al-qur`an dan wacana perbudakan dalam konteks modern

95
AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN (STUDI PENAFSIRAN MUAMMAD RASYÎD RIÂ) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) oleh: Ayatullah Jazmi NIM: 1112034000104 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN

DALAM KONTEKS MODERN

(STUDI PENAFSIRAN MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

oleh:

Ayatullah Jazmi

NIM: 1112034000104

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN
Page 3: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

AL-QUR'AN DAN WAC,{NA PERBUDAKAN

DALAM KONTEKS MODERN

(STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYiD RIDA)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas UshulrrdCin

untuk N,lerrenuhi Persyaratan untuk Nlemperoleh

Gelar Sar.jana .{gama (S.Ag.)

oleh:

Ayatullah JazmiNIN{: 1l12034000104

Pembirnbing

Drs. Ahmad Rifqi Nluchtar. MA.NIP. 19690822 199703 I 002

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DA}..ITAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGER] SYARIF HIDAYATUT,LAH

JAKARTA

1440 Ht20t9 M

Page 4: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN
Page 5: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

v

ABSTRAK

Ayatullah Jazmi

“Al-Qur`an dan Wacana Perbudakan Dalam Konteks Modern: Studi Atas

Penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ”

Perbudakan adalah sistem perebutan hak dan kebebasan seorang manusia

untuk bekerja guna keperluan golongan manusia lain. Agama Islam berupaya

untuk menghapuskan tindak ketidakadilan sebagaimana praktik perbudakan, maka

Islam dalam ayat-ayat al-Qur`an banyak memberikan tuntunan untuk keadilan dan

memerdekakan budak. Namun seiring perkembangan zaman, tindak kekerasan

terhadap budak yang terjadi pada zaman dahulu tidak lagi ditemukan, sehingga

ayat-ayat tersebut seakan tidak lagi relevan. Hal inilah yang menjadi penelitian

pada skripsi ini karena al-Qur`an adalah panduan hidup orang Islam yang selalu

dapat diaplikasikan pada tiap zaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ayat-ayat perbudakan yang

diterapkan pada masa modern. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan

data perpustakaan (library research) dan menelitinya dengan metode deskriptif

analitik dan analisis ayat.

Pada penelitian ini, penulis menelusuri penafsiran Rasyîd Riḍâ terhadap

empat term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan perbudakan, baik ayat

yang membicarakan pemerdekaan budak ataupun ayat yang membicarakan sikap

baik terhadap budak sebagai makhluk sosial. Empat term tersebut adalah ‘abd,

amah, raqabah dan mâ malakat aimânukum. Secara garis besar, Rasyîd Riḍâ

mengartikannya sebagai budak, akan tetapi Rasyîd Riḍâ menafsirinya sebagai

kondisi seseorang yang direndahkan atau dirampas haknya. Dalam uraiannya,

Rasyîd Riḍâ menujukkan pada sisi pengangkatan derajat orang yang direndahkan

dan berupaya penyamarataan hak antar manusia sebagai pokok tuntunan

kemanusiaan yang diajarkan agama, sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat

tersebut akan selalu relevan dengan adanya tindak ketidakadilan antar sesama

manusia.

Kata kunci: perbudakan, Rasyîd Riḍâ.

Page 6: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan begitu banyak nikmat sehingga penulis mampu merampungkan

penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada baginda

nabi besar Muhammad Saw. dan keluarga beserta para sahabatnya, dan semoga

kita diakui sebagai umatnya dan mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak.

Aamiin.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan dapat rampung

tanpa izin Allah SWT. dan juga bimbingan, arahan, dukungan serta kontribusi dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan memberikan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA. selaku

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA. selaku Dekan Fakutlas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan

Tafsir yang dengan sabar mengarahkan dan memberi kesempatan yang

besar agar penulis dapat menuntaskan skripsi ini.

4. Bapak Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-

Qur`an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu

dalam bidang administrasi perkuliahan;

5. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA. selaku dosen pembimbing

yang dengan sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu,

arahan, masukan, dan bimbingannya kepada penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Kusmana, MA., Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang

telah menuntun penulis agar dapat menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

Page 7: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

vii

7. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir maupun dosen Jurusan

lain di Fakultas Ushuluddin yang telah membagi dan memberikan ilmu

dan pengalamannya kepada penulis.

8. Seluruh civitas akademika baik di tingkat Jurusan, Fakultas ataupun

Universitas yang telah membantu penulis dalam mengurus administrasi

kuliah dan lain sebagainya.

9. Kedua orang tua penulis, Abah H. Badruzzaman dan Mimi Hj. Hindun,

yang telah sabar dan hati-hati mendidik penulis dan selalu mendoakan

serta menuntun penulis, sehingga menjadi motivasi penulis untuk

menyelesaikan studi setinggi mungkin.

10. Seluruh keluarga penulis, kakak-kakak penulis Fasikhah dan

Lailatusysyifa, adik-adik penulis Maulia Zulfa dan Umni Khailizah yang

selalu memberikan dukungan kepada penulis, dan paman bibi semua yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

11. Seluruh teman-teman yang ikut mendukung dan memotivasi penulis

selama proses belajar di Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir sampai akhir

masa studi, dan

12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

mendukung penulis dan memotivasi penulis.

Skripsi ini adalah sebagai upaya penulis untuk memberikan sumbangsih

terhadap khazanah keislaman, namun penulis sadar bahwa banyak kekurangan

dan minimnya pengetahuan penulis sehingga penelitian ini jauh dari kata

sempurna, namun penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan

manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian.

Penulis memohon maaf kepada berbagai pihak atas segala kekeliruan dan

kesalahan yang pernah penulis perbuat, dan penulis memohon ampunan kepada

Allah SWT. atas dosa dan kekhilafan yang telah penulis lakukan. Semoga taufiq,

hidayah, inayah serta magfirah-Nya selalu menyertai kita semua. Aamiin.

Ciputat, 04 Juli 2019

Ayatullah Jazmi

Page 8: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif Tidak dilambangkan ا

Ba b Be ب

Ta t Te ت

Ṡa ṡ Es dengan titik di atas ث

Jim j Je ج

Ḥa ḥ Ha dengan titik di bawah ح

Kha kh Ka dan ha خ

Dal d De د

Ża ż Zet dengan titik di atas ذ

Ra r Er ر

Zai z Zet ز

Sin s Es س

Syin sy Es dan ye ش

Ṣad ṣ Es dengan titik di bawah ص

Ḍa ḍ De dengan titik di bawah ض

Ṭa ṭ Te dengan titik di bawah ط

Ẓa ẓ Zet dengan titik di bawah ظ

ain ‘ Koma terbalik di atas‘ ع

Gain G Ge غ

Fa f Ef ف

Qaf q Qi ق

Kaf k Ka ك

Page 9: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

ix

Lam l El ل

Mim m Em م

Nun n En ن

Wau w We و

Ha h Ha هـ

Hamzah ` Apostrof ء

Ya y ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fatḥah

i Kasrah

u Ḍammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuannya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

C. Vokal Panjang

Alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan

dengan harakat dan huruf, ketentuannya adalah sebagai berikut:

Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا â a dengan topi di atas ــــ

î i dengan topi di atas ــــــ ـي

و û u dengan topi di atas ــــــ

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

Page 10: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

x

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukan ad-dîwân.

E. Syaddah (tasydid)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ( ر و ر الض ة ) tidak ditulis

ad-ḍarûrah melainkan al-ḍarûrah, demikian seterusnya.

F. Ta Marbûṭah

Transliterasi untuk ta marbûṭah ada dua, yaitu: ta marbûṭah yang hidup atau

mendapat harkat fatḥah, kasrah atau ḍammah maka transliterasinya adalah /t/.

Sedangkan ta marbûṭah yang mati atau mendapat harkat sukûn, transliterasinya

adalah /h/.

Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbûṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbûṭah ditransliterasikan dengan ha /h/.

G. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (`) hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di

awal kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

ء ي

syai`un : ش

ت ر م umirtu : أ

H. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

Page 11: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

xi

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Gazâlî bukan Abû Hâmid Al-

Gazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Abdussamad al-Palimbani tidak

ditulis ‘Abd al-Ṡamad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

I. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah contoh alih aksara atas kalimat-kalimat

dalam bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

ب ه ذ

ت س ال

اذ dzahaba al-ustâdzu

م الل ك ر ث

ؤ yu`tsirukum Allâh ي

ر ح ال

ك ة

ر ص ع ال

ي ة al-ḥarakah al-‘aṡriyyah

أ

د ه ش

ن أ

ل

ه ل

asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh الل ل

و م

ل حال ك الص ل ا م ن maulânâ malik al-ṡâliḥ

Page 12: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 4

C. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10

E. Metodologi Penelitian .............................................................. 11

F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 16

A. Pengertian Perbudakan ............................................................. 16

B. Sejarah Perbudakan .................................................................. 16

1. Perbudakan sebelum Islam .................................................. 17

2. Perbudakan setelah Islam..................................................... 21

C. Faktor yang Mendorong terjadinya Perbudakan ...................... 26

D. Tafsir al-Qur`an tentang Perbudakan ....................................... 28

1. Tafsir Klasik – Tafsîr Ibn Kaṡîr ........................................... 29

2. Tafsir Kontemporer – Tafsîr Fî Ẑilal al-Qur`an .................. 31

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUḤAMMAD RASYÎD RIḌA

A. Biografi Muḥammad Rasyîd Riḍâ ............................................ 34

B. Pendidikan ................................................................................ 36

C. Karya-karya Ilmiah ................................................................... 38

D. Pemikiran Keislaman ................................................................ 39

1. Konsep Keagamaan ............................................................. 39

Page 13: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

xiii

2. Konsep Pendidikan .............................................................. 40

3. Konsep Kesatuan Umat ....................................................... 41

E. Pemikiran Tafsir al-Qur`an ....................................................... 42

F. Metodologi Tafsîr al-Manâr ..................................................... 44

1. Latar Belakang Penafsiran ................................................... 44

2. Sumber Penafsiran ............................................................... 45

3. Metode Penulisan ................................................................. 46

4. Corak Penafsiran .................................................................. 47

5. Karakteristik Penafsiran ....................................................... 47

BAB IV PENAFSIRAN AYAT PERBUDAKAN MENURUT

MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ .................................................... 49

A. Term Perbudakan dalam al-Qur`an .......................................... 49

1. ‘Abd ...................................................................................... 49

2. Amah .................................................................................... 54

3. Raqabah ............................................................................... 55

4. Mâ Malakat Aimânukum ...................................................... 60

B. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Perbudakan .............................. 68

C. Relevansi Ayat dalam Konteks Modern ................................... 70

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 77

A. Kesimpulan ............................................................................... 77

B. Saran ......................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 79

Page 14: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem perbudakan merupakan fenomena universal yang terjadi hampir di

seluruh bagian dunia. Perbudakan umumnya berbicara perihal tuan yang

memperbudak dan budak yang diperbudak. Perbudakan manusia oleh manusia

dalam pengertian seperti yang terjadi pada zaman jahiliah memang sudah tidak

lagi ditemukan, namun jejak-jejaknya masih dapat dijumpai hingga peradaban

modern saat ini. Kisah tragis beberapa tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi,

Malaysia, Singapura atau lainnya, yang sering diperlakukan tidak manusiawi oleh

para majikannya adalah contoh telanjang mengenai perbudakan dalam bentuk lain

yang terjadi pada zaman sekarang ini. Kisah-kisah senada bahkan juga dapat

dijumpai di Tanah Air, tidak hanya di dunia pembantu rumah tangga, tetapi

hampir semua dimensi kehidupan yang masih memandang manusia hanya sebagai

alat bagi kepentingan kelompok kuat.1

Perbudakan modern didefinisikan sebagai kondisi seseorang

memperlakukan orang lain sebagai properti miliknya, sehingga kemerdekaan

orang itu terampas lalu dieksploitasi demi kepentingan orang yang melakukan

praktik perbudakan, dalam hal ini orang bisa dipekerjakan dan dibuang begitu saja

seperti barang.2 Perbudakan bisa pula didefinisikan sebagai kondisi di mana

1 Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an.” Suhuf, Vol. 4 No. 1

(2011): h. 41. 2 Muhammad Tisna Nugraha, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.” At-Turats, Vol.9

Nomor 1 (Juni 2015): h. 57.

1

Page 15: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

2

seseorang menerima pemaksaan yang tidak sesuai dengan keinginannya yang

merupakan hak bagi setiap manusia, dalam bidang pendidikan misalnya,

perbudakan yang ada terkesan samar-samar. Hal ini dapat terjadi pada siswa

bahkan terhadap tenaga pendidik atau guru sekalipun. Bentuk perbudakan pada

siswa di antaranya seperti dengan pemberian tugas secara berlebihan atau di luar

kewajaran. Selain itu, perbudakan dalam dunia pendidikan terjadi pula ketika

peserta didik dipaksa untuk menguasai materi-materi yang disampaikan guru

dalam rangka mencapai indikator hasil belajar yang tertuang dalam rencana

pembelajaran.3

Sejak kelas 1 SD sampai SMA bahkan ada pada tingkat Universitas, para

siswa dipaksa duduk diam mendengarkan guru, mencatat, tanpa dialog interaktif

antara guru dan siswa. Selain itu siswa juga disuruh menghafal mata pelajaran

yang abstrak, sehingga menghasilkan generasi robot. Oleh karena itu, wajar saja

bila di kalangan siswa sering terdengar celotehan “Makan tuh rumus-rumus”,

atau kata-kata sejenis yang mengekspresikan betapa pelajaran yang mereka terima

lebih banyak bersifat monoton dan penerapan pembelajaran yang tidak

sewajarnya. Sekolah juga lebih menekankan ‘grade minded’ untuk menentukan

prestasi dan kelulusan.4

Karena itu, sungguh menarik untuk melihat kembali wacana perbudakan

yang terjadi pada konteks modern yang meski tidak sama persis dengan

perbudakan yang terjadi pada zaman jahiliah, tapi faktor hilangnya hak sebagai

manusia merdeka, baik itu hilangnya hak keberadaan atau pun hak memilih dalam

3 Nugraha, “Perbudakan Modern”, h. 57. 4 Muhammad Safak, Kaya Tanpa Bekerja (Jakarta: Republika, 2005), h. 19.

Page 16: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

3

hidupnya, tanpa disadari merupakan indikasi adanya esensi perbudakan yang

masih terjadi di zaman sekarang ini.

Wacana ini menjadi kian menarik jika dihubungkan dengan diskursus

perbudakan dalam al-Qur`an. Sebab, bukan saja tema perbudakan merupakan

salah satu topik yang sering disalahpahami oleh orang-orang non-Islam, tetapi

juga kalangan pemikir Islam sendiri tak jarang hanya melakukan apologi ketika

menghadapi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan orang-orang non-Islam bahwa

Islam turut mengakui dan melanggengkan perbudakan.5 Sekilas, al-Qur`an

memang potensial untuk disalahpahami sebagai sumber nilai yang turut

mempertahankan perbudakan, di samping tidak ada satu ayat pun yang secara

tegas melarang praktek perbudakan, di sisi lain ada beberapa ayat yang terkesan

memberikan interpretasi yang membolehkan perbudakan. Bahkan dalam QS. Al-

Mu`minûn ayat 6, QS. Al-Aḥzâb ayat 50 dan QS. Al-Ma’ârij ayat 30 disebutkan

kebolehan menggauli budak perempuan. Lalu bagaimana diskursus al-Qur`an

sebagai rujukan utama agama Islam dalam menyikapi masalah perbudakan

modern?

Sebagai salah satu penafsir dan pemikir Islam kontemporer, Rasyîd Riḍâ

(1865-1935) menuangkan gagasannya dalam hal perbudakan, baik itu melalui

penafsirannya dalam Tafsîr al-Manâr maupun dalam bukunya, misalnya buku al-

Waḥy al-Muḥammadî. Beliau menjelaskan bahwa Islam mengupayakan untuk

hilangnya sistem perbudakan yang merupakan praktik penganiayaan terhadap

kaum lemah, Islam melalui ajarannya menggunakan berbagai cara dalam upaya

memerdekakan budak, baik itu dengan nilai kebajikan yang dijanjikan pahala

5 Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an,” h. 42.

Page 17: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

4

yang besar atapun sebagai sangsi dari perbuatan dosa.6 Melihat ulang terhadap

terjadinya tindak penganiayaan terhadap hak manusia masih dapat ditemui pada

zaman modern ini, maka sebagai salah satu tokoh pembaharu Islam, perlu kiranya

dikaji lebih dalam bagaimana Rasyîd Riḍâ dalam menyikapi perbudakan dalam

konteks modern.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis akan

melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul “Al-Qur`an dan Wacana

Perbudakan dalam Konteks Modern: Studi Atas Penafsiran Muḥammad

Rasyîd Riḍâ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai kontektualisasi praktek perbudakan di zaman

modern sungguh sangat menarik menurut penulis, namun bahasan ini dapat diteliti

dari berbagai sisi. Agar penelitian ini dapat lebih fokus pada bahasan tertentu,

penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini melingkupi kajian makna term dan aspek sejarah. Dari

makna yang berbeda-beda akan mempunyai hasil yang berbeda pula,

karenanya sangat penting untuk mengurai lebih dalam dari sudut

kebahasaan, begitu juga dari aspek sejarah yang melingkupi turunnya ayat

tersebut kiranya sangat berpengaruh terhadap tujuan makna ayat.

2. Yang dijadikan rujukan pokok kajian penafsiran adalah dengan menelaah

uraian Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam kitabnya Tafsîr al-Manâr dan

6, Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad. Penerjemah Josep C.D.

(Jakarta: Dunia Pustaka, 1983), h. 572-582.

Page 18: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

5

karyanya al-Waḥy al-Muḥammadî. Karena beliau menguraikan panjang

lebar perihal perbudakan dan menjadikannya pada bab tersendiri.

3. Ayat yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini adalah ayat-ayat

yang menjelaskan tentang perbudakan, karena yang menjadi rujukan

pokok adalah Tafsîr al-Manâr, maka ayat yang dikaji dalam penelitian ini

adalah ayat 177, 178 dan 221 surah al-Baqarah, ayat 24, 25, 36 dan 92

surah al-Nisâ`, ayat 89 surah al-Mâidah, dan ayat 60 surah al-Taubah.

Tafsîr al-Manâr mempunyai 12 jilid yang di dalamnya ditafsiri mulai dari

surah al-Fâtiḥah hingga surah Yûsuf, dan dari jumlah surah yang telah

ditafsiri dalam Tafsîr al-Manâr, ayat-ayat tersebutlah yang membahas

tentang perbudakan.

Berdasarkan batasan masalah yang dikemukakan di atas, penulis

merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat yang

menjelaskan tentang perbudakan dengan diskursus perbudakan modern?”

C. Tinjauan Pustaka

Dalam upaya untuk melakukan penelitian yang dapat memberikan

kontribusi ilmiah yang baru, maka penulis melakukan tinjauan pustaka untuk

memastikan bahwa penelitian ini belum pernah dibahas.

Sejauh penelusuan penulis tentang penelitian skripsi yang terkait dengan

masalah yang penulis kaji, penulis menemukan penelitian skripsi yang ditulis oleh

M. Fikri Halim pada tahun 2013 yang diajukan pada Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

Page 19: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

6

Hidayatullah Jakarta,7 skripsi ini berjudul “Analisis Wacana Kritis tetang

Perbudakan Modern dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro

TV”. Penelitian yang diangkat dalam skripsi tersebut adalah mengenai perbudakan

modern yang dikupas dalam acara media televisi yang menfokuskan pada

program yang berjudul Bedah Editorial yang ditayangkan oleh Metro TV,

penelitian ini dikaji melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi,

dengan demikian sangatlah berbeda dengan penelitian yang dikaji oleh penulis

yang menggunakan pengumpulan dan analisi data yang objeknya pun berbeda.

Selanjutnya, skripsi karya Khamdatul Aliyati yang diajukan pada tahun

2015 pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang.8

Skripsi ini berjudul “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia”.

Penelitian yang diangkat dalam skripsi tersebut adalah bagaimana penafsiran ayat-

ayat perbudakan menurut para mufassir Indonesia, para mufassir yang disebutkan

dalam skripsi ini antara lain adalah Mahmud Yunus, Ahmad Hasan, Muhammad

Hashbi Ash-Shiddiqiey, HAMKA, dan Quraish Shihab. Kesamaan yang

ditemukan adalah tema perbudakannya, akan tetapi mempunyai perbedaan yaitu

pada aspek penelitian, dalam skripsi tersebut terpaku pada para mufassir

Indonesia, sedangkan penulis meneliti dalam penafsiran Rasyîd Riḍâ dalam

menafsiri ayat-ayat perbudakan.

Skripsi yang berjudul “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an” karya

Hariroh yang diajukan pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

7 M. Fikri Halim, “Analisis Wacana Kritis tetang Perbudakan Modern dalam Program

Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV.” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013). 8 Khamdatul Aliyati, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia.” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015).

Page 20: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

7

Hidayatullah Jakarta9 dan skripsi yang berjudul “Strategi Menghapuskan

Perbudakan Klasik dan Modern Menurut al-Qur`an” karya Nurjannah Nunik

yang diajukan pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.10 Akan tetapi, skripsi tersebut tidak dapat dijangkau dan

ditelaah oleh penulis karena skripsi tersebut sudah dimasukkan ke dalam gudang

Perpustakaan Utama (PU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, apabila

dilihat dari judul yang diangkat dalam skripsi tersebut, tinjauan penelitian yang

dikaji berbeda dengan penelitian yang diangkat penulis, skripsi yang pertama

meneliti konsep perbudakan dalam al-Qur`an secara umum bahkan terkesan

menjurus ke pandangan klasik, dan skripsi yang kedua meneliti kajian perbudakan

dalam upaya penghapusannya, sedangkan penulis dalam penelitian ini mengkaji

relevansi penafsiran al-Qur`an tentang ayat-ayat perbudakan dengan fenomena

perbudakan pada era modern.

Skripsi “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas

Penafsiran Ibn Kaṡîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim”, skripsi ini disusun oleh

Iqbal Firdaus yang diajukan pada tahun 2018 pada Fakultas Ushuluddin

Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,11 yang meneliti penafsiran ayat

perbudakan yang menggunakan kata mâ malakat aimânukum dalam kitab Tafsîr

Ibn Kaṡîr, yang ditinjau adalah penelitian pemaknaan kata tersebut terhadap

budak sehingga pada ayat-ayat yang menggunakan kata mâ malakat aimânukum

tidak semuanya mempunyai arti yang sama. Apabila dilihat dari tinjauan

9 Hariroh, “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Jakarta). 10 Nurjannah Nunik, “Strategi Menghapuskan Perbudakan Klasik dan Modern Menurut al-

Qur`an.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta). 11 Iqbal Firdaus, “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas

Penafsiran Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim.” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018).

Page 21: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

8

penelitiannya, maka penelitian ini berbeda dengan yang penulis angkat pada

penelitian ini, mulai dari tinjauan penelitian, kata yang dibahas dan tokoh yang

diangkat.

Skripsi “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-

Qur`an”, skripsi ini disusun oleh Nurul Fitri yang diajukan pada tahun 2018 pada

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-Raniry,12 yang

meneliti tentang penafsiran ayat-ayat perbudakan, ada dua hal yang menjadi

tinjauan utamanya, pertama adalah bagaimana Sayyid Quṭb menafsiri ayat-ayat

perbudakan dalam kitab tafsirnya, dan yang kedua bagaimana Sayyid Quṭb

menafsiri dan menjelaskan ayat-ayat yang menguraikan pembebasan budak. Dari

kedua tinjauan penelitian tersebut, maka penelitian dalam skripsi ini berbeda

dengan penelitian yang penulis angkat.

Skripsi berjudul “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan” yang

ditulis oleh Siti Nurrahmah yang diajukan pada Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah pada tahun 2018.13 Skripsi

ini meneliti tentang metode yang dilakukan Islam mengenai pembebasan

perbudakan, sehingga yang diteliti adalah langkah-langkah yang dilakukan agama

Islam untuk menghapuskan sistem perbudakan dan hal-hal yang mendukung

pembebasan perbudakan. Sehingga penelitian dalam skripsi ini berbeda dengan

penelitian yang penulis angkat, karena yang menjadi pokok pembahasannya

adalah metode pembebasan budak sedangkan penulis meneliti penafsiran tokoh

kontemporer mengenai ayat-ayat perbudakan.

12 Nurul Fitri, “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an.” (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-Raniry Darus-Salam Banda

Aceh, 2018). 13 Siti Nurrahmah, “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan.” (Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, 2018).

Page 22: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

9

Skripsi yang berjudul “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam

Pengembangan Islam” yang ditulis oleh Andi Mappiaswan yang diajukan pada

Fakultas Adab dan Humainiora UIN Alauddin Makassar pada tahun 2015.14

Skripsi ini mengangkat Rasyîd Riḍâ dalam pemikirannya tentang perkembangan

Islam, yang diteliti adalah pemikiran Rasyîd Riḍâ dalam pendidikan, pengetahuan

dan politik. Sehingga sangat berbeda sekali dengan penelitian yang penulis angkat

yakni pemikiran Rasyîd Riḍâ dalam penafsirannya tentang ayat-ayat perbudakan.

Disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis

Perbudakan” yang ditulis oleh Alkadri. Disertasi ini diajukan pada Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2016,15 yang meneliti

tentang pemahaman praktik perbudakan dalam hadis-hadis Nabi Saw., sehingga

pembahasannya meliputi sejarah perbudakan dan nilai yang dikandung hadis-

hadis Nabi Saw. dalam menyikapi praktik perbudakan, dengan demikian

penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis diangkat yang merupakan

penelitian penafsiran al-Qur`an, sedangkan pada disertasi ini menelitian

pemahaman hadis-hadis Nabis Saw.

Jurnal yang berjudul “Perbudakan Modern (Modern Slavery)” yang ditulis

oleh Muhamad Tisna Nugraha.16 Penelitian ini menganalisis sejarah dan

pendidikan yang dapat dipelajari dari praktik perbudakan, sehingga penelitian ini

membahas bentuk-bentuk perbudakan zaman dahulu dan yang dapat dikatakan

sebagai praktik perbudakan pada zaman modern, kemudian meneliti tindakan

yang dapat mengikis terjadinya praktik perbudakan pada masa modern. Sehingga

14 Andi Mappiaswan, “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam Pengembangan

Islam.” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humainiora UIN Alauddin Makassar, 2015). 15 Alkadri, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis Perbudakan.” (Disertasi S3 Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016). 16 Nugraha, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.”

Page 23: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

10

dari pokok bahasan penelitian tersebut, penelitian ini tidak meneliti mengenai

penafsiran ayat-ayat perbudakan dalam al-Qur`an, berbeda dengan penelitian yang

penulis angkat yang merupakan penelitian penafsiran al-Qur`an.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Rasyîd

Riḍâ dalam menjelaskan ayat-ayat yang menguraikan informasi perbudakan dan

bagaimana Rasyîd Riḍâ menyikapi relevansi ayat-ayat tersebut dengan realita

pada zaman modern, sekaligus bertujuan untuk mengetahui sejauh mana syariat

Islam dalam memperhatikan realitas perbudakan di zaman modern.

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini diantaranya

adalah :

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan khazanah keilmuan para

penuntut ilmu terutama dalam literatur tafsir.

2. Memberikan kontribusi sudut pandang yang mendalam terkait ayat-ayat

yang dianggap tidak lagi relevan pada zaman modern.

3. Memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat luas dari kandungan

ayat-ayat yang menguraikan perihal perbudakan dengan realita kehidupan

modern.

4. Menjadi tugas akhir yang dapat mengantarkan penulis mendapatkan gelar

strata satu di Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 24: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

11

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan studi yang bersifat tematik, yakni menelaah

konsep syariat Islam mengenai perbudakan di zaman modern, dengan demikian

studi sumber al-Qur`an mengenai pokok masalah perbudakan menjadi acuan

utama.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga (3) metode, yaitu:

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam pencarian data untuk dijadikan bahan penulisan, penulis

menggunakan metode perpustakaan (libary research), dengan metode

tersebut penulis mengumpulkan data-data yang bersinggungan dengan

bahasan dalam pembahasan tulisan ini yang diambil dari berbagai sumber

tulisan yang dianggap pantas untuk dijadikan referensi, baik data-data

sumber tersebut diambil dari buku ataupun dari bentuk tulisan lain, seperti

skripsi, tesis, jurnal atau yang lainnya.17 Metode ini digunakan untuk

mengumpulkan data pembahasan dan pemaparan tentang perbudakan yang

kemudian diteliti lebih dalam dengan metode analisis data.

Dalam hal ini, penulis memetakan referensi menjadi dua bagian, buku

primer dan buku skunder. Yang dijadikan referensi primer dalam penulisan

ini, penulis menggunakan kitab Tafsîr al-Manâr dan al-Waḥy al-

Muḥammadî, yang kedua-duanya merupakan karya Muḥammad Rasyîd

Riḍâ.

17 Suarsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka

Cipta, 2006), h. 231.

Page 25: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

12

2. Metode Analisis

Dalam menempuh analisis data dari data-data yang dikumpulkan, penulis

menggunakan dua (2) metode:

a. Deskriptif Analitik, metode yang digunakan untuk mengkaji dan

mendiskripsikan pemikiran-pemikiran tentang suatu masalah.18

Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data-data yang telah

dikumpulkan untuk lebih memahami pemikiran-pemikiran yang

diuraikan tentang perbudakan.

b. Analisis Ayat, metode ini merupakan penelitian dari penghimpunan

ayat-ayat yang satu tema dari berbagai ayat yang ada dalam al-

Qur`an.19 Metode ini penulis gunakan untuk menghimpun ayat-ayat

yang membahas tentang perbudakan yang diuraikan oleh Rasyîd Riḍâ

dalam Tafsîr al-Manâr, kemudian penulis analisa untuk lebih

memahami maksud dari uraian Rasyîd Riḍâ tentang persoalan

perbudakan.

3. Metode Penulisan

Dalam metode penulisannya, penulis berkiblat pada buku Panduan

Akademik tahun 2012, di dalam buku tersebut diuraikan bagaimana

sistematika penulisan footnote, penulisan data nukilan, penulisan daftar

pustaka dan lainya.20 Sedangkan untuk sistematika transilerasi, penulis

berkiblat pada keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 248. 19 Hamka Hasan, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah, 2008), h. 5. 20 Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012-2013 (Jakarta: Biro

Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Jakarta, 2012).

Page 26: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

13

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor:

0543b/U/1987.

F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya mempermudah pemahaman dalam penelitian ini, penulis

meruntutkan pembahasannya dalam bab-bab sebagaimana biasanya sebuah

penelitian tertulis. Dalam tata urut bab-bab penelitian ini, penulis merangkainya

sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan uraian pendahuluan yang meliputi latar belakang

munculnya masalah yang diangkat penulis dalam penelitian ini. Selanjutnya,

penulis menguraikan pembatasan masalah agar penelitian ini dapat lebih fokus

dan mendalam, kemudian penulis menguraikan perumusan masalah dalam bentuk

pertanyaan sebagai masalah yang harus terjawab dalam penelitian ini. Selain itu,

pada bab ini penulis juga menguraikan tujuan dan manfaat penelitian, dan kajian

pustaka sebagai analisis terhadap penelitian-penelitian sebelumnya agar tidak

terjadi pengulangan penelitian yang sama. Kemudian, penulis menguraikan

metodologi yang dijadikan pijakan dalam penelitian ini sekaligus menguraikan

sistematika dalam penulisannya.

Bab kedua, merupakan tinjauan pustaka yang menguraikan ruang lingkup

perbudakan meliputi pengertian dan sejarahnya. Kemudian penulis juga

menguraikan penafsiran ayat-ayat tentang perbudakan dari mufasir klasik dan

mufasir kontemporer sebagai gambaran umum para mufasir terkait penafsiran

ayat-ayat perbudakan.

Page 27: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

14

Bab ketiga, merupakan uraian tokoh yang diangkat dalam penelitian ini,

yaitu Muḥammad Rasyîd Riḍâ, yang meliputi biografi tokoh untuk mengetahui

latar belakang kehidupannya, lalu penulis menguraikan pendidikan dan karyanya

untuk mengetahui ruang lingkup kajiannya dan dilanjutkan dengan uraian

pemikiran keislaman dan pemikiran tafsir al-Qur`an untuk mengetahui pendapat-

pendapatnya dalam permasalahan keagamaan. Sebagai penutup bab ketiga,

penulis menguraikan metodologi tafsir yang dikarang oleh Muḥammad Rasyîd

Riḍâ untuk mengetahui latar belakang kitab tafsir ini muncul dan ruang lingkup

penafsirannya yang meliputi sumber penafsiran, metode penafsiran, corak

penafsiran dan karakteristik penafsirannya.

Bab keempat, merupakan uraian inti bahasan penelitian ayat-ayat tentang

perbudakan menurut Muḥammad Rasyîd Riḍâ meliputi pengertian term-term yang

digunakan dalam al-Qur`an. Dalam menguraikan penafsiran Muḥammad Rasyîd

Riḍâ terhadap ayat-ayat perbudakan, penulis mengelompokkannya masing-masing

term yang digunakan ayat-ayat al-Qur`an dalam menyebutkan bahasan

perbudakan kemudian menguraikan penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ dan

memfokuskannya pada penafsirannya terhadap bahasan perbudakan, kemudian

dilanjutkan analisis penafsiran yang telah diuraikan dengan lebih mengkerucutkan

pembahasan term-term perbudakan agar lebih fokus pada pemaknaan dan

penafsiran Muḥammad Rasyîd Riḍâ, dan kemudian diuraikan pula relevansi yang

didapatkan dari penjelasan penafsiran ayat-ayat tersebut dengan fenomena praktik

perbudakan dalam konteks modern.

Bab kelima, merupakan penutup dari penelitian ini. Dalam bab ini, penulis

uraikan jawaban masalah yang diangkat dalam perumusan masalah penelitian ini,

Page 28: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

15

dan kemudian memberikan saran untuk pembaca baik untuk penelitian selanjutnya

maupun rekomendasi pemanfaaatan praktis.

Page 29: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perbudakan

Perbudakan atau budak sepadan dengan kata hamba atau jongos yang

berartikan seseorang yang dirampas kemerdekaan hidupnya untuk bekerja

memenuhi kepentingan golongan lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

budak diartikan sebagai anak, abdi, jongos. Sedangkan perbudakan adalah sistem

sekelompok manusia yang direbut kebebasannya untuk bekerja guna keperluan

golongan manusia lain.1 Dari pengertian ini dapat diambil garis besarnya bahwa

perbudakan atau budak adalah manusia yang tidak mendapatkan hak-hak

hidupnya karena diperdaya atau diperalat oleh manusia lainnya. Hal ini senada

dengan keterangan dalam ayat al-Qur`an:

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki

yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun”. (QS. Al-Naḥl [16]: 75).

B. Sejarah Perbudakan

Perbudakan telah muncul sejak beribu-ribu tahun lalu, dan telah dijumpai

oleh bangsa-bangsa kuno seperti Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, dan

telah disebutkan pula dalam kitab-kitab Nabi-nabi terdahulu, kitab Taurat dan

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008), h. 225-226.

16

Page 30: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

17

Injil, begitu pula dalam al-Qur`an.2 Dari fenomena tersebut, maka di bawah ini

akan dijelaskan sejarah perbudakan sebelum Islam (sebelum masa kenabian

Muḥammad Saw.) dan sejarah perbudakan setelah kenabian Muḥammad Saw.

1. Perbudakan Sebelum Islam

Perbudakan merupakan fenomena kuno yang selalu ada sepanjang

sejarah manusia, artinya sepanjang sejarah manusia ada maka fenomena

perbudakan pun akan selalu ada menyertainya karena manusia mempunyai

kecenderungan homo homini lupus (keinginan untuk menguasai yang lain),

meskipun keberadaan perbudakan itu sendiri muncul dengan model dan bentuk

yang berbeda-beda pada masanya. Seperti contohnya model perbudakan kuno

dengan mengekploitasi manusia untuk melakukan apapun yang dikehendaki

sang majikan, sedangkan perbudakan modern seperti dengan ekploitasi

manusia terhadap lainnya dengan samar-samar dan berada di balik aktivitas-

aktivitas lainnya,3 seperti praktik yang terjadi pada para pembantu, karyawan

ataupun lainnya yang mengalami tindak penindasan dan kesewenang-

wenangan.

Di dalam al-Qur`an sendiri dikisahkan perbudakan pada masa Nabi Musa

yang dilakukan oleh Fir’aûn:

“Sesungguhnya sebelum mereka telah Kami uji kaum Fir’aûn dan telah

datang kepada mereka seorang Rasul yang mulia, (dengan berkata):

"Serahkanlah kepadaku hamba-hamba Allah (Banî Isrâîl yang kamu

2 Abû Bakr Jâbir Al-Jazairî, Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Penerjemah. Mustafa Aini,

Amir Hamzah, Khalif Mutaqin (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 444 3 Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam,” Suara Muhammadiyah 01, No. 98 (1-15 Januari

2011), h. 48.

Page 31: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

18

perbudak). Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya

kepadamu.” (QS. Al-Dukhân [44]: 17-18).

Sejarah mengenai fenomena perbudakan kuno yang tercatat dan

ditemukan bukti terjadinya fenomena perbudakan adalah pada masa kerajaan

Hammurabi (1760 SM), pada masa tersebut ditemukan sebuah bukti terjadinya

fenomena perbudakan dengan ditemukannya prasasti Hammurabi4, bahkan

kuburan pra sejarah di Mesir menunjukkan bahwa sejak 8000 SM. masyarakat

Libya telah memperbudak suku lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

perbudakan sudah ada sebelum masa tulis menulis dan telah ada dalam

berbagai kebudayaan.5

Perbudakan dan pelayan diketahui sudah ada sejak zaman Mesir Kuno

dan Timur Tengah, juga China dan India. Budak secara umum berasal dari

bangsa asli yang diperbudak karena sebab hutang maupun hukuman. Hal ini

tampak nyata ketika sebuah rezim ekonomi berkuasa pada masa lalu selalu ada

sistem perbudakan terkait dengan industri. Pada masa berburu, kelompok yang

menang perang tidak hanya mengalahkan musuhnya tetapi juga membunuhnya,

menahan wanita-wanita untuk diperjual belikan. Hal tersebut bagian dari

kemenangan yang terus-menerus dan eksploitasi kultur yang diterapkan secara

skala besar sebagai eksistensi pasca perang, bahwa budak pekerja dapat

menambah persediaan makanan terhadap tuannya dan di waktu yang sama

dapat menambah meringankannya dalam bekerja. Dalam tingkat ini,

4 Prasasti Hammurabi adalah prasasti kuno yang berisi undang-undang pada masa

yang disusun oleh raja Hammurabi, prasasti ini berukuran 2,25 meter dengan tulisan terukir dalam

bahasa Akkadia berisi 282 undang-undang mengenai berbagai ketentuan, di antaranya undang-

undang perdagangan, perbudakan, penuduhan, ganti rugi kerusakan, pencurian dan hubungan

keluarga. Artikel Wikipedia, “Undang-undang Hammurabi” diakses pada 3 April 2019 dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/undang-undang_hammurabi 5 Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan dalam Pandangan Islam,” Nuansa, Vol. VIII, No. 2

(Desember 2015), h. 143, dan Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam.” h. 49.

Page 32: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

19

pergerakan sosial perbudakan sangat terlihat, dapat dikatakan bahwa budak

merupakan sistem yang mutlak dan universal.6

Di daerah Yunani, perbudakan terjadi disebabkan perang, penculikan

anak-anak, dan pembayaran bagi orang-orang yang tidak membayar hutang,

akan tetapi secara umum perbudakan terjadi karena faktor hukuman. Laki-laki

bekerja di kebun sedangkan wanita bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga,

dalam sejarah perbudakan diketahui pertama kali terjadi di daerah Iona, sekitar

450 SM di pusat-pusat industri seperti Athena dan Corint, sedangkan pasar

budak banyak terdapat di daerah sekitar Aegean. Di daerah Roma perbudakan

terjadi di awal 367 SM, pada tahun 168 SM setelah Roma mengalahkan

Macedonia, 150.000 orang yang tertangkap dijadikan budak untuk dijual.

Seorang budak selain bekerja sebagai pegawai rendah juga diperlakukan kejam

dan tidak manusiawi.7

Pada zaman jahiliyah, perbudakan seperti halnya lembaga sosial yang

dipandang oleh semua orang sebagai hal yang sudah mengakar dalam

kehidupan sosial waktu itu, budak sama halnya dengan harta benda manusia

yang digunakan untuk semua kepentingan tuannya, tak ada seorang pun yang

menentang hal itu. Berbeda dengan minuman keras yang pada zaman jahiliyah

sudah banyak orang yang menentang atau berpantang meminumnya karena

melihat dampak buruk minuman keras, walaupun Islam di masa awalnya tidak

mengharamkan meminum minuman keras, tapi dalam hal perbudakan tak ada

6 Britannica Encyclopedia (Chicago: William Benton Publisher, 1965), XX: 773. 7 Chamber’s Enchclopedia (London: George Newnes Limited, 1950), XII: 597-601.

Page 33: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

20

seorang pun yang menentangnya karena hal tersebut sudah menjadi budaya

masyarakat yang sudah mengakar kuat.8

Kondisi perbudakan pada zaman jahiliyah mirip dengan kondisi

perbudakan Yunani dan Romawi, budak diangggap sebagai sebuah barang

yang menguntungkan karena dapat diperjual belikan atau dipertukarkan

sebagai hadiah dan dapat pula diwariskan sebagaimana harta benda lainnya.

Pasar-pasar di jazirah Arab dipenuhi dengan budak sebagai komoditi unggulan,

dan kaum Quraisy yang paling banyak menikmati keuntungan dari hasil

perdagangan budak.9

Faktor yang menjadikan seseorang menjadi budak banyak sekali

sehingga membuka lebar pintu terjadinya praktik perbudakan, dan justru jalan

keluar dari praktik perbudakan sangat sulit bagi yang sudah terlanjur berstatus

sebagai budak. Bisa dikatakan hanya ada dua cara agar seorang budak terbebas

dari belenggu tuannya, yakni lari dari tuannya atau kematian.

Cara pertama, bagi budak yang merasa teraniaya dan tidak tahan dengan

perlakuan tuannya, maka dia akan lari menjauh dari tuannya. Ketika dia lari

menjauh dari tuannya bukan berarti masalah status perbudakannya selesai,

akan tetapi ancaman selalu menghantuinya, apabila dia tertangkap kembali

oleh tuannya pasti dia akan mendapatkan siksaan yang berat, dan apabila dia

ditemukan oleh orang yang mengetahui statusnya sebagai seorang budak maka

orang tersebut menjadi tuan yang baru baginya.

8 Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an,” Shuhuf, Vol. 4, No. 1

(2011), h. 43. 9 Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam,” Ahkam, Vol. XV,

No. 1 (Januari 2015), h. 97.

Page 34: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

21

Cara yang kedua, bagi budak yang tak bisa lari dari belenggu tuannya

dan merasa tidak dapat lagi menahan aniaya maka dia akan memilih jalan

pintas yaitu bunuh diri. Sebagai jalan terakhir kematian terkadang dianggap

lebih baik dari pada terus menerus ditempa aniaya dari tuannya.10

Hal tersebut mencerminkan bahwa perbudakan pada masa sebelum Islam

terjadi di berbagai penjuru dunia, bahkan diburu sebagai ladang usaha mereka

baik itu untuk dipekerjakan ataupun diperjual belikan.

2. Perbudakan Setelah Islam

Pada masa awal Islam masuk ke jazirah Arab, Islam tidak secara tegas

menolak praktik perbudakan, bahkan terkesan meneruskan praktik perbudakan

dengan adanya tuntunan-tuntunan dalam al-Qur`an mengenai perbudakan,

sehingga hal tersebut dinilai oleh para pengkritik Islam bahwa Islam

melegalkan perbudakan, terlebih melihat keterangan sejarah bahwa Rasûlullâh

Saw. dan para sahabatnya pernah mempunyai budak. Namun demikian, bukan

berarti Islam memperbolehkan perbudakan, Islam bertujuan untuk menegakkan

hak asasi manusia dan kesamaan hak antar manusia. Islam datang memang

tidak langsung mengharamkan perbudakan, akan tetapi sejarah hidup

Rasûlullâh Saw. menunjukkan bahwa Islam secara perlahan melarang praktik

perbudakan, hal ini terbukti dari banyaknya ajaran Islam yang secara explisit

bertujuan untuk menghapuskan perbudakan. Namun, ketidaktegasan Islam

dalam menghapus perbudakan atau mengharamkan praktik perbudakan

10 Rifqi Muhammad Fatkhi dan Reza Hudan Lisalam, “Membumikan HAM Mengikis

Perbudakan,” Refleksi, Vol. 17, No. 2 (Oktober 2018), h. 155.

Page 35: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

22

menjadikan musuh-musuh Islam memfitnah bahwa Islam membudayakan

perbudakan dan melegalkannya.

Melihat kondisi saat pertama kali datang di jazirah Arab, Islam datang

pada masyarakat yang sudah mengakar kuat dengan praktik perbudakan maka

Islam tidak bisa serta merta menolak praktik perbudakan atau

menghilangkannya, karena akan berakibat pada penolakan besar-besaran dari

masyarakat dan juga dapat mengakibatkan kesengsaraan bagi budak yang

belum siap menjadi seorang yang merdeka karena faktor ekomoni ataupun hal

lainnya.11 Islam secara perlahan menghilangkan praktik perbudakan dengan

mengikis faktor terjadinya perbudakan sehingga mempersempit pintu

masuknya praktik perbudakan dan membuka lebar-lebar jalan menuju

kemerdekaan melalui denda penebusan dosa dan lain sebagainya.12

Islam mempersempit pintu perbudakan, dari berbagai macam faktor yang

dapat menjadikan seseorang menjadi budak, Islam memangkasnya menjadi

satu pintu yang memungkinkan orang menjadi budak dengan berbagai

pertimbangan. Satu pintu itu adalah tawanan perang, seseorang yang menjadi

tawanan perang akan dipertimbangkan sesuai kemaslahatannya, apakah dia

dibebaskan atau dijadikan sebagai budak. Syekh ‘Ulwan menjelaskan ada

empat pilihan yang dipertimbangkan terhadap para tawanan.

1. Membebaskannya;

2. Ditebus;

3. Dibunuh;

4. Dijadikan budak.

11 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 98. 12 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 100, dan Hamsah, “Perbudakan

Sebelum Islam.” h. 49.

Page 36: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

23

Kebijakan untuk memilih dari salah satu hal di atas dipegang penuh oleh

khalifah atau panglima perang dengan mempertimbangkan kemashlahatan.13

Sebagaimana Rasûlullâh Saw. memperlakukan para tawanan perang yakni

dengan membunuh sebagian dari mereka, meminta tebusan dari sebagian yang

lain serta membebaskan sebagaian lainnya dengan pertimbangan kemaslahatan

bagi kaum Muslimin.14

Hal tersebut di atas bukan berarti setiap perang dapat menjadikan

tawanannya menjadi budak, dalam arti lain perang dalam Islam haruslah sesuai

dengan ketentuan syarî’ât. Adapun perang yang diperboleh dalam Islam

adalah:

1. Memerangi musuh Islam sesuai dengan firman Allah Swt.:

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang

yang kafir berperang di jalan ṭagut, sebab itu perangilah kawan-kawan

syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”

(QS. Al-Nisa [4]: 76).

Bolehnya melakukan perang sesuai dengan ayat di atas adalah adanya

perang tidak berlandaskan kemauan hawa nafsu dan tidak bertujuan

untuk menjajah, akan tetapi bertujuan untuk berdakwah keislaman dan

mencari jalan terbaik.

2. Peperangan dilakukan setelah melakukan tiga hal, pertama mengajaknya

masuk agama Islam, kedua memerintahkannya membayar jizyah, dan

13 ‘Abd Allâh Naṣîh ‘Ulwân, Niẓâm al-Riqq fî al-Isâm (Kairo: Dâr al-Salâm, 2003), h.22-

23. 14 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 444.

Page 37: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

24

apabila kedua hal di atas tidak direspon dengan baik maka barulah

diperbolehkan melakukan hal yang ketiga yaitu perang.

Apabila di tengah-tengah masa perang, musuh mengajukan perjanjian

damai maka kaum muslimin menyutujui perdamaian dengan catatan syarat

perjanjian tidak hanya menguntungkan pihak musuh dan merugikan pihak

muslim, akan tetapi perjanjian harus melihat kemaslahatan bagi kedua belah

pihak.15 Karena firman Allah Swt. dalam al-Qur`an:

“Jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya

dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha

mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Anfâl [8]: 61).

Selain memangkas terbukanya pintu perbudakan, Islam juga membuka

selebar-lebarnya pintu menuju kemerdekaan dengan berbagai hal. Pintu

menuju kemerdekaan atau pembebasan budak dapat diklasifikasi menjadi dua

jalan, pertama pembebasan budak sebagai ketaatan atau nilai kebajikan dan

yang kedua sebagai sanksi hukum atas kesalahan.16

Klasifikasi pembebasan budak yang pertama adalah sebagai bentuk

ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya dengan mengharapkan keridhaan-

Nya. Tuntunan tersebut tertuang dalam al-Qur`an:

“Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu)

melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad [90]: 12-13).

15 ‘Ulwan, Nizhâm al-Riqq fî al-Isâm, h.19-22. 16 Muḥammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an.” h. 45.

Page 38: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

25

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada

Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan

memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-

orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,

mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang

menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam

kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-

orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang

bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Sedangkan klasifikasi yang kedua dijelaskan dalam al-Qur`an:

“Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa

membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia

memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat

yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (QS. Al-Nisâ`

[4]: 92).

“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak

menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)

memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.

Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui

apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujâdalah [58]: 3).

Page 39: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

26

Islam tidak dapat menghapus perbudakan secara drastis dan radikal,

karena dapat menimbulkan gejolak sosial yang justru merugikan dakwah Islam

dan juga tidak ada hal yang mendukung untuk tujuan itu. Bahkan para budak

pun bisa jadi belum tentu siap untuk menjadi manusia merdeka, karena

karakter dasar mereka yang selalu dalam kontrol tuannya. Sebagai gantinya

Islam memberikan tuntunan hukum untuk memperlakukan budak sebagaimana

manusia pada umumnya dan menghapus perbudakan secara bertahap.17

Sulitnya usaha memerdekakan budak pada masa itu diceritakan dalam al-

Qur`an:

“Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar, tahukah

kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan

budak dari perbudaka”. (QS. Al-Balad [90]: 11-13).

C. Faktor yang Mendorong Terjadinya Perbudakan

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam memangkas

pintu perbudakan sehingga faktor yang memungkinkan terjadinya perbudakan

hanya satu jalan, yakni tawanan perang. Akan tetapi pada sub ini penulis

menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya praktik perbudakan pada

masa jahiliyah sebagai bahasan tambahan mengenai terjadinya praktik perbudakan

yang marak terjadi pada zaman jahiliyah. Terdapat banyak faktor yang

menjadikan orang menjadi budak, antara lain:

1. Keturunan

Seorang budak akan melahirkan seorang budak, keluarga budak akan

terus menjadi budak sampai menurun kepada anak-anaknya. Anak yang lahir

17 Muḥammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur`an.” h. 44.

Page 40: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

27

dari seorang budak akan hidup di bawah pengawasan seorang tuan untuk

menuruti semua perintahnya

2. Perang

Peperangan antar suku, wilayah ataupun negara sangat sering terjadi di

zaman dahulu, bahkan peperanganpun bisa terjadi dikarenakan perbedaan antar

kelompok yang mempunyai kepentingan berbeda. Pihak yang kalah akan

menjadi tawanan dan dijadikan sebagai budak, dan apabila peperangan tidak

berakhir dengan kekalahan maka tawanan yang telah ditangkap oleh lawan

menjadi budak oleh masing-masing kelompok.18

3. Kefakiran

Tantangan ekonomi juga menjadi faktor besar dalam terjadinya

perbudakan, seseorang yang mengalami himpitan ekonomi menuntutnya untuk

meminjam uang kepada orang kaya, dan apabila hutang tidak terbayarkan

maka peminjam akan menjadi budak bagi yang meminjam.19 Tidak jarang juga

kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan

sebagai budak bagi orang lain, di samping ketidak mampuannya mengurus

anak-anak karena faktor ekomoni, juga karena mereka membutuhkan uang

untuk keberlangsungan hidup mereka membeli makanan yang dibutuhkan

untuk sehari-hari.20

4. Penculikan

Banyak pula seorang jatuh menjadi seorang budak disebabkan

penculikan, dan hal ini banyak terjadi pada anak kecil yang diculik karena

18 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 96. 19 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 96. 20 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 669.

Page 41: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

28

kurang pengawasan dari orang tuanya, penculikan tersebut menjadikan

penculik memperbudak korbannya hingga keluarganya dapat menebusnya.21

5. Perampokan dan pembajakan

Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika

dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar

budak Eropa. Di samping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-

kapal yang melintas di lautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika

mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya

di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya.22

Berbagai faktor lain yang dapat menyebabkan orang jatuh ke dalam

perangkap perbudakan, seperti anak yatim tidak mempunyai pengasuh,

pemungutan anak yang terlantar atau tersesat dalam perjalanan, orang yang

melakukan tindakan kurang sopan kepada bangsawan dan lain sebaginya.23

D. Tafsir al-Qur`an

Di bawah ini penulis menguraikan penafsiran dari para mufassir terkait

perbudakan. Sebagai perwakilan dalam menguraikan pendapat para mufassir

terkait perbudakan, penulis uraikan penjelasan dari Ibn Kaṡîr (1301-1372 M)

dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm sebagai mufassir klasik dan Sayyid

Quṭb (1906-1966 M) dalam tafsirnya Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an sebagai mufassir

kontemporer.

21 Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam.” h. 97. 22 Al-Jazairi, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, h. 669. 23 ‘Ulwan, Nizhâm al-Riqq fî al-Isâm, h.12.

Page 42: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

29

1. Tafsir Klasik (Tafsîr Ibn Kaṡîr-Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm)

Tafsir ini dikarang oleh ‘Imâduddin Abû al-Fidâ` Ismâîl bin al-Khatîb

Abû Hafṣ Umar bin Kaṡîr al-Syâfi’î al-Quraisyî al-Dimasyqî,24 atau lebih

dikenal dengan Ibn Kaṡîr. Nama kitab ini adalah Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm tapi

lebih dikenal dengan Tafsîr Ibn Kaṡîr karena dinisbatkan kepada

pengarangnya.

Dalam penafsirannya, Ibn Kaṡîr menggunakan sumber penafsiran bî al-

ma`ṡûr atau menjelaskan isi kandungan ayat al-Qur`an dengan menggunakan

ayat al-Qur`an yang lain, hadis-hadis nabi dan pendapat para sahabat.25

Tentang tafsir ini, Rasyîd Riḍa mengomentari bahwa menurutnya tafsir

ini merupakan tafsir yang mempunyai peran besar dalam menjelaskan isi

kandungan al-Qur`an melalui riwayat-riwayat dari para mufassir salaf dan

tidak menghabiskan pembahasannya dengan bahasan kebahasaan seperti i’râb

dan balâgah yang seringkali oleh mufassir lain panjang lebar dibicarakan, oleh

karenanya tafsir ini lebih memfokuskan penjelasan makna ayat dan hukum-

hukum yang terkandung di dalamnya.26

Dalam penjelasannya tentang perbudakan, Ibn Kaṡîr menjelaskan term-

term perbudakan dengan makna yang disesuaikan dengan tema yang diangkat

pada ayat tersebut, dengan arti lain tidak selalu diartikan sebagai budak atau

diartikan sebagai budak tapi tidak secara umum. Sebagai contoh Ibn Kaṡîr

menguraikan penafsirannya pada sûrah al-Nûr ayat 33:

24 ‘Imâduddin Abû al-Fidâ Ismâ’îl bin al-Khatîb Abû Hafṣ ‘Umar bin Kaṡîr, Tafsîr al-

Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid I (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), h. 7. 25 Yûnus Hasan ‘Abidu, Tafsir al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.

Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 4. 26 Manna’ Khalîl Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Penerjemah Mudzakir AS. (Bogor:

Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h.528.

Page 43: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

30

“Budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,

hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui

ada kebaikan pada mereka.” (QS. Al-Nûr [24]: 33).

Ibn Kaṡîr mengartikan kata mâ malakat aimânukum sebagai budak yang

dianjurkan bagi tuannya untuk melakukan penebusan kemerdekaannya dengan

akad kitâbah27 apabila diketahui terdapat kebaikan bagi budak tersebut.28

Ibn Kaṡîr menjelaskan bahwa jika pemilik budak mengetahui bahwa

budak memiliki cukup harta untuk memerdekakan dirinya, maka seorang tuan

sangat dianjurkan menerima harta tebusan tersebut. Ibn Kaṡîr mengutip hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menceritakan bahwa seorang

sahabat bertanya kepada Nabi Saw., apakah dia wajib (memerdekakan budak)

apabila dia tahu bahwa budak tersebut memiliki harta (untuk menebus

kemerdekaannya)?, Nabi Saw. menjawab: “Saya tidak berpendapat lain keculai

wajib”.29

Dalam penafsiran ayat lain sûrah al-Nisâ` ayat 3:

“Jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian

jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang

saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 3).

27 Kata kafârah berasal dari akar kata kafara yang artinya menutupi, maka hukum kafârah

adalah untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuat. (lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus

al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1217). 28 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid VI, h. 48. 29 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid VI, h. 49.

Page 44: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

31

Ibn Kaṡîr menjelaskan arti perbudakan dalam ayat tersebut dengan kata

al-jawârî al-sarârî yang artinya seorang wanita yang dijadikan sebagai teman

berhubungan badan (jimâ’), apabila dijelaskan lebih lengkapnya adalah

seorang lelaki yang tidak mampu berbuat adil untuk menikah lebih dari satu

istri maka cukup baginya istri satu atau dengan budak wanita yang

diperbolehkan dia gauli.30

2. Tafsir Kontemporer (Tafsîr Sayyid Quṭb-Tafsîr fî Ẓilâl al-Qur`an)

Tafsir ini dikarang oleh Sayyid Quṭb Ibrâhîm Husain Syâzilî, Sayyid

Quṭb adalah tokoh tafsir di abad 20 yang mempunyai pengaruh besar pada

masyarakat Arab bahkan di tingkat dunia.31 Nama Tafsir ini adalah Tafsîr fî

Ẓilâl al-Qur`an yang merupakan karya monumenalnya dalam bidang kajian al-

Qur`an.

Dalam penafsirannya, Sayyid Quṭb menggunakan sumber bi al-ma`ṡûr

dan bi al-ra`y, menafsiri ayat dengan ayat yang lain atau hadis Nabi Saw.

kemudian Sayyid Quṭb menjelaskan hubungannya dengan kesadaran dan

meluruskan pemahaman masyarakat,32 membangkitkan masyarakat untuk

memahami ayat-ayat al-Qur`an dengan benar.

Kitab tafsir ini merupakan upaya yang dilakukan Sayyid Quṭb untuk

mengajak manusia kembali kepada ajaran al-Qur`an, karena menurutnya umat

Islam saat itu sedang berada dalam kesengsaraan yang disebabkan oleh paham-

paham dan aliran-aliran yang merusak, dengan hadirnya tafsir ini Sayyid Quṭb

30 Ibn Kaṡîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓîm, Jilid II, h. 185-186. 31 Husna Husain dan Ibrâhim Hashîm, “Manhaj Sayyid Quṭb dalam Berinteraksi dengan

Ayat-ayat Berkaitan Wanita di dalam al-Qur`an,” Perspektif: Special Issue 1 (2007), h. 21. 32 Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, h. 514.

Page 45: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

32

berharap umat Islam kembali kepada petunjuk al-Qur`an. Pada

pendahuluannya Sayyid Quṭb mengungkapkan “Tiada ada ketentraman dan

keharmonisan kecuali kembali kepada Allah Swt.”.33

Mengenai penafsiran Sayyid Quṭb tentang perbudakan, secara umum

Sayyid Quṭb menggolongkan budak ke dalam golongan orang-orang yang

berada dalam kondisi sulit, sehingga dalam beberapa penafsirannya ditujukan

kepada upaya pembebasan budak dari belenggu tuannya. Sebagai contoh

penjelasan Sayyid Quṭb yang menguraikan penafsiran sûrah al-Baqarah ayat

177:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada

Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan

memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-

orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,

mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang

menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam

kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-

orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang

bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Dalam penafsiran ayat tersebut, Sayyid Quṭb menjelaskan bagaimana

hakikat kebajikan, yakni dari mulai beriman kepada Allah Swt. hingga

33 Al-Qaṭṭân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, h. 513.

Page 46: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

33

menjelaskan pemberian harta berharga milik seseorang kepada orang lain yang

membutuhkan, termasuk di dalamnya adalah budak yang oleh Sayyid Quṭb

dijelaskan sebagai orang yang berada dalam kesulitan harta untuk

memerdekakan dirinya.34 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan

pemerdekaan budak dijadikan sebagai tujuan dari perbudatan baik untuk

kemudian budak dapat mengajukan akad kitâbah dengan tuannya.

34 Sayyid Quṭb Ibrâhîm Ḥusain al-Syażilî, Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an, Jilid 1 (al-Qâhirah:

Dâr al-Syurûq), h. 160.

Page 47: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

34

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

(MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ)

A. Biografi Muḥammad Rasyîd Riḍâ

Kenyataan terjadinya kemunduran dunia Islam dalam berbagai bidang, baik

bidang keagamaan, sosial maupun intelektual, seperti pengaruh tarekat yang kuat

yang memunculkan sikap statis yang cenderung toalistik, merajalelanya bid’ah1

dan khurafât2 yang mengotori akidah sehingga umat Islam buta terhadap keaslian

ajaran agama Islam, karena hal tersebut lahirlah gerakan-gerakan pembaharuan

yang menyerukan umat Islam agar kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah. Salah

satu tokoh pembaharuan yang hidup pada sepertiga akhir dari abad ke-19 dan

sepertiga awal abad ke-20 adalah Rasyîd Riḍâ. Kata Syakib Arselan (1869-1946),

sebagai dinukil oleh Aḥmad al-Syirbâsî (1918-1980), “tidaklah mungkin sejarah

Islam akan ditulis dalam bentuk yang sebenarnya serta mencakup beberapa ilmu

pengetahuan tanpa memberikan tempat terhormat bagi Sayyid Muḥammad Rasyîd

Riḍâ di dalamnya”.3

1 Kata bid’ah berasal dari akar kata bada’a yang mempunyai arti mencipta sesuatu yang

belum pernah ada sebelumnya. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 65. Kata bid’ah sering dikaitkan dengan ibadah-ibadah yang tidak

pernah dilakukan oleh Nabi Saw. dan para sahabat. 2 Kata khurafât berasal dari akar kata kharafa yang mempunyai arti kacau pikirannya atau

mengigau. Lihat Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 334. Kata khurafât sering dikaitkan dengan

perbudatan-perbuatan takhayul dan mengada-ngada yang lebih mempercayai mitos. 3 Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam (Jakarta: Rajawali Press,

2013), h. 113-114.

34

Page 48: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

35

Nama lengkap Rasyîd Riḍâ ialah Muḥammad Rasyîd ibn ‘Alî Ridâ ibn

Muḥammad Syams al-Dîn al-Qalmûny.4 Ia lahir di Qalamun, sebuah desa dekat

Tripoli, Syria, pada 27 Jumâdâ al-Ûlâ 1282 H/18 Oktober 1865 M, beliau

merupakan keluarga keturunan al-Husain ibn ‘Alî ibn Abî Ṭâlib, oleh karena itu,

beliau diberi gelar al-Sayyid di depan namanya. 5

Ayahnya, ‘Alî Riḍâ, adalah salah seorang ulama dan ahli Tarekat

Syâẑiliyyah, hal ini dapat terlihat seperti dalam berpakaian, selalu memakai jubah

dan serban serta tekun dalam pengajian, wirid, sebagaimana pengikut Tarekat

Syâẑiliyyah lainnya, hal tersebut mempengaruhi perkembangan dan sikap

keberagamaan Rasyîd Riḍâ sejak kecil. Rasyîd Riḍâ bercita-cita untuk

mewariskan keturunan yang mampu dan sadar untuk mengubah nasib umat yang

dilanda segala macam khurafât dan bid’ah serta ajaran-ajaran yang telah

menyeleweng dari kebenaran ajaran agama Islam, hal ini beliau buktikan dengan

berusaha memurnikan ajaran Islam yang dianggapnya telah menyimpang dari al-

Qur`an dan Sunnah, usaha tersebut beliau curahkan dalam bentuk tulisan-tulisan

dan gerakan reformis keagamaan dan kenegaraan di wilayah Mesir dan Tipoli. 6

Rasyîd Riḍâ wafat dalam perjalanan menuju Kairo pada kamis, 22 Jumâdâ

al-Ûlâ 1354 H/22 Agustus 1935 M, tidak lama setelah mengantar Pangeran Sa’ûd

ibn ‘Abd al-‘Azîz ke Suez.7 Dalam keterangan lain, diceritakan bahwa mobil

dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia mengalami luka yang parah pada

4 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke

Masa (Jakarta: Kencana, 2010), h. 75. 5 Ahmad Rofi’ Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim (Bandung: Mizan Pustaka. 2015), h.

476, Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 114, dan Harun Nasution,

Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 60. 6 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 76 7 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 476-477, dan Rusli, Pembaharuan Pemikiran

Modern dalam Islam, h. 118.

Page 49: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

36

bagian kepalanya. Selama dalam perjalanan, ia hanya membaca al-Qur`an, walau

ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh

orang-orang yang menyertainya, ia telah wafat dengan wajah yang sangat cerah

disertai senyuman.8

B. Pendidikan

Semasa kecil, Rasyîd Riḍâ masuk madrasah tradisional di Qalamun untuk

belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur`an. Pada tahun 1882 M, Rasyîd

Riḍâ meneruskan pelajarannya di Madrasah al-Wataniyyah al-Islâmiyyah (sekolah

Nasional Islam di Tripoli). Di madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan pula

bahasa Turki dan Perancis, dan pengetahuan-pengetahuan modern.9 Sekolah yang

didirikan oleh al-Syaikh Ḥusain al-Jisr (1845-1909) ini banyak dipengaruhi oleh

ide-ide modern. Menurut Ṡalah al-Khâlidî dalam bukunya, Ta’rîf al-Dârisîn, besar

kemungkinan Rasyîd Riḍâ mengetahui ide-ide Jamâluddin al-Afgânî (1838-1897)

dan Muḥammad ‘Abduh (1849-1905) di sekolah ini melalui tulisan-tulisan

mereka di majalah al-‘Urwah al-Wuṡqâ. Oleh sebab itu, Rasyîd Riḍâ sangat

berkeinginan untuk bertemu dengan dua pembaharu tersebut.10

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Waṭaniyyah Islâmiyyah

di Beirut, Rasyîd Riḍâ menekuni dunia jurnalisme. Hal itu karena ketertarikannya

8 Muhammad Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsîr al-Manâr, (Bandung: Pustaka Hidayah,

1994), h. 80. 9 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa. h. 76, dan Nasution, Pembaharuan

dalam Islam Sejarah dan Gerakan, h. 69. 10 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 93.

Page 50: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

37

dengan majalah al-‘Urwah al-Wuṡqâ yang diterbitkan oleh Jamâluddin al-Afgânî

dan Muḥammad ‘Abduh di Paris pada 1302 H/1884 M.11

Ketika Muḥammad ‘Abduh dibuang ke Beirut, Rasyîd Riḍâ berkesempatan

untuk berjumpa dan berdialog dengannya. Perjumpaan dan dialognya dengan

Muḥammad ‘Abduh makin memperkuat kesan dan semangatnya untuk mengikuti

arus pemikiran pembaharuan tokoh asal Mesir ini, terutama tentang masalah-

masalah yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran Islam. Berbekal

pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari gurunya, Rasyîd Riḍâ mencoba

menerapkan ide-ide pembaharuannya di negara asalnya, namun upaya serta

usahanya mendapat tantangan dari pemerintah setempat. Lalu Rasyîd Riḍâ pindah

ke negara asal gurunya, yakni Mesir, dan menjadikannya sebagai tanah lahir

kedua dan pusat kegiatan intelektualnya pada akhir abad ke-19.12

Pada 1316 H/1898 M, Rasyîd Riḍâ bersama ‘Abduh menerbitkan majalah

al-Manâr, sebuah majalah yang besar pengaruhnya dalam kebangkitan Islam.

Pada 1331 H/1912 M, Rasyîd Riḍâ mendirikan sebuah sekolah dakwah,

Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyâd, untuk menyebarluaskan berbagai pemikiran

pembaharuaanya.13 Melihat perjalanan dan perjuangannya di atas, Rasyîd Riḍâ

dapat dikatakan sebagai ulama yang gigih dan selalu berjuang dalam

kehidupannya demi kemajuan Islam.

11 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 476 12 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 78. 13 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 477.

Page 51: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

38

C. Karya-Karya Ilmiah

Semasa hidupnya Rasyîd Riḍâ telah menulis beberapa karya yang menyertai

gagasan-gagasannya, adapun beberapa karya-karyanya antara lain:

1. Al-Ḥikmah al-Syar’iyyah fî Muḥkamât al-Qâdiriyyah wa al-Rifâ’iyyah,

buku ini adalah karya pertama Rasyîd Riḍâ, isinya adalah bantahan kepada

‘Abd al-Hady al-Ṣayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar ‘Abd al-Qâdir

al-Jîlânî (1078-1167 M), juga menjelaskan kekeliruan-kekeliruan yang

dilakukan oleh para penganut tasawuf, tentang busana muslim, sikap

meniru non-muslim, Imam Mahdi, masalah dakwah dan kekeramatan.

2. Al-Azhar, yang berisi antara lain tentang sejarah al-Azhar, perkembangan

dan misinya, serta bantahan terhadap sementara ulama al-Azhar yang

menentang pendapat-pendapatnya.

3. Târikh al-Ustâẑ al-Imâm al-Syaikh ‘Abduh, yang berisi riwayat hidup

Muḥammad ‘Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.

4. Al-Waḥy al-Muḥammadî, berisi tentang intisari wahyu Allah yang

diberikan kepada Nabi Muḥammad SAW.

5. Nidâ ilâ al-Jins al-Laṭîf, yang berisi uraian tentang hak dan kewajiban-

kewajiban wanita.

6. Al-Waḥdah al-Islâmiyyah,

7. Syubuhât al-Naṣara wa Hujaj al-Islâm,

8. Dzikrâ al-Maulîd al-Nabawî,

9. Yusr al-Islâm wa Uṣûl al-Tasyri’ al-‘Âm,

10. Al-Khilâfah aw al-Imâmah al-‘Uẓmâ,

11. Risâlah Hujjah al-Gâzalî,

12. Al-Sunnah wa al-Syi’ah,

13. Ḥaqiqah al-Ribâ`,

14. Majalah al-Manâr, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354

H/1935 M.,

15. Tafsîr al-Manâr, yang merupakan tulisan Rasyîd Riḍâ dari pengajian yang

diikutinya dengan Muḥammad ‘Abduh, dan setelah Muḥammad ‘Abduh

Page 52: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

39

wafat, Rasyîd Riḍâ melanjutkan penafsirannya secara mandiri hingga

penafsiran sûrah Yûsuf dengan mengikuti corak penafsiran gurunya.

16. Tafsir sûrah al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâṣ, dan al-Mu’awwiẑatain.14

D. Pemikiran Keislaman

1. Konsep Keagamaan

Referensi keagamaan yang dijadikan pijakan oleh Rasyîd Riḍâ adalah

referensi keagamaan yang memiliki banyak sisi dan yang membentuk satu

konsep utuh bagi kehidupan beserta ragam dimensinya. Pengambilan Rasyîd

Riḍâ atas referensi keagamaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh pelajaran-

pelajaran yang disampaikan al-Afgânî. Bahkan, Rasyîd Riḍâ mengakui sendiri

bahwa dirinya membuat pemahaman baru tentang Islam yang bersifat

takammulî (integral). Islam bukan hanya spiritualisme saja, melainkan agama

spiritual dan non-spiritual, agama akhirat dan dunia, yang salah satu tujuannya

ialah menunjukkan manusia pada kepemimpinan mereka di bumi sebagai wakil

Allah di bumi.15

Rasyîd Riḍâ mengatakan kemunduran umat Islam adalah karena umat

Islam tidak memahami ajaran agama dengan benar dan menyeleweng dari

ajaran agama, sehingga timbul bid’ah dan khurafât yang menjadikan umat

Islam tertutup untuk menerima ajaran agama yang sebenarnya.16

Oleh sebab itu, ajaran agama tidak hanya berhenti pada tataran ukhrawi

saja, tetapi juga pada tataran kehidupan duniawi. Hal ini tentu saja menuntut

14 Usmani, Ensiklopedia Tokoh Muslim, h. 477, dan Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar,

79-80. 15 Sa’id Ismâ’îl ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Penerjemah

Muhammad Zaenal Arifin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), h. 200-201. 16 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 118-119.

Page 53: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

40

direalisasikannya kemajuan ilmiah di berbagai ranah kehidupan, kemudian

menuntut umat Islam untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan termasuk

tokoh-tokoh Barat untuk mempelajari hal yang dapat dimanfaatkan dalam

kehidupan.

2. Konsep Pendidikan

Rasyîd Riḍâ menekankan akan pentingnya melandaskan pendidikan pada

agama, bukan hanya pada kerja praksis dan rasionalitas seperti persangkaan

kaum sekuler. Agama Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang selaras dengan

akal, fitrah dan kemaslahatan umat, memerintahkan sesuatu karena

mengandung manfaat dan faedah, serta melarang sesuatu karena mengandung

bahaya dan kerusakan. Inilah konsep dasar Islam yang melihat semua

persoalan dengan mempertimbangkan asas manfaat, setiapkali memerintahkan

atau melarang selalu dikaitkan dengan asas manfaat dan faedah. (majalah al-

Manâr, Agustus 1912 M).17

Menurut Rasyîd Riḍâ, membangun sekolah-sekolah lebih baik dari pada

membangun masjid-masjid, karena dengan membangun sekolah-sekolah maka

kebodohan dapat dihapus dan akan memberikan kemajuan bagi dunia

pendidikan. Rasyîd Riḍâ juga mengatakan umat Islam harus belajar ilmu

pengatahuan modern meskipun dari Barat, karena menurutnya mengambil ilmu

pengetahuan dari Barat sebenarnya adalah mengambil kembali ilmu

pengetahuan yang pernah dimiliki oleh umat Islam dan direbut oleh Barat

melalui Spanyol dan Tanah Suci. Maka Rasyîd Riḍâ merasa perlu adanya

17 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, h. 201.

Page 54: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

41

pembaharuan dalam kurikulum mata pelajaran yang mencakup bidang

sosiologi, ekonomi, ilmu bumi dan lain sebagainya, di samping bidang fikih,

tafsir dan hadis yang biasa diajarkan pada sekolah-sekolah klasik.18

3. Konsep Kesatuan Umat

Rasyîd Riḍâ memperingatkan umat Islam secara keseluruhan agar terus

berhati-hati atas pembagian fanatisme-fanatisme kebangsaan, sesungguhnya di

antara malapetaka umat Islam dalam agama adalah mereka terpecah belah

menjadi beberapa umat yang masing-masing umat memiliki ciri keturunan,

bahasa atau hukum sendiri-sendiri, dan mereka menyingkirkan al-Qur`an.

(majalah al-Manâr, Mei 1909 M)19

Rasyîd Riḍâ juga mengenengahkan konsepsinya tentang perhimpunan

Islam, menurutnya perhimpunan Islam terbagi menjadi dua. Pertama,

perhimpunan yang mencakup kalangan penganut agama Islam dan mempererat

mereka dengan ikatan persaudaraan iman sehingga menjadi seperti satu jasad

yang utuh. Kedua, perhimpunan yang mempertalikan antara umat Islam dengan

umat agama-agama lain dengan ikatan keadilan yang menjadikan mereka

semua berada pada tatanan persamaan.20

Pada dasarnya, pokok-pokok pemikiran dan usaha-usaha yang dilakukan

Rasyîd Riḍâ dalam perjuangan Islam tidak jauh berbeda dengan pokok-pokok

pikiran para tokoh pembaharu lainnya, seperti Jamâluddin al-Afgânî dan

18 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 121-122. 19 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. h. 200. 20 ‘Alî, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. h. 200

Page 55: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

42

Muḥammad ‘Abduh, yaitu berpangkal pada tuntunan adanya kemurnian ajaran

Islam, baik dari akidahnya atau dari segi amaliahnya.

Timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut bermula pada pengalaman yang

diperolehnya sewaktu dalam masa pendidikan, melalui membaca kitab-kitab

dan buku-buku serta majalah yang dibicarakan tentang keberadaan ajaran

agama Islam bagi penganutnya. Salah satu bahan bacaan yang sangat

mempengaruhi Rasyîd Riḍâ adalah majalah ‘Urwah al-Wuṡqâ yang terbit di

Paris di bawah asuhan Jamâluddin al-Afgânî dan Muḥammad ‘Abduh.21

E. Pemikiran Tafsir al-Qur`an

Rasyîd Riḍâ mempunyai nuansa penafsiran yang ingin mendorong umat

Islam menjadi umat yang mau berpikir dan berkemajuan. Rasyîd Riḍâ melihat

perlu adanya tafsir modern dalam memahami isi kandungan al-Qur`an, yaitu

penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya.

Tujuan pokok penafsiran al-Qur`an, menurut Rasyîd Ridâ, ialah

menekankan fungsi-fungsi kehidayahan al-Qur`an untuk manusia agar mereka

dapat menjalani kehidupan di bawah petunjuk (hidâyah) al-Qur`an. Penekanan

dari segi hidayah ini ditegaskan kembali oleh Rasyîd Riḍâ dalam mukadimah

Tafsîr al-Manâr. Rasyîd Riḍâ mengatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan

bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidâyah (petunjuk) dan cahaya yang terang untuk

mengajarkan hikmah dan hukum-hukum-Nya untuk mensucikan kehidupan dan

21 Iqbal, Pemikiran Politik Islam dari Masa ke Masa, h. 77.

Page 56: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

43

menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.22 Allah Swt. berfirman

dalam al-Qur`an:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di

dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia

dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang

hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri

tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,

dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka

(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada

hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak

menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan

bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya

yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]:

185).

Pada dasarnya, Rasyîd Riḍâ dalam penafsirannya mengikuti metode dan

ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muḥammad ‘Abduh, di antaranya:

23

1. Memandang setiap sûrah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.

2. Ayat al-Qur`an bersifat umum.

3. Al-Qur`an adalah sumber akidah dan hukum.

4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an.

5. Bersikap hati-hati terhadap riwayat hadis Nabi Saw.

6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat para sahabat.

22 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 26. 23 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 85-116.

Page 57: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

44

Sedangkan perbedaan pemikiran penafsiran Rasyîd Ridha dengan

Muḥammad ‘Abduh antara lain: 24

1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-

hadis Nabi Saw.

2. Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang

dibutuhkan masyarakat, seperti dalam bidang hukum, perbandingan

agama, hukum-hukum Allah dalam masyarakat dan perkembangan ilmu

pengetahuan.

3. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.

4. Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi.

F. Metodologi Tafsîr al-Manâr

1. Latar Belakang Penafsiran

Kondisi sosial pada abad ke-19, masa penulis tafsir ini hidup, adalah

masa yang memprihatinkan bagi kaum muslim di seluruh negara-negara Arab.

Kemajuan ilmu pengetahuan Barat menjadikan mereka menjajah dan

menduduki negara-negara Arab. Di sisi lain, muncul beberapa aliran yang

menjauhkan umat muslim dari ajaran agama yang sebenarnya.25 Melihat

kondisi seperti ini, muncul beberapa cendekiawan muslim yang ingin

mengembalikan umat muslim kepada ajaran al-Qur`an, di antaranya adalah

Jamâluddin al-Afganî, Muḥammad ‘Abduh dan Muḥammad Rasyîd Riḍâ.

Salah satu langkah yang dilakukannya adalah dengan memunculkan

penafsiran al-Qur`an yang bernuansa modern, salah satu tafsir yang muncul

pada saat itu adalah Tafsîr al-Manâr. Nama asal tafsir ini adalah Tafsîr al-

Qur`an al-Ḥakîm, akan tetapi lebih dikenal dengan nama Tafsîr al-Manâr

24 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 117-142. 25 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 88-89.

Page 58: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

45

karena mulanya tafsir ini adalah sebuah tulisan-tulisan yang ditulis oleh Rasyîd

Riḍâ dan dimuat secara berkala dalam majalah al-Manâr yang terbit di Kairo,

kemudian tulisan-tulisan tersebut dijadikan buku tafsir.

Berawal dari ketertarikan Rasyîd Riḍâ terhadap pemikiran dan ide-ide

pembaharuan gurunya, Muḥammad ‘Abduh, kemudian Rasyîd Riḍâ

memintanya untuk mengajarkan materi tafsir di Masjid al-Azhar Kairo yang

kemudian Rasyîd Riḍâ mencatat materi yang disampaikan gurunya untuk

dikoreksi kembali oleh gurunya dan selanjutnya dipublikasikan di majalah al-

Manâr. Setelah itu, materi yang ditulis oleh Rasyîd Riḍâ mengenai penafsiran

Muḥammad ‘Abduh yang dimuat dalam majalah al-Manâr dikumpulkan dan

dibukukan menjadi kitab tafsir yang diberi nama Tafsîr al-Qur`an al-Ḥakîm

dan kemudian lebih dikenal dengan nama Tafsîr al-Manâr.

Muḥammad ‘Abduh meninggal dunia pada tahun 1323 H/1905 M,

setelah Muḥammad ‘Abduh menafsirkan sûrah al-Fâtiḥah hingga sûrah al-

Nisâ` ayat ke-125 (5 jilid pertama). Kemudian penafsiran dilanjutkan oleh

Rasyîd Riḍâ sampai pada sûrah Yusuf (jilid ke-12), dan Rasyîd Riḍâ pun

menyusul gurunya, meninggal dunia pada tahun 1354 H/1935 M.

2. Sumber Penafsiran

Sumber yang digunakan untuk menafsirkan dalam Tafsîr al-Manâr

adalah kolaborasi antara tafsîr bi al-Ma’tsûr dan tafsîr bi al-Ra’y. Penafsiran

ayat dengan ayat menjadi sumber utama dalam menjelaskan kandungan ayat

demi ayat, apalagi ketika menjelaskan ayat yang mempunyai keterkaitan tema

dengan ayat lainnya.

Page 59: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

46

Hadis-hadis Nabi Saw. yang ṣahîh sesuai dengan kajian ilmu hadis

menjadi sumber berikutnya. Akal digunakan untuk mendalami dari sumber-

sumber tersebut, selain untuk menghindari taqlîd buta terhadap penafsiran para

ulama terdahulu, pendalaman dengan akal juga bertujuan untuk mengaitkan

penafsiran dengan berbagai problematika yang terjadi pada masa itu.26

3. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam Tafsîr al-Manâr adalah metode taḥlîlî,

yakni penafsiran yang dimulai dari sûrah al-Fâtiḥah, al-Baqarah, al-Nisâ` dan

seterusnya, atau berdasarkan tartîb muṣḥafî, menjelaskan dan menafsirkan ayat

demi ayat sekaligus menyoroti dan menganalisis ayat-ayat al-Qur`an dengan

memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam ayat yang

ditafsirkan dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap ayatnya.

Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai

seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan keinginan mufasirnya

yang disajikan secara runtut sesuai dengan peruntutan ayat-ayat dalam

Muṣḥaf.27

Namun, meringkas pembahasan tentang kebahasaan dan sastranya,

karena menurut Muḥammad ‘Abduh, banyak para mufassir menyibukkan

penafsirannya pada tatanan kebahasaan dan hilang dalam memahami

kandungan ayat yang dapat dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat itu.28

Metode ini bisa memiliki beragam corak penafsiran yang ditekankan oleh

mufasirnya, di antara coraknya adalah kebahasaan, hukum, sosial budaya, ilmu

26 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 94-95. 27 Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 378. 28 Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 96.

Page 60: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

47

pengetahuan yang terkandung dalam ayat al-Qur`an dan lainnya.29 Tafsîr al-

Manâr lebih banyak menyorot corak sosial budaya atau budaya

kemasyarakatan.

4. Corak Penafsiran

Ada bermacam-macam corak penafsiran al-Qur`an. Seperti halnya

dijelaskan di atas, bahwa Tafsîr al-Manâr menggunakan metode Taḥlîlî,

metode tersebut mempunyai bermacam-macam coraknya, salah satu di

antaranya adalah corak adâbî ijtimâ’î (budaya kemasyarakatan). Corak ini

menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur`an pada segi ketelitian redaksinya,

kemudian menyusun kandungannya dalam redaksi yang menonjolkan segi-segi

petunjuk al-Qur`an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat

tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan

pembangunan dunia.30

5. Karakteristik Penafsiran

Tafsîr al-Manâr mempunyai peranan penting dalam penafsiran al-Qur`an

yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran yang sesuai dengan maksud dan

tujuan al-Qur`an diturunkan dengan kehidupan masyarakat.

Tafsîr al-Manâr adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi sosial

budaya dan kemasyarakatan. Di antara pokok persoalan yang menjadi pokok

pemikiran yang dicurahkan dalam Tafsîr al-Manâr adalah membebaskan akal

pikiran dari belenggu-belenggu taqlîd yang menghambat perkembangan

29 Shihab, Kaidah Tafsir, h. 378. 30 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 24-25.

Page 61: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

48

pengetahuan agama31, maka Tafsîr al-Manâr mengantarkan pengkajinya untuk

memahami ajaran agama langsung dari sumber pokoknya, yakni al-Qur`an.

Rasyîd Riḍâ mengatakan bahwa kemunduran umat Islam adalah karena

mereka telah menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya. Di antara sebabnya

adalah masuknya bid’ah dan khurafât yang mengotori akidah umat Islam, dan

fanatik mazhab yang menjadikan pengikutnya dibutakan oleh taqlîd tanpa tahu

tujuan ajaran yang sebenarnya.32

Persoalan pokok yang menjadi pokok pemikiran lainnya adalah

menghubungkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur`an dengan

kehidupan masa tafsir ini dituliskan. 33

31 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 16. 32 Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, h. 119. 33 Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar, h. 16.

Page 62: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

49

BAB IV

PENAFSIRAN PERBUDAKAN MENURUT

MUḤAMMAD RASYÎD RIḌÂ

A. Term Perbudakan dalam al-Qur`an

Al-Qur`an menggunakan term perbudakan dengan berbagai macam kosa

kata yang masing-masing mempunyai arti yang berbeda meskipun garis besar

maknanya adalah sama-sama menjelaskan tentang penghambaan. Term

perbudakan yang terdapat dalam al-Qur`an antara lain:

1. ‘Abd

Term ‘Abd banyak ditemukan dalam al-Qur`an, baik dalam bentuk ism

(kata benda) ataupun dalam bentuk fi’l (kata kerja). Secara bahasa kata ‘Abd

mempunyai arti orang, budak, hamba, orang negro. Sedangkan kata ‘Abada

mempunyai arti beribadah, menyembah. Sedangkan kata ‘Abuda dengan dibaca

ḍamah mempunyai arti menjadi hamba sahaya atau budak. Sedangkan kata

‘Abida dengan dibaca kasrah mempunyai arti marah, membenci atau

menjauhkan diri.1

Kata ‘Abd dengan akar kata ‘abada banyak sekali disebutkan dalam al-

Qur`an dengan berbagai bentuk katanya, secara keseluruhan terdapat 275

penyebutan, namun yang menggunakan kata ‘abd yang didalamnya mencakup

kata ‘ibâd dan ‘âbid disebutkan sebanyak 131.2 Sedangkan kata ‘abd sendiri

1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.

886-887. 2 Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur`an (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 177.

49

Page 63: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

50

dalam bentuk mufrad-nya hanya disebutkan sebanyak 18 kali.3 Penulis

mengkaji penafsiran Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 178 dan 221,

karena selebihnya term ‘abd terdapat pada Sûrah al-Qur`an yang tidak ditafsiri

oleh Rasyîd Riḍâ atau tidak menjelaskan tentang perbudakan, seperti pada QS.

Al-Nisâ` [4]: 172, ayat tersebut menjelaskan tentang ketaatan terhadap tuhan

sebagai pencipta dari makhluk-Nya,4 dan QS. Al-Baqarah [2]: 23, ayat tersebut

menjelaskan penyebutan ‘abd terhadap Nabi Saw.5

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 221:

“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke

neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]:

221).

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengawalinya dengan

menjelaskan asbâb al-Nuzûl dari ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ menukil beberapa

3 Muḥammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur`an al-Karîm

(Mesir: Dâr al-Kutub al-Miṣriyyah, 1346), h. 443. 4 Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VI (Mesir: Hay`ah al-Miṣriyyah, 1990),

h. 79. 5 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 159.

Page 64: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

51

hadis Nabi Saw. yang memungkinkan menjadi sebab turunnya ayat tersebut,6

yakni:

1. Hadis tentang meminta izinnya Ibn Abî Marṡad kepada Nabi Saw.

untuk menikahi seorang wanita musyrik, kemudian turun ayat di atas

yang menjadi larangan menikahi wanita musyrik dengan

membandingkan amat yang beriman lebih patut untuk dinikahi dari

pada menikahi seorang wanita musyrik.7

2. Hadis yang menceritakan sahabat ‘Abdullâh bin Rawâḥah yang

mempunyai seorang budak perempuan, kemudian suatu hari dia

memukul budak tersebut dan kabar tersebut terdengar oleh Nabi Saw.

dan kemudian Nabi Saw. memerintahkannya untuk memerdekakan

budak tersebut dan menikahinya sebagai balasan atas perlakuan

kasarnya. Kemudian orang-orang yang mengetahui pernikahan tersebut

menghina ‘Abdullâh bin Rawâḥah karena menikahi bekas budak,

akhirnya turunlah ayat tersebut untuk menjelaskan bahwa menikahi

budak wanita yang beriman lebih baik dari pada menikahi wanita

musyrik.8

Kata musyrikîn dan musyrikât menurut Rasyîd Riḍâ bukanlah orang-

orang musyrik secara umum, melainkan orang-orang musyrik yang bukan ahli

kitab, oleh karenanya dapat dipahami bahwa salah satu tujuan larangan

6 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid 2, h. 276. 7 Abû Dâwud Sulaimân bin al-`Asy’aṡ bin Ishâq al-Sijistânî, Sunan Abî Dâwud, Jidil II

(Dâr al-Risâlah al-‘Alamiyyah, 2009), h. 176. 8 Abû Bakr Aḥmad bin ‘Umar Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, Jilid XI (Madînah: Maktabah

al-‘Ulûm wa al-Ḥikam, 2009), h. 241.

Page 65: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

52

menikahi orang musyrik dalam ayat tersebut adalah karena orang musyrik yang

tidak mempunyai kitab pedoman dalam hidupnya tidak mempunyai batasan

dalam menjalani kehidupannya, sehingga dalam ayat tersebut dikatakan dengan

jelas bahwa mereka akan menjerumuskan ke lembah neraka.9

Selanjutnya, penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai kata ‘abd dan amah

Rasyîd Riḍâ secara tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘abd dan

amah dalam ayat tersebut adalah mamlûkah dan mamlûkah yang mempunyai

arti budak yang beriman yang dimiliki oleh seseorang, dalam ayat tersebut

dijelaskan bahwa ia lebih utama dari pada seorang yang musyrik, sehingga

dapat dipahami bahwa Islam mengangkat derajat budak seperti halnya manusia

lainnya, bahkan Islam membandingkan derajat budak lebih tinggi

dibandingkan dengan orang musyrik yang mempunyai kelebihan baik dalam

segi nasab ataupun harta. Dalam penjelasannya mengenai penyebutan bahasan

budak Rasyîd Riḍâ juga menyebutkan kata ‘abd Allah yang artinya hamba

Allah dan kata mu`min yang artinya orang yang beriman, karena yang

dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang beriman. Serta menyebutkan

kata raqîq yang artinya lembut, tipis atau budak, dan kata qin yang artinya

budak secara umum.10

Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa tujuan pernikahan bukanlah syahwat

lahiriah semata, akan tetapi lebih kepada kebersamaan dalam kehidupan rumah

tangga dengan satu pandangan yakni syariat Islam, karena kehidupan rumah

9 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 280. 10 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 278-279.

Page 66: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

53

tangga erat kaitannya dengan ajaran-ajaran keagamaan seperti dalam mendidik

anak ataupun dalam menggunakan harta yang sesuai dengan tuntunan agama.11

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 178:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan

orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka

Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah

(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah

(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan

cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari

Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas

sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah

[2]: 178).

Dalam menafsiri ayat ini, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ajaran Islam

sangatlah moderat dan adil, ketika orang Yahudi memberlakukan hukum balas

dengan semena-mena, seperti misalnya seseorang membunuh seorang laki-laki

merdeka maka berlaku hukum balas dengan menghukum pembunuh serta

sepuluh orang dari keluarga pembunuh untuk dihukum mati, ketika seorang

membunuh seorang perempuan merdeka maka berlaku hukum balas

menghukum pembunuh serta satu orang laki-laki dari keluarga pembunuh

untuk dihukum mati, dan ketika seseorang membunuh budak maka berlaku

hukum balas menghukum pembunuh serta satu orang merdeka dari keluarga

pelaku untuk dihukum mati, ataupun cara hukum balas yang lainnya. Maka

11 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 279.

Page 67: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

54

Islam mengajarkan hukum qiṣâṣ12 atau hukum balas sesuai dengan apa yang

telah dilakukan pelaku, karena tujuan pemberlakuan hukuman adalah untuk

membuat jera pelaku dan mendidik yang lainnya.13

Rasyîd Riḍâ menafsiri kata ‘abd pada ayat di atas dengan kata ‘abd pula

yang memiliki arti budak atau hamba sahaya, sehingga dapat dipahami bahwa

seorang budak yang membunuh budak lainnya, maka hukumannya adalah

hukuman mati bagi budak pembunuh, hukuman tersebut tidak menimpa

tuannya seperti hukum qiṣâṣ zaman jahiliyah. Jadi hukuman qiṣâṣ seorang

budak sama dengan hukuman qiṣâṣ yang berlaku bagi orang merdeka.14

2. Amah

Kata amah berasal dari kata amawah yang mempunyai arti menjadi

budak, contoh amat al-jâriyah yang berarti perempuan muda yang menjadi

budak.15 Kata amah disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak dua kali, disebutkan

dalam bentuk mufrad (tunggal) pada QS. Al-Baqarah [2]: 221 dan disebutkan

dalam bentuk jama’ (plural) pada QS. Al-Nûr [24]: 32.16 Penulis mengkaji

penafsiran Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 221, karena Rasyîd Riḍâ

tidak menafsiri QS. Al-Nur [24].

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada term amah yang terdapat pada QS. Al-

Baqarah [2]: 221 telah penulis uraikan di atas.

12 Qisâs secara bahasa artinya sepadan atau hukuman yang setimpal (lihat Munawwir,

Kamus al-Munawwir, h. 1126), maka hukum qisâs adalah hukuman sepadan yang dijatuhkan

kepada pelaku seperti yang telah dilakukannya (lihat Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 101). 13 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 100. 14 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 102. 15 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 279. 16 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 93.

Page 68: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

55

3. Raqabah

Kata raqabah secara bahasa mempunyai arti leher. Kata raqabah

menjadi term perbudakan dalam al-Qur`an karena budak yang seringkali

terbelenggu lehernya, maka kata raqabah juga bisa diartikan sebagai budak

atau hamba sahaya.17 Kata raqabah menjadi salah satu term perbudakan yang

digunakan dalam al-Qur`an, selain itu al-Qur`an juga menggunakan kata riqâb

yang merupakan bentuk plural dari kata raqabah.

Kata raqabah disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Qur`an yang

terdapat pada empat sûrah, yakni QS. Al-Nisâ` [4]: 92 diulang sebanyak tiga

kali, QS. Al-Mâidah [5]: 89, QS. Al-Mujâdalah [58]: 3 dan QS. Al-Balad [90]:

13. Sedangkan kata raqabah diseburkan dalam bentuk jama’ (plural), riqâb,

disebutkan sebanyak tiga kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 177, QS. Al-

Taubah [9]: 60 dan QS. Muḥammad [47]: 4.18 Penulis mengkaji penafsiran

Rasyîd Riḍâ pada QS. Al-Baqarah [2]: 177, QS. Al-Nisâ` [4]: 92, QS. Al-

Mâidah [5]: 89 dan QS. Al-Taubah [9]: 60, karena Rasyîd Riḍâ tidak menafsiri

selain sûrah-sûrah tersebut.

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Baqarah ayat 177:

17 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 520. 18 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 323-324.

Page 69: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

56

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada

Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan

memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-

orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,

mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang

menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam

kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-

orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang

bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengawalinya dengan

menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa

ayat tersebut turun ketika orang-orang Nasrani dan Yahudi menyibukkan diri

mereka dengan arah kiblat mereka ketika sembahyang, sehingga umat Islam

pun ikut terpengaruh oleh kesibukkan mereka, maka turunlah ayat di atas untuk

menjelaskan bahwa bukanlah tujuan pokok agama mengenai kemana arah

untuk menghadap ketika sembahyang, akan tetapi yang paling penting adalah

melakukan kebaikan yang pokok dengan benar, yakni dari mulai beriman

hingga berbuat baik kepada sesama.19

Dalam menafsiri kata al-Riqâb pada ayat tersebut, Rasyîd Riḍâ

menggunakan kata al-ariqqâ` yang merupakan bentuk plural dari kata al-raqîq

yang artinya budak, yang merupakan akar kata dari raqîq adalah raqqa yang

artinya halus atau tipis. Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa salah satu pokok

tuntunan kebaikan dalam ayat di atas adalah saling menolong dengan sesama,

di antaranya dengan al-Riqâb atau budak, maka seseorang dapat membantu

19 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 89.

Page 70: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

57

budak untuk menjadi merdeka.20 Dari uraian ini dapat dipahami bahwa Islam

sangat memperhatikan penghapusan praktik perbudakan terbukti Islam

menjadikan tuntunan menolong budak menuju kemerdekaannya sebagai

tuntunan pokok dalam agama.

Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa Islam tidak secara tegas

menghapuskan praktik perbudakan karena Islam melihat ada kemashalatan

bagi budak untuk tetap menjadi budak dikarenakan beberapa hal, di antaranya

karena budak belum siap untuk menjadi merdeka karena faktor ekonomi

sehingga tidak bisa menopang hidupnya sendiri ataupun dikarenakan alasan

yang lainnya.21

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 92:

“Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa

membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia

memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat

yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika

mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum

(kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka

(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada

keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang

20 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 94. 21 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid II, h. 94.

Page 71: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

58

beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si

pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat

dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 92).

Pada ayat ini kata raqabah diulang sebanyak tiga kali, Rasyîd Riḍâ

menggunakan kata riqq untuk menafsiri kata raqabah yang dimaknai sebagai

budak yang menjadi pengganti orang merdeka yang terbunuh, Rasyîd Riḍâ

menjelaskan bahwa kafârah22 adalah sebagai penggantian nyawa yang hilang

dan diwujudkan kembali dengan hadirnya budak mukmin yang telah

dimerdekakan, karena melihat fenomena pada masa jahiliyah bahwa

keberadaan budak tidak diakui oleh masyarakat dan hanya menjadi alat bagi

tuannya, dengan memerdekakannya maka eksistensinya akan diakui oleh

masyarakat.23 Ayat ini menjadi salah satu ayat yang membuktikan bagaimana

Islam berupaya untuk menghapuskan sistem perbudakan.

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Mâidah ayat 89:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang

tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu

disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat

(melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin,

22 Kata kafârah berasal dari akar kata kafara yang artinya menutupi, maka hukum kafârah

adalah untuk menutupi kesalahan yang telah diperbuat. (lihat Munawwir, Kamus al-Munawwir, h.

1217). 23 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 270.

Page 72: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

59

Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau

memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.

barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya

puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-

sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah

sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-

Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Mâidah [5]: 89).

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengartikan kata raqabah

dengan kata al-qinn yang mempunyai arti budak yang dalam penafsirannya

seperti halnya ayat 92 sûrah al-Nisâ` dijelaskan sebagai budak tebusan

kesalahan dan dosa, sehingga memerdekakan budak dengan niat ikhlas mencari

ridha Allah Swt. diharapkan dapat melebur dosa yang telah diperbuat,

peleburan siksaan di dunia dan juga di akhirat. Rasyîd Riḍâ juga menggunakan

kata raqîq dan ‘abd dalam menyebutkan budak.24 Ayat ini juga menjadi salah

satu ayat penggerak dalam penghapusan praktik perbudakan.

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Taubah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk

hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,

untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,

sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha

mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]: 60).

24 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VII, h. 31.

Page 73: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

60

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ mengartikan kata riqâb

menggunakan kata raqîq dalam menafsirkannya dan diartikan sebagai budak

yang dimerdekakan. Budak menjadi salah satu golongan yang berhak

menerima zakat sebagai bentuk perhatian Islam terhadap penghapusan budak.

Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa memerdekakan budak adalah kebaikan

kemanusiaan yang sangat besar sebagai rahmat dari tuntunan agama Islam.

Dalam pengaplikasiannya zakat dapat diberikan kepada budak yang sedang

melakukan akad kitâbah (cicilan penebus kemerdekaan) atau untuk membeli

budak kemudian memerdekakannya. Rasyîd Riḍâ juga menggunakan kata

mukâtab untuk menyebutkan budak, kata mukâtab mempunyai arti budak yang

mempunyai akad cicilan dengan tuannya.25

4. Mâ Malakat Aimânukum

Kata mâ malakat aimânukum secara bahasa mempunyai arti sesuatu yang

dimiliki kalian.26 Term perbudakan yang menggunakan kata mâ malakat

aimânukum banyak sekali, di bawah ini penulis uraikan penafsiran Rasyîd Riḍâ

dari term mâ malakat aimânukum.

Kata mâ malakat aimânukum disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak 16

kali, namun tidak semuanya disebutkan dengan ḍamir (kata ganti) jama’

muẑakkar mukhattab (kum) akan tetapi disebutkan dengan berbagai bentuk

ḍamir lainnya, baik itu dengan ḍamir jama’ muẑakkar gâib (hum), ḍamir jama’

muannaṡ gâibah (hunna) ataupun dengan ḍamir mufrad muẑakkar (anta).27

25 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid X, h. 429. 26 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1358. 27 ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 673.

Page 74: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

61

Dalam penelitian ini, penulis menelaah ayat yang menyebutkan term mâ

malakat aimânukum yang terdapat pada QS. Al-Nisâ` [4] ayat 24, 25 dan 36,

karena ayat yang menyebutkan term mâ malakat aimânukum yang terdapat

dalam sûrah yang lainnya tidak ditafsiri dalam kitab Tafsîr al-Manâr.

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 24:

“(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali

budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu)

sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang

demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini

bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati

(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan

sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu

terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah

menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 24).

Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah

kondisi umat Islam yang berada jauh dari istri-istri mereka karena mereka

berada di kemah-kemah dalam masa peperangan, dan keinginan biologisnya

muncul akan tetapi tetap berusaha menghindari perbuatan zina, maka turunlah

ayat tersebut yang memperbolehkan umat Islam menikahi perempuan-

perempuan tawanan perang.28

28 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 5.

Page 75: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

62

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ayat

tersebut menguraikan perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi karena

ayat tersebut meneruskan uraian ayat sebelumnya. Rasyîd Riḍâ menjelaskan

bahwa kata mâ malakat aimânukum dalam ayat di atas dengan kata al-imâ’

yang merupakan kata plural dari kata al-amah yang berarti budak perempuan,

Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa mereka adalah perempuan-perempuan

tawanan yang telah menikah akan tatapi dengan sebab ia tertawan maka status

pernikahannya terputus, oleh karenanya boleh dinikahi oleh orang muslim.

Rasyîd Riḍâ juga menyebutkan kata mamlûkah untuk menyebutkan budak, kata

mamlûkah mempunyai arti budak perempuan yang dimiliki.29

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 25:

“Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup

perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh

mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.

Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian

yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan

berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-

wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang

mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah

menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang

29 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 6.

Page 76: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

63

keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-

wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,

adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri

(dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik

bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-

Nisâ` [4]: 25).

Dalam menafsiri ayat di atas, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa apabila

seseorang ingin menikah namun tidak punya biaya untuk menikahi seorang

perempuan merdeka maka dia bisa menikah dengan fatayât (budak

perempuan). Kata fatayât secara bahasa adalah perempuan-perempuan muda,

akan tetapi dalam konteks ayat tersebut penyebutan budak dengan kata fatayât

untuk mengindahkan penyebutan dan mengangkat derajat budak perempuan

sederajat dengan perempuan merdeka. Selain itu, Rasyîd Riḍâ juga

menggunakan kata raqîq dan riqâb dalam menjelaskan budak.

Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa ayat tersebut menggunakan kata fatayât

untuk menyebutkan budak perempuan, hal tersebut menunjukkan bahwa Islam

tidak memandang rendah budak dan ingin mengangkat derajat budak di tengah

masyarakat sebagaimana manusia lainnya. Arti dari kata fatayât secara bahasa

adalah perampuan-perampuan muda, dan kata tersebut dihubungkan dengan

kata mâ malakat aimânukum yang berarti budak, maka dapat dipahami bahwa

al-Qur`an menyebutkan budak dengan sebutan yang lembut untuk memuliakan

budak. Selain itu Rasyîd Riḍâ juga menggunakan kata raqîq untuk

menyebutkan budak, yang mempunyai arti lembut, tipis atau budak.30

Rasyîd Riḍâ menambahkan dengan menukil sebuah hadis Nabi Saw.:

30 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 15, dan Muḥammad Rasyîd Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada

Muhammad. Penerjemah Josef CD. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h. 578.

Page 77: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

64

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ال تي، وا ما

ابدي أ م: عا

دك حا

ان أ

اقول يا

اق ل يا

ي ب وك: را

ملا ق ،ال م ليا

ك إن

اتي، ف دا

ي سا دي وا ي وك: سا

ملا ق ال ليا اتي، وا تا

اف ايا وا تا

االك: ف

ا ال

جا ز وا ب هوا الله عا الر ، واوناوكملا .ال

“Janganlah kalian mengatakan (kepada budak kalian): budakku amatku,

dan janganlah seorang budak memanggil tuannya: yang memilikiku, akan

tetapi hendaknya seorang tuan mengatakan: laki-laki muda dan

perempuan-perempuan muda, dan seorang budak mengatakan: tuan laki-

lakiku dan tuan perempuanku. Karena sesungguhnya kalian adalah

hamba-hamba yang dimiliki dan pemiliknya adalah Allah ‘Azza wa

jalla.” (HR. Abû Dâwud).31

Penafsiran Rasyîd Riḍâ pada sûrah al-Nisâ` ayat 36:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-

kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan

tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan

membangga-banggakan diri.” (QS. Al-Nisâ` [4]: 36).

Dalam menafsiri kata mâ malakat aimânukum, Rasyîd Riḍâ

menggunakan kata fityân dan fatayât yang berarti pemuda-pemuda dan

pemudi-pemudi, seperti halnya penafsiran pada ayat 25 sûrah al-Nisâ`, Rasyîd

Riḍâ ingin kembali menjelaskan derajat seorang budak yang sama dengan

orang merdeka. Ayat di atas menguraikan tentang kebajikan atau dalam

penafsiran Rasyîd Riḍâ menggunakan kata al-i’ânah (menolong), Rasyîd Riḍâ

31 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Jilid VII, h. 331. Redaksi hadis tersebut diuraikan oleh

Rasyîd Riḍâ dalam tafsirnya dan menyantumkan riwayat Bukhârî Muslim akan tetapi penulis tidak

menemukan hadis tersebut dalam kitab Ṣaḥîḥ Bukhârî dan Ṣaḥîḥ Muslim, yang penulis

menemukan adalah hadis yang semakna dengan hadis di atas dengan redaksi yang berbeda.

Page 78: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

65

mengklasifikasikan pertolongan yang dapat dilakukan kepada budak menjadi

tiga garis besar :

1. Memerdekakannya, sebagai kebaikan yang paling utama, atau dengan

menolong memerdekakan seorang budak melalui akad kitâbah (cicilan

untuk menebus kemerdekaan).

2. Tidak membebaninya dengan pekerjaan yang berat atau di luar

kemampuannya.

3. Berlaku baik dan tidak merendahkannya.

Memperlakukan budak dengan manusiawi adalah sebagai bentuk

perlakuan terhadap penolakan terhadap praktik perbudakan, di antaranya

dengan memanggilnya dengan sebutan yang tidak menghinakan, menganggap

mereka sebagai saudara dan memberikan hak mereka berupa sandang maupun

pangan.32 Rasyîd Riḍâ menegaskan hal tersebut dengan menukil hadis Nabi

Saw.:

م كان وا

م إخ

كل وااخ هم وا

ال عا حتا الله جا

ام، ت

يديك

ان أ ما

اانا ف

اوه ك

خاحتا أ

اده ت عمه يا

يط

لا ف

ا ، ممكأ بسه يا

يلل ا وا س، مم با

ل يا

ال فوهم وا

لاكما منا ت عا

ا ال لبهم، ما

غ إن يا

افتموهم ف

لا ك

عينوهم اأايه ف

ال .عا

“Mereka adalah saudara kalian, Allah Swt. menjadikan mereka berada di

bawah kekuasaan kalian, barang siapa yang saudaranya berada di bawah

kekuasaannya maka berilah makan seperti yang ia makan, dan berilah

pakaian seperti yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka

dengan pekerjaan yang berat, apabila kalian memberinya pekerjaan maka

bantulah mereka untuk menyelesaikannya.” (HR. Bukhâri).33

Dalam hadis tersebut juga dijelaskan apabila seorang budak diberi

pekerjaan maka bantulah dalam menyelesaikannya, karena umat manusia

32 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77, dan Ridâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 587. 33 ‘Abdullâh bin Ismâîl Al-Bukhârî, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî, Jilid I (Dâr Thaûq al-Najâḥ, 1422),

Kitâb al-Îmân Bâb al-Ma’âṣî min Amr al-Jâhiliyyah, h. 15.

Page 79: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

66

adalah saudara yang dituntut untuk saling membantu satu sama lain, bukan

hanya untuk memerintah tanpa membantu mengerjakannya.

Rasyîd Riḍâ menambahkan dengan menukil sebuah hadis yang

menceritakan bahwa ketika Rasûlullâh Saw. sakit menjelang wafatnya,

Rasûlullâh Saw. berwasiat kepada para sahabatnya, Rasûlullâh Saw.

menyampaikan wasiatnya dengan susah payah karena rasa sakit yang diderita

Rasûlullâh Saw., dalam hadis tersebut terdapat dua wasiat Rasûlullâh Saw.,

yakni untuk menjaga shalat dan berbuat baik terhadap budak. Hal ini

menunjukkan bahwa perhatian Rasûlullâh Saw. begitu besar terhadap nasib dan

pembebasan para budak, sehingga Rasyîd Riḍâ mengatakan kebaikan apalagi

yang diragukan dari wasiat Rasûlullâh Saw. tersebut, Rasûlullâh Saw.

menyampaikan wasiat tersebut sebagai penegasan terhadap pentingnya apa

yang disampaikan.34

عا ى الل

ل سول الله صا ة را صي وا

ة ام ت عا

ااناا ك ما وا

اةا

ل وت: الصا ه ال را ضا ما حينا حا

ل سا يه وا

ال

ه.ان ا لسا فيض بها ا يا ما دره، وا ا في صا رغرها

اعا ا يغ ى جا ت م حا

كان يما

ات أ

اكال ما

“Wasiat Rasulullah Saw. menjelang wafatnya adalah (menunaikan)

shalat dan berbuat baik kepada budak, sehingga membuat sesak dadanya

dan memenuhi mulutnya.” (HR. Al-Bazzâr).35

Muḥammad ‘Abduh menjelaskan terkait hal ini, Muḥammad ‘Abduh

mengatakan bahwa ”Allah Swt. memerintahkan umat manusia agar tidak

menganggap boleh semena-mena menghina orang yang derajatnya rendah

dimata kebanyakan manusia, tidak menganggap seorang budak pantas

34 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77. 35 Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, Jilid XIII, h. 364.

Page 80: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

67

dihinakan dan diperlakukan seperti hewan yang dipertontonkan, karena mereka

mempunyai hak yang sama sebagaimana kebanyakan manusia lainnya”.36

Tuntunan al-Qur`an untuk berbuat baik terhadap budak sangat

diaplikasikan oleh para sahabat Nabi Saw. dengan memperlakukan mereka

dengan ramah dan memuliakan mereka. Rasyîd Riḍâ menambahkan kondisi

dan status budak pada masa kejayaan awal kebangkitan Islam lebih baik dan

lebih nyaman daripada orang yang dianggap atau menganggap dirinya merdeka

dewasa ini, masa di mana manusia dipengaruhi oleh negara-negara Barat dan

sebagainya.37

Selain pemerdekaan budak dan perlakukan baik terhadapnya menjadi

tuntunan yang bijaksana dalam al-Qur`an, Islam sangat melaknat praktek

perbudakan dan memasukkannya ke dalam dosa besar, Rasyîd Riḍâ menukil

sebuah hadis terkait penjelasan tersebut:

ا اعا حر ج با را ، وا را داام غ

ى بي ث

اعط

اج أ ة: را اما وما القيا صمهم يا

اا خ

انا أةاثالا: ث

الا الل

ا" ق

اه "ف جرا

ام يعط أ

ال ى منه وا

اوف استا

اجيرا ف

ارا أ جا

أ ج استا را ه، وا نا ما

ا ا ث

اكا أ

“Allah Swt. ada tiga hal yang menjadi musuh-Ku kelak di hari kiamat;

barang siapa menjadi musuh-Ku, pasti Aku tuntut dia: pertama, orang

yang berjanji kepada-Ku lalu ia menipu, kedua, orang yang menjual

orang merdeka lalu ia memakan uangnya, ketiga, orang yang

memperkerjakan buruh dan buruh itu patuh mengerjakan tugasnya tapi

orang tersebut tidak membayar upahnya. (HR. Bukhâri)38

Hadis lain juga disebutkan, ada tiga hal yang menjadikan seseorang tidak

diterima shalatnya, di antara tiga hal tersebut adalah “.... dan orang yang

memperbudak orang merdeka”, dalam arti menjadikan orang merdeka

36 Riḍâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid V, h. 77. 37 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 589. 38 Al-Bukhârî, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî, Jilid III, h. 82.

Page 81: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

68

sebagaimana budak yang direndahkan, seperti menyuruhnya dan melayani

tuanya dengan paksa atau menganggapnya sebagaimana orang terhina yang

terebut kemerdekaannya.39

B. Analisis Penafsiran Ayat-ayat Perbudakan

Setelah melihat uraian penafsiran Rasyîd Riḍâ di atas, penulis

merangkumnya agar mempermudah dalam memetakan dan menganalisisnya.

Seperti penjelasan yang telah diuraikan, penulis mengklasifikasi term perbudakan

menjadi empat, yakni: ‘abd, amah, raqabah dan mâ malakat aimânukum. Di

bawah ini penulis memetakan penafsiran Rasyîd Riḍâ dengan masing-masing term

perbudakan tersebut :

Dalam memaknai term ‘abd pada sûrah al-Baqarah ayat 178, Rasyîd Riḍâ

menafsirinya dengan kata mamlûk dan mamlûkah dan mengartikannya sebagai

budak secara umum baik itu budak laki-laki ataupun perempuan, budak yang

mempunyai akad kitâbah dengan tuannya ataupun lainnya, karena yang menjadi

inti bahasannya dalam menyinggung perbudakan dalam ayat tersebut adalah

hukuman qiṣâṣ budak yang menjadi pembunuh sama dengan hukum qiṣâṣ orang

merdeka, yakni hukuman jatuh pada dirinya sendiri, tidak menimpa tuannya

sebagaimana hukum jahiliyah.

Term ‘abd dan amah pada sûrah al-Baqarah ayat 221, Rasyîd Riḍâ

menggunakan kata mamlûk dan mamlûkah dalam menafsiri kata ‘abd dan amah.

Rasyîd Riḍâ mengartikannya sebagai budak yang beriman yang mempunyai

derajat yang lebih utama dibanding orang musyrik, hal tersebut menunjukkan

39 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 573.

Page 82: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

69

betapa Islam tidak melihat sisi luar dari setiap manusia, baik seorang merdeka

ataupun budak adalah sama, yang dilihat adalah keimanannya yang menjadikan

manusia lebih utama dari yang lainnya.

Dalam memaknai term raqabah pada sûrah al-Baqarah ayat 177, Rasyîd

Riḍâ menggunakan kata raqîq yang mempunyai arti budak, dari akar kata raqqa

yang artinya halus atau tipis, penulis melihat bahwa ayat tersebut membicarakan

tentang kebajikan pokok dalam ajaran agama dan memasukkan kebajikan kepada

budak masuk di antaranya, hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan

perhatian yang lebih terhadap budak menepis kebiasaan perlakuan kaum jahiliyah

terhadap budak.

Term raqabah pada sûrah al-Nisâ` ayat 92 dan sûrah al-Mâidah ayat 89,

Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan kata raqîq, kedua ayat ini menjadi bukti bahwa

Islam berupaya untuk menghapuskan sistem perbudakan dengan menjatuhi

hukuman bagi pendosa dengan memerdekakan budak, pada ayat 92 sûrah al-Nisâ`

Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa salah satu tujuan pemerdekaan budak adalah agar

eksistensi seorang budak diakui oleh masyarakat karena fenomena pada zaman

jahiliyah budak sama sekali tidak mendapatkan tempat di masyarakat bahkan

hanya bisa menjadi alat bagi tuannya, maka melalui ayat ini Islam mengangkat

derajat para budak sederajat dengan manusia lainnya.

Term raqabah pada sûrah al-Taubah ayat 60, Rasyîd Riḍâ menggunakan

kata raqîq untuk menafsiri kata raqabah yang diuraikan sebagai budak yang

dimerdekakan dengan pemberian zakat, dalam ayat ini budak dijadikan sebagai

golongan yang berhak menerima zakat yang bertujuan untuk menebus

Page 83: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

70

kemerdekaannya, hal ini juga menunjukkan upaya Islam untuk menghapuskan

praktik perbudakan.

Dalam memaknai term mâ malakat aimânukum pada sûrah al-Nisâ` ayat 24,

Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan kata al-imâ` yang merupakan bentuk plural dari

kata al-amah yang artinya budak perempuan, Rasyîd Riḍâ menjelaskan bahwa

budak perempuan di dalam ayat tersebut merupakan perempuan-perempuan

tawanan perang yang boleh dinikahi oleh umat Islam, penulis mengambil

kesimpulan terkait ayat ini bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk tidak

menyetubuhi budak perempuan dengan tanpa nikah, maka ayat ini menjadi dalil

akan hal tersebut dan penegasan bahwa Islam menyetarakan budak perempuan

dengan perempuan merdeka pada umumnya.

Term mâ malakat aimânukum pada sûrah al-Nisâ` ayat 25 dan ayat 36,

Rasyîd Riḍâ menggunakan kata fatayât yang bermakna perempuan-perempuan

muda, penggunaan kata fatayât untuk menyebutkan budak perempuan bertujuan

untuk mengindahkan penyebutan kepada budak dan mengangkat derajat budak

perempuan sebagaimana perempuan merdeka.

C. Relevansi Ayat dalam Konteks Modern

Dalam bukunya, al-Waḥy al-Muḥammadî, Rasyîd Riḍâ menguraikan

fenomena perbudakan dan penghapusannya. Dalam uraiannya, Rasyîd Riḍâ

menyebutkan bahwa bangsa Barat pada akhir abad ke-18, pemerinta Amerika

Serikat dan Inggris membebaskan budak-budak akan tetapi pembebasan tersebut

tidak bertujuan untuk kebaikan budak ataupun mengarah kepada persamaan hak

asasi manusia, melainkan hanya untuk kepentingan-kepentingan pribadi mereka.

Page 84: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

71

Rasyîd Riḍâ menguraikan contoh sebagai bukti tindak perbudakan masih terjadi

ketika itu dengan mengatakan: “Amerika Serikat sampai saat ini tetap memandang

lebi tinggi derajat orang-orang Eropa kulit putih daripada orang kulit merah”,

Rasyîd Riḍâ menambahkan bahwa “orang kulit putih diperbolehkan menyiksa

orang kulit merah apabila berbuat dosa terhadap orang kulit putih, dan penegak

hukum tidak dapat berbuat banyak lantarakn kekuasaan yang dipegang oleh orang

kulit putih.40 Hal ini sebagai contoh praktik perbudakan modern yang terjadi

dalam bentuk politik.

Sebagai contoh lain, Rasyîd Riḍâ mencontohkan tindakan orang-orang

Inggris yang sangat memandang rendah serta menghina orang-orang India.

Setelah orang-orang India mampu berontak dengan bangkit dan bergerak, maka

perlakuan merendahkan dan menghinakan tersebut berkurang.41 Uraian Rasyîd

Riḍâ mengenai contoh perbudakan modern tersebut membuktikan bahwa praktik

perbudakan bukan hanya praktik kekejaman seperti yang terjadi pada jaman

jahiliyah, akan tetapi hingga masa modern ini tindakan yang menjadi jejak-jejak

praktik perbudakan masih dapat dijumpai, sehingga tuntunan Islam dalam

penghapusan perbudakan dan persamaan hak antar manusia akan terus

diaplikasikan terhadap bentuk-bentuk ketidak adilan.

Setelah memaparkan penafsiran Rasyîd Riḍâ tentang ayat-ayat perbudakan

dalam kitab tafsirnya dan setelah memetakan pemaknaan dan penafsiran setiap

term perbudakan dalam al-Qur`an, penulis akan menguraikan relevansi ayat-ayat

perbudakan dengan konteks modern.

40 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 564-565. 41 Riḍâ, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, h. 565

Page 85: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

72

Dari semua pemaparan Rasyîd Riḍâ di atas, penulis mengklasifikasikan

pembahasan ayat perbudakan menjadi dua dengan melihat pokok tujuan dari ayat

tersebut.

1. Tentang Pembebasan Budak atau Pemerdekaan Budak

Memerdekakan budak adalah kebaikan kemanusiaan yang sangat besar,

mengingat budak dipandang sebelah mata dengan status budaknya, maka

kemerdekaan adalah jalan terang bagi para budak untuk keluar dari konsidi

belenggu perbudakan.

Ayat perbudakan yang menjelaskan pemerdekaan budak terdapat pada

sûrah al-Baqarah: 177, sûrah al-Nisâ`: 92, sûrah al-Mâidah: 89 dan sûrah al-

Taubah: 60, Rasyîd Riḍâ menafsiri term perbudakan pada ayat-ayat tersebut

dengan menggunakan kata raqîq yang mempunyai akar kata raqqa yang berarti

halus, penulis mengaitkan penggunaan kata tersebut dengan impian dari

seorang budak menjadi seorang merdeka dan memerdekakan budak merupakan

kebajikan yang sangat besar pahalanya. Melalui pemerdekaan budak, pelaku

akan mendapat pahala besar dan budak akan menggapai kebebasan dalam

kehidupannya.

Pada ayat-ayat tersebut, pemerdekaan budak dilakukan sebagai penebus

perlakuan salah dan dosa, dan juga sebagai kebajikan mengharap keridaan

Allah Swt.

2. Tentang Memperlakukan Budak dengan Baik

Memperlakukan budak dengan baik dengan kata lain memperlakukan

budak sebagaimana orang merdeka, karena setiap manusia mempunyai hak

terhadap kemerdekaannya.

Page 86: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

73

Ayat perbudakan yang membicarakan perlakuan baik terhadap budak

terdapat pada sûrah al-Baqarah: 178 dan 221, al-Nisa: 24-25 dan 26. Rasyîd

Riḍâ dalam menafsiri ayat-ayat tersebut menggunakan berbagai macam kata,

yakni: ‘abd, amah, mamlûk dan fatayât.

Rasyîd Riḍâ sangat menekankan penyebutan terhadap budak dengan

sebutan yang lembut yang tidak merendahkan budak, dengan mengawali

penyebutan yang baik akan berdampak pula pada perlakuan baik terhadap

budak dan tidak menghinakan budak.

Selain itu, Islam mengangkat derajat budak yang dipandang sebelah mata

agar sederajat dengan orang merdeka. Penyamarataan ini dalam hal

menunaikan hak dan hukum seperti pernikahan dengan budak dan hukum

qiṣâṣ, meskipun dalam beberapa hal Islam tetap membedakan pemberlakuan

hukum terhadap orang merdeka dan budak karena melihat kemaslahatan di

dalamnya. Di sisi lain, Islam meninggikan derajat budak yang beriman di atas

derajat orang musyrik walaupun orang tersebut dari kalangan bangswan

ataupun saudagar. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam tidak melihat

lahiriyah dari seseorang sebagai tolak ukur kemuliaannya, akan tetapi yang

dilihat adalah keimanannya.

Di bawah ini, penulis menguraikan tabel analisis pemaknaan dari setiap

term-term perbudakan yang terdapat dalam Tafsîr al-Manâr:

TERM PENAFSIRAN

SÛRAH Tentang Kata Arti

‘abd ( بد (عا بد Hamba, budak عا

QS.

Al-Baqarah [2]

Ayat: 178

Qiṣaṣ

Page 87: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

74

بد الله Hamba Allah عا

QS.

Al-Baqarah [2]

Ayat: 221

Kemuliaan

budak mukmin

dibanding orang

musyrik

من Lelaki mukmin مؤ

وك مل Lelaki yang ما

dimiliki

قيق Tipis, halus, budak را

Budak قن

amah ( ة ما

ا(أ

الله ة ما

ا Hamba Allah أ

QS.

Al-Baqarah [2]

Ayat: 221

Kemuliaan

budak mukmin

dibanding orang

musyrik

ةاوك

مل ما

Perempuan yang

dimiliki

ة منا

Perempuan beriman مؤ

Raqabah

( را ا با ق

ة )

قيق Tipis, halus, budak را

QS.

Al-Baqarah [2]

Ayat: 177

Pokok kebajikan

dalam Islam

QS.

Al-Mâidah [5]

Ayat: 89

Penebusan dosa

melanggar

sumpah

QS.

Al-Taubah [9]

Ayat: 60

Yang berhak

menerima zakat

Tipis, halus, budak رق

QS.

Al-Nisâ` [42]

Ayat: 92

Penebusan dosa

membunuh بد Hamba, budak عا

تيق عاBudak yang telah

merdeka QS.

Al-Mâidah [5]

Ayat: 89

Penebusan dosa

melanggar

sumpah قن Budak

ب ااتا مك

Budak yang

melakukan akad

cicilan

kemerdekaan

QS.

Al-Taubah [9]

Ayat: 60

Yang berhak

menerima zakat

Mâ malakat

aimânukum

ت )اكال ا ما ما

م كان يما

ا(أ

ةاوك

مل ما

Perempuan yang

dimiliki

QS. Al-Nisâ` [4]

Ayat: 24-25

Diperbolehkan-

nya menikahi

budak

اة تا

ا Perempuan muda ف

اء Budak إما

قيق ,Tipis, lembut را

budak

اب ا Leher, budak رق

QS. Al-Nisâ` [4]

Ayat: 36

Tuntunan

berbuat baik

ة ,Tipis, lembut رق

budak

ان Laki-laki muda فتيا

ات يا تاا-Perempuan ف

perempuan muda

Page 88: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

75

Setelah melakukan penelitian tentang penafsiran Rasyîd Riḍâ tentang

ayat-ayat perbudakan dikaitkan dengan konteks modern, maka dapat diringkas

sebagai berikut:

1. Perampasan hak, mengintimidasi, menghinakan orang lain atau dalam

bentuk lain yang menyudutkan orang lain dari haknya sebagai manusia

pada umumnya dapat dikategorikan sebagai praktik perbudakan modern.

2. Ayat-ayat al-Qur`an yang bersinggungan dengan term ‘abd, ammah,

raqabah dan mâ malakat aimânukum tidak selalu ditafsiri dengan

perbudakan, akan tetapi bisa juga diartikan sebagai penghambaan atau

ketaatan seorang terhadap yang lebih tinggi darinya sebagai bentuk

penghormatan dan sebagai bentuk peribadatan seorang hamba kepada

tuhannya, atau menjelaskan kondisi seseorang yang oleh umumnya

orang lain dianggap sebagai orang yang rendah derajatnya.

3. Ayat-ayat al-Qur`an tentang perbudakan dapat diaplikasikan pada masa

modern kepada orang-orang yang tertindas atau terampas haknya

sebagai arti lain dari praktik perbudakan, sehingga arti perbudakan bisa

diartikan terhadap orang yang derajatnya direndahkan, dan menolong

golongan orang tersebut dan atau membebaskannya dari kondisi yang

menjadikan orang lain menghinakannya adalah bentuk pembebasan

perbudakan.

4. Rasyîd Riḍâ juga menekankan penyebutan atau panggilan yang baik

kepada seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang lain atau

kedudukannya oleh umumnya manusia dianggap rendah, menyebutnya

dengan sebutan yang baik dan memanggilnya dengan panggilan yang

Page 89: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

76

tidak merendahkannya. Sekaligus menganggap mereka sebagai saudara,

sehingga orang tersebut dapat diperlakukan baik layaknya saudara

sendiri, hal ini ditegaskan oleh Rasyîd Riḍâ dengan menukil hadis-hadis

yang menjelaskan hal tersebut.

Page 90: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, penulis menguraikan

kesimpulan penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat al-Qur`an yang

menjelaskan perbudakan dalam tafsirnya Tafsîr al-Manâr.

Dalam menjelaskan term-term perbudakan yang digunakan pada ayat-ayat

al-Qur`an, Rasyîd Riḍâ menafsirinya dengan berbagai kata yang dalam bahasa

Arab pada umumnya kata tersebut dapat diartikan sebagai budak. Term-term

perbudakan yang digunakan al-Qur`an antara lain: ‘abd, amah, raqabah dan mâ

malakat aimânukum. Ada sepuluh kata yang digunakan Rasyîd Riḍâ dalam

menafsiri term-term tersebut, antara lain: ‘abd, mamlûk, raqîq, qin, mukâtab,

amah, raqabah, fatâh, mu`min, dan ‘atîq, kata-kata tersebut secara garis besar

diartikan sebagai budak dan disifati sesuai dengan arti asal dari tiap kata tersebut,

misalnya kata mamlûk yang menafsiri term mâ malakat aimânukum pada QS. Al-

Nisâ` [4]: 24-25, yang dimaksud adalah budak yang dimiliki oleh orang lain yang

boleh dinikahi oleh majikannya, begitu pula misalnya kata mukâtab yang

menafsiri kata raqabah pada QS. Al-Taubah [9]: 60, yang dimaksud adalah budak

yang berhak menerima zakat yang digunakan untuk menolong cicilan

kemerdekaannya.

Mengenai relevansi penafsiran Rasyîd Riḍâ mengenai ayat-ayat perbudakan

dengan konteks modern, Rasyîd Riḍâ dalam bukunya menguraikan bahwa contoh

77

Page 91: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

78

perbudakan modern adalah sikap seseorang semena-mena terhadap hak seorang

lain dengan merampas kemerdekaannya dalam hukum ataupun ketidakadilan

dalam bentuk lainnya, atau sikap menghinakan dan merendahkan orang lain baik

secara golongan ataupun individu, maka ayat-ayat perbudakan akan selalu relevan

selama tindak ketidakadilan terjadi antar manusia.

Rasyîd Riḍâ juga menekankan penyebutan atau panggilan yang baik kepada

seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang lain atau kedudukannya oleh

umumnya manusia dianggap rendah, menyebutnya dengan sebutan yang baik dan

memanggilnya dengan panggilan yang tidak merendahkannya. Sekaligus

menganggap mereka sebagai saudara, sehingga orang tersebut dapat diperlakukan

baik layaknya saudara sendiri.

B. Saran

Penelitian tentang perbudakan dapat dipresentasikan kedalam berbagai sisi,

sehingga perlu kiranya penelitian yang lebih mendalam dengan melibatkan

banyak penafsiran dari mufasir-mufasir, baik dari masa klasik ataupun masa

modern. Oleh karenanya, penelitian tentang perbudakan akan selalu menarik

untuk diteliti kembali dengan melihat fenomena perkembangan zaman.

Page 92: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

79

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Bâqî, Muḥammad Fu`âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Qur`an al-

Karîm, Mesir: Dâr al-Kutub al-Miṣriyyah, 1346.

‘Abidu, Yûnus Hasan, Tafsir al-Qur`an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir.

Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2007.

‘Alî, Sa’îd Ismâ’il, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Penerjemah

Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.

Aliyati, Khamdatul, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia.” Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2015.

Alkadri, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis-hadis Perbudakan.” Disertasi S3

Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.

Arikunto, Suarsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:

Rineka Cipta, 2006.

Al-Bazzâr, Abû Bakr Aḥmad bin ‘Umar, Musnad al-Bazzâr, Madînah: Maktabah

al-‘Ulûm wa al-Ḥikam, 2009.

Al-Bukhâri, ‘Abdullâh bin Ismâîl, Ṣaḥîh al-Bukhâri, Dâr Thaûq al-Najâh, 1422.

Britannica Encyclopedia, Chicago: William Benton Publisher, 1965.

Chamber’s Enchclopedia, London: George Newnes Limited, 1950.

Fatkhi, Rifqi Muhammad, Reza Hudan Lisalam, “Membumikan HAM Mengikis

Perbudakan,” Refleksi, Vol. 17, No. 2, (Oktober 2018): h. 155-168.

Firdaus. Iqbal, “Pemaknaan Mâ Malakat Aimânukum dalam al-Qur`an: Studi atas

Penafsiran Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur`an al-‘Aẓim.” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018.

Page 93: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

80

Fitri, Nurul, “Perbudakan Menurut Sayyid Quṭb dalam Tafsîr Fî Ẓilâl al-Qur`an.”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri al-

Raniry Darus-Salam Banda Aceh, 2018.

Halim, M. Fikri, “Analisis Wacana Kritis tetang Perbudakan Modern dalam

Program Bedah Editorial Media Indonesia di Metro TV.” Skripsi S1

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri

Jakarta, 2013.

Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam,” Suara Muhammadiyah 01, No. 98 (1-15

Januari 2011): h. 48-49.

Hariroh, “Perbudakan dalam Perspektif al-Qur`an.” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta.

Hasan, Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis, Jakarta: Lembaga Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Husain, Husna, Ibrahim Hashim, “Manhaj Sayyid Quthb dalam Berinteraksi

dengan Ayat-ayat Berkaitan Wanita di dalam al-Qur`an,” Perspektif:

Special Issue 1, (2007): h. 21-27.

Ibn Kaṡîr, ‘Imâduddin Abû al-Fidâ Ismâîl bin al-Khatîb Abû Hafṣ ‘Umar, Tafsîr

al-Qur`an al-‘Aẓim, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1998.

Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa

ke Masa, Jakarta: Kencana, 2010.

Al-Jazairî, Abû Bakr Jâbir, Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Penerjemah

Mustafa Aini, Amir Hamzah, Khalif Mutaqin. Jakarta, Darul Haq: 2006.

Mappiaswan, Andi, “Pemikiran Sayyid Muḥammad Rasyîd Riḍâ dalam

Pengembangan Islam.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humainiora UIN

Alauddin Makassar, 2015.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Page 94: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

81

Muhammad, Agus, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an,” Suhuf, Vol. 4

No. 1 (2011): h. 41-52.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,

1997.

Nasution, Ahmad Sayuti Anshari, “Perbudakan dalam Hukum Islam,” Ahkam,

Vol. XV, No. 1, (Januari 2015): h. 95-102.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan, Jakarta:

Bulan Bintang, 2014.

Nugraha, Muhammad Tisna, “Perbudakan Modern: Modern Slavery.” At-Turats,

Vol.9 Nomor 1 (Juni 2015): 49-61.

Nunik, Nurjannah, “Strategi Menghapuskan Perbudakan Klasik dan Modern

Menurut al-Qur`an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Jakarta.

Nurrahmah, Siti, “Metode al-Qur`an Menghapuskan Perbudakan.” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Raden

Fatah Palembang, 2018.

Raharjo, Dawam, Ensiklopedi al-Qur`an, Jakarta: Paramadina, 1996.

Riḍâ, Muḥammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr, Mesir: Hay`ah al-Miṣriyyah, 1990.

-------, Wahyu Ilahi Kepada Muhammad, Penerjemah Josep C.D., Jakarta: Dunia

Pustaka, 1983.

Rusli, Ris’an, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali

Press, 2013.

Al-Qaṭṭân, Manna’ Khalîl, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Penerjemah Mudzakir AS.,

Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007.

Safak, Muhammad, Kaya Tanpa Bekerja, Jakarta: Republika, 2005.

Page 95: AL-QUR`AN DAN WACANA PERBUDAKAN DALAM KONTEKS MODERN

82

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2015.

Shihab, M. Quraish, Studi Kritis Tafsîr al-Manâr, Bandung: Pustaka Hidayah,

1994.

al-Sijistânî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-`Asy’aṡ bin Ishâq, Sunan Abî Dâwud,

Dâr al-Risâlah al-‘Alamiyyah, 2009.

al-Syażilî, Sayyid Quṭb Ibrâhîm Ḥusain, Tafsîr Fî Ẓilal al-Qur`an, al-Qâhirah:

Dâr al-Syurûq.

Syibromalisi, Faizah Ali, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008.

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata 1 2012-2013. Jakarta: Biro

Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri

Jakarta, 2012.

‘Ulwan, ‘Abd Allâh Naṣîḥ, Niẓâm al-Riqq fî al-Isâm, Kairo: Dâr al-Salâm, 2003.

Utsmani, Ahmad Rofi’, Amin Husein Nasution, Ensiklopedia Tokoh Muslim.

Bandung: Mizan Pustaka. 2015.

Wahid, Abdul Hakim, “Perbudakan dalam Pandangan Islam,” Nuansa, Vol. VIII,

No. 2 (Desember 2015): h. 141-154.

Wikipedia, “Undang-undang Hammurabi” diakses pada 3 April 2019 dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/undang-undang_hammurabi