aktivitas. Pengertian lingkungan kerja dapat
memberikan kesamaan defenisi dari pengertian lingkugan kampus. Sari (2008)
menyatakan bahwa: “lingkungan kerja adalah faktor-faktor di luar manusia baik
fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik mencakup peralatan
kerja, suhu di tempat kerja, kesesakan dan kepadatan, kebisingan, luas ruang
kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang terbentuk di
perusahaan antara atasan dan bawahan serta antara sesame karyawan”.
Lingkungan kampus yang kondusif dapat meningkatkan motivasi belajar
mahasiswa dalam rangka meningkatkan prestasi belajar mereka. Lingkungan
kampus yang kondusif yang meliputi hubungan yang baik antara sesama
mahasiswa serta hubungan antara mahasiswa dengan dosen,lingkungan fisik
seperti ukuran kelas, suhu udara didalam ruang kelas, pengendalian kebisingan,
kebersihan kampus. Lingkungan kampus yang kondusif dapat mempengaruhi
prestasi belajar mahasiswa. Lingkungan yang tidak sehat akan membuat siswa
merasa stres dan pada akhirnya menurunkan motivasi belajar mahasiswa yang
pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajarnya.
3. Individu dan Keluarga
Setiap individu adalah unik, artinya bahwa manusia yang satu berbeda
dengan manusia yang lain dan tidak ada manusia yang sama persis dimuka
bumi ini walaupun dilahirkan kembar (Puspitawati, 2012). Manusia sebagai
makhluk holistik merupakan makhluk yang utuh atau paduan dari unsur
biologis, psikologis, sosial dan spritual. Sebagai makhluk biologis, manusia
tersusun atas sistem organ tubuh yang digunakan untuk mempertahankan
hidupnya. Sebagai makhluk psikologis, manusia mempunyai struktur
kepribadian, tingkah laku sebagai manifestasi kejiwaan dan kemampuan
berpikir serta kecerdasan. Manusia sebagai makluk sosial berarti manusia
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan manusia sebagai
makhluk spiritual yaitu makhluk yang memiliki pandangan hidup, dorongan
hidup yang sejalan dengan keyakinan yang dianutnya.
Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi
terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi,
merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang
mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10 dalam
Puspitawati, 2012). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga
terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu rumahtangga (Newman dan
Grauerholz 2002 dalam Puspitawati, 2012).
Menurut Ahmadi (2002) keluarga merupakan suatu kelompok yang
berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang
sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim,
memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan
perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-
tugas keluarga).
Definisi lain menurut Settels Sussman dan Steinmetz tahun 1987 keluarga
juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra
romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu
jaringan dan tujuan/peristirahatan akhir (Puspitawati, 2012).
Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family,
Private Property, and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan
keluarga mempunyai hubungan antara struktur sosial-ekonomi masyarakat
dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan pada sistem patriarkhi
(Ihromi 1999 dalam Puspitawati, 2012). Sebagai unit terkecil dalam
masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan
sebagainya.
Rice (1992) mengatakan bahwa stress adalah suatu kejadian atau stimulus
lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Stres adalah suatu
keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 1997). Menurut
Selye ( dalam Bell, 1996) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction)
terhadap adanya ancaman, yang ditandai dengan proses tubuh secara otomatis,
seperti meningkatnya denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi
penolakan terhadap stressor yang akan mencapai tahap kehabisan tenaga
(exhaustion) jika individu merasa tidak mampu untuk bertahan.
Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stress mengacu pada peristiwa
yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.
Disiplin ilmu fisiologi, sosiologi dan psikologi telah mendefinisikan
dalam riset keperawatan. Pendekatan fisiologi mendefinisikan stres sebagai
sebuah respon nonspesifik tubuh terhadap setiap kebutuhan tanpa
memperhatikan sifatnya (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Pendekatan
psikologi mendefinisikan stres sebagai suatu stimulus atau penyebab adanya
respon yang berada di luar individu dan sebagai faktor predisposisi atau
pencetus yang meningkatkan kepekaan individu terhadap penyakit (Smeltzer &
Bare, 2005). Pendekatan sosiologi mendefinisikan stres sebagai suatu transaksi.
Model transaksi ini terjadi antara individu dengan lingkungannya yang
memberikan umpan balik pada hubungan individu-lingkungan.
Stres akademik berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi
kehidupan akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu kondisi atau
keadaan individu yang mengalami tekanan sebagai hasil persepsi dan penilaian
mahasiswa tentang stresor akademik, yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan dan pendidikan di perguruan tinggi ( Govaerst dan Gregoire,
2004). Stres akademik erat kaitannya dengan kehidupan akademik yang dialami
oleh pelajar dari usia anak sampai dewasa, tergantung dimana seseorang
tersebut mencari ilmu pengetahuan.
4. Penggolongan Stres
Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi 2 golongan.
Penggolongan ini berdasarkan persepsi individu terhadap stres yang
dialaminya:
a. Distres (stres negatif)
Selye menyebutkan distres merupakan stres yang merusak atau bersifat
tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana
individu mengalami perasaan cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah.
Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negative,
menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
b. Eustres (stres positif)
Selye menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan
pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992)
mengemukakan frase joy of stres untuk mengungkapkan hal-hal yang
bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustres dapat meningkatkan
kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu.
Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan
sesuatu, misalnya karya seni.
5. Etiologi Stres
Stres dapat terjadi karena terdapat suatu perubahan dalam ruang lingkup
pekerjaan, tanggung jawab, pengambilan keputusan, tempat tinggal, hubungan
pribadi, dan kesehatan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan stres dan disebut
sebagai stresor. Setiap individu dapat mengalami stres, baik stres jangka
panjang maupun stres jangka pendek.
Stres yang dialami seseorang mengakibatkan munculnya konsep stresor
yaitu stresor internal dan stresor eksternal ( Selye, 1976 dalam Potter dan
Perry, 2005). Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya
demam, penyakit infeksi, trauma fisik, malnutrisi, kelelahan fisik, kekacauan
fungsi biologik yang berkelanjutan. Berbagai konflik dan frustasi yang
berhubungan dengan kehidupan modern atau suatu keadaan emosi seperti
keadaan bersalah dan perasaan rendah diri akibat kegagalan mencapai sesuatu
yang di idam-idamkan.
Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang. Perubahan bermakna
dalam suhu lingkungan, perubahan peran sosial, proses pembelajaran,
pekerjaan, serta hubungan interpersonal. Perubahan kondisi keuangan dan
segala akibatnya ( menciutnya anggaran keuangan dan keterbatasan uang)
( Purwati, 2012)
Mahasiswa mengalami stres akademik dengan karakteristik stresor yang
kompleks. Angolla dan Ongori (2009) mengemukakan bahwa sumber stres
akademik meliputi manajemen waktu, tuntutan akademik dan lingkungan
akademik. Sumber stres tersebut dijabarkan dan diperoleh berupa tugas- tugas
akademik, jadwal perkuliahan yang padat dan tidak jelas, serta kecemasan
tidak mendapatkan pekerjaan saat lulus kuliah. Sedangkan menurut Davidson
(2001), mengemukakan bahwa sumber stres akademik meliputi situasi yang
monoton, harapan yang mengada-ngada, ketidakjelasan, kurang adanya
control, keadaan bahaya dan kritis, tidak dihargai, diacuhkan, kehilangan
kesempatan, aturan yang membingungkan, tuntutan yang saling bertentangan
dan deadline tugas perkuliahan.
6. Respon Stres
Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai
indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat
terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif dan psikologis.
Respon fisiologis terhadap stresor merupakan mekanisme protektif dan
adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostatis tubuh. Merupakan
rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi
jangka pendek dan panjang bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls
aferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak
lalau diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan
dikoordinasikan dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh
dalam keadaan homeostatis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan tubuh (Smeltzer dan Bare, 2008).
Kemudian jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus
akan diaktifkan. Lalu akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti
sekresi sistem simpatis-adrenal-moduler dan akhirnya bila stres masih ada,
sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat akan
mensekresiakan norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon
simpatis-adrenal-moduler pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek
atau reaksi yang berbeda di setiap sistem tubuh dan dijabarkan dalam
indikator stres secara fisiologis. Pada kondisi tersebut terdapat organ tubuh
yang meningkat maupun menurun kinerjanya. Reaksi ini disebut fight or flight
(Smeltzer dan Bare, 2008).
Norepinefrin mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan
tubuh secara umum. Sedangkan sekresi endorfin mampu menaikkan ambang
untuk menahan stimulasi nyeri yang mempengaruhi suasana hati. Manifestasi
sekresi nirepinefrin dan endorfin diantaranya pengeluaran keringat, perubahan
suasana hati, keluhan sakit kepala, sulit tidur, peningkatan denyut nadi yang
dapat terjadi pada mahasiswa akibat beban tugas akademik yang dirasakan
berat (Smeltzer dan Bare, 2005).
Respon adaptif terdiri dari Local Adaptation Syndrome (LAS) dan
General Adaptation Syndrome (GAS). Respon LAS terbagi atas respon nyeri
dan inflamasi. Respon refleks nyeri merupakan respon adaptif yang bertujuan
melindungi tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Respon inflamasi distimulasi
oleh trauma dan infeksi (Smeltzer dan Bare, 2005).
GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.
Respon yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. GAS memiliki tiga tahap, yaitu alaram, pertahanan dan kelelahan.
Pada tahap alaram, respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat
defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila
stresor menetap maka akan beralih ke tahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi
adaptasi terhadap stresor yang membahayakan. Jika pemajanan terhadap
stresor diperpanjang dan gagal melakukan pertahanan, maka terjadilah
kelelahan. Pada tahap kelelahan terjadi peningkatan aktivitas endokrin yang
menghasilkan efek pemberhentian pada sistem tubuh terutama sistem
peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat menyebabkan kematian.
Mahasiswa yang mendapat beban tugas akademik dan mahasiswa
merasakannya sebagai suatu tugas yang berat, maka dapat mengakibatkan
aktifnya jalur neural-endokrin. Mengakibatkan sekresi hormon stres yang
mengakibatkan pembuluh darah mengalami vasokontriksi. Vasokontriksi
pembuluh darah cranial mengakibatkan respon nyeri pada bagian kepala. Rasa
nyeri tersebut sebagai alaram terhadap tubuh sebagai bentuk kompensasi
terhadap faktor lingkungan. Namun, jika stresor tidak dihentikan, maka dapat
mengakibatkan mahasiswa memasuki tahap kelelahan dan berakhir dengan
gsngguan kesehatan berupa gangguan pencernaan, gangguan sirkulasi dan
penurunan respon imun (Sherwood, 2001).
7. Indikator Stres
Terdapat beberapa indikator stres yaitu fisiologis, emosional dan
perilaku stres ( Potter dan Perry, 2005; Psychology Foundation of Astralia,
2010).
a. Indikator fisiologis stres adalah objektif dan lebih mudah diindentifikasi.
Berupa kenaikan tekanan darah, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang
tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara bernada
tinggi, muntah, mual, diare, perubahan nafsu makan, perubahan berat
badan dan telapak tangan berkeringat. Indikator fisiologis secara umum
dapat diamati.
b. Indikator emosional sangat subjektif. Indikator stres psikologis berupa
ansietas, kepenatan, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan
harga diri, minat dan motivasi, mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan
perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan
berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan serta penurunan
produktivitas dan kualitas kerja. Indikator emosional ini tidak mudah
untuk diamati.
c. Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku
konstruktif membantu mahasiswa menerima tantangan untuk
menyelesaikan konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi
orientasi realitas, kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi
yang sangat berat dan kemampuan untuk berfungsi.
8. Tingkatan Stres
Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda
terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,
pengalaman, pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,
tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres serta
mekanisme koping. Tingkatan stres yang dialami individu diantaranya :
a. Stres normal
Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah
dari kehidupan. Situasi seperti kelekahan setelah mengerjakan tugas, takut
tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih kencang setelah
beraktivitas ( Crowford dan Henry, 2003). Stres normal alamiah dan
menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah mengalami stres bahkan
sejak dalam kandungan.
b. Stres Ringan
Stresor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa
menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan, dimarahi dosen.
Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara lain bibir kering, kesulitan
bernafas(sering terengah-engah), kesulitan menelan, merasa goyah,
merasa lemas, berkeringat berlebihan ketika temperature tidak panas dan
tidak setelah beraktivitas, takut tanpa alas an yang jelas, denyut jantung
bertambah cepat walaupun tidak setelah melakukan aktivitas fisik, tremor
pada tangan dan merasa sangat lega jika situasi berakhir.
c. Stres sedang
Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa hari.
Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan
teman atau pacar. Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara lain mudah
marah, bereaksi berlebihan terhadap situasi, sulit beristirahat, merasa lelah
karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi
gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung,
gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika
sedang mengerjakan suatu hal atau tugas kuliah (Psychology Foundation
of Astralia, 2010).
d. Stres berat
Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Situasi seperti perselisihan dengan teman, dengan
dosen secara terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan dan
penyakit fisik jangka panjang. Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara
lain tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi
melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan
dimasa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat akan segala
hal, merasa tidak berharga sebagai manusia, berfikir bahwa hidup tidak
bermanfaat (Psychology Foundation of Astralia, 2010).
e. Stres sangat berat
Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang
mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi hidup dan
cenderung pasrah.
9. Dampak Stres
Setiap semester, jumlah mahasiswa yang mengalami stres bertambah
( Govaerst dan Gregoire, 2004). Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan
tuntutan akademik, penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasi akademik
yang rendahdan masalah kesehatan merupakan indikator bahwa stres
akademik sering dialami mahasiswa.
Seiring berjalannya waktu, jika stres akademik yang dihadapi oleh
mahasiswa tidak diatasi dengan baik, terjadi akumulasi stresor yang dapat
menyebabkan penurunan adaptasi, gagal bertahan, dan akhirnya menyebabkan
kematian. Tidak sedikit kasus yang terjadi mahasiswa melakukan aksi nekat
bunuh diri akibat stres akademik. Beban stres yang terlalu berat juga dapat
memicu remaja untuk berperilaku negatif, seperti merokok, alkohol, tawuran,
seks bebas bahkan penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).
Stres tidak hanya berdampak pada kesehatan,tetapi juga terhadap
prestasi. Hasil evaluasi belajar mahasiswa setiap semester berdasarkan jumlah
satuan kredit semester yang diambil atau disebut indeks prestasi. Goff.A.M.
(2011) menyatakan tingkat stres berpengaruh terhadap kemampuan akademik.
Namun Sari (2004) menyatakan tidak ada hubungan antara toleransi stres
dengan indeks prestasi mahasiswa karena, menurut Stuart dan Laria (2005)
tingkat stres seseorang lebih dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan yang dilihat
dari usia dan pengalaman hidup.
10. Mahasiswa
Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di
Universitas maupun insistut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai
murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008).
Sedangkan menurut Wingkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang usia
dari 18 sampai dengan 19 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun. Rentang
usia ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18 sampai dengan 19 tahun
sampai 20 sampai dengan 21 tahun yaitu mahasiswa dari semester I sampai
dengan semester IV dan periode usia 21 sampai dengan 22 tahun sampai 24
sampai dengan 25 tahun yaitu dari mahasiswa semester V sampai dengan
semester VIII (Fadillah, 2013).
Wingkel (1997) mengatakan tugas perkembangan yang dihadapi
mahasiswa adalah pada dasarnya mahasiswa semester awal harus
menyesuaikan diri dengan pola kehidupan dikampus dan diluar kampus, baik
yang menyangkut hal-hal akademis maupun non akademis mahasiswa di
semester tinggi harus menentapkan diri dalam mengajar cita-cita di bidang
studi akademik di pekerjaan dan di bidang kehidupan. Beraneka kesulitan
yang timbul dapat di bagi atas dua kelompok kesulitan ini berpengaruh
terhadap yang lain kesulitan di bidang akademis misalnya: kurang menguasai
cara belajar mandiri, kurang mampu mengatur waktu yang baik, salah pilih
program studi, hubungan dengan dosen renggang atau jenuh. Sedangkan
dibidang non akademis misalnya: kesulitan menanggung biaya pendidikan.
Kurang dalam fasilitas belajar asupan makan yang kurang bergizi ketegangan
dalam bergaul dengan teman atau rasa bosan.
Mahasiswa tergolong usia remaja akhir. Remaja adalah anak berusia 10-
19 tahun (Walker, 2002). Menurut Wong’s dan Hockenberry (2007) usia
remaja dibagi menjadi 3 fase yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja
menengah (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-20 tahun).
Stres pada remaja cenderung dikategorikan pada stres psikososial. Hal
ini disebabkan karena tuntutan yang diberikan kepada remaja agar berperan
dengan baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kegagalan dalam
beradaptasi terhadap perubahan fisik, emosional, interlektual, spiritual dan
ketidakefektifan mekanisme koping dapat memicu remaja untuk berperilaku
negative seperti merokok, alkohol, tawuran, seks bebas bahkan
penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).
Remaja akhir tidak lagi menerima pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolute yang diberikan kepada mereka tanpa bantahan. Remaja mulai
membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah popular berkenaan
dengan lingkungan mereka, misalnya politik, ekonomi, kemanusiaan dan
keadaan sosial (Potter dan Perry, 2005). Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak
alternatifnya. Kondisi tersebut juga memicu stres, terutama pada mahasiswa
yang lebih sering terpapar masalah tersebut.
Stres akademik berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi
kehidupan akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu kondisi atau
keadaan individu yang mengalami tekanan sebagai hasil persepsi dan
penilaian mahasiswa tentang stresor akademik, yang berhubungan dengan
ilmu pengetahuan dan pendidikan di perguruan tinggi ( Govaerst dan
Gregoire, 2004). Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan tuntutan
akademik, penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasiakademik yang
rendahdan masalah kesehatan merupakan indikator bahwa stres akademik
sering dialami mahasiswa. Stres akademik erat kaitannya dengan kehidupan
akademik yang dialami oleh pelajar dimana seseorang tersebut mencari ilmu
pengetahuan.
Jika stres akademik yang dihadapi oleh mahasiswa tidak diatasi dengan
baik, terjadi akumulasi stresor yang dapat menyebabkan penurunan adaptasi,
gagal bertahan, dan akhirnya menyebabkan kematian. Tidak sedikit kasus
yang terjadi mahasiswa melakukan aksi nekat bunuh diri akibat stres
akademik. Beban stres yang terlalu berat juga dapat memicu remaja untuk
berperilaku negatif, seperti merokok, alkohol, tawuran, seks bebas bahkan
penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).
11. Mengukur Stres Akademik
Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang
dialami seseorang (Crowford dan Henry, 2003). Tingkat stres akademik
diukur dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety Stres
Scale ). DASS terdiri dari 42 pertanyaan yang mengidentifikasikan skala
subjektif dari depresi, kecemasan dan stres yang dialami. DASS diaplikasikan
dengan format rating scale (skala penilaian). Dalam penelitian ini hanya
digunakan pertanyaan yang terkait dengan stres yaitu pertanyaan nomor 1, 6,
8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, dan 39. Tingkat stres pada instrument
ini berupa normal, stres ringan, sedang, berat dan sangat berat. Kemudian
untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan stres akademik
tersebut digunakan kuesioner yang dibuat dan dimodifikasi sendiri oleh
peneliti berdasarkan keadaan yang terjadi dilingkungan program studi
Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang terdiri dari 28
pertanyaan yang terbagi menjadi 3 faktor, yaitu faktor pelaksanaan proses
perkuliahan terdiri dari 12 pertanyaan, lingkungan perkuliahan atau lingkungan
kampus terdiri dari 8 pertanyaan dan diri sendiri serta keluarga mahasiswa terdiri
dari 8 pertanyaan.
STRES
normal 0-14
Stres ringan 15- 18
Stres sedang 19-25
Stres berat 26-33
Stres sangat berat >34
12. Peran Teman Sebaya
Siswa SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan mahasiswa sesuai dengan usia
perkembangannya berada pada masa remaja. Pada masa ini, ketertarikan
dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini
antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat
memahami mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu
kelompok yang eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling
memahami. Sebagian (besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-
masalah serius mereka dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua,
guru pembimbing atau dosen pembimbing . Untuk masalah yang sangat
seriuspun (misalnya, hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah,
dan keinginan melakukan aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan
dengan orang tua atau guru mereka. Kalaupun terdapat beberapa siswa yang
akhirnya menceritakan kehamilan atau hubungan seksual mereka kepada
orang tua atau guru pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa
(pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya
mengalami jalan buntu). (Suwarjo, 2008).
Dalam segala segi remaja mengalami perubahan dan perubahan-
perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan ketidak-
pastian. Goncangan dan ketidak pastian juga muncul dari lingkungan yang
sedang dan akan terus cepat berubah. Dalam menghadapi badai
perkembangan ("storm and stress"). Banyak remaja yang berhasil mengatasi
berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan
sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan,
membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya
berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. Keeratan,
keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat
menjadi peluang bagi upaya fasilitasi perkembangan remaja.
Tidak diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks
sosial yang penting bagi perkembangan individu. Meskipun demikian
perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam
konteks sosial yang lain seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005)
menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen
dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen
seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan
teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).
Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004) menunjukkan
bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya
meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan
remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester
dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005) bahwa pada masa remaja
komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih
kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan
(attachment). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan
membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga
membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi
masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius,
dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti
rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000).
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan
atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok
teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi
tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak
menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka.
Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari
pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak
lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena
saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya)
(Santrock, 2004).
B. Faktor Faktor yang mempengaruhi stres akademik
top related