alternatif kebijakan dalam pelestarian dan pemanfaatan ramin

Upload: andika-saputra

Post on 02-Mar-2016

94 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    1/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    2/159

    PROSIDING WORKSHOP NASIONAL

    ALTERNATIF KEBIJAKAN DALAM PELESTARIANDAN PEMANFAATAN RAMIN

    Penulis Makalah

    Dr. Abdurrani Muin

    Ir. Ari Wibowo, M.Sc

    Dr. Harun Alrasyid

    Prof. Dr. Herujono Hadisuparto

    Dr. IstomoIr. Lasmini

    Dr. Machfudh

    Dr. M. Bismark

    Ir. Reny Sawitri, M.Sc

    Rinaldi, S.Hut

    Dr. Slamet R. Gadas

    Dr. Taufiq Alimi

    Dra. Titi Kalima, M.Si

    Dr. Tukirin Partomihardjo

    Editor:

    Ir. Tajudin Edy Komar, M.Sc

    PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTANDAN KONSERVASI ALAM

    BEKERJASAMA DENGAN ITTO PPD 87/03 REV.2 (F)

    BOGOR, 2006

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    3/159

    Ucapan terima kasih

    Wokshop ini dibiayai oleh dana hibah dari International Tropical Timber Organization

    (ITTO) kepada pemerintah Indonesia melalui Pra - Proyek ITTO PPD 87/03 Rev.2(F);Identification ofGonystylus spp (Ramin) Potency, Distribution, Conservation and

    Plantation Barrier.

    Pengelola proyek mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

    membantu dalam penyelenggaraan semiloka ini.

    ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F)

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam

    Jalan Gunung Batu No. 5

    Bogor

    Phone: (62-251) 7520067

    Fax: (62-251) 638111

    E-mail: [email protected]

    ISBN 979-3145-28-5

    Foto : Dr. Machfudh, Dr. Istomo, Dr. Tukirin, dan Siti Nurjanah

    Disain/Tata letak : Siti Nurjanah

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    4/159

    i

    KATA PENGANTAR

    Workshop Policy Options on the Conservation and Utilization of Ramin

    telah diselenggarakan di Bogor pada tanggal 22 Februari 2006. Workshop

    ini merupakan kegiatan tambahan dari proyek kerjasama antara Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam dengan Interna-

    tional Tropical Timber Organization (ITTO) melalui Pra- Proyek ITTO PPD

    87/03 Rev. 2 (F); Identification of Gonystylus spp (Ramin) Potency, Distri-

    bution, Conservation and Plantation Barrier, yang berdasarkan jadwal yang

    direncanakan sebelumnya, proyek ini telah berakhir sejak Desember 2005.

    Workshop ini dihadiri oleh peserta dari unsur-unsur Departemen

    Kehutanan, Lembaga Internasional, Perguruan Tinggi, Badan Usaha Milik

    Negara, Lembaga penelitian, dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat.

    Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

    kepada semua pihak yang telah membantu sehingga terselenggaranya

    workshop ini dengan baik.

    Bogor, 22 Februari 2006

    Koordinator Proyek

    ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F)

    Ir. Tajudin Edy Komar, M.Sc

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    5/159

    ii

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGSemiloka Nasional 2005

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    6/159

    iii

    HASIL RUMUSAN DAN REKOMENDASI NASIONAL

    KEBIJAKAN PENGELOLAAN RAMIN

    HASIL RUMUSAN

    1. Potensi ramin telah mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini

    terlihat dari hasil kajian lapangan yang menunjukkan bahwa dalam 20

    tahun terakhir potensi ramin mengalami penurunan sekitar 90%.

    Potensi ramin pada tahun 1983 sekitar 131 juta m3 dan pada tahun

    2005 sekitar 15 juta m3. Daerah yang pernah tercatat sebagai penghasil

    ramin adalah: propinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan

    Barat dan Kalimantan Tengah.2. Karena potensi ramin yang terus mengalami penurunan, maka pada

    tahun 2001 Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan

    moratorium penebangan ramin melalui Keputusan Menteri Kehutanan

    No. 127-KPTS-V/2001, kecuali untuk HPH yang mendapatkan sertifikat

    pengelolaan hutan alam lestari. Upaya penyelamatan ramin dilakukan

    lebih lanjut dengan melakukan pelarangan ekspor kayu gergajian ramin

    dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 1613-KPTS-IV/2001. Pada

    tahun yang sama ramin masuk ke dalam CITES Appendix III dan tahun

    2004 masuk ke Appendix II.

    3. Saat ini perusahaan yang diijinkan memanen kayu ramin adalah PT

    Diamond Raya Timber (DRT) di propinsi Riau yang memiliki sertifikatPHAPL dari LEI di bawah pengawasan CITES Scientific authority.

    Namun dalam kenyataannya kayu ramin yang beredar di pasaran lebih

    dari jatah tebang. Hal ini menunjukkan masih adanya illegal loggingdan

    konversi habitat ramin. Selain PT DRT ada beberapa HPH yang

    diperkirakan masih memiliki tegakan ramin yang masih baik antara lain

    adalah: PT Rokan Permai, PT Triomas FD dan PT Inhutani IV yang

    semuanya berlokasi di Sumatra.

    4. Sesuai dengan peraturan yang ada sistem silvikultur yang berlaku

    dalam mengelola ramin adalah sistem TPTI. Menurut data lapangan

    yang telah dikumpulkan, praktek silvikultur tersebut belum dilaksanakan

    secara baik, sehingga menyebabkan penurunan potensi ramin di areal

    bekas tebangan. Hal tersebut diperparah dengan maraknya

    penebangan liar di areal bekas tebangan dimaksud.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    7/159

    iv

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGSemiloka Nasional 2005

    5. Penurunan potensi ramin selain disebabkan oleh adanya illegal logging,

    juga masih adanya konversi hutan rawa gambut ke penggunaan lain,

    misalnya: pertanian, perkebunan, dan HTI. Hal ini tidak saja

    mengakibatkan penurunan jenis ramin, tetapi juga jenis-jenis lain yang

    berasosiasi dengan ramin, antara lain jelutung (Dyera lowii), balangeran(Shorea belangeran), dan durian burung (Durio sp.).

    6. Upaya konservasi ramin selama ini masih terbatas di kawasan

    konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa

    dan Hutan Penelitian. Namun kenyataannya tegakan ramin di

    kawasan konservasi pun tidak luput dari kerusakan akibat illegal logging.

    REKOMENDASI PENGELOLAAN RAMIN

    1. Adanya inventarisasi ulang (re-inventarisasi) potensi ramin di hutanproduksi rawa gambut terutama pada kawasan yang dikelola oleh HPH

    di 5 propinsi tersebut di atas.

    2. Adanya pengawasan terutama terhadap HPH yang sudah mendapatkan

    sertifikasi pengelolaan jenis ramin dan pembinaan terhadap HPH-HPH

    yang masih memiliki potensi ramin.

    3. Peningkatan pemberantasan illegal logging di hutan produksi maupun

    di kawasan konservasi melalui kerjasama dengan aparat terkait di

    daerah.

    4. Adanya kebijakan penghentian konversi hutan rawa gambut menjadi

    penggunaan lain.

    5. Adanya strategi pengelolaan hutan rawa gambut secara khususdiperuntukkan untuk penyelamatan dan pengembangan ramin.

    6. Adanya usaha pemacuan pembangunan hutan ramin, konservasi ex-

    situ dan in-situ serta penyelamatan pohon induk sebagai sumber

    genetik ramin.

    7. Adanya kebijakan rehabilitasi kawasan hutan rawa gambut sekunder

    dan kawasan konservasi yang telah mengalami kerusakan.

    8. Adanya usaha pengembangan jenis-jenis substitusi untuk mengurangi

    tekanan terhadap eksploitasi kayu ramin, antara lain: perupuk, pulai,

    jabon, agathis, ganitri dan sebagainya.

    9. Adanya skema insentif kepada HPH yang mempunyai komitmen

    terhadap pelestarian ramin, dan disintensif terhadap HPH yang tidakmengelola hutannya dengan baik.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    8/159

    v

    KATA PENGANTAR

    HASIL RUMUSAN DAN REKOMENDASI NASIONAL KEBIJAKAN

    PENGELOLAAN RAMIN

    DAFTAR ISI

    LAPORAN PENYELENGGARA DAN SAMBUTAN

    - Laporan Ketua Panitia Penyelenggara

    - Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

    dan Konservasi Alam

    PRESENTASI DAN DISKUSI

    Makalah Presentasi Workshop

    - Current Growing Stock of Ramin in Indonesia

    Dr. M. Bismark, Ir. AriWibowo, M.Sc, Dra. Titi Kalima, M.Si,

    Ir. Reny Sawitri, M.Sc

    - Potensi, Pertumbuhan dan Regenerasi Ramin

    (Gonystylus spp) di Hutan Alam di Indonesia

    Dr. Machfudh dan Rinaldi, S.Hut

    - Populasi Ramin (Gonystylus bancanus) di Hutan Alam;

    Regenerasi, Pertumbuhan dan Produksi

    Dr. Tukirin Partomihardjo

    - Evaluasi dan Penyesuaian Praktek/Sistem Silvikultur Hutan

    Rawa Gambut di Indonesia khususnya untuk Jenis RaminDr. Istomo

    - Potensi Permudaan Alam di Areal Tegakan Tinggal Hutan

    Alam Ramin Campuran

    Dr. Harun Alrasyid

    - Integrated Policy for Ramin: Toward Ecological and Social

    Sustainability and Fair Distribution of Ramin Benefits

    Dr. Taufiq Alimi

    - Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Ramin

    Ir. Lasmin

    - Pilihan Kebijakan untuk Penyelamatan Ramin di Indonesia

    Dr. Slamet R. Gadas

    - Kebijakan yang Perlu Diambil dalam Upaya Pelestarian dan

    Pemanfaatan Ramin (Gonystylus spp)

    Prof. Dr. Herujono Hadisuparto

    i

    iii

    v

    3

    4

    9

    25

    40

    55

    82

    86

    91

    101

    109

    DAFTAR ISI

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    9/159

    vi

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGSemiloka Nasional 2005

    Makalah Penunjang

    - Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dan

    Intensitas Naungan Terhadap Pertumbuhan Ramin

    (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) di Areal Bekas Tebangan

    Dr. Abdurrani Muin

    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

    - Kesimpulan dan Rekomendasi Sidang Pertama

    - Kesimpulan dan Rekomendasi Sidang Kedua

    AGENDA WORKSHOP

    DAFTAR PESERTA

    123

    135

    138

    143

    147

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    10/159

    1

    LAPORAN PENYELENGGARA

    DAN

    SAMBUTAN

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    11/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    2

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    12/159

    3

    LAPORAN KETUA PANITIA PENYELENGGARA

    Oleh:

    Ir. Tajudin Edy Komar, M.ScKoordinator Pre-Project ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F)

    Assalamualaikum, wr.wb.

    Bapak-bapak dan Ibu-ibu peserta workshop yang terhormat,

    Perlu kami laporkan bahwa workshop ini merupakan kegiatan dari Pre-

    project ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F) dalam rangka penyelamatan ramin yang

    tumbuh di Indonesia.

    Dr. Hiras Sidabutar, Project Manager ITTO Komisi Reforestation and Forest

    Management meminta secara khusus agar policy mengenai pelestarian dan

    pemanfaatan ramin dapat secara konkrit kita rumuskan.

    Bapak-Bapak dan Ibu-ibu sekalian

    Dalam workshop ini kami sudah mengundang para ahli dan para pihak yang

    berkompeten untuk hadir dalam acara ini sehingga diharapkan dapat

    memperoleh hasil yang optimal. Undangan tersebut antara lain lingkup

    Departemen Kehutanan yaitu Ditjen BPK, PHKA dan Badan Litbang, Biro

    KLN, Dinas kehutanan, LIPI, Biotrop Perguruan Tinggi dan LembagaSwadaya masyarakat seperti LEI, Telapak, FWI, Komphalindo serta swasta

    kehutanan antara lain PT Diamond Raya Timber dan Inhutani.

    Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu sehingga

    terselenggaranya acara ini kami ucapkan banyak terima kasih. Dan kami

    mohon maaf apabila terdapat kekurangan.

    Demikian, terima kasih atas partisipasinya

    Wassalamualaikum wr. wb.

    Tajudin Edy Komar

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    13/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    4

    SAMBUTAN KEPALA PUSATPENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

    DAN KONSERVASI ALAM

    Oleh: Ir. Anwar, M.Sc

    Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam

    Assalamualaikum wr. Wb.

    Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.

    Yang saya hormati Bapak-Bapak dan Ibu ibu sekalian

    Pertama-tama marilah kita panjatkan puji serta syukur kehadirat Tuhan YME

    yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada kita semua

    sehingga pada pagi hari ini kita dapat hadir bersama-sama dalampertemuan ini. Pertemuan yang bertajuk Workshop Nasional Ramin ini

    diselenggarakan atas kerja sama P3HKA dengan International Tropical

    Timber Organization (ITTO) melalui ITTO PPD 87/03 Rev. 2 (F).

    Pertemuan semacam ini, yang telah beberapa kali diselenggarakan

    diharapkan menjadi media saling tukar fikiran, berbagi pengalaman dan

    membangun hubungan kerjasama pihak-pihak yang menggeluti baik

    praktisi yang terlibat langsung maupun sebagai pengamat soal Ramin.

    Kami menyadari bahwa banyak data, informasi dan pengetahuan tentang

    ramin yang terserak di berbagai tempat, dan oleh karena itu, sekali lagi,

    mudah-mudahan pertemuan ini dapat menjadi tempat yang baik untuk

    mengumpulkan data dan informasi yang terserak tadi. Paling tidak, dapatmenjadi langkah awal untuk menuju pembangunan hutan ramin yang lestari,

    bermanfaat dan sekaligus mensejahterakan masyarakat.

    Hadirin dan para undangan yang saya hormati,

    Ramin (Gonystylus spp) merupakan salah satu jenis pohon penting di

    Indonesia dan merupakan jenis pohon yang hanya dapat tumbuh dengan

    baik di hutan rawa gambut di P. Sumatera dan Kalimantan. Kayu ramin

    sudah sejak lama dikenal dan di pasar kayu ini memiliki harga jual yang

    tinggi. Namun demikian, karena tingginya harga jual tersebut, ditambah

    dengan besarnya kebutuhan pasar terhadap jenis ini menyebabkanterjadinya kegiatan penebangan yang marak dimana-mana.

    Penebangan ramin berlangsung meluas di P. Sumatra dan Kalimantan,

    secara legal maupun illegal, di dalam hutan produksi maupun di hutan

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    14/159

    5

    konservasi. Saat ini penebangan ramin cenderung mengarah ke kegiatan

    penebangan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, sebelum ramin menjadi

    jenis flora yang punah maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah

    pengamanan dan pengendalian. Salah satu langkah yang telah ditempuh

    pemerintah adalah dengan menetapkan kebijakan penghentian sementara(moratorium) penebangan ramin pada tahun 2001 dan selanjutnya

    memasukkan ramin dalam Appendix III CITES pada tahun yang sama.

    Untuk lebih meningkatkan upaya pengawasan dan pengendalian peredaran

    dan perdagangan ramin, maka pada tahun 2004 ramin masuk dalam Ap-

    pendix II.

    Upaya pengendalian yang telah diterapkan tersebut ternyata masih belum

    mampu mengatasi terjadinya illegal loggingdan illegal trade jenis ramin,

    skema penebangan dan perdagangan diluar ketentuan masih saja terjadi.

    Sementara disisi yang lain, kita sampai saat ini juga masih belum dapat

    mengetahui secara pasti status dan potensi atau ketersediaan tegakan

    ramin yang masih tersisa di hutan alam. Upaya penanaman yangdimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan tegakan ramin, sampai saat

    ini juga masih terbatas pada skala percobaan (research trials) dan

    keberhasilan percobaan ini juga masih tergolong rendah.

    Hadirin dan para undangan yang saya hormati,

    Menyadari kenyataan tersebut di atas, kita harus bekerja keras untuk

    menghadapi tantangan yang membentang di hadapan kita. Tantangan

    utama yang perlu kita selesaikan, menurut hemat saya, adalah untuk

    mendapatkan data dan informasi yang akurat tentang potensi dan distribusi

    ramin di hutan alam, mengembangkan upaya-upaya pemanfaatan yanglestari serta langkah-langkah konservasi yang harus ditempuh untuk

    perlindungannya.

    Pada tanggal 28 September 2005 yang lalu Badan Litbang Kehutanan telah

    melaksanakan semiloka tentang ramin dengan tema Konservasi dan

    Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia melalui Regulasi Perdagangan

    dan Pemacuan Alih Teknologi, Penanaman dan Teknik Silvikultur.

    Berdasarkan hasil semiloka tersebut dan melihat kembali laporan-laporan

    teknis dari kegiatan pra-project, menunjukkan bahwa masih diperlukan

    adanya diskusi-diskusi lanjutan yang lebih mendalam terutama untuk

    mengidentifikasi berbagai kebijakan yang perlu diambil dalam upaya

    konservasi ramin dan pemanfaatannya secara lestari. Terkait dengan upayapemanfaatan ini, pengembangan teknik silvikultur dalam pengelolaan

    tegakan ramin menjadi prioritas yang perlu mendapatkan perhatian kita.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    15/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    6

    Dengan melihat banyaknya topik yang harus di kaji dan didiskusikan, kami

    menyadari bahwa waktu sehari ini sangatlah terbatas dan kurang memadai.

    Namun demikian, saya sangat berharap bahwa melalui workshop sehari ini

    kita dapat berdiskusi secara langsung dan lebih konkrit pada aspek-aspek

    prioritas menuju pengelolaan ramin yang lestari.

    Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang

    komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

    masukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan hutan ramin dimasa

    mendatang. Akhirnya dengan mengucapkan syukur kehadirat Tuhan YME

    dan memohon tuntunan-Nya saya nyatakan Workshop Nasional Sehari

    tentang Policy Options on the Conservation and Utilization of Ramin ini

    secara resmi dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya di forum ini. Semoga

    Tuhan YME selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara

    ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Bogor, 22 Februari 2006

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    16/159

    7

    PRESENTASI

    DAN

    DISKUSI

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    17/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    8

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    18/159

    9

    CURRENT GROWING STOCK OF RAMIN

    IN INDONESIA1)

    By: M. Bismark, Ari Wibowo, Titi Kalima and Reny Sawitri2)

    ABSTRACT

    Ramin is a trade name of tropical wood or trees belonging to genus Gonystylus, family of

    Thymeleaceae. The number of species within the genus Gonystylus is 30 species.

    However in this study, ramin refers to Gonystylus bancanus Miq. Kurtz, a species that has

    natural distribution in peat swamp forest. Indonesia is natural habitat of ramin. Five

    provinces in Indonesia namely Riau, Jambi, South Sumatera, Central Kalimantan and

    West Kalimantan are known as ramin main producers. Results of this study showed that

    potency of ramin with diameter of 20 39 cm in five provinces varied from 0.02 5.08

    trees/ha with volume of 0.08 10.48 m3/ha, or average of 4.3 trees/ha with volume of 5.3

    m3/ha. total potency of ramin in five provinces was 14,757,221 m3 or 11.3 % from potency

    reported in 1983. Habitat degradation reached 46.4 % from total area in 1983. 31.1% of

    ramin habitat was on conservation areas, with potency 27.1% of all estimated ramin

    potency. Although some conservation efforts have been done, there have been ramin

    habitat degradation and reduction of ramin potency, mainly due to forest conversion,

    illegal logging and trade, in-appropriate system of forest concession and forest fires.

    Keywords : Ramin potency, growing stock, conservation

    INTRODUCTION

    Ramin is a trade name of tropical wood or trees belonging to genus

    Gonystylus family of Thymeleaceae. The number of species within the

    genus Gonystylus is about 30 species. Fifteen species ofGonystylus spp.

    are listed under the world list of threatened species based on the IUCN

    Category (IUCN, 2000), in which Gonystylus spp. are classified as vulner-

    able species. According to Airy Shaw (1954), ramin is local name for the

    species ofGonystylus bancanus, G. velutinus, G. micranthus, and G.

    xylocarpus. However in this study, ramin refers mainly to Gonystylus

    1 Disampaikan pada Workshop Nasional Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin,

    Bogor, 22 Pebruari 20062 Forest and Nature Conservation Research and Development Center

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    19/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    10

    bancanus Kurz, a species that naturally grows in peat-swamp forest as its

    habitat. In Sumatera and Kalimantan ramin are found in peat or freshwater

    swamp forests, and the existence and abundance of this species correlated

    strongly with the peat depth. In Central Kalimantan, the most abundant

    ramin trees exist at peat land more than 600 cm depth (Istomo, 1998).

    Currently, the demand of this species is far beyond its growth and regenera-

    tion capability. Over-exploitation of ramin has been occurring and has

    threatened the sustainability of this species. The sustainability of ramin is

    under threat also due to silviculture of the species that has not been totally

    known. Currently, illegal harvesting and trade also main causes of the

    destruction of ramin population. Other major threat to ramin forest is forest

    degradation. Much of the peat swamp forest area has been subject to

    degradation caused by conversion to other uses and forest fires.

    To conserve this species in Indonesia, logging ban was imposed in 2001 by

    the issue of the decree of the Minister of Forestry No. 127/2001. Since 2001,harvesting and export of ramin have been based on annual harvest quota

    set by the Government of Indonesia. The quota is provided to forest con-

    cessions that hold certificate of Sustainable Forest Management (SFM). In

    addition, based on the Decree of the Minister of Forestry No. 168/2001, no

    ramin export in the forms of log and sawn timber is allowed. Since October

    2004, ramin has been listed in Appendix II of CITES.

    To determine the best action for sustainability of ramin in the future, it is

    important to identify current condition of ramin, especially in five provinces of

    ramin potential areas (Jambi, Riau, South Sumatera, West Kalimantan and

    Central Kalimantan), regarding its potency, distribution and conservation

    status, as the objective of ITTO funded activity.This paper is mainly based on the report of ITTO activities that mainly

    collected secondary data to achieve output 1.1. Complete Data on Ramin

    Potency and Conservation Status. Data were collected from secondary data

    and direct investigation, including interview to personnel in the field and

    offices.

    HABITAT OF RAMIN

    Vegetation maps based on landsat imageries interpretation issued by

    Forestry Planning Agency (2002), showed total area of peat swamp forest in

    five provinces as main habitat of ramin (Riau, Jambi, South Sumatera,West Kalimantan and Central Kalimantan) was 6,716,000 ha, (Table 1). In

    1983, total area for five provinces was 12,526,000 ha (Directorate of For-

    estry Planning, 1983). This comparison shows reduction of potential areas

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    20/159

    11

    of ramin habitat in five provinces to be 53.6 % of initial potency in 20 years.

    From total peat swamp area of 6.716.000 ha, 30.9 % or 2,078,600 ha is

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    21/159

    13

    Data from cruising result in some forest concessions that were collected in

    this study from five provinces in the year of 1995 2002, for the highest, the

    lowest potency per hectare and actual average potency are shown in

    Table 3. Analysis to calculate average potency of standing stocks of number

    and volume of ramin was also carried out for five provinces, Riau, Jambi,South Sumatera, West Kalimantan and Central Kalimantan as presented in

    Table 4.

    Table 3. The highest and the lowest potency of ramin according to the

    result of cruising by forest concessions (data 1995 2002)

    Source : Cruising Report of forest concessions (data 1995-2002), analyzed by Study Team

    Remark : N = Number of trees per hectare ; V = Volume of trees m3/ha

    Diameter 20 39 cm Diameter > 40 upProvince

    N/ha V/ha N/ha V/ha

    RiauJambiSouth Sumatera

    West KalimantanCentral Kalimantan

    0.02-4.290.28-2.441.0-4.0

    0.29-3.720.23-5.08

    0.10-8.690.36-2.450.52-2.28

    0.44-5.650.08-2.23

    0.21-10.480.38-4.080.40-6.67

    0.37-4.420.18-3.62

    0.04-19.260.86-11.030.97-12.26

    0.97-11.120.34-6.56

    Table 5 shows average percentage of remaining ramin trees to total ramin

    trees if all trees with diameter 40 cm up were harvested, and percentage of

    ramin volume to total trees with diameter 40 cm up (data 1995 2002).

    The Table shows that average ramin trees left after harvesting were more

    than 50 percent, meaning that there were more trees with small diameter

    (< 40 cm). Moreover, average volume of ramin to total trees harvested was

    about 8%, or in 1995 - 2002 ramin trees were no longer dominant in forest

    concession areas.

    Table 4. Average potency of ramin according to the result of cruising by

    forest concessions (data 1995 2002)

    Source : Cruising Report of forest concessions (data 1995-2002), analyzed by Study Team

    Remark : N = Number of trees per hectare ; V = Volume of trees m3/ha

    Diameter (Cm)

    20 39 > 40 TotalProvince

    N V N V N V

    RiauJambiSouth SumateraWest KalimantanCentral Kalimantan

    1.872.113.752.691.31

    1.011.751.201.310.65

    1.982.112.921.830.92

    4.694.833.506.101.53

    3.854.226.674.522.23

    5.76.584.707.412.18

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    22/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    14

    Based on data of average potency (Table 4) and current extent of peat

    swamp forest (Table 1), and also considering potency, population, volume

    and illegal logging, current potency of ramin trees with diameter of 20 cm up

    for five provinces is estimated as shown in Table 6. Extent of potential

    ramin habitat for primary and secondary peat swamp forest is assumed

    only 80% from total area, and 20 % of which has been illegally logged.

    Estimation of ramin potency in secondary forest is based on data on logged

    over areas, which the remaining trees were those with diameter of 20-39

    cm, as parent trees available after harvesting. It is also assumed that 30%

    of trees in LOA have been illegally logged.

    Estimation of current potency of standing stock is 14,757,221 m3 or 11.3 %

    from potency in 1983 as shown in Table 6. However, establishment of

    conservation areas that achieve 31.1 % of total current habitat supports

    rescue of ramin population. The lowest population of ramin was found in

    South Sumatera. This is due to small remaining forest areas as ramin

    habitat, and high intensity of illegal logging as shown in Table 9.

    Description of current condition was taken from PT Diamond Raya Timber

    in Riau Province as the only concession that has been provided permit to

    harvest ramin. Report from Integrated Team (2003), from sample plots on

    2002 cutting plot in Forest Concession of PT Diamond Raya Timber, Riau,

    there were found that population of Ramin in study area was 4-5 trees

    (diameter > 10 cm) per hectare or 400 - 500 trees per cutting block (100

    ha). Pattern of diameter class distribution showed abnormal distribution,

    with more big trees (diameter > 40 cm) compared with smaller diameter

    (diameter 10 39 cm).

    Table 5. Average percentage of remaining ramin trees after harvesting to

    total ramin trees and percentage of ramin volume to total trees

    with diameter 40 cm up according to the result of cruising by

    forest concessions, (data 1995 2002)

    Source : Cruising Report of forest concessions (data 1995-2002), analyzed by Study Team

    Percentage of remainingramin trees in LOA (%)Province

    N V

    Percentage of raminvolume to total trees(diameter > 40 cm)

    RiauJambiSouth SumateraWest KalimantanCentral Kalimantan

    50.6757.8366,0

    39.3268.0

    24.7321.5829.024.9647.26

    8.258.198.834.98

    12.41

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    23/159

    15

    Average data of current condition based on report of Integrated Team (2002,

    2003 and 2004) and data from PT Putra Duta Indah Wood, Jambi, as the

    only forest concession on peat swamp forest that is still in operation are

    shown in Table 7. The Table shows that potency in Riau (PT Diamond Raya

    Timber) is higher than in Jambi (PT Putra Duta Indah Wood). Meaning that

    PT Diamond Raya Timber is suitable to be provided quota for ramin har-

    vesting based on current regulation of CITES.

    Table 6. Estimation of current potency of ramin trees standing stocks

    (diameter > 20 cm) in five provinces

    Source : Cruising Report of forest concessions (data 2002-2004), analyzed by Study Team

    Remark : N = Number of trees per hectare ; V = Volume of trees m3/ha

    Riau N 385.795,50 3.612.591,05 3.998.386,60

    V 567.457,80 1.783.931,46 2.351.389,26

    Jambi N 407.553,70 755.272,52 1.162.826,22

    V 638.448,50 653.731,77 1.292.180,30

    South Sumatera N 55.098,56 205.212,00 260.310,56

    V 38.315,20 67.058,80 105.374,08

    West Kalimantan N 328.575,50 6.126.419,53 6.455.495,03

    V 517.306,95 3.362.659,75 3.879.966,20

    Central Kalimantan N 395.016,40 6.048.654,70 6.443.671,10

    V 504.974,20 6.623.833,70 7.128.312,88

    Table 7. Average current potency of ramin in Riau and Jambi

    Province

    Remark : Analyzed by Study Team

    N = Number of trees per hectare ; V = Volume of trees m3/ha

    Potency

    Habitat

    Primary PeatSwamp Forest Secondary PeatSwamp Forest Total

    Diameter (Cm)

    20 39 > 40Province / Concession Area

    N V N V

    Riau (PT Diamond Raya Timber)Jambi (PT Putra Duta Indah Wood)

    1.221.46

    0.811.01

    4.480.44

    12.960.95

    Several studies have shown that in primary forest the number of big trees

    was more abundant compared with pole stage. This might be caused by

    competition of sunlight and site. Less sunlight on primary forest that could

    penetrate to forest floor caused small trees (pole stage) to gain less sun-

    light. Data from primary forest and LOA of PT PT Diamond Raya Timber,Riau are presented in Table 8. The Table shows that density of ramin in

    pole stages is the smallest in number compared with other stages, how-

    ever, the number of tree was smaller than pole in LOA.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    24/159

    16

    PROSIDING Workshop Nasional 2006

    Table 8. Average number of ramin trees per hectare (N/ha) in primaryforest and LOA of PT Diamond Raya Timber, Riau

    N/ha N/haStageRKT 2004 RKT 2005 LOA 2003 LOA 2004

    SeedlingSaplingPoleTree

    56220

    0.8012.51

    166583.3

    2.46

    4001601.671.67

    17256204

    In disturbed forest such as logged over areas, illegal logging areas andburned over areas, condition of ramin regeneration depend on severity ofdisturbances. Study by Daryono (1996) in Forest Concession Area of PTArjuna Wiwaha Forest Concession (PT Tanjung Raya Group) in Central

    Kalimantan showed that exploitation has reduced potency of trees. On oneyear old logged over area, there were no trees and poles of ramin found.On 10 years old logged over area, seedlings were found quite abundance.Study by Suwarso (1996) in Forest Concession of PT. SBA Wood Industry,South Sumatera showed negative impact of illegal logging and exploitationon regeneration of ramin as presented in Table 9.

    Table 9. Impact of forest management and illegal logging to potency andcomposition of ramin at some forest conditions in forest conces-sion area of PT SBA Wood Industries, South Sumatera

    Stage/

    Forest ConditionFreq. Dens. Dom. IVI (to)

    TreePrimary Forest 0.19 6.67 1.28 43.38LOA 0.14 3.75 0.37 27.39

    After Illegal Logging 0.02 0.04 0.07 15.86After Illegal Logging and LOA 0.04 1.00 0.05 49.82PolePrimary Forest 0.04 4.00 0.02 36.17LOA - - - -

    After Illegal Logging - - - -SaplingPrimary Forest 0.04 16.00 - 18.33LOA 0.02 8.00 - 16.03

    After Illegal Logging - - - -SeedlingPrimary Forest - - - -LOA - - - -

    After Illegal Logging - - - -

    Source : Suwarso (1996), analyzed by Study Team

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    25/159

    17

    RAMIN POTENCY IN CONSERVATION AREAS

    Conservation of peat swamp forest ecosystem as ramin habitat has beencontinued by establishment of nature reserves, arboretum, peat land nature

    laboratory, and national park. The management is carried out by NatureResource Conservation Institute (BKSDA), educational institutions, localgovernment, and NGO. Some conservation areas as ramin habitat thathave been established in some provinces are shown in Table 10. Theseconservation areas are known as habitat for ramin, however, in most areasthere are no data of inventory regarding potency ramin. Estimation ofpotency is based on assumptions that 80% of conservation areas haveramin vegetation, of which, 10% has been illegally logged. Potency perhectare is approached from data of cruising result report from the nearestforest concession.

    Although many conservation areas have been established, threats to

    sustainability of these areas have been becoming more intense. Majorthreats are due to illegal logging, over exploitation, forest fires, mining andother habitat degradation. Currently, due to illegal logging, forest fire andillegal mining, there was no ramin or other species regeneration. Even, peatswamp forest has changed into sand fields and ponds as the result of soilpiling process for gold mining.

    Table 10. Conservation areas as ramin habitat and estimation potency oframin trees

    Province Name of Conservation Area Area(ha)

    Potency(Trees)

    Volume(m

    3)

    Riau Kerumutan Game ReserveTasik Belat Game ReserveDanau Pulau Besar Game ReserveBukit Batu Game ReserveTasik Besar Game ReserveTasik Serkap Game ReserveSenepis National Park

    120,0002,500

    24,00024,000

    3,2006,900

    60,000

    236,6047,124

    71,42468,567

    9,14219,71393,405

    501,31610,444

    104,441100,263

    13,36828,826

    128,066

    Jambi Berbak National Park 162,000 509,039,5 733,528,2

    SouthSumatera

    Sembilang National Park 219,120 230,733 332,487

    CentralKalimantan

    Tanjung Puting National ParkSebangau National ParkNyaru Menteng Arboretum

    414,000589,000

    65

    697,505510,892

    57

    624,804373,287

    41

    WestKalimantan

    Mandor Nature ReserveMuara Kendawangan NatureReserveDanau Sentarum Nature Reserve

    3,080150,000

    80,000

    10,491510,948272,506

    16,757816,100434,253

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    26/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    27/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    18

    Establishment of conservation areas was mainly due to conservation of

    habitat for endangered wildlife, such as establishment of Senepis National

    Park on area 60,000 ha in Riau, as habitat of sumatran tiger (Phantera tigris

    sumatrae). However, there is advantage by establishment of conservation

    area. It also means extension of habitat for important flora species such asramin. In Kalimantan, insitu conservation for ramin is important because

    ramin trees area also used by orang utan (Pongo pygmaeus) and Bekantan

    (Nasalis larvatus), as endangered and rare species that are only found in

    Indonesia, as source of food, nesting place and cover.

    In Jambi, Berbak National Park Berbak has been managed through support

    of management planning for its buffer zone. Its part of buffer zone area has

    direct border with Forest Concession of PT Putra Duta Indah Wood. Man-

    agement of buffer zone area was confirmed by the issue of Governor

    decree No. 320 /1990 regarding confirmation and management of buffer

    zone of Berbak National Park. However, there has been issue of national

    park management due to illegal logging, and search for jelutung gum (Dyeracostulata) to national park through rail-road in Forest Concession. The

    report said that 40 % of national park area has been damaged due to illegal

    logging and forest fires (Kompas, March, 2005).

    In Berbak, management of national park has carried out improvement of

    damage habitat by planting of ramin seedlings, totaling 22,000 seedlings.

    The seedlings were supplied by Forest Concession of Putra Duta Indah

    Wood, as buffer zone of the national park. By considering the success of

    enrichment of ramin species in Forest Concession area, it is expected that

    the success will also occur in national park. Main issue to achieve high

    survival of ramin plantation is its ecological dependency to shade and

    humidity. In this case, forest fires that often occur might result in unfavor-able condition for the growth of ramin plantation.

    In-situ protection of ramin as well as other associated tree species would

    increase conservation area of the species. With consideration for conser-

    vation of ramin, it is required to activate forest concessions that have ramin

    potency. Active forest concessions would ensure that conservation of the

    species is maintained and monitoring is easy to be applied. This would also

    improve protection effort and conservation of ramin outside conservation

    area. Moreover, some Forest Concessions that are still active have made

    some efforts to produce seedlings. For examples, PT Diamond Raya

    Timber in Riau has made trial by planting of ramin from shoot cutting seed-

    lings. In 2003, PT Putra Duta Indah Wood in Jambi procured 14,000 raminseedlings from wild to rehabilitate post fire area of Berbak National Park.

    This activity was continued by phase II planting of 6000 seedlings and phase

    III by 2000 seedlings. In 2005, PT Putra Duta Indah Wood would make

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    28/159

    19

    plantation of 5,000 ramin seedlings for enrichment of 200 ha logged over

    area.

    Considering Forest Concessions important role for sustainability of seed

    sources and remaining ramin trees, it is required special policy in manage-ment of Forest Concession area. Forest concessions that have extended

    permit should be supported to apply sustainable forest management. Major

    issue that threat sustainable forest management is illegal logging. This

    issue should be overcome integratedly by involving related institutions.

    Community in surrounding forest area should be involved to improve pro-

    ductivity of peat forest through rehabilitation and development of social

    forestry by planting of mix species ramin with other leading local species.

    CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS

    Conclusions

    1. Indonesia is natural habitat of ramin (Gonystylus spp). Five provinces

    in Indonesia Riau, Jambi, South Sumatera, Central Kalimantan and

    West Kalimantan are known as ramin producers. Ramin genus is

    found in habitat from swamp forest, low-land forest, to high land forest.

    Especially forGonystylus bancanus Kurz as main object of this study,

    the habitat is in peat swamp forest.

    2. There has been ramin habitat degradation. From initial area of peat

    swamp forest in five provinces (Riau, Jambi, South Sumatera, West

    and Central Kalimantan) that covered 12,526,000 ha (in 1983), current

    data from the result of satellite imageries interpretation showed theextent of peat swamp forest of 6,716,000 ha or 53.6 % from total area

    extent in 1983.

    3. In nature, population of ramin is influenced by peat depth. The highest

    population of ramin is found on peat soil with depth of over 3 m. Range

    of density and volume of ramin in every province varies depending on

    habitat, extent of surveyed area and year of observation. Potency of

    ramin with diameter of 20 39 cm in five provinces varies from 0.02

    5.08 trees/ha with volume of 0.08 10.48 m3/ha, or average of 4.3

    trees/ha with volume of 5.3 m3/ha. Volume of ramin to total volume of all

    species (diameter > 40 cm) the highest was 12.41%. Remaining

    stands of ramin after harvesting, the highest was 68 % with volume

    47.26 % of initial potency.4. Estimation to total potency of ramin with assumptions that potential area

    for ramin 80%, and illegal logging 10% - 20%, total potency of ramin in

    five provinces was 14,757,221 m3 or 11.3 % from potency reported in

    1983. Habitat degradation reached 46.4 % from total area in 1983.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    29/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    20

    31.1% of ramin habitat was on conservation areas, with potency 27.1%

    of all estimated ramin potency.

    5. Forest concessions has significant role in ramin conservation.

    Establishment of conservation area for plant and wildlife conservation,

    as well as efforts by forest concessions to establish ramin plantation for

    enrichment planting. Therefore, some forest concessions that have

    ramin potency after moratorium are assumed to conserve ramin

    standing stock. However, due to technical issues, some forest

    concessions with time extension permit have stopped their operation.

    This condition has led to increasing number and intensity of il legal

    logging, because no more control for the area and infrastructure belong

    to forest concession is still available to make easy illegal logging.

    6. Although conservation efforts have been done, ramin is still under threat

    mainly due to conversion of peat swamp forest to other land uses,

    illegal logging and trading, and forest fires.

    Suggestions

    1. No more conversion of peat swamp forest especially with ramin

    abundance potency into other land uses.

    2. A need to make accurate inventory on potency and distribution of ramin

    in the field to determine necessary steps in management and

    conservation of ramin.

    3. Provide incentives to ramin potential forest concessions to operate with

    special regulations that ensure sustainability of ramin in its area.

    4. More control to conservation areas with ramin potency .

    REFERENCES

    Airy Shaw. 1954. Thymelaeaceae-Gonystyloideae. In C.G.G.J. Van Steenis

    (Editor) Flora Malaysiana. Ser. I. Vol. IV. Noordhoff-Koef. NV.

    Jakarta. p. 358 365

    Bhara Induk, PT. 2000. Annual Work Plan (RKT) of PT Bhara Induk. Riau

    Budaya Hutan Alam, PT. 2000. Enironmental Monitoring Plan. Kapuas

    District, Central Kalimantan.

    CITES. 1994. Trade in Plants Specimen of Ramin Gonistylus bancanus.

    Document Submitted at the 9th meeting of the Conference of the

    Parties of CITES. Fort Landerdale, USA. November. 1994.

    Unpublished.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    30/159

    21

    CITES. 2004. Convention on International Trade in Endangered Species of

    Wild Fauna and Flora : Appendices I and II of CITES Thirteenth

    meeting of the conference of the Parities. 3 14 October 2004.

    Bangkok. Thailand.

    Daryono. 1996. Condition of Standing Stock and Natural Regeneration of

    Peat Swamp Forest after Loging ant Its Propagation Technique.

    Discussion of Research Results to Support Sustainable Forest

    Utilization. Cisarua 11-12 March 1996. Forest and Nature

    Conservation Research and Development Center, Bogor.

    Dexter Kencana Timber, PT. 2001 and 2002. Annual Work Plan (RKT) of

    PT Dexter Kencana Timber. Riau

    Diamond Raya Timber, PT. 1999. Annual Work Plan (RKT) of PT Diamond

    Raya Timber. Riau

    Directorate of Forestry Planning. 1983. Potency and Distribution of

    Commercial Wood in Indonesia. Ramin Book 3. Directorate General

    of Forestry, Ministry of Agriculture. Jakarta.

    Essa Indah Timber, PT. 1996 and 1998. Annual Work Plan (RKT) of PT

    Essa Indah Timber. Riau

    Expra Baru, PT. 1992 and 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT Expra

    Baru. Riau.

    Faculty of Agriculture Researcher Team. 1990. Vegetation Analysis of Flora

    and Fauna in Game Reserve Area Mandor, West Kalimantan. Report

    of Research by Faculty of Agriculture of Tanjung Pura University,

    Pontianak, West Kalimantan

    Forestry Planning Agency. 2002. Vegetation Maps of Riau, Jambi, South

    Sumatera, West Kalimantan and Central Kalimantan. Ministry of

    Forestry. Jakarta.

    Forestry Planning Agency. 2005. Data of Log Production from Natural

    Forest Concession per Province 1991-2004. Jakarta.

    Harapan Baru Wood Co, PT. 1995 and 1997. Annual Work Plan (RKT) of

    PT Harapan Baru Wood Co. Riau

    Integrated Team. 2003. Report on The Result of Field Assessment of

    Ramin Potency (Gonystylus bancanus Kurz.) in Forest Concession

    (HPH) of PT Diamond Raya Timber for 2003 Annual Work Plan (RKT).

    Integrated Team. 2004. Report on The Result of Field Assessment of

    Ramin Potency (Gonystylus bancanus Kurz.) in Forest Concession

    (HPH) of PT Diamond Raya Timber for 2004 Annual Work Plan (RKT).

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    31/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    22

    Istomo. 1998. The Distribution of Ramin Ramin (Gonystylus bancanus

    Kurtz.) in the Peat Forest (Case study in PT Inhutani III. Central

    Kalimantan). Laboratory of Forest Ecology. Faculty of Forestry.

    Forest Management Bulletin: p. 33 39.

    IUCN. 2000. Red List at Threatened Species. IUCN. Gland. Switzerland.

    Kangly Lumber, PT. 1998. Annual Work Plan (RKT) of PT Kangly Lumber.

    Riau

    Karya Delta Permai, PT. 1999. Environmental Impact Assessment (former

    Forest Concession of PT. Dacridium II), Barito Utara District, Central

    Kalimantan.

    Karya Indah Sakti Mandiri. PT. 2000. Environmental Impact Assessment,

    Barito Selatan District, Central Kalimantan.

    Kertas Basuki Rachmat, PT. 1998. Environmental Impact Assessment of

    Timber Estate, Ketapang District, West Kalimantan.Kompas. 26 March 2005. 40 Percent of Berbak National Park has been

    Encroached. Kompas, Saturday,.

    Kompas. 26 June 2005. 1,000 ha of Mandor Game Reserve turned into

    sand field. Saturday, 26 June 2005.

    Koperasi Serba Usaha Bajenta, 2000. Environmental Impact Assessment,

    District Kapuas, Central Kalimantan

    Kosmar Timur Raya, PT. 2001 Annual Work Plan (RKT) of PT Kosmar

    Timur Raya. Riau

    Lawang Haring Perkasa, PT. 1999. Environmental Impact Assessment,

    Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan.

    Lubis, I and I.N.N. Suryadiputra. 2003. Efforts in Integrated Management of

    Burned Over Peat Swap Forest in Berbak-Sembilang Area. In

    Suyatno, U. Chokkalingam and P. Widodo, eds.) Proceeding of

    Workshop: Fire in Peat Land of Sumatera: Issues and Solutions.

    CIFOR.

    Minister of Forestry Decree. 2001. Ammendment to Minister of Forestry

    Decree No. 168/Kpts-IV/2001. Regarding Utilization of Ramin

    (Gonystylus spp.).

    Ministry of Forestry. 2004. Staregic Data of Forestry. Ministry of Forestry.

    Jakarta.

    Moharison Pawan Khatulistiwa, PT. 2000. Environmental Impact

    Assessment of Forest Concession of PT Moharison Pawan

    Khatulistiwa, Ketapang District, West Kalimantan.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    32/159

    23

    Multi Eka Jaya, PT. 1996. Annual Work Plan (RKT) of PT Multi Eka Jaya.

    Riau

    Murphy, D. 2001. The 1998 Fall of Suharto has Set Off Logging Boom in

    Indonesias National Parks. The Christians Science Monitor, August23, 2001.

    National Timber, PT. 1998. Annual Work Plan (RKT) of PT National Timber.

    Riau

    New Union Timber, PT. 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT New Union

    Timber. Riau.

    Perkasa Baru , PT. 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT Perkasa Baru.

    Riau.

    Pratiwi. 2002. Impact of Forest Fire and Some Efforts to Rehabilitate Post

    Forest Area in Swampy Forest, Sungai Kumpeh, Jambi. Forest

    Research Bulletin No. 630/2002. Bogor.Putra Duta Indah Wood, PT. 2003, 2004 and 2005. Annual Work Plan

    (RKT) of PT Putra Duta Indah Wood. Jambi.

    Riau Putra Bersama, PT. 2000. Annual Work Plan (RKT) of PT Riau Putra

    Bersama. Riau.

    Rimba Karya Indah, PT. 1994, 1995, 1997, 1998, 1999, and 2001. Annual

    Work Plan (RKT) of PT Rimba Karya Indah. Jambi.

    Rokan Permai Timber, PT. 2001. Annual Work Plan (RKT) of PT Rokan

    Permai Timber. Riau.

    Rokinan Timber Corp, PT. 1999. Annual Work Plan (RKT) of PT Rokinan

    Timber Corp. Riau.

    Sejati Riau I, PT. 1994. Annual Work Plan (RKT) of PT Sejati Riau I. Riau.

    Setia Alam Jaya, PT.1993. Environmental Impact Assessment, Kapuas

    District, Central Kalimantan.

    Silva Bina Timber Co, PT. 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT Silva Bina

    Timber Co. Riau.

    Silva Sakti, PT. 1996. Annual Work Plan (RKT) of PT Silva Sakti. Riau.

    Soehartono, T and A. Mardiastuti. 2002. CITES Implementation in

    Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation. Jakarta.

    Soerianegara, I and R.H.M.J. Lemmens (Eds). 1994. PROSEA. Plant

    Resources of South East Asia 5 (1) Timber Trees : Major

    commercial timbers. PROSEA. Bogor.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    33/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    24

    Soerianegara, I. 1996. Evaluation and Determination of Ramin Forest

    Management System based on Sustainability. Collection of

    Researches. Faculty of Forestry, IPB. Bogor.

    Sri Buana Dumai, PT. 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT Sri BuanaDumai. Riau.

    Sumber Mitra Jaya, PT. 2000. Environmental Impact Assessment of Timber

    Estate, Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan.

    Sungai Rangit, PT. 2000. Environmental Impact Assessment, Kapuas

    District, Central Kalimantan.

    Suwarso. 1996. Peat Swamp Vegetation Damage Due to Illegal Logging in

    Forest Concession Area. Case Study in Forest Complex of Tanjung

    Koyan, Sungai Lumpur, OKI, South Sumatera. Magister Science

    Thesis IPB. Unpublished.

    The Best One Uni Timber, PT. 1994. Annual Work Plan (RKT) of PT TheBest One Uni Timber. Riau.

    Triomas FDI, PT. 1998, 1999 Annual Work Plan (RKT) of PT Triomas FDI.

    Riau.

    Ubbi Mekar, PT. 2000. Annual Work Plan (RKT) of PT Ubbi Mekar. Riau.

    Yos Raya Timber, PT. 1997. Annual Work Plan (RKT) of PT Yos Raya

    Timber. Riau.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    34/159

    25

    POTENSI, PERTUMBUHAN, DAN REGENERASIRAMIN (Gonystylus spp.) DI HUTAN ALAM

    DI INDONESIA1)

    Oleh: Machfudh dan Rinaldi2)

    ABSTRAK

    Ramin (Gonystylus spp) merupakan salah satu jenis pohon penting di Indonesia yang

    tumbuh di hutan rawa, khususnya rawa gambut. Sebelum mengalami eksploitasi yang

    besar-besaran, penyebaran jenis ramin di Indonesia hampir terdapat di hutan-hutan

    rawa/gambut di seluruh kepulauan Indonesia. Saat ini penyebaran ramin dalam skala

    besar hanya ditermui di daerah Sumatera (Riau, Jambi, Selat Karimata, Sumatera

    Selatan) dan Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan).

    Di daerah-daerah tersebut pun tegakan ramin yang relatif masih rapat dengan diameter

    pohon yang relatif besar kebanyakan hanya ditemui di kawasan-kawasan konservasi.

    Potensi ramin di Indonesia saat ini diperkirakan sebanyak 6.925.041 m 3 yang tersebar

    di daerah sumatra sekitar 1.602.334 m3 (3.732 m3/ha) dengan riap diameter 0.42 cm/

    tahun, dan di daerah Kalimantan sekitar 4.091.730 m3 (3.842 m3/ha) dengan riap

    diameter 0.53 cm/tahun. Keadaan diameter pohon di Kalimantan rata-rata lebih besar

    dibandingkan dengan diameter pohon di Sumatra. Riap tertinggi untuk jenis ramin

    terdapat pada kisaran diameter 40 50 cm untuk lokasi Sumatra dan 30 40 cm untuk

    lokasi Kalimantan.

    PENDAHULUAN

    Pengelolaan hutan dengan hasil yang lestari akan tercapai apabila besarnyahasil hutan yang dipungut sama dengan atau lebih kecil dari

    pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum

    dapat dikatakan bahwa jumlah hasil maksimum yang dapat diperoleh dari

    hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan

    sampai waktu itu, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat

    dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama dengan

    pertumbuhan/riap dalam periode waktu itu (Davis dan Johnson, 1987) Untuk

    menunjang pengelolaan hutan alam produksi secara lestari mutlak

    diperlukan data riap yang akurat. Data ini diperlukan sebagai dasar

    penetapan pertumbuhan pohon dan untuk menentukan jumlah pohon yang

    akan dipungut/dipanen.

    1 Disampaikan pada Workshop Nasional Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin,

    Bogor, 22 Pebruari 20062 Peneliti, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    35/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    26

    Riap yang dimiliki suatu jenis pohon berbeda dengan riap yang dimiliki jenis

    pohon lainnya. Ini berarti bahwa dengan semakin banyak tersedianya data

    mengenai riap untuk setiap jenis, maka penentuan kebijakan pengelolaan

    seperti panjang daur atau rotasi tebang, jatah tebangan tahunan, limit

    diameter tebang, dan sebagainya, akan lebih akurat dan memiliki dasarilmiah dan akan mengarah kepada terwujudnya pengelolaan hutan yang

    berkelanjutan. Namun demikian, gejala yang tampak ke permukaan adalah

    menurunnya produksi kayu dari hutan alam produksi, serta semakin

    besarnya kesenjangan (gap) dengan jumlah kebutuhan akan kayu sebagai

    bahan baku bangunan dan industri perkayuan. Meluasnya penebangan

    pohon tanpa ijin (illegal logging) dan peredaran kayu tanpa dokumen yang

    syah diindikasikan sebagai salah satu ekses dari menurunnya produksi

    kayu tahunan.

    Ramin (Gonystylus spp) merupakan salah satu jenis pohon komersial khas

    hutan rawa khususnya rawa gambut. Dengan nilai komersilnya yang tinggi,

    pohon ini disukai oleh banyak orang dan akibatnya banyak ditebang, baiksecara legal maupun illegal. Penebangan secara legal maupun ilegal ini

    telah meluas, tidak hanya di hutan produksi saja tapi sampai merambah ke

    kawasan konservasi. Penebangan ramin legal secara besar-besaran telah

    dilakukan sejak tahun 1970-an saat diberlakukan ijin pengelolaan hutan rawa

    gambut. Meskipun sejak tahun 1980 ekspor kayu gelondongan (termasuk

    ramin) dilarang, tetapi karena harga pasar yang melonjak, penebangan

    ramin tetap tinggi. Penebangan yang tidak terkendali tentu saja

    menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya ancaman kepunahan jenis

    ramin ini. Sebagai suatu bentuk usaha untuk mencegah semakin

    meluasnya penebangan ramin (terutama illegal logging), pemerintah telah

    mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No 127/Kpts-V/2001mengenai moratorium atau pembatasan penebangan dan perdagangan

    ramin yang kemudian diubah menjadi Surat Keputusan Menteri Kehutanan

    No 1613/Kpts-II/2001. Selain itu usaha lain dilakukan pemerintah Indonesia

    dengan mengusulkan penempatan ramin dalam Appendix III CITES (Con-

    vention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

    Flora) bahkan saat ini ramin telah ditingkatkan statusnya dari Appendix III

    menjadi Appendix II. Ini berarti perdagangan ramin dikontrol secara ketat

    dan dilakukan dengan system quota tebang. Dengan cara ini diharapkan

    populasi alami ramin tidak akan mengalami kepunahan.

    Artikel ini ditulis dengan maksud untuk melaporkan bagaimana keadaan

    potensi, pertumbuhan dan regenerasi ramin di Indonesia pada dekadeterakhir ini. Dengan informasi ini diharapkan para pengambil kebijakan

    masalah ramin baik kebijakan makro maupun kebijakan mikro di lapangan

    yaitu para manager lapangan dapat memiliki gambaran secara menyeluruh

    tentang situasi dan kondisi ramin di Indonesia, khususnya tentang potensi,

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    36/159

    27

    pertumbuhan dan regenerasinya. Ketiga informasi ini merupakan masukan

    yang sangat berguna dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan

    dengan pengelolaan ramin secara lestari.

    PENYEBARAN TEGAKAN RAMIN

    Pohon Ramin termasuk jenis yang memiliki kecenderungan hidup

    mengelompok dengan sebaran terbatas. Tinggi pohon ini bisa mencapai

    40 - 50 m dengan diameter mencapai 120 cm. Ramin tumbuh pada tanah

    podsolik, tanah gambut, tanah aluvial dan tanah lempung berpasir kwarsa

    yang terbentuk dari bahan induk endapan, dengan tingkat keasaman (pH)

    bervariasi dari 3,6 sampai dengan 4,4.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    37/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    38/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    39/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    40/159

    31

    Ramin termasuk jenis yang lambat tumbuh (slow growing species). Analisa

    data PUP oleh Kelti Biometrika Hutan, Puslitbang Hutan dan Konservasi

    Alam didapatkan hasil bahwa secara umum rata-rata riap diameter untuk

    jenis ramin ini yaitu 0,42 cm/tahun di Sumatera dan 0,53 cm/tahun di

    Kalimantan dengan model riap jenis Ramin untuk masing-masing lokasiyang disajikan pada Tabel 3.

    Tabel 3. Model riap jenis ramin berdasarkan data PUP

    Pana um2798-s e 355a3 68 Tw nm085062 05 1

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    41/159

    33

    KESIMPULAN

    1. Diperkirakan saat ini jenis kayu ramin hanya dijumpai di kawasan hutan

    rawa di pulau Sumatra, kepulauan di selat Karimatan dan pulau

    Kalimantan.2. Kawasan konservasi merupakan habitat ramin yang masih memiliki

    tegakan relatif rapat dan memiliki diameter pohon relatif besar.

    3. Berdasarkan data PUP yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia,

    potensi ramin di daerah Sumatra saat ini sekitar 3.73 m3/ha (1.1 pohon/

    ha) dengan riap diameter 0.42 cm/tahun. Total potensi tegakan ramin di

    Sumatra diperkirakan sebesar 1.602.334 m3. Potensi ramin di

    Kalimantan yang ada saat ini sekitar 3.84 m3/ha (0.76 pohon/ha) dengan

    riap diameter 0.53 cm/tahun. Total potensi ramin di seluruh Kalimantan

    diperkirakan sebesar 4.091.730 m3. Keadaan diameter pohon di

    Kalimantan rata-rata lebih besar dibandingkan dengan keadaan

    diameter di Sumatra.4. Riap tertinggi untuk jenis ramin terdapat pada kisaran diameter 40-50

    cm untuk lokasi Sumatra dan 30-40 cm untuk lokasi Kalimantan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Bastoni. 2005. Kajian Ekologi dan Silvikultur Ramin di Sumatra Selatan dan

    Jambi. Dalam Konservasi Dan Pembangunan Hutan Ramin di

    Indonesia. Prosiding Semiloka Nasional. Bogor. 28 September 2005.

    Hal. 124-139.

    Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management (3rd edition). Mc

    Graw Hill Book Company, New York.

    Direktorat Bina Program Kehutanan. 1983. Potensi dan Penyebaran Kayu

    Komersil di Indonesia. Ramin. Buku 3. Departemen Kehutanan,

    Direktorat Jenderal Kehutanan. Jakarta.

    Forest Watch Indonesia. 2002. RAMIN. Perdagangan Domestik dan

    Internasional. (http://www.fwi.or.id/index.php?lang=ina&link=Ramin).

    Diakses tanggal 15 Januari 2006.

    Friend of the Earth. 2006. http://www.maanystavat.fi/april/expansion/

    indo.html Diakses tanggal 14 Februari 2006.

    Hadisuparto, H. 2005. Berbagai Upaya Pelestarian Species, Populasi dan

    Hutan Ramin di Kalimantan. Dalam Konservasi Dan Pembangunan

    Hutan Ramin di Indonesia. Prosiding Semiloka Nasikonal. Bogor. 28

    September 2005. Hal. 50-59.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    42/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    34

    Istomo. 2005. Evaluasi Penanaman Ramin (Gonystylus spp) di Indonesia:

    Kendala dan Program Kegiatan dalam Pembangunan Hutan Tanaman

    Ramin. Dalam Prosiding Semiloka Nasional: Konservasi dan

    Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia melalui Regulasi

    Perdagangan dan Pemacuan Alih Teknologi Konservasi, Penanaman,dan Teknik Silvikultur. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan

    Konservasi Alam Bekerjasama dengan ITTO PPD 87/03 Rev.2(f):

    79-108.

    Partomihardjo, T. 2005. Potret Potensi Ramin (Gonystyllus bancanus) di

    Pulau Sumatra dan Ancaman Kepunahannya. Dalam Konservasi

    Dan Pembangunan Hutan Ramin di Indonesia. Prosiding Semiloka

    Nasional. Bogor. 28 September 2005. Hal. 35-49.

    Soerianegara, I, Istomo, U. Rosalina, dan I. Hilwan. 1996. Evaluasi dan

    Penentuan Sistem Pengelolaan Hutan Ramin yang Berazaskan

    Kelestarian. Rangkuman Penelitian hibah Bersaing II. Fakultas

    Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Tim Terpadu Ramin. 2005. Laporan Hasil Kajian Lapang Potensi Ramin

    (Gonystullus bancanus Mig. Kurz) di Areal IUPHHK PT Diamond Raya

    Timber Propinsi Riau (RKT 2006). Bogor.

    Universitas Tanjungpura. 1996. Pelestarian Plasma Ramin (Gonystyllus

    bancanus) in-situ di Kalimantan Barat. Kajian Perwakilan Ekosistem

    Kelompok Hutan Sungai Bakau Besar Darat. Dalam Kajian

    Permasalahan Lokal dan Nasional Hutan dan Kehutanan di Indonesia:

    Tinjauan, Prospek dan Strategi Menuju Pengelolaan hutan dan

    Pembangunan Kehutanan berkelanjutan. Hal. 19-27. Badan Penelitian

    dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    43/159

    35

    Lampiran 1. Peta sebaran tegakan ramin di beberapa kawasan konservasi.

    ( FWI: 2002)

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    44/159

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    45/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    36

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    46/159

    37

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    47/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    38

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    48/159

    39

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    49/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    40

    POPULASI RAMIN (Gonystylus bancanus

    (Miq.) Kurz) DI HUTAN ALAM: REGENERASI,PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI1)

    Oleh: Tukirin Partomihardjo2)

    ABSTRACT

    Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) has been known as a one of main trees of

    peat swamp forest. The natural population and distribution of ramin associated with the

    depth and distribution of peat. Field surveys by Ramin Team in 2005 at logging

    concession area of PT Diamond Raya Timber reported that population of ramin before

    logged was relatively high. However, the density of this species drastically decreased

    after logged. Distribution pattern of diameter classes of ramin compared with common

    trees is different. The regeneration of ramin could be broadly categories as shade

    tolerant or shade demanding as shown by the seedlng establishmen beneath closed

    canopy or under different mother trees. Studies in more detail were suggested to improve

    the understanding of biology of ramin for supporting the sustainable management of this

    species.

    Key words : dispersal, distribution, density, peat swamp, germination and seedlings

    establishment.

    PENDAHULUAN

    Dalam dunia perdagangan Ramin dikenal sebagai salah satu jenis kayu

    tropik yang tumbuh di hutan rawa gambut Indonesia, Malaysia dan Philipina.

    Di Indonesia nama Ramin diberikan pada 10 dari 30 jenis pohon anggota

    marga Gonystylus (Thymeleaceae). Namun dari 10 jenis penghasil kayu

    tersebut yang paling umum diperdagangkan sehingga mengancam

    populasinya di alam adalah Gonystylus. bancanus.(Miq.) Kurz

    Pada mulanya ramin bukan merupakan jenis kayu yang sangat diminati

    seperti saat ini. Perdagangan kayu ramin terbatas untuk kebutuhan dalam

    negri dan pasaran Asia terutama Jepang dan Taiwan. Dewasa ini,

    perdagangan kayu ramin telah meluas hingga di pasaran Eropa (Inggris,

    1 Disampaikan pada Workshop Nasional Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin,

    Bogor, 22 Pebruari 20062 Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Puslit Biologi LIPI

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    50/159

    41

    Belanda, Itali dan Jerman), Amerika, dan Austalia (Suhartono & Mardiastuti

    2002). Permintaan pasar akan kayu ramin terus meningkat sehingga

    mendorong penebangan dan eksploatasi ramin secara besar-besaran.

    Akibat eksploitasi dan eksport yang berlebihan, populasi ramin yang dikenalhanya berkembang di habitat rawa gambut terus menurun tajam.

    Meningkatnya permintaan akan barang-barang yang terbuat dari kayu ramin

    telah mengancam populasi ramin di hutan alam. Kondisi demikian telah me-

    nimbulkan kekhawatiran berbagai pihak akan ancaman kepunahan jenis

    tersebut. Melalui pembatasan perdagangan internasional dengan sistem

    CITES, penerapan sistem pengelolaan hutan lestari, penanaman dan

    pengkayaan ramin merupakan upaya penyelamatan ramin dari ancaman

    kepunahan.

    Berikut disampaikan berbagai informasi dan data terkini tentang ramin

    antara lain berkaitan dengan populasi dan potensi regenerasi penilaian

    produksi di habitat alam. Diharapkan data dan informasi yang terkumpul inidapat menjadi masukan dalam upaya menyelamatkan ramin dari ancaman

    kepunahan.

    HABITAT DAN PENYEBARAN RAMIN

    Ramin (Gonystylus bancanus) dikenal sebagai salah satu jenis pohon

    utama penyusun hutan rawa gambut pada tanah organik (gambut) terutama

    yang mengalami genangan air secara periodik dan juga daerah yang tidak

    tergenang hingga ketinggian 100 m di atas permukaan laut (Airy Shaw,

    1954). Berdasarkan spesimen herbarium, penyebaran ramin di Indonesia

    pernah dilaporkan dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Jawa raminpernah dikumpulkan dari daerah Pekalongan. Dewasa ini pohon ramin

    hanya dapat djumpai di kawasan hutan rawa gambut Sumatera, Kalimantan

    serta pulau-pulau kecil di Selat Karimata dan Malaka. Sisa tegakan ramin

    yang masih baik umumnya tinggal di kawasan konservasi baik taman

    nasional maupun cagar alam dengan gambut yang cukup tebal. Berikut

    disajikan persebaran dan luasan gambut dalam hingga sangat dalam yang

    diduga sebagai habitat ramin (Tabel 1)

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    51/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    42

    Di Sumatera, daerah yang memiliki tegakan ramin cukup luas dan baik

    antara lain Hutan Lindung Giam Siak-Kecil, Suaka Margasatwa Danau

    Bawah dan Danau Pulau Besar, Suaka Margasatwa Tasik Belat, Suaka

    Margasatwa Tasik Sekap, Suaka Margasatwa Bukit Batu dan Taman

    Nasional Berbak. Selain dalam kawasan konservasi, beberapa wilayah

    hutan produksi daerah rawa gambut yang masih memiliki tegakan ramin

    cukup bagus adalah HPH PT Diamond Raya Timber, PT.Rokan Permai,

    PT.Triomas FD (ketiganya merupakan anak perusahaan Uniseraya Group)

    dan PT Inhutani IV di Kabupaten Indragiri Hilir (Wahyunto dkk. 2004;

    Bismark et al. 2005).

    Di Kalimantan, ramin dapat dijumpai di Taman Nasional Tanjung Putting,DAS Sebangau dan DAS Mentaya (Kalimantan Tengah), sedang di

    Kalimantan Barat ramin pernah dilaporkan dari Kabupaten Sambas, Cagar

    Alam Mandor, Cagar Alam Muara Aman, Gunung Nyiut, Suaka Margasatwa

    Pleihari, Taman Nasional Danau Sentarum dan Taman Nasional Gunung

    Palung serta tempat lain di sekitarnya. Namun dewasa ini banyak dilaporkan

    bahwa kondisi hutan rawa gambut habitat ramin di Kalimantan pada

    umumnya telah banyak mengalami kerusakan. Misal Cagar Alam Mandor

    dilaporkan telah berubah menjadi daerah terbuka (Bismak et al. 2005).

    Sementara sumber lain menyebutkan bahwa penebangan liar terhadap

    pohon ramin masih terus berlangsung sekalipun di kawasan konservasi.

    Dengan asumsi pemanenan ramin hanya mencapai 50%, Bismark et al.(2005) memperkirakan bahwa potensi ramin saat ini masih 14.757.221 m3,

    tersebar pada kawasan seluas 18.291.000 ha. Namun perlu diingat bahwa

    perkiraan tersebut berdasarkan analisis data sekunder yang pengumpulan

    data dasarnya kemungkinan dilakukan dalam waktu yang berbeda.

    Tabel 1. Luas dan sebaran gambut dalam dan sangat dalam yang diduga

    sebagai habitat ramin tahun 2002

    Sumber : Wahyunto dkk., 2004

    Lokasi Dalam Sangat dalam

    Luas (ha) % Luas (ha) %

    Sumatera Selatan 29.279 1,97 - -

    Jambi 29.279 1,97 - -

    Riau 827.446 20,46 1.605.101 39,69

    Aceh 71.257 26,00 - -

    Kalimantan Barat 213.705 4,34 304.319 28,56

    Kalimantan Tengah 574.978 52,03 888.787 70,1

    Kalimantan Timur 219.703 19,88 100.224 9,41

    Kalimantan Selatan 96.710 6,40 - -

    J u m l a h

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    52/159

    43

    POPULASI DAN VOLUME RAMIN

    Berbagai kajian lapang menunjukkan bahwa populasi pohon ramin sangatbervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Dilaporkan bahwa populasiramin berkaitan erat dengan ketebalan gambut (Istomo, 1998; Tim

    Terpadu Ramin, 2003-2005). Semakin tebal lapisan gambut kehadiranpohon ramin semakin banyak. Ramin umumnya tumbuh baik padaketebalan gambut > 1 m gambut yakni gambut dalam hingga sangat dalam.Populasi pohon ramin dalam hutan rawa gambut sebelum terganggukadang-kadang kedapatan sangat melimpah hingga membentuk sepertitegakan murni ramin. Dalam kawasan hutan rawa gambut Taman NasionalBerbak Jambi, dilaporkan ramin merupakan jenis pohon paling dominan(Komar, et al. 2005).

    Hasil cuplikan lapangan di areal HPH PT.DRT menunjukkan bahwapopulasi ramin sangat bervariasi. Pada kawasan sebelum ditebangpopulasi tingkat tiang (diameter 1019, cm) berkisar 3-4 individu/ha atau

    rata-rata 3,5 individu/ha, pohon inti (diameter 2039,9 cm) berkisar 117individu/ha atau rata-rata 8,2 individu/ha, sedangkan pohon batas tebang(diameter > 40 cm) 313 individu/ha atau rata-rata 8 individu/ha (TimTerpadu Ramin, 2005). Perban-dingan jumlah pohon ramin dengankelompok komersial tebang lainnya untuk masing-masing tingkat adalahtingkat tiang 5-6,8%, pohon inti 1,5 11% dan pohon batas tebang 10,8-29%. Tanpa membedakan kelas ukuran, perbandingan populasi danvolume pohon ramin (diameter > 10 cm) dengan jenis lain pada areal yangbelum ditebang relatif lebih besar (Gambar 1.).

    Perbandingan popuasi ramin ter hadap kelompok

    meranti dan jenis lain

    1

    2

    3

    4

    Perbandingan volume ramin terhadap kelompok

    mer anti dan jenis lain

    1

    2

    3

    4

    Gambar 1. Perbandingan populasi (a) dan volume (b) ramin terhadapkelompok meranti dan jenis lain di areal RKT 2006 HPH PTDamon Raya Timber, Riau. 1) Ramin, 2) Kelompok Meranti dan 3)Kelompok Komersial Lain dan 4) Kelompok Jenis Lain.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    53/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    44

    Gambar di atas juga mencerminkan bahwa populasi pohon ramin di hutan

    alam yang belum terganggu umumnya berukuran besar. Berbagai hasil

    kajian lapang juga menunjukkan bahwa jumlah pohon ramin berukuran

    besar relatif lebih banyak dibanding yang berukuran kecil (Gambar 2. (kiri)).

    Pola sebaran kelas ukuran demikian menunjukkan kelompok jenis yang sulitberregenerasi (Partomihardjo, 2005).

    1 2 3 4 5 67

    Rmn

    Mbn

    Klt

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    Jumlah individu

    Kelas diamet er

    Jenis

    Sebaran kelas diameter beberapa jenis pohon utama hutan rawa gambut

    12

    34

    Rmn

    Mbt

    Mbn

    Blm

    Klt

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    Jumlah individu

    Kelas diameter

    Jenis

    S e b a r a n k e l a s d i a m e t e r b e b e r a p a je n i s p o h o n u t a m a h u t a n

    r a w a g a m b u t p a s c a t e b a n g

    Gambar 2. Sebaran kelas diameter beberapa jenis pohon utama

    hutan rawa gambut di areal HPH PT.DRT. RKT 2006

    belum di tebang (kiri) dan RKT 2005 pasca tebang

    (kanan).

    Meskipun kedapatan cukup banyak pada kawasan hutan sebelum ditebang,

    pohon ramin kemudian menjadi hampir tidak ada setelah penebangan

    (Daryono, 1996). Pada pencuplikan data di beberapa lokasi bekas tebangan

    tidak dijumpai pohon ramin berukuran batas tebang (diameter > 40 cm).Gambaran umum sebaran pohon ramin di areal bekas tebangan ditujukkan

    pada Gambar 2 (kanan). Di beberapa kawasan hutan rawa gambut

    terganggu masih dijumpai pohon ramin dalam jumlah yang cukup tinggi.

    Misal di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah, pohon ramin

    masih termasuk 10 jenis pohon utama dengan kerapatan mencapai 22

    individu/ha (Komar et al., 2005). Hasil pengamatan lain menyebutkan bahwa

    penurunan populasi ramin pada areal bekas tebangan hanya mencapai 22%

    untuk semai, 16% untuk pancangan, 20,3 untuk tiang (Hermansyah &

    Mujijat, 2005).

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    54/159

    45

    Kemampuan regenerasi jenis pohon hutan sangat bergantung pada ke-

    berhasilan dalam melaksanakan suatu siklus reproduksi secara utuh sejak

    dari peristiwa pembentukan kuncup bunga hingga berakhir pada

    perkembangan semai. Smith (1986 dalam Ashton 1998) menjelaskan

    bahwa kegagalan dari satu tahapan siklus reproduksi dapat berakibat fatal

    untuk regenerasi atau pembentukan tegakan baru. Beberapa tahapan dalam

    siklus regenerasi antara lain saat pembungaan, produksi buah, pemencaran

    biji, tingkat perkecambahan, persen tumbuh semai, persen jadi semai dan

    kesempatan mencapai kanopi hutan. Pembentukan rumpang dan dinamika

    lingkungan lainnya juga diduga ikut mempengaruhi kemampuan regenerasiramin.

    Pembungaan dan buah

    Banyak dilaporkan bahwa musim berbunga ramin tidak tentu. Umumnya

    ramin berbunga pada bulan Februari - Maret, tetapi juga bulan Mei dan

    Oktober, dan musim buah antara bulan Mei - Juni hingga Nopember (Airy

    Shaw, 1954). Alrasyid & Soerianegara (1978) melaporkan bahwa pohon

    ramin juga berbuah dalam bulan April - Mei. Hasil pemeriksaan 55 nomor

    koleksi herbarium ramin di Herbarium Bogoriense, Bogor menunjukkan

    bahwa ramin tidak memiliki musim berbunga/buah yang jelas (Gambar 4).

    Musim berbunga/buah ramin di Sumatera (kiri) antara Agustus - Oktobertetapi kadang-kadang ada juga yang berbunga /buah pada bulan Mei. Di

    Kalimantan (kanan), ramin berbunga/buah antara Januari - Mei. Buah ramin

    mulai masak 2-3 bulan setelah musim bunga. Informasi tentang biologi

    bunga ramin secara rinci termasuk sistem penyerbukan belum tersedia.

    Gambar 3. Perbandingan populasi (a) dan volume (b) ramin terhadap

    kelompok meranti dan jenis lain di areal RKT 2006 HPH PT

    Damon Raya Timber, Riau. 1) Ramin, 2) Kelompok Meranti dan

    3) Kelompok Komersial Lain dan 4) Kelompok jenis lain.

    1

    2

    3

    4

    5

    Perbandingan populasi ramin terhadap kelompok

    jenis lai n pada petak bekas te banngan

    1

    2

    3

    4

    5

    Perbandingan populasi ramin terhadap kelompok

    jenis lain pa da petak bekas tebanngan

    a b

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    55/159

    46

    PROSIDING Workshop Nasional 2006

    Musim berbunga dan berbuah ramin dari Sumatera

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    3

    3.5

    Januari

    Februari

    Mar

    etAp

    ril Mei

    Juni Ju

    li

    Agustus

    Sept

    ember

    Okto

    ber

    Nopember

    Desember

    Bulan

    Frekuensi

    Flower

    Fruit

    Msim berbunga dan berbuah ram in dari Kalimantan

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    3

    3.5

    Januari

    Maret M

    ei Juli

    Septem

    ber

    Nope

    mber

    Bulan

    Frekuensi

    Flower

    Fruit

    Gambar 4. Musim berbunga dan berbuah ramin (Gonystyls bancanus(Miq.)Kurz) berdasarkan hasil pemeriksaan koeksi herbarium di

    Herbarium Bogoriense, Bogor untuk masing-masing daerahpenyebaran Sumatera (kiri) dan Kalimantan (kanan)

    Pemencaran dan perkecambahan

    Buah ramin bulat memanjang - oval, berukuran 4 x 3,5 cm, memiliki tigarongga. Setiap rongga berisi satu biji. Saat masak, buah akan pecah dan

    bagian dalamnya berwarna kemerah-merahan. Buah ramin yang masak,sangat disukai oleh satwa hutan terutama burung rangkong dan tupai. Olehkarena itu pemencarannya ke tempat yang lebih jauh nampaknya palingefekif atas bantuan burung. Laporan lain menyebutkan bahwa orang utanjuga suka makan buah ramin, demikian juga primata lain seperti kera danmonyet. Binatang-binatang ini diduga juga ikut berperan dalammemencarkan biji ramin. Meskipun tidak terlalu efektif, aliran air dalam hutanrawa gambut nampaknya juga berperan dalam pemencaran biji ramin. Olehkarena itu semai ramin kadang-kadang dijumpai agak jauh dari pohoninduknya. Beberapa penelitian awal tentang pemencaran biji-biji ramin telahdilakukan (Nizomi, 1995). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dilaporkanbahwa besarnya diamter pohon induk berpengaruh nyata terhadap jumlah

    permudaan yang dihasilkan (Gambar 5). Pada kelas diameter 40 49 cmpohon induk ramin tercatat paling produktif. Ini merupakan informasi bahwabatas tebang ramin sebaiknya pada ukuran > 50 cm, agar diperoleh pohoninti yang produktif untuk menjamin ketersediaan permudaan ramin sebagaibentuk pengelolaan hutan yang lestari.

    3.5

    3

    2.5

    2

    1.5

    1

    0.5

    0

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    56/159

    47

    Biji ramin dikenal sukar ditangani karena cepat busuk serta memiliki

    viabilitas rendah. Sifat demikian sebenarnya umum dimiliki oleh jenis-jenis

    primer hutan tropis dan biasa dikenal sebagai biji rekalsitran. Kecambah

    dan semai ramin membutuhkan naungan, yakni mencapai 90 % dari sinar

    matahari langsung (Soerianegara & Lemmens, 1994). Semai ramin yang

    mengalami penyinaran matahari langsung akan terhambat

    pertumbuhannya. Daun akan tampak pucat dan semai kelihatan merana.

    Akan tetapi informasi lain menyebutkan bahwa semai ramin dengan tinggi

    lebih dari 100 cm cenderung tumbuh baik di tempat agak terbuka dengan

    penyinaran antara 35 65 % (Muin & Purwita, 2002). Hal serupa juga terjadipada uji coba penanaman bibit dari stek pucuk di areal bekas tebangan PT.

    Diamond Raya Timber (Herman dkk., 1998). Penambahan tinggi dan

    diameter batang anakan ramin yang ditanam pada berbagai lokasi dengan

    tutupan atau naungan yang berbeda-beda tidak menunjukkan pengaruh

    yang nyata. Semai yang ditanam di tempat terbuka justru tumbuh lebih baik

    dibanding yang di bawah naungan.

    Dalam pencacahan potensi permudaan ramin sebelum penebangan di

    areal HPH PT DRT dilaporkan bahwa jarak anakan terhadap pohon induk

    ramin berkisar antara 0,5 12 m dengan rata-rata 7 m (Tim Terpadu Ramin,

    2002). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata

    antara diameter pohon induk ramin dengan jumlah dan jarak permudaan dibawah dan sekitarnya (Nizomi, 1993). Dijelaskan bahwa diameter batang

    pohon induk ramin berpengaruh nyata terhadap sebaran/jarak anakan ramin

    di bawah dan sekitar pohon induk (Gambar 6).

    Gambar 5. Hubungan antara kelas ukuran (diameter) pohon induk dan

    jumlah anakan ramin di area HPH PT Sumber Jaya Baru

    Utama, Kalimantan Barat (Sumber data: Nazomi, 1995).

    Hubungan antara ukuan pohon induk dan jumlah anakan Ramin

    y = -2.6652x2 + 23.706x - 13.925

    R2 = 0.9775

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    1 2 3 4 5 6

    Kelas ukuran pohon

    Jumlahanakan

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    57/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    48

    Semai ramin dikenal tahan terhadap naungan atau biasa disebut shade

    tolerant, meskipun pada perkembangan selanjutnya anakan jenis ini mem-butuhkan cukup sinar matahari. Sifat demikian nampaknya merupakan ciri

    umum jenis-jenis pohon penyusun hutan primer yang dikenal sebagai jenis

    tumbuh lambat. Seperti halnya jenis-jenis Dipterocarpaceae sebagai

    penyusun hutan tanah kering Sumatra dan Kalimantan, biji-biji ramin yang

    berukuran besar dan cepat busuk akan segera berkecambah setelah jatuh.

    Sesaat setelah musim buah berlalu, semai ramin banyak dijumpai di bawahpohon induknya. Kondisi demikian mendorong binatang herbifora untuk

    datang ke lokasi tersebut. Dengan demikian, meskipun cukup banyak

    kecambah ramin di bawah pohon induk, persentase jadi hingga tahap

    berikutnya akan relatif sedikit. Faktor lain yang menyebabkan sedikitnya

    anakan ramin dibanding jenis pohon lain adalah genangan air. Semai ramin

    nampaknya kurang mampu bertahan dalam genangan air saat banjir. Hal ini

    ditunjukkan oleh anakan ramin yang umumnya tumbuh bagus berada pada

    gundukan serasah/media gambut.

    Anakan dari berbagai jenis pohon hutan umumnya senantiasa mengalami

    kesulitan dalam mencapai keberhasilan tumbuh di bawah naungan lebatnya

    kanopi (Milberg, 1993). Banyak jenis pohon penyusun komunitas hutan,dikenal sebagai spesialis rumpang. Regenerasinya sangat bergantung pada

    berbagai gangguan pembentuk rumpang. Oleh karena itu gangguan

    Persebaran permudaan ramin dari ukuran pohon induk

    yang berbeda

    y = 0.4286x + 2.6667

    R2 = 0.4704

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    0 1 2 3 4 5 6 7

    Kelas ukuran pohon induk

    Jarakd

    aripohoni

    nduk

    Gambar 6. Hubungan antara kelas ukuran/diameter (cm) pohon induk dan

    jarak (m) sebaran anakan ramin di areal HPH PT Sumber Jaya

    Baru Utama Kalimantan Barat. Kelas diameter (cm): 1=10 19,9; 2=20-29,9; 3=30-39,9; 440-49,9; 5=50-59,9; 6=60-69,9

    dan 7=> 70. (Sumber data : Nizomi, 1995).

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    58/159

    49

    pembentuk rumpang, dapat dianggap meningkatkan kekayaan jenis atau

    merangsang regenerasi hutan. Namun demikian tidak selamanya gangguan

    dapat memberi kesempatan semua jenis pohon hutan. Frekuensi, intensitas

    serta macam gangguan sangat menentukan kualitas dan kuantitas jenis

    tumbuhan yang akan mengisi rumpang. Milberg (1993) melaporkan bahwasuatu kawasan vegetasi yang sering mengalami gangguan ternyata tidak

    mengalami pengkayaan jenis meskipun dari penelitian bank biji cukup kaya.

    Macam dan intensitas gangguan hutan yang melampaui batas toleransi

    regenerasi jenis-jenis pohon hutan juga akan mengubah pola komunitas

    selanjutnya. Hasil penelitian regenerasi hutan rawa gambut pasca

    kebakaran menunjukkan bahwa lapisan tingkat pohon umumnya terdiri atas

    sisa jenis-jenis tahan kebakaran. Jenis-jenis pohon utama penyusun

    komunitas hutan sebelum terbakar hampir tidak dijumpai (Mirmanto, 2002).

    Proses regenerasi tumbuhan hutan gambut menjadi sangat penting untuk

    dikaji lebih rinci, mengingat sebagian besar pohon penyusun komunitas

    hutan tersebut terdiri atas jenis-jenis tumbuh lambat dan sulit beregenerasi.Terbukanya kanopi hutan yang cukup luas justru akan menghambat

    kecepatan regenerasi sebagian besar jenis pepohonan. Oleh karena itu,

    populasi anakan ramin pada daerah bekas tebangan umumnya menjadi

    sangat rendah, meskipun sebelumnya pada kawasan hutan yang sama

    populasi ramin cukup tinggi (Sutisna dkk, 1988). Kohyama (1992)

    memberikan suatu model dasar dinamikan hutan tropik dan kaitannya

    dengan ukuran bukaan kanopi, struktur dan perkembangan populasi pohon

    hutan sesuai umur. Nampaknya pada bukaan kanopi yang terlampau luas,

    perkembangan populasi anakan ramin menjadi sangat tertekan oleh jenis

    lain. Di lain pihak keberadaan pohon induk ramin yang produtif sebagai

    penyedia biji makin jarang. Oleh karena itu upaya pengayaan melaluipenanaman areal bekas tebang diharapkan dapat membantu mengem-

    balikan posisi populasi ramin dalam habitat rawa gambut.

  • 7/18/2019 Alternatif Kebijakan Dalam Pelestarian Dan Pemanfaatan Ramin

    59/159

    PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGWorkshopNasional 2006

    50

    Hingga saat ini kesulitan paling besar untuk menjamin pengelolaan tegakan

    alam ramin yang lestari adalah kesulitan dalam mendapatkan data yang

    tepat tentang riap pertumbuhan dan produksi. Data tersebut sangat

    dibutuhkan untuk menentukan volume pemanenan dan siklus penebangan.

    Informasi dan data yang tersedia hingga saat ini masih bersifat skeptis

    tentang laju pertumbuhan pohon hutan secara umum yang diperoleh dari

    pengukuran sesaat. Pendataan secara menerus untuk kurun waktu yangpanjang dari pertumbuhan jenis-jenis pohon hutan tropis terutama di habitat

    rawa gambut belum dilakukan. Pembuatan petak permanen untuk studi

    dinamika dan riap pertumbuhan jenis-jenis pohon hutan umumnya dilakukan

    pada hutan daratan yang relatif mudah aksesibilitasnya. Padahal