agama - kekerasan dan budaya kasih

79
BAB I PENDAHULUAN Di dunia ini ada kasih dan kekerasan. Keduanya saling bertentangan satu sama lain. Di mana ada kasih, di sana tidak ada kekerasan, dan sebaliknya. Tuhan berpesan kepada manusia untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan, maupun mengasihi sesama manusia. Tuhan tidak menginginkan manusia memakai kekerasan, karena Ia adalah pribadi yang lemah lembut dan tidak menyukai kekerasan. Tuhan menginginkan manusia hidup damai dalam kasih, seperti yang telah dipesankannya. Ironisnya, manusia yang hidup dalam kekerasan dan pertikaian jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan manusia yang hidup dalam kasih dan damai sejahtera. Mereka seolah tidak pernah mengenal kasih, yang mereka kenal hanyalah kekerasan dan konflik. Dewasa ini, lebih banyak manusia yang lebih mudah memusuhi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain dibandingkan dengan manusia yang mengasihi sesama dengan tulus. Kasih perlahan mulai hilang dari hati manusia, digantikan oleh rasa benci, dendam, marah, iri hati, egois, yang membuahkan kekerasan. Sejak akhir abad XX dan awal abad XXI, konflik dan kekerasan merebak di mana-mana, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan Gereja yang menganut ajaran kasih yang merupakan ajaran Yesus. Karena kekerasan, wajah bangsa Indonesia yang tadinya ramah dan penuh kelemahlembutan 1

Upload: joanna-nadia

Post on 28-Jun-2015

3.333 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB I

PENDAHULUAN

Di dunia ini ada kasih dan kekerasan. Keduanya saling bertentangan satu

sama lain. Di mana ada kasih, di sana tidak ada kekerasan, dan sebaliknya.

Tuhan berpesan kepada manusia untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan,

maupun mengasihi sesama manusia. Tuhan tidak menginginkan manusia

memakai kekerasan, karena Ia adalah pribadi yang lemah lembut dan tidak

menyukai kekerasan. Tuhan menginginkan manusia hidup damai dalam kasih,

seperti yang telah dipesankannya. Ironisnya, manusia yang hidup dalam

kekerasan dan pertikaian jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan manusia

yang hidup dalam kasih dan damai sejahtera. Mereka seolah tidak pernah

mengenal kasih, yang mereka kenal hanyalah kekerasan dan konflik.

Dewasa ini, lebih banyak manusia yang lebih mudah memusuhi dan

melakukan kekerasan terhadap orang lain dibandingkan dengan manusia yang

mengasihi sesama dengan tulus. Kasih perlahan mulai hilang dari hati manusia,

digantikan oleh rasa benci, dendam, marah, iri hati, egois, yang membuahkan

kekerasan.

Sejak akhir abad XX dan awal abad XXI, konflik dan kekerasan merebak di

mana-mana, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan Gereja yang

menganut ajaran kasih yang merupakan ajaran Yesus. Karena kekerasan, wajah

bangsa Indonesia yang tadinya ramah dan penuh kelemahlembutan tercoreng

dengan berbagai macam tindakan yang bertentangan dengan kasih.

1

Page 2: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB II

KASIH

2.1 Pengertian Kasih

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia

Senja mengartikan kasih sebagai perasaan sayang (cinta, suka) kepada

seseorang. Hampir semua orang mendefinisikan kasih sebagai perasaan

sayang. Jika seseorang mengasihi, berarti ia menyayangi orang tersebut,

padahal tidak harus selalu begitu. Definisi kasih sebagai perasaan sayang

tidaklah salah, tetapi masih kurang tepat.

Di dalam Kitab Suci dinyatakan bahwa kasih tidak sebatas perasaan sayang

kepada seseorang. 1 Korintus 13 : 4-8 berbunyi, “Kasih itu sabar; kasih itu murah

hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak

melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak

pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena

ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya

segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala

sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan

berhenti; pengetahuan akan lenyap.” Ayat tersebut mengungkapkan cara Allah

menggambarkan kasih.

2.2 Jenis-Jenis Kasih

Ada empat kata dalam bahasa Yunani untuk kasih yang penting dimengerti

orang Kristen. Kata-kata itu adalah agape, phileo, storge, dan eros. Keempat

kata tersebut merupakan jenis-jenis kasih, yang digolongkan berdasarkan siapa

yang dikasihi.

a. Kasih Eros

Eros adalah bahasa Yunani untuk kasih seksual atau hasrat kasih (dalam

bahasa Inggris disebut erotic). Secara alkitabiah, kasih eros diartikan

sebagai hawa nafsu. Dalam bahasa Yunani, jika kata eros digunakan

sebagai kata benda, menunjuk kepada dewa kasih Yunani. Kasih eros

umumnya muncul karena hal-hal lahiriah (penampilan fisik) ataupun

2

Page 3: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

rohaniah (muncul karena kemampuan seseorang maupun karakternya).

Kasih eros berpusat pada diri sendiri, sehingga cenderung bersifat

negatif. Orang-orang Yunani menggambarkan kasih Eros dengan simbol

ular yang memakan ekornya sendiri, artinya adalah adanya ketertarikan

dan kecintaan pada diri sendiri, sehingga secara ekstrim dapat

digambarkan sebagai seseorang yang memakan dirinya sendiri.

Seseorang yang memiliki kasih eros akan kelihatan seperti  mengasihi

namun bila diamati lebih lanjut maka ego orang tersebut dapat ditemukan.

Kasih eros sangat pandai menipu karena menjanjikan kenyamanan,

penampilan yang baik, kesenangan dan kenikmatan namun

menyembunyikan akibat buruk bagi orang-orang yang memilih kasih

semacam ini. Kasih eros hanya menuntut, merampas dan menyedot.

Sayangnya banyak yang mengasihi Tuhan dengan kasih eros , mereka

rajin beribadah, berdoa, memberi dan membaca Alkitab supaya

mendapatkan banyak berkat dan kekayaan, mereka melakukan ibadah

bukan karena mengasihi Tuhan namun karena hawa nafsu (berdasarkan

Yak 4: 1-3).

b. Kasih Phileo/Filia

Phileo berarti “memiliki minat yang spesial kepada seseorang atau

sesuatu, sering kali dengan fokus kepada kerja sama yang dekat;

memiliki kasih sayang terhadap, seperti memandang seseorang sebagai

sahabat.” Kata ini menunjuk kepada perasaan suka yang kuat atau

persahabatan yang kuat. Kasih phileo adalah kasih persaudaraan yang

timbal balik, artinya kasih yang diungkapkan adalah sebagai balasan atas

kasih yang sudah kita terima. Kasih Phileo merupakan kasih yang

terbatas dan dapat berubah-ubah karena pada dasarnya kasih phileo ini

adalah kasih manusia, dimana seseorang dapat memiliki kasih ini

sekalipun dia belum mengalami lahir baru di dalam Tuhan. Kasih phileo 

bagaikan sebuah jalan yang ujungnya buntu. Kasih phileo mengikuti

keadaan hati, jika hati terluka dan sakit maka kasih phileo pun berubah

pula. Di dalam kasih phileo juga ada unsure perasaan, emosi,

kehangatan dan kesetiakawanan (berdasarkan Roma 12:10; Ibrani 13:1).

Kasih yang mendasari hubungan antara teman ini tidak begitu stabil. Hal

3

Page 4: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

ini dapat dilihat dari banyaknya permusuhan atau perselisihan yang

terjadi antar teman.

c. Kasih Storge

Kasih storge ditimbulkan oleh adanya ikatan darah, misalnya antara

orangtua dan anaknya, atau orang yang bersaudara. Sifat kasih storge

pada dasarnya mirip dengan kasih phileo. Kata storge muncul dalam

Roma 12:10 dengan kata “philostorgos”, yang merupakan gabungan kata

philos (bentuk kata benda dari phileo) dan storge.

d. Kasih Agape

Kasih agape adalah tingkatan tertinggi dari semua kasih. Agape adalah

sifat inti Tuhan, karena Tuhan adalah kasih (berdasarkan 1 Yoh. 4:7-12,

16b). Cara untuk mengerti kasih agape adalah dengan menyadari bahwa

kasih agape dapat dikenal dari tindakan yang mendorongnya. Agape

adalah kasih karena apa yang dilakukannya, bukan karena bagaimana

perasaannya. Jika manusia memiliki kasih agape, ia akan mengasihi

musuhnya dengan bertindak dalam kasih kepada musuhnya itu. Kasih

Agape adalah kasih yang Allah perintahkan untuk dilakukan manusia

dalam kehidupan sehari-hari (berdasarkan Yoh 13:34). kasih Agape

adalah perintah Tuhan, bukan sekedar undangan yang boleh tidak

dipenuhi. Kasih Agape tidak pernah gagal dan tak pernah berkesudahan

(1 Kor 13:8). Kasih agape berkaitan dengan ketaatan dan komitmen.

Kasih Agape ini akan bekerja dengan sempurna manakala kita

mempraktekkannya dengan penuh ketaatan bukan sebagai suatu

perasaan belaka.

Contoh yang paling mendasar dari kasih agape adalah Tuhan yang

sangat “mengasihi” (agape) dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya

yang tunggal (berdasarkan Yoh. 3 : 16). Kristus sangat mengasihi (agape)

manusia sehingga Dia memberikan hidup-Nya, padahal sebenarnya Ia

tidak mau wafat, tetapi karena Ia mengasihi manusia, Ia melakukan apa

yang diminta oleh Bapa.

2.3 Ajaran Kristiani Mengenai Kasih

4

Page 5: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Dalam berbagai perikop di dalam Kitab Suci, dapat ditemukan bahwa kasih

Allah tidak memaksakan diri pada orang lain. Orang-orang datang kepada-Nya

sebagai respons terhadap kasih-Nya. Kasih Allah menyatakan kemurahan pada

semua orang.

Kasih Yesus berupa berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang

bulu. Kasih Yesus tidak iri hati atau cemburu pada apa yang dimiliki orang lain,

melainkan hidup sederhana tanpa mengeluh. Yesus yang penuh kasih tidak

membesar-besarkan diri sekalipun Ia adalah Putra dari Sang Pencipta, bahkan Ia

rela menjadi sama dengan manusia. Kasih Allah tidak menuntut ketaatan. Allah

tidak menuntut ketaatan dari Putra-Nya, namun Putra-Nya secara sukarela

menaati Bapa-Nya di surga. Hal ini dapat dilihat dalam Yohanes 14 : 31 yang

berbunyi : ”Dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan

segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku” (Yohanes 14:31).

Kasih Yesus juga dibuktikan dalam ajaran-Nya, Yesus bukan saja mengajak

manusia untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi

juga mengasihi musuh dengan tulus. Ia mengajak manusia untuk mengasihi

sesama, siapapun itu, termasuk musuh atau orang yang paling tidak disukai

sekalipun, sebagai perwujudan dari budaya kasih. Pada zaman Yesus, ajaran

Yesus tentang mengasihi sesama sangat bertolak belakang dengan hukum yang

berlaku saat itu, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Yesus berhasil mengubah

hukum yang telah berlaku selama berabad-abad itu, Ia mengajarkan manusia

untuk mengikuti kasih Bapa di surga yang mengasihi setiap orang. Untuk

menghayati kasih Bapa di surga diperlukan dasar kasih Kristiani yang berupa

keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah anak-anak Bapa di

surga.

Mengasihi Pencipta dan sesama adalah perintah Allah yang harus ditaati,

tidak bersifat opsional. Manusia harus mengasihi karena Allah telah terlebih

dahulu mengasihi manusia. Jika manusia mengasihi, manusia menjadi sahabat

Allah. Yohanes 15 : 12-14 berbunyi : “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu

saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih

besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-

sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang

Kuperintahkan kepadamu.”. Manusia yang saling mengasihi berkenan di

5

Page 6: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

hadapan Allah, seperti ayat yang berbunyi : “…barangsiapa mengasihi Aku, ia

akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan

menyatakan diri-Ku kepadanya.” (Yoh 14: 21)

2.4 Mengasihi Allah dengan Hati dan Perbuatan

Tidak ada artinya kalau hanya mulut yang memuji dan memuliakan Allah,

atau hanya karena atribut, sikap dan ritual yang menampakkan citra sebagai

orang suci. Mengasihi Allah harus dari lubuk hati dan harus diwujudkan dalam

tingkah laku kita sehari-hari. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi semua

ciptaan-Nya, tidak terkecuali musuh. Ciptaan Allah adalah alam semesta ini

berikut segala isinya, yaitu manusia, binatang (di darat, di laut dan di udara), dan

juga tumbuh-tumbuhan.

Setiap orang akan sangat marah atau sedih jika pemberiannya kepada

seseorang kemudian rusak atau bahkan sengaja dirusak oleh orang tersebut.

Mereka tentu akan merasa tidak dihargai dan tidak dihormati oleh orang yang

merusak itu. Apalagi jika pemberian itu diberikan dengan hati yang tulus dengan

maksud yang baik.

Semua ucapan terima kasih atau puji-pujian yang diucapkan atau sikap

sopan dengan membungkuk yang dilakukan oleh si penerima itu pasti tidak akan

ada artinya lagi bagi yang memberikannya. Demikian juga dengan Allah. Allah

yang dapat melihat apa yang tersembunyi, yaitu yang ada dalam lubuk hati

manusia, tidak akan menghargai semua puji-pujian atau atribut atau sikap yang

menampilkan citra suci itu jika ternyata manusia tidak menghargai dan

menghormati ciptaan-Nya yang diberikan-Nya kepada manusia. Sikap munafik

seperti itu sangat dibenci dan bahkan dikutuk oleh Allah.

Manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan citra Allah. Manusia diberi roh

sehingga manusia memiliki sebagian kemuliaan Allah. Dan alam seisinya pun

diberikan kepada manusia. Tidak berlebihan jika Allah juga menuntut agar

manusia juga saling mengasihi seperti Allah yang sangat mengasihi manusia.

Suatu agama atau ajaran kepada Allah tidak akan ada artinya jika tidak

menghargai dan menghormati semua ciptaan Allah, yaitu manusia lain, alam,

binatang dan tumbuh-tumbuhan.

6

Page 7: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Jika manusia sudah mulai dapat menghargai dan menghormati diri sendiri,

sesama manusia dan juga kepada bumi, binatang dan tumbuhan, berarti

manusia juga menghargai dan menghormati Allah yang telah memberikan itu

semua kepada manusia. Inti dari ajaran Yesus Kristus, yaitu: “Kasihilah Tuhan,

Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan

segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan

hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia

seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat

dan kitab para nabi.” (Matius 22:37, berdasarkan: Matius 5:43, 5:44, 19:19,

Markus 12:30-31, Lukas 6:27, 6:35, 10:27, Yohanes 15:17)

7

Page 8: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB III

KEKERASAN

3.1 Pengertian Kekerasan

Kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,

pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk

menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu

- kepada binatang dan harta benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi

kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan

sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak

terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-

kelompok baik yang diberi hak maupun tidak, seperti yang terjadi dalam perang

(yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

3.2 Akar Kekerasan

Akar kekerasan merujuk pada sesuatu yang ada di bawah permukaan,

dengan tingkah laku kekerasan sebagai sesuatu yang dimunculkan atau

ditampakkan. Akar kekerasan menjelaskan bahwa penyebab kekerasan itu

sebenarnya tidak tampak, sedangkan kekerasan itu merupakan pohon atau

bahkan buah dari yang tidak nampak tersebut.

Dulu banyak orang mengira bahwa kekerasan terjadi disebabkan oleh

masalah tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seseorang yang rendah.

Namun dewasa ini semakin disadari bahwa tingkat pendidikan dan status sosial

ekonomi seringkali hanyalah sebagai faktor pencetus atau pemicu saja. Hal ini

dibuktikan dengan banyak ditemukannya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan

oleh orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta status sosial

ekonomi dan keadaan ekonomi yang mapan.

Ada beberapa akar penyebab terjadinya perilaku kekerasan :

a. Adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku tindak kekerasan.

8

Page 9: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi, sehingga

orang yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustrasi

menjadi salah satu sumber mengapa orang-orang yang berpendidikan

dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak

kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme

(kesenangan duniawi) mulai merambah berbagai kalangan, entah

kalangan atas, entah kalangan bawah. Bagi kalangan atas, kesenangan

duniawi dapat dicapai dengan harta yang dimiliki, sedangkan kalangan

bawah hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas, sehingga akan

mudah sekali timbul frustrasi di kalangan bawah.

Reaksi terhadap frustrasi tersebut umumnya ada tiga. Pertama,

menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua, tingkah

laku apatis (acuh tak acuh). Ketiga, dengan melakukan tingkah laku

agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga

reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa

dirinya lemah (minoritas) ataukah kuat (berkuasa/mayoritas).

Jika pelaku merasa lemah, ia akan mengambil keputusan untuk

melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan

frustrasi. Tetapi jika situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari,

maka reaksi apatis (acuh tak acuh) menjadi pilihan yang terakhir.

Sebaliknya jika pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan

tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.

b. Adanya pengalaman penyiksaan atau perlakuan kejam yang pernah

diterima pada masa kecil

Penyiksaan maupun perlakuan kejam terhadap anak-anak disebabkan

budaya pengasuhan saat ini yang umumnya mengizinkan tindakan

kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan

dengan pola kekerasan, pada saat dewasa nanti juga akan mudah sekali

melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya

ia tidak menyukainya. Hal ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka

ataupun tidak suka. Dengan kata lain, korban penyiksaan atau perlakuan

kejam pada waktu kecil sangat berpotensi untuk melakukan tindakan

9

Page 10: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

yang sama seperti yang pernah dialaminya pada waktu kecil kepada

orang lain ketika dia dewasa.

c. Faktor kepribadian

Pada gangguan jiwa ada istilah gangguan kepribadian, salah satunya

adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang

mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan

tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif (merusak) bila

keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang

menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah

laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status.

Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang

berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda

bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang

bersangkutan. Contoh dari kepribadian status tersebut adalah peristiwa

kekerasan yang dilakukan para praja senior STPDN terhadap para praja

junior STPDN (sekarang IPDN). Di kehidupan sehari-hari mungkin

mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui

melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior

menyebabkannya berperilaku keras terhadap juniornya.

Sedangkan menurut Erich Fromm, kekerasan muncul akibat terhalangnya

seluruh kehidupan, terhambatnya spontanitas, tersumbatnya pertumbuhan dan

ungkapan kemampuan-kemampuan inderawi emosional dan intelektual manusia.

Ketika sebagian orang dilarang untuk mengeluarkan pendapat mereka, untuk

mencari nafkah, mencari kehidupan, pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti

makanan, pendidikan dan kesehatan dari sinilah akan muncul penolakan dan

percikan-percikan yang akan melahirkan kekerasan yang acapkali berujung

perkelahian bahkan kematian. Lebih jauh lagi Erich Fromm mengatakan bahwa

pembentukan karakter individu ditentukan oleh pengaruh yang kuat dari

pengalaman hidup yang memancar dari kebudayaan terutama pada temperamen

dan perlengkapan fisik.

Analisis teori konflik menemukan alasan kekerasan pada berbagai bentuk

perbedaan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat sehingga kelompok

10

Page 11: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

yang satu ingin menguasai bahkan mencaplok kelompok lainnya. Analisis

fungsionalisme structural berpendapat bahwa hamper semua kerusuhan

berdarah di Indonesia disebabkan oleh disfungsi sejumlah institusi sosial,

terutama lembaga politik. Dalam hal ini negara gagal menerapkan sebuah politik

yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.

Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas negara,

semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan

juta, dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam

integritas bangsa. Mungkin kesalahan yang paling besar yang dibuat pemerintah

Indonesia sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for

granted” sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat

diolah secara paksa tetapi harus dibangun bersama-sama.

Kebijakan politis yang sentralistis di mana pemerintah sangat dominant dan

sering menyamakan dirinya dengan negara, pola relasi ”pusat pinggiran” dalam

segala nuansanya boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh,

Papua, dan Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah

menuntut sebuah otonomi. Karena itu ada DOM(daerah operasi militer) di Aceh

dan penempatan banyak tentara di Irian Jaya.

3.3 Rupa-Rupa Dimensi Kekerasan

3.3.1 Kekerasan Psikologis

Ada banyak kekerasan psikologis pada manusia. Tidak hanya pemukulan,

cidera, dan pembunuhan yang menimbulkan penderitaan somatik manusia,

melainkan juga kekerasan psikologis seperti kebohongan sistematis, indoktrinasi,

teror-teror berkala, ancaman-ancaman langsung atau tidak langsung yang

melahirkan ketakutan dan rasa tidak aman.

3.3.2 Kekerasan Lewat Imbalan

Seseorang dipengaruhi dengan memberi imbalan. Orang yang mendapat

imbalan mengalami kenikmatan atau euphoria. Akibatnya, orang tersebut tidak

11

Page 12: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

dapat vokal lagi, tidak boleh berbicara kritis. Taruhan mahal dimensi ini adalah

kebebasan manusia. Ia terpaksa menjadi jinak. Ini juga satu bentuk kekerasan.

3.3.3 Kekerasan Tidak Langsung

Contoh kekerasan tidak langsung adalah melempar batu ke rumah orang dan

uji coba bom/nuklir. Dalam peristiwa ini, tetap ada kekerasan fisik dan psikologis.

Meski kelihatanya tidak makan korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan

manusia dan membawa ketakutan. Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada

objek langsung manusia, namun dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan

psikologis.

3.3.4 Kekerasan Tersamar

Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak

ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan struktural.

Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam

kekerasan struktural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal

dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan struktural yang kita temukan

sering juga digelar sebagai “ketidakadilan sosial”.

Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian

rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi

potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga

tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam

pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak

terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.

Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"-kekerasan

langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar

manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya.

Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural

maupun kekerasan langsung secara budaya.

Sedangkan kekerasan struktural  terjadi akibat adanya struktur di masyarakat

yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara

optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut

"Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain.

12

Page 13: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi

peredaman kekerasan langsung maupun struktural.

3.3.5 Kekerasan yang Tidak Disengaja

Kekerasan itu sengaja atau tidak sengaja, tetap sebuah kekerasan bagi si

korban. Karena itu, dari segi korban, misalnya mati atau cacat, maka kekerasan

yang hanya dimengerti dari tolak ukur sengaja terlalu sempit dan melanggar rasa

keadilan. Kekerasan yang tidak sengaja sering dihubungkan dengan kekerasan

struktural.

3.3.6 Kekerasan Tersembunyi (Laten)

Kekerasan yang tampak, baik langsung maupun tidak langsung, mudah

disimak dengan kasat mata. Namun, kekerasan yang tersembunyi dapat saja

sewaktu-waktu meledak atau menunggu “bom waktu”. Contoh kekerasan dan

kekejaman yang laten adalah system-sistem yang mengendalikan dan

membelenggu kehidupan banyak orang seperti feodalisme, fundamentalisme,

dan fanatisme.

3.4 Wajah-Wajah Kekerasan

Wajah-wajah kekerasan dewasa ini dapat ditemukan tidak hanya di wilayah

dengan kategori “high conflict area” seperti Papua, Aceh, Maluku, Poso, dan

Ambon, melainkan dapat juga ditemukan di wilayah-wilayah yang dikenal tanpa

konflik seperti Lampung. Wilayah yang bebas konflik sulit untuk ditemukan dan

kalau ada pun sangat terbatas.

3.4.1 Kekerasan Sosial

Kekerasan sosial adalah situasi diskriminatif yang mengucilkan sekelompok

orang agar tanah atau harta milik mereka dapat dijarah dengan alasan

“Pembangunan Negara”. Ada sekelompok orang atau wilayah tertentu yang

seolah tanpa henti mengusung ‘stigma’ dari penguasa. Stigmatisasi yang

13

Page 14: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

biasanya berlanjut dengan ‘marginalisasi’ dan berujung pada ‘viktimasi’. Mereka

yang mengusung ‘stigma’ tertentu sepertinya layak ditertibkan, dibunuh, dan

diperlakukan tidak manusiawi.

3.4.2 Kekerasan Kultural

Terjadi ketika ada pelecehan, penghancuran nilai-nilai budaya minoritas demi

hegemoni penguasa. Kekerasan struktural sangat mengandaikan “stereotyp” dan

“prasangka-prasangka kultural”. Keseragaman dipaksakan, perbedaan harus

dimusuhi, dan dilihat sebagai momok. Apa yang menjadi milik kebudayaan

daerah tertentu dijadikan budaya nasional tanpa sebuah proses yang

demokratis, dan budaya daerah lainnya dilecehkan.

3.4.3 Kekerasan Etnis

Kekerasan etnis berupa pengusiran atau pembersihan suatu etnis karena

ada ketakutan menjadi bahaya atau ancaman bagi kelompok tertentu. Suku

tertentu dianggap tidak layak bahkan mencemari wilayah tertentu dengan alasan.

Suku yang tidak disenangi harus hengkang dari tempat diam yang sudah

menjadi miliknya bertahun-tahun dan turun-temurun.

3.4.4 Kekerasan Keagamaan

Terjadi ketika ada fanatisme, fundamentalisme, dan eksklusivisme yang

melihat agama lain sebagai musuh. Umumnya dipicu oleh pandangan agama

yang sempit atau absolut. Menganiaya atau membunuh penganut agama lain

dianggap sebagai sebuah tugas luhur. Kekerasan atas nama agama sering

berpijak pada genderang perang: ”Allah harus dibela oleh manusia.”

3.4.5 Kekerasan Gender

Adalah situasi dimana hak-hak perempuan dilecehkan. Budaya patriarkhi

dihayati sebagai peluang untuk tidak atau kurang memperhitungkan peranan

perempuan. Kultur pria atau budaya maskulin sangat dominan dan kebangkitan

14

Page 15: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

wanita dianggap aneh dan mengada-ada. Perkosaan terhadap hak perempuan

dilakukan secara terpola dan sistematis. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

juga merupakan kekerasan gender.

3.4.5.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Istri

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan

oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual

dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam

rumah tangga atau keluarga. Bentuk-bentuk KDRT terhadap istri adalah

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT terhadap istri, di

antaranya :

- Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan

bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran,

- Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat,

-Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi, dan

-Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

KDRT terhadap istri akan memberi pengaruh yang besar bagi sang istri dan

anak. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah:

mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga

diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang

sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi,

dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan sang istri

adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari

bantuan pada psikolog ataupun psikiater, dan merasa takut kehilangan

pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan

dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-

anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi

untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena

anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana

yang dilakukan oleh orang tuanya.

3.4.6 Kekerasan Politik

15

Page 16: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Adalah kekerasan yang terjadi dengan paradigma “politik adalah panglima”.

Demokratisasi adalah sebuah proses seperti yang didiktekan oleh penguasa.

Ada ekonomi, manajemen, dan agama versi penguasa. Karena politik adalah

panglima, maka paradigma politik harus diamankan lewat pendekatan

keamanan. Semua yang berbicara vokal dan kritis harus dibungkam dengan

segala cara termasuk diisolasi atau penjara. Tidak ada partai oposisi dan kalau

ada partai itu tidak lebih hanya sebagai boneka. “Single majority” adalah sesuatu

yang sangat ideal, indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan,

sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.

3.4.7 Kekerasan Militer

Kekerasan militer berdampingan dengan kekerasan politik. Kekerasan terjadi

karena ada militerisasi semua bidang kehidupan masyarakat. Cara pandang dan

tata nilai militer merasuk sistem sosial masyarakat. Dalam jenis kekerasan ini

sering terjadi hal-hal seperti pembredelan pers, larangan berkumpul, dan litsus

sistematis. Pendekatan keamanan (security approach) sering diterapkan.

3.4.8 Kekerasan Terhadap Anak-Anak

Anak-anak dibawah umur dipaksa bekerja dengan jaminan yang sangat

rendah sebagai pekerja murah. Prostitusi anak-anak tidak ditanggapi aneh

karena dilihat sebagai sumber nafkah bagi keluarga. Dalam pendidikan, misalnya

masih merajarela ideologi-ideologi pendidikan yang fanatik. Konservatisme

pendidikan dan fundamentalisme pendidikan tidak dicermati dan tidak dihindari

sehingga anak tumbuh dan berkembang secara tidak sehat.

3.4.9 Kekerasan Ekonomis

Kekerasan ekonomis paling nyata ketika masyarakat yang sudah tidak

berdaya secara ekonomis diperlakukan secara tidak manusiawi. Ekonomi pasar

bebas dan bukannya pasar adil telah membawa kesengsaraan bagi rakyat

miskin.

3.4.10 Kekerasan Lingkungan Hidup

16

Page 17: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Sebuah tindakan dan sikap yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran

eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan

manusia itu sendiri.

17

Page 18: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB IV

MENGEMBANGKAN BUDAYA NON VIOLENCE DAN BUDAYA KASIH

Dalam tulisan The Declaration of The Parliament of the World Religions,

Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel menyoroti beberapa perhatian utama dalam

memasyaratkan non-violence sebagai kekuatan moral yang perlu diwujudkan di

dunia sekarang ini.

Pertama, dalam agama-agama kuno dan tradisi-tradisi etis umat manusia

masih hidup adagium klasik seperti ini: “jangan membunuh!” atau dalam rumusan

positif dapat dikatakan: “Hormati kehidupan!” Mesti diingat bahwa tiap manusia

berhak hidup dengan aman dan mengalami perkembangan pribadi secara

menyeluruh dan utuh.

Kedua, ada gejala umum yang menyatakan bahwa pemecahan masalah

sosial tertentu sering kali memunculkan konflik di tengah masyarakat yang

majemuk. Konflik-konflik itu harus diselesaikan secara non violence dan dibingkai

dengan pemikiran keadilan. Tanpa itu kedamaian di bumi tidak akan ada.

Ketiga, generasi muda mesti belajar di rumah dan sekolah bahwa kekerasan

tidak boleh menjadi sarana untuk menghadapi dan mengatasi masalah serta

perbedaan-perbedaan dengan orang lain. Kebudayaan non violence harus

diciptakan dan dikembangkan dalam hidup manusia.

Keempat, manusia sebegitu berharganya harus dilindungi dan diperhatikan

tanpa syarat seperti makhluk ciptaan lain yang yang tak berakal budi.

Kelima, menjadi manusia sejati berarti memiliki perhatian dan keterlibatan

dengan hidup, keadaan, dan karya-karya orang lain. Tampak di sini bahwa

pernyataan I Chicago menunjukkan bahwa setiap manusia dipanggil untuk

mencintai sesama dan menghargai mereka sesuai harkat dan martabat manusia.

4.1 Usaha Membangun Budaya Kasih Sebelum Terjadi Konflik dan

Kekerasan

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena dorongan kepentingan

kelompok, di antaranya fanatisme kelompok yang disebabkan oleh kepicikan dan

perasaan terancam oleh kelompoik lain. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut,

harus diusahakan :

18

Page 19: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

1. Dialog dan komunikdasi dengan kelompok lain.

Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok yang bersangkutan saling

memahami dan tidak terjadi kesalahpahaman. Dengan diadakannya

komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.

2. Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan

kepentingan umum yang merupakan pilihan bersama.

Rasa senasib dan seperjuangan di antara kelompok-kelompok dapat

mengakrabkan kelompok-kelompok tersebut satu sama lain.

4.2 Usaha-Usaha Membangun Budaya Kasih Setelah Terjadi Konflik dan

Kekerasan

Usaha membangun budaya kasih setelah terjadi konflik dan kekerasan

disebut juga pengelolaan atau manajemen konflik dan kekerasan. Manajemen

konflik dan kekerasan harus mengikuti tahap-tahap:

1. Konflik atau kekerasan perlu diceritakan kembali oleh penderita

Kekerasan merupakan sesuatu yang personal (pribadi), sehingga perlu

dikisahkan kembali. Upaya manusia sering kali gagal karena pandangan

yang keliru, yaitu anjuran agar melupakan masa lalu dan menatap masa

depan. Sikap ini melecehkan dan tidak menghormati para korban,

sehingga berarti mengingkari nilai manusia itu sendiri.

Unsur penting dalam tahap ini adalah dengan rekonsiliasi yang menuntut

pengungkapan kembali kebenaran karena kebenaran memerdekakan.

Bukanlah hal yang mudah untuk melakukan hal ini karena umumnya

membangkitkan emosi untuk balas dendam. Tetapi jika tidak dihadapi

dengan sungguh-sungguh, kisah masa lalu dapat menghantui masa yang

akan datang.

2. Mengakui kesalahan dan minta maaf serta penyesalan dari pihak atau

kelompok yang melakukan kesalahan atau penyebab konflik kekerasan

19

Page 20: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Pengakuan ini harus dilakukan secara terbuka, jujur, tanpa mekanisme

bela diri. Pengakuan yang jujur harus menghindarkan sikap memaafkan

diri atau rasa bersalah, melainkan sebuah sikap ikhlas menerima diri

sendiri dengan semua keterbatasannya. Rasa curiga, pandangan yang

keliru, dan prasangka-prasangka terhadap kelompok lain yang

menyebabkan konflik berdarah termasuk dalam pengakuan kesalahan

dan minta maaf ini. Dengan cara ini, semua beban masa lalu yang

membebani seseorang atau kelompok dapat dibebaskan, karena semua

beban tersebut diungkapkan secara transparan.

Meminta maaf adalah tindakan menuju rekonsiliasi, karena dalam

pengakuan kesalahan orang mengalami keterbatasan yang membuka

peluang bagi manusia untuk berharap dan menantikan petunjuk dan jalan

keluar yang diberikan pihak ketiga (pihak luar).

3. Pengampunan oleh korban kepada yang melakukan kekerasan

Dalam rekonsiliasi, manusia harus tahu apa yang harus ia ampuni dan

siapa yang harus diampuni. Yang berhak memberi pengampunan adalah

para korban kekerasan, berarti para korban harus meninggalkan balas

dendam terhadap pelaku kekerasan, membiarkan segala beban dendam

pergi. Pengampunan adalah mukjizat yang berkuasa menyembuhkan

hubungan antarmanusia. Jika ada pengampunan, maka ada rekonsiliasi.

Kemampuan untuk mengampuni asalnya dari Allah dan tumbuh dari

iman. Jika manusia mengampuni, berarti ia ikut serta dalam sifat Allah

sendiri.

4. Rekonsiliasi (Pemulihan)

Tidak ada jalan pintas menuju rekonsiliasi. Martabat para korban

kekerasan tidak dapat dipulihkan hanya dengan sebuah permohonan

maaf. Gereja pun sadar bahwa rekonsiliasi nilainya mahal. Baik pelaku

kejahatan maupun korbannya butuh waktu untuk mengalami rekonsiliasi.

Keadilan transformatif perlu diberi waktu dan kesempatan.

Menolak pengampunan berarti mengikat diri di dalam masa lalu dan

menyebabkan manusia kehilangan dirinya sendiri. Martabat para korban

20

Page 21: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

kekerasan ingin dipulihkan, tetapi jangan sampai tenggelam pada

peristiwa masa lalu. Allah sendiri melakukan rekonsiliasi dengan manusia

melalui sengsara dan wafat Putra-Nya, Yesus Kristus.

21

Page 22: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB V

TANGGAPAN GEREJA TERHADAP KEKERASAN YANG MENIMPA DIRINYA

Dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya, Gereja diharapkan

untuk meneladani Kristus. Setiap kekerasan baik berupa penganiayaan,

cemoohan, atau lainnya adalah bagian dari berkat seperti yang disampaikan

Yesus dalam khotbah di bukit mengenai sabda bahagia (Matius 5:10-12) yang

salah satunya berbunyi : “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan

dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” (Matius 5 : 11). Bahkan

Yesus sendiri dapat dikatakan menjadi korban dari kekerasan agama Yahudi.

Misalnya saja dalam peristiwa penyaliban yang dilakukan oleh tentara Romawi

karena konspirasi dari para pemuka agama Yahudi yang tidak menyukai Yesus,

Gereja mendapatkan konfirmasi bahwa Tuhan telah menghentikan bentuk-

bentuk kekerasan agama. Tuhan tidak datang ke dunia untuk membantai

pasukan Romawi atau orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menyalibkan

Yesus. Sebaliknya, Tuhan melawan kejahatan itu dengan wafat sebagai orang

Yahudi dan mendorong para pengikut-Nya untuk mengasihi musuh mereka serta

mendoakan siapa pun yang menganiaya mereka. Dalam kisah penyaliban

Yesus, mereka yang dimintakan pengampunan kepada Bapa bukan hanya

mereka yang melakukan tindak kekerasan kepada pengikut agama, melainkan

mereka yang melawan Allah sendiri juga mendapatkan pengharapan akan

pengampunan tersebut, seperti yang tertulis pada 2 Korintus 5 : 19, “Sebab Allah

mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak

memperhitungkan pelanggaran mereka.”

5.1 Kekristenan dan Kekerasan

5.1.1 Pendahuluan

Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang

telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama

mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi  agama juga bertanggung jawab terhadap

terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Dalam editorial bukunya, “Violence and

the Sacred in the Modern World”, Marl Juergensmeyer menyatakan:

22

Page 23: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

“Violence has always been endemic to religion. Images of destruction and death are envoked by some of religion’s most popular symbols, and religious wars have left through history a trail of blood. The savage martyrdom of Hussain in Shiite Islam, the crucifixion of Jesus in Christianity, the sacrifice of Guru Tegh Bahadur in Sikhism, the bloody conquest in the Hebrew Bible, the terrible battles in the Hindu epics, and the religious wars attested to in Sinhalese Buddhist chronicles indicate that in virtually every tradition images of violence occupy as central a place as portrayals of non-violence.” (Juergensmeyer 1992:1).

Melalui pernyataannya Juergensmeyer seakan-akan percaya atau mengajak

pembacanya untuk percaya bahwa sumber utama konflik dan kekerasan dunia

adalah agama, sekalipun dia sendiri tidak menyatakan dengan jelas

pandangannya tentang hal itu.

Di Indonesia sendiri, kekerasan yang terjadi atas nama agama sangat kita

rasakan. Wahid Institue melaporkan adanya peningkatan kekerasan agama di

Indonesia. Tercatat ada 232 kasus berkenanan dengan kekerasan agama di

2009, sedangkan di 2008 dilaporkan ada 197 kasus (Adianto P. Simamora,

Cases of religious violence up: Report, dalam The Jakarta Post, Edisi: 21

Agustus 2009).

Integrasi agama dan kekerasan memang bisa terjadi dalam banyak situasi,

John D’Mello memaparkan setidaknya ada 3 alasan mengapa hal itu bisa terjadi

(John D’Mello, The Hijacking of Religion: Unmasking Violence Discourse, dalam

Jnanadeepa: Pune Journal of Religious Studies Vol.6 No. 1, 2003:101):

1.Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para

pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan

kekerasan.

2.Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila

para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang

mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap

kekerasan akan terbuka lebar.

3.Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau

kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material

lainnya.

23

Page 24: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

5.1.2 Kekerasan Agama Berdasarkan Teori John D’Mello

5.1.2.1 Kekerasan dan Intepretasi Agama

Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor

eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial.  Faktor internal juga

dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi merupakan salah

satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak

kekerasan.

Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan

oleh Gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci.

Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara

literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese

yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna

dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah

tanpa melakukan penggalian apapun.

Salah satu contoh yang memalukan adalah Perang Salib yang merupakan

gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh Gereja pada

periode 1095 - 1291. Perang ini direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen,

dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci dari

kekuasaan Muslim. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah

sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu

akan dianggap sebagai “tentara Gereja”. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah

faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang

merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di

Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib

tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka

percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin

masuk surga pada saat meninggal dunia.

Perang yang meniru model penguasaan tanah Kanaan di Perjanjian Lama ini

sudah jelas merupakan produk dari kegagalan Gereja dalam melakukan

intepretasi Kitab Suci secara benar. Akibatnya kesalahan tersebut merembet ke

faktor-faktor eksternal seperti politik, ekonomi dan kekuasaan. Jemaat Gereja

yang pada jaman itu tidak diperkenankan memiliki Alkitabnya sendiri dengan naif

24

Page 25: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

mempercayai para pemimpin agama mereka dan bergabung dengan pasukan

perang salib.

Hal yang sama terjadi dengan praktek perbudakan di Amerika yang dilakukan

secara legal pada tahun 1654 sampai 1865. Pelanggaran terhadap hak asasi

manusia tersebut dilegalkan dengan ayat-ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa

orang-orang yang hidup di jaman PL dan PB pun melakukan praktek

perbudakan.

Jajang Jahroni seorang peneliti dari Jaringan Islam Liberal juga memaparkan

kesalahan yang sama terjadi di Islam khususnya di Indonesia. Berdasarkan

survei yang dilakukan, dia mengambil kesimpulan bahwa perilaku kekerasan

agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual.

Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur’an, seperti

kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35),

maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat

ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur

sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.

Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak Gereja yang tidak

memiliki izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam

orang berzina 23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%,

menyerang atau merusak tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam

orang yangg dianggap menghina Islam 40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak

23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara untuk bentuk tindakan

kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut: mencubit

anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar

salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.

Jajang Jahroni menolak untuk mengatakan bahwa agama merupakan

sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab

Suci agama tersebut bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam

mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong

perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif

dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. (Jajang Jahroni,

Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam: Islamlib.com, 07

Agustus 2008).

25

Page 26: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

5.1.2.2 Agama dan Identitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang

sangat kuat dalam diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen,

cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam.

Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat mudah terjadi apabila salah

satu kelompok merasa identitasnya terancam.

Potensi ini menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha

mengkonstruksi identitas negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di

satu sisi itu bisa menimbulkan arogansi dari kelompok pemeluk agama yang

mayoritas dan perasaan terancam dan terintimidasi yang dirasakan oleh

kelompok minoritas.

Dalam pandangan Said Agil Sirojd agama mempunyai dua kecenderungan

yakni pertama, kecenderungan esensial yang berasal dari lubuk hati manusia

yang paling dalam dan kedua, kecenderungan sekunder yang berasal dari

proses historis kehidupan masyarakat dalam menjalankan agamanya.

Kecenderungan agama sekunder dapat dilihat dalam bentuknya yang tradisional,

dogmatis, ritualistik, institusinalis, dan legal. Sedangkan kecenderungan agama

esensial dapat dilihat pada bentuknya yang liberal, spiritual, moral, internal,

individual, dan humanis (Said Agil Sirodj, Reposisi Terhadap Dialog antar Umat

Beragama, dalam Opini harian Kompas, Edisi : 18 Februari 2004).

Apabila kecenderungan agama yang sekunder mengalami gangguan berupa

tekanan dan intimidasi dari kelompok agama lain, maka konflik tidak bisa

dihindari. Pemikir Pos-Strukturalis Jacques Derrida, menawarkan investigasi

politik terhadap kekerasan atas nama agama atau agama tanpa agama sebagai

bentuk kekerasan yang tidak terkendalikan yang menyertai kembalinya agama

dalam maknanya yang paling kaku. Hefner mengingatkan bahwa kekerasan bisa

terjadi karena negara memanfaatkan agama, atau bisa pula agama

memanfaatkan negara. (Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tanpa Agama,

(Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002:1).

Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin

dekat Gereja secara institusi dengan politik pemerintahan semakin bobrok

kondisi keagamaannya. Usaha-usaha untuk mebentuk negara Kristen telah

dilakukan dan terbukti gagal. Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang

26

Page 27: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian juga pada abad ke-4 ketika

Konstantinus bertobat dan menyatukan Gereja dengan negara, pada akhirnya itu

pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun Gereja itu

sendiri. Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang

imoral dan melawan ajaran dari agamanya sendiri.

Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam

fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti

bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi

di negara kita. Bukan hanya Gereja atau kelompok agama lain yang dianggap

sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan

ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang

sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu

terbentuknya semangat separatis. 

Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata

dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme

bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk

mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut.

5.1.2.3 Agama dan Politik

Dari zaman ke zaman, hubungan antara agama dan politik selalu

dipertanyakan. Ketika agama menjadi begitu dekat dengan politik, baik itu

diperalat maupun memperalat, agama kehilangan natur keilahian yang

dimilikinya sehingga sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi

menjadi hati nurani rakyat yang menyuarakan pembebasan atas berbagai bentuk

penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi

kekuatan yang menindas dan kejam.

Inilah yang sedang diusahakan untuk terjadi di negara kita oleh sekelompok

orang. Apabila melihat kepada sejarah, sebenarnya negara yang mencampur-

adukkan agama dan politik seringkali gagal dalam menjalankan fungsinya

sebagai negara. 

Namun di sisi lain apabila agama memisahkan diri dari kehidupan politik

bermayarakat maka dia juga akan kehilangan fungsinya sebagai kompas yang

menunjukkan arah berpolitik serta memberikan tuntunan yang sesuai dengan

prinsip-prinsip moral.

27

Page 28: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus

dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena

bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan

kekuatan moralnya.

5.1.2.4 Gereja Menghadapi Kekerasan Agama

Kekerasan agama yang dilakukan oleh Gereja biasanya dilegitimasi oleh

fakta sejarah bahwa Allah pun mengijinkan tindak kekerasan bagi orang-orang

yang tidak percaya sebagai media penghukuman untuk menyatakan keadilan-

Nya. Namun harus disadari sepenuhnya bahwa manusia bukanlah Tuhan yang

bisa mengambil peran Allah untuk menjalankan penghukuman atas nama Allah.

Keadilan yang dijalankan oleh manusia sekalipun dilakukan atas nama Allah,

apabila berkaitan dengan kekerasan, sudah bisa dipastikan bahwa agama

tersebut telah diselewengkan.

Bagaimana Gereja menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya?

Jawabannya ada di dalam salib Kristus. Gereja diminta untuk meneladani

Kristus. Penganiayaan adalah bagian dari berkat seperti yang disampaikan

Yesus dalam khotbah di bukit (Matius 5:10-12). Yesus sendiri bisa dikatakan

korban dari kekerasan agama Yahudi. Di dalam peristiwa penyaliban yang

dilakukan oleh tentara Romawi karena konspirasi dari para pemuka agama

Yahudi, Gereja mendapatkan konfirmasi bahwa Tuhan telah menghentikan

bentuk-bentuk kekerasan agama. Tuhan tidak datang ke dunia untuk membantai

pasukan Romawi atau orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menyalibkan

Yesus. Sebaliknya, Tuhan melawan kejahatan itu dengan mati sebagai orang

Yahudi dan mendorong para pengikut-Nya untuk mengasihi musuh mereka serta

mendoakan siapa pun yang menganiaya mereka. Bahkan dalam kisah salib ini,

mereka yang dimintakan pengampunan bukan hanya mereka yang melakukan

tindak kekerasan kepada pengikut agama, melainkan mereka yang melawan

Allah sendiri juga mendapatkan pengharapan akan pengampunan tersebut.

Namun demikian, kekristenan tidak boleh kehilangan keunikannya di dalam

Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Oleh sebab itu orang Kristen

harus memperluas visi penghakiman Allah sampai pada saat kedatangan Kristus

yang kedua. Di dalam Perjanjian Baru khususnya Kitab Wahyu, terdapat banyak

deskripsi tentang keadilan final Allah yang akan dinyatakan pada saat akhir

28

Page 29: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

jaman. Pada saat itu Dia akan memberikan keselamatan kekal, kehidupan di

dalam sorga bagi orang benar yang percaya kepada Kristus dan sebaliknya

penghukuman kekal bagi yang tidak percaya. Tugas kekristenan pada saat ini

bukan menjalankan hukuman dan bertindak sebagai Allah yang menghakimi

dunia, melainkan menjalankan hukum kasih dan menyerahkan penghakiman

sepenuhnya kepada Allah sendiri. Dengan demikian kekerasan yang dilakukan

oleh Gereja terhadap umat yang tidak percaya sangat bertentangan dengan

esensi dari kekristenan itu sendiri.

5.2 Tokoh-Tokoh Kristiani yang Menentang Kekerasan

5.2.1 Bunda Teresa

Bunda Teresa dari Kalkuta (lahir di Üsküb,Kerajaan Ottoman, 27 Agustus

1910 – meninggal di K alkuta ,India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun)

adalah seorang biarawati Katolik terkenal dan kontroversial di dunia Internasional

yang pekerjaannya di antara orang miskin K alku ta diberitakan secara luas.

Beliau diberikan Penghargaan Templeton pada 1973, Penghargaan

Perdamaian Nobel pada 1979 dan penghargaan tertinggi warga sipil India,

Bharat Ratna pada 1980. Dia dijadikan Warga Negara Kehormatan Amerika

Serikat pada 1996 (satu di antara enam). Dia diberkati oleh Paus Yohanes

Paulus II pada Oktober 2003, dan oleh karena itu dia dapat dipanggil Teresa

Terberkati.

Teresa dilahirkan sebagai Agnes Gonxha Bojaxhiu di Üskübdi negara yang

sekarang bernama Republik Kosovo. Ayahnya adalah seorang pedagang

sukses. Orang tuanya memiliki tiga anak, dan Agnes merupakan yang termuda.

Orang tuanya Nikollë (Kolë) and Dranafile Bojaxhiu, berasal dari kota Prizren di

selatan Kosovo. Mereka menganut Katolik, meskipun kebanyakan orang Albania

adalah Muslim dan mayoritas populasi di Makedonia adalah Ortodoks

Makedonia.

Sangat sedikit diketahui tentang awal hidupnya kecuali dari tulisannya

sendiri. Beliau mengingat bahwa dia merasa panggilan untuk menolong si miskin

dari umur 12, dan mengambil keputusan untuk melatih dirinya dalam kerja misi di

India. Beliau adalah anggota dari mudika di paroki setempat disebut Sodality.

Pada umur 18, Vatikan mengizinkan Teresa untuk meninggalkan Skopje dan

29

Page 30: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

bergabung dengan Kesusteran Loreto, sebuah komunitas biarawati Irlandia di

Rathfarnham dengan sebuah misi di Kalkuta.

Beliau memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk

menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan

pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di

India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di

sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa

Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei

1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.

Dari 1930 sampai 1948 Bunda Teresa mengajar geografi dan katekisme di

SMA St. Mary di Kalkuta, menjadi kepala sekolah pada 1944. Beliau kemudian

mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam

dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan

yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".

Pada 1948 beliau menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung

Kalkuta, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka.

Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical

Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kalkuta dan mendirikan tempat tinggal

sementara dengan "Little Sisters of the Poor" di perkampungan Moti Jihl, Kalkuta.

beliau kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki

rumah. Kemudian beliau bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia

menerima dukungan finansial dari organisasi Gereja dan otoritas munisipal.

Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai

ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the

Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang

misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si

lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang

yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat,

orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."

Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang

telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit

kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya,

Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota

30

Page 31: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka

banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.

Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI

mengizinkan permintaan Bunda Teresa untuk mengembangkan ordonya ke

negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibuka

di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di

Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di

banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan,

rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx

Selatan, New York.

5.2.2 Romo Mangunwijaya

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang,

6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun),

dikenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela

wong cilik. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus

Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.

Romo Mangun, julukan populernya, dikenal melalui novelnya yang berjudul

Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara

Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Ia banyak melahirkan kumpulan novel

seperti di antaranya: Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi,

Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di

Indonesia. Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-

fiksi terbaik tahun 1982.

Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur

modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah

Aga Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di

dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.

Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan

gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi

Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada

31

Page 32: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah,

serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.

Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan

oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani"

menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.

32

Page 33: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

BAB VI

GEJALA KEKERASAN DI INDONESIA

Banyak orang yang sangat menjunjung tinggi ego dan ambisinya serta

membenarkan dirinya sendiri atau golongannya dengan mengambil segala

sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri atau pun golongannya

mempergunakan segala cara, seperti kekerasan.

6.1 Gejala Kekerasan di Indonesia

6.1.1 Adanya Perusakan Sesama Manusia

Dengan berlindung pada agama, banyak orang yang membenarkan diri untuk

menganiaya orang lain. Dengan dalih kebenarannya, banyak orang memojokkan

orang lain. Mereka menghina dan merendahkan orang lain. Seolah orang-orang

yang tidak sepaham dengan mereka tidak ada artinya, harus dipojokkan dan

disisihkan. Orang yang tidak sepaham dianggap sebagai kafir dan sudah

selayaknya dianiaya, bahkan kalau perlu dilenyapkan.

6.1.2 Adanya Perusakan Alam, Binatang dan Tumbuhan

Begitu banyak perusakan alam oleh manusia yang semakin hari semakin

rakus dan menginginkan lebih banyak kekayaan. Maka, tidaklah aneh jika alam

berontak sehingga terjadi bencana di mana-mana. Tidak hanya bencana yang

terjadi karena alam, tetapi juga bencana yang terjadi akibat kecerobohan

manusia. Misalnya lumpur bumi, asap karena kebakaran hutan, sampai

punahnya binatang dan pemanasan global.

6.1.3 Merusak Diri Sendiri

Sebelum menghargai orang lain, manusia harus terlebih dahulu mengasihi

dirinya sendiri. Tetapi banyak manusia, baik yang secara sengaja maupun yang

tidak sengaja, telah merusak dirinya sendiri. Bentuk dari merusak diri sendiri

yang paling sederhana misalnya merokok. Kecanduan narkoba hingga tewas

33

Page 34: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

karena overdosis dan bunuh diri menjadi tindakan merusak diri sendiri yang

paling parah.

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Kasih harus dibudidayakan, karena merupakan perintah Allah yang terutama.

Budaya kekerasan harus dicegah, bahkan dihapuskan agar dapat terwujud dunia

yang damai dan tentram serta penuh kasih, seperti yang dikehendaki Tuhan

dalam alam ciptaan-Nya.

7.2 Saran

Penyusun menyarankan agar dalam penyusunan makalah dengan tema

yang serupa di masa mendatang, data yang telah dikumpulkan dapat lebih

dilengkapi lagi.

34

Page 35: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

DAFTAR PUSTAKA

Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa IA. 2007.

Yogyakarta: Kanisius.

Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa 2B. 2007.

Yogyakarta: Kanisius.

Firman Allah Yang Hidup. Jakarta: Centra Print.

Civis Vol. 01 No. 01 Okt 2009.

SUMBER LAINNYA

www.wikipedia.org

www.yahoo.com

www.google.com

www.docstoc.com

www.gizi.net

www.menegpp.go.id

www. tabloid_info.sumenep.go.id

www.obrolin.com

www.indonesia.irib.ir

www.berita8.com

www.hariansumutpos.com

www.tempointeraktif.com

www.lintasberita.com

35

Page 36: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

LAMPIRAN

Berikut adalah beberapa artikel mengenai kekerasan yang terjadi di berbagai

tempat, khususnya Indonesia :

1. Kekerasan Gender

Jutaan Perempuan Alami Kekerasan Berbasis Gender

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003 menunjukkan

perempuan di Indonesia yang pernah menikah cenderung memaklumi

pemukulan yang diterima dari suaminya karena suatu alasan. Di dunia satu dari

tiga perempuan pernah dipukul, itulah sebabnya jutaan perempuan memerlukan

pertolongan medis akibat kekerasan berbasis gender.

Hal itu diungkapkan Dr Bernard Coquelin, Perwakilan United Nations

Population Fund (UNFPA) pada acara penandatanganan kesepakatan bersama

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan UNFPA mengenai Pencegahan

dan Manajemen Kekerasan terhadap Perempuan di Pusat dan Daerah di

Jakarta, Kamis (5/2).

''Perempuan Indonesia yang pernah menikah cenderung dapat memaklumi

pemukulan dari suami mereka untuk satu alasan. Misalnya, karena

menghanguskan makanan, bertengkar dengan suami, pergi tanpa meminta izin

suami, menelantarkan anak-anak, dan menolak hubungan seks dengan suami,''

jelas Coquelin.

Pemukulan terhadap istri, lanjutnya, tidak cuma terjadi di Indonesia. Di

seluruh dunia, kata Bernard, paling tidak satu dari tiga perempuan pernah

dipukul. Mereka dipaksa melakukan hubungan seksual. Bahkan penyiksaan

dilakukan orang yang dikenal dekat, seperti suami atau anggota keluarga suami.

Bahkan satu dari empat perempuan mengalami penyiksaan dalam masa

kehamilan. Karena itu, kata Coquelin, jutaan perempuan membutuhkan

pengobatan medis akibat kekerasan berbasis gender. ''Apabila tidak diberikan

pengobatan medis dapat menyebabkan penderitaan mendalam,'' katanya.

Ketakutan akan perlakuan kekerasan dapat menghambat upaya pemecahan

masalah dan menghalangi penanganan masalah yang berkaitan dengan

36

Page 37: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

kesehatan. Termasuk pula kesempatan hidup jutaan perempuan. Pasalnya

penyiksaan psikologis selalu disertai penyiksaan fisik.

Dijelaskannya, kekerasan berbasis gender diakui sebagai masalah

kesehatan masyarakat dan merupakan pelanggaran serius hak asasi manusia.

Karena itu agama perlu mendukung kehormatan perempuan dan mengutuk

setiap kekerasan terhadap kaum perempuan.

Walaupun demikian, katanya, masih saja terdapat interpretasi yang tidak

tepat. ''Di mana agama dipergunakan sebagai dalih untuk menampikkan adanya

kekerasan yang mengakibatkan kehancuran hidup dan kesehatan perempuan,''

ujar Coquelin.

Dia berharap agama yang diajarkan kepada generasi muda menjadi wadah

upaya meningkatkan kesadaran mengenai gender dan hak-hak perempuan.

Suatu institusi pendidikan agama yang mengakar seperti pesantren dan pusat

pendidikan agama diharapkan merupakan pilihan yang tepat untuk menanamkan

pengertian lebih baik mengenai hak-hak perempuan, keadilan, dan kesetaraan

gender.

Lebih lanjut, ia menjelaskan pada 1999, UNFPA mendukung proyek

Penguatan Kemitraan antara Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah

(Ornop) untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan terhadap

Perempuan. Proyek tersebut menghasilkan pengembangan rencana Aksi

Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dan

pendirian pusat penanganan krisis berbasis rumah sakit di RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta.

Untuk menindaklanjuti keberhasilan proyek itu, UNFPA mendukung proyek

Jaringan Antar Agensi untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan

Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pusat dan Lokal. Kali ini UNFPA

menyediakan bantuan sebesar US$200.000 untuk tahun anggaran selama 2004-

2005.

Jumlah tersebut dengan proporsi 77% untuk Yayasan Puan Amal Hayati,

Ornop yang mengampanyekan pencegahan dan penghapusan kekerasan

terhadap wanita. Untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan 18% dan 5%

untuk administrasi pengelolaan proyek di UNFPA.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto

mengharapkan program itu berjalan lancar dan memberi manfaat lebih dari yang

37

Page 38: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

direncanakan. “Penandatanganan ini juga merupakan bentuk nyata dari dua hal

penting. Pertama, penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan misi

ketiga dari enam misi pembangunan pemberdayaan perempuan. Kedua, sesuai

amanat GBHN, maka kegiatan ini menunjukkan betapa lembaga swadaya

masyarakat mendapat dukungan dari negara,” ujar Sri.

(sumber : www.gizi.net)

2. Kekerasan Politik

Kekerasan Politik Dalam Penerapan Prinsip Demokrasi di Indonesia

Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar

demokrasi desa atau demokrasi negara kota sebagaimana era Yunani dan

Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan

dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state). Artinya demokrasi

memiliki hakikat nasionalisme secara menyeluruh dan bukan sebuah

pemahaman nasionalisme dalam arti sempit (baca; chauvinisme) yang

berpotensi melahirkan kekerasan politik di sebuah negara Demokrasi.

Huntington secara menarik menamakan perkembangan demokrasi di negara

modern (negara bangsa) dengan istilah Gelombang Demokrasi atau gelombang

demoratisasi, yang menunjukan fenomena transisi di sejumlah negara dari rezim

non-demokratis (otoriter) ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kuruk-

kurun waktu tertentu dan jumlahnya sangat signifikan lebih banyak daripada

transisi menuju arah yang sebaliknya.

Dengan analisis gelombang demokrasi yang lebih empirik, Huntungton

melihat bahwa demokratisasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal,

yakni:

a. berakhirnya sebuah rezim yang otoriter,

b. dibangunnya sebuah rezim demokratis,

c. pengkonsolidasian rezim demokratis.

Tampak sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan

demokratisasi secara empirik berhadap-hadapan dengan sistem politik yang

otoriter untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan terbaik dari dua

kecendrungan yang bertentangan secara diametral itu. Analisis tentang

demokrasi memang menjadi sangat jelas dan bersifat empirik manakala dikaitkan

38

Page 39: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

dengan kondisi dan sistem politik yang berada diseberangnya, yakni sistem poltik

otoriter.

Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan upaya

melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal

dengan pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi

kerakyatan, demokrasi parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata

sifat lainnya, selain mereduksi sifat universalitas demokrasi juga pada saat

bersamaan merupakan pembatasan-pembatasan terhadap praktik demokrasi

yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali digunakan oleh pihak penguasa

untuk membatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga

demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu sistem politik di

suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan

seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan

tegaknya kedaultan rakyat.

Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar

demokrasi desa atau demokrasi negara kota sebagaimana era Yunani dan

Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan

dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state). Setiap rezim memang

selalu memerlukan conflicts dan management of conflicts. Kedua hal tersebut

diyakini penguasa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan demokrasi. Namun

yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa untuk mengalihkan

perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan sang

penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.

Para operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow

boxing hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun

celakanya bagi masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai

berhala, yang kemudian mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk

dengan melakukan pembenaran terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan

sekalipun. Hal ini tidak berati kita harus menggugat elite politik sebagai pelaku

dan penanggungjawab utama kekerasan politik yang selama ini terjadi di

masyarakat. Ini hanya sekilas catatan untuk menunjukan apa yang terhilang dari

analisis sosial yang terlanjur menonjol dalam masyarakat.

Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari

sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah

39

Page 40: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

sempit seperti yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa

demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk

mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers,

berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-

partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas, rahasia atas dasar nilai dua

alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas.

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan

pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam

masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai

kebijaksanaan pemerintah negara oleh karena kebijaksanaan tersebut

menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun pada umumnya pengertian

demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi karena di dalamnya

meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting, namun

pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip ini

telah menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.

Adanya berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu

menunjukkan pula beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada

negara yang memberikan peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang

melalui sistem pluralisme-liberal, dan ada juga yang sebaliknya negara yang

memegang dominasi yang jauh lebih besar daripada rakyatnya. Studi politik

tentang Dunia Ketiga yang umumnya memperlihatkan lebih dominannya negara

daripada peranan rakyat telah melahirkan berbagai konsep yang dimaksudkan

sebagai alat pemahaman bagi realitas tersebut. Berbagai uapaya pemahaman

dengan memberikan pijakan teoritis itulah telah menunjukkan betapa di negara

Indonesia telah terjadi hubungan tolak-tarik antara negara dengan masyarakat

dalam memainkan peranannya.

Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi

pembangunan demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang

mampu mengatur agar simbol-simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya

dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang terpenting agar penalaran masyarakat

tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan menyihir simbol menjadi esensi.

Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk mengembangkan demokrasinya,

bukan dicabik untuk kepentingan politik.

40

Page 41: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya

public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di

Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok

masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme.

Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-

batas antar kelompok dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai

arena penyelamatan masyarakat berubah menjadi arena kekerasan politik.

Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan

struktural dan kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik

dipahami sebagai hasil hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para

pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai imperatif struktural

yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang berprilaku selaras

dengan-atau fungsional terhadap sistem.

Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar

persoalan munculnya kekerasan politik : Pertama, kekerasan politik tersebut

merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat, khususnya pendukung OPP

tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola

berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan dengan wewenang

strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah untuk

menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara dialogis

dan beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan kekuasaanlah

yang dipakai untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan yang

bersengketa atau berbeda kepentingan. Kedua, cara-cara kekerasan politik

tersebut ditempuh karena para pelaku menilai bahwa institusi-institusi demokrasi

tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan berbagai kepentingan

politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang tidak mempunyai

akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya melalui cara-

cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik kemudian

dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan. Ketiga, akibat

kekakuan lembaga-lembaga politik sehingga mereka tidak mampu menampung

dan menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat. Akibatnya

setiap ada perbedaan dan konflik kepentingan dengan kelompok lain, terutama

kelompok yang berkuasa, masyarakat memendam berbagai perasaan konflik

tersebut. Ketika berbagai perasaan konfliktual ini terakumulasi, dan ada

41

Page 42: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

kesempatan untuk melampiaskannya—misalnya pada masa kampanye pemilu—

maka kekerasan politik sebenarnya terletak pada kekakuan lembaga-lembaga

politik. Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak

terpenuhinya di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa

tidak berdaya dalam menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian

masyarakat merasa hak-haknya telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika

sebagian warga yang mempunyai hak pilih tidak memperoleh kartu suara karena

beberapa oknum panitia pemilihan, masyarakat merasa hak mereka telah

dirampas oleh oknum tersebut. Ketika diperjuangkan selalu membentur tembok

kekuasaan, yang memenangkan pihak status quo kepentingan sendiri, sehingga

ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak adil. Keadaan seperti ini

mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui tindak kekerasan.

Sedangkan dalam tatanan kultural, kekerasan lebih dikarenakan faktor

budaya suatu komunitas. sebagai faktor pendukung (stimuli) adalah rendahnya

tingkat pendidikan dalam masyarakat. Fanatisme keagamaan sangat sempit

dengan prinsip apa yang didengarkan orang dan juga faktor kesejahteraan

menjadi alasan berbuat asosial. Jika Violence Studies kita arahkan dalam

perspektif sosial, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan; pertama,

membebaskan tradisi kekerasan dalam proses relasi politik dalam penetapan

sebuah kebijakan publik. Apa yang dilakukan disini sama artinya dengan

melakukan transformasi demokrasi dalam tataran praktis. Kedua, konsekuensi

dari poin pertama tersebut adalah dengan melakukan kritik terhadap setiap

pewacanaan yang benar yang mencakup bahasa, stratifiksi sosial, politik,

ekonomi, budaya termasuk Pengistilahan RAS. Transformasi ini berjalan tanpa

henti untuk mencapai tujuan. Ketiga, sikap kritis-transformatif poin kedua tersebut

menggunakan prinsip; “ mempertahankan sistem yang baik dan mengambil

sistem baru yang lebih baik”, sebab banyak juga value system yang lebih baik di

dunia ini.

Negara, Kekerasan dan Sistem Politik

Apabila negara dianggap sebagai kekuatan reaksioner yang bertujuan

memulihkan tatanan tradisional, atau gerakan progresif kepentingan rakyat

menentang negara, kekaisaran, dan dinasti, maka tidak ada kekuasaan yang

mampu mencegah negara untuk menggunakan kekerasan atau terlibat dalam

42

Page 43: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

tindak kekerasan. Semua tipe atau kategori negara pasti mempunyai

kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan terhadap pihak

lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi negara.

Negara dihubungan dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam banyak hal.

Pertama, negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang

cenderung mendorong tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam

perjuangan memperebutkan otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas

instrumen koersif dan regulasi wilayah. Ketiga, kekerasan negara berhubungan

dengan peran penting peperangan dalam perkembangan historis negara.

Dalam negara demokrasi baik di Amerika dan Perancis, dimana

kemerdekaan, kebebasan, persamaan, wibawa hukum dihormati dan dijunjung

tinggidalam konstitusi, ternyata penindasan terlindung cukup aman dan

terhormat. Demokrasi yang ganjil seperti ini oleh Soekarno disebut sebagai

demokrasi yang antisosial, sebab tidak menyelamatkan, menyejahterakan, dan

melindungi segenap masyarakat.

Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan

erat dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan.

Pandangan state centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam

arena, termasuk menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk

memonopoli dan melegitimasi penggunaan kekuatan fisik.

Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik

demokrasi memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif.

Namun, tidak berarti sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam

sistem politik demokrasi juga melekat kekerasan struktural, kekerasan memang

gejala yang serba hadir.

(sumber : www.docstoc.com, dengan pengubahan)

3. Kekerasan Terhadap Anak-Anak

Kekerasan Terhadap Anak

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi

menyatakan sebagian besar kekerasan terhadap anak dilakukan ibu kandungnya

sendiri. Seorang ibu masih memiliki paradigma lama seolah-olah mendidik anak

43

Page 44: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

dengan kekerasan itu wajar dan sah-sah saja, bahkan harus, katanya saat

Pencanangan Gerakan Nasional Perlindungan Anak di Sekolah Gratis Yayasan

Bina Insan Mandiri di Terminal Depok.

Berdasarkan data Komnas PA, tahun 2008 kekerasan fisik terhadap anak

yang dilakukan ibu kandung mencapai 9,27 persen atau sebanyak 19 kasus dari

205 kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan ayah kandung 5,85

persen atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98 persen), ayah tiri (2

kasus atau 0,98 persen).

Dalam sehari Komnas PA menerima 20 laporan kasus, termasuk kasus anak

yang belum terungkap. Komnas PA kuat karena dukungan masyarakat dan

media massa, katanya.

Kak Seto panggilan Seto Mulyadi mencontohkan pepatah yang mengatakan

di ujung rotan ada emas yang mengingatkan masa depam anak akan baik, jika

dipukul dengan rotan. Ini merupakan paradigma keliru yang harus diluruskan

bersama.

Kekerasan terhadap anak banyak dilakukan masyarakat menengah ke

bawah karena terkait dengan kemiskinan. Tapi bukan berarti kasus tersebut tidak

terjadi pada kalangan menengah atas, bahkan ada guru besar dan CEO

perusahaan ternama yang melakukan kekerasan terhadap putra-putrinya.

Seto Mulyadi mengajak seluruh orang tua untuk tidak lagi melakukan

kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak bukan saja dalam arti fisik

tetapi konflik rumah tangga yang memperebutkan anak antar istri dan suami juga

merupakan bentuk lain dari kekerasan.

Jika ada kasus perebutan anak hendaknya diselelasikan melalui

kekeluargaan. Bukan diputuskan oleh pengadilan, harapnya. Diharapkannya

peran pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kekerasan bisa lebih

ditingkatkan.

Peran Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) bisa

ditingkatkan untuk menangani masalah anak-anak, begitu juga dengan

Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan Pendidikan yang mempunyai

dirjen yang mengurusi anak-anak. Meneg PP lebih banyak diharapkan untuk

mengatasi masalah anak, ujarnya.

Aspek Politik

44

Page 45: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Seto Mulyadi juga mengemukakan penanganan masalah anak selama ini

banyak mengedepankan aspek politik dibandingkan dengan aspek lainnya.

Penanganan masalah kekerasan terhadap anak belum menjadi skala prioritas,

tapi hanya mengendepankan aspek politiknya.

Seharusnya semua pihak, bukan hanya pemerintah saja, tapi juga

masyarkat, media massa dan perusahaan melalui program Corporate Social

Responsibility (CSR) membantu secara serius penanganan masalah anak tanpa

aspek politiknya.

Ia mengharapkan partai politik (parpol) dan pemimpin partai untuk peduli

terhadap permasalahan anak secara serius. Mengenai kasus penganiayaan

terhadap anak hingga tewas dan hingga kini belum terungkap, Kak Seto

menyarankan agar media massa selalu mengangkat masalah tersebut agar

segera ditangani secara serius.

(sumber : www.menegpp.go.id)

4. Kekerasan Militer

Kekerasan Militer di Pasuruan

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)

mengecam kekerasan yang dilakukan anggota TNI Angkatan Laut di Pasuruan,

Jawa Timur, hari ini.

Menurut Usman Hamid, Koordinator Kontras, kasus yang menewaskan

sedikitnya empat jiwa dan tujuh orang luka-luka itu merupakan intervensi militer

dalam proses hukum dan hak asasi manusia. "Panglima TNI harus bertanggung

jawab," ujar Usman Hamid, Rabu (30/5).

Usman menegaskan, tindakan TNI yang mudah menembak kepada warga

merupakan warisan masa Orde Baru, yang pada masa itu TNI gemar ikut campur

dalam masalah pertanahan. "Ini menginjak-injak hukum dan hak asasi manusia,"

kata dia.

Usman mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun tangan meninjau

lapangan dan mengecam peristiwa tersebut. Menurut dia, Komisi harus segera

mengadvokasi para warga yang menjadi korban.

45

Page 46: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Kasus ini dipicu sengketa tanah antara warga dengan TNI Angkatan Laut. Di

lokasi bentrok, Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, sebanyak 33 selongsong

peluru berserakan di tempak kejadian. Korban yang tewas umumnya tertembak

bagian kepala dan dada hingga tembus.

(sumber : www.tempointeraktif.com)

5. Kekerasan Lingkungan Hidup

Kekerasan Lingkungan Hidup Tergolong Pelanggaran HAM Berat

Kekerasan telah mendominasi kultur kita. Tak terkecuali kekerasan terhadap

lingkungan hidup. Sering kali luput pertimbangan, rusaknya ekologi

mengandaikan hancurnya kehidupan makhluk hidup di sekitarnya. Manusia,

tetumbuhan, bahkan fauna turut lebur dalam kepunahan.

Hal ini dikatakan Usman Hamid, Koordinator Kontras, di sela-sela diskusi

menyoal kejahatan lingkungan, dalam rangkaian Pertemuan Nasional

Lingkungan Hidup (PNLH) X, di Pendopo Pasar Seni Gabusan, Bantul, Jumat

(18/04).

Kekerasan lingkungan hidup ini, kata Usman, tergolong pelanggaran HAM

berat. "Pada tingkat kekerasan fisik, negara harus berperan sebagai protektorat

rakyat. Bukan malah sebaliknya. Apalagi soal memenuhi hak dasar masyarakat,"

ujarnya.

"Ironisnya, negara justru lebih berperan 'menghidupkan' kekerasan di wilayah

kaya sumber daya alam ketimbang melindungi dan menyejahterakan rakyatnya,"

tegasnya.

Selain itu, lanjut Usman Hamid, sejarah tak pernah menyebut di wilayah

eksplorasi sumber daya alam, kemakmuran dan kesejahteraan mudah diakses

oleh masyarakat. "Justru sebaliknya, mereka malah menuntut kemerdekaan,"

terangnya.

Tak mengherankan, sambung Usman Hamid, jika kekerasan silih berulang

kembali. Setali tiga uang, masyarakat selalu 'memerankan' sosok penuh derita

yang terpinggirkan. Sementara itu, salah seorang peserta diskusi Ahmad Lezo

dari Perisai, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, mengatakan di Flores, banyak

kekerasan lingkungan yang disponsori oleh negara. "Mungkin juga di wilayah

lainnya," tukasnya.

46

Page 47: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

(sumber : www.berita8.com)

6. Kekerasan Keagamaan

Kekerasan Keagamaan dan Absennya Pemerintah

Mengawali tahun 2010, kebebasan beragama di Indonesia tercoreng kembali

oleh perusakan rumah ibadah di Lampung. Beberapa orang tidak dikenal

melempari Gereja hingga beberapa kaca pecah. Juga ada peristiwa aliran Surge

Eden yang didatangi warga dan diteriaki dengan kata-kata kasar. Sebuah

kelompok keagamaan yang lain berhasil memobilisasi massa dan berakhir

dengan kekerasan.

Umumnya mobilisasi digerakkan oleh segelintir orang. Secara teori,

seharusnya kekerasan bisa diredam. Faktanya, kekerasan keagamaan,

khususnya yang dilakukan oleh kelompok muslim tertentu, berulang terjadi pada

waktu dan tempat yang berbeda. Bagaimana mengelola konflik keagamaan agar

tidak sampai menjadi peristiwa kekerasan?

Sebagian aktivis perdamaian dan akademisi menilai bahwa faktor kekerasan

keagamaan di Indonesia disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kemiskinan

dianggap sebagai penyebab utama kekerasan yang terjadi. Jarak antara orang

kaya dan orang miskin semakin menjulang. Situasi sulit ini mendorong warga

terlibat dalam aksi-aksi kekerasan. Terlebih jika aksi tersebut didasari doktrin

keagamaan.

Argumen lain yang juga sering dijadikan faktor terjadinya kekerasan adalah

konspirasi. Teori ini meyakini bahwa sekelompok orang mengendalikan aksi-aksi

kekerasan keagamaan dari pusat untuk memperkeruh situasi politik-sosial

negara. Mereka membutakan penglihatan massa dengan suntikan argumen

keagamaan untuk melegitimasi aksi kekerasan tersebut.

Argumen kemiskinan sebagai penyebab kekerasan keagamaan tidak cukup

meyakinkan. Betul bahwa kemiskinan di Indonesia cukup besar. Harga-harga

bahan kebutuhan pokok terus melonjak. Meski demikian, fakta menunjukkan

bahwa di beberapa tempat yang bisa dikategorikan wilayah miskin, kekerasan

keagamaan tidak terjadi.

47

Page 48: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Begitu pula dengan teori konspirasi. Argumen ini dibangun atas dasar asumsi

dan dugaan belaka. Sebagai argumen dalam kata-kata, teori konspirasi

kelihatannya meyakinkan. Namun, di lapangan, kekerasan keagamaan umumnya

memiliki latar belakang dan aktor yang berbeda-beda dan spesifik. Aktor-aktor

aksi kekerasan keagamaan bukan orang bodoh yang dengan mudah

dikendalikan. Dengan latar belakang konflik yang sangat lokal, mereka memilih

cara kekerasan untuk menyelesaikannya.

Peran negara

Julie Chernov Hwang dalam bukunya, Peaceful Islamist Mobilization (2009),

mengajukan dua variabel kenapa gerakan sekelompok muslim tertentu

menggunakan kekerasan atau cara-cara damai mengekspresikan keyakinannya.

Pertama, partisipasi politik. Gerakan apa pun akan menyampaikan aspirasinya

dengan cara damai jika negara membuka arena berkompetisi. Kekerasan adalah

cara terakhir bagi gerakan sekelompok muslim tertentu, karena arena formal

tertutup bagi mereka. Partisipasi politik tersebut harus terinstitusikan. Usulan dan

aspirasi gerakan “sekelompok muslim tertentu” akan dipertaruhkan dalam pemilu,

lobi politik, koalisi, dan sebagainya. Cita-cita ideologi kelompok muslim tertentu

bertarung di arena tersebut secara sehat dan di bawah payung hukum formal.

Kedua, kapasitas negara yang efektif. Variabel ini diukur dengan sejauh

mana negara menegakkan hukum di wilayahnya dan memberi layanan sosial

secara efektif. Jika negara menjalankan hukum yang berlaku melalui

perangkatnya–polisi, jaksa, dan hakim–kekerasan dapat diatasi dan gerakan

keagamaan tidak berani mengekspresikan lewat kekerasan.

Di samping penegakan hukum, pemerintah dapat mengendalikan gerakan

sosial, termasuk keagamaan, agar tidak anarkistis dengan memberi pelayanan

sosial yang efektif. Kebijakan yang menguntungkan masyarakat, seperti

pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, menumbuhkan wibawa pemerintah di

hadapan rakyatnya. Sehingga, alih-alih main hakim sendiri, masyarakat malah

percaya bahwa pemerintah dapat mengatasi konflik yang ada.

Membangun wibawa

Membandingkan antara Indonesia masa Orde Baru dan masa reformasi,

Julie menyimpulkan bahwa kini Indonesia merupakan ineffective participatory

48

Page 49: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

state. Yaitu negara yang secara politik membuka lebar ruang semua elemen

masyarakat–kecuali PKI–berkompetisi menentukan kebijakan berdasarkan

ideologi masing-masing. Kehadiran PKS, PPP, dan PBB, yang secara terang-

terangan memperjuangkan syariat Islam dalam dua-tiga pemilu terakhir,

membuktikan partisipasi tersebut.

Namun, di pihak lain, pemerintah Indonesia belum mampu memberikan

layanan publik yang efektif. Temuan LSI terakhir menunjukkan bahwa tren

kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan kinerja pemerintah dalam

layanan publik menurun. Aparat pemerintah masih lamban menegakkan hukum.

Wibawa aparat kian buruk pascaperseteruan antara “cicak” dan “buaya”. Situasi

ini adalah puncak dari wibawa polisi yang mendapat citra “pemalak jalanan”, atau

“lembaga negara terkorup”, dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan layanan publik. Pemerintah masih setengah hati. Slogan

sekolah gratis belum juga terbukti. Betul bahwa pemerintah menggelontorkan

uang untuk dana pendidikan hingga 20 persen, tapi uang pendidikan tidak juga

murah. Begitu juga dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, yang

merupakan wilayah yang masih dipenuhi setengah hati.

Wibawa penegakan hukum yang masih rendah ini memungkinkan gerakan

keagamaan menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan

pendapatnya. Dalam konteks ini, perusakan Gereja dan penyerangan terhadap

aliran Surga Eden pada awal tahun memperlihatkan kinerja penegakan hukum

yang tidak jalan. Penegak hukum diacuhkan kelompok muslim tertentu karena

ketidakpercayaan.

Evaluasi 100 hari seyogyanya menyentuh masalah-masalah mendasar ini.

Sebab, kekerasan atas nama agama bukan kekerasan tiba-tiba. Kekerasan yang

mereka lakukan penuh dengan pertimbangan. Semakin negara memberi ruang

partisipasi politik dan memberi layanan publik yang efektif, kekerasan atas nama

agama sulit menjadi pilihan. Jika tidak, sudilah kita hidup layaknya di rimba raya.

(sumber : www.hariansumutpos.com)

7. Kekerasan Etnis

Kekerasan Etnis Meledak di Pakistan

49

Page 50: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Baru-baru ini terjadi Kekerasan berdarah di Benares Karachi yang menewaskan

dan melukai 64 orang. Sebagaimana dilansir Geo TV Pakistan, kekerasan mulai

berlangsung saat milisi tak dikenal menembaki rakyat terutama para penjual kaki

lima.

Kondisi ini terjadi pada saat pemerintahan Pakistan tengah menghadapi berbagai

masalah dan acaman diantaranya krisis ekonomi, serangan AS ke kawasan adat

dan baru-baru ini serangan teroris Mumbai. Berbagai aksi kekerasan berdarah

terutama konflik etnis di Karachi bagaimanapun sangat merugikan pemerintah

dan rakyat Pakistan. Menyikapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Negara

Bagian Sarhan, Zulfiqar Mirza menegaskan pihaknya akan menindak keras

pemicu ketidakamanan di Karachi tanpa memperdulikan tekanan politik.

Peningkatan kekerasan berdarah di Karachi yang menjadi pusat perdagangan

Pakistan mengancam keamanan Pakistan. Selain itu, hal tersebut menghambat

penerapan berbagai program pemerintah untuk menyedot investasi domestik dan

asing guna memperkuat pertumbuhan ekonomi Pakistan.

Meskipun Zulfiqar Mirza menyebut para milisi tak dikenal sebagai pengacau,

namun tampaknya tekanan politik mereka sangat jelas dan upaya pencegahan

terhadap perluasan krisis dan kemungkinan terciptanya perang saudara bukan

hal yang terlalu sulit.

Sebulan lalu, Muttahida Qaumi Movement (MQM) menuding para imigran

Pashtun di Karachi yang disebut-sebut sebagai Taliban dengan beragam alasan

berusaha membelah negara bagian Sindh yang menimbulkan kekacauan di

kawasan tersebut. Tampaknya pihak yang berafilisi ke MQM berusaha

mengacaukan keadaan dengan menyerang para pedagang kaki lima agar para

imigran Pashtun meninggalkan Karachi.

Menyikapi kedaan tersebut, para pemimpin partai dan kelompok agama di

antaranya Jemaat Islam, Liga Muslim dan Organisasi Ulama Islam berkumpul

dalam sebuah konferensi partai di Karachi. Berbagai lembaga ini

memperingatkan dan tidak mengizinkan MQM dengan alasan pengaruh Taliban

menciptakan kekisruhan dan kerasan etnis di Karachi dan menghalangi kalangan

miskin mencari nafkah. Dalam kondisi ini, Komisi Pelaksana etnis Pashtun pun

mendesak perlindungan kerja dan jaminan keamanan para imigran Pashtun

kepada orang-orang berbahasa Urdu.

50

Page 51: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Dengan memperhatikan konflik meluas antara partai dan kelompok keagamaan

dalam berbagai peristiwa di Karachi, tampaknya pemerintah pusat Pakistan

tengah menanggung beban berat untuk menghalangi perluasan kekerasan.

Ketidakperdulian mereka terhadap hal tersebut bisa meningkatkan pertumpahan

darah. Bagaimanapun, dengan melihat kondisi strategis Karachi sebagai sentral

bisnis Pakistan, kelanjutan ketidakamanan merugikan rakyat dan pemerintahan

Pakistan.

(sumber : indonesian.irib.ir, dengan pengubahan)

8 Kekerasan Kultural

Sistem Kasta Sebagai Bentuk Kekerasan Kultural

Salah satu bentuk budaya yang pernah berkembang adalah sistem Kasta.

Kasta adalah klasifikasi sosial masyarakat yang berkembang pada masa India

kuno dalam agama Hindu, dan seiring penyebarannya juga pernah terjadi di

Indonesia. Sistem Kasta membagi masyarakat menjadi empat golongan

berdasarkan posisi/pekerjaannya yaitu Brahmana, Ksatria, Sudra dan Waisya.

Kasta Brahmana berisi antara lain kumpulan pemuka agama Hindu, Ksatria

adalah para bangsawan dan keluarga kerajaan, Sudra berisi para pedagang, dan

Waisya adalah kumpulan petani. Sifat masing-masing kasta adalah eksklusif.

Pada awalnya sistem ini dibuat untuk mencegah terjadinya perkawinan antara

keluarga bangsawan atau kerajaan dengan rakyat biasa.

Sistem kasta merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam hal budaya.

Kasta mengelompokkan manusia kedalam kelas-kelas tertentu dimana antara

mereka dilarang terjadi interaksi kekerabatan, perkawinan dll. Sehingga manusia

menjadi mempunyai derajat yang berbeda-beda dalam masyarakat. Golongan

Brahmana dan Ksatria sudah tentu menjadi warga kelas satu sedangkan Waisya

dan Sudra menjadi warga kelas bawah dengan derajat lebih rendah. Sudah

barang tentu Waisya dan Sudra menjadi kelompok yang tereksploitasi, tertindas

dan menjadi sasaran berbagai kekerasan dari kelompok masyarakat diatasnya.

Sistem Kasta menempatkan beberapa golongan sebagai manusia tetapi

mendiskriminasikan golongan lain ke derajat yang lebih rendah daripada

manusia. Sehingga menjadi justifikasi bagi tindak kekerasan lain terhadap

51

Page 52: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

kelompok masyarakat yang dianggap lebih rendah. Pada dasarnya manusia

mempunyai derajat yang sama. Manusia bagaimanapun bentuknya adalah

manusia yang seharusnya diperlakukan seperti layaknya manusia.

(sumber : www.obrolin.com)

9. Kekerasan Sosial

Kekerasan Sosial : Tantangan Bagi Demokrasi

Demokratisasi yang dibangun di negeri ini mendapat tantangan seirus.

Hampir-hampir proses demokrasi yang sedang diperjuangkan oleh seluruh

komponen ini gagal total dan kembali ke zaman kelam ; zaman yang semua

orang tak berhak menentukan pilihan, tak kuasa menolak kebijakan yang berbijak

pada otoritas penguasa. Tantangan serius itu adalah munculnya kekerasan dan

konflik. Dua hal ini menjadi pusat perhatian tidak hanya oleh tokoh-tokoh politik,

akdemis bahkan oleh rakyat di akar rumput.

Kekhawatiran nampak di wajah hampir seluruh komponen bangsa. Negara ini

bagai akan robek, runtuh oleh keduanya (baca : kekerasan dan konflik). Berbagai

analisis, logika, solusi dan metode dimajukan guna mencegah menjalarnya

kekerasan dan konflik hingga titik nadir. Bukan mustahil sebuah negeri akan

runtuh oleh perilaku para pengelola negeri itu sendiri.

Membaca Akar Kekerasan Sosial

Penulis tak bermaksud mengenyam pingkan berbagai hasil pembacaan

pihak lain atas akar munculnya kekerasan di Indonesia, tetapi pembacaan ini

minimal berpijak pada fakta yang dijumpai penulis dan analisa atas fakta

tersebut. Sebab kekerasan di negeri ini bisa kita pilah kepada dua sebab :

Pertama, karena ketidakadilan dan ketidakmerataan ekonomi.

Stratifikasi sosial (social stratification) yang berbentuk di negeri ini lebih

tampak dari sisi ekonomi dan pendapatan serta akumulasi kapital. Hal ini telah

merasuk kedalam cara pandang hampir mayoritas penduduk Indonesia,

sehingga penghar gaan dan penghormatan kepada orang lain berdasar kepada

banyak sedikitnya akumulasi kapital orang tersebut. Tak pelak, mayoritas

52

Page 53: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

penduduk di negeri ini berjuang sekuat tenaga untuk mengakumulasi kapital

sebanyak mungkin sebagai “modal” untuk mendapatkan penghargaan dan

apresiasi dari orang lain.

Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin pun semakin lebar.

Sementara semua orang semakin paham bahwa kondisi ini memang sengaja

dicipta oleh struktur yang kemudian berwajah lahirnya aturan dan perundang-

undangan yang tidak populis. Pemahaman inilah yang pada perkembangan

selanjutnya memicu lahirnya kekerasan sosial di masyarakat. Rasa tak berdaya

rakyat kecil untuk melakukan perlawanan kepada penguasa menyebabkan

mereka melakukan tindak kekerasan kepada lingkungan yang terde kat dengan

mereka. Muncullah crash, benturan sosial. Konflik horizontal pun tak bisa

dihindari. Kekerasan dan Konflik kemudian berwujud menjadi situasi yang tak

memungkinkan masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dengan

tenang. Pendapatan dan daya beli masyarakat pun menurun.

Uraian ini akan terus berlanjut hingga pada titik yang tak jelas, atau

singkatnya bagai lingkaran setan; tak jelas mana kepala, mana ekor. Atas dasar

inilah, penulis sepakat dengan salah satu inti Pidato Kenegaraan Presiden SBY

pada 16 Agustus 2007 bahwa peningkatan ekonomi Indonesia berpijak pada

pemberdayaan dan pemerataan.

Pemberdayaan saja tak cukup, karena kata ini punya makna orang yang

akan berdaya adalah orang yang bermodal. Lagi-lagi bermuara pada akumulasi

kapital. Pemberdayaan harus berbanding lurus dengan pemerataan ekonomi.

Jika kedu anya berjalan searah, maka wajah buram perekonomian negeri ini

akan semakin hilang. Jika salah satu akar konflik telah sirna, maka rekonstruksi

dan demokrati sasi di negeri ini akan dengan mudah tercapai.

Akar konflik yang kedua adalah pema haman agama parsial. Ajaran Islam,

dan tentu agama lain, yang tidak mengajarkan kekerasan serta perilaku merusak

tidak dipahami sebagai ajaran yang menyatu dengan kewajiban menjalankan

dakwah dan keharusan menyebarkan agamanya kepada orang lain. Sehingga

pemenuhan kewajiban berdakwah dianggap ibadah yang tak lagi perlu

memperhatikan lingku ngan dan ketenangan orang lain.

Pemahaman parsial atas ajaran aga ma yang dianutnya atas kekerasan yang

dilakukan menjadikan situasi semakin buruk, karena pelaku kekerasan merasa

53

Page 54: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

benar dengan pijakan teologis yang dipahami dari ajaran agama yang parsial

tersebut.

Kekerasan dan konflik sosial akan menghambat demokratisasi yang sedang

berjalan di negeri ini. Dari uraian tentang akar konflik tersebut tentu

mempermudah kita dalam mencoba menawarkan solusi atas kemelut ini.

Berbagai upaya dari banyak pihak tentu merupakan sumbangan yang sama

besarnya kepada bangsa ini. Pemerintah tentu tak perlu berkecil hati karena jika

ruang aktualisasi rakyat dibuka, maka akan banyak kekuatan yang bisa diguna

kan untuk keluar dari seluruh problem kebangsaan kita, termasuk problem

kekerasan dan konflik sosial. Yang dibutuhkan adalah political will dari

pemerintah.

(sumber : www. tabloid_info.sumenep.go.id)

10. Kekerasan Ekonomi

Jakarta, Kominfo Newsroom - Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan yang

ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun sejak 2001. Tahun

2008 naik lebih dari dua kali lipat (213 persen) menjadi 54.425 kasus

dibandingkan 2007 (25.522 kasus KTP).

“Kenaikan jumlah kasus tersebut diperkirakan terjadi karena meningkatnya

kemudahan akses ke data Pengadilan Agama sebagai implementasi dari

Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi

di lingkungan Pengadilan,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ninik Rahayu

kepada pers di Jakarta, Sabtu (7/3).

Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2008 mencatat, kekerasan

ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi

di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan paling besar dialami

perempuan.

Kecenderungan tersebut berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak

2006 hingga 2008. Pada 2008, mayoritas dari perempuan korban ekonomi dalam

rumah tangga adalah para istri sebanyak 6.800 kasus dari jumlah 46.884 kasus

Kekerasan Terhadap Isteri (KTI), sedangkan mayoritas korban kekerasan

seksual di komunitas adalah justru perempuan di bawah umur sebanyak 469

kasus.

54

Page 55: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

Di samping itu, tahun 2008 Komnas Perempuan juga mencatat terdapat

terobosan kebijakan yang kondosif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban

kekerasan, diantaranya ada 1 (satu) peraturan perundang-undangan yaitu UU

No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, ada 2 (dua)

inisiatif internasional terkait rekomendari umum No. 26 Komite CEDAW tentang

Perempuan Pekerja Migran dan Piagam Asean.

Termasuk juga 8 (delapan) peraturan setingkat Peraturan Pemerintah,

Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepolisian tentang Pelayanan

Perempuan Korban Kekerasan, dan satu Keputusan Pengadilan Agama Jakarta

Pusat tentang Sita Marital dalam kasus perceraian.

Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang

menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, seperti lahirnya UU

Np. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008

tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, dan Keputusan Mahkamah

Konstitusi No. 22/PUU-VI/2008 tentang calon yang memperoleh suara atau

dukungam rakyat paling banyak dalam pemilu.

Di area pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum nasional

dan daerah bagi pekerja migran di tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang

saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan bagi pekerja

migran.

Disebutkan, kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian

khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin,

perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan pembela HAM, sementara

empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menunut pemantauan

adalah para pejabat politik, para kepala daerah, anggota legislatif, dan pendiidik.

Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan 12 hal penting

diantaranya, karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang paling tinggi adalah

kekerasan ekonomi, maka pemerintah dan para pendamping KDRT, perlu

membuat upaya khusus untuk meningkatkan kemandirin ekonomi bagi para

korban, selain memfasilitasi pemulihan psiko-sosial dan pelayanan medisnya.

Pemerintah juga perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk

mendukung pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban

kekerasan seksual dalam komunitas.

(sumber : www.lintasberita.com)

55

Page 56: Agama - Kekerasan Dan Budaya Kasih

56