antropologi
Post on 09-Apr-2016
4 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang
memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa
etnis sebagai masyarakatnya, diantaranya, etnis Jawa, Sunda, Melayu, Bali,
Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Tionghoa (Taum, 2006). Masyarakat
dengan etnis berbeda bukan hanya memiliki bentuk fisik yang berbeda, tetapi
agama yang dianut, bahasa yang digunakan, budaya dan adat istiadat yang
dimiliki juga berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut telah mendorong
munculnya semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya
“walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, walaupun kita berbeda, kita tetap
dipersatukan di bawah dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Namun
sayang, istilah dan pernyataan tersebut hanya merupakan kata-kata belaka. Pada
kenyataannya, masyarakat Indonesia sendiri telah menciptakan konflik yang
didasarkan pada etnis yang berbeda (Susetyo, 1999). Hal itu terbukti dengan
adanya istilah dikotomis yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Indonesia,
yaitu etnis Pribumi dan etnis non-Pribumi. Etnis Pribumi adalah semua etnis yang
ada di Indonesia di luar etnis Tionghoa, sedangkan etnis non-Pribumi biasanya
diasosiasikan dengan etnis Tionghoa (Mendatu, 2007). Pemakaian istilah yang
dikotomis tersebut telah menciptakan banyak masalah besar, salah satunya adalah
Universitas Sumatera Utara
17
semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang
ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo,
1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa
dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean
dalam Susetyo, 1999)
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara
etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik,
mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et
impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa
Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik
lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakan-
gerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa
terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di
bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana
yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu
munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis
Pribumi (Helmi, 1991).
Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian
berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu,
orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi
diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut
mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai
marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban
Universitas Sumatera Utara
18
kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan
representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa
(Gerungan, 2002).
Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun
golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang
menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono,
1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang
Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme
yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa
semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga
berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam
Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih
pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak
dapat dipercaya (Sarwono, 1999).
Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization
theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan
sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial
mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us
versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di
Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah
membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol
seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik
Universitas Sumatera Utara
19
fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan
ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan
kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif
seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya
kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya
sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999)
menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan
terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan
Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada
dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih
positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di
mana ia sendiri menjadi minoritas.
Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan
outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan
memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota
kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama
juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya
prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka
membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau
dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama.
Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang
berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar
keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut
Universitas Sumatera Utara
20
akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha
tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup)
berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).
Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi
supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga
meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya
trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang
akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku
yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau
menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya
(Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk
dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut
dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan
bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa
dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher
& Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk
memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.
Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi
sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber
penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia
sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.
Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi
(karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya
Universitas Sumatera Utara
21
prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan
dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi
dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi
lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).
Berikut adalah penuturan dua staf Human Resources dari dua perusahaan
yang berbeda mengenai prasangka atasan masing-masing terhadap karyawan
Pribumi:
Ini kan perusahaan milik Tionghoa, jadi kebanyakan atasan meminta karyawan yang beretnis Tionghoa juga, jadi tugas kita adalah merekrut karyawan yang beretnis Tionghoa.....jadi itu bukan kemauan kita, itu permintaan atasan. Kalau masalah jabatan, mereka orang Pribumi gak kan pernah bisa menduduki posisi atas, jadi mereka tetap jadi bawahan....tapiii....untuk departement tertentu yang perlu berhubungan dengan pemerintahan seperti departemen pembuatan STNK, departemen faktur, staffnya, bahkan pemimpin departement tersebut juga adalah orang Pribumi. Sedangkan untuk departement keuangan, departement IT, kasir, dan akuntan, semua anggotanya adalah orang Tionghoa. Gak ada satu orang Pribumi disana. Kata atasan kami, orang Pribumi itu tidak jujur, mereka bisa saja menyeludupkan uang atau bahkan melaporkan aset perusahaan kepada pihak pemerintahan... padahal yang aku tahu, orang Tionghoa juga banyak yang gak jujur loh..hehe. Kalau soal kompetensi kerja, kita etnis Tionghoa gak bisa langsung menjudge kalau karyawan etnis Pribumi tidak berkompeten. Banyak kok hasil tes yang tidak mendukung pandangan tersebut. Sebenarnya dasar dari semua ini cuma satu, prasangka... (Komunikasi Personal dengan staf HR perusahaan ”A”, 01 November 2008) Kebanyakan pengusaha Tionghoa memang tidak mau mempekerjakan etnis Pribumi.....kalaupun dipekerjakan, mereka biasanya ditempatkan pada level-level tertentu saja. Selain itu, kebanyakan mereka juga biasanya ditempatkan untuk bekerja di kebun, karena biasanya orang Tionghoa jarang yang mau ditempatkan di kebun. Kalau lagi kerja di lapangan yang semua pekerja orang Pribumi, bos pasti akan menyuruh satu pekerja Tionghoa untuk turun ke lapangan untuk mengawasi kerja orang Pribumi......mmmm.....aku rasa itu bukan soal kompetensi kerja mereka atau keahlian kerja mereka. Aku rasa alasan satu-satunya adalah ras. Mereka gak mau mempekerjakan orang Pribumi hanya karena berbeda ras. (Komunikasi Personal dengan staf HR perusahaan ”B”, 22 Oktober 2008)
Universitas Sumatera Utara
22
Hasil kutipan kedua wawancara tersebut menunjukkan bahwa pengusaha
Tionghoa tidak percaya (distrust) kepada karyawan etnis Pribumi yang merupakan
kelompok outgroup sehingga karyawan etnis Pribumi hanya ditempatkan pada
level-level dan departemen tertentu. Pengusaha Tionghoa lebih percaya (trust)
kepada kelompok ingroup, yaitu karyawan yang beretnis Tionghoa. Kepercayaan
terhadap kelompok ingroup tersebut meliputi kepercayaan akan kompetensi kerja
mereka dan kejujuran mereka dalam menjalankan pekerjaan.
Permasalahan antara pengusaha etnis Tionghoa dengan karyawan etnis
pribumi juga terlihat jelas pada salah satu Bank Swasta terkenal di Indonesia yang
pemiliknya merupakan seorang etnis Tionghoa juga. Pada bank tersebut,
kebanyakan karyawan yang bekerja di sana adalah karyawan etnis Tionghoa
sedangkan karyawan Pribumi ditempatkan di kelas nomor dua, bahkan terjadi
diskriminasi pemberlakuan sistem gaji, kepangkatan antara karyawan etnis
Pribumi dan karyawan etnis Tionghoa (Pengusaha Pribumi, 1998). Dengan
demikian jelas bahwa apa yang dikemukakan Fynn & Chatman (2002) dan
Brewer & Miller dalam Mendatu (2007) di atas bahwa trust memang dipengaruhi
oleh social categorization yang merupakan salah satu sumber prasangka.
Staf Human Resources yang diwawancarai peneliti di atas berasal dari
perusahaan besar dan perusahaan kecil milik etnis Tionghoa dengan jumlah
karyawan etnis Tionghoa lebih besar daripada jumlah karyawan etnis Pribumi.
Menurut Miner (1992), suatu organisasi dikatakan memiliki prasangka sosial
Universitas Sumatera Utara
23
terhadap etnis tertentu apabila proporsi karyawannya yang etnis tertentu lebih
besar dibandingkan proporsi karyawan etnis lainnya.
Berkaitan dengan fenomena dan penjelasan di atas, bahwa salah satu
penyebab munculnya prasangka adalah social categorization, dan social
categorization itu sendiri menurut Flynn & Chatman (2002) dan Brewer & Miller
(dalam Mendatu, 2007) dipengaruhi oleh trust, maka peneliti tertarik untuk
mempelajari hubungan antara prasangka terhadap karyawan etnis Pribumi dengan
trust pada pengusaha etnis Tionghoa.
B. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”apakah terdapat
hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap
karyawan etnis Pribumi?”.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara trust dengan prasangka pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan
etnis Pribumi.
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara
24
a. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat hubungan antara prasangka
terhadap karyawan etnis Pribumi dengan trust pada pengusaha Tionghoa.
b. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang
prasangka dan trust, khususnya antara pengusaha Tionghoa dan karyawan
etnis Pribumi.
c. Sebagai bahan pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam
bidang psikologi khususnya psikologi sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pengusaha Tionghoa, penelitian ini dapat memberikan gambaran
mengenai prasangka mereka terhadap karyawan yang beretnis Pribumi dan
bagaimana hubungannya dengan perasaan trust yang dirasakan pengusaha
Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis Pribumi.
b. Bagi karyawan yang beretnis Pribumi, penelitian ini dapat memberikan
gambaran mengenai bagaimana perasaan trust atasan terhadap diri mereka
serta bagaimana usaha untuk meningkatkan trust tersebut.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian ini akan disusun dalam sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian. Manfaat dalam
Universitas Sumatera Utara
25
penelitian ini terdiri dari manfaat praktis dan manfaat teoritis. Selain
itu, terdapat pula sistematika penulisan di akhir Bab I.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori
tentang trust dan prasangka. Pembahasan teori tentang trust
mencakup pengertian, jenis-jenis trust, elemen-elemen trust, faktor-
faktor yang mempengaruhi trust-building process dan cara untuk
meningkatkan trust. Sedangkan pembahasan teori prasangka
mencakup pengertian prasangka, pendekatan teoritik terhadap
prasangka, aspek prasangka, tipe-tipe prasangka, target diskriminasi,
dan usaha untuk mengurangi diskriminasi. Selain itu penulis juga
membahas mengenai pengertian pengusaha dan karyawan serta
pengertian golongan etnis.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional
variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji
daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data
yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini akan menguraikan tentang analisa data dan pembahasannya
yang dikaitkan dengan teori yang ada.
Universitas Sumatera Utara
26
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan
yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian
yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
top related