akhiri kontroversi lahirnya pancasila
TRANSCRIPT
Akhiri Kontroversi Lahirnya Pancasila
Oleh Asvi Warman Adam
Pada 1 Juni 2006 -hari ini- Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) akan
berpidato tentang lahirnya Pancasila di Balai Sidang Jakarta. Apakah dengan
acara itu, kontroversi lahirnya Pancasila akan berakhir? Apakah berarti nama
baik Bung Karno otomatis sudah direhabilitasi? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, kita perlu melakukan kilas balik.
Rekayasa sejarah lahirnya Pancasila berlangsung sejak awal Orde Baru untuk
mengecilkan jasa Soekarno dan melebih-lebihkan peran Soeharto. Selain memberi
legitimasi historis kepada Jenderal Soeharto, itu dilakukan untuk menghilangkan
peluang bagi pendukung (ajaran) Soekarno tampil di kancah politik nasional.
Terkait dengan 1 Juni 1945 saat Soekarno berpidato tentang dasar negara yang
dinamainya Pancasila, M. Yamin telah berpidato sebelum Bung Karno. Supomo pun
disebutkan telah menguraikan soal dasar negara. Bahkan, pada buku-buku sejarah
yang digunakan di sekolah, Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia
sejak zaman purbakala hingga masa sekarang.
Sejak 1 Juni 1970, Kopkamtib melarang peringatan lahirnya Pancasila. Pada 22
Juni tahun yang sama, mantan Presiden Soekarno wafat. Sejarawan Prancis Jacques
Leclerc mengatakan bahwa pada hakikatnya, Bung Karno telah dibunuh dua kali.
Secara fisik, dia dalam status "tahanan rumah" tidak dirawat sebagaimana
semestinya sehingga kesehatannya terus memburuk dan akhirnya meninggal,
sedangkan pemikirannya dilarang untuk didiskusikan.
Kontroversi lahirnya Pancasila itu dimulai pada awal Orde Baru dengan terbitnya
buku tipis Nugroho Notosusanto berjudul "Naskah Proklamasi jang otentik dan
Rumusan Pancasila jang otentik" (Pusat Sejarah ABRI, Departemen
Pertahanan-Keamanan, 1971).
Dalam buku itu, Nugroho mengatakan bahwa ada empat rumusan Pancasila. Yaitu,
yang disampaikan Muh. Yamin (29 Mei 1945), Soekarno (1 Juni 1945), berdasar
hasil kerja Tim Sembilan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945),
dan sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (18 Agustus 1945). Menurut Nugroho,
rumusan Pancasila yang otentik adalah rumusan 18 Agustus 1945 karena Pancasila
yang termasuk dalam pembukaan UUD 1945 itu dilahirkan secara sah (yakni
berlandaskan proklamasi) pada 18 Agustus 1945.
Pada akhir leaflet itu, Nugroho menandaskan: "Kiranya tidak perlu lahirnya
Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak. Sebab, lahirnya
sesuatu gagasan sebagai sesuatu yang abstrak memang tidak mudah ditentukan
dengan tajam. Yang dapat kita pastikan adalah saat pengesahan formal dan resmi
suatu dokumen".
Manuver sejarah yang pada awalnya bersumber dari Pusat Sejarah ABRI itu
kemudian ditentang sejarawan dan pelaku sejarah. A.B. Kusuma dalam makalah
berjudul Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan berdasar notulen yang telah ditemukan kembali 1989 mengatakan,
tidak benar bahwa Muh. Yamin yang pertama mengungkapkan dasar negara Pancasila.
Hal itu kemudian ditegaskan dalam buku A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945 (Jakarta, 2004).
Yamin sendiri dalam bukunya mengakui Soekarno sebagai penggali Pancasila.
Panitia Lima yang diketuai Hatta juga mengakui Sukarno yang pertama berpidato
tentang Pancasila.
Ada pula sejarawan, seperti Dr Anhar Gonggong, yang masih ragu-ragu untuk
menyatakan bahwa Soekarno sebagai penggali Pancasila. Menurut Anhar, Soekarno
sangat berperan dalam tiga peristiwa yang berhubungan dengan proses lahirnya
Pancasila, yaitu 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945.
Pada ketiga kejadian itu, Soekarno menduduki posisi penting (1 Juni sebagai
penyampai pidato, 22 Juni sebagai ketua Tim Sembilan yang melahirkan Piagam
Jakarta, dan 18 Agustus 1945 sebagai ketua PPKI yang kemudian dipilih secara
aklamasi sebagai presiden RI.
Tokoh Pertama
Berdasar uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Soekarno memang tokoh yang
pertama menyampaikan Pancasila sebagai dasar negara. Ada tokoh-tokoh lain yang
berbicara sebelumnya, tetapi hanya Soekarno yang secara eksplisit menyampaikan
gagasan tentang Pancasila, termasuk nama Pancasila itu sendiri sebagai dasar
negara. Formulasi
Pancasila yang disampaikan Soekarno, 1 Juni 1945, setelah melalui dinamika
pembicaraan di antara founding fathers kita, dirumuskan menjadi Pancasila
seperti yang kita kenal sekarang, yang tidak sama persis rumusan/urutannya
dengan yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Peringatan lahirnya Pancasila setiap 1 Juni seyogianya tidak lagi mempersoalkan
kontroversi yang diciptakan pada era Orde Baru, melainkan lebih memusatkan
perhatian tentang penerapan ideologi pada semua bidang kehidupan bangsa.
Bagaimana cara meyakinkan segenap komponen bangsa bahwa Pancasila adalah
ideologi yang paling tepat bagi bangsa kita?
Pancasila memberi tempat kepada semua agama, golongan, dan suku bangsa. Tidak
ada yang tersisih. Kalau mau memilih ideologi lain, itu pasti menimbulkan
friksi dan ketakutan bagi golongan yang tidak setuju.
Seyogianya, 1 Juni ditetapkan sebagai salah satu hari besar nasional dan
dinyatakan hari libur. Bukan berarti, itu menambah hari libur secara
keseluruhan. Namun, kami berpendapat bahwa hari-hari besar yang ada selama ini
perlu ditinjau ulang. Hari libur yang merupakan peringatan keagamaan mungkin
dapat dikurangi, sedangkan peringatan yang bersifat kebangsaan ditambah
(termasuk Hari Pahlawan 10 November).
Jangan Mengultuskan
Dalam kesempatan memperingati lahirnya Pancasila, sebaiknya, kita berniat tidak
mengultuskan seseorang. Kita menghargai jasa Soekarno sebagai penggali
Pancasila, sungguhpun rumusan Pancasila yang sekarang kita gunakan adalah hasil
rumusan kolektif bapak-bapak pendiri bangsa. Kita tidak boleh lagi melakukan
kultus individu.
Bila lahirnya Pancasila 1 Juni diperingati setiap tahun, itu dapat
menghilangkan salah satu kontroversi sejarah yang diciptakan rezim Orde Baru.
Namun, bukan berarti nama baik Soekarno telah dipulihkan. Pelecehan terhadap
Soekarno tampak dalam TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pengalihan kekuasaan
terhadap Soeharto.
Kita tidak menggugat pengalihan kekuasaan tersebut karena itu telah terjadi.
Tetapi, konsiderans yang menyebutkan Soekarno melakukan kebijakan yang
"menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI" perlu
dipertanyakan.
Kalau diakui bahwa G30S/1965 itu merupakan gerakan kudeta untuk menggulingkan
Presiden Soekarno, kenapa Soekarno justru memihak dan melindungi pelakunya?
Ketika Soekarno masih menjadi presiden, apakah masuk akal dia membantu kelompok
yang ingin menggulingkan dirinya sendiri. Perlu direhabilitasi nama baik sang
proklamator kemerdekaan.
Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia) di Jakarta