ajaran dan praktik ritual dalam aliran pangestu...
TRANSCRIPT
AJARAN DAN PRAKTIK RITUAL DALAM ALIRAN
PANGESTU DAN SAPTA DARMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
M. Rahmat Ramadhan
NIM: 1113032100036
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
M. RAHMAT RAMADHAN
1113032100036
AJARAN DAN PRAKTIK RITUAL DALAM ALIRAN PANGESTU DAN
ALIRAN SAPTA DARMA
Kepercayaan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia menjadi corak
beragamnya pemikiran tentang berbagai keyakinan di wilayah Jawa. Terutama di
wilayah Jogja dan Surakarta menjadi pusat bagi orang-orang yang ingin
mendalami kejiwaan, atau kebatinan. Kebatinan menjadi jalan untuk masyarakat
Jawa agar dapat mencapai kesempurnaan yang sungguhnya, dimana manusia
dapat bertemu dengan Tuhan. Bertemunya manusia dengan Tuhan menjadi tujuan
akhir manusia yang dianggap sebagai kelepasan yang abadi. Mistisisme menjadi
ciri khas masyarakat Jawa dalam mengahayati Tuhan yang satu, yang tidak dapat
diperkirakan apa mau-Nya, mereka menganggap bahwa ajaran yang murni itu
berasal dari Tuhan langsung dan dapat bimbingan langsung.
Ajaran Pangestu dan Sapta Darma merupakan aliran kebatinan yang
berkembang di Jogjakarta dan Surakarta, dan sampai saat ini masih ada dan
memiliki komunitas yang tidak sedikit. Kedua ajaran ini memiliki konsep Ajaran
masing-masing, tetapi memiliki didalamnya terdapat kesamaan tujuan, walau
dalam prakteknya ada berberapa yang berbeda. Persamaan dan perbedaan kedua
aliran kebatinan ini menjadi objek kajian menarik yang ingin penulis lakukan. Hal
ini menjadi sebuah objek penelitian tentang bagaimana orang jawa
memprsepsikan ajaran Tuhan yang satu dalam pandangan mereka masing-masing.
ternyata dalam hal ini terdapat berbagai kesamaan konsep dari asal mula manusia,
hingga manusia dapat bertemu langsung dengan Tuhan.
Penelitaian ini menggunakan pendekatan teologis dan fenomenologis.
Dimana penulis dalam meneliti ini melakukan pemahaman terhadap suatu ajaran
ini, dengan meninggalkan segala presepsi buruk sangka, dan lain sebagainya.
selain itu, penulis menggunakan metode perbandingan untuk melihat persamaan
dan perbedaan dari kedua aliran kebatinan ini. Sehingga hasil dari penelitian ini
terdapat persamaan tujuan akhir dari kedua ajaran ini, seperti konsep tentang
Trinitas. Dalam ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta Darma mereka menyakini
adanya konsep Trinitas, Pangestu menyebutnya (Tripurusa) dan ajaran Sapta
Darma menyebutnya Tritunggal. Akan tetapi didalamnya terdapat sebuah
perbedaan, Ajaran Pangestu menyakini bahwa Tuhan satu yang bersifat tiga
(Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci), sedangakan Ajaran Sapta
Darma memaknai Tritunggalnya sebagai suatu proses penciptaan manusia (Sinar
Cahaya Allah, Air sari bapak, dan air sari ibu).
Kata Kunci : Mistisisme, Jiwa.
Pembimbing : Siti Nadroh, MA.
vi
KATA PENGANTAR
“Nothing Last Forever You Can Change The Future”
-Alucard MLBB-
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT penulis panjatkan
sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk beserta risalahnya yakini
Agama Islam, yang akan menghantarkan dan menyelamatkan pemeluknya menuju
kebagiaan di dunia dan di akhirat.
Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu
tanpa orang lain termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Banyak
pihak yang membimning dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu ucapan terima kasih sedalam-dalamnnya penulis samaikan kepada pihak-
pihak tersebut, terutama kepada :
1. Siti Nadroh, MA. Sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah
banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan
dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan
nuansa keilmuan yang baru.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Media Zainul Bahri, MA , dan Ibu Drs. Halimah Mahmudy. SM, MA.
Selaku ketua dan Sekartaris Jurusan Studi Agama-agama, serta seluruh civitas
akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Kepada seluruh dosen Ushuluddin, khususnya kepada dosen-dosen Jurusan
Studi Agama-agama.
5. Kepada kedua orang tua ananda, Muhamad Dulhalim dan ibunda Ana
Fitriana, S.Pd.i. yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang
dengan rasa cinta dan kasih sayangnya secara tulus telah mengurus,
membesarkan dan mendidik penulis hingga sekarang ini, munajat doanya di
setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengaringi
bahtera kehidupan. Yang telah memberikan motivasi yang begitu kuat
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada Pengurus Pusat Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), terkhusus
kepada Ibu Titis dan Bapak Trisno selaku pengurus dan penganut ajaran ini,
yang telah meluangkan waktu untuk membatu penulis dalam mempelajari
objek kajian dari ajaran ini.
7. Kepada Persatuan Warga Sapta Darma (Persada), terkhusus kepada Bapak
Sukanto dan bapak Servarius selaku pengurus dan penganut ajaran ini, yang
telah meluangkan waktuya untuk membantu penulis dalam mempelajari objek
kajian dari ajaran ini.
8. Kepada teman-teman mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama angkatan 2013,
beserta pihak lainnya yang mungkin belum penulis sebutkan.
viii
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian,
dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, 30 Agustus 2018 M
M. Rahmat Ramadhan
IX
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ..................................................................................................... I
SURAT PERNYATAAN ........................................................................................... II
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................... III
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... IV
ABSTRAK .................................................................................................................. V
KATA PENGANTAR ................................................................................................ VI
DAFTAR ISI ............................................................................................................... IX
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 7
C. Tujuan dan manfaat penelitian ................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 8
E. Metodologi penelitian ................................................................................ 11
F. Sistematika Penelitian ................................................................................ 15
BAB II RIWAYAT DAN SEJARAH ALIRAN KEPERCAYAAN
A. Sejarah Aliran Kepercayaan Pangestu ....................................................... 16
1. Riwayat Pendiri Aliran Kepercayaan Pangestu ................................... 16
2. Berdirinya Aliran Pangestu .................................................................. 21
3. Pokok-pokok Ajaran ............................................................................ 24
a) Konsep Ketuhanan ......................................................................... 24
b) Konsep Alam .................................................................................. 26
X
c) Konsep Manusia ............................................................................. 28
B. Sejarah Aliran Kepercayaan Sapta Darma ................................................. 31
1. Riwayat Pendiri Aliran Kepercayaan Sapta Darma ............................. 31
2. Berdirinya Aliran Sapta Darma ............................................................ 35
3. Pokok-Pokok Ajaran ............................................................................ 39
a) Konsep Ketuhanan ......................................................................... 39
b) Konsep Manusia ............................................................................. 42
c) Konsep Pencitaan Alam ................................................................. 47
BAB III AJARAN DAN PRAKTEK RITUAL PANGESTU DAN SAPTA
DARMA
A. Konsep Ajaran dan Praktek Ritual Pangestu ............................................. 48
1. Hasta Sila ............................................................................................. 49
2. Paliwara ................................................................................................ 55
3. Jalan Rahayu ........................................................................................ 60
4. Panembah ............................................................................................. 65
B. Konsep Ajaran dan Praktek Ritual Sapta Darma ....................................... 68
1. Wewerah tujuh ..................................................................................... 68
2. Sujud .................................................................................................... 73
3. Racut .................................................................................................... 79
4. Ening atau Samadi................................................................................ 81
XI
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN
A. Konsep Kesaksian Terhadap Tuhan (Kredo) ............................................. 82
B. Konsep Jiwa berasal dari pancaran (emanasi) ........................................... 84
C. Konsep Penaklukan Hawa Nafsu ............................................................... 86
D. Pencapaian Budi Luhur .............................................................................. 90
E. Konsep Trinitas ......................................................................................... 94
F. Identitas Ajaran ......................................................................................... 96
G. Panuntun .................................................................................................... 98
H. Peratek Keagamaan ................................................................................... 100
I. Kebertunggalan ........................................................................................ 102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 110
B. Saran-saran ............................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 114
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 118
Lampiran 1 ................................................................................................................. 118
Surat Izin Penelitian ....................................................................................... 118
Lampiran 2 ................................................................................................................. 119
Bukti Wawancara ........................................................................................... 119
Lampiran 3 ................................................................................................................. 121
XII
Hasil wawancara dengan Ibu Titis ................................................................. 121
Hasil Wawancara dengan bapak Puji ............................................................. 122
Hasil Wawancara dengan bapak Sukanto ...................................................... 123
Hasil Wawancara dengan bapak Servarius .................................................... 124
Lampiran 4 ................................................................................................................. 125
Struktur Organisasi ......................................................................................... 125
Lampiran 5 ................................................................................................................. 127
Foto-foto Kegiatan Lapangan ........................................................................ 127
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suku Jawa merupakan sekelompok etnik terbesar di Asia Tenggara, hampir
empat puluh persen dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia didominasi oleh
etnik ini, yang sebagian besar adalah penganut agama Islam. Tetapi, dengan keadaan
pemeluk yang sedemikian masif tetap memiliki kultur yang berbeda, bukan karena
keberagaman di Indonesia, akan tetapi variasi subkultural di lingkungan masyarakat
Jawa itu sendiri. Sejak dahulu masyarakat Jawa mengenal dua arus besar komitmen
keberagamaan, yaitu mereka yang sholat dan mereka yang tidak sholat, mereka sholat
berarti menjalankan ibadah sesuai dengan ketentuan Tuhan, yang disebut dengan
“Putihan” atau belakangan ini sering di sebut dengan “Santri”. Sedangkan
sekelompok masyarakat muslim yang tidak melaksanakan peribadatan dengan
seutuhnya disebut dengan “Abangan” atau bisa dikatakan kebalikan dari kelompok
santri1. Bahkan dalam pandangan Greetz ada tiga masyarakat keagamaan yang
berkembang di tanah Jawa yaitu santri, abangan dan priyayi2.
Perbedaan-perbedaan yang berkembang ini, menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat di Jawa sejak munculnya agama Islam. ketika itu, kehidupan
keberagamaan masyarakat Jawa masih terimbas oleh pemikiran animistis dan doktrin-
doktrin atau praktek keagamaan Hindu-Budha. Maka dengan seiring berjalannya
waktu perpaduan keberagamaan antara abangan dan priyayi melahirkan peradaban
1 Niels Mulder, Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia ( Yogyakarta : LKIS, 2001), h. 23.
2 Cliford Geertz, Agama Jawa (Depok : Komunitas Bambu, 2014), h. 225.
2
Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarata dan Yogyakarta. Dari
peradaban inilah yang secara umum memunculkan masyarakat Kejawen3.
Kejawen atau Javanism dalam bahasa Inggrisnya, merupakan sebuah sebutan
bagi sekelompok masyarakat pribumi Jawa yang memiliki tradisi kehidupan yang
bersifat teosofis, serta menyakini bahwa kesucian sejati ialah persoalan pribadi dan
itu adalah masalah batin. Selain itu, Kejawen bukanlah sebuah kategori relgius
namun, ia lebih merujuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh
pemikiran Jawa yang belakangan ini sering disebut sebagai aliran kebatinan atau
kepercayaan4.
Aliran kebatinan atau kepercayaan berkembang pesat di tanah pertiwi ini
puncaknya pasca kemerdekaan5. Semangat kebatinan ini diringi dengan konsep
mistik yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa. selain itu, kemunculan
semangat kebatinan pun didorong oleh ketidakpuasan atau keresahan masyarakat
Jawa dalam kehidupan rohaniah. Maka dalam kebudayaan masyakat kebatinan atau
penghayat kepercayaan konsep yang terpenting ialah tentang mistik, sebuah cara
untuk bisa bertemu dengan Yang Maha Esa. Sebagaimana dalam pandangan Mulder
yang dikutip oleh Suwardi Endraswara, bahwa kebatinan adalah mistik, yang berupa
upaya penembusan pengetahuan mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan
3 Mulder, Mistisisme Jawa, h. 28.
4 Simpos ium Nasioanal Kebatinan memutuskan bahwa, ata dengan pengertian “kepercayaan”
pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dimaksudkan kebatinana, kejiwaan dan kerohaniaan, dalam
simposium juga menyatakan bahwa kebatinan, kejiwaan dan kerohanian. Itu setara dengan agama.
(Suarno Imam, Mistisisme pangestu). h 2. 5 Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1973-22 maret 1973, yang membuat seluruh kebatinan
bisa bernafas lega akan legalitasnya di indonesia.
3
suatu hubungan langsung antara individu dengan Yang Maha Esa6. Selain itu, Mulder
menyimpulkan yang dikutip oleh Suwarno Imam S. dalam disertasinya, bahwa
kebatinan tidak lain dan tidak bukan ialah mistik murni, yang membuka pengetahuan
dan pengalaman individu langsung dengan Tuhan.7 Bisa dikatakan bahwa
masayarakat Jawa mengutamakan pola pikir yang lebih transenden, langsung atau
lebih kepada merenungkan dasar diri ini. Karena yang lebih utama itu, apabila kita
telah mengenal dan mengetahui siapa diri kita dan siapa sang pencipta.
Dalam pandangan M.M. Djojodiguna yang dikutip Oleh Suwarno Imam S,
bahwa ada empat klasisfikasi dalam aliran kebatinan. Pertama, golongan yang
menggunakan ilmu gaib. Kedua, golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa
manusia dengan Tuhan. Ketiga, golongan yang berniat mengenal dari mana asal mula
hidup manusia ini dan ke mana hidup itu akhirnya pergi. Keempat, golongan yang
berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia ini.8 Diantara keempat klasifikasi
diatas, terdapat tiga diantaranya itu melebur menjadi satu, dan membentuk ciri khas
kebatinan atau mistisisme.9 HM. Rasyidi menambahkan dalam bahasa asing golongan
yang pertama ini di sebut sebagai “occultisme”, golongan yang kedua “mysticism”,
golongan yang ketiga “ahli metaphysic”, dan golongan yang keempat “ethics”.10
6 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen : Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme Dalam Budaya
Sepiritual Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2003), h. 30. 7 Imam Suwarno, Mistisime Pangestu (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah 2003), h. 5.
8 Imam Suwarno, Mistisime Pangestu h. 4.
9 Ialah point kedua, golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan
Tuhan. Point ketiga, golongan yang berniat mengenal dari mana asal mula hidup manusia ini dan ke
mana hidup itu akhirnya pergi. Dan point keempat, golongan yang berhasrat untuk menempuh budi
luhur di dunia ini. 10
Selo Soemarjan, “ilmu gaib, kebatinan dan agama dalam kehidupan masyarakat” didalam
simposium IAIN Syarif Hidayatullah, Mengamankan Kila Ketuhanan Yang Maha Esa (Jakarta :
Tanjung Harapan, 1970), hal. 47.
4
Dalam prosesnya manusia tidak mudah untuk bisa mencapai kesatuan dengan
zat Hidup, manusia harus bisa mengatasi segi-segi badaniah yang membuat manusia
sendiri tidak akan sampai pada kesatuan tersebut. Dalam hal ini, aliran kebatinan
mengajarkan tentang cara agar bisa mencapai kepada kedamaian dan kekebahagiaan
yang abadi, tatanan bagaimana hal tersebut dilakukan dan sampai kepada tujuan
hidup yang sesungguhnya. Bisa dikatakan juga bahwa kebatinan merupakan sebuah
pengetahuan tentang alam atas suatu ilmu, yang mempelajari kenyataan bahwa
manusia secara batin dapat langusng berhubungan dengan Tuhan11
.
Setiap aliran kepercayaan memiliki konsep mistik masing-masing. Dalam
setiap konsep terdapat pula proses dan praktik yang berbeda dalam ritual keagamaan
mereka. Sebagaimana konsep mistisisme yang berkembang dalam ajaran Pangestu
dan Sapta Darma.
Aliran kebatinan Pangestu ini diwahyukan kepada Pak Soenarto
Mertowerdojo pada 14 Februari 1932 di Surakarta. Aliran ini mengajarkan tentang
Hasta Sila dan Panembah, untuk membawa dan mengajarkan manusia agar bisa
mencapai kekebahagiaan yang abadi atau bertunggal dengan Tuhan. sebagaimana
yang telah dinyatakan dalam kitab sucinya (Sasangka Jati) bahwa ada tujuh pokok
ajaran tentang pencapaian kebahagiaan yang abadi. Pertama, Hasta Sila. Kedua,
Paliwara. Ketiga, Gumelaring Dumadi. Keempat, Tunggal Sabda. Kelima, Jalan
Rahayu. Keenam, Sangkan Paran. Ketujuh, Panembah. Tetapi, puncak dari ajaran
ini ialah di Hasta Sila, Hasta Sila mengajarkan untuk dapat mengendalikan diri serta
11
Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada, 1981), h. 17.
5
menurunkan kadar nafsu yang ada dalam diri manusia, dengan menurunkan hawa
nafsu manusia atau seorang hamba dengan mudah bertemu sang pencipta atau Sang
Maha Hidup, mereka menyebutnya “Sukma Kawekas”. Selain itu, dalam ajaran ini
meyakini bahwa di setiap individu manusia itu terdapat percikan Tuhan, mereka
menyebutnya Roh Suci. kembali kepada Sang Maha Hidup dan menyadari adanya
keberadaan Roh Suci ialah sebuah keharusan bagi setiap hamba, yang pada dasarnya
esensi dari setiap individu ialah percikan Tuhan yang terbungkus oleh badan jasmani.
Ajaran Sapta Darma memliki konsep “sujud” sebgai sebuah jalan untuk
menuju dengan Tuhan. Aliran ini diwahyukan kepada Harjosapuro di Pare, Kediri
pada tanggal 27 Desember 1952. dalam ajaran ini menjelaskan proses kebertunggalan
dengan melalui sujud. Sujud disini sebagai halnya buah praktik yang ada pada ajaran
islam yaitu melakukan kegarakan. Inti dari ajaran Sapta Darma adalah Sujud dan
Wewerah Pitu karena dengan melakukan sujud sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh aliran ini, akan membawa manusia kepada kekebahagiaan yang abadi yaitu
bertunggal dengan Tuhan. karena mereka menyakini bahwa dalam diri mereka pun
terdapat Nur Cahaya (Roh Suci), sebagaimana yang terdapat dalam konsep yang
dimiliki oleh aliran kebatinan Pangestu.
Selain berbicara tentang sujud Sapta Darma menganjurkan para penganutnya
untuk melaksanakan Wewerah Pitu atau Wewerah Suci, ialah sebuah tujuh petuah,
yang menjadi kewajiban khusus bagi warga Sapta Darma. Adapun Wewerah Pitu
diantaranya. Pertama, Setia dan tawakal pada adanya Panca Sila Allah, yaitu lima
sifat keluhuran Tuhan yang mutlak, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha
Rakhim, Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa, Allah Hyang Maha
6
Langgeng. Kedua, Dengan jujur dan suci hati harus setia dan menjalankan undang-
undang negaranya. Ketiga, Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakan
berdirinya Nusa dan Bangsanya. Keempat, Menolong siapa saja tanpa mengharapkan
pamrih (keuntungan untuk diri sendiri) atau balasan apa saja, melainkan berdasarkan
rasa cinta dan kasih. Kelima, Berani hidup berdasarkan kekuatan atas kepercayaan
diri sendiri. Keenam, Sikap kepada hidup bermasyarakat atau kekeluargaan, harus
susila dengan halusnya budi pekerti yang selalu memberikan jalan yang mengandung
jasa serta memuaskan. Ketujuh, Yakin bahwa di dunia tidak ada yang abadi, tetapi
serba berubah.
Wewerah Pitu ini harus diamalkan di setiap kehidupan sehari-hari, sebab
tanpa mengamalkan Wewerah Pitu seseorang tidak akan bisa melaksanakan Sujud
dengan sempurna. Maka wewerah Pitu ini mengajarkan agar seseorang bisa mencapai
kepada budi yang luhur.
Melihat diantara kedua pandangan tentang konsep mistisisme bahwasannya
terdapat sebuah kemiripan dalam proses kebertunggalan tersebut, dalam ajaran
Pangestu mereka menekankan konsep Hasta Sila yeng merupakan pangkal dari pada
pencapaian budi luhur, sedangakan dalam ajaran Sapta Darma mereka memiliki
konsep Wewerah Pitu atau Wewerah Suci, yang menjadi pangkal kewajiban bagi
warga Sapta Darma untuk mencapai budi luhur. Budi luhur merupakan kuci awal
untuk dapat bertunggal dengan Tuhan, maka tanpa tercapainya budi luhur seseorang
tidak akan bisa mencapai kepada kebertunggalan dengan Tuhan.
Dalam tahapan pencapaian mistisme Pangestu mengenal konsep Panembah,
yang merupakan sebuah tanda bakti seseorang kepada Tuhan yang mengusai alam
7
semesta. Dalam Ajaran Sapta Darma sendiri terdapat sebuah konsep Sujud, yang
dapat menghantarkan manusia kepada kekebahagiaan abadi yaitu bertunggalnya
dengan Tuhan.
Dengan demikian ada beberapa persamaan dan beberapa perbedaan dari
Konsp Mistisisme dalam Aliran kebatinan Pangestu dan Ajaran Sapta Darma . Dari
asumsi ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kedua aliran
tersebut terutama yang terlibat dengan konsep Mistisismenya. Maka dalam penelitian
ini penulis mengambil judul “KONSEP MISTISISME DALAM AJARAN
PANGESTU DAN AJARAN SAPTA DARMA”.
B. Rumusan Maslah
Agar penelitian ini tidak melebar, penulis membatasinya pada masalah-
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep Ajaran dan Praktek dalam Ajaran Pangestu ?
b. Bagaimana konsep Ajaran dan Praktek dalam Ajaran Sapta Darma ?
c. Bagaimana persamaan dan perbedaan dalam Ajaran Pangestu dan Ajaran
Sapta Darma ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mempelajari, mengetahui bagaimana dan sejauhmana konsep mistik dalam aliran
kepercayaan.
a. Ingin mengetahui bagaimana konsep Ajaran dan Praktek dalam Ajaran
Pangestu dan Ajaran Sapta Darma.
8
b. Ingin mengetahui bagaimana persamaan dan pebedaan konsep Ajaran dan
Praktek dalam Ajaran Pengestu dan Ajaran Sapta Darma.
2. Manfaat Penulisan
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
maupun memperkaya konsep-konsep, teori-teori bagi penelitian-penelitian
selanjutnya terhadap konsep mistik dalam Ajaran Pangestu dan Ajaran
Sapta Darma.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan, menginformasikan dan
membuka wawasan bagi masyarakat tentang bagaimana konsep Ajaran
dan Praktek yang berkembang dalam Ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta
Darma.
3. Manfaat akademis
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan akhir
perkuliahan untuk meraih gelar Sarjana Agama (S.Ag) dalam Jurusan
Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa peneliti yang memiliki
kemiripan terhadap topik penelitian diantaranya :
9
Skripsi yang ditulis oleh Ali Imron mahasiswa Program Studi Perbandingan
agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010,
yang berjudul “Studi Komparatif Tentang Konsepsi Manusia Menurut Aliran
Pangestu dan Paguyuban Sumarah ditulis”. Skripsi yang terdiri dari lima Bab ini,
memfokuskan bahasaanya pada konsep manusia menurut aliran Pangestu dan
Paguyuban Sumarah yang meliputi : Konsep manusia menurut aliran Pangestu dan
Paguyuban Sumarah serta analisa kesamaan dan perbedaan pemahaman antara
keduanya.
Skripsi yang ditulis oleh Mahmud Rifai mahasiswa Program Studi
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dari Universitas Muhamadiah Surakarta,
pada tahun 2012 yang berjudul “Konsep Tuhan Dalam Aliran Kebatinan Pangestu
dan Sumarah” . Skripsi yang terdiri dari lima Bab ini, memfokuskan bahasanya pada
konsep ketuhanan yang terdiri dari : Teori-teori tentang Ketuhanan, Konsepsi Sosio-
Kultural yang melahirkan Pangestu dan Sumarah, Analisa perbandingan Konsep
Tuhan Pangestu dan Sumarah.
Skripsi yang ditulis oleh Suwarno Imam Suyanto dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 1975 yang berjudul “Pangestu dan
Mistisisme”. Beliau ini memfokuskan bahasannya pada mistisisme dalam ajaran
pengestu menyangkut : Ketuhanan dalam Pangestu, Jalan untuk Medekat dengan
Tuhan, Persatuan Hamba dengan Tuhan.
Tesis yang ditulis oleh suwarno imam suyanto mahasiswa Program
Pascasarjana Bidang Ilmu Agama Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulah Jakarta, pada tahun 2003 yang berjudul “Konsep Mistik Pangestu
10
(Análisis Perspektif Islam). Dalam Disertasi ini terdiri dari empat Bab ini
memfokuskan bahasannya pada konsep mistisime Pangestu, yang mana
mistisismenya ini hampir menyerupai mistisisme dalam Islam atau tasawuf, baik
tasawuf akhlaki atau pun tasawuf filasafi.
Skripsi yang ditulis oleh M. Chaorul Anwar mahasiswa Program Studi
Perbandingan Agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
tahun 2009 yang berjudul “Ajaran Panembah Dalam Aliran Pangestu”. Skripi ini
yang terdiri dari enam Bab ini, memfokuskan bahasannya pada konsep Panembahan
dalam Pangestu yang meliputi: seputar tentang ajaran Panembah yang menyangkut,
Pengertian Panembah dalam Pangestu, Wawasan Panembah dalam Ajaran Pangestu,
Panembah sebagai Kewajiban dan Kebutuhan Hamba, Tingkatan Panembah serta
Arti, Waktu, dan Teknik Pelaksanaan Panembah dan Bacaannya.
Skripsi yang ditulis oleh Dedi Maqsudi mahasiswa Program Studi
Perbandingan Agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
tahun 2003 yang berjudul “Konsep Wahyu Dalam Ajaran Pangestu”. Skripsi yang
terdiri dari lima bab ini, memfokuskan bahasanya pada Konsep Wahyu dalam Ajaran
Pangestu yang meliputi : seputar Ajaran Pengestu, sebab-sebab turunya Wahyu dalam
Aliran Pengestu, orang-orang yang menerima wahyu, jalan menuju mendapatkan
wahyu, nama dan isi kandungan wahyu dalam Aliran Pengestu, manfaat wahyu bagi
masyarakat dan ciri-ciri orang yang mendapatkan wahyu dalam Pangestu.
Dari tujuh skripsi yang ada terdapat perbedaan dengan skripsi yang penulis
lakukan terutama dalam objek kajian. Dalam hal ini, penulis memilih Ajaran
Pangestu dan Sapta Darma sebagai objek kajian. Selain itu, dalam metode dan
11
pendekatan yang digunakan dalam penelitian atau penulisan skripsi ini, ialah dengan
menggunakan metode perbandingan dan menggungakan pendekatan teologis dan
fenomenologis.
E. Metodologi Penelitian
a) Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah penelitian kepustakaan
(Library Research)12
pustaka yang digunakan dalam penelitian ini karena ada
beberapa tokoh atau para sarjanawan yang berbicara tentang konsep mistisisme
dalam pandangan dua aliran tersebut, dalam hal ini tentang konsep mistik buku-buku
yang bersifat deksriptif analitik yang dapat digunakan penulis untuk menganalisis
data-data yang berdasarkan bahan-bahan yang telah diteliti secara mendalam.13 dan
penelitian lapangan (Field Research)14
Peneliti melakukan penelitian lapangan
semenjak tanggal 17 November 2017 sampai 29 April 2018. Dalam waktu itu, penulis
datang langsung kepada komunitas atau kelompok kedua ajaran ini, yaitu kekantor
Pusat Pangestu yang berada di daerah Jl. Gandaria 1 No.93, Rt 2/Rw 8 Gandaria
Utara, Jakarta selatan dan ke komunitas Persada yang berada di Jl. Mandala no 34
cilandak Jakarta Selatan. Untuk melakukan sebuah wawancara dengan penganut atau
pengurus ajaran tersebut, serta penulis meminta buku wajib atau buku karangan
12
Ialah suatu penelitian yang digunakan untuk memperoleh data, baik data primer maupun
data sekunder dan bersumber dari data kepustakaan yang berupa buku, jurnal, ebook dan sebagainya
yang diolah kemudian untuk dikumpulkan. Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, Cetakan pertama, 2004), h. 3.
13
Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2010), h.84. 14
Ialah Suatu penelitian yang dilakukan secara langsung dengan melalui pengamatan
observasi ataupun wawancara mendalam. Nusa Putra, Penelitian Kualitatif, Proses dan Aplikasi
(Jakarta: PT Indek, cetakan pertama, 2012), h. 43.
12
langsung yang digunakan oleh kedua ajaran ini. Untuk dijadikan bahan primer dalam
penelitian ini.
b) Sumber Data
1. Sumber Primer
Sumber Primer adalah sumber yang dapat memberikan data penelitian secara
langsung.15
Sumber data primer ini merupakan sumber data utama, berupa karya-
karya yang ditulis langsung oleh penganutnya atau oleh pimpinan aliran tersebut.
2. Sumber Sekunder
Sumber Sekunder adalah data yang materinya secara tidak langsung
berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.16
Sumber sekunder ini digunakan
sebagai pelengkap dari sumber primer yang berisi tentang kajian-kajian pokok yang
relevan atau yang berhubungan dengan tema yang diangkat ser. Data sekunder ini
berupa buku, artikel atau jurnal ilmiah, majalah atau media lain yang mendukung.
c). Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Kepustakaan
Penulis menggunakan buku-buku pustaka yang berisi teori-teori tentang
konsep Mistik dalam Ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta Darma, buku-buku tersebut
merupakan buku yang ditulis oleh penganut Pangestu dan Paguyuban Sumarah
sebagai sumber primer dan juga buku-buku yang di tulis oleh orang lain yang bukan
orang penganutnya tetapi dia memiliki pengetahuan tentang ajaran tersebut sebagai
15
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), h.117. 16
Hadari Nawawi & Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996), h. 217.
13
sumber sekunder. Adapun penulis juga akan melakukan pengumpulan data baik dari
Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan UI, dan Perpustakaan
Nasional RI, dll.
2. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Penulis melakukan mewawancara kebeberapa tokoh atau pengikut Ajaran
Pangestu dan Ajaran Sapta Darma, untuk melengkapi data yang ada dan memperoleh
informasi secara langsung, serta mengetahaui bagaimana pandangan para tokoh aliran
Pangestu dan Ajaran Sapta Darma tentang konsep mitik. Dalam pelaksanaan
wawancara ini penulis mendapatkan empat responden yang merupakan penganut dan
pegurus ajaran tersebut. Serta telah mendapat persetujuan dari pimpinan perkumpulan
tersebut. dalam ajaran Pangestu penulis diarahkan untuk melakukan wawancara
dengan Ibu Titis Banbang Haryono dan Bapak Puji Santoso dan pada ajaran Sapta
Darma penulis diarahkan kepada Bapak Sukamto dan Bapak Servarius. Dalam
pelaksanaannya penulis melakukan wawancara dengan megikuti pengajian dan
ceramah pencerahan mereka, untuk mendapatkan pemahaman langsung dari
penganutnya.
3. Observasi
Observasi ialah suatu pengamatan yang bertujuan untuk mendapatkan data
tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checkin,
atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang peroleh sebelumnya.
14
d). Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan mengunakan pendekatan Teologis17
dan
Fenomenologis. Pendekatan teologis merupakan pendekatan yang bersifat normatif
dan subyektif, melalui pendekatan ini penulis menjelaskan perbedan-perbedaan
teologis dari Ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta Darma dalam konsep mistik.
Sedangkan melalui pendekatan Fenomenologi18
penulis berusaha untuk memahami
bagaimana kepercayaan orang lain, dengan masuk kedalam menaruh segala asumsi,
praduga, penilaian dan pengetahuan sebelumnya mengenai agama atau kepercayaan
lain yang hendak difahami dan membiarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri,
sehingga dapat diketahui dengan benar intisari dari objek tersebut.19
1. Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya penulis melakukan análisis data.
Analisis data adalah suatu proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan.20
Dan
metode analisis data yang digunakan ialah Content Analysis (analisis isi), yaitu upaya
menafsirkan gagasan atau ide tentang “Konsep Mistik” dalam Ajaran Pangestu dan
Ajaran Sapta Darma, yang kemudian ide tersebut dianalisis secara mendalam guna
menjawab permasalahan krisis lingkungan yang terjadi saat ini.
17
Ialah pendekatan yang memfokuskan kepada sejumlah penbahasan tentang konsep,
Khususnya yang didasarkan pada Theo-logos, studi pengetahuan tentang Tuhan. Peter Connoly. Aneka
Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2012), h. 316. 18
Ialah sebuah pendekatan yang mengharukan kita untuk melihat nomena atau sebuh kejadian
yang ada pada saat itu, dan membiarkan objek kajian itu membicarakan tentang dirinya sendiri sesuai
dengan ekprsinya. Peter Connloy. Aneka Pendekatan Studi Agama. h. 106. 19
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2015), h.20-
23. 20
Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 102.
15
2. Teknis penulisan
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku pedoman
penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam
Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka dalam pembahasanya telah
dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab Pertama: pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
Bab Kedua: Menguraikan riwayat hidup pendiri Ajaran Pangestu dan
Ajaran Sapta Darma serta pokok pokok ajarannya.
Bab Ketiga: Menguraikan pandangan tengtang konsep Mistisime menurut
Ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta Darma.
Bab Keempat : menganalisa serta membandingkan kedua konsep dari aliran
tersebut.
Bab Kelima: merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran dari penulis. Serta daftar pustaka
yang digunakan sebagai bahan rujukan serta lampiran-
lampiran yang diperlukan.
16
BAB II
SEJARAH ALIRAN PANGESTU DAN SAPTA DARMA
A. Sejarah Aliran Kepercayaan Pangestu
1. Riwayat Hidup Soenarto Mertowerdojo
R. Soenarto Mertowerdojo atau Pakde Narto adalah pendiri Pangestu
(Paguyuban Ngesti Tunggal) 1, Beliau adalah putra bapak pak R. Soemawardojo
2
yang ke enam dari delapan bersaudara. Beliau lahir pada hari Jumat tanggal 21
April 1899 di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah,3
dan belau wafat pada tanggal 16 Agustus 1965 di Solo4.
Kehidupan masa kecil bapak R. Soenarto Mertowerdojo tidak
sebagaimana mestinya kehidupan anak-anak pada umumnya, ia terlahir dari
keluarga yang sederhana, bahkan masa-masa menimba ilmu di sekolah formal
terasa sulit baginya, hampir dari dua belas kali pakde Narto harus berpindah-
pindah atau “Ngenger”5 yaitu berpindah ke satu saudara ke saudara yang lain
6.
pertama ia tinggal bersama pamannya yaitu R. Djojosugioto, seorang agen polisi
di Boyolali, ketika bersama pamannya Pakde Narto belajar dua kali yaitu pada
pagi hari dan sore hari. Pada pagi hari ia belajar di Indonesia School atau Sekolah
Indonesia berbahasa Jawa, sedangkan pada sore harinya ia belajar bahasa Belanda
1 Pakde adalah singkatan dari Bapak Gede, sebutan khusus kepada pak Soenarto
Mertowerdojo untuk anggota pangestu karena kata “Pakde” tanda untuk menghormati orang yang
lebih tua, mereka menganggap bahwa Pak Sonarto itu orang tua mereka di pangestu, karena ia
adalah sisiwa yang paling tua dan yang pertama mendapatkan pepadang dari sang Guru Sejati. 2 Raharjo, Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Mertowerdojo
(Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 1994), hal. 3. 3 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Dalam Kebatinan Jawa (Jakarta :
PT Grafindo Persada, 2005), h. 289. 4 Titis Bambang, Sejarah Pangestu (Jakarta: Tanpa penerbit, Tanpa Tahun), h. 2.
5 “ngenger” merupakan bahasa jawa yang artinya itu menitipkan anaknya kepada orang
yang mamu untuk disekolahkan. 6 Titis Bambang, Sejaranh Pangestu, h. 2.
17
pada Vander Waal, seorang sersan Belanda7. Kemudian ia pindah ke tempat
Suwardi, seorang mantri polisi di Solo, ketika itu Pakde Narto masuk Sekolah
Dasar berbahasa Belanda, akan tetapi Pakde Narto tidak lulus dalam tes bahasa
Belandanya, maka Pakde Narto dipindahkan lagi kepada R. Sudosubroto, seorang
Jaksa Kepala di Solo. Selama tinggal bersama R. Sudosubroto Pakde Narto bisa
menamatkan sekolahnya di Hollans Inlandse Middagcursus. Kemudian belau
mengikuti tes Klein Ambteneaars Examen yaitu ujian untuk menjadi seorang
pegawai. Ketika umur Pakde Narto menginjak 21 tahun, beliau bekerja di Kantor
Pengadilan Solo pada tahun 1920. Kemudian ditahun 1924 pak Soenarto pindah
ke Kantor Lendraad yaitu kantor pengadilan yang lebih tinggi8.
Di tahun 1921 tanggal 6 februari Pak Soenarto melangsungkan pernikahan
dengan seorang perempuan yang bernama R. Sumini. Dari pernikahannya Pakde
Narto dianugrahi empat orang anak, akan tetapi yang dua telah dahulu meninggal
dan yang dua anaknya yaitu Suminah yang bersuamikan R. Ngalimin
Djojosaputro dan Suharti yang bersuamikan R. Murtopo Wirokusumo. Dari kedua
pasangan ini maka Pakde Narto memiliki cucu sebanyak tujuh belas cucu9.
Selain dalam pengalaman kehidupan yang bersifat keduniawian, Pakde
Naro memiliki pengalaman kehidupan yang bersifat kerohanian. Sejak kecil,
walaupun Pakde Narto sering berpindah pindah dalam menimba ilmu formal
(ngenger) Pakde Narto tetap menimba ilmu keagamaan. Selama belajar tentang
agama ia tidak pernah faham apa yang diajarkan oleh gurunya, semisal ia belajar
Al-Quran kepada seorang naib, akan tetapi ia hanya disuruh menghafal oleh
gurunya dan ia tak faham makna dari firman-firman suci yang selama itu ia
7 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Dalam Kebatinan Jawa, h. 289.
8 Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Dalam Kebatinan Jawa, h. 290.
9 Raharjo, Riwayat Hidup Bapak Paranparan Pangestu, h. 9.
18
hafalkan. Maka dari itulah Pakde Narto mulai mencari jalan kebahagiaan sendiri,
dan saat itu ia selalu merenungkan akan keberadaan Tuhan.
Ketika meranjak dewasa pakde Narto mulai merasakan puncak
kerinduannya terhadap Tuhan. Kerinduannnya terhadap Tuhan tersebut
menunutun Pakde Narto untuk terus mencari dan belajar ke berbagai guru, mulai
dari guru-guru agama hingga guru “klenik”10
, semuannya ia jalani dengan tekun.
Bahkan, selain ia menjalaninya dengan tekun, ia melakukan sesuatunya dengan
sikap sabar, jujur, baik dan tanggung jawab. Akan tetapi kepuasan batinnya belum
tercapai, maka ketika umur 33 tahun ia akhirnya melepaskan semua segala
keinginannya untuk tidak berguru lagi dan ia menyakini bahwa hanya dengan
berdoa langsung kepada Tuhan ia akan mendapat segala jawabanya11
.
Pada tanggal 14 Februari 1932, sekitar pukul 17.00, ini merupakan hal
yang sangat tak terduga oleh Pakde Narto. Ketika itu ia sedang melaksanakan
sholat Dhaim12
di serambi Pondok Widuran, Solo. Ia terpikirkan akan pertanyaan-
pertannyan yang membuatnya selalu bertanya-tanya. Kemudian berniat untuk
berdoa kembali kepada Tuhan agar diberi sih pepedang-Nya. Dengan
kekhusyuannya ini membuahkan hasil, secara tak terduga ia menerima sabda ilahi
dari dalam sanubarinya yang suci, seakan-akan menjawab pertanyaan dirinya,
sebagai berikut “ketahuilah, yang dinamakan ilmu sejati ialah petunjuk yang
10
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia “Klenik” ialah kegiatan perdukunan
(pengobatan dll) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh
banyak orang. Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Untama,
2011), h. 143. 11
Titis Bambang, Sejarah Pangestu, h. 3. 12
Dalam kebudayaan ajaran Pangestu bahwa Dhaim ialah berzikir atau sedang
menenangkan diri.
19
nyata, yaitu petunjuk yang menujukan jalan benar, jalan yang sampai pada asal
mula hidup”.13
Ketika itu perasaan pakde Narto bagaikan disiram oleh air dingin, serta
badan Pakde Narto seketika terasa merinding, yang disusul oleh rasa takut dengan
termangu. Kemudian Pakde Narto bertanya kembali kedalam hati sanubarinya
“Siapakah gerangan yang bersabda itu tadi ?”. kemudian terdengar kembali
sabda yang kedua, yang menanggapi pertanyaan dari Pakde Narto yaitu :
“Aku Suksma Sejati, yang menghidupi alam semesta, bertakhta di semua sifat
hidup.
Aku utusan Tuhan yang abadi, yang menjadi pemimpin, penuntun, Gurumu
yang sejati ialah guru dunia. Aku datang untuk melimpahkan Sih Anugrah
Tuhan kepadamu berupa pepadang dan tuntunan. Terimalah dengan
menengadah ke atas, mengadah yang berarti tunduk, sujud di hadapan-Ku.
Ketahuilah siswaku semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan
semesta alam, letak sembahyang yang sejati ialah sumber hidup, yang akan
kembali kepada-Nya. Sejatinya hidup itu satu, yang abadi keadaannya dan
meliputi semua alam seisinya.”14
Turunnya sabda yang kedua melalui Sang guru sejati, membuat hati Pakde
Narto terang bendenrang bagaikan diterangi sinarnya bulan purnama. Karena
meresapnya pepadang yang ia terima, rasa bahagianya kini berganti menjadi rasa
terharu, ia menangis sambil memanjatkan rasa syukur kekhadirat ilahi, karena ia
merasa manusia yang penuh dosa tetapi telah menerima Pepadang-Nya.
Pakde Narto yang masih diselimuti oleh rasa penuh dosa, ia memohon
kepada Tuhan agar dihilangkan rasa was-was yang muncul dalam hatinya dan
diberi kekuatan untuk dapat menerima anugrah dan keadilan Tuhan. Maka
turunlah sabda yang ketiga, yang berbunyi:
“Mengertilah engkau siswa-Ku!
13
Rahardjo, Riwayat Hidup Bapak Paranparan Pangestu R. Soenarto Mertowedojo, h.
79. 14
R. Soenarto Mertowerdojo, Sabda Pratama (Jakarta : Pagyuban Ngesti Tunggal, 2013),
h. 2.
20
Bahwa yang membawa ukuran dan timbangan itu aku, oleh karena itu: janganlah
berkecil hati apabila ada yang tidak percaya kepadamu, janganlah sakit hati jika
ada yang mentertawakan dan meremehkan dirimu, janganlah was was dan cemas
jika ada yang memfitnah dirimu.
Aku melindungi dan menuntun sampai ke kesejahteraan bagi semua umat yang
berjalan di jalan rahayu, yang bernaung dibawah pengadilan-Ku. Aku tidak akan
sampai hati kepada mereka yang mewakili karya-Ku.
Siswa-Ku!, nantikanlah sementara waktu, engkau kuberi pembantu yang akan
kutunjuk untuk mencatat semua sabda-sabda-Ku, yaitu Hardjoprakoso dan
Soemadihardjo. Calon siswa tersebut Kuutus unuk menyebarluaskan pepadang
sabda Tuhan yang Kubawa.”15
Mendengar kedua nama yang telah diutus oleh Sang Guru Sejati untuk
membantunya, kemudian Pakde Narto mulai mencari tahu. Awalnya pakde Narto
belum mengenal dengan kedua nama tersebut. Sebab sepengetahuan ia bahwa R.
Tumenggung Hardjoprakoso adalah seorang bupati Anom. Pada tanggal 17 Mei
1932 bapak Hardjoprakoso datanglah ke kediaman Pakde Narto di Widuran16
.
Pada kesempatan ini belau menyampaikan sabda-sabda Sang Guru Sejati kepada
bapak Hardjoprakoso, dengan tidak terduga ternyata berita tersebut disambut
dengan gembira oleh pak Hardjoprakoso.
Setelah mendengar segala sabda yang diberikan oleh Pakde Narto, dengan
penuh keyakinan dan kepastian, pak Hardjoprakoso mengatakan bahwa
Soemadiharjo yang disebut oleh Sang Guru Sejati ialah Soemadihardjo yang ia
kenal baik, dan ternyata dugaan ia pun benar. Bahwa Soemadihardjo yang
dimaksud adalah Soemadiharjo yang ia sama-sama aktif dalam suatu
perkumpulan. Maka, pada tanggal 27 Mei 1932 datanglah Sumadihardjo, dan pada
kesempatan itu pula mereka bertiga bisa bertemu untuk pertama kalinya. Pada
malam itu kedua orang siswa tersebut menerima wahyu ilahi dengan perantara
Sang Suksma Sejati selama beberapa bulan dengan perantara Pakde Narto sebagai
15
R. Soenarto Mertowerdojo, Sabda Pratama, h. 4-6. 16
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Dalam Kebatinan Jawa, h. 291.
21
Warana17
. Sabda-sabda yang ditulis oleh kedua siswa tersebut dan dihimpun
menjadi satu pustaka suci yaitu Sasangka Jati18
.
2. Pendirian Paguyuban Ngesti Tunggal
Pangestu didirikan secara organisasi oleh R. Soenarto Mertowerdojo pada
tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta. Paguyuban ini adalah sebuah organisasi
kebatinan bagi orang-orang yang percaya kepada ajaran Sang Guru Sejati yang
diterima oleh R. Soenarto Mertowerdojo, serta yang ingin mencari kesejahteraan
hidup di dunia sampai di akhirat dengan mengikuti Pepadang.
Dillihat dari segi bahasa Pangestu merupakan sebuah Akronim dari
Paguyuban Ngesti Tunggal yang berasal dari bahasa Jawa. Paguyuban artinya
persatuan, atau persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat
kekeluargaan, Ngesti artinya memohon, atau upaya batiniah yang memohon
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tunggal artinya bersatu, atau bersatu dalam hidup
dan bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa19
. Jadi paguyuban Ngesti
Tunggal adalah persatuan memohon untuk bersatu dengan Tuhan.
Secara istilah dalam pandangan R. Soenarto, dalam wejangannya berkata,
Perlu saya terangkan bahwa ilmu Pangestu tidak menyebarkan Ilmu kebatinan
yang aneh-aneh atau yang lazim disebut sebagai “Ilmu Klenik”,”Ilmu Tua”, dan
sebagainya. Segala wejangan Sang Guru Sejati tercantum dalam kitab Sasangka
Jati berisi Ilmu Jiwa dan Budi Pekerti. Maka dari itu bahwa ajaran Sang Guru
Sejati ini tidak bertetangan dengan ajaran agama.
17
Menurut Ibu Titis bahwa kata “Warana” artinya alat, perantara dalam bahasa Jawa
Kawi. 18
Rahardjo, Riwayat Hidup Bapak Paranparan Pangestu R. Soenarto Mertowedojo, h.
86. 19
Titis Bambang, Sejarah Pangestu, h. 1.
22
“Ajaran Sang Guru Sejati bukan hendak merusak peraturan Tuhan yang telah
ada, yaitu yang lazim disebut agama, juga tidak hendak mendirikan agama baru,
tetapi hanya memberi petunjuk tetang pengolahan hati dan cipta, kepada siapa
saja yang percaya, dan yang berniat mencari kesejahteraan hidup di dunia
sampai diakhirat.”20
Perkumpulan ini dibentuk atas dasar perintah Sang Suksma Sejati melalui
sabdanya, dalam Sabda Khusus no 1 yang berbunyi:
“Kumpulkanlah siswa-siswa Ku ini semuanya agar menjadi erat. Himpunlah
seperti halnya dengan tata cara perkumpulan umumnya. Sebagai ketuanya
putuskanlah sendiri siapa yang kiranya patut menjadi ketua. Bagi saudaramu
Soeunarto hanya boleh Kuanggap sebagai PRANPARA (Penasehat). Hanya
pesan-Ku, perkumpulan atau siswa tadi jangan kau paksa atau kau tentukan
membayar iuran seperti halnya dengan perkumpulan yang lainnya. Akan tetapi
kamu boleh mengadakan kancah, atau yang umumnya disebut badan (yayasan)
yang menerima pemberian para siswa (warga) yang dengan keikhlasan hati
menyumbang sebagian dari usahanya yang berwujud apa saja, untuk keperluan
tersebut atau untuk keperluan umum.21
Dengan datangnya sabda ini, kemudian diantara kedelapan siswa22
ini
berunding untuk menentukan siapa yang pantas menjadi ketua mereka. Dari hasil
perundingan tersebut, maka terpilihlah Gunawan sebagai ketua, dan para siswa
yang lainnya menjadi anggota, serta pak R. Soenarto menjadi Paranpara
(penasehat). Setelah mereka menentukan Ketua untuk perkumpulan ini, kemudian
mereka melakukan musyawarah untuk menentukan nama yang pantas bagi
perkumpulan ini. dengan bimbingan Sang Guru Sejati Pakde Narto mendapat
sabda untuk menamakan perkumpulannya dengan nama “Paguyuban Ngesti
Tunggal”, yang disingkat “Pangestu”.23
Selain dari itu, Sang Guru Sejati pun
memberikan sabda mengenai pedoman bagi Pangestu yang disebut sebagai
“Dasasila” (sepuluh sila) yaitu: 1). Berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, 2).
Berbakti kepada utusan Tuhan, 3). Setia kepada Khalifatullah atau Kepala Negara,
20
Puji, Sejarah Pewahyuan Pengestu, h. 1. 21
R. Soenarto Metowerdojo, Sabda Khusus ( Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal, 2013),
h 6. 22
Adapun delapan Siswa yang dimaksud ialah R. Soenarto, Soeratman, Goenawan,
Prawirosoeparto, Soeharto, Soedjono, Ngalimin dan Soetardi. 23
Raharjo, Riwayat Hidup Bapak Paranparan, h. 106.
23
4). Berbakti kepada tanah tumpah darah, 5). Berbakti kepada orang tua, 6).
Berbakti kepada saudara tua, 7). Berbakti kepada guru, 8). Berbakti kepada
pelajaran keutamaan, 9). Kasih sayang sesama hidup, 10). Menghormati semua
agama.24
Perkembagan aliran kebatinan ini mulai berkembang pada tahun 1950
yang ditandai berdirinya cabang pertama di Bandung, yang diketuai oleh
Soemantri Hardjoprakoso. Kemudian disusul cabang kedua yang didirikan di
Semarang pada tahun 1951, yang diketuai oleh Sidik Ranoesapoetro. Sedangkan
cabang yang ketiga berdiri di Jakarta pada tahun 1953, yang diketuai oleh
Moersito.25
Dari tahun ketahun perkembangan cabang pun mulai bertambah.
Selain itu, perpindahan kantor pusat pun tiga kali berpindah tempat pertama di
Solo (1949-1959), kemudian pindah ke Bandung (1959-1964), kemudian terakhir
ke Jakarta (1964-sekarang).26
Sebagaimana sebuah organisasi pada umumnya Paguyuban Ngesti
Tunggal memiliki Anggaran Dasar yang berisi sebelas pasal, dan Anggran Rumah
Tangga lima pasal. Mulai dari nama, sifat, dasar, dan tujuan, usaha-usahanya,
keanggotaan, susunan pengurus, kongres sampak kepada lambang Pangestu.27
Adapun tujuan dari organisasi Pangestu ialah
1. Berusaha untuk hidup bertunggal (bersatu) dengan guyub (rukun) dengan
semua golongan tanpa membeda-bedakan jenis, bangsa, derajat, agama
atau kepercayaan.
24
Titis Bambang, Sejarah Pangetsu, h. 2. 25
Suwarno Imam S, Konsep Mistik Pangestu (Disertasi: UIN Syarif HIdayatullah Jakarta,
2003) h. 40. 26
Suwarno Imam S, Konsep Mistik Pangestu, h. 45. 27
Budi Darmadi, Laporan ketua pangestu di dalam Dwija Wara, no1-2-3, (mei, juni, juli
2001), h. 16.
24
2. Menyebarluaskan pepadang ialah perintah wejangan Sang Guru Sejati
kepada siapa saja yang bersungguh-sungguh memerlukan pepadang tanpa
paksaan dan tanpa pamrih.
3. Pangestu bercita-cita (berdoa) agar semua umat kembali bertunggal
dengan Tuhan yang Maha Esa28
.
3. Pokok Ajaran Pangestu
a). Konsep Ketuhanan.
Seseorang yang memiliki kebaktian terhadap Tuhan, seyogianya ia harus
memiliki pengetahuan tentang Tuhan dengan jelas dan benar, bahwa sesembahan
dan pujaan yang benar hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran
Pangestu percaya bahwa Tuhan itu bersifat Imaterial, tidak bisa dibayangkan dan
tak berbentuk. Maksudnya ialah Tuhan bukan laki-laki dan bukan perempuan,
Tuhan tidak berupa dan tidak berwarna, Tuhan tidak dilahirkan dan tidak
melahirkan, Tuhan tidak dapat dicapai dengan pancaindra, Tuhan berada di dalam
dan di luar kita, Tuhan di mana-mana, karena Tuhan meliputi alam semesta dan
seisinya29
.
Dalam konsep ketuhanan, para warga Pangestu menyakini bahwa hanya
ada satu Tuhan yang wajib disembah, ialah Suksma Kawekas, sebagaimana dalam
Sabda Pratama, bagian ke II menyatakan :
“bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan seru sekalian
alam, beradanya sembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali
kepada-Nya. Sejatinya hidup itu satu, yang abadi keadaanya, meliputi semesta
alam seisinya.”30
28
Titis Bambang, Sejarah Pangestu, h. 1. 29
Titis Bambang, Sejarah Pangestu, h. 5. 30
R. Soenarto Mertowerdojo, Sabda Pratama, h. 3.
25
Dalam konsep ketuhanan yang berkembang pada ajaran Pangestu ialah Tri
Purusa merupakan keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu Sukasma Kawekas,
Suksma Sejati dan Roh Suci.31
Sebelum alam ini terjadi dan belum ada apa-apa
yang berbentuk atau berwujud, Suksma Kawekas telah bertakhta. Suksma
Kawekas dipandang sebagai asal mula hidup, yang di dalamnya terkandung
kemampuan yang tak terbatas. Dalam kesadaran Agung yang diam ini, terdapat
kehendak untuk melepaskan cahaya-cahaya kesadaran atau Pletikan Api dari Yang
Maha Agung32
. Dari bergeraknya kehendak Yang Agung ini, menimbulkan
kehidupan bagi alam ini, bermula terciptanya empat unsur, yaitu: Suasana (udara),
Api, Air,dan Tanah, yang membetuk alam semesta. Maka, Sukama Kawekas
merupakan sumber dari segala sumber, yang menjadikan adanya dunia berserta
isisnya. Suksma Kawekas itu sama halnya dengan tradisi kekristenan disebut
Tuhan Bapak atau dalam tradisi Islam disebut dengan Allah.
Sukma Sejati ialah kesadaran hidup yang dinamis. Dalam pandangan
ajaran ini, Suksma Sejati ialah “Utusan Tuhan Yang Abadi” dari Sukma Kawekas
dan memancarkan kehendak-Nya. Ibarat sebuah air yang bergerak (Sukma Sejati)
yang seolah-olah disuruh oleh air yang diam (Suksma Kawekas), selain itu
mereka mencontohkan Sukma Sejati itu ibarat seorang ayah (Sukma Kawekas)
yang melimpahkan semua kasih sayangnya kepada anaknya (Suksma Sejati).
Cahaya-cahaya yang tak terbatas ini telah dipancarkan oleh Sukma Sejati,
kemudian dibatasi oleh Roh Suci yang kecil yang terbatas, bila dibandingkan
dengan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati. Keterbatasan Roh Suci ini
31
Menurut penuturan Bu Titis bahwa apabila dianalogikan, maka seperti ini Suskama
Kawekas - Allah -Tuhan Bapak, Suksma Sejati - Rasul - Sang Putra, dan Roh Suci - Roh Kudus –
Nur Muhammad atau jiwa manusia sejati. (Wawancara pada tanggal 17 November 2017) 32
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa (Jakarta: Paguyuban Ngesti
Tunggal, 2015), h. 1.
26
menimbulkan adanya sifat inividualitas pribadi yang terbatas pula33
. Maka bisa
dikatakan Roh Suci ialah hakikat dari jiwa manusia, yang merupakan pancaran
dari Sukma Kawekas dan Suksma Sejati, yang terbungkus oleh empat anasir.
“Suksma Kawekas adalah tetap menjadi sembahan yang sejati, adapun Sukma
Sejati tetap menjadi utusan Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun dan Guru
hamba yang sejati.
Hanya Sukma Kawekas pribadi yang menguasai alam seisinya, hanya Sukma
Sejati pribadi yang menuntun hamba semua.
Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Sukma Sejati,
adapun hamba ada didalam kekuasaan Suksma Kawekas."34
Dalam hal ketuhanan, mereka tetap mempercayai keberadaan Tuhan
(Suksma Kawekas) yang satu, akan tetapi dalam konsep yang dijabarkan dalam
ajaran Pangestu mereka menyebutnya dengan Tri Purusa yaitu kesatuan dan
keseluruhan Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci. dalam ajaran
pangestu kesadaran akan keberadaan Roh Suci ialah inti sari dari Syahadat, atau
keyakinan mereka terhadap Suksma Kawekas dan Suksma Sejati.
b). Konsep Alam
Konsep alam (Makrokosmos) dalam ajaran Pangestu tertulis dalam kitab
Sasangka Jati, pada bagian Gumelaring Dumadi (penciptaan alam). Ketika
keadaan alam yang masih statis dan belum ada bentuk atau wujud apa-apa, hanya
ada kuasa Tuhan yang bertakhta. Maka dengan karsa Tuhan menciptakan alam
semesta untuk mewadahi Roh Suci, dengan penciptaan empat anasir.
“Sebelum buana itu tercipta, Tuhan mempunyai karsa menurunkan Roh Suci
ialah sinar cahaya Tuhan, tetapi karsa itu terhenti, sebab belum ada wadah dan
tempatnya. Maka Tuhan menciptakan buana.
Yang mula-mula diciptakan, yaitu empat macam anasir yang disebut suasana,
api, air, dan tanah.
Adapun yang mula diciptakan adalah suasana, kemudian diciptakan lagi api. Api
tersebut dibagi menjadi dua golongan, yang sebagian ada diatas dan sebagian
lagi ada dibawah.
33
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 3. 34
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 4.
27
Setelah suasana dan api tercipta atas kuasa Tuhan, Tuhan kemudian
menciptakan air, yang menumpang diatas api yang paling bawah.
Setelah air tercipta, ketiga anasir tersebut lalu saling memengaruhi, hingga
akhirnya menyebabkan terciptanya anasir yang keempat, yaitu bumi (tanah).”35
Susunan anasir yang diciptakan Tuhan ialah: Suasana, Api, Air, dan
Tanah. Kemudian akan menjadi bahan makhluk hidup selanjutnya. Setelah Tuhan
menciptakan alam ini dengan empat anasir, Tuhan kemudian menciptakan
manusia dari empat anasir ini pula untuk membungkus Roh Suci. Berbeda dengan
manusia, Tuhan menciptakan hewan dan tumbuhan dari anasir yang berbeda,
hewan walau jiwanya dari Roh Suci tetapi tidak diberi tuntunan yaitu Guru Sejati
dan hanya tercipta dari tiga anasir : suasan, api dan tanah. Sedangkan tumbuhan
diciptakan oleh Tuhan dari dua anasir, yaitu : air dan tanah, serta tidak memiliki
jiwa Roh Suci sebagai mana manausia dan hewan.
Setelah alam, manusia, hewan dan tumbuhan tercipta. Dalam ajaran
Pangestu mereka meyakini, ada yang dinamakan dengan alam dewata yaitu
bangsa lelembut atau golongan jin dan syaitan. Golongan ini tercipta dari anasir
api yang bersifat halus, sehingga golongan dewata ini tidak dapat dilihat oleh
manusia. Berbeda dengan manusia dan hewan, golongan36
dewata ini tidak
memiliki jiwa Roh Suci beserta Tuntunnannya, yaitu Guru Sejati. Maka dalam
ajaran Pangestu konsep penciptaan alam ini berwal dari Tri purusa dan empat
anasir.
35
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati
(Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal, 2014), cet-ke 7, h. 41-42. 36
Dalam penjelasan ibu tits Golongan dewata ini pun memiliki umur yang lebih panjang
dari manusia karena jiwa golongan ini akan hancur sedangkan jiwa manusia abadi, selain itu,
jumlah golongan dewata itu satu banding tujuh dengan manusia yang ada di bumi ini. Titis
Bmbang, Gumelaring Dumadi,(Jakarta: Tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 4.
28
c). Konsep Manusia
Konsep manusia (Mikrokosmos) yang berkembang dalam ajaran Pangestu
ini terjabar dalam kitab Sasangka Jati, dalam bagian Gumelaring Dumadi
(terjadinya alam semsta dan isinya) hal ini satu kesatuan dengan konsep alam
dalam ajaran ini. Maka konsep tentang manusia, merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari konsepsi Ke-Tuhanan Pangestu, sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas ialah Tri Purusa : Suksma Kawekas (Tuhan), Suksma Sejati
(Gusu Sejati atau Utusan Tuhan) dan Roh Suci (Manusia Sejati).37
Dalam
Sasangka Jati dijelakan :
“Adapun terciptanya manusia itu dari sinar cahaya bertunggalnya Tri Purusa :
Suksma Kawekas--Suksma Sejati--Roh Suci (menurut Islam, bagi para ahli
makrifat, disebut Allah--rasul--Muhammad;atau menurut kristen : Sang Bapak--
Sang Putra--Roh Suci) yang diberi busana sari empat macam anasir, seperti,
suasana, api, air, dan tanah, yang kemudian terbabar menjadi bahan bakal kasar
dan halus (lahir, batin). Adapun alat jasmani dianugerahi pancaindra, yaitu :
penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan perasaan. Lagi pula diberi
saudara, yang lazim disebut empat macam nafsu, seperti : luamah, amarah,
sufiah, mutmainah, dan tiga saudara lagi yang berkumpul menjadi satu di angan-
angan, yaitu disebut pangaribawa, prabawa dan kamayan.”38
Alam yang terbentuk dari empat macam anasir yaitu: suasana (udara
bersih), Api, Air dan Tanah. Ini merupakan sebuah gambaran dunia besar
(Makrokosmos), yang kemudian dari empat anasir ini menciptakan manusia, yang
dapat disebut sebagai dunia kecil (Mikrokosmos). Kesamaan anasir ini
menyebabkan adanya sifat saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Dalam pandangan Pangestu bahwa Tuhan terlebih dahulu menciptakan
laki-laki sebagai penebar benih untuk manusia selanjutnya, sedangkan perempuan
sebagai wadah untuk benih tersebut. Maka dari perut seorang perempuanlah
37
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 41. 38
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 44.
29
diturunkan Roh Suci yang telah dibungkus oleh empat anasir, yang setelah lahir ia
akan menjadi manusia.
“Adapun terciptanya manusia yang paling awal adalah laki-laki, yaitu yang akan
menurukan benih, atau menjadi perantara turunya Roh Suci. Tuhan kemudian
menciptakan perempuan, yang akan menjadi perantara mewadahi turunya Roh
Suci. semua itu terjadi atas kuasa Tuhan. Demikian seterusnya, keadaan manusia
dapat berkembangbiak hingga sekarang, turunya Roh Suci dengan perantara laki-
laki dan permpuan.”39
Terjadinya seorang bayi ini, terbentuk dari tujuh keadaan yang terdiri dari
Tri Purusa dan empat macam anasir, yang menjadi busana bayi tersebut. Maka
manusia manusia memiliki empat nafsu dan tiga angan-angan, yang dalam ajaran
Pangestu disebut sebagai “tujuh saudara”, yaitu:
1). Luamah, tercipta dari anasir tanah, berada di dalam daging manusia,
watak dari luamah ialah : jahat, tanak, serakah, malas, tidak tahu kebaikan
dan sebagainya. Disisi lain, apabila dilihat dati hal positifnya watak ini
mengandung dasar kekutan atau semangat seseorang.
2). Amarah, tercipta dari anasir api, dalam manusia anasir ini digambarkan
darah, yang merata di sekujur tubuh manusia. Wataknya ialah : berhasrat
kuat, mudah tersingung, berangasan, pemarah. Dalam hal inni sifat
amarah merupakan jalan bagi sifat yang lainnya, terlepas perbuatan buruk
atau perbuatan baik. Tanpa adanya amarah maka segala sifat tidak akan
bisa terlaksana.
3). Sufiah, sifat ini tercipta dari anasir air, yang bentuk kasarnya berada di
tulang sumsum manusia. Adapun halusnya Sufiah menjadi kehendak.
Sufiah adalah nafsu yang menyebabkan adanya keinginan, kasmaran atau
sengsem.
39
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 45.
30
4). Mutmainah, sifat ini tercipta dari anasir suasana (udara bersih), yang
digambarkan sebgai nafas manusia. Adapun watak dari sifat ini ialah :
terang, suci, bakti, kasih sayang.
5). Pangaribawa, kasarnya itu berwujud pusar, yaitu daya keuatan darah dari
jantung ibu yang diterima melalui pusar, yang dapat menghidupi jabang
bayi ketika masih dalam rahim ibu, sedangkan halusnya dalam mangan-
angan, atau bisa dikatakan sebagai “kekuatan cipta”.
6). Prabawa, ketika bayi lahir, prabawa bertindak, wujudnya lalu ibu
mengejan, disebebkan daya prabawa darah, yaitu uap darah yang disebut
ejaan, ejaan itulah yang melahirkan seorang bayi, setelah bayi itu lahir
maka prabawa menyatu dengan angan-angan juga atau mereka
mengatakan bahwa prabawa ialah “kekuatan nalar.”
7). Kamayan, yang digambarkan atau bentuk kasarnya jantung. Bentuk
halusnya pun menyatu dengan angan-angan, yag terletak di dalam
sanubari. Atau mereka menganggnapnya sebagai “kekuatan pengerti.”40
Kepercayaan terhadap manusia pertama dalam pandangan Pangestu ini
berbeda dengan angapan agama yang berkembang di Timur seperti Yahudi,
Kristen, dan Islam. Walaupun ajaran ini menyakini bahwa laki laki lah yang
pertama diturunkan akan tetapi tidak satu orang yang turun ke dunia ini.
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Sasangka Jati bahwa.
“yang disebut Adam itu sesungguhnya bahan bakal badan jasmani manusia, yaitu
bercampurnya empat macam anasir yang menjadi busana Roh Suci. oleh karena
semua manusia itu badan jasmaninya sama, yaitu terjadi dari empat macam
anasir, maka dapat disebut satu, artinya tunggal bahan bakalnya.”41
40
R.Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 51-
52. 41
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 45.
31
Dalam keterangan diatas bahwa, Adam yang dimaksud dalam ajaran ini,
bukanlah berupa seseorang, sebagaimana keretangan agama agama timur. Akan
tetapi sebuah bahan bakal manusia, yang akan menjadi busana Roh Suci42
. selain
itu pun, keyakinan akan manusia satu yang diturunkan dijelaskan pula.
B. Sejarah Aliran Kerohanian Sapta Darma
1. Riwayat Hidup Hardjosapuro
Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada bapak Hardjosapoero atau
mereka menyebutnya Bapak Panuntun Agung Sri Gutama43
pada masa kecilnya ia
bernama Sopoero, ia adalah anak pertama dari pasangan bapak Suhardjo dan ibu
Soelijah serta memiliki satu adik kandung seorang putri bernama Jatinah, ia
dilahirkan pada tanggal 27 Desember 1914 M, di desa Pare, Kec. Pare Kab. Kediri
Prop. Jawa Timur.44
Masa pendidikan yang ditempuh oleh pak Hardjosapoero tidak seperti
kebanyakan anak yang lainnya bisa menempuh pendidikan dengan baik. Setelah
meninggalnya bapaknya, Soeharjo pada tahun 1915. Ibunya, Soelijah pada saat itu
sedang mengandung anak keduanya, maka Hardjosapuro diasuh oleh kakeknya
yang bernama Kartodinomo. Pada tahun 1920 ia dimasukan oleh kakeknya ke
sekolah dasar dan tamat pada tahun 1925, setelah ia menamatkan sekolahnya
kakeknya meninggal sehingga ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang
42
Dalam penjelasan Ibu Titis bahwa Manusia itu tidak diturunkan Hanya satu saja yang
pertama, karena melihat yang dimaksud dengan Adam disini ialah bahan bakal manusia, jadi
manusia yang diturunkan ke bumi ini di setiap pulau ada, dan mereka saling berkembang yang
kemudian melahirkan banyak generasi di duina ini. (Wawancara Pada Tanggal 17 Nivember
2017). 43
Dalam penuturan bapak Soekanto gelar ini diberikan ketika beliau medapat wahyu.
(Wawancara Pada Tanggal 19 Februari 2018). 44
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama (Yogyakarta: Sanggar Candi Rengga-
Surokarsan Unit Penerbitan, 2010), h. 7.
32
lebih tinggi lagi, karena ia harus membantu ibu dan neneknya untuk mencukupi
hidup keluarga sehari-hari.45
Pada tahun 1939 tepatnya pada usia 25 tahun, Hardjosapoero
melaksanakan pernikahan dengan Nona Sarijem dari pernikahannya ini mereka
dikaruniai tujuh anak. Setelah menikah, nama Sopoero diganti dengan nama
Hardjosapoero. Untuk mencukupi kebutuhan kehidupan keluaraganya, bapak
Hardjosapoero bekerja sebagai tukang cukur dan menjadi pedagang kecil, jual beli
emas berlian. Selain itu, istrinya yaitu ibu Sarijem membantunya dengan berjualan
bunga.
Dalam menempuh jenjang pendidikan yang kurang begitu lancar dan ia
hanya bisa menjadi seorang tukang cukur dan pedagang, akan tetapi bapak
Hardjosapoero adalah orang yang sangat aktif dalam mengikuti perkumpulan dan
perjuangan rakyat. Pada tahun 1937 bapak Hardjosopoero aktif mengikuti
kegiatan organisasi Kepanduan Surya Wirana serta bergabung dan menjadi
anggota PARINDA (Partai Indonesia Raya) ketika itu, partai ini dipimpin oleh
Kasran. Akan tetapi, kegiatan partai ini tidak begitu mulus dan akhirnya
dibubarkan kala itu, oleh pemerintah Belanda. Dengan semangat untuk membela
tanah air berdirilah PARTINDO (Partai Indonesia) saat itu dipimpin oleh bapak
Danumihardjo yang merupakan seorang mentri taman siswa. Dengan berdirinya
partai ini Bapak Hardjosapoero pun ikut andil dalam perkumpulan ini dan menjadi
angota PARTINDO pada tahun 1945.46
45
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 8. 46
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 9.
33
Dalam kegiatan perjuangan Bapak Hardjosapoero ikut andil, salah satunya
mengikuti perang perjuangan kemerdekaan ke II. Kala itu, pemerintahan untuk
sementara kepemimpinan dipegang oleh militer karena itu, pada tahun 1948 s/d
1949 berdirilah KODM (Komando Onder Distrik Militer) dan PMKT
(Pemerintah Militer Kecamatan). Dengan berdirinya KODM dan PMKT Bapak
Hardjosapoero tidak tinggal diam, ia ikut andil dan aktif dalam formasi ODM di
kecamatan Pare, kab. Kediri, di bawah komando Komandan Letnan Darmon.
Setelah bergabung dalam Komando Letnan Darmon satu tahun kemudian
berdirilah RIS (Republik Indonesia Serikat) maka segala Laskar Perjuangan harus
kembali kepada induknya masing-masing, maka dengan adanya hal ini bapak
Hardjosapoero pun kembali menjadi masyarakat bisa.
Selain dalam pengalaman kehidupan yang bersifat keduniawian, Bapak
Hardjosapoero memiliki pengalaman kehidupan yang bersifat kerohanian. yang
membuatnya lebih mendekat dengan Tuhan. Sehari sebelum bapak Hardjosopoero
mengalami peristiwa yang luar biasa, pada tanggal 26 Desember 1952 ia sangat
merasa gelisah, bahkan seharian ia berada dirumah dan tidak bekerja sebagaimana
biasanya tukang cukur. Kegelisahan ini terus membayanginya sampai pada pukul
24.00 WIB setelah berliau pulang menghadiri undangan pernikahan temannya.
Ketika pukul 01.00 WIB47
ketika beliau sedang tiduran di ruang tamu, tiba-tiba
badan beliau dibangunkan dan digerakan oleh suatu daya berupa getaran yang
sangat kuat di luar kemauannya, kemudian getaran itu menempatkan diri
Hardjosopoero dengan duduk sila menghadap ke timur dan kedua tangan
bersidakep. dengan pasrahnya karena tidak dapat melawan getaran dan gerakan
47
Ini telah masuk waktu tanggal 27 Desember, diamana pak Hardjosapuro mendapatkan
wahyu pada tanggal ini. Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya (Jogjakarta,
Laksana, 2014), h. 85.
34
tersebut, ia menyerah dan bersedia mati pada saat itu pula48
. Di luar dari
kemampuannya, ia tiba tiba mengucap dengan suara yang sangat keras.49
“ALLAH HYANG MAHA AGUNG,
ALLAH HYANG MAHA ROKHIM,
ALLAH HYANG MAHA ADIL”
Kemudian esok harinya ia mendatangi rumah temannya untuk
memberitahu kejadian yang semalam ia alami. Sesampainya di rumah temannya,
tiba-tiba ia bersama temannya itu digerakan kembali untuk melakukan sujud,
seperti peristiwa yang ia alami semalam. Kejadian seperti ini berulang ketika
bapak Hardjosapoero menemui teman-temannya sebanyak enam kali.
Setelah mengalami kejadian digerakannya seluruh tubuh untuk melakukan
sujud. pada tanggal 13 februari 1953, bapak Hardjosapoero tiba-tiba
diturunkannya kembali wahyu, agar ia melakukan apa yang disebut “racut” yaitu
mengalami mati dalam hidup. Dalam proses racutnya dikatakan bahwa bapak
Hardjopoero pernah terlepas dari badan wadag dan pergi keatas masuk ke sebuah
gedung besar dan indah, kemuadian bertemu dengan sesorang yang begitu
bersinar dan mendatangi beliau, lalu beliau diayun-ayunkan. Setelah itu, ia
diantarkan menuju sebuah sumur yang penuh dengan air, yang disebut sebagai
sumur Gumuling dan Sumur Jalatunda. Dan pada akhirnya ia diberi dua buah
keris dengan nama Nogososro dan Bendo Segodo.50
Ini lah yang dinamakan
sebuah proses dari pada Racut yaitu mati dalam hidup, yang diajarkan oleh bapak
Hardosapoero. Setalah wafatnya bapak Hardjjosapoero, pada tanggal 16
48
Dalam penjelasan Pak bahawa pelaksanaan penerimaan wahyu ini atau pengerakan
tubuh pak Hardjosapoero (Sujud) berlangsung sampai jam lima pagi. (Wawancara pada tanggal 16
Februari 2018). 49
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 12. 50
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 16.
35
Desember 1964 sekirtar pukul 12.10 WIB.51
kemudian kepemimpinan dialih
kepada Ibu Sri Pawenang.52
2. Berdirinya Aliran Sapta Darma.
Pada tanggal 17 Maret 1959 Ajaran Sapta Darma secara badan hukum
telah dilegalkan dan membentuk sebuah organisasi yang mewadahi penganut
ajaran ini yang disebut dengan “Persatuan Warga Sapta Darma, (Persada)”, yang
didirikan pada tanggal 27 desember 1986 di Yogyakarta.53
Ajaran ini diberi nama Sapta Darma karena mengandung tujuh macam
Wewerah Suci,54
yang menjadi sebuah kewajiban bagi penganut Ajaran Sapta
Darma untuk tidak meninggalkannya. Sapta Sendiri diartikan sebagai tujuh
kewajiban, atau tujuh amalan suci. dalam pandangan Kamil Kartapradja
mengartikan Sapta Darma adalah tujuh tuntunan atau tujuh pedoman.
Sebelum menggunakan kata “aliran kepercayaan” ajaran Sapta Darma ini
dulu mengunakan kata “Agama” dalam penamaan ajaran mereka yaitu “Agama
Sapta Darma”. Menurut bapak Hardjosapoero istilah “Agama” bagi ajaran Sapta
Darma” itu memiliki arti tersendiri dan khusus, yaitu :
A : Asal Mula Manusia
GA : Gama atau Kama (Air Suci)
MA : Maya atau sinar Cahaya Tuhan
51
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 95. 52
Sri Pawenang ialah R.A Soewartini Martodihardjo, S.H, ia meadalah mahasiswa
lulusan fakultas Ilmu Hukum UGM. Ia merupakan salah seorang yang menggantikan posisi
kepemimpinan secara organisasi bapak Hardjosapoero. Setelah kepergian bapak panuntun maka
segala ururan organisasi dan ritual keaagamaan serta ekspansi aliran ini dibawah tangganggung
jawab beliau. Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 28. 53
Pendirian ini sesuai dengan ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang bertujuan secara internal untuk membina kerukunan Warga Sapta Darma
dan secara eksternal membina hubungan yang harmonis dengan pemerintah dan seluruh elemen
kemasyarakatan Indonesia. Sri Pawenang, Profil Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta, Sapta
Darma), h. 10. 54
Suwarno Imam. S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
h. 234.
36
Jadi, definisi “agama” menurut pandangan Sapta Darma ialah “Asal mula
manusia dari kama dan maya.”55
Akan tetapi sejak dikeluarkannya PANPRES no.
1/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan pedoman agama, nama “Agama
Sapta Darma”diganti menjadi “Kerohanian atau Aliran Kepercayaan Sapta
Darma.”56
Semenjak bapak Hardjosapoero mendapatkan wahyu yang pertama. Ketika
itu, ia telah menyandang gelar Resi Brahmono, kemudian pada tanggal 27
Desember 1955 gelar itu ditingkatkan lagi menjadi Sri Gutama sebagai gelar
tertinggi yang didapatkannya dan pada akhirnya bergelar Panuntun Agung Sri
Gutama.
Sapta Darma yang didirikan atas perintah Allah Hyang Maha Kuasa,
secara tidak langsung terbentuklah susunan tuntunan agung yang terdiri dari :
1) Panuntun Agung Sri Gutama (Pak Hardjosapoero)
2) Juru bicara Tuntunan Agung (Ibu Sri Pawenang), Sekaligus sebagai
Tuntunan wanita, yang berwenang menyiarkan dan memberikan
keterangan mengenai Ajaran Sapta Darma.
3) Staf Panuntun Agung Sri Gutama (Soedomo Poerwodihardjo), yang dapat
membantu Panuntun Agung maupun juru bicara Panuntung Agung dalam
melaksanakan tugasnya.57
Berikut ini adalah tugas-tugas pokok Tuntunan Agung, yang bersumber
pada Panuntun Agung Sri Gutama, secara tertulis maupun tidak tertulis :
55
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 23. 56
Abas Sambas. Konsepsi Wahyu Dalam Ajaran Sapta Darma (Jakarta: Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 22-23. 57
Abas Sambas. Konsepsi Wahyu Dalam Ajaran Sapta Darma, h. 23-24.
37
1) Mampu tidaknya Tuntunan melaksanakan tugasnya adalah tergantung pada
kemauan, keinsyafan dan keikhlasan.
2) Menjadi Tuntunan berarti mengabdi pada warganya, untuk memenuhi dan
mengajar, serta membimbing para warganya untuk berdarma dalam
hidupnya, demi tercapainya cita-cita luhur Satria Utama.
3) Usahakan tugas Tuntunan harus dilaksanakan.
4) Para Tuntunan dapat berdarma sesuai dengan kemampuan dari nafsu, budi
dan Pakartinya.
5) Tuntunan harus melakukan mengadakan penyelidikan dan penelitian
terhadap pengelolahan dan pelaksanaan ajaran kerohanian Sapta Darma.
6) Fatwa yang tertulis ialah yang dilaksanakan pada tanggal 1 s/d 8 Februari
1964 dalam rangka mengembangkan dan menentukan sujud pengalian
intisari kerohanian Sapta Darma.
Secara organisasi mereka memiliki tujuan untuk melindungi dan
menunjang kegiatan warga dalam melaksanakan penghayatan Sapta Darma. Ada
pun tujuan kerohanian sapta darma ialah memayu-hayuning bagya bawana, yang
berarti membimbing manusia untuk mencapai kekebahagiaan hidup didunia dan di
alam langgeng.58
Sebagai sebuah organisasi yang menaungi para penganut Ajaran Sapta
Darma (PERSADA) memiliki suatu fungsi sebgai pelindung dan penunjang
kegiatan warganya dalam beberapa hal seperti :
58
Mega Rumawati, Keberadaan Aliran Kejawen Sapta Darma; Studi kasus dipersatuan
Warga Sapta Darma di Kendal (Semarang; Fakultas Sosoiologi dan Antropoligi Universitas
Negeri Semarang, 2011), h. 33.
38
1) Peningkatan pemahaman, penghayatan dan pengalaman ajaran kerohanian
Sapta Darma secara murni.
2) Peningkatan penghayatan dan pengamalan pancasila dan UUD 1945.
3) Penyampaian usul dan saran kepada pemerintah tentang seseuatu yang
berhubungan dengan tugas pokok Persada hasil usaha menggali dan
lestarikan budaya spiritual bangsa.
Dalam proses penyebaran ajaran Sapta Darma bapak Panuntun Agung Sri
Guntama memiliki cara agar ajaran ini bisa agar bisa selaras dan serasi dengan
kondisi kebudayaan setempat maupun bangsa indonesia, yaitu dengan semboyan
“Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung” adapun maksud dari semboyan
diatas ialah.
1) Melaksanakan Tugas Peruwetan di tempat-tempat keramat secara terbuka,
warga masyarakat secara langsung mengetahui.
2) Melalui Sarasehan-sarasehan, ceramah-ceramah yang terus menerus
dilakukan di seluruh pelosok tanah air Indonesia.
3) Dengan jalan sabda Usada, yaitu penyembuhan di jalan Tuhan,
memberikan pertolongan orang-orang yang menderita atau dalam
kegelapan setelah mereka sembuh dari pederitaan atau kegelapan, lalu
sebagian mengikuti jejak dan perjalanan Bapak Panuntun Agung Sri
Gutama, mengahayati dan melaksanakan ajaran Agama Sapta Darma.
Dalam proses penyebaran ajaran Sapta Darma ternyata tidak semudah
yang dibayangkan, banyak sekali rintangan-rintangan yang dilalui oleh bapak
Hardjosapoero, mulai dari ejekan-ejekan, cemoohan dan lain sebagainya. Namun
semua rintangan itu diterima dengan penuh ketenangan dan kesabaran serta
39
kekembiraan. Hanya berkat ketabahan itulah akhirnya Hyang Maha Kuasa
mengizinkan Ajaran Sapta Darma berkembang dengan subur dan cepat. proses
penyebaran ini berkembang dengan pesat antara tahun 1956 sampai 1960 hanya
waktu empat tahun ajaran ini telah menyebar ke seluruh Nusantara59
.
Setelah wafatnya Panuntun Agung pada tanggal 16 Desember 1964, pusat
pimpinan Sapta Darma dipindahkan dari Kediri ke Yogyakarta yang bertempat di
Surokarsan yang bernama Candi Sapta Rengga. Berkat penunjukan dari Tuhan
maka terpilihlah Ibu R. A Soewartini Martodihardjo, S.H, yang merupakan
lulusan mahasiwa UGM Fakultas Hukum. Menjadi pimpinan Sapta Darma dengan
gelar Panuntun Agung Sri Pawenang. Semenjak kepemimpinan di pimpin oleh Sri
Pawenang perkembangan Sapta darma pun semakin meningkat.60
Bahkan sampai
sekarang ajaran ini masih berkembang dan mendapat kedudukan yang bagus
setelah ada izin dari pemerintah Indonesia.
3. Pokok Ajaran Sapta darma
a). Konsep Ketuhanan
Sapta Darma merupakan sebuah aliran kebatinan yang didalamnya
terdapat ajaran tentang keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran
ini konsep ketuhanan atau ajaran tentang Allah begitu singkat, dinyatakan oleh Sri
Pawenang bahwa :
“Tuhan yang juga kami sebut Yang Maha Kuasa atau Allah atau Sang Hyang
Widi, ialah Zat mutlak yang tunggal, pangkal segala sesuatu, serta pencipta
segala yang terjadi serta mempunyai lima sifat keagungan mutlak, ialah : Maha
Agung, Maha Rakhim, Maha Adil, Maha Wasesa (Maha Kuasa) dan Maha
Langgeng (Maha Kekal).61
”
59
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 30-31. 60
As’ad El Hafidy, Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia (Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1982), h. 165-167. 61
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 99.
40
Dalam ajaran Sapta Darma menyebutkan bahwa Allah adalah Zat yang
mutlak, yang merupakan pangkal dari segala sesuatu dan pencipta segala yang
terjadi dalam alam ini. Ketika mendengar sebutan Zat yang Mutlak, ini medapat
kesan bahwa Tuhan adalah Mutlak dan yang Mutlak ialah yang bebas dari segala
hubungan. Tetapi, apabila mengingat akan tambahan pencipta segala yang terjadi,
terdapat kesan bahwa Tuhan itu berpribadi, yaitu pencipta diartikan sebagai yang
menjadikan segala sesuatu tanpa bahan.
Konsep tentang ketuhanan yang dijabarkan oleh Ajaran Sapta Darma
tidak begitu panjang, sebagaimana halya Aliran kebatinann yang lainya tidak
terlalu detail untuk menjabarkan ajaran mengenai apa dan siapa Tuhannya
maupun tentang manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Ajaran Sapta darma ini
hanya menenkankan mengenai tentang Sujud. sujud bagi mereka sebuah jalan
untuk berbakti kepada Tuhan serta bersekutu dengan-Nya.
Tuhan memang diakui akan keberadaannya dalam Ajarran ini, bahkan
dalam pernyataannya cita-cita ajaran Sapta Darma memberi sebuah bukti dan
kesaksian keberadaan serta ketunggalan Tuhan. Bagi ajaran ini sendiri Tuhan
ialah tunggal62
. Tetapi tidak ada kerangan lebih dan lebih dalam mengenai,
bagaimana sifat-sifatnya, bagaimana proses penciptaan alam ini lebih dalam dan
bagaimana sikapnya terhadap alam dan manusia. Selain itu pun, ajaran ini tidak
memberi kejelasan apakah Tuhan itu teistis atau panteistis, transenden ataukah
imanen, serta apakah tunggalnya itu tiga atau tunggalnya itu mutlak. Sehingga
begitu kabur untuk mendalami konsep ketuhanan dalam ajaran ini, tetapi ada satu-
satunya yang menjadi sebuah keterangan tentang Tuhan. ialah sebagaimana
62
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, (Yogyakata, Yayasan Pusat Srati
Darma, 1964), h. 10.
41
perkataan Sri Pawenang bahwa Tuhan itu memiliki sifat lima dan mereka
menamainnya dengan Pancasila Tuhan, ialah Allah Maha Agung, Allah Maha
Rokhim, Allah Maha Adil, Allah Maha Wasesa, Allah Maha Langgeng.63
Sifat
keluhuran atau perwujudan ini terbentuk dalam lima perkara yang tadi, ada pun
lima perkara tersebut adalah hakikat yang tidak bisa diserupai atau menyerupai-
Nya, yaitu :
1) Allah Yang Maha Agung, maksudnya tidak ada satupun yang memiliki
sifat yang sama dengan Allah tersebut. Maka dari itu manusia harus
memiliki watak budi luhur terhadap sesama manusia, seperti apa yang
dimiliki sifat oleh Allah Yang Maha Agung.
2) Allah Yang Maha Rokhim, makdunya ialah tidak ada yang menyerupai
akan kasih sayang Tuhan. maka dari itu manusia harus memiliki dan
menanamkan watak kasih sayang kepada sesama manusia.
3) Allah Yang Maha Adil, Ialah tidak ada yang dapat menyamai keadilan
Allah. Maka manusia harus bisa sifat adil terhadap manusia dan tidak
boleh untuk membeda-bedakan manusia.
4) Allah Yang Maha Wasesa, ialah Allah merupakan penguasa alam dan
tidak ada yang dapat menyerupai kekuasaannya. Maka dalam hal ini
manusia diberikan kekuasaan agar dapat memenuhi kebutuhan jasmani
dan rohani.
5) Allah Yang Maha Langgeng, itu maksudnya ialah sifat abadinya Allah,
Allah memiliki sifat abadi dan tidak ada yang dapat menyamai keabadian-
Nya. Maka dari ini, manusia harus memiliki sifat keabadian rohani dari
63
Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1996), h. 140-141.
42
rohani asal sinar cahaya Allah dan jamani dari sari-sari bumi. Serta
manusia harus bisa memiliki sifat budi luhur.64
b). Konsep Manusia.
Konsep manusia dalam ajaran Sapta Darma digambarkan dalam bentuk
simbol ajaran ini yang diterima pada tahun 12 Juli 1945.65
Konsep ajaran tentang
manusia ini pada dasarnya sebagai sarana untuk mengenal pribadi manusia.
Berbeda dengan kebanyakan aliran kepercayaan yang memang kurang begitu
mensakralkan simbol yang mereka miliki, dalam ajaran ini justru simbol atau
lambang dari ajaran ini menjadi sebuah konsep asal muasal manusia dan sifat-
sifatnya, serta pengaruhnya yang terjadi pada manusia itu sendiri (nafsu, budi
pekerti) adapun penjelasan tentang simbol sebagai ajaran asal mula manusia yaitu
sebagai berikut :
Lihat gambar no 8.
Dalam lambang Sapta Darma terdapat bentuk segi empat belah ketupat
yang mengambarkan asal manusia. Pada bagian belah ketupat itu memiliki empat
sudut, yaitu satu di atas, satu di bawah dan satu di seblah kanan dan kiri. Sudut
yang berada di atas itu mengambarkan sinar cahaya Allah, sudut yang di bawah
mengambarkan sari bumi, sedangkan sudut kanan dan kiri, mengambarkan
perantara terjadinya manusia, yaitu Adam dan Hawa atau bapa dan ibu.66
Warna yang berada di tepi belah ketupat itu berwanrna hijau tua, yang
mengambarkan badan jasmani atau badan wadag. Sedangkan warna dari belah
ketupat itu berwarna hijau muda, yang mengambarkan sinar cahaya Allah, yaitu
64
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 22 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah. html. 65
Budi Darmadi, Profil Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta, Sapta Darma), h. 4. 66
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 22.
43
hawa atau getaran. Hal ini menyatakan bahwa di dalam badan jasmani terbabar
sinar cahaya Allah. Mereka menyebutnya dengan rasa atau roh.67
Di dalam belah ketupat terdapat satu segi tiga sama sisi, yang kemudian di
bagi lagi menjadi tiga segitiga sama sisi dengan ukuran yang lebih kecil. ketiga
segitiga itu berwarna putih yang mengambarkan terjadinya manusia dari
Tritunggal, yaitu Sinar Cahaya Allah, air sari (sperma) dari bapa, air sari (telur)
dari ibu. Selain itu mereka menyebut Tritunggal dengan Nur cahaya, Nur Rasa
dan Nur Buat.68
Dari ketiga segitiga itu memiliki sembilan sudut, yang mengambarkan
sembilan lubang manusia, yaitu dua di mata, dua ditelinga, dua di hidung, satu di
mulut, satu di dubur dam satu berada di kelamin.
setelah itu, terdapat empat lingkaran sepusat dengan warna hitam, merah,
kuning dan putih, yang mengambarkan empat nafsu, yaitu Lauwamah, Ammarah,
Suwiyyah dan Mutmaninah. Selain itu, bentuk lingkaran ini menujukan bahwa
hidup manusia itu akan berubah ubah (tansah eweh gingsir), sama dengan roda
yang berputar (cakra manggilingan). Pada dasarnya hidup manusia akan kembali
kepada asalnya, apabila seseorang mencermikan budi luhur maka roh manusia
kelak akan kembali kepada Yang Maha Kuasa di dalam alam yang kekal. Badan
jasmani ini akan dkembalikan ke asalnya yaitu bumi. Dari pada itu, diterangkan
bahwa warna hitam, mengambarkan hawa hitam yang keluar dari mulut, seperti
orang yang mengucapkan kata kata jahat. Warna merah mengambarkan hawa
yang keluar dari telinga, misalkan orang yang marah. Sedangkan warna kuning
67
Harun Hadiwijono, Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 111. 68
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 102.
44
mengambarkan bahwa hawa kuning yang keluar dari mata, seperti seseorang yang
menginginkan segala sesuatunya. Terakhir warna putih, yang mengambarkan
tindakan suci yang sebagian besar keluar dari hidung. 69
Lingkarang yang berpusat berwarna putih, yang bersisi gambar Semar,
mengambarkan lubang manusia yang kesepuluh berada di ubun-ubun. Warna
putih mengambarkan Nur Chaya atau Nur Petak (Sinar Cahaya), maksudnya ialah
hawa yang suci (Hyang Maha Suci), yang memiliki kecakapan untuk berhubungan
langsung dengan Allah Yang Maha Kuasa.70
Gambar semar yang terdapat dalam lambing ini megambarkan sikap Budi
Luhur. Dalam pengambarannya Semar sedang menggenggam sesuatu dengan
tangan kirinya, yang berarti ia memiliki rasa yang mulia (roh). Selain itu pun ia
memiliki pusaka, yang berarti ia memiliki sabda yang kuasa, yang berada pada
kata kata yang diucapkan dengan suci. Selain itu pun semar mengenakan kumpuh
(Kain) yang memiliki lima lipatan (wiron), yang berarti ia menjalankan Panca
Sila Allah.
Dan yang terakhir di dalam belah ketupat terdapat tulisan Sapta Darma,
yang berarti tujuh kewajiban, dan yang harus dilakukan oleh pengikut Sapta
Darma. Selain itu, terdapat tulisan nafsu, budi dan pakarti. Hal ini menujukan
bahwa kepribadian manusia itu memiliki nafsu yang baik dan yang jahat, serta
memiliki budi dan pikiran71
.
Dalam Ajaran Sapta Darma manusia dipandang sebagai satu kombinasi
dari roh dan benda. Roh merupakan jiwa manusia yang berasal dari sinar cahaya
Allah, yang dipandang sama dengan hawa murni yang ada di seitar dan di dalam
69
Harun Hadiwijono, Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, h. 112. 70
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 26. 71
Harun Hadiwijono, Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, h. 112.
45
manusia, yang memberikan hidup kepada manusia. Sinar Cahaya Allah mereka
menyebutnya juga dengan Roh Suci. sedangkan benda ialah tubuh manusia yang
terdiri dari sari bumi. Kombinasi antara Roh dengan benda ini terjadi melalui
perantara Adam dan Hawa, bapak dan ibu, sehingga dari hal ini terjadilah proses
yang dinamakan dengan ketritunggalan. Maksud dari tritunggal dalam Ajaran
Sapta Darma ialah bersatunya Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya), sari bapak (Nur
Rasa), sari ibu (Nur Buat).
Dalam hal ini, manusia mendapatkan tiga getaran diantaranya getaran dari
Sinar Cahaya Allah atau bisa dikatakan getaran dari hawa murni. Yang kedua,
getaran yang membuat di dalam manusia dapat memberikan hidup. Yang ketiga,
getaran yang membuat menusia dapat menyembah Allah Hyang Maha Kuasa.
Gerataran yang ada dalam diri manusia ini pada dasarnya, berasal dari gerataran
binatang dan tumbuh-tumbuhan karena manusia memakan makanan yang
mengandung daging-dagingan dan sayur-sayuran.72
Tidak hanya geratan yang terdapat dalam tubuh manusia, akan tetapi ada
yang disebut dengan Radar. Dikatakan radar itu terdiri dari tiga belah ketupat
yang tempatnya berada di dalam dada, pada setiap belah ketupat terdapat getaran
yang berwarna dan hal ini menjadi sebuah ciri khasnya, dalam ajaran ini
menyebutnya dengan saudara 12 (dua belas). Adapun penjabarannya ialah :
“Hyang Maha Suci, berpusat di ubun-ubun, Hyang Maha Suci ini bisa
berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa. Premana, bertempat di dahi diantara
dua kening, dia mempuanyai kekuatan atau kemampuan untuk melihat hal hal
yang tida dapat dilihat oleh mata biasa. Jatingarang73
, atau dinamakan Sukma
jatia yang bertempat di bahu kiri. Ganarwaraja74
, yang bertempat di bahu kanan
72
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 29. 73
Dalam penjelasan dari Pak Sukanto Jatingarang ialah sebutan mengenai cara
perhitungan untuk menemukan waktu yang tepat guna perpindahan, penyembuhan dan sebagainya. 74
Dalam penjelasan Pak Sukanto Gandarwaraja dalam pewayangan disebut rasa raksasa.
46
dan mempunyai sifat kejam. Bromo75
, bertempat di tengah-tengah dada dan
bersifat pemarah. Bayu, bertempat di susu kanan dan bersifat teguh dan
konsekuen. Endra, bertempat di susu kiri dan mempunyai sifat pemalas.
Mayangkara, bertempat di pusar mempunyai sifat keras. Sukama Rasa, bertempat
di pinggang kiri dan kanan serta mempunyai sifat halus perasaan. Sukma
kencana, yang berempat ditulang tungging, sumber kebirahian. Nagatahun,
disebut juga sukma naga bertempat di tulang belakang yang mempunyai sifat
seperti ulat. Bagindakilir, atau disebut nurasa, bertempat di ujung jari, sifatnya
bergerak dan dapat untuk menyembuhkan penyakit.76
”
Dari sifat sifat tersebut dikelompokan menjadi empat nafsu yaitu
Mutma’innah (Berwarna hitam), Sufiah (berwarna merah), Lauwwamah
(berwarna kuning) dan Amarah (berwarna putih). Adapun penjelasaannya sebagai
berikut :
a) Mutma’innah, tercipta dari unsur suasana, benda panas. Yang memiliki watak
terang, suci dan belas kasih.
b) Sufiah, tercipta dari unsur air, bentuk kasarnya berada di dalam tulang
sumsum, adapun hasilnya sufiah menjadi kehendak. Pada dasarnya nafsu
sufiah ialah nafsu yang menyebabkan keinginan atau kebirahian.
c) Lauwwamah, nafsu ini tercipta dari unsur bumi yang berada dalam daging
manusia, watak dari sifat lauwwamah ialah jahat, malas, tamak, loba tidak
tahu soal kebaikan kepasa sesama manusia. Akan tetapi apabila sifat atau
nafsu ini dapat di tundukan atau sudah tunjuk, maka sifat atau nafsu ini akan
menjadi dasar sifat perdamaian.
d) Amarah, tercipta dari unsur api, yang bentuk kasarnya itu berada di dalam
darah yang mengalir didalam tubuh manusia, adapun wataknya mudah gugup,
beringas, murka.77
75
Dalam Penjelasan Pak Sukanto Bromo ialah dewa yang mukanya berwarna merah
bagaikan api. (Wawancara pada tanggal 16 Februari 2018). 76
Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan, h. 142-143. 77
Harun Hadiwijono, Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa, h. 112.
47
c) Konsep Penciptaan alam atau kosmologi
Sebagai sebuah aliran yang mengedepankan persujudan untuk dapat
kembali kepada Tuhannya, ajaran ini tidak berbicara banyak tentang proses
terjadinya alam semesta, merka hanya menyakini bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah Hyang Maha Kuasa dan manusia itu terlahir dari air sari
ayah (sperma), air saridari ibu (telur) dan Nur Cahaya yang berasal dari Tuhan,
dengan ini mereka menyebutnya dengan Tritunggal. Maka dari proses ke-
Tritunggalan inilah manusia dapat diciptakan.
48
BAB III
AJARAN DAN PRAKTEK RITUAL PANGESTU DAN SAPTA DARMA
A. Konsep Ajaran dan Praktek Ritual Pangestu
Pangestu merupakan sebuah aliran kebatinan1 yang di dalamnya terdapat
ajaran tentang Mistisisme. Sebagaimana arti singkatan dari Paguyuban Ngesti
Tunggal, ialah semangat upaya batiniah yang didasari dengan upaya permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk bersatu kembali dengan Tuhan.2 Maka Menurut
ajaran Pangstu tujuan hidup manusia ialah bertunggal dengan Sang Maha Hidup,
yaitu Suksma Kawekas.3 Proses untuk menuju kebertunggalan dengan Tuhan, dalam
ajaran ini melalui Panembah (Ibadah)4. Panembah Ialah sebuah tanda bakti dan
ikatan kesadaran keberadaan Tuhan semesta alam (Tri Purusa)5. Sebelum seseorang
tersebut bermanembah, diwajibkan untuk menjalani atau melaksanakan Hasta Sila
(delapan macam Panembah Batin) terlebih dahulu sebagai tahap awal.
1 Sebagaimana BKKI dalam Kongres pertama bahwa memtuskan definisi Kebatinan ialah
sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawono. selain itu, dalam keputusan MPR RI
Nomor IV/MPR/1973-22 maret 1973. 2 Budi Darmadi, Profil Paguyuban Ngesti Tunggal (Jakarta, Paguyuban Ngesti Tunggal,
2014), cet-ke 3, h. 5. 3 Dalam Ajaran Pangestu mereka menyebutkan Sang Pemilih Hidup (Tuhan) dengan Suksma
Kawekas. Budi Darmadi, Profil Paguyuban Ngesti Tunggal, h. 6. 4 Ada pun, Panembah disini berbeda dengan praktek peribadatan mereka yaitu melaksanakan
solat sehari dua kali atau tiga kali dengan gerakan-gerakannya, Melainkan hal yang bersifat ke ranah
ruhaniah atau keyakinan sebab hal tersebut di sebut menembah pula. 5 Tri Purusa ialah Suksma Kawekas, Sukma Sejati, dan Roh Suci. Puji, Panembah (Jakarta:
Tanpa penerbit, tanpa tahun ), h. 1.
49
1. Hasta Sila
Hasta Sila (delapan macam panembah batin)6 ialah ajaran Sang Guru Sejati
yang menuntun manusia kepada ke kebahagiaan yang sempurna atau yang hakiki.
Selain itu, menjadi kunci inti dalam konsep mistisime Pangestu, maka seorang siswa
harus bisa mengamalkan dan mendalami Hasta Sila, sebagai proses dalam Panembah.
Ada pun, Hasta Sila terdiri dari dua bagian, yaitu Tri Sila dan Panca Sila.
a) Tri Sila
Tri Sila ialah tiga macam Panembah hati dan cipta kepada Tripurusa (Suksma
Kawekas, Suksma Sejati, Roh Suci), atau sebuah kesanggupan yang harus
ditanamkan dalam hati dan dilakukan setiap hari oleh manusia. sebagai bukti
kebaktiannya kepada Tuhan dari hati dan ciptanya dengan sadar, peraya (iman) dan
taat7. Bisa dikatakan bahwa Tri Sila ialah sikap batin manusia kepada Tripurusa
(Tuhan Yang Maha Esa) agar dapat mencapai kebahagiaan di akhirat bersatu dengan
Tuhan, juga sebagai kompas, letak sembahan yang sejati.8 Maka para siswa Pangestu
wajib melaksanakan dan memahami Tri Sila sebagai sebuah sikap manusia kepada
Tuhannya. Tri Sila terdiri dari tiga yaitu :
1) Sadar
Yang dimaksud sadar, ialah bakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal,
keadaan yang Maha Tunggal disebut dengan Tripurusa9. Dalam hal ini Tripurusa
harus selalu ditanamkan setiap saat, dimana dan dalam keadaan apapun, agar menjadi
6 R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati ( Jakarta :
Paguyuban Ngesti Tunggal, 2014), Cet-ke 14, h 5. 7 R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 7.
8 Titis Bambang, Hasta Sila (Jakarta: tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 1.
9 Artinya keadaan satu yang bersifat tiga (Suksma Kawekas, Suksma Sejati, Roh Suci)
50
sebuah kebiasaan. Dengan itu, seseorang senantiasa sadar, maka harus melakukan
Panembah dengan kebulatan hati yang hening dan suci. kesadaran akan keberadaan
Tripurusa yang kekal ini, akan menuntun manusia kepada watak bijaksana, serta
bersifat waspada, dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, serta yang
nyata dan yang bukan.10
Lebih sederhananya sadar ialah menyadari akan keberadaan
Tripurusa dalam diri seorang siswa.
2) Percaya (Iman)
Kepercayaan merupakan alat yang paling penting atau tali yang kuat, yang
dapat menghubungkan rasa antara hamba dengan Tuhan11
. Percaya Suksma Kawekas
berarti percaya kepada Suksma Sejati, sebab Suksma Sejatilah yang telah menuntun
hamba. Apabila tidak ada kepercayaan yang kuat terhadap Tripurusa, seakan-akan
telah memutuskan tali perhubungan antara hamba dengan Tuhan.
“Ketahuilah, bahwa sejatimu (Roh Suci) itu satu dengan Suksma Sejati (Guru Sejati)
dan Suksma Kawekas (Tuhan Sejati). Jadi, apabila engkau tidak mempunyai
kepercayaan, engkau seakan-akan memutus tali rasa yang menghubungkan engkau
dengan Dia.”12
3) Taat
Taat ialah mematuhi segala perintah Tuhan, dengan melalui Utusan-Nya
(Suksma Sejati), yang menjadi penuntun serta Guru Sejati. Selain itu pun, Taat berarti
niat melaksanakan tugas Sang Guru Sejati. Karena semua perbuatan baik akan
membawa kekesejahteraan bagi segenap manusia13
. Selain itu pun, Taat ialah
10
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa (Jakarta : Paguyuban Ngesti
Tunggal, 2015), Cet-ke 8, h. 29. 11
Budi Darmadi, Profil Pangestu, h. 26. 12
R. Tumengung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 9 13
Budi Darmadi, Profil Pangestu, h. 27.
51
melaksanakan segala apa yang telah dikasih oleh Tuhan dan tidak menginginkan hal
yang lebih dari apa yang telah dikasih oleh Tuhan14
.
“Janganlah engkau tergesah-gesah ingin mengerjakan tugas yang besar, atau
berharap-harap datangnya tugas besar, sebab tugas besar jarang datang, yang pasti
engkau jumpai adalah tugas yang kecil-kecil. Janganlah engkau meremahkan tugas
yang kecil-kecil itu, sebab apabila belum terbiasa mengerjakan tugas yang mudah,
bagaimana engkau mengerjakan tugas yang sukar. Oleh karena itu, segala sesuatu
yang ada ditanganmu, laksanakannlah dengan kesungguhan hati yang suci, niatkan
atas karsa Tuhan, sebeb tidak ada tugas didunia ini, yang tidak atas karsa Tuhan,
meski tampaknya remeh sekalipun.”15
Dari pelaksanaan Tri Sila, yaitu sadar, percaya dan taat, membawa hasil
tersendiri. Dimana dari “Sadar” itu akan menjelma menjadi kebijaksanaan. Maka
manusia harus mempergunakan kebijaksanaan ini untuk membersihkan diri dan
menaiki derajat kesiswaanya. Sedangkan, dari “Percaya” akan menjelma menjadi
“kekuasaan”. Kekuasaan ini harus dipergunakan sebagai pengendali angan-angan
untuk menghilangkan rasa negatif, rasa benci, sakit hati, mendongkol, putus asa, dan
lain sebagainya. Dan pada akhirnya “taat” membawa kemauan manusia kepada
tingkat kehendak Suksma Kawekas. Maka dari, itu kemampuan yang ditimbukan dari
“taat” harus dipergunakan untuk melaksanakan cita cita siswa dengan Suksma
Sejati.16
b). Panca Sila
Tri Sila tidak akan menjadi sempurna apabila seseorang tidak menanamkan
lima macam watak keutamaan, mereka menyebutnya dengan Panca Sila. Panca Sila
ialah sikap batin manusia terhadap sesama manusia dalam bermasyarakat, agar dapat
mencapai kekebahagiaan hidup di dunia. selain itu, Panca Sila ialah lima watak yang
14
Titis Bambang, Hasta Sila, h. 2. 15
R. Soenarto Mertowerdojo dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 10. 16
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 29.
52
dapat melaksanakan tiga sikap jiwa (Tri Sila)17
. Sebagaimana yeng diterangkan dalam
Sasangka Jati.
”Supaya dapat dengan sempurna melaksanakan tiga macam kesanggupan tersebut,
engkau wajib berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat meiliki lima macam
watak atau prilaku yang baik, yaitu : rela, narima, jujur, sabar, dan budi luhur.18
Panca Sila harus ditanamkan pada setiap siswa agar bisa menjalani Tri Sila
dengan sempurna, adapun lima macam watak berprilaku baik ialah:.
1) Rela
Rela ialah ketulusan hati menyerahkan segala milik, hak dan semua hasil
karyanya kepada Tuhan dengan ikhlas, karena menyadari bahwa semua itu ada
didalam kuasa Tuhan.19
orang yang memliki watak rela tidak patut mengaharapkan
sebuah imbalan atas apa yang telah diperbuatnya, serta bersusah hati dan berkeluh
kesah terhadap semua penderitaan dan kesengsaraan yang sedang ditimpanya.
“orang yang mempunyai watak rela, tidak sepatutnnya mengharapkan imbalan atas
jerih payahnya, apalagi sampai bersusah hati dan berkeluh kesah mengenai semua
penderitaan yang lazim di sebut sengsara, penghinaan, fitnah, kehilangan harta
benda, derajat, kematian dan sebagainya.”20
Selain itu, orang yang memiliki watak rela pun tidak akan menginginkan
pujian dan kemashuran, serta tidak iri hati, tidak mencampuri urusan orang lain dan
tidak dan tidak lekat kepada benda yang dapat rusak.
“orang yang rela, tidak mempunyai keinginan sedikitpun akan kehormatan dan
kemasyhuran, apalagi rasa iri serta suka mencampuri urusan orang lain21
.”
Watak rela harus tumbuh dalam diri setiap hamba atau siswa, karena dari rela
seseorang belajar untuk ihklas dari segala keadaan yang ada.
17
Budi Darmadi, Profil Pangestu, h 26-27. 18
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 12. 19
Titis Bambang, Hasta Sila, h. 2. 20
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 13. 21
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 14.
53
2) Narima
Narima adalah ketentraman hati, ketika seseorang menerima bagiannya atau
perolehannya, bukan berarti orang yang enggan bekerja, melainkan menerima apa
pun yang menjadi bagiannya. Apa yang sudah ada ditangannya dikerjakan dengan
senang hati, tidak tamak dan tidak serakah.22
Dr. Harun Hadiwijono menyatakan
Narima ialah, suatu perimbangan jiwa, namun bukan menggambarkan orang yang
pasif atau dan tak suka bekerja serta tak mau mengulurkan tangannnya. Narima
merupakan sikap menerima apa yang terjadi atasnya.23
Dalam sasangka jati
diterangkan bahwa.
“Narima itu tidak menginginkan milik orang lain, dan tidak iri akan keberuntungan
orang lain, maka orang yang narima itu dapat disebut sebagai orang yang bersyukur
kepada Tuhan. Watak narima adalah harta yang tak dapat habis, maka barang siapa
yang ingin kaya upayakanlah dalam watak narima.”24
Watak narima ini mengajarkan bahwa seorang hamba atau siswa harus bisa
menerima segala sesuatu yang telah ditentukannya, atau yang telah ada ditangannya.
Jadi rasa nerima atau syukur harus ditanamkan dalam diri seorang hamba. Hubungan
antara watak rela dan narima pun ini sangat erat, apabila rela tidak diiringi dengan
narima. Maka tidak akan pernah ada rasa untuk rela ikhlas, dan begitu pun
sebaliknya.
3) Jujur
Jujur ialah menepati janji atau menepati kesanggupan baik yang telah terucap
maupun yang masih di dalam hati. Selain itu, janji mengundang arti bahwa orang
22
Titis Bambang, Tri Sila dan Panca Sila, h. 1. 23
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), cet-ke 11, h.
99. 24
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 13.
54
yang merasa terikat pada apa yang sudah dijanjikan, tidak peduli janji itu sudah
diucapkan atau belum.25
Dalam Sasangka Jati menyebutkan.
“Jujur itu arti pokoknya menepati janji atau menepati kesanggupan, baik yang sudah
di ucapkan maupun yang masih didalam batin (niat), itu sama saja. Jadi orang yang
tidak menepati niatnya berarti menipu batinnya sendiri, sedangkan apabila niatnya
sudah diucapkan, padahal tidak ditepati, itu dustanya berarti tidak dipersaksikan
kepada orang lain”.
4) Sabar
Sadar ialah berhati lapang, dan kuat menerima berbagai cobaan, tetapi bukan
orang yang mudah putus asa. Melainkan orang yang berhati teguh, berpengetahuan
luas, tidak berfikir sempit dan menghargai pendapat orang lain.26
Dalam Sasangka
Jati menyatakan :
“ketahulilah, bahwa watak sabar adalah sebaik-baiknya watak yang harus dimiliki
para calon siswa. Sabar itu, artinya berhati lapang menerima berbagai cobaan tetapi
bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati teguh,
berpengetahuan luas, tidak berbudi sempit, patut di sebut sebagai lautan
pengetahuan, karena sudah tidak lagi menbeda-bedakan emas dan lempung, kawan
dan lawan sudah dianggap sama.”27
5) Budi Luhur
Setelah ke empat watak ditanamkan secara benar dalam diri siswa atau
seorang hamba, maka secara tidak langsung watak yang terakhir ini (Budi Luhur)
akan tumbuh dengan sedirinya. Budi luhur terdiri dari dua kata yaiu “Budi” dan
“Luhur”, “Budi” ialah sebagian watak Sang Suksma Sejati, yang artinya “tenang”,
sedangkan “Luhur” adalah sifat Tuhan Sejati (Suksma Kawekas), yang selalu
mengalirkan daya melalui Suksma Sejati28
. jadi watak budi luhur ini ialah sifat tuhan
yang ditanamkan dalam manusia atau seorang manusia berusaha untuk memiliki
25
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 99. 26
Petir Abimayu. Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h 27. 27
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 14. 28
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo. Sasangka Jati, h. 16.
55
sifat-sifat sepeti Tuhan, yaitu Kasih sayang sesama hidup, suci, adil, tidak membeda-
bedakan derajat manusia (makhluk-Nya), dan lain sebagainnya. Selain itu pun, Budi
Luhur ialah jiwa yang telah dapat membabarkan keluhuran Tuhan dan watak ini di
dapat apabila telah memiliki keempat watak tersebut29
.
2. Paliwara
Hasta Sila merupakan sebuah kunci untuk melakukan Panembah, sedangkan
apabila seorang siswa atau hamba ingin bisa melaksanakan Hasta Sila dengan baik,
maka harus bisa menjauhi larangan Tuhan yang telah ditetapkan dalam ajaran ini,
disebut sebagai Paliwara. Sebagaimana sabda-Nya dalam sasangka Jati.
“Ketahuilah para siswa-Ku, seseungguhnya bagi yang telah tinggi derajat
kemanusiaannya, kiranya sudah cukup mengetahui makna ajaraku, yakni inti sari
delapan macam ajaran, seperti yang telah engkau catat dalam buku yang engkau
namai : Hasta Sila. bagi jiwa-jiwa yang telah dewasa tersebut, tentunya sudah
mengerti bahwa dengan melakukan perbuatan baik (utama) itu sudah berarti
dilarang melakukan perbuatan sesat, atau tidak akan bertindak yang mengarah ke
kiri lagi. Akan tetapi bagi kebanyakan saudara-saudaramu yang tergolong jiwa-jiwa
yang masih muda, masih perlu diberi ketentuan agar menjauhi perbuatan dosa. Oleh
karena itu setelah buku Hasta Sila dan Paliwara ini terbit, engkau telah menetapi
ajakan untuk berbuat baik, dan mencegah tindak yang keliru, maka dengarkanlah
sabda-Ku ini.”30
Paliwara ialah lima pokok larangan Tuhan yang harus dihindari oleh setiap
manusia.31
Adapun lima larangan pokok dan penjelasannya itu yaitu:
1). Jangan Menyembah Selain Allah
Hal ini sama seperti larangan yang ada di agama Islam, agama Kristen, agama
Yahudi dll. Pada dasarnya Paliwara pertama ini menyatakan bahwa jangan
29
Budi Darmadi, Profil Paguyuban Ngesti Tunggal, h. 28. 30
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 21. 31
Suwarni Imam S. Konsep Tuhan Manusia, Mistik dalam Berbagai kebatinan Jawa (Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2005), h 298.
56
menyembah seseuatu yang bukan selain Tuhan yang telah menciptakan alam semesta
dan seisinya. Sebagaimana yang dikatan dalam Sasangka Jati.
“Para hamba Allah, engkau jangan menyembah yang bukan semestinya disembah,
jangan mempertuhan yang bukan semstinya dipertuhan. Siapakah yang bukan
semestinya disembah atau dipertuhan itu, yaitu : para dewata (dewa), jin, syaitan,
dan seterusnya, atau para manusia yang termasuk pada golongan itu, yang telah
bersifat halus, yang tidak berwujud, tetapi juga berwujud, dan kadang kala juga
berwujud badan kasar karena kekuasaannya.”32
Dalam kutipan sabda tersebut menegaskan bahwa seorang hamba tidak boleh
menyembah kaum dewata33
atau makhluk yang ada dialam lupa34
. Bahkan manusia
yang termasuk dalam golongan tersebut (dukun, kuncen dll), dilarang keras untuk
menyembahnya, dan apabila seorang siswa atau hamba melanggar larangan ini, maka
dia tidak akan pernah bisa mencapai tujuannya, yaitu kembali bertunggal dengan
Tuhan. karena, hal ini bertentangan dengan konsep Hasta Sila yang menyatakan akan
kesaksian seorang siswa atau hamba terhadap Tripurusa (Tuhan Allah).
2). Berhati-hati Dalam Hal Syahwat.
Dalam larangan yang kedua ini, menegaskan untuk berhati hati dalam
bersyahwat, sebab kewajiban seorang pria dan wanita ialah melaksanakan kehendak
Tuhan untuk menjadi perantara turunnya Roh Suci35
. Untuk dapat meneruskan
keturunan dan seorang hamba diwajibkan melakukan sebuah ikatan dengan
pernikahan yang sah. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak bisa berhati-hati dalam
32
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 26. 33
Dalam penuturan bu Titis, Alam Lupa atau alam dewata ialah merupakan penamaan dalam
ajaran Pangestu bagi bangsa Syaitan, jin atau makhluk yang tugasnya mengganggu manusia, 34
Dalam ajaran Pangestu menreka menamakan Neraka sebagai Alam Lupa yang didalamnya
terdapat bangsa dewata. 35
Dalam penuturan bu titis bahwa seorang laki laki dan seorang perempuan itu menjadi
sebuah perantara lahirnya Ruh Suci, sebagaimana dijelakan tentang konsep penciptaan manusia di bab
awal.
57
hal syahwat, maka akan seorang hamba akan mendapat templak36
dari Tuhan karena
telah melanggar larangan ini.
“ketahuilah, bahwa sejati-jatinya kewajibanmu yang mula pertama, diciptakan
sebagai laki-laki dan perempuan, itu menurut karsa Tuhan, engkau sekalian diutus
menjadi jalan atau lantara turunya Roh Suci, yang akan menjadi berpencarnya
keturunanmu. Para lelaki itu yang menjadi perantara Tuhan menurunkan Roh Suci,
sedangkan wanita menjadi wadah turunya Roh Suci itu, yang akan diberi busana di
dalam rahimnya, maka jagalah baik-baik anugrah Tuhanmu tersebut, dan janganlah
mempermainkan kewajibanmu itu karena kesenangan menurut syahwatmu. Setelah
engkau menetapi kewajiban berumah tangga atau bersuami istri dengan sah,
tepatilah kewajibanmu tersebut supaya dapat selaras dengan karsa Tuhan. sebab
apabila engkau hanya mengumbar syahwat, tidak ingat akan kewajibanmu
menurunkan benih, engkau juga akan menerima templak Tuhan karena melanggar
larangan Tuhan tersebut.”37
Sasangka Jati telah menjelaskan dalam bab ini bahwa jangan pernah untuk
mempermainkan hal syahwat, sebab ini berhubungan dengan karsa Tuhan yang
berhak untuk dapat menurunkan Ruh Suci
3). Jangan Makan atau Menggunakan Makanan yang Memudahkan Rusaknya
Badan Jasmani.
Dalam ajaran Pangestu melarang siswa atau warganya untuk memakan-
makanan yang bisa merusak badan jasmani atau sebuah kebisasaan yang dapat
menyebabkan kerusakan pada jiwa dan raganya. Misal, meminum alkohol,
mengkonsumsi obat-obatan terrlarang (Naorkoba dll.), atau suka berjudi yang dapat
merusak jiwa,38
karena berjudi membuat seseorang mejadi lupa akan segalanya yang
hanya ia ingat cuman satu, ialah menginginkan kemenangan, sebagaimana dijelaskan
dalam sasanka jati.
“larangan yang ketiga, engkau jangan menggunakan daya dunia besar yang dapat
merusak dunia kecil. apakah yang dimaksud daya dunia besar itu, adalah berbagai
36
Menurut Ibu Titis “templak” adalah hukuman atas apa yang kita lakukan. 37
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 28. 38
Suwarno Imam S, Konsep Mistik Pangestu, h. 100.
58
macam tumbuhan- tumbuhan atau hasil bumi yang mengandung racun, yang dapat
merusak ragamu dan juga rohmu. Banyak manusia yang mengambil jasad-jasad
tetumbuhan dan sebagainya, yang mengandung racun itu untuk dijadikan pangan
atau peranti kegemaran, misalnya candu, minuman keras, dan sebagainya, yang
merusak badan jasmani dan budi pekertinya, semua itu hendaklah disingkiri, kecuali
apabila terpaska digunakan sebagai obat (jamu), sebab hal itu dapat membuat
engkau lupa akan delapan kewajibanmu, sebagaimana tersebut dalam ajaran-ku,
didalam buku pengertianmu Hasta Sila.”39
4). Patuhilah Undang-Undang Negara dan Peraturannya.
Ajaran Pangestu terdapat konsep Kalifatullah40
maksudnya ialah, wakil Allah
yang berkewjiban untuk mengatur segenap warga negara, agar bisa hidup sejahtera
dalam kebersamaan.41
Ada pun, perundang-undangan yang dihasilkan oleh
Kalifatullah senan tiasa dibuat untuk kepentingan bersama, maka wajib dipatuhi oleh
seluruh warga Negara.
“ketahuilah para hamba Allah, bahwa Tuhan itu juga mempunyai wakil di dunia,
yaitu manusia yang lazimnya disebut Kalifatullah, artinya walkil Allah, yang diutus
mengatur para manusia, agar tertib sejahtera hidup bersama-sama di dunia.
ketahuilah, sesungguhnya tidak sembarang manusia dapat menjadi Khalifatullah,
apabila tanpa wahyu Tuhan. ada juga Khalifatullah yang tidak karena wahyu Tuhan,
tapi karena warisan orang tuannya. Adapun para wakil Tuhan itu bertingkatan,
demikian pula wewenangnya meminjam kekuasan Tuhan juga bertingkatan, seseuai
dengan besar kecilnya pangkatnya, misalnya mulai dari sebutan Ratu dan Raja atau
sebutan sebutan lain lagi, yang pada intinya menjadi pemimpin yang paling besar
kekuasaanya, kemudian perdana mentri, mentri, pegawai pemerintah, hingga
pangakat yang terendah.”42
Seorang Khalifatullah ditugaskan untuk mengurus wilayahnya agar adil dan
makmur serta sejahtera. Hal ini seudah menjadi kewajiban seorang Khalifatulah
untuk melindungi dan menuwujudkan masyarakat yang adil dan makmur, karena ia
telah menyanggupi kepada Tuhan untuk mengemban kewajiban ini. Maka tugas bagi
39
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 29. 40
Dalam pandangan itu Titis bahwa Khalifatullah ialah Kepala Nagara yang merupakan wakil
Allah dibumi yang mengurusi segala hal social dan peraturan hidup bernegara, jadi bisa dikatakan
bahwa setiap kepala Negara merupakan wakil Allah di bumi, sebab mereka telah mengemban
tanggung jawab yang besar untuk mengurusi warrga dengan jumlah yang tidak sedikit. 41
Budi Darmadi, Profil Pangestu, h. 30. 42
R. Tuenggung Hardjopraoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 29.
59
masyarakat ialah wajib untuk mentaati segala peraturan yang telah dibuat oleh para
pemimpin negara karena mereka adalah wakil Tuhan di dunia.
5). Jangan Bertengkar
Sebagai makhluk Tuhan terkhusus manusia sangat dianjurkan untuk tidak
saling bertengkar, sebab semua manusia itu tercipta dari Sang Maha Hidup dan semua
makluk merupakan bagian dari-Nya.43
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
tentang konsep manusia, bahwa manusia itu merupakan pancaran dari cahaya Tuhan.
Selain itu, Sasangka Jati menjelaskan dalam bab Paliwara ialah.
“Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu diciptakan dari cahaya Tuhan, yaitu Roh
Suci, yang berasal dari sumber. Jadi, sejatinya hidup para manusia itu juga hanya
satu (tunggal), maka rukun rukunlah hidup di dunia, jangan berselisih, benci-
membenci, bertengkar, bermusihan dan berperang. Singkirilah perbuatan yang
menyebabkan perselisihan atau membuat retaknya kerukunan (persaudaraan),
seperti: dengki, iri, jail, banyak tipu muslihat, suka mengadu dan menghasut,
membicarakan keburukan orang lain, suka memfitnah, mematikan nafkah orang
lain, dan perbuatan serupa yang tergolong membinasakan, itu semua bukan watak
manusiamu yang sejati, tapi watak syaitan yang akan menuntunmu ke jurang
kesengsaraan. Ingatlah akan larangan yang pertama, sebab apabila engkau masih
tunggal laras dengan watak iblis, yakni makhluk yang memungkiri Tuhan, engkau
akan menjadi tawanan iblis, ibarat domba yang meninggalkan gembalanya, lalu
tersesat-sesat jalannya, menjadi mangsa binatang buas, sehingga tidak dapat pulang
kekandangnnya.”44
Dalam sabda ini menyatakan, apabila seseorang bertengkar sesama manusia
secara tidak langsung berarti ia telah menentang Sang Guru Sejati, bahkan selain itu,
seseorang tersebut akan terseret ke dalam larangan yang pertama dan akan menjadi
tawanan para iblis karena hatinya telah diselimuti kedengkian dan segala hal yang
bersifat negatif. Sebagai contoh, apabila seseorang dalam jiwanya telah diselimuti
oleh rasa dengki, maka yang tertanan di dalam benaknya itu hanya ada kebencian
terhadap orang lain. ini merupakan sebuah sifat yang tidak boleh menguasai jiwa
43 Puji, Paliwara, h. 5.
44 R. Soenarto Mertowedojo dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 32.
60
karena hal ini tidak mencerminkan sifat Tuhan yang menjadi syarat seseorang itu
harus suci dan dapat kembali kepada-Nya.
Maka dari itu, apabila seseorang ingin menjaga agar tidak bertengkar
hindarilah perbuatan iri hari, fitnah, aniaya, membicarakan kejelekan orang lain, dan
sifat negatif yang lainnnya.
3. Jalan Rahayu
Seseorang apabila ingin menyempurnakan Hasta Sila dengan benar, maka
dalam ajaran ini seorang siswa dianjurkan untuk melaksakan Jalan Rahayu. Jalan
Rahayu ialah “jalan selamat”45
, yaitu jalan utama untuk mencapai makna petunjuk
buku Hasta Sila (delapan macam panembah batin). Dapat dikatakan bahwa Jalan
Rahayu adalah untuk memudahkan atau sebagai tangga untuk tercapainya cita-cita
luhur tersebut (Hasta Sila)46
.
“Aku telah mengetahui apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan saudaramu pada
umumnya, agar dapat menetapi makna sadar-Ku, yaitu delapan macam bentuk
Rahayu, seperti yang telah engkau catat dalam buku yang kau beri nama Hasta Sila.
hal itu terlaksanakannya dengan menempuh lima macam Jalan Rahayu, supaya
dapat digunakan sebagai tangga untuk meningkat ke derajat yang lebih tinggi,
sehingga dapat menetapi makna ajaran-Ku dalam buku Hasta Sila tersebut. Adapun
yang dinamakan lima macam Jalan Rahayu itu kewajiban hamba, yang menjadi
permulaan laku dalam usaha melaksanakan tiga macam kesanggupan besar, seperti
yang tersebut dalam asas Tri Sila: sadar, percaya, taat, yang disucikan dengan lima
macam kelakuan utama: rela, narima, jujur, sabar, dan budi luhur.”47
Jalan rahayu terdiri dari lima bagian pertama, Paugeran Tuhan kepada hamba.
Kedua, panembah. Ketiga, budi darma. Keempat, mengekang hawa nafsu. Kelima,
budi luhur48
.
45
Budi Darmadi, Profil Pangestu, h. 28. 46
Puji, Jalan Rahayu (Jakarta: Tanpa penerbit, tanpa tahun), h. 1. Pada tanggal 4 Desember
2017. 47
R.Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trohardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 117. 48
Budi Darmadi, Profil Paguyuban Ngesti Tunggal, h. 28.
61
1). Paugeran Tuhan Kepada Hamba
Paugeran merupakan hukum Tuhan untuk seorang hamba, yang mengandung
makna kesaksian seorang hamba bahwa hanya Tuhan yang harus disembah. pada
dasarnya Paugeran adalah syahadat atau kredo dalam ajaran Pangestu49
, yang
menjadi pangkal utama untuk menegakan Hasta Sila yaitu Tri Sila (sadar, percaya,
taat), adapun Paugeran dalam ajaran Pangestu berbunyi :
“Suksma Kawekas adalah tetap menjadi Sembahan hamba yang sejati, adapun
Suksma Sejati adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun
dan Guru hamba yang sejati. Hanya Suksma Kawekas pribadi yang menguasai
semua alam seisinya, hanya Sukama Sejati pribadi yang menuntun para hamba
semua. semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada Suksma
Sejati, adapun hamba ada didalam kekuasaan Suksma Sejati.”50
Paugeran sendiri didalamnya mengandung makna Tri Sila (sadar, percaya,
taat), yang menyatakan akan kesaksian seorang siswa kepada Suksma Kawekas atau
sebagai tali penghubung antara siswa dengan Tuhan dan dapat menjadi jalan
mengalirnya daya kekuatan Tuhan kepada hamba yang diterima dipusat sanubarinya.
2). Panembah
Panembah ialah kebaktian seorang hamba kepada Tuhan atau bisa dikatakan
sebagai ibadah. Selama manusia masih hidup di dunia semua manusia atau hamba
harus berbakti kepada Tuhan. Bakti ialah tali sadar yang dikukuhkan dengan
Panembah (ibadah)51
. Panembah akan menuntun hati manusia untuk kembali
mengingat keberadaan Tuhan dengan cara bertaubat atas dosanya, memalui niat yang
taat yaitu, menaati semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Maka hanya
dengan ketaatanlah yang menjadi tongkat untuk berbakti kepada Tuhan.
49
Puji, Jalan Rahayu, h. 1. 50
R.Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trohardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 119. 51
Puji, Jalan Rahayu, h. 2.
62
“Ketahuilah para hamba, selama engkau masih hidup di dunia, engkau tetap menjadi
hamba Tuhan (Suksma Kawekas). Sekalipun Tuhan dan aku (Suksma Kawekas dan
Suksma Sejati) juga tela hada dalam dirimu, selama engkau masih hidup di dunia,
engkau bukan Tuhan, engkau bukan Aku, engkau adalah hamba. Sebagai hamba
harus berbakti kepada Tuhan, hamba harus percaya bahwa Tuhan itu hanya, yakni
Suksma Kawekas pribadi, yang menjadi sembahan yang sejati.”52
3). Budi Darma
Panembah merupakan bukti berbakti kepada Tuhan, akan tetapi apabila hanya
berbakti saja tidak akan sempurna, karena seorang siswa yang ingin manembah itu
harus suci terlebih kepada suci batin, yaitu dengan membiasakan diri berbuat baik dan
mulia atau membabarkan kasih sayang kepada semua makhluk,53
seperti menolong
orang lain yang sedang kesusahan sesuai dengan kebutuhan yang ditolong, serta
sesuai dengan kekuatan yang menolong.
Darma sendiri ialah pemberian kebaikan kepada siapa saja yang wajib
diberi.54
Wujud jari pada pemberian tidak hanya harta benda keduniawian, akan tetapi
perbuatan baik yang menolong orang lain itu berupa, tenaga atau pikiran yang sesuai
dengan kebutuhan yang ditolong atau diberi sesuai dengan kemampuan dengan yang
menolong. Sebagaimana dalam Sasangka Jati menjelaskan.
“Ketahuilah, bahwa sahnya itu harus dengan bersuci, tidak hanya suci lahir, tetapi
suci batinnya. Adapun kesucian batin dapat dituntun dengan kebiasaan diri dengan
perbuatan mulia atau utama, yaitu dengan cara membabarkan kasih sayang kepada
semua makhluk, yang berwujud menolong orang lain (kesengsaraan) sesuai dengan
kebutuhan yang ditolong, dan sesuai dengan kekuatan yang menolong.”55
4). Mengekang Hawa Nafsu
Agar mampu melaksnakan tiga kewajiban di atas, maka perlu dilandasi
dengan pengekangan hawa nafsu untuk mencegah perbuatan yang tidak baik. Pada
52
R.Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trohardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 120. 53
Suwaro Imam S. Konsep Tuhan Manusia, Mistik Dalam berbagai Kebatinan Jawa, h. 299. 54
Soewondo, Ulasan Kang Kelana, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2015), h. 128. 55
R.Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trohardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 122.
63
dasarnya hawa nafsu adalah kekuatan badan jasmani. Oleh karena itu, agar kekuatan
badan jasmani menjadi baik hawa nafsu harus diarahkan sesuai petunjuk Tuhan.
Badan jasmani dibagi menjadi dua bagian yaitu badan jasmani kasar yang
terdiri dari alat pelaksana untuk melaksanakan keinginan (karep) diantaranya anggota
tubuh dan pancaindra (penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan
perasaan)56
. Dan badan jasmani halus yang terdiri dari tiga bagian yaitu, angan-
angan, nafsu, dan perasaan57
.
Hawa nafsu adalah kekuatan yang berasal dari sari anasir penyusun badan
manusia, yaitu suasana (udara), api, air dan tanah. Kemudian menjadi bentuk nafsu-
nafsu yang ada dalam manusia yaitu,
a). Luamah, tercipta dari anasir tanah, berada di dalam daging manusia, watak
dari luamah ialah : jahat, tanak, serakah, malas, tidak tahu kebaikan dan
sebagainya. Disisi lain, apabila dilihat dati hal positifnya watak ini
mengandung dasar kekutan atau semangat seseorang.58
b). Amarah, tercipta dari anasir api, dalam manusia anasir ini digambarkan darah,
yang merata di sekujur tubuh manusia. Wataknya ialah : berhasrat kuat,
mudah tersingung, berangasan, pemarah. Dalam hal inni sifat amarah
merupakan jalan bagi sifat yang lainnya, terlepas perbuatan buruk atau
perbuatan baik. Tanpa adanya amarah maka segala sifat tidak akan bisa
terlaksana.59
56
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 127. 57
Puji, Jalan Rahayu, h. 3. 58
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 5. 59
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 6.
64
c). Sufiah, sifat ini tercipta dari anasir air, yang bentuk kasarnya berada di tulang
sumsum manusia. Adapun halusnya Sufiah menjadi kehendak. Sufiah adalah
nafsu yang menyebabkan adanya keinginan, kasmaran atau sengsem.60
d). Mutmainah, sifat ini tercipta dari anasir suasana (udara bersih), yang
digambarkan sebgai nafas manusia. Adapun watak dari sifat ini ialah : terang,
suci, bakti, kasih sayang.61
Pengekangan hawa nafsu merupakan bagian dari kekuatan badan jasmani
halus yang harus dilakukan oleh setiap manusia atau hamba untuk bisa melaksnakan
tiga kewajiban yang diatas. Dalam ajaran ini untuk dapat melaksanakan pengekangan
hawa nafsu ialah dengan tapa brata atau bisa disebut dengan puasa.
5). Budi Luhur
Apabila hawa nafsu telah ditaklukan, maka seorang hamba atau siswa dapat
menyempurnakan tiga kewajiban yaitu paugeran, panembah dan budi darma. Setelah
itu, seorang hamba atau siswa dengan mudah meningkat ke derajat yang lebih tinggi,
yaitu ketataran budi luhur dengan menyerahkan angan-angan kepada Sang Guru
Sejati.
Budi luhur ialah watak kemanusiaan yang telah disertai pepadang Suksma
Sejati dan yang telah ditunggali oleh sifat Tuhan Yang Maha Luhur di dalam hati
yang suci dan murni. Sedangkan budi pekerti manusia yang mulia adalah segala rupa
kelakuan baik yang bersifat rahayu, seperti: kasih sayang kepada sesama makhluk,
rela, narima, jujur dan adil. Kelakuan baik inilah yang menjadi jalan atau kendaraan
60
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 7. 61
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 8.
65
manusia untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan menunggali sifat keluhuran
Tuhan.62
Jadi budi luhur ialah tataran tertinggi manusia yang telah bertunggal dengan
Tuhan pada masa hidupnya. Karena seorang manusia atau hamba telah bisa
menunggali sifat dan keluhuran Tuhan.
4. Panembah
Tujuan dari pada ajaran Pangestu ialah untuk dapat bertunggal dengan Sang
Maha Hidup (Tripurusa). adapun proses untuk menuju kemanunggalan dengan Tuhan
ialah dengan melaksanakan Panembah. Ialah kesadaran manusia terhadap Tuhan (Tri
Purusa)63
. Panembah adalah kewajiban seorang hamba sebagai tanda bukti atau
ikatannya kepada Tuhan yang menguasai alam dan seisinya64
. Oleh karena itu,
diwajibkan kepada setiap hamba atau siswa untuk melakukan Panembah. Dalam
ajaran Pangestu terdapat tiga tingkatan dalam Panembah ialah :
1). Panembah Raga (hamba) kepada Roh Suci
Panembah Raga (hamba) kepada Roh Suci, yaitu untuk tataran yang masih
muda jiwanya.65
Panembah Raga disini bisa diibaratkan sorang calon siswa yang baru
belajar tentang Panembah. Dalam Panembah Raga ini terdiri dari dua panembah yaitu
Sembah Raga ialah raga menunjukan rasa hormat dengan sopan santun yang
meluhurkan Tuhan sebagai sembahannya66
. Dan Sembah Cipta ialah, sebuah
62
Puji, Jalan Rahayu, h. 3. 63
Soewondo, Ulasan Kang Kelana (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2015), h. 189. 64
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 127. 65
Pada Hakikatnya perkataan Jiwa muda, jiwa yang sudah dewasa, maksudnya ialah sebuah
klasifikasi dalam tataran kemjuan batin orang yang bertingkat. Jadi maksud dari Jiwa muda bukan
secara fisik akan tetapi dilihat dari tingkat keimanan yang mesih rendah. 66
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 210.
66
penghormatan terhadap tuhan melalui jiwa. Apabila cipta saja yang menyembah
tanpa gerakan raga, maka akan membuat ketidak sesuaian, karena manusia didunia
melihat sesuatu secara meteri, dalam hal ini dibutuhanlah praktek secara raga.67
Bisa dikatakan bahwa Panembah raga ini merupakan sembahyang yang
diartikan secara praktek. Sebagaimana ajaran ini melaksanakan ibadah sehari dua
kali, yaitu pada magrib sebagnyak tiga adegan (rakaat) dan subuh sebanyak empat
adegan (rakaat). Jadi sembah raga ialah pembelajaran secara praktek dan niat bagi
calon siswa.68
2). Panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati
Panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati, yaitu untuk tataran panembah
jiwa yang telah dewasa. Setelah Panembah Raga dilaksanakan dan dilakukan dengan
tertib setiap hari, seorang siswa atau hamba kemudian akan meningkat kepada tataran
yang lebih tinggi yaitu kepada jiwa yang telah lebih dewasa.69
Dalam Panembah Roh Suci kepada Suskma Sejati terdapat sembah kalbu
didalammnya. Adapun sembah Kalbu ialah tidak hanya raga dan ciptanya yang
mengingat keluhuran Tuhan, tetapi dengan rasa taat kepada Tuhan meresap kedalam
hati sanubarinya, yaitu sungguh-sungguh taat akan perintah Tuhan disertai cinta
kasihnya (bakti) kepada Tuhan.70
berarti seorang siswa atau hamba telah dapat
mensucikan hatinya, yaitu dengan membangun watak utama atau Panca Sila (rela,
67
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 211. 68
Puji, Panembah (Jakarta: Tanpa penerbit, tanpa tahun) h. 3. Pada tanggal 11 Desember
2017. 69
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan Manusia, Mistik dalam berbagai kebatinan Jawa, h. 230. 70
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 212.
67
narima, jujur, sabar dan budi luhur), sehingga hatinya bersih dan tidak mengotori
iman yang benar dan selalu sadar, percaya, taat kepada Tuhan.71
3). Panembah Suksma Sejati Kepada Suksma Kawekas.
Setelah jiwa seorang hamba melaksanakan panembah Roh Suci kepada
Suksma Sejati. Kemudian, seseorang harus melakukan Panembah Suksma Sejati
kepada Suksma Kawekas, yaitu tataran penembah yang didapat dilakukan, ketika
jiwa seseorang telah budi luhurnya atau bisa dikatakan jiwa seseorang telah bisa
mengendalikan sifat baiknya dan menjadi penggerak utama jiwanya, sehingga segala
gerak-gerik, tingkah-laku dan perkataannya merupakan bukan dari dirinya yang
menggerakan tetapi Suksma Kawekas yang telah menyatu dengannya72
.
Dalam panembah ini terdapat sembah Rasa ialah orang yang telah kepada
tataran “budi luhur” yaitu orang telah dapat menyerahkan angan-angan (cipta-nalar-
pengerti) kepada Suksma Kawekas, dengan merelakan hidup dan matinya. Jadi,
angan-angan yang tadinya dipakai sebagai penunduk hawa nafsu telah melakukannya
dengan baik, kemudian angan-angan tersebut diserahkan kepada pemiliknya yaitu
Suksma Kawekas. Dalam hal ini angan-angan telah dapat dengan tenang (tidak
bergerak), hanya mengikuti karsa Suskma Kawekas73
. Dalam pandangan mereka
bahwa orang yang sudah mencapai seperti ini mereka contohkan kepada para nabi-
nabi Tuhan dan kepada Bapak R. Soenarto Metrowerdojo.
71
Puji, Panembah, h. 2. 72
Puji, Penmbah, h. 1. 73
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 209.
68
B. Konsep Ajaran dan Praktek Ritual Sapta Darma
1. Wewerah Tujuh
Sebagaimana ajaran ini di beri nama Sapta Darma karena menggandung tujuh
macam Wewerah Suci atau Wewerah Pitu (Tujuh Petuah), yang menjadi sebuah
kewajiban khusus bagi penganut ajaran Sapta Darma, ada pun tujuh petuah ini ialah :
a) Setia dan tawakal pada adanya Panca Sila Allah, yaitu lima sifat keluhuran
Tuhan yang mutlak, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rakhim,
Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa, Allah Hyang Maha
Langgeng. (Setya Tuhu marang Allah Hyang maha Agung, Allah Maha
Rokhim, Allah Hyang Maha Adil, Allah Hyang Maha Wasesa, Allah Hyang
Maha Langeng).74
Dalam hal ini manusia diciptakan, dihidupi, serta dijadikan makhluk yang
tertinggi oleh Allah Hyang Maha Kuasa. Untuk dapat memiliki sifat-sifat budi
terhadap sesama umat manusia, memiliki sifat belas kasih sesama manusia, memiliki
sifat tidak membeda-bedakan manusia, memiliki sifat akan kesadaran manusia bahwa
manusia masih dalam lingkup Tuhan, serta memiliki sifat menyadari diri bahwa roh
yang berada dalam diri manusia ini merupakan Sinar Cahaya Allah atau Nur
Cahaya.75
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa manusia ialah makhluk yang
tertinggi, maka manusia harus berprilaku darma yaitu dengan melakukan sujud
menghadapkan Roh Suci kita kepada Allah Hyang Maha Kuasa setiap harinya, dan
74
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 98. 75
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta: Yayasan Pusat SRATI
DARMA, 1962), h. 16.
69
didasari dengan kesadaran mengakui serta menginsyafi dan meluhurkan lima sifat
yang merupakan perwujudan kehendak Allah, yang mereka sebut sebagai Pancasila
Allah. Maka dari itu, manusia seharusnya ingat dan sadar serta berusaha
menyelaraskan diri dengan lima sifat Tuhan (Pancasila Allah). Karena kehendak
Tuhan tersirat dalam lima sifat tersebut, sehingga siapa saja dapat dan berusaha
menyelaraskan diri dengan dasar kehendak Tuhan. maka akan dikaruniai kebahagiaan
hidup oleh Tuhan di dunia maupun di akhirat.
b) Dengan jujur dan suci hati harus setia dan menjalankan undang-undang
negaranya. (Kanthi jujur lan sucining ati, kudu setya anindakake angger-
angger ing negarane).76
Dalam hal ini Ajaran Sapta Darma menekankan kepada setiap warganya
untuk tetap mematuhi undang-undang negaranya. Tiap-tiap orang umumnya menjadi
warga negara suatu bangsa, mengingat undang-undang Negara merupakan suatu
peraturan dan penertiban warganya demi tercapainya keselamatan, kesejahteraan serta
kebahagiaan. Oleh sebab itu, menjadi keharusan bagi warga negaranya untuk
menjunjung tinggi, menjalankan dengan jujur dan suci hari serta dengan penuh
keikhlasan akan undang-undang negaranya. Misalnya, warga Sapta Darma disisi lain
sebagai warga Negara Republik Indonesia, maka warga Sapta Darma harus
menjunjung tinggi dan menjalankan dengan penuh kejujuran, keikhlasan, kesadaran,
kesetiaan dan kesucian akan undang-undang negaranya.77
76
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 98. 77
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html.
70
c) Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakan berdirinya Nusa dan
Bangsanya. (Melu cawe-cawe acancunt tali wanda njaga adeging Nusa lan
Bangsane).78
Dalam rangka membina dan berjuang demi tercapainya keadilan,
kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan dan kejayaan bangsanya. Maka dalam hal
ini setiap warga kerohanian Sapta Darma tidak boleh absen, masa bodoh atau ingkar
dari tanggung Jawab, melainkan harus turut ikut serta menyingsingkan lengan baju
bersama-sama dalam bahu-membahu berjuang sepenuhnya, untuk membela bangsa
dengan kemampuan dan keahlian pada bidangnya masing-masing. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama ketika ia masih muda dan
ikut andil dalam perjuangan bangsa indonesia.79
d) Menolong siapa saja tanpa mengharapkan pamrih (keuntungan untuk diri
sendiri) atau balasan apa saja, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.
(Tulung marang sapa bae yen perlu kanthi ora endweni pamrih apa bae,
kajaba mung rasa welas lan asih).80
Cara untuk memberikan pertolongan itu beragam dan bermacam-macam
misalnya tenaga, harta, benda serta pikiran. Dalam ajaran Sapta Darma bentuk
pertolongan yang bisa ditawarkan selain yang telah disebutkan berupa Sabda Usaha,81
ialah suatu bentuk pertolongan guna menyembuhkan orang yang sedang sakit.
78
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html. 79
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 19. 80
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html. 81
Sabda Usaha atau Penyembuhan di Jalan Tuhan ialah sebuah praktek penyembuhan yang
sesesuai dengan ketentuan ajaran Tuhan, mereka memandang bahwa segala penyakit manusia itu
71
Dalam memberikan pertolongan pengusadan, janganlah didasarkan atas
pengharapan untuk menerima balasan, melankan pertolongan itu diberikan hanya atas
dasar rasa cinta kasih. Sebab dalam hal ini manusia hanya sebagai perantara akan ke-
Rokhiman Allah. Maka dari itu, bagi mereka yang melanggal wewerah ini akan
mendapaat hukuman Tuhan.
e) Berani hidup berdasarkan kekuatan atas kepercayaan diri sendiri. (Wani urip
kanthi kapitayan saka kekuatane dhewe).82
Allah Hyang Maha Kuasa telah memberikan manusia akal, budi dan pekerti
serta alat-alat yang cukup berguna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani. Warga Sapta Darma harus melatih dan
membiasakan diri, berusaha demi terpenuhi kebutuhan hidup atas kepercayaan,
bahwa bekerja secara jujur tidak boleh menginginkan hak orang lain. Apalagi
membiarkan hawa nafsu untuk dapat merugikan orang lain.83
Dalam hal ini seseorang harus memiliki kepercayaan yang penuh bahwa
bekerja jujur dengan penuh kesungguhan atas dasar keluhuran budi, akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
f) Sikap kepada hidup bermasyarakat atau kekeluargaan, harus susila dengan
halusnya budi pekerti yang selalu memberikan jalan yang mengandung jasa
berasal dari dosa manusia itu sendiri. maka dari itu dalam ajaran ini kegunaan Sabda Usaha ialah untuk
menyembuhkan penyakit melalui jalan Tuhan. Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma,
Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama (Yogyakarta:
Sanggar Candi Rengga-Surokarsan Unit Penerbitan, 2010), h. 38. 82
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html. 83
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 20.
72
serta memuaskan.(Tunduke marang warga bebrayan kudu susila kanthi
alusing budi pakarti, tansah agawe pepadang lan mareming liyan).84
Hidup bermasyarakat ialah hidup bersama-sama dengan orang lain di tengah-
tengah. Seluruh warga Sapta Darma harus bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa
memandang jenis kelamain umur maupun kedudukan dengan pengertian bahwa
dalam hidup bersama sikapnya harus susila, sopan santun dan penuh kerendahan hati
serta tidak boleh congkak maupun sombong. Selain itu, Warga Sapta Darma dilarang
untuk membeda-bedakan dalam hal yang negatif kepada sesame manusia.85
g) Yakin bahwa di dunia tidak abadi, tetapi serba berubah (anyakra
manggilingan). (Yakin yen kahanan donya iku ora langgeng, tansah owah
ngingsir (anyakra manggilingan)).86
Perubahan keadaan dunia laksana berputarnya roda, karenanya Warga Sapta
Darma harus memahami hal ini, hingga dengan demikian Warga Sapta Darma tidak
boleh lagi bersifat statis, tetapi harus penuh dengan dinamika, penadi membawa, serta
menyesuaikan diri dengan mengikat waktu dan tempat (situasi).87
Bagi Warga Sapta Darma isi wewerah pitu ini wajib untuk dijalankan dengan
sungguh-sungguh serta diamalkan kepada semua umat, bukan hanya untuk sesama
Warga Sapta Darma saja.
84
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html. 85
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama (Yogyakarta: Sanggar Candi Rengga-
Surokarsan Unit Penerbitan, 2010), h. 176. 86
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 25 Februari 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html. 87
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 20.
73
2. Sujud
Intisari Ajaran ini tidak hanya wewerah tujuh saja, tetapi juga ada yang
disebut dengan “sujud” yang harus dilakukan dalam keseharian warganya. Sujud
adalah sebuah praktik persembahan atau menyembah Allah Yang Maha Kuasa dan
menjalankan kehidupnya berdasarkan Tujuh Kewajiban Suci (Darma), agar
mendapatkan keselamatan di dunia maupun di akhirat.88
selain itu, Sujud menjadi
sebuah jalan menuju kepada kekebahagiaan abadi atau kepada Allah Hyang Maha
Kuasa.
“Maka dalam Ajaran Sapta Darma, guna kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat,
haruslah manusia bersujud (berbakti) kepada Allah serta benar-benar
menjalankannya dan mengamalkan isi dari pada Wewerah Pitu (tujuh petuah).”89
Pelaksanaan Sujud sekurang kurangnya dilakukan sehari sekali, jika tidak
dilaksanakan maka hidup terhitung mundur 40 hari. Jika seseorang melaksanakan
sujud lebih dari sekali itu lebih baik. Karena ukuran pelaksanaan sujud bukanlah dari
seberapa sering seseorang warga melaksanakannya, tetapi dilihat dari seberapa
kesungguhan seseorang terbut untuk melaksanakan sujud.90
Proses pelaksanaan sujud tidak asal dan sembarangan, tetapi mmeiliki
aturannya dan gerakannya sendiri. sebagaimana yang dijelaskan dalam wewerah
mengenai sujud:
“Sesudah duduk dan tubuhnya tenang, hendknya mengucapkan di dalam batin
:”Allah Hyang Maha Agung, Allah Hayang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha
Adil.” Sesudah tenang, di situ ada hawa (getaran) yang di dalam bergerak dari
bawah ke atas. Di situ ada tanda, di pucuk lidah ada rasa menusuk-nusuk (trecep-
88
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 165. 89
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 35. 90
Sri Pawenang, Profile Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung
Unit Penerbitan, 1968), h.7.
74
trecep). Lalu rasa itu naik keatas lagi hingga sampai di kepala, oleh karennya
menutup kelopak mata dengan getaran kepala terasa berat; tanda bahwa rasa
(getaran) getaran itu sudah kumpul semua di kepala, yang menyebabkan tubuh
bergoyang, lalu mulai merasakan sari-sari air yang ada ditulang tungging (silit
kodok) bergerak. Jalannya halus sekali naik melalui sendi-sendi tulang belakang.
Penundukan badan harus diikuti dengan enak sekali hingga dahi jatuh di tanah
(bawah). waktu kepala menunduk hinga tanah, lalu mengucap di dalam batin
:”Hyang Maha Suci sujud Hyang Maha Kudus” (tiga kali). kepala diangkat kembali
seperti di muka. Menunduk ketiga kalinya dengan mengucapkan di dalam batinya:
“Hyang Maha Suci bertaubat kepada Hyang Maha Kuasa” (tiga kali). lalu duduk
lagi, tubuh masih ditenangkan dalam beberpa menit lamanya.”91
Dalam Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seseorang adalah memulai
dengan sikap duduk tegak menghadap kearah timur92
. Bagi seorang laki-laki duduk
sikap tegak dengan melakukan sila tumpang maksudnya ialah posisi kaki kiri berada
di belakang kaki kiri, sedangkan bagi seorang perempuan duduk dengan bertimpuh
dan diperkenankan untuk mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan
kesusilaan sikap duduk serta mengganggu jalanya geratan.93
Tahap kedua tangan bersidakep dengan posisi tangan kangan di depan tangan
kiri serta menentramkan badan. Kemudian mata melihat ke satu titik yang berjarak
satu meter ditanah tepat dihadapannya. Kepala dan punggung posisinya harus lurus
tegak serta keadaan harus tenang dan tentram, kemudian akan muncul getaran dalam
tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Geratan ini harus merambat dari
bawah ke atas sampai ke kepala yang akan membuat mata terpejam dengan
sendirinya. Tanda bahwa getaran ini telah sampai ke atas, terasanya dingin pada
91
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 36. 92
Adapun mengahadap kearah timur itu diartikan bahwa timur dalam bahwa jawa Wetan,
sedangkan Wetan berasal dari kata Kawitan atau wiwitan yang berarti permulaan. Jadi maksud
menghadap kearah timur dalam ajaran Sapta Darma ialah untuk menyadari bahwa manusia itu
diciptakan dan manusia pun berasal dari barang yang suci yaitu Sinar Cahaya Allah Hyang Maha
Kuasa. Maka dari itu manusia harus berbakti kepada Allah Hyang Maha Kuasa dengan cara Sujud. 93
Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 33.
75
ujung lidah seperti terkena angin (pating trecep) dan keluarnya air liur.94
Air liur
yang keluar di telan kembali sambil mengucapkan
“Allah Hyang Maha Agung,
Allah Hyang Maha Rokhim,
Allah Hyang Maha Adil.”
Tahapan berikutnya, ketika kepala sudah mulai terasa berat, hal ini
menandakan bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Dari rasa yang berat ini
menjadikan tubuh mudah tergoyang, kemudian di mulai dengan merasakan jalannya
air sari yang ada di tulang ekor (brutu atau silit kodok), jalannya air sari merambat
dengan halus naik seolah-olah mendorong tubuh untuk membungkuk ke muka.
Proses pembungkukan ini harus terus di ikuti terus, bukan secara sengaja atau dengan
kemampuan sendiri, tetapi dengan rasa atau getaran tersebut. Kemudian posisi tubuh
akan membungkuk dan posisi dahi akan menyentuh tanah.95
Dalam posisi
membungkuk ini seseorang harus mengucapkan
“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa,
Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa,
Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa.”
Bacaan doa yang diucapkan ini menandakan gerakan sujud yang pertama
telah selesai. Kemudian kepala diangkat secara perlahan hinga seperti posisi semua,
sikap duduk tegak, kemudian melakukan sujud yang kedua. Gerakan dalam sujud
yang kedua sama halnya gerakan yang dilakukan dalam sujud pertama, tetapi setelah
posisi membungkuk, kepala menempel pada lantai, mengucapkan dalam hatinya.96
“Kesalahan Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa
94
Sri Pawenang, Pedoman Pribadi Manusia Secara Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta:
Sekretariat Tuntunan Agung Unit Penerbitan,1968), h. 14. 95
Sri Pawenang, Pedoman Pribadi Manusia Secara Kerohanian Sapta Darma, h. 17. 96
Sri Pawenang, Pedoman Pribadi Manusia Secara Kerohanian Sapta Darma, h. 18.
76
Kesalahan Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa
Kesalahan Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa.”
Setelah membaca doa ini sebanyak tiga kali kemudian perlahan menaikan kepala dan
tubuh kepada posisi semula, dan memasuki sujud ke tiga. Gerakan sujud tetap sama
seperti gerakan yang pertama dan yang kedua, sampai pada dahi menyentuh tanah.
Kemudian mengucapkan dalam hatinya.97
“Hyang Maha Suci Bertaubat Hyang Maha Kuasa
Hyang Maha Suci Bertaubat Hyang Maha Kuasa
Hyang Maha Suci Bertaubat Hyang Maha Kuasa.”
Dalam setiap melakukan persujudan seseorang harus mengucapkan beberapa
doa yang telah ditentukan, adapun makna-makna pengucapan doa ketika
melaksanakan sujud :
1) Ucapan, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah
Hyang Maha Adil, artinya ialah untuk mengingat dan menghormati sifat
mutlak keluhuran Allah Hyang Maha Kuasa dan menganggungkan serta
Meluhurkan Asma-Nya.98
Pengucapan Asma ini tidak hanya diucapkan pada saat sujud saja, tetapi
apabila warga Sapta Darma akan melalui suatu perbuatan Darma yang
didahului dengan Semedi atau eling dengan mengucapkan Asma Allah ini.99
2) Ucapan, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa hal ini bukan berarti
Tuhan bersujud, Hyang Maha Suci disini ialah sebutan Roh Suci seorang
manusia yang berasar dari Sinar Cahaya Allah. Sedangkan, Hyang Maha
97
Sri Pawenang, Pedoman Pribadi Manusia Secara Kerohanian Sapta Darma, h. 19. 98
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 32. 99
Hasil Wawancara bersama bapak Soekamto (Pengurus dan Penganut Ajaran Sapta Darma)
Pada tanggal 23 Februari 2018.
77
Kuasa ialah sebutan Allah yang menguasai semesta dengan segala isinya
termasuk manusia baik rohani maupun jasmani. Dan Sujud ialah penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Jadi bisa dikatakan
maksud dari Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa seorang hamba
memohon penyerahan diri atau berbakti kepada Allah Hyang Maha Kuasa. 100
3) Kesalahan Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa. Arti dari
pengucapan ini ialah, setelah kita menyadari dan menelaah kesalahan-
kesalahan kita di setiap harinya, Roh Suci kemudian memohon ampun kepada
Hyang Maha Kuasa atas segala dosa-dosanya.101
4) Hyang Maha Suci Bertaubat Hyang Maha Kuasa pengucapan ini berarti
bertaubatnya Roh Suci untuk tidak lagi mengulangi segala kesalahan atau
perbuatan yang dilarang.102
Maka dalam hal ini warga Sapta Darma
diharapkan melatih diri agar dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
sujudnya yang sesuai dengan Wewerah.
Pada dasarnya sujud dalam wewerah ini bertujuan untuk membimbing dan
menuntun jalannya air sari. Air sari atau air suci ini berasal dari sari-sari bumi yang
akhirnya menjadi bahan makanan manusia. Sari-sari makanan inilah yang menjadikan
adanya air sari atau air suci yang ada pada tubuh manusia, tempatnya di tulang ekor.
Bila bersatunya getaran Sinar Cahaya dengan getaran air sari, akan menimbulkan
100
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 33. 101
Hasil wawncara bersama Bapak Soekamto, (Pengurus dan Penganut Ajaran Sapta Darma).
Pada tanggal 23 Februari 2018. 102
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 33.
78
daya kekutan yang besar. Kekuatan ini diesbut dengan Atom Berjiwa yang ada pada
pribadi manusia.
Keuatan atau daya (Atom Berjiwa) ini berguna untuk membersihkan atau
mengusir kuman-kuman dan penyakit dalam tubuh manusia, serta mententramkan
atau menindas nafsu angkara murka, mencerdaskan pikiran dan memiliki
kewaskitaan.103
Setelah kekuatan ini berada pada ubun-ubun akan mewujudkan Nur
Cahaya, yang mengakibatkan naiknya ruh kepada Hyang Maha Kuasa, untuk
menerima perintah-perintah atau petunjuk yang berupa isyarat atau kias, seperti
gegambaran, tulisan-tulisan.104
Syarat agar seorang warga memiliki kekuatan seperti itu, tiada lain ialah
pengolahan dan penyempurnaan budi pekerti yang menuju kepada kekeluhuran sikap
dan tindakan sehari-hari. Pengolahan dan peyempurnaan ini hanya dilakukan bagi
warga yang sudah mampu, maksudnya ialah seseorang selalu mencetak atom berjiwa
pada pribadinya. Atom ini dipergunakan untuk prikemanusiaan seperti menolong
orang sakit.
3. Racut
Dalam Ajaran Sapta Darma selain wewerah pitu dan sujud mereka pun
memiliki konsep lain untuk mencapai Tuhan yaitu Racut, dalam masyarakat Jawa
103
Maksud dari kewaskitaan ini ialah, seperti kewaskitaan akan penglihatan, penglihatan
pendengaran, penciuman, tutur kata serta percakapan serta kewaskitaan rasa. 104
Sri Pawenang, Dasa Warsa Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan
Agung Unit Penerbitan, 2012), h 27.
79
menyebutnya dengan ngrogoh sukma (mengeluarkan roh dari raganya).105
sebagaimana penerimaan wahyu Racut yang diberikan kepada bapak Hardjosapoero:
“Tepat pada tanggal 13 Februari 1953 pukul 10.00 WIB berkumpulah bapak
Hardjosapoero berserta lima sahabatnya, sedang bercakap-cakap, tiba-tiba dengan
sendirinya bapak Hardjosapoero berkata “Kanca-kanca Delengen Aku Arep Mati,
Amat-Amat Ana Aku” (Kawan-Kawan Aku Lihatlah Aku Akan Mati, Amat-
Amatilah Aku”). Kemudian berbaringlah Bapak Hardjosapoero dan memejamkan
mata untuk mati. Dalam pelaksanaan penerimaan wahyu ini Bapak Harjosapoero
menceritakan pengalaman mati dalam hidupnya, beliau merasakan bahwa rohnya
telah berpisah dengan badan wadagnya, yang kemudian naik menuju alam
langgeng dan sampailah disebuah rumah yang besar indah, terlihat seseorang yang
bersinar laksana Maha Raja. Kemudian bapak Hardjosapoero sujud dan
menyembah kepada Hyang Maha Kuasa. Seselesainya sujud, bapak Hardjosapoero
diayun-ayunkan, setelah itu diantar ke taman bunga yang indah sekali, lalu diantar
ke sebuah sumur yang penuh dengan air bersih, kemudian diantarnya kembali ke
sumur yang kedua yang penuh dengan air pula. Kedua sumur ini dinamakan Sumur
Gumuling dan Sumur Jalatunda. Kemudian orang yang bersinar itu bersabda
“inilah untuk mu” sambil menyodorkan dua budah keris pusaka. Dua belah keris
ini bernama Negrosoro dan Bendo Segodo. Kemudian kembali kepada badannya
dan inilah yang dinamakan Racut.” 106
Racut ialah memisahkan rasa perasaan (angan-angan pikiran) untuk
menghadap Allah Hyang Maha Kuasa dan setelah selesai ruh ini diperintahkan untuk
kembali lagi ke raga awalnya. Keadaan ini bisa disebut “mati sajroning urip” (mati
dalam hidup), maksud yang mati hal ini ialah pikiran, angan-angan dan kemauan.
Setelah ditundukannya pikiran, angan-angan dan kemauan, kemudian roh dapat
melayang menghadap Allah Hyang Maha Kuasa. Perginya roh kepada Allah Hyang
Maha Kuasa ini bertujuan untuk mengetahui keadaan setelah meninggal dan
kembali kepada Allah Hyang Maha Kuasa.
105
Remaja Kerohanian Sapta Darma, artikel diakses pada Tanggal 02 Maret 2018 dari
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/racut.html. 106
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama (Yogyakarta, Sanggar Candi Rengga-
Surokarsan Unit Penerbitan, 2010), h. 15-16.
80
Pelaksanaan Racut dilakukan setelah melaksankan sujud wajib dengan
menambahkan satu bungkukan yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin. racut
bukanlah hal yang mudah di praktekan, maka dari itu, perlu melakukan latihan
secara terus-menerus dan bertahap hingga bisa untuk melakukan racut ini.
Implementsi dari melaksnakan Racut ini memungkinkan seseorang memiliki ke-
waskitaan (kewaspadaan) yang tinggi.
4. Ening atau Samadi
Ajaran Sapta darma mengajarkan kepada warganya untuk melaksanakan
Ening atau Samadi. Ening ialah sebuah ajaran untuk dapat menenangkan pikiran
dengan mengucapkan Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah
Hyang Maha Adil.
Dalam pelaksanaan Ening atau Samadi ini orang akan mendapatkan hasil
yang luar biasa, antara lain dapat melihat dan mengetahui keluarga yang tempatnya
jauh, dapat melihat arwah leleuhur yang sudah meninggal, dapat mendeteksi atau
mengetahui perbuatan yang dilakukan atau tidakny, dapat melihat tempat angker dan
dapat menghilangkan keangkeran tempat tersebut, serta dapat menerima wahyu dan
mendapat berita ghaib.107
Ketika seseorang telah menyapai pada tataran ini, maka seseorang atau
manusia tersebut akan mendapatkan suatu kelebihan seperti, dapat melihat
keluarganya yang jauh, dapat menetralisir tempat tempat angker dan dapat menerima
107
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 189.
81
wahyu.108
Dalam pelaksanaan Ening ini tidak semua Warga Sapta Darma dapat
melaksanakaannya sebab hal yang harus dilakukan untuk mencapai Ening yang
sempurna ialah dengan ketenangan hati yang teguh dan penuh dengan keyakinan.
108
Hasil wawancara dengan bapak Sukanto (Pengurus dan Penganut Ajaran Sapta Darma)
Pada tanggal 23 Februari 2018.
82
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN
A. Kesaksian Terhadap Tuhan (Kredo)
Setiap penganut kepercayaan atau keagamaan harus memiliki keyakinan
terhadap apa yang mereka yakini. Sebagai sebuah langkah awal untuk menuju ikatan
antara hamba dengan Tuhan. maka harus ada sebuah ikrar atau sebuah kesaksian
antara seorang hamba dengan Tuhan, dalam Istilah keilmuan disebut dengan Kredo,
sedangkan dalam beberapa tradisi keagamaan seperti Islam, disebut sebagai
Syahadat.
Begitu halnya dengan kedua ajaran ini, mereka sama-sama memiliki sebuah
pernyataan kesaksian terhadap Tuhan-Nya masing-masing, untuk membentuk sebuah
ikatan dengan Tuhan yang mereka yakini. Dalam Tradisi ajaran Pangestu mereka
menyebutnya dengan “Paugeran”, sedangkan dalam Tradisi ajaran Sapta Darma
mereka menyebutnya dengan “Mblong Nur Roso”.
Dalam ajaran Pangestu setiap anggota baru atau seseorang yang telah sadar
terhadap keyakinan kepada Suksma Kawekas, maka seseorang tersebut harus
mengucapkan kalimat suci (Paugeran).1 Paugeran ini merupakan sebuah langkah
awal yang harus dilakukan oleh setiap warga atau anggota Pangestu, karena tanpa
tertanamnya rasa percaya terhadap Sang Pencipta, maka seseorang itu tidak akan
pernah mencapai kepada kelepasannya atau Mistisimenya. Seperti yang telah
dijelaskan dalam Sasangak Jati dalam Hasta Sila pada bagian Tri Sila di poin kedua,
1 R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati (Jakarta,
Paguyuban Ngesti Tunggal, 2014), Cet-ke 7, h. 117.
83
yaitu: “Percaya”, dimana seseorang harus percaya bahwa tiada Tuhan yang benar-
benar disembah selain Suksma Kawekas (Allah),2 adapun bunyi dari Paugeran itu
sendiri ialah:
“Suksma Kawekas adalah tetap menjadi sembahan hamba yang sejati, adapun
Suksma Sejati adalah tetap menjadi Utusan Tuhan Sejati, serta menjadi penuntun
dan Guru hamba yang sejati. Hanya Suksma Kawekas pribadi yang menguasai
alam semua seisinya, hanya Suksma Sejati yang menjadi pribadi yang menuntun
para hamba semua. semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada pada
Suksma Sejati, adapun hamba ada di dalam kekuasaan Suksma Sejati.”3
Dalam ajaran Sapta Darma kredo atau Mblong Nur Roso, ini menjadi pintu
penghubung dengan Sinar Cahaya Allah dengan Tuhan.4 Penghubung ini bertutujan
untuk menghubungkan rasa (ruh) manusia dengan ruh Tuhan. Hubungan antara ke
dua rasa atau Ruh ini sering disebut dengan Jalane Nur Roso. Hal ini guna untuk
menoptimalkan spiritual manusia untuk menyatu dengan Tuhan, karena pernyataan
kesaksian hamba terhadap Tuhan itu merupakan langkah paling awal untuk menuju
Mistisisme Sapta Darma.
Dari kedua ajaran ini penulis menilihat bahwa diantara ajaran ini
mengharuskan penganut atau umatnya untuk melakukan sebuah Ikatan dengan
Tuhan-Nya masing-masing, dengan melalui sebuah ikrar yang diucapkan atau
dipraktekan oleh penganutnya masing-masing. Sebagai sebuah jalan untuk mencapai
tujan akhir manusia.
2 R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 9.
3 R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 119. 4 Wawancara dengan bapak Soekamto (pengurus dan penganut ajaran Sapta Darma), 29 maret
2018.
84
B. Konsep Jiwa (Ruh) Berasal dari Pancaran (Emansi)
Emanasi adalah suatu teori tentang terciptanya alam semesta dari pancaran
Tuhan.5 kata Emanasi berasal dari bahasa inggris Emanation yang berarti
Pemancaran.6 Jadi bisa dikatakan emanasi merupakan suatu proses munculnya
sesuatu dari pancaran, bahwa yang dipancarkan itu sama substansinya dengan yang
memancarkan. Selain itu, emanasi juga berarti, realitas yang keluar dari sumber
(seperti cahaya yang keluar dari matahari). Dengan beremanasi itu, maka The One
(mengutip perkataan Plotinus) tidak mengalami perubahan, emanasi itu sendiri tidak
berada di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi ruang dan waktu itu ada berada di titik
paling bawah dalam proses emanasi.7 Maka ruang dan waktu itu merupakan sebuah
pengertian akan suatu dunia benda.
Dalam hal ini, kedua ajaran kebatinan Pangestu dan Sapta Darma sama-sama
memiliki ajaran tentang adanya konsep emanasi, yaitu menyakini bahwa manusia itu
merupakan pancaran atau peletikan api dari Tuhan. Sebagaimana dalam ajaran
Pangestu mereka menyatakan bahwa manusia (Ruh Suci) itu merupakan Pletikan Api
(Pancaran) dari Tuhan (Suksma Kawekas), dalam hal ini mereka mengenal Tri Purusa
yaitu Tuhan satu yang bersifat tiga (Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci),
yang menjadi penggambaran tentang sebuah emanasi, hal ini dijelaskan dalam Sabda
Pratama bagian ke II bahwa:
“Bahwa semua sifat hidup itu berasal dari Suksma Kawekas, Tuhan seru sekalian
alam, beradanya sembahan yang sejati ialah Sumber Hidup, yang akan kembali
5 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum: Dari Metodologi Sampai
Teosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 460. 6 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Utama Jakarta), Cet-ke 29, h. 210. 7 Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 1975), h. 18-19.
85
kepada-Nya. Sejatinya hidup itu satu, yang abadi keadaanya, meliputi semesta alam
seisinya.”8
Dalam sabda tersebut menegaskan bahwa Suksma Kawekas merupakan zat
yang menjadi pusat dan utama terjadinya alam semesta ini, bahkan manusia
merupakan bagian dari pada Suksma Kawekas.
Begitu pula halnya dengan ajaran Sapta Darma menyatakan bahwa manusia
merupakan (Roh Suci) pancaran dari Sinar Cahaya Tuhan. Dalam penjelasannya,
mereka menjabarkan konsep emanasi melalui lambang ajarannya. Bahwa terdapat
empat sudut dalam belah ketupat, hal ini menggambarkan sudut atas diartikan Sinar
Cahaya Allah, sudut bawah diartikan sebagai sari bumi dan kedua sudut kanan dan
kiri itu diartikan sebagai perantara terjadinya manusia. Dalam belah ketupat itu
terdapat sebuah tepi yang berwarna hijau tua, ajaran ini mengartikan sebagai badan
jasmani. dan belah ketupat itu memiliki warna dasar hijau muda yang dalam ajaran
ini artikan sebagai Sinar Cahaya Allah.9 Hal ini dapat dinyatakan bahwa dalam badan
jasmani seseorang telah terbabar Sinar Cahaya Allah, yang mereka sebut sebagai
Rasa atau Ruh.
Secara tidak langsung ajaran Pangestu dan ajaran Sapta Darma menyakini
bahwa di dalam diri manusia (Jiwa) itu terbabar percikan Tuhan atau Sinar Cahaya
Tuhan. Itulah sebebanya mengapa setiap warga Pangestu diwajibkan untuk
melaksanakan Panembah (Ibadah) dan begitu pula halnya dengan warga Sapta Darma
dianjurkan untuk melaksanakan Sujud, agar manusia itu sadar bahwa didalam diri
manusia terdapat sesuatu yang “suci”.
8 R. Soenarto Mertowerdojo, Sabda Pratama, h. 3.
9 Sri Pawenang, Wawerah Kerohanian Sapta Darma, h 25.
86
Konsep jiwa berasal dari yang satu ini merupakan sebuah pengetahuan awal
menuju kepada akhir kedua ajaran ini yaitu Mistisisme. Tanpa ada sebuah
pengetahuan tentang asal muasal dasar jiwa ini, maka kita tidak akan bisa
menemukan titik tujuan ajaran ini. Itu sebabnya mengapa dari kedua ajaran ini selalu
mengajarkan bahwa kita harus saling berbuat baik sesama manusia dan menjujung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena mereka sadar bahwa tanpa ada sebuah
perbuatan baik seseorang itu tidak akan pernah sampai kepada tujuan ajarannya
masing-masing.
C. Konsep penaklukan Hawa Nafsu
Mistisme merupakan aspek puncak yang menjadi tujuan beradanya kedua
aliran kebatinan ini, aliran kebatinan lahir bukan serta merta hanya ingin memberi
tahu kepada umat manusia, cara untuk dapat kembali kepada Tuhan. akan tetapi,
seorang manusia harus bisa memantaskan diri sebelum seseorang itu kembali dan
bertunggal kepada Tuhan. tidak ada suatu aliran kebatinann yang tidak mengajarkan
kebaikan, melaikan cara dan proses ajarannya yang berbeda.
Dalam ajaran Pangestu ketika Suksma Kawekas menciptakan alam ini dengan
karsanya, maka timbulah empat unsur yang menjadi bahan utama penciptaan alam.
keempat unsur ini menjalma menjadi sebuah sifat atau nafsu manusia, yang tadinya
merupakan bahan baku utama penciptaan manusia. seperti unsur tanah yang
menjelma menjadi sifat Lauwamah digambarkan sebagai sifat buruk, kedua unsur api
yang menjelma menjadi nafsu Amarah digambarkan sebagai sifat pendorong,
penyemangat. Ketiga, unsur air, menjelma menjadi sifat Sufiah digambarkan sebagai
sifat keinginann terhadap suatu hal yang baik, dan terakhir unsur Suasana (udara
87
bersih) yang menjelma menjadi sifat Mutmainah digambarkan sebagai sifat yang
baik.10
Dari adanya sifat manusia inilah menjadikan manusia itu bermacam-macam
wataknya. Ada yang pemarah, serakah, penolong dan pemaaf, itu semua merupakan
di bawah kendali hawa nafsu seseorang. Maka dari itu dalam ajaran Pangestu ini,
mengajarkan seseorang agar dapat menegndalikan jatah porsi hawa nafsunya agar
tidak ada yang berlebihan.
Begitu pula halnya dalam ajaran Sapta Darma mereka memiliki konsep bahwa
di dalam diri manusia itu terdapat empat nafsu yang menjadi penggerak utama
manusia, yaitu nafsu Lawamah, nafsu Amarah, nafsu Sufiah, nafsu Mutmainah.
sebagaimana yang digambarkan dalam lambing ajaran ini. Dimana terdapat sebuah
lingkaran yang sepusat yang terdiri dari empat warna, hitam (Lawwamah), merah
(Amarah), kuning (Sufiah), dan putih (Mutmainah).11
Ruh Suci merupakan pancaran Tuhan akan tetapi ketika diturunkan dibumi
Ruh Suci ini dibungkus oleh empat unsur yang menjelma menjadi manusia, setelah
terciptanya manusia. unsur tersebut menjadi sifat yang dimiliki oleh manusia. dalam
ajaran Pangestu dianjurkan untuk selalu mengolah rasa kedalam dan melihat kedalam
diri, sebagaimana tujuan ajaran ini “berusaha untuk bertunggal kembali kepada-Nya”.
Maka sebelum seseorang itu dapat menuju kebetunggalan seseorang itu harus
mensucikan dirinya terlebih dahulu, dengan melakukan Panembah, Tapa Brata, Olah
Rasa.12
Hal ini bertujuan untuk agar manusia senantiasa dapat mengontrol hawa
10
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 51. 11
Sri Pawenang, Waerah Kerohanian Sapta Darma, h. 22. 12
Ceramah Pencerahan dengan ibu Titis (Penganut dan Pengurus Pangestu) 7 Desember
2017.
88
nafsunya, karena apabila manusia tidak dapat mengontrol hawa nafsunya, maka yang
akan mengusasi seluruh jiwanya ialah nafsunya sendiri. misalnya saja, ketika
seseorang itu memiliki watak yang tamak dan suka pemarah, itu sesungghnya sifat
yang paling dominan ia kembangkan ialah sifat Lauwamah dan Amarah, sehingga
seseorang menjadi buruk sifatnya. Dan apabila seseorang itu memiliki watak
penolong suka memberi itu pertanda bahwa sifat Sufiah dan Mutmainah lebih
dominan dalam diri seseorang.13
Dalam prosesnya kedua ajaran ini memiliki praktik penaklukan yang berbeda
walau diatas telah dijabarkan bahwa kedua ajaran ini memiliki konsep hawa nafsu
yang sama dalam penyebutan atau istilah yang sama. Dalam Ajaran Pangestu
penaklukan hawa nafsu, berusaha merubah posisi sifat yang buruk Lawwamah yang
dengan mendahulukan sifat yang baik Mutmainah, dengan cara melaksanakan Trisila
dan Hasta Sila. dimana seseorang akan diuji secara sifat seperti seseorang itu harus
sabar dan harus ihlas dalam keadaan apapun karena ketika seseorang 14
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa kunci awal untuk
mencapai mistisme dalam ajaran Pangestu, seseorang harus bisa mengamalkan Hasta
Sila terlebih dahulu. Untuk dapat mengamalkan Hasta Sila, seseorang harus dapat
mengendalikan hawa nafsunya agar dapat sesuai dengan karsa Tuhan. Inilah point
awal yang harus dilakukan oleh warga atau pengikut Pangestu, karena apabila tidak
bisa mengamalkan Hasta Sila, maka mustahil bagi seseorang itu untuk dapat kembali
kepada-Nya atau bertunggal dengan Suksma Kawkas. inilah tujuan mengapa harus
13
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 7-11. 14
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 52.
89
ada sebuah konsep penaklukan hawa nafsu, agar semua penganut ajaran Pangestu
dapat melaksanakan Hasta Sila.
Tidak hanya ajaran Pangestu yang menganjurkan umat atau pengikutnya untuk
dapat mengontrol hawa nafsunya,begitu pula dengan halnya ajran Sapta Darma yang
menganjurkan pengikutnya untuk selalu mengendalikan hawa nafsu dengan cara
bersujud. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa manusia itu
memiliki empat nafsu terdiri dari nafsu Lawwamah, nafsu Amarah, nafsu Sufiah dan
nafsu Mutmainah, Dari kemmpat sifat yang berbeda-beda ini memiliki gambarannya
masing-masing. sifat Lawwamah atau nafsu angkara digambarkan sebagai sifat yang
kotor, bahkan dikatakan sifat ini digambarkan sebagai sebuah kata kata yang keluar
dari mulut, akan tetapi kata kata tersbut merupakan hal yang buruk. Sifat Amarah
digambarkan sebagai sifat kejam, pemarah. Kemudian, sifat Sufiah yang
digambarkan sebagai sifat yang bersifat pendorong atau rasa keinginan. Yang terakhir
sifat Mutmainah yang digambarkan sebgai sifat yang baik atau sifat yang suci.15
dalam prakteknya ajaran Sapta Darma menganjurkan untuk selalu melaksanakan
sujud, sebuah praktek untuk mengolah jalannya air sari dalam tubuhnnya agar bisa
menghilangkan sari bumi dan mendapatkan sifat Nur Cahaya Allah.
Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa dalam Ajaran Pangestu dan Ajaran Sapta
darma menganjur kepada manusia agar senantiasa menggali diri, mengolah rasa
pribadinya sendiri agar seseorang dapat bertunggal dengan Tuhannya. Hakikatnya
sesuatu yang suci itu akan kembali kepada yang suci lagi, kerena manusia itu
15
Wawancara dengan bapak servarius (pengurus dan penganut ajaran Sapta Darma), pada
tanggal 2 April 2018.
90
merupakan bersasal dari hakikat dari yang suci. Ini lah yang menjadi kesamaan
diantara kedua ajaran ini. Akan tetapi perbedaan diantara kedua ajaran ini ialah secara
Prakteknya yang harus dijalankan dalam proses penaklukan hawa nafsu ini.
D. Pencapaian Budi Luhur
Setalah berbicara tentang pengolahan nafsu yang dapat mengendalikan jiwa
manusia, kebanyakan dari aliran kebatinan membicakan tentang persoalan Budi
Luhur, yang merupakan batasan seseorang dalam tingkatan keluhuran manusia.
Karena budi luhur sendiri tidak akan di dapat dengan sendirinya, akan tetapi dengan
pengolahan jiwa tersebut. maka penaklukan hawa nafsu itu merupakan menjadi
langkah awal untuk menju kepada budi luhur.
Dalam ajaran Pangestu sendiri budi luhur dicapai ketika seseorang itu dapat
mengamalkan Hasta Sila (Tri sila dan Panca Sila). dalam pandangan ajaran ini,
menyatakan bahwa ada dua ranah dalam berbicara masalah Hasta Sila, pertama
secara vertikal (Tri Sila) dan secara horizontal (Panca Sila). Seseorang ini harus
menagamalkan Tri Sila (sadar, percaya dan taat), ini merupakan menjadi kunci
seseorang untuk dapat menegtahui keyakinannya. Sadar sendiri dalam ajaran ini,
merupakan sebuah keyakinan dan kesaksian kepada Tuhan bahwa tiada Tuhan yang
lain selain untuk di sembah, maka hal ini benar-banar harus diamalkan dan selalu
diyakinkan dengan ucapan seperti Kredo.16
Percaya dalam hal ini pula harus
diamalkan dengan benar benar mempercayai bahwa apa yang telah disadari itu
menjadi keyakinannya. Selain itu, percaya ini pula menjadi sebuah tali penghubung
antara hamba dengan Tuhan. Sedangkan, Taat sendiri merupakan sebuah kepatuhan
16
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 49.
91
seorang hamba kepada Tuhannya, dalam hal ini seseorang harus benar benar bisa
menjalankan segala perintah Tuhan.17
sebagaimana Suksma Kawekas memerintahkan
untuk mendalamkan Hasta Sila dan berpanembah, maka hal itu menjadi sebuah
keharusan bagi para warga pangestu.
Pada dasarnya Tri Sila ini merupakan amalan seorang hamba kepada Tuhan,
agar senantiasa mengingat dan berpanembah kepada-Nya. Sehingga wajib bagi setiap
warga Pangestu untuk terus secara berulang melakukan Tri Sila. Karena hidup itu
butuh sebuah keseimbangan, sebagaimana dalam lambang aliran kebatinan ini.18
maka pentinglah Panca Sila (rela, narima, jujur, sabar dan budi luhur) untuk
keseimbangan dalam pencapaian tujuan akhir yaitu bertunggal. Panca Sila ini bersifat
horizontal lebih kepada pengolahan sifat manusia, serta hubungannya dengan
seseamanya, maka setelah seseorang itu dapat mengendalikan hawa nafsunya,
diwajibkan baginya untuk mengamalkan Panca Sila. misalnya rela, ketika seseorang
telah menahan dan mengendalikan hawanya, maka tidak akan ada timbul sifat
Amarah, yang berujung kepada kekcewaan. Disini seeorang akan dilihat dan di uji
sejauh mana jiwa manusia untuk tetap rela bahwa dunia ini sesungguhnya milik-
Nya.19
17
Ceramah Pencerahan bersama Bapak Puji ke 4. (Pengurus dan Penganut ajaran Pangestu),
Pada Tanggal 27 November 2017. 18
Lambang Aliran pangestu ini terdiri dari dua bagian yaitu bunga mawar dan bunga kamboja
yang mana artinya ini merupakan keseimbangan dunia, disini manusia diajarkan untuk tetap mengingat
kedua hal pertama dunia, maksud dari dunia ini seseorang itu harus berjajaya, berhasil dan sukses.
Kedua bunga kamboja artinya, agar manusia sesntiasa pula bahwa dunia ini sementara, maka
dianjurkan pula tidak hanya jaya di dunia akan tetapi jaya pula di akhirat nanti. Tutur bu Titis. Titis
Bambang, Hasta Sila, h. 8. 19 Soewondo, Ulasan Kang Kelana, h. 127.
92
Narima merupakan sebuah sikap untuk tetap ikhlas akan segala keadaan yang
menimpanya, sehingga disini seseorang diajarkan untuk tetap sadar bahwa kedudukan
tertinggi di dunia ini hanya milik Tuhan, manusia tidak bisa merubah suatu keadaan,
akan tetapi bisa meminimalisirnya. Ketika sikap narima ini telah tertanam dalam jiwa
seseorang, maka sikap rela pun semakin kuat tertanam. Karena rela tanpa menerima
sebuah keadaan itu mustahil.20
Setelah kedua sikap rela dan narima benar benar tertanam dalam jiwa
seseorang, maka secara tidak langsung seseorang itu pula memancarkan jiwa
kejujuran. ketika seseorang itu tidak rela dan menerima maka seseungguhnya
seseorang itu condong kepada kebohongan. Tidak ada keadaan yang tidak bisa kita
hindari bahkan sampai kematian pun, seseorang tidak bisa menghindari itu.21
kejujuran menjadi aspek penting dalam hal ini, karena dari kejujuran ini seseorang
belajar untuk berbuat benar sesuai dengan keadaan yang ada.
Kejujuran ini mencerminkan seseorang berprilaku sabar, keadaan sabar ini
memang benar benar sulit didapat oleh setiap jiwa manusia. melainkan dengan teguh
pendirian seseorang itu melewati segala cobaan dan rintangan yang diberikan oleh
Tuhan. hal ini pula mengasah seseorang untuk menahan hawa nafsunya dan tetap
terjaga, agar sifat Lawwamah dan Amarah tidak menjadi penggerak utama jiwa
manusia.
Ketika seseorang telah bisa menanamkan keempat sikap ini rela, narima, jujur
dan sabar. Maka secara tidak langsung jiwa seseorang ini menjadi budi luhur.
20
Budi Darmadi, Panguyuban Ngesti Tunggal (Jakarta, Unit Penerbitan Pangestu, 2014). Cet-
ke 3, h. 25-27. 21
Titis Bambang, Hasta Sila, h. 9.
93
Takaran budi luhur ini merupakan sejauhmana seseorang ini bisa menahan hawa
nafsu dan dapat melaksanakan seluruh Panca Sila, maka penting Hasta Sila ini
diamalkan ketika seseorang telah bisa mengendalikan hawa nafsunya.
Sifat budi luhur ini merupakan menjadi sebuah langkah awal dalam pencapaian
Mistisme Pangestu itu sendiri. penyucian diri dan penyesuaian diri ini itu penting.
karena ketika seseorang telah dapat memiliki sifat budi luhur seseorang telah
menyadari bahwa dalam dirinya terdapat Ruh Suci.22
maka pengolahan diri telah
dapat dikontrol. Dikatakan dalam Candra Jiwa, merupakan hasi pemikiran dari Bapa
Soemantri dalam membicarakan tentang manusia.23
bahwa ketika seseorang telah
Sadar, Percaya dan Taat dan dia telah mencerminkan budi luhur, maka seseorang itu
telah dapat melaksanakan Panembah yang seseungguhnya ialah dimana Jiwa yang
Masi muda akan merasakan bahwa didalam dirinya terdapat Ruh Suci.
Sama halnya dengan ajaran Pangestu, dalam ajaran Sapta Darma sendiri
mereka menganjurkan kepada penganutnya untuk dapat menjadikan budi yang luhur
dengan demikian seseorang akan dapat dengan mudah melaksanakan segala
peribadatannya. Dalam ajaran Sapta Darma mereka menyatakan bahwa seeorang
harus bisa mengontrol jalannya air sari yang berada didalam Tubuh manusia dengan
melaksanakan penggalian pribadi. Sebagaimana disebutkan dalam buku pedoman
penggalian pribadi manusia. bahwa seseorang harus melaksanakan penggalian ini
22
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 25. 23
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 109.
94
dengan berkesinambungan dan teratur sesuai dengan yang telah ditentukan waktunya
oleh pembimbing tuntunnan penggalian.24
Sebagaimana yang dinyatakan oleh pak Soekamto bahwa ajaran Sapta Darma
ini pendekatannya terhadap kerohanian, oleh kerena itu dalam ajaran Sapta Darma ini
lebih banyak membicarakan tentang praktek penggalian atau pengolahan rasa. Dalam
tataran ini seseorang apabila ingin meningkatkan kualitas jiwanya, maka seseorang
itu harus bisa mengendalikan jalannya air sari dan mengendalinakan kesembilan
lubang yang nanti nya akan menjaadi permanianan nafsu.25
Maka penting untuk terus
melaksanakan sujud, dalam ataran ini seseorang harus benar benar melaksanakan
sujud, bukan hanya secara fiksik akan tetapi jiwa, dimana seseorang harus
mengulangkan usapan tentang keluhuran Tuhan secara terus menerus. Dengan hal ini
maka jalannya air sari akan terus mengalir sehingga dapat mengontrol dan
merendahkan hawa nafsu.
E. Konsep Trinitas
Dalam kedua ajaran ini mereka memiliki kesamaan dalam konsep Trinitas
atau Emanasi, bahwa kedua ajaran ini menyakini jiwa itu berasal dari pancaran
Tuhan. akan tetapi, diantara keduanya memiliki perbedaan misalnya dalam ajaran
Pangestu mereka menyakini konsep Tri Purusa yang terdiri dari Suksma Kawekas,
Suksma Sejati dan Roh Suci.26
Sedangakan, dalam ajaran Sapta Darma itu sendiri
mereka menyebutnya dengan Tritunggal yaitu sinar Cahaya Allah, ari sari bapak dan
24
Sri Pawenang, Pedoman Penggalian Pribadi Manusia Secara kerohanian Sapta Darma, h.
6. 25
Sri Pawenang, Wawerah Kerohanian Sapta Darma, h. 23. 26
R. Soenarto Mertowerdojo, Sabda Pratama (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2015), h.
3
95
air sari ibu.27
Dalam hal ini bisa dibandingkan diantara keduannya, bahwa yang
dimaksud dengan Tripurusa dalam ajaran Panestu ini merupakan sifat Tuhan yang
menjadi tiga sebagaimana diyakini dalam ajaran Agama Kristen dan agama Khatolik.
Sedangakan dalam ajaran Sapta Darma ini mereka tidak mengenal Tuhan itu ada tiga
akan tetapi mereka mengenal akan tiga hal yang menjadikan turunnya Ruh Suci
kedalam dunia ini, dengan melalui perantara Ibu dan Bapak. Sri Pawenang
menyatakan tentang Trinitas bahwa “Tuhan yang juga kami sebut Yang Maha Kuasa
atau Allah atau Sang Hyang Maha Widi, ialah zat mutlak yang tunggal, pangkal
segala sesuatu, serta pencipta segala sesuatu yang terjadi. Tuhan memiliki lima sifat
keagungan mutlak, yaitu : Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa
dan Maha Langgeng.”28
Jadi konsep ketritunggalan yang di ajaran sapta darma itu
berbeda dengan ajaran Pangestu, karena Sapta Darma itu sendiri tidak menyakini
adanya sebuah utusan yang abadi, hanya mengenal Tuhan Yang Mutlak, berbeda
sebagaimana yang di paparkan dalam ajaran Pangestu yaitu Suksma Sejati yang
menjadi utusan abadi dan penuntun manusia.
Dalam kitab Sasangka Jati diterangakan bahwa “Suksma Kawekas adalah
tetap menjadi sembahan yang sejati, adapun Sukma Sejati tetap menjadi utusan
Tuhan Sejati, serta menjadi Penuntun dan Guru hamba yang sejati. Hanya Sukma
Kawekas pribadi yang menguasai alam seisinya, hanya Sukma Sejati pribadi yang
menuntun hamba semua. Semua kekuasaan ialah kekuasaan Suksma Kawekas, ada
27
Sri Pawenang, Wewerah Kerohanian Sapta Darma, h. 22. 28
Petir Abimayu, Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya, h. 99.
96
pada Sukma Sejati, adapun hamba ada didalam kekuasaan Suksma Kawekas."29
Dalam hal ini dengan sagat tegas bahwa konsep Tripurusa yang dalam ajaran
Pangestu yakini bahwa adanya penuntun manusia dalam kehidupan manusia.
sedangakan untuk permasalahan ibu dan bapak menjadi bahan bakal manusia, dalam
ajaran ini terdapat pula dalam konsep Gumelaring Dumadi.
Dikatakan bahwa “Adapun terciptanya manusia yang paling awal adalah laki-
laki, yaitu yang akan menurukan benih, atau menjadi perantara turunya Roh Suci.
Tuhan kemudian menciptakan perempuan, yang akan menjadi perantara mewadahi
turunya Roh Suci. semua itu terjadi atas kuasa Tuhan. Demikian seterusnya, keadaan
manusia dapat berkembangbiak hingga sekarang, turunya Roh Suci dengan perantara
laki-laki dan permpuan.”30
Dalam ajaran pangestu merka tidak memasukan Laki-laki
dan perempuan sebagai konsep ketrinitasan, akan tetapi sebagai wadah untuk
meneurunkan Ruh Suci dari Suksma Sejati.
Dalam hal ini adanya perbedaan dalam konsep Trinitas dengan Tripurusa
dalan ajaran Pangestu, ajaran Sapta Dapra mengajarkan bahwa permulasaan manusia
tercipta dari Ruh Suci, air sari bapak dan air sari ibu, yang kemudian akan terciptanya
manusia dari hal ini.
F. Identitas Ajaran
Meski kedua ajaran ini terdapat memiliki persamaan yang menjadikan
terdapatnya kemiripan dalam konsep Mistisisme ini. Tetapi, diantara kedua ajaran ini
29
R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, h. 3. 30
R. Tumenggung Hardjoprakoso, Sasangka Jati, h. 45.
97
mereka pun memiliki perbedaaan dalam konsep identitas ajaran itu sendiri, yang
menjadi karakteristik atau ciri khas kedua ajaran ini.
Dalam perkataan bapak Soekanto bahwa kebtinan itu ada tiga pertama
Penghayat Kepercayaan (Murni) maksudnya itu perspektif orang jawa bahwa Tuhan
itu tidak bisa dibatasi apamaunya bahkan sampai untuk menurunkan wahyu kepada
siapa saja. Kedua, Aliran Kepercayaan (sempalan dari agama) maksudnya ialah
adanya sebuah sekte pecahan dari agama. ketiga, bangsa Paranormal (dukun). Dalam
hal ini kedua ajaran ini Pangestu dan Sapta darma termasuk pada poin pertama yaitu
Penghayat Kepercayaan, akan tetapi dalam pengayat kepercayaan ini pun terdapat
tiga bagian lagi. Pertama, Kerohanian. Kedua, Kejiwaan, dan ketiga, Kebatinan.
Dalam penuturan Bapak Soekanto bahwa ajaran Sapta Darma termasuk kedalam
golongan pertama yaitu kerohanian.31
Dalam hal ini bisa dilihat dari kegiatan yang
dilakukan dalam ajaran ini, lebih condong kepada praktek keagamaan ketimbang
untuk mengolah rasa dalam tindakan.
Berbeda dengan ajaran Sapta Darma bahwa ajaran Pangestu ini masuk ke
golongan kedua, yaitu kejiwaan. disini ajaran pangestu lebih menekankan secara
kejiwaan untuk mencapai tingkatan budi luhur. Seseorang harus bisa mempraktekan
Panca Sila dalam kehidupan kesehariannya agar bisa mencapai budi luhur.32
Ini bisa
terlihat jelas, walau kedua ajaran ini memiliki kesamaan dalam penaklukan hawa
nafsu. Karena dalam ajaran Sapta Darma sendiri, seseorang untuk dapat
31
Wawancara bersama Bapak Servarius (pengurus dan penganut ajaran Sapta Darma), Pada
Tanggal 20 April 2018. 32
Wawancara bersama bapak Puji (Pengurus dan Penganut ajaran pangestu), Pada Tanggal 23
November 2017.
98
mengendalikan hawa nafsu ialah dengan bersujud, dengan melatih jalannya air sari.33
Jadi bisa dikatakan bahwa ajaran Sapta Darma lebih menekankan praktek keagamaan,
berbeda jauh dengan ajaran Pangestu yang menekankan sejara kejiwaaan.
Karakteristik dan cirikhas dari kedua ajaran ini jelas jauh berbeda walau sama
sama ajaran kebatinan, namun dalam realitanya bahwa ajaran Sapta Darma yang
sangat menggunakan gerakan untuk melaksanakan pencapaian Mistisismenya,
bahkan dari gerakan itu, ajaran ini bisa menggambarkan seseorang telah melakukan
Mistsismenya. Berbeda dengan ajaran Pangestu yang lebih kepada pengolahan sikap
untuk menuju Mistsisismenya, walau ada pratek keagamaan itu hanya sebagai
pelengkap saja dan bukan cara yang utama. Adapun cara utama yang dilakukan oleh
ajaran Pangestu ialah dengan melakukan pengendalian diri.
G. Penuntun
Dalam penjabaran konsep Trinitas diantara ajaran Sapta Darma dengan
Pangestu itu memiliki kesamaan dan perbedaan didalamya, begitu juga di dalam
konsep panuntun atau guru sebagai pembimbing manusia dalam menjalani hidup
sampai nantinya manusia dapat bertemu dengan Tuhannya. Keyakinan terhadap
Tuhan menjadi awalan untuk meningkatkan kesempurnaan kerohaniannya. Setelah
seseorang itu telah benar benar menyakinkan terhadap suatu ajaran, maka seseorang
harus mendapatkan suatu ritual keagamaan. Ritual ini akan menjadi tahapan
seseorang untuk dapat menjalankan peribadatan suatu ajaran, atau akses masuknya
energi ilahi kepada seseorang agar manusia dapat berhubungan langusng dengan
33
Sri pawenang, Dasar Warsa Kerohanian Sapta Darma (Yogyakarta, Sekretariat Tuntunan
Agung Unit penerbitan, 1978), h. 23.
99
Tuhan. akan tetapi seseorang tersebut tidak dapat melakukannya tanpa ada sebuah
petunjuk langsung dari guru atau dari Tuhan melalui perantaranya.
Dalam hal ini diantara kedua aliran ini memiliki konsep Panuntun atau Guru
masing-masing, sebagai pembimbing manusia untuk menuju kesempurnaannya.
Ajaran Pangestu sangat jelas menearakan konsep tentang panuntun, bahwa ada yang
namanya Susksma Sejati yang menjadi penuntun manusia serta membimbing
manusia kepada jalan yang benar, dan sebagai utusan Tuhan yang abadi. Panuntun
yang dimaksud oleh ajaran Pangestu ialah sesuatu yang bersifat transenden dan
bersifat imanen, sehingga ketika berbicara masalah panuntun atau guru sebagai
pembimbing manusia, ajaran Pangestu tidak bisa menggambarkan tentang-Nya.
Bahkan dalam keyakinan ajaran Pangestu, Suksma Sejati menjadi konsep kesatuan
antara manusia dengan Tuhan. karena wajib bagi setiap warga pangestu untuk
menyakini Suksma Sejati sebagai utusan-Nya yang abadi.
Dalam ajaran Sapta Darma sendiri mereka mengenalnya dengan “Panuntun”,
dimana Panuntun ini bertugas sebagai pembimbing bagi warga Sapta Darma, diestiap
daerah atau sanggar. Tugasnya ialah membimbing para warga Sapta Darma untuk
selalu berbuat baik kepada semua ciptaan Tuhan. selain itu, panuntun pun harus
selalu mengawasi warganya dalam segala prilaku dan ibadanya. Terkadang seseorang
mendapatkan pengalaman spritualitas yang berbeda-beda, sehingga harus ada yang
dapat membimbingnya untuk dapat menjelaskan setiap pengalaman tersebut agar
seseorang tersebut mengalami keresahan.
Sapta Darma sendiri yang dimaksud dengan Panuntun tersebut ialah bapak
Hardjosapoero yang pada tanggal 19 Agustus 1956 mendapat gelar Panuntun Agung,
100
yang langsung diterimanya dari Tuhan.34
kemudian, setelah ia meninggal jabatan
tersebut secara langgusng diganti oleh Panuntung Agung Sri Pawenang. Dari ini
dapat dilihat bahwa Panuntun yang dimasud dengan Ajaran Sapta Darma itu secara
struktural struktural, walau yang pertama diwalai dengan bimbingan Tuhan langsung.
Karena dalam Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) itu terdapat Panuntun Agung
dan Panuntun bisa. Katakanlah Panuntun Agung sebagai pimpinan pusat dan
panuntun bisa seperti pimpinan cabang atau ranting. Jadi dalam ajaran Sapta Darma
yang dimaksud dengan Panuntun sebagai utusan di dunia yang mengajarkan kepada
pada pengikutnya untuk melakukan kebaikan sesai dengan apa yang diwahyukan.
Akan tetapi, berbdeda dengan Ajaran Pangestu yang menyatakan bahwa Guru atau
panuntun yang dimaksud ialah Utusan Tuhan Yang Abadi yang bersifat imanen tidak
berwujud, walaupun pendirinya bapak Soenarto Mertowerdojo menjadi seorang yang
diwahyukan oleh Suksma Kawekas, dan telah mencaai kepada Mistsismenya, tetapi
beliau tetaplah menjadi seorang murid dari Suksma Sejati.
H. Praktek Keagamaan
Praktek Keagamaan menjadi kunci seseorang untuk melaksanakan sebuah
kewajiban sebagai hamba Tuhan. hal ini sudh sepatutnya seseorang dengan wajib
melaksanakan setiap praktek keagamaan tersebut. walau diantara kedua ajaran ini
memiliki tujuan yang sama, akan tetapi dalam Praktek Keagamaan itu sendiri
keduanya berbeda.
34
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama (Yogyakarta, Sanggar Candi Rengga-
Surokarsan Unit Penerbitan, 2010), h. 180.
101
Ajaran Pangestu meganjurkan sesorang melaksanakan Panembah selain yang
bersifat kerohanian (Hasta Sila), yaitu melaksanakan Panembah (Solat) sehari tiga
kali. Dalam pelaksanaannya, dibagi menjadi dua golongan. pertama, golongan bagi
“jiwa yang masih muda,”35
pelaksanaan Panemnbahnya (Solat) dua kali sehari, yaitu
pada waktu magrib sebanyak tiga adegan (rakaat), dan pada waktu subuh sebanyak
empat adegan (rakaat). Kedua, bagi “jiwa yang sudah dewasa”36
, pelaksanaan
Panembahnya itu sebanyak tiga kali dalm sehari, yaitu pada waktu magrib sebanyak
tiga adegan (rakaat), pada waktu tengah malam sebanyak tiga adegan (rakaat), dan
pada waktu subuh sebanyak tiga adegan (rakaat).37
Adapun tempat untuk melaksanakan Panembah, bisa dilaksanakan di rumah,
ialah tempat khusus yang bersih dan hening yang bisa digunakan untuk Panembah.
Selain itu, apabila seseorang sedang dalam perjalanan maka ditempat manapun boleh
asalkan bersih dan layak untu tempat Panembah. Selain itu, sebelum melaksanakan
Panembah (Solat) seseorang diwajibkan untuk melakukan bersuci, dalam hal ini
bersuci dibagi menjadi dua, yaitu: bersuci secara lahir (membasahi badan dengan air),
dan kedua bersuci secara batin, yaitu: seseorang harus bisa mengkonsongkan angan-
angannya serta pikirannya dan fokuskan untuk niat berpanembah (Solat).
Sapta Darma Pun memiliki praktek keagamaan sebagai jalan untuk menuju
kembali kepada Tuhan, yaitu: Sujud dan Racut. Praktek keagamaan dalam ajaran ini
35
Jiwa yang masih muda bukan berarti orang yang muda, akan tetapi tingkatan jiwa atau
keteguahanya terhadap tuhan atau kesolehanya. Wawancara Bersama bapak Puji (Pegurus dan
penganut Ajaran Pangestu) Pada Tanggal 11 Desember 2017. 36
Jiwa yang sudah dewasa, bukan berarti oyang dewasa, melainkan tingkatan jiwanya atau
kesolehannya yang telah menyadari akan keberadaan Roh Suci. Wawancra bersama bapak Puji ke 8
(Pengurus dan Pengaut ajaran Pangestu), Pada Tanggal 11 Desember 2017. 37
Puji, Panembah, h. 3. Pada Tanggal 11 Desember 2017
102
tidak terbagi secara bartin atau lahir, sebagaimana ajaran Pangestu. Melainkan
menjadi sebuah kesatuan ajara Praktek keagamaan dengan jarannya. Dalam
pelaksanaannya bagi setiap warga Sapta darma itu diwajibkan melakukan sujud
dalam sehari semalam (24 jam), sekurang kurangnya satu kali dan lebih baik apabila
lebih dari sekali. Tetapi penilaian baik tidaknya bukan dari banyaknya berapa kali
sujud akan tetapi sejauh mana kesungguhan untuk melakukan sujud dengan keinginan
yang kuat serta melakukannya di sanggar. Selain itu, dalam pelaksanaan Sujud
sesoerang harus melaksanakannya di sanggar dan melalui pembimbing atau
penuntun. Pembimbingan ini penting, agar tidak adanya kesalahan dalam merasakan
praktek Sujud.
I. Kebertunggalan / Kelepasan
Tujuan akhir dari setiap ajaran agama menghantarakan manusia kepada
kekebahagiaan yang abadi yaitu surga, yang digambarkan sebagai sebuah tempat
yang begitu indah dan terdapat apapun ketika seseorang itu inginkan. Hal ini berbeda
dengan surga yang maksudkan oleh kedua kebatinan ini yaitu ajaran Pangestu dan
ajaran Sapta Darma. Ajaran Pangestu memiliki tujuan untuk bertunggal kembali
dengan Sang Maha Hidup. Sebelum seseorang dapat menunggal dengan Sang Maha
Hidup ini, seseorang itu harus mengetahui dulu asal mula jiwanya, bahwa jiwa
manusia ini merupakan sebuah pancaran dari Suksma Kawekas. Sehingga dalam
ajaran Pangestu mereka mengenal Tri Purusa yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati
dan Roh Suci. hal ini diistilahkan sebagai Tuhan yang memeiliki sifat tiga.
103
Dalam ajaran Pangestu, pencapaian keberunggalan ini seseorang harus
melaksanakan Panembah.38
Telah disebutkan dalam bab sebelumnya bahwa ada tiga
tahapan panembah untuk dapat bertunggal dengan Suksma Kawekaa. Pertama,
Panembah raga kepada Roh Suci. Dimana tahapan jiwa yang masih muda berusaha
untuk menemukan jiwa yang seseunggunya dan selain itu pula, dalam tataran ini
seseorang baru hanya dilihat secara luarnya saja dalam melaksanakan Panembah.
Semakin seseorang itu melaksanakan Panembah akan mendapat sebuah kebaikan dan
pahala.39
Hal ini yang yang dimaksud sembah raga karena masih dalam tataran proses
pembiasaan diri untuk melaksanakan kebaikan. Sebagaimana dalam Sasangka Jati
tentang Jalan Rahayu dimana sebelum seseorang itu dapat melaksaakan Hasta Sila
seseorang harus memiliki keyakinan dulu terhadap Sang Maha Kuasa dengan
menucapkan Paugeran atau Kredo yang menjadi faktor utama untuk dapat Sadar,
Percaya dan Taat.40
Maka dari itu, dalam tataran ini seseorang baru bisa belajar secara
luarnya belum secara kerohanian atau jiwa.
Setelah seseorang dapat melaksanakan Jalan Rahayu dan dapat pula
mengamalkan Hasta Sila, maka akan tercermin dalam jiwanya budi luhur. Maka
dalam taratan ini merupakan kuci kesadaran manusia bahwa seseorang itu benar-
benar memiliki jiwa yang berasal dari Sang Maha Hidup. Selain itu, ada Panembah
Roh Suci kepada Suksma Sejati, hal ini menyatakan bahwa dalam tataran ini
38
Panembah disini bukanlah ibadah secara Praktek sebagaimana penganut ajaran Pangestu
melaksanakan Panembah (Salat) sebanyak dua atau tiga kali sehari. Melainkan, sebuah ibadah yang
bersifat transenden yang menyatukan jiwa manusia dengan rasa Tuhan, yang ditebalkan dengan Iman.
Wawancara dengan bapak Puji. (Pengurus dan Penganut ajaran Pangestu), Pada Tanggal 11 Desember
2017. 39
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h. 207. 40
R. Tumenggung Hardjoprakoso dan R. Trihardono Soemadihardjo, Sasangka Jati, h 119.
104
seseorang memang telah sadar angan-angannya dan telah luluh hawa nafsunya, serta
telah dapat melaksanakan Hasta Sila dengan benar. Maka sesorang ini telah pantas
jiwanya untuk menyatu dengan Suksma Sejati.
Tahapan yang terakhir dalam Panembah ialah Suksma Sejati kepada Suksma
Kawekas. Ini merupakan tataran puncak dari konsep Mistisisme Pangestu bahwa jiwa
seseorang telah sampai kepada asal jiwa dan akan bersama selamannya. Dalam
tataran ini dimana angan-angan telah benar benar lepas dari tugasnya sebagai
pengekang hawa nafsu, kini telah diserahkan kepada Suksma Kawekas. Maka ketika
seseorang telah dalam tataran ini bisa dikatakan setiap perkataan dan prilaku
seseorang ini merupakan karsa Tuhan atau ilham. Karena angan-angan yang berada
dalam jiwa seseorang ini telah benar benar menyatu dan diserahkan kepada-Nya.
Dengan hal itu setiap pergerakan hidupnya atau ucapannya ialah kehendak Tuhan
mengikutinya. Dalam pengertian penganut ini mereka mengistilahkan seperti para
Nabi dan pemimpin mereka.
Inilah yang dimaksud dengan Mistisime Pangestu, bahwa tujuan manusia
hidup itu kebali kepada-Nya. Untuk dapat kembali seseorang tidak dengan singkat
langsung bertunggal, akan tetapi seseorang harus dapat membersihkan jiwanya
terlebih dahulu. Yang awalnya jiwa manusia asalnya suci tetapi terbungkus oleh
anasir bumi, sehingga yang suci tidaklah suci kembali. Untuk dapat kembali. Maka
hal yang harus dilakukan ialah dengan mengendalikan sifat yang tidak baik agar hawa
nafsu seseorang dapat terkontrol dengan baik, sehingga menjadi manusia yang
bersifat baik.
105
Begitu pula dengan ajaran Sapta Darma yang menganjurkan umatnya untuk
mencapai kekebahagiaan yang seseungguhnya, yaitu bertunggal dengan Allah. Hal ini
tergambarkan dalam lambang mereka, bahwa manusia pada dasarnya berasal dari
Sinar Caha Allah (Roh Suci) karena tertutup oleh sari-sari bumi maka terputuslah
sinar tersebut, jadilah manusia sebagaimananya manusia. maka dari itu, diwajibakan
bagi seluruh umatnya atau manusia untuk menggali mengetahui jiwa yang
seseungguhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Suwarno Imam S, bahwa mistisisme
Sapta Darma ialah bahwa manusia itu berasal dari Tri Tunggal, yaitu Sinar Cahaya
Allah, air sari bapak dan air sari Ibu. Manusia harus dapat mengndalikan air sari
tersebut agar mencapai Nur Putih yang berada di ubun-ubu, ketika seseorang telah
mencapai Nur Putih maka secara langsung sseorang itu, akan bertemu dan
menghadap untuk mendapat petunjuk berupa Isyarat (Kias).41
Bagi ajaran Sapta Darma uapaya untuk mencapai Mistisimenya, seseorang
harus mengamalkan Wewerah Pitu dan melaksanakan Sujud sesuai dengan apa yang
telah ditentukan. Sebagaimana arti makna dari nama ajaran ini ialah Sapta Darma
yang berarti Tujuh Amalan Suci, maka seseorang harus mengamalkan Wewerah Pitu
yang menjadi landasan awal dalam ajaran ini. Wewerah Pitu mengajarkan untuk
menyakinkan adanya Allah dan berkau baik dalam kehidupan bermasyarakat serta
mencapai budi yang luhur. Selain Wewerah Pitu seorang warga harus melaksanakan
pula Sujud agar manusia mencapai kepada keluhuran yang berujung kepada
bertemunia jiwa (Ruh Suci) dengan Allah. Dari sujud ini seseorang akan memiliki
41
Suwarni Imam S, Konsep Tuhan Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
(Jakarta, PT Grafindo Persada, 2005), h. 253.
106
khaisat guna untuk kehidupannya, misalnya dengan sujud seseorang dapat
memberantas kuman-kuman penyakit yang berada didalam dirinya. Kedua, dapat
menentramkan dan menindas nafsu angkara (pengendalian diri atau penaklukan hawa
nafsu). Ketiga, dapat mencerdaskan pikiran, dan terahir, seseorang akan memiliki
kewaspadaan atau kewaskitan seperti, kewaskitan pendengaran, penglihatan, tutur
kata serta dalam kewaskitan rasa.42
Selain itu, sujud ini berguna untuk meperlancar jalannya sari air dan getaran,
yang merupakan itu berasal dari Yang Maha Suci. getaran ini harus bisa dikontrol
agar getaran dan Air sari, yang tadinya berada di tulang ekor dan dapat naik keubun-
ubun dan menjadi Nur Putih, merupakan menjadi pintu awal untuk jiwa seseorang
dapat bertemu dengan Yang Maha Suci.
Dalam prosesenya sebelum seseorang itu dapat mencapai atau menghantarkan
getaran itu meuju kepada ubun-ubun43
seseorang harus dapat menaklukan hawa nafsu
(Lauwamah, Amarah, Mutmainah dan Sufiah), yang berwujud menjadi dua belas
saudara didalamnya terdapat sebelas sifat yang harus seseorang itu kendalikan, karena
satu sifat pertama yaitu Hyang Maha Suci merupakan berasal dari Sinar Cahaya
Allah. Maka dari itu, ketika seseorang tidak dapat mengendalikan sifat tersebut maka
sifat pertama tersebut akan lenyap dan tertutup.
Dari sini dapat dikatan bahwa dalam kedua ajaran ini mereka mengenal konsep
kebertunggalan antara jiwa manusia dengan Tuhan, yang menjadi tujuan paling
42
Putri chikmawati, Skirpsi konsep manusia dalam ajaran sapta darma dan pemikiran
Drijakara (Surabaya, UIN Sunan ampel Surabaya, 2018), h. 32. 43
Dalam pernyataan bapak Soekanto bahwa, ubun-ubun menjadi kunci atau pintu untuk
bertemunya Ruh Suci dengan Sinar Cahaya Tuhan. Wawancara dengan Bapak Soekanto (Penganut dan
Pengurus ajaran Sapta Darma) Pada Tanggal 10 April 2018.
107
utama kedua ajaran ini. selain itu pun, diantara kedua ajaran ini pun sama sama
mengajarkan hal yang dasar untuk menjadi kuci dasar untuk menuju mistisismenya,
dalam hal ini Pangestu mengenalnya dengan Hasta Sila, sedangakan dalam ajatan
Sapta Darma sendiri mereka mnegenal dengan Wewerah Pitu yang menjadi landasan
dasar untuk menghantarakan seseorang menuju kebertunggalan atau mistsismenya.
Selain itu, diantara kedua aliran ini pun sama sama memiliki konsep menuju
kebertunggalan atau mistisisme dalam ajaran Pangestu mereka mengenal dengan
Panembah sedangakan dalam ajaran Sapta darma mereka mengenal dengan Sujud.
Adapun perbedaan yang terdapat dalam ajaran Pangestu dan ajaran Sapta
darma dalam kebertunggalan ini ialah dalam prakteknya, Sapta Darma seseorang
dapat bertemu dan bertunggal dengan Tuhan melalui Sujud akan tetapi puncaknya
ialah melalui Racut. Dimana seseorang itu akan mengalami keadaan terlepas dari
jasadnya dan akan hadir di alam yang berbeda untuk bertemu dengan Tuhan.
sebagaimana wahyu yang diterima oleh bapak Hardjosapoero tentang Racut, dimana
mati dalam hidup. Racut ialah dimana kondisi jiwa seseorang akan terpisah dengan
jasadnya dan masuk kedalam alam yang lain atau mereka menyebutnya dengan alam
Langgaeng.44
Sujud dan Racut menjadi kunci dalam tahapan Mistisisme ajaran Sapta
Darma. Ketika seseorang telah bisa melaksakan Sujud dengan benar benar, maka
seseorang akan bisa melaksanakan Racut walau butuh waktu untuk benar benar bisa
melaksanakannya.
44
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama, h. 15.
108
Hal ini berbeda dengan ajaran Pangestu yang menganggap bahwa
kebertunggalan ini hanya melalui dengan cara Panembah. Panembah menjadi kunci
utama untuk kebertunggalan setelah Hasta Sila, karena pada dasarnya Hastasila ini
guna untuk menghantarkan manusia kepada Budi Luhur serta mendorong dan
membatu manusia untuk kembali kepada Tuhan. sedangkan, panembah ini sendiri
merupakan sebuah proses ketaatan seseorang tersebut terhadap Suksma Sejati,
sesmakin seseorang itu memiliki ketatan yang tinggi maka seseorang itu akan naik
pula tingkatan Panembahnya. Maka dalam ajaran Pangestu mereka memeiliki
tinggkatan dalam Panembah yaitu Panembah hamba kepada Roh Suci, Panmebah
Roh Suci kepada Suksma Sejati dan Panmebah Suksma Sejati kepada Suksma
Kawekas. Dalam pernyataan bu titis bahwa tataran kebertunggalan itu sudah bisa
ditataran Roh Suci kepada Suksma Sejati. karena untuk menuju tataran Suksma Sejati
kepada Suksma Kawekas itu tidak didapat oleh semua orang, kecuali oleh orang yang
teralh di tentukan oleh Tuhan.
Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa kedua ajaran ini terdapat perbedaan dalam
praktek menuju kebertunggalan. Dimana ajaran Sapta Darma menganjurkan
seseorang untuk melaksanakan langsung dengan melakukan Racut, di sini seseorang
akan merekan bertunggal dengan Tuhan walau hanya sebentar. Sedangkan ajaran
pangestu tidak bisa menggambarkan orang yang bertunggal akan tetapi hanya batasan
dan hanya dirinya sendiri yang dapat mengetahui hal itu, selain itu, pangestu tidak
menjelaksan kebertunggalan itu apakah di dapat dalam kedadaan seseorang masih
didunia atau telah meninggal. Dala perkataan bu titis bahwa ajaran ini tidak bisa
menggambarkan seseorang telah melaksanakan kebertunggalan akan tetapi dapat
109
dilihat dari ciri-ciri jiwa seseorang diaman ketika Jiwa seseorang Sudah dalam
Tahapan Roh Suci kepada Suksma Sejati itu akan mencerminkan prilaku yang benar
benar seperti Tuhan yang harapkan bahkan sampai setiap perkatannya merupakan
berasal dari Tuhan.
110
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan análisis pada Bab IV, dapat diambil kesimpulan mengenai
konsep Ajaran dan Praktek keagamaan, menurut Pangestu dan Sapta Darma terdapat
kesamaan pemahaman walau tetap terdapat perbedaan;
Pertama, mengenai ikrar terhadap Tuhan, dalam kedua ajaran ini memiliki
konsep Kredo atau ikhrar seorang hamba terhadap Tuhan, sebagai sebuah pengakuan
kehambaannya. Dalam ajaran Pangestu disebut Paugeran dan dalam ajaran Sapta
Darma disebutnya Mblo Nur Roso. Akan tetapi secara pengcapan teks berbeda.
Kedua, Mengenai konsep emanasi Bahwa hakikatnya manusia itu berasal dari
dzat Tuhan, oleh sebab itu keduanya memiliki konsep Roh Suci dan Konsep emanasi
dalam proses Asal Mula manusia atau penciptaan manusia.
Ketiga, Tentang konsep penaklukan hawa nafsunya kedua ajaran ini
mengajarkan ke setiap warganya untuk melaakukan pengendalian diri atau
penaklukan hawa nafsu. Dalam ajaran Pangestu dianjurkan untuk melaksanakan
Hasta Sila, sedangkan dalam ajaran Sapta Darma dianjurkan untuk melaksanakan
Sujud, dan selain itu kedua ajara ini memiliki kesamaan dalam konsep nafsu manusia
yang terdiri dari empat sifat (Lawamah, Amarah, Mutmainah dan Sufiyah).
Keempat, Konsep Budi Luhur, diamana tingkatan jiwa seseorang telah dewasa
dan dapat mengendalikan dirinya serta sifatnya, dengan ini jiwa seseorang akan selalu
dibimbing langsung oleh Tuhan. Bahkan, dalam tahapan ini seseorang akan mendapat
wahyu dan tuntunan langsung dari Tuhan.
111
Kelima, Tentang Trinitas, dalam ajaran Pangestu di sebut dengan Tripurusa
(Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci), meruapakan sebuah gambaran
Tuhan yang memiliki sifat tiga, sama halnya dengan agama Kristen. Sedangakan
dalam ajaran Sapta Darma disebut dengan Tritunggal (Sinar Cahaya Allah, air sari
bapak dan air sari ibu). Dalam hal ini Sapta Darma tetap menyakini Tuhan satu.
Adapun air sari bapak dan air sari ibu itu merupakan cikal bakal manusia.
Keenam, Identitas ajaran bahwa kedua ajaran ini memiliki perbedaan walau
sama sama ajaran kebatinan, bahwa Pangestu itu merupakan tergolong kategori ajaran
tentang kejiwaan sedangkan Sapta Darma termasuk golongan ajaran kerohanian.
Sedangkan ajaran Pangestu lebih menekakan pelaksanaann Mistsismenya dengan
jalan pengendalian diri. Sapta Darma dalam pelaksanaannya lebih dominan dengan
pelaksanaaan Praktek Keagamaannya seperti Sujud, Racut, Ening. Selain itu,
Pangestu tidak bisa memastikan kapan seseorang itu telah mencapai Mistsisimenya,
hanya bisa menggambarakan ciri-ciri dari seseorang itu, Misalnya: segala
perkataannya merupakan Sabda-Nya, Prilakunya baik, dll. Dan ajaran Sapta Darma
Sendiri itu dapat diketahui walau dalam pengalamannya berbeda-beda yaitu dengan
melaksanakan Racut.
Ketujuh, Konsep Panuntun atau Guru. Ajaran Pangestu menyebutnya dengan
Sang Guru Sejati (Suksma Sejati), ialah Utusannya yang abadi. Berbeda dengan
ajaran Sapta Darma bahwa ajaran ini mengenalnya sebagai Panuntun, Panuntun disini
diartikan pembinging sperti pendirinya dan pemimpin pusat.
112
Kedelapan, Praktek keagamaan kedua ajaran ini memilki praktek keagamaan
yang berbeda. Ajaran Pangestu sendiri mengajarkan umatnya untuk melakukan
Panembah (Salat) sehari tiga kali (bagi Jiwa yang telah dewasa) dan sehari dua kali
(bagi jiwa yang belum dewasa). Berbeda dengan ajaran Sapta Darma yang melakukan
ibadahnya dengan bersujud, sujud menjadi satu-satunya jalan untuk menuju
Mistisisme.
Kesembilan, Tujuan akhir dari kedua ajaran ini ialah sama sama menyakini
bahwa diamana manusia akan bertemu dengan Tuhan. ketika seseorang telah bener-
benar suci dan melaksanakan segala perintah Tuhan. karena manusia berasal dari dzat
Tuhan maka akan kembali kepada Tuhan. Dalam perbedaannya menuju
kebertunggalan kedua ajaran ini memiliki prakteknya masing masing. Ajaran Sapta
Darma dalam pencapaian Mistsisimenya melalui jalan Sujud dan yang menjadi
puncak Mistisismenya ialah dengan melakukan Racut, diaman keadan Roh seseorang
akan terpisah dari jiwanya dan akan menuju kepada Tuhan. berbeda dengan pangestu
yang mengajarkan dengan melalui jalan Panembah, panembah tidak bisa
digambarkan sebagaimana sujud dan Racut akan tetapi ketika seseorang telah
mencapai puncaknya maka seseorang itu akan memiliki keluhuran serta disetiap
perkataannya merupakan sabda-Nya.
B. Saran-saran
Baik ajaran Pangestu atau ajaran Sapta Darma sebenarnya hanya menawarkan
pilihan pemahaman yang sedikit berbeda (Variatif), walau pemahaman tersebut sudah
ada ratusan tahun, sepanjang sejarah manusia mencari Tuhannya, mencari jati dirinya,
atau mencari jalan baik untuk kembali. Pemahaman yang ditawarkan keduanya
113
tentang Mitsisime, menambah khazanah pemahaman manusia secara umumnya. Yang
harus kita hadapi hanyalah, seandainya pun berbeda dengan keyakinan kita sendiri,
memhamani apa yang dimaksud tentang konsep Mistisisme menurut kedua ajaran ini
dengan pemahaman yang benar, sehingga menjadi jelas dan tak bias, yang dapat
menimbulkan justifikasi negatif terhadap keyakinan ataupun kepercayaan orang lain.
keduanya juga mengajak manusia secara umum untuk dapat mengendalikan jiwa agar
dapau mencapai kekebahagiaan abadi.
Akhirnya, penilis yakin dengan seyakin-yakinya bahwa segala sesuatu berasal
dari tuhan, dan akan bermuara ke khadirat Tuhan. tugas manusia hanya mencoba
menangkap pesan dari Tuhan sebaik-baik mungkin dan melaksanakan segala
kewajiban seorang hamba.
114
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Atang dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum: Dari Metodologi
Sampai Teosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Abimayu, Petir. Buku Pintar Aliran Kebatinan dan Ajarannya. Jogjakarta, Laksana,
2014.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Chikmawati, Putri. Skirpsi konsep Manusia Dalam Ajaran Sapta Darma dan
Pemikiran Drijakara. Surabaya, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.
Darmadi, Budi. Profil Pangestu. Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal, 2014. Cetakan-
Ke 3.
____________. Panguyuban Ngesti Tunggal. Jakarta, Unit Penerbitan Pangestu,
2014.
El Hafidy As’ad. Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia. Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1982. Cet-ke 2.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen : Singkretisme, simbolisme dan sufisme dalam
budaya sepiritual jawa. Yogyakarta: Narasi, 2006.
Geertz, Cliford. Agama Jawa. Depok : Komunitas Bambu, 2014.
Hardjoprakoso, R. Tumengung dan R. Trihardono Soemadihardjo. Sasangka Jati.
Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal, 2014. Cetakan ke 7.
Hardjoprakoso, R. Soemantri. Arsif Sarjana Budi Santosa. Jakarta : Paguyuban
Ngesti Tunggal, 2015. Cetakan-Ke 8.
115
Hadiwijono, Harun. Konsep Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar
Harapan, 1983.
_______________. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Cetakan
ke 11.
Imam S, Suwarno. Konsep tuhan, manusia dan mistik dalam kebatinan jawa. Jakarta
: PT Grafindo Persada, 2005.
______________. Disertasi: Konsep Mistik Pangestu. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2003.
Kutha Ratna, Nyoman. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan
pertama, 2010.
Laporan ketua pangestu didalam Dwija Wara, no1-2-3, (mei, juni, juli 2001).
M. Echols, Jhon dan Hassan Shadily. Kamus Ingris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Utama Jakarta.
Mulder, Niels. Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia. Yogyakarta : LKIS, 2001.
Mertowerdojo, R. Soenarto. Sabda Pratama. Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal,
2014.
______________________. Sabda Khusus. Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal,
2013.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996.
Putra, Nusa. Penelitian Kualitatif, Proses dan Aplikasi. Jakarta: PT Indek, cetakan
pertama, 2012.
116
Pawenang, Sri. Wewerah Kerohanian Sapta Darma. Yogyakata, Yayasan Pusat Srati
Darma, 1964.
____________. Profile Kerohanian Sapta Darma. Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan
Agung Unit Penerbitan, 1968.
____________. Pedoman Pribadi Manusia Secara Kerohanian Sapta Darma.
Yogyakarta: Sekretariat Tuntunan Agung Unit Penerbitan,1968.
____________. Dasa Warsa Kerohanian Sapta Darma. Yogyakarta: Sekretariat
Tuntunan Agung Unit Penerbitan, 2012.
Raharjo, Riwayat Hidup Bapak Paranpara. Jakarta : Paguyuban Ngesti Tunggal,
2013.
Rumawati, Mega. Keberadaan Aliran Kejawen Sapta Darma; Studi kasus
dipersatuan Warga Sapta Darma di Kendal. Semarang; Fakultas
Sosoiologi dan Antropoligi Universitas Negeri Semarang, 2011.
Romdon. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1996.
Sambas, Abas. Konsepsi Wahyu Dalam Ajaran Sapta Darma. Jakarta: Fakultas
Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Soemarjan, Selo. ilmu gaib, kebatinan dan agama dalam kehidupan masyarakat
didalam simposium IAIN Syarif Hidayatullah, Mengamankan Kila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Jakarta : Tnjung Harapan, 1970.
Sekretariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu
Wewarah Sapta darma dan Panuntun Angung Sri Guatama.
Yogyakarta: Sanggar Candi Rengga-Surokarsan Unit Penerbitan, 2010.
117
Soewondo. Ulasan Kang Kelana. Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2015.
Zainul Bahri, Media. Wajah Studi Agama-Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2015.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Cetakan pertama, 2004.
http://remaja7darma.blogspot.co.id/p/buku-wewarah.html.
http://www.pangestu.org/.
LAMPIRAN 1
118
LAMPIRAN 2
119
120
LAMPIRAN 3
121
Hasil Wawancara
A. Latar belakang Informan
Nama : Titis Bambang Haryono
Agama : Penganut ajaran Pangestu
Profesi : Pegawai Swasta dan Pengurus Pangestu
B. Berita Wawancara
1. Jelaskan Sejarah dan Pendirian Paguyuban Ngesti Tunggal ?
Paguyuban Ngeti Tunggal diwahyukan kepada bapak Soenarto Mertowerdojo pada
Tanggal 14 Februari 1932. Ketiia sedang melaksanakan solat dhaim, ia berdoa kepada Tuhan
untuk mendapatkan Sih Pepadang-Nya untuk membantu keresahannya selama ini. ketika itu
juga, terdengar didalam sanubarinya ada seseuatu yang berkata “ Ketahuliah, yang
dinamakan ilmu sejati ialah petunjuk yang nyata, yaitu petunjuk yang menunjukan jalan
yang benar, jalan yang sampai pada asal mula hidup.” dari perkataan ilahi inilah yang
membuat Pakde Narto percaya bahwa ini benar benar dari Tuhan. Pangestu secara organisasi
didirikan pada Tanggal 20 Mei 1949 di Surakarta. Pagyubuan ini menjadi sebuah
perkumpulan orang orang yang menyakini Ajaran Sang Guru Sejati yang diwahyukan kepada
Pakde Narto. Adapun akronim dari Pangestu ialah Paguyuban Ngesti Tunggal yang memiliki
arti persatuan untuk memohon kepada Tuhan. Perkembangan pangestu dari masa
kelahirannya memiliki masa yang sangat bagus terkhusus dari tahun 1950, 1951, 1953,
sampai 1964 memiliki perkembangan yang sangat pesat, walau pada akhirnya kini tidak
begitu sepesat pada masa itu. tetapi ajaran ini masih tetap ada sampai saat ini.
2. Jelaskan konsep ajaran yang berada di dalam pangestu ?
Dalam ajaran yang diwahyukan kepada Pakde Narto mengajarkan manusia untuk
selalu sadar terhadap dirinya dan Tuhannya. Karena manusia itu merupakan awalnya bagian
dari Sang Maha Hidup, sebagaimana dalam wahyu yang diterima oleh Pakde Narto bahwa
Tuhan itu satu yang memiliki sifat tiga, kita mengenalnya dengan Tripurusa yaitu, Suksma
Kawekas (Allah), Suksma Sejati (Rasul), dan Roh Suci (Nur Muhammad). Selain dari pada
itu, ajaran yang diwahyukan oleh Pakde Narto ini memiliki ajara Pokok ialah Hasta Sila,
Paliwara, Sangkan Paran, Jalan Rahayu dan Panembah. Dari kelima ajaran ini terkumpul
dalam suatu kitab suci yang di tulis oleh Tumenggung Hardjopraskoso dan Trihaardono
Soemadihardjo yaitu Kitab Sasangka Jati.
3. Jelaskan bagaimana proses menuju Mistisisme ?
Proses dalam pencapaian tujuan akhir dari ajaran ini ialah menunggalnya jiwa dengan
Sukama Kawekas ialah dengan menjalankan Hasta Sila dan melaksankan Panembah. Hasta
Sila sebagai kuci dasar sesorang untuk dapat berbakti kepada Tuhan dan Manusia ialah
dengan melaksanakan Trisila dan Panca Sila. hal ini harus benar-benar dijalankan agar
seseorang mencapai sifat Budi Luhur. Sedangakan Panembah menjadi sebuah tanda Bakti
terhadap Tuhan selain melaksanakan perintah-Nya akan tetapi sadar bahwa seseorang harus
kembali kepadanya.
122
Hasil Wawancara
A. Latar belakang Informan
Nama : Puji Santoso
Agama : Penganut ajaran Pangestu
Profesi : Pegawai Swasta dan Pengurus Pangestu
B. Berita Wawancara
1. Jelaskan Sejarah dan Pendirian Paguyuban Ngesti Tunggal ?
Paguyuban Ngesti Tunggal didirikan oleh bapak Soenarto Mertowerdojo atau sering
disebut dengan Pakde Narto pada Tanggal 20 Mei 1949, akan tetapi proses pewahyuan yang
diterima oleh Pakde Narto pada tanggal 14 Februari 1932. Penamaan dari nama ajaran ini
sesuai dengan Tujuan dari pada ajaran ini ialah persatuan untuk memohon kepada Tuhan,
ialah Pangestu (Paguyuban Ngesti Tunggal). Selain itu, Pangestu memiliki lambang yang
menjadi tanda ajaran ini, yang bermakna kesimbangan dalam mencapai kesempurnaan.
Terdapat dua bunga dalam lambang ajaran ini ialah mawar dan bunga kamboja. Mawar
digambarkan kemewahan dunia diaman seseorang harus mencapai kejayaan di dunia , slain
itu pula seseorang harus mencapai kejayaan di akhirat pula karena bunga kamboja
digambarkan sebagai dunia akhirat.
2. Jelaskan konsep ajaran yang berada di dalam pangestu ?
Ajaran pangestu yang tercatat dalam kitab Sasangka Jati terdiri dari Hasta Sila,
Paliwara, Sangkan Paran, Jalan Rahayu, Candra Jiwa dan Panembah. Hasta Sila merupakan
sebuah jalan bagi manusia untuk menuju Budi Luhur, diaman dalam Hasta Sila terdiri dari
dua Tri Sila dan Panca Sila. sedangakan Paliwara ialah sebuah larangan yang harus dijaga
untuk tidak melakukannya. Sangkan Paran ialah sebuah hukum sebab perbuatan seseorang
atas perbuatannya. Jalan Rahayu ialah sebuah jalan untuk dapat menjadi seorang siswa dan
Panembah ialah ajaran tentang peribadatan secara praktek dan secara kejiwaan.
3. Jelaskan bagaimana proses menuju Mistisisme ?
Sebagai sebuah ajaran yang bertunjuan untuk bertunggal, maka proses untuk menuju
langkah tidak bisa dilakukan oleh seseorang yang bisa harus seseorang telah bisa
mengendalikan Hasta Silanya dan telah dapat menaklukan Hawa Nafsunya yang kemudian
menjapai Budi Luhur. Setelah seseorang itu memiliki Budi yang Luhur maka wajib baginya
untuk melaksanakan Panembah sebagai sebuah jalan menuju kebertunggalan kepada Suksma
Sejati. Panembah sebuah proses kebertunggalan antara Jiwa dengan Tuhan.
123
Hasil Wawancara
C. Latar belakang Informan
Nama : Sukamto
Agama : Penganut ajaran Sapta Darma
Profesi : Pelatih voly dan Pengurus Sapta Darma
D. Berita Wawancara
1. Jelaskan Sejarah dan Pendirian Sapta Darma ?
Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada bapak Hardjosapoero pada Tanggal 27
Desember 1914 dan telah dilegalkan ajaran ini pada tanggal 17 Maret 1959. Setelah ajaraan
ini mendapat izin legal, timbulah perkumpulan para penganut ajaran ini yang disebut sebagao
Persada (Persatuan Warga Sapta Darma) pada Tanggal 27 Desember 1986. Awalnya ajaran
ini menggunakan kata “Agama” sebagai sebuah sebuatan ajaran ini. akan tetapi, terlihat
sebagai sebuah yang negatif bagi masyarakat di sekitar. Bapak Hardjoprakoso etelah
mendapat wahyu pertama pada tanggal 27 Desember 1952, ia memiliki pangkat sebagai
panuntun ialah Panuntun Agung Sri Gutama. Ada yang disebut Sri Pawenang ialah pengganti
dari Panuntung Agung Sri Gutama sebagai pemipin setelah beliau tiada.
2. Jelaskan konsep ajaran yang berada di dalam Sapta Darma ?
Ajaran kerohanian Sapta Darma ini memiliki beberapa ajaran yang harus dilakukan
dan diamalkan oleh para warganya ialah Wewerah Pitu, Sujud, Ening atau Samadi dan
Racut, serta ajaran tentang aspek kemanusiaan yang dijabarkan dalam lambang ajaran ini.
Wewerah Pitu atau Wewerah Suci atau Tujuh Petuah yang harus dilaksanakan dan dilakukan
oleh setiap warga Sapta Darma sebagai langkah awal untuk menuju pada sikap yang luhur.
Sujud merupakan sebuah praktek keagamaan ajaran Sapta Darma yang menjadi kunci untuk
menuju sikap Budi Luhur dan menuju Mistsisime.
3. Jelaskan bagaimana proses menuju Mistisisme ?
Langkah untuk menuju kebertunggalan ialah dengan melaaksakan Sujud secara
teratur dan harus bisa mengendalikan hawa nafsu sampai jiwa menjadi Budi yang Luhur.
Maka dar itu seseorang akan mendapatkan Nur Cahaya yang berada di ubun ubun. Kemudian
seseorang melaksakan Racut sebagai jalan untuk bertemunya jiwa dengan Tuhan.
124
Hasil Wawancara
E. Latar belakang Informan
Nama : Servarius
Agama : Penganut ajaran Sapta Darma
Profesi : Pegawai Swasta dan Pengurus Sapta Darma
F. Berita Wawancara
1. Jelaskan Sejarah dan Pendirian Sapta Darma ?
Ajaran Sapta Darma didirikan oleh bapak Hardosapoero pada tanggal 17 Maret 1959
serta pendirian Persada pada Tanggal 27 Desember 1986. Pendirian Persatuan Warga Sapta
darma menandakan bahwa ajaran ini begitu pesat pada zamannya sehingga terbentuklah
perkumulan ini sebagai tali penghubung antar sesama penganut ajaran ini. Bapak
Hardjosapoero mendapat gelar keluhuran sebagai Panuntun Agung Sri Gutama sebagai orang
yang telah dipilih oleh sang Ilahi untuk menyebarkan ajaran Tuhan. walau ia sebagai sebuah
pemimpin ajaran ini, ada pula pendamping dan pengganti beliau ialah Sri Pawenang yang
mimpin ajaran ini setelah Sri Gutama telah tiada.
2. Jelaskan konsep ajaran yang berada di dalam Sapta Darma ?
Ajaran yang menjadi pedoman dalam aliran kerohanian ini ialah Wewerah Pitu,
Simbol Manusia, Sujud, Racut, dan Sesanti. Wewerah merupakan tujuh petuah yang menjadi
landasan awal menuju tujuan dari ajaran ini, ialah kebertunggalan. Simbol manusia
merupakan penggambaran tetang asal muasal manusia untuk mengetahui kita ini berasal dari
satu yang sama, sehingga sudah sewajibnya untuk melaksakan perintah Tuhan. Sujud
menjadi jalan dan tanda bakti manusia terhadap Tuhan, selain itu pula sujud menjadi sebuah
jalan menuju sikap Budi Luhur untuk menuju kepada Mistsisime. Sedangakan Rcut
merupakan oleh jiwa untuk dapat bertemu secara langusng dengan Sinar Nur Cahaya Allah,
ialah dengan berusaha melepaskan jiwa dengan jasad. Dan terakhir sesanti yang menajadi
sebuah semboyan ajaran ini.
3. Jelaskan bagaimana proses menuju Mistisisme ?
Untuk menuju kepada kebertunggalan, dalam ajaran Sapta Darma seseorang harus
bisa mengamalkan Wewerah pitu, melaksanakan Sujud dan melakukan Racut. Tiga point
yang menjadi kuci penting, akan tetapi dalam hal ini seseorang harus bisa mengendalikan
hawa nafsunya. Agar seseorang dapat melaksanakan Sujud dan Racut dengan lancar.
LAMPIRAN 4
125
SUSUNAN ORGANISASI PANGESTU
KETUA
WAKIL KETUA
Badan Perencanaan Pusat Dewan Pertimbangan
Sekretariat
Umum
Bendahara
Bid
ang 1
Bid
ang I
I
Bid
ang I
II
Bid
ang I
V
Bid
ang V
Bad
an P
endid
idkan
Sis
wa
Purn
ama
Bad
an P
engukuh
Nas
kah
Kep
ust
akaa
n
Pan
ges
tu
Bad
an P
endid
idkan
Sis
wa
Purn
ama
Bad
an P
ener
bit
an
Pan
ges
tu
Bad
an P
enel
itia
n
Pen
gem
ban
gan
Koordinator Daerah
CABANG
RANTING
126
STRUKTUR ORGANISASI SAPTA DARMA
TUNTUNAN AGUNG
- STAF TUNTUNAN
AGUNG
- KOORDINATOR
WANITA
- KOORDINATOR
REMAJA
PERWAKULAN
LUAR NEGERI
LITBANG SEKRETARIAT
HUMAS
PERSADA PUSAT YASRAD PUSAT
TUNTUNAN PROVINSI
- STAF TUNTUNAN
PROVINSI
- KOORDINATOR
WANITA
- KOORDINATOR
REMAJA
PERSADA
PROVINSI
YASRAD
CABANG UTAMA
TUNTUNAN KAB/KOTA
- STAF TUNTUNAN
KAB/KOTA
- KOORDINATOR
WANITA
- KOORDINATOR
REMAJA
TUNTUNAN KECAMATAN
TUNTUNAN SANGGAR
PERSADA KAB/ KOTA YASRAD CABANG
PERSADA KECAMATAN
LAMPIRAN 5
127
Gambar no 1
Lambang Ajaran Pangestu
Gambar no 2
Foto Bapak Soenarto Mertowedojo
Pendiri Pangestiu
Gambar no 3
Bapak Tumenggung Hardjoprakoso
Bapak Soenarto Mertowerdojo (Tengah)
Bapak Trihardono Soemoadihardjo
Gambar no 4
Foto Bersama Ibu Titis (Penganut dan
Pengurus Pangestu) di kantor Pusat
Pangestu
130
Gambar no 5
Foto Bersama Bapak Puji (Penganut dan
Pengurus Pangestu) dikediamannya
Gambar No 6
Proses Ceramah Pencerahan ke 8 tentang
Panembah yang disampaikan oleh Ibu Titis
di kantor Pusat Pangestu
Gambar no 7
Proses Ceramah Pencerahan ke 7 tentang
Jiwa Manusia (Candra Jiwa)
Gambar no 8
Lambang Ajaran Sapta Darma
129
Gambar no 9
Bapak Hardjosapuro
Gambar no 10
Ibu Sri Pawenang
Gambar no 11
Bapak Sukamto (Penganut dan Penguurus
Sapta Darma) dalam acara Bakti sosial di
kediaman beliau.
Gambar no 12
Bersama Bapak Servarius (Penganut dan
Pengurus Sapta Darma) di kediaman beliau.
130
Gambar No 13
Proses Pelaksanaan Racut
Gambar No 14
Pelaksanaan Sujud