ucapan terima kasih - sinta.unud.ac.id filependidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah....

42
v UCAPAN TERIMA KASIH Sesanti angayu bagia, atas asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor (Dr.) pada Program Pendidikan Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Terwujudnya disertasi ini atas dorongan, bimbingan, bantuan dan kerja sama berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. selaku promotor dengan penuh perhatian, semangat, bimbingan dan saran dalam menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. selaku Ko-promotor I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M. Si. selaku Ko-promotor II yang telah meluangkan waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dra. Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, M.Si Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan teman-teman staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah atas motivasinya dalam menyelesaikan program Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sahabat Dr. Nyoman Wijaya, M. Hum. atas segala bantuan yang diberikan dalam proses penyelesaian desertasi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program S 3 Kajian Budaya Prof. Dr. A.A.B. Wirawan, S.U. dan Sekretaris S 3 Kajian Budaya Dr. Putu Sukarja, M.Si serta seluruh staf pengajar

Upload: ngoxuyen

Post on 07-May-2019

257 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Sesanti angayu bagia, atas asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor (Dr.) pada Program Pendidikan

Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

Terwujudnya disertasi ini atas dorongan, bimbingan, bantuan dan kerja sama

berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis

menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada Bapak Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. selaku promotor dengan

penuh perhatian, semangat, bimbingan dan saran dalam menyelesaikan disertasi ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. I

Wayan Ardika, M.A. selaku Ko-promotor I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M. Si. selaku

Ko-promotor II yang telah meluangkan waktunya dengan penuh perhatian dan

kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr.

dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas

Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi,

atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program

Doktor pada program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan

terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, atas ijin yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Pada kesempatan ini,

penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dra. Anak Agung Ayu Rai

Wahyuni, M.Si Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Udayana dan teman-teman staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah atas

motivasinya dalam menyelesaikan program Doktor. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada sahabat Dr. Nyoman Wijaya, M. Hum. atas segala bantuan yang

diberikan dalam proses penyelesaian desertasi ini. Ungkapan terima kasih penulis

sampaikan kepada Ketua Program S 3 Kajian Budaya Prof. Dr. A.A.B. Wirawan, S.U.

dan Sekretaris S 3 Kajian Budaya Dr. Putu Sukarja, M.Si serta seluruh staf pengajar

vi

pada Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, atas pemberian fasilitas

pendidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah. Ucapan terima kasih juga

disampaikan kepada para pegawai/staf Program S3 Kajian Budaya atas segala bantuan

fasilitas dan informasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan studi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim penguji

disertasi ini, yaitu Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. , Prof. Dr. I Wayan Ardika,

M.A. , Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. , Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. Prof.

Dr. I Wayan Cika, M. S. Dr. Putu Sukardja, M. Si., Dr. Ni Made Wiasti, M. Hum., Dr, I

Ketut Setiawan, M. Hum., yang telah memberikan masukan, kritik dan saran bagi

proses penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Ditjen

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI di Jakarta yang sejak tahun

awal kuliah (2005/2006) berkenan menyediakan dana BPPS serta dana Hibah Penelitian

Mahasiswa Doktor tahun 2010 untuk studi di Program Pendidikan Doktor (S3) kajian

Budaya Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua guru-guru dan para dosen

yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan telah membentuk kepribadian penulis,

yaitu guru-guru di Sekolah Dasar 1 Peguyangan, Sekolah Menengah Pertama

Dwijendra Denpasar, Sekolah Pendidikan Guru Negeri Denpasar, para dosen Jurusan

Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan

Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah

Mada, Program Doktor S 3 Kajian Budaya Universitas Udayana,

Secara khusus penulis menyampaikan juga penghargaan dan terima kasih

setulus-tulusnya kepada para narasumber atau informan, antara lain Ni Made Sri

Sutharmi, Ketut Tresnawati Bulan, S.H. , Ni Nengah Rasmini, Yuhal Wahidah, Siti

Ulfah, Ni Ketut Mertiasih, Sekretaris DPRD Kabupaten Jembrana beserta staf dan

informan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Kepada Agus. Sri

Lestari, dan Ariani penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan yang

kalian berikan dalam penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih penulis panjatkan kepada mendiang Ibunda (Ni Ketut

Adnyadi), mendiang Ayahnda ( I Made Sarbayasa), mendiang Nenek (Ni Wayan Rineh)

dan mendiang Kakek (I Made Rantim) dan keluarga besar Ibunda di Banjar Batur

vii

Peguyangan, yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, dalam memberikan dasar-

dasar berpikir logis dan suasana demokratis, sehingga tercipta lahan yang baik untuk

berkembangnya kreativitas. Kepada kakak dan adik-adik penulis, Ni Wayan Suyatri, I

Ketut Sarjana, S.H., Dr. Ni Wayan Sartini, M. Hum., dan I Made Sutarmaja juga

diucapkan terima kasih banyak atas dorongan dan selalu mengingatkan agar penulis

segera menyelesaikan studi. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada istri

tercinta Dra. Ni Made Arditi beserta seluruh keluarga besar di Banjar Negari Singapadu

Gianyar serta kedua ananda tersayang Ni Wayan Rainy Priadarsini S., SS.,M.Hub.Int

dan I Made Adhi Permana S.,ST dengan penuh pengertian memberikan dukungan moril

untuk penulisan disertasi ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan

rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian

disertasi ini. Mengingat keterbatasan pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis,

karya ini tentu masih banyak memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. Namun, dalam

kesederhanaan disertasi ini semoga masih dapat memberikan manfaat dalam menambah

khasanah perkembangan ilmu pengetahuan (cultural studies) di Indonesia.

Denpasar, Agustus 2016

Penulis

viii

ABSTRAK

Sejak era reformasi persaingan untuk memperebutkan posisi sebagai anggotalegislatif lebih terbuka. Pada Pemilu Tahun 2009 keterwakilan perempuan di LembagaLegislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20%, walaupun belum memenuhi target30 % namun upaya kaum perempuan berjuang untuk memperebutkan posisi sebagaianggota legislatif patut dihargai sebagai upaya mempercepat kesetaraan gender dalambidang politik.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskrisikan 1) Bentuk-bentukpergulatan politik perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana. 2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pergulatan politik perempuan di lembaga legislatifKabupaten Jembrana 3) Implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembagalegislatif Kabupaten Jembrana. Dengan menggunakan teori kritis dan metode deskriptifkualitatif penelitian dilakukan di DPRD Kabupaten Jembrana. Data diperoleh denganobservasi dan wawancara mendalam.

Hasil penelitian ini pertama, ada ketidaksesuaian antara modal budaya yangdimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih sehingga merekabelum mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Kedua, pergulatanpolitik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dipengaruhi olehberbagai faktor, seperti politik, budaya, sosial, ekonomi dan globalisasi. Ketiga,implikasi dari pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif dapat dijelaskanmelalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural,analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuananalisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan diLembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraandan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana; sedangkan makna yang tampak adalahmakna partisipasi, kesetaraan, dan harga diri.

Simpulan penelitian, kaum perempuan sudah berusaha melakukan berbagaipergulatan politik di lembaga legislatif, namun dalam kenyataannya perjuangan yangdilakukan masih jauh kalah daripada politikus laki-laki. Hal ini berhubungan denganhabitus kolektif perempuan yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan strukturobjektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosialekonomi, realitas globalisasi. Posisi perempuan sebagai kelompok minoritas danimperior di lembaga legislatif berimplikasi terhadap belum berhasilnya perjuanganmereka untuk mencapai kesetaraan gender bagi masyarakat Jembrana.

Temuan penting penelitian, pertama, keberhasilan perempuan duduk di lembagalegislatif Kabupaten Jembrana yang telah mencapai angka 20 persen ditentukan olehkesempatan untuk mengisi kuota dan pengaruh orang-orang terdekat seperti suami.Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah legislatif merupakanpseudo gender, gender yang semu. Kedua, keterbatasan modal (ekonomi, sosial,budaya, dan simbolik) berimplikasi kepada jabatan atau kedudukan yang diperoleh diberbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana.

ix

Ketiga, penilaian anggota masyarakat biasa terhadap legislator perempuan ditentukanberdasarkan sumbangan yang diberikan, sedangkan tokoh masyarakat menilaiberdasarkan kinerja.

Kata kunci: pergulatan politik, legislatif, reformasi, kesetaraan gender, modal budaya

x

ABSTRACT

Since the reform era, competition in legislative elections has become more open.In the 2009 regional election, women representation in the Regional RepresentativeCouncil of Jembrana Regency reached 20%. Despite the fact that it did not reach thetarget of 30%, the efforts made by woman candidates to compete in the legislativeelection should be taken into account as an attempt to accelerate gender equality inpolitics.

The aims of this study are to understand and describe: 1) the forms of women’spolitical struggles in the Regional Representative Council of Jembrana Regency; 2)factors that influence women’s political struggles in the Regional RepresentativeCouncil of Jembrana; and 3) implications and meaning of women’s political struggles inthe Regional Representative Council of Jembrana. Using critical theory and thedescriptive-qualitative method, this research was conducted in the RegionalRepresentative Council of Jembrana Regency. The data in this study were obtainedthrough observations and in-depth interviews.

The results of this study are: first, there is an incompatibility between thecultural capital possessed by the women and the political arena which they have chosen,causing them to be unable to carry out their tasks and functions optimally. Second, thewomen’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana areinfluenced by various factors such as politic, cultural, social, economic, andglobalization factors. Third, the implications of the Balinese women’s political strugglesin the legislative body can be explained by the analyses of contemporary feministtheories such as cultural feminism analysis, phenomenological and existential analysis,and institutional analysis. With the help of the analyses of feminist theories, it wasfound out that female legislators in Jembrana Regency have not been able to fight forgender equality and justice for the people of Jembrana; meanwhile the meaningsperceived are participation, equality and dignity.

The conclusions of this research are that the women have been trying to do avariety of political struggles in the legislative body, but in reality their struggles havenot been able to outweigh the power of male politicians. This is related to women’scollective habitus formed through their interactions with the objective structure ofBalinese people which can be seen in socio-political, cultural, and socio-economic, andglobalization reality. The women’s position as a minority and inferior group in thelegislative body results in their inability to achieve gender equality for the people ofJembrana.

The key findings of the study, first, the success of women to reach 20% positionin Regional Representative Council in Jembrana is determined by the support of theirclosest people, especially husband, even it will open more opportunities to get the targetof 30%. The struggling process to achieve gender equality in the legislative arena is a

xi

pseudo gender. Second, the lack of capital (economic, social, cultural, and symbolic)has implications to get position in different working unit in Legislative Council inJembrana. Third, the assessment given by local community to the women legislator isbased on the donations given, while community leaders asses based on performances.

Keywords: political struggles, legislative, reform, gender equality, cultural capital

xii

RINGKASAN

PERGULATAN POLITIK PEREMPUANDI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN JEMBRANA

PADA ERA REFORMASI

Perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kabupaten/kota di

Bali hasil pemilu tahun 2009 memperlihatkan fenomena menarik khususnya di

Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Kabupaten

Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten

lain yakni dari dua orang perempuan hasil pemilu tahun 2004 menjadi enam orang

pada hasil pemilu tahun 2009. Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga

legislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20 persen, persentase yang cukup tinggi

dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali.

Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi

dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai 30 %.

Mereka sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal maupun

eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun dalam kenyataannya

perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan

kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya, tetap saja peran politik yang dapat

mereka mainkan masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Dengan latar belakang di

atas maka perlu dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut: (1)

bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif

Kabupaten Jembrana pada era reformasi? (2) faktor-faktor apa yang mempengaruhi

pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana? dan (3) apa

implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten

Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender?

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan

interdisipliner sebagai salah satu ciri kajian budaya. Lokasi penelitian di Lembaga

Legislatif Kabupaten Jembrana. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi,

wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui metode

deskriptif kualitatif dan interpretatif dengan menggunakan konsep dan teori. Konsep

xiii

pergulatan yakni suatu proses interaksi yang masih dan akan terus terjadi antara

perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini terjadi suatu model yang dalam kajian

budaya disebut dengan kontestasi, resistensi, dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005:

50). Sedangkan teori-teori yang digunakan adalah teori konstruktivisme generatif, teori

wacana relasi kuasa dan pengetahuan, teori hegemoni, dan teori posfeminisme.

Ada tiga hasil penelitian disertasi ini. Pertama, adanya hubungan antara habitus

kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai kelompok minoritas

dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada ketidaksesuaian antara modal yang

dimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial

politik di lembaga legislatif. Oleh karena itu sekalipun sudah berusaha melakukan

berbagai pergulatan, baik secara internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar

gedung DPRD, namun dalam kenyataannya dibandingkan dengan anggota DPRD laki-

laki partisipasi mereka jauh lebih rendah sehingga belum mampu menjalankan

fungsinya secara optimal terutama yang menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan

dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Keterbatasan modal budaya,

ekonomi, sosial dan simbolik yang dimiliki berpengaruh terhadap posisi jabatan

strategis yang berhasil diperoleh di lembaga legislatif.

Hasil penelitian yang kedua, belum optimalnya peranan anggota DPRD

perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penyebab itu ditemukan

dalam habitus kolektif perempuan Bali yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan

struktur obyektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dari realitas sosial politik, realitas

budaya, realitas sosial ekonomi, dan realitas globalisasi. Melalui realitas tersebut dapat

dipahami bahwa habitus kolektif perempuan menjadi salah satu penghambat bagi para

legislator perempuan untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Realitas yang

dimaksud di antaranya adalah pertama, faktor politik, secara internal ada tiga penyebab

mengapa kaum perempuan enggan terjun dalam bidang politik yakni a) politik adalah

bidang kaum laki-laki yang identik dengan kekerasan sehingga tidak cocok bagi kaum

perempuan; b) kaum perempuan kurang maksimal memanfaatkan potensi dirinya untuk

aktif dalam bidang politik bahkan ada kecenderungan kaum perempuan lebih banyak

bergelut dalam urusan domestik; c) kaum perempuan kurang percaya diri, sehingga

xiv

secara mental kurang siap untuk memangku jabatan-jabatan politis yang menentukan

kehidupan masyarakat.

Kedua, faktor budaya. Perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan

dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang politik

telah dilakukan sejak lama. Namun demikian isu gender dalam bidang politik masih

tampak dalam kehidupan masyarakat yang berimplikasi terhadap peranan kaum

perempuan jauh lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bidang politik. Hal ini tidak

lepas dari pengaruh ideologi patriarki yaitu suatu paham yang memberikan kekuasaan

kepada laki-laki. Di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilinial merupakan lahan

yang subur bagi berkembangnya ideologi patriarki yang menempatkan kedudukan laki-

laki jauh lebih tinggi dan penting dari kaum perempuan sehingga terjadi hubungan yang

sub-ordinatif. Di samping itu dalam realitas kehidupan, perempuan menjalankan peran

ganda, yakni peran reproduktif dan peran produktif. Peran ganda inilah merupakan salah

satu kendala dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai anggota dewan. Dari segi

kapital budaya khususnya pendidikan, tingkat pendidikan anggota legislatif perempuan

rata-rata tamatan SMA sederajat, hanya satu S-1, dan satu orang tamatan D-3. Secara

umum tingkat pendidikan seseorang akan menentukan kualifikasi dalam menjalankan

profesi di bidangnya.

Ketiga, faktor sosial ekonomi. Perubahan orientasi politik masyarakat

Indonesia khususnya di Bali memperlihatkan kecenderungan ke arah pragmatis yang

menjadikan modal ekonomi memegang peranan sentral dalam perebutan kekuasaan.

Hal ini disebabkan oleh globalisasi yang telah merasuk ke dalam berbagai sektor

kehidupan khususnya dalam kehidupan politik. Para pelaku politik dituntut untuk

bertindak lebih rasional dalam berhadapan dengan masyarakat yang sudah semakin

kritis dan memandang arena politik sebagai tempat untuk memperoleh keuntungan.

Arena politik disamakan dengan pasar; ada yang berperan sebagai produsen dan ada

pula yang berperan sebagai konsumen. Para kontestan politik merupakan produsen

politik dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang menarik bagi konsumen dalam

hal ini masyarakat pemilih. Transaksi antara produsen dan konsumen dalam kancah

politik inilah yang menimbulkan pasar politik.

xv

Keempat, faktor globalisasi. Globalisasi membawa berbagai macam pengaruh,

seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era komunikasi sebagian besar

masyarakat sangat tergantung kepada teknologi satelit dan teknologi komputer.

Teknologi komputer merupakan kebutuhan utama dalam upaya menjaga peningkatan

volume kecepatan dan jarak untuk memperoleh sumber-sumber informasi yang

diperlukan. Menurut Sennett (2006) seperti dikutip oleh Haryatmoko (2010: 254)

revolusi teknologi informasi melahirkan logika waktu pendek. Media elektronik dan

komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu singkat dan cepat

seperti kecepatan cahaya. Tersedianya informasi secara instan mengakibatkan

masyarakat tidak lagi toleran terhadap kelambatan dan penantian yang lama. Logika

waktu pendek menjadi prinsip kehidupan, artinya untuk bisa bersaing dan bertahan

hidup prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan pada tepat waktu, ringkas,

luwes dan menguntungkan.

Pada era globalisasi perkembangan teknologi pengelolaan tubuh dan teknologi

domestik membawa implikasi terhadap kondisi ekonomi kaum perempuan khususnya di

Bali. Kedua jenis teknologi tersebut sangat kuat pengaruhnya bagi kehidupan kaum

perempuan. Teknologi lain yang juga menarik perhatian kaum perempuan adalah

teknologi sektor domestik, seperti kemajuan dalam bidang teknologi alat-alat rumah

tangga dan peralatan dapur. Penggunaan berbagai peralatan rumah tangga/dapur yang

serba modern di satu sisi dapat memberikan kenyamanan, kenikmatan, keindahan,

kemoderenan atau sebagai status simbul sosial sehingga kaum perempuan menjadi

betah tinggal di rumah. Namun, di sisi lain kaum perempuan dituntut untuk

mengeluarkan banyak waktu dan tenaga untuk merawat dan menjaga barang-barang

perlengkapan rumah tangganya.

Berdasarkan kenyataan yang telah diungkapkan di atas sesungguhnya kaum

perempuan telah mengalami dominasi dan hegemoni berganda yang melibatkan laki-

laki, media massa/pasar yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis global yang

menawarkan berbagai produk kebutuhan, baik berupa alat-alat dan barang kecantikan

serta alat-alat rumah tangga yang serba modern. Kaum perempuan mengeluarkan

banyak uang untuk membeli aneka ragam barang yang dapat mendatangkan kenikmatan

sehingga basis ekonominya menjadi lemah. Basis ekonomi yang lemah akan

xvi

menyulitkan kaum perempuan untuk dapat bersaing dalam dunia politik praktis yang

membutuhkan dukungan kapital ekonomi yang besar.

Hasil penelitian yang ketiga adalah implikasi pergulatan politik perempuan di

lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dalam perspektif gender dapat dijelaskan

melalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural,

analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuan

analisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan di

Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraan

dan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana. Sedangkan makna yang dapat dipetik

dari pergulatan politik perempuan Bali di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana adalah

makna partisipasi dan mobilisasi, makna kesetaraan, dan makna harga diri.

Kesimpulan penelitian, pertama, kaum perempuan sudah berusaha melakukan

berbagai pergulatan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana, baik secara internal

maupun eksternal, namun dalam kenyataannya perjuangan yang dilakukan untuk

mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi

konstuennya, masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Kedua, adanya hubungan

antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai

kelompok minoritas di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana. Habitus kolektif

perempuan yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan struktur objektif

masyarakat Bali dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosial ekonomi,

realitas globalisasi. Ketiga, posisi perempuan sebagai kelompok minoritas dan imperior

di hadapan legislator laki-laki di Kabupaten Jembrana berimplikasi terhadap belum

berhasilnya perjuangan mereka untuk mencapai kesetaraan gender.

Temuan penting penelitian adalah pertama, perjuangan kaum perempuan di

Kabupaten Jembrana untuk memperebutkan kursi di lembaga legislatif pada pemilu

tahun 2009 telah berhasil menempatkan enam orang wakil dari berbagai partai politik,

dua orang dari Partai Demokrat, satu orang dari Partai Persatuan Pembangunan, satu

orang dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan satu orang dari Partai Indonesia Baru, satu

orang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini menunjukkan jumlah

peningkatan yang cukup signifikan dan telah mencapai angka 20 persen. Tiga partai

politik yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai

xvii

Indonesia Baru hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil

menyingkirkan calon legislatif laki-laki. Keberhasilan enam orang perempuan

menduduki kursi di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana tidak semata-mata

ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki, namun lebih banyak ditentukan oleh

kesempatan yang terbuka bagi kaum perempuan untuk mengisi kuota yang dibutuhkan

oleh Partai Politik; pengaruh orang-orang terdekat, di antaranya pengaruh dari suami.

Berdasarkan hasil penelitian anggota legislatif perempuan diperoleh data yang suaminya

mantan kepala desa dua orang, istri pengusaha satu orang, istri anggota Komisi

Pemilihan Umum satu orang, dan istri pejabat di Pemda Kabupaten Jembrana satu

orang. Hal ini juga memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan

anggota legislatif perempuan untuk melenggang ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Jembrana. Modal simbolik, seperti prestise, status, dan otoritas,

jabatan, gelar, status tinggi, nama besar keluarga yang dimiliki oleh sang suami

mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mengantarkan keterpilihan istri-istrinya

menjadi anggota legislatif. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah

legislatif merupakan pseudo gender, gender yang semu atau gender palsu.

Temuan kedua, keterbatasan modal seperti modal ekonomi, sosial, budaya, dan

simbolik yang dimiliki oleh anggota legislatif perempuan di Kabupaten Jembrana

mempengaruhi pergulatan politiknya di lembaga legislatif untuk memperjuangkan

kepentingan konstituennya. Dari sisi ekonomi secara umum dalam sistem kekeluargaan

di Bali modal ekonomi lebih dominan dikuasai oleh laki-laki, tanpa bantuan modal

ekonomi dari suami sulit bagi perempuan untuk bertarung dalam hajatan pemilihan

umum legislatif. Modal sosial yang dimiliki juga sangat terbatas seperti pengalaman

berorganisasi yang pernah dilakukan sangat terbatas, baik pengalaman dalam bidang

organisasi sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang politik. Demikian juga halnya

dengan modal budaya dan modal simbolik, sebagian besar legislator perempuan di

Kabupaten Jembrana jebolan Sekolah Menengah Atas, satu lulusan D-3 dan satu orang

tamatan S-1. Keterbatasan modal yang dikuasai oleh kaum perempuan yang duduk

dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana berimplikasi kepada jabatan atau

kedudukan yang diperoleh di berbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah kabupaten Jembrana. Tidak ada seorang pun anggota legislatif perempuan yang

xviii

berhasil merebut posisi strategis seperti ketua, wakil ketua baik di fraksi maupun di alat

kelengkapan dewan bahkan alat kelengkapan dewan seperti Badan Anggaran, Badan

Kehormatan tidak ada satu pun anggota legislatif perempuan yang menempati posisi

tersebut. Demikian juga di dalam anggota Komisi, dari tiga komisi yang ada

perempuan lebih banyak berada di Komisi A yakni berjumlah empat orang, Komisi B

ada dua orang; sedangkan Komisi C yang membidangi masalah pembangunan tidak ada

anggota perempuan. Penempatan jabatan strategis di dalam kelengkapan dewan

merupakan hak partai politik melalui fraksi yang ada di lembaga legislatif. Kader-kader

partai politik yang memegang jabatan strategis di partai politik yang berhasil menjadi

anggota legislatif akan menempati jabatan strategis terutama jabatan yang dipandang

sebagai jabatan “basah” yang tujuannya untuk menggalang dana bagi partai.

Temuan ketiga, penilaian masyarakat terhadap kinerja anggota legislatif

khususnya legislator perempuan dapat dipilah menjadi dua, yakni penilaian anggota

masyarakat biasa dan dari tokoh-tokoh masyarakat. Anggota masyarakat menilai

anggota legislatif perempuan telah memperjuangkan konstituennya karena dilihat dari

bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, sedangkan tokoh

masyarakat menilai keberhasilan anggota legislatif perempuan dari kinerjanya terutama

keberhasilannya dalam menemukan permasalahan yang ada di masyarakat dan ikut

menawarkan alternatif pemecahannya. Hal ini masih jarang dilakukan sehingga

intensitas hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya belum berjalan

maksimal.

Berdasarkan simpulan di atas ada beberapa saran yang disampaikan. Pertama,

pemerintah, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi

hendaknya bekerja sama menyusun program-program yang responsif gender dan

memberikan pendidikan politik yang memadai untuk memberdayakan kaum perempuan

dalam berbagai sektor kehidupan khususnya dalam bidang politik. Kedua, DPRD harus

menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat merasa terpanggil untuk

menyalurkan aspirasinya melalui berbagai media yang ada. Selama ini masih terkesan

bahwa masyarakat khususnya dari kalangan perempuan enggan untuk menyampaikan

aspirasinya karena masih terbatasnya media yang ada sebagai arena untuk

berkomunikasi dengan para wakilnya khususnya anggota DPRD perempuan. Oleh

xix

karena itulah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat menyampaikan asiprasi maka

anggota DPRD perempuan perlu melakukan 1) forum-forum dialog dengan Lembaga

Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap permasalahan perempuan. LSM ini biasanya

sangat memahami kondisi dan permasalahan perempuan yang ada di wilayahnya. Dari

dialog tersebut akan menghasilkan masukan dan aspirasi masyarakat yang

sesungguhnya. Jangan menganggap LSM sebagai pengganggu kemapanan atau sebagai

musuh, jadikan LSM sebagai mitra kerja. 2) Anggota DPRD hendaknya selalu

mentradisikan dengar pendapat, setiap kebijakan atau keputusan yang akan dikeluarkan

terlebih dahulu harus melakukan hearing dengan masyarakat atau konstituennya

sehingga keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan tidak mendapat tentangan atau

resistensi dari masyarakat. 3) Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD tidak boleh menjauh

dengan rakyat, sebaliknya mereka harus selalu dekat dengan rakyat. Anggota DPRD

harus sadar bahwa dia merupakan wakil rakyat, oleh karena itu harus selalu

memperjuangkan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat harus didukung dan

dikembangkan dengan demikian akan terwujud demokrasi di tingkat lokal.

Ketiga, anggota DPRD perempuan hendaknya bersikap asertif, artinya bersikap

tegas, sopan dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pendapatnya. Kepribadian

yang asertif adalah kepribadian yang tanggap dan peka dalam menjawab realitas

kekinian. Perempuan yang tidak tanggap akan mengalami kendala dalam berkompetisi.

Sikap asertif didukung oleh enam hal, yakni berani, berlatih bertanya dan berpendapat,

mencari dan mengolah informasi, tanggung jawab, empati, dan analisis diri.

xx

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM………………………………………………....... ii

HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………… iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI............................................................... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH...……………………………………………..... vi

ABSTRAK...…………………………………………………………….......... ix

ABSTRACT...................................................................................................... xi

RINGKASAN DISERTASI.……………………………………………...... xiii

DAFTAR ISI………………………………………………………………... xxi

DAFTAR TABEL...................................................................................... xxvi

DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xxvii

DAFTAR SINGKATAN............................................................................. xviii

GLOSARIUM............................................................................................... xxix

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xxxii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………… 12

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………. 13

1.3.1 Tujuan Umum …………………………………. 13

1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………. 14

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………… 14

xxi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN…………………………………………… 16

2.1 Kajian Pustaka………………………………………………….... 16

2.2 Konsep……………………………………………………… 32

2.2.1 Pergulatan Politik…………………………………. 33

2.2.2 Perempuan …...…………………………………… 35

2.2.3 Lembaga Legislatif……………………………….. 37

2.2.4 Era Reformasi…………………………………….. 37

2.3 Landasan Teori……………………………………………. 40

2.3.1 Teori Strukturalisme Generatif…………………… 41

2.3.2 Teori Wacana Relasi Kuasa dan Pengetahuan…… 46

2.3.3 Teori Posfeminisme……………………………….. 48

2.3.4 Teori Hegemoni…………………………………… 54

2.4 Model Penelitian…………………………………………… 58

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 63

3.1 Rancangan Penelitian………………………………………. 63

3.2 Lokasi Penelitian……………………………………............. 66

3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………… 67

3.4 Teknik Penentuan Informan………………………………... 68

3.5 Instrumen Penelitian………………………………………... 69

3.6 Teknik Pengumpulan Data………………………….............. 70

3.7 Teknik Analisis Data……………………………………….. 71

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……………………… 72

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN..................... 74

4.1 Kondisi Geografis.………………………….............................. 74

xxii

4.2 Kondisi Penduduk...................................................................... 81

4.3 Kondisi Sosial Politik Masyarakat............................................. 84

4.4 Pergulatan Perempuan Bali Dalam Sejarah................................. 89

BAB V BENTUK-BENTUK PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI

DPRD KABUPATEN JEMBRANA............................................ 103

5.1 Rezim Wacana Dalam Sejarah Politik Indonesia....................... 106

5.1.1 Kedudukan Kaum Perempuan Dalam Fraksi…………….... 116

5.1.2 Posisi Pimpinan Sebagai Jabatan Strategis.............................. 122

5.1.3 Kedudukan Legislator Perempuan Dalam Badan Musyawarah.. 126

5.1.4 Kedudukan Perempuan Dalam Komisi…………………....... 128

5.1.4.1 Komisi A............................................................................... 130

5.1.4.2 Komisi B............................................................................... 142

5.1.4.3 Komisi C............................................................................... 147

5.1.5 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Legislasi Daerah......... 152

5.1.6 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Anggaran.................... 164

5.1.7 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Kehormatan................ 169

5.1.8 Kedudukan Perempuan Dalam Panitia Khusus...................... 174

5.2 Pergulatan Politik Perempuan Di Luar Lembaga Legislatif..... 177

5.2.1 Reses Sebagai Instrumen Relasi Anggota Dewan dengan

Konstituen........................................................................... 179

5.2.1.1 Bidang Infrastruktur............................................................ 182

5.2.1.2 Bidang Sosial Budaya.......................................................... 188

5.2.1.3 Bantuan Sosial..................................................................... 192

5.2.1.4 Bidang Kesehatan................................................................. 193

5.2.1.5 Bidang Administrasi Kependudukan................................... 196

xxiii

5.2.1.6 Bidang Pertanian dan Peternakan......................................... 198

5.2.1.7 Bidang Pendidikan................................................................ 200

5.2.2 Kunjungan Kerja Dalam Daerah dan Luar Daerah..................... 207

5.2.3 Konsultasi/Koordinasi sebagai Upaya Meningkatkan

Kinerja DPRD.......................................................................... 211

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF

KABUPATEN JEMBRANA............................................................... 215

6.1 Habitus Kolektif Perempuan Bali ………....................................... 216

6.2 Faktor Struktur Objektif…………………………………….......... 218

6.2.1 Realitas Sosial Politik …………………………………………. 221

6.2.2 Realitas Budaya.……………………………………………....... 244

6.2.3 Realitas Sosial Ekonomi.............................................................. 254

6.2.4 Realitas Globalisasi..................................................................... 261

BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN

DI LEMBAGA LEGISLATIF BAGI PERGERAKAN

KESETARAAN GENDER DI KABUPATEN JEMBRANA...... 266

7.1 Implikasi Pergulatan Politik Perempuan Terhadap Pergerakan

Kesetaraan Gender di Kabupaten Jembrana............................... 267

7.1.1 Dalam Bidang Sosial........................................... …………….. 268

7.1.2 Dalam Bidang Politik........................................... …................. 275

7.1.3 Dalam Bidang Ekonomi........................................... …............. 281

7.2 Makna Pergulatan Politik Perempuan pada Lembaga

Legislatif dalam Perspektif Gender………………….................... 296

7.2.1 Makna Partisipasi dan Mobilisasi............................................. 298

xxiv

7.2.2 Makna Kesetaraan.................................................................... 306

7.2.3 Makna Harga Diri.................................................................... 324

BAB VIII PENUTUP ……………………………………....................... 335

8.1 Simpulan.......................................................................... …….... 335

8.2 Temuan Penelitian.......................................................................... 337

8.3 Saran................................................................................ ….…... 340

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..….. 343

LAMPIRAN………………………………………………………...….… 357

xxv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota BerdasarkanJenis Kelamin Hasil Pemilu Tahun 1999, 2004, dan 2009……………..7

Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan, Desa, dan Kelurahan di KabupatenJembrana……………………………………………………………….76

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana diperinci Per-Kecamatan…82

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana Berdasarkan Agama……..83

Tabel 4.4 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 di Kabupaten Jembrana…85

Tabel 5.1 Fraksi-Fraksi di DPRD Kabupaten Jembrana Periode 2009-2014…118

xxvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Pulau Bali………….………………………………………74

Gambar 4.2 Peta Kabupaten Jembrana……………………………………....75

xxvii

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

BDL : Bali Darma Laksana

BK : Badan Kehormatan

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPR-GR : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong

IPU : International Parlemet Union

KPU : Komisi Pemilihan Umum

LKP Lembaga Kursus dan Pelatihan

MVS : Meisjes Vervolgschool

NVS : Normaal Vervolgschool

PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa

PBS : Putri Bali Sadar

PGGD : Persatoean Goeroe-Goeroe Denpasar

PKS : Partai Keadilan Sejahtera

PWI : Persatuan Perempuan Indonesia

RIS : Rebublik Indonesia Serikat

SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

UU : Undang-Undang.

xxviii

GLOSARIUM

alangkahi karang hulu : perkawinan perempuan dari triwangsa dengangolongan jaba

amada-mada sang ratu : menyamai raja

asumundung : perkawinan perempuan dari golongan brahmanadan ksatriya dengan laki-laki golongan di bawahnya

awig-awig : aturan tertulis di Desa Adat

ayahan muani : pekerjaan untuk laki-laki

ayahan luh : pekerjaan untuk perempuan

banjar : organisasi sosial tradisional orang Bali

belengih : cengeng, sering menangis

beli : sebutan untuk kakak laki-laki dalammasyarakat Bali

dadia :pengelompokan masyarakat berdasarkan keturunan,nama pura keluarga yang masih ada hubungankeluarga.

huwelijks recht : adat perkawinan

luh : sebutan untuk perempuan Bali

luh luwih : perempuan sempurna

karya : upacara suci umat Hindu.

krama istri : warga desa adat perempuan

kawitan : asal-usul keturunan suatu kelompok masyarakat

luh pawakan tanah : perempuan dilambangkan sebagai tanahmancak : berhias

madarma swaka : berkunjung untuk mendapat dukungansecara santun

xxix

madana punia : menyumbang dengan suka rela

manak : melahirkan anak

manak salah : perempuan yang melahirkan anak kembar laki-lakidan perempuan

masimakrama : silahturahmi

memanesi : menimbulkan kekacauan

mepadik : dipinang

muani pawakan bibit : laki-laki dilambangkan sebagai penghasil benih

ngalih pangkat : mencari jabatan

pradana : hubungan kekeluargaan dari garis keturunanPerempuan

prebekel :jabatan setingkat kepala desa

purusa : Hubungan kekeluargaan dari garis keturunan laki-laki

puri : pusat kerajaan, tempat tinggal rajadan keluarganya

pura : tempat suci bagi umat Hindu

pemelastian : upacara pembersihan bagi umat Hindu

pengempon : kelompok warga yang mempunyai kewajibanuntuk melaksanakan tugas-tugas di suatu pura.

pusung tagel : sanggul rambut perempuan Bali

putrika : proses perubahan status seorangperempuan menjadi laki-laki

sangkepan : pertemuan warga masyarakat di Bali

schoolopziener : pengawas sekolah

xxx

seka : organisasi sosial yang bergerak dalam lapangankehidupan tertentu

sentana : anak/keturunan

setra : kuburan

soroh : kelompok-kelompok warga berdasarkan keturunan

subak : organisasi pengairan dalam bidang pertaniandi Bali

swanita : telur perempuan

tatadan : bekal hidup dari orang tua kepada anak perempuan

tempek : kelompok masyarakat berdasarkan wilayah tempatTinggal dalam suatu banjar.

triwangsa : sebutan untuk tiga golongan brahmana, ksatriya,wesia

tunggalan sanggah : satu kuil keluarga

xxxi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar Informan……………………………………………. 357

2. Daftar Pertanyaan………………………………………….. 360

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara normatif saat ini sesungguhnya tidak ada perbedaan perlakuan

berdasarkan jenis kelamin bagi setiap warga negara untuk berperan dalam

kancah politik. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan berbagai

kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah tidak membedakan akses

antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam bidang politik. Undang-

Undang Dasar 1945 (pasal 27) memberikan kedudukan yang sama bagi setiap

warga negara Indonesia di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan hak

yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta tanggung jawab

yang sama pula dalam usaha pembelaan negara, tanpa membedakan antara

warga negara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1952 Indonesia meratifikasi

Konvensi PBB mengenai hak politik perempuan ( UN Convention on Political

Rights of Women) melalui UU No. 68 Tahun 1968. Undang-undang ini

memberikan perempuan untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif

negara.

Ratifikasi Pemerintah Republik Indonesia atas Konvensi PBB tentang

Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination

of All Forms of Discrimination Against Woman) melalui Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1984, menunjukkan komitmen yang kuat dari Pemerintah RI

untuk menghapus segala pembedaan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum

2

perempuan. Pengesahan terhadap Konvensi Wanita mengandung makna

bahwa negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi, mengutuk diskriminasi,

negara bersepakat menghapus diskriminasi dengan segala cara yang tepat tanpa

ditunda-tunda, dan aparat negara dari pusat sampai daerah dituntut untuk ikut

bertanggungjawab dalam usaha menghapus diskriminasi (Ariani, 2005).

Menurut pasal 1 Konvensi Wanita pengertian diskriminasi terhadap wanita

sebagai berikut:

Diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan, ataupembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruhatau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatanatau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya olehwanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antarapria dan wanita.

Dalam upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan

pemerintah Republik Indonesia menerbitkan dua peraturan penting yang dapat

digunakan dalam mengkaji hak-hak perempuan. Pertama, Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan hak asasi

perempuan dalam bidang profesi pasal 49 ayat 1 menyatakan bahwa wanita

berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi

sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kedua, instruksi

Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang isinya

Presiden menginstruksikan kepada para Menteri, kepada Lembaga Pemerintah

Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,

Panglima Tentara Nasional Indonesia, Bupati/Walikota, untuk mengarusutamaan

gender ke dalam semua proses pembangunan nasional. Tujuan pengarusutamaan

3

gender adalah menarik permasalahan perempuan ke dalam arus utama

pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai

hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki (Pusat Kajian Wanita dan

Gender, 2004: x).

Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik praktis,

pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk perundang-undangan. Dalam

undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-

undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan

perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk

di dalam parlemen. Dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, bahkan

disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan

pada kepengurusan parpol tingkat pusat merupakan salah satu persyaratan parpol

untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dalam Pasal 53 UU disebutkan bahwa

daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen

keterwakilan perempuan (Undang-Undang No. 10 Tahun 2008: 8, 31).

Ketetapan atas UU tersebut di atas sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu,

yang didasarkan UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus

termaktub di pasal 65 ayat 1 tertulis Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD,

DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada ayat 1 disebutkan setiap

Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan

memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pada ayat 2,

setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-

4

banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada

setiap Daerah Pemilihan. Pada ayat 3, dinyatakan, pengajuan calon anggota

DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan calon anggota DPR

disampaikan kepada KPU; calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada

KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota

disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Menanggapi undang-undang tersebut, Guru besar Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Wayan P. Windia mengatakan, bahwa perempuan dalam

kehidupan sehari-hari selama ini sudah terbiasa bergelut dengan dunia politik,

tanpa mengenyampingkan perannya dalam kehidupan keluarga maupun Desa

Adat. Hal itu terkait dengan ketentuan undang-undang telah memberikan ruang

kepada mereka untuk terjun dalam dunia politik, yang selama ini didominasi

para pria. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan, setiap partai politik

yang bertarung dalam pemilu harus menyediakan kuota 30 persen untuk

perempuan sebagai calon legislatif (caleg). Peluang tersebut di atas mulai

dimanfaatkan secara maksimal, bahkan terkesan parpol "memaksa" perempuan

Bali untuk ikut dalam pertarungan merebut kursi di DPRD kabupaten/kota,

provinsi maupun DPR-RI (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).

Sekalipun ada kesan “dipaksa,” namun dengan adanya peluang tersebut di

atas, beberapa tahun ke depan kaum perempuan akan bisa menduduki jabatan

strategis bukan hanya dalam sektor swasta, tetapi juga di bidang politik,

pemerintah. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki keunggulan antara lain

5

berupa penampilan, kemampuan intelektual, komunikasi serta keaktifan dalam

organisasi kemasyarakatan. Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan

perguruan tinggi, dan kesadaran tentang etos kerja yang kuat, maka modal

perempuan untuk bersaing di pentas politik menjadi semakin kuat. Dengan

demikian, pada akhirnya mereka akan bisa duduk sejajar dengan kaum laki-laki

dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat (AntaraNews.com/ diakses 9

Oktober 2015).

Wayan P. Windia mendasari pendapatnya itu dengan pengalaman dan

kenyataan selama ini, bahwa perempuan sanggup melakoni semua bidang

pekerjaan yang produktif secara profesional. Sekali pun pada kenyataan pada

periode sebelumnya (pemilu 2004), kuota tersebut belum terpenuhi, namun

mereka tidaklah gagal pada Pemilu-Pemilu sebelumnya. Berbeda dengan

kondisi sebelumnya, pada Pemilu 2009 sekitar 28 caleg perempuan lintas parpol

berhasil menembus kursi wakil rakyat, 4 orang di antaranya ke DPRD Bali dan

24 orang di DPRD Kabupaten/kota (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).

Keempat perempuan yang lolos ke kursi DPRD Bali hasil Pemilu 2009 tersebut

adalah, satu, Hening Puspita Rini dari PDIP daerah pemilihan Kabupaten

Bangli; dua, Tutik Kusuma Wardhani (Partai Demokrat) daerah pemilihan

Kabupaten Buleleng; tiga, Ni Made Sumiati (PDIP) daerah pemilihan

Kabupaten Karangsem; empat, dan Utami Dewi Suryadi (Partai Demokrat)

daerah pemilihan kota Denpasar. Mengingat jumlahnya hanya empat orang,

seperti dikatakan oleh Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)

6

Provinsi Bali Dewa Ayu Sri Wigunawati, kuota untuk perempuan di DPRD itu

hanya tercapai 7,5%. (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015).

Sekalipun belum mencapai kuota, namun jumlah tersebut menunjukkan

adanya peningkatan partisipasi perempuan Bali dalam politik, sebab pada pemilu

1999, tidak ada satu pun yang duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Bali.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan tiga kali pemilu sebelumnya (1997, 1992,

dan 1987), terjadi kemerosotan, sebab pada periode tersebut anggota perempuan

dalam DPRD Provinsi Bali, masing-masing mencapai lima orang. Akan tetapi

masih seimbang dengan anggota perempuan DPRD Bali hasil 1982. Jumlah ini

50% lebih tinggi dari hasil pemilu tahun 1977 dan 1971, yang hanya

menghasilkan dua orang anggota perempuan dalam DPRD Bali ( DPRD

Provinsi Bali, KPU Provinsi Bali).

Fenomena tersebut di atas sangat menarik jika ditinjau dari sudut

pandang Cultural Studies. Daya tariknya terletak pada masih relatif besarnya

peran habitus kolektif masyarakat Bali, bahwa tujuan hidup perempuan adalah

hidup berkeluarga, mendampingi suami dan membesarkan anak-anak. Sekalipun

demikian, diwakili oleh Wayan P. Windia, kaum laki-laki masih memberikan

harapan dan bahkan sanjungan terhadap kemampuan perempuan Bali dalam

dunia politik. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, sanjungan dan harapan

tersebut tidak mencapai sasaran karena salah seorang dari anggota perempuan

DPRD Bali tersebut, Hening Puspita Rini, terbukti secara sah melakukan

korupsi, sehingga dikenakan hukuman penjara selama 1,5 tahun

(Antaranews.com diakses 9 Oktober 2014).

7

Salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur partisipasi

laki-laki dan perempuan dalam perumusan kebijakan publik adalah keterlibatan

laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Sekalipun belum ada

publikasi mengenai data kuantitatif partisipasi laki-laki dan perempuan dalam

proses penjaringan dan pencalonan anggota legislatif di Provinsi Bali, namun

hasil dari proses politik tersebut dapat diketahui dari proporsi keanggotaan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan Provinsi Bali

berdasarkan jenis kelamin hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 seperti terlihat

dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD di Provinsi, Kabupaten/Kota BerdasarkanJenisKelamin Hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 (persen)

KABUPATEN/

KOTA/

PROVINSI

HASIL PEMILU 1999 HASIL PEMILU 2004 HASIL PEMILU 2009

L

(%)

P

(%)

JML

(%)

L

(%)

P

(%)

JML

(%)

L

(%)

P

(%)

JML

(%)

BULELENG

JEMBRANA

TABANAN

BADUNG

DENPASAR

GIANYAR

BANGLI

KLUNGKUNG

KARANGASEM

BALI

44 (97,78)

30 (100,00)

35 (100,00)

33 (94,29)

40 (100,00)

35 (100,00)

25 (100,00)

22 (91,67)

34 (97,15)

55 (100,00)

1(2,22)

0 (0)

0 (0)

2 (5,71)

0 (0)

0 (0)

0 (0)

2 (8,33)

1 (2,85)

0 (0)

45 (100,00)

30 (100,00)

35 (100,00)

35 (100,00)

40 (100,00)

35 (100,00)

25 (100,00)

24 (100,00)

35 (100,00)

55 (100,00)

43 (95,56)

28 (93,33)

38 (95,00)

39 (97,50)

42 (93,33)

39 (97,50)

28 (93,33)

25 (100,00)

33 (94,28)

51 (92,72)

2 (4,44)

2 (6,67)

2 (5,00)

1 (2,50)

3 (6,67)

1 (2,50)

2 (6,67)

0 (0)

2 (5,72)

4 (7,28)

45 (100,00)

30 (100,00)

40 (100,00)

40 (100,00)

45 (100,00)

40 (100,00)

30 (100,00)

25 (100,00)

35 (100,00)

55 (100,00)

41 (91,11)

24 (80,00)

38 (95,00)

39 (97,50)

44 (97,78)

37 (92,50)

37 (92,50)

22 (88,00)

38 (95,00)

51 (92,72)

4 (8,89)

6 (20,00)

2 (5,00)

1 (2,5)

1 (2,22)

3 (7,50)

3 (7,50)

3 (12,00)

2 (5,00)

4 (7,28)

45 (100,00)

30 (100,00)

40 (100,00)

40 (100,00)

45 (100,00)

40 (100,00)

40 (100,00)

25 (100,00)

40 (100,00)

55 (100,00)

JUMLAH 353 (98,32) 6 (1,68) 359(100,00)

366 (95,06) 19(4,94)

385(100,00)

372(93,00)

28 (7,00) 400(100,00)

Sumber: Bali dalam Angka,2003; KPU Provinsi Bali,2004: KPUProvinsi Bali 2009

8

Data yang tercatat pada dokumen Bali dalam Angka (2003), KPU

Provinsi Bali (2004), dan KPU Provinsi Bali (2009) menunjukkan bahwa

keterwakilan perempuan dalam keanggotaan DPRD hasil dari tiga Pemilu

tersebut jauh lebih sedikit daripada laki-laki. Hasil Pemilu 1999 secara

keseluruhan dominasi laki-laki dalam keanggotaan DPRD sangat menonjol, dari

359 jumlah anggota DPRD di seluruh Bali hanya 6 orang anggota DPRD

perempuan, bahkan pada sebagian besar kabupaten/kota (Jembrana, Tabanan,

Denpasar, Gianyar dan Bangli) sama sekali tidak ada anggota DPRD

perempuan; demikian juga keanggotaan DPRD Provinsi Bali. Ketimpangan

gender yang terjadi dalam hasil Pemilu 1999 sangat tinggi dengan perbandingan

98,32 % anggota dewan laki-laki dan 1,68 % anggota dewan perempuan. Pada

hasil Pemilu 2004 walaupun telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan

dalam keanggotaan legislatif, secara keseluruhan ketimpangan gender masih

sangat tajam. Dari 385 jumlah anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi hanya

terdapat 19 orang anggota perempuan, artinya ketimpangan gender juga masih

sangat tinggi dengan perbandingan 95,06 % anggota dewan laki-laki dan 4,94 %

anggota dewan perempuan.

Dalam menghadapi pemilu 2009 berbagai kelompok masyarakat yang

peduli terhadap politik perempuan berupaya untuk meningkatkan keterwakilan

perempuan dalam legislatif. Hal ini tercermin dalam perubahan yang terjadi

dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Dalam

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu dan Undang-Undang No. 2

9

tahun 2008 tentang partai politik telah mengakomodasi masukan reformatif dari

masyarakat sipil untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga

legislatif. Dalam undang-undang partai politik terdapat perubahan mendasar dari

undang-undang sebelumnya, seperti syarat pembentukan partai politik

menyertakan 30% keterwakilan perempuan; kepengurusan partai politik

menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan; partai politik

melakukan pendidikan politik bagi masyarakat dengan memperhatikan keadilan

dan kesetaraan gender. Dalam Undang-Undang pemilu terdapat ketentuan yang

memberi peluang kepada perempuan, seperti daftar calon legislatif yang

diajukan oleh partai politik memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan;

dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-

kurangnya 1 (satu) bakal calon perempuan; KPU akan mengumumkan

persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik

di media massa.

Ketentuan yang telah disebutkan di atas memberikan harapan baru

kepada perempuan untuk meningkatkan keterwakilannya di lembaga legislatif.

Harapan untuk meningkatkan keterwakilan secara signifikan dalam lembaga

legislatif provinsi maupun kabupaten/kota di Bali menjadi buyar dengan

keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Desember 2008 yang

menetapkan bahwa pemilihan anggota legislatif ditentukan oleh suara terbanyak

dalam satu daerah pemilihan. Hasil pemilu 2009 menunjukkan terjadi

peningkatan jumlah keterwakilan perempuan walaupun jauh dari harapan yang

ideal yakni 30%. Perempuan baru dapat merebut 28 kursi dari 400 kursi yang

10

tersedia di lembaga legislatif provinsi dan kabupaten/kota seluruh Bali, artinya

keterwakilan perempuan baru mencapai 7%, sedangkan laki-lakinya

menempatkan wakilnya sebanyak 372 orang atau 93 %.

Dilihat dari sudut pandang Cultural Studies, uraian tersebut di atas

memperlihatkan adanya dominasi laki-laki dalam kesertaan perempuan di dunia

politik, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolis atau

kekerasan yang tidak kasat mata. Akan tetapi, perempuan yang merupakan

korban dari kekerasan simbolis tersebut tidak pernah melihat atau

merasakannya, bahkan justru dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar.

Hal itu sejalan dengan ketika perempuan menganggap tinggal di rumah untuk

mengurus anak –anak dan rumah tangga sebagai sesuatu yang sudah semestinya

(Haryatmoko. 2003: 12).

Sementara pada diri perempuan Bali, selain hal yang disebutkan di atas,

mereka juga mengalami kekerasan simbolis melalui modus organisasi sosial

(struktur kelas sosial dan lembaga-lembaga) yang mengontrol kaum perempuan

dan menempatkannya sebagai subordinasi laki-laki dalam setiap lini kehidupan,

termasuk pula di dalamnya praktik keagamaan, terutama tradisi-tradisi, hukum

(awig-awig atauran desa adat), sistem kekeluargaan (perkawinan dan

perwarisan), dan media (norma-norma ketaksetaraan yang tersusun rapi dalam

lontar-lontar) (Nyoman Wijaya, 2004: 54-67).

Pada umumnya hubungan sosiokultural antara laki-laki dan perempuan

dalam masyarakat Bali memperlihatkan hubungan yang subordinatif, artinya

kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini merupakan dampak

11

dari ideologi patriarki yang mengutamakan laki-laki dalam segala lini kehidupan

( Shiva dan Mies, 2005). Ideologi patriarki tidak saja menempatkan perempuan

sebagai kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat Bali nanum juga

menempatkan laki-laki sebagai penguasa dalam rumah tangga. Hal ini tercermin

dalam kedudukan laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Posisi laki-laki sebagai

kelas atas sangat terkait dengan pelabelan yang diberikan kepada laki-laki

sebagai mahluk yang aktif/kreatif, rasional/pikiran, dan makluk budaya.

Sebaliknya perempuan adalah pasif, emisional, dan makluk alamiah/natural.

Gagasan perempuan memiliki karakteristik emosional tercermin dalam istilah

luh yang artinya air mata. Menurut budaya Bali perempuan adalah luh, belengih,

cengeng atau emosional sehingga tidak layak sebagai pemimpin, sedangkan laki-

laki memiliki karaskteristik aktif, kreatif, rasional, dan pecipta budaya sehingga

sangat cocok sebagai pemimpin (Atmadja, 2008: 6).

Hubungan gender yang telah diuraikan di atas memperlihatkan laki-laki

menjadi pemilik kuasa yang menentukan arah wacana pengetahuan masyarakat.

Hubungan laki-laki dan perempuan dikonstruksi berdasarkan hubungan

dominasi-subordinasi, sehingga memberikan laki-laki peluang untuk mengontrol

perempuan, baik yang menyangkut dirinya sendiri, kelembagaan, simbolik,

maupun yang berkaitan dengan materi. Bentuk relasi ini bekerja dalam sistem

sosial sehingga melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan

perempuan (Foucault, 2000).

Adanya dominasi laki-laki tersebut akhirnya mempengaruhi kinerja

perempuan dalam politik seperti yang terlihat di DPRD Jembrana. Persentase

12

keterwakilan perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana belum

memenuhi kuota 30 %. Partisipasi laki-laki tampak masih begitu kuat. Apabila

dicermati perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif

kabupaten/kota di Bali hasil pemilu tahun 2009 ada fenomena menarik

khususnya di Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga

legislatif Kabupaten Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi

dibandingkan dengan kabupaten lain yakni dari 2 orang perempuan hasil pemilu

tahun 2004 menjadi 6 orang hasil pemilu tahun 2009. Enam orang yang berhasil

menduduki kursi legislatif berasal dari berbagai partai politik yaitu Yuhal

Waidah dari Partai Persatuan Pembangunan, Ni Ketut Mertiasih dari Partai

Indonesia Baru, Siti Ulfa dari Partai Kebangkitan Bangsa, Ni Made Sri Sutharmi

dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ketut Tresnawiti Bulan dan Ni

Nengah Rasmini dari Partai Demokrat. Tiga partai politik, yakni Partai

Persatuan Pembangunan, Partai Indonesia Baru, dan Partai Kebangkitan Bangsa

hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil mengalahkan calon

laki-laki. Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif

Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20%, persentase yang cukup tinggi

dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali.

Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi

dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai

30%. Mereka sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara

internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun

dalam kenyataannya perjuangan yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan

13

politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya,

tetap saja peran politik yang dapat mereka mainkan masih jauh kalah daripada

politikus laki-laki. Pergulatan bukanlah suatu konsep yang sudah dimengerti

(baku) dalam dunia akademik, sehingga bisa dijelaskan dalam berbagai cara.

Oleh karena dalam studi ini, dengan mengacu pada pendapat tim peneliti

Yayasan Interseksi, pergulatan diartikan suatu proses interaksi yang masih dan

akan terus terjadi antara perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini muncul

suatu model yang dalam Cultural Studies disebut dengan kontestasi, resistensi,

dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005 : 50).

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan tersebut di atas memperlihat adanya hubungan saling

terkait antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya

sebagai kelompok minoritas dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada

ketidaksesuaian antara modal budaya yang dimiliki oleh perempuan dengan

ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial politik di lembaga legislatif.

Sekalipun sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal

maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, dalam kenyataannya

partisipasi mereka jauh lebih rendah dari pada anggota DPRD laki-laki sehingga

belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal, terutama yang

menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan dalam kehidupan politik, sosial,

ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Akan tetapi hal ini baru merupakan

simpulan sementara. Agar dapat menjadi sebuah simpulan, maka perlu

dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut:

14

4. Bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif

Kabupaten Jembrana pada era reformasi ?

5. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga

legislatif Kabupaten Jembrana pada era Reformasi ?

6. Apa implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif

Kabupaten Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam studi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami pergulatan perempuan

dalam dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana.

Dalam pergulatan tersebut, sekalipun persentase keterwakilan perempuan di

lembaga legislatif Kabupaten Jembrana belum memenuhi kuota 30% namun

harapan masyarakat cukup besar terutama dalam menentukan berbagai kebijakan

yang mempunyai implikasi terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat

khususnya bagi kaum perempuan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Di samping tujuan umum seperti yang telah diungkapkan di atas, penelitian ini

juga mempunyai tujuan khusus yaitu:

15

1. Menjelaskan bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif

Kabupaten Jembrana pada era reformasi.

2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan secara mendalam faktor-faktor yang

mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten

Jembrana pada era reformasi.

3. Menjelaskan implikasi dan makna pergulatan politik yang dilakukan oleh

perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian tentu mempunyai harapan yang jelas dan terarah, sehingga

hasil yang diperoleh dari penelitian itu akan bermanfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis. Hasil penelitian tentang aktivitas perempuan dalam

dunia politik diharapkan akan bermanfaat:

1) Manfaat teoretis; yakni menambah khasanah pengetahuan tentang

perempuan khususnya di Bali yang selama ini belum mendapat perhatian

yang memadai dari para peneliti khususnya dalam bidang ilmu sosial

budaya.

2) Manfaat praktis; yakni dengan memahami pergulatan perempuan dalam

dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif, akan dapat digunakan

oleh lembaga pemerintah dan instansi terkait untuk menyusun suatu strategi

yang lebih baik bagi perjuangan kaum perempuan di masa yang akan datang.