achondroplasia
TRANSCRIPT
ACHONDROPLASIA
I. PENDAHULUAN
Achondroplasia merupakan bentuk dwarfism terbanyak yang
memberikan gambaran perawakan tubuh yang pendek. Achondroplasia
dialami oleh lebih dari 250.000 orang di seluruh dunia. Dimana 95% pasien
memiliki mutasi yang sama pada gen Fibroblast Growth Factor Receptor 3
(FGFR3) dan sekitar 80% merupakan mutasi baru.(1,2)
Achondroplasia sudah diketahui sejak berabad-abad yang lalu,
hal ini dapat dilihat pada lukisan bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi.
Sejak dahulu, orang hanya mengetahui bahwa Achondroplasia merupakan
perawakan pendek saja namun, dengan adanya perkembangan ilmu dan
penelitian tentang Achondroplasia yang berkembang pesat 40 tahun
belakangan ini maka, pemahaman baru dalam hal temuan klinis, gambaran
radiologi, patofisiologi, dan komplikasi telah didapatkan. (1)
II. INSIDEN & EPIDEMIOLOGI
Insiden kelahiran dengan Achondroplasia diperkirakan sekitar
1/10.000 sampai 1/30.000 kelahiran dan lebih dari 90% kasus bersifat
sporadik. Achondroplasia merupakan penyebab perawakan pendek
terbanyak. (1,2)
Adapun angka kejadian lahirnya anak dengan Achondroplasia
meningkat seiring dengan meningkatnya usia ayah pada saat terjadi
konsepsi dimana, hal ini dihubungkan dengan kualitas dari sperma. (1,2)
III. ETIOLOGI
Adanya mutasi pada gen yang mengode Fibroblast Growth
Factor Receptor 3 (FGFR3) dan bersifat autosomal dominan. Sekitar 80%
mutasi merupakan mutasi baru yang terjadi sejak masa embrional. (1,3)
1
IV. ANATOMI & FISIOLOGI TULANG
Tulang dalam garis besarnya dibagi atas (4) :
1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia, fibula, ulna dan
humerus dimana daerah batas disebut diafisis dan yang berdekatan dengan
garis epifisis disebut metafisis. Didaerah ini merupakan suatu daerah yang
sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh karena di
daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak
mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan
pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan
tulang.
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang
karpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula dan
tulang pelvis.
Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut
korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan
diluarnya dilapisi periosteum. Periosteum pada anak lebih tebal daripada orang
dewasa, yang memungkinkan penyembuhan tulang pada anak akan lebih cepat
dibandingkan orang dewasa. Pada tulang panjang terdapat bagian-bagian khas
antara lain diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk
silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang
besar. (4)
Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup
luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifis adalah
daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak, dan bagian ini akan
menghilang pada tulang dewasa. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteri
2
nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan dari arteri-arteri inilah yang menentukan
berhasil atau tidaknya proses penyembuhan tulang yang patah.
Berdasarkan histologis, maka dikenal (Gambar 2) (4):
1. Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone)
Tulang ini pertama-tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada suatu
perkembangan embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi
tulang yang imatur dan pada umur satu tahun tulang imatur kemudian
secara perlahan-lahan menjadi tulang yang matur.
2. Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cotical bone, dense bone, compacta bone)
o Tulang trabekuler (cancellous bone, trabecular bone, spongiosa)
Proses pembentukan tulang imatur telah dimulai pada usia gestasi 8
minggu. Dimana pada saat tersebut tulang telah dibentuk dari struktur tulang
rawan (kondrosit). Seiring dengan waktu, terbentuklah vaskularisasi sehingga
memungkinkan suplai darah ke tulang imatur dan mengaktifkan fungsi
osteoblast untuk menyekresikan kompenon osteoid sehingga terjadi ossifikasi
(proses pengkakuan) primer dan menjelang kelahiran, osteoclast mengalami
aktivasi untuk membuat kanal-kanal medular. Setelah lahir, proses ossifikasi
terjadi pada daerah diafisis & kondrosit epifisis yang mengalami ossifikasi
terus-menerus hingga mencapai tinggi maksimum.(4)
Gambar 1: Pertumbuhan dan perkembangan tulang sejak embrional
hingga dewasa (dikutip dari kepustakaan 4).
3
Secara histologik, pada masa pertumbuhan, lempeng epifisis memiliki
zonazona yang berbeda berdasarkan maturitas tulangnya (Gambar 2)(5). Tulang
matur ditandai dengan sistem Havers yang memberikan kemudahan sirkulasi
darah melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan
lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding tulang imatur (Gambar 3
& 4). (4)
Gambar 2 : Gambaran histologi pada lempeng pertumbuhan tulang yang
mengalami proses ossifikasi enchondral. (1) Zona cadangan (2) Zona
proliferasi (3) Zona hipertrofi (4) Zona mineralisasi (5) Zona spongiosa
primer (dikutip dari kepustakaan 5).
Gambar 3 : Gambar 4 :
Makrostruktur tulang matur Mikrostruktur tulang matur
(dikutip dari kepustakaan 4) (dikutip dari kepustakaan 4)
4
V. PATOFISIOLOGI
Achondroplasia terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang
mengode Fibroblast Growth Factor Receptor 3 (FGFR3). Pada mamalia,
FGFRs terdiri dari 4 macam reseptor Tirosin Kinase (FGFR1-4) yang
memiliki afinitas yang berbeda-beda terhadap Fibroblast Growth Factors
(FGFs). Adapun FGF 1,2, 4, 8, dan memiliki afinitas tinggi untuk
mengaktifkan FGFR3. FGFs terdiri dari 18 protein struktural misalnya,
heparin-binding polypeptides yang memegang peranan pada pertumbuhan
dan differensiasi berbagai jenis sel yang berasal dari mesenkim dan
neuroektodermal. Selain itu, FGFs juga memenggaruhi kemotaksis,
angiogenesis, dan apoptosis sel tersebut. (1,2)
Pada keadaan normal, adanya akitivasi pada FGFR3 membuka
jalur STAT1, MAPK-ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya untuk
menginhibisi proliferasi kondrosit, sintesis matriks post-mitotik, dan
diferensiasi akhir (hipertrofi) sel. Dengan teraktvasinya FGFR3 maka,
teraktivasi pula C-type Natriuretic Peptide (CNP) melalui interaksi dengan
reseptornya, Natriuretic Peptide Receptor B (NPR-B). CNP menginduksi
Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) sehingga menginhibisi jalur
MAPK yang akhirnya akan menyebabkan proliferative dan pra-hipertrofi
pada zona lempeng pertumbuhan (1,2).
Gambar 4: Aktivasi FGFR3 oleh FGF membuka jalur STAT1, MAPK-
ERK, MAPK-p38, dan jalur lainnya serta, induksi CNP yang menghambat
jalur MAPK (dikutip dari kepustakaan 1).
5
Adanya mutasi pada FGFR3 menyebabkan aktivasi berlebih
pada FGRF3 sehingga menyebabkan hambatan pertumbuhan dan
diferensiasi pada kondrosit.(1)
VI. DIAGNOSIS
Gejala klinis
Achondroplasia ditandai dengan batang tubuh yang panjang dan
kecil serta ektremitas bawah, khususnya bagian proksimal yang pendek.
Pada kepala, ukuran cranium frontal besar sedangkan wajah lebih kecil
oleh karena mengalami hipoplastik karena berasal dari endokondrial
dasar cranium. Hiperekstensi terutama pada sendi lutut dan tangan.
Ektremitas atas juga pendek dengan jari-jari membentuk trisula (1,2,6).
Gibbus thorasikhus biasanya telah ada sejak lahir namun,
tampak lebih jelas pada usia 4 bulan. Hipotoni dari ringan hingga
sedang sering ditemukan pada bayi baru lahir. Selain itu, bayi sering
memiliki posisi abduksi pada sendi panggul saat dibaringkan. (1)
Gambar 5 : Tampilan fisik pada anak dengan achondroplasia
(dikutip dari kepustakaan 4)
6
Gambaran radiologi
Foto konvensional
Pada pemeriksaan foto konvensional, didapatkan (6,7,8) :
Pelebaran tulang cranium (kalvari) dengan bagian frontal yang
menonjol disertai hipoplasia midface (6).
Gambar 6: Gambar menunjukkan adanya pembesaran kalvaria
dengan bagian basis cranium yang mengecil disertai bagian
frontal cranium yang menonjol (dikutip dari kepustakaan 6).
Ekstremitas dan tulang rusuk yang lebih pendek dari panjang
batang tubuh (ratio ekstremitas dan costa dibanding trunkus
bertambah)(6).
Gambar 7 : Gambar menunjukkan adanya pemendekan tulang
rusuk (dikutip dari kepustakaan 6).
7
Rongga pelvis yang menyempit dan adanya pemendekan jarak
interpedikular serta tampak gambaran champagne glass-pelvis (6,9).
Gambar 8: Champagne-glass appereance dengan berkurangnya
sudut acetabulum, dan sayap iliaca berbentuk persegi (dikutip
dari kepustakaan 6).
Adanya tridend hand, dimana tulang-tulang falang yang
memendek dengan jarak antara jari yang melebar (gambaran
trisula)(6).
Gambar 9 (5) : Tridend hand (dikutip dari kepustakaan 6)
8
Berkurangnya jarak interpedicular pada kolumna vertebra
dilihat dari arah caudal dan berkurangnya diameter
anteroposterior dari vertebra (6,9,10).
a b
Gambar 10 a : Berkurangnya jarak interpedicular vertebra
dilihat dari arah caudal (dikutip dari kepustakaan 10).
Gambar 10 b : Gambar vertebra dari posisi lateral dimana
menunjukkan gambaran berkurangnya diameter anteroposterior
(AP) tulang belakang (dikutip dari kepustakaan 4).
Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi biasanya dilakukan saat
perawatan antenatal oleh ibu hamil yang beresiko tinggi memiliki
anak dengan achondroplasia. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
membedakan achondroplasia yang bersifat homozigot dan
heterozigot. (8,11)
Pada achondroplasia yang bersifat homozigot,
didapatkan panjang batang tubuh yang normal, tengkorak yang
berbentuk daun semanggi (cloverleaf), dan adanya perbedaan
proporsi yang nyata antara ukuran tengkorak dan/atau diameter
biparietal (BPD) dengan panjang tungkai dimana, panjang femur
berada di bawah percentile ke-3 sesuai usia gestasinya. Gambaran
ini sudah dapat dinilai pada usia gestasi 13 minggu. Adapun kasus
9
ini bersifat letal akibat hipoplasia paru yang dihubungkan dengan
hambatan pertumbuhan rongga dada. (11)
Pada achondroplasia yang bersifat hererozigot,
gambaran ultrasonografi trimester awal kehamilan menunjukkan
gambaran normal dan kelainan baru dapat diamati pada akhir
trimester II (usia gestasi >24-28 minggu). Dimana kelainan dari
gambaran ultrasonografi bersifat ringan dengan ekstremitas yang
pendek, ukuran batang tubuh yang kecil, peningkatan lingkar kepala
dan BPD, dahi menonjol, dan jarak interpendikular pada tulang
belakang berkurang. (8)
CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan sering digunakan untuk menilai
ukuran foramen magnum pada penderita achondroplasia. Hal itu
dikarenakan, pada 96% penderita achondroplasia, ukuran foramen
magnumnya berada pada 3 standar deviasi dibawah rata-rata (8) .
Selain itu, periksaan CT-Scan juga digunakan untuk
menilai adanya penjepitan maupun penekanan pada medullaspinalis
akibat kompresi dari corpus vertebra cervical I dengan foramen
magnum yang berukuran kurang dari normal. Adapun komplikasi
otitis media yang sering didapatkan pada penderita achondroplasia
dapat pula dinilai melalui pemeriksaan tulang temporal pada CT-
Scan (8) .
MRI
Pemeriksaan MRI yaitu pemeriksaan craniocervical
dilakukan untuk menilai adanya kompresi pada medulla spinalis
yang melewati kanal vertebra cervical I. Selain itu, dengan
pemeriksan MRI dapat pula dinilai adanya penyempitan ruang
subarachnoid pada pertemuan cervical dan medulla otak, adanya
ventriculomegaly derajat ringan hingga sedang serta anomali-
anomali lain yang sering menyertai achondroplasia (8).
10
Gambar 11 : Gambaran MRI pada anak berusia 6 tahun yang
merupakan penderita achondroplasia dengan defisit neurologis.
Gambar ini menunjukkan adanya penyempitan foramen magnum
pada cervical I dan penyempitan ruang subarachnoid (dikutip dari
kepustakaan 8).
VII. DIAGNOSIS BANDING
Hipochondroplasia
Hipochondroplasia merupakan penyakit yang juga disebabkan
oleh mutasi gen FGFR3 yang bersifat autosomal dominan. Penderita
hipochondroplasia memiliki ciri-ciri yaitu berperawakan pendek,
micromelia, dan lordosis lumbar tanpa disertai rhizomelia, mesomelia,
atau acromelia. Adapun gejala klinis, gambaran radiologi, dan
gambaran histopatologinya serupa dengan achondroplasia namun,
dengan derajat yang lebih ringan (2) .
11
Gambar 13 : Penderitta hipochondroplasia dengan perawakan tubuh
yang pendek namun, dengan tampilan fisik dan keadaan yang lebih
ringan dibanding penderita pada achondroplasia (dikutip dari
kepustakaan 2)
Thanatoporic dysplasia
Thanatoporic dysplasia merupakan salah satu bentuk tersering
displasia tulang yang bersifat letal. Adapun thanatoporic dysplasia ini
berciri-ciri yaitu, micromelia, tulang punggung yang pendek,
makrosefal, platispondilis, dan menurunnya ukuran rongga thoraks.
Biasanya, penderita thanatoporic dysplasia meninggal pada masa
neonatus (2,12).
SADDAN dysplasia
SADDAN dysplasia merupakan penyakit yang bersifat fenotip
dimana, biasanya menyerang 3 sistem tubuh yaitu, kulit, tulang, dan
otak. Adapun SADDAN dysplasia berciri-ciri perawakan yang sangat
pendek, achantosis nigrans, keterlambatan perkembangan tubuh dan
otak. Penderita dengan SADDAN dysplasia seringkali memiliki riwayat
kejang, hidrosefalus pada masa bayi, dan keterbatasan perkembangan
motorik dan intelektual yang berat (2).
Gambar 14 : Gambar ini menunjukkan penderita SADDAN dysplasia
yang berusia 20 tahun. Tampak perawakan yang sangat pendek dan
12
memiliki keadaan yang lebih berat dibandingkan penderita
achondroplasia (dikutip dari kepustakaan 2).
VIII. PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini, penatalaksanaan pada penderita achondroplasia
masih dalam penelitian. Kesulitan penatalaksanaan dikarenakan penyebab
yang mendasari terjadinya achondroplasia adalah mutasi gen. Namun, pada
beberapa kasus, pemberian hormon pertumbuhan (growth hormone) pada
penderita achondroplasia yang masih kecil sering dilakukan karena pada
beberapa kasus, terjadi peningkatan pertumbuhan tulang. Akan tetapi,
mekanisme kerjanya belum jelas sehingga belum direkomendasikan pada
pengobatan achondroplasia. (1,2)
IX. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat dialami oleh penderita achondroplasia yaitu (1,13) :
Hambatan pertumbuhan tulang yang normal, dimana tinggi badan
penderita berada dibawah percentile ke-3 kurva tinggi badan.
Apneu spontan dan depresi nafas. Hal ini dikarenakan, hambatan
pertumbuhan tulang dasar tengkorak yang memungkinkan
terjepitnya batang otak dan mengganggu pusat pernafasan sehingga
regulasi pernafasan normal terganggu.
Defisit neurologis dan retardasi mental oleh karena hambatan
pertumbuhan tulang tengkorak sehingga terjadi pula hambatan
dalam pertumbuhan dan maturasi sel-sel otak.
Otitis media dan kelainan telinga lainnya. Mekanisme kelainan
telinga dikarenakan posisi telinga secara anatomis berbeda dari
normal oleh karena, gangguan pertumbuhan tulang sehingga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dapa telinga.
13
X. PROGNOSIS
Prognosis hidup penderita achondroplasia bergantung kepada
derajat komplikasinya. Makin berat komplikasi yang dialami maka, makin
buruk pula prognosisnya. Pada penderita achondroplasia homozigot,
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan achondroplasia heterozigot.
Penderita biasanya sudah meninggal pada masa janin atau beberapa saat
setelah dilahirkan. Selain itu, pemantauan berkala pada bayi yang lahir
dengan achondroplasia menjadi sangat penting karena dapat mengantisipasi
bahkan menghindari terjadinya komplikasi yang berat (14,15).
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Horton WA, Hall JG, Hecht JT. Achondroplasia, vol.370. Amerika Serikat:
Lancet, 2007. Hal.162-172.
2. Vajo Z, Francomano CA, Wilkin DJ. The molecular and genetic basis of
fibroblast growth factor receptor 3 disorders: The achondroplasia familiy of
skeletal dysplasias, muenke craniosynostosis, and crouzon syndrome with
achanthosis nigricans. Amerika Serikat: The Endocrine Society, 2000.
Hal.23-36.
3. Horton WA, Hecht JT, The skeletal dysplasias, dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, Nelson textbook of pediatrics, ed.17. Amerika
Serikat: Elsevier, 2004.
4. Grant A, The skeleton, dalam: Waugh A, Grant A, Ross & Wilson’s
anatomy & physiology in health & illness, ed.9. London: Elsevier, 2004.
Hal.389-90.
5. Rosenberg EA, Bones, joints, and soft tissue tumors, dalam: Robbins,
Abbas, Fausto, Robbins & Cotran’s pathologic basis of disease, ed.7.
Amerika Serikat: Sanders, 2008.
6. Khan AN. Achondroplasia [online]. 2011. [copied on 11 December 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/941280-
overview#showall
7. Chapman S, Nakielny R. Aids to radiological differential diagnosis, ed.4.
Amerika Serikat: Elsevier, 2003. Hal.525.
8. Khan AN. Achondroplasia radiography [online]. 2011. [copied on 15
December 2011]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/415494-overview#a22
9. Eisenberg, Ronald L. Clinical imaging: An atlas of differential diagnosis,
ed.5. Philadelphia: Lippincott, 2010. Hal.1202-3.
15
10. Helms CA, Miscellaneous bone lesions, dalam: Brant WE, Helms CA,
Fundamentals of diagnostics radiology, ed.3. Amerika Serikat: Lippincott,
2007.
11. Cheema JI, Grissom LE, Harcke HT. Radiographic characteristics of
lower-extremity bowing in children. RSNA, 2003. Hal.871-80.
12. Miller E, Blaser S, Shannon P, Widjaja E. Brain and bone abnormalities of
thanatropic dwarfism. Amerika Serikat: American Journal of
Roentgenology, 2009. Hal.48-51.
13. Collins W, Choi SS. Otolaryngologic manifestations of achondroplasia.
Arch otolaryngol head nec surgery association, 2007. Hal.237-44.
14. Gollust SE, Apse K, Fuller BP, dkk. Community involvement in
developing policies for genetic testing: Assessing the interests and
experiences of individuals affected by genetic conditions. Vol.95. No.1.
Amerika Serikat: American Journal of Public Health, 2005. Hal.35-39.
15. Trotter TL, Hall JG, dkk. Health supervision for children with
achondroplasia vol.116, no.3. Amerika Serikat: American Academy of
Pediatrics, 2005. Hal.771-83.
16
L
A
M
P
I
R
A
N
R
E
F
E
R
E
N
S
I
17