kontroversi pembantai pki

41
EDISI 44 01 OKTOBER 2012 SI RATU GERMO KEYKO WAWANCARA PEMBANTAI PKI KONTROVERSI SERAMNYA TAWURAN SMA MENANTI AGYA DAN AYLA DEMAM GANGNAM STYLE

Upload: rendi-r-firdaus

Post on 29-Oct-2015

155 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

EDISI 44 01 OKTOBER 2012

si ratu germo

KeYKo wawancara

pembantai pKiKontroversi

seramnyatawuran sma

menanTI agYa Dan aYLa

demamgangnam stYLe

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Reporter: Monique Shintami, M. Rizal, Aryo Bhawono, Khairul Ikhwan

P e n g a k u a n S at i r e Sang PembantaiAnwAR Congo MengAKu telAh MelAKuKAn peMBunuhAn teRhAdAp RIBuAn AnggotA dAn oRgAnISASI SAyAp pKI dAlAM KuRun wAKtu 1965-1966. pengAKuAn yAng MengejutKAn dAn SAtIRe.

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

dok. detikfoto

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

tawa lebar menghias bibir seorang lelaki berjas hitam dipadu kemeja putih dengan topi koboi berlambang sherif di kepalanya. Se-orang presenter televisi lantas memperkenal-

kan nama laki-laki itu.“Pak Anwar Congo.”  Tepuk tangan sontak menggema. Sekelompok orang

yang berseragam oranye loreng hitam yang duduk di deretan penonton tampak gembira dengan kehadir-an Anwar di stasiun TV itu. Dari mereka inilah, tepuk tangan berasal.

“Anwar Congo bersama rekan-rekannya menemu-kan sistem baru yang lebih efisien dalam menumpas komunis. Yaitu sebuah sistem yang manusiawi, ku-rang sadis, dan juga tidak menggunakan kekerasan berlebihan. Tapi ada juga langsung disikat habis saja ya,” kata presenter perempuan itu lagi.

Adegan lalu berpindah. Di sudut tak jauh dari pre-senter itu, Anwar yang berbaju hijau dipadu celana putih dan sepatu putih sedang melilitkan kawat ke leher seorang pria yang duduk berselonjor. Tangan laki-laki itu diikat ke belakang. “Pak, jangan disiksa dulu,” kata presenter itu begitu melihat Anwar mulai akan menarik kawat yang melilit leher pria itu. Anwar pun menengok dan memberikan senyum khasnya.

Tak jelas kapan adegan talkshow itu digelar. Namun logo yang terpampang di sudut kanan atas merupakan logo kedelapan TVRI yang mulai dipakai sejak 1 April 2007 hingga kini. 

Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara. PP menjadi salah satu organisasi yang dilibatkan dalam pemberantasan PKI. Perlu diketahui, pemberantasan PKI yang dipimpin Letjen Soeharto dilakukan setelah terjadinya Gerakan 30 September pada 30 September 1965.

Pada 30 September 1965 itu, 7 perwira tinggi TNI

Anwar merupakan sesepuh dalam organisasi massa Pemuda Pancasila (PP) di Provinsi Sumatera Utara.

““

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

AD di Jakarta diculik dan dibunuh. Berdasarkan catatan sejumlah buku sejarah, PKI disebut sebagai pelakunya. Be-berapa minggu setelah tragedi itu, jutaan orang yang dituduh terlibat PKI pun dibantai. Banyak di antara korban itu adalah mereka yang tidak tahu-menahu tentang pem-bunuhan para jenderal ataupun PKI.  

Nah, Anwar mengaku telah melakukan pembunuh-an terhadap anggota dan organisasi sayap PKI dalam kurun waktu 1965-1966 itu. Ini pengakuan yang sangat mengejutkan. Sebelumnya tidak pernah ada pelaku yang mengaku melakukan pembantaian terhadap orang yang diduga terlibat PKI.

Pengakuan Anwar dan adegan talkshow yang mem-pertontonkan kemampuan Anwar membantai PKI ini terekam dalam trailer film garapan Joshua Oppenhei-mer berjudul The Act of Killing atau Jagal. Film ini telah diputar dalam Festival Film Toronto dan Festival Film Telluride, tetapi belum beredar di Indonesia.Inilah film pertama tentang peristiwa 1965 yang menggunakan sudut pandang pelaku.

Berbagai cuplikan yang didapat majalah detik, ka-wat merupakan senjata andalan yang digunakan An-war dalam pembantaian. Pembunuhan dengan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu ceceran darah. Ia tidak suka dengan bau dan kotornya ceceran darah.

“Leher itu cuma segini,” ujar pria berusia 72 tahun itu sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.

Tap untuk melihat video Trailer The Act of Killing

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Kali itu perbincangan dilakukan Anwar bersama rekannya, Adi Zulkardi, dalam sebuah mobil VW Safari berkap terbuka. Keduanya merupakan rekan dalam pembantaian tersebut. Mereka berkeliling kota Medan untuk mengenang kembali pembantaian yang dilakukan.

Tak ada rasa sesal dalam pembicaraan itu. Kisah pembunuhan pada 1965-1966 itu mengalir bersama canda dan tawa. Mereka menganggap pembunuhan terhadap orang yang disangka PKI dengan kawat se-bagai sebuah prestasi .

l l l

Clipper (papan penanda scene) bertuliskan Arsan dan Aminah diketuk. Riasan bekas penyiksaan tertempel di muka Anwar dan Adi. Mereka siap berakting sebagai korban.

Namun adegan tak menunjukkan akting keduanya. Mereka justru sedang berdebat mengenai film yang hendak digarap. Safit Pardede dan Herman Koto, ka-der PP, dan beberapa orang ikut dalam pembicaraan itu.

Mereka tengah mengerjakan pembuatan film berju-dul Arsan dan Aminah. Film ini akan menggambarkan pembantaian yang mereka lakukan.

“Kalau kita sukses bikin film ini, maka kita lebih kejam dari komunis. Tapi ini bukan kesaksian. Ini ma-salah image, jalan hati masyarakat kita. Tapi penilaian sejarah akan berputar 180 derajat, bahkan 360 dera-jat,” ungkap Adi.

Sebuah skenario film memang telah disiapkan. Se-mua aksi pembunuhan dengan metode yang pernah dilakukan, termasuk dengan kawat. Semua orang siap berakting sebagai korban maupun pelaku pembunuh-an.

Anwar terobsesi untuk menuntaskan pembuatan film ini. Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia

Mimpi buruk telah menghantui ketika tidur, ia merasa mendengar suara korban yang telah dibunuhnya.

““

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

merasa mendengar suara kor-ban yang telah dibunuhnya. Film ini akan menutup mimpi-mimpi buruk itu.

Namun ia tak ingin sebuah cerita yang berakhir dengan pe-nyesalan. Adegan terakhir yang diinginkannya adalah penyerah-an medali oleh korban yang dibunuhnya. Medali itu diterima-nya  karena mengantar korban ke surga.

Penyerahan medali ini dilakukan di depan air terjun Sigura-Gura. Lenggok penari dengan iringan lagu Born Free menutup skenario film ini. Sesal bagi Anwar selesai di sini.

l l l

Pembuatan film ini berawal ketika Joshua membuat film Globalisation Tapes pada tahun 2003. Ia sudah bertemu dengan pelaku pembantaian di daerah per-kebunan sekitar kota Medan. Mereka selalu sesumbar mengenai pembantaian yang mereka lakukan pada tahun 1965.

Namun pertemuan dengan Anwar baru terjadi pada 2005. Nama Anwar disodorkan kepada Joshua oleh beberapa veteran pelaku pembantaian. Anwar dan Adi dikenal sebagai pembunuh kejam di Sumatera Utara sebagai Pasukan Kodok.

The Act of Killing merupakan film di atas film. Film dokumenter ini membingkai film Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. Film juga merekam semua adeg-an dan wawancara dengan Anwar di sela-sela syuting Arsan dan Aminah.

Lewat The Act of Killing, Joshua menyajikan peng-akuan yang mencengangkan dari pelaku pembantaian 1965-1966. Hingga kini pelaku ini merasa sebagai pah-

Anwar Congo menggelar jumpa pers bersama Pemuda Pancasila.dok. detikfoto

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

lawan. Mereka menganggap pembantaian itu layak dilakukan.

“Kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang mem-bayangkan bahwa perbuatan kejahatan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah aksi heroik,” ujar Joshua melalui surat elektronik yang diterima maja-lah detik pada 28 September 2012.

Film ini jelas berlawanan dengan propaganda Orde Baru selama puluhan tahun. Masyarakat hingga kini takut atau kurang informasi ketika menerima keha-diran para pelaku pembantaian ini.

Trailer film Jagal menunjukkan kedekatan pelaku pembantaian dengan PP, yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. 

Joshua memperingatkan banyak cuplikan yang ber-edar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang dita-yangkan di Toronto. Ia menyarankan untuk menunggu pemutaran resmi di Indonesia.

Meski belum beredar di negeri ini, film ini langsung menyulut kontroversi. Anwar merasa ditipu oleh su-tradara karena mengubah judul film tanpa sepenge-tahuannya. Bahkan hingga kini ia belum menonton hasil final film The Jagal/The Act of Killing itu.

“Ya saya merasa ditipu,” kata Anwar dalam jumpa pers bersama Pengurus PP Sumatera Utara, Rabu 26 September 2012.

Ketua MPW PP Sumatera Utara, Anuar Shah tak mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan. “Bisa. Kita akan tuntut,” tandasnya.

Meski merasa ditipu, Anwar tidak membantah mela-kukan pembantaian pada PKI. "Sampai-sampai waktu itu komunisnya kocar-kacir kita buat," kata anwar.

Apa pun kontroversinya, yang jelas The Act of Killing menambah bukti dugaan pembantaian di Sumatera Utara pascatragedi G30S benar-benar terjadi. (ARy/yog)

Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa minta persetujuan saya.

““

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

berikut wawancara dengan Ketua Umum Majelis Nasional Pemuda Pancasila (PP) Kan-jeng Raden Mas Haryo (KRMH)

Japto Soelistiyo Soerjosoemarno kepada majalah detik usai Muswil PP DKI Jakarta di Twin Plaza Hotel, Jl. S. Parman, Jakarta Barat.

Bagaimana tanggapan Anda atas film the Act of Killing, yang meng-gambarkan adegan Pemuda Panca-sila memburu orang-orang PKI di Sumatera Utara?

Begini, yang namanya Joshua Op-penheimer ini, dia itu produsernya dan juga sutradaranya. Dia mengatakan, membuat film di Indonesia tentang ke-pemudaan di Indonesia dalam rangka mengambil Ph.D atau gelar S3. Saya nggak tahu kalau dia ketemu Anwar Congo buat film, katanya membuat film pribadi tentang Anwar Congo, itu kata-nya.

Nah, kebetulan kita di sana sedang ada Muswil PP di Medan waktu itu, Muswil PP itu juga diambil gambar-nya. Juga waktu acara di DKI Jakarta,

waktu itu acara pelepasan di kantor Kemenpora diambil juga gambarnya. Saya nggak tahu kalau maksudnya untuk mendiskreditkan PP, saya nggak tahu sama sekali. Karena kalaupun un-tuk mendiskreditkan PP itu sangat jauh sekali. Itu tahun 1966, kita kan di tahun 1980-an, saat itu saya saja belum di PP dan masih pelajar.

Apakah Anwar Congo sudah lama di PP?

Japto Soerjosoemarno:ini masalah anwar Congo bukan masalah PPReporter: M. Rizal

rengga sancaya/detikfoto

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Memang Pak Anwar Congo merupa-kan tokoh PP, tapi PP di Medan. Namun itu yang digambarkan di film itu sebu-ah kejahatan terhadap komunis saja, kalau nggak salah ya. Kenapa nggak sebaliknya? Karena sebelumnya ada pembunuhan sekitar 80 orang, kenapa itu tidak diceritakan? Ini sebenarnya pembalasan atas perbuatan keji orang-orang komunis.

Apakah PP memang dilibatkan da-lam kasus pemberantasan PKI tahun 1965?

Oh tidak hanya di sana saja, tapi se-luruh Indonesia loh. Kalau waktu PKI, di DKI Jakarta yang merebut DPC-DPC PKI itu tidak hanya PP saja, ada unsur kepemudaan lain seperti Pemuda An-sor. Begitu juga di Jawa Timur, tidak

hanya PP, ada Ansor dan Angkatan Darat. Jangan salah.

Apakah  PP akan mempersoalkan film ini?

Mempermasalahkan apa? Ini masa-lah Anwar Congo, bukan masalah PP. Karena orang yang berbuat itu yang bermasalah. PP sebetulnya organisasi kemasyarakatan dan pemuda saja. Jadi biar itu diselesaikan Anwar Congo sama yang membuat film.

Kalau sampai film ini terpublikasi secara luas, apalagi ada penggam-baran PP bagaimana?

Ya silakan dikeluarkan, asal acara-acara musyawarah kita tidak dima-sukkan. Kalau itu dimasukkan, ini yang akan saya ajukan klaim ke pembuatnya. Itu saja. (Iye/yog)

Cuplikan Film The Act of Killing PKI

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Reporter: Khairul Ikhwandetikfoto

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

Anwar Congo: Saya Merasa Ditipu

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Situasi saat itu memang cukup menegangkan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang.

““ AnwAr Congo, tokoh organisasi massa Pe-muda Pancasila (PP) Medan yang menjadi tokoh utama dalam film “The Act of Killing” besutan Joshua Oppenheimer, merasa telah

ditipu oleh sang sutradara. Berikut pengakuan Anwar dalam jumpa pers di kantor Pemuda Pancasila Medan yang juga dihadiri Khairul Ikhwan dari majalah detik.

Kalau kita bicara mengenai sosok Joshua, kira-kira keadaannya seperti apa? Apakah ada order tertentu?

Saya kira tidak seperti itu. Itu hanya kebijaksanaan dia sendiri untuk melengkapi tugas program S3-nya. Dia membuat film itu saya juga heran. 

Film dokumenter itu diambil dari sejarah Pemuda Pancasila pada tahun 1965. Saat itu situasinya se-perti apa?

Kita akui situasi saat itu memang cukup menegang-kan, di mana kalau kita tidak siap, kita yang disiapkan orang. 

Berarti ada ancaman?Ya ada ancaman. Setelah film diputar, apa tanggapan masyarakat?Sampai saat ini saya bingung, karena saya belum

pernah lihat. Sampai sekarang ini, macam mana ben-tuk film dan apa ceritanya saya juga nggak tahu. 

Pada saat itu Anda bergabung dengan barisan komando aksi, siapa yang mengajak?

Itu hasrat hati macam-macam pemuda, kami para pemuda antusias terhadap PKI yang telah berbuat se-enaknya. Mencederai pemuda. Apalagi kita itu pemuda yang agak susah. Jadi Pemuda Rakyat itu satu-satu-nya musuh berat kita waktu itu. 

Bergerak sendiri-sendiri, atau ada yang meng-atur? 

Nggak, dulu ada namanya komando aksi waktu itu,

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Pak Kamal (Kamaluddin Lubis, sesepuh PP Medan) juga di dalam, Pak Effendi ketua aksinya juga. Di situ kegiatan mulai membesar sampai-sampai komunis-nya kocar-kacir kita buat.

Pak Anwar khawatir tidak dengan reaksi masya-rakat? 

Semua saya serahkan saja ke pengacara saya. Anda ingin melihat film itu secara utuh?Siapa yang nggak mau melihat? Tapi sampai seka-

rang saya belum per-nah lihat. 

Komunikasi ter-akhir dengan sutra-daranya?

Sudah ada satu bul-an nggak komunikasi lagi. 

Adakah Anda membuat perjanjian tertulis dengan Joshua (sutradara, red)?

Ada beberapa, cuma saya tidak pernah mengerti karena pakai bahasa Inggris. Kan saya sudah pernah cerita tentang pendidikan saya. Saya hanya orang lapangan. Saya nggak tahu ini apa, artinya apa. Ada memang, tapi saya nggak tahu apa yang diteken. 

Anda punya berkasnya?Nggak tahu saya. Sudah saya cari, tapi nggak keli-

hatan. Nggak ingat ditaruh di mana. Kapan Anda gabung dengan komando aksi?Dari awal saya sudah gabung, karena kantor tempat

saya kerja dengan komando aksi itu sebelah-sebelah-an. 

Inisiatif sendiri?Inisiatif sendiri.Anda merasa ditipu dengan film ini?Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya

sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya. (AMI/YOG)

Ya saya merasa ditipu. Satu contoh saja judulnya sudah diubah, tanpa meminta persetujuan saya.

““

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Berikut wawancara Monique Shintami dari majalah detik dengan sutradara The Act of Killing, Joshua Oppenheimer:

Bagaimana Anda memfilmkan Anwar Congo da-lam The Act of Killing?

Saya mendengar nama Anwar Congo pertama kali dari wawancara dengan banyak pembunuh dan penggerak pembantaian massal 1965-1966 di Suma-tera Utara selain membaca dari literatur mengenai

Sutradara The Act of Killing:Aneh kalau tak Ada kontroversi

Reporter: Monique Shintamiindiewire.com

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

premanisme di Medan atau dari buku sejarah resmi Pemuda Pancasila. Lalu saya datangi rumahnya dan menyatakan maksud saya untuk mewawancarainya dan membuat film dokumenter mengenainya.

Berapa Anwar Congo dibayar? Mengenai pembayaran, kami memberikan apa yang

kami sebut sebagai ‘uang ganti kerja’ untuk setiap hari yang dihabiskan syuting bersama kami. Bukan honor, bukan uang kontrak atau semacamnya. Jangan ba-yangkan kami melakukannya seperti manajemen artis atau agensi untuk selebriti. Kami menekan serendah mungkin jumlah uangnya. 

Sebetulnya, untuk menjamin bahwa tidak seorang pun termotivasi ikut film kami karena uangnya. Yang kami takutkan, kalau bayarannya tinggi, nanti akan ada banyak orang yang datang mengarang-ngarang cerita agar terus bisa ikut film ini. Untuk setiap cerita yang disampaikan, kami ingin itu disertai dengan keinginan dan ketulusan bercerita.

Anwar Congo merasa tertipu, bagaimana tang-gapan Anda?

Semua orang yang sudah melihat film ini sepenuh-nya akan menyadari tidak mungkin semua adegan yang terdapat di dalamnya dibuat dengan menipu para partisipannya. Bagaimana mungkin? Begitu banyak adegan dibuat dengan disutradarai oleh mereka sen-diri, skenario untuk film fiksi yang mereka buat ditulis oleh teman-teman Anwar Congo, dan Anwar menceri-takan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum. Mereka semua tahu bahwa saya merekam semuanya, tidak ada kamera tersembunyi digunakan dalam film ini. 

Setiap kali kami membuat film bersama mereka saya selalu menjelaskan apa yang sedang kita kerjak-an dan untuk apa. Tanpa kesediaan dan pemahaman

Anwar menceritakan bagaimana ia membunuh dan membuang mayat korbannya di acara TVRI yang disiarkan untuk umum.

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

para partisipannya, film ini tidak akan pernah ada. Saya pun telah menjelas-kan apa fungsi film fiksi Arsan dan Ami-nah dalam pembuatan film dokumenter mengenai dirinya itu. Saya yakin Anwar paham. 

Kalau Anwar kecewa dengan film ini, karena tujuan Anwar untuk meng-glory-fikasi kekerasan tidak tercapai, semua orang seharusnya maklum, tu-juan film ini tidak mungkin ‘mengamini’ propaganda bohong Orde Baru bahwa kalaupun ada kekerasan terhadap ju-taan orang di tahun ‘65-‘66, itu karena diperlukan untuk mempertahankan keutuhan bangsa, semacam necessary evil (kejahatan tapi diperlukan) yang heroik. Itu bohong, yang ada hanya evil, hanya kejahatan. 

Apakah sudah memperhitungkan film ini jadi kon-troversi?

Kami tahu dan sadar bahwa film ini akan membawa kontroversi terutama di Indonesia, ini sama sekali tidak di luar dugaan kami. Tentu saja film ini jadi kon-troversi. Kalau tidak ada kontroversi, maka film ini gagal membawa tugasnya.

Bagaimana tidak, selama 47 tahun pembantaian massal terhadap jutaan orang yang dituduh terlibat dalam operasi militer yang amburadul bernama G30S tidak pernah diakui terjadi, ditutup-tutupi, dan tidak disebutkan dalam pelajaran sejarah. Negara belum minta maaf, para pelaku tidak ada yang diadili apalagi dihukum. Sebuah genosida yang penting dalam skala dunia, di negeri sendiri dibicarakan pun tidak.

Dan kami angkat ceritanya, dari sisi pelaku yang membayangkan perbuatan kejahatan itu pantas dilihat

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

oleh publik sebagai sebuah aksi heroik. Kami mela-wan propaganda yang gencar dilancarkan Orde Baru selama berpuluh tahun, tidak heran kalau menjadi kontroversi. Yang mengherankan kalau tidak ada kon-troversi.

Berapa lama pembuatan film ini?Tujuh tahun, dari Agustus 2005, pertama kali saya

berjumpa dengan Anwar, sampai 2012.Apakah kesulitan terbesar yang Anda hadapi? Kesulitan yang terbesar sebetulnya adalah bagai-

mana saya meyakinkan diri saya bahwa apa yang saya lakukan ini benar dan bermanfaat bagi kemanusiaan. 

Film ini mempertanyakan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gam-pangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.

Akankah Anda akan meluncurkan film ini di Indo-nesia? Kapan?

Tentu saja. Saat yang tepat tentunya ketika film ini diputar perdana (premiere) di Indonesia, tapi kami belum bisa memastikan kapan dan di mana.

Anwar Congo mengaku belum menonton film ini. Mengapa Anda tidak memperlihatkan film ini kepa-da Anwar?

Kalau Anda menonton film ini, Anda akan melihat bagaimana Anwar sangat terpukul, bahkan secara fisik, ketika menonton salah satu adegan yang mem-bangkitkan trauma psikologis dalam dirinya.

Sebelum film ini diluncurkan di Toronto, saya me-nelepon Anwar dan menyampaikan minggu depan film ini akan main di Festival Film Toronto. Anwar minta agar ia bisa ikut menonton gala premiere film itu di Toronto. Alasan di atas adalah satu yang saya sampaikan, mengapa tidak mungkin bagi kami untuk membawa Anwar ke Toronto atau memutarkan film ini kepadanya. (IYE/YOG)

Film ini mempertanya-kan cara kita membayangkan diri kita sehari-hari, dan film ini menolak cara gampangan meyakinkan diri bahwa kita ini ‘orang baik’ semata-mata karena kita meyakininya demikian.

““

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

The Act of Killing bercerita tentang kehidupan Anwar Congo di masa muda. Dulunya, Anwar dan gerombolannya hanyalah preman kelas teri pencatut karcis bioskop, tempat mereka

nongkrong.  Ketika pemerintahan Sukarno digulingkan pada

1965, Anwar ‘naik pangkat’. Dia diangkat menjadi pemimpin pasukan pembunuh, membantu tentara dalam membunuh lebih dari satu juta orang.

Korbannya adalah orang-orang yang dituduh komu-nis, etnis Tionghoa, dan para intelektual. Perjalanan ‘lembah hitam’ itu dilakoni Anwar dan kawan-kawa selama satu tahun.

Inilah film yang memotret kejahatan yang ‘menang’. Dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat. Mere-ka tidak pernah dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa itu merupakan kejahatan. Tidak seperti tentara Nazi atau pelaku kekerasan di Rwanda.

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

SinopSiS The ACT oF KiLLinG

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

Sutradara: Joshua OppenheimerRumah produksi: Final Cut for Real, DKPemain: Anwar Congo dan kawan-kawanLatar: Medan, Sumatera UtaraPengambilan gambar: 2005-2011Durasi: 115 menitBahasa: IndonesiaDiputar di: Toronto International Film Festival (TIFF)

AnwAr Congo selaku pemeran utama dalam film itu belum pernah sekalipun melihat film ‘The Act of Killing’. Dia merasa kecewa pada sutradara. Apalagi saat pembuatan dia

diberitahu film itu berjudul ‘Arsan dan Aminah’, bukan ‘The Act of Killing’. Anwar pun merasa ditipu.

Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) Pemuda Pancasila (PP) menilai film itu melenceng dari kebenaran kare-na disajikan sepotong-sepotong. Dia pun berencana membuat film tandingan.

Anwar Congo yang oleh MPW PP dianggap sebagai sesepuh Pemuda Pancasila di Medan, Sumut dinilai hanya korban. (KEN/YOG)

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

• NamaLengkap: Anwar Congo • Tempat, Tanggal Lahir: Pangkalan Brandan, Langkat,

Sumatera Utara, 1940. • Pendidikan:Kelas IV SD Taman Siswa Medan.• Prestasi:

1. Petinju di Pangkalan Brandan, Langkat2. Atlet Bowling di Medan

• Organisasi: Komando Aksi, Pemuda Pancasila.• Film yang dibintangi: Arsan dan Aminah, The Act of

Killing.

• NamaLengkap: Joshua Lincoln Oppenheimer• NamaBeken: Joshua Oppenheimer• Tempat,TanggalLahir: Texas, 23 September 1974  • Pendidikan:Harvard University, US dan Central St Mar-

tins College, London.• Penghargaan: 1. Film ‘The Entire History of the Louisiana Purchase’ me-

raih Gold Hugo Award dalam Chicago International Film Festival 1998 dan Telluride Film Festival 1997.

2. Film ‘The Entire History of the Louisiana Purchase’ me-raih Innovation and Resourcefulness Award dalam New England Film and Video Festival 1998.

3. Film ‘These Places We’ve Learned to Call Home’ meraih Gold Spire Award dalam San Francisco Film Festival 1997.

• Filmografi(sebagaiSutradara):1. Show of Force (film pendek, 2007).2. The Globalization Tapes (dokumenter, bersama ko-sutradara Christine Cynn, 2003).3. Land of Enchantment (film pendek, bersama ko-sutradara Christine Cynn, 2001).4. The Entire History of The Louisiana Purchase (50 menit, 1997).5. These Places We’ve Learned to Call Home (film pendek, 1997).

• Filmografi(akandatang):Co-Existence (judul sementara, dokumenter: satu keluarga penyintas mendatangi orang-orang yang membunuh anak mereka, 2013).

Majalah detik 1 - 7 OKTOBER 2012

DOc. Film ThE acT OF Killing

caRlOs aRangO DE mOnTis/FRamEgRaB

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Belum Ada Maaf Untuk Tragedi 1965Maaf atas tragedi 1965 beluM terucap baik dari individu Maupun institusi. penyelesaian beluM tersedia atas tahun-tahun gelap bangsa ini.

reporter: M. rizal ,isfari hikmat dan hans henricus

“Tidak mas, cukup dengan melakukan tindakan positif. Toh mereka tidak pernah mengatakan maaf kepada saya. Tidak pernah ada kata-kata maaf.”

KAliMAT itu meluap dari mulut Amelia Ahmad Yani, putri ketiga Jenderal (Purn.) Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi. Ingatannya masih segar merekam peristiwa pembunuh-

dikhy s/detikfoto

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

an ayahnya oleh pasukan Tjakrabirawa yang dikuasai PKI di rumahnya.

1 Oktober 1965, tembakan membahana seperti halilintar, derap sepatu lars tentara, dan deru mobil mengepung rumah dinas Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ahmad Yani di Jalan Untung Suropati, Jakarta.

Amelia hanya mengintip melalui kamar belakang. Di ruang makan, ia melihat ayahnya terbungkus piama biru tengah diseret tentara. Darah tercecer di lantai, ayahnya sudah memejamkan mata.

Trauma atas pembunuhan itu tak dapat dilupakan-nya. 47 tahun setelahnya, kata maaf belum juga ter-lontar dari mulutnya. Pembunuhan itu masih terasa menyakitkan. Waktu dan silaturahmi belum menyem-buhkannya.

Tahun 2009 Amelia Ahmad Yani duduk sebagai Dew-an Penasihat Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Organisasi yang didirikan pada 25 Mei 2003 ini menjadi tempat bertemu tokoh dan keturunan pihak yang ter-libat dalam jejak hitam sejarah Indonesia, termasuk pembunuhan 30 September 1965.

“Sebab kalau (negara, red) harus minta maaf nanti minta ganti rugi, kalau begitu saya juga minta dong. Karena itu memaafkan tidak melupakan,” sambung-nya.

Pahit 1965 tidak hanya bagi anak pahlawan revolusi. Ilham Aidit, anak Ketua PKI DN Aidit, mengalami ke-pahitan serupa. Gerakan pembersihan yang dilakukan TNI pascapembunuhan 7 jenderal di Jakarta membu-ahkan teror baginya.

Ia masih berusia enam tahun ketika peristiwa itu terjadi. Coretan dinding yang berisi kecaman kepada ayahnya menjadi teror baginya.

“Death to Aidit, Subandrio, dan Gerakan PKI,” ingat-nya.

Sebab kalau harus minta maaf nanti minta ganti rugi, kalau begitu saya juga minta dong. Karena itu memaafkan tidak melupakan.

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Ia tidak tahu apa-apa waktu itu. Hanya saja beberapa bulan se-belumnya, ayahnya memberikan pidato di Gelora Senayan, Jakarta ketika Ulang Tahun PKI ke-45. Se-lang setelah penemuan jenazah 7 jenderal, ayahnya dikecam sebagai pengkhianat negara.

Namun kecaman berlanjut. Se-panjang menjalani kehidupan di masa Orde Baru, Ilham menutup diri agar orang tak tahu bahwa dia anak PKI.

Beruntung, pamannya mau me-nampungnya di Bandung. Paman-nyalah yang menyekolahkan hingga mencapai perguruan tinggi.

Prahara dirasakannya ketika memasuki SMP. Gejolak remajanya dihadapkan pada ejekan rekan-re-kan seusianya. Ia tak terima ketika

ayahnya dijelek-jelekkan.“Jadi ketika itu saya sering berkelahi di sekolah,

hingga seorang pastor M. Awi Brower di sekolah saya itu memanggil dan menjelaskan, kalau kamu berke-lahi terus di sekolah, kamu tidak lulus,” ingatnya.

Pesan pastor ini yang membuatnya beranjak untuk lebih bersikap tenang. Alhasil, ia lulus dan melanjutkan untuk belajar di Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Ada peristiwa yang tak dapat dilupakannya ketika kuliah, Ilham aktif dalam kegiatan pencinta alam Wa-nadri. Ia dilantik sebagai anggota muda tahun 1981 di Gunung Tangkuban Perahu, Bandung, Jawa Barat oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang menjabat sebagai Kepala RPKAD pada 1964-1967.

Lima serangkai pimpinan PKI. (Dari kiri) Sudisman, Njoto, Aidit, Oloan, dan Lukman).istimewa

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Jabatan inilah yang mendudukkan Sarwo Edhie sebagai tokoh yang menghabisi PKI. Pertemuan ini diwarnai dengan pelukan. Namun pelukan dan per-temuan lanjutan pada 1983 belum menyembuhkan amarahnya.

“Itu tidak memadamkan. Jadi kemarahan itu pan-jang,” akunya.

Hingga kini amarah belum juga luluh. Silaturahmi dalam FSAB hanya mengendurkan tensi kemarah-annya. “Inilah rekonsiliasi,” sambungnya.

Komunikasi keturunan elite politik 1965 memang belum menuntaskan amarah dan rasa saling menya-lahkan. Namun silaturahmi itu mengguyur dendam.

Putra kedua Pahlawan Revolusi Letjen DI Panjait-an, Letjen Hotmangaraja MP Panjaitan, menganggap pahitnya tragedi 1965 tak perlu diotak-atik. Ia memilih untuk tak mengungkit kembali peristiwa itu. “Sama-sama korban kok cengeng,” lontarnya.

Terlewatnya kata maaf tak hanya dari individu. In-stitusi dan negara masih meraba penyelesaian tra-gedi 1965. Realitas pembantaian kini belum mendapat penanganan.

Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak 2008 menunjukkan terjadi pe-langgaran HAM dalam tragedi di tahun itu. Kesimpul-an Komnas HAM ini berangkat dari 340 berita acara pemeriksaan dan ratusan bukti penyelidikan.

Hasil penyelidikan Komnas HAM ini melengkapi deretan kasus pelanggaran HAM masa lampau yang terjadi selain Kasus Tanjung Priok, dan peristiwa ‘98, termasuk kasus Semanggi I dan Semanggi II. Anggota Dewan Pertimbangan, Albert Hasibuan mengungkap-kan niat presiden untuk melakukan permintaan maaf.

Sejak April 2012, ia melakukan pertemuan dengan tokoh agama, korban pelanggaran HAM, dan LSM un-tuk meneliti lebih lanjut permohonan maaf tersebut.

Komunikasi keturunan elite politik 1965 memang belum menuntaskan amarah dan rasa saling smenyalahkan. Namun silaturahmi terus mengguyur dendam.

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Namun kata sepakat untuk mengaju-kan permintaan maaf dari presiden ternyata belum dicapai.

Menteri Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto mengaku permintaan maaf tidak sesederhana itu. Hingga kini belum ada pembicaraan itu deng-an presiden. “Karena memang belum sampai ada kesimpulan seperti itu. Masih digodok secara komprehensif dan bermartabat,” tegasnya.

Penolakan atas permintaan maaf presiden terhadap peristiwa 1965 juga datang dari Nahdlatul Ulama. Ketua Umum Pengurus Besar Nah-dlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj merasa kondisi 1965 berbeda

dengan masa kini. NU sendiri turut menjadi korban dalam bentrokan yang terjadi sebelum 1965.

“Kalau kita minta maaf segala macam, justru akan memberikan peluang ditarik kepada yang lebih jauh lagi ke belakang. Nah, sekarang ini yang terpenting ke depan mau seperti apa,” tegasnya.

Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam mengungkap-kan terdapat beberapa lubang dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia. Permintaan maaf dari kepala negara justru menimbulkan sisa pertanyaan. Ia menyarankan penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau bukan dilakukan dengan permohonan maaf, tetapi melalui pengadilan HAM.

“Yang paling tepat menurut saya adalah menjalan-kan rekomendasi Komnas HAM. Bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan dan harus ditindaklanjuti pe-merintah dengan pengadilan HAM ad hoc. Hal itu akan lebih jelas, bukan sekadar minta maaf,” jelasnya.

(ary/yOg)

Amelia Ahmad Yaniistimewa

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

MenKo Polhukam, Djoko Su-yanto berharap tidak ada pole-mik baru atas munculnya film

'The Act of Killing'. Wacana permin-taan maaf kepada korban pembantai-an dalam tragedi 1965 masih digodok secara komprehensif.

Berikut wawancara dengan Menko Polhukam Djoko Suyanto:

Ada wacana agar Presiden minta maaf pada para korban kasus 1965 atau kasus PKI. Apakah Presiden akan menyatakan permintaan maaf secara resmi?

Dari mana isu itu? Jangan menga-rang seperti itu.

KontraS mengaku telah bertemu Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dan timpres Albert Hasibu-an yang menyampaikan persoalan itu. Bagaimana yang sebenarnya?

Oh nggak seperti itu maksudnya. Yang sebenarnya seperti apa? Ya nggak usah dimuat saja dulu,

bukan sesederhana seperti itu. Denny sama Pak Albert juga tahu kok. Kadang ada orang yang mengartikannya lain.

Momen 1 Oktober, orang selalu mengaitkan kasus PKI ini, pemberon-takan sekaligus pembantaian. Apalagi

muncul film The Act of Killing yang ditayangkan dalam Festival Film di Toronto?

Saran saya nggak usah diangkat dulu, karena memang belum sampai ada kesimpulan seperti itu (soal waca-na minta maaf). Masih digodok secara komprehensif dan bermartabat. Jadi nggak usah terpengaruh film-film se-perti itu, karena pasti “kacamatanya” berbeda. Yang jelas, Presiden tidak pernah menyatakan seperti itu, kare-na memang hanya dikutip sepotong. Karena nggak sesederhana itu, dan jangan sampai menimbulkan polemik baru. (Wan/yOg)

Menko Polhukam: Jangan Terpengaruh Filmreporter: M. rizal

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

3 Ribu ORang Mati, DibantaiSumatera utara merupakan daerah di luar Jawa yang paling menderita akibat pembantaian maSSal tahun 1965. kurang lebih 3.000 orang dibunuh. terJadi karena didorong Sentimen etniS.

Reporter: Evi Tresnawati, Bahtiar Rifai, M. Rizal, Isfari Hikmat, dan Monique Shintamiistimewa DalaM kondisi hamil tua, Wantini berlari

sekuat tenaga. Ia berupaya meloloskan diri dari kejaran anggota Komando Aksi Pengga-nyangan Gestapu (KAP-Gestapu). 

Merasa terdesak, anak pimpinan Gerwani cabang Sungai Alim Ulu, Kecamatan Air Batu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut), itu berlindung di rumah Haji Muhammad Suhaeni. Suhaeni mencoba untuk melindungi Wantini yang saat itu hampir mela-hirkan. 

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Karena dianggap menghalangi, Suhaeni dibunuh. Usai menghabisi nyawa Suhaeni, anggota KAP-Ges-tapu pimpinan Sukardi itu membunuh Wantini berikut jabang bayinya dengan sadis, tanpa belas kasihan.

Peristiwa berdarah pada 7 Oktober 1965 siang itu masih melekat kuat di ingatan Ngadimin (85). Nga-dimin, yang saat itu menjadi anggota Kodim 0205 Asahan berpangkat sersan, menyaksikan langsung pembantaian itu.

Kekejian berikutnya terjadi pada 22 Oktober 1965 di Kampung Sungai Kamah Tua, Air Batu. Seorang wa-nita  yang tengah mandi diperkosa belasan personel Angkatan Darat (AD). Usai diperkosa, wanita yang dituduh Gerwani itu diinjak-injak sampai mati.

“Mayatnya dibuang ke sungai,” ucap Ngadimin saat berbincang dengan majalah detik.

Dalam dua peristiwa itu, Ngadimin mengaku sudah berupaya untuk mencegah. Ia bahkan sampai menge-luarkan tembakan peringatan ke atas dua kali saat aksi pemerkosaan berlangsung. Namun, ia balik ditodong bedil oleh rekan-rekannya itu.

Belakangan, Ngadimin kemudian ditangkap oleh Kodam II/Bukit Barisan. Setahun dibui di Kodam (dulu Inrehab di Jl. Binjai), tepatnya 22 Desember 1966, ia baru mulai diperiksa. Ngadimin diinterogasi deng-an tiga tuduhan.

Tuduhan pertama, adalah menerima sebuah paspor, tak jelas paspor siapa dan untuk siapa, tapi dari se-orang wanita bernama Farida Ariyani. Kedua, ia ditu-duh membentuk Brigadir Merah, organisasi yang ber-afiliasi dengan PKI. Ketiga, ia dituduh dekat dengan intelijen PKI. “Ketiganya tak terbukti,” katanya.

Dalam pemeriksaan itu, tak jarang Ngadimin men-dapatkan siksaan. Penyiksaan juga dilakukan kepada tahanan lainnya. Selama diperiksa, Ngadimin tak pernah menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan

Dalam pemeriksaan itu, tak jarang Ngadimin mendapatkan siksaan. Penyiksaan juga diterapkan pada tahanan lainnya.

““

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

(BAP) selembar pun.Ngadimin lalu dipindah ke penjara Suka Mulia di Me-

dan. Ia dimasukkan ke dalam sel sempit dan pernah tidak diberi makan selama tiga hari. 20 Agustus 1970, ia dipindahkan ke kamp konsentrasi Tanjung Kaso hingga dibebaskan pada 1978.

Selepas dari penjara, Ngadimin tidak tahu lagi harus ke mana. Tanah seluas 2 hektare miliknya di Sungai Alim Ulu dirampas oleh camat yang berkuasa di kam-pung halamannya itu. Ia juga tak tahu di mana anak dan istrinya berada.

Dengan mengenakan status golongan B, eks tahan-an politik yang dikategorikan dekat dengan PKI, ia ke-mudian ditampung di Kampung Tanjung Seri, Dusun Empat, Kecamatan Air Putih. Ia hidup di situ hingga kini. 

Pasca-Orde Baru lengser, Ngadimin membentuk Lembaga Perjuangan Rehabilitasi (LPR) korban rezim Orde Baru sewilayah Sumut. LPR mencatat, dalam tragedi 1965, sebanyak 3.065 orang mati dibunuh di Sumut, 112 wanita diperkosa, dan 4.027 orang lainnya tak jelas rimbanya hingga sekarang.

“Yang ditahan sebanyak 166.627,” ungkap Ngadimin.Jumlah pendukung PKI yang ditahan itu sangat jauh

berbeda dengan data yang dikumpulkan Komisi Pen-cari Fakta bentukan Presiden Sukarno saat itu. Komisi itu mendata, di Sumut, ‘hanya’ ada 11 ribu orang yang dipenjara tanpa proses pengadilan.

Adapun jumlah korban tewas di Sumut akibat pem-bantaian massal itu, menurut komisi sebanyak 2.000 orang. Peneliti berkewarganegaraan Australia, Harold Crouch, menyatakan, versi Komisi memang memi-liki kecenderungan lebih kecil dibanding data lainnya. 

Untuk korban pembantaian seluruh Indonesia, Ko-misi mencatat ada 78.500 orang dibunuh. Sementara, perkiraan yang paling masuk akal menyebut jumlah

Korban pembantaian massalistimewa

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

korban tewas sebanyak 500 ribu orang.Menurut Crouch, Komisi hanya melakukan kunjung-

an singkat ke daerah-daerah yang menjadi ajang pem-bantaian, termasuk Sumut. Di samping itu, ada kecen-derungan pejabat-pejabat di daerah menutupi jumlah korban sebenarnya dalam laporan mereka.

Namun, dalam bukunya, Militer dan Politik di Indo-nesia (1999), Crouch menyebut, Sumut adalah daerah di luar Jawa dan Bali yang cukup menderita akibat aksi-aksi pembersihan PKI.

Di Sumut, PKI sudah menjadi kekuatan penting pada dekade 1960. Dukungan utama partai besutan DN Aidit itu berasal dari buruh perkebunan yang berasal dari Jawa. “Mereka itu merupakan korban-korban utama pembunuhan,” katanya.

Seperti di Jawa, pembantaian massal di Sumut itu didukung diam-diam oleh para penguasa militer setempat. AD mengorganisasi SOKSI, serikat buruh tandingan SOBSI bentukan PKI, untuk melumpuhkan eksistensi komunis.

Di Medan, AD juga memberi kebebasan kepada kelompok-kelompok pemuda Islam, Katolik, serta Pemuda Pancasila (PP) untuk bertindak. Di dalam PP itu, kata dia, terdapat unsur-unsur cross-boy yang ikut melakukan pembunuhan-pembunuhan bukan dengan alasan ideologi

“Melainkan lebih memanfaatkan kesempatan pe-langgaran hukum dan ketertiban itu untuk meram-pok,” tulis Crouch.

Ngadimin mengatakan, ia sempat menyaksikan se-orang pimpinan Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia  (Sarbupri), juga organisasi underbow PKI, ditangkap. Zakaria, nama pentolan Sarbupri itu, di-tangkap pada 5 Oktober 1965 di Perkebunan Bulahan, Sileu.

“Tanggal 6 (Oktober) ditemukan mayatnya oleh ma-

Komisi mencatat ada 78.500 orang dibunuh. Sementara, perkiraan yang paling masuk akal menyebut jumlah korban tewas sebanyak 500 ribu orang.

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

syarakat telah terbunuh di Sungai Mesihi,” ujar Ngadimin.

Anwar Congo, salah satu tokoh PP yang ikut dalam aksi pembantaian mengungkap-kan, situasi saat itu cukup  menegangkan. Para pemuda dihadapkan pada pilihan hidup atau mati. Mereka sebelumnya telah bertikai dengan Pemuda Rakyat, organisasi PKI di Sumut.

“Pemuda rakyat itu satu-satunya musuh berat kita waktu itu,” ucap Anwar di Sumut.

Menurut pria yang kisahnya dijadikan film ini, aksi-aksi melumpuhkan PKI itu kemudian membesar. “Komunisnya kocar-kacir kita buat,” ucapnya. Namun, yang menjadi korban pembantaian Anwar juga kalang-an etnis Cina.

Penyelidikan Komnas HAM yang terbit baru-baru ini menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM dalam  tragedi 1965 di Sumut. Pelanggaran HAM itu terdiri dari beberapa klasifikasi, yaitu pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan fisik.

Komnas HAM menyatakan, pelanggaran HAM di Medan paling utama terjadi di sebuah rumah di Jl. Gandhi, Medan. Rumah itu menjadi kamp penahan-an sementara selama pembersihan PKI. Menurut penuturan para saksi, mereka diperiksa, disiksa, dan sebagian dibunuh di lokasi itu.

Dari situ, para tahanan biasanya dipindahkan ke Suka Mulia atau Tanjung Kaso. Beberapa tahanan juga sering ’dibon’ di tengah malam saat berada di Jl. Gandhi. Instansi yang melakukan itu umumnya staf Kodam Bukit Barisan.

“Semua orang dibon di tengah malam dari Gandhi dan Suka Mulia umumnya tak pernah kembali lagi,” begitu bunyi hasil penyelidikan Komnas HAM. (wan/yog)

Korban pembantaian massalistimewa

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Kudeta Berdarah dalam JeJaK FilmReporter: Silvia GalikanoDoc. film The AcT of killing

Majalah detik 1 - 7 okTober 2012

taK banyak film yang mengangkat tema tentang tragedi berdarah Indonesia 1965. Kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade telah menutup seluruh pintu yang memungkinkan

mengarah ke sana, kecuali film yang dibuat rezim kala itu yang berfungsi layaknya buku putih. Film luar

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

negeri yang berlatar belakang peristiwa 1965 itu juga dilarang beredar di sini.

Apakah setelah Orde Baru selesai, berarti film ten-tang peristiwa September 1965 atau komunis secara luas dapat bebas dibuat dan diedarkan? Ternyata ti-dak juga. Lastri, film yang dituduh membawa paham komunisme, terpaksa dihentikan sutradaranya, Eros Djarot, pada 2008. Izin syuting di Solo, Yogyakarta, dan Sukabumi mendadak dibatalkan. Gongnya ketika pe-meran utamanya, Marcella Zalianty ditangkap dalam kasus lain.

Mari tengok film-film lain yang bercerita atau meng-ambil latar belakang sejarah kelam bangsa Indonesia ini.

Pengkhianatan G-30S/PKI (1984)“Darah itu merah, Jenderal!” atau “Republik sedang

hamil tua,” jadi frase yang melekat dari film ini.Pengkhianatan G-30S/PKI garapan Arifin C. Noer

pada 1984 ini adalah versi resmi pemerintah Orde Baru tentang kejadian 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta. Tentang Sukarno yang sakit, Tjakrabirawa yang siaga, ABRI yang hendak berulang tahun, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang jaya-jayanya, dan Soeharto si tentara yang te-nang. Sukarno diperankan Umar Kayam, dan Mayjen Soeharto diperankan Amaroso Katamsi.

Puncak kisahnya ketika PKI menculik tujuh perwi-ra Angkatan Darat, dibawa ke Lubangbuaya, disiksa (termasuk oleh Gerwani), lalu dibenamkan ke dalam sumur tua dan sempit di sana. Upaya PKI lebih jauh untuk merebut kekuasaan kemudian digagalkan Soe-harto.

Film ini lantas wajib diputar di seluruh stasiun tele-visi yang ada kala itu, dan berhenti pada 1998, masa berakhirnya Orde Baru. Jika sebelumnya, versi ini di-

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

terima sebagai kebenaran mutlak, maka pasca-1998, bermunculanlah bantahan dari berbagai pihak tentang isi film ini dan menyebutnya tak lebih dari propaganda Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan.

Gie (2005)Gie diambil dari nama belakang tokoh utamanya, Soe

Hok Gie (diperani Nicholas Saputra), aktivis mahasis-wa Universitas Indonesia yang gemar naik gunung. Riri Riza mengangkat pemikiran Gie yang tertulis di buku hariannya, Catatan Seorang Demonstran, ke layar lebar.

Berasal dari keluarga sederhana di Jakarta, sema-ngat idealis, kepedulian, dan keadilan tumbuh dalam pemikirannya. Masa mahasiswa Gie bersamaan dengan sedang jaya-jayanya PKI dan Sukarno yang lupa daratan. Gie kerap menulis kritik di media massa tentang pemerintahan Sukarno yang diktator, banyak terjadi ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang demi memperkaya diri sendiri.

Dia punya semboyan, “Lebih baik diasingkan daripa-da menyerah pada kemunafikan.”

Sang Penari (2011)Film karya sutradara Ifa Isfansyah ini diangkat dari

novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Ahmad Tohari. Novelnya sempat terbit dalam dua versi, yakni versi Orba dan versi pasca-Orba, karena ada setting masa kuatnya PKI hingga pembantaian ribuan orang yang berakhir mengapung di sungai, yang memaksa Tohari harus menyembunyikan dulu beberapa bagian-nya.

Tokoh utama Sang Penari adalah Srintil (diperani Prisia Nasution), seorang ronggeng yang dipuja-puja di kampungnya yang miskin, Dukuh Paruk. Teman mainnya sejak kecil, Rasus (Oka Antara), tidak senang

DeTikfoTo

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

Srintil makin hari makin terkenal. Apalagi tugas rong-geng bukan hanya menari, tapi juga melayani laki-laki dengan bayaran mahal. Rasus yang kecewa mening-galkan Dukuh Paruk untuk menjadi tentara.

PKI sedang giat masuk ke semua lini kehidupan, tak terkecuali kesenian. Srintil didukung habis-habis-an hingga direkrut jadi bagian propagandanya untuk menarik massa. Nasib Srinitil berbalik setelah kudeta gagal di Jakarta.

Sang Penari mendapat sambutan bagus dari penon-ton. Banyak yang memuji Ifa Isfansyah karena berani mengangkat kisah ini ke layar lebar, termasuk adeg-an pembantaian massal yang dilakukan TNI terhadap masyarakat yang diindikasikan terlibat PKI.

The Year of Living Dangerously (1982)The Year of Living Dangerously garapan Peter Weir ini

adalah adaptasi dari novel karya Christopher Koch, mengambil setting akhir masa pemerintahan Sukarno.

Beberapa hari sebelum kudeta 30 September 1965, sudah banyak wartawan asing yang datang ke Jakarta. Salah satunya Guy Hamilton (Mel Gibson), korespon-den untuk Australia. Di Jakarta, dia bertemu dengan para koresponden asing lainnya, antara lain wartawan dari Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru, petugas diplomatik, dan Billy Kwan (Linda Hunt), fotografer Australia berdarah Cina yang sangat cerdas.

Guy jadi akrab dengan Billy. Bersama mereka mem-buat janji wawancara dengan tokoh-tokoh politik kunci di Jakarta. Billy kemudian memperkenalkan Guy ke sahabatnya, Jill Bryant (Sigourney Weaver), seorang asisten di Kedubes Inggris.

Jill mendapat informasi bahwa Komunis Cina ikut mempersenjatai PKI. Informasi ini dia berikan pada Guy. Singkat cerita, Hamilton mendatangi Istana Presiden seusai pemberontakan 30 September untuk

Majalah detik 1 - 7 oktober 2012

kontroversi film pembantaian pki

fokus

mencari berita besar. Apa lacur, di istana dia justru diserang tentara Angkatan Darat hingga mengalami kerusakan retina.

The year of living dangerously adalah terjemahan bahasa Inggris dari frase bahasa Italia yang diguna-kan Sukarno sebagai judul pidato Hari Kemerdekaan Indonesia 1964: Vivere Pericolosamente. Film yang mengambil lokasi syuting di Australia dan Filipina ini dilarang diputar di Indonesia hingga 1999.

40 Years of Silence (2009)40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy adalah film

dokumenter yang mengangkat tragedi pembantaian pascakudeta gagal dari empat sudut yang berbeda. Empat kisah itu adalah dari keluarga pengusaha Ti-onghoa, dari keluarga petani Katolik dan Islam, dari anak pemimpin partai pro-PKI di Bali, dan seorang anak yang lahir pada era 1990-an tapi ikut menjadi korban.

Dokumenter ini dibuat Robert Lemelson, seorang antropolog lulusan University of California, sejak 2002. Selama bertahun-tahun, Lemelson mewawancarai ribuan orang yang sudah diperlakukan sewenang-wenang dan melanggar HAM karena mendapat cap terlibat komunisme. Padahal tak sedikit dari mereka bahkan tidak tahu apa-apa, karena masih kanak-ka-nak ketika peristiwa itu terjadi.

Perlakuan sewenang-wenang itu antara lain keter-batasan untuk bersekolah dan bekerja karena stigma yang dilekatkan pada mereka, pemberian tanda ter-tentu pada KTP, serta mengisi formulir untuk memas-tikan mereka “bersih lingkungan”. Bersih lingkungan adalah istilah yang menunjukkan ada tidaknya hu-bungan dengan komunisme atau PKI.

Kesaksian-kesaksian itu dikemas dalam film berdu-rasi 86 menit. (SIL/YOG)

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interviewinterview

IsfarI HIkmat/detIkfotoReporter: Isfari Hikmat

AnAk PkI AtAu AnAk JenderAl

Itu rAsAnyA sAmAKamI beRusaHa menjadIKan bangsa InI agaR tIdaK mengalamI

KeKacauan dan beRmusuHan teRus. KIta semua sama anaK bangsa, KaRena anaK PKI atau anaK jendeRal Itu Rasanya sama. 

Amelia Ahmad Yani:

PutrI Jenderal Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani, 63 tahun, masih lancar menceritakan peristiwa kelam subuh 1 Oktober 1965 di ru-mahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Kejadian yang hanya beberapa menit itu, berbekas hingga kini.

Ayahnya dibawa paksa dalam kondisi mengenaskan. Tak ada yang tahu ke mana kawanan bersenjata itu membawa Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Jenderal Ahmad Yani, kecuali hanya ke arah

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interview

Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. “Pagi itu semua jalan di Jakarta ditutup oleh tentara. Waktu itu tidak ada yang tahu Sukarno ada di mana,” ujar Amelia.

Peristiwa ini tentu sangat traumatis bagi keluarga Yani. Namun kini ia bersama anak-anak PKI bersatu dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Lewat forum ini, Amelia berusaha melakukan rekonsiliasi agar kejadian tragis itu tidak memecah belah bangsa lagi.

Berikut wawancara Isfari Hikmat dari majalah detik dengan Amelia Ahmad Yani:

Seperti apa peristiwa kelam 1965 tersebut?Kejadian pagi 1 Oktober pukul 04.30 WIB, saya men-

dengar tembakan seperti halilintar yang membahana, lars tentara yang berlari, suara mesin mobil banyak sekali mengepung rumah. Pasukan Tjakrabirawa yang merupakan pengawal presiden datang untuk menjem-put. Saya mengintip dari kamar tidur di belakang, dari arah ruang makan, ada piama biru diseret-seret. Itu bapak saya, dia pakai piama biru. Saya keluar, penuh sekali tentara Tjakrabirawa dan Pemuda Rakyat tidak pakai sepatu. Terakhir saya lihat bapak sudah meme-jamkan mata. Ada tujuh peluru yang menembus dada Letjen Ahmad Yani kala itu. 

Bapak dibilang mau dipanggil presiden, masa sete-ngah lima? Sehingga mau ganti baju dulu, karena masa pakai piama? Ada prajurit yang bentak-bentak bapak, lalu ditonjok sampai terjatuh. Semua sudah menodong senapan. Setelah itu masuk kamar mau ganti baju. Dia ditembak saat masuk kamar yang pintunya kaca dari jarak satu meter. Di kamar itu memang ada pistol di laci dekat pintu, mungkin dianggap mau melawan. Saya ada di belakang, akhirnya semua keluar dengar suara tembakan itu. Kejadian itu hanya beberapa me-nit. 

Selanjutnya apa yang terjadi?Saya hanya tahu bapak dibawa ke arah Pasar Rum-

put (Manggarai). Tidak ada yang tahu ke mana. Pagi

Setelah itu masuk kamar mau ganti baju. Dia ditembak saat masuk kamar yang pintunya kaca dari jarak satu meter.

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interview

itu semua jalan di Jakarta ditutup oleh tentara. Waktu itu tidak ada yang tahu Sukarno ada di mana. Pak Soe-harto pagi itu ke Kostrad, semua panglima ditelepon. Menteri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani me-ngatakan dia ada di belakang Gerakan 30 September, bersama Bung Karno, yang lain ikut.

Itulah pernyataan yang membuat dia dihukum. Dia mendukung gerakan yang mengambil para jenderal ini, yang lain ikut. Pak Nasution ada di Kostrad tapi tidak bisa mengambil tindakan apa-apa karena tidak mempunyai pasukan. Dia hanya administrasi, se-dangkan Kostrad sangat strategis yang mengatur Pak Harto.

Bisa diceritakan awal dari konflik tentara dengan PKI?

Dulu, tahun 60-an saat orang tua kami menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat, ada figur Bung Karno pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat, panglima tertinggi, presiden seumur hidup. Ada Partai Komunis Indonesia yang begitu kuat, ada Aidit, PKI sudah begitu kuat. Mulai ada isu yang men-jelekkan Angkatan Darat, (isu) Dewan Jenderal, dan ayah saya mulai terganggu dengan itu.

Waktu itu, ada berita kecil di koran PKI bahwa Pelda Sujono dibacok oleh BTI (Barisan Tani Indonesia), itu

foto-foto: dok. keluarga

Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani Menteri/Panglima AD

Jenderal Sudirman, Letkol Soeharto (Yogyakarta), Mayor Ahmad Yani (Magelang, Kediri) mengatur strategi gerilya

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interview

underbow-nya PKI. Bapak saya bilang coba cari di se-mua koran. Kita buka semua koran di lantai, tapi tidak ada satu pun berita itu. Kemudian berita itu menjadi besar, karena melibatkan seorang Angkatan Darat. Bapak saya sebagai Menteri Panglima harus bertin-dak. Ternyata ceritanya di suatu kebun di Simalungun, Sumatera Utara. Ketika bapak saya mulai bicara soal itu, marahlah pihak sana karena peristiwa itu jadi peristiwa besar. Bung Karno bilang dalam pidatonya kalau Sukarno, (Menlu) Subandrio, (Letjen) Ahmad Yani, mau dibunuh oleh CIA. 

Setelah itu isu berkembang seperti apa?Pada 1964 ada peristiwa pembakaran Kedutaan

Inggris di depan HI. Dibilang oleh massa PKI. Seba-gai pimpinan dia harus menyelamatkan orang-orang Inggris ini. Waktu itu Duta Besar Andrew Gilchrist, mengirimkan bunga dengan ucapan terima kasih. Di bawahnya tertulis, dari saya seorang nekolim (neoko-lonialisme). Itu dijadikan isu oleh PKI adanya dokumen Gilchrist. Padahal itu tidak ada, itu buatan saja.

Dokumen ini isinya menyatakan bahwa ada teman-teman kami dari army, our local army friend, dibalik oleh PKI sebagai jenderal Pentagon berkulit sawo matang. Isu itu dibolak-balikkan media Bintang Timur.

(Waktu itu, Inggris merupakan pendukung di belakang Malaysia, yang dalam konfrontasi Sukarno ingin mengga-nyang Malaysia. Isu ini beredar bersama isu Dewan Jen-deral. Dokumen ini juga mengesankan perwira Angkatan Darat sudah dibeli Barat).

Jadi isu itu membuat tentara semakin dipojokkan?Aidit di Surabaya juga sudah bicara di depan kadet

Angkatan Laut, menyinggung Jenderal Pentagon ber-kulit sawo matang ini sebagai pengkhianat bangsa. Sampai seperti itulah cara mereka, akhirnya Angkatan Darat dipojokkan dalam segala hal. Bapak saya yang sangat dekat dengan Bung Karno mulai jauh karena tidak dipercaya.

Bapak saya yang sangat dekat dengan Bung Karno mulai jauh karena tidak dipercaya.

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interview

Semua isu itu terakumulasi sejak bapak diangkat jadi Menteri Panglima Angkatan Darat. Mulai ada isu itu sekitar 1964, berba-rengan ada isu Bung Karno mulai sakit. Saya memang masih kecil, tapi ayah saya menjadi salah satu target PKI untuk “diselesaikan”.

Bagaimana bisa melupakan kejadian mengerikan ini?

Setelah kejadian itu, cukup lama untuk sembuh. Apalagi ibu saya yang tidak melihat saat bapak saya diambil. Dia ada di rumah Untung Suropati, jadi setelah telepon dipu-tus tidak bisa menghubungi siapa-siapa, dia pulang ke rumah. Darah bapak ada di mana-mana, dari rumah sampai ke jalan. Ibu bilang kalau sudah begini, bapakmu su-dah tidak ada. Padahal anak-anak yang melihat, bapak masih hidup,

yang kena cuma kaki dan tangannya. Darah segumpal disuapkan ibu biar kuat, anak-anak dikuatkan bahwa bapak sudah tidak ada. Kita masih tidak terima, walau melihat langsung. Selongsong peluru kita kumpulkan.

Bagaimana ceritanya anak-anak aktor dalam sejarah kelam 1965 berkumpul bersama di Forum Silaturahmi Anak Bangsa?

Saya tidak ikut dari awal, ada upaya anak-anak veter-an yang menanyakan kami kenapa tidak bisa menyatu. Lima tahun setelah itu baru kita bisa bertemu. Anak PKI, anak pemberontak GAM duduk di sebelah kiri, kita di sebelah kanan, tidak tahu siapa yang atur be-gitu. Tujuan pertemuan itu untuk menyatukan semua dalam sebuah forum silaturahmi bukan rekonsiliasi. 

dok. keluarga

Amelia Yani dan Latar Belakang Alm. Jenderal Ahmad Yani.

Majalah detik 1 - 7 SEPTEMBER 2012

interview

Keluarga Anda menjadi korban peristiwa 1965, bagaimana hubungan Anda dengan keluarga tokoh PKI sekarang?

Di permukaan kita baik. Tapi saya tidak mengerti isi hati dia, dia juga tidak mengerti isi hati saya. Kami sudah berusaha untuk menjadikan bangsa ini, yang telah mengalami kejadian tragis yang tidak terlupak-an, agar bangsa ini tidak mengalami kekacauan dan bermusuhan terus. Kita semua sama anak bangsa, karena anak PKI atau anak jenderal itu rasanya sama. 

Saat ini ada desakan agar pemerintah meminta maaf kepada korban tragedi 1965. Tanggapan Anda bagaimana?

Tidak. Tidak perlu. Kenapa pemerintah harus me-minta maaf? Orang kita yang merasakan pahit dan sakitnya, bisa saling memaafkan. Tidak dikatakan saya minta maaf kepada Anda, Anda meminta maaf kepada saya. Tapi kita saling memahami kondisi masing-masing dulu, bagaimana sakitnya. Saling memaafkan untuk membangun negara ini, tapi tidak melupakan sejarah. (sIl/yOg)

dok. keluarga

Amelia A. Yani (Tengah)