29 nagasasra dan sabuk inten_sh mintardja
Post on 15-Aug-2015
165 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 115
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 115
I
erita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar
menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan
dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya
betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru.
Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan
yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis
pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup
perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu
hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya
Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang
berprihatin.
Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa
Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunungkidul
merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis
sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar.
Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak
pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran,
“Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri
benar-benar hilang?”
“Ya. Semua orang menganggap demikian,” sahut Bantaran.
“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak
diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.
“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata
tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-
laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri
sedang hendak mencuci pakaiannya.”
“Bukan main,” desis Mahesa Jenar. “Widuri adalah seorang
gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka
orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”
B
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 115
Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat
dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga
didengarnya di Banyubiru.
Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing
hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah
karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada
Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan
wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah
sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia
sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia
sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-
tunggunya itu akan mengalami gangguan pula.
Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat
berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian
menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar
memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya
Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya.
Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam
oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu
ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya.
Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat
memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang
kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk
kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang
mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya
memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai,
apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan
yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa
depan.
Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati
muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan,
maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya
pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 115
Demikianlah, ketika kemudian Bantaran itu beristirahat
bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa
Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa
Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu,
dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui
dan mengertinya pula.
Namun karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika
dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram.
Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar.
Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya
dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya
Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya?
Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun
berkata pula, “Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang
dibawa oleh Bantaran?”
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara
Wilis samasekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun
demikian gadis itu menjawab, “Kasihan anak itu.”
“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut
Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan
ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati
dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang
dikehendaki, katanya, “Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus
diketemukan.”
“Ya,” sahut Rara Wilis.
Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa
itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan.
Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya.
Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanakannya yang jujur
kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 115
dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah
maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di
dalam hatinya.
Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat
penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan
segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu,
terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan
segera datang.
Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada
mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya.
Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran
perasaan tentang hilangnya Endang Widuri.
Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata, “Wilis,
apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru
untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”
Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan
berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi
untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera
dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya,
namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu
diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang
dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya.
Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu
telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup
kembali.
Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa.
Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki
itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas
kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada
keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat
mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 115
telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan samasekali
bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa
Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan
Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami
ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang
tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang
itu samasekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi
itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah
dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti.
Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia
tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu.
Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu,
namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak
dapat disembunyikan.
“Rara Wilis,” desis Mahesa Jenar kemudian, “Aku harap kau
dapat mengerti.”
Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan
demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya
dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya, “Apakah aku tidak
dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi Kakang?”
Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah
yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu
maka segera ia berkata, “Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau
menyetujuinya?”
Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya
Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.
Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab. “Kakang,
aku samasekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan
kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku.
Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak
menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 115
Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap
kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”
Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap
wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang
buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan
matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak
terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang
disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti
sebuah lagu yang rawan.
Sesaat mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa
Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia
berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi
ia tidak menangis.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata, “Wilis. Aku dapat
mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti
perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup
dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati
ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-
guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka
kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang samasekali
tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku
berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”
“Jangan berjanji kakang,” potong Rara Wilis. “Aku tidak ingin
mendengar janji apa pun darimu. Marilah kita jalani jalan kita
dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-
satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang
akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing,
janji yang tersimpan di dalam hati itu.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang
mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak
pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 115
menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu
dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini
ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji
pribadi.
Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk
pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang
sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya.
Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri.
Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi
ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya.
Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia
kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum
memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup.
Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.
Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati
cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis
sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya
tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan
keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang
keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada
cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa
Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta, “Aku
turut dengan angger ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis
terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan
wajah yang suram. “Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak
tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku
ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti
usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha
mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan
diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun
akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 115
Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa
Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan.
Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja
hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat
penyelesaian.
Karena itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata. “Aku juga
ikut kakang.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu
maka dengan serta merta ia berkata, “Jangan. Jangan Wilis.”
“Aku tidak akan dapat menunggu dalam kesepian di
Gunungkidul ini.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki
Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia menyerahkan setiap persoalan
kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun menundukkan
wajahnya.
Ketika kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun
menjadi sunyi. Mereka mengangkat wajah-wajah mereka ketika
terdengar suara di belakang, “Kakang Demang, kuda Kakang telah
disiapkan.”
“Baik,” sahut suara yang lain, suara Demang Sarayuda. “Aku
akan pergi ke banjar sebentar.”
Kemudian terdengarlah langkah keduanya lewat disebelah
dinding dan hilang ke pendapa.
Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu,
mendengar suara Rati dan mendengar suara Sarayuda. Mereka
telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga yang bahagia.
Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia
melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin
kesepian. “Apakah aku menjadi cemburu.” katanya di dalam hati.
“atau iri hati?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 115
Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula. “Kakang, aku
akan ikut ke Banyubiru.”
Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak
mengenyam pahit manisnya kehidupan. Tidak saja sebagai
seorang pengembara yang harus bertempur dengan lawan-
lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-
penyamun, namun ia pernah juga merasakan duka derita hidup
kekeluargaan. Orang tua itu pernah melihat anaknya menjadi
korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang perempuan
yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh
suaminya yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar,
seorang laki-laki yang jalan hidupnya dihancurkannya sendiri,
karena ia merasa kehilangan isterinya. Meskipun kemudian
ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo.
Karena itu, orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di
dalam hati Rara Wilis. Sehingga kemudian ia menjawab, “Angger
Mahesa Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta
ke Banyubiru.”
“Hem,” desah Mahesa Jenar di dalam hatinya. “Apakah arti
perjalanan ke Gunungkidul ini?”
Pertanyaan itu pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan
Ki Ageng Pandan Alas. Namun mereka mempunyai jawabannya.
“Ternyata Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan
kepentingan pribadinya untuk panggilan rasa keadilannya yang
tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah kejahatan. Dan
Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam
batas-batas kemampuan yang ada padanya.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian terpaksa menerima
permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian menganggap
kedatangannya ke Gunungkidul sebagai suatu kunjungan yang
menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-
nantikannya bersama Rara Wilis.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 115
Demikianlah maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah
rombongan di halaman Kademangan Gunungkidul. Meskipun
Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan itu menjadi
kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu
pergi. Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di
Banyubiru. Bahkan Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu
dahulu tidak dibawanya sekali sehingga dengan demikian, maka
tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi beberapa orang
yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis
di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan
di dalam hati mereka.
Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas
ikut juga dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata, “Ki
Sentanu, hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti
yang menaikimu.”
Ki Ageng Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu
tertawa. “Mudah- mudahan,” jawabnya.
Pagi itu Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan
Gunungkidul dengan hati yang bimbang. Kehadirannya di daerah
yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti sebuah mimpi saja.
Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya.
Bahwa suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti
akan lebih indah lagi.
Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah
Kademangan itu maka sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar
dan Rara Wilis berdesir karenanya. Mereka melihat Demang
Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri disamping Rati
isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum.
Tetapi senyum itu seakan-akan samasekali tidak ditujukan kepada
mereka. Senyum itu adalah senyum kebahagiaan mereka sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 115
Rati yang berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-
pucatan. Ia tidak tahan berdiri terlalu lama, karena itu, maka
segera ia masuk kembali ke halaman.
Mahesa Jenar yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa,
masuk kembali berkata tanpa sesadarnya, “Apakah Nyai Demang
itu sakit?”
Rara Wilis menundukkan wajahnya sambil menggeleng.
“Ia tidak sakit,” jawabnya.
“Tetapi ia terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada
dipembaringannya.”
“Anak itu sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”
“Oh,” Mahesa Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia
telah menyentuh hati Rara Wilis pula. Karena itu sekali ia menarik
nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya wajahnya,
memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-
merahan karena tanah yang liat. Dikejauhan dilihatnya bukit-bukit
kapur yang kering. Namun di arah yang lain tampaklah sawah-
sawah yang menghijau segar. Gunungkidul adalah suatu daerah
yang bercampur baur.
Ketika kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk
Kademangan, maka kuda- kuda itu mulai dipacu. Ki Sentanu kini
bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di atas punggung
kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan
katanya perlahan-lahan, “Marilah, mumpung masih pagi.”
Bantaran yang berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya
pula. Suara kaki-kaki kuda itu berderak-derak di atas tanah yang
kering. Debu yang putih mengepul tinggi di udara, menakbiri
daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya
sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian
dalamnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 115
Kini mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang.
Seperti sebuah jalur- jalur yang tak terkira panjangnya, membelit
lereng-lereng bukit, menghujam lurah-lurah dan mendaki tebing.
Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk yang menjorok
dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan
dari dalam tanah. Jalan-jalan itulah yang akan mereka lalui. Jalan-
jalan yang dilalui beberapa hari yang lampau dalam arah yang
berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka.
Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan
daerah yang baru sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya.
Betapa pun panjang jalan yang harus ditempuh itu, namun
setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti sebuah benang
yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya
akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang
dan ngarai, ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-
padang rumput dan dilampauinya jarak yang memisahkan
Gunungkidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu pendek.
Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah
mereka melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian
melihat, tanah perdikan Banyubiru yang seakan- akan terbentang
di lereng bukit Telamaya itu pun muncul di hadapan mereka.
Demikian Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Daerah itu adalah daerah yang sudah
dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku- liku jalan-jalan kota
Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya.
Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak
tentang kemampuan diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka
dapat menikmati hasil usaha mereka itu. Dan mereka akan dapat
mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.
Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru
beberapa hari ia berada di Gunungkidul, namun kedatangannya di
Banyubiru kali ini seolah-olah benar-benar seperti orang baru.
Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru yang ditinggalkannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 115
beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia. Banyubiru
bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang
tidak wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit,
tampaknya sebagai sebuah takbir yang membayangi daerah di
lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir yang menyimpan berbagai
persoalan.
Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah perbatasan
kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-
gardu perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang
sedang bertugas seperti dalam saat-saat Banyubiru sedang
berperang. Mereka mendapat tugas untuk mengawasi
kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru
atau sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan.
Namun penjaga-penjaga itu seakan-akan samasekali tidak berarti.
Widuri masih belum diketemukan, seperti lenyap ditelan lereng-
lereng bukit.
Kepada para penjaga itu Bantaran bertanya, “Apakah kau
sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”
Penjaga Itu menggeleng. Jawabnya, “Belum. Masih belum ada
tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”
Bantaran tidak berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang,
seakan-akan takut terlambat. Namun dalam pada itu Mahesa Jenar
berkata kepada Bantaran. “Bagaimana?”
“Gelap,” sahut Bantaran.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat
berbuat sesuatu yang dapat menyingkap takbir kegelapan itu,
sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah yang dapat
dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga
dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan
orang Banyubiru sendiri, termasuk orang-orang seperti Ki Ageng
Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng Sora Dipayana pula,
Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 115
bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih
mengenal daerah Banyubiru seperti mereka mengenal semua
ruang di dalam rumah mereka sendiri, seperti mereka mengenal
halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk
Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka
sendiri.
Dan ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang
Widuri. Lalu apakah kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia
menjadi bimbang akan usahanya, namun ia tidak akan dapat
berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat, apakah
berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat
dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi
sebelum ia berbuat sesuatu.
Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang
menggores dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah
terjadi. Sesuatu yang tidak dapat diperhitungkannya dan
dirabanya.
Rombongan itu pun meluncur di antara sawah-sawah dan
ladang di dataran yang terbentang di hadapan bukit Telamaya itu.
Namun terasa pula, seakan-akan batang- batang padi yang
tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau di ladang-ladang
memandangi rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-
akan mereka samasekali membisu atas kedatangan itu. Bahkan
seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu telah
menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa
Jenar dan rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang
hilang itu telah disembunyikan pula disana.
Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang petani
memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu
di antara mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk
menemukan gadis yang hilang itu.” Tetapi kembali mulut-mulut
mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan
mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 115
Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing
bukit Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah
Sora. Arya yang mendengar pula laporan itu bertanya dengan
serta merta. “Bantaran telah kembali?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Sendiri?”
“Tidak. Beberapa orang itu bersamanya.”
“Paman Mahesa Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia
menyiapkan diri untuk menjemput gurunya itu. Tiba-tiba timbullah
kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang selama ini
hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke
punggung kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu
sudah sedemikian dekatnya, sehingga sesaat kemudian, mereka
melihat rombongan itu masuk ke halaman.
Ketika kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya
segera berloncatan turun. Arya Salaka yang melihat Mahesa Jenar,
tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia berlari kepadanya dan
seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya, Arya
itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis.
“Selamat datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya
paman tidak datang ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata,
“Aku ikut prihatin Arya.”
“Terima kasih paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan
datang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa disambut
langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan
bahkan Ki Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di
antara mereka berdiri dengan pandangan yang kosong Kebo
Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 115
Mereka menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh
gairah. Seakan-akan mereka, orang-orang yang menentukan jalan
perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan harapan mereka
kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh
harapan memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang
tulus dan sapa atas keselamatannya dengan penuh kesungguhan,
seakan-akan mereka telah bertahun- tahun berpisah.
Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar semakin
merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan
Mahesa Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena
berbagai ancaman. Ia merasa bahwa saat itu dirinya telah menjadi
pusat perhatian dan bahkan seakan-akan menjadi tempat untuk
mengadukan nasib mereka.
Tetapi dada Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika
ia melihat wajah Rara Wilis yang muram. Gadis itu menundukkan
wajahnya sembil bermain-main dengan ujung kainnya. Dalam
kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan
Mahesa Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara
Wilis. Sebagai seorang gadis ia merasa, bahwa kali ini ia
samasekali tidak diperlukan.Seolah-olah tak seorang pun lagi yang
ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain beberapa sapa dan
subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian
mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah
menggemparkan Banyubiru itu. Tak seorang pun lagi yang
menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali ke Banyubiru.
Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu
itu akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu
kepadanya. Mahesa Jenar pun tidak lagi ingat akan kehadirannya.
Tetapi gadis itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya
mengatasi gelora di dalam hatinya itu. “Ach, aku terlalu
mementingkan diriku sendiri. Di sini, Banyubiru kini, sedang
dihadapkan pada suatu persoalan yang harus mendapat
pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup untuk melupakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 115
persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau?
Kenapa kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”
Dengan susah payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi
kesepian itu. Namun terasa ia menjadi pening. Ia samasekali tidak
dapat turut bercakap-cakap dengan orang-orang lain seperti
masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun
seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun
hanya untuk berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi
mengeluh, bahwa percakapan mereka hanya semata-mata
berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan
kesan itu. Kesan kesepian yang memancar dari wajah Rara Wilis.
Sehingga kemudian terloncatlah pertanyaannya kepada Ki Ageng
Gajah Sora, “Ki Ageng, apakah Nyai ada di rumah.”
“Oh, ada. Ada,” sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera
mengerti maksud pertanyaan itu. Sehingga Mahesa Jenar itu pun
berkata kepada Rara Wilis. “Wilis, ternyata Nyai Ageng ada pula di
belakang. Barangkali kau akan dapat membantunya.”
“Oh. Tidak perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja
di sini.”
Rara Wilis menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa
Jenar masih juga mengingat dirinya.
Karena itu segera ia menyahut, “Baiklah kakang. Lebih baik
aku ke belakang.”
Rara Wilis tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia
bergeser, dan turun ke halaman, membebaskan dirinya dari
kesepian di dalam keriuhan persoalan hilangnya Widuri, meskipun
ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap gadis yang
nakal itu. “Gadis itu harus diketemukan,” desisnya seorang diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 115
II
Di hari pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan
yang didengarnya mengenai hilangnya Widuri. Arya Salaka
berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu. Di dengarnya pula
dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana
seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam
semak-semak.
Persoalan itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa
Jenar. Arya Salaka ternyata lebih mencemaskan nasib Endang
Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun dapat mengerti
pula, kenapa demikian. Tetapi yang mengherankan Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha sungguh-
sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa
hari Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo
Kanigara itu masih saja berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba mencari Widuri
namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang
malam hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah
berada di biliknya pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak dapat menanyakannya langsung
kepada Kebo Kanigara. Meskipun kadang-kadang pertanyaan itu
sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha untuk
menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya.
Namun tiba-tiba kembali Banyubiru menjadi gempar.
Ketika hampir semua orang berputus asa, maka terjadilah
suatu peristiwa yang membakar kemarahan rakyat Banyubiru.
Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang
berkepanjangan.
Dua hari setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-
tiba salah sebuah gardu peronda pada malam hari melihat sesosok
tubuh yang menimbulkan kecurigaan mereka. Ketika orang itu
disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu cepat-cepat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 115
berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan
membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah
orang itu dan apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar
tidak mau mendekat, bahkan ketika beberapa orang berusaha
mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.
Dengan sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa
orang mendahuluinya dan mencegahnya, sehingga orang yang
mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.
“Siapakah kau?” desak penjaga itu.
Sesaat orang itu tidak menjawab. Dipandanginya orang-orang
yang berdiri mengelilinginya. Lima orang.
“Siapa?” desak penjaga itu.
Jawaban orang itu benar-benar mengejutkan. Katanya,
“Apakah kepentinganmu dengan namaku?”
Para penjaga itu benar-benar keheranan sehingga sesaat
mereka berdiam. Namun kemudian salah seorang diantaranya
bertanya pula. “Ki Sanak. Kami adalah para peronda dari
Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk mengetahui, setiap
orang yang berada didalam wilayah perondaan kami. Karena itu,
maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki
Sanak.”
Kembali para penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka
kenal itu tertawa perlahan-lahan. Jawabnya, “Baiklah kalau kau
ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”
Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi
mereka. Karena itu maka salah seorang bertanya pula.
“Darimanakah asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di
malam hari begini?”
“Tidak apa-apa,” jawab orang yang ternyata bernama Karebet
itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 115
“Aneh. Tetapi biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”
“Aku berasal dari jauh. Apa pedulimu?”
Para penjaga itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian
salah seorang membentak, “Jangan mempersulit pekerjaan kami.
Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau berkunjung ke salah
seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau kunjungi
itu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak
pinggang dan berkata lantang, “Jangan ganggu aku. Biarlah aku
berbuat sesuka hatiku.”
“Tidak mungkin Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan
dapat berbuat sekehendak sendiri. Di tanah perdikan ini ada
peraturan-peraturan yang harus ditaati.”
“Taatilah siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”
“Jangan berkeras kepala, Karebet,” bentak seorang penjaga
yang kehilangan kesabaran. “Kau mencoba memancing
kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”
“Jangan bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”
“Jangan berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami.
Kami adalah alat-alat untuk menegakkan peraturan itu.”
“Tidak ada peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet
lantang. “Peraturan bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti.
Aturan bagiku adalah keduabelah tangan dan keduabelah kakiku,
pedang dilambungku dan taruhannya adalah nyawaku.”
Para penjaga itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu
orang gila ataukah orang yang tak waras. Namun menilik sikapnya,
maka orang itu benar-benar berbahaya bagi mereka, sehingga
karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 115
Karebet yang melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula,
“He, apakah yang akan kalian lakukan?”
“Kami hanya sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak
harus menyebutkan nama yang sebenarnya, keperluan yang
sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya. Kalau
tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa kerumah
Kepala Daerah Tanah Perdikan ini.”
Karebet itu tiba-tiba tertawa. Jawabnya, “Apakah kalian
berkata sebenarnya?”
“Tentu.”
“Bagus. Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa
peraturan bagiku adalah keduabelah tangan dan kakiku serta
pedang dilambungku.”
Para penjaga itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun
sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba ia telah mulai dengan sebuah
serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka. Tangannya
bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima
penjaga itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa
langkah dan terbanting jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan
dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak kembali. Namun terasa
punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka tenaganya
sudah jauh berkurang.
Keempat kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera
mereka menyerang bersama-sama. Tetapi, ternyata mereka
berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh dan
mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat
banyak. Mas Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan,
dan menyambar-nyambar dengan garangnya, seperti burung
rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada
taranya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 115
Tetapi keempat orang laskar Banyubiru dan seorang lagi yang
telah hampir tak berdaya itu pun samasekali bukan pengecut.
Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak
dengan cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka
kini sedang melakukan tugas mereka, sehingga bagaimana pun
juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan dan kaki mereka, maka
mereka pun pasti masih akan tetap bertempur.
Sehingga dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin
seru. Seorang diantara mereka berusaha untuk meninggalkan
perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada mereka yang
masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet
itu meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting
pula beberapa langkah sehingga kemudian jatuh berguling di
tanah.
Alangkah marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah
yang dapat mereka lakukan selain mencoba bertahan atas
serangan-serangan Karebet yang sedemikian lincahnya.
Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi
satu mereka jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun
kembali.Punggung-punggung mereka terasa menjadi nyeri, dan
dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun mereka berusaha,
namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah
kemampuan Mas Karebet itu.
Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir tidak
berdaya. Meskipun mereka masih berusaha untuk berdiri, namun
mereka sudah tidak mampu lagi untuk tegak ditempatnya. Sekali-
kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir mereka
tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri.
Karebet itu berdiri bertolak pinggang. Ditatapnya wajah para
peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar ia tertawa
nyaring. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “He, katakan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 115
sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati
peraturanmu?”
Jawab peronda itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun
penuh ketegasan. “Ya.”
Tetapi kembali terdengar suara Karebet itu tertawa
berkepanjangan. Katanya pula, “Sekarang kau lihat, bahwa
peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah
tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku
akan tunduk kepada kalian.”
“Mungkin kau mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang
peronda itu, “Tetapi kau tak akan mampu menghapus peraturan
yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali ini dapat
menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak
untuk selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan,
mentaati peraturan yang berlaku di Banyubiru atau pergi
meninggalkan Banyubiru.”
“Omong kosong,” sahut Karebet. “Kau tidak mau mengakui
kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada
persoalan yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini.
Hati kalian akan menjadi lapang. Dan kalian akan segera
melupakannya.”
“Tidak,” sahut peronda yang lain. “Kami tidak akan dapat
melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan
diri dari keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan
terulang kembali.”
Karebet itu pun tertawa pula. “Kalian adalah laskar yang baik,”
katanya, “Selagi kalian berhadapan dengan maut pun kalian masih
tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus. Karena itu maka Banyubiru
menjadi kuat.”
“Jangan terlalu sombong.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 115
“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun
berkata sebenarnya. Aku orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak terikat pada
peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja
yang aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”
“He,” para peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah
biru. Betapa pun mereka menjadi lemah, namun mereka
melangkah pula maju sambil berkata. “Apakah yang kau katakan
tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau
maksudkan?”
“Ya,” sahut Karebet. “Gadis yang hilang itu telah aku ambil.”
“Setan,” terdengar salah seorang peronda itu mengumpat.
“Sekarang kau tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”
“Apakah kau ingin bertempur lagi?”
“Kami belum benar-benar kau lumpuhkan,” sahut peronda itu.
Dan tiba-tiba terdengar gemerincing pedangnya. Dan pedang itu
pun kini telah berada di dalam genggamannya. Kawan-kawannya
pun segera menarik senjata-senjata mereka pula. Berkata pula
peronda itu, “Kami tidak bisa mempergunakan senjata kami
apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat, bahwa seandainya kami
melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan salah
kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang
damai seperti sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang
tidak bisa pula.”
Karebet mundur selangkah. Katanya, “Jangan menjadi gila
karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata.
Siapa yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai
pada kemungkinan dilukai dengan pedang pula.”
“Kami berpijak pada kewajiban kami.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 115
“Bagus. Sudah aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru
yang baik. Tapi bagaimanakah kalau kita hindarkan pertempuran
ini?”
“Hanya ada satu kemungkinan,” sahut peronda itu. “Serahkan
Endang Widuri.”
“Syaratmu terlalu berat.”
“Tidak ada syarat yang lain.”
“Kalau begitu, baiklah aku melawan dengan pedang pula.”
Sebelum para peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun
telah menggenggam sebilah pedang pula. Pedang yang tidak
terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan hati para
peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata. “Kalian sudah tidak
dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu
mengayunkan pedang?”
Para peronda itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak
maju. Namun kembali mereka terkejut ketika mereka melihat tiba-
tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar pedangnya.
Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka
dengan getar kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka
melihat duabilah pedang dari kelima pedang itu telah terlempar
jatuh.
“Kenapa kau letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.
Mereka menjadi semakin marah. Dengan serta mereka ketiga
kawannya menyerang bersama-sama. Tetapi Karebet tidak
melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata, “Kalian terlalu
payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun,
maka kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang
akan kalian lakukan kemudian?”
Para peronda itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat
dimengertinya. Mereka tidak akan mampu lagi berlari-larian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 115
mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di antara
batu padas di lereng bukit Telamaya itu.
Akhirnya, para peronda itupun berhenti dengans endirinya.
Meskipun kelimanya kini menggenggam pedang di tangannya,
namun mereka benar-benar menjadi bingung melawan seorang
anak muda yang aneh itu.
“He para peronda yang baik,” berkata Karebet itu kemudian.
“Jangan mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan
karenanya. Lebih baik kalian kembali ke rumah Daerah Tanah
Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya, bahwa Endang Widuri
yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal dari
daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku
sembunyikan. Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik,
maka Baginda Sultan Trenggana akan berburu di hutan Prawata.
Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan kepada Baginda untuk
puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak
merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia
datang dengan pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya
akan aku sambut dengan gembira. Sebenarnya aku adalah Lurah
Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia untuk
mengamankan perbuatanku ini.”
Para peronda mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang
gemetar. Gemetar karena marah, heran, dendam dan kecewa.
Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu
melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah
Lurah Wira Tamtama. Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa,
apakah kekuatan itu sudah seharusnya dipergunakan untuk
melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian,
maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai
seorang Wira Tamtama?
Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-
apa. Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat
diatas sebuah batu padas sambil menengadahkan dadanya. “Inilah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 115
Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-
kataku kepada Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra
Birawa. Nah, selamat malam, aku tunggu anak muda itu di hutan
Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai Kebo-Danu
Banyubiru yang perkasa.”
Bukan main marah para
peronda itu, sehingga salah
seorang dari padanya yang
tidak tahan lagi mendengar
kesombongan Karebet itu
dengan serta merta melontar-
kan pedangnya. Tetapi dengan
tawa yang menyakitkan hati,
pedang itu disentuh oleh Mas
Karebet dengan pedangnya
pula. Suara gemerincing di
lereng bukit itu, memberi-
tahukan bahwa pedang yang
dilontarkan itu terlempar jatuh
ke dalam lereng yang terjal.
“Lihatlah bulan yang
hampir bulat di langit.
Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam. Itu adalah pertanda
bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”
Sebelum para peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan
anak muda yang berdiri di atas batu karang itu seakan-akan
melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu masih
berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak
menemukan lagi. Jejaknya pun tidak.
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu.
Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang.
Dan sudah sekian lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya.
Kini tiba-tiba mereka mendengar langsung, bahwa gadis itu telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 115
dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet. Dengan suara
parau peronda itu berkata, “Pantas. Kalau bukan anak muda itu,
maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil
dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur
melampaui kita masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”
Yang lain-lain menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka
tidak dapat tinggal diam dengan penuh kekaguman. Tiba-tiba
mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka dengar
itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan
mereka. Karena itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan
kembali ke gardu mereka. Menceriterakan kepada kawan-kawan
mereka yang mendengarkan dengan penuh keheranan dan
kekaguman.
“Kami akan pergi ke rumah Ki Ageng,” berkata peronda itu.
“Kenapa kalian tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin
kami akan dapat membantu menangkap orang itu, apabila kami
datang bersama-sama.”
“Sudah kami usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”
Kelima orang itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan
dengan tergesa-gesa pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para penjaga
di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta
mereka bertanya, “Ada apa digardumu?”
“Penting sekali,” jawab yang ditanya. “Kami menghadap Ki
Ageng.”
“Malam-malam begini? Tidak besok pagi?”
“Terlalu penting.”
“Soal apa?”
“Gadis yang hilang itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 115
“He,” penjaga itu terkejut. “Kau menemukannya.”
“Akan aku beritahukan kepada Ki Ageng.”
“Ya. Tetapi apakah sudah kau ketemukan?”
“Berilah kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa
sekali.”
“Oh,” penjaga itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan
Ki Ageng. Karena itu, maka cepat-cepat ia pergi ke samping rumah
dan perlahan-lahan mengetuk dinding ditentang pembaringan Ki
Ageng.
“Siapa?” terdengar sapa dari dalam.
“Kami, para penjaga Ki Ageng.”
“Ada apa?”
“Seseorang peronda melaporkan tentang gadis yang hilang
itu.”
“He,” Ki Ageng Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari
pembaringannya. Penjaga yang membangunkan itu mendengar
pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya langkah tergesa-
gesa keluar dari dalam biliknya.
Sesaat kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki
Ageng muncul di ambang pintu.
“Siapa yang membangunkan aku?”
Penjaga itu telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga
dari sana ia menjawab, “Aku Ki Ageng.”
“Kemari. Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang
gadis itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 115
Penjaga-penjaga itu pun membawa kelima orang peronda
yang bertemu dengan Karebet, naik ke pendapa. Ki Ageng Gajah
Sora pun segera menerima mereka.
“Penting sekali?” bertanya Ki Ageng.
“Ya, Ki Ageng,” jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.
“Ya,” jawab peronda itu.
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
berkatalah ia kepada penjaga rumahnya, “Bangunkan tamu-tamu
kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”
Para penjaga itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki
Ageng Gajah Sora yang berada di dalam gandok-gandok rumah
itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka.
Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi
suatu pertemuan yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng
Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Pandan Alas,
Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo Kanigara beserta
beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada berdebar-
debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara
parau sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-
merahan. “Cepat, katakan, apa yang kau lihat.”
Peronda itu menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula
setelah ia duduk bersama dengan orang-orang yang dikaguminya
itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang. Bagaimanakah
seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya
kata-kata Mas Karebet itu. “Suruhlah ia datang segelar sapapan.”
Tiba-tiba dada peronda itu seakan-akan mengembang.
Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang tidak kalah saktinya
dengan Mas Karebet.
“He. Kenapa kau malah tertidur,” bentak Arya Salaka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 115
Orang itu terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak.
Aku tidak tertidur.”
“Katakanlah.”
Salah seorang dari peronda itu pun kemudian mulai dengan
ceritanya. Ditemuinya seorang yang mencurigakan. Dan diketahui
kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah yang menculik
Endang Widuri.
“Hem,” geram Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat
menangkapnya.”
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah kau dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang
itu?” desak Arya tidak sabar.
“Orang itu menyebut namanya”
“He,” bukan main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua
yang ada di pendapa itu “Orang itu berani menyebut namanya,”
suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada taranya.
Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa.
Bahkan ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya
kepada diri sendiri. “Siapakah nama orang itu?”
Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.
Apakah nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-
sialah laporannya ini. Atau kalau nama itu nama sebenarnya
sekalipun, apakah orang-orang yang berada di pendapa ini telah
pernah mengenalnya?
Karena ia tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi
jengkel, sehingga ia berteriak, “Siapa namanya he?”
Kembali peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia
mengucapkan nama itu, katanya, “Ia menyebut namanya sendiri
Karebet.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 115
“Karebet,” tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu
dengan kerasnya. Bahkan sekali ia bergeser maju dan
mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak. “Karebet kau
bilang.”
Peronda itu mengangguk. “Ya”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-
benar tak mereka sangka bahwa yang mengambil Endang Widuri
adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah
mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa
pun. Tetapi Arya Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak
berpaling ke arah Kebo Kanigara. Dan terdengar Mahesa Jenar
menggeram perlahan, “Karebet.”
“Paman,” tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak. “Paman Kebo
Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu
justru Karebet. Kenapa?”
Mahesa Jenar terpaksa bergeser pula maju. Dengan sabarnya
ia berkata, “Arya. Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita
berbicara dengan hati yang lapang.”
“Tetapi bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo
Kanigara?”
“Ya. Karebet itu memang kemanakan pamanmu Kebo
Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang semula. “Tetapi
ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”
“Oh,” Arya Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan
pecah karenanya. Tetapi kini ia menundukkan wajahnya. Endang
Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga dengan demikian,
maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah
daripada dirinya.
Kebo Kanigara menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah
yang suram ia berkata, “Ya. Karebet adalah kemenakanku.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 115
Sesaat pendapa itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah
menyentuh tubuh-tubuh mereka yang hangat karena hati mereka
yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.
Dalam keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka
gemetar, “Sekarang dimanakah Karebet itu?”
“Anak muda itu telah menghilang.”
“Hem,” Arya Salaka menggeram penuh kemarahan. “Apakah
kita akan dapat menemukannya?”
“Ya,” sahut peronda itu.
“He. Apakah yang kau katakan,” Arya Salaka menjadi
semakin gelisah. “Kau katakan bahwa ada kemungkinan untuk
menemukannya?”
“Ya,” sahut orang itu. “Bahkan orang itu mengharap
kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”
“Gila,” teriak Arya. “Atau kaukah yang gila itu?”
“Tidak. Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik,
Baginda Sultan Tranggana akan berburu ke hutan Prawata.”
“Gila. Kau yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang
Karebet. Bukan tentang Sultan Tranggana,”
“Ini adalah kelanjutan dari peristiwa itu,” sahut orang itu.
“Nanti pada saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”
“Itu sudah kau katakan.”
“Ya, ya,” peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka
kata-katanya menjadi kurang teratur. “Diperburuan itu, maka
Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk
puteranda Pangeran Timur.”
“Kau berkata sebenarnya?” potong Arya tergagap.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 115
“Ya. Dan dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya
Salaka yang membanggakan Sasra Birawa itu tidak merelakannya,
maka dipersilakan ia datang dengan pasukan segelar sapapan.
Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya
dengan senang hati.”
“Begitu katanya?” teriak Arya.
“Ya.”
Kembali Arya Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil
mengguncangkan tubuh peronda itu ia berteriak, “Dimana kau
temui Karebet itu?”
“Diperbatasan, di Sendang Muncul.”
Arya Salaka tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke
belakang. Semua terkejut melihat tingkahnya. Namun Mahesa
Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal tabiat anak itu,
segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil
kudanya. Karena itu maka keduanya hampir bersamaan
memanggilnya, “Arya. Arya Salaka.”
Tetapi Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke
kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana
kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian
terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki
Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor
kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah
Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai
hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi
Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka
masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang
aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-
benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan.
Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku
dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 115
bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di
halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah
tarian yang pedih.
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada
sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang
di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia
menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan
matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya,
namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga
semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.
Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar
seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat
menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau
apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada
dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet,
seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul
dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.
“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian”
desah Arya Salaka didalam hatinya. “Tetapi, apapun yang pernah
terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun
bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang
Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan
membicarakannya dengan orang tua-tua.”
Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin
meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu
sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.
Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang
sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-
serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-
sini.
Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan
nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 115
diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-
gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak
mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah
pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas
dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati
yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu.
Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya
kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya
tidak diketemukannya.
Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan
kesadaran diri .Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang
sambil berteriak keras-keras, “He Karebet. Jangan menunggu
Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan
persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan
perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet....”
Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing
pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di
lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti.
Tak seorang pun yang menyahut.
Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak,
“Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan
diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai
jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan.
Karebet....”
Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik
angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai
daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh
embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan
angin.
Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara
telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah
orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 115
Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu
karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung
pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam.
Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening,
masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.
“Arya,” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.
Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga
mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik,
melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya.
Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu
karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya
belum juga dapat ditenangkannya.
“Arya,” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan
oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh
padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di
dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas
punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
“Arya,” kali ini ia mendengar suara ayahnya. “Turunlah.”
Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan
matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik
pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata
nyaring. “Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera
bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”
“Sabarlah Arya,” desis Mahesa Jenar. “Turunlah, marilah kita
bicarakan soalmu ini.”
Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat
berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu
tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang
hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.
“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa
Jenar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 115
Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang
duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam
yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu.
Selain, tegang.
“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang
tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.
“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.
Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia
menuju kekudanya.
“Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,”
berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan
segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan
yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang
kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan
lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya.
Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari
tempat ini.
Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora.
Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya.
Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang
semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam.
Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga
kalinya.
Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia
tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat
langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan
sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda
dibelakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 115
Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat
erat-erat di atas punggung kuda.
III
Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama,
menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah
dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman. Dengan tergesa-
gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya.
“Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”
“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.
“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun
betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang
semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali
ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula. “Apakah ada
sesuatu keperluan yang mendesak?”
KI Ageng Lembu Sora lah yang kini memandang Mahesa Jenar
dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan
dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga,
“Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak
akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya
Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”
“He,” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar
petir melesat. Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang
berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar
karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa.
Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-
sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan
berkata, “Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng
Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”
“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil
mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula?
Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 115
lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan
Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa
waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan
kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”
“Hem,” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora
masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam
persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu
untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini
Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang
dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban
untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka
Mahesa Jenar itu pun berkata, “Baiklah aku mencoba menemui
kakang Gajah Sora”.
Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan
pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak
sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan
Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk
segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling
dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat
purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka
sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.
Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah
Sora yang duduk diserambi belakang rumahnya bersama-sama
dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah
membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau
belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh.
Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka,
maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk
bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah
gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat.
Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 115
“Kakang,” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora.
“Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” sahutnya pendek.
“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya
tentang keputusan Arya Salaka.”
Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?”
bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-
pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-
kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang
bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula.
Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab.
Namun kemudian terdengar suaranya serak. “Ya. Apa boleh buat.”
Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-
kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata, “Sudahkah
kakang mempertimbangkannya masak-masak.”
Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya.
Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah
gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?”
Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya.
Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan
jantungnya. “Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?”
Pertanyaan itu timbul pula didalam hatinya. Tetapi ketika
dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula
kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih
telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia
dibawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 115
Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar
itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya,
“Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira
dapat terjadi dengan keputusan itu?”
Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di
dalam hatinya memaksakan menjawab, “Tak ada pilihan lain
paman.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya, “Apakah kau telah
mencobanya?”
Arya mengerutkan alisnya. Desisnya, “Apa yang dapat
dicoba?”
“Arya,” berkata Mahesa Jenar. “Dalam persoalan ini masih
harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata
Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya
menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas
kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau
apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa.
Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan
masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”
“Tidak paman,” jawab Arya tegas. Mahesa Jenar terkejut
mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian
kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus. “Sudah
jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk
Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah
Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya
diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan
penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal
itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman,
seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan
merasa dihinakan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 115
bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena
penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa
Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka?
Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa
hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun
dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian,
ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang
lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra,
hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka
menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada
saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang.
Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat
mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin
kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti,
bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu
bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus
menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan
Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian
untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul
karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan
yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten,
meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal
itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan
ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting
adalah gairah bagi masa depannya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi
belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian
pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk
menyiapkan laskarnya.
Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk
merenung ditempatnya. Terbayanglah apa yang pernah
dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan
ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 115
tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat
berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa
diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan
kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan
persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan
anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu.
Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti
yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini
tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian.
Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk
menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke
Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka
memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya,
mengambil Endang Widuri untuk puteranya.
Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah
Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan
niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah
Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana. Namun
Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri
dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-
olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di
Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan
golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan
kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian
dalam kemarahan Arya Salaka itu.
Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya
Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya
dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih
berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.
Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya
setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang
berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 115
sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui
Kebo Kanigara seorang diri.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya
Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang
disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran
Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa
ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya
Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang
disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran
Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa
ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
“Terima kasih kakang,” sahut Mahesa Jenar sambil duduk
dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu
yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap.
Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling
ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat
bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan
yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber
kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya.
Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari
kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara
mereka yang kurang sewajarnya.
Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa
Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya, “Kakang.
Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang
akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan
Karebet?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 115
Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam
di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik
seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat
dijumpainya.
Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata, “Aku
akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka,
Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Semua
berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang
tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang
Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan
segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”
Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan
punggungnya menjadi basah oleh keringat.
“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia
mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah
Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa
Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat
demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda
pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin
kesatuan-kesatuan yang lain”.
Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin
banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa
Jenar berkata, “Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua
pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap
menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan
tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan
menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan
dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan
terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 115
Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang
baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”
“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya
perlahan-lahan dan parau. “Aku sudah menyangka bahwa hal-hal
yang demikian dapat terjadi.”
“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat
membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah
sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya
bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk
mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi
tegang.
Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa
Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata. “Bagaimanakah
sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan
itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara “aku sedang bersedih
karena kehilangan Widuri. Karena itu, aku tidak dapat berpikir,
jalan manakah yang sebaiknya aku tempuh untuk menemukannya.
Apabila kemudian kita ketahui bahwa anak itu dibawa oleh Karebet
dan akan dibawanya ke Hutan Prawata, maka bagiku tidak ada
pilihan lain dari pada datang merebutnya.”
“Dengan kekerasan?”
“Kalau itu kemungkinan satu-satunya.”
“Kakang,” berkata Mahesa Jenar ber-sungguh-sungguh,
“Kakang masih mempunyai kesempatan untuk menghindarkan
pertumpahan darah itu. Bukankah kakang Kebo Kanigara putera
Pangeran Handayaningrat. Bukankah kakang Kebo Kanigara dapat
menghadap Baginda dan menjelaskan persoalannya kepada
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 115
Baginda? Dan bukankah kakang berhak untuk mengambil puteri
kakang itu sendiri?”
“Mahesa Jenar. Sultan Trenggana adalah seorang yang keras
hati. Kalau sudah terkandung maksud oleh Baginda, maka tak
seorang pun akan dapat merubahnya.”
“Tetapi Karebet itu adalah kemanakan kakang. Karebet
sedemikian takutnya kepada kakang Kebo Kanigara. Apakah
kakang tidak dapat memaksanya untuk menyerahkan Widuri itu
kepada kakang?”
“Karebet memang takut kepadaku, Mahesa Jenar. Namun
ternyata bahwa di belakangnya kini berada satu kekuatan yanq
akan dapat melawan aku. Mungkin karena itulah ia berani berbuat
sedemikian atas Widuri itu.”
“Tetapi, bukankah Karebet itu dapat berbuat lain dari yang
dilakukannya itu? Mungkin ia dapat datang kepada kakang Kebo
Kanigara dan minta kepada kakang untuk menghadap Baginda,
sedang Baginda akan dapat langsung mengambil Widuri dari
kakang Kebo Kanigara. Dan apakah keuntungan Karebet dengan
menghinakan Arya Salaka dan menantangnya untuk mengambil
Widuri di hutan Prawata nanti pada saat Purnama naik?”
Kebo Kanigara itu pun terdiam. Dan kembali Mahesa Jenar
berkata, “Apakah karena Karebet ingin melihat pertumpahan darah
di antara sesama rakyat Demak atau barangkali Karebet ingin
menunjukkan kejantanannya di hadapan Sultan Trenggana? Atau
apa?”
“Jangan menambah aku menjadi bingung Mahesa Jenar.”
“Kakang, baiklah aku berterus terang. Apakah kakang cukup
berduka atas hilangnya Widuri, satu-satunya anak yang kakang
kasihi selama ini? Apakah kakang cukup menunjukkan usaha untuk
menemukannya sampai saat ini ? Kakang, sekali lagi, baiklah aku
berterus terang, supaya tidak terjadi salah tangkap dari segala
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 115
perbuatan kakang itu. Apakah kakang telah berusaha melepaskan
Widuri dari kemungkinarn hubungan yang lebih erat dengan Arya
Salaka dengan alat Karebet itu?”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara
tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sesaat ya menundukkan
wajahnya. Diluar malam menjadi semakin kelam. Dan malam yang
kelam itu benar-benar mendebarkan.
Di antara gemerisik angin malam, kembali terdengar suara
Mahesa Jenar yang berat “Kakang. Maafkanlah. aku kakang, tetapi
sebaiknya aku tidak menyirnpan pertanyaan-pertanyaan itu di
hatiku. Lebih daripada yang telah aku katakan, kakang.
Sebenarnya aku tidak dapat mengerti, kenapa kakang masih saja
bersikap acuh tak acuh atas hilangnya Widuri.”
Kebo Kanigara mengangkat wajahnya. Wajah yang tiba-tiba
menjadi sedemikian tegangnya. Perlahan-lahan terdengar ia
bergumam, “Mahesa Jenar, apakah kau berprasanqka buruk
terhadapku?”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Bahkan terjadilah
beberapa persoalan di dalam dirinya. Menurut kata-kata Kebo
Kanigara, maka betapa Kebo Kanigara itu menjadi sedemikian
bingungnya sehingga ia sudah tidak dapat lagi berpikir wajar.
Namun apakah seorang Kebo Kanigara dapat menjadi sedemikian
kehilangan segala macam pertimbangan? Betapa ia menyayangi
anaknya itu, namun sudah pasti bahwa Kebo Kanigara akan tetap
dalam keseimbangan. Ia pasti akan berusaha mencari anaknya.
lebih dari yang telah dilakukannya sekarang. Tidaklah mungkin
kalau Kebo Kanigara hanya akan sekedar menunggu bantuan Arya
Salaka dengan laskarnya. Bahkan membiarkan pertentangan yang
akan semakin memuncak antara Banyu Biru dan Demak karena
anak puterinya yang hilang dibawa oleh Karebet, “Aneh” gumam
Mahesa Jenar di dalam dirinya. Sehingga karena itulah maka ia
menjawab pertanyaan Kebo Kanigara “Kakang, sebenarnyalah aku
menjadi sangat heran. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 115
kakang lakukan. Namun dalam tangkapan perasaanku, kakang
telah berbuat diluar kewajaran.”
“Hem,” Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. “Apakah
yang seharusnya aku lakukan, Mahesa Jenar?”
“Menyelesaikan persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa
memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan
kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”
“Apakah aku mampu berbuat demikian?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar. “Kakang tentu mampu.
Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan
memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-
benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat
menjelaskan persoalannya.”
“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”
“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula. “Maafkan
aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah
sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka?
Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca
antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak
sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan kau katakan
itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir
sebaik-baiknya.”
“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbul-kan
berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja
memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk
menyelesaikan persoalan ini.”
“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 115
“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku
dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo
Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan
Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga
kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat,
apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”
Wajah Kebo Kanigara itu
tiba-tiba menjadi suram.
Demikian suramnya sehingga
Mahesa Jenar terhenti dengan
sendirinya. Ia mengharap
Kebo Kanigara membela diri
dan menyatakan alasan-alasan
yang sebenarnya. Tetapi Kebo
Kanigara itu berkata, “Sampai
hati kau menuduh aku
demikian Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar pun kini
terdiam sesaat. Hatinya
menjadi sedemikian risaunya
sehingga terpaksa ia mengeluh
pula, “Alangkah rumitnya
persoalan kali ini. Kakang, jadi
kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat
penyelesaian menurut caranya?”
Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar
pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati
yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini
bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.
Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab, “Untuk
sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang
lain.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 115
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk
mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak dapat
dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada
sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga
alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi
antara Banyubiru dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia
akan dapat melihat laskar Banyubiru binasa? Laskar yang telah
berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat,
membebaskan diri merekadari orang-orang golongan hitam.
Dankini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang
mutlak? Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan
datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat bagian
kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?
Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar
akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta diri
kepada Kebo Kanigara itu, katanya “Baiklah kakang. Biarkan
kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan
menjadi semakin banyak besok.”
Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah, “Baiklah
Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan bilik
Kebo Kanigara. Dihalaman ia mendengar kentongan dikejauhan
dalam nada dara muluk.
“Tengah malam,” gumamnya. Dan sesaat kemudian para
penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam
nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan
wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir
bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan
yang tipis terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru,
kelelawar berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 115
Tetapi Mahesa Jenar samasekali tidak tertarik pada kelelawar,
pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat menarik
perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga
perlahan-lahan ia bergumam sendiri, “Empat hari lagi purnama
penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat
perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan
mengepungnya dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak
menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur dan
akan saling membinasakan.”
Kembali Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara
yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia berdesah
perlahan-lahan. Telah terbayang dimatanya, mayat yang
bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama
sekali bukan lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya
adalah isi dari kerajaan yang seharusnya berada dalam persatuan
dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka
tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar
Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu
tidak akan bersedia menyerahkan apabila dihadapannya telah
mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan
bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan
menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara
tetap dalam pendiriannya. “Aneh” sekali lagi ia bergumam, “Aneh,
dan tidak wajar.”
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar
itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih ada seorang
yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau orang
itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo
Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena
itu, maka timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar.
Dengan langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya
untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan
tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 115
Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama
sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan lupa diri,
maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya,
sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan
kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia
menyadari dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk
beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Hem,” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang
terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan sebaik-
baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan
benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya.
Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi benar,
maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng
menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam
rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya.
Ketika Rara Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar,
tampaklah gadis itu terkejut. Dan tanpa sesadarnya ia menyapa.
“Kakang, apakah kakang sedang sakit?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tidak
Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”
“Kakang pucat sekali.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin
benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil menggosok
wajahnya Mahesa Jenar itu berkata, “Wilis duduklah sebentar. Ada
yang ingin aku katakan kepadamu.”
Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa Jenar.
Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan. Karena itu
tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata, “Wilis.
Nanti aku antar kau pulang ke Gunungkidul”.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 115
Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan
wajahnya menjadi pucat. Ia samasekali tidak tahu maksud Mahesa
Jenar itu.
“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa Jenar. “Aku tidak
berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku
menyelesaikan persoalan ini.”
“Oh,” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. “Kakang
mengejutkan aku.”
“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga,
bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke
Gunungkidul.”
Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun samasekali tidak
tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula
kepada semua orang di sini. Katakan bahwa kau ingin sekali segera
kembali.”
Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa
Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara Wilis
menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta
keluarganya.
Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut
bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka dan orang-
orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata
apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka
mencegah maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar
tidak dapat diminta untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya
Salaka yang dengan penuh permintaan mengharap gurunya
mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada
pendiriannya.
Katanya kepada Arya Salaka, “Aku dapat menempuh
perjalanan itu empat hari pulang-balik. Aku akan kembali tepat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 115
pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut
ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.
Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan
Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah mengatakan
apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua
itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak
dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi
meninggalkan Banyubiru. Mereka samasekali tidak membawa
bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa
anak panah untuk berburu di perjalanan.
Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada
Mahesa Jenar, “Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau
lakukan?”
“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut
Mahesa Jenar lemah.
“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo
Kanigara pula.
“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara
Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah kepada Arya
Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku
selamatkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu
tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula, “Adakah
sesuatu yang tersembunyi?”
“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang
tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada yang
tersembunyi di dalam dadaku.”
“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang
tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar dan Rara
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 115
Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu
pertanyaan mengiringi kepergian itu.
Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis
berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan yang
berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki
kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang
berhembus dari pegunungan.
Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka
Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan
dihatinya. Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya.
“Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan?”
Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang
gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya sambil
menjawab, “Kita pergi bertamasya Wilis.”
“He?”
Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi
semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir tidak
memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu,
tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata
kepadanya, bahwa mereka sedang bertamasya.
Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis. Karena
itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi.
Maka jawabnya, “Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap
Panembahan Ismaya.”
“Oh,” Rara Wilis menarik nafas. “Apakah Panembahan akan
kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”
“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas
kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat
memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-
kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 115
Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat
membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah melihat persiapan
yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar bahwa
Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil
pasukannya.
Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara
benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa Mahesa Jenar
bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang ayah
yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki
Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga
hampir-hampir mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun
Mahesa Jenar adalah seorang yang berotak tenang.
Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng
Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya, “Ki Ageng,
kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi?”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Jawabnya
sambil tersenyum, “Bukankah sudah dikatakan, bahwa Mahesa
Jenar akan mengantarkan Wilis pulang ke Gunungkidul?
“Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta?” bertanya Kebo Kanigara.
“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda
kesana kemari. Lebih baik aku beristirahat di sini sambil menunggu
Mahesa Jenar kembali.”
“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-
benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar
dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa. Meskipun
demikian Ki Ageng itu menjawab. “Ah. Pertanyaan yang aneh. Wilis
pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku
antarkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat
dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat juga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 115
dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo
Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik,
namun pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya
tidak juga dapat dijawabnya.
IV
Panembahan Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang
kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan Rara
Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua
itu menyambut sendiri kedatangan tamunya.
Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis
melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang
dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu.
Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung
pada tiang-tiang dan dinding. Mereka terkejut ketika mereka
melihat sebuah topeng yang jelek dan kasar tergantung di antara
beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak
pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar
tidak ingin menanyakannya.
Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan
tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan
tua itu menyapa keselamatan mereka.
“Demikianlah Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Tuhan
melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan
Panembahan pun demikian pula hendaknya.”
“Syukurlah ngger,” sahut Panembahan Ismaya.
Sehingga sesaat kemudian maka pembicaraan mereka
menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu
soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga
akhirnya Panembahan itu berkata, “Aku menjadi berdebar-debar
akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang
kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunungkidul
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 115
untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian
telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi.
Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke
Gunungkidul.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara
Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar
menjawab. “Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama
kali, kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal
itu.”
“Aku tidak pernah lupa ngger,” sahut Panembahan.
“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu.”
“Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat
berbuat sesuatu.”
Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada
maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin
berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang
sebenarnya dibawanya. Katanya, “Panembahan, sebenarnya
disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain,
yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada
Panembahan.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain
persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu
untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar, “Kali ini tidak ada orang
lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia
berkata, “Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-
persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada
waktu nanti, besok atau lusa?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 115
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia
ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke
dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena
itu, maka ia menjadi terdiam.
Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya. “Marilah
ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan
pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”
Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang
lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika
Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para
cantrik itu.
Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun
kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu
masih saja berkata. “Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok
sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum
juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru
bersama angger berdua.”
Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk
segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa
mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu
pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu.
Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang
rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya
mereka terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para
cantrik bercocok tanam.
Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula
olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung
Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar.
Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu
pernah terjadi suatu malam yang mengerikan. Dimana janda Sima
Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan
kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 115
Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara orang-orang dari
golongan hitam itu.
Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara
Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan
yang berat itu.
“Wilis,” katanya, “Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah
merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah itu
pernah terjadi?”
“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah
di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat meriah?
Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang akan
mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”
“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya
ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.
Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya, “Wilis, apakah
kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”
Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu
terpaksa berkata, “Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”
“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis.
“Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku
tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”
“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.
Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-
benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-
tiba ia merenung.
Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan
berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 115
halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka,
sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.
Namun Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan
yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa
Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga
kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah
Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena
kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi
berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak
sabar lagi menunggu.
Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya
sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis. “Wilis,
kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”
Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar
menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis
merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau
lagi.
“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar. “Apakah
Panembahan sengaja menghindarinya?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia
berkata, “Marilah kita menghadap sekarang.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apakah
Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”
“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”
Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa
Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan
keinginannya untuk bertemu Panembahan.
“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon
diri.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 115
Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-
gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya, “Kenapa angger
sedemikian tergesa-gesa?”
“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar. “Sudah aku katakan,
bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku
sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang
mempersiapkan perang.”
“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia
berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.
“Ya,” sahut Mahesa Jenar. “Apakah Panembahan belum
mendengar bahwa Widuri telah hilang?”
“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut. “Widuri anak Kebo
Kanigara maksudmu?”
“Ya Panembahan?”
“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”
“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri
diculik oleh Karang Tunggal itu.”
Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam. “Anak itu tidak
juga menjadi jera.”
Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa
yang diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia
berkata, “Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah
itu tidak akan dapat dihindari?”
Panembahan Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya perlahan-lahan, “Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja
menghendaki gadis yang lain?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin
heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 115
Panembahan Ismaya samasekali tidak menyesalkan tindakan
Karebet atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-
mula disesalkan adalah Sultan Trenggana. Apalagi ketika
Panembahan itu berkata, “Adalah wajar sekali kalau Kebo Kanigara
menjadi marah.”
“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan
Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat
mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak
terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan
dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh
cara yang lain.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi
jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar, “Mungkin Kebo Kanigara
dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka,
sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan
mohon belas kasihan kepada Sultan itu.”
Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah
dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan kejantanannya
sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang
harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia
sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga,
sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar
sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah
mengorbankan harga dirinya? “Apakah aku telah berubah?”
pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka
ia mencoba berkata pula, “Panembahan, mungkin kakang Kebo
Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula
karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku
mengerti. Tetapi bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan
oleh orang lain? Oleh Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran
Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat dengan
Sultan Trenggana?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 115
“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan
itu. “Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang
Panembahan Ismaya.”
“Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat
sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan
mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet
menyerahkan Widuri kembali?”
“Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa
Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali,
sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga
akan dapat membayangkan akibatnya.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar
tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar
melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang
dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak
dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia
telah kehilangan kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di
dalam hatinya. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan pertumpahan
darah itu terjadi.”
Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri
berkata, “Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau
kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat
bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki
Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin
menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-
mudahan dengan demikian terhindarlah segala bencana.”
“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan
Ismaya.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian dengan
takzimnya. “Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada
Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku,
kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 115
ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan.
Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang
belum kembali ke istana, atau Endang Widuri.”
“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya
sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi
tenang kembali. Perlahan-lahan Panembahan itu berkata, “Apakah
maksudmu?”
“Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka
apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara
apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya
menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri
dengan pusaka-pusaka itu.”
“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan. “Kedua pusaka itu
adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat
tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana.
Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka
kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang
Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di
antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat
penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah
berlangsung.”
“Panembahan,” jawab Mahesa Jenar. “Aku samasekali tidak
memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya
dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak
mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka
terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan.
Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada
Demak, apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya
penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami
cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan
tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena
itu, Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua
keris itu, Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana,
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 115
kembali ke gedung perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar
yang menyerahkannya. Tidak perlu Mahesa Jenar yang dianggap
berjasa menemukannya.”
Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah
wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu
menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia
mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya.
Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu
dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan
Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang
berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar
menggantungkan keadaan kepadanya.
Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah
pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu
menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih. “Jangan Mahesa
Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya
sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”
“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi parau karena
hatinya yang pedih. “Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah
sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini.
Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun
aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku
mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba
mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku
menjumpai pendirian yang samasekali tidak dapat aku mengerti
Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi
seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah
aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-
perkara yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian
Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku
belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai
lagi dengan keadaan kini.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 115
Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi
tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah
alangkah ia menjadi gelisah.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian, “Apabila
demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak
melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke
Gunungkidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti
apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan
bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”
“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa
hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan
mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau
petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun
sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai
hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan
pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah
seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.
Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara.
Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki
Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan
yang kau perlukan.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih
jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang
sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang
oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi persoalan puterinya telah
sampai ke Karang Tumaritis. Sekarang, barulah diingatnya bahwa
sebenarnya Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam
persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih
gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa
Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia
harus pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka
usaha itu masih belum dilepaskannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 115
Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada
Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta
mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa
tidak dapat memenuhinya.
“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan
menghadap Panembahan.”
Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-
ragu. Katanya bertanya, “Bukankah pada saat Purnama naik
Banyubiru akan mengalami ketegangan?”
“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.
“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang
kemari?”
“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku di
sini menenangkan hati bersama Panembahan.”
Panembahan tua itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya. “Sejak dahulu
aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa
wawasanmu benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang,
bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak ada di Padepokan
ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau
benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku
kira benar pula.”
Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau
memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena
itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan
Padepokan itu.
Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok
itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah.
Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ditahannya
kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di
dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 115
mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang.
Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama
Rara Wilis. Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera
mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit Telamaya.
Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang
pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua.
Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia
bergumam. “Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam
pengabdian yang luhur.”
Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam
pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya.
“Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku
sampai tiga hari setelah purnama naik.”
“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.
Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk
masuk ke dalam sanggarnya.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang
Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis
menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa
Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan apa-
apa.
V
Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk
dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda.
Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu
masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai
sepuluh hari.
Beberapa orang yang mendahului Baginda telah mendapat
tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para
pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 115
banyak pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa
orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan
kesatuan Nara Manggala.
Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam
hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala
bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah
lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu.
Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh
dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-
aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh
tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan
mereka.
Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa
apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus mulai
bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan
Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus
sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan
memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit.
Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima
Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi.
Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan
Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama
yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup
menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia
menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti akan
berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan,
maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan
dibelakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk
menerima kembali Widuri pasti akan dipertimbangkan.
Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam
di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman
rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 115
yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Dipendapa
rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur,
pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun
tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa
sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu
bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa.
Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu
bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis
tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar
tampak membayang di wajahnya.
Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang
langit dikejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram.
Sesuram hati Arya Salaka.
Arya Salaka yang kemudian duduk pula di tangga pendapa itu,
menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di dalam
angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan
Endang Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela
diri itu tidak sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan
sebenarnyalah Endang Widuri telah berusaha sekuat-kuat
tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu telah
bertempur dengan gigihnya.
Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di belumbang,
ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu
terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu
Karebet, maka ia menjadi gembira.
Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba
mengajaknya pergi ke Demak.
“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 115
Karebet memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang
aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum. “Buat apa kau tinggal
di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti
disana.”
“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang,” bentak Widuri.
Namun Karebet masih juga tersenyum-senyum, sehingga
Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya. Tetapi Widuri tidak
sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri berusaha
membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya. Widuri tidak
dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam
keadaan pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke
dalam semak-semak.
Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan
segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya.
Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik
cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah
yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya.
Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar
Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru
berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit
berada di bawah pimpinan Wulungan. Dibelakang Arya Salaka
berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan laskar
Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo
Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis.
Namun tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang
tersimpan di dalam dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri
berjajar dalam barisan yang sama, namun barisan Arya Salaka kali
ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai persoalan di
setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda
dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula.
Tetapi yang tampak, yang kasat mata, mereka kemudian
berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan Pamingit
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 115
yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi
menuju ke hutan Prawata.
Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata benar-
benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah
terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun
diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan
rumput dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya
seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang
berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar
jauh menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu
rimbun.
Baginda kini telah berada di dalam barak yang terbesar di
tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang pemburu,
maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat
sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan
yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam
peralatan yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan
selingan yang menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang
menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di dinding-dinding barak
itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak dan
segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu,
namun juga senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal
Baginda.
Malam yang demikian akan menjadi sangat menyenangkan
bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda mulai
berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat
sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan
bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang
menyusup ke dalam rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di
atas tanah yang lembab.
Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira
seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan gelisah.
Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 115
dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga
dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi
kegembiraan Baginda.
Ketika seorang perwira masuk ke dalam biliknya beserta
seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya duduk
dekat-dekat di hadapannya.
“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama
seorang pemburu.”
“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah. “Ternyata kita belum
sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”
“Bagaimana dengan kabar itu?”
“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah
dikepung rapat-rapat.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
kepada perwira itu, “Paningron. Apakah kau dapat menduga
kekuatannya?”
“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat
kekuatan kita di sini.”
Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah
Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya. Pasukan
yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak,
sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini
Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang
sedemikian kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati
menghadapinya.
Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju
keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang
duduk di sampingnya Baginda berkata, “Berikan bajumu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 115
Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda
itu berkata, “Berikan baju dan kelengkapanmu.”
Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan
diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.
“Terlalu kecil,” gumam Sultan.
“Ya,” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud
Sultan.
“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda
sambil tersenyum. “Baju itu hamba pakai sejak hamba
mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.
“Pantas?”
“Apanya Baginda”
“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu
tersenyum pula. Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika
Baginda berkata, “Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang
yang ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti
aku menjawab,“ Jangan ganggu aku.”
“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu.
Baginda berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baik, kalau
begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak
memanggil namamu.”
“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron segera
meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga
yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama,
tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.
Ternyata Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri
kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan
rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang
bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 115
perapian yang menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda
kadang-kadang dapat melihat bayangan orang yang berjalan hilir
mudik.
“Kau benar Paningron,” berkata Baginda. “Kekuatan itu benar-
bebar tidak dapat diabaikan.”
“Hamba telah meneliti tuanku.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan
mengendap-endap Baginda itu berkata, “Siapakah yang
memimpinnya?”
“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan
sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar
mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama
kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”
“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”
“Hamba tuanku.”
“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”
“Belum hamba ketahui.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa
apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap
pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar
mengagumkan.
Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera
berkata, “Baginda, apakah hamba dapat mengirim seseorang
untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-
orang Banyubiru.”
Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-
lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian orang-orang
Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 115
kepalanya. “Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat
menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”
“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat
melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”
“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”
Paningron tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian
Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di sudut lapangan rumput
itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan dengan serta
merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat,
sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.
“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.
“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan
itu.
“Oh” sahut Baginda.
“Eyang ternyata benar-benar datang.”
“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.
“Hamba sudah berjanji.”
“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”
“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang dapat hamba
sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah hamba
sampaikan sebelumnya.”
“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai
untuk kepentingan seorang Karebet.”
“Jangan Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada
masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam hati Baginda.
Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”
“Persetan dengan anak itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 115
“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur
hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”
Baginda itu pun kemudian termenung sesaat. Ternyata
Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri Baginda
telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu
dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang
hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari
yang dilampauinya dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan
sendiri tidak terlalu membeci Karebet. Justru Baginda sendiri
pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak itu.
“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.
“Hem. Eyang telah membingungkan aku. Kalau aku
membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan
dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”
“Mereka samasekali tidak memberontak terhadap Baginda.
Mereka datang untuk mencari Karebet.”
Sekali lagi Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu
berkata, “Selain dari itu Baginda, bukankah hamba telah menolong
Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan memanggil
kembali anak itu, dengan alasan yang dapat dipertang-
gungjawabkan.”
“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan
yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat
memusnahkan mereka?”
“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan
Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan pertempuran.
Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula
Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-
panji itu.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 115
“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak
mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun hamba
menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi
bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di
dalamnya.”
“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”
“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan
dapat menghapus kenyataan itu.”
“Ya. Eyang benar. Anak itu ada di sini pula sekarang.”
“Penangsang?”
“Ya”
Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi bingung
mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang
didengarnya kemudian adalah suara Sultan. “Lalu bagaimana
eyang?”
“Tergantung pada Baginda.”
“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap
menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat.
Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”
Bayangan itu pun kemudian mengangguk-angguk dalam-
dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata, “Baginda ternyata
telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang
samasekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi
bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri dibawah duh
Baginda.”
“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”
“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 115
“Jangan eyang. Eyang harus berada di sini. Kalau ada sesuatu
kesalahan, maka eyang akan dapat membetulkannya”.
“Atau untuk menjadi tanggungan?”
“Tidak.”
“Baiklah. Aku ikut Baginda.”
Bayangan itu pun kemudian berjalan mengikuti Baginda
disamping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga dimuka
barak, samasekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat
dihadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang
lain samasekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu,
bahwa Paningron adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di
Demak.
Bulan yang bulat mengapung di langit dengan sangat
lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda tiba-tiba
menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari kedalam barak masing-
masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah
menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi
setiap kemungkinan. “Kekuatan mereka jauh lebih besar dari
kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.
Tetapi seorang perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan
sebuah senyum. Katanya di dalam hati, “Apakah yang dapat
dilakukan oleh orang-orang pedesaan?” Orang itu samasekali tidak
mau memikirkannya lagi. “Besok mereka akan aku musnahkan,”
katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang
perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-
kelebihan yang ada pada dirinya.
Malam itu semua prajurit siap ditempatnya. Beberapa penjaga
selalu mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain
beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan mereka
lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat
di tangan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 115
Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari, maka
mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit
Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru. Arya Salaka
dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat dipinggangnya,
segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan
Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya menjadi
berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki
Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal di
Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta,
semoga semuanya dihindarkan dari bencana.
Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka
semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam pasukan
Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang
dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati
mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang
telah bersiaga pula disekeliling perkemahan.
Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti
kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak
dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena
mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah
betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu.
Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah
panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan
tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang,
dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah
mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi
semakin dekat.
Di dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-
panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja.
Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun ketegangan
wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 115
penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang
sedang mendekati mereka.
Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun
pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar.
Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-
hampir ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang
demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-
hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di
Banyubiru. “Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus
terulang?” desah di dalam hati. Di lingkaran yang paling dalam
dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati dalam
satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu
terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling
mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula
Kelapa.
Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki
Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.
“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati, “Mudah-
mudahan semuanya berlangsung baik.”
Namun bagaimana pun juga, laskar Pajang dalam gelar
Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia
tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu
banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga
kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara
sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah
masak.
Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang
sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa saja
yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia
memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati,
“Manakah anak muda yang bernama Karebet itu?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 115
Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus
sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan
Baginda Sultan Trenggana.
Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang
yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara
Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi,
kemudian datang lebih mendekat lagi.
“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.
Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan.
Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu.
Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian katanya
kepada ayahnya, “Ayah, Baginda sudah tahu maksud kedatangan
kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet di sini. Dan
Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”
Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya,
menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.
“Bagaimana adi?” bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya
Salaka untuk melihat rontal ditangannya. Kemudian wajah yang
bersungguh-sungguh ia berkata, “Terimalah Arya. Sebaiknya kau
menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi
korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”
Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu
berpaling. Kemudian kembali ia memandang kekejauhan. Sekali-
kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun
yang meloncat dari mulutnya.
Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian
Mahesa Jenar itu pun berkata, “Hasrat yang paling besar untuk
menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan
dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 115
yang akan tampil kedepan melawan seseorang yang akan dikirim
oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”
Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut
mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-
kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun
juga.
Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah
membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian ia
melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda
itu dengan dada tengadah. “Aku terima tawaran itu. Aku, Arya
Salakalah yang akan datang ke gelandang.”
Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar
menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah
sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap
orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar.
Hampir semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui,
bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru
dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding.
Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu,
apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu.
Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa
tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh,
pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.
Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke
lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka Arya
Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan
gurunya sambil berbisik, “Ayah dan paman-paman. Restuilah aku,
semoga aku akan berhasil.”
“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang
mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak
kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 115
Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah
lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan
Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis
melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat
olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu
mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka.
Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi
kecewa. “Hanya seorang anak-anak,” desisnya.
Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak
itu, maka hatinya berdebar-debar juga.
Ketika mereka kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan
itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang prajurit
Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian
mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi
saksi.
Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka
segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar. “Siapakah yang akan
datang ke arena?”
Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora,
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat
saling berdiam diri.
“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. “Jangan kakang.
Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang
Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”
“Hem,” Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua
tangan di dadanya. “Jangan aku. Orang-orang Demak telah
menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”
“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar. “Kakang Gajah Sora sendiri
barangkali?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 115
Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya. “Tidak”
katanya. “Aku tidak sanggup.”
Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba
mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng
Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik nafas
panjang dan kemudian katanya. “Apakah kau dapat mewakili kami
Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi
kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi
mendengarkanmu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya, “Kami bukan orang Banyubiru.”
“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat
menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.
“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Tetapi biarlah salah
seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger
Bantaran atau yang lain?”
“Aku bersedia pergi,” tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
“Bagus,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Marilah kita pergi
dengan Bantaran.”
Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-
tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang
yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin
laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis
ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap
prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-
benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu,
dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka
mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang
dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 115
ke dalam arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang
yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya sendiri.
Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.
Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari
dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang prajurit
Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang
prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah.
Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan
Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil
berkata. “Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai.”
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan
perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit dan
Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya. “Silakan,”
jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak
adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira Wira
Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka.
Begitu?”
“Ya,” sahut Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. “Kenapa
bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?”
Paningron menarik alisnya. Jawabnya. “Perintah Baginda telah
jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu
menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat
sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang
ia harus mewakilinya?
“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam hatinya. “Aku harus
menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang
mampu menyelesaikan persoalan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 115
Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. “Ki Ageng
Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati
peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah
disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti
setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan,
supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang
kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh
tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke
arena menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”
Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua
itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang
direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu
samasekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.
“Baiklah,” berkata Paningron. “Perang tanding akan segera
dimulai.”
Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian
diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan itu
mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam
perang tanding itu.
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari
kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah
mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira
Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya.
Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa saat
Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah
Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.
Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan
tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak
berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan
perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang
gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 115
Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak
menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya. “Hem”
desahnya. “Anak ini adalah anak yang sombong.”
Sedang Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi
lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya
orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak akan
diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak
dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada
waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan
mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka samasekali tidak berani
melengahkan waktu.
Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak.
Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi
semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang
bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis.
Ketika tangan Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya
bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia melihat
Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau
menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.
Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia
mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki.
Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang
lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah,
apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya
atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika
ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya.
Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin
menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.
“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya didalam hati.
Karena itu, ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-
senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyentuh
dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 115
memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-
sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan.
Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu,
sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu,
maka ia ingin mundur selangkah untuk mengurangi tekanan
tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak
surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar terdorong
beberapa langkah.
Wajah perwira Wira Tamtama itu menjadi merah membara.
Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu.
Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia
mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.
“Setan,” desisnya. Apalagi ketika matanya bertemu pandang
dengan Rara Wilis yang menyandang pedang dilambungnya. Maka
dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat
syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan
dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum
pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan namanya
yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak.
Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia
melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula
namanya sebagai seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka
dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya
bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-
sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan
cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan
kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa
tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini
Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia
harus melawan serangan itu. Dengan sekuat tenagannya, karena
ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan lawannya, maka tangan
Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang
marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 94 of 115
tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua
belah tangannya, maka benturan itu benar-benar
menggoncangkan jantungnya. Tangan Arya Salaka benar seperti
sepotong besi gligen yang menghantam tangannya. Perasaan nyeri
menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian seakan-akan
merembet kesegenap tubuhnya.
Prabasemi menyeringai. Meskipun mereka bersama-sama
terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya
ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu samasekali
tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang
dirasakannya.
Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi
membara karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan
sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.
Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat
pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa
gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi
ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian
kecewanya memandanginya. “Gila,” desahnya. “Anak itu harus
segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, samasekali bukan
salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin
saja terjadi.”
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang
dihadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di luar
baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui
apakah yang akan terjadi. Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan
lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun
kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua
tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak
ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua
tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya.
Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya
Aji Sapu Angin.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 95 of 115
Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang
yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya
yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan
dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-
ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas,
dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir
panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya
yang lain bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta
ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya
Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut
melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk melerai
mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju.
Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah kekepala Arya
Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir.
Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun
menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan
kekuatan tertinggi yang dimilikinya.
Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.
Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah, “Arya,” namun
suara itu tidak didengarnya.
Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya. Arya
berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun
kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap
menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang-
kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali.
Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya.
Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat
melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya
dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah.
Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan
susah payah. Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat
tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua tangannya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 96 of 115
yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali.
Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi
Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan
dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya
terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat
dilakukannya?
Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya
menepi. Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak, “Pergi. Pergi. Tak
seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan
kepalanya. Pergi.”
Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka,
dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia
mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit
Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di dalam hati.
Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan
Prabasemi.
Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku.
Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya
menjadi semakin segar pula.
Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam
baraknya segera kembali ke arena. dengan sareh ia bertanya
kepada Ki Ageng Pandan Alas. “Ki Ageng, lawan yang pertama
telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua
seperti yang dijanjikan.”
Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya
anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang
marah itu menjawab lantang, “Aku masih tetap berdiri di sini
sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala
akibatnya.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 97 of 115
Para prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak
tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan
persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak banyak
orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding
seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan
adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah
dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati,
Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat
menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta
Baginda. Yang ada di sini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi
adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk
yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat
memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak
dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman
dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan gelar-
gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya,
mesikipun jumlahnya tidak seimbang.
Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti
akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap
prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah
kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin
sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka
mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh
ketegangan.
Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan
tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari
dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang
kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata
terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak
beberapa saat lampau. Diantara desah pembicaraan orang-orang
itu, terdengar Paningron berkata lantang, “Kali ini Karebet akan
masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam
perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 98 of 115
Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh
seorang calon Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun
Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan kepada
orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa
persoalan itu kemari.”
Di sekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para
prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat
Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka yang masih
tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-
tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani
hukumannya.
Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi
gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan
dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena
itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu
menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat.
Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya. Dengan gigi
gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri, “Karebet. Karebet.
Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”
Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya
Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan
dengan kata-kata yang akrab ia menyapa, “Selamat bertemu
kembali adi Arya Salaka.”
Arya Salaka bergumam. Jawabnya, “Tidak ada waktu untuk
mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang
akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja
mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan
pengampunan atas kesalahanmu itu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan
matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak jelas namun ia
pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi dadanya
berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 99 of 115
Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain,
ada juga di sekitarnya.
Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. “Nah,
Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu
Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga kau
bertindak dengan sekehendak hatimu?”
Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum
ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. “Kau
telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang
sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti.
Ini Arya Salaka telah datang.”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum
lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat
tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya
beberapa kali barulah ia berkata, “Terpaksa aku lakukan adi.”
“Omong kosong,” bantah Arya Salaka. “Ternyata kau sampai
hati menjual adik sepupumu itu?”
Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-
kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan
Arya Salaka berkata terus, “Sekarang aku datang memenuhi
tantanganmu.”
Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di
sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena
itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang, “Marilah adi.
Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”
Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang
dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah
serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan
dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun
membuka serangan pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 100 of 115
Maka terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit.
Masing-masing mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya.
Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk menjatuhkan
lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang
perkasa. Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-
luap seakan-akan benar-benar menemukan tenaga tambahan
yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet yang masih segar,
benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena
itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik
yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan
hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari
pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu
menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian
itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar
mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara.
Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang yang
mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut.
Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak
dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang
panjang. Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya.
Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya,
benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-
masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka
berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran
yang membingungkan.
Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh
Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-
umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam
rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat, “Gila.
Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.
Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan
malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 101 of 115
ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan
mereka tanpa mereka ketahui.
Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang
bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah
rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang
perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman
matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu,
adalah anak-anak muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan
kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam
hatinya. “Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk
maju ke arena,” desisnya.
Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya
Penangsang. “Hem,” desahnya. “Seharusnya tuanlah yang maju
ke arena.”
“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian
katanya pula, “Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”
Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, “Tangan anak
itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”
Arya Penangsang tersenyum. Katanya, “Aku tahu benar. Anak
muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.
“He?” Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan
wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan
dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya
Penangsang.
Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke
dalam baraknya sambil berpegangan dinding. “Persetan.”
Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun
perkelahian itu kini menjadi semakin kendor.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 102 of 115
Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin
karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya
telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu
terdengar Karebet berbisik, “Maafkan aku adi.”
Arya Salaka terkejut. “Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku
maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita
selesaikan perkelahian ini.”
“Adi,” berbisik Karebet itu pula. “Dengarkanlah ceriteraku. Aku
berkata sebenarnya.”
Arya Salaka mula-mula samasekali tak memperhatikannya.
Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata. “Kali ini tak
ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu
lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah maka
perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.
Ketika Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar
Arya Salaka berkata. “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Aku berkata sebenarnya.”
“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”
“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-
benar.”
“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan
membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak
kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia
melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-
tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan
dalam-dalam. “Gila. Kau benar-benar bermain api kakang. Apakah
aku harus bersimpuh menyembahmu?”
“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 103 of 115
“He?” Arya Salaka terkejut. “Apakah sebenarnya maksudmu?”
“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi
aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku dan adi
akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak
berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”
Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah
dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata sebenarnya.
Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra Birawa
itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa
itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak
memiliki kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu
apapun yang dilakukan oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan
mempergunakan kekuatan tertinggi itu.
Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun
terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya. Ketika
ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik. “Mulailah.”
Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi
permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya sebelah
tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain
di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan
menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra
Birawa.
Dalam pada itu, Karebet yang melihat Arya Salaka telah siap,
segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya kakinya
dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya
segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan
sejauh-jauhnya yang dimilikinya.
Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat. Seakan-akan
sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet
telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak
menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar
beberapa langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali ditanah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 104 of 115
Namun sesaat kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas
kedua kakinya.
Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya terasa seakan-akan
membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah
menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa
langkah. Dengan kerasnya ia terbanting ditanah. Sesaat matanya
menjadi berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh
menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya dan
mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya.
Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar
biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera.
Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan
kekuatan sendiri.
Melihat anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti
akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap pertimbangannya.
Dengan serta merta ia berkata, “Akulah yang akan menjadi orang
kedua.”
Kebo Kanigara terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu
segera ia mencegahnya sambil berkata. “Tunggulah. Apakah yang
akan terjadi kemudian.”
“Apa yang harus aku tunggu?”
Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah
menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah
Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora ditengah lapangan
itupun telah menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu
pedangnya.
Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun terkulai ketika tiba-
tiba ia melihat Sultan Tranggana dikejauhan keluar dari dalam
baraknya.
“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah
Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 105 of 115
wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam. “Kalau saja
Sultan tidak ada disana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu
tidak berkibar disana pula.”
“Jangan cemas kakang,” tiba-tiba terdengar suara Mahesa
Jenar. “Akupun orang buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke
arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku tidak akan
menyesal.”
“Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. “Jangan.”
“Aku tidak sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak
sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan anaknya
satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.
“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang
kelapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena. Dibelakangnya
berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.
“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan
Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai seorang yang
bernama Pasingsingan.”
“Ya,” sahut Kebo Kanigara.
“Apa peduliku.”
“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah.
Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali.
Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan mereka
mendengar Mahesa Jenar itu berkata, “Aku telah bertemu di
Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku
semuanya.”
“Oh,” Kebo Kanigara berdesah. “Kau mencemaskan aku.”
“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 106 of 115
Gajah Sora memandang mereka dengan penuh pertanyaan.
Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada
mereka. “Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar. Kita menghadapi
Baginda.”
Baginda pun kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum Baginda
menerima mereka, sambil berkata, “Eyang Buntara. Apakah
mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”
“Ya cucunda Baginda.”
“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron.
Baginda itu memandang
Arya Salaka sesaat. Kemudian
dihampirinya anak yang masih
menyeraingai itu. Ditepuknya
pundaknya sambil berkata,
“Kau pun anak luar biasa. Mari,
masuklah ke dalam kemahku.”
Terasa sesuatu yang aneh
di dalam dada Arya Salaka.
Perlahan-lahan ia menyembah,
dan kemudian diikutinya Ba-
ginda masuk ke dalam per-
kemahan.
Di dalam perkemahan itu
duduk Baginda Sultan Treng-
gana, Pangeran Buntara dan
Paningron, dihadap oleh Karebet, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar,
Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora, Lembu Sora, Arya
Salaka dan Bantaran. Dengan wajah yang terang Baginda itu
memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk berceritera,
apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 107 of 115
“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam. “Jadi semuanya
ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”
“Ya,” jawab Pangeran Buntara. “Namun dengan demikian
Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan.
Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih
hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun
berkata. “Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak
tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet
telah mendapat ijin daripadanya.”
Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau
dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada
suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha
menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.
Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun
berkata.”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil kembali
Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-
pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat
Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu
agaknya telah luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan
Baginda akan berhasilnya cara ini, maka kini perkenankan Mahesa
Jenar menyerahkan pula keris-keris yang selama ini dicarinya, Kiai
Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta
Baginda berkata, “Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”
Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya
penuh haru. “Hamba Baginda.”
“Di manakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah
Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu pun
berkata, “Kedua keris itu aku simpan Baginda.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 108 of 115
“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian. “Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kau pun akan
kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang
teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku
perlukan.”
Mahesa Jenar menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak
dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia menjawab.
“Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah
Baginda.”
Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang
sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini
telah terbuka.
Ketika Baginda diperkenalkan satu demi satu dengan orang-
orang yang menghadap, maka Baginda berkata. “Jadi gadis ini
adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”
“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.
“Dengan pedang dilambungnya?”
“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil
menyembah.
“Yang ini, kakeknya?”
“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”
“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba
Baginda itupun berkata. “Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku
melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu?
Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan
Mahesa Jenar dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini
pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah selesai.”
“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi
sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 109 of 115
diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah.
Jawabnya, “Bukan main anugerah yang hamba terima.”
“Jangan tunggu umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan
ini biarlah kakek itu merayakan peralatan perkawinannya.
Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu
setengah bulan.”
Mereka berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis
yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-
benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu
akan sampai pula kepadanya.
Arya Salaka pun kemudian mendapat pengukuhan kembali
atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda
berkata, “Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo
Kanigara itu?”
Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai
kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang membentur
Aji Lembu Sekilan.
“Gadis itu tidak berada di sini,” berkata Baginda. “Tetapi besok
akan segera kau jumpai di Banyubiru.”
Hari itu adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan
Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet. Meskipun
para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat
perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika
mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira.
Pertentangan itu benar-benar telah berakhir.
Namun dalam pada itu Baginda terkejut melihat Arya
Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan
lantang ia berteriak. “Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku
dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui
paman dan adinda puteri bungsu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 110 of 115
Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi
oleh Tumenggung Prabasemi.
Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang
daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa
seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-
persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya
menyatukan tanah tumpah darah.
Tetapi kembali Baginda diganggu oleh sebuah persoalan yang
baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang, kemanakannya itu
tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya. “Tentu
pokal Prabasemi,” pikir Baginda.
Namun ketika Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut
serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang. Disadarinya bahwa
Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan mendapat
kesusahan karena itu.
Tetapi persoalan itu tidak akan segera memerlukan tangan
Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat
dirampungkan pada saat-saat mendatang.
Ketika awan yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secara hatinya.
Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya
Salaka dan Karebet bersendaugurau dengan gembiranya. Tetapi
lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang
dilambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik. “Kakang,
hari itu akan segara datang.”
“Ya Wilis. Segara akan datang. Semoga.”
Keduanya pun kemudian menundukkan wajah mereka. Sedang
hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih serta doa kepada
Tuhan Yang Mahaesa, semoga mereka akan sampai pada saat-saat
yang ditunggu-tunggu itu.
TAMAT
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 111 of 115
Singgih Hadi Mintardja
(26 Januari 1933 – 18 Januari 1999)
emasa hidup Singgih Hadi Mintardja atau dalam karya-karya
biasa ditulis SH Mintardja, lebih dikenal sebagai penulis cerita
bersambung serial silat dengan setting kerajaan Mataram
zaman Sultan Agung di beberapa suratkabar, seperti Harian Bernas
berjudul Mendung di Atas Cakrawala dan Api di Bukit Menoreh di
Kedaulatan Rakyat. Episode terakhir yang hadir di hadapan
pembaca Harian Bernas adalah episode ke 848 Mendung di Atas
Cakrawala.
Setamat SMA, SH Mintardja yang lahir di Yogyakarta pada 26
Januari 1933, bekerja di Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan
(1958). Terakhir bekerja di Bidang Kesenian Kantor Wilayah
(Kanwil) Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Depdikbud) Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan pensiun
pada 1989. Beberapa cerita roman silat
yang digali dari sejarah di kerajaan Jawa
telah ditulis SH Mintardja — yang oleh
kerabatnya akrab dipanggil dengan nama
Pak Singgih — sejak tahun 1964.
Berbekal pengetahuan sejarah,
ditambah mendalami kitab Babat Tanah
Jawi yang beraksara Jawa, lahirlah cerita
Nagasasra Sabuk Inten. Kisah berlatar belakang kerajaan Demak
itu melahirkan tokoh Mahesa Jenar. Karena cerita Nagasasra
sebanyak 29 jilid begitu meledak di pasaran dan amat digandrungi
pembaca, banyak orang yang terkecoh dengan cerita roman
sejarah itu.
Banyak yang mengira Mahesa Jenar benar-benar ada dalam
sejarah Demak. Akibatnya, tim sepakbola asal Semarang pun
S
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 112 of 115
dinamakan Tim Mahesa Jenar. Mungkin dengan nama itu Wong
Semarang berkeinginan kiprah tim sepakbola sehebat Mahesa
Jenar dengan pukulan “Sasra Birawa”-nya yang menggeledek.
“Padahal saya memperoleh nama itu begitu saja. Rasanya kalau
diucapkan sangat indah dan kalau didengar kok enak,” ujar
Mintardja dalam pengakuannya di buku Apa dan Siapa Orang
Yogyakarta, edisi 1995.
Buku Nagasasra belum surut dari pasaran, SH Mintardja
membuat kisah Pelangi di Langit Singasari (dimuat di Harian Berita
Nasional tahun 1970-an) kemudian dilanjutkan dengan serial
Hijaunya Lembah dan Hijaunya Lereng Pegunungan.
Agaknya suami Suhartini yang tinggal di Kampung Daengan,
Gedongkiwo, Yogya ini tidak pernah mengenal lelah. Pada tahun
1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah
berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung
Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir
adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus
murid Agung Sedayu.
Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang,
bila dijajarkan, maka cerita Api di Bukit Menoreh panjangnya
melebihi jarak Anyer – Panarukan. Asal tahu saja, kisah itu
memang lebih dari 300 jilid (buku) dan hingga akhir hayatnya
kisah itu belum selesai. Dan masih ada puluhan serial cerita kecil
lainnya yang dibuatnya.
Di sisi lain, Mintardja pun berusaha menulis kisah petualangan
pendekar pembela kebenaran yang lebih pop. Kisah itu tidak
terlalu keraton sentris, namun berusaha digali dari kisah kehidupan
sehari-hari dengan setting masa lalu, ya apalagi kalau tidak jauh
dari kerajaan-kerajaandi Tanah Jawa. Kisah seperti Bunga di Atas
Batu Karang yang mengisahkan masuknya pengaruh Kompeni
Belanda ke Bumi Mataram; kemudian serial Mas Demang yang
“hanya” mengisahkan anak seorang demang. Dan terakhir adalah
tokoh Witaraga dalam kisah Mendung di Atas Cakrawala, mantan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 113 of 115
prajurit Jipang yang kalah perang yang berusaha menemukan
jatidirinya kembali dengan mengabdi pada kebenaran dan welas
asih.
Perkenalkan Budaya
Ada yang khas dari seluruh kisah yang ditampilkan SH
Mintardja. Ia berusaha menyelipkan pesan-pesan moral di
dalamnya. Bahkan di dalamnya juga diperkenalkan beberapa
kebudayaan Jawa yang mungkin saat ini mulai punah. Sebagai
contoh adalah ungkapan rasa syukur menjelang panen padi di
desa-desa. Upacara “wiwit” yang berarti “mulai” (panen), berupa
pesta kecil di tengah sawah, beberapa kali dengan jelas
ditampilkan dalam beberapa ceritanya. Adat kebiasaan “mitoni”
atau “sepasaran” dalam menyambut kelahiran bayi di masyarakat
Jawa pun dengan pas digambarkannya.
Banjir darah tidak selalu dijadikan penyelesaian akhir untuk
menentukan bahwa yang benarlah yang menang. Ada
penyelesaian akhir yang lebih pas. Bertobat, tanpa harus ada yang
terbunuh. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta
kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman,
kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam
kisahnya. Jika pada kisah Nagasasara Sabuk Inten dan Pelangi di
Langit Singsari masih menggunakan bahasa “tuan” untuk
menyebut anda ataupun engkau, maka pada Api di Bukit Menoreh
dan kisah lainnya, kata “tuan” itu sudah raib dari kamus kosa
katanya.
Entah terpengaruh oleh film atau karena melihat anaknya
berlatih silat, untuk menggambarkan serunya sebuah pertarungan
tidak lagi digambarkan dengan angin yang menderu-deru dan
desingan senjata; namun lebih masuk akal. Gambaran teknik
beladiri murni digunakan di karya-karyanya yang terakhir. Bila
akhir dari sebuah pertempuran memang harus dengan tenaga
dalam, ya itu tadi, pembaca lagi-lagi dibawa berkhayal melihat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 114 of 115
benturan ilmu maha dahyat yang bobotnya melebihi granat. Ya,
namanya saja cerita.
Ternyata, selain mengarang cerita silat atas kehendaknya
sendiri, SH Mintardja juga tidak menolak cerita pesanan, misalnya,
untuk pementasan ketoprak. Beberapa cerita sempalan seperti
Kasaput ing Pedhut, Ampak-ampak Kaligawe, Gebranang ing
Gegayuhan merupakan cerita serial ketoprak sayembara yang
disiarkan TVRI Yogyakarta.
Karya
SH Mintardja telah menulis lebih dari 400 buku. Cerita berseri
terpanjangnya adalah Api di Bukit Menorehyang terdiri dari 396
buku. Berikut ini daftar beberapa karya sang pengarang itu:
Api di Bukit Menoreh (396 episode)
Tanah Warisan (8 episode) Matahari Esok Pagi (15 episode)
Meraba Matahari (9 episode)
Suramnya Bayang-bayang (34 episode) Sayap-sayap Terkembang (67 episode)
Istana yang Suram (14 episode) Nagasasra dan Sabuk Inten (16 episode)
Bunga di Batu Karang (14 episode) Yang Terasing (13 episode)
Mata Air di Bayangan Bukit (23 episode) Kembang Kecubung (6 episode)
Jejak di Balik Bukit (40 episode)
Tembang Tantangan (24 episode)
Berpulang
Kini SH Mintardja telah tiada. Mungkin banyak penggemar
karya-karyanya yang ikut sedih dan kecewa karena kisah-kisahnya
masih menggantung di tengah jalan. “Tapi semua memang
kehendak Yang Maha Agung. Kita tidak dapat menolaknya,” begitu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 115 of 115
sepenggal pesan moral SH Mintardja yang sering dia tulis dalam
berbagai karyanya.
Penulis cerita bersambung Singgih Hadi Mintardja atau lebih
dikenal dengan nama SH Mintardja, Senin (18/1/1999) lalu,
meninggal dunia. Almarhum menghembuskan nafas terakhir di
hadapan anggota keluarganya, Senin, pukul 11.39 WIB di Rumah
Sakit Bethesda, Yogya, dalam usia 66 tahun. Jenazah SH Mintardja
dimakamkan Selasa (20/1/1999) pukul 15.00 WIB di pemakaman
Kristen Arimatea, Mergangsan, Yogyakarta.
Almarhum dirawat di RS Bethesda sejak Sabtu 26 Desember
1998, karena menderita sakit jantung.
Sumber:
– Wikipedia
– Selamat jalan Pak Singgih, oleh: ee/djo – Yogya, Bernas
top related