aisyiah di muna: negosiasi dakwah dan politik

29
19 Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014 AISYIAH DI MUNA: Negosiasi Dakwah dan Politik Asliah Zainal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Qaimuddin Kendari Abstrak Indonesia menjadi satu wilayah jajahan kolonialisme bangsa barat dengan tiga gerakan (3G), yaitu glory, gold, dan gospel. Kedatangan Belanda dengan Gerakan 3G merupakan motif utama dalam upaya penyebaran agama Kristen ke berbagai pelosok Indonesia. Akibatnya muncul perlawanan dari bangsa Indonesia, baik dalam bentuk organisasi maupun individu. Salah satunya adalah Muhamadiyah dengan gerakan sosial, gerakan keagamaan yang dicirikan oleh reformasi dan pem- baharuan pemikiran (tajdid). Begitu pula dengan organisasi Aisyiah (1917) sebagai organisasi sayap perempuan Muhamadiyah. Dalam perkembangannya, Muhamadiyah dan Aisyiah dipersamakan oleh sifat kepemimpinanya yang tunggal dan tidak berganti (charismatic leader). Akan tetapi

Upload: others

Post on 15-Feb-2022

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

AISYIAH DI MUNA:Negosiasi Dakwah dan Politik

Asliah ZainalSekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Qaimuddin Kendari

Abstrak

Indonesia menjadi satu wilayah jajahan kolonialisme bangsabarat dengan tiga gerakan (3G), yaitu glory, gold, dan gospel.Kedatangan Belanda dengan Gerakan 3G merupakan motifutama dalam upaya penyebaran agama Kristen ke berbagaipelosok Indonesia. Akibatnya muncul perlawanan dari bangsaIndonesia, baik dalam bentuk organisasi maupun individu.Salah satunya adalah Muhamadiyah dengan gerakan sosial,gerakan keagamaan yang dicirikan oleh reformasi dan pem-baharuan pemikiran (tajdid). Begitu pula dengan organisasiAisyiah (1917) sebagai organisasi sayap perempuanMuhamadiyah. Dalam perkembangannya, Muhamadiyah danAisyiah dipersamakan oleh sifat kepemimpinanya yangtunggal dan tidak berganti (charismatic leader). Akan tetapi

20

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

mempunyai nilai historisitas dan progresivitas kemajuan yangberbeda. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari progresivitasyang dimiliki Aisyiah dan stagnasi yang dipunyai olehMuhammadiyah sebagai organsisi induk. Oleh karena itu,penulis tertarik mengkaji progresivitas dan persoalan sosialpolitik yang melatarbelakangi perkembangan Aisyiah di Muna.Aisyiah di Muna menyuguhkan dua fakta, pertama, Aisyiahmenyuguhkan potret bahwa kekuasaan tidak harus menindas(coercive). Kedua, Aisyiah sebagai proses negosiasi yang taktisdan substantif lewat dakwah bil hal. Entitas Aisyiah dengankekuasaan produktifnya merupakan kekuatan sekaligus ke-rentanan. Kekuatan yang dibangun Aisyiah lewat sistempatronase, negosiasi politik, dan dakwah akan terus berlanjutsehingga melahirkan kekuasaan yang produktif.

Kata Kunci : Dakwah, Aisyiah, Politik, Kekuasaan

A. Pendahuluan

Indonesia menjadi satu wilayah kolonialisme sebagai korbanpenjajahan negara-negara Eropa. Ketika melakukan penetrasi terhadapwilayah jajahanya, negara-negara tersebut membawa serta tiga panjigerakan (3G), yaitu glory, gold, dan gospel. Glory adalah gerakan politik(kemenangan) dengan tujuan untuk menjajah dan menguasai negerijajahanya. Gold adalah motif ekonomi dengan cara eksploitasi,memeras, dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahan demimemperoleh kekayaan. Gospel adalah gerakan misionaris denganmenyebarkan ajaran Kristiani kepada penduduk pribumi. Gerakan 3Gtersebut adalah motif utama yang dibawa Belanda ketika menjajahIndonesia, khususnya dalam upaya penyebaran agama Kristen keberbagai pelosok Indonesia. Tidak heran jika jejak-jejak zending dapatditemukan di hampir semua wilayah Indonesia hingga pedalaman.Sebelum itu, bangsa Spanyol dan Portugis datang ke Indonesia dengantujuan utama memerangi Islam dan mengkristenkan kaum muslim.1

1 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 1900-1942.(Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 25.

21

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Dampak kolonialisme Belanda berupa penerapan pajak yangtinggi, kerja paksa, dan terutama upaya kristenisasi di tanah airmenyebabkan banyak bermunculan perlawanan dari bangsaIndonesia, baik dalam bentuk organisasi maupun perkumpulan-per-kumpulan kecil, bahkan individu. Muhamadiyah juga melakukanperlawanan sengit terhadap Belanda dengan gerakan sosial, gerakankeagamaan yang dicirikan oleh reformasi dan pembaharuan pemikir-an (tajdid). Dalam sejarahnya, ia berubah menjadi gerakan politikoleh sebab kesewenang-wenangan Belanda terhadap bangsaIndonesia, pembodohan, upaya zending, dan misionaris yang dilaku-kan pemerintah Belanda di Indonesia.

Persentuhan Muhammadiyah dengan politik terus berl-angsung terutama setelah kemerdekaan.Dalam perjalanan selanjut-nya, Muhamadiyah semakin nyata bersentuhan dengan politik praktisdengan lahirnya PAN pada masa reformasi, hingga menelorkan PMB(Partai Matahari Bangsa), Parmusi (Partai Muslimin Indonesia).2 Demimeneguhkan diri untuk tidak terpengaruh dalam kepentingan praktiskekuasaan dan demi mengembalikan gerakan dakwah kulturalsebagaimana awalnya, Muhamadiyah mencanangkan untuk kembalike garis perjuangan (khittah) sejak tahun 1956 yang dikenal dengankhittah Palembang. Upaya untuk mengembalikan ruh perjuanganMuhamadiyah pada gerakan dakwah non-politik terus dicanangkanpada setiap muktamar hingga hasil Tanwir di Denpasar tahun 2002.3

Upaya untuk mengembalikan gerakan Muhamadiyah kembalike khittah adalah upaya untuk meluruskan arah gerakan dakwahkultural yang menjadi landasan awal gerakan Muhamadiyah.Muhamadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid), gerakanreformasi yang berhasil merevitalisasi praktek keberagamaanmasyarakat. K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1918 menolak tawaranHaji Agus Salim untuk memasukan Muhamadiyah sebagai partai

2 Musthafa Kemal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyah sebagaiGerakan Islam, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2005)

3 Haedar Nashir, Manhaj Gerakan Muhamadiyah; Idiologi, Khittah, danLangkah, (Yogyakarta: Suara Muhamadiyah dan Majelis Pendidikan Kader PPMuhamadiyah, 2010), hlm. xxix-xxxv.

22

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

politik.4 Maka, sejak awal Muhamadiyah dikenal sebagai gerakandakwah non-politik yang menurut Shepard diketagorikan sebagai“Islamic-Modernism” dengan fokus gerakan membangun masyarakatIslam (Islamic society), bukan bermaksud membangun negara Islam(Islamic state).5 Dalam pergerakannya, meskipun banyak orang-orangnya yang tersebar dalam berbagai partai politik, Muhamadiyahlebih diharapkan menfokuskan diri pada pendidikan, sosial, kesehat-an, pemberdayaan masyarakat sesuai dengan amal usahaMuhamadiyah. Amal usaha Muhamadiyah menjadikan organisasi inimewujud dalam bentuk gerakan civil society lewat gerakan dakwah6

atau disebut juga dengan gerakan Islam modern.7

Gerakan pemurnian dan pembaharuan yang dilakukanMuhamadiyah berbeda secara signifikan dengan gerakan pembaharudi Timur Tengah yang cenderung mengeras dan kaku pada idiologisalafiah. Muhamadiyah meskipun secara teologis memiliki akar padaajaran salafi, gerakan pembaharu yang dimilikinya bukan menunjukancorak gerakan wahabiah Timur tengah, ia lebih lentur dan fleksibel.K.H. Ahmad Dahlan ketika pertama kali merintis gerakanMuhamadiyah tidak terlepas dari setting sosial Keraton Yogyakartayang sangat menujung tinggi tradisi. Hingga akhir hayatnya, beliaubahkan tidak pernah melepaskan diri dari identitas priyayi sebagaibagian dari abdi dalem keraton. Oleh sebab itu, Burhani ketikamenggambarkan sisi lain dari Muhamadiyah menyebut gerakan initidaklah monolitik dan homogen. Ia tampil dengan warna-warni corakkeberagamaan yang bermacam-macam.8 Bachtiar Effendi meng-kategorikan Muhamadiyah kedalam empat kelompok yaitu kelompokK.H. Ahmad Dahlan yang menghargai budaya lokal, Al Ikhlas yang

4 Ibid, hlm. xiii.5 William Shepard, “The Diversity of Islamic Thought: Toward a Typology”,

dalam Suha Taji-Farouki and Basher M Nafi, Islamic Thought in The Twentieth cen-tury, (New York: IB Tauris & Co Ltd, 2004), hlm. 74.

6 Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3S, 1986),hlm. 54.

7 Damami Muhammad, Akar Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: FajarPustaka, 2004), hlm. 4.

8 Ahmad Nadjib Burhani, Muhamadiyah Jawa, (Jakarta: Al Wasat Publish-ing House, 2004).

23

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

sangat puritan, Munu (Muhamdiyah-NU) menurut istilah MunirMulkan, dan kelompok Marmud (Marhainis Muhamadiyah) yangterdiri atas orang-orang dengan latar belakang PNI, PDI, kaumabangan, dan sebagainya.9

Gerakan Muhamadiyah yang puritanlah yang justru lebihditonjolkan dan tidak lagi toleran dengan tradisi masyarakat. Hal inidisebabkan oleh gerakan Wahabiah yang dimulai di Padang/Minangkabau. Gerakan puritanisme yang dilakukan Muhamadiyahbagi banyak kalangan justru menjadikan Muhamadiyah dikhawatir-kan akan mengarah kepada konservatisme dan fundamentalisme.Dengan mengutip pernyataan Nurcholis Madjid yang mengatakanbahwa Muhamadiyah sudah berhenti menjadi gerakan pembaharu,Dawam Rahardjo menegaskan bahwa Muhamadiyah sudah berubahmenjadi gerakan puritan dan konservatif.10 Justru NU lah menurutnyayang mulai menunjukan arah gerakan yang lebih liberal dan moderat.

Gerakan puritanisme yang dilakukan Muhamadiyah nyatanyamenyebabkan gerakan ini dianggap sebagai agama baru dalammasyarakat. Muhamadiyah sebagai gerakan pembaharu danpemurnian tidaklah sendirian. Aisyiah meskipun kehadiranyabelakangan pada tahun 1917 adalah organisasi sayap perempuanMuhamadiyah yang memiliki cerita yang sama. Kehadiranya dianggapsebagai ancaman bagi keberagamaan masyarakat yang masih mem-praktekan budaya setempat. Organisasi otonom ini tidak bersentuhanlangsung dengan politik dan kekuasaan. Ia lebih banyak mengikutinalar gerakan Muhamadiyah yang menitikberatkan pada amal usahadibidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan ekonomi.Setiap tahun perkembangan Aisyiah terus menunjukan progresivitas-nya dalam dua bidang tersebut. Berbagai macam PAUD, TK ABA, PKU(Panti Kesehatan Umum), biro konsultasi keluarga, dan lain-laindiberbagai wilayah Indonesia menjadi saksi kemajuan organsiasiperempuan ini dibandingkan dengan organisasi perempuan lainnya.Keberhasilan Aisyiah terletak pada struktur organisasinya yang solid

9 JIL, “BahtiarEffendy: Di Muhamadiyah Juga Ada “Munu” dan “Marmud”,2009. Jaringan Islam Liberal-IslamLib.com, diakses pada tanggal 5 November 2013.

10 M. Hilaly Basya, Quo Vadis ‘Tajdid’ in Muhamadiyah, The Jakarta Post,23 Juli 2010.

24

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

baik secara vertikal maupun horisontal. Kunci keberhasilan Aisyiahlainnya terletak pada amal usahanya yang bersentuhan langsungdengan kebutuhan masyarakat.

Muhamadiyah dan Aisyiah memiliki dasar ideologi yang sama,akan tetapi keduanya memiliki historisitas dan progresivitas kemajuansendiri-sendiri. Kedua organisasi ini secara genealogis berhubungan,akan tetapi secara struktural terpisah secara otonom dan memilikirumah tangga sendiri-sendiri. Keduanya bergerak, berjuang dan majudengan cerita keberhasilan masing-masing yang kurang lebih sama.Berbeda secara siginifikan dengan gambaran umum diatas,Muhamadyah-Aisyiah di Muna memiliki historisitas yang unik.Keduanya dipersamakan oleh sifat kepemimpinanya yang tunggaldan tidak berganti (charismatic leader). Perbedaan keduanya dapatdilihat dari progresivitas yang dimiliki Aisyiah dan stagnasi yangdipunyai oleh Muhammadiyah sebagai organsisi induk. Tulisan inihendak mengkaji progresivitas Aisyiah dalam hubunganya denganorganisasi induknya, Muhammadiyah. Tulisan ini juga akan mengujipersoalan-persoalan sosial politik yang melatarbelakangi per-kembangan Aisyiah di Muna.

B. Muhamadiyah-Aisyiah di Muna; Hubungan Genealogi danStruktural

Pendirian organisasi-organsiasi Islam di Indonesia dilakukanuntuk melakukan perbaikan terhadap keberagamaan masyarakatIndonesia dan mengembalikan kejayaan Islam masa lalu, termasukdidirikanya gerakan Muhamadiyah. Muhamadiyah masuk ke SulawesiTenggara pada tahun 1929 oleh jasa pegawai pemerintah dan guru-guru sekolah yang didatangkan pemerintah Belanda dari luar. Peng-anjurnya yang paling terkenal adalah seorang guru dari Makassaryang bernama Akhmad Makkarausu Daeng Ngilau dan kemudianmenyebarkan ajaran ini kepada beberapa tokoh hingga mendirikanorganisasi Muhamadiyah yang cukup komplit susunan pengurusnya.11

11 Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Kebangkitandaerah Sulawesi Tenggara, (Kendari: Departemen Pendidikan dan KebudayaanPusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978), hlm. 89.

25

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Dari Kendari, gerakan Muhamadiyah menyebar ke daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara melalui perkenalan dengan tokoh-tokoh penyebar sebelumnya. Meskipun demikian, gerakan Muha-madiyah di Sulawesi Tenggara nampaknya merupakan usaha-usahaterpisah dari masing-masing daerah (onderafdeling). SejarahMuhamadiyah di Muna dimulai tahun 1930 yang dipelopori olehseorang yang berasal dari Makassar, Zainuddin Daeng Mandrapi danbeberapa orang lokal Muna: Abdul Kadir, La Kare, La Ati, La Buntu,La Mane. Merekalah yang kemudian menjadi pengurus Muha-madiyah Muna untuk pertama kalinya.

Secara historis, lahirnya Muhamadiyah di Muna adalah upayaperlawanan terhadap penjajah Belanda, terutama upaya Belandamendirikan sekolah-sekolah zending Kristen dan misi Katolik dipelosok-pelosok daerah di Muna yang sudah lebih dahulu ada padatahun 1918/1919. Gerakan Muhammadiyah pada masa itu dianggapsebagai gerakan politik oleh pemerintah Belanda hingga beberapaorang tokohnya ditangkap dan diasingkan, seperti Abdul Kadir, LaKare, La Buntu di Selayar dan Makassar; sekolahnya dibubarkan; danorganisasinya dibekukan. Pada tahun 1932, pemerintah Belandadengan usaha misionarisnya membuka sekolah di desa pedalamandi Muna (Lasehao). Selain itu, Belanda mengirim beberapa pemudaKatolik untuk belajar keluar daerah, khususnya ke Manado danTomohon. Untuk mengimbangi usaha-usaha misionaris tersebut,Muhamadiyah di Muna mendirikan sekolah agama di Mabolu yangterbuka bagi siapa saja dan membagi waktu untuk belajar ilmupengetahuan umum pada siang hari dan belajar pengetahuan agamapada sore hari.

Belanda menganggap tokoh-tokoh Muhamadiyah menghasutrakyat agar tidak membayar pajak yang memang sangat mem-beratkan rakyat dan terjadinya krisis ekonomi saat itu. Belanda jugamenganggap para tokoh Muhamadiyah menghina Pastor Spels lewatprovokasi dakwah yang mendirikan gereja dan sekolah di Lasehao.12

12 Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Kebangkitandaerah Sulawesi Tenggara, (Kendari: Departemen Pendidikan dan KebudayaanPusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978), hlm. 93. Liat juga Haliadi, SinkretismeIslam; Buton Islam Islam Buton, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2001).

26

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Perlawanan masyarakat Muna terutama Muhamadiyah sangat kerasdengan dicetuskanya istilah-istilah rahasia yang menggambarkanperlawanan mereka terhadap Belanda. Istilah-istilah tersebutdiantaranya adalah Leokata (lawan orang Eropa karena tidak adil)dan Kaneko kas Nederkand kosong). Tokoh-tokoh Muhamadiyah yangbergerak dibidang dakwah dengan mendirikan sekolah di Maboludisebut dengan pandu Hizbul Wathon yang diketuai La Ati, Bakareng,dan La Mane.

Usaha Muhamadiyah untuk menyebarkan ajaran agama danmendirikan sekolah Muhamadiyah dihalang-halangi oleh Belanda.Setiap kali Muhamadiyah akan mendirikan sekolah di pedalamanMuna tidak mendapatkan izin dari Belanda. Hingga akhirnya, tokoh-tokoh Muhamadiyah berjuang sendiri-sendiri di desa masing-masinguntuk menyebarkan ajaran Muhamadiyah; La Kanila di Bangkali, LaPadoi di Batuputih, Laode Zulfakar di Teweghu, dan Laode AbdulRauf di Masalili.13 Setelah periode tahun-tahun 1934-an denganditangkapnya tokoh-tokohnya, gerakan dan ajaran Muhamadiyah takterdengar lagi gaungnya. Setelah peristiwa tersebut, Muhamadiyahsudah tidak lagi meninggalkan jejaknya di Muna. Upaya Hindiabelanda untuk menghalangi Pan Islamisme dan menetralkan agamaatas wilayah Sulawesi Tenggara telah berhasil menghalau Islam untuktidak menjadi gerakan politik dan sosial.

Hingga akhirnya pada tahun 1963, perjuangan dan sejarahMuhamadiyah di Raha dilanjutkan oleh seorang keturunanbangsawan lokal, La Ode Abdul Khalik. Beliau adalah anak keturunanraja Muna terakhir, La Ode Pandu. Untuk memapankan gerakannya,beliau mendirikan SMP Muhamdiyah pada tahun 1968 di kota Rahayang saat itu baru memiliki lima murid yang semuanya masih kerabat.Beliau juga menyusun kepengurusan Muhamadiyah yang terdiri atas9 orang. Guru-guru sekolah ini dipinjamkan dari guru-guru sekolahnegeri I Raha yang mengajar agama pada sore hari. Beliau jugamemberikan tanahnya untuk diwakafkan guna mendirikan SMAMuhamadiyah.

Dalam perkembanganya, Muhamadiyah di Muna mempunyaiciri keunikan kepemimpinanya yang mengarah kepada bentukkepemimpinan tunggal (charismatic leader). Sekalipun bukan perintis

27

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

pertama, Muhamadiyah Muna lebih identik dengan sosok La OdeAbdul Khalik. Beliau adalah kepala Kantor Agama Kabupaten Munayang tidak pernah berganti, hingga pensiun.Sejak dipegang olehnya,kepemimpinan Muhamadiyah terpusat pada satu sentralkepemimpinan dan tidak pernah berganti, meskipun memilikisusunan pengurus yang cukup lengkap. Muhamadiyah dipegang olehLa Ode Abdul Khalik selama masa hidupya (30 tahun). Terjadinyapemusatan dominasi organisasi dakwah yang merujuk pada satuorang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut; (a) terjadi penolakandan tantangan yang massif dan kencang dari kalangan masyarakatawam yang menganggap gerakan Muhamadiyah seperti agama baru,(b) minimnya sistem kaderisasi hingga pemimpinnya wafat, (c) aksesterhadap sumber dana dan sumber daya terpusat pada kalanganterbatas (bangsawan) dan tidak terdistribusi dengan adil padakelompok masyarakat lain. Kondisi-kondisi tersebut semakinmengarahkan identitas gerakan ini pada satu sosok dan mengelimirkesempatan bagi orang lain untuk mengembangkan Muhamadiyah.

Faktor-faktor tersebut menyebabkan Muhamadiyah jauhtertinggal. Inisiatif untuk memperbaharui susunan kepengurusanMuhamadiyah dimulai ketika sang pemimpin wafat. Setelahmeninggalnya Pak Khalik, Muhamadiyah baru mengadakan Musdapertama kali pada tahun 2013. Musda tersebut menetapkankepemimpinan Muhamadiyah diserahkan kepada Bupati Muna yangjuga merupakan adik kandung Pak Khalik. Beralihnya kepemimpinankepada bupati tidak lantas membuat organisasi ini lebih solid.Kepemimpinan yang diberada ditangan bupati bahkan sempatmenimbulkan ketegangan dan pertentangan antara pahamkemuhamadiyaan dan politik. Banyak pengurus Muhamadiyahmengharapkan akan ada kemajuan dalam perkembangan organisasiIslam ini. Ada pula pengurus yang tidak setuju dengan alasan bahwabupati adalah pucuk pemerintah dan akan ada masalah nantinyadalam menerapkan paham-paham kemuhamadiyahan di Muna.Prediksi tersebut terbukti benar, ketika terjadi perbedaan penentuan1 Syawal antara Muhamadiyah dan pemerintah pada tahun 2011(1432 H). Bupati tidak menghadiri shalat ied yang dilaksanakan olehMuhamadiyah satu hari lebih dahulu dan lebih memilih untuk

28

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

menemani Gubernur yang pada saat itu sebagai khatib shalat ied.Peristiwa tersebut menimbulkan masalah tersendiri dalam ke-pengurusan Muhamadiyah, terutama soal pro dan kontra ke-pemimpinan Muhamadiyah yang diserahkan kepada Bupati. Banyakorang yang kemudian berlomba-lomba ingin masuk dalamkepengurusan Muhamadiyah oleh sebab kepemimpinanya beradadi tangan Bupati.Meskipun demikian, perkembangan program kerjaorganisasi ini nyatanya menurut beberapa pengurus inti belum bisaberjalan sebagaimana yang diharapkan awalnya.

Keunikan lain Muhamadiyah di Muna ditandai dengansusunan kepengurusanya yang lebih banyak berasal dari pengurus-pengurus NU atau mantan pengurus NU dan hanya sedikit yangmerupakan kader-kader Muhamadiyah. Pengakuan dari wakilsekretaris Muhamadiyah Muna bahwa dari 86 pengurusMuhamadiyah Muna, tidak lebih dari dua puluh orang yangmempraktekan cara hidup kemuhamadiyahan. Ada seorang pengurusyang juga Imam sebuah masjid di Raha, La Ode Ghoni, terbukti masihmengimami shalat subuh dengan qunut di masjid tersebut. Sebagianbesar lainnya masih mempraktekan tradisi meskipun dibawahkepengurusan dan paham Muhamadiyah. Banyak pula pengurus yangjuga menjadi pengurus atau mantan pengurus di organisasi NU dankehadiranya dalam kepengurusan Muhamadiyah oleh karena diajakatau sekedar mencari jabatan atau posisi dalam organisasi.

Keberagamaan muslim Muhamadiyah menunjukan poladisparitas dalam beragama. Muhamadiyah adalah payung bagipaham keagamaan, tetapi dalam prakteknya, sebagaian besarpenganut Muhamadiyah tidak/belum mampu melepaskan diri darikungkungan praktek tradisi dalam kehidupan keseharianya, baikdalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Bahkan, meskipunmenjadi pengurus praktek keberagamaanya tidak secara solid dankonsisten mempraktekan cara hidup dan cara keberagamaanMuhamadiyah. Praktek keberagamaan seperti ini dalam kategoriMunir Mulkan disebut dengan Munu (Muhamadiyah-NU) atauMarmud (Marhenis-Muhamadiyah).

Fenomena Muhamadiyah di Muna nyatanya juga memilikikarakteristik yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan historis

29

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

dengan Aisyiah, tetapi memiliki perbedaan secara signifikan dalamhal lainnya. Hal-hal yang menunjukan persamaan antaraMuhamadiyah dan Aisyiah ada pada karakteristik kepemimpinannyayang actor oriented dan struktur kepengurusanya yang sangat variatif.Aisyiah memiliki pola kepemimpinan yang merujuk pada aktortunggal. Kepengurusan Aisyiah sejak awal didirikanya tidak pernahlepas dari Ibu Zainab Hibi (istri Pak Khalik) hingga saat ini. Meskipunsecara formal, Aisyiahbaru terbentuk tahun 2000, organisasiperempuan ini lebih maju dibandingkan organisasi induknya.Konsentrasi amaliah dalam bidang pendidikan dan kesehatan adalahkata kunci kemajuan Aisyiah sehingga bisa memiliki Klinik Binter,PAUD yang berjumlah 10, dan 20 TK ABA.

Secara genealogis, eksistensi Aisyiah tidak bisa dilepaskan daritokoh pengembang Muhamadiyah di Muna yaitu Pak Khalik.Sebagaimana Muhamadiyah, sejak awal berdirinya Aisyiah selaluidentik dengan karakteristik kepemimpinan aktor tunggal.Muhamadiyah-Aisyiah dengan demikian menunjukan kolaboratifkepemimpinan tunggal.Dalam perkembangan selanjutnya, ketikaMuhamadiyah ditinggalkan oleh pemimpin dan pengasuhnya,organisasi ini menjadi jalan ditempat meskipun kepengurusanyadipegang oleh pemilik kekuasaan (bupati). Aisyiah disisi lain,menemukan akar gerakan dan progresif kemajuanya oleh karenakekuatan ekonomi, sosial dan politik yang melingkupi pemimpinnya.Dalam model kepemimpinan organisasi modern seperti ini, sejarahMuhamadiyah yang lamban oleh sebab ditinggalkan pemimpinyabarangkali akan terulang jika tidak terjadi sistem kaderisasi yang soliddan suksesi yang baik dalam tubuh Muhamadiyah.

C. Patronase dan Kepemimpinan Kharismatik

Tokoh pemimpin kharismatik di kalangan umat Islam masihbegitu kuat, terutama dalam masyarakat rural. Bahkan dalammasyarakat urban sekalipun, kharisma dan ketokohan menjadi halyang urgen dalam masyarakat. Para pemimpin kharismatik tersebuttidak hanya memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitandengan masalah ibadah khusus, namun juga masih memperlihatkanperannya dalam ikut memecahkan dan menyelesaikan persoalan

30

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

sosial, ekonomi maupun politik. Dalam tubuh organisasi Islam,kepemimpinan sang tokoh semakin dimapankan dengan peran-perannya secara ekonomi, sosial, dan politik. Karakteristik ke-pemimpinan sang tokoh ini sangat erat hubunganya dengan sistempatronase yang entah sengaja atau tidak dibangunnya. Menganalisisgejala-gejala patronase tidak dapat dipisahkan dengan konsepotoritas, terutama dengan otoritas kharisma, seperti dalam komuni-tas agama.Pemimpin kharismatik dan pemimpin tradisional tidakdengan sendirinya terhapus dengan menguatnya otoritas legal-rasional, meskipun kolaboratif pola kepemimpinan tradisional,kharismatik, dan legal-formal tersebut juga bisa ditemukan dalammasyarakat, dengan posisi yang saling menguatkan satu sama lain.

Sistem patronase ada dalam semua lapis masyarakat, ter-utama jika dihubungkan dengan sistem interaksi/pertukaran sosial.Dalam masyarakat kota yang masih transisi, gejala patronase ini jugamenemukan embrionya. Putra menyatakan bahwa gejala patronasetetap berlaku di masyarakat pada masa lalu hingga sekarangkhususnya di masyarakat Asia Tenggara yang disebabkan oleh tigakondisi. Pertama, terdapatnya perbedaan (inequality) yang terjadidi masyarakat dalam hal kekayaan dan kekuasaan; Kedua, adanyaperbedaan penguasaan sumber daya yang tidak diikuti denganinstitusi yang dapat menjamin keamanan individu baik menyangkutstatus maupun kekayaan. Kondisi ini kemudian diperparah dengankelangkaan sumber daya yang semakin membuat ketidakamanan fisikbertambah besar resikonya karena perbenturan beberapakepentingan yang tidak dapat dihindari; Ketiga, ikatan-ikatankekerabatan yang tidak lagi dapat diandalkan sebagai satu-satunyacara untuk mencari perlindungan serta meningkatkan penguasaansumber daya. Maka hubungan dengan orang-orang di luar kerabatmerupakan tindakan yang jauh lebih efektif untuk memperolehkekayaan, status, dan kekuasaan.14

13 Burhanuddin B, et al, Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Tenggara,(Kendari: tp, 1980), hlm. 111.

14 Heddy Shri Ahimsa Putra, Minawang, Hubungan Patron-client DiSulawesi Selatan. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988).

31

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Gejala patronase dapat ditemukan dalam tubuh Aisyiah yanghingga saat ini dicirikan oleh tipe kepemimpinan kolaboratiftradisional-kharismatik-legal-rasional. Weber membagi kekuasaandalam tiga tipe, yaitu (a) kekuasaan tradisional, (b) kekuasaankharismatik, dan (c) kekuasaan legal-rasional. Kekuasaan tradisionalyaitu kekuasaan yang bersumber dari tradisi masyarakat yangberbentuk kerajaan dimana status dan hak para pemimpin sangatditentukan oleh adat kebiasaan.15 Tipe jenis ini dapat dibedakan kedalam jenis otoritas patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriar-khalisme adalah suatu jenis otoritas di mana kekuasaan didasarkankepada senioritas, sedangkan patrimonialisme adalah jenis otoritasyang mengharuskan seorang pemimpin bekerja sama dengankerabat-kerabatnya atau dengan orang terdekat yang memilikiloyalitas pribadi kepadanya.16 Kekuasaan kharismatik didasarkan padapengakuan terhadap kualitas istimewa dan kesetiaan kepada individutertentu serta komunitas bentukannya dan tipe ini dimiliki olehseseorang karena kharisma kepribadiannya. Kelemahnya, kekuasaantipe ini akan hilang atau berkurang apabila yang bersangkutanmelakukan kesalahan fatal. Selain itu, juga dapat hilang apabilapandangan atau paham masyarakat berubah. Kekuasaan legal-rasional, yaitu kekuasaan yang berlandaskan sistem yang berlaku,bahwa semua peraturan ditulis dengan jelas, diundangkan dengantegas, dan batas wewenang para pejabat atau penguasa ditentukanoleh aturan main. Kepatuhan serta kesetian tidak ditujukan kepadapribadi pemimpin, melainkan kepada lembaga yang bersifatimpersonal.

Dalam masyarakat urban transisi sebagaimana halnya Muna,dikotomi kepemimpinan Weber diatas tidak diterapkan secara tegas.Penghargaan dan penghormatan kepada kharisma pemimpinantradisional masih sangat kental, tetapi masyarakat juga tidak mampumengingkari dan melepaskan diri dari pola dan sistem modern dalam

15 Doyle P Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia,1994), hlm. 227-231. Jilid 1

16 Anthony Giddens, The Constitution of Society, (Berkeley and Los Ange-les: University of California Press, 1984), hlm. 192-194.

32

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

masyarakat. Polaritas kepemimpinan di Muna, baik dalam sistempemerintahan maupun sistem masyarakat masih didominasi olehotoritas bangsawan masa lalu. Bupati Muna sekarang ini adalah putraraja Muna terakhir dan menjadi ketua Muhamadiyah Muna. Iamenggantikan posisi kepemimpinan sebelumnya yang tokohnyameninggal dunia, yaitu La Ode Abdul Khalik yang juga adalah kakakkandungnya sendiri. Kharisma kepemimpinan tradisional masihterbawa dalam pola kepemimpinan modern yang dikuatkan denganlegalitas-rasional lewat undang-undang, pelantikan, dan pengukuhansecara formal.

Ketiga tipe kepemimpinan tradisional, kharismatik dan legal-rasional faktanya tidak hanya terjadi dalam organisasi Muhamadiyah.Aisyiah yang menjadi sayap organisasi perempuan Muhamadiyahjuga menampakan wajah yang sama. Sejak dilahirkan pada tahun1963 yang dipimpin oleh Zainab Hibi (istri La Ode Abdul Khalik),sempat vakum dan dihidupkan lagi pada Musda I tahun 2000, hinggasekarang Aisyiah masih menampakan wajah kepemimpinan tunggal.Kepemimpinan tunggal ini disokong oleh tiga tipe kepemimpinansekaligus, tradisional-kharismatik-legal-rasional. Karakteristiktradisional berasal dari warisan otoritas masa lalu, dimana dari sisisang suami masih merupakan garis keturunan langsung dari rajaMuna terakhir, La Ode Pandu. Dari sisi Ibu Zainab Hibi sebagaipemimpin Aisyiah masih terkait langsung dengan garis keturunanbangsawan (kaomu) yang merupakan kelompok bangsawan tertinggidi Muna.

Otoritas kharismatik didapatkan lewat kekuatan sosial-ekonomi yang memiliki sumber daya sosial (kelas sosial bangsawan/wa ode yang sukses secara sosial) dan sumber daya ekonomi yangberasal dari posisinya yang dekat dengan akses ekonomi. Pemimpinkarismatik bisa dilihat dari pengorbanan diri, mengambil resikopribadi, dan mendatangkan biaya tinggi untuk mencapai visi yangmereka dukung. Seorang pemimpin yang benar-benar mengambilresiko kerugian pribadi yang cukup besar dalam hal status, dan uangadalah pemimpin yang paling meninggalkan kesan bagi masyarakatdan meningalkan kepercayaan (trust) yang luar biasa. Ibu Zainabmenceritakan bahwa banyak kegiatan-kegiatan Aisyiah yang

33

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

menggunakan uang pribadi beliau oleh sebab Aisyiah tidak memilikidana yang cukup untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Dalam Milad I Aisyiah yang diadakan tahun 2013, Asyiahmenyelenggarakan banyak lomba yang diikuti oleh masyarakat secarakeseluruhan dengan hadiah yang cukup mahal dan menghabiskandana sekitar tiga puluh juta rupiah. Dalam kesempatan itu jugamengundang pengurus-pengurus wilayah dan pengurus pusat yangmenyisakan pertanyaan atas keberhasilan Aisyiah untuk ukuranpengurus daerah seperti Muna. Kepercayaan (trust) juga menjadimodal kunci Aisyiah Muna merekrut kader lewat amal usaha dibidangpendidikan, kesehatan, dan tabligh. Hingga akhirnya, beberapa PAUDberinisiatif memasukan lembaga pendidikan yang mereka keloladibawah payung Aisyiah. Klinik Binter Aisyiah yang berusia tiga tahunjuga adalah bukti kepercayaan masyarakat dengan berhasilnyakerjasama Aisyiah dengan Global Fund dalam mengatasi TBC dalammasyarakat hingga kontrak dengan lembaga tersebut diperpanjanghingga dua tahun ke depan. Kepercayaan dengan demikian menjadikomponenpenting dari otoritas karismatik dan pengikut lebih mem-percayai pemimpin yang terlihat tidak terlalu termotivasi olehkepentingan pribadi daripada kepentingan masyarakat banyak.

Karakteristik legal-rasional diperoleh dari posisi beliau sebagaianggota DPRD Kabupaten Muna dan pernah menjabat ketua DPRDselama satu periode. Periode kedua, beliau juga sempat menempatiposisi sebagai ketua DPRD selama dua tahun dan digantikan olehorang lain. Posisi sebagai anggota dewan dan posisi kunci sebagaiketua DPRD memudahkan Ibu Zainab memperoleh akses bagi sumberdana guna menyediakan suplay keuangan bagi hidup Aisyiah.

Masyarakat Indonesia sebagaimana ditegaskan Ben Andersonhingga kini masih dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kekuasantradisional, di mana kekuasaan dipandang sebagai suatu kekuatanenergi yang sakti dan keramat.17 Hal ini berbeda dengan dunia Baratyang melihat konsep kekuasaan lewat pola-pola interaksi sosial yangterlihat, berasal dari sumber-sumber yang heterogen, tidak mem-

17 Meriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa,(Jakarta: Sinar Harapan, 1984).

34

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

batasi diri, dan dipandang dari segi moral memiliki arti ganda.Semakin modern, model kekuasaan tradisional tersebut semakin ber-geser, sehingga masyarakat modern tidak lagi hanya membutuhkankekuatan yang berupa kesaktian saja sebagaimana pandanganAnderson, tapi juga dibutuhkan komponen-komponen lain yang jugadianggap penting, yaitu: kharisma, kewibawaan dan kekuasaan dalamarti khusus. Selain itu seorang pemimpin juga harus memiliki sifatyang adil, baik hati, dan pintar atau pandai dalam menghadapi danmenyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial-politik yangdihadapi masyarakat.18 Ketiga tipe otoritas tersebut berkolaborasidalam modal kepemimpinan sang tokoh dan disalurkan pula secaranyata dalam kepemimpinan Aisyiah di Muna. Dibangun dari modalkepemimpinan tradisional yang sejarahnya diwariskan dari masa lalu(sang suami), kewibawaan (lewat modal-modal kultur dan modalsocial), dan semakin dikukuhkan pula dengan posisi otoritas ekonomiyang menawarkan model kepemimpinan legal-rasional.

Aisyiah lahir dan tumbuh dalam masyarakat urban yangsemakin mengenal dengan baik modernisasi dan akibat-akibatnya,termasuk dalam organisasi. Sehingga pola-pola kepemimpinantradisional lama masih menyisahkan rohnya dalam proses masyarakatmengenal dan akhirnya menerapkan pola kepemimpinan yang legal-rasional. Aisyiah juga tumbuh dalam masyarakat yang semakinmengenal pola sistem demokrasi lokal yang sudah mulai berfungsidengan baik, sehingga gejala patronase bisa terbentuk secara jelas.19

Istilah patron berasal dari Bahasa Latin “patrönus” atau“pater”, yang berarti ayah (father). Iadigambarkan sebagai seseorangyang memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai danmendukung terhadap kegiatan beberapa orang. Sedangkan klienberasal dari istilah Latin “clins” yang berarti pengikut.20 Konsep patron

18 Koentjaraningrat, Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini,Resmi dan Tak Resmi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)

19 Heddy Shri Ahimsa Putra, Patron dan Klien di Sulawesi Selatan” SebuahKajian Fungsional Struktural. (Yogyakarta: Kepel Press, 2007).

20 Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, (Oxford: OxfordUniversity Press, 1975) Edisi kedua.

35

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

selalu diikuti dengan konsep klien yang dicirikan oleh hubungantimbal balik, saling membutuhkan dan saling menguntungkan.Hubungan keduanya membentuk satu sistem patronase dalaminstitusi sosial atau masyarakat tertentu.

Scott mendefinisikan relasi patron klien pada dasarnya adalahrelasi saling menguntungkan, dimana seorang individu dengan statussosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruhdan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikanperlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnyalebih rendah (klien).Sebaliknya, klien membalas dengan memberikandukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadikepada patron. Relasi ini dapat disebut patronase jika berlangsungterus menerus dan dalam jangka panjang. Sang patron tidak akanmengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkanimbalan lainnya yang dibutuhkan si patron; pelayanan, pengabdian,loyalitas, bahkan dukungan politik kepada patron. Sebaliknya klienmembutuhkan jaminan sosial berupa pekerjaan, kepastian danperlindungan sosial.

Salah satu kekuatan Aisyiah ada pada ketersediaan tenaga-tenaga siap pakai dalam setiap kegiatan atau program kerja yangdilaksanakanya. Dirumah beliau tinggal sejumlah orang (kurang lebihlima belas orang) yang masih memiliki hubungan kekerabatan denganbeliau. Tenaga-tenaga tersebutlah yang menjadi sumber daya utamadalam setiap pelaksanaan program-program kerja Aisyiah. Adatenaga yang membantu mendesain dan membuat undangan, tenagayang menyebarkan undangan, tenaga yang menangani pasien diklinikjika perawatnya belum datang. Ada dua orang perawat yang bertugasdi rumah sakit umum daerah yang tinggal di rumah beliau. Jika adapasien yang membawa sampel dahaknya langsung bisa ditangani olehperawat tersebut sebelum perawat kliniknya datang. Tenaga-tenagatersebut tinggal dan menetap dirumah tersebut selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sudah menikah dan memiliki anak tetapi masihtinggal di rumah tersebut. Dalam kondisi demikian, pengabdian danpelayanan yang diberikan menjadi meluas dan bertambah personilnya.

Tenaga-tenaga tersebut adalah klien-klien yang mampumemapankan sistem patronase yang terbangun secara perlahan dan

36

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

pasti. Ibu Zainab sebagai sang patron memberikan pekerjaan, sarana,perlindungan sosial berupa kebutuhan dasariah, tempat tinggal, dankepastian status sebagai bagian dari keluarga, sebagai bagian darirumah tersebut. Sebaliknya, para klien memberikan pelayanan,pengabdian, dan loyalitas dirumah dan dalam setiap aktivitas yangberhubungan dengan sang patron. Ada beberapa mobil dan delapanmotor yang tersedia untuk mobilisasi amal-amal usaha Aisyiah.Kendaraan yang tersedia tersebut adalah milik pribadi danmerupakan sarana mobilisasi bagi hidup dan perkembangan Aisyiahdari hari ke hari. Dengan demikian, kekuatan sebuah patronase bukanpada peraturan-peraturan tetapi pada ketersediaan sumber daya.

Relasi patron dan klien sesungguhnya merujuk padahubungan yang tidak imbang.Patron memiliki posisi, kedudukan, danotoritas yang lebih tinggi daripada klien. Tetapi dalam relasi sepertiitu, terjadi hubungan yang saling membutuhkan dan salingmenguntungkan. Meskipun relasi patron-klien tidak seimbang,hubungan yang dibangunnya tidak didasarkan unsur pemaksaan/kekerasan. Ia lebih pada hubungan yang saling menguntungkan(simbiosis mutualisme). Masing-masing patron-klien memiliki posisitawar. Meskipun sangat bergantung kepada sang patron, klien tetapmemiliki posisi tawar. Begitu juga dengan patron, modal yangdimiliknya tidak serta merta membuatnya bisa melakukan eksploitasikepada klien maupun memberikan keputusan yang merugikan klien.Selama masih merasa memperoleh keuntungan dari pihak lain,hubungan patron klien masih terus berlangsung. Scott mengatakanbahwa hubungan patronase mengandung dua unsur utama yaitupertama bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatuyang berharga di mata pihak lain dan pihak penerima merasaberkewajiban untuk membalasnya. Kedua adanya unsur timbal balikyang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atauhubungan karena adanya wewenang formal. Aisyiah melalui sosoksang tokoh sebagai patron membutuhkan tenaga, pengabdian, danloyalitas para klen, sebaliknya para klien membutuhkan jaminansosial dan jaminan perlindungan bagi kehidupan mereka selanjutnya.

Patron sebagai pihak yang memiliki kemampuan lebih besardalam menguasai sumber daya ekonomi dan politik cenderung lebih

37

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

banyak menawarkan satuan barang dan jasa kepada klien, sementaraklien sendiri tidak selamanya mampu membalas barang dan jasatersebut secara seimbang. Ketidakmampuan klien di atas memuncul-kan rasa hutang budi klien kepada patron, yang pada gilirannya dapatmelahirkan ketergantungan. Karakteristik relasi patron-klien menurutScott (1972) adalah (1) terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran(inequality of exchange) yang menggambarkan perbedaan dalamkekuasaan, kekayaan dan kedudukan; (2) sifat tatap muka (face offace character) yang mencirikan kedekatan hubungan; (3) ikatanbersifat luwes dan meluas (diffuse flexibility) yang tidak hanya padahubungan kerja, melainkan hubungan pertetanggaan, kedekatansecara turun temurun atau persahabatan dimasa lalu.21 Pertukaranya-pun tidak melulu uang atau barang, tetapi juga bantuan tenaga dandukungan kekuatan. Hubungan ketergantungan klien terhadappatron tidak hanya terjadi dalam satu aspek kehidupan sosial, tetapidapat meluas keaspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Pelayananyang diberikan tenaga-tenaga di rumah sang tokoh Aisyiah ber-langsung sampai pada keturunan langsungnya atau mengajakkeluarga lain untuk masuk dalam lingkaran klien tersebut. Pola inidalam kepemimpinan Ibu Zainab akhirnya melahirkan relasi-relasiyang saling berhubungan dan klien-klien baru lewat penyebaranpaham-paham keagamaan, kedekatan emosional dan sosial,pertolongan dan keterlibatan patron dalam persoalan-persoalanklien (perkawinan, sekolah dan pendidikan anak, bantuan pekerjaan,dan sebagainya). Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebutsebagai hubungan bos-anak buah. Sang bos mengumpulkan ke-kuasaannya dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuahkeluarga besar atau extanded family, dan anak buah membalasdengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron.

Siapapun bisa menjadi patron asal memiliki modal bagikondisi-kondisi patronase.Modal tersebut bisa dalam bentuk modalsosial, modal ekonomi, dan modal politik.Aisyiah tumbuh danberkembang melampaui organisasi induknya didukung oleh kekuatan

21 James C Scott, Patron-Client Politics and political Change in SoutheastAsia, American Political Science Review, 1972, no. 66, hlm. 92.

38

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

intelektual, sosial, ekonomi, dan politik dari aktor pemimpinnya.Secara intelektual, sang pemimpin memiliki kapasitas kognitif dankepemimpinan yang kompeten. Secara sosial, sang pemimpin berasaldari kaum bangsawan Muna (kaomu) dan pewaris sejarahkepemimpinan Muhammadiyah (istri pak Khalik, Ketua Muhamadi-yah Muna). Ia memiliki akses ekonomi yang mapan sebab sangpemimpin adalah anggota DPRD Kabupaten Muna dan pernahmenjabat ketua DPRD selama satu setengah periode. Posisi politikini menyebabkan kemudahan dan kedekatan dengan sumber-sumberdana yang bisa mengalirkan suplay keuangan organisasi terjamindengan pasti. Kemudahan atas akses ekonomi, sosial, dan politikmenyebabkan sang pemimpin secara mudah menjadi seorang patronyang mengundang dan menciptakan klien-klien yang banyak dalammenjamin sistem patronase yang dibangunnya. Sumber dana meng-hasilkan sumber daya yang loyal dan solid, berupa tenaga-tenagasiap pakai bagi keberlangsungan dakwah Aisyiah.

Kekuatan Aisyiah pada sistem patronase bisa jadi suatu saatmenjadi titik kelemahan dan kemunduran bagi organisasi perempuanini jika sistem kaderisasinya tidak mampu mengasuh bayi calonpemimpin yang memiliki kapabilitas, kompetensi, dan loyalitas yangkurang lebih sama yang dimiliki oleh sang tokoh, Ibu Zainab. Banyakkader di Aisyiah, tetapi menurut pengakuan beliau kapasitas intelek-tual, sosial, ekonomi, dan politik seperti yang dimilikinya belum adayang bisa menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin Aisyiah.Hal ini juga menjadi kegelisahan para para pengurus dan kader Aisyiahsendiri. Jika Aisyiah tidak lagi dipimpin oleh Ibu Zainab (sementarabeliau sudah menyatakan akan berhenti menjadi pemimpin Aisyiahsetelah 2015), maka organisasi ini dikhawatirkan akan berjalantertatih dan tersendat. Posisi pimpinan Aisyiah yang dijabatnyasekarang kemungkinan besar akan diserahkan kepada ibu bupatisebagai jabatan exofficio. Dalam kondisi demikian, Aisyiah masih akantertolong, tetapi jika kepemimpinan itu berada di luar lingkupkekuasaan, maka kekhawatiran sang tokoh, para pengurus, dan kaderAisyiah bukan mustahil akan terjadi. Kondisi ini akan semakinmemapankan karakteristik kepemimpinan Aisyiah di Muna yangtunggal dan berada pada tangan satu aktor tunggal.

39

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

D. Kekuasaan yang Produktif

Kekuasaan tidak harus dipandang sebagai sesuatu yangnegatif lewat upaya-upaya penindasan dan pemaksaan. Kekuasaandalam perspektif Foucault menampilkan wajah yang berbeda. Teori-teori kekuasaan sebagaimana yang dipahami selama ini mengarahpada kekerasan atau masalah persetujuan (Hobbes), represif/menindas (Freud), pertarungan kekuatan (Machiavelli), korup (Acton)atau dominasi kelas yang didasakan pada dominasi ekonomi danpertarungan idiologis (Marx). Dalam perspektifnya tentangkekuasaan, Foucault tidak memberikan definisi tentang kekuasaan,ia lebih menggarisbawahi bagaimana kekuasaan itu dipraktekan,diterima dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagaibidang kehidupan.22 Kekuasaan bagi Foucault terletak pada relasiantara subyek dan paran lembaga-lembaga yang menjalankan fungsitertentu dalam masyarakat. Oleh sebab itu, kekuasaan itu adadimana-mana dan bisa terjadi pada siapa saja.

Foucault meletakan kekuasaan pada mekanisme dan strategidalam mengatur hidup, maka ia muncul dalam bentuk aturan-aturandan normalisasi.23 Tegasnya, kekuasaan ada pada tataran wacana(discourse) kebenaran atau rezim pengetahuan yang diproduksi olehkekuasaan. Kekuasaan yang memproduksi pengetahuan ini terjadidalam tubuh lewat upaya pendisiplinan demi kepatuhan. Tubuhadalah sasaran utama bagi peneguhan kekuasaan yang dilakukanlewat proses pendisiplinan atas tubuh, sehingga ada istilah pantasdan tak pantas, normal atau tidak normal dalam masyarakat. Wacana-wacana demikian merupakan upaya pendisiplinan tubuh demimenghasilkan kepatuhan. Foucault menyebut kekuatan pendisiplinanpada diri individu sebagai bio-power, kekuasaan disiplin (disciplinarypower).24 Tujuan pokok “kekuasaan disiplin” ini adalah menghasilkan

22 Konrad SVD Kebung, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2008).

23 Ibid, hlm. 121.24 Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan; Menelanjangi

Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault”. Majalah Basis, Nomor 01-0, Tahun ke 51 Januari-Februari. 2002.

40

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

seorang manusia yang dapat diperlakukan sebagai sebuah “tubuhyang jinak/patuh” (docile body) yang mengindikasikan kepatuhansekaligus tubuh yang produktif.

Keberhasilan Aisyiah salah satunya terletak pada kedekatandan kemudahan terhadap kekuasaan, sehingga posisi Aisyiah berikutprogram kerjanya aman secara financial. Posisi Ibu Zainab sebagaianggota DPRD Kabupaten selama dua periode dan pernah menjabatsebagai ketua DPRD memudahkan baginya untuk mengarahkan,mengontrol dana bagi Aisyiah. Sisi produktif yang dihasilkan olehsosok pemimpin Aisyiah ini terletak pada posisinya yang strategisdalam mendapatkan dana bagi pergerakan Aisyiah. Kekuasaan yangproduktif juga dihasilkan dengan membangun sistem patronase yangberhasil mendisiplinkan para klien dan membentuk dan meluaskanklien-klien baru demi sebuah kepatuhan, pengabdian, dan loyalitas.Keberhasilan Ibu Zainab meyakinkan para anggota dewan adalahupaya mengarahkan dan mendisiplinkan persetujuan mereka padawacana pantas dan tidak pantas mengalokasikan dana bagi Aisyiahdibandingkan dengan dana bagi kerja-kerja PKK yang kurangsubstantif bagi kebutuhan masyarakat luas.

Dengan kekuasaan produktif yang dimiliki, sang tokoh Aisyiahmelakukan upaya pendisiplinan tubuh terhadap para anggota dewanlain dan pemerintah daerah dalam bentuk persetujuan anggaran,para klien dalam bentuk kepatuhan dan loyalitas, masyarakat luasdalam bentuk persetujuan sekaligus simpati. Pendisiplinan tubuhmelahirkan pengawasan, bukan oleh orang lain tetapi oleh dirisendiri. Diri menjadi subyek pengawasan melalui tubuh, tindakan,dan perasaan, sehingga melahirkan persetujuan, simpati, kepatuhan,loyalitas, dan pengabdian tanpa perlu pengawasan dan kontrol secaraketat dan terus menerus.

Kondisi ini berbeda sangat jauh dengan sumber keuanganMuhamadiyah sejak dikembangkan Pak Khalik yang lebih banyakberasal dari dana pribadi. Disamping itu, meskipun Muhamadiyahberada ditangan Bupati Muna dan pengurus-pengurusnyapun sudahterbentuk, semangat dan inisiatif untuk mengembangkanMuhamadiyah masih belum terlihat. Sudah berlangsung dua tahunsejak Musda I dilangsungkan, belum pernah dilakukan rapat intern

41

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

pengurus untuk membahas kerja-kerja Muhamadiyah. Pengurus-pengurus inti yang terlibat aktif dalam IRM dan IPM yang awalnyabersemangat melaksanakan pengajian, akhirnya menyerah danmenghentikan kegiatan tersebut karena sambutan dari ketua sama-sekali tidak memotivasi dan melecut semangat mereka. Padaakhirnya, banyak pengurus dan kader yang kecewa dan pesismisdengan posisi strategis Muhamadiyah ditangan Bupati.

Amal usaha Aisyiah dibidang pendidikan dan kesehatanmerupakan faktor lain lagi dalam menunjukan efek kekuasaan yangproduktif dari Aisyiah. Pengurus Cabang Aisyiah yang berjumlah 24,20 TK ABA, 10PAUD, dan Klinik Binter yang sudah berjalan tiga tahunadalah bukti-bukti adanya trust (kepercayaan) yang berhasil dibangunantara Aisyiah dan pemerintah di satu sisi, dan masyarakat disisilainnya. Disamping itu, cara-cara tabligh atau dakwah yang dilakukanAisyiah bukanlah dakwah bil lisan. Cara dakwah yang dilakukanyaadalah dakwah bil hal dengan cara memperkenalkan program-program kerja yang dibutuhkan masyarakat hingga pada akhirnyamasyarakat yang berbondong-bondong datang untuk berobat keklinik, dan beberapa PAUD datang dan meminta untuk dinaungi olehAisyiah. Klinik tersebut juga telah melakukan kerja sama denganGlobal Fund yang mengalirkan dana bagi pengobatan penyakit TBCdi kabupaten Muna. Data di klinik menyebutkan bahwa 6850 suspekmengidap TBC, BTA positif berjumlah 890 orang dan yang telahsembuh sebanyak 499 orang. Karena animo masyarakat sangat besardan pelayanan yang dilakukan klinik tersebut, kerja sama diper-panjang hingga dua tahun lagi. Antusiasme masyarakat terhadappengobatan yang dilakukan klinik Binter Aisyiah memicu trustpemerintah yang mencanangkan program menuju Muna Sehat danMaju Tahun 2015.

Cara dakwah yang dilakukan Ibu Zainab berbeda secarasignifikan dengan cara-cara dakwah sebelumnya yang dilakukan olehPak Khalik. Muhamadiyah dalam kepemimpinan Pak Khalik adalahMuhamadiyah yang keras dan frontal dalam mengajarkan idiologikemuhamadiyahan, sehingga paham ini pada awalnya dianggapsebagai aliran kepercayaan atau bahkan agama baru. Respon kerasyang ditunjukan masyarakat bahkan keluarga besar beliau terutama

42

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

pada upaya-upaya untuk menghilangkan sama sekali tradisi masalalu, seperti peringatan kematian yang memberatkan, penggunaandupa, haroa/sesajen dalam ritual. Belajar dari sejarah reaksi frontalmasyarakat, Ibu Zainab mengubah cara dakwah yang dilakukannya.Pendekatan yang dilakukanya lebih halus, lebih tersembunyi, danlebih dahulu mengedepankan dakwah bil hal. Metode tabligh yangdilakukan lewat amal usaha yang secara nyata dirasakan olehmasyarakat, bukan mengedepankan doktrin atau paham ke-muhamadiyah-an lebih dahulu seperti yang selama ini dilakukan PakKhalik. Doktrin atau paham ke-muhamadiyah-an baru diperkenalkanketika Milad pertama Aisyiah tahun 2013 setelah Aisyiah men-dapatkan trust (kepercayaan) dari kader maupun masyarakat luas.Milad I Aisyiah tersebut sekaligus pula legitimasi terhadap keberhasil-an Aisyiah di Muna. Kegiatan seminar, berbagai macam lomba denganhadiah besar, dan seremonial penutup yang mengesankan PPA danPWA adalah pengukuhan sekaligus pengakuan akan kemajuan Aisyiahdi Muna. Betapa susah menghidupi sebuah organisasi perempuan,jika bukan karena kedekatan dan kemudahan terhadap akseskekuasaan, demikian komentar dari para pengurus wilayah danpengurus pusat. Tetapi, Aisyiah memainkan peran dalam mencipta-kan kekuasaan yang produktif di Muna. Kekuasaan yang produktifdihasilkan lewat program kerja yang riil dalam masyarakat lewat amalusaha dibidang pendidikan, kesehatan, dan tabligh. Kekuasaan yangproduktif menghasilkan kerja-kerja riil yang terwujud dalam trust,baik dengan DPRD, pemerintah daerah, masyarakat, maupun pihaklain yang ikut mendanai klinik Aisyiah.

Tabligh yang dilakukanya lebih mengarah kepada dakwah bilhal, hal-hal yang menyangkut kebutuhan dasar dan langsung yangdirasakan oleh masyarakat. Pelatihan kader merawat jenazah yangdiikuti oleh 24 kader PCA merupakan satu dakwah lebih realistisditengah masyarakat untuk mereduksi secara perlahan-lahan tradisiritual yang mengiringi kematian dalam masyarakat Muna.Pelatihankader ini sekaligus pula mengintrodusir idiologi kemuhamadiyahansecara nyata dan praktis. Tabligh Aisyiah dengan cara dakwah bil haldengan menunda mengintrodusir idiologi Muhamadiyah lebihdahulu dan ditopang dengan kekuatan sumber dana dan sumber

43

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

daya yang loyal menunjukan sebuah proses negosiasi antara dakwahdan politik. Negosiasi adalah sebuah proses pendekatan ataukontestasi antara satu hal yang diyakini (idiologi Muhamadiyah)dengan hal yang baru/asing (kekuasaan atas sumber dana). Negosiasimengindikasikan sebuah proses pendekatan argumen ataukompromitas antara dua hal yang bertentangan demi menghasilkankesepakatan yang bisa memuaskan kedua pihak.25 Proses negosiasidilakukan ketika terjadi perbenturan antara dua entitas yangberlainan dan telah terjadi perubahan orientasi berpikir, bahkanperubahan tata nilai dalam masyarakat. Dakwah yang semestinyamenjadi roh perjuangan Aisyiah ditunda lebih dahulu dandinegosiasikan dengan kekuatan politik yang dimiliki sang tokohAisyiah. Pada akhirnya, kesepakatan yang didapat berupa trust darisemua kalangan yang menopang baik langsung maupun tidaklangsung kemajuan Aisyiah; DPRD, Pemerintah daerah, para klien,kader, dan masyarakat secara keseluruhan.

Kemudahan dan kedekatan terhadap akses kekuasaan yangdimiliki Ibu Zainab dengan posisi yang strategis dimilikinyamenunjukan hubungan yang erat antara dawah dan politik. Dakwahdilakukan dengan memanfaatkan posisi politik dan dengan strategipolitik yang mahir dan taktis. Salah satu hal yang membuat Aisyiahbegitu mudah mendapatkan anggaran bagi program-program kerjaAisyiah oleh sebab minimnya organisasi perempuan di Muna yangcukup vokal menyuarakan hak bagi kebutuhan dana tersebut, selainkegiatan-kegiatan PKK atau kegiatan Dharma Wanita yang bagi IbuZainab yang kurang bisa menjawab kebutuhan masyarakat secarasubstantif.

Pendisiplinan tubuh yang manghasilkan kepatuhan dalamberbagai ragam bentuknya adalah kata kunci kesuksesan Aisyiah diMuna. Ia membangun trust (kepercayaan) dari berbagai pihak; DPRD,pemerintah desa, para klien dalam sistem patronasenya, masyarakat,dan pihak lain yang berkepentingan (Global Fund). Akses terhadapkekuasaan dan akses terhadap tenaga-tenaga yang loyal dan siap

25 Haviland, Cultural Anthropology, (New York: Harcourt Brace CollegePublisher, 1999), hlm. 367.

44

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

pakai menunjukan sebuah kekuasaan yang produktif, sebuahkekuasaan yang tidak selamanya berorientasi negatif sebagaimanakonsep Hobbes, Machiavelli, Acton, ataupun Marx. Lewat sistempatronase dan negosiasi antara politik dan dakwah, Aisyiah di Munamenunjukan bahwa kekuasaan itu tidak selamanya korup (jahat),represif (menindas) dan coercive (memaksa).Ia bisa jadi produktifyang melahirkan kepatuhan-kepatuhan, disiplin, dan loyalitas yangmenghasilkan produktivitas pengetahuan dan kerja yang bisadirasakan langsung oleh masyarakat.

Kekuasaan bisa dikatakan produktif karena menghasilkansesuatu yang riil. Saat kepatuhan dipenuhi, maka setiap pihak yangterlibat baik langsung maupun tidak langsung secara tidak sadarmenghasilkan produktivitas bagi kerja-kerja Aisyiah, melakukanpengawasan terhadap disi sendiri, dan setiap orang turut ambilbagian sehingga menghasilkan produktivitas yang realis. Maka, efekkekuasaan tidak lagi digambarkan secara negatif sebagai yangmenindas, memanipulasi, menguasai. Ternyata kekuasaan itumenghasilkan sesuatu yang riil, yang produktif dan produktivitas yangdihasilkanya akan semakin melanggengkan kekuasaan itu sendiri jikapola-pola pendisiplinan lewat kepatuhan tubuh dilakukan terusmenerus dan berkesinambungan. Aisyiah ke depan masih akanmenempati posisi menguntungkan demikian, sekaligus pulakerentanan akan hilangnya kepatuhan akibat hilangnya kekuasaanyang produktif.

E. Penutup

Aisyiah di Muna menyuguhkan dua fakta, Pertama, Aisyiahmenyuguhkan potret bahwa kekuasaan tidak harus menindas(coercive). Kekuasaan itu bisu, samar dan tersembunyi lewat sistempatronase yang dibangun oleh sang tokoh lewat kekuatan sosial,ekonomi, dan politik. Kekuasaan justru produktif denganmenghasilkan tenaga, pengetahuan, dan produk-produk kerja yangdibutuhkan masyarakat. Sistem patronase membentuk kepatuhandan loyalitas dari para klien. Penguasaan atas sumber danamerupakan kekuatan utama sang patron sekaligus menjadi jaminandan perlindungan bagi para klien. Dengan kekuatan tersebut, sang

45

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

patron bisa memperoleh sumber daya yang loyal dan diberikan olehklien. Patronase melanggengkan kekuasaan dan kepemimpinan.Sehingga, meskipun ada kaderisasi, akan tetapi patronase bisamelumpuhkan dan memalingkan setiap aspirasi bagi suksesi lain.

Kedua, Aisyiah adalah sebuah proses negosiasi yang taktis dansubstantif lewat dakwah bil hal. Keberhasilan dakwah tidak harusmelabelkan paham/doktrin tertentu. Seperti apapun kekuasaan itudisediakan dan digunakan, ia bisa diterima oleh masyarakat jikadigunakan bagi kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya,kekuasaan bisa berujung pada pemberdayaan (empowerment) sosial,ekonomi, politik, bukan hanya kekuasaan yang memperdaya(dispowerment).

Entitas Aisyiah dengan kekuasaan produktifnya merupakankekuatan sekaligus kerentanan. Kekuatan yang dibangun Aisyiahlewat sistem patronase, negosiasi politik, dan dakwah akan terusberlanjut sehingga melahirkan kekuasaan yang produktif. Hal ini bisasaja terjadi jika kepemimpinan Aisyiah tidak lagi berada ditanganIbu Zainab tetapi ditangan Ibu Wa Ode Farida (istri Bupati Muna)sebagai jabatan exofficio. Tetapi, posisi Aisyiah yang dekat dengankekuasaan demikian rentan, jika akses terhadap kekuasaan tidak lagidimilikinya. Aisyiah ke depan tidak hanya membutuhkan kekuasaanuntuk menopang dan menyangga keuanganya, ia membutuhkankaderisasi yang kompeten, loyal, komitmen, dan kapabel dalammenahkodai Aisyiah.

DAFTAR PUSTAKA

Basya, M. Hilaly, Quo Vadis ‘Tajdid’ in Muhamadiyah, The JakartaPost, 23 Juli 2010.Budiardjo, Meriam, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan

Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.Burhanuddin B, et al, Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi

tenggara, Kendari: tp, 1980.Burhani, Ahmad Nadjib, Muhamadiyah Jawa, Jakarta: Al Wasat Pub-

lishing House, 2004.

46

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Depdikbud, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. 1977/1978

Foucault, Michael, Seks dan kekuasaan, Terj. Rahayu S. Hidayat,Jakarta: PT. Sun, 1997., Wacana Kuasa/Pengetahuan.Terj. Yudi Santoso, Yogyakarta:Bentang Budaya, 2000.

Giddens, Anthony, The Constitution of Society, Berkeley and Los An-geles: University of California Press, 1984.

Haliadi, Sinkretisme Islam; Buton Islam Islam Buton, Yogyakarta:Yayasan Untuk Indonesi, 2001.

Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan; MenelanjangiMekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault, MajalahBasis, Nomor 01-0, Tahun ke 51 Januari-Februari, 2002

Haviland, Cultural Anthropology, New York: Harcourt Brace CollegePublisher, 1999., Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003.

JIL, BahtiarEffendy:Di Muhamadiyah Juga Ada “Munu” dan“Marmud”, 2009. Jaringan Islam Liberal-IslamLib.com.htm.Diakses pada tanggal 5 November 2013.

Johnson, Doyle P, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta:Gramedia, 1994. Jilid 1.

Kebung, Konrad SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, Jakarta:Prestasi Pustaka, 2008.

Koentjaraningrat, Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, MasaKini, Resmi dan Tak Resmi, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Muhammad, Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta:Fajar Pustaka, 2004.

Nashir, Haedar, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta:BIGRAF Publishing, 2000., Manhaj Gerakan Muhamadiyah; Idiologi, Khittah, danLangkah, Yogyakarta: Suara Muhamadiyah dan MajelisPendidikan Kader PP Muhamadiyah, 2010.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia Tahun 1900-1942,Jakarta: LP3ES, 1985.

47

Asliah Zainal, Aisyiah di Muna (Negosiasi Dakwah dan Politik)

Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1 Tahun 2014

Pasha, Musthafa Kemal & Ahmad Adaby Darban, Muhamadiyahsebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2005.

Putra, Heddy Shri Ahimsa, Minawang, Hubungan Patron-client DiSulawesi Selatan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1988., Patron dan Klien di Sulawesi Selatan” Sebuah KajianFungsional Struktural, Yogyakarta: Kepel Press, 2007.

Scott, James C, Patron-Client Politics and political Change in South-east Asia, American Political Science Review, 1972. No. 66.

Shepard, William. “The Diversity of Islamic Thought: Toward a Ty-pology”, dalam Suha Taji-Farouki and Basher M Nafi, IslamicThought in The Twentieth century, New York: IB Tauris & CoLtd, 2004.

Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3S,1986.

Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, SejarahKebangkitan daerah Sulawesi Tenggara, Kendari: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah danBudaya, 1978.

Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Oxford: Ox-ford University Press, 1975.