5. mengukur kecepatan efektif...
Post on 07-Mar-2019
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5. Mengukur Kecepatan Efektif Membaca
Seperti telah dijelaskan di muka, KEM itu merupakan perpaduan antara kecepatan
membaca dengan kemampuan memahami isi bacaan. Kecepatan rata-rata baca merupakan
cermin dari tolok ukur kemampuan visual, yakni kemampuan gerak motoris mata dalam
melihat lambang-lambang grafis. Pemahaman isi bacaan merupakan cermin dari
kemampuan kognisi, yakni kemampuan berpikir dan bernalar dalam mencerna masukan
grafis yang diterimanya lewat indera mata.
Untuk menentukan KEM seseorang diperlukan data mengenai rata-rata kecepatan
bacanya dan persentase pemahaman isi bacaan. Data mengenai rata-rata kecepatan baca
dapat diketahui apabila jumlah kata yang dibaca dan waktu tempuh bacanya diketahui. Cara
menghitung rata-rata kecepatan baca adalah dengan cara membagi jumlah kata yang dibaca
dengan waktu tempuh baca. Sebagai contoh, jika seseorang dapat membaca sebanyak 2500
perkataan dalam waktu 5 menit, artinya kecepatan rata-rata baca pembaca tersebut adalah
500 kpm (2500 : 5 = 500).
Sementara itu, untuk memperoleh data tentang persentase pemahaman isi bacaan
yang objektif (bukan perkiraan), tentu diperlukan suatu alat untuk mengukurnya. Alat
tersebut berupa tes (masalah ini akan dibicarakan dalam bab tersendiri). Untuk menentukan
persentase pemahaman seseorang terhadap bahan bacaan yang dibacanya ialah dengan cara
membagi sekor bobot tes pemahaman isi bacaan yang dapat dijawab pembaca dengan benar
dengan bobot/skor ideal kemudian diperkalikan dengan 100 (persen). Misalnya, jika
seseorang dapat menjawab dengan benar tes pemahaman isi bacaan sebanyak 32 dari sekor
ideal 50, maka persentase pemahaman isi bacaan pembaca yang bersangkutan adalah 64%
(32/50 X 100% = 64%).
Berpedoman kepada pengertian KEM, yakni perpaduan antara kemampuan visual
dan kemampuan kognisi, maka contoh-contoh penghitungan KEM untuk data di atas dapat
ditentukan KEM-nya. Dari hasil penghitungan rata-rata kecepatan baca diperoleh data 500
kpm; dari hasil penghitungan persentase pemahaman isi bacaan diperoleh data 64%. Maka
penghitungan KEM-nya adalah 500 X 64% = 320 kpm. Angka terakhir ini (320 kpm)
merupakan kecepatan efektif membaca yang sudah menyertakan pengukuran dua unsur
penyokong kegiatan baca, yakni kemampuan gerak mata dalam melihat lambang-lambang
cetak dan kemampuan memahami isi bacaan. Sementara angka 500 kpm itu merupakan
kemampuan kecepatan rata-rata baca yang belum menyertakan unsur pemahaman isi
bacaan.
Selanjutnya, berdasarkan ilustrasi di atas, sekarang kita dapat membuat beberapa
alternatif rumus KEM yang dapat dipergunakan untuk menghitung dan menentukan KEM
seseorang. Alternatif rumus-rumus tersebut antara lain sebagai berikut ini.
(1) K B
---- X ---- = ... kpm
Wm SI
(2) K B
----- X ---- = ... kpm
Wd:60 SI
(3) K B
---- (60) X ---- = ... kpm
Wd SI
Keterangan:
a) K : jumlah kata yang dibaca
b) Wm : waktu tempuh baca dalam satuan menit
c) Wd : waktu tempuh baca dalam satuan detik
d) B : sekor bobot perolehan tes yang dapat dijawab dengan benar
e) SI : sekor ideal atau sekor maksimal
f) kpm: kata per menit
Untuk memudahkan proses pengukuran/penghitungan KEM, ikutilah prosedur kerja
di bawah ini.
1) Tandailah bacaan anda/pembaca, di mana anda/pembaca memulai bacaan dan di mana
pula berakhirnya, kemudian hitunglah jumlah kata yang telah (berhasil) anda baca itu
dengan jalan:
(a) menghitung jumlah kata per baris (sebagai sampel);
(b) menghitung jumlah baris per halaman, lalu dikalikan dengan hasil penghitungan butir
(a) menghasilkan jumlah kata per halaman.
(c) menghitung jumlah halaman yang berhasil dibaca;
(d) memperkalikan hasil penghitungan (b), yakni jumlah kata per halaman dengan hasil
penghitungan (c), yakni jumlah halaman, menghasilkan jumlah seluruh kata yang
telah dibaca.
Contoh :
• Jumlah kata per baris = 11
• Jumlah baris per halaman = 35
• Jumlah halaman yang dibaca = 10
maka akan diperoleh:
• Jumlah kata per halaman 11 X 35 = 385 kata
• Jumlah kata yang dibaca (secara keseluruhan) adalah 10 x 385 = 3850 kata.
2) Catatlah waktu tempuh baca dengan jalan:
(a) catat waktu mulai membaca, misalnya pk. 10.15
(b) catat waktu berakhirnya membaca, misalnya pk 10.20.30
(c) hitung waktu tempuh baca dengan jalan (b - a) atau 10.20.30 - 10.15 = 5 menit 30
detik atau 330 detik.
3) Hitung rata-rata kecepatan bacanya dengan jalan membagi jumlah kata (langkah 1) dan
waktu tempuh baca (langkah 2) jika waktu tempuh baca dalam bentuk menit gunakan
rumus (1), jika menggunakan satuan detik gunakan (2) atau (3). Penghitungan untuk
contoh di atas menjadi seperti berikut ini.
*) Menggunakan rumus (1):
3850 ------ = 700 kpm 5.5
*) Menggunakan rumus (2) atau (3):
3850 3850 ------ X 60 = 700 kpm atau ------- = 700 kpm 330 330:60
4) Tentukan persentase pemahaman isi bacaan yang anda capai dengan cara membagi
sekor bobot perolehan yang benar dengan sekor idealnya, kemudian dikalikan dengan
100%.
Contoh: diberikan 30 soal pemahaman isi bacaan dengan
pembagian sebagai berikut:
I. 20 soal, bobot 2 ---> 20 X 2 = 40
II. 10 soal, bobot 1 ---> 10 X 1 = 10
------
Sekor idealnya adalah = 50
Seandainya anda dapat menjawab 17 soal dengan benar dari nomor-nomor soal berikut: 1-
6, 9, 12, 15-19, 22-25, 28; maka penghitungan sekor perolehan yang anda capai adalah
sebagai berikut.
I. 18 butir X 2 = 36
II. 5 butir X 1 = 5
-------
Sekor perolehan = 41 atau 41:50 X 100% = 82%
5) Tentukan KEM-nya dengan jalan memperkalikan hasil langkah (3) (rata-rata kecepatan
baca) dengan hasil langkah (4) (pemahaman isi bacaan).
Untuk contoh data di atas, penghitungan KEM-nya tampak seperti berikut ini.
(a) dengan rumus (1):
3850 41 3850
------ X ---- = ------> ------ X 82% =
5.5 50 5.5
700 X 0.82 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
(b) dengan rumus (2):
3850 41 3850
------ X 60 ---- = ------ X 60 82% =
330 50 330
700 X 0.82 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
(c) dengan rumus (3):
3850 41 3850
------ X ---- = ------ X 82% =
330:60 50 330:60
700 X 0.8 = 574 kpm 700 X 82% = 574 kpm
Dengan menggunakan rumus mana pun kita menghitung KEM, pada akhirnya akan
menghasilkan angka yang sama, yakni 574 kpm.
Berbekal rumus penghitungan KEM tersebut, kita berkesimpulan bahwa untuk
sampai pada penggunaan rumus tersebut terdapat sejumlah persiapan yang harus kita
persiapkan untuk menghitung KEM. Persiapan-persian dimaksud meliputi:
(a) menyediakan teks/wacana sebagai bahan bacaan;
(b) menyiapkan alat pengukur waktu: jam tangan, stopwatch;
(c) perangkat tes (tes bacaan).
6. KEM, Tujuan Membaca, dan Krakteristik Bahan
Pembaca yang efisien mempunyai kecepatan baca yang fleksibel sesuai dengan
bahan bacaan yang dihadapinya dan tujuan membacanya. Berikut ini disajikan rincian rata-
rata kecepatan baca yang disesuaikan dengan keperluan baca.
a) Kecepatan 1000 kpm atau lebih biasa digunakan pada saat membaca skimming atau
scanning, manakala pembaca hendak mengenal bahan bacaan yang akan dibaca,
mencari jawaban atas pertanyaan tertentu, megetahui struktur organisasi bacaan,
mencari gagasan pokok, mendapatkan kesan umum su atu bacaan, dan lain-lain.
b) Kecepatan antara 500-800 kpm (tinggi) digunakan untuk membaca bahan bacaan yang
mudah/ringan atau yang sudah dikenal, membaca novel/cerpen ringan untuk
mengetahui jalan ceritanya.
c) Kecepatan antara 350-500 kpm (cepat) digunakan untuk membaca bacaan mudah yang
bersifat deskriptif/informatif dan bacaan fiksi yang agak sulit untuk menikmati
keindahan sastranya atau mengantisipasi akhir cerita.
d) Kecepatan antara 250-350 kpm (rata-rata) digunakan untuk membaca fiksi yang
kompleks guna menganalisis watak tokoh dan jalan cerita atau bahan-bahan nonfiksi
yang agak sulit untuk mendapatkan detail informasi, mencari hubungan atau membuat
evaluasi tentang ide penulis.
e) Kecepatan antara 100-125 kpm (lambat) digunakan untuk mempelajari bacaan yang
sukar, bahan bacaan ilmiah yang bersifat teknis, analisis nilai sastra klasik,
memecahkan persoalan yang dirujuk bacaan yang bersifat instruksional (petunjuk).
Kecepatan rata-rata di atas hendaknya disertai dengan minimal 70% pemahaman isi
bacaan, karena kecepatan rata-rata tersebut masih merupakan kecepatan kasar yang
belum menyertakan pemahaman isi bacaan. Berdasarkan hasil studi para ahli membaca
di America, kecepatan yang memadai untuk siswa tingkat akhir sekolah dasar kurang
lebih 200 kpm, siswa tingkat lanjutan pertama antara 200-250 kpm, siswa tingat
sekolah lanjutan atas antara 250-325 kpm, dan tingkat mahasiswa antara 325-400 kpm
dengan pemahaman isi minimal 70%. Dengan demikian, bila dihitung KEM-nya
masing-masing akan menjadi seperti berikut:
* tingkat SD : 200 x 70% = 140 kpm
* tingkat SMTP : 200 x 70% s.d. 250 x 70% = 140 - 175 kpm
* tingkat SMTA : 250 x 70% s.d. 350 x 70% = 175 - 245 kpm
* tingkat PT : 350 x 70% s.d. 400 x 70% = 245 - 280 kpm.
RANGKUMAN
KEM merupakan kependekan dari kecepatan efektif membaca, yakni sebuah istilah
untuk mencerminkan kemampuan membaca yang sesungguhnya yang dicapai oleh
pembaca. Dua unsur penyokong kegiatan/proses membaca, yakni unsur visual (kemampuan
gerak motoris mata dalam melihat dan mengidentifikasi lambang-lambang grafis) dan unsur
kognisi (kemampuan otak dalam mencerna dan memahamai lambang-lambang grafis)
sudah terliput dalam rumus KEM. Oleh karena itu, KEM dapat ditentukan dengan jalan
memperkalikan kecepatan rata-rata baca dengan persentase pemahaman isi bacaan.
Untuk mencapai KEM yang tinggi diperlukan latihan dan pembiasaan. KEM
seseorang dapat dibina dan ditingkatkan melalui proses berlatih. Ada dua faktor utama yang
diduga sebagai faktor pemengaruh KEM, yakni faktor dalam (internal) dan faktor luar
eksternal. Yang dimaksud dengan faktor dalam adalah faktor yang berada di dalam diri
pembaca itu sendiri. Yang termasuk ke dalam faktor ini, misalnya intelegensi, minat dan
motivasi, sikap baca, kompetensi kebahasaan, tujuan baca dll. Yang dimaksud dengan
faktor luar adalah faktor-faktor yang berada di luar pembaca. Faktor ini dapat dibedakan
lagi ke dalam dua hal, yakni faktor-faktor yang berkenaan dengan bacaan (keterbacaan dan
organisasi bacaan) dan sifat-sifat lingkungan baca (guru, fasilitas, model PBM, teknik-
teknik membaca, dan lain-lain).
Pembaca yang fektif dan efisien adalah pembaca yang fleksibel, yakni pembaca
yang dapat menyesuaikan atau mengatur kelenturan waktu tempuh baca dengan tujuan
membaca dan berbagai kondisi baca yang ada, seperti karakteristik dan tingkat kesulitan
bacaan, minat baca, strategi membaca, dan lain-lain. Tujuan dan kondisi baca itu turut
menentukan KEM minimal yang harus dikuasai seorang pembaca. Secara garis besar KEM
dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sangat tinggi, tinggi, cepat, rata-rata, dan lambat.
KEM minimal untuk klasifikasi pembaca adalah: SD (140 kpm), SLTP (140-175 kpm),
SLTA (175-245 kpm), PT (245-280 kpm) .
LATIHAN
Sekarang mari kita berlatih menggunakan rumus KEM untuk mengukur kecepatan
efektif membaca diri sendiri.
Petunjuk
Sebelum kita mencoba mempraktikkan rumus pengukuran KEM ini, terlebih dahulu
silakan anda baca dulu wacana/teks berikut. Jangan lupa untuk mencatat, kapan anda mulai
membaca dan kapan berakhirnya.
A.TEKS
mulai pukul : .........
Masalah hubungan antara intelegensi dan kreativitas serta peranan masing-masing
terhadap keberhasilan dalam pendidikan dan dalam hidup pada umumnya telah lama
menjadi pokok pembahasan dan penelitian para ahli.
Merupakan suatu kenyataan bahwa intelegensi atau IQ yang tinggi belum tentu
menjamin keberhasilan dalam pendidikan, apalagi dalam karir. Karena itu timbul
pertanyaan, faktor-faktor apa kecuali intelegensi yang menentukan keberhasilan dalam
studi? Ukuran-ukuran atau test-test apa yang sebaiknya digunakan untuk mengetahui bakat
dan untuk meramalkan apakah seorang anak akan dapat menyelesaikan suatu pendidikan
dengan hasil yang memuaskan? Sejauh mana kreativitas seseorang ikut berperan? Apakah
persamaan dan perbedaan antara intelegensi dan kreativitas?
Sebenarnya ada dua anggapan yang mengaburkan pengertian mengenai intelegensi
dan kreativitas. Pertama, anggapan bahwa hasil test intelegensi sudah mencerminkan semua
kemampuan mental dan proses-proses kognitif. Kedua, aggapan bahwa kreativitas semata-
mata berhubungan dengan bakat artistik, dan oleh karena itu, anggapan ini telah membatasi
usaha-usaha untuk mengidentifikasi dan memupuk kemampuan-kemampuan kognitif yang
berkaitan dengan fungsi kreatif di luar bidang seni.
Seorang tokoh yang berjasa menjelaskan pengertian tentang intelegensi dan
kreativitas serta hubungan antara keduanya ialah J.P. Guilford (1956).Dalam modelnya
tentang struktur intelek manusia, Guilford mendemonstrasikan bahwa intelek manusia
meliputi tidak kurang dari 120 faktor, dan bahwa test intelegensi konvensional hanya
mengukur sebagian kecil dari faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, mungkin saja bahwa
seorang anak yang berdasarkan test intelegensi tertentu mencapai IQ yang tinggi, dalam
kenyataannya kurang berhasil. Atau sebaliknya, seorang pemuda yang diramalkan kurang
memnuhi syarat untuk pendidikan tinggi ternyata bisa jadi sarjana. Hal ini disebabkan test
intelegensi yang dipakai belum tentu meliputi semua keterampilan yang dibutuhkan dalam
bidang studi tertentu. Apalagi di samping faktor intelegensi, faktor kepribadian dan
lingkungan juga ikut berperan.
Berkenaan dengan intelegensi dan kreativitas, keduanya merupakan fungsi dari
kemampuan kognitif manusia, akan tetapi meliputi dimensi yang berbeda. Menurut
Guilford, tes intelegensi terutama mengukur apa yng disebutnya "pemikiran konvergen",
yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan
informasi yang diberikan, sedangkan tes kreativitas terutama mengukur "pemikiran
divergen", yaitu kemampuan untuk memberikan macam-macam alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan. Guilford menekankan bahwa sistem pendidikan
yang tradisional kurang memperhatikan pengembangan dari kemampuan berpikir divergen,
padahal kemampuan ini sangat penting dalam proses pemecahan masalah pada umumnya,
dan khususnya di mana dibutuhkan gagasan-gagasan yang inovatif.
dari: INTELEGENSI BAKAT
berakhir pukul : ............ dan TEST IQ
Disusun oleh Fakultas Psikologi UI
B. Pertanyaan Bacaan
I. 1. Jawablah pertanyaan bacaan berikut dengan membubuhkan tanda silang (X) pada
huruf di depan alternatif jawaban yang anda anggap paling tepat!
1) Pernyataan berikut salah, kecuali ...
a. Hasil tes intelegensi mencerminkan kemampuan mental dan proses kognitif seseorang.
b. Kreativitas hanya berhubungan dengan hal yang bersifat artistik atau seni.
c. Intelegensi yang tinggi menjamin keberhasilan studi seseorang.
d. Intelegensi dan kreativitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan studi.
2) Tes yang memungkinkan si penjawab memberikan beberapa alternatif jawaban,
digunakan untuk mengukur ...
a. intelegensi
b. kreatisitas
c. intelegensi dan kreativitas
d. kreatis\vitas dan prestasi belajar
3) Faktor-faktor yang termasuk fungsi kognitif manusia adalah ...
a. intelegensi dan kepribadian
b. kreativitas dan kepribadian
c. intelegensi dan kreativitas
d. bakat dan kreativitas
4) Tema sentral bacaan di atas adalah ...
a. Pernan intelegensi dan kreativitas dalam keberhasilan pendidikan.
b. Hubungan intelegensi, kreativitas, dan kepribadian.
c. Faktor-faktor penentu keberhasilan pendidikan
d. Tes pemikiran konvergen dan pemikiran divergen
5) Kemampuan berpikir divergen berguna terutama dalam hal ...
a. pembuatan keputusan
b. proses pemecahan masalah
c. pembiuatan kesimpulan yang logis
d. peningkatan intelegensi
II. 1) Hitunglah jumlah kata pada teks di atas!
(a) jumlah kata per baris : ...............
(b) jumlah baris : ...............
(c) jumlah kata seluruhnya : ...............
2) Hitunglah waktu tempuh baca anda!
(a) mulai membaca pukul : ...............
(b) berakhir/selesai pukul : ...............
(c) waktu tempuh baca anda : ...............
III. 1) Silakan tentukan KEM yang anda capai berdasarkan rumus KEM yang paling anda
kuasai! Sebelumnya, periksa dan cocokkan hasil jawaban anda dalam menjawab
pertanyaan bacaan dengan kunci jawaban berikut.
(1) d (2) b (3) c (4) a (5) b
2) Lihat daftar KEM pada uraian di muka. Apakah KEM yang anda capai sudah memadai
untuk peringkat anda (mahasiswa)?
3) Silakan anda berlatih pada teks-teks lain. Jika ada teman yang mau membantu
menyiapkan soal pemahaman bacaan, itu lebih baik. Anda boleh membuat pertanyaan
sendiri dengan berpedoman pada kata tanya: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan
bagaimana. Boleh juga dengan cara "heuristik", yaitu menaksir sendiri kira-kira berapa
persen pemahaman anda terhadap bacaan tersebut. Tentu saja taksiran ini merupakan
taksiran kasar. Oleh karena itu, KEM-nya juga bersifat taksiran kasar.
4) Buatlah grafik perkembangan KEM untuk melihat perkembangan KEM yang anda capai.
Berikut disajikan contoh grafik perkembangan KEM yang dapat anda gunakan untuk
melihat perkembangan KEM yang anda
atau murid anda capai.
Tabel Latihan KEM
No. Judul Bacaan Jumlah Kata Waktu Pemahaman Isi KEM
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Grafik perkembangan pencapaian KEM
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(dst
)
Latihan ke-…
KEM
BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
1. Pendahuluan
Sebagai seorang guru, guru bidang studi apa pun, tuntutan memilihkan bahan
bacaan yang layak untuk siswanya merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Terlebih-lebih
untuk guru bahasa Indonesia, karena pengajaran membaca secara formal dibebankan
kepada guru bidang studi bahasa Indonesia. Meskipun buku paket atau buku teks sebagai
buku pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak
jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang
ada.
Untuk pengajaran membaca, persoalan penyediaan bahan ajar membaca tidaklah
terikat oleh ketentuan buku paket atau buku teks tertentu. Dalam kenyataan yang
sesungguhnya dalam kehidupan di masyarakat, keragaman bahan bacaan untuk konsumsi
baca ini terasa sangat kental. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku teks, buku ilmiah,
surat kabar, majalah, pamplet-pamplet, dan lain-lain.Kesemua bahan bacaan tersebut
berpeluang untuk dijadikan bahan ajar membaca atau mungkin untuk tugas membaca.
Masalahnya, apakah semua bahan bacaan yang tersedia serta mudah didapat tersebut layak
untuk konsumsi baca siswa kita? Bagaimana kita dapat menentukan kriteria kelayakan
dimaksud? Seberapa jauh peran guru dalam memilihkan bahan bacaan yang layak baca
untuk para siswanya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tampaknya memacu kita untuk mencari jawabnya.
Pada bab ini, kita akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi melalui bahasan
"keterbacaan". Bahasan bab ini mudah-mudahan dapat membantu para guru bahasa untuk
dapat menentukan tingkat keterbacaan wacana yang cocok untuk para siswanya.
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang
memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Melalui bab
ini, anda akan kami ajak untuk mengenal berbagai konsep dan formula keterbacaan yang
biasa digunakan untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan. Dengan demikian,
setelah membaca bab ini, anda diharapkan dapat menggunakan berbagai formula
keterbacaan untuk kepentingan penentuan tingkat keterbacaan berbagai ragam bacaan.
Secara rinci, diharapkan anda dapat:
(a) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan;
(b) menjelaskan sekurang-kurangnya empat bentuk formula keterbacaan;
(c) menunjukkan perbedaan langkah/prosedur kerja pemakaian formula-formula
keterbacaan;
(d) menggunakan formula-formula keterbacaan tersebut untuk menentukan tingkat kesulitan
materi bacaan.
2. Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability.Bentukan Readability
merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya dapat dibaca
atau terbaca. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan
dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan
"keterbacaan" sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh
pembacanya. Jadi, "keterbacaan" ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat
kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
Keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan
bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya.
Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan, banyak dipergunakan
orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan
membaca berguna terutama bagi guru yang mempunyai perhatian terhadap metode
pamberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang
layak dibaca.
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh
karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang akan dapat
mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya
peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek
penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang
lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya
Talmudists pada tahun 900 berkenaan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat
kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun
kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu
memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-
penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan guna memperkirakan tingkat
kesulitan wacana. Menurut Klare (1963), kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya
keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang
mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk
memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang
terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki
kecermatan menghitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa
ada dua faktor utama yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-
pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang
kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar.
Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong
wacana yang mudah.
Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur
keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang
kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur
keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada
kedua patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale & Chall,
Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
3. Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca
Salah satu penggunaan rumus keterbacaan dapat dilihat pada upaya guru dalam
memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan
membaca berguna, terutama bagi guru yang memiliki perhatian terhadap metode pemberian
tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku teks atau bahan bacaan lainnya. Guru-guru
dipandang perlu untuk memiliki kemahiran dalam memperkirakan tingkat kesulitan materi
cetak. Sebab, bagaimana pun salah satu faktor pendukung keberhasilan belajar anak adalah
tersedianya sumber ilmu yang dapat diperoleh dan dicerna anak dengan mudah. Salah satu
cara untuk beroleh ilmu pengetahuan dimaksud melalui kegiatan membaca. Lebih baik jika
kegiatan membaca dimaksud adalah kegiatan membaca mandiri yang tidak memerlukan
bimbingan pihak lain.
Sehubungan dengan hal itu, penyediaan sarana baca yang berupa koleksi-koleksi
bacaan (buku-buku teks, majalah-majalah, kliping-kliping, surat kabar, jurnal, pamflet-
pamflet, dan lain-lain) perlu dimiliki, bukan saja oleh pihak sekolah melainkan oleh setiap
kelas. Dengan demikian, setiap sekolah di samping harus memiliki perpustakaan sekolah
juga harus memiliki perpuatakaan-perpustakaan kelas yang terletak di setiap sudut masing-
masing kelas.
Koleksi-koleksi bacaan pada perpustakaan kelas hendak-nya koleksi-koleksi bacaan
yang memang layak untuk peringkat mereka. Pertimbangan tingkat kelayakan dimaksud,
tidak saja didasarkan atas pertimbangan berbagai nilai (seperti nilai isi, manfaat,
pendidikan, moral, estetika, etika, dan lain-lain) melainkan juga harus dipertimbangkan
tingkat kesulitan dari masing-masing materi cetak dimaksud. Bahan-bahan bacaan tersebut
hendaknya memenuhi tingkat keterbacaan sesuai dengan tuntutan dan karakteristik
pembacanya.
Di samping hal-hal tersebut d atas, penggunaan rumus-rumus keterbacaan akan
sangat bagi guru untuk mempersiapkan atau mengubah tingkat keterbacaan materi bacaan
yang hendak diajarkannya. Meskipun bahan bacaan untuk kepentingan bahan ajar sudah
tersedia banyak di luar, namun tuntutan bagi setiap guru untuk dapat berperan dan
bertindak sebagai penulis tampaknya bukanlah pandangan yang keliru. Peran guru sebagai
penulis tampak semakin jelas pada saat mereka dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan
berikut, misalnya, mempersiapkan tes, membuat rencana pengajaran, menyusun program
pengajaran, membuat surat kepada orang tua siswa, atau kegiatan tulis-menulis lainnya.
Dalam mempersiapkan bahan-bahan seperti yang kita jelaskan tadi, guru hendaknya
mempertimbangkan tingkat keterbacaan bahan yang ditulisnya itu. Bukankah si penulis
(guru) berkeinginan hasil tulisannya tersebut terbaca pihak lain sebagai sasaran
pembacanya.
Keterampilan mengubah tingkat keterbacaan wacana perlu dimiliki setiap guru.
Pengubahan keterbacaan itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan meninggikan taraf
kesulitan wacananya atau mungkin sebaliknya, menurunkan tingkat kesulitan wacana
tersebut. Kegiatan ini perlu dilakukan guru, jika guru memandang para siswanya wajib
mengetahui isi konten (isi materi) dari wacana itu dan tidak menemukan sumber bacaan
lain yang tingkat keterbacaan wacananya cocok dengan peringkat siswanya.
4. Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Formula-formula keterbacaan yang pemakaiannya dewasa ini tengah populer, di
samping memiliki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagaimana telah dijelaskan di
muka, bahwa formula-formula keterbacaan yang dipakai sekarang ini mendasarkan
formulanya pada dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat kesulitan kata.
Kedua faktor yang menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini mengundang
pertanyaan pada kita. Bagaimana dengan konsep-konsep yang terkandung dalam wacana
yang bersangkutan? Bukankah konsep-konsep makna yang terkandung dalam suatu wacana
yang tidak terjakau oleh pembacanya akan berdampak pada keterpahaman pembacanya.
Sering kita dapati kasus, seseorang tidak dapat memahami wacana yang dibacanya
meskipun wacana tersebut telah memenuhi kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca
yang bersangkutan. Mengapa hal itu terjadi?
Pertimbangan panjang-pendek kata dan tingkat kesulitan kata dalam pemakaian
formula keterbacaan, semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan struktur
permukaan teks. Struktur yang secara visual dapat dilihat. Adapun konsep yang terkandung
dalam bacaan sebagai struktur dalam dari bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan.
Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan yang sering digunakan untuk
mengukur tingkat keterbacaan itu tidak memperhatikan unsur semantis.
Keterbatasan formula keterbacaan ini semakin terasa manakala kita dihadapkan
pada bahan bacaan dari jenis fiksi, terutama puisi. Meskipun puisi menggunakan kata-kata
dan kalimat-kalimat yang pendek-pendek, namun tingkat keterbacaan puisi justru malah
menjadi rendah atau sulit dibaca. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa unsur semantis
tidak dapat terjangkau oleh alat ukur keterbacaan yang ada.
Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan pada diri kita, bagaimana halnya dengan
kriteria kesulitan kata yang disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbacaan?
Bukankah jika kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah berbicara
tentang makna (unsur semantis)? Tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan
atas unsur semantisnya (seperti yang kita duga), melainkan didasarkan atas unsur panjang-
pendek kata yang bersangkutan. Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan
kata juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak. Jika sebuah kalimat atau kata
secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar.
sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata yang secara visual tampak pendek, maka kalimat
atau kata yang bersangkutan tergolong mudah.
Mari kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
A. Ini Budi.
Ini ibu Budi.
Ibu Budi sedang memasak.
Ini Wati.
Wati kakak Budi.
Wati sedang menyiram bunga.
Pak Ahmad ayah Budi.
Beliau sedang membaca koran.
Mereka berempat tinggal di kampung Cimanggu.
tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.
B. Ini Budi yang dilahirkan dari pasangan ibu dan bapak Ahmad dan berkakakkan seorang
perempuan bernama Wati. Jika ibu Budi memasak, kakaknya melakukan pekerjaan lain,
yakni menyiram bunga; sedangkan ayahnya membaca koran. Mereka berempat tinggal di
kampung Cimanggu yang letaknya tidak jauh dari pasar yang berada di kampungnya.
Mari kita bandingkan kalimat-kalimat yang tertulis pada contoh A dan kalimat-
kalimat yang tertulis pada contoh B. Ditinjau dari segi informasi/maksud kalimat, kedua
contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk
penyajian kalimat tersebut mengandung informasi dan maksud yang sama. Namun dilihat
dari segi penuangan ide ke dalam wujud-wujud kalimat, seperti tampak pada contoh
penyajian kalimat bentuk A dan bentuk B, terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yang relatif pendek-pendek; sementara
contoh penyajian B menggunakan kalimat-kalimat kompleks yang relatif panjang-panjang.
Contoh wacana A lazim kita dapati pada buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk
peringkat pemula, atau terdapat pada buku-buku pelajaran kelas I sekolah dasar. Sementara
contoh wacana B merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yang relatif
lebih tinggi kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD).
Bagaimana kesimpulan anda setelah melihat dan membaca kedua bentuk penyajian
kalimat-kalimat di atas? Contoh penyajian A yang menggunakan kalimat-kalimat yang
pendek-pendek jauh lebih mudah ketimbang contoh penyajian B, bukan?Dengan kata lain,
tingkat keterbacaan wacana pada wacana A tergolong tinggi bila dibandingkan dengan
tingkat keterbacaan wacana B. Semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin
mudah wacana tersebut. sebaliknya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana
semakin sukar wacana tersebut.
Untuk menolokukuri tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria
panjang_pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyatannya,
kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal.
Bagaimanapun, kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan
konsep; sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah
konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemadatan konsep atau ide. Oleh karena itu,
kalimat tersebut akan jauh lebih sukar ketimbang kalimat-kalimat tunggalnya.
Bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang-pendeknya
sebuah kata benar-benar dapat dijadikan indikator bagi tingkat kesulitan kata yang
bersangkutan. Mari kita perhatikan deretan kata-kata berikut.
A. - era B. - zaman
- asa - harapan
- rona - cahaya/air muka
- makar - muslihat
Bila kita bandingkan deretan kata pada contoh A dan deretan kata pada contoh B,
manakah di antara kedua contoh deretan kata tersebut yang menurut anda memiliki tingkat
kesulitan yang relatif lebih tinggi? Apa alasannya? Deretan kata-kata yang terdapat pada
contoh B, tampaknya merupakan kata-kata yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari,
dalam percakapan yang bersifat umum. Kosakata yang terdapat pada contoh B relatif akrab
dengan kehidupan keseharian kita. Lain halnya dengan kosakata yang terdapat pada contoh
A. Kata-kata tersebut rasanya tidak terlalu akrab dengan kehidupan keseharian kita. Oleh
karenanya, kita merasa asing dengan kosakata tersebut. Akibatnya, ditinjau dari sudut
semantisnya, deretan kata yang terdapat pada contoh A relatif lebih sulit ketimbang deretan
kata yang terdapat pada contoh B. Padahal dari segi bentuk, deretan kata yang terdapat pada
contoh A jauh lebih pendek-pendek ketimbang deretan kata yang terdapat pada contoh B.
Hal lain yang menjadi keterbatasan formula-formula keterbacaan terletak pada
penggunaan slang, satir, makna ganda, atau minat pembaca. Formula keterbacaan itu,
tampaknya tidak bisa digunakan untuk bacaan fiksi (karya sastra), terlebih-lebih pada karya
sastra berupa puisi. Puisi memiliki bentuk yang khas dengan struktur-struktur kalimat yang
jauh bebeda dari struktur-struktur kalimat pada karya nonfiksi, seperti buku teks misalnya.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut hendaknya menjadi bahan pertimbangan kita pada saat
menentukan tingkat keterbacaan wacana.
5. Penggunaan Formula-formula Keterbacaan
Untuk mengukur bahan bacaan di kelas-kelas rendah, formula yang lazim dipakai
ialah formula keterbacaan dari Spache. Formula tersebut dibuat pada tahun 1953. Dua
faktor utama yang menjadi dasar dari penggunaan formula tersebut ialah panjang rata-rata
kalimat dan persentase kata-kata sulit. Melalui berbagai pengkajian, formula-formula itu
telah dibuktikan keabsahan dan keterpercayaannya untuk memperkirakan tingkat
keterbacaan wacana. Akan tetapi, formula spache itu kompleks dan penggunaannya
memakan banyak waktu.
Rumus yang sering digunakan di kelas-kelas empat sampai kelas enam belas ialah
rumus yang dibuat oleh Dale & Chall. Rumus ini mula-mula diperkenalkan pada tahun
1947. Sama halnya dengan rumus Spache, rumus Dale-Chall pun menggunakan panjang
kalimat dan kata-kata sulit sebagai faktor-faktor penentu tingkat kesulitan bacaan. Rumus
ini pun cukup kompleks dan memakan banyak waktu.
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan mengefisienkan
teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisional: panjang-pendek
kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, kesukaran kata diperkirakan
dengan cara melihat jumlah suku katanya. Dijelaskan oleh Fry bahwa formula keterbacaan
yang dikembangkannya itu (Grafik Fry) dan formula Spache berkorelasi 0.90, sedangkan
dengan formula Dale-Chall berkorelasi 0.94. Korelasi yang tinggi itu menunjukkan adanya
keajegan rumus-rumus dan ketepercayaan penggunaan alat ukur yang diciptakannya.
5.1 Formula Keterbacaan Fry: Grafik Fry
5.1.1 Bagaimana Memahami Grafik Fry
Sekarang mari kita kenali formula keterbacaan dari Edward Fry yang kemudian kita
kenal dengan sebutan "Grafik Fry". Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Fry ini
merupakan formula yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977
dalam majalah "Journal of Reading". Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.
Sebelum sampai pada penggunaan grafik dimaksud untuk menentukan tingkat
keterbacaan wacana, sebaiknya kita kenali dulu grafik dimaksud dengan sebaik-baiknya.
Jangan lupa, bahwa formula ini mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor
utama, yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah
(banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Silakan
anda perhatikan formula (Grafik Fry) dimaksud, seperti tertera di bawah ini. Hal ini penting
anda camkan agar pada saat mengenali grafik Fry, anda sudah paham cara
menggunakannya. Hal ini akan menjadi dasar pertimbangan kita pada saat melakukan
penafsiran terhadapnya. Berikut contoh grafiknya.
Grafik Fry
GRAFIK
(Lihat Copy aslinya)
Apa yang bisa anda jelaskan mengenai grafik tersebut? Di bagian atas grafik kita
dapati deretan angka-angka seperti berikut: 108, 112, 116, 120, dan seterusnya. Angka-
angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah
kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana.
Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari
pertimbangan faktor kata sulit, yang dalam formula ini merupakan salah satu dari dua
faktor utama yang menjadi landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan dimaksud.
Angka-angka yang tertera di bagian samping kiri grafik, seperti angka 25.0, 20,
18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan.
Hal ini merupakan perwujudan dari landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan
ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat.
Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-garis
penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yang
diukur. Angka 1 menunjukkan peringkat 1, artinya wacana tersebut cocok untuk pembaca
dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat
baca 3, dan seterusnya hingga pada peringkat universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri
bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan
wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak
memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian
sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengah wacana lain.
Ketika anda membaca keterangan "seratus perkataan" pada grafik tersebut, mungkin
anda bertanya-tanya, mengapa demikian? Mengapa harus "seratus" perkataan? Angka
tersebut merupakan jumlah kata yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk
mewakili sebuah wacana. Meskipun yang akan diukur keterbacaannya itu berupa buku
yang tebalnya lebih kurang 500 halaman, pada saat dilakukan pengukuran keterbacaan, kita
tidak perlu mengukur seluruh buku tersebut sejak halaman pertama hingga halaman
terakhir buku itu. Kita cukup mengambil sampel dari bacaan tersebut sebanyak 100
perkataan. Memang, terdapat ketentuan khusus untuk pengukuran keterbacaan bahan-bahan
bacaan yang relatif tebal seperti halnya buku; yakni pengukuran keterbacaan wacana itu
harus dilakukan sebanyak tiga kali dengan sampel wacana yang berbeda-beda. Sampel
pertama mungkin diambil dari halaman-halaman awal sebuah buku; sampel kedua dari
bagian tengah buku; dan sampel terakhir dari halaman-halaman akhir buku itu.
Mungkin anda bertanya-tanya dalam hati, apakah pengukuran keterbacaan wacana
yang dilakukan terhadap sampel wacana sebanyak 100 perkataan itu hasilnya benar-benar
dapat mencerminkan tingkat keterbacaan wacana secara keseluruhan? Apalah artinya
sepenggal wacana yang terdiri atas 100 perkataan bila dibandingkan dengan ketebalan
sebuah buku yang tipis sekalipun? Sekarang mari kita bandingan proses pengukuran
keterbacaan dimaksud dengan proses pengukuran suhu tubuh oleh para dokter. Jika para
dokter mendeteksi suhu tubuh seseorang dengan stetoskop, dia hanya akan memilih bagian-
bagian tubuh tertentu dari tubuh si pasien sebagai sampel. Misalnya saja, dokter akan
memilih bagian ketiak atau mulut untuk dijadikan sampel pengukuran suhu tubuh
seseorang. Meskipun begitu, hasil dari pengukuran dimaksud merupakan cerminan dari
ukuran suhu tubuh si pasien secara keseluruhan. Untuk mengetahui suhu tubuh seseorang,
dokter tidak perlu melakukan pengukuran suhu tubuh tersebut mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki, melainkan memilih bagian-bagian tertentu dari tubuh tersebut yang
dianggap dapat mewakili seluruh suhu tubuh. Dengan beranalogi pada proses kerja
pengukuran suhu oleh para dokter, maka proses pengukuran keterbacaan wacana itu pun
cukup dilakukan terhadap sampel wacana, dan wacana yang dianggap representatif jika
berjumlah sekurang-kurangnya sebanyak 100 perkataan.
Selanjutnya, bagaimana prosedur kerja untuk penggunaan formula keterbacaan dari
Fry ini? Berikut ini akan diberikan sejumlah petunjuk yang harus diikuti dalam
menggunakan grafik ini untuk mengukur keterbacaan wacana.
5.1.2 Petunjuk penggunaan Grafik Fry (1977):
Langkah (1)
Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak diukur tingkat
keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah perkataan daripadanya. Yang
dimaksud dengan kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya
berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Budi, IKIP, 1999, =,
masing-masing dianggap sebagai satu perkataan. Yang dimaksud dengan "representatif"
dalam memilih penggalan wacana ialah pemilihan wacana sampel yang benar-benar
mencerminkan teks bacaan. Wacana yang diselingi dengan gambar-gambar, kekosongan-
kekosongan halaman, tabel-tabel, rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka,
dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk dijadikan sampel wacana.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah kalimat dari seratus buah perkataan tersebut hingga perpuluhan
yang terdekat. Maksudnya, jika kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 buah perkataan
(sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka penghitungan kalimat tidak akan selalu
utuh, melainkan akan ada sisa. Sisanya itu tentu berupa sejumlah kata yang merupakan
bagian dari deretan kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Karena keharusan
pengambilan sampel wacana berpatokan pada angka 100, maka sisa kata yang termasuk ke
dalam hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).
Perhatikan contoh wacana berikut!
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambul uang.
12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-
21 22 23 24 25 26 27 28 29
orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk
30 31 32 33 34 35 36 37 38
di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
39 40 41 42 43 44 45
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la-
46 47 48 49 50 51 52 53
in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.
54 55 56 57 58 59 60
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan
61 62 63 64 65 66 67 68
kesibukan orang-orang di tempat itu. Waktu Inu melihat sa-
69 70 71 72 73 74 75 76 77
tu kursi kosong di depan petugas yang melayani pertanyaan,
78 79 80 81 62 83 84 85
dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun
86 87 88 89 90 91 92 93 94
mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk dan menawarkan
85 96 97 98 99 100
bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Keterangan: Angka-angka yang tedapat di bawah setiap kata pada wacana di atas
menunjukkan penghitungan sampel wacana. Kata yang digarisbawahi merupakan akhir dari
sampel wacana, karena kata tersebut merupakan kata terakhir yang termasuk ke dalam
hitungan 100 perkataan.
Jika kita melakukan penghitungan rata-rata jumlah kalimat untuk wacana di atas
akan kita dapati 12 kalimat utuh ditambah 8 kata pada kalimat terakhir dari jumlah kata
seluruhnya pada kalimat terakhir tersebut sebanyak 16 buah. Kedua belas kalimat utuh
yang terdapat dalam wacana tersebut adalah sebagai berikut ini:
(1) Pada suatu hari .... ke bank.
(2) Di bank itu .... orang.
(3) Di loket tabungan ... uang.
(4) Ada juga ... uang.
(5) Di loket yang ... antre.
(6) Ada juga .... antrean.
(7) Mereka melayani... lain.
(8) Ayah Inu ... tabungan.
(9) Inu menunggu ... tunggu.
(10)Dia memperhatikan .... itu.
(11)Waktu Inu .... berdiri.
(12)Inu mendekati ... itu.
Kalimat terakhir berbunyi:
Petugas pun mengerti, lalu dia mempersilakan Inu duduk//dan menawarkan bantuan yang
mungkin dapat dia berikan.
Kalimat terakhir ini (kalimat ke-13) tidak seluruhnya terpakai ke dalam hitungan
seratus. Kata keseratusnya jatuh pada kata duduk. Kata tersebut merupakan kata ke-8 dari
16 kata yang terdapat pada kalimat terakhir tersebut. Dengan demikian, rata-rata jumlah
kalimat pada wacana sampel di atas adalah 12 + 8/16 kalimat. Jika dihitung ke dalam
sistem perpuluhan (desimal) akan menghasilkan angka 12,5 kalimat.
Contoh lain, jika kalimat terakhir itu terdiri atas 17 perkataan dan hanya ada satu
kata yang termasuk ke dalam hitungan 100 kata, maka bagian kalimat yang terakhir itu
adalah 0,058 dibulatkan menjadi 0,1 kalimat. Jika jumlah kalimat sebelumnya ada 10 buah,
maka jumlah kalimat seluruhnya adalah 10,1 kalimat. Demikianlah cara menghitung rata-
rata jumlah kalimat dari sampel wacana yang hendak diukur tingkat keterbacaannya.
Langkah (3)
Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yang 100 buah perkataan tadi.
Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan pada langkah (1) di atas yang
memasukkan angka dan singkatan sebagai kata, maka untuk angka dan singkatan, setiap
lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misalnya, 234 terdiri atas 3 suku kata,
IKIP terdiri atas 4 suku kata.
Berpatokan pada contoh wacana kita di atas (pada langkah 2), mari kita praktikkan
cara menghitung suku kata dimaksud. Caranya, berilah tanda di atas setiap kata tersebut
dengan angka-angka yang menunjukkan jumlah suku kata dari kata yang bersangkutan.
Perhatikan contoh berikut!
2 3 2 2 2 3 1 1 1 1 2
Pada suatu hari Inu ikut ayahnya ke bank. Di bank itu
2 2 1 2 3 3 1 3 2
banyak orang. Di loket tabungan ada yang mengambil uang.
2 2 1 3 2 1 2 1 2 2
Ada juga yang menyimpan uang. Di loket yang lain orang-
orang juga antre. Ada juga beberapa petugas bank duduk
di luar loket-loket antrean. Mereka melayani orang-orang
yang bertanya tentang cara-cara menabung atau hal-hal la
in. Ayah Inu berada di barisan loket tabungan.
Inu menunggu ayahnya di ruang tunggu. Dia memperhatikan kesibukan orang-orang
di tempat itu. Waktu Inu melihat satu kursi kosong di depan petugas yang melayani
pertanyaan, dia segera berdiri. Inu mendekati kursi itu. Petugas pun mengerti, lalu dia
mempersilakan Inu duduk// dan menawarkan bantuan yang mungkin dapat dia berikan.
Demikianlah cara ini kita kerjakan, hingga kita menemukan jumlah suku kata untuk
seluruh kata yang termasuk ke dalam hitungan 100. Dari penghitungan suku kata terhadap
sampel wacana di atas, kita akan memperoleh hitungan jumlah suku kata sebanyak 228
suku kata.
Langkah (4)
Perhatikan Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per
seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Data yang
kita peroleh pada langkah (2), yakni rata-rata jumlah kalimat dan data yang kita peroleh
pada langkah (3), yakni rata-rata jumlah suku kata diplotkan ke dalam grafik untuk mencari
titik temunya. Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan baris horizontal
(jumlah kalimat) menunjukkkan tingkat-tingkat kelas pembaca yang diperkirakan mampu
membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan baris vertikal dan baris horizontal itu
berada pada daerah gelap atau daerah yang diarsir, maka wacana tersebut dinyatakan tidak
absah. Guru harus memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama seperti
yang telah kita jelaskan tadi.
Langkah (5)
Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke
atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya
ditambah satu tingkat dan dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, jika titik pertemuan dari
persilangan baris vertikal untuk data suku kata dan baris horizontal untuk data jumlah
kalimat jatuh di wilayah 6, maka peringkat keterbacaan wacana yang diukur tersebut harus
diperkirakan sebagai wacana dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat, 5
yakni (6-1), 6, dan 7 yakni (6+1).
5.1.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry
Pertama, untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku (yang biasanya relatif
tebal jumlah halamnnya), pengukuran keterbacaan ini hendaknya sekurang-kurangnya
dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si
pengukur hendaknya mengambil tiga pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian
awal buku, dari bagian tengah buku, dan dari bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal,
atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika
penulisnya berbeda-beda.
Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, setelah si pengukur menempuh
langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya.
Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat
keterbacaan wacana buku tersebut.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan perumpamaan berikut. Dari hasil penghitungan
pengukuran keterbacaan wacana dari ketiga sampel itu (bagian awal, tengah, dan akhir
buku), misalnya kita peroleh data seperti berikut:
Wacana Sampel Jumlah suku kata Jumlah kalimat
Bagian I 124 6.6
Bagian II 141 5.5
Bagian III 158 6.8
Jumlah 423 18.9
Rata-rata 141 6.3
Jika angka rata-rata tersebut diplotkan ke dalam Grafik Fry, ternyata titik temu dari
persilangan kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 7. Artinya, tingkat keterbacaan buku
yang bersangkutan cocok untuk peringkat 6, 7, dan 8.
Kedua, Grafik Fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris.
Seperti kita ketahui, struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa
Indonesia, terutama dalam hal sistem suku katanya. Untuk memperoleh gambaran
mengenai hal ini, mari kita perhatikan contoh sederhana berikut.
1) I go to school.
2) Saya pergi ke sekolah.
Pada contoh kalimat 1) (bahasa Inggris) kita dapati 4 suku kata; sedangkan dalam
kalimat 2) (bahasa Indonesia) kita dapati 8 suku kata. Dalam bahasa Inggris, pada
umumnya sering kita jumpai kata-kata yang bersuku tunggal. Coba saja kita periksa
kosakata nama diri dalam bahasa Inggris, misalnya: hand, foot, leg, lip, mouth, tooth, head,
hair dan seterusnya; kemudian mari kita bandingkan dengan kosakata berikut: tangan, kaki,
bibir, mulut, gigi, kepala, rambut. Berdasarkan contoh-contoh berikut, kita berkesimpulan
bahwa sistem pola suku kata dalam bahasa Indonesia pada umumnya mempunyai ciri
dwisuku atau bahkan lebih. Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem persukukataan
dalam bahasa Inggris. Dari 100 buah perkataan dalam bahasa Indonesia, pada umumnya
akan diperoleh jumlah suku kata di atas 200-an.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapatlah dipastikan bahwa berdasarkan Grafik Fry
tidak akan pernah didapati wacana bahasa Indonesia yang cocok untuk peringkatperingkat
kelas rendah, seperti kelas 1 dan 2, sebab titik pertemuan antara garis yang menunjukkan
rata-rata jumlah kalimat dan rata-rata jumlah suku kata akan selalu jatuh pada daerah yang
diarsir. Melihat kasus contoh wacana yang kita sajikan di bagian muka kita dapati jumlah
kalimat 12.5; sedangkan jumlah suku katanya ada 228. Setelah kita plotkan ke dalam
Grafik Fry, maka titik temu dari persilangan garis untuk kedua data tersebut jatuh melewati
daerah yang diarsir (wilayah gelap). Oleh karena itu, tingkat keterbacaan wacana tersebut
tidak bisa ditentukan atau wacana tersebut tidak memiliki peringkat baca yang cocok untuk
peringkat kelas mana pun. Tetapi, apakah kesimpulan itu benar? Bukankah kalau kita
mencoba mengukurnya dengan kadar pertimbangan kita (bukan alat ukur), hal itu mustahil
terjadi, mengingat contoh wacana kita itu diambil dari bacaan untuk siswa sekolah dasar.
Berdasarkan contoh kasus tersebut, kita boleh berkesimpulan bahwa Grafik Fry
tidak bisa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia kecuali jika
dilakukan pemodifikasian terhadap alat tersebut. Meskipun penyesuaian yang akan kami
tawarkan ini bukan merupakan patokan yang baku, namun tawaran ini didasari oleh sebuah
penelitian kecil-kecilan yang telah kami lakukan. Untuk sekedar pedoman bagi para
pemakai alat ukur keterbacaan dari Fry, jika menggunakan formula ini untuk mengukur
keterbacaan wacana bahasa Indonesia, petunjuk langkah-langkah penggunaan Grafik Fry
masih harus ditambah satu langkah lagi, yakni memperkalikan hasil penghitungan suku
kata dengan angka 0.6. Angka ini diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) kami yang
memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan
jumlah suku kata bahasa Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira
sama dengan 10 suku kata dalam bahasa Indonesia).
Mengambil data pengukuran terhadap contoh wacana kita di atas, maka akan
diperoleh data jumlah kalimat sebanyak 12.5. data jumlah suku kata 228 X 0.6 = 136.8
dibulatkan menjadi 137. Jika diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan
kedua data tersebut akan jatuh di wilayah 4. Dengan demikian, wacana tersebut cocok
untuk peringkat kelas 3, 4, dan 5 sekolah dasar. Contoh wacana tersebut, memang diambil
dari buku Lancar Berbahasa Indonesia 2 untuk Sekolah Dasar Kelas 4, karangan Dendy
Sugono, diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1993. Dengan hasil pengukuran tadi, tampaknya
sang pengarang telah memilih dan menentukan wacana dengan tingkat keterbacaan yang
tepat untuk sasaran pembacanya.
5.1.4 Daftar Konversi untuk Grafik Fry
Kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang
jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk
untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-
petunjuk penggunaan obata-obatan tertentu.
Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang
jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan
yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur
penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry.
Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut
ini:
Langkah (1)
Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu
dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah
kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu
ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut. Kegiatan
ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan
Grafik Fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.
Langkah (3)
Selanjutnya, perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan langkah 2
tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam Daftar Konversi seperti yang tampak di
bawah ini. Dengan demikian, guru dapat menggunakan lagi Grafik Fry menurut tata tertib
seperti yang sudah dijelaskan terdahulu.Dengan kata lain, data yang diplotkan ke dalam
grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.
DAFTAR KONVERSI UNTUK GRAFIK FRY
jika jumlah kata dalam wacana itu
berjumlah:
perbanyaklah jumlah suku-kata dan
kalimat dengan bilangan berikut:
30 3,3
40 2,5
50 2,0
60 1,67
70 1,43
80 1,25
90 1,1
Mari kita perhatikan contohnya. Dalam contoh di bawah ini, kita umpamakan setiap
tanda garis putus menunjukkan suku kata dan kemlompok tanda garis putus-putus tersebut
kita umpamakan sebagai kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Selanjutnya, coba anda
tentukan tingkat keterbacaan wacana tersebut! Cocok untuk kelas berapakah wacana
tersebut?
Wacana jumlah
suku-kata
---- -- -- -- -- --- ---- - --- -, 25
- --- -- -- -- --? -- -- - -- - 20
-- --- -- - -- --- --? 15
______________
Jumlah 60
Jika kita ingin menentukan tingkat keterbacaan wacana (contoh) di atas, maka akan
kita dapati data berikut ini.
(a) Jumlah kata dalam wacana tersebut ada 34 buah, pada daftar konversi diklasifikasikan
ke dalam golongan angka 30
(b) Jumlah kalimatnya ada 2 buah.
(c) Jumlah suku katanya ada 60 suku kata.
(d) Angka konversi untuk perbanyakan jumlah kalimat dan jumlah suku kata untuk jumlah
kata 30 adalah 3.3. Dengan demikian jumlah kalimat dan jumlah suku kata hasil konversi
menjadi:
* jumlah kalimat : 2 X 3.3 = 6.6
* jumlah suku kata: 60 X 3.3 = 198
(e) Setelah diplotkan ke dalam Grafik Fry, titik temu dari persilangan data kalimat (6.6)
dengan data suku kata (198) itu jatuh pada wilayah universitas. Artinya tingkat keterbacaan
wacana tersebut, cocok untuk peringkat universitas.
5.2 Formula Keterbacaan Raygor: Grafik Raygor
5.2.1 Bagaimana Memahami Grafik Raygor
Anda telah mahir menggunakan Grafik Fry, bukan? yakinkah anda bahwa grafik
tersebut dapat digunakan untuk wacana-wacana dalam bahasa Indonesia? Pertanyaan itu
akan dapat anda jawab setelah membandingkan kedua kalimat berikut ini.
a) I watch TV every night.
b) Saya menonton TV setiap malam.
Kedua kalimat di atas itu, masing-masing terdiri atas lima kata. Namun, jumlah
suku kata dalam kedua kalimat tersebut tidak sama, bahkan sangat berbeda. Kalimat bahasa
Inggris (a) yang mempunyai makna yang sama dengan kalimat bahasa Indonesia (b) itu
terdiri atas tujuh suku kata, sedangkan kalimat bahasa Indonesia yang ada di bawahnya itu
mengandung 11 suku kata. Jumlah suku yang ada dalam 100 kata terpilih dalam bahasa
Indonesia umumnya terdiri atas 200 suku atau lebih. Apa sebabnya? Kata-kata bahasa
Indonesia pada umumnya terdiri atas dua suku kata atau lebih. Jika demikian, apa artinya?
Cobalah periksa lagi Grafik Fry itu! Dapatkah anda sekarang menjawab pertanyaan kedua
di atas?
Karena Grafik Fry mengandung kelemahan yang sukar untuk diatasi, di bawah ini
diperkenalkan grafik lain yang mempunyai prinsip-prinsip yang mirip dengan prinsip
Grafik Fry. Formula keterbacaan dimaksud adalah Grafik Raygor yang diperkenalkan oleh
Alton Raygor. Selanjutnya grafik ini dikenal dengan sebutan "Grafik Raygor". Formula ini
tampaknya mendekati kecocokan untuk bahasa-bahasa yang menggunakan huruf Latin.
Untuk mengenali formula ini, mari kita perhatikan grafik berikut, Grafik Raygor.
Grafik Raygor seperti tampak terbalik jika dibandingkan dengan Grafik Fry.
Namun, kedua formula keterbacaan tersebut sesungguhnya mempunyai prinsip-prinsip
yang mirip. Garis-garis penyekat peringkat kelas dalam Grafik Raygor tampak memancar
menghadap ke atas, sedangkan dalam Grafik Fry menghadap ke bawah. Posisi yang
demikian itu sesuai dengan penempatan urutan data jumlah kalimat yang berlawanan pula.
Grafik Fry meletakan kalimat terpendek pada bagian atas grafik, sedangkan Grafik Raygor
meletakkannya di bagian bawah. Sisi tempat jumlah suku kata digunakan untuk
menunjukkan kata-kata panjang yang dinyatakan "jumlah kata sulit", yakni kata yang
dibentuk oleh enam buah huruf atau lebih.
5.2.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Raygor
Prosedur penggunaan Grafik Raygor sesungguhnya hampir sama dengan Grafik
Fry. Langkah-langkah yang harus ditempuh meliputi sejumlah langkah berikut.
Langkah (1)
Menghitung 100 buah perkataan dari wacana yang hendak diukur tingkat
keterbacaannya itu sebagai sampel. Deretan angka tidak dipertimbangkan sebagai kata.
Oleh karenanya, angka-angka tidak dihitung ke dalam penghitungan 100 buah kata.
Langkah (2)
Menghitung jumlah kalimat sampai pada persepuluhan terdekat. Prosedur ini sama
dengan prosedur Fry dalam menghitung rata-rata jumlah kalimat.
Langkah (3)
Menghitung jumlah kata-kata sulit, yakni kata-kata yang dibentuk oleh 6 huruf atau
lebih. Kriteria tingkat kesulitan sebuah kata di sini didasari oleh panjang-pendeknya kata,
bukan oleh unsur semantisnya. kata-kata yang tergolong ke dalam kategori sulit itu ialah
kata-kata yang terdiri atas enam atau lebih huruf. Kata-kata yang jumlah hurufnya kurang
dari enam, tidak digolongkan ke dalam kategori kata sulit.
Langkah (4)
Hasil yang diperoleh dari langkah 2) dan 3) itu dapat diplotkan ke dalam Grafik
Raygor untuk menentukan peringkat keterbacaan wacananya.
Sebagai bahan latihan, mari kita praktikkan penggunaan Grafik Raygor tersebut
pada wacana berikut.
Wacana
Suatu ciri khas pada manusia adalah ia selalu ingin tahu; dan setelah ia memperoleh
pengetahuan tentang sesuatu, maka segera kepuasannya disusul lagi dengan kecenderungan
untuk ingin lebih tahu lagi. Begitulah seterusnya, sehingga tak sesaat pun ia sampai pada
kepuasan mutlak untuk menerima realitas yang dihadapinya sebagai titik terminasi yang
mantap. Ketidakmungkinan untuk merasa mantap pada suatu status pengetahuan ini dapat
diterangkan dari berbagai sudut. Salah satu sebab yang paling dasar ialah apa yang
menjelma kepada manusia sebagai realitas alamiah dianggapnya sebagai kenyataan
dwipurwa: di satu pihak dia mengamati alamnya sebagai sesuatu yang mempunyai aspek
statis, akan tetapi ia pun mengamati terjadinya perubahan-perubahan, perkembangan-
perkembangan, dan lain sebagainya yang menguatkan adanya aspek dinamis dari gejala-
gejala itu sendiri (Buitendijk, 1948).
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!
Ada berapa buah kalimat yang terdapat
dalam wacana di atas itu ? ........ buah
Berapa jumlah kata-kata sukar
yang ada di dalamnya ? ........ buah
Wacana itu cocok untuk kelas untuk kelas
berapa ? ........
Grafik yang mana yang lebih cocok bagi anda? Apa alasannya? Mana yang lebih
mudah menggunakannya, Grafik Fry atau Grafik Raygor?
Setelah anda menemukan daerah tingkat keterbacaan wacana di atas itu dalam
Grafik Raygor, bagaimana pendapat anda? Dapatkah grafik itu dipergunakan untuk
mengukur keterbacaan wacana-wacana bahasa Indonesia?
Anda mungkin berpendapat bahwa Grafik Raygor lebih mudah dan lebih cocok
untuk wacana-wacana bahasa Indonesia. Namun, anda tidak boleh lupa bahwa grafik ini
belum banyak diteliti keampuhannya. Grafik Fry lebih banyak digunakan untuk mengetahui
tingkat keterbacaan wacana bahasa Inggris, sebab grafik tersebut telah diteliti secara lebih
seksama daripada Grafik Raygor.
Baldwin dan Kaupman (1979) telah melakukan penelitian mengenai keampuhan
dari penggunaan kedua formula keterbacaan ini. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa
terdapat korelasi yang cukup tinggi antara tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur
dengan menggunakan Grafik Fry dan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang diukur
dengan Grafik Raygor. Koefisien korelasi yang dihasilkannnya ialah (r) 0.87. Dari 100
buah wacana yang diteliti, ternyata ada 50 buah hasil percobaan yang menunjukkan hasil
pengukuran yang sama antara pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik
Raygor dengan hasil pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik Fry.
Satu hal yang perlu dicatat sebagai kelebihan dari penggunaan Grafik Raygor, yakni
dalam hal efisiensi waktu.Pengukuran keterbacaan wacana dengan Grafik Raygor ternyata
jauh lebih cepat daripada melakukan pengukuran keterbacaan dengan menggunakan Grafik
Fry.
5.3 Pengubahan Tingkat Keterbacaan wacana
Dengan pengetahuan yang anda peroleh mengenai Grafik Fry dan Grafik Raygor itu
anda disarankan untuk memeriksa tingkat keterbacaan buku-buku yang digunakan untuk
setiap bidang studi. Setelah mengetahui tingkat keterbacaan bukubuku tersebut, anda
disarankan pula untuk mencoba mengubah wacana-wacana itu dengan keyakinan bahwa
pekerjaan yang anda lakukan itu bermanfaat dan merupakan ibadah yang berpahala. Tugas
kita sebagai guru dalam hal ini memang cukup berat. Tahukah Anda cara menurunkan
tingkat kesulitan wacana? Ya benar, dengan jalan memperpendek kalimat-kalimatnya dan
mengganti kata-kata sulit dengan kata-kata yang lebih mudah.
Cobalah bandingkan kedua wacana berikut!
Wacana 1
Secara sepintas saja kita segera mengetahui bahwa advertensi di dalam majalah-
majalah itu tidak ayal lagi, bermaksud untuk menarik pembaca agar mempunyai perhatian
yang lebih bersungguh-sungguh mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan
berat badan. Para diktator dalam bidang mode membuat sebagian besar anggota
masyarakat, terutama wanita, sadar akan masalah berat badan yang sangat menentukan
penampilan seseorang. Pada masa sekarang para penulis advertensi mencoba berupaya
meyakinkan sang kurus dan sang gendut berada dalam kedudukan yang sama asalkan
mereka mau membeli barang-barang yang mereka tawarkan: mesin berlatih, jamu ini dan
jamu itu, makanan-makanan tertentu, obat-obatan tertentu, dan seterusnya. Mereka berjanji
bisa membuat kita tampak atau bisa tampak seperti model yang terpampang dalam gambar
advertensi. Biasanya mereka gagal karena tidak sadar bahwa setiap orang itu berbeda.
Wacana di atas dapat diubah menjadi seperti ini.
Wacana 2
Anda pernah membaca majalah? Di dalam majalah itu mungkin ada pembicaraan
tentang berat badan. Pada umumnya orang sangat memperhatikan berat badannya. Orang
yang memperhatikan urusan mode, membuat kita terpaku dalam urusan berat badan.
Sekarang para juru iklan masih terus melakukan hal yang sama. Ada juru iklan yang
menyuruh anda membeli mesin berlatih. Juru iklan yang lain menjajakan jamu-jamu untuk
menurunkan atau menaikkan berat badan. Semua iklan itu berupaya membuat kita
gandrung akan penampilan seperti yang tampak dalam gambar. Namun, tujuan hidup orang
tidak sama. Iklan tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan itu.
Perbedaan apa yang tampak dalam kedua wacana di atas itu? Jika anda
memperhatikan dengan baik kedua wacana tersebut, akan segera tampak dua hal yang
berbeda di dalamnya. Kalimat pada wacana pertama berkesan panjangpanjang dan
mengandung ide lebih banyak daripada kalimat-kalimat dalam wacana kedua. Wacana
kedua menggunakan kata-kata yang lebih mudah daripada kata-kata yang digunakan dalam
wacana pertama. Kata advertensi diganti dengan kata iklan, kata terpampang diganti
dengan kata tampak.
Mengubah struktur kalimat mungkin lebih mudah daripada mengganti kata-kata
sulit dengan kata-kata mudah. Bacaan yang bagus seringkali mengandung kalimat-kalimat
yang panjang yang mengandung rincian pikiran atau ide. Cobalah perhatikan kalimat
deskriptif di bawah ini.
Pada umumnya, setiap bunga mempunyai bagian yang disebut poros, ialah bagian
yang menumbuhkan organ-organ reproduksi yang penting (benang sari dan putik) dan
lazim juga bagian-bagian tambahan (kelopak bunga dan bunga), yang dapat berperan
sebagai daya tarik terhadap serangga penyerbuk dan sebagai pelindung bagian-bagian yang
esensial.
Waktu anda membaca wacana di atas, apa yang terjadi dalam pikiran anda? Apakah
anda berupaya untuk memproses dan menyusun fakta yang berbeda-beda itu?
Seraya membaca kalimat di atas, sebaiknya anda memproses dan menata berbagai
fakta ke dalam rincian-rinciannya, misalnya:
1) Setiap bunga mempunyai bagian yang disebut ---- ----
2) Organ-organ reproduksi yang penting itu ada dua ---- ----
3) Organ-organ yang penting itu ialah putik dan benang sari.
4) Kelopak bunga dan daun bunga pun tumbuh pada -----
5) Kelopak dan mahkota bunga itu merupakan pemikat.
6) Kelopak dam mahkota bunga itu melindungi organ-organ inti.
Untuk menurunkan tingkat kesulitan bacaan, fakta-fakta sebaiknya dinyatakan
dengan jalan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek-pendek daripada menggunakan
kalimat yang panjang-panjang dan kompleks. Hal tersebut membantu pembaca menata
fakta yang dikemukakan dalam wacana. Di samping itu juga biasanya membantu
memperbaiki pemahaman, sebab fakta itu diperkenalkan dalam takaran yang lebih kecil
(kalimat pendek-pendek). Wacana di atas itu dapat diubah menjadi wacana seperti berikut
ini.
Pada umumnya, setiap bunga terdiri atas satu poros bunga. Organ-organ reproduksi
poros bunga yang penting itu ialah benang sari dan putik. Organ reproduksi tambahannya
adalah kelopak bunga dan bunga. Organ ini berfungsi sebagai daya tarik terhadap serangga
dalam proses penyerbukan dan berfungsi sebagai pelindung.
Bagaimana pendapat anda tentang kedua bentuk penyajian wacana di atas?
Mungkin anda berpendapat bahwa wacana yang kedua lebih mudah dipahami karena
informasi yang disampaikannya dinyatakan dalam empat buah kalimat yang relatif lebih
pendek-pendek. Dengan kalimat yang pendekpendek, pembaca akan mempunyai
kesempatan untuk memproses setiap fakta dalam pernyataan yang terpisahpisah. Ketika
kita membaca wacana yany pertama, yang belum diubah, kita harus berupaya menganalisis
kalimat yang kompleks itu agar dapat memahami isi dan informasi yang terkandung di
dalamnya.
Cara kedua untuk menurunkan tingkat keterbacaan wacana ialah dengan jalan
mengurangi jumlah silabi (suku kata) dengan cara mensubstitusikan kata-kata yang pendek
untuk kata-kata yang panjang. Untuk melaksanakan upaya tersebut anda dapat
menggunakan kamus sinonim. Jika kata-kata pengganti sukar dicari maka anda lebih baik
mengubah panjang kalimat. Mengganti kata-kata sulit memang perlu, tetapi mengubah
panjang kalimat sehingga jumlah kalimat tersebut bertambah, biasanya jauh lebih mudah.
Di bawah ini ada beberapa petunjuk yang dapat anda ikuti untuk menurunkan
tingkat keterbacaan sebuah wacana.
1) Carilah kata-kata sukar yang terdapat dalam wacana itu. Biasanya, kata-kata yang lebih
panjang lebih sukar untuk dibaca. Kata-kata yang multisilabik atau yang berhuruf 6 buah
atau lebih, tergolong ke dalam kata sukar, atau bisa juga kata tersebut kurang akrab
dengan kita karena frekuensi pemakaiannya tidak tinggi.
2) Ganti kata-kata sukar dengan kata-kata yang lebih mudah. Upayakan agar kata-kata
sukar itu dapat diganti dengan sinonim yang lebih mudah. Substitusikan kata-kata yang
lebih pendek dan lebih mudah itu pada tempat kata-kata sukar tadi.
3) Bacalah kalimat-kalimat dalam wacana tersebut untuk mengetahui kemungkinan
memendekannya dengan jalan membaginya menjadi dua atau tiga buah kalimat.
Camkanlah bahwa penurunan tingkat keterbacaan itu lebih mudah dilakukan dengan
jalan memperbanyak kalimat, sehingga pikiran-pikiran penulis dapat dinyatakan dengan
takaran yang lebih kecil-kecil.
4) Tulis kembali wacana tersebut dengan menggunakan kata-kata yang lebih mudah dan
kalimat-kalimat yang pendek.
5) Ukurlah tingkat keterbacaan wacana yang baru itu untuk mengetahui penurunannya.
Anda jangan keliru. Jumlah kata sebelum dan sesudah diperbaiki tidak perlu tetap,
boleh jadi bertambah, mungkin juga berkurang. Tujuan anda bukanlah mempertahankan
jumlah kata, melainkan mengubah wacana supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa
anda. Jika jumlah kata dalam wacana tersebut berkurang anda dapat mengukur tingkat
keterbacaan wacana tersebut dengan menggunakan daftar konversi seperti yang telah anda
pelajari di muka.
RANGKUMAN
Tingkat keterbacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesukaran/kemudahan wacana.
Berdasarkan hasil penelitian mutakhir diperoleh bukti bahwa faktor utama yang
mempengaruhi keterbacaan ada dua hal, yakni panjang-pendeknya kalimat dan tingkat
kesulitan kata yang juga ditandai oleh jumlah huruf dan atau silabi yang membentuknya.
Dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenalkan orang, Grafik Fry dan
grafik Raygor merupakan dua alat keterbacaan yang dipandang praktis dan mudah
menggunakannya. Namun, karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa
Inggris, maka pemakaiannya untuk wacana bahasa Indonesia masih harus disesuaikan.
Cara menggunakan kedua formula keterbacaan tersebut sekurang-kurangnya harus
menempuh lima langkah pokok, yakni (1) memilih penggalan wacana yang representatif
sebanyak 100 kata, (2) menghitung rata-rata jumlah kalimat, (3) menghitung jumlah suku
kata (untuk Fry) dan menghitung jumlah kata sulit (untuk Raygor), (4) mencari titik temu
dari persilangan data (2) dan (3) dalam grafik; dan (5) menentukan tingkat keterbacaan
wacana dengan jalan mengurangi dan menambah satu tingkat dari ukuran yang sebenarnya.
TUGAS DAN LATIHAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas!
1) Kemukakan dua faktor utama yang mempengaruhi keterbacaan, serta berikan penjelasan
dan ilustrasinya!
2) Setelah anda bandingkan prosedur penggunaan Grafik Fry dan Grafik Raygor, coba anda
jelaskan persamaan dan perbedaan dari kedua formula tersebut.
3) Bagaimana pendapat anda tentang penggunaan kedua formula keterbacaan tersebut
untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia? Berikan alasan dan contoh-
contohnya!
4) Jelaskan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan si penulis jika dia ingin mengubah
tingkat keterbacaan wacana, baik untuk kepentingan penurunan atau penaikan tingkat
keterbacaan wacana.
5) Turunkanlah tingkat keterbacaan wacana berikut ke peringkat keterbacaan yang lebih
rendah.
Wacana
FLORIDA
Dalam tahun 1565 orang-orang Spanyol mendirikan sebuah kota yang diberi nama
St. Augustine, kota kediaman mereka yang tertua yang terletak di North America, di mana
mereka tinggal secara tetap. Sebagian besar kota Florida masih berusia sangat muda, namun
demikian negara bagian ini memiliki kota tertua yang bernama Cape Canaveral, yang
merupakan lambang abad antariksa, karena dari kota inilah pesawat-pesawat luar angkasa
dilontarkan. Pantai Miami merupakan tempat hiburan bagi ribuan pengunjung setiap hari.
Hutan kayu sebelah utara Florida merupakan sumber kayu kertas yang kaya.
Perkebunan jeruk Florida Tengah menghasilkan buah jeruk yang tidak kecil jumlahnya
ditambah penghasilan dari daerah Florida bagian selatan yang selalu menghasilkan sayur-
sayuran yang segar, jagung, kacang-kacangan, dan tomat, yang kesemua itu dikirimkan ke
daerah yang lebih dingin di musim salju.
MODUL 4: BAHAN AJAR MEMBACA DAN KETERBACAAN
Pendahuluan
Kegiatan Belajar 1: Pengertian dan Latar Belakang Sejarah Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 1
Tes Formatif 1
Kegiatan Belajar 2: Kaitan Keterbacaan dengan Penyediaan Bahan Ajar Membaca
Rangkuman
Perlatihan 2
Tes Formatif 2
Kegiatan Belajar 3: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 3
Tes Formatif 3
Kegiatan Belajar 4: Keterbatasan-keterbatasan Formula Keterbacaan
Rangkuman
Perlatihan 3
Tes Formatif 3
KUNCI JAWABAN TES FORMATIF
DAFTAR PUSTAKA
top related