asuhan keperawatan maternitas dengan diagnosa medis ketuban pecah prematur
Post on 31-Dec-2015
57 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS DENGAN DIAGNOSA MEDIS
KETUBAN PECAH PREMATUR
I. Pengertian
Ketuban pecah dini/prematur adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi in partu. Sebagian besar ketuban pecah
dini adalah hamil aterm diatas 37 minggu, sedangkan dibawah 36 minggu tidak terlalu
banyak (Manuaba, 2001:221).
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum awitan persalinan (Hamilton,
2009:391).
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah sebelum ada tanda - tanda inpartu, dan
setelah ditunggu selama satu jam belum juga mulai ada tanda - tanda inpartu. Ketuban pecah
dini merupakan kondisi pecahnya ketuban pada fase laten dan dapat menyebabkan
infeksi asenden intrauterin (Manuaba, 2004:72)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan
setelah ditunggu satu jam belum ada tanda persalinan. Waktu sejak pecah ketuban sampai
terjadi kontraksi rahim disebut “kejadian ketuban pecah dini” (periode laten). Kondisi ini
merupakan penyebab terbesar persalinan premature dengan segala akibatnya (Yulaikhah,
2008:116).
Ketuban pecah dini adalah rupture kantung air (RKK) yang terjadi sebelum awitan
persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum ada tanda - tanda persalinan.
II. ANATOMI FISIOLOGI
Normalnya volume cairan ketuban pada usia kehamilan usia 10 – 20 minggu, sekitar 50
– 250 ml. Ketika memasuki minggu 30 – 40, jumlahnya mencapai 500 – 1500ml.
Menurut Winkjosastro, 2005 ciri-ciri kimiawi dari air ketuban adalah :
Air ketuban berwarna putih kekeruhan, berbau khas amis, dan berasa manis, reaksinya
agak alkalis atau netral, berat jenis 1,008. Komposisinya terdiri atas 98 % air. Sisanya
albumin, urea, asam urik, kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan
garam anorganik. Kadar protein kira-kira 2,6 gr % per liter terutama sebagai albumin.
Terdapat lesitin dan sfingomielin amat penting untuk mengetahui apakah janin
mempunyai paru-paru yang sudah siap untuk berrfungsi. Dengan peningkatan kadar
lesitin permukaan alveolus paru-paru diliputi oleh zat yang dinamakan surfaktan dan
merupakan syarat untuk berkembangnya paru-paru dan untuk bernapas. Menilai hal ini
dipakai perbandingan antara lesitin dan sfingomielin.
Kadang-kadang, pada partus warrna air ketuban ini menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur mekonium (kotoran pertama yang dikeluarkan bayi dan yang mengandung
empedu). Berat jenis likuor menurun dengan tuanya kehamilan (1,025-1,010).
Dari mana air ketuban berasal masih belum diketahui dengan pasti, masih dibutuhkan
penyelidikan lebih lanjut. Telah banyak teori dikemukakan mengenai hal ini, antara lain
bahwa air ketuban berasal dari lapisan amnion, terutama dari bagian plasenta. Teori lain
mengemukakan kemungkinan berasalnya dari plasenta.
Peredaran air ketuban cukup baik. Dalam 1 jam didapatkan perputaran lebih kurang 500
ml. Cara perputaran ini terdapat banyak teori, antara lain bayi menelan air ketuban yang
kemudian dikeluarkan melalui air kencing. Apabila janin tidak menelan air ketuban ini
janin dengan stenosis akan didapat keadaan hidramnion.
Fungsi Air Ketuban
1. Melindungi janin terhadap trauma dari luar
2. Memungkinkan janin bergerak dengan bebas
3. Melindungi suhu tubuh janin
4. Meratakan tekanan di dalam uterus pada partus, sehingga serviks membuka
5. Membersihkan jalan lahir
III. ETIOLOGI
Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan ditentukan secara
pasti. Banyak faktor berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor - faktor
mana yang lebih berperan sulit diketahui. Menurut Hamilton (2009:391) dan Manuaba
(2004) antara lain:
1. Persalinan prematur
2. Korioamionitis terjadi dua kali sebanyak KPD
3. Malposisi atau malpresentasi janin
4. Kerusakan serviks disebabkan oleh faktor antara lain : pemakaian alat – alat pada
serviks sebelumnya (misal : aborsi terapeutik, LEEP dan sebagainya); peningkatan
paritas yang memungkinan kerusakan serviks selama kelahiran sebelumnya;
inkompetensi serviks
5. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
6. Berhubungan dengan berat badan ibu (misal : kelebihan berat badan sebelum
kehamilan; penambahan berat badan yang sedikit selama kehamilan)
7. Merokok selama kehamilan
8. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada ibu
muda
9. Riwayat hubungan seksual baru – baru ini.
10. Multiparitas
11. Hidramnion
12. Kelainan letak : sungsang atau lintang
13. Chepalo Pelvik Disproportion (CPD)
14. Kehamilan ganda
15. Pendular abdomen (perut gantung)
Menurut Nugroho (2011:3) terdapat beberapa faktor risiko dari ketuban pecah dini
antara lain inkompetensi serviks (leher rahim), polihidramnion (cairan ketuban
berlebih), riwayat ketuban pecah dini sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput
ketuban, kehamilan kembar, trauma, serviks (leher rahim) yang pendek (<25 mm)
pada usia kehamilan 23 minggu, dan infeksi pada kehamilan seperti bakterial
vaginosis.
IV. PATOFISIOLOGI
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibrolas, jaringan retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem
aktivitas dan inhibisi interleukin - 1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan
inflamasi, terjadi peningkatan aktivitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase
jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion,
menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan. Mekanisme
terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut : selaput ketuban tidak
kuat sebagai akibat dari kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi sehingga bila terjadi
pembukaan serviks maka selaput ketuban akan sangat lemah dan mudah untuk pecah
dengan respon mengeluarkan air ketuban.
V. Manisfestasi Klinik
Tanda gejala menurut Nadesul (2001), Hidayat, Asri (2009:14), dan Nugroho
(2011:3) yang harus diwaspadai selama kehamilan adalah :
1. Keluarnya cairan merembes melalui vagina (kemaluan).
2. Timbul sebelum rasa mulas – mulas tanda dari awal persalinan.
3. Cairan ketuban menjadi berwarna putih keruh mirip air kelapa, mungkin juga
sudah berwarna kehijauan.
4. Kontraksi ≥ 4x/jam (dapat dirasa sebagai nyeri abdomen, rasa kencang, nyeri,
kram menstruasi, atau rekaan pada vagina) (Sinclair, 2009)
5. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna
darah.
6. Jika duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.
7. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
cepat merupakan tanda – tanda infeksi yang terjadi.
8. Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan
sedikit – sedikit atau sekaligus banyak.
9. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi.
10. Janin mudah diraba.
11. Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering.
12. Inspekulo, tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering.
VI. KOMPLIKASI
Komplikasi menurut Hidayat, Asri (2009:17) dan Nugroho (2011:7) paling sering
terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom
distress pernapasan, yang terjadi pada 10 - 40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat
pada kejadian ketuban pecah dini. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini prematur
sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinyakorioamnionitis (radang padakorion
dan amnion). Kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada ketuban pecah
dini.
Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada ketuban pecah
dini/preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban
pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila ketuban pecah dini
preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu. Komplikasi lainnya adalah
infeksi intrauterin, tali pusat menumbung, prematuritas, distosia.
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dengan indikasi ketuban pecah dini menurut Hamilton
(2009:391), Hidayat, Asri (2009:17) dan Nugroho (2011:7) antara lain :
1. Pencegahan
a. Obati infeksi gonokokus, klamidia, dan vaginosis bakterial.
b. Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung usaha untuk
mengurangi atau berhenti.
c. Motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil.
d. Anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester terakhir bila ada
faktor presdisposisi.
2. Panduan mengantisipasi : jelaskan kepada pasien yang memiliki riwayat berikut ini
saat prenatal bahwa mereka harus segera melapor bila ketuban pecah.
a. Kondisi yang menyebabkan ketuban pecah dapat mengakibatkan prolaps tali
pusat
b. Letak kepala selain verteks
c. Polihidramnion
d. Herpes aktif
e. Riwayat infeksi streptokus beta hemolitikus sebelumnya
3. Bila ketuban telah pecah
a. Anjurkan pasien untuk pergi ke rumah sakit atau klinik
b. Catat terjadinya ketuban pecah
1) Lakukan pengkajian secara seksama. Upayakan mengetahui waktu
terjadinya pecah ketuban.
2) Bila robekan ketuban tampak kasar :
a) Saat pasien berbaring telentang, tekan fundus untuk melihat adanya
semburan cairan dari vagina
b) Basahi kapas apusan dengan cairan dan lakukan pulasan pada slideuntuk
mengkaji ferning di bawah mikroskop
c) Sebagian cairan diusap ke kertas Nitrazene. Bila positif, pertimbangkan
uji diagnostik bila pasien sebelumnya tidak melakukan hubungan
seksual, tidak ada perdarahan, dan tidak dilakukan pemeriksaan per
vagina menggunakan jeli K-Y
3) Bila pecah ketuban dan/atau tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril.
a) Kaji nilai Bishop serviks ( lihat nilai bishop )
b) Lakukan kultur serviks hanya bila ada tanda infeksi.
c) Dapatkan spesimen cairan lain dengan lidi kapas steril yang dipulaskan
pada slide untuk mengkaji ferning di bawah mikroskop.
d) Bila usia tingkat gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit
herpes Tipe 2, rujuk ke dokter.
4. Penatalaksanaan konservatif
a. Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24 – 72 jam setelah ketuban pecah.
b. Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukan ke vagina,
kecuali spekulum steril; jangan melakukan pemeriksaan vagina.
c. Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat.
1) Ukur suhu tubuh empat kali sehari ; bila suhu meningkat secara signifikan,
dan/atau mencapai 38º C, berikan 2 macam antibiotik dan pelahiran harus
diselesaikan.
2) Observasi rabas vagina : bau menyengat, purulen atau tampak kekuningan
menunjukkan adanya infeksi.
3) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan perubahan
apapun.
5. Penatalaksanaan agresif
a. Gel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui penggunaannya)
dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
b. Mungkin dibutuhkan rangkaian induksi Pitocin bila serviks tidak berespon
c. Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada
tanda, mulai pemberian Pitocin
d. Berikan cairan per IV, pantau janin
e. Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif
f. Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelayakan serviks untuk
diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan
untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik
manipulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai dan
induksi dimulai
g. Periksaan hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada
hari berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
h. Lakukan NST (nonstress test) setelah ketuban pecah ; waspada adanya
takikardia janin yang merupakan salah satu tanda infeksi
i. Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
1) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
2) Terjadi takikardi janin
3) Lochea tampak keruh
4) Iritabilitas atau nyeri tekan uterus yang signifikan
5) Kultur vagina menunjukan streptokus beta hemolitikus
6) Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan sel darah putih
6. Penatalaksanaan persalinan lebih dari 24 jam setelah ketuban pecah
a. Persalinan spontan
1) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2 jam, berikan antibiotik bila ada demam
2) Anjurkan pemantauan janin internal
3) Beritahu dokter spesialis obstetri dan spesial anak atau praktisi perawat
neonatus
4) Lakukan kultur sesuai panduan
b. Induksi persalinan
1) Lakukan secara rutin setelah konsultasi dengan dokter
2) Ukur suhu tubuh setiap 2 jam
3) Antibiotik : pemberian antibiotik memiliki beragam panduan, banyak yang
memberikan 1 – 2 g ampisilin per IV atau 1 – 2 g mefoxin per IV setiap 6
jam sebagai profilaksis.
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nugroho (2011:6) dan Hidayat (2009:16) pemeriksaan penunjang untuk
pasien dengan indikasi ketuban pecah dini adalah :
1. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH
nya. Cairan yang keluar dari vagina kecuali air ketuban mungkin juga urine atau
sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4 - 5, dengan kertas nitrazin tidak
berubah warna, tetap kuning. Dilakukan pula tes lakmus (tes nitrazin), jika kertas
lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis),
pH air ketuban 7 - 7.5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang
positif palsu. Tes pakis (mikroskopik), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daun pakis.
2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Bertujuan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Ketuban
pecah dini yang jumlah cairannya sedikit, sering terjadi kesalahan pada penderita
oligohidromnion. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak dan
caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa
dan pemeriksaan sederhana.
IX. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian post partum menurut Morton (2005:518,522), Nurbaeti, Irma et.
(2013:37) merupakan tindakan mengevaluasi adanya perubahan fisiologis dan
psikologis pada ibu yang terjadi pada saat tubuhnya kembali ke keadaan sebelum
hamil. Pengkajian yang dilakukan antara lain :
a. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dengan cara mengumpulkan data - data tentang respons
pasien terhadap kelahiran bayinya serta penyesuaian selama masa post
partum. Pengkajian awal mulai dengan review prenatal dan intranatal meliputi :
1) Komplikasi antepartum
2) Lamanya proses persalinan dan jenis persalinan
3) Lamanya ketuban pecah dini
4) Adanya episiotomi dan laserasi
5) Respon janin pada saat persalinan dan kondisi bayi baru lahir (nilai
APGAR)
6) Pemberian anestesi selama proses persalinan dan kelahiran
7) Medikasi lain yang diterima selama persalinan atau periode immediate post
partum
8) Komplikasi yang terjadi pada periode immediate post partum (seperti atonia
uteri, retensi plasenta)
Pengkajian ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko yang signifikan yang
merupakan faktor presdisposisi terjadinya komplikasi post partum.
b. Pengkajian status fisiologis maternal
Untuk mengingat komponen yang diperlukan dalam pengkajian post
partum, banyak perawat menggunakan istilah BUBBLE-LE yaitu termasuk
Breast (payudara), Uterus (rahim), Bowel (fungsi usus), Bladder (kandung
kemih), Lochea (lokia), Episiotomy (episiotomi/perinium), Lower
Extremity(ekstremitas bawah), dan Emotion (emosi).
c. Pengkajian fisik
Pengkajian fisik yang dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan -
perubahan pada tubuh pasien.
1) Payudara
Inspeksi adanya infeksi puting, perdarahan atau kusta. Palpasi payudara
harus terasa lembut, tidak ada nyeri tekan. Kondisi Nipple apakah puting
susu flat, inverted atau exverted. Normalnya puting susu tegak, exverteddan
menonjol, latch-on. Namun, banyak terdapat ibu yang mengalami
pembengkakan payudara karena peningkatan vaskularitas payudara yang
terjadi sebagai persiapan untuk laktasi. Payudara membengkak menjadi
besar, keras dan biasanya nyeri. Apabila ada area kemerahan dan hangat
dapat dipastikan terjadi mastitis.
2) Abdomen/Uterus
Setelah melahirkan abdomen terasa lunak, tonus otot kurang, tetapi tonus otot
tersebut akan kembali seperti sebelum hamil setelah 6 minggu post partum.
Pengkajian uterus meliputi tonus uterus, posisi dan tinggi fundus uteri
dengan melakukan palpasi. Pasien diminta untuk mengosongkan kandung
kemih sebelum pengkajian untuk akurasi data dan posisi kepala datar dengan
posisi supine.
a) Pada sekitar satu jam pasca persalinan, fundus teraba keras(boggy)
setinggi umbilikus.
b) Fundus uteri terus turun ke panggul sekitar 1 cm atau satu ruas jari per
hari dan harus tidak bisa dipalpasi (non palpable) oleh pemeriksa pada 10
hari pasca melahirkan.
Selain itu, perlu dikaji affterpains (uterine cramping) dan melakukan
intervensi menurunkan nyeri sesuai kebutuhan. Pasien atau anggota baru
dapat diajarkan untuk menilai kekerasan uterus dan cara untuk
melakukanmassage uterus agar uterus keras (boggy) atau mencegah
perdarahan yang berlebihan.
3) Fungsi gastrointestinal
Penilaian fungsi gastrointestinal sangat penting pada semua pasien post
partum terutama bagi pasien setelah seksio.
Pengkajian fungsi gastrointestinal meliputi :
a) Inspeksi abdomen : adanya distensi
b) Auskultasi bising usus
c) Palpasi abdomen : adanya distensi, neyri tekan, rigditas dan diastasis
rektus abdominis
d) Perkusi untuk menentukan ada dan lokasi gas
e) Kaji adanya flatus dan warna, konsistensi tinja
f) Kaji adanya mual dan muntah
Pengkajian dilakukan dua kali sehari sampai fungsi gastrointestinal normal.
Fungsi gastrointestinal bisa mengalami perlambatan terutama pada ibu yang
mengalami pembedahan (seksio sesaria) dan dilakukan anestesi. Pemberia
laktasif atau pencahar yang diperlukan untuk mengobati sembelit dan
meringankan ketidaknyamanan perineum saat buang air besar.
4) Pemeriksaan diatasis rektus abdominis
Diastasis rektus abdominis adalah regangan pada otot rektus abdominis
akibat pembesaran uterus. Jika dipalpasi, regangan ini menyerupai celah
memanjang dari prosessus xiphoideus ke umbilikus sehingga dapat diukur
panjang dan lebarnya. Diastasis ini tidak dapat menyatu kembali seperti
sebelum hamil tetapi dapat mendekat dengan memotivasi ibu melakukan
senam nifas. Pemeriksaan diastasis rektus abdominis dilakukan dengan
meminta ibu untuk tidur terlentang tanpa batal dan mengangkat kepala, tidak
diganjal. Kemudian palpasi abdomen dari bawah prossesus xiphoideus ke
umbilikus kemudian ukur panjang dan lebar diastasis.
5) Fungsi kandung kemih
Pengkajian keluaran urine pada ibu post partum untuk mengidentifikasi
potensial kesulitan berkemih. Berkemih yang pertama harus diukur.
Pengkajian buang air kecil dan fungsi kandung kemih meliputi :
a) Kembalinya buang air kecil, yang harus terjadi dalam waktu 6 sampai 8
jam setelah melahirkan
b) Jumlah urine selama kurang lebih 8 jam setelah melahirkan. Pasien harus
mengeluarkan minimal 150 ml setiap kali berkemih, kurang dari 150 ml
setiap kali berkemih dapat mengidikasikan adanya retensi urin karena
penurunan tonus kandung kemih pascabersalin (tanpa adanya
preeklampsia atau masalah kesehatan yang signifikan)
c) Tanda dan gejala infeksi saluran kemih (ISK)
d) Kandung kemih harus nonpalpable di atas simfisis pubis.
6) Tipe dan jenis lokhea
Mengkaji lokhea selama periode post partum meliputi :
a) Saturasi satu pada penuh lokhea dalam waktu kurang dari satu jam, aliran
lokhea yang terus menerus atau adanya bekuan darah besar adalah
indikasi komplikasi yang serius (misalnya : adanya sisa plasenta,
perdarahan) dan harus diselidiki secepatnya.
b) Bila terjadi peningkatan jumlah yang signifikan dari lokhea meskipun
fundus keras mungkin menunjukkan adanya luka gores di jalan lahir, yang
hars segera diatasi.
c) Lokhea berbau busuk biasanya menunjukkan infeksi dan perlu ditangani
sesegera mungkin
d) Lokhea harus ada perubahan dari lokhea rubra ke serosa ke alba. Setiap
perkembangan dari perubahan dapat dianggap abnormal dan harus
dilaporkan.
7) Perinium dan anus
Pengkajian perinium dan anus harus dilakukan setiap 4 jam untuk 24 jam
pertama pasca melahirkan dan setiap 8 - 12 jam sampai pasien pulang.
Perawat harus menginspeksi perinium dengan posisi ibu miring dan menekuk
kaki ke arah dada.
8) Episiotomi/perinium
REEDA adalah singkatan yang sering digunakan untuk menilai kondisi
episiotomi atau laserasi perinium. REEDA singkatan (Redness/kemerahan,
Edema/edema, Ecchymosis/ekimosis, Discharge/keluaran,
danApproximate/perlekatan). Kemerahan dianggap normal pada episiotomi
dan luka namun jika ada rasa sakit yang signifikan, diperlukan pengkajian
lebih lanjut. Selanjutnya, edema berlebihan dapat memperlambat
penyembuhan luka. Penggunaan kompres es (icepacks) selama periode pasca
melahirkan umumnya disarankan.
9) Lower extremity (ekstremitas bawah)
Ekstremitas harus dikaji sensai, kekuatan, edema, nyeri dan tanda - tanda
tromboembolisis pada periode immediate post partum. Untuk mengkajiDeep
Vein Thrombosis (DVT), ekstremitas bawah diperiksa adanya panas, merah,
menyakitkan atau pembengkakan. Mengkaji DVT dengan menggunakan
tanda homan (dorsofleksi kaki), rasa sakit yang muncul saat dilakukan tanda
homan menunjukkan adanya DVT. Namun, kini hal tersebut kontraindikasi
untuk menggunakan tanda homan untuk mengkaji DVT karena tindakan ini
dapat melepas gumpalan, pijat kaki juga harus dihindari.
d. Pengkajian status nutrisi
Pengkajian awal status nutrisi pada periode post partum didasarkan pada data
ibu saat sebelum hamil dan berat badan saat hamil, bukti simpanan besi yang
memadai (Misal : konjungtiva) dan riwayat diet yang adekuat atau penampilan.
Perawat juga perlu mengkaji beberapa faktor komplikasi yang memperburuk
status nutrisi, seperti kehilangan darah yang berlebih saat persalinan.
e. Pengkajian tingkat energi dan kualitas istirahat
Perawat harus mengkaji jumlah istirahat dan tidur, dan menanyakan apa yang
dapat dilakukan ibu untuk membantunya meningkatkan istirahat selama ibu di
rumah sakit. Ibu mungkin tidak bisa mengantisipasi kesulitan tidur setelah
persalinan.
f. Emosi
Emosi merupakan elemen penting dari penilaian post partum. Pasien post
partum biasanya menunjukkan gejala dari ”baby blues” atau “postpartum
blues” ditunjukan oleh gejala menangis, lekas marah, dan kadang - kadang
insomnia. Postpartum blues disebabkan oleh banyak faktor, termasuk fluktuasi
hormonal, kelelahan fisik, dan penyesuaian peran ibu. Ini adalah bagian normal
dari pengalaman post partum. Namun, jika gejala ini berlangsung lebih lama
dari beberapa minggu atau jika pasien post partum menjadi nonfungsional atau
mengungkapkan keinginan untuk menyakiti bayinya atau diri sendiri, pasien
harus diajari untuk segera melaporkan hal ini pada perawat, bidan atau dokter.
g. Pengkajian nyeri
Selama periode post partum, sangat penting untuk menilai rasa nyeri pasien
dengan mempertimbangkan tingkat nyeri yang dapat diterima pasien.
Pengkajian nyeri pada semua area tubuh, termasuk kepala, dada, payudara,
punggung, kaki, perut, uterus, perinium dan ekstremitas. Posisi selama
persalinan dapat menyebabkan ketidaknyamanan otot, dan sakit kepala dapat
menunjukkan hipertensi gestasional.
h. Masalah seksio sesaria
Pasien dengan riwayat seksio sesaria memerlukan beberapa pengkajian
tambahan selama periode post partum, termasuk status insisi (sayatan), nyeri,
pernafasan, paru - paru dan bising usus.
2. Diagnosa Keperawatan
Menegakkan diagnosa ketuban pecah dini (KPD) menurut Hidayat (2009:15),
Joseph (2010: 187) dan Nugroho (2011:4) secara tepat sangat penting. Diagnosa
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal.
Diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai
resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Diagnosa
ketuban pecah dini (KPD) ditegakkan dengan cara :
a. Anamnese
Pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak
secara tiba - tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas, dan perlu juga
diperhatikan warna keluarnya cairan tersebut, his belum teratur atau belum ada,
dan belum ada pengeluaran lendir darah.
b. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa, akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.
c. Pemeriksaan dengan spekulum
Pemeriksaan menggunakan spekulum pada pasien dengan ketuban pecah dini
akan tampak keluar cairan dari ostium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga
tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, mengejan atau
mengadakan manuver valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak
keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
d. Pemeriksaan dalam
Tidak didapatkan cairan dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi didalam
vagina. Pemeriksaan dalam vagina dengan toucher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam. Sewaktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan
dalam vagina hanya dilakukan jika ketuban pecah dini yang sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
Diagnosa keperawatan pada pasien postpartum diantaranya (Herdman, 2009) :
a) Nyeri akut/ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal.
b) Ketidak efektifan menyusui berhubungan dengan tingkat pengetahuan,
pengalaman sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan,
struktur/karakteristik fisik payudara ibu.
c) Risiko perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan pengaruh
komplikasi fisik dan emosional.
d) Resiko ketidakefektifan koping individu berkaitan perubahan emosional yang
tidak stabil pada ibu
e) Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan, proses
persalinan dan kelahiran melelahkan.
f) Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak
mengenal sumber – sumber.
g) Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan
kecukupan pemenuhan kebutuhan – kebutuhan individu dan tugas – tugas adaptif,
memungkinkan tujuan aktualisasi diri muncul ke permukaan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut/ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal.
Tujuan : Mengidentifikasi dan menggunakan intervensi untuk mengatasi
ketidaknyamanan.
Intervensi Keperawatan :
a) Tentukan adanya, lokasi, dan sifat ketidaknyamanan.
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan – kebutuhan khusus dan intervensi yang
tepat.
b) Inspeksi perbaikan perineum dan epiostomi.
Rasional : Dapat menunjukkan trauma berlebihan pada jaringan perineal dan
terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi / intervensi lanjut.
c) Berikan kompres es pada perineum, khususnya selama 24 jam pertama setelah
kelahiran.
Rasional : Memberi anestesia lokal, meningkatkan vasokonstriksi, dan
mengurangi edema dan vasodilatasi.
d) Berikan kompres panas lembab (misalnya ; rendam duduk / bak mandi)
Rasional : Meningkatkan sirkulasi pada perineum, meningkatkan oksigenasi dan
nutrisi pada jaringan, menurunkan edema dan meningkatkan penyembuhan.
e) Anjurkan duduk dengan otot gluteal terkontraksi diatas perbaikan episiotomy.
Rasional : Penggunaan pengencangan gluteal saat duduk menurunkan stres dan
tekanan langsung pada perineum.
f) Kolaborasi dalam pemberian obat analgesik 30-60 menit sebelum menyusui.
Rasional : Memberikan kenyamanan, khususnya selama laktasi, bila afterpain
paling hebat karena pelepasan oksitosin.
b. Ketidakefektifan menyusui berhubungan dengan tingkat pengetahuan,
pengalaman
sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan, struktur/karakteristik fisik
payudara ibu.
Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang proses/situasi menyusui, mendemonstrasikan
teknik efektif dari menyusui, menunjukkan kepuasan regimen menyusui satu sama lain.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji pengetahuan dan pengalaman klien tentang menyusui sebelumnya
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan saat ini dan mengembangkan
rencana perawatan.
b. Tentukan sistem pendukung yang tersedia pada klien, dan sikap pasangan / keluarga.
Rasional : Mempunyai dukungan yang cukup meningkatkan kesempatan untuk pengalaman
menyusui dengan berhasil.
c. Berikan informasi, verbal dan tertulis, mengenai fisiologi dan keuntungan menyusui,
perawatan putting dan payudara, kebutuhan diet khusus, dan faktor–faktor yang memudahkan
atau mengganggu keberhasilan menyusui.
Rasional : Membantu menjamin supli susu adekuat, mencegah putting pecah dan luka,
memberikan kenyamanan, dan membuat peran ibu menyusui.
d. Demonstrasikan dan tinjau ulang teknik – teknik menyusui
Rasional : Posisi yang tepat biasanya mencegah luka putting, tanpa memperhatikan lamanya
menyusu.
e. Identifikasi sumber-sumber yang tersedia di masyarakat sesuai indikasi ; misalnya ;
progam Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Rasional : Pelayanan ini mendukung pemberian ASI melalui pendidikan klien dan
nutrisional.
3. Risiko perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan pengaruh komplikasi fisik
dan emosional
Tujuan : Mengungkapkan masalah dan pertanyaan tentang menjadi orang tua,
mendiskusikan peran menjadi orang tua secara realistis, secara aktif mulai melakukan tugas
perawatan bayi baru lahir dengan tepat, mengidentifikasi sumber-sumber.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji kekuatan, kelemahan, usia, status perkawinan, ketersediaan sumber pendukung dan
latar belakang budaya.
Rasional : Mengidentifikasi faktor – faktor risiko potensial dan sumber-sumber pendukung,
yang mempengaruhi kemampuan klien/pasangan untuk menerima tantangan peran menjadi
orang tua.
b. Perhatikan respons klien/pasangan terhadap kelahiran dan peran menjadi orang tua.
Rasional : Kemampuan klien untuk beradaptasi secara positif untuk menjadi orang tua
mungkin dipengaruhi oleh reaksi ayah dengan kuat.
c. Evaluasi sifat dari menjadi orangtua secara emosi dan fisik yang pernah dialami
klien/pengalaman selama kanak-kanak.
Rasional : Peran menjadi orang tua dipelajari, dan individu memakai peran orang tua mereka
sendiri menjadi model peran.
d. Tinjau ulang catatan intrapartum terhadap lamanya persalinan, adanya komplikasi, dan
peran pasangan pada persalinan.
Rasional : Persalinan lama dan sulit, dapat secara sementara menurunkan energi fisik dan
emosional yang perlu untuk mempelajari peran menjadi ibu dan dapat secara negatif
mempengaruhi menyusui.
e. Evaluasi status fisik masa lalu dan saat ini dan kejadian komplikasi pranatal, intranatal,
atau pascapartal.
Rasional : Kejadian seperti persalinan praterm, hemoragi, infeksi, atau adanya komplikasi ibu
dapat mempengaruhi kondisi psikologis klien.
f. Evaluasi kondisi bayi ; komunikasikan dengan staf perawatan sesuai indikasi.
Rasional : Ibu sering mengalami kesedihan karena mendapati bayinya tidak seperti bayi yang
diharapkan.
g. Pantau dan dokumentasikan interaksi klien/pasangan dengan bayi.
Rasional : Beberapa ibu atau ayah mengalami kasih sayang bermakna pada pertama kali ;
selanjutnya, mereka dikenalkan pada bayi secara bertahap.
h. Anjurkan pasangan/sibling untuk mengunjungi dan menggendong bayi dan berpartisipasi
terhadap aktifitas perawatan bayi sesuai izin.
Rasional : Membantu meningkatkan ikatan dan mencegah perasaan putus asa.
i. Kolaborasi dalam merujuk untuk konseling bila keluarga beresiko tinggi terhadap masalah
menjadi orang tua atau bila ikatan positif diantara klien/pasangan dan bayi tidak terjadi.
Rasional : Perilaku menjadi orang tua yang negatif dan ketidakefektifan koping memerlukan
perbaikan melalui konseling, pemeliharaan atau bahkan psikoterapi yang lama.
4. Risiko ketidakefektifan koping individual berhubungan dengan krisis
maturasional dari kehamilan/mengasuh anak dan melakukan peran ibu dan menjadi orang tua
(atau melepaskan untuk adopsi), kerentanan personal, ketidakadekuatan sistem pendukung,
persepsi tidak realistis
Tujuan : Mengungkapkan ansietas dan respon emosional, mengidentifikasi kekuatan
individu dan kemampuan koping pribadi, mencari sumber-sumber yang tepat sesuai
kebuuhan.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji respon emosional klien selama pranatal dan dan periode intrapartum dan persepsi
klien tentang penampilannya selama persalinan.
Rasional : Terhadap hubungan langsung antara penerimaan yang positif akan peran feminin
dan keunikan fungsi feminin serta adaptasi yang positif terhadap kelahiran anak, menjadi ibu,
dan menyusui.
b. Anjurkan diskusi oleh klien / pasangan tentang persepsi pengalaman kelahiran.
Rasional : Membantu klien / pasangan bekerja melalui proses dan memperjelas realitas dari
pengalaman fantasi.
c. Kaji terhadap gejala depresi yang fana (" perasaan sedih " pascapartum) pada hari ke-2
sampai ke-3 pascapartum (misalnya ; ansietas, menangis, kesedihan, konsentrasi yang buruk,
dan depresi ringan atau berat).
Rasional : Sebanyak 80 % ibu - ibu mengalami depresi sementara atau perasaan emosi
kecewa setelah melahirkan.
d. Evaluasi kemampuan koping masa lalu klien, latar belakang budaya, sistem pendukung,
dan rencana untuk bantuan domestik pada saat pulang.
Rasional : Membantu dalam mengkaji kemampuan klien untuk mengatasi stres.
e. Berikan dukungan emosional dan bimbingan antisipasi untuk membantu klien mempelajari
peran baru dan strategi untuk koping terhadap bayi baru lahir.
Rasional : Keterampilan menjadi ibu / orang tua bukan secara insting tetapi harus dipelajari.
f. Anjurkan pengungkapan rasa bersalah, kegagalan pribadi, atau keragu – raguan tentang
kemampuan menjadi orang tua
Rasional : Membantu pasangan mengevaluasi kekuatan dan area masalah secara realistis dan
mengenali kebutuhan terhadap bantuan profesional yang tepat.
g. Kolaborasi dalam merujuk klien/pasangan pada kelompok pendukungan menjadi orang
tua, pelayanan sosial, kelompok komunitas, atau pelayanan perawat berkunjung.
Rasional : Kira - kira 40 % wanita dengan depresi pascapartum ringan mempunyai gejala –
gejala yang menetap sampai 1 tahun dan dapat memerlukan evaluasi lanjut.
5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan, proses persalinan
dan kelahiran melelahkan.
Tujuan : Mengidentifikasi penilaian untuk mengakomodasi perubahan yang diperlukan
dengan kebutuhan terhadap anggota keluarga baru, melaporkan peningkatan rasa sejahtera
dan istirahat.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan untuk istirahat.
Rasional : Persalinan atau kelahiran yang lam dan sulit, khususnya bila ini terjadi malam,
meningkatkan tingkat kelelahan.
b. Kaji faktor-faktor, bila ada yang mempengaruhi istirahat.
Rasional : Membantu meningkatkan istirahat, tidur dan relaksasi dan menurunkan rangsang.
c. Berikan informasi tentang kebutuhan untuk tidur/istirahat setelah kembali ke rumah.
Rasional : Rencana yang kreatif yang membolehkan untuk tidur dengan bayi lebih awal serta
tidur siang membantu untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
d. Berikan informasi tentang efek-efek kelelahan dan ansietas pada suplai ASI.
Rasional : Kelelahan dapat mempengaruhi penilaian psikologis, suplai ASI, dan penurunan
refleks secara psikologis.
e. Kaji lingkungan rumah, bantuan dirumah, dan adanya sibling dan anggota keluarga lain.
Rasional : Multipara dengan anak di rumah memerlukan tidur lebih banyak dirumah sakit
untuk mengatasi kekurangan tidur dan memenuhi kebutuhannya.
6. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal
sumber – sumber.
Tujuan : Mengungkapkan berhubungan dengan pemahaman perubahan fisiologis, kebutuhan
individu, hasil yang diharapkan, melakukan aktivitas / prosedur yang perlu dan menjelaskan
alasan-alasan untuk tindakan.
Intervensi Keperawatan :
a. Pastikan persepsi klien tentang persalinan dan kelahiran, lama persalinan, dan tingkat
kelelahan klien.
Rasional : Terhadap hubungan antara lama persalinan dan kemampuan untuk melakukan
tanggung jawab tugas dan aktifitas-aktifitas perawatan diri/perawatan bayi.
b. Kaji kesiapan klien dan motivasi untuk belajar.
Rasional : Periode pascanatal dapat merupakan pengalaman positif bila penyuluhan yang
tepat untuk membantu pertumbuhan ibu, maturasi, dan kompetensi.
c. Berikan informasi tentang perawatan diri, termasuk perawatan perineal dan higiene,
perubahan fisiologis.
Rasional : Membantu mencegah infeksi, mempercepat pemulihan dan penyembuhan, dan
berperan pada adaptasi yang positif dari perubahan fisik dan emosional.
d. Diskusikan kebutuhan seksualitas dan rencana untuk kontrasepsi.
Rasional : Pasangan mungkin memerlukan kejelasan mengenai ketersediaan metoda
kontrasepsi dan kenyataan bahwa kehamilan dapat terjadi bahkan sebelum kunjungan
sebelum kunjungan minggu ke-6.
7. Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan kecukupan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu dan tugas-tugas adaptif, memungkinkan tujuan
aktualisasi diri muncul ke permukaan.
Tujuan : Mengungkapkan keinginan untuk melaksanakan tugas-tugas yang mengarah pada
kerja sama dari anggota keluarga baru, mengekspresikan perasaan percaya diri dan kepuasan
dengan terbentuknya kemajuan dan adaptasi.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji hubungan anggota keluarga satu sama lain.
Rasional : Perawat dapat membantu memberikan pengalaman positif di rumah sakit dan
menyiapkan keluarga terhadap pertumbuhan melalui tahap – tahap perkembangan.
b. Anjurkan partisipasi seimbang dari orang tua pada perawatan bayi.
Rasional : Fleksibilitas dan sensitifitasi terhadap kebutuhan keluarga membantu
mengembangkan harga diri dan rasa kompeten dalam perawatan bayi baru lahir setelah
pulang.
c. Berikan bimbingan antisipasi mengenai perubahan emosi normal berkenaan dengan
periode pascapartum.
Rasional : Membantu menyiapkan pasangan untuk kemungkinan perubahan yang mereka
alami, menurunkan stres dan meningkatkan koping positif.
d. Berikan informasi tertulis mengenai buku-buku yang dianjurkan untuk anak-anak (sibling)
tetang bayi baru.
Rasional : Membantu anak mengidentifikasi dan mengatasi perasaan akan kemungkinan
penggantian atau penolakan.
e. Kolaborasi dalam merujuk klien/pasangan pada kelompok orang tua pascapartum di
komunitas.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang membesarkan anak dan
perkembangan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Antara. (2013, February 15). Republika Online. Dipetik September 3, 2013, dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/02/16/mi9ugy-menkes-angka-kematian-ibu-melahirkan-masih-tinggi
Aprillia, Y. (2010). Hipnostetri : Rileks, Nyaman, dan Aman Saat Hamil & Melahirkan hal. 123. Jakarta: Gagas Media.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Asri Hidayat, Mufdilah, & Sujiyanti. (2009). Asuhan Patologi Kebidanan . Yogyakarta: Nuha Medika.
Bobak. (2005). Buku Ajar Keperawatan Maternitas Ed.4. Jakarta: EGC.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Hamilton, G. M. (2009). Obstetri dan Ginekologi : Panduan Praktik Ed. 2. Jakarta: EGC.
Harry Orxon & Willian R. (2010). Ilmu Kebidanan : Patologi dan Fisiologi Persalinan.Yogjakarta: Yayasan Essentia Medika.
Herdman, T. H. (2009). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Mander, R. (2003). Nyeri Persalinan. Jakarta: EGC.
Manuaba. (2008). Buku Ajar Patologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC.
Manuaba. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.Jakarta: EGC.
Manuaba, I. B. (2004). Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi Ed.2 hal. 61. Jakarta: EGC.
Morton, P. G. (2005). Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi SOAPIE. Jakarta: EGC.
Nadesul, H. (2001). Cara Sehat Selama Hamil. Niaga Swadaya.
Nugroho, J. &. (2010). Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (OBSGYN).Yogyakarta: Nuha Medika.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Penyakit Dalam.Yogyakarta: Nuha Medika.
Nugroho, T. (2011). Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. hal. 67. Jakarta: Salemba Medika.
Penny Simkin, Janet Whalley, & Ann Keppler. Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan & Bayi. Arcan.
Sastrawinata, S. (2004). Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi Ed. 2, hal. 59.Jakarta : EGC.
Sinclair, C. (2009). Buku Saku Kebidanan . Jakarta : EGC.
Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Yulaikhah, L. (2008). Kehamilan . Jakarta: EGC.
Yuliarti, N. (2010). Keajaiban ASI. Yogyakarta: Andi Offset.
top related